LOKASI

Banyuwangi Jawa Timur

Minggu, 14 Juni 2020

HADITS SUFISTIK


 PENGANTAR

Kehidupan Pengarang: Shadr ad-Din al-Qunawi

Shadr ad-Din al-Qunawi termasuk salah seorang murid Ibn al-'Arabi—qaddasa Allah sirrahuma. Dia yang menyebar­kan pemikiran-pemikiran gurunya, serta menjelaskan ide-ide dan pandangannya. Berdasarkan hal ini, dia menempati kedudukan yang tinggi dan penting dalam sejarah pemikir­an dan tasawuf kita. Kajian-kajian yang berkenaan dengan kehidupannya amat terbatas dan sedikit sekali yang diterbit­kan. Namun, dua peneliti Turki, 'Utsman Arkin—yang me­lakukan penelitian terhadap buku-buku karya al-Qunawi— dan Nihad Keklik—yang meneliti ihwal pemikiran filosofis­nya—mampu menuliskan sekitar kehidupan al-Qunawi yang meliputi biografinya berdasarkan berbagai informasi di dalam banyak buku mengenai kehidupannya. [1] Atas dasar wayat. Hubungannya yang kental dengan gurunya menguat­kan riwayat ini.

Di tengah kesenangan keluarga kaya, al-Qunawi dididik dengan pendidikan yang ketat dalam ilmu, adab, dan peng­amalan. Kuat dugaan bahwa dia mengambil pelajaran dan pendidikannya dari gurunya (Ibn al-'Arabi) saja. Karena, kami belum menemukan informasi bahwa dia pernah be­lajar kepada guru lain. Kami tidak mengetahui awal per­temuannya dengan gurunya, Ibn Al'Arabi. Namun yang jelas, asy-Syaikh Ibn al-'Arabi tinggal di Malathiyyah pada tahun 618 H (1219 M).

Umur al-Qunawi berkisar antara sebelas atau dua belas tahun ketika dia belajar kepada Ibn al-'Arabi. Setelah itu, bahkan dengan gurunya, dia pergi ke Damaskus. Dia tidak pernah berpisah dari gurunya hingga Ibn al-'Arabi—rahimahullah—wafat. Lalu dia berkelana bersama gurunya di ber­bagai kota seperti Damaskus dan Halab. Dia menyibukkan diri dengan pengkajian ilmu di kota-kota ini, baik dengan belajar maupun mengajar. Hingga dia memberikan kuliah rutin di Damaskus selama beberapa waktu.

Ibn al-'Arabi wafat pada tahun 638 H (1240 M). Sepe­ninggalnya, al-Qunawi tinggal di Damaskus. Kemudian dia berpindah ke Halab pada tahun 640 H (1242 M). Dari Halab dia pergi ke Hijaz untuk menunaikan kewajiban haji. Lalu ia pergi ke Mesir dan tinggal di sana selama beberapa waktu. Barangkali di kota itulah dia bertemu dengan orang yang pemikirannya sejalan dengannya, Ibn Sab'in, yang meng­ungkapkan tentang Wahdah al-Wujud

Setelah selesai menunaikan ibadah haji dan sekembali­nya dari Mesir, dia menetap di desa Quniyah hingga wafat. Di penghujung usianya dia sibuk mengajar ilmu hadis dan akhlak sebagaimana kebiasaan para pemuka agama di akhir usia mereka. Dia sering pulang pergi menemui ulama se­zamannya, pemikir sufi Islam, Maulana ar-Rumi. Hubungan antara kedua orang sempurna ini begitu kental dan kuat, sehingga masing-masing saling meyakini bahwa kebaikan yang sempurna ada pada yang lain. Inilah yang meyebabkan Maulana berwasiat agar al-Qunawi mensalatkan jenazahnya, setelah wafatnya, di antara jamaah ulama Quniyah.

Ketika dia tinggal di Quniyah, tentara Mongol me­nguasai dunia Islam bagian timur. Maka terjadilah fitnah dan kerusakan berupa pertumpahan darah, perkosaan, pe­rusakan syiar-syiar Islam, penghancuran kuburan-kuburan para wali, penyegelan mesjid-mesjid, dan sebagainya. Hal itu ditunjukkan oleh al-Qunawi di dalam syarah hadis ke-22 dari kitab hadis Arbain. Pada masa itu al-Qunawi bermimpi melihat Nabi saw dibalut kain kafan di atas usungan mayat.3 Ia menafsirkan mimpi itu bahwa Hulaku telah memasuki Bagdad yang merupakan pusat kekhalifahan Islam, pusat ilmu, serta tempat tinggal para ulama dan para wali. Begitu­lah keadaannya, karena Hulaku dan para prajuritnya memang memasuki kota itu pada malam tersebut.

Wafatnya

Al-Qunawi wafat pada tahun 673 H (1274 M) menyusul wafatnya Maulana (Jalal ad-Din ar-Rumi)—qadasallah sirrahu. Dia telah berwasiat agar dikuburkan di pekuburan al-Harah ash-Shalihiyah di samping kuburan gurunya di Damaskus. Tetapi hal itu sulit dilaksanakan. Maka dia dikuburkan di depan mesjid yang dinamai sesuai dengan namanya di kampung Quniyah.

Buku Syarah Empat Puluh Hadis

Selama bertahun-tahun al-Qunawi menyibukkan diri mendalami ilmu hadis dan mengajarkannya. Sehingga, dia memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang banyak. Dia mengumpulkan beberapa hasil penelitian dan berbagai pen­dapat mengenai hadis. Lalu dia mulai menyusun syarah seperu ini, setelah mengumpulkan tulisan-tulisannya, pada tahun 656 H (1258 M). Hal itu pun dilakukan setelah di­desak para murid dan sahabat-sahabatnya. Dia pernah me­ngatakan, "Desakan inilah yang menyebabkan saya rindu untuk menyusun syarah ini."

Al-Qunawi memiliki dua buku yang diberi judul Empat Puluh Hadis. Yang satu adalah tulisan tangan, sementara yang lain telah dicetak. Tadinya dikira keduanya adalah buku yang sama. Namun, ketika dibandingkan, jelaslah bahwa masing-masing merupakan buku tersendiri yang berbeda satu sama lain. Buku yang dicetak atas biaya dari Husain 'Ali di Mesir pada tahun 1324 H setelah terlebih dahulu dilakukan peng­kajian, tidak kami temukan di perpustakaan-perpustakaan Istambul kecuali yang terdapat di perpustakaan Syahid 'Ali Pasha dari perpustakaan Sulaimaniyah dengan nomor 540 (di antara lembaran-lembaran tulisan tangan nomor 101­109) dan yang berada di perpustakaan azh-Zhahiriyyah, bagi­an tasawuf, dengan nomor 6.824. Keduanya merupakan buku yang sama yang dibuat dengan huruf cetakan. Muhammad Riyadh al-Malih di dalam karyanya al-Ma'nun dengan kata­log buku cetakan di Dar al-Kutub azh-Zhahiriyyah {Damas­kus 1398) berpendapat, "Naskah tulisan tangan yang dinisbahkan kepada al-Qunawi ini adalah sama dengan buku cetakan tersebut karena kesesuaiannya dalam semua hadis."

Hadis-hadis yang terdapat di dalam naskah tulisan tangan di perpustakaan-perpustakaan Istambul berkisar antara 24 dan 29 hadis, dan naskah-naskah itu sesuai dengan yang terdapat di dalam naskah cetakan kecuali dalam satu hadis. Kami melihat ada dua kemungkinan. Pertama, pengarang (al-Qunawi) mengarang dua buku tentang hadis. Karena itu, naskah tulisan tangan dan cetakan itu dinisbahkan ke­padanya. Kedua, penyebutan namanya pada naskah cetakan adalah salah. Kami cenderung memilih kemungkinan ke­dua, karena naskah tulisan tangan tidak sesuai dengan buku cetakan yang dinisbahkan kepadanya kecuali dalam satu naskah saja. Sementara, pada naskah-naskah lainnya tidak tercantum nama pengarangnya. Maka bagaimana bisa di­nisbahkan kepadanya?

Hadis-hadis yang terdapat pada naskah tulisan tangan berkisar antara 24 dan 29 hadis, sebagaimana kami telah sebutkan. Tidak ada naskah yang berisi empat puluh hadis. Maka penamaan dengan Empat Puluh Hadis disebabkan be­berapa kemungkinan. Pertama, penulis bermaksud menulis­nya empat puluh hadis, tetapi dia tidak dapat menyelesai­kannya. Kedua, penamaan Empat Puluh tidak harus berarti karangan yang terdiri dari empat puluh hadis. Lebih atau­pun kurang dari itu boleh diberi judul dengan judul ini untuk mengharap berkah sebagaimana dikatakan pengarang di dalam mukadimah, "Kenalan dan sahabatku memintaku untuk menuliskan sejumlah hadis."

Sembilan belas hadis yang terkumpul di dalam karya ini, semuanya terdapat pada buku-buku yang diakui, kecuali tiga buah hadis yang dimasukkan oleh pengarang di dalamnya setelah ia memastikan kesahihannya. Hal itu menegaskan dan membuktikan bahwa dia pun seorang ulama hadis.

Metode yang digunakan al-Qunawi di dalam syarah hadis itu adalah metode gurunya, Ibn al-'Arabi, di dalam cara pengungkapan. Maka syarah hadis itu berdasarkan dzawq (cita rasa) tasawuf yang indah dengan pandangan-pandangan yang mendalam dan komprehensif yang tidak terjangkau oleh ulama-ulama materialis. Bahkan, pemikiran-pemikirannya yang bebas dan asing dalam topik Wahdah ah Wujud, membuatnya menjadi sasaran tuduhan, celaan, dan kritik.

Al-Qunawi—rahimahullah—dengan segenap perhatiannya pada redaksi, penyandarannya pada nas, dan keteguhannya berpegang pada kaidah-kaidah, prinsip, dan alat, di dalam syarah hadis-hadis itu, menyelami lautan pemikiran. Lalu dia mengeluarkan darinya mutiara pandangan-pandangan yang selaras dengan tabiat, digandrungi kalbu, dan dise­nangi orang-orang berakal.

Naskah yang Menjadi Sandaran Penelitian Kami

Dalam melakukan penelitian ini kami menemukan empat naskah buku ini di antara sejumlah naskahnya. Kami ber­sandar pada empat naskah ini. Di antaranya adalah naskah tua yang dikeluarkan pada tahun 833 H (1429 M); naskah yang kami jadikan dasar penerbitan yang dikeluarkan pada tahun 835 H (1431 M); dan naskah yang juga kami jadikan asas penerbitan yang berisi 29 hadis. Naskah terakhir ini merupakan naskah paling sempurna di dalam ungkapan dan penjelasannya.

1. Naskah yang terdapat di perpustakaan Haji Mahmud Afandi T. HT no. 574. Naskah ini berjudul Syarh al-Hadits al-Arba'in dan terdiri dari 63 lembar. Pada setiap halaman berisi lima belas baris yang ditulis oleh Muhammad bin Muhammad pada tahun 835 H (1431 M). Ini merupakan naskah asli untuk penerbitan. Kodenya adalah Mim.

2. Naskah pertama dari perpustakaan Syahid 'Ali Pasha ber­nomor 1.394. Naskah itu diberi judul al-Hadits al-Arba'in dalam ukuran kecil dan terdapat pada naskah itu di antara lembaran 47 dan 91. Pada setiap helaman berisi 22 baris yang ditulis pada tahun 833 H (1429 M). Naskah ini telah dibandingkan dengan naskah lain pada tahun yang sama. Naskah ini kami beri kode Syin.

3. Naskah kedua dari perpustakaan Syahid 'Ali Pasha dengan nomor 1329, terikat dengan al-Hadits al-Arab'in. Naskah ini memiliki ukuran kecil dan terdiri dari 91 lembar.

Pada setiap halaman berisi lima belas baris yang ditulis oleh 'Abdullah bin Yusuf pada tahun 903 H (1497 M) dengan tulisan yang sangat bagus. Naskah ini kami beri kode 'Ayn.

4. Naskah yang dikeluarkan pada tahun 979 H (1571 M) yang terdapat di perpustakaan pribadi kami. Naskah ini ditulis dengan khath (gaya tulisan) nasakh. Naskah ini terdiri dari 108 halaman, dan masing-masing halaman berisi 17 baris. Kami memberinya kode Qaf.

Dari Allah-lah datangnya pertolongan.

Doktor Hasan Kamil Yilmaz


 

 MUKADIMAH

BismiIlahirahmanirrahim

Segala puji bagi Allah yang menghias lelangit agama yang lurus dengan gemintang hukum-hukum syariah, pe­rintah, dan nasihat agama. Dia memberi petunjuk kepada orang yang Dia luaskan dadanya untuk menerima Islam. Dia membebaskannya dari bencana svubhat dan hijab kegelap­an. Kemudian Dia memperindah batin yang lain dengan pancaran sinar keimanan. Dia menerbitkan dari ufuk langit bulan-bulan petunjuk untuk membimbing ahli martabat kebaikan. Dari masyriq, Dia tampakkan pertolongan-Nya pada hati yang jernih di dalam diri makhluk-Nya sebagai pemilik jiwa-jiwa yang suci, niat yang agung, serta kecerahan makrifat dzawq dan keyakinan. Dia menampakkan keikhlas­an kepada hamba pilihan-Nya dengan cahaya mahabbah-Nya, rahasia-rahasia ilmu laduni-Nya. Kemudian, dengan hamba pilihan-Nya itu Dia menyelamatkan suatu kaum yang di-ciptakan untuk diri-Nya. Dia tampak pada mereka dalam rupa ilmu-Nya yang berkait dengan zat-Nya dan dengan segala sesuatu. Dia menghiasnya dengan hiasan yang esen­sial dan abadi. Maka mereka melihat apa yang tersembunyi bagi yang lain, berupa hakikat dan rahasia Ilahi, serta rahasia alam semesta.

أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguh­nya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS. al-Mujadilah: 22)

Semoga Allah memberi salawat kepada mursyid mereka yang membawa mereka kepada persaudaraan universal, dan pemimpin mereka. Dialah kunci utama kegaiban dan pembuka kalbu orang-orang yang siap menerima persau­daraan melalui cahaya bimbingannya. Dia yang menentang sedap syak dan keraguan, Sayidina Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya, dengan salawat yang menghimpun segala kesempurnaan hukum-hukum azali yang ditampak­kan di dalam martabat-martabat keabadian. Wa sallama tasliman katsiran.

Setelah sekelompok pendahulu dari para pemilik ke­utamaan dan kedalaman agama mengetahui dengan pasti, melalui sanad-sanad sahih dari berbagai jalan, bahwa Nabi saw bersabda,

"Barangsiapa yang menjaga empat puluh hadis atas umatku dalam urusan agama mereka, niscaya pada hari kiamat Allah mengumpulkannya sebagai fakih dan alim," [2]

maka mereka berusaha untuk mengeluarkan empat puluh hadis dalam rupa dan corak yang beraneka ragam.

Di antara mereka ada yang memilih hadis-hadis tentang keteladanan, terutama yang disebutkan di dalam khotbah-khotbah Nabi saw, seperti Ibn Wad'an.[3] Ada yang memilih mengeluarkan hadis-hadis tentang hukum-hukum. Ada yang memilih mengeluarkan hadis-hadis yang kontradiktif. Ada yang memilih mengeluarkan hadis-hadis yang panjang. Ada pula yang memilih hadis-hadis tentang hal lain. Ketika sejumlah kenalan dan sahabat melihat kesempurnaan ke­mampuanku dalam ilmu hadis—dengan karunia Allah—dan keluasan wawasanku dalam mengetahui rahasia-rahasia-nya, maka mereka mendesakku untuk menguraikan sejum­lah hadis Nabi dan menjelaskannya melalui teladan-teladan para pendahulu.

Mulanya saya ragu dalam hal itu. Lalu mulailah saya berkumpul dengan orang yang telah berhasil menguraikan beberapa hadis. Walaupun sebagian mereka mampu men­jelaskannya, namun itu hanya dari segi i'rab atau pemaham­an lahiriah saja yang tidak asing bagi orang yang akrab dengan bahasa Arab dan yang memiliki fitrah yang sehat. Di dalam semua itu tidak banyak keutamaan dan tidak pula ada tambahan faedah. Hal itu hanya sekedar mengetahui apa-apa yang dimaksud Nabi saw dan yang dikandung di dalam sabdanya, berupa hikmah dan rahasia, sebagai pen­jelasan disertai dalil-dalil syariat dari Alkitab dan sunah. Ditegaskan pula kesahihan hadis-hadis itu melalui akal sehat yang tercerahkan dan fitrah yang lurus.

Kemudian, al-Haqq melapangkan dadaku untuk meng­uraikan sejumlah hadis Nabi dan menyingkap rahasia-rahasianya yang meliputi hikmah-hikmah yang indah. Sanad semua hadis itu sahih dan saya dengar dari para guru yang terkenal ketakwaannya, dan gabungan antara dirayah dan riwayah. Selain itu, saya tidak sebutkan sanad-sanadnya untuk meringkas dan memudahkan orang dalam mengkajinya. Maka ketetapan hatiku memutuskan untuk memilih hal itu dan menyingkap rahasia-rahasianya. Cara yang saya gunakan adalah metode yang menggabungkan antara pengungkapan dan penyingkapan. Hal itu dimaksud­kan untuk membangkitkan orang-orang yang memiliki per­hatian besar dan memiliki akal serta pemahaman yang baik. Kepada Allah SWT saya memohon pertolongan, dorong­an, dan taufik. Inilah waktunya saya memulai, dan kepada al-Haqq saya memohon petunjuk.


 

 HADIST PERTAMA

Diriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Rasulullah saw bahwa beberapa sahabat mengadukan kepadanya ihwal kefakiran dan sedikitnya harta. Maka Rasulullah saw ber­sabda,

"Biasakanlah selalu dalam keadaan suci (dari hadas), niscaya diluaskan rezeki bagimu."[4]

Ketahuilah bahwa hadis ini, walaupun bentuknya pendek, merangkum berbagai pengertian. Di dalamnya terkandung berbagai masalah dan rahasia yang agung dan penting. Namun pemahamannya bergantung—setelah taufik dari Allah SWT—pada beberapa mukadimah {pendahuluan) agar dapat terungkap maknanya. Dengan pendahuluan itu, akan tersingkap tujuan yang agung ini. Kemudian kami akan sebutkan hal-hal yang menjelaskan makna-makna lain dari hadis ini, insya Allah.

Mukadimah Pertama

Ketahuilah, bahwa baik kesucian maupun kenajisan (ke­kotoran), dari satu sisi, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

Pertama, ghayr maj'ul Artinya, hal itu tidak didahului usaha dan kesungguhan. Tidak ada faedah pada perintah, wasiat, dan anjuran agar berhias dengannya, atau larangan dari mengotori atau bersuci, serta menjaga diri dari keter­libatan di dalamnya.

Kedua, wujudiyyah maj'ulah. Yaitu, hal tersebut berkaitan dengan perintah dan larangan. Di dalam hal ini, wasiat dan anjuran mendatangkan faedah. Selain itu, hal tersebut dapat diperoleh dengan usaha dan kesungguhan. Maka pahamilah.

Selanjutnya saya akan ungkapkan hal itu secara terpe­rinci, insya Allah.

Mukadimah Kedua

Ketahuilah bahwa al-Haqq SWT adalah Yang Maha Pe­murah secara mutlak. Dia bermurah hati secara langgeng kepada binatang-binatang tanpa kebakhilan dan tanpa me­minta ganti. Dia tidak mengkhususkan pemberian-Nya kepada suatu kelompok saja dengan pengkhususan yang menyiratkan pencegahan dan halangan terhadap yang lain. Dia pun bermurah hati kepada seluruh makhluk yang me­nerima pancaran zat dan nama-Nya menurut kadar kesiap­an mereka yang ghayr maj'ul Dengannya, terlebih dahulu mereka menerima eksistensi dari-Nya ketika mereka me­nyelami ilmu-Nya. Mereka pun menerima karunia-karunia-Nya menurut kesiapan mereka yang wujudiyyah majulah karena kesucian batin dan lahir mereka.

Yang saya maksudkan dengan wujudiyyah adalah kesuci­an yang dikhususkan melalui kesiapan yang menyebabkan diterimanya eksistensi (wujud) dari al-Haqq secara sempurna. Hal itu merupakan hakikat penerima dalam sebagian besar kemampuan dan kekuatannya yang sesuai dengan hakikat tersebut untuk menghadirkan keesaan Ilahi. Keesaan Ilahi inilah yang menjadi sumber kemurahan kepada semua pihak yang dapat menerima loujud-Nya. Itulah kesucian asli yang saya katakan sebagai ghayr maj'ul. Kebalikannya adalah kekotoran ghayr maj'ul, juga yang menuntut penerimaan kemurahan Ilahi, namun tidak secara sempurna. Ia berubah dari kesucian Ilahi yang semestinya disebabkan oleh ber­bagai ahkam imkdniyyah (pengaruh-pengaruh yang bersifat mungkin) dan perantara-perantara khusus. Adapun tingkat­an kekotoran yang merupakan lawan kesucian tersebut adalah salah satu dari dua aspek kemampuan yang diikuti ketiadaan (al-'adam). Itulah asalnya. Kami katakan, sebab-sebab kekotoran adalah penguasaan pengaruh yang bersifat mungkin, banyaknya hal itu, dan karakteristik perantara-perantara yang bersifat mungkin yang ada antara al-Haqq Pemberi Eksistensi SWT dan penerima kemurahan-Nya, se­bagaimana telah dijelaskan. Maka pahamilah.

Ini termasuk tingkatan kekotoran yang merupakan lawan dari kesucian tersebut. Kemudian, ketahuilah bahwa sedikit­nya perantara dan pengaruh imkaniyyah dapat menyebabkan kesucian dan jalinan dengan kehadiran Tuhan. Maka hal itu menyebabkan limpahan karunia Ilahi secara sempurna, se­bagaimana telah dijelaskan. Karena itu, banyak dan kuatnya pengaruh eksistensi yang bersifat mungkin serta perantara-perantara khususnya yang merupakan najis maknawi pada setiap makhluk menyebabkan berkurangnya penerimaan. Hal itu pun dapat mengubah limpahan suci yang telah di­terima yang dapat mengeluarkannya dari kesucian aslinya. Kesucian dan kekotoran yang terdapat pada maujud, masing-masing memiliki banyak pengaruh yang dihasilkan. Per­tama, di dalam tingkatan-tingkatannya. Kedua, di dalam penampakan diri (mazhhar) eksistensi dalam bentuk dan rohnya. Itu merupakan percampuran-percampuran melalui berbagai cara. Darinya dihasilkan dominasi dan kelemahan yang menuntut penyifatan sesuatu yang disifati dengan salah satu dari keduanya. Demikian pula pengaruhnya di dalam syariat. Jika ini sudah jelas, maka kembali saya katakan: Ber­limpah dan berkurangnya bagian dari karunia-Nya SWT, dzatiyyah dan asma'iyyah, kembali pada sempurna dan tidak sempurnanya kesiapan si penerima. Kesempurnaan dan ketidaksempurnaannya dinyatakan dengan kesucian dan ke­kotoran tersebut, tiada lain. Ini disepakati oleh para pe­negas kebenaran (muhaqqiq).

Saya telah bentangkan penjelasan dan penetapannya pada banyak tempat dari karya-karya saya. Sejumlah pemuka sufi dan orang-orang pilihan Allah telah menjelaskannya pula di dalam buku-buku mereka. Hal itu ditunjukkan dalam riwayat yang disampaikan kepada kita oleh Rasulullah saw dari Tuhannya dengan sabdanya di akhir hadis,

"Maka barang-siapa yang mendapati kebaikan, hendaklah dia memuji Allah. Barangsiapa yang mendapati bukan demikian, maka jangan­lah mencela selain dirinya."[5]

Dan, sabda Rasulullah yang ditujukan kepada Tuhannya,

"Kebaikan itu semuanya adalah dengan kekuasaan-Mu, sementara kejahatan tidak dinisbah­kan kepada-Mu." [6]

Semua itu dikuatkan dengan firman Allah SWT,

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

"Apa saja kenikmatan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu adalah dari [kesalahan] dirimu sendiri. " (QS. an-Nisa': 79)

Juga penegasan lain yang berulang kali ditunjukkan di dalam Al-Qur'an dan sunah serta dipahami oleh akal yang tercerahkan, dzawq yang sahih, dan roh yang memberikan eksistensi, bahwa di antara yang disepakati oleh akal, syara’, dan kasyaj, adalah bahwa alam arwah lebih dahulu ada dibandingkan alam fisik. Alam fisik itu sendiri diciptakan oleh Allah SWT dengan perantaraan dan mengikuti alam arwah dalam hal sifat dan hukum, seperti mengikutinya dalam menerima eksistensi dari keberadaan al-Haqq. Alam fisik, dari satu sisi, adalah seperti naungan bagi alam arwah. Maka ketahuilah hal itu. Karena saya telah sebutkan mukadimah-mukadimah ini, maka saya kembali pada mukadimah pertama.

Di atas telah disebutkan awal martabat kesucian dan ke­kotoran maknawi serta hukum-hukumnya yang tidak didahului usaha dan kesungguhan. Di sini saya akan sebutkan martabat, derajat, dan penampakan kesucian dan kekotoran yang lain, yang lahir dan batin, yang disyariatkan, yang rasio­nal, yang diberi kasyf, dan dipersaksikan oleh al-Haqq. Se­lama kesucian dan kekotoran, penampakan dan derajaurya belum diketahui, maka belum dapat diketahui juga tata-cara berhias dengan kesucian, serta melanggengkan dan menjaganya—setelah berhias dengannya—dari dikotori ber­bagai najis, baik lahir maupun batin. Tatacara menghilang­kan najis yang ada secara lahir dan batin juga tidak dapat diketahui apabila manusia belum mengetahui apa yang saya sebutkan. Sehingga, dia tidak mungkin mendapat manfaat dari wasiat Nabi dan mengamalkannya. Secara garis besar, saya katakan: Semua dosa adalah najis batin, walaupun se-bagiannya secara khusus melampaui batin menuju lahir, sebagaimana ditunjukkan Rasulullah saw dengan sabdanya,

"Sesungguhnya seorang hamba mengharamkan rezeki dengan dosa yang dilakukannya."[7]

Hadis ini pun memiliki rahasia lain. Yaitu, bahwa peng­haraman kadang-kadang berkaitan dengan rezeki maknawi dan rohani, dan kadang-kadang pengharaman itu dari rezeki lahir yang terindera.

Kemudian saya katakan: Semua ketaatan adalah penyuci. Kadang-kadang hal itu terjadi dengan cara penghapusan, yang ditunjukkan dengan firman Allah SWT,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa] perbuatan-perbuatan yang buruk," (QS. Hud: 114)

dan sabda Rasulullah saw,

"Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, karena [perbuatan baik] menghapus perbuatan buruk."[8]

Kadang-kadang penyucian itu dilakukan dengan cara penggantian, yang ditunjukkan dengan firman Allah SWT,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

"Ke­cuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh. Maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan. " (QS. al-Furqan: 70)

Penghapusan tersebut merupakan hakikat dari pemaafan, sementara penggantian merupakan hakikat dari pengampunan. Jika engkau perhatikan apa yang saya jelaskan, niscaya engkau tahu perbedaan antara pemaafan dan pengampunan.

Kemudian ketahuilah bahwa masing-masing dari ke­maksiatan dan ketaatan memiliki kekhususan yang muncul dari lahiriah manusia kepada batinnya, dan bisa terjadi se­baliknya. Di antaranya ada yang dapat dihilangkan dengan segera, dan ada pula yang dapat dihilangkan dengan lambat disertai kesulitan. Ada pula yang berlanjut pengaruhnya hingga kematian dan hilang di alam barzakh. Ada yang tidak hilang kecuali setelah sampai di mahsyar. Ada pula yang tidak hilang kecuali setelah masuk neraka. Ini terjadi dengan syarat adanya keteguhan tauhid di dalam batin orang terse­but. Syariat telah menjelaskan semua itu. Kalau saja tidak khawatir akan menjadi pembahasan panjang dan bertele-tele, niscaya saya akan menjelaskannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam pengabaran-pengabaran Ilahi dan Nabi, serta orang yang mengingat apa yang saya sebutkan di sini.

Kemudian, perhatikanlah kabar-kabar yang diberitakan oleh syariat yang di dalamnya terdapat hal-hal yang telah ditunjukkan. Lalu, ketahuilah bahwa kesucian dan kekotor­an, dalam hal penampakannya, martabauiya, dan pengaruh-pengaruhnya adalah bermacam-macam. Akan saya sebut­kan, insya Allah. Saya memulai dengan kesucian.

Kesucian tampak dan dihasilkan dari pengaruh gabung­an keesaan eksistensi keniscayaan dan pemutlakan dari se­tiap ikatan yang menuntut batasan. Hal itu dilakukan me­lalui ilmu tauhid yang bersifat penyaksian eksistensi dan pengosongan batin dari selain al-Haqq atau dari selain hal-hal yang dicintai dan diridai-Nya. Awal tingkatannya adalah yang disyariatkan dan dikhususkan dengan kalbu, roh, ke­imanan, at-Tawhid al-Istihdhari yang khusus, aspek-aspek keimanan, dan aspek-aspek tauhid. Martabat kesucian ter­tinggi yang dengannya manusia berhias adalah kelanggeng­an mengenal al-Haqq dan menyaksikan zat-Nya yang tidak ada hijab sesudahnya. Tidak ada lagi yang menetap bagi diri insan kamil selain-Nya. Jenis dan derajatnya yang lain tampak di antara kedua sisi ini.

Adapun jenis-jenis najis yang hendak disucikan dan di­pelihara setelah diri suci dari kotoran, adalah muncul dan tumbuh dari kebodohan (jahl), syirik, dan pengaruh-pe­ngaruh ikatan yang menuntut batasan dalam akidah ter­tentu yang tumbuh melalui penakwilan, pandangan yang rusak, peribadatan yang menyimpang, syahwat yang me­nguasai kekuatan rohani dan menuntut pemutlakan dari penegasan-penegasan syariat dan akal, dan dari berbagai jenis najis yang bermacam-macam dengan pengaruh ke­majemukan eksistensi segala yang bersifat mungkin dan dalam hubungannya dengan ketiadaan. Hal itu telah di­tunjukkan di atas.

Kemudian, ketahuilah bahwa baik kesucian maupun ke­najisan, dari sisi tempat yang disifati dengan keduanya itu, terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: bagian lahiriah, bagian batiniah, dan bagian gabungan (antara lahiriah dan batini­ah). Martabat kesucian batiniah khusus bagi alam arwah, jiwa-jiwa yang suci, dan sifat-sifat yang esensinya dinisbahkan kepada alam arwah, serta segala yang ditarik dan disertakan padanya dari gambaran-gambaran halus yang mengikutinya. Adapun penampakan-penampakan kesucian lahiriah di­khususkan pada sebagian barang tambang dan tumbuhan yang dihasilkan dari unsur-unsur selama tidak disertai kotor­an binatang. Saya hanya mengkhususkan kesucian lahiriah pada bentuk-bentuk yang dihasilkan dari unsur dan tidak menisbahkannya pada kesucian sempurna, karena setiap bentuk yang dihasilkan dari unsur memiliki kekuatan dan kekhususan batiniah. Sebagiannya itu sesuai bagi manusia dan memberi manfaat padanya dengan izin Allah di dalam tingkah laku dan penyempurnaan. Sebagiannya lagi mem­bahayakan dan tidak sesuai bagi diri manusia walaupun ia tidak bersentuhan dengannya, bahkan hanya dengan ber­dekatan. Bentuk-bentuk seperti ini, dari segi lahirnya adalah suci, tetapi dari segi karakteristiknya adalah najis sebagai najis batin yang harus dihindari. Demikian pula binatang-binatang yang halal dimakan. Dari segi bentuknya adalah suci selama tidak disertai kotoran dari sebagian binatang. Bentuk unsur-unsur, barang-barang tambang, dan tumbuh-tumbuhan yang tidak memiliki karakteristik buruk, selain yang telah sava sebutkan, adalah suci secara lahir dan batin.

Jika engkau telah mengetahui ini, maka ketahuilah bahwa kehalalan termasuk keharusan dari kesucian, sedangkan ke­haraman mengikuti kekotoran. Masing-masing dari halal dan haram terbagi ke dalam tiga bagian seperti pembagian kesucian dan kekotoran di atas.

Barang halal yang sempurna secara lahir adalah setiap benda yang tidak mengandung bahaya dalam susunannya bagi mukmin yang diperintah oleh Nabi saw untuk men­jauhinya. Hal itu tidak berkaitan dengan hak seseorang yang harus diperhatikan. Sebab, perhatian diri terhadap segala sesuatu, dalam hal ini, menimbulkan karakteristik buruk pada diri manusia. Karena, itu sesuatu yang bukan haknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, atau tindakan- tindakan yang lain. Semuanya itu bisa membawa kekotoran maknawi.

Bagian kedua dari barang halal, di bawah bagian per­tama dalam kesucian, adalah setiap makanan, minuman, dan sebagainya yang selamat dari pengaruh-pengaruh nafsu dan karakteristiknya karena dorongan tertentu, seperti yang telah disebutkan. Bukan berarti dalam zatnya—dari segi susunan dan rohnya—luput dari karakteristik buruk yang tidak cocok bagi kebanyakan manusia. Contoh semacam ini bukan pada tingkatan halal yang sempurna dan suci, seperti biawak, tikus, dan sejumlah serangga. Ini masuk dalam bab makanan. Demikian halnya di dalam pakaian yang dipotong dan dijahit pada waktu yang tidak baik yang berkaitan dengan karakteristik yang buruk. Seperti itu pula yang diingatkan di dalam syariat berkaitan dengan kesialan yang ada pada perempuan, kuda, dan rumah. Kesahihannya dibuktikan dengan pengalaman yang berulang-ulang. Pada semua ini, baik di dalam batin kebanyakan manusia, bahkan pada lahir­nya, terdapat karakterisitik berbahaya yang melampaui badan menuju diri, akhlak, dan sifat-sifat si pemakan, pemakai, dan orang yang bersahabat dengannya. Maka karenanya ter­bentuklah kotoran pada kalbu dan roh dari berbagai bentuk najis.

Syariat telah menjelaskan kemuliaannya, tanpa meng­haramkannya.

Bagian ketiga adalah yang bentuk lahirnya suci tetapi bernajis secara maknawi. Maka benda itu haram. Contohnya makanan, pakaian, minuman, dan tempat tinggal hasil ram­pasan, serta barang-barang beracun dan sebagainya.

Adapun najis yang sempurna secara lahir dan batin ada­lah setiap benda yang diharamkan, seperti darah, bangkai, daging babi, setiap yang memiliki taring dari binatang buas, setiap yang memiliki cakar dari bangsa burung dan anjing, dan minuman keras (khamar). Semua ini adalah najis dan haram karena berbahaya bagi manusia dari segi karak­teristik dan sifat-sifat yang dibawanya. Sehingga bahaya esensinya menular kepada pemakannya. Pengharamannya disebabkan sifat yang melekat pada esensinya. Sedangkan hal-hal yang telah disebutkan dalam barang-barang rampas­an, maka bahayanya hanyalah dihasilkan oleh sebab dari luar.

Apabila engkau telah mengetahui hal ini, ketahuilah bahwa hukum-hukum kesucian, kekotoran, halal, dan haram memiliki susunan dominasi dan kelemahan menurut kekuatan masing-masing dan keunggulannya pada kekuatan yang sempurna, kekuatan yang banyak, atau kedua-duanya terhadap yang lainnya. Ini merupakan bagian gabungan antara lahiriah dan batiniah. Maka di dalam susunannya harus menghasilkan bentuk-bentuk yang berkaitan dengan dominasi sebagian terhadap sebagian yang lain. Itu merupa­kan pokok yang berkaitan dengan hukum-hukum tersebut. Penamaan, sifat, dan hukum itu dihasilkan dari perpaduan (percampuran) tersebut menurut sisi dominasi dan kele­mahannya. Kesamaan antara kekuatan karakteristik dan pengaruh-pengaruhnya, atau mendekati kesamaan itu, me­rupakan tingkatan makruh dan syubhat yang ditunjukkan dalam syariat dengan sabda Rasulullah saw,

"Yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Barangsiapa yang berlepas diri karena agamanya, maka ia akan menjauhi yang syubhat."[9]

Syariat menganjurkan untuk menjauhi bagian ini se­bagai pemeliharaan diri dari bahaya yang mengancam. Apa­bila ini sudah jelas, maka hendaklah engkau ketahui bahwa sucinya batin manusia, yakni kalbu dan rohnya, dihasilkan karena sedikitnya kecintaan dan hubungan, atau hilangnya keduanya, kecuali hubungannya dengan al-Haqq. Hal itu pun disebabkan sedikitnya karakteristik kemajemukan dan sifat-sifat imkaniyyah, khususnya pengaruh adanya perantara, dan terhindar dari bahaya pengaruh dan karakteristik yang terkandung pada benda-benda tersebut. Kotoran kalbu dan roh, pengharaman, pencegahan, hijab, dan sebagainya ter­jadi karena sifat-sifat yang bertentangan dengan ini, seperti banyaknya pengaruh mumkinat (eksistensi yang bersifat mungkin), serta banyaknya hubungan dan celupan dengan karakteristik dan pengaruh berbahaya yang ada pada se­suatu yang merupakan tempat penampakan kekotoran. Se­bagaimana kesucian roh dan kalbu dari apa yang saya sebut­kan menyebabkan tambahan rezeki maknawi dan penerima­an karunia Ilahi yang layak serta limpahan anugerah, maka kesucian lahir juga menyebabkan kepatutan mendapat tam­bahan rezeki inderawi. Sebab, hal itu sesuai dengan pen­jelasan saya di dalam mukadimah bahwa alam fisik meng­ikuti alam arwah dalam hal eksistensi, pengaruh-pengaruh, dan sifat-sifat. Barangsiapa yang menggabungkan di antara kedua kesucian ini, maka dia memperoleh dua rezeki. Munculnya perbedaan tingkatan di antara dua rezeki itu hanyalah disebabkan keunggulan kesucian batin dan ke­lebihannya dalam hal keluasan, substansi, dan kekuatan hubungannya dibandingkan kesucian lahir. Demikian pula sebaliknya. Maka pahamilah. Saya telah sebutkan keseluruh­an hukum-hukum kesucian dan kekotoran, secara syariat dan akal, serta penampakan esensi keduanya, yang tidak menyertakan keterlibatan dan usaha manusia serta yang menyertakan usaha dan keterlibatan manusia di dalamnya, dalam hal penghiasan (tahaliyah) dan pengosongan kalbu dari selain al-Haqq (takhaliyah). Maka kami sebutkan yang khusus bagi manusia di dalam jasmani dan rohaninya. Se­bagian besar yang telah kami bentangkan, kendati pun bersifat umum, namun dari satu sisi berada di luar diri manusia. Sedangkan yang saya akan jelaskan sekarang ada­lah yang khusus berkenaan dengan manusia.

Kesucian badan manusia dari kotoran, kesucian indera­nya dari penggunaannya pada sesuatu yang tak perlu, dan kesucian anggota-anggota badannya dari penggunaan dalam tindakan di luar lingkup keseimbangan yang diketahui me­lalui timbangan akal, hukum-hukum syariat, nasihat, dan peringatan. Terutama lidah. Lidah manusia memiliki dua kesucian. Pertama, kesucian yang hanya dikhususkan pada sifat-sifat yang berguna dan bermanfaat. Kedua, kesucian yang dikhususkan untuk memelihara keseimbangan dalam berbagai hal yang diungkapkannya. Tidak boleh dia mengu­rangi penjelasannya atau menyifati sesuatu dengan apa yang tidak ada padanya dan tidak dituntut oleh esensinya. Itu merupakan kelaliman, karena termasuk kesaksian palsu. Kemudian kita kembali pada penjelasan yang khusus me­ngenai batin manusia. Yaitu kesucian khayalnya dari keya­kinan yang rusak, pengkhayalan yang buruk, banyak angan-angan dan harapan, dan sebagainya.

Juga kesucian benaknya dari pemikiran buruk dan me­mikirkan sesuatu yang tidak bermakna dan berguna.

Lalu kesucian akalnya dari terikat pada hasil pemikiran tentang hal-hal khusus pada mengenal al-Haqq dan yang menyertai karunia-Nya yang terbentang bagi segala sesuatu yang mungkin (mumkindt) berupa karakteristik, ilmu, dan rahasia yang asing.

Kemudian kesucian hati dari perubahan yang mengikuti pemisahan hubungan-hubungan yang menyebabkan ter­baginya perhatian dan banyaknya keinginan.

Kesucian jiwa dari kecenderungan-kecenderungannya, bahkan dari nafsu itu sendiri. Karena, ia merupakan "ragi" angan-angan dan harapan terhadap segala sesuatu, dan banyak­nya keinginan sebagai akibat dari pemikiran dan khayalan.

Kesucian roh dari kebahagiaan mulia yang diharap dari al-Haqq, seperu mengenal dan berdekatan kepada-Nya, memperoleh musyhadah-Nya, dan berbagai kenikmatan rohani yang lain yang disenangi dan diperoleh melalui ke­cemerlangan cahaya mata hati.

Kesucian hakikat kemanusiaan dari keperluan pada milik orang lain dan dari perubahan rupa yang al-Haqq berikan sebagai ketetapan baginya dan keleburan di dalam ilmu al-Haqq secara azali. Namun hal itu berlaku di dalam hal bahwa ilmu tersebut merupakan sifat al-Haqq, bukan dari sisi pengetahuan al-Haqq terhadap pengetahuan Zaid dan Umar yang tidak sempurna. Sebab, ilmu Zaid dan Umar adalah ilmu al-Haqq juga, namun dalam halnya sebagai sifat Zaid dan Umar, bukan dalam halnya sebagai sifat al-Haqq. Sehingga, setiap sesuatu tampak bagi-Nya sebagai apa adanya dalam dirinya tanpa tambahan dan pengurangan.

Ketahuilah hal itu dan kajilah setiap kesucian ini yang merupakan kebalikan dari kekotoran. Hal itu tidak perlu diuraikan lagi. Selain itu, hendaklah diketahui bahwa ke­sucian manusia hanyalah diperoleh dengan sesuatu yang terbentuk darinya. Maka kesucian tangan adalah dari badan yang terbentuk darinya.

Kesucian rohnya dengan pertolongan yang suci dan bantuan rohani yang universal dan spesifik ditunjukkan di dalam Alkitab yang agung dengan firman Allah SWT ketika menceritakan para malaikat terkemuka dan gambaran dari bantuan mereka, di mana mereka mengatakan:

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ  وَقِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَمَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang ber­tobat dan mengikuti jalan-Mu, dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala.

Ya Tuhan kami, dan masukkanlah mereka ke dalam surga 'Adn yang telak Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka  semut. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Maha-bijaksana. Dan peliharalah mereka dari [balasan] kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari [pembalasan] kejahatan pada hari itu, maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan titilah kemenangan yang besar. (QS. al-Mu'min: 7-9)

Buah dari ku semua di dunia ini adalah kesucian dari hal-hal yang mengotori roh berupa persahabatan dengan susunan alaminya dan karakteristik berbahaya yang ber­kaitan dengannya ketika terjadi keterikatan yang teratur. Adapun kesucian batin yang merupakan penyingkapan-diri mutlak yang hanya disandarkan kepada al-Haqq, adalah berhubungan dengan al-Haqq yang menyeluruh dan hilang­nya hukum-hukum pengikatan yang menimpanya karena kesertaannya dengan esensi tertentu. Esensi itu merupa­kan tempat penyingkapan-diri yang berlawanan dengan penyingkapan-diri Ilahi tersebut dan mengikatnya.

Hukum-hukum sedap penyingkapan-diri dan sifat-sifauiya mengikuti tempat penyingkapan-diri yang merupakan cerminannya. Itu termasuk sunah al-Haqq,

وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا

"Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunah Allah. " (QS. al-Ahzab: 62)

 Kemudian ketahuilah, sebagaimana kesucian segala maujud itu terbagi menjadi kesucian yang bersifat umum—yaitu gabungan—dan kesucian yang bersifat khusus— yakni sedap maujud tersendiri dari yang lainnya karena ke­khususannya—, demikian pula halnya pada manusia, sebagai­mana telah dijelaskan. Kesuciannya yang umum adalah karena keberadaannya sebagai salinan dari keberadaan al-Haqq dan hakikat-hakikat alam serta penghimpun hukum-hukum keduanya. Seseorang yang paling menghimpun hakikat-hakikat alam dan hukum-hukumnya serta hukum-hukum hakikat Ilahi adalah yang paling sempurna kesucian umum­nya. Sedangkan orang yang berada di bawahnya, maka tingkatan-tingkatannya sesuai dengan ukuran yang dihimpunnya.

Adapun kesucian yang bersifat khusus—setelah me­lampaui kesucian badan, roh, dan batinnya seperti yang telah kami sebutkan—adalah sejauh mengenal hakikat al-Haqq dan memperoleh penyingkapan diri-Nya yang tiada h ijab sesudahnya. Tiada yang menetap bagi orang-orang yang sempurna selain-Nya dengan kehadiran sempurna yang kekal dan kebersamaan esensial yang membentang di alam gaib dan nyata serta yang dicakup keduanya. Maka kajilah apa yang diterima oleh pendengaranmu dan yang didapat oleh pemahamanmu dari pasal hadis yang mulia ini terhadap alam gaib yang diketahui orang-orang suci dan yang berkedudukan tinggi. Niscaya datang kepadamu kilatan cahaya kesempurnaan Muhammad. Baginya seutama-utama salawat dan salam yang sesuci-sucinya.

Inilah rahasia sabda Nabi saw,

"Biasakanlah dalam ke­adaan suci, niscaya diluaskan rezeki bagimu."

Barangsiapa memusatkan perhatian pada pembahasan saya dalam syarah hadis ini dan mengkajinya, niscaya dia mengetahui sejumlah rahasia syariat, seperti kehalalan, keharaman, kesucian, dan kekotoran yang lahir dan yang batin, sebab-sebabnya, dan penghilangannya. Dia mengetahui tatacara bersuci dan menjaga diri setelah berhias dengan kesucian dari noda-noda yang mengotorinya. Dia pun mengetahui jalan-jalan memperoleh rezeki maknawi dan inderawi, serta sebab-sebab bertambah dan berkurangnya dari segi usaha yang dicurahkan. Bahkan dia mengetahui apa yang Allah syariat-kan dan apa yang Rasulullah ajarkan. Dia mengetahui bahwa penghalalan dan pengharaman itu adalah dari al-Haqq me­lalui perantaraan Rasulullah saw. Hal itu semata-mata karena kasih-sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Dia menge­tahui bahwa Nabi saw adalah dokter Ilahi bagi kalbu, roh, akhlak, dan sifat-sifat mereka dengan cara meniru perbuat­annya. Dia mengetahui rahasia sabda Nabi saw,

"Barang­siapa yang ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, maka mengalirlah sumber-sumber hikmah dari kalbu ke  lidahnya."[10]

Selain itu, di dalam hadis tersebut terdapat rahasia lain yang harus diperhatikan. Yaitu, agar manusia menjaga keikhlasannya untuk berusaha mengalirkan sumber-sumber hikmah dari kalbu ke lidahnya. Dia mengetahui rahasia firman Allah,

"Tidak melapangkan-Ku bumi dan langit-Ku. Tetapi melapangkan-Ku kalbu hamba-Ku yang mukmin, bertakwa, dan bersih."[11]

Dia pun akan mengetahui rahasia induk kemenangan dan keunggulannya terhadap berbagai kemenangan karena kesempurnaan kesucian batin pemiliknya. Dia akan menge­tahui rahasia firman Allah kepada Nabi-Nya saw,

"Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Alkitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu." (QS. asy-Syura: 52)

Juga firmannya,

"Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al~ Qur'an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak [pernah] menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu. " (QS. al-'Ankabut: 48)

Dia akan mengetahui rahasia keesaan, keberbilangan, dan kesucian yang diusahakan dan tanpa usaha, demikian pula kekotoran. Dia akan mengetahui kesiapan yang di­usahakan dan yang tidak diusahakan. Dia akan mengetahui rahasia-rahasia lain yang tidak cukup tempat untuk disebut­kan di sini. Saya hanya menyebutkannya secara ringkas. Allah berkata yang benar dan menunjuki siapa yang di-kehendaki-Nya ke jalan yang lurus.


 

 HADIS KEDUA

Dari Jami' al-Ushul[12] riwayat Abu Dawud ra, dijelaskan bahwa ketika Rasulullah saw dan bala tentaranya mendaki gunung-gunung, mereka bertakbir. Ketika mereka turun, mereka bertasbih. Maka ketika itu dilakukanlah salat.[13]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa tinggi dan naik adalah keunggulan, dan itu termasuk takabur (menganggap diri besar), Jika ke­unggulan itu tampak, maka itu merupakan bentuk dari takabur. Jika keunggulan itu tersembunyi, maka itulah makna dari takabur. Karena kesombongan hanya milik Allah SWT se­mata dan karena ketika menaiki gunung-gunung itu suatu bentuk keunggulan itu ada dan muncul, maka pada saat tersebut disunahkan bertakbir. Yakni, bahwa Allah Yang Mahabesar dan Mahatinggi dari adanya sekutu di dalam kebesaran-Nya jika tampak dalam bentuk yang mengisyarat- kau persekutuan. Adapun perintah untuk bertasbih ketika turun, maka itu karena rahasia kesertaan yang ditunjukkan dengan firman Allah SWT,

"Dia bersamamu di mana saja kamu berada." (QS. al-Hadid: 4)

Apabila kita percaya bahwa Dia ada bersama kita di mana saja kita berada, maka ketika kita turun, Dia ada bersama kita. Padahal, Allah disucikan dari sifat bawah dan turun. Karena, Dia Mahasuci dari sifat "bawah" sebagaimana Dia mahasuci dari sifat "atas". Penisbahan arah kepada­Nya secara seimbang adalah karena Dia tersucikan dari ikatan dengan arah dan karena Dia melingkupinya. Karena itu, disyariatkan bertakbir ketika naik dan bertasbih ketika turun seperti yang diingatkan. Maka pahamilah.

 HADIS KETIGA

Dari Rifa'ah bin Rafi',[14] "Kami melakukan salat bersama Rasulullah saw. Maka ketika beliau mengangkat kepalanya (berdiri) dari rukuk, beliau membaca, 'Sami'allahu Liman hamidahu' (Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Maka seseorang yang berada di belakangnya mengucapkan, 'Rabbana laka al-hamd hamdan thayyiban mubarakan fihi' (Tuhan kami, milik-Mu segala pujian sebagai pujian yang baik dan diberkati). Setelah selesai salat, beliau bertanya,

'Siapakah yang membaca doa tadi?'

Orang itu menjawab, 'Saya.Selanjutnya Rasulullah saw bersabda,

'Aku melihat 37 malaikat saling mendahului untuk menuliskannya."[15]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa syariat dan penyingkapan (kasyf) me­negaskan bahwa tidak ada gambar yang tidak memiliki roh.

Kadang-kadang jejak roh itu tersembunyi di dalam gambar (bentuk) dalam kaitannya dengan kebanyakan manusia. Kadang-kadang pula jejak roh itu tampak kalau roh gambar itu menjadi kuat dengan materi yang berhubungan dengan roh lain. Teks-teks syariat menyebutkan hal itu berulang-ulang di dalam Al-Qur'an dan sunah. Jika engkau tahu ini, maka ketahuilah bahwa gambaran-gambaran dari perbuatan dan perkataan adalah jasad yang tidak naik dan juga tidak tetap kecuali dengan roh-rohnya yang menyertainya. Gambaran-gambaran itu juga dikuatkan dengan roh-roh pelaku per­buatan itu. Niat dan keinginan mereka mengikuti ilmu dan keyakinan mereka yang sahih dan selaras dengan apa yang diperintahkan berupa huruf-huruf dan kata-kata menurut materi dan susunan, khususnya yang muncul dari roh-rohnya dengan perantaraan bentuk-bentuk pelafalan dan penulisan. Kesahihan hal itu dipersaksikan oleh para nabi dan para wali melalui kesaksian yang tak dapat dibantah dan pengalaman yang berulang-ulang.

Jika ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa rahasia sabda Rasulullah saw dalam hadis ini, "Aku telah melihat tiga puluh lebih (bidh’) malaikat berlomba-lomba menuliskannya," yaitu bahwa sekumpulan huruf dari perkataan yang disebutkan orang itu di belakang Nabi saw, yaitu 33 huruf, masing-masing huruf memiliki roh yang memberikan penegas dan pengekal bentuk-bentuk yang dituturkan. Dengan roh-roh itu, gambaran-gambaran tersebut menjadi kekal. Penegasan, kecenderungan diri, dan keinginan para pelaku yang ber­dasarkan ilmu dan keyakinan mereka terangkat dan men­capai tujuan keinginan mereka. Pahamilah rahasia sabdanya ini, "Aku telah melihat tiga puluh lebih malaikat berlomba-lomba menuliskannya." Bilangan bidh' yang pertama ada­lah tiga dan yang terakhir adalah sembilan. Maka kajilah, niscaya engkau mendapat bimbingan, insya Allah SWT.

 HADIS KEEMPAT

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw sedang menunaikan salat. Tiba-tiba datang seseorang dengan nafas terengah-engah. Lalu dia berkata, "Allahu akbar. Al-hamduliliah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (Allah Mahabesar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik, dan mengandung berkah)." Setelah Rasulullah saw menyelesaikan salatnya, beliau bertanya,

"Siapa di antara kamu yang telah meng­ucapkan kata-kata itu?"

Tetapi orang-orang itu diam saja. Maka beliau bersabda,

"Dia tidak mengucapkan kejelekan."

Lalu orang itu berkata, "Saya, wahai Rasulullah. Sayalah yang mengucapkannya." Kemudian Rasulullah saw bersabda,

"Saya melihat dua belas malaikat berlomba-lomba menghampiri ucapan itu untuk mengangkatnya."[16]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Hadis ini adalah seperti hadis sebelumnya, hanya saja di antara keduanya terdapat perbedaan yang tipis. Yaitu, bahwa pada hadis pertama Nabi saw mengemukakan kumpulan kata-kata tersebut. Jumlahnya adalah tiga puluh tiga, se­bagaimana yang telah ditunjukkan dan seperti kesaksian sejumlah malaikat yang merupakan roh huruf-huruf dan kata-kata itu. Di dalam hadis ini huruf-huruf yang diulang-ulang tidak diperhitungkan. Ada dua belas huruf yang tidak diulang-ulang. Maka kajilah, niscaya engkau mendapat bim­bingan.

Di sini terdapat pengertian lain yang harus diperhatikan. Yaitu, para penegas kebenaran (muhaqqiq) yang memahami makna huruf-huruf bersepakat bahwa alif bukan huruf yang sempurna. Karena, ia merupakan bentangan nafas, dan bukan tempat perhentian pada makhraj tertentu. Itu merupakan materi dari seluruh huruf, bukan sebagai satu huruf sem­purna yang tertentu. Huruf sempurna adalah yang tertentu bentuknya di dalam penuturan dan tulisan sekaligus. Se­mentara alif tidak demikian. Bentuk alif hanya tampak pada penulisan, tetapi tidak tampak pada penuturan. Ini adalah kebalikan dari huruf hamzah. Bentuk hamzah tampak pada penuturan, tetapi tidak tampak pada penulisan. Gabungan hamzah dan alif bagi mereka merupakan satu huruf. Karena itu mereka mengatakan, "Alif sendiri, tanpa hamzah, bukan­lah huruf yang sempurna. Jika engkau hilangkan pengulang­an huruf-huruf yang sama pada kalimat ini (yakni Allahu akbar. Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi) dan tanpa menghitung alif, sebagaimana telah dijelas­kan, maka jumlah huruf pada kalimat tersebut adalah dua belas. Tidak kurang dan tidak lebih."

Karena itu, Rasulullah saw melihat malaikat itu ber­jumlah dua belas. Maka pahamilah! Gabungkanlah apa yang saya sebutkan di dalam syarah hadis ini dengan apa yang saya sebutkan pada hadis di atas. Kajilah keduanya, maka engkau beruntung, insya Allah. Jika ada orang mengatakan, "Engkau menetapkan bahwa alif bukan huruf sempurna, demikian pula hamzah. Maka bagaimana dalam hadis per­tama yang di dalamnya disebutkan terdapat tiga puluh lebih  (bidh) malaikat, huruf alif diperhitungkan? Dengannya sempurnalah jumlah yang disebutkan di dalam hadis itu, yaitu dua belas malaikat."

Saya jawab: Ini termasuk sejumlah dalil kesempurnaan kenabian. Nabi kita saw dianugerahi jawami'ul kalam. Di dalam hadis pertama beliau menjaga ketentuan lahir me­nurut keumuman pemahaman dan pemufakatan. Semen­tara pada hadis kedua beliau menjaga ketentuan penegasan (tahqiq) dan pengetahuan yang sempurna, tanpa memper­hatikan pemahaman kebanyakan orang. Yang pertama ada­lah bimbingan bagi orang-orang awam, sementara yang ke­dua adalah peringatan bagi orang-orang tertentu. Maka pahamilah. Di antara yang menguatkan apa yang telah saya sebutkan di dalam penjelasan kedua hadis ini tentang rahasia-rahasia huruf, adalah sabda Rasulullah saw di dalam hadis Muslim melalui periwayatan Abu Umamah, [17] "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Bacalah AJ-Qur'an, karena pada hari kiamat Al-Qur'an datang sebagai pemberi syafaat bagi pembacanya. Bacalah az-Zahrawayn, yakni surah al-Baqarah dan surah Ali Imran, karena pada hari kiamat keduanya datang seperu awan atau seperti dua kawanan burung berbulu yang membela pembacanya.'"[18] Sabdanya,

"... seakan-akan dua kawanan burung berbulu"

merupakan kiasan dari roh gambar-gambar huruf dan kata.

Dua awan merupakan gambaran kesatuan dari masing-masing kedua surah tersebut. Maka ketahui dan kajilah hal itu, niscaya engkau mendapat pemnjuk, insya Allah. Di dalam bab ini, yang pasti engkau tahu bahwa hal itu tercakup dalam tiga bagian:

Pertama, Rasulullah saw mengungkapkan roh-roh se­jumlah huruf zikir yang diucapkan tanpa menghilangkan huruf-huruf yang diulang-ulang.

Kedua, Rasulullah saw menyebutkan jumlah huruf-huruf zikir setelah dihilangkan pengulangan.

Ketiga, diungkapkan jumlah kata, bukan jumlah huruf.

Maka kajilah apa yang saya ingatkan, niscaya engkau tahu bahwa hal itu terbatas pada apa yang saya sebutkan kepadamu. Apabila engkau menelitinya di dalam isyarat-isyarat dari Nabi, maka engkau mendapatinya sebagai pe­negas bagi hukum yang tidak tegas.

Semoga Allah memberi petunjuk.

 HADIS KELIMA

Ditegaskan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Tobat itu memiliki pintu yang lebarnya sejauh perjalanan tujuh puluh tahun. Pintu itu tidak terkunci hingga matahari terbit dari tempat terbenamnya."[19]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Pintu tobat merupakan kiasan dari umur orang-orang mukmin. Pengkhususannya dengan tujuh puluh tahun me­nunjukkan apa yang disebutkan Rasulullah saw di dalam hadis lain, yaitu,

"Umur umatku adalah antara enam puluh dan tujuh puluh tahun."[20]

Adapun sebab disebutnya ihwal lebar, tidak disebutkan panjang, adalah karena lebar selalu lebih pendek daripada panjang. Manusia, sebagaimana dikabarkan oleh al-Haqq, memiliki dua ajal, yaitu ajal yang berakhir dan ajal yang tidak berakhir. Ajal yang berakhir adalah kadar umurnya dalam penciptaan di dunia ini. Sementara ajal yang tidak berakhir adalah ajal rohani yang dikabarkan oleh al-Haqq sebagai sesuatu yang khusus berkenaan dengan kehidupan akhirat, baik di neraka maupun di surga. Di dalam jangka waktunya tidak ada akhir. Hal itu ditunjukkan dengan firman Allah SWT,

"... dan ada lagi satu ajal yang ditentukan di sisi-Nya...."(QS. al-An'am: 2)

Para muhaqqiq terkemuka telah mengetahui hal ini. Karena itu, mereka mengatakan, "Alam ini memiliki panjang dan lebar. Panjangnya adalah alam jisim, sementara lebarnya adalah alam arwah. Adapun rahasia terkuncinya pintu me­rupakan kiasan dari berakhirnya umur." Hal itu ditunjukkan dengan sabda Rasulullah saw,

"Sesungguhnya Allah mene­rima tobat hamba-Nya selama belum sekarat."[21]

Adapun terbitnya matahari di tempat terbenamnya dalam kaitan dengan kejadian manusia merupakan kiasan dari perpisahan roh dari badan. Karena, ketika roh melekat pada badan dan mengaturnya, ia tenggelam di dalamnya, terwarnai oleh aturan-aturannya, dan terikat dengan sifat-sifatnya. Apabila datang kematian, maka kematian itu terbit dari tempat terbenam. Saya tidak mengatakan, "Tidak ada makna hadis ini selain makna tersebut." Melainkan saya katakan, "Karena penciptaan manusia merupakan satu lem­baran dari penciptaan alam dan syariat mengabarkan bahwa matahari akan terbit dari tempat terbenamnya pada saat menjelang datangnya hari kiamat yang merupakan kiasan dari kemauan makhluk yang menerima kematian di alam ini, dan matahari dalam hubungannya dengan jisim alam adalah seperti roh hewani dalam hubungannya dengan jisim manusia, maka mestilah suatu sifat atau hukum alam di luar manusia memiliki bandingan dalam lembaran kemanusiaan. Karena itu, saya ingatkan penjelasan tersebut yang khusus bagi penciptaan manusia karena pengetahuan terhadap sesuatu yang khusus berkenaan dengan manusia adalah penting. Sebaliknya dengan sesuatu yang berada di luar manusia, pada sebagian besar aspeknya tidaklah penting dan tidak perlu. Pahamilah hal itu.

 HADIST KEENAM

Ditegaskan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Barangsiapa bermimpi melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka pada hari kiamat dia akan dibebani dengan ikatan di antara dua tonggak, tetapi bukan dia yang meng­ikatnya."

Di dalam riwayat lain disebutkan: "... di antara dua tonggak dari api,"[22]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa balasan dan hukuman ini muncul dari maqam. keadilan. Hal itu disebabkan alam terbatas dalam bentuk dan makna. Atau katakanlah, dalam jisim dan roh. Alam mitsal (alam pra-eksistensi) adalah barzakh (pe­misah) yang menggabungkan dua sisi itu. Khayalan manusia merupakan bagian dari alam mitsal. Maka yang tersusun di dalam khayalannya adalah dari materi-materi inderawi dan maknawi dengan suatu usaha sebagai bentuk yang tidak pernah dilihatnya. Kemudian ia mengabarkan bahwa ia me­ngetahui itu tanpa usaha. Maka dia telah berbohong dan mengelabui para pendengar bahwa al-Haqq menampakkan hal itu kepadanya. Tidak diragukan, telah diumpamakan baginya alam makna itu dalam bentuk satu tonggak dan alam nyata dalam tonggak yang lain berupa perasaan yang merupakan pengenalan makna dan pengenalan rasa. Dia dibebani untuk mengikat di antara keduanya dengan ikatan yang benar seperti al-Haqq SWT mengikat yang satu ter­hadap yang lain. Tetapi dia tidak mampu melakukannya. Maka dia didustakan dan dilemahkan sebagai balasan yang sesuai baginya.

Pahamilah, semoga Allah memberi petunjuk.

 HADIST KETUJUH

Ditegaskan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Mimpi yang benar adalah yang terjadi pada waktu sahur."[23]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, waktu sahur adalah waktu di akhir malam dan menjelang awal siang. Malam menampakkan kegelap­an, sementara siang adalah waktu penyingkapan dan ke­jelasan, serta akhir perjalanan kegelapan di alam Ilahi, ke­mudian di alam makna (ma'ani) dan roh. Karena waktu sahur merupakan permulaan waktu menjelang kesempurnaan nyata dan terang, mestilah apa yang terlihat di saat itu men­dekati kebenaran. Hal itu ditunjukkan Yusuf as, dengan perkataannya kepada bapaknya,

"... inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu. Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. 9 (QS. Yusuf: 100)

Yaitu, tidak sempurna hakikat mimpi kecuali dengan kemunculannya di dalam rasa. Di dalam rasa terdapat kemunculan maksud dari bentuk-bentuk yang digambarkan, dan menjadi matang buahnya.

Pahamilah hal itu.

 HADIS KEDELAPAN

Dari Anas [24] ra,

"Apabila Rasulullah saw berdoa, beliau meng­angkat kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya itu."

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"Beliau tidak meletakkan kedua tangannya sebelum meng­usapkannya ke wajahnya."

Sementara di dalam beberapa riwayat lain disebutkan,

"Beliau menyuruh para sahabatnya untuk melakukan hal itu dan menganjurkannya."[25]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa manusia di dalam berdoa kepada Tuhannya, dia menghadap kepada-Nya dengan lahir dan batinnya. Untuk itu, disyaratkan kehadiran hati di dalam berdoa, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw,

"Sesung­guhnya Allah tidak menerima doa orang yang lalai." [26]

Se­mentara di dalam riwayat lain disebutkan,

"Sesungguhnya Allah tidak menerima doa dari hati yang lalai,"[27]

Bahkan, Rasulullah mensyaratkan untuk benar-benar menghadirkan hal yang diminta dari al-Haqq ketika berdoa. Karena itu, ketika Rasulullah saw mengajarkan kepada Ali doa ini, yaitu Allahumma ihdini wa saddidni (Ya Allah berilah saya petunjuk dan berilah saya jalan yang lurus), [28]beliau berkata kepada­nya, "Sebutkan petunjukmu sebagai petunjuk jalan dan ke­lurusan sebagai kelurusan tujuan, karena keterkabulan mengikuti penggambaran. Maka orang yang penggambar­annya paling baik kepada al-Haqq, doanya akan terkabul. Keabsahan penggambaran mengikuti ilmu yang benar dan kesaksian (syuhud) yang sahih. Karena itu, Rasulullah saw bersabda,

"Kalau karnu mengenal Allah, niscava doamu dapat menggerakkan gunung." [29]

Tidakkah engkau perhatikan bahwa Nabi saw, karena memiliki makrifat dan syuhud yang sempurna, sebagian besar doanya terkabul. Demikian pula orang yang hampir menyamai makrifatnya, seperti para nabi dan orang-orang yang dijanjikan diterima doanya ketika mereka berdoa. Hal itu ditunjukkan dengan firman Allah SWT,

"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi­mu. " (QS. al-Mu'minun: 60)

Barangsiapa tidak mengetahui dan tidak menghadirkan salah satu aspek kehadiran yang benar, berarti dia tidak berdoa kepada al-Haqq. Karena itu, doanya tidak dikabul­kan. Apabila engkau telah mengetahui hal ini, maka pa­hamilah bahwa tangan yang satu merupakan simbol bahwa orang yang berdoa menghadap dengan lahirnya dan tangan­nya yang lain merupakan simbol bahwa dia menghadap dengan batinnya. Sementara lidah merupakan simbol dari perkataannya dan mengusap wajah adalah untuk memohon berkah dan peringatan akan kembali kepada hakikat yang menggabungkan antara roh dan badan. Itu merupakan kias­an dari eksistensinya yang teguh di dalam ilmu al-Haqq secara azali dan abadi, karena wajah sesuatu adalah hakikat­nya. Wajah inilah yang menampakkan hakikat tersebut. Jika tersingkap bagimu rahasia firman-Nya SWT,

"Tiap-tiap se­suatu pasti binasa kecuali wajah-Nya (Allah), " (QS. al-Qashash: 88)

niscaya engkau mengetahui rahasia lain yang lebih ter­sembunyi daripada ini yang tidak dapat disebarkan kecuali kepada ahlinya. Ini merupakan peringatan bagi orang-orang yang berpikir (ulu al-albab).

Allahlah yang memberi petunjuk.

 HADIS KESEMBILAN

Ditegaskan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Ada tiga orang yang tidak Allah ajak bicara, tidak dipandang, dan tidak disucikan-Nya pada hari kiamat, Bagi mereka azab yang pedih. Mereka adalah raja pendusta, orang tua pezina, dan orang miskin yang sombong."[30]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa dusta dapat dibagi ke dalam dua bagi­an, yaitu dzati dan shifati Shifati terbatas pada dua motif, yaitu raghbah (harapan) dan rahbah (takut). Raja, pada aspek lahir, merupakan tempat bagi raghbah dan rahbah. Dalam hubungannya dengan rakyat, ia tidak takut kepada mereka atau mengharapkan apa yang ada pada mereka, yang mem­buatnya berani berbuat dusta. Apabila raja itu pendusta, maka dia tidak memiliki motif selain mengikuti tabiatnya yang merupakan sifat dzati baginya. Sifat-sifat dzdti bawaan menghasilkan akibat yang sesuai dengannya. Maka pahami­lah.

Adapun orang tua pezina, rahasia di dalam hal itu ada­lah karena zina anak muda itu beralasan. Karena, tabiat mendorongnya memenuhi syahwat. Maka itu bisa dimak­lumi. Bahkan tidak munculnya hal itu merupakan suatu keanehan. Karena itu, Rasulullah saw bersabda, "Tuhanmu merasa heran kepada pemuda yang tidak memiliki hasrat (pada syahwat)." [31] Adapun orang tua, syahwat dan kekua­tannya sudah menurun. Apabila dia menjadi pezina, hal itu hanya disebabkan tabiatnya yang buruk. Dia memiliki watak yang cenderung pada keburukan. Maka hal itu menjadi sifat dzati baginya. Hal itu menghasilkan akibat yang buruk, se­bagaimana telah dijelaskan pada ihwal raja pendusta di atas.

Kesombongan pun terbagi ke dalam dua bagian, yaitu dzati dan shifati. Kesombongan shifati terbatas pada dua motif, yaitu harta dan kedudukan. Kesombongan yang ada di an­tara manusia, kendati jelek menurut akal dan syariat, tetapi bagi pemilik harta dan kedudukan adalah beralasan. Ada­pun orang miskin yang tidak memiliki harta dan kedu­dukan, jika dia bersikap sombong, maka itu tidak beralasan dari sisi mana pun. Jika demikian, maka kesombongannya itu merupakan sifat dzati yang melekat pada dirinya. Tidak diragukan, hal itu menyebabkan akibat buruk sebagaimana ditunjukkan Rasulullah saw.

Pahami dan kajilah rahasia-rahasia ini, maka engkau mendapat petunjuk, insya Allah.

 HADIST KESEPULUH

Ditegaskan di dalam ash-Shahih dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Anak Adam diberi pahala dalam setiap nafkahnya kecuali sesuatu yang diletakkannya dalam air dan tanah."[32]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah bahwa bentuk perbuatan merupakan 'aradh. Sementara jawhar-nya. adalah maksud, ilmu, keyakinan, dan keinginan pelaku perbuatan. Hadis ini, kendati bentuknya bersifat mutlak, namun ada kondisi-kondisi dan hubungan-hubungan yang mengkhususkannya. Misalnya, di dalam membangun mesjid, tempat-tempat yang diwakafkan untuk orang miskin, dan tempat-tempat ibadat, maka tidak diragu­kan bahwa orang yang membangunnya akan diberi pahala. Yang dimaksud di sini adalah bangunan yang dibangun oleh orang dengan tujuan hanya untuk kesenangan dan mencari ketenangan, atau karena riya' dan ingin terkenal. Jika dia bertujuan untuk itu, maka keinginan dan tujuan orang yang membangunnya tidak melampaui dunia ini. Orang yang membangunnya tidak memperoleh buah dan hasil di akhirat. Sebab, apa yang diperbuatnya tidak ditujukan untuk sesuatu yang ada di balik dunia ini. Maka perbuatan-perbuatan n va merupakan 'aradh yang hilang; tidak ada sebab yang dapat membawanya dari sini ke akhirat. Perbuatan-perbuatan itu tidak menghasilkan buah, maka tidak ada pahala baginya. Wallahu a'lam.

HADIS KESEBELAS

Ditegaskan di dalam ash-Shahih bahwa ketika Rasulullah saw duduk di tengah-tengah para sahabatnya, beliau bersabda,

"Kalau saya punya peluru (rashashah) seperti ini (beliau menunjuk pada tengkorak) yang dikirim dari langit, niscaya sampai ke bumi sebelum malam tiba. Kalau itu dikirim dari puncak silsilah, niscaya berjalan selama empat puluh musim gugur, siang dan malam, hingga mencapai dasarnya."

Di­jelaskan di dalam hadis lain, bahwa yang dimaksud dengan dasarnya adalah dasar neraka jahanam.[33]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa pemahaman terhadap rahasia hadis ini dibangun berdasarkan pendahuluan yang ditegaskan syariat dan penyingkapan (kasyf). Yaitu, bahwa langit tujuh merupakan unsur alami yang dapat diciptakan dan dapat rusak. Unsur itu mengalir dan berjalan pada aliran air se­peru minyak. Sabda beliau, "Dari langit ke bumi", maksud­nya adalah langit pertama, dari sinilah bulan mengorbit. Adapun puncak silsilah, permulaannya adalah dari dasar al-Kursiy, karena al-Kursiy adalah tanah surga, dan atapnya adalah 'Arsy. Apabila langit-langit itu berubah dan berjalan dari sejumlah jahanam, maka dinding yang disebutkan se­bagai pagar-pagar di antara surga dan neraka adalah fisik al-Kursiy. Inilah yang di bagian dalamnya, yaitu bagian yang datar, terdapat rahmat, yakni surga. Bagian luarnya, yakni bagian yang dekat pada langit dan bumi, adalah tempat siksaan.

Puncak silsilah, permulaannya adalah dari dasar al-Kursiy yang merupakan dinding. Maksud dari sabda Rasulullah saw ini adalah penjelasan tentang perbedaan jarak. Artinya, jarak yang membentang dari langit pertama ke bumi adalah lebih pendek dibanding jarak yang membentang dari dasar al-Kursiy ke bumi. Perbedaan antara kedua jarak itu adalah menurut ketentuan dan perumpamaan dari Rasulullah saw. Maka pahamilah hal itu, semoga Allah memberi petunjuk.

 

HADIST KEDUA BELAS

Ditegaskan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Sejahat-jahat manusia adalah orang yang membunuh atau dibunuh oleh seorang nabi." [34]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa kebencian dan permusuhan adalah termasuk hal-hal yang dapat membedakan antara satu pihak dari dua orang yang saling membenci dengan pihak lain­nya. Sebagaimana juga motif untuk mencintai merupakan kekuatan hubungan antara dua orang yang saling mencintai sebagai sesuatu yang dapat menyatukan. Jika engkau me­mahami hal ini, maka ketahuilah bahwa para nabi memiliki kemuliaan, ketinggian, cahaya, dan derajat di atas keba­nyakan orang. Derajat-derajat kebanyakan orang ada yang tinggi dan ada yang rendah menurut dekat dan jauhnya dari derajat-derajat para nabi. Maka ada yang dekat dan ada yang lebih dekat, dan ada pula yang jauh dan yang lebih jauh. Orang yang paling rendah derajatnya adalah al-muqabil, karena pemilik ketinggian yang sempurna tidak dapat menerima kecuali orang yang lebih rendah derajatnya. Apabila tempat-nya berada pada maqam al-muqabalah, ia akan sangat me­musuhi yang tinggi. Apabila pertentangan itu sampai pada klimaksnya, maka terjadilah pembunuhan. Sebab, musuh akan berusaha menghilangkan saingannya. Inilah sifat pem­bunuh nabi.

Adapun yang berlaku pada orang yang dibunuh nabi, maka hal itu karena para nabi merupakan wakil al-Haqq dan menifestasi kasih sayang-Nya. Sebab diutusnya mereka adalah karena kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Maka mereka dijadikan berwatak mengasihi makhluk serta diperintahkan membimbing dan membebaskan mereka dari kegelapan kekufuran, kebodohan, dan keraguan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pandangan hati yang sempurna. Sehingga mereka udak membunuh seseorang kecuali setelah berputus asa dari menyelamatkan dan setelah yakin bahwa kehidupan orang itu merupakan penyebab bertambah kesengsaraanya, serta bahayanya akan mengenai orang yang layak memperoleh ketinggian dalam derajat-derajat kebahagiaan. Maka para nabi membunuhnya ber­dasarkan ketentuan-ketentuan kasih sayang juga.

Karena setiap nabi yang diutus merupakan manifestasi sebagian ketentuan-ketentuan kasih sayang, maka risalahnya terikat dan terbatas pada kelompok tertentu saja. Tetapi karena Nabi kita saw merupakan manifestasi dari hakikat kasih sayang, maka pengutusannya bersifat umum. Hal itu disebutkan dalam firman Allah SWT,

"Dan tiadalah Kami mengutusmu melainkan untuk [menjadi] rahmat bagi semesta alam." (QS. al-Anbiya': 107)

Kemunculan kasih sayang-Nya disempurnakan dengan syafaat yang menyebabkan muncul­nya kepemimpinan terhadap seluruh manusia, sehingga orang yang memiliki derajat syafaat dari kalangan malaikat, para nabi, para wali, dan orang-orang mukmin, udak dapat memberi syafaat kecuali setelah syafaatnya. Pahami dan kaji­lah rahasia penjelasan dan sabda Rasulullah saw di dalam hadis yang lafalnya pendek ini berupa rahasia dan faedah yang mengingatkan pada sebagian kesempurnaannya. Se­hingga, tumbuhlah takzimmu kepadanya. Semoga Allah memberi taufik.

HADIS KETIGA BELAS

Dari Abu Malik al-Asy'ari, bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Bersuci adalah sebagian dari iman."

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"Wudu adalah sebagi­an dari iman. Ucapan al-hamdulillah memenuhi timbangan. Ucapan subhana Allah wa al-hamd lillah memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi. Salat adalah nur, sedekah adalah penjelasan, sabar adalah cahaya, dan Al-Qur'an ada­lah hujah baik dan buruk bagimu. Sedap manusia pergi di waktu pagi, lalu menggadaikan dirinya. Maka ada yang membebaskannya dan ada pula yang membinasakannya."[35]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, iman itu memiliki bentuk dan roh. Masing-masing dari keduanya memiliki dua sifat. Masing-masing sifat itu memiliki dua hukum. Dua sifat dari bentuk iman itu dijelaskan di dalam perkataan para ulama, "Iman itu adalah pernyataan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh." Iman memiliki dua syarat maknawi. Pada dua syarat inilah bergantung kebenaran pernyataan dan pengamalan. Dua syarat itu adalah niat dan keikhlasan karena Allah SWT. Dengan niat, ditegaskan ketundukan yang sebenarnya, dan dibedakan antara orang mukmin dan orang munafik. Ke­dua syarat ini memiliki hukum, yang satu berkenaan dengan waktu dan yang lain berkenaan dengan tempat.

Syarat yang berkenaan dengan waktu adalah seperti wakm-waktu salat, puasa, musim haji, dan sebagainya. Sementara syarat yang berkenaan dengan tempat adalah seperti meng­hadap kiblat, kewajiban menghindari salat di tempat-tempat peribadatan orang Kristen atau Yahudi yang bergambar, tempat-tempat bernajis, dan sebagainya. Di dalam haji ter­gabung hukum-hukum waktu dan tempat ini. Maka pahamilah.

Kemudian kita kembali pada perincian hukum-hukum pembenaran lain yang merupakan roh keimanan dan aspek-aspeknya.

Maka saya katakan: Pembenaran keimanan terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, pembenaran dari pemberi kabar yang benar secara universal, baik hal itu melalui sesuatu yang didapat pada dirinya tanpa ada sebab dari luar mau­pun melalui ayat atau mukjizat. Kedua, pembenaran ter­perinci yang menarik hukum terhadap bagian-bagian pe­ngabaran dari pemberi kabar yang benar, serta yang ter­kandung di dalam hal-hal yang telah diputuskan pember­lakuannya. Hal itu mengikuti raghbah dan rahbah sebagai dua motif yang menghadirkan sesuatu yang berkaitan dengan pemberi kabar yang benar melalui pengabaran-pengabarannya berupa perincian janji dan ancaman.

Penghadiran ini memiliki beberapa derajat. Yang paling tinggi adalah maqam keimanan al-hijabi (ketertabiran), se­perti kisah Haritsah[36] bersama Nabi saw yang dimuat di dalam sebuah hadis. Itu adalah maqam hakikat keimanan yang di belakang dan di atasnya terdapat maqam al-'iyan (visi berhadap-hadapan) yang berbeda tingkatan dan derajatnya. Terdapat raghbah dan rahbah yang motifnya adalah ilmu yang teguh dan persekutuan dengan pemberi kabar yang benar dalam mengawasi apa yang dikabarkannya dan tata cara menghasilkan motif-motif raghbah dan rahbah itu. Di dalam hal ini, raghbah bukan lagi menjadi raghbah peng­harapan. Semata-mata ia merupakan usaha dalam memper­oleh kemenangan melalui perintah yang teguh yang wajib diraih. Rahbah-nya pun menjadi khasyyah, bukan khawf. Sebab, khawf merupakan sifat orang yang menjaga diri terhadap kemungkinan terjadinya apa yang disebutkan, seperti ke­adaan orang sakit yang tidak mengenal pengobatan, ter­hadap dokter yang diyakini kompetensi dan pengalamannya dalam pengobatan. Sementara khasyyah merupakan sifat dokter yang mengetahui bahaya makanan dan minuman, mengetahui manfaatnya, dan sebagainya. Hal ini ditunjuk­kan dengan firman Allah SWT,

"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. " (QS. Fathir: 28)

Apabila engkau perhatikan dengan saksama apa yang telah saya jelaskan, niscaya engkau tahu bahwa al-khawf dan at-taqwd mempunyai derajat yang berbeda-beda pada orang yang memilikinya berdasarkan kekuatan menghadirkan rincian-rincian pengabaran dari Nabi dan yang berhubung­an dengan itu berupa janji dan ancaman. Orang yang berani melakukan penyimpangan berarti hanya memiliki pembe­naran secara garis besar, bukan pembenaran yang terpe­rinci. Hal itu ditunjukkan dengan sabda Rasulullah saw, "Pezina, ketika dia berzina, tidak mungkin ia orang yang beriman."[37] Yakni, iman yang sempurna. Maksudnya, sem­purnanya pembenaran bergantung pada gabungan antara pembenaran secara garis besar dan pembenaran yang ter­perinci. Kalau orang yang hendak menyimpang meng hadirkan hukuman yang berhubungan dengan setiap per­buatan dan meyakini berlakunya hukuman itu, maka dia tidak akan melakukan penyimpangan itu; seperti dokter yang berpengalaman yang tidak akan berani memakan racun serta makanan dan minuman yang sangat berbahaya. Orang yang menyimpang hanya melakukan penyimpang­an karena cacat yang ada pada kesempurnaan pembenaran atau penghadiran harapan pada ampunan, tobat, dan per­baikan diri.

Adapun isyarat pada bagian lain yang khusus berkenaan dengan roh keimanan adalah yang disebutkan Haritsah[38] ketika ditanya oleh Rasulullah saw, "Bagaimana engkau me­masuki waktu pagi, wahai Haritsah?" Dia menjawab, "Saya memasuki waktu pagi dalam keadaan sebagai orang mukmin yang sebenarnya." Maka Rasulullah saw bersabda, "Sesung­guhnya setiap kebenaran memiliki hakikat. Lalu apa hakikat keimananmu?" Makna iman, yang merupakan rohnya, ter­bagi ke dalam hak dan hakikat. Ketika itu Haritsah berkata, "Diriku mengetahui dunia, maka sama saja bagiku emas, batu, dan lumpurnya. Seakan-akan aku memandang 'Arsy Tuhanku yang muncul, melihat ahli surga di dalam surga yang mendapat kenikmatan dan ahli neraka di dalam neraka yang mendapat siksaan." Maka Rasulullah saw berkata ke­padanya, "Engkau telah mengetahui, maka lazimkanlah hal itu." [39] Yakni, engkau tahu bahwa syarat sempurnanya keper­cayaan itu adalah menghadirkan apa yang dikabarkan oleh Tuhan dan oleh Nabi secara khusus.

Jika engkau telah memahami apa yang saya ingatkan dalam hadis ini dan penjelasannya, niscaya engkau tahu bahwa sesudah "...seakan-akan aku melihat 'Arsy Tuhan­ku..." hanyalah sesuatu yang berada di atas tingkatan ke imanan. Karena, itu merupakan ilmu yang sempurna dan kesaksian yang nyata. Hal itu ditunjukkan Amirul Mukminin 'Ali ra dengan ucapannya, "Kalau tersingkap tabir, maka bertambahlah keyakinanku." Yakni, kalau terangkat hijab yang menutupi mata dan nurani kebanyakan orang, maka bertambahlah keyakinan, karena hijab tersebut kini telah terangkat dariku. Maka maqam "... seakan-akan aku" adalah barzakh (pemisah) antara kepercayaan secara garis besar dengan penyingkapan 'iydm, dan ilmu syuhudi. Karena, hal itu, seperti yang telah kami katakan, merupakan ungkapan menghadirkan rincian-rincian pengabaran yang membenar­kan perkataan pemberi kabar yang dipercayai dan perumpa­maan segala yang berhubungan dengannya berupa janji dan ancaman serta bagian-bagian dari keduanya yang telali di­sebutkan di atas. Maka pahamilah.

Jika hal ini telah jelas, maka saya katakan bahwa pada sabda Rasulullah saw, "Wudu adalah bagian dari keimanan," maka maksud bagian dari iman adalah dalam hal bentuknya yang telah saya tunjukkan. Karena, hal itu dari satu sisi me­rupakan amalan, dan dari sisi lain merupakan syarat hukum. Dan pada sabdanya al-Hamdulillah memenuhi timbangan," yang dimaksud dengan timbangan (al-mizan) adalah ke­seimbangan pengawasan. Sebab, jenis-jenis pujian kepada al-Haqq terbatas pada dua pokok, yaitu as-salb (negatif) dan al-itsbat (positif). Penyucian hanya menghasilkan penafian, karena hal itu bukan merupakan hal-hal yang bersifat eksis­tensial. Maka penyucian memenuhi sesuatu, berbeda dengan sifat-sifat substantif Al-Hamd, pujian dengan sifat substantif, memenuhi timbangan akal, serta dengannya sempurna burhdn (bukti) dan ta nf (pemberian pengetahuan). Sabdanya "Subhdna Allah wa al-hamd lilldh memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi," karena kedua kalimat ini men­cakup kesempurnaan pujian dan pengenalan terhadap sifat-sifat dzatiyyah dan 'aqliyyah yang pengaruh-pengaruhnya tampak di langit dan bumi, serta di antara keduanya.

Rahasia dalam sabda Rasulullah saw "Salat adalah nur," adalah bahwa orang yang menegakkan salat menghadap dan bermunajat kepada Tubannya. Rasulullah saw bersabda, "Apabila hamba menegakkan salat, maka Allah menghadap­kan wajah-Nya kepadanya." Allah adalah nur dan hakikat hamba adalah kegelapan. Maka jika zat gelap dihadapkan pada zat yang bercahava dengan arah yang benar, maka ia memperoleh cahaya zat yang bercahaya itu. Tidakkah engkau lihat bulan yang zatnya merupakan benda hitam yang gelap dan licin, bagaimana ia memperoleh cahaya dari matahari dengan menghadap padanya? Bagaimana ia berbeda-beda dalam memperoleh cahaya matahari itu, berdasarkan per­bedaan dalam menghadapnya. Apabila menghadapnya itu sempurna dan benar, sempurnalah perolehan cahayanya.

Apabila engkau memikirkan apa yang saya ingatkan, niscaya engkau tahu perbedaan langkah-langkah orang-orang yang menegakkan salat di dalam salat mereka. Selain itu, engkau akan tahu satu sisi dari rahasia sabda Nabi saw,

"Di­jadikan penyejuk mataku di dalam salat."[40]

Engkau pun akan tahu rahasia yang terkandung di dalam sabdanya ketika beliau memerintahkan sahabatnya untuk meluruskan baris­an (salat berjamaah),

"Saya melihatmu dari belakang pung­gungku seperti saya melihat di hadapanku."[41]

Hal ini khusus di dalam salat.

Tidak disebutkan bahwa hal ini terjadi di dalam segala keadaan. Melainkan hal itu hanya disebutkan ketika salat. Maka perhatikanlah.

Hal itu merupakan berkah dari kesahihan penghadapan yang sempurna yang diperoleh karena cahaya al-Haqq me­ratai seluruh arahnya. Jika engkau dikarunia apa yang saya sebutkan itu dan diberikan, pemahaman sebagai penying kapan yang nyata, niscaya engkau tahu rahasia firman-Nya,

"Allah adalah cahaya langit dan bumi. " (QS. an-Nur: 35)

Dan bagi-Nyalah keagungan di langit dan di bumi. Dialah Yang Maha Perkasa dan Mahabijaksana. (QS. al-Jatsiyah: 37)

Maka pahamilah.

Sabda Rasulullah saw,

"Sedekah adalah burhan"

rahasia­nya adalah bahwa sedekah merupakan bukti atas keteguhan orang yang bersedekah terhadap keberadaan akhirat dan balasan-balasan yang dicakupnya. Karena, harta itu disukai oleh jiwa yang tercelup oleh kekhususan-kekhususan tabiat. Seseorang tidak akan mendermakan hartanya selama ia tidak percaya akan memperoleh manfaatnya setelah itu berupa buah dari apa yang telah didermakannya dan memperoleh penggantian. Atau, dia mendapat keselamatan dari bahaya yang mengancamnya disebabkan perbuatan yang berhu­bungan dengan hukuman. Dikabarkan bahwa sedekah dapat menolak kejahatan perbuatan tersebut, karena sabdanya,

"Sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Tuhan."

Di dalam hadis lain beliau bersabda,

"Takutlah pada api neraka walaupun dengan [mensedekahkan] sebiji kurma." [42]

Dan hadis-hadis lainnya yang telah disebutkan berulang-ulang.

Sabdanya

"Kesabaran adalah pancaran cahaya,"

rahasia­nya adalah bahwa kesabaran itu menahan diri dari keluhan. Tidak diragukan bahwa menahan diri dari keluhan adalah menyakitkan jiwa. Tidak ada keraguan bagi para muhaqqiq, melalui pengalaman yang berulang-ulang dan ilmu yang teguh, bahwa penderitaan-penderitaan jiwa dapat mema­damkan nyala kekuatan tabiat dan menghidupkan kekuatan rohani yang menyebabkan pencerahan batin. Karena itu, kesabaran dijadikan sesuatu yang menghasilkan pancaran yang merupakan campuran cahaya dengan kegelapan, se­bagaimana telah saya jelaskan di dalam Tafsir Surah al-Fatihah. an-Nafhat al-Ilahiyyah, dan Fakk Khutum al-Fushush (karya penulis). Berbeda dengan salat yang dikatakan Rasulullah saw,

"Salat adalah cahaya,"

karena yang saya ingatkan ke­padamu adalah tentang rahasia penghadapan, peresapan, serta memberikan perumpamaan dengan matahari dan bulan. Sebab, esensi bulan bukan campuran dengan matahari, se­hingga yang dihasilkan dari keduanya dinamakan pancaran. Karena itu, al-Haqq menamai bulan sebagai cahaya; tidak demikian dengan matahari, karena matahari menyerupai lampu besar bagi segenap karena keberadaannya sebagai suatu pancaran dari pohon yang penuh berkah yang di­nafikan dari segala arah. Ia menghimpun segala nama dan sifat. Sedangkan yang disebutkan dalam ihwal kesabaran adalah pencerahan yang dihasilkan dari percampuran an­tara kekuatan tabiat dengan kekuatan dan sifat rohani. Menang dan kalah terjadi di antara kedua campuran itu.

Adapun sabdanya

"Al-Qur'an adalah hujan baik dan buruk bagimu,"

maka yang dimaksud hujan adalah dalil dan bukti keabsahan dakwaan. Oleh karena itu, orang yang beriman meyakini bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah, diturunkan dari sisi-Nya, dan manifestasi ilmu-Nya yang mencakup ber­bagai penjelasan mengenai ihwal makhluk dalam hal ke­dudukan mereka di sisi-Nya, mengenai bentuk-bentuk hubungan-Nya terhadap mereka, dan mengenai ihwal se­bagian mereka terhadap sebagian yang lain. Ia juga me­ngembalikan penakwilan rahasia-rahasia yang tidak diketa­huinya kepada-Nya. Ia juga mematuhi perintah dan larang­an yang ada dalam Al-Qur'an disertai beradab dengan adab­Nya dan berakhlak dengan akhlak-Nya tanpa syak dan ke­raguan. Barangsiapa yang ihwalnya demikian, maka Al-Qur'an menjadi hujah dan saksi yang baik baginya. Tetapi jika ihwalnya tidak demikian, maka Al-Qur'an menjadi hujah yang buruk baginya.

Adapun sabdanya,

"Setiap manusia pergi pagi, lalu meng­gadaikan dirinya. Maka dia membebaskan atau membinasa-kannya,"

di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang mulia. Beliau mengingatkan suatu rahasia sebagai penafsiran ter­hadap firman Allah SWT,

"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat­nya." (QS. al-Baqarah: 148)

Karena itu, beliau bersabda,

"Setiap manusia pergi pagi."

Beliau benar karena peng­kajian yang teliti memahamkan kepada kita bahwa di dalam eksistensi seseorang tidak ada perhentian. Melainkan setiap orang berjalan menuju tingkatan yang ditakdirkan al-Haqq sebagai tujuannya. Tingkatannya itu bisa berupa kekurang­an dan penderitaan, bisa juga berupa kebahagiaan yang me­rupakan kesempurnaan relatif atau kesempurnaan hakiki, dan memperoleh pengungkapan-diri yang abadi yang tidak ada hijab sesudahnya. Tidak ada yang menetap bagi orang-orang yang sempurna selam-Nya. Itulah yang ditunjukkan Rasulullah saw dengan sabdanya,

"Sekelompok ahli surga tidak tertabir dan tidak terhijab dari Tuhan." [43]

Beliau pun menyebutkan di dalam doanya,

"Dan aku memohon kepada­Mu kelezatan memandang wajah-Mu yang mulia selalu dan selamanya tanpa ada kesengsaraan yang membahayakan dan udak ada fitnah yang menyesatkan."[44]

Kesengsaraan yang membahayakan adalah memperoleh hijab setelah tampak, atau tampak dengan sifat yang me­nyebabkan terlepasnya hijab. Sementara fitnah yang me­nyesatkan adalah setiap keraguan yang menyebabkan cacat dan kekurangan dalam ilmu dan syuhud (kesaksian). Sabda­nya

"maka dia menggadaikan dirinya"

adalah yang ditimbul­kan di dalam perjalanannya ke tujuan yang merupakan hasil kekuatan roh dan akibat zamannya, serta ihwalnya, sifat-sifatnya, perbuatan-perbuatannya, dan perkembangan di dalam penciptaannya. Kalau diperoleh keutamaan dan sampai pada kesempurnaan relatif dalam beberapa derajat keba­hagiaan atau sampai pada kesempurnaan hakiki tersebut, maka dia telah membebaskan dirinya dari jurang kebinasa­an, dari penjara belenggu imkaniyyah, dan dari hijab ke­gelapan. Maka dia dicerahkan dengan ilmu yang teguh dan amal saleh yang menghasilkan kebaikan yang didamba. Kalau tercegah apa yang saya sebutkan, maka dia membinasakan dirinya. Dia menyia-nyiakan umur dan ilmunya. Maka dia gagal dan merugi. Kita memohon kepada Allah perlindung­an dan kesehatan bagi kita dan bagi semua saudara kita. Amin.

Inilah makna hadis yang komprehensif ini. Maka kajilah dan teruslah memperhatikannya sehingga engkau dapat memandang selintas apa yang dikandungnya berupa ilmu, rahasia, dan nasihat. Niscaya engkau memperoleh ilmu yang lain, insya Allah.

HADIS KEEMPAT BELAS

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Tidak ada di antara pasukan yang berperang dijalan Allah, lalu mereka selamat dan memperoleh harta rampasan perang (ghanimah) kecuali disegerakan dua pertiga pahalanya. Dan tidak ada di antara pasukan yang gagal, takut, dan menderita keke-lahan kecuali disempurnakan pahala mereka."[45]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah bahwa yang dinamakan manusia dalam pe­ngertian umum adalah kumpulan jisim alaminya (jasmani­nya), nafsu hewaninya, dan rohnya yang mengatur rangka­nya. Maka setiap perbuatan yang muncul adalah dari semua hal tersebut. Karena, masing-masing dari tiga hal itu me­miliki andil dan bagian dalam perbuatan. Ketika seorang mujahid dijalan Allah memperoleh harta rampasan perang dan keselamatan, maka dia telah memperoleh bagian jas­maninya (fisiknya). Itu adalah yang dimanfaatkannya berupa makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Nafsu hewani­nya pun mendapat apa yang diperolehnya berupa kelezatan kemenangan atas musuh, melakukan pembalasan terhadap­nya, dan sebagainya berupa keuntungan-keuntungan hewani. Maka tidak tersisa baginya selain yang dikhususkan bagi rohnya yang berpisah dari badannya sebagai balasan dari keimanannya, dan niat serta maksud yang benar berupa permusuhan (terhadap musuh) yang dilakukannya untuk mencari rida Allah, kecintaan untuk meninggikan kalimat­Nya, menundukkan musuh-Nya, dan melaksanakan perintah-Nya. Ketika dia selamat dan memperoleh harta rampasan perang, dia udak memperoleh dari jihadnya bagian rohnya kecuali bila dia menghadirkan dalam dirinya kebenaran janji al-Haqq yang mengabarkan hal itu. Itu merupakan hal yang menyertai setiap orang yang beriman. Maka jelaslah apa yang saya telah sebutkan bagi seuap orang yang meng­amati bahwa pahala para mujahid terbagi—sebagaimana kami telah tunjukkan—ke dalam tiga bagian. Selain itu, orang-orang yang selamat dan memperoleh harta rampasan di antara mereka, telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Maksudnya, dua bagian dari tiga bagian. Kedua bagian itu merupakan bagian jasmaninya dan bagian nafsu hewaninya. Tersisa bagi mereka bagian roh mereka yang tersimpan di akhirat, berbeda dengan pasukan yang gagal dan mengalami kekalahan.

Karena itu, beliau saw bersabda,

"Disempurnakan pahala mereka."

Ingatlah rahasia-rahasia yang terpendam di dalam isvarat-isyarat kenabian, maka engkau tahu bahwa beliau saw itu

"tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. " (QS. an-Najm: 3)

Selain itu, engkau akan tahu bahwa isyarat-isyaratnya meliputi pokok-pokok ilmu. Orang yang Allah udak tampakkan padanya ilmu tersebut bukan­lah termasuk para pewarisnya dan bukan pula termasuk orang-orang yang mengetahui syariatnya. Melainkan dia hanya pemelihara dan penukil bentuk-bentuk hukum lahir syariatnya tanpa mengetahui maksudnya, rahasia pember­lakuannya, dan kandungannya berupa ilmu dan hikmah. Maka pahami dan renungkanlah.

Wal-hamd lillah.

HADIS KELIMA BELAS

Dari Anas bin Malik dari Nabi saw, beliau bersabda,

"Ketika Dia menciptakan bumi, dijadikan bumi itu berputar. Lalu Dia menciptakan gunung di atasnya, maka bumi itu menjadi diam. Maka para malaikat merasa kagum terhadap kekuatan gunung. Mereka bertanya, 'Wahai Tuhan, apakah ada di antara makhluk-Mu yang lebih kuat daripada gunung?' Allah menjawab, 'Benar, yaitu besi.' Mereka bertanya lagi, 'Wahai Tuhan, apakah di antara makhluk-Mu ada yang lebih kuat daripada besi?' Allah menjawab, 'Benar, yaitu api.' Mereka bertanya lagi, 'Wahai Tuhan, apakah ada di antara makhluk-Mu yang lebih kuat daripada api?' Dia menjawab, 'Benar, yaitu air' Mereka bertanya, 'Wahai Tuhan, adakah di antara makhluk-Mu yang lebih kuat daripada air?' Dia menjawab, 'Benar, yaitu angin.' Mereka bertanya lagi, 'Wahai Tuhan, adakah di antara makhluk-Mu sesuatu yang lebih kuat daripada angin?' Dia menjawab, 'Benar, yaitu anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya, semen­tara dia menyembunyikan tangan kirinya.'"

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"... lalu dia menyem­bunyikannya dari tangan kirinya."[46]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah bahwa keunggulan kekuatan besi atas gunung adalah jelas. Demikian pula kekuatan api, karena api dapat melelehkannya dan menghilangkan kekerasan dan kekuat­annya. Seperti itu pula kecenderungan kekuatan air atas api, karena air dapat memadamkan api. Demikian pula halnya dengan kekuatan angin, karena angin dapat menyerakkan air dan menjadikannya berombak. Rahasia tersembunyi yang tidak dipahami oleh sebagian besar makhluk adalah mengetahui sebab keunggulan kekuatan manusia atas ke­kuatan angin dan hikmah pengilhaman pertanyaan ini oleh aI-Haqq kepada para malaikat. Maka saya katakan: Manusia memiliki kanan dan kiri yang bersifat lahiriah. Keduanya adalah tangan jasmaninya. Dia pun memiliki kanan dan kiri yang bersifat batiniah. Keduanya adalah rohani dan tabiat­nya. Syariat telah menjelaskan hal tersebut. Itu ditunjukkan dengan firman Allah SWT,

"... padahal bumi seluruhnya dalam genggamannya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. " (QS. az-Zumar: 67)

Karena langit me­rupakan tempat roh, maka ia tampak dari al-Haqq. Dengan perantaraannya, hubungannya terhadap alam arwah men­jadi lebih kuat Maka Allah SWT menisbahkannya pada tangan kanan-Nya, dan menghubungkan bumi dan seisinya berupa bentuk-bentuk fisik pada tangan yang lain. Dia mengibarat­kannya dengan genggaman. Di dalam Jami'al-Ushul, juga di dalam sebuah hadis sahih, disebutkan penjelasan dengan lafal asy-syimal (kiri) dan penisbahannya kepada al-Haqq dengan pengertian ini. Apabila ini telah jelas, maka pahami­lah rahasia sabda Rasulullah saw yang merupakan periwayat­an dari Tuhannya 'Azza wa Jalla,

"Dia bersedekah dengan tangan kanannya, lalu menyembunyikannya dari tangan kirinya."[47]

Itu agar menjadi motif baginya untuk bersedekah se­bagai motif rohani dan rabbani serta sekaligus terlepas dari hukum-hukum alami (tabiat). Ini sulit sekali. Kesulitannya karena manusia merupakan gabungan dari sifat rohani dan sifat jasmani. Gabungan di antara kedua sifat itu benar-benar lekat.Barangsiapa yang kuat rohaninya hingga mem­binasakan kekuatan dan sifat jasmaninya di dalam kerohani-annya, dimana dia dapat menggunakan rohaninya tanpa dicampuri jasmaninya, maka ia berada di puncak kekuatan. Bahkan dengan demikian ia mengungguli kebanyakan malaikat. Karena, luputnya perbuatan-perbuatan malaikat dari sifat-sifat alami (jasmani) merupakan wataknya, se­hingga tidak dianggap aneh dan hebat, karena tidak ada hal yang menentangnya.

Adapun di sini (pada manusia), penentangan muncul dari kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat jasmani. Kekuasaan jasmani itu kuat sekali. Bagaimana tidak, roh manusia hanya tetap setelah terjadi percampuran dengan sifat alami dan memenjarakannya. Kekuasaan roh dan sifat-sifatnya yang berkaitan dengan tangan kanan manusia yang bersifat maknawi tidak dapat mengalahkan kekuatan jasmani yang memiliki sisi kiri, di mana sejumlah perbuatan kerohani-annya dapat bebas dari campuran alami (tabiat) dan hukum-hukumnya—walaupun tetap terjadi ikatan-ikatan dan percampuran-percampuran antara sifat-sifat rohani dan alami—kecuali dengan dorongan rabbani dan kekuatan yang agung, sebagaimana telah ditunjukkan. Maka pahamilah, niscaya engkau mendapat petunjuk. Insya Allah.

HADIS KEENAM BELAS

Muslim dari Abu Sa'id[48] berkata: Rasulullah saw bersabda,

"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam secara setimbang dan tunai. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka dia telah memperbuat riba. Yang mengambil dan yang memberi di dalam hal itu sama saja."[49]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa tema riba berkisar pada dua pokok, yaitu sifat dan waktu. Saya akan jelaskan rahasia keduanya, dengan pertolongan Allah SWT. Diawali dengan menye­butkan rahasia sifat-sifat itu, lalu akan dijelaskan rahasia waktu tersebut. Maka saya katakan: Tidak diragukan bahwa segala sesuatu yang bersifat riba yang mensyaratkan adanya pemeliharaan kesamaan dalam timbangan dan takaran, tanpa ada penambahan, adalah jisim-jisim yang terbentuk dari jawhar yang diikuti 'aradh. Juga tanpa diragukan me­ngenai ketinggian martabat jawhar atas martabat 'aradh. Karena di dalam eksistensi, 'aradh mengikuti jawhar.

Benda-benda yang bersifat riba ini dalam esensinya adalah sama, tetapi dalam sifatnya berbeda. Apabila tidak disyaratkan kesamaan di antara keduanya di dalam jual beli, maka penambahan esensial adalah untuk membayar sifat aksidental. Contohnya, seseorang membeli satu mudd gandum putih atau yang besar bulirannya dengan dua mudd gandum coklat atau yang kecil bulirannya. Maka tambahan satu mudd jenis kedua adalah sebagai pembayaran terhadap sifat putih. Hal itu benar-benar merupakan kelaliman. Karena, dia menyamakan antara jawhar dan 'aradh di dalam keuta­maan dan hukum. Itu tidak dibenarkan. Maka pahamilah.

Kiaskan pada hal itu benda-benda bersifat riba lainnya, seperti kurma dan garam. Karena, benda-benda itu tidak mengungguli benda lain yang semisalnya kecuali karena keutamaan, rasa, dan warna. Semua itu merupakan 'aradh. Menyamakan antara jawhar dan 'arah tidaklah dibenarkan. Karena itu, riba menjadi haram. Demikian halnya di dalam emas dan perak. Penambahan dan pengutamaan tidak ter­jadi kecuali karena bentuk dan macamnya. Itu pun merupa­kan 'aradh. Pahamilah hal itu.

Adapun rahasia pengharaman riba dalam hal waktu, karena pinjaman seratus dinar, misalnya, setelah satu tahun harus dibayar 120 dinar, sehingga dua puluh dinar itu hanya untuk membayar jangka waktu satu tahun. Maka seakan-akan dia menjual waktu satu tahun dengan harga dua puluh dinar. Padahal waktu tertentu itu tidak diadakan (diciptakan) dan tidak dimiliki oleh kreditur sehingga dia boleh menjualnya. Karena, waktu adalah milik Allah dan dengan hukum Allah, bukan dengan hukum selain-Nya. Untuk meng­hindari hal tersebut, maka disyaratkan di dalam jual beli agar dilakukan secara tunai. Hal itu dimaksudkan untuk menyempurnakan kesamaan. Agar diperoleh kesamaan dalam hal waktu seperti halnya pada kuantitas barang yang dijual. Karena, kalau tidak begitu, maka penambahan di dalam penjualan kredit dibolehkan sebagai kompensasi terhadap penangguhan waktu pembayaran.

Apa yang telah disebutkan itu berkenaan dengan pinjam­an dan laba tertentu atas pembayaran waktu. Maka ketahui­lah hal itu, dan kajilah. Jika engkau mengkajinya dengan benar, dan terutama jika ditambahkan dengan apa yang telah saya jelaskan di dalam hadis pertama yang mengan­dung penjelasan hukum-hukum kesucian dan najis, niscaya engkau tahu sebagian besar rahasia pengharaman dan penghalalan. Selain itu, engkau perhatikan bahwa hukum-hukum yang disyariatkan berlaku berdasarkan prinsip-prinsip eksistensi, hukum-hukum Ilahi, dan hukum-hukum alam.

HADIS KETUJUH BELAS

Dari Asma' binti Yazid [50] bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Nama Allah yang teragung terdapat di dalam dua ayat berikut: Pertama, wa ilahukum ilah wahid la ilaha illa huwa ar-Rahman ar-Rahim (dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.) (QS. al-Baqarah: 163) Kedua, pembuka surah Ali Imran: Alif lam mim. Allah la ilaha illa huwa al-hayy al-qayyum (Alif lam mim. Allah, tidak ada tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia. Yang Hidup, Kekal lagi terus-menerus mengurus makhluk-makhluk-Nya.) (QS. Ali Tmran: 1-2)

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"Nama Allah yang ter­agung adalah di awal surah Ali Tmran dan awal surah al-Hadid."[51]

Dari Buraydah[52] bahwa Rasulullah saw mendengar se­seorang mengucapkan,

Allahumma inni as'aluka bi anni asyahadu annaka anta Allah. La ilaha illa anta. Al-Ahad ash-shamad al-ladzi lam yalid wa lam yulad wa lam yakun lahu kufuwwan ahad

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar dapat bersaksi bahwa Engkau adalah Allah. Tiada Tuhan selain Engkau, Yang Maha Esa dan tempat bergantung, Yang dada beranak dan tiada pula diperanak­kan, dan dada seorang pun yang setara dengan-Nya).

Maka beliau bersabda,

"Demi yang diriku dalam kekuasaan-Nya, dia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang teragung [al-ism al-a'zham) yang apabila Dia dimohon dengannya, niscaya Dia mengabulkan; dan jika Dia diminta dengannya, niscaya Dia memberi."

Di dalam hadis dari Anas disebutkan bahwa seseorang sedang menunaikan salat di dalam mesjid. Lalu dia berdoa dengan mengucapkan

Allahumma inni as'aluka bi anna laka al-hamd. La ilaha illa anta al-mannan, badi’ as-samawat wa al-ardh dzu al-jalal wa al-ikram. Ya hayyu, ya qayyum (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa segala puji­an adalah milik-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau Yang Maha Pemurah, Pencipta langit dan bumi, Pemilik keagungan dan kemuliaan. Wahai Yang hidup kekal dan terus-menerus mengurus makhluk-makhluk-Nya).

Maka Rasulullah saw. bersabda seperti pada hadis di atas.[53]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, sebelum memulai penjelasan hadis ini dan mengungkap rahasia-rahasia yang dikandungnya, haruslah didahului dengan mukadimah universal yang menjadi asas dan kunci untuk memahami apa yang akan disebutkan ke­mudian. Mukadimah itu pun perlu untuk membantu meng­ungkap tingkatan nama-nama Ilahi dan perbedaan derajat-derajatnya berdasarkan tindakan (afal), sifat, hubungan, dan keterkaitannya. Maka saya katakan: Yang dipahami dari kesaksian sempurna dan paling tinggi serta makrifat yang pasti terhadap ihwal al-Haqq dari semata-mata zat-Nya ada­lah, dengan kemudakannya, zat-Nya udak tertentu dengan penafian, peneguhan, gabungan antara penafian dan pe­neguhan, atau terbatas pada gabungan itu saja, serta sifat-sifat lainnya seperti terpikirnya (terpahaminya) tuntutan penciptaan atau lainnya. Sebab, ihwal zat-Nya udak terbatas pada sesuatu dari itu semua dan juga dari yang lainnya. Melainkan hal itu memiliki realisasi (tahaqquq) dan pene­rimaan adz-Dzdt terhadap semua itu dan juga kebalikannya berupa hukum-hukum dan sifat-sifat.

Semua itu satu makna dan dari sudut penampakan yang mencakup seluruh entitas, nama, sifat, hubungan, keterkait­an, dan berbagai sisi. Hubungan kesatuan dan kemajemuk­an kepada penampakan itu adalah sama. Sebab, kesatuan dan kemajemukan adalah cabang darinya. Tidak ada batas­an, kepastian, dan juga penyucian terhadap masa, dari satu sisi. Yang pasti, kesemuanya itu adalah utuh, tidak terbagi. Allah SWT telah mengingatkan prinsip ini di berbagai tempat di dalam Kitab-Nya. Misalnya, firman-Nya,

"Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." (QS. al-Hadid: 4)

Juga firman­nya,

"Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam ke­raguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. " (QS. Fushshilat: 54)

Allah mengingatkan bahwa Dia meliputi zat-zat lahir seluruh atom. Tidak ada yang lebih kecil dari itu. Demikian pula batinnya, karena segala sesuatu adalah dalam perhitungan-Nya. Tidak ada keraguan terhadap yang disertai-Nya ketika terikat dengan adz-Dzat. Sebab, yang disertai itu menyertai-Nya melalui ikatan. Karena itu, Dia berfirman,

"... di mana saja kamu berada. "

Hanya saja, Dia tidak terbatas padanya dan Udak pula pada selainnya. Karena itu saya kata­kan, "Al-Haqq di dalam setiap yang tertentu adalah tertentu dan mutlak tanpa tertentu." Berkenaan dengan ini, Allah SWT berfirman,

"Tiada pembicaraan rahasia antara tiga arang, melainkan Allah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara] lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. " (QS. al-Mujadilah: 7)

"Yang keenam" adalah tertentukan tanpa batas, dan dada batasan dalam menyertai "yang lima" dengan hitungan mereka, sebagaimana telah dijelaskan. Dari aspek ini, benar-benar tidak mungkin mengetahui esensi-Nya. Allah SWT berfirman,

"... sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu­Nya. "(QS. Thaha: 110)

Allah tidak menafikan pengetahuan terhadap-Nya. Sebab, Dia diketahui dan disaksikan di dalam hal entitas-Nya. Allah hanya menafikan pengetahuan yang komprehensif. Hal itu adalah dari segi kemudakan-Nya dan ketiadaan batasan-Nya. Di mana ketika Dia diketahui, dari sisi ini, maka Dia seolah-olah diketahui dengan pengetahu­an yang sempurna. Inilah yaug tidak mungkin. Terhadap hal ini, Nabi kita saw, yang merupakan makhluk paling sempurna, mengisyaratkan makrifat kepada Allah di dalam doa dan munajatnya. Pada akhir doa dan pujiannya, beliau berkata,

"Aku tidak dapat membilang pujian pada-Mu dan aku tidak dapat melampaui setiap yang ada pada-Mu."[54]

Maka beliau menafikan pengetahuan yang komprehensif, tetapi beliau tidak menafikan makrifat. Orang yang berpikir mengetahui bahwa di dalam hal ini tidak mungkin meletak­kan nama, di mana nama tersebut menunjukkan inti hakikat­nya secara sempurna, sehingga tidak dipahami dari nama ini selain inti zat-Nya tanpa mengandung makna tambahan berupa penyifatan dan hukum, atau martabat dan pandang­an. Ini adalah mustahil. Maka hendaklah engkau ketahui bahwa makna-makna yang dikandung oleh ungkapan-ungkapan itu, walaupun cakupannya lebih luas dari ungkapannya, tetapi dalam hal kaitannya dengan bentuk-bentuk, ungkapan itu terikat dengan ikatan tambahan dengan batasannya, yang membedakan sebagian makna dari sebagian yang lain. Tidak ada ungkapan selain memberi ketentuan (batasan). Padahal, kemudakan aI-Haqq adalah dalam hal tak tertentu, sehingga udak ada nama, sifat, hukum, dan sebagainya.

Kemudian, ketahuilah bahwa pengertian komprehensif dari konsep seluruh makna seluruhnya memiliki hubungan dengan makna seperti hubungan genus pada species dan person. Di sini terdapat rahasia lain yang mulia. Yaitu, bahwa makna segala sesuatu dalam hubungannya dengan setiap orang yang mengetahuinya adalah terhenti pada apa yang diketahuinya tentang sesuatu itu. Hal itu bisa terjadi baik karena ketakberdayaan yang dirasakannya maupun karena dugaannya bahwa dia telah sampai pada puncak dari pe­mahaman (pengenalan) tentang sesuatu tersebut Jadi, makna-makna tidak terlepas dari keterikatan, dan juga tidak me­lampaui bentuk-bentuk batasan, sebagaimana telah dijelas­kan. Maka orang yang mengetahui ungkapan itu adalah melalui cara pertama karena lingkupnya yang lebih sempit dan lebih terbatas.

Bagaimana mungkin seorang berakal mengetahui bahwa Allah SWT memiliki nama teragung, dalam arti, keagungan­nya berlaku disebabkan menunjukkan zat-Nya dengan pe­nunjukan yang sesuai berdasarkan sisi yang telah disebut­kan? Hanya saja, engkau harus tahu—walaupun sulit— bahwa Dia memiliki nama-nama teragung di dalam martabat tindakan, sifat, hubungan, keterkaitan, dan hukum-hukum Ilahi yang diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan itu. Inilah yang dimaksud dalam hadis-hadis Nabi menurut raha-sia-rahasianya yang saya akan jelaskan kepadamu, insya Allah.

Nama-nama Ilahi, dari satu sisi pembagiannya, terbagi ke dalam lima bagian. Satu bagian di antaranya tidak masuk dalam pelafalan dan tulisan. Saya akan menyebutkannya setelah menyebutkan empat bagian yang lain. Yang empat bagian itu adalah: Pertama, pintu-pintu kegaiban yang di­tunjukkan di dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman,

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. " (QS. al-An'am: 59)

Ini pun me­miliki lima martabat. Yaitu, kehadiran yang gaib yang me­liputi makna-makna yang lepas dari objek dan hakikat, dan bentuk segala sesuatu di dalam ilmu al-Haqq. Kebalikannya adalah kehadiran yang nyata. Di antara keduanya ada alam pra-eksistensi ('alam al-mitsal) yang mutlak. Ia memiliki per­tengahan (al-wasth). Sementara roh-roh berada di antara pertengahan dan yang gaib. Karena hubungannya dengan yang gaib adalah lebih kuat. Sedangkan alam pra-eksistensi yang terikat berada di antara pertengahan dan alam nyata, karena hubungannya dengan alam nyata lebih kuat. Maka setiap martabat selain ini merupakan ikutan dan cabang dari cabang-cabang universal yang lima ini. Maka pahamilah.

Adapun firman-Nya,

"... tidak ada yang mengetahuinya selain Dia, "

ditafsirkan bahwa tidak seorang pun mengetahui zat-Nya kecuali Dia. Namun kadang-kadang hal itu diketahui dengan pemberitahuan dari Allah. Hal itu diketahui oleh hamba-hamba Allah yang kepadanya hal itu Allah tampak­kan. Hal itu saya temukan lebih dari satu orang dari ahli Allah, seperti saya lihat sekumpulan orang yang mengetahui kapan dan di mana mereka akan mau. Mereka mengetahui apa yang terdapat di dalam rahim ketika seorang perempuan hamil. Bahkan, demi Allah, mereka pun mengetahuinya sebelum kehamilan. Padahal, Rasulullah saw bersabda di dalam hadis mengenai hari kiamat ketika ditanya tentang hal itu,

"Itu salah satu dari lima kegaiban yang tidak dike­tahui kecuali oleh Allah."

Kemudian beliau membaca ayat:[55]

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui [dengan pasti] apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal. (QS. Luqman: 34)

Ketika dapat diperoleh ilmu mengenai sebagian hal itu, atau sebagian besarnya, maka diketahui bahwa ayat ini dan yang telah disebutkan sebelumnya:

... di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib

merupakan dua penafsiran terhadap apa yang telah kami sebutkan. Sebab, kalau yang dimaksud ada­lah bukan seperti yang saya tunjukkan, maka udak mungkin menggabungkan, setelah diperoleh ilmu, antara ilmu dan pemahaman dari dua ayat dan hadis ini. Karena, seseorang tidak mungkin menolak dari dirinya apa yang ditampakkan oleh al-Haqq dan diwujudkan dengan makrifat-Nya. Tidak mungkin diingkari hadis dan dua ayat itu. Maka dipastikan-lah bahwa yang dimaksud adalah yang kami telah sebutkan. Maka pahamilah.

Hakikat kunci-kunci itu dibedakan dari pengunciannya yang dapat dipikirkan akal. Kadang-kadang tidak diketahui, bagaimana pembukaannya. Dan kadang-kadang hakikatnya diketahui tanpa memandang pada penguncian dan pem­bukaannya. Bagaimana udak? Pembukaan pertama telah terjadi dan berlalu. Hal itu merupakan ungkapan dari awal penciptaan. Orang yang menyaksikan kini, jika al-Haqq me­nampakkan padanya kunci dan pembukaan, maka dia hanya mengetahui dan menyaksikan suatu pembukaan seperti pembukaan pertama. Tetapi dia tidak menyaksikan pem­bukaan pertama itu. Itu telah terjadi dan berlalu. Apabila ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa kunci-kunci yang ditunjukkan itu adalah nama-nama zat-Nya. Sesungguhnya nama-nama itu, sekalipun udak menunjukkan dengan pe nunjukkan yang sesuai dalam setiap aspek terhadap apa yang kami telah sebutkan sebelumnya, namun nama-nama itu memiliki petunjuk terhadap Adz-Dzdt pada sebagian besar sisi dan menyempurnakannya dalam hubungannya dengan nama-nama lain selain bagian kelima yang telah kami janjikan untuk dijelaskan. Tidak ada yang mengetahui selain orang yang sempurna di antara hamba-hamba Allah. Dari sudut pandang nama-nama ini, muncul rahasia prinsip kebenaran dan prinsip pengaruh penciptaan. Dari dan dengannya, terbagi martabat, hubungan, dan keterkaitan.

Martabat ad-Dzat pertama, dari sudut pandang nama-nama ini, adalah al-uluhiyyah. Al-uluhiyyah adalah seperti naungan bagi adz-Dzat. Induk nama-nama al-uluhiyyah, yaitu al-hayy, al-'alim, al-murid, dan al-qadir adalah sebagai naungan nama-nama adz-Dzat yang telah ditunjukkan. Nama hakikat al-uluhiyyah yang teragung adalah nama Allah. Sedangkan nama yang paling agung dari induk nama-nama adalah nama al-hayy. Sebagaimana sedap nama yang ditetapkan al-Haqq adalah agar zat-Nya diketahui melalui nama atau sifat tersebut, dan dengan nama itu pula Dia mengenalkan diri kepada orang yang memperoleh bagian dapat mengenal­Nya nama-nama adz-Dzat itu mengikuti kunci-kunci kegaib­an. Demikian pula nama-nama al-uluhiyyah yang lain meng­ikuti empat nama yang telah disebutkan. Nama Allah yang diberikan untuk mengenalkan hakikat uluhiyyah dalam hal kesatuan menghimpunkan semuanya. Setelah sayajelaskan kepadamu nama-nama zat-Nya dan nama hakikat uluhiyyah yang teragung dalam hubungannya dengan nama-nama yang akan disebutkan kemudian, saya beritahukan kepadamu induk nama-nama uluhiyyah itu. Al-Hayy adalah yang paling agung dalam makna. Al-Haqq SWT menjadikannya tiga bagian di dalam Kitab-Nya yang agung. Nama Allah dida­hulukan dalam mengenalkan martabat zat-Nya. Kemudian Dia menyucikan martabat itu dari kemusyrikan dan perse­kutuan.

Allah SWT berfirman,

"Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Hasyr: 22)

Ini adalah nama-nama yang ditambahkan pada zat aJ-Haqq karena kapasitasnya sebagai Tuhan yang maujud dan pencipta. Kemudian nama-nama ini diikuti sejumlah nama sifat uluhiyyah. Maka Allah SWT berfirman,

"Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejah-tera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang memiliki segala ke­agungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. al-Hasyr: 23)

Ayat ini menggabungkan sifat-sifat positif dan sifat-sifat negatif. Kemudian ditambahkan sejumlah nama perbuatan (afal).

Setelah itu, saya beritahukan kepadamu nama-nama yang agung dalam martabat uluhiyyah, nama-nama zat, dan nama-nama sifat, ketahuilah, nama teragung dalam martabat afal adalah nama al-qadir dan al-qadir. Karena, al-khaliq, al-bari al-mushawwir, al-qabidh, al-basith, dan sebagainya adalah se­perti bersandar pada nama al-qddir. Karena itu saya katakan: Empat nama, yakni al-hayy, al-'alim, al-murid, dan al-qddir merupakan induk nama dan sifat yang dinisbahkan kepada al-Haqq dalam hal uluhiyyah-Nya agar dirujukkan dan di­ikutkan nama-nama lainnya pada nama-nama tersebut. Se­bagaimana saya telah kabarkan tentang mengikutkan nama-nama afal pada nama al-qadir. Al-Qddir merupakan yang teragung di antara nama-nama afal.

Itu juga masalahnya pada tiga bagian yang lain. Maka nama ar-ra'uf al-wadud, al-'athuf dan sebagainya adalah mengikuti nama al-murid. Sementara al-hasib, ar-raqib, asy-syahid, dan sebagainya mengikuti nama al-alim. Pada nama al-hayy terhimpun ketentuan-ketentuan ini. Bahkan dari situ­lah ketentuan-ketentuan itu bercabang. Hal itu disebabkan sifat kolektifnya.

Al-Hayy melahirkan perbuatan-perbuatan tersebut, dan juga karena keberadaannya sebagai syarat dalam penegasan seluruh nama-nama, serta sahih penisbahannya kepada al-Haqq. Guru kami, al-lmam al-Akmal[56] ra menyebutkan bahwa al-hayy al-qayyum pada kenyataanya adalah satu nama yang tersusun dari dua nama. Itu termasuk bagian nama teragung yang umum. Demikian pula huruf-huruf alif dai, dzdl, ra\ zd\ dan wdw adalah termasuk bagian nama itu.

Hendaklah engkau mengetahui bahwa huruf-huruf ini bersama al-hayy al-qayyum dan bagian-bagian nama lainnya adalah seperti cerminan sempurna dari makna al-qudrah dan seperu nama yang menunjukkan sesuatu secara sesuai. Sebab, ini mempengaruhi setiap sesuatu untuk menuju pada­nya. Karena itu, dalam hal itu dikatakan, "Itu merupakan nama yang teragung dari nama-nama yang memberi pe­ngaruh walaupun semuanya merupakan nama-nama yang memiliki pengaruh."

Nama-nama itu hanya berpengaruh terhadap sebagian benda seperti jenis khusus dari maujud seperti burung, binatang liar, atau binatang laut. Atau, berpengaruh terha­dap air, tidak terhadap udara, pada api, jin dan sebagainya. Hal itu berbeda dengan nama yang dtunjukkan ini. Nama ini memiliki pengaruh umum pada seluruh species dan person. Rahasianya adalah karena nama-nama yang lainnya hanya berpengaruh pada species yang disandarkan kepada al-Haqq dalam hal pengertian nama tersebut. Karena itu, al-Haqq tidak dikenal kecuali dari sisi itu. Tidaklah engkau perhatikan burung hud-hud ketika sifat-sifatnya sempurna, ia mengetahui tempat-tempat air yang dalam dan serangga yang merayap di bawah tanah. Tetapi ia tidak mengetahui al-Haqq dan tidak mengagungkan-Nya kecuali dari sisi itu.

Karena itu, hud-hud berkata kepada Sulaiman,

"...agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang ter­pendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. " (QS. an-Naml: 25)

Begitu pula, dengannya para malaikat diperintah untuk bersujud kepada Adam. Mereka tidak menyebutkan al-Haqq kecuali dengan perkataan mereka,

"... padahal kami senanatiasa bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Mu. " (QS. al-Baqarah: 30)

 Adam dikhususkan dengan kumpulan yang ditunjukkan dengan firman-Nya,

"Dan Dia mengajarkan ke­pada Adam nama-nama seluruhnya." (QS. al-Baqarah: 31)

Karena itu, ketika al-Haqq memerintahkannya untuk bertawaf di Ka'bah dan mengabarkan kepadanya bahwa sebelumnya ribuan malaikat telah bertawaf di ka'bah itu dengan cara begini dan begitu, maka Dia bertanya kepada para malaikat, "Apa yang kalian ucapkan ketika bertawaf di al-Bayt ini?" Mereka menjawab, "Kami membaca subhana Allah wa al-hamd lillah wa la ildha illd Allah. Wa Alldhu akbar (Mahasuci Allah dan segala pujian bagi Allah dan tiada tuhan selain Allah. Dan Allah Mahabesar)." Lalu Allah ber­kata, "Aku tambahkan untuk kalian: Wa la, hawla wa la auwwata illd billdh (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan [izin] Allah)." al-Hawqalah—yakni, ucapan: la hawla wa la quwwata illa billah—ini merupakan ungkapan khilafah karena me­ngandung persekutuan bersama Allah. Hal itu tidak di­benarkan kecuali bagi wakil yang menggantikan. Ini adalah seperu Iyyaka nasta'in (Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). (QS. al-Fatihah: 5)

Berkenaan dengan ini, Nabi saw mengabarkan kepada kita,

"Ketika hamba mengatakan, 'iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in,' al-Haqq SWT berfirman, 'Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku."'[57]

Beliau menjelaskan ketegasan persekutu­an seperti halnya di dalam al-hawqalah di atas. Maka pahami dan kajilah pasal ini. Sebab, jika engkau mengkaji dan me­mahaminya, niscaya engkau tahu lebih banyak lagi rahasia nama-nama yang agung ini dan yang lainnya. Engkau tahu bahwa nama teragung dalam hubungannya dengan setiap maujud merupakan bentuk nama yang diterjemahkan dari makna kedudukan itu. Dari situlah maujud tersebut ber­sandar kepada al-Haqq. Itu merupakan puncak makrifatnya kepada Allah SWT, baik maujud itu dari golongan manusia, jin, malaikat, maupun golongan lain. Kita tahu bahwa mereka yang didengar Nabi saw mengingat Allah dan memohon kepada-Nya. Beliau mengabarkan bahwa mereka memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang teragung. Apabila Allah diseru dengan nama itu, niscaya Dia menjawab. Dan apabila Dia diminta dengannya, niscaya Dia memberi. Per­bedaannya adalah pada nama-nama yang mereka gunakan untuk mengingat Allah dalam doa mereka. Ini adalah se­telah tertanam di dalam pemahaman manusia.

Nama teragung itu adalah satu nama. Maka bagaimana menggabungkan antara pemahaman yang berbeda-beda ini dan hadis-hadis mengenai sebutan masing-masing dari mereka bahwa itu adalah nama teragung. Ini menunjukkan rahasia sabda dan pengajaran Rasulullah saw. Hal itu hanya­lah karena kesempurnaan ilmunya terhadap puncak penge­nalan mereka kepada Allah, dan juga penunjukkan yang mereka gunakan untuk menyifati al-Haqq. Kalaulah maksud hadis-hadis dan pengajaran itu bukan yang kami sebutkan, niscaya akan mengesankan adanya suatu kontradiksi, karena tidak dapatnya menggabungkan antara hal-hal yang mereka sebutkan dan pemahaman dari sabda Rasulullah saw,

"Nama teragung itu adalah satu."

Kemudian, ketahuilah bahwa keagungan nama-nama itu memiliki martabat yang lain, yang dikhususkan dengan pe­mahaman. Karena, kata al-ism (nama) itu terbentuk dari kata as-simah yang berarti tanda. Maka al-ism menjadi pe­ngenal terhadap yang diberi nama, seperti dalil yang menUjukkan pada al-madlul. Maka suatu nama yang mengan­dung pengenalan yang lebih sempurna dibandingkan pengenalan dari nama-nama lainnya, maka nama itulah yang teragung dibandingkan dengan pengenalan yang tidak sempurna. Maka datangkanlah prinsip ini. niscaya engkau mengetahui rahasia sabda Rasulullah saw,

"Nama teragung itu adalah di dalam firman Allah ila ilahukum ildh wahid la ilaha illa huwa ar-Rahman ar-Rahim, serta di dalam surah Ali Imran dan pada awal surah al-Hadid."

Keagungan di dalam ayat-ayat ini berlaku dari segi pengenalan, bukan dari sisi pengaruhnya terhadap hal-hal yang dipahami orang-orang yang terhijabi. Keagungan di dalam pengaruh itu adalah yang telah ditunjukkan di atas. Abu Yazid ra[58] ditanya me­ngenai nama teragung itu. Maka dia menjawab, "Perlihatkanlah kepadaku yang paling kecil, niscaya saya perlihatkan kepadamu yang paling agung. Nama-nama Allah semuanya adalah keagungan. Percayalah dan ambillah nama mana saja yang engkau suka. Maka ia berpengaruh terhadapmu."

Maka nama yang tujuannya dalah pengenalan kepada al-Haqq itulah yang teragung dalam kaitan dengan-Nya dan dalam hal pengaruh dari al-Haqq. Maka pahamilah. Hen­daklah engkau tahu bahwa keagungan yang dikhususkan dengan pengenalan dan penunjukan itu terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, bagian yang masuk ke dalam martabat pelafalan dan tulisan, yakni yang ditunjukkan di dalam ayat-ayat yang telah dijelaskan: Wa ilahukum ilah wahid, serta awal surah Ali 'Imran dan awal surah al-Hadid. Kedua, bagian yang berada di luar martabat pelafalan dan tulisan, yakni bagian kelima yang dikhususkan bagi manusia sempurna. Sebab, dalam hal penunjukkannya, cakupan, kesatuan, dan pemisahannya adalah penunjukan yang sempurna terhadap kehadiran al-Haqq baik di dalam zat, sifat, perbuatan, mau­pun martabat. Hanya saja penunjukan ini tidak termasuk ke dalam lingkup pelafalan dan tulisan. Maka ketahuilah hal itu. Kajilah apa yang mendatangkan pemahamanmu dari apa yang telah disebutkan kepadamu. Niscaya engkau tahu rahasia dan makna hadis-hadis ini, martabat nama teragung, dan rahasia-rahasia lainnya yang hampir tidak terhitung banyaknya.

Semoga Allah memberi petunjuk.

HADIS KEDELAPAN BELAS

Ditegaskan di dalam Ash-Shahih dari Umm Habibah[59] bahwa Rasulullah saw mendengarnya sedang berdoa. Dia meng­ucapkan, "Ya Allah, senangkanlah aku dengan suamiku, Rasulullah; dengan saudaraku, Mu'awiyah; dan dengan bapakku, Abu Sufyan." Maka Rasulullah saw berkata kepada­nya,

"Engkau memohon kepada Allah tentang rezeki yang telah dibagi dan ajal yang telah ditetapkan. Tidak akan di-segerakan sedikit pun darinya sebelum waktunya dan tidak pula diakhirkan sedikit pun darinya sesudah tiba waktunya. Kalau engkau memohon kepada Allah agar Dia menyela­matkanmu dari siksaan di dalam kubur dan siksaan di dalam neraka, maka Allah adalah pemberi pertolongan."[60]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Hadis ini adalah hadis yang musykil. Telah ditegaskan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

"Setiap sesuatu memiliki qadha dan qadar hingga orang lemah dan orang cerdas."[61]

Tidak ada seorang pun dari para ulama yang ber­beda pendapat dalam hal bahwa ketentuan qadhd dan qadar adalah mencakup setiap sesuatu dan meliputi seluruh maujud (segala yang ada) dan aspek-aspeknya berupa sifat, perbuat­an, keadaan, dan sebagainya. Jadi, apa perbedaan antara sesuatu yang dilarang Nabi saw untuk didoakan dan anjuran untuk mencari keselamatan dari siksaan neraka dan siksaan kubur?

Ketahuilah bahwa hal-hal yang ditakdirkan itu mencakup dua aspek, yaitu: aspek yang khusus mengenai hal-hal uni­versal dan aspek yang khusus mengenai hal-hal parsial. Hal-hal universal yang dikhususkan bagi manusia telah dikabar­kan oleh Nabi saw bahwa hal itu terbatas pada empat hal saja, yaitu umur, rezeki, ajal, serta kesengsaraan dan ke­bahagiaan. Di dalam hadis tentang penciptaan janin, beliau bersabda,

"Pada bulan keempat malaikat datang kepadanya, lalu meniupkan padanya roh. Dia bertanya, 'Wahai Tuhan­ku, apakah dia laki-laki atau perempuan? Sengsara atau bahagia? Apa rezekinya? Apa amalannya? Apa ajalnya?' Maka al-Haqq mendiktekan dan malaikat itu menuliskan."[62] Beliau pun bersabda, "Tuhanmu mengisi penciptaan, akhlak, rezeki, ajal, dan kesengsaraan atau kebahagiaan."[63]

Di dalam hal-hal parsial, Allah SWT berfirman,

"Kami akan memper­hatikan sepenuhnya kepadamu wahai manusia dan jin." (QS. Ar-Rahman: 31)

Maka pahamilah. Aspek-aspek parsial itu, karena tidak terbatas, maka tidak tertentu sebutannya. Ke­munculan sebagiannya dan perolehannya oleh manusia kadang-kadang bergantung pada sebab dan syarat. Barang­kali doa, usaha, dan muamalah adalah termasuk bagian darinya. Artinya, hal itu tidak ditentukan perolehannya tanpa adanya syarat itu, berbeda dengan empat hal per­tama. Bagi manusia dan makhluk lain yang biasa bekerja keras, di dalam empat hal itu tidak ada tujuan, kerja keras, dan usaha. Melainkan hal itu merupakan akibat qadhd dan qadar dari Allah berdasarkan ilmu-Nya yang terdahulu dan telah tertentu secara azali dan abadi menurut keterkaitan dengan objeknya.

Inilah perbedaan antara apa yang dilarang Nabi saw untuk didoakan dan yang dianjurkannya. Maka kajilah hal ini. Saya telah menjelaskan kepadamu bahwa di dalam hal itu terdapat ilmu dan rahasia. Jika engkau perhatikan, nis­caya engkau tahu sejumlah rahasia dari perintah, larangan, nasihat, anjuran, ancaman, dan sebagainya. Allah mengata­kan yang benar dan menunjuki siapa saja yang Dia kehen­daki ke jalan yang lurus.

HADIS KESEMBILAN BELAS

Dipastikan bahwa Rasulullah saw bersabda,

"Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah terhadap zina hamba-Nya yang laki-laki atau yang perempuan."[64]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Tiba-tiba diceritakan kepadaku tentang rahasia hal itu bahwa sebab munculnya perasaan ghiyrah (cemburu) dan penguasaannya bukanlah perbuatan yang diharamkan itu saja. Melainkan penyebabnya adalah karena ia bersekutu pada maqam rububiyyah. Hal itu disebabkan adanya pe­mutlakan dalam tindakan (berundak semaunya) dan pelaku ingin melakukan setiap yang dikehendaki tanpa cegahan, ikatan, dan larangan yang merupakan sifat-sifat rububiyyah. Sebab, Dia-lah (Allah) yang melakukan apa yang dikehen­daki tanpa larangan dan cegahan dari yang lain. Maka peng­ikatan dan larangan adalah termasuk sifatnya yang khas. Ketika orang tersebut ingin keluar dari sifat-sifat larangan dan mencari pemudakan tindakan (ingin bertindak semau-nya) menurut kehendaknya, maka berarti dia mengingin­kan persekutuan dengan al-Haqq dalam sifat-sifat rububiyyah-Nya dan menentang kebesaran-Nya. Tidak diragukan, hal itu merupakan sebab munculnya ghirah (cemburu) yang menyebabkan kemurkaan atau siksaan jika tidak mendapat pertolongan dan mendapat seratus cambukan yang ber­kaitan dengan perhitungan yang merupakan induk hukum-hukum rububiyyah. Ada pengurangan cambukan bagi anak gadis karena syafaat hukum esensi pertama.

Itu merupakan contoh perincian hukum-hukum hadirat Tahan. Maka pahamilah. Ini merupakan kunci agung dari rahasia-rahasia syariat. Dari sini engkau tahu bahwa setiap tempat dan bilangan tertentu dalam syariat kembali pada prinsip rabbani dan urutan yang jelas sesuai dengan hakikat­nya.

HADIS KEDUA PULUH

Dari 'Abdurrahman bin 'Awf,[65] dia berkata,

"Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Allah 'Azza iva Jalla berfirman, "Aku adalah Allah. Aku adalah Ar-Rahman. Aku ciptakan rahim (sifat belas kasih) dan Aku berikan padanya nama dari nama-Ku. Barangsiapa menyambungkannya, Aku sam­bungkan padanya. Dan barangsiapa memutuskannya, Aku putuskan darinya.'"[66]

Dari Abu Hurayrah,[67] bahwa Nabi saw bersabda,

"Rahim merupakan ranting dari Ar-Rahman. Allah 'Azza wa Jalla berfirman tentangnya, 'Barangsiapa yang menyambungkan­nya, maka Aku sambungkan padanya. Dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Mu putuskan darinya.'"[68]

Dalam riwayat lain dari Abu Hurayrah, dia berkata,

"Rasulullah saw bersabda, 'Allah menciptakan makhluk hingga ketika selesai tegaklah rahim. Maka rahim itu mengambil pinggang Ar-Rahman. Lalu Dia bertanya, "Ada apa?" Rahim menjawab, "Inilah maqamy?wg berlindung dari pemutusan," Allah berkata, "Benar, tidakkah engkau rida kalau Aku sam­bungkan orang yang menyambungkan m u dan memutuskan orang yang memutuskanmu?" Rahim menjawab, "Tentu." Dia berkata, "Maka itu adalah bagimu[69] dan bagi kaum Muslim.'""

Bukhari meriwayatkan dari "Aisyah ra,[70] dia berkata,

"Rasulullah saw bersabda, 'Rahim tergantung di 'Arsy. Ia berkata, "Barangsiapa yang menyambungkanku, maka Allah menyambungkannya. Dan barangsiapa yang memutuskan-ku, maka Allah memutuskannya. [71] Allah-lah yang memberi pertolongan."

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah bahwa walaupun hadis-hadis ini khusus ber­kenaan dengan rahim, tetapi di dalam setiap hadis tersebut terdapat rahasia-rahasia yang tidak terdapat pada hadis lain. Semua hadis itu mengandung rahasia-rahasia agung, ilmu-ilmu yang tinggi, dan masalah-masalah universal. Menge­tahuinya adalah penting. Yang pertama adalah mengetahui hakikat rahim. Mengetahui keberadaannya sebagai bagian dari Ar-Rahman. Mengetahui nama ar-Rahman. Mengetahui mengapa rahim tergantung di 'Arsy. Mengetahui keberhubungannya. Mengetahui keterputusannya. Mengetahui pinggang Ar-Rahman. Mengetahui pegangannya pada pinggang ar-Rahman. Mengetahui tegaknya. Mengetahui maqamnya yang ditunjukkan dengan ucapannya, "Inilah maqamyang berlindung dari pemutusan.' Mengetahui per­lindungannya. Mengetahui jawaban al-Haqq kepadanya terhadap sesuatu yang ia minta dari-Nya SWT. Mengetahui seruannya karena keberadaannya tergantung pada 'Arsy. Mengetahui hukum-hukumnya. Semua ini adalah rahasia-rahasia yang tidak tercantum sedikit pun di dalam semua buku. Belum pernah sampai kabar kepadaku bahwa se­seorang berusaha menjelaskan hadis-hadis seperti ini yang mengandung penegasan rahasia-rahasia Ilahi dan hadis-hadis Nabi yang menjelaskan tentang hakikat eksistensi dari ahli ilmu lahir atau ahli ilmu batin di antara orang-orang yang mengaku memperoleh mukasyafah yang tinggi, ilmu-ilmu laduni, dan warisan Nabi. Saya akan menjelaskannya, insya Allah, dengan pembahasan yang komprehensif, tidak secara garis besar, dan tidak pula terperinci, untuk meng­ungkapkan nikmat dari Allah dan sebagai rasa syukur kcpada-Nya atas nikmat yang telah dikaruniakan kepadaku. Dia telah menampakkannya kepadaku, memberiku dapat bersama dengan makhluk-Nya yang paling sempurna dalam menampakkan rahasia-rahasia ini, dan menampakkan ilmu-ilmu yang tersembunyi ini dari yang lain. Maka dengan pertolongan Allah, saya katakan:

Rahim merupakan nama bagi hakikat alami. Alami ada­lah hakikat yang menggabungkan antara panas, dingin, basah, dan kering. Artinya, masing-masing dari empat hal itu tidak bertentangan. Masing-masing dari empat hal itu bukan dari semua sisi rahim, melainkan dari beberapa sisi­nya. Adapun rahim itu tergantung pada 'Arsy dalam hal bahwa semua jisim maujud, menurut para muhaqqiq, adalah bersifat alami. 'Arsy adalah yang pertama. Berkenaan dengan ini, datang pengabaran-pengabaran syariat tentang masalah surga dan lainnya. Semua penyingkapan {mukasyafah) orang­ orang yang sempurna menyaksikan kebenaran hal itu. Ada­pun rahim sebagai bagian dari Ar-Rahman adalah karena rahmat merupakan wujud itu sendiri. Yaitu, yang meliputi seuap sesuatu. Padahal tidak ada sesuatu yang meliputi se­uap sesuatu kecuali wujud. Wujud meliputi setiap sesuatu hingga yang namanya ketiadaan ('adam). Dalam segi bahwa hal itu ada di dalam pikiran dan adanya ketetapan bahwa ketiadaan adalah lawan dari wujud yang dapat dipastikan, maka itu suatu jenis dari keberadaan dan tertentukan dalam pikiran sebagaimana terpikirnya wujud yang dapat dipasti­kan. Hanya saja, ada perbedaan di antara dua ketetapan ini. Ketetapan wujud memiliki kepastian di dalam dirinya tanpa melihat ketetapannya di dalam pikiran setiap yang berpikir, sedangkan ketetapan ketiadaan ('adam) tidak memiliki ke­pastian dalam dirinya, selain dalam pemikiran orang-orang yang berpikir.

Kemudian ketahuilah, bahwa karena rahmat merupakan suatu nama bagi wujud maka Ar-Rahman merupakan nama bagi al-Haqq karena keberadaan-Nya sebagai wujud itu sendiri.

Rahim sebagai dahan dari Ar-Rahman adalah karena segala maujud terbagi ke dalam aspek lahir dan aspek batin. Jisim-jisim merupakan bentuk lahir dari wujud. Sementara roh dan makna adalah pandangan batin dari wujud. Ada­pun 'Arsy adalah maqam keterbagian. Maka pahamilah.

Rahim mengambil pinggang Ar-Rahman adalah karena Ar-Rahman yang merupakan manifestasi wujud Rabbani men­cakup alam arwah, makna, danjisim. Alam arwah muncul di dalam wujud dan menempati tempat di atas alam jisim. Dari satu sisi, ia memiliki derajat kausalitas (sababtyyah) dalam kaitannya dengan rahim. Ia memiliki ketinggian. Ia berada di atas paruh pertama bentuk hadirat Ilahiyyah. Karena itu, rahim tergantung pada 'Arsy, karena 'Arsy me­rupakan yang pertama dari alam jisim dan yang meliputi seluruh bentuk lahir. Dengannya dibedakan antara yang lahir dan yang batin. Sementara pinggang yang menjadi tempat ikatan kain sarung merupakan permulaan paruh kedua yang rendah dan ditutup kain sarung, yaitu alam tabiat, tempat penutupan al-Haqq dalam penampakkan yang dikhususkan dengan tabiat, yaitu aurat. Karena itu, para malaikat yang diperintahkan bersujud kepada Adam tidak mengetahuinya. Maka mereka lari dari penciptaan alami Adam. Mereka mencacinya. Mereka memuji dirinya sendiri.

Berlindungnya rahim dari pemutusan adalah karena ia merasakan pembedaan yang mengancamnya dari alam arwah dan hadirat nafas Rahmani yang merupakan makam kedekatan rabbani yang sempurna. Maka ia merasa sakit karena menjadi jauh setelah sebelumnya dekat. Ia takut pertolongan Tuhan akan terputus disebabkan keterpisahan yang dirasakannya. Maka al-Haqq mengingatkan dalam jawaban-Nya terhadap doanya untuk melanjutkan bentang­an dan mengekalkan hubungan dalam hal kesertaan dan cakupan zat Ihali. Dengan demikian ia menjadi senang, tenang, dan bersuka hati dengan jawaban al-Haqq kepada­nya atas apa yang dimintanya. Maka teruslah ia mendoakan kebaikan bagi orang yang menghubungkannya dan men­doakan kejelekan bagi orang yang memutuskannya.

Menghubungkannya adalah dengan mengetahui kedu­dukannya dan mengagungkan kekuatannya. Karena, kalau tiada campuran yang dihasilkan dari tonggak-tonggaknya, maka tidak akan muncul roh manusia dan tidak akan mampu ia menggabungkan antara ilmu universal dan ilmu parsial. Bahkan, alam roh insani membinasakan keuniversalan se­bagaimana al-Haqq mengabarkan hal itu dengan firman­Nya, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun. " (QS. an-Nahl: 78) Maka dengan penciptaan alami dan apa yang dititipkan al-Haqq di dalamnya berupa kekhususan, kekuatan, dan alat­ alat, datang untuk manusia gabungan antara kekhususan, hukum-hukum, serta kesempurnaan rohani dan tabiat. Dengan gabungan ini dia memohon untuk beroleh mar­tabat pemisahan (barzdkhiyyah) yang mencakup hukum-hukum wajib al-wujud (Allah) dan imkdn (makhluk). Maka sempurnalah baginya persamaan dan benarlah baginya penghadapan. Maka Dia muncul dalam bentuk hadirat Uahiyyah dan yang benar-benar mengetahui segala yang lahir dan yang badn. Maka pahamilah.

Ini adalah sebagian dari karakteristik hubungannya yang dapat disebutkan.

Adapun pemutusannya dikabarkan oleh al-Haqq. Allah memutuskan orang yang memutuskan rahim. Yaitu orang yang meremehkan rahim dan tidak mengetahui keduduk­annya serta merendahkan haknya. Barangsiapa yang me­rendahkan dan meremehkan haknya, maka dia telah me­rendahkan hak Allah dan tidak mengetahui apa yang disim­pan al-Haqq di dalamnya berupa kekhususan nama-nama di mana rahim disandarkan dan diikatkan pada al-Haqq. Sehingga, jika tidak karena kedudukannya yang tinggi di sisi al-Haqq, maka al-Haqq tidak akan mengabarkannya ketika memberikan jawaban dengan firman-Nya,

"Barangsiapa yang menghubungjkanmu, niscaya Aku menghbungkannya. Dan barang­siapa yang memutuskanmu, niscaya Aku memutuskannya. "

Di antara penghinaan dan pemutusan adalah celaan para hakim mutaakhir terhadapnya. Mereka menyifatinya dengan kegelapan dan kotor. Mereka berusaha untuk bebas dari hukum-hukumnya dan terbebas dari sifat-sifataya. Kalau saja mereka mengetahui bahwa itu dilarang dan bahwa setiap kesempurnaan didapat oleh manusia setelah berpisah dengan penciptaan alami, maka itu termasuk hasil dan buah dari persahabatan roh terhadap percampuran alami.

Setelah perpisahan itu, manusia hanya beralih dari bentuk-bentuk jasmani (fisik) ke alam-alam yang merupakan mani­festasi kelembutannya. Di dalam alam-alam tersebut semua orang yang berbahagia dapat melihat al-Haqq sebagaimana dijanjikan di dalam svariat. Dan dikabarkan bahwa hal itu merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi penghuni surga. Hakikat bergantungnya kesaksian al-Haqq padanya adalah bagaimana hal itu boleh direndahkan. Hal khusus dari ahli Allah adalah seperti orang-orang yang sempurna dan orang-orang yang mendekati mereka. Jika mereka memperoleh kesaksian al-Haqq dan mengetahui-Nya secara benar, maka mereka diberi kemudahan dengan bantuan penciptaan alami ini hingga termanifestasi zat yang abadi dan tidak ada hijab sesudahnya. Tidak ada lagi yang kekal bagi orang-orang sempurna selain-Nya. Karena itu orang-orang yang sempurna sepakat bahwa barangsiapa yang tidak memperoleh hal itu di dalam penciptaan alami ini, maka dia belum memperoleh pemisahan. Hal itu ditunjukkan dengan sabda Rasulullah saw,

"Apabila anak Adam mati, terputuslah amalannya,"[72]

dan sabdanya,

"Bagi sekelompok penghuni surga, Tuhan tidak tertutup dan tidak terhijab mereka."[73]

Adapun tegak dan permohonannya adalah penghadap­an dirinya dengan sifat pengharapan kepada al-Haqq. Al-Haqq menamai penghadapan-Nya kepada makhluk dengan bentangan yang tegak. Dia berfirman,

"Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya. " (QS. ar-Ra'd: 33)

 Maka ketahuilah hal itu dan kajilah apa yang telah saya jelaskan kepadamu di dalam penjelasan hadis ini yang mencakup ilmu-ilmu yang tinggi dan rahasia-rahasia yang tersembunyi. Engkau beruntung, insya Allah.

HADIS KEDUA PULUH SATU

Dari Ibn 'Abbas,[74] dia berkata,

"Rasulullah saw bersabda, 'Pada suatu malam, utusan dari Tuhanku datang kepada­ku.'"[75]

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"Aku melihat Tuhanku da­lam rupa yang paling bagus. Dia berkata, 'Wahai Muhammad.' Aku jawab, 'Aku memenuhi seruan-Mu, wahai Tuhanku.' Dia bertanya, 'Apakah engkau tahu apa yang dipertengkar­kan oleh para penghuni alam arwah (al-mala' al-a'la)?  Aku jawab, 'Aku tidak tahu.'" Nabi berkata selanjutnya, "Dia meletakkan tangan-Nya di antara dua bahuku hingga aku rasakan dingin di antara dua payudaraku. Maka aku tahu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. (Atau beliau berkata, "... yang ada di antara tempat terbit dan tempat terbenam matahari.") Dia bertanya lagi, 'Apakah engkau tahu apa yang dipertengkarkan oleh para penghuni alam arwah?' Aku jawab, 'Ya, mengenai kifarat, derajat, langkah kaki menuju salat berjamaah, membaguskan wudu di pagi yang dingin yang tidak disukai, dan menunggu salat lain setelah menunaikan satu salat. Barangsiapa yang menjaga semua itu, niscaya dia hidup dalam kebaikan dan mati pun dalam kebaikan, dan dihapus dosa-dosanya seperti saat dia dilahirkan ibunya.' Dia berkata, 'Wahai Muhammad.' Aku jawab, 'Aku memenuhi seruan-Mu.' Dia berkata, Jika engkau telah menunaikan salat, ucapkanlah, 'Ya Allah, aku me­mohon kepada-Mu agar bisa memperbuat kebaikan, me­ninggalkan kemungkaran, dan mencintai orang-orang miskin. Apabila Engkau hendak menguji hamba-Mu, ambil­lah aku kepada-Mu tanpa diuji." Selanjutnya Nabi berkata, "Derajat-derajat itu adalah menyebarkan salam, memberi makan, dan salat malam ketika manusia tertidur."[76] Hadis ini diriwayatkan pula melalui sanad lain yang sahih juga. Yaitu, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Pada suatu malam saya bermimpi melihat Tuhanku dalam rupa seorang anak muda yang belum tumbuh janggumya. Dia duduk di atas sofa dari emas. Pada kepala-Nya terdapat mahkota dari emas. Pada kaki-Nya terdapat sandal dari emas. Dia berkata kepadaku, 'Wahai Muhammad.' Aku jawab, 'Aku memenuhi seruan-Mu, wahai Tuhanku.' Dia bertanya, 'Apa yang dipertengkar­kan para penghuni alam arwah?' Aku jawab, 'Aku tidak tahu.' (Di dalam riwayat lain disebutkan, 'Aku tahu, wahai Tuhanku'). Lalu Dia memukulkan tangan-Nya di antara ke­dua bahuku. Aku rasakan dingin ujung-ujung jari-Nya di antara dua payudaraku. Maka aku jadi tahu ilmu orang-orang terdahulu dan terkemudian. Kemudian Dia berkata kepadaku, 'Wahai Muhammad, apa yang dipertengkarkan oleh para penghuni alam arwah?'" Maka Rasulullah saw men­jawab[77] seperti yang disebutkan pada hadis pertama di atas.

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa hadis ini mencakup sejumlah ilmu Ilahi, rahasia-rahasia mulia rabbani dan masalah-masalah asing yang tidak diketahui kecuali oleh sedikit hamba Allah dan orang-orang yang didekatkan. Saya ingin sekali—dengan izin Allah—mengingatkan para pengkaji hadis ini mengenai sejumlah masalah utamanya agar orang-orang cerdas tahu bahwa mengetahui makna dan kandungannya berupa ilmu dan rahasia adalah sulit selama belum mengetahui masalah-mesalah tersebut. Saya katakan.Yang pertama adalah me­ngetahui apa makna penampakan-diri ini? Dari kehadiran yang mana di antara kehadiran nama-nama-Nya Dia muncul? Mengapa Dia muncul dalam rupa manusia padahal al-Haqq tersucikan dari memiliki rupa? Mengapa penampakan-diri ini terjadi di dalam mimpi? Mengapa ditanyakan tentang pertengkaran para penghuni alam arwah? Kelompok mana di antara kelompok-kelompok penghuni alam arwah yang dimaksudkan di sini? Mengapa mereka mempertengkarkan? Mengapa ada pukulan dengan tangan? Tangan mana yang dipukulkan? Mengapa pukulan itu di antara dua bahu? Me­ngapa Rasulullah saw merasakan dingin ujung-ujung jari­Nya di antara kedua payudaranya, lalu beliau tahu? Apakah ujung-ujung jari itu? Apa jenis ilmu orang-orang terdahulu dan terkemudian yang diperoleh dengan pukulan ini? Siapa orang-orang awal dan akhir yang dimaksud di dalam hadis ini? Mengapa penghuni alam arwah mempertengkarkan hal-hal tersebut (kifarat, membaguskan wudu di pagi yang dingin, banyak langkah menuju mesjid untuk menunaikan salat, dan derajat-derajat). Mengapa derajat-derajat itu di sini berarti menyebarkan salam, memberi makan, dan salat malam ketika manusia sedang tidur? Apa hubungan perbuatan-perbuatan ini di dalam hal ketaatan dengan perbuatan-perbuatan lain yang didekatkan? Ada berapa tingkatan per­buatan yang disebut sebagai ketaatan itu? Apakah perbuatan itu dan berapa bagian? Ada berapa martabat perbuatan yang disebut kemaksiatan yang perlu diingkari? Apa hakikat kifarat dan pemberian kifarat? Apa rahasia doa lain yang diperintahkan, yaitu, 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk memperbuat kebajikan dan meninggalkan kemung­karan..."[78]

(dan seterusnya)? Saya akan jelaskan, insya Allah, sebagian yang saya ketahui dari semua itu, yang saya rasakan di dalam dzawq, dan yang saya telah lihat melalui penying­kapan (kasyf) sebelum mengetahui hadis ini, dan juga ketika meneliti rahasia-rahasia hadis ini serta apa yang datang kepadaku tentang ihwalnya setelah itu. Saya awali dengan menyebutkan rahasia penampakkan-diri (tajalli) dan tema pokok hadis ini, mencakup pasal demi pasal, dengan per­tolongan dan kehendak Allah.

Ketahuilah, penampakan-diri ini muncul dan tampak dari kehadiran nama ar-Rabb. Darinya muncul pensyariatan (tasyri’) dan penugasan {taklif). Maqam-nya adalah maqam pemisah antara langit ketujuh dan al-Kursiy. Maqam pemisah ini merupakan penengah antara maqamJibrd'ilias dan maqam Mikd'ilias. Dari maqam ini, Jibril mengambil hukum-hukum syariat yang disampaikan kepada para nabi. Sementara Mikail tidak turut campur di dalam pemberian pertolongan universal tersebut. Ini berbeda dengan yang diriwayatkan oleh Nabi saw dari Jibril dari Mikail. Mikail as dari Israfil as. Israfil dari Allah 'Azza wa falla. Pengabaran-pengabaran tersebut berada di luar maqam tasyri'dan taklif Barangsiapa mengikuti hadis-hadis tersebut dan meneliti kandungannya, dia akan mengetahui kebenaran dzawq ini dan apa yang saya tunjukkan. Adapun wahyu pensyariatan itu bersambung dari hadirat Tuhan kepada Jibril, dari Jibril kepada para nabi dan para pengemban syariat as. Rahasia pemisah kehadiran ini adalah bahwa pengabaran-pengabaran dari Tuhan dan dari Nabi sepakat tentang para nabi dan rasul. Di dalam kitab mereka yang diturunkan dari sisi Allah disebutkan bahwa langit tujuh adalah fisik yang bersifat unsur. Ia bisa tercipta dan juga bisa rusak, berbeda dengan 'Arsy dan al-Kursiy. Sebab, sifat fisik 'Arsy dan al-Kursiy adalah berda­sarkan campuran yang lain. Para muhaqqiq terkemuka, yang merupakan pewaris para nabi dan rasul, sepakat bahwa hal itu melalui penyingkapan (kasyf) dan penyaksian {syukud) yang benar. Tidak ada keraguan di dalamnya. Maka mar­tabat nama ar-Rabb dipahami berada pada pertengahan antara bentuk fisik yang bisa tercipta dan bisa rusak seperti tujuh langit dan segala yang berada di bawahnya dengan bentuk fisik yang tidak seperti itu karena ketinggiannya dari martabat fisik yang bersifat unsur, walaupun ia tidak luput dari hukum alami universal. Engkau tahu bahwa setiap pe­misah ada di antara dua hal. Ia dapat diterima akal, tetapi tidak tampak wujudnya, sebagaimana hal itu telah ditegas­kan berulang kali. Adapun tempat bergantung nama ar-Rabb itu dan cermin penampakan dirinya adalah al-Bayt al-Ma'mur, sebagaimana disebutkan di dalam al-Fashsh al-Isma'il [79] ketika mengingatkan sebagian rahasia maqam Ibrahimi. Maka ingat­lah hal itu. Karena itu saya katakan bahwa sebab martabat nama ar-Rabb itu berada pada pertengahan dan disifati sebagai pemisah adalah karena martabat ini merupakan penghimpun—sebagaimana yang telah saya katakan—, antara sesuatu yang bisa tercipta dan rusak, dengan sesuatu yang tidak memiliki potensi untuk itu. Maka pahamilah.

Rasulullah saw telah menyebutkan di dalam hadis-hadis tenung kiamat seperti yang kami sebutkan di dalam sebuah hadis panjang yang di dalamnya disebutkan, "Langit-langit dilipat. Setiap satu langit dilipat, para malaikat turun ke langit itu. Mereka berbaris dalam satu barisan. Maka peng­huni mahsyar menemui mereka, dan bertanya kepada mereka. Mereka berkata, 'Apakah ada Tuhan kami di tengah-tengah kalian?' Para malaikat menjawab, 'Tidak ada. Itu Dia datang.' Demikianlah hingga para malaikat turun lagi ke langit ketujuh. Sejumlah besar malaikat tinggal di langit. Maka penghuni mahsyar bertanya kepada mereka. Mereka berkata, 'Apakah ada Tuhan kami di tengah-tengah kalian?' Para malaikat menjawab, 'Ya, ada. Mahasuci Tuhan kami.'"[80] (Hadis). Hadis ini disampaikan melalui berbagai riwayat. Semua riwayat itu dapat dipastikan. Riwayat ini merupakan salah satu saja dari riwayat-riwayat yang semakna. Saya tidak mengurangi sedikit pun kecuali beberapa kata pada awal hadis yang saya nukil maknanya. Adapun hadis lain yang menunjukkan ihwal nama ar-Rabb dan kehadiran kemun­culannya, saya sampaikan menurut lafal dan maknanya. Hal itu dimaksudkan agar diketahui kebenaran pendapat be­berapa muhaqqiq bahwa ilmu kami ini didukung al-Kitab dan sunah. Jika engkau memahami penjelasan ini, niscaya engkau tahu rahasia pemisahan ini, dan tahu bahwa ia adalah tempat-tempat tinggi (al-araf) dan pagar-pagar di antara surga dan neraka. Karena, apabila langit terbelah dan berwarna merah muda, ia menyatu dan sebagiannya tidak bisa dibedakan dari sebagian yang lain. Maka seluruhnya dan segala lapisan yang berada di bawahnya menjadi Jahanam. Karena surga berada pada tataran al-Kursiy, atap surga itu 'Arsy—seba­gaimana dikabarkan Rasulullah saw—, dan batas Jahanam adalah dari bagian dalam al-Kursiy hingga pusatnya, maka mesti tempat-tempat tinggi yang disebut pagar-pagar itu adalah al-Kursiy itu sendiri. Ia adalah penampakan dari pe­misahan yang saya katakan, "Ia adalah maqam nama ar-Rabb dan penampakannya." Apabila engkau mengetahui pe­misahan dan penengahan ini, niscaya engkau tahu bahwa itulah yang dimaksud melihat penampakan-diri ini di dalam mimpi. Alam mimpi adalah dari alam pemisahan, dan gambaran-gambaran yang terlihat di dalam mimpi adalah permisalan dari segala hakikat yang tersendiri, penampakan-penampakannya, dan hijab-hijab terhadapnya. Demikianlah Rasulullah saw mengabarkan tentang pengungkapan-diri yang dilihat penghuni surga. Beliau bersabda mengenai al-Haqq dan tentang penghuni surga, "Tidak ada hijab di an­tara Dia dan mereka selain Urai kebesaran pada wajah-Nya di surga 'Adn." [81]Beliau menjelaskan bahwa bentuk-bentuk yang terlihat itu merupakan hijab terhadap hakikat dan mazhhar-nya. Maka pahamilah.

Berikutnya tentang rahasia pengungkapan-diri al-Haqq dalam rupa manusia. Karena hakikat kemanusiaan merupa­kan hakikat yang paling sempurna, maka bentuknya me­rupakan lembaran yang dihasilkan dari kehadiran Ilahi yang mencakup seluruh asma dan sifat dan dari martabat mungkin (imkdri) yang meliputi seluruh mumkinat, maka penampakan-diri al-Haqq dalam rupa manusia adalah untuk mengenal­kan kepada Nabi saw dan kepada siapa saja yang Dia kehen­daki di antara hamba-hamba pilihan-Nya bahwa syariat se­tiap nabi merupakan satu bagian tertentu dari kemudakan syariat yang dicakup oleh kehadiran Tuhan. Selain itu, me­ngenalkan bahwa syariat Muhammad saw mencakup selu­ruh syariat dan meliputi seluruh dzawq-nya.. Maka al-Haqq menampakkan diri kepadanya dalam bentuk rububiyyah se­cara sempurna. Hal itu merupakan salah satu tanda ber­akhirnya risalah dan pensyariatan.

Orang-orang terdahulu (al-aiuwalun) dan orang-orang terkemudian (al-akhirun), yang ilmunya siperoleh Nabi saw, adalah para rasul yang mengemban syariat dan orang-orang sempurna dari generasi berikutnya. Mereka mengambil dari Allah SWT dengan perantaraan perbuatan-perbuatan yang didekatkan yang terkandung di dalam syariat Nabi saw. Ini berbeda dengan yang mereka ambil dari Allah tanpa peran­tara, karena bagi siapa pun udak ada jalan masuk ke dalam­nya.

Sofa merupakan penampakan (gambaran) kehadiran dan martabatnya. Mahkota merupakan penampakan ke­muliaan dan kekuasaan rububiyyah. Sedangkan dua sandal adalah penampakan perintah dan larangan-Nya.

Rahasia pukulan di antara dua bahu adalah karena punggung merupakan penampakan alam gaib. Di sini, ia merupakan isyarat bagi pemberian pengaruh al-Haqq, di mana kegaiban zat-Nya di balik hijab merupakan penam­pakan bentuk yang telah saya jelaskan, bahwa tidak ada pengaruh bagi sesuatu yang muncul di dalam hal kemun­culannya. Ketika disaksikan darinya pengaruh, maka hal itu semata-mata perkara batin yang ada padanya atau darinya. Pahamilah prinsip ini, Saya telah bentangkan kepada peng-kaji suatu ilmu yang agung.

Adapun rahasia ujung-ujung jari adalah bahwa itu me­rupakan penampakan induk nama-nama yang merupakan kunci-kunci gaib dan penetapan hukum-hukum syariat yang menjadi landasan rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman, dan hukum-hukum lahir, yaitu halal, haram, makruh, sunah, dan salat lima waktu. Rujukan dan pangkalnya adalah lima kehadiran Ilahi yang merupakan prinsip dan induk bagi seluruh kehadiran. Di atasnya terdapat induk nama-nama yang oleh guruku[82] ra dinamakan "kunci-kunci sekunder".

Mengenai lima kehadiran itu, maka kehadiran kegaiban mencakup nama-nama, sifat-sifat, dan makna-makna serta maklumat-maklumat lain yang tercakup oleh ilmu al-Haqq. Kebalikan dari kehadiran ini adalah kehadiran terindra yang dinamakan alam nyata ('alam asy-syahddah). Di antara dua tepi ini terdapat kehadiran pertengahan, yaitu sejumlah hal yang dikhususkan bagi manusia sempurna. Di antara pertengahan ini dan ilmu gaib terdapat kehadiran yang hubungannya dengan alam gaib lebih kuat dan lebih sem­purna. Itu adalah yang disebut dengan alam arwah. Dan di antara pertengahan dan alam nyata atau alam terindera ter­dapat kehadiran yang hubungannya dengan alam nyata lebih kuat. Itu adalah kehadiran khayal.

Semua kehadiran dan martabat eksistensi itu yang di-nisbahkan kepada al-Haqq dan kepada alam melalui peng­khususan dan persekutuan, mengikuti lima kehadiran ini. Maka pahamilah.

Mengenai "kunci-kunci sekunder", akan segera kami jelaskan, insya Allah, pada saat saya membahas rahasia tangan yang menghasilkan pukulan. Saya katakan:

Tangan yang menghasilkan pukulan adalah tangan yang merupakan bagian dari tangan-tangan rabbani. Ketahuilah, bahwa itu merupakan satu dari dua tangan yang dengannya diciptakan Adam. Ia disebut dengan genggaman dalam firman-Nya, "Dan bumi seluruhnya Engkau genggam dengan tangan kiri, " dalam hadis yang disepakati kesahihannya. Karena itu, Allah SWT berfirman dalam ayat itu: Langit-langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. Apa yang diriwayatkan bahwa kedua tangan-Nya adalah kanan yang mengandung berkah, maka itu sahih secara adab dan pembukuan. Namun hal iui adalah di dalam penisbahan kedua tangan itu kepada-Nya, bukan dalam hal pengaruh keduanya terhadap apa yang ter­cipta dari keduanya. Maka yang digenggam dengan geng­gaman yang dinamakan dengan tangan kiri itu adalah alam unsur serta segala yang tersusun dan dihasilkan darinya, termasuk rupa unsur Adam. Itu merupakan hasil genggam­an tersebut dan muncul dengan sifatnya. Berbeda dengan rupa Adam dari sisi lainnya yang berada di luar pencip-taannya yang bersifat unsur, yakni rohani dan mazhhar-nya di alam-alam yang lain. Maka hal itu dinisbahkan kepada tangan kanan al-Haqq, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi saw tentang hal itu, "Ketika al-Haqq membaguskannya, se­mentara kedua tangan-Nya tergenggam. Dia berkata ke­padanya, 'Pilihlah mana di antara keduanya yang engkau sukai.' Adam menjawab, 'Aku memilih tangan kanan Tuhan­ku, dan kedua tangan Tuhanku adalah kanan yang mengan­dung berkah.' Maka Dia membukanya. [83] Ternyata Adam dan keturunannya ada di dalamnya, maka Adam keluar dari satu tangan. Dia dibaguskan dan memilih."

Adam bersama keturunannya berada pada tangan itu ketika terbuka. Dia dalam hal keberadaannya di luar tangan memiliki satu hukum. Sementara dalam hal pilihan dan keberadaannya pada tangan kanan yang dipilih dia memiliki hukum yang lain. Maka perhatikanlah apa yang saya dengar menurut isyarat-isyarat yang ditampakkan kepadamu, nis­caya engkau melihat ketakjuban itu.

Karena yang digenggam dengan genggaman tersebut adalah alam unsur, sebagaimana yang kami katakan, dan juga ada yang dikuasai oleh kekotoran, kegelapan, dan ke­padatan, maka Allah SWT menisbahkan orang-orang seng­sara dengan hal tersebut. Sebab, yang menguasai orang-orang sengsara adalah susunan khusus dan ketebalan, sebagai­mana ditunjukkan oleh Rasulullah saw dengan sabdanya,

"Tebalnya kulit orang kafir pada hari kiamat sejauh per­jalanan tiga hari."[84]

Selain itu, al-Haqq mengingatkan hal itu dengan firman-Nya,

"Sekali-kali jangan curang, karena sesung­guhnya kitab orang yang durhaka tersimpan di dalam sijjin. " (QS. al-Muthaffifin: 7)

Itu adalah alam terendah yang di­nisbahkan pada tangan yang disebut genggaman dan juga tangan kiri. Allah pun berfirman mengenai ashhab al-yamin,

"Sekali-kali tidak, sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti itu (tersimpan) di dalam 'Illivyin. " (QS. al-Muthaffifin: 18)

Ini adalah seperti firman-Nya,

"Dan langit-langit itu dilipat dengan tangan kanan-Nya."

Rahasia dalam hal orang-orang herbaku dan kitab mereka berada di 'Illiyyin adalah bahwa bagian-bagian penciptaan mereka yang tebal, dan kekuatan fisik mereka mengkristal, menjadi bersih, dan berubah dengan pengkudusan dan penyucian yang diperoleh dengan ilmu, amal, penghiasan dengan sifat-sifat terpuji, akhlak yang di­sunahkan dalam hal kekuatan dan sifat-sifat malaikat yang teguh dan suci bagi jiwa-jiwa mereka yang tenang. Seba­gaimana hal itu dikabarkan oleh al-Haqq dengan firman-Nya dalam menjelaskan ihwal jiwa,

"Sesungguhnya beruntung­lah orang yang menyucikan jiwa itu. " (QS. asy-Syams: 9)

Selain itu, Rasulullah saw pun mengisyaratkannya dengan ucapan dalam doanya,

"Ya Allah, datangkan pada diriku ketakwaannya dan sucikanlah ia. Engkau adalah sebaik-baik Yang menyucikannya.[85]"

Keadaan orang-orang yang seng­sara adalah sebaliknya. Kekuatan dan sifat-sifat rohani mereka hancur di dalam kekuatan fisiknya dan musnah substansi­nya. Seakan-akan semua itu berubah, lalu menjadi tebal. Tidak diragukan, ketika Allah menggabungkan bagian-bagi­an yang terpisah dari badan dan penciptaan fisik mereka serta yang tercelup dengan keyakinan, prasangkajelek, per­buatan yang buruk, dan akhlak mereka yang tercela ketika selama beberapa tahun mereka berada di dalam penciptaan dan dunia ini, lalu al-Haqq menyusunnya dalam ciptaan kulit ari, maka darinya dihasilkan tuntutan agar tebalnya kulit salah seorang dari mereka adalah sejauh perjalanan uga hari. Hal ini kebalikan dari apa yang saya jelaskan me­ngenai orang-orang yang berbaku.

Karena itu, disampaikan ihwal penciptaan surga, bahwa para penghuninya muncul pada satu waktu di beberapa istana dengan bersenang-senang dalam setiap kelompok dari keluarga mereka. Mereka berubah dalam rupa yang mereka inginkan. Tidaklah hal ini melainkan karena apa yang saya sebutkan, yaitu menggunakan bagian-bagian cipta­an mereka dalam jawhar-nya yang lembut, mencelupnya dengan sifat-sifatnya, dan unggulnya jiwa dan kekuatan rohani mereka atas kekuatan jasmani mereka. Maka mereka menjadi seperu malaikat yang muncul dalam rupa yang mereka kehendaki. Apabila engkau memahami apa yang saya jelaskan, niscaya engkau tahu, walau dari sebagian aspek, bahwa rupa dan gambaran yang dinisbahkan pada roh dan makna itu, merupakan tabir terhadap orang-orang yang memunculkannya, bukan esensi hakikat mereka, sebagai­mana telah dijelaskan. Terutama tentang al-Haqq yang di­kabarkan di dalam hadis sahih,

"Dia tampak pada hari kiamat dalam berbagai rupa. Dia berubah dari bentuk yang paling rendah ke bentuk yang paling tinggi."[86]

Dan sebalik­nya. Hal itu karena kemunculannya berdasarkan tanda-tanda yang ada antara Dia dan hamba-hamba-Nya yang merupa­kan ungkapan dari dugaan keyakinan mereka terhadap-Nya, sebagaimana Dia berfirman,

"Aku sesuai prasangka hamba­Ku kepada-Ku." [87] (Hadis).

Karena, hal itu termasuk tun­tutan sunah-Nya, ilmu-Nya, dan hikmah-Nya.

Di sini terdapat rahasia agung yang menentukan apa yang telah disebutkan. Yaitu, bahwa setiap yang ada pada zat-Nya, dalam hal zat-Nya adalah terlepas dari berbagai sifat pengikatan. Kemunculan dan penampakan-Nya dalam hakikat seuap yang tampak, martabat, dan alam, hanyalah terjadi karena dapat diterimanya hal yang tampak dan yang terlihat yang menuntut kemunculan-Nya padanya. Maka perhatikanlah prinsip ini dan hadirkanlah, niscaya engkau selamat dari jurang tasybih dan tanzih keraguan dan penyu­cian yang mengikat akal yang lemah. Dari kotoran penye-rupaan seperti ini engkau lihat terdapat susu murni yang disajikan kepada para peminum. Jika engkau minum dari­nya, maka engkau lihat bahwa al-Haqq adalah

"Dialah Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahalahir dan Mahabatin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu", (QS. al-Hadid: 3)

dengan Ilmu-Nya, zat-Nya, dan keesaan-Nya. Dia pun tahu setiap sesuatu dengan sesuatu yang lain, di mana keberbilangan kaitan ilmu-Nya dengan ihwal segala sesuatu adalah ber­dasarkan segala sesuatu itu. Maka bagi-Nya awal dan akhir segala perkara, serta batinnya yang bersifat garis besar. Se­dangkan lahir-Nya bukan selain-Nya. Saya telah jelaskan, dengan pertolongan Allah, bahwa tangan yang menghasil­kan pukulan adalah tangan mana saja. Saya telah ingatkan hukum-hukumnya karena keberadaannya sebagai genggam­an. Saya telah menunjukkan pengaruh-pengaruhnya, apa yang digenggam, dan apa yang dikhususkan dengan tangan yang lain. Saya pun telah mengingatkan perbedaan di antara pengaruh keduanya. Maka kini hendaklah kita ingat, dengan pertolongan dan kehendak Allah, apa yang saya mampu sebutkan dari rahasia-rahasia yang lain dari tangan ini, rahasia ujung-ujungjari, penampakan pemisahan dalam mimpi, dan hal lain yang terkandung di dalam hadis yang komprehensif ini dengan sejumlah induk ilmu, amal, dan sebagainya yang akan dijelaskan, insya Allah.

Di atas saya telah jelaskan bahwa rupa dan penampakan adalah hijab atas hakikat yang dinisbahkan kepadanya, dan bahwa pengaruh-pengaruh hakikat itu tersembunyi di balik penampakan tersebut. Maka rupa tangan dan ujung jari merupakan hijab atas hakikat nama-nama Ilahi yang mem­berikan pengaruh. Tangan yang disucikan ini dan tangan yang lain memiliki pasal dan pokok. Pasalnya ada empat belas. Pokoknya ada lima yang lahir dan lima yang batin. Batin pasal-pasal ini adalah hakikat huruf yang dua puluh delapan jumlahnya. Huruf-huruf itu terdiri dari dua bagian yang sama. Empat belas huruf bertitik, sementara empat belas huruf lainnya tidak bertitik. Penampakannya termasuk induk bentuk-bentuk alam yang dikhususkan dengan tangan kanan al-Haqq, yaitu dua puluh delapan tempat. Yang tampak darinya hanya empat belas. Sementara yang batin ada empat belas pula. Maka ingadah apa yang saya jelaskan berupa rahasia penampakan dan ketertutupan, serta rahasia pengaruh hakikat dari baliknya dalam kegaiban. Pahamilah kesesuaian antara tangan yang dikhususkan dengan bentuk manusia yang tampak, dari sisi bentuknya dengan sifat genggaman dan dari segi batinnya dengan sifat-sifat tangan yang lain, yaitu tangan kanan. Perhatikanlah persendian yang engkau dapatkan tidak lebih dari 28 buah.

Prinsip-prinsip yang penampakannya adalah jari-jemari ada lima prinsip yang memiliki derajat berlainan. Yang paling tinggi dan paling mencakup adalah cakupan pengetahuan (al-hithah), yaitu ilmu, dan itu merupakan prinsip perte­ngahan. Di sebelah kanannya terdapat dua prinsip, yaitu hidup (al-haydh) dan kekuasaan (al-qudrah). Di sebelah kiri­nya terdapat dua prinsip juga, yaitu kehendak (al-hddah) dan kalam (al-qawt). Setiap prinsip memiliki tiga pasal, kecuali prinsip al-qudrah yang memiliki dua persendian khusus. Gugur darinya pasal ketiga karena dua rahasia yang agung. Salah satunya adalah bahwa masing-masing dari yang empat itu hubungannya umum, berbeda dengan al-qudrah. Sebab, ia merupakan sesuatu yang tercegah oleh hukum yang tidak mutiak. Karena, hukumnya tidak berkaitan kecuali dengan mumkin. Maka pelaksanaannya tidak umum dan termasuk pembuka pintu pemahaman terhadap sesuatu yang saya tunjukkan mengikuti huruf law. Hal itu disebutkan di dalam al-Kitab dan sunah. Ia adalah huruf penolakan yang me­nunjukkan pada kemustahilan terjadinya sesuatu yang se­butannya dihubungkan padanya. Jadi ia tempat pengilham­an. Rahasia lain adalah bahwa tatacara hubungan kekuasaan (al-qudrah) dan yang dikuasai tidaklah jelas. Keadaannya merupakan permulaan penciptaan yang sangat samar. Karena, penampakan-diri yang bersifat eksistensi yang mem­bentangkan cahaya kepada segenap mumkinat (segala yang bersifat mungkin) yang meliputi dirinya di dalam kegelapan kemungkinan adalah terjadi dengan sendirinya. Dan mum­kinat itu, dalam hal hakikatnya yang tampak pada ilmu al-Haqq tidaklah disifati dengan penciptaan, sebagaimana saya telah jelaskan hal itu tidak pada satu tempat dalam pem­bahasanku. Maka tidak dipaliami adanya pengaruh kekuasa­an (al-qudrah) kecuali menyertakan eksistensi yang dilimpah­kan dengan mumkinat Pada selain orang-orang sempurna dari ahli Allah tergambar bahwa penyertaan itu adalah gerakan yang menyebabkan hubungan {al-itUshat). Tidak ada gerakan yang dibayangkan pada makna dan hakikat yang sederhana. Selain itu, penyertaan itu adalah hubung­an, bukan sesuatu yang bersifat eksistensi. Ketika itu yang diperoleh orang yang menujukan pandangan pada makna adalah pengaruh al-qudrah. Maka barangsiapa yang meng­gunakan nalar dan memperhatikan, niscaya dia mengetahui aspek ini. Tidak diragukan lagi ini adalah maqam ibu jari.

Ibu jari yang merupakan penampakan kekuasaan {al-gudrah) memiliki dua persendian karena ketiadaan ke­umuman hukumnya dan karena kesamaran penegasan pengaruhnya. Maka penamaannya sesuai dengan nama ini. Ini disertai sulitnya untuk dituturkan bahwa pengaruh al-qudrah bukanlah sesuatu yang bersifat eksistensi. Melainkan hal itu merupakan hasil dari pemberian pengaruh-Nya se­bagai suatu hubungan, tiada lain. Maka kajilah apa yang saya jelaskan kepadamu, niscaya engkau tahu bahwa tidak ada bagian dari bentuk-bentuk eksistensi, baik yang tinggi maupun yang rendah, kecuali berkaitan dengan al-Haqq dan bersandarkan kepada-Nya melalui pengungkapan dengan nama dan sifat. Jika engkau naik sedikit, maka engkau me­mahami rahasia peniruan bentuk-bentuk yang tampak bagi hakikat-hakikat yang gaib, kemunculannya dengan rupa yang sesuai, dan benarnya peniruan itu. Jika engkau naik lagi, niscaya engkau tahu rahasia al-Haqq yang tampak pada berbagai penampakan serta rahasia tanzih dan tasybih. Di­ketahui mana yang benar dan mana yang tidak benar dari keduanya. Engkau telah memperhatikan pula makna sabda­nya,

"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya" [88]

dengan tetap berlakunya hukum:

"Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya".

Maka pahamilah.

Saya telah bentangkan kepada pengkaji yang menelaah pembahasan ini, bahwa jika dia dibebaskan kebutaannya, maka dia memperoleh banyak ilmu, serta rahasia-rahasia rabbani dan rahasia alam yang tidak dapat didengar dan dirumuskan dalam tulisan-tulisan dalam lingkup keilmuan. Hanya Allah saja yang memberi petunjuk.

Kemudian, ketahuilah bahwa ketika saya merasa harus menyebutkan kandungan hadis ini, dan melihat ilmu dan rahasia, saya jelaskan rahasia pengungkapan-diri tersebut, serta prinsip dan martabat pemisahannya untuk mengetahui kehadiran mana yang muncul dan tampak. Mengapa muncul dalam rupa manusia dan di dalam mimpi. Saya tunjukkan rahasia pukulan di antara kedua bahu. Saya telah jelaskan bahwa tangan yang digunakan memukul adalah tangan mana saja. Saya juga telah menyebutkan rahasia dua tangan, karakteristik masing-masing, apa yang dimunculkannya, apa yang digenggam masing-masing, serta rahasia genggaman dan ujung jari. Saya jelaskan bahwa ujung jari merupakan penampakan sifat-sifat rabbani dan nama-nama yang mana saja. Saya munculkan kesesuaian antara hukum-hukum dan pengaruh hakikat dengan penampakannya. Saya tunjukkan bahwa apa yang dipahami orang cerdas membuka rahasia analogi hakikat manusia pada maqam wajib dan maqam mungkin serta cakupan keduanya. Bagaimana hal itu me­nunjukkan rahasia sabdanya,

"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam rupa-Nya."

Saya sebutkan pasal-pasal (persendian) serta tangan dan penyandarannya pada hakikat huruf-huruf Ilahi dan penampakannya dalam tangan kanan dan tangan kiri. Selain itu, saya sebutkan prinsip-prinsipnya yang merupakan induk asma Tuhan tempat bergantung penciptaan. Itu adalah kunci-kunci sekunder. Sementara kunci-kunci primer adalah kunci-kunci kegaiban adz-Dzat. Itu adalah nama-nama adz-Dzat. Itu adalah nama-nama al-Haqq dalam hal zat-Nya yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang sempurna. Secara umum saya telah menye­butkannya ketika membahas rahasia-rahasia nama teragung. Karena itu, saya tidak akan mengulang menyebutkan hal itu di sini. Saya bentangkan di dalam penjelasan ilmu-ilmu yang lain dan rahasia-rahasia tambahan yang dikandung hadis ini. Maka sepantasnya saya menyempurnakan apa yang saya gariskan. Saya harus menjelaskan rahasia-rahasia mimpi ini.

Rahasia dirasakannya dingin ujung-ujung jari di antara kedua payudara itu menunjukkan salju keyakinan dengan diperolehnya ilmu yang nyata. Sementara rahasia kekhusus­annya dengan dada adalah karena dada merupakan tempat turunnya pensyariatan. Karena, kalbu Rasulullah saw adalah tempat kebenaran di mana tidak ada yang lain di dalamnya, dan memunculkan lembaran alam. Dada adalah tempat penampakan syariat dan risalah-Nya. Karena, rasul adalah perantara antara sumber risalah (al-mursii) dan umat yang menerima risalah. Sementara syariat adalah hukum yang memperantarai antara hakim, yaitu al-Haqq dan yang di­ hukumi. Karena itu, al-Haqq menjadikan dada sebagai tempat ujian yang merupakan cobaan. Allah SWT hanya menguji hamba-hamba-Nya dengan apa yang disyariatkan kepada mereka. Dengan hal tersebut, muncul orang yang tunduk dan taat dan orang yang berbuat maksiat. Maka dua genggaman itu menjadi berbeda. Hal itu ditunjukkan dengan firman-Nya,

"Dan Allah [berbuat demikian] untuk menguji apa yang ada di dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada di dalam hatimu. " (QS. Ali 'Imran: 154)

Membersihkan adalah menyucikan. Membersihkan emas adalah menyuci­kannya dari kotoran agar menjadi bening. Maka ia layak menjadi tempat kebenaran seperti difirmankan-Nya kepada Dawud as,

"Wahai Dawud, kosongkanlah untuk-Ku sebuah rumah untuk Aku tinggali."

Jika penyucian hati itu tidak sempurna sehingga tidak pantas untuk menjadi tempat al-Haqq, maka setidaknya harus bisa menjadi tempat bagi se­suatu yang bersumber dari-Nya berupa ilmu dan peng­ilhaman yang mendorong ketaatan, kedekatan, kecintaan, kehadiran, ketakutan, dan mencari keridaan Allah SWT. Maka dada yang dikhususkan menjadi perumpamaan, yang dipukul dengan tangan, adalah seperti bentuk pengungkapan-diri yang dinisbahkan kepada kehadiran nama ar-Rabb. Maka pahamilah.

Lalu mengenai rahasia mengapa muncul pertanyaan tentang pertengkaran para penghuni alam arwah dan sebabnya, dan kelompok mana dari penghuni alam arwah itu yang dimaksudkan di sini. Sesungguhnya, sudah jelas bagi orang berpikir (uli al-albdb) bahwa tidak semua peng­huni alam arwah bertengkar dalam hal-hal seperti ini me­nurut apa yang akan engkau pahami, insya Allah. Maka ke­tahuilah, bahwa sebab pertanyaan ini adalah bahwa kehadir­an nama ar-Rabb tersebut, ketika terjadi pemisahan antara alam unsur yang batas tertingginya adalah Sidrah al-Muntahd dengan alam al-Kursiy yang mulia dan 'Arsy yang agung, merupakan penggabung dari segi sifat dan hukum di antara dua hai yang bertentangan itu. Sebagian muhaqqiq menamai masing-masing ini dengan Manzil al-Mutasydbihdt.

Mutasyabih adalah pertengahan antara dua ujungnya. Ia mempunyai hubungan dengan masing-masing dari kedua­nya, dan bersamanya ada persekutuan secara relatif. Walau­pun penisbahannya pada salah satu dari dua tepi ini lebih kuat, karena menurut pen-tahqiq-a.n mustahil ada kesamaan yang sempurna pada mutasydbihat seperu ini, namun me­ngetahui kecenderungan itu tercegah bagi kebanyakan manusia. Demikianlah ihwal perbuatan manusia. Karena itu, tidak pelak lagi, perbuatan-perbuatan itu bercampur dengan karakteristik kekuatan-kekuatan tubuh alami (jasmani) dan karakteristik kekuatan-kekuatan rohani mereka. Dan juga terwarnai dengan hukum-hukum ilmu atau keyakinan dan pandangan mereka, yang benar dan yang salah. Serta kaitan-kaitan keinginan mereka yang mengikuti tingkatan-tingkatan roh asal mereka yang merupakan tujuan mereka di mana saja di dua tempat yang mereka tinggali. Hal itu ditunjuk­kan dengan sabda Rasulullah saw di dalam hadis sahih, "Masing-masing kalian ditunjukkan ke tempat tinggalnya di surga. Dari situ ditunjukkan ke tempatnya di dunia."[89] Itu terjadi karena esensi dan sifat-sifat penyempurna tertarik ke maqam tujuannya.

Kemudian, ketahuilah bahwa karena yang menguasai perbuatan kebanyakan orang adalah karakteristik tubuh alami (jasmani), maka disebutkan di dalam syariat menge­nai Sidrak al-Muntahd bahwa padanya berakhir perbuatan-perbuatan anak Adam, karena penyingkapan para muhaqqiq sesuai dengan kabar-kabar yang diberitakan oleh Tuhan dan Nabi bahwa Sidrah al-Muntahd adalah akhir alam unsur, se­bagaimana saya tunjukkan sebelum ini. Sebagian muhaqqiq menamainya dengan unsur anasir. Perbuatan-perbuatan fisik merupakan cabang dari susunan tubuh alami. Cabang itu tidak melewati asalnya, dan bagian tidak melampaui keseluruhannya, bahkan tertarik dengan sendirinya padanya agar berhubungan dengannya. Jika ini jelas bagimu, niscaya engkau tahu bahwa martabat perbuatan-perbuatan dan sidrah al-muntahd-nya. adalah banyak. Maka rahasia sebab pertengkaran penghuni alam arwah sama dengan bentuk-bentuk perbuatan yang berhubungan dengan badan yang tersusun dari unsur-unsur. Ia memiliki hubungan dengan roh yang siap menerima percampuran dan tindakan. Peng­huni alam arwah yang dimaksudkan di sini adalah mereka yang menegaskan bentuk-bentuk perbuatan di beberapa sidrah al-muntahd dan para malaikat di alam dunia yang mengawasi kita siang dan malam. Merekalah yang dikabar­kan Nabi saw dengan sabdanya,

"Para malaikat itu meng­awasi kalian siang dan malam. Mereka berkumpul pada waktu salat Subuh dan salat Ashar."[90]

Mereka adalah para penulis yang mulia, yang mengangkat amalan-amalan hamba untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yang Mahaagung dan Mahatinggi. Mereka mengangkat bentuk-bentuk amalan dari para pelakunya. Pada awal martabat penegasannya terdapat banyak pendahuluan yang diketahui ahli dzawq dan kasyf. Mereka, yakni para malaikat, juga bergabung dengan penghuni alam arwah dalam perdebatan untuk memastikan amalan-amalan yang diangkat ke Sidrah al-Muntahd, apakah dipastikan pada martabat amalan jasmani atau pada mar­tabat amalan rohani. Kekeliruan itu terjadi akibat percam­puran yang berkaitan dengan karakteristik susunan tubuh, kekuatan rohani, ilmu, kaitan-kaitan keinginan, dan semua yang telah dijelaskan di atas.

Karena itu, di dalam kisah ini disebutkan tentang mem-baguskan wudu di pagi yang dingin dan sebagainya. Karena, membaguskan wudu tersebut merupakan perbuatan fisik dalam hal bentuknya, padahal tidak sesuai bagi tubuh itu dan memberatkannya. Yang mendorong untuk melakukan­nya adalah roh. Maka dari segi otentisitas (ashdlah) per­buatan itu adalah rohani, dan dari segi bentuk adalah per­buatan fisik (jasmani). Maka ia muncul sebagai kesamaran yang memiliki dua aspek. Haruslah diketahui yang lebih kuat dari dua hubungan itu dengan salah satu sisi, yakni sisi rohani dan sisi fisik (jasmani). Ketika itu tampaklah martabat perbuatan tersebut dan di mana dipastikannya. Karena, percampuran-percampuran yang terdapat dalam bentuk perbuatan di antara kekuatan jasmani dan kekuatan rohani terjadi dalam berbagai bentuk yang memunculkan bentuk-bentuk di alam lebih tinggi. Perbuatan-perbuatan itu di­angkat dan ditetapkan oleh para malaikat yang memelihara sidrah tempat berakhirnya perbuatan dari sidrah al-muntaha yang lain. Hal itu, seperti yang saya telah jelaskan, banyak jumlahnya. Yang hukumnya paling umum adalah sidrah al-muntaha yang merupakan sumber syariat dan tempat per­tama dari tempat-tempat perbuatan yang disyariatkan.

Sebagian perbuatan melewati sidrah menuju surga. Se­mentara sebagian lainnya menuju 'Arsy. Ibadah individual dan setiap perbuatan yang dikuasai sifat-sifat dan kekuatan rohani apabila dibarengi ilmu atau keyakinan, atau yang dihasilkan dari pandangan yang benar yang dilakukan dengan kehadiran kalbu dan ketulusan, maka perbuatan itu melewati 'Arsy menuju alam arwah. Perbuatan itu tersimpan di situ untuk pemiliknya hingga hari berkumpul (Kram al-Jamt). Kadang-kadang melampaui alam arwah menuju al-Lawh. Kemudian dikembalikan kepada pemiliknya pada hari berkumpul. Ada yang perbuatannya melewati al-Lawh, menuju maqam qalami, lalu ke al-'imd'. Barangsiapa yang mengingat hadis,

"Aku adalah pendengarannya, peng­lihatannya, lisannya, tangannya, dan kakinya. Maka dengan­Ku dia mendengar, melihat, berkata, berusaha, dan bertindak,"[91]

dan mengingat makna sabda Rasulullah saw,

"Sesungguhnya Allah SWT berfirman melalui lisan hamba­Nya, 'Allah mendengar orang yang memuji-Nya,'"[92]

maka dia memahami bahwa akhir perbuatan yang ditujukan ke­pada al-Haqq dan akhir perbuatan al-Haqq kepada hamba­Nya, adalah agar derigannya al-Haqq berkata bahwa Ia tidak mungkin muncul pada tempat tertentu, karena al-Haqq disucikan dari tempat. Maka ingadah dan kajilah, niscaya engkau mendapat petunjuk, insya Allah.

Penggabung (Washl)

Ketahuilah, bahwa kifarat memiliki rahasia-rahasia agung yang tersembunyi. Sebagiannya lebih tersembunyi dari se­bagian yang lain. Yang pertama adalah bahwa hukum se­suatu yang hendak dihapus dengan penghapusannya adalah seperti hukum racun dengan penawar yang menolak baha­yanya, dengan kekuatannya yang menghilangkan bahaya secara universal. Atau, yang menolak bahaya sampai pada tingkat kesempurnaannya dengan kekuatan perlawanan dan kekuatan yang sebanding dengan kekuatan racun yang ber­bahaya. Sebagaimana bahaya racun berbeda-beda karena perbedaan kekuataannya, demikian pula kekuatan-kekuatan penawar yang melawannya dan menolak bahayanya. Demi­kian halnya kebaikan-kebaikan yang menghapuskan kejelek­an atau yang menolak bahayanya dan menggantikan sifat-sifatnya yang jelek dengan sifat-sifat yang terpuji di mana esensinya tidak berubah. Sebagaimana hal itu disebutkan di dalam al-Kitab dan sunah berupa penggantian kejelekan dengan kebaikan, penghapusan kejelekan dengan kebaikan, dan sebagainya. Selain itu, engkau harus ketahui bahwa tidak setiap yang dinamai penawar dapat menolak atau me­lawan bahaya setiap racun, kecuali apabila kekuatan pe­nawar lebih besar daripada kekuatan racun. Maka ketika itu kekuatan penawar dapat menghilangkan kekuatan bahaya atau menyamainya, sehingga menghentikan pengaruhnya. Demikian pula, tidak setiap yang disebut kebaikan dapat menutupi bahaya setiap kejelekan. Bahkan hal itu tergantung— setelah karunia Allah—pada unggulnya kekuatan kebaikan atas kekuatan kejelekan, atau sebanding, sebagaimana yang saya misalkan dengan penawar dan racun. Maka unggulnya kekuatan kebaikan menyebabkan—dengan rahmat Allah— masuk surga. Sementara unggulnya kekuatan kejelekan menyebabkan—dengan tidak adanya pertolongan Ilahi— masuk neraka untuk penyucian dan pembersihan jika kejelekan-kejelekan itu merupakan akibat dari sifat-sifat yang tidak esensial. Atau, kekal di neraka hingga masa yang Dia kehendaki jika kejelekan-kejelekan itu merupakan akibat dari sifat-sifat yang esensial. Keseimbangan dalam kekuatan-kekuatan kejelekan dan kebaikan adalah dalam ihwal peng­huni tempat-tempat tinggi (al-a’raf), di mana syafaat mereka kepada orang lain merupakan hukum maqam kesatuan tin­dakan. Yang bertindak dari segi kesatuan perbuatan dalam pokok masalah. Di antara sesuatu yang harus diingat di antara hukum-hukum maqam perbuatan di mana tidak ada permulaan dalam penjelasannya, adalah agar engkau tahu bahwa waktu dan tempat di dalam menghapus kejelekan dan menguasai jalan-jalan kebaikan dan bentangannya, serta mengingatkan dan melemahkannya, tidak diketahui rahasia-rahasianya kecuali oleh para pemuka dan yang me­mahami apa yang ditunjukkan Rasulullah saw dengan sabda-nya,

"Allah SWT mengampuni penghuni tempat-tempat tinggi dan menjamin pengikut mereka. Dia turun ke langit dunia pada hari 'Arafah."[93] (Hadis).

Demikianlah yang beliau sebutkan dalam mengingatkan keutamaan bulan Ramadan, sepuluh Zulhijah, dan pertengahan bulan Syakban (nishf asy-sya'bdn).

Salat di Mesjid al-Haram memiliki seratus ribu keutama­an; Salat di mesjid Nabi saw memiliki seribu keutamaan; dan salat di Mesjid al-Aqsha memiliki lima ratus keutamaan. Pahamilah apa yang saya tunjukkan kalau pun belum sampai pada tingkatan para muhaqqiq yang melakukan pengkajian. Kemudian, agar engkau tahu bahwa induk martabat-martabat pemikiran, penggantian, penghapusan, dan penegasan perbuatan-perbuatan yang disifati dengannya adalah sidrah al-muntahd-nya yang merupakan cermin roh-rohnya, dan sebagai tempat penampakannya yang meninggikan roh-rohnya. Rujukan hukum-hukum sidrah al-muntaha perbuatan-pebuatan itu adalah tingkatan-tingkatan pelakunya dalam akhir urusannya dan gambaran keadaan batin mereka ketika mulai melakukan perbuatan dan kehadiran ilmu atau keyakinan dan sebagainya dari bentuk-bentuk pandangan yang benar dan kaitan-kaitan keinginan mereka, sebagai­mana yang saya jelaskan sebelumnya. Kunci yang membuka apa yang saya sebutkan kini dalam hal martabat dan sidrah al-muntaha adalah mengetahui bahwa al-Haqq mengikat alam-alam dan segala maujud, baik yang kecil maupun yang besar, yang mulia maupu yang hina, yang tinggi maupun yang rendah, sebagiannya dengan sebagian yang lain. Ia juga menggantungkan kemunculan sebagiannya pada se­bagian yang lain. Pada semuanya itu, Dia mempercayakan dua sifat, yaitu memberikan dan menerima pengaruh. Maka tidak ada sesuatu wujud disifati dengan dapat memberikan pengaruh saja tanpa menerima pengaruh kecuali al-Haqq dengan martabat keagungan dan kekayaan-Nya. Tidak di­ragukan, alam terendah beserta isinya dijadikan cermin bagi alam lebih tinggi dalam hal penampakan dan penggabung­an bagi pengaruh-pengaruhnya. Demikian pula alam lebih tinggi dijadikan cermin yang tertempel padanya cap perbuatan-perbuatan makhluk dan mazhhar-nya yang dihasilkan dari percampuran antara kekuatan alami (jasmani) dan kekuat­an rohani yang terlebih dahulu turun dari alam lebih tinggi dan bahan penciptaan penghuni alam terendah, khususnya manusia yang merupakan materi yang dituju. Padanya ter­kumpul segala kekuatan dan pengaruh. Dengannya dan darinya ia kembali ke sumbernya tempat ia turun dan ter­sebar. Namun, ddak dalam bentuk dan sifat yang merupa­kan tempat turun. Pusat-pusat roh perbuatan dalam penam­pakannya yang dinamakan sidrah al-muntaha merupakan ikatan-ikatan alam arwah mudak. Hubungan ikatan-ikatan ini yang dihasilkan dari bentuk alam yang lebih tinggi dengan kemutlakan alam arwah adalah seperti hubungan selokan dengan sungai yang besar, di mana dari sungai itu bercabang selokan-selokan.

Alam roh, dari sisi ikatan tersebut dan dari sisi universal dan keumuman hikmahnya, adalah cermin bagi sedap per­buatan, maujud, dan martabat yang diketahui dalam suatu bentuk. Maka penampakan roh-roh perbuatan, di mana ia dikenali, hanyalah merupakan simbol. Maka pahamilah. Yang khusus bagi al-Haqq adalah penampakannya dengan penampakan-diri eksistensi dan pelimpahan kemurahan­Nya. Setiap sesuatu di dalam martabat-Nya berada dalam batas pengetahuan-Nya terhadapnya. Apabila engkau me­mahami apa yang saya jelaskan dalam pasal ini, niscaya engkau tahu bahwa sebab perdebatan penghuni alam arwah tentang kifarat adalah kekeliruan yang dihasilkan oleh sebab hukum-hukum, percampuran-percampuran, dan karakteristik terperinci yang saya telah jelaskan rahasia-rahasianya. Saya telah jelaskan penyandaran sebagiannya terhadap Sidrah al-Muntaha, sebagian yang lain pada tujuan pelaku perbuatan, dan sebagiannya lagi pada bentuk ihwal mereka ketika mulai melakukan perbuatan. Sementara sebagian lainnya disan­darkan pada waktu dan tempat tertentu. Dan sebagian yang lain lagi disandarkan pada martabat-martabat asal yang me­rupakan tempat tinggal para pelaku perbuatan ketika mereka sampai pada tujuan sebagai akhir mereka dan sebagainya berupa sebab-sebab terperinci yang saya tunjukkan. Semua­ nya adalah urusan-urusan terperinci yang bercabang dari berbagai asal dan ilmu penghuni alam arwah secara uni­versal.

Karena itu, sulit membebaskan asal perbuatan yang telah bercampur dan meneguhkannya pada martabatnya, terutama disebabkan tempat istimewa asal perbuatan Ilahi dalam hal keesaan-Nya dan sandarannya pada al-Haqq yang tidak dipengaruhi pada hakikat oleh selain-Nya. Karena, keberbilangan yang dihasilkan tindakan al-Haqq hanya menghasilkan keberbilangan dan sifat-sifat tidak esensial, yang tidak menghilangkan intinya. Maka pahamilah prin­sip ini, karena itu termasuk inti makrifat. Jika engkau me­ngetahuinya, niscaya engkau tahu rahasia syafaat Arham ar-Rdhzmin dan sebab al-Haqq mengeluarkan dari neraka suatu kaum yang tidak mengenal kebaikan sedikit pun. Selain itu, engkau pun akan tahu rahasia unggulnya kasih sayang ter­hadap kebencian. Dan, engkau tahu rahasia diterimanya tobat, maaf, dan ampunan, serta rahasia pertolongan yang menghasilkan penggantian kejelekan dengan kebaikan, rahasia jaminan terhadap pertanggungjawaban dan rahasia

"supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang". (QS. al-Fath: 2)

Itu termasuk buah penyaksian kesatuan tindakan dan dominasi karakteristik kesatuan perbuatan terhadap karak­teristik keberbilangan yang tidak esensial. Engkau pun akan mengetahui selain itu yang akan menjadi pembahasan yang panjangjika disebutkan. Bahkan, tidak mudah untuk men­jelaskannya. Hama Allah saja yang memberi petunjuk.

Saya telah sebutkan di dalam pasal ini rahasia-rahasia pemberian kifarat, motif-motif perdebatan penghuni alam arwah dalam hal itu, dan yang semisalnya yang Allah takdir­kan menyebutkannya dengan tambahan-tambahan yang mulia dan ilmu yang sangat tersembunyi dan halus. Saya sebutkan induk martabat-martabat perbuatan yang seperti jenisjenisnya. Saya ingatkan sidrah al-muntahd-nya. di alam-alam lebih tinggi Maka hendaklah kita pun mengingat jenis-jenis martabatnya yang ditampakkan oleh al-Haqq SWT ke­padaku sebagai karunia dan anugerah.

Ketahuilah, bahwa perbuatan kebanyakan pelaku, karena bangunannya didasarkan pada perintah dan larangan yang disyariatkan, maka ia menjadi tetap dengan cara menghasil­kan rahbah dan raghbah dari salah satu dua motif, yaitu motif ilmu dan motif iman. Motif raghbah adalah pembenaran (kepercayaan) yang sempurna terhadap segala yang di­janjikan maupun pemahaman yang pasti melalui penga­baran dari Muhammad saw. Sementara motif rahbah adalah pembenaran (kepercayaan) sempurna terhadap segala yang diperingatkan sehingga menghasilkan rasa takut, seperti keyakinan orang sakit kepada dokter tentang bahaya-bahaya yang diperingatkannya dan yang berhubungan dengan sakitnya. Ini disebut takut.

Adapun pengetahuan yang pasti terhadap bahaya dan manfaat adalah seperti keadaan dokter yang mengetahui makanan dan minuman yang berbahaya atau yang berman­faat. Kepercayaan itu menghasilkan takut (kharuf). Se­mentara ilmu membuahkan khasyyah. Al-Khasyyah adalah takut yang lebih spesifik, tidak dirasakan kecuali oleh orang yang mengetahui akibat-akibat perbuatan. Bahwa al-Haqq menampakkannya dengan karunia padanya bukanlah suatu hal yang mustahil. Karena, tidak ada penghalang dan ikatan pada Eksistensi Mudak kecuali dari segi penerima (qdbil). Prinsipnya telah ada, yaitu perbuatan. Perbuatan itu me­nuntut kemunculan akibat dari setiap pelakunya. Maka khasyyah seorang alim kepada al-Haqq adalah dari segi ini. Buah khasyyah adalah tidak melakukan suatu perbuatan yang dia ketahui bahwa akibatnya yang muncul tidak layak baginya atau tidak disukainya. Pada al-khawf tidak disyarat­kan adanya ilmu untuk mengetahui setiap perbuatan dan akibatirya. Melainkan hanya disyaratkan percaya terhadap segala yang dikabarkan melalui bahasa peringatan dan me­mandang sebab-sebab keselamatan. Ketahuilah, sebagaimana ilmu menyebabkan adanya khasyyah dan menahan diri dari melakukan perbuatan yang diketahui akibatnya berbahaya dan tidak disukai, kadang-kadang yang mengetahui bahaya dan manfaatnya dapat melakukan hal-hal yang diduga oleh orang yang takut (al-kha'if) akibat-akibatnya yang memba­hayakan bersifat merata bagi setiap pelakunya. Padahal masalahnya tidak demikian. Akibat-akibat berbahaya yang muncul dari sebagian perbuatan hanyalah muncul pada aspek tersebut dan membahayakan apabila tempat amalan siap menerimanya dan sekedar menerimanya. Mestilah di­anggap tidak ada perlawanan dan penolakan. Tidakkah engkau perhatikan bahwa banyak makanan dan minuman yang buruk, bahkan juga racun, dimakan oleh suatu kaum, memiliki campuran yang kuat atau jiwa yang aktif yang ber­campur dengan iman yang sempurna atau yang benar, atau berserah diri, menghadap kepada al-Haqq, dan meyakini­Nya. Mereka tidak mendapat bahaya sedikit pun dari hal itu. Sesungguhnya api itu walaupun sifatnya membakar, namun ia tidak membakar setiap benda yang bersentuhan dengan­nya. Melainkan hal itu terjadi dengan syarat benda yang disentuhkan itu memiliki potensi untuk terbakar.

Karena itu, api tidak berpengaruh terhadap salamander dan yakut, serta pada sekumpulan orang yang memiliki jiwa yang agung, sebagaimana telah disebutkan. Bahkan pada pakaian mereka pun, berlaku kekhususan seperti itu. Api tidak dapat membakarnya. Hal ini dipersaksikan dalam syariat Nabi saw. Beliau bersabda, "Api tidak membakar tempat-tempat sujud dari orang yang ditakdirkan masuk neraka di antara kaum mukmin."[94] Padahal, tempat-tempat tersebut termasuk bagian tubuh mereka yang dapat ter­bakar, dan walaupun api bertambah kuat dan besar di neraka dengan 99 bagian, berdasarkan yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. Di antara yang beliau kabarkan adalah seperu yang kami sebutkan. Neraka berkata,

"Masuklah, wahai orang mukmin, cahayamu dapat memadamkan kobar­an apiku."[95]

Ketahuilah, sebagaimana kebaikan menghilang­kan kejelekan, seperti itu pula rahasia rabbani yang terdapat pada diri hamba. Itu merupakan sumber kebaikan yang pengaruhnya dinamakan khdthir rabbani, di mana kemam­puannya menghapus kejelekan adalah lebih kuat dan lebih besar.

Penghapusan, menurut kami, ada dua macam. Yaitu, penghapusan bahaya kejelekan serta akibatnya dan peng­hapusan bentuk atau sifatnya, sebagaimana kami telah tunjukkan. Kedua jenis penghapusan ini kadang-kadang merupakan keadaan pelaku setelah penciptaan dan kehi­dupan di dunia ini. Kadang-kadang pula, pada beberapa orang, terjadi di alam barzakh, di mahsyar, dan di dalam Jahannam—kami berlindung kepada Allah darinya. Kadang-kadang penyebab keduanya adalah esensi dalam diri manu­sia, dan kadang-kadang pula penyebabnya adalah perbuatan baik yang muncul setelah perbuatan tercela, sebagaimana kami telah jelaskan dan seperu sabda Rasulullah saw,

"Iringi-lah kejelekan dengan kebaikan, karena kebaikan itu akan menghapus kejelekan."[96]

Saya lihat di dalam maqam ini, ketika saya masuk dan diperlihatkan hat rahasia-rahasianya, perbedaan antara akibat-akibat perbuatan lahir dan batin, dan ke mana ia akan ber­akhir.

Di dalam hal itu, saya lihat sidrah al-muntaha yang sebe­lumnya telah saya sebutkan. Saya diperlihatkan hakikat hukuman, pemaafan, dan ampunan. Maka saya lihat penga­ruh sesuatu bertentangan dengan pengaruh sesuatu yang lain. Saya lihat rahasia penggantian dan penghilangan bentuk-bentuk perbuatan hingga kembali seperu yang difirmankan Allah SWT, "[Bagaikan] debu yang berterbangan. "(QS. al-Furqan: 23) Saya lihat perbuatan-perbuatan ikhlas dalam kejahatan dan kebaikan. Masing-masing dari keduanya bercampur dengan dominasi yang baik dan yang jelek. Saya lihat ke­bajikan dibinasakan di dalam kebajikan dan berubah karena tambahan kekuatan atau ketinggian kedudukannya. Kadang-kadang kebaikan pertama mengalahkan kebaikan kedua dalam hal ketinggian dan kekuatan. Maka kebaikan pertama berpengaruh terhadap kebaikan kedua. Yang lebih kuat kadang-kadang mengangkat kebaikan yang lain, tetapi kadang-kadang merintanginya karena ketakutan menguasai maqam-nya. Kemudian naik yang berhak mendapat ke­tinggian. Kadang-kadang kedua kebaikan itu naik bersama-sama. Saya lihat sebagian perbuatan yang dinamakan ke­jelekan menghapus kejelekan-kejelekan yang lain. Saya lihat masing-masing dari penggantian dan penghapusan kadang-kadang terjadi sekaligus, dan kadang-kadang terjadi secara bertahap, sedikit demi sedikit dalam suatu jangka waktu seperti perubahan yang terjadi di alam kita ini. Saya lihat roh-roh perbuatan terbentuk di antara induk ilmu dan ke­yakinan dari pelaku perbuatan, dan di antara induk ke­hadiran atau penghadirannya. Saya lihat bahwa sebagian perbuatan, apabila datang dari pelaku pada tempat yang mulia atau dengan dihadiri oleh pelaku yang didekatkan, terutama apabila hal itu terjadi dalam bentuk bersama-sama melakukan perbuatan itu, maka sekalipun rohaninya lemah, ia memperoleh keberkahan tempat itu dan berkah kehadir­an orang itu atau bersama-sama dalam memperoleh cahaya, kekuatan, dan ketinggian kedudukan yang menghapus hukum niat yang rusak. Niat yang rusak itu mengotori rohani per­buatan tersebut Dengan perbaikan rohani perbuatan, bentuk perbuatannya menjadi baik. Juga dengan berkah kehadiran, pelaku yang muhaqqiq, amalnya, niat baiknya, dan bersama-sama dengannya, serta dengan berkah kemuliaan tempat dan rohaninya. Saya lihat perbuatan baik Zaid sebagai per­buatan jelek Umar. Kadang-kadang tampak dominasi amal jelek, sehingga mempengaruhi keadaan pemilik amal saleh. Maka ia pun mendapat bahaya (kerugian) kendati bahaya itu tidak melampaui kepada perbuatan-perbuatannya. Hal tersebut ditunjukkan dalam firman Allah SWT,

"Dan peli­haralah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang lalim saja di antara kamu. " (QS. al-Anfal: 25)

Ini tidak bertentangan dengan prinsip yang ditafsirkan dari firman Allah,

"Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. al-An'am: 164)

Pengaruh ini tidak mempengaruhi hukum yang mem­bedakan yang baik dari yang buruk. Melainkan hanya me­nyebabkan hukum yang menegaskan kesatuan dan keber­samaan di antara keduanya. Firman Allah SWT,

"Dan sese­orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. " (QS. al-An'am: 164)

adalah untuk menjelaskan dominasi hukum yang membedakannya.

Tindakan al-Haqq, dalam hal kemunculannya dari sisi­Nya Yang Maha Esa, adalah universal dan komprehensif, tidak ada penghkhususan di dalamnya. Melainkan peng­khususan itu berlaku pada potensi-potensi yang berpenga­ruh. Ini bersifat umum dalam hal kejelekan dan kebaikan. Dalam hal kejelekan adalah apa yang disebutkan dalam firman-Nya,

"Dan peliharalah dirimu dari siksaan .... "

Sedang­kan dalam hal kebaikan adalah sabda Rasulullah saw me­ngenai hak orang-orang yang berkumpul untuk berzikir kepada Allah dan keberadaan al-Haqq yang membanggakan mereka kepada para malaikat, "Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka."[97] Serta per­kataan sebagian malaikat, "Pada mereka terdapat si fulan yang bukan bagian dari mereka. Ia datang kepada mereka karena suatu keperluan." Maka al-Haqq menjawab, "Dia pun telah Aku ampuni. Mereka adalah kaum yang tidak diseng­sarakan oleh majelis mereka."[98]

Ini merupakan pengaruh keumuman hukum dari sisi al-Haqq secara universal dan pengaruh baiknya keadaan orang yang buruk dengan berdekatan dengan orang yang me­miliki keadaan dan perbuatan baik, serta hadir bersamanya. Maka ingadah. Saya lihat sebagian perbuatan hilang, lalu muncul perbuatan lain, baik dari pelaku tersebut yang per­buatannya hampir hilang maupun dari yang lainnya. Lalu dia meneguhkannya. Yang terjadi dari selain pelaku per­buatan tersebut kadang-kadang dengan tujuan meneguhkan perbuatan tersebut. Tetapi kadang-kadang tidak dimaksud­kan untuk hal itu, melainkan pengaruh itu diperoleh dengan sebab adanya kesesuaian antara dua individu dari segi hal, sifat, perbuatan, diri, atau martabatnya.

Prinsip-prinsip yang sesuai di antara makhluk terbatas pada lima induk ini. Maka pahamilah. Saya lihat dalam ikat­an jenis-jenis perbuatan, sebagiannya terhadap sebagian yang lain, terdapat rahasia yang asing. Yaitu, bahwa kadang-kadang muncul dari pelaku itu suatu perbuatan yang di­maksudkan untuk sesuatu tertentu. Namun, melalui waktu, hal, dan maqam, ia dikuasai hukum perbuatan yang lain dengan bentuk yang lain. Maka muncul akibat yang sebab­nya tidak diketahui. Sedikit orang yang mengetahui apa yang terjadi dan bagaimana kemunculannya. Hal itu di­sebabkan hilangnya karakteristik suatu perbuatan menjadi perbuatan yang lain dengan sebab ikatan dan kekuatan pe­ngaruh perbuatan yang mempengaruhi itu, serta keyakin­annya terhadap hukum waktu dan keadaan. Saya lihat ke­seluruhan rahasia-rahasia kemaksiatan dan rahasia-rahasia ketaatan. Uari tempat yang dimuliakan, saya perhatikan pen­dahuluannya dan akibat-akibatnya, serta ihwal para pelaku­nya. Maka saya menyatukannya berkaitan dengan sebagian­nya adalah hujah-hujah rahasia qadar agar di kemudian hari al-hubr (pengetahuan terhadap sesuatu) mempercayai pe­ngabaran itu dan menjadi jelas hikmah-hikmah yang ter­pendam di dalam penyakit dan obat, rahasia mengabaikan dan memberi perhatian, rahasia keseimbangan yang ber­laku pada ganjaran dan balasan. Saya melihatnya, berkaitan dengan sebagiannya, sebagai perangkap dan tali-tali yang tempat permulaannya adalah maqam pengabaian dan pem­berian perhatian.

Sebagian mereka terperangkap dengannya dari dunia untuk akhirat, dan sebagian lain dari akhirat untuk berhias dengan kesempurnaan-kesempurnaan dunia dan akhirat. Sebagian lainnya terperangkap untuk memperoleh makrifat terhadap apa yang ada di dalamnya dan mengetahui hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia yang ada padanya. Saya lihat sebagian mereka melampaui dari situ ke kebahagiaan mutlak­nya dengan menampakkan kesempurnaan kebaikan yang tersimpan pada semua itu menembus ke kesaksian kesatuan perbuatan Ilahi serta kesatuan tindakan dan pelaku. Telah dijelaskan pada bagian terdahulu dan saya ingatkan bahwa keberbilangan yang dihasilkan tindakan al-Haqq menghasil­kan sifat-sifat yang dihubungkan dengan sebagian tempat menjadi ketaatan dan dihubungkan dengan tempat yang lain menjadi kemaksiatan. Hal-hal itu selalu disertai kebaik­an dan kejelekan, akibat-akibat yang sesuai dan yang tidak sesuai, yang sementara dan yang abadi.

Kemudian, sekembalinya saya dari penyaksian ini, ketika turun, saya lihat akibat-akibat perbuatan orang yang tidak dirintangi untuk mengetahui al-Haqq SWT dan agar men­jadi ahli-Nya. Akibat-akibat itu merupakan buah-buah ke­imanan dan kejujuran dalam bermuamalah. Saya lihat perbuatan-perbuatan lain yang merupakan sebab-sebab ke­siapan untuk menghias diri (tahaliyak), mengosongkan diri (takhaliyah), menolak bahaya dari kelalaian tabiat dan keter-hijaban, mengilangkan kesedihan, atau mencari anugerah. Ketika sampai di ujung daerah perjalanan perbuatan yang berhubungan dengan awal tempat perjalanannya dan yang paling tinggi, saya lihat perbuatan-perbuatan sekumpulan pemuka. Perbuatan-perbuatan itu berjalan pada maqam-maqam keagungan keadilan dan keridaan al-Haqq, dan bercampur dengan hukum-hukum ihwal zat-Nya yang menampakkan rahasia tidakan-Nya. Ia bolak-balik, masuk dan keluar, dalam martabat-martabat ilmu, kebodohan, penggabungan {waskat) dan pemisahan (fasht) dalam pengawasan-Nya. Ini merupa­kan sebagian yang saya lihat dari jenis-jenis dan martabat-martabat amalan, martabat-martabat para pelakunya, dan buah amalan mereka di alam nyata (syahadah), barzakh, mahsyar, neraka, dan surga, serta melihat dari dekat, tanpa cara dan tempat. Yang saya lihat dalam penyaksian agung ini lebih besar dari apa yang dijelaskan walaupun saya telah membentangkannya dan telah menjelaskan apa yang belum jelas. Walhamdu lillah.

Khabar yang Lain

Kami kembali menjelaskan apa yang tersisa dari makna dan rahasia hadis ini.

Sabda Rasulullah saw,

"Maka saya tahu ilmu orang-orang terdahulu dan terkemudian,"

atau,

"Saya tahu apa yang ada di langit dan di bumi,"

yang disebutkan dalam riwayat yang lain, rahasianya adalah bahwa yang dimaksud dengan orang-orang terdahulu dan terkemudian di sini adalah setiap orang yang mengambil dari Allah dengan perantara. Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu syariat, nasihat, dan ilham yang dengannya orang-orang khusus dari ahli Allah menyembah-Nya. Saya kaitkan ilmu ini dan orang yang mengambil dengan peran­tara karena ada pintu khusus di mana tidak ada perantara di antara hamba dan Tuhannya. Pintu itu terbuka bagi orang yang dibukakan baginya. Adapun rahasia riwayat lain yang disebutkan,

"Maka saya tahu apa yang ada di langit dan bumi,"

maka itu merupakan ilmu yang datang dari kehadir­an nama Tuhan yang tersebar di langit dan bumi. Ada yang mengira bahwa saya mengatakan, "Ilmu Rasulullah saw tidak melampaui kehadiran ini." Saya berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang bodoh. Bagaimana orang berakal mengatakan seperu perkataan itu setelah menge­tahui apa yang dikabarkan Rasulullah saw tentang rahasia-rahasia surga yang ada di atas langit, serta rahasia-rahasia 'Arsy, Lawh, dan pena. Saya hanya mengatakan, 'Yang di­khususkan dan yang diperoleh dengan pukulan ini." Karena, sebagaimana saya telah tunjukkan bahwa perujukan hukum-hukum mimpi ini adalah pada nama Tuhan. Saya telah jelas­kan bahwa cermin dan pelaminan penampakan merupakan bentuk dan roh tempat-tempat tinggi, dari sisi apa yang kami jelaskan. Maka ingadah.

Rahasia mengapa derajat-derajat itu adalah berupa pe­nyebaran salam, memberi makan, dan salat malam semen­tara manusia tertidur. Muamalah manusia terbatas dalam dua pokok, yaitu muamalah dengan makhluk maupun dengan al-Haqq. Setiap muamalah ini terbagi ke dalam per­kataan dan perbuatan. Muamalah yang dikhususkan bagi makhluk yang berupa perkataan adalah salam. Ini adalah prinsip. Memberi makan adalah perbuatan, dan merupakan sebagus-bagus perbuatan baik pada orang lain. Tidak di­ragukan bahwa kebaikan pada orang lain memiliki derajat yang lebih tinggi dari yang melampaui batas adalah derajat kebaikan yang hanya untuk diri pelakunya. Sebagaimana salam adalah sebaik-baik perkataan yang melampaui batas pelakunya.

Salat malam merupakan muamalah dengan al-Haqq yang mencakup perkataan dan perbuatan. Bacaan, kalam Allah, dan berzikir kepadanya dengan tasbih, tahlil, dan takbir merupakan perkataan. Karena itu dikabarkan,

"Orang yang salat adalah bermunajat kepada Tuhannya."[99]

Berdiri dalam salat, rukuk, sujud, dan sebagainya merupakan perbuatan. Maka berlakulah batasan yang saya tunjukkan dan saya jelas­kan, bahwa ini merupakan pokok-pokok yang berkaitan dengan cabang-cabang perbuatan. Maka pahamilah.

Adapun pengajaran al-Haqq kepada Nabi saw di akhir kisah ini agar mengucapkan, 'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk memperbual kebaikan dan meninggalkan ke­mungkaran..." (hingga akhir doa), rahasianya yang saya tunjukkan sebelum ini adalah bahwa penampakan ini datang dari kehadiran nama ar-Rabb. Ia merupakan sumber dan orbit syariat melalui perintah dan larangan. Allah SWT telah mengingatkan pengajaran atas syariat ini dengan sabda Nabi,

'Ya Allah, aku memohon kepada-Mu memperbuat kebaikan dan meninggalkan kemunkaran."

Maka pahami dan kajilah rahasia-rahasia hadis yang komprehensif ini dan yang saya bentangkan di dalam syarahnya berupa ilmu-ilmu asing, niscaya engkau melihat keajaiban. Hanya Allah-lah Pemberi petunjuk.


HADIST KEDUA PULUH DUA

Dari Ibn Mas'ud[100] bahwa Nabi saw bersabda,

"Barangsiapa melihatku di dalam mimpi, maka dia benar-benar telah me­lihatku, karena setan udak dapat menyerupaiku."

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"... karena tidak sepatutnya bagi setan menyerupai rupaku."

Di dalam riwayat lain,

"... karena setan tidak menjadi aku."

Di dalam riwayat lain,

"Barang­siapa melihatku, maka dia melihat kebenaran karena setan Udak dapat menampakkan diri dengan rupaku "[101]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa sekalipun Nabi saw tampak dengan seluruh hukum nama-nama dan sifat-sifat al-Haqq dalam akhlak dan perbuatan, namun tuntutan maqam risalah, serta bimbingan dan seruannya kepada manusia menuju al-Haqq yang mengutusnya kepada mereka adalah agar yang paling tampak padanya dalam hukum dan dominasi sifat-sifat dan nama-nama al-Haqq, adalah sifat hidayah dan nama sebagai pemberi hidayah. Sebagaimana al-Haqq mengabarkan tentang hal itu melalui sabda Nabi saw, "Sesungguhnya engkau memberikan petunjuk ke jalan yang lurus." Nabi saw adalah gambaran nama pemberi petunjuk dan tempat pengung­kapan sifat hidayah. Sementara, setan merupakan tempat pengungkapan nama yang menyesatkan dan yang menam­pakkan sifat kesesatan. Keduanya bertolak belakang. Di dalam suatu hadis, diriwayatkan hal-hal yang mendukung pemaknaan ini. Hadis yang panjang itu menyebutkan bahwa Nabi saw meminta bergabung dengan Iblis agar dapat me­lihat apa yang ada padanya. Maka beliau dihadang di hadap­annya dan para malaikat mengelilingi Nabi saw untuk men­jaganya agar tidak terkena kejahatan Iblis. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada Iblis, "Apa yang ada padamu?" Iblis menjawab, "Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah SWT menciptakanmu untuk memberi petunjuk, namun tidak ada hidayah di tanganmu sedikit pun. Sementara Dia mencipta-kan aku untuk kecelakaan, namun tidak ada kecelakaan di tanganku sedikit pun." Maka Allah mewahyukan kepada Nabi saw, "Engkau benar dan dia berdusta."[102] Dengan ini ditegaskan pula bahwa setan pada dasarnya adalah lawan Nabi saw. Dua hal yang berlawanan itu tidak dapat bertemu. Salah satunya tidak dapat menampakkan rupa yang lain. Selain itu, Nabi saw diciptakan oleh Allah untuk memberi hidayah. Kalau Iblis dapat menampakkan diri dalam rupa Nabi saw, maka hilanglah penyandaran dan seluruh hal yang al-Haqq tampakkan kepadanya dan ditampakkan pula ke­pada siapa saja yang ingin Dia beri petunjuk. Karena hikmah ini, Allah memelihara rupa Nabi saw agar udak ditiru setan.

Jika ada yang mengatakan bahwa keagungan al-Haqq lebih sempurna daripada keagungan setiap yang agung, maka bagaimana setan dapat berbuat maksiat untuk me­nampakkan diri dalam rupa Nabi saw, padahal si laknat itu telah menampakkan dirinya kepada banyak orang dan me­ngatakan kepada mereka bahwa dialah kebenaran untuk menyesatkan mereka. Dia telah menyesatkan sekumpulan orang dengan cara seperti ini. Sehingga mereka mengira bahwa mereka melihat al-Haqq dan mendengar perkata­annya.

Saya jawab: Perbedaan di antara dua hal itu adalah dalam dua sisi. Pertama, setiap orang berakal mengetahui bahwa al-Haqq tidak memiliki rupa tertentu yang menyebabkan kekeliruan, berbeda dengan Nabi saw. Beliau memiliki rupa tertentu yang dapat diketahui dan disaksikan. Kedua, tuntut­an hukum keluasan al-Haqq adalah Dia menyesatkan orang yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang berisi dialog iblis dengan Nabi saw dan pembe­naran al-Haqq kepada Rasulullah saw dalam hadis itu secara khusus serta pemberitahuan-Nya bahwa setan itu pendusta.

Nabi saw terikat dengan sifat hidayah dan menampak­kan rupanya. Maka wajib memelihara rupanya dari peniru­an setan untuk mengekalkan penyandaran dan penampak­an hukum hidayah pada orang yang Allah kehendaki men­dapat hidayah dari Nabi saw. Jika tidak demikian, tidak akan muncul rahasia firman-Nya,

"Sesungguhnya engkau adalah pemberi petunjuk ke jalan yang lurus"

dan tidak diperoleh faedah bi'tsah (pengutusan). Maka pahamilah. Selain itu, di sini terdapat timbangan dan dalil yang harus diperhatikan.

Yaitu, bahwa penglihatan yang benar terhadap Nabi saw adalah melihat rupa yang menyerupai rupanya yang di­pastikan melalui penukilan (peringatan) yang benar. Hal itu ditunjukkan dalam sebagian riwayat hadis, "Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku." Sehingga, jika seseorang melihatnya dalam rupa yang berbeda dengan rupanya, berarti dia tidak melihat Nabi saw. Seperti, orang yang melihaUiya tinggi atau pendek sekali. Atau, orang yang melihatnya berambut merah kekuning-kuningan, tua renta, berkulit coklat sekali, dan sebagainya. Diperolehnya keyakinan pada diri orang yang melihat bahwa dia melihat Nabi saw bukanlah suatu bukti. Bahkan yang dilihat itu merupakan bentuk syariat, dalam kaitannya dengan keyakinan orang yang melihat, ihwalnya, dalam kaitannya dengan sifat atau satu hukum di antara hukum-hukum Islam, atau dalam kaitannya dengan tempat di mana orang itu melihat rupa yang dikira sebagai rupa Nabi. Saya sudah sering mengalaminya pada diri sendiri dan juga pada orang lain. Saya juga mendengar dari guru-guruku apa yang me­nguatkan hal itu berulang kali.

Di antaranya adalah guruku, al-Imam al-Akmal Muhy ad-Dm Muhammad bin 'Ali bin al-'Arabi ra yang menuturkan kepadaku tentang hal ini. Ketika masih kanak-kanak, dia melihat satu kali di dalam mimpi—di sebuah mesjid di Sevilla, sebuah kota di Andalus—Nabi saw telah menjadi mavat ter­bujur di salah satu sudut mesjid. Hal itu tendang pada be­berapa tahun kemudian. Maka asy-Syaikh memasuki jalan ahli Allah dan meninggalkan raja serta dunia yang ada di tangannya. Dia menyibukkan diri dengan beribadah. Maka Allah membukakan baginya takdir-Nya, agar dia beserta penduduk negeri yang memiliki keutamaan dan kebaikan melewati salah satu pintu mesjid ke sisi yang lain untuk suatu kepentingannya. Siapa pun tidak suka melewati dan menjadikan mesjid itu sebagai jalan tanpa menghidupkan­nya dengan salat dua rakaat. Juga ketika dia hendak keluar dari pintu mana saja yang disukainya. Sebagian sahabat me­larang kami agar tidak menjadikan mesjid-mesjid yang mem-punyai banyak pintu itu sebagai jalan tanpa menghidup­kannya dengan salat dua rakaat. Guruku berkata, "Ketika sava bersama sahabatku memasuki mesjid itu, saya katakan. "Saya tidak boleh duduk di mesjid itu sebelum salat dua rakaat." Maka sahabatku itu berkata kepadaku, "Kemarilah, saladah di sudut itu," sambil menunjuk ke tempat saya me­lihat Nabi saw menjadi mayat yang terbujur di dalam mimpi. Tetapi saya menolak. Maka dia bertanya kepadaku, "Me­ngapa engkau menolak salat di sana?" Saya jawab, 'Saya melihat Nabi saw, di dalam mimpi, di sini menjadi mayat yang terbujur. Sehingga saya tidak suka salat di situ." Maka dia keheranan. Lalu dia berkata kepadaku, "Engkau telah melihat kebenaran. Akan saya ceritakan kepadamu ihwal rahasia mimpimu. Ketahuilah, bahwa tempat itu adalah bekas rumahku. Ketika penduduk kota ini hendak memperluas mesjid, maka salah seorang mengangkat dinding-dindingnya dan membeli rumah-rumah di belakangnya untuk me­masukkannya ke dalam lingkungan mesjid. Sehingga tidak ada yang tersisa selain rumahku. Lalu mereka menawarnya kepadaku. Tetapi mereka tidak memberikan apa yang saya ingini. Maka saya menolak. Lalu mereka mengambilnya sekehendak mereka, tanpa kerelaanku. Yang engkau lihat bukanlah Nabi saw. Itu hanyalah syariatnya yang mati se­hubungan dengan tempat ini. Tempat itu ditutup dengan bentuk transaksi jual beli, tetapi transaksinya tidak sah. Bahkan tempat itu dirampas. Adapun kini, saya persaksikan kepadamu bahwa saya telah meninggalkan hak saya untuk kaum Muslim. Maka marilah salat di tempat itu. Lalu kami salat di tempat itu, dan selanjutnya keluar untuk memenuhi keperluan kami."

Di Syam, juga dikabarkan kepadaku bahwa seseorang di antara orang-orang saleh bermimpi menampar Nabi saw. Maka dia terbangun ketakutan. Dia takut atas apa yang di­ lihatnya. Padahal Nabi saw begitu diagungkannya. Maka dia mendatangi seorang guru. Lalu guru itu menjelaskan apa yang dia impikan. Guru itu berkata kepadanya, "Ketahuilah, bahwa Nabi saw teramat agung untuk ditampar olehmu atau oleh orang selainmu. Yang engkau impikan itu bukanlah Nabi saw. Melainkan itu hanyalah syariauiya. Engkau telah meninggalkan salah satu dari hukum-hukumnya. Tamparan pada wajah menunjukkan bahwa engkau telah melakukan sesuatu yang haram di antara dosa-dosa besar." Maka orang itu merenungkan dirinya. Tetapi dia tidak ingat bahwa dia telah melakukan perbuatan haram di antara dosa-dosa besar. Dia termasuk orang yang taat beragama. Namun, guru itu pun tidak keliru di dalam penjelasannya. Karena, dia me­ngetahui tujuan penjelasannya. Lalu orang itu pulang ke rumahnya dengan sangat sedih. Maka istrinya menanyakan ihwal kesedihannya, "Apa sebabnya?" Lalu dia mengabarkan apa yang diimpikannya dan juga penjelasan guru itu. Istri­nya terkejut dan menampakkan tobatnya. Sang istri berkata, "Saya membenarkanmu. Engkau pernah bersumpah bahwa jika saya memasuki rumah salah seorang kenalanmu, maka saya akan diceraikan. Lalu saya melewati rumah mereka. Lalu mereka bersumpah palsu atasku, sehingga saya malu dengan desakan mereka. Lalu saya masuk ke rumah mereka. Saya takut untuk menyebutkan kepadamu apa yang terjadi. Maka saya menyembunyikan hal itu." Lalu orang itu ber­tobat, beristigfar, dan merendahkan diri kepada al-Haqq. Istrinya pun pasrah. Kemudian dia memperbarui akad nikah dengan istrinya.

Saya sendiri, pada suatu malam ketika Bagdad direbut, di waktu subuh, melihat Nabi saw berkain kafan di atas usungan mayat. Sementara orang-orang berebut menarik­nya dari atas usungan itu. Kepalanya tersingkap dan rambut­nya hampir menyentuh tanah. Saya berkata kepada mereka, "Apa yang kalian perbuat?" Mereka menjawab, "Dia telah meninggal. Kami ingin membawa dan menguburkannya."

Maka muncullah keyakinan dalam hadku bahwa beliau saw belum meninggal. Saya katakan kepada mereka, "Saya ddak melihat wajahnya seperu wajah mayat. Bersabarlah hingga permasalahannya menjadi jelas." Lalu saya mendekati mulut dan hidungnya. Maka saya dapati beliau masih bernafas dengan nafas yang lemah. Sava berteriak kepada mereka. Saya mencegah mereka melakukan apa yang mereka ren­canakan. Lalu saya bangun dengan sangat ketakutan. Saya mengalami apa yang pernah saya ketahui dalam masalah ini. Saya mengalaminya berulang-ulang. Hal itu seperu peristiwa besar yang terjadi dalam Islam. Ketika sampai kabar bahwa bangsa Mongol telah memasuki Bagdad, saya yakin bahwa mereka telah merebut kota itu. Lalu saya pastikan tanggal­nya. Lalu datang banyak orang yang menyaksikan peristiwa itu dari para cendekia. Mereka menyebutkan bahwa pada hari itu Bagdad telah direbut. Maka mimpi-mimpi keluar seperti yang dijelaskan kepadaku. Kalau saya sebutkan apa yang saya dengar dari orang-orang yang bisa dipercaya, dan apa yang saya alami dalam masalah ini berulang kali pada diriku dan pada orang selainku, maka pembahasannya men­jadi panjang. Saya hanya m e nye bu ikannya sekedar ini dalam bentuk peringatan dan contoh saja. Di antara yang mem­buat keliru sekelompok pesuluk dijalan Allah, disebabkan apa yang saya sebutkan, bahwa mereka melihat Nabi saw menurut dugaan mereka berdasarkan apa yang sudah di­jelaskan. Saya kabarkan kepada mereka berbagai hal. Tetapi tidak terjadi apa yang dikabarkan itu. Ketika saya bertanya kepada mereka mengenai roman rupa yang terlihat, mereka pun mengabarkan kepadaku. Tetapi saya mendapatinya bertentangan dengan roman rupa beliau yang asli. Maka saya kabarkan kepada mereka sebab itu dan saya ingatkan mereka. Mereka pun senang dan teringat. Sebagaimana hal seperti ini saya alami, juga tidak satu kali, saya mengalami bahwa orang yang melihat Nabi saw dalam rupa yang asli, mengabarkannya seperti yang dikabarkan. Hadis-hadis itu tidak menyimpang dan tidak berubah. Bahkan saya men­dapatinya sebagai teks yang asli dan saya pun mendapatkan riwayatnya. Walkamdu lillah."

Khabar

Hadis itu mencakup kaidah umum. Darinya diketahui rahasia alam pra-eksistensi, sebab sebagian manusia melihat sebagian yang lain di dalam mimpi, dan penjelasan bahwa mimpi itu terjadi berdasarkan berbagai aspek dan bentuk yang berlainan berdasarkan hubungan-hubungannya. Mimpi merupakan akibat berbagai keadaan yang berlaku di antara sejumlah sifat orang yang melihat dan yang dilihat. Atau, antara sejumlah keadaan dan perbuatan, serta dalam martabat-martabat yang berbeda yang memunculkan hukum pada pemimpi. Hal itu pun dipengaruhi oleh pergaulan tertentu, tempat, waktu, dan maqam jiwa mereka ketika bermimpi. Saya akan jelaskan, dalam pasal ini, rahasia sabda Nabi saw tersebut.

Mimpi (ar-ru'ya) ada tiga. Yaitu, mimpi dari Allah, mimpi menyedihkan dari setan, dan mimpi di mana seseorang ber­kata kepada dirinya. [103] Juga saya ingatkan sebab mimpi se­bagian orang yang benar. Demikian pula mimpi mereka melihat Nabi saw, para nabi yang lain, para malaikat, para pewaris orang-orang sempurna, ahli Allah yang tidak mereka saksikan di alam rasa, timbangan {al-mizan) yang digunakan untuk mengetahui yang benar dari yang tidak benar dalam semua itu, hukum waktu dan tempat dalam bagian-bagian mimpi, dan juga makanan. Kalau keadaan-keadaan ini ber­campur, manakah yang pengaruhnya paling kuat? Manakah yang akhirnya binasa? Atau, manakah yang menegakkan atau menghapus sebagian hukum-hukumnya, bukan sebagi­an yang lain? Saya akan jelaskan sebab tembusnya pengaruh roh perbuatan dan nama-nama Ilahi ke alam nyata dan ke­rusakan dengan perantaraan alam pra-eksistensi, hubungan khayalan manusia terhadap alam pra-eksistensi, dan bentuk penembusan hukum-hukum rohnya ke alam indrawi setelah melewati martabat khayalnya. Juga saya akan jelaskan, insya Allah, bahwa kehadiran Ilahi dan martabat segala yang ber­sifat mungkin merupakan cermin bagi keadaan yang ber­laku di antara pengaruh nama-nama Ilahi yang diwujudkan dengan hukum wajib dan potensi penerimanya berupa segala yang bersifat mungkin yang merupakan tempat bagi pengaruhnya berdasarkan kesiapan dan tingkatannya yang terjadi dengan sendirinya. Di dalam pembahasan masalah ini, saya akan sebutkan, insya Allah, tambahan lain yang menjadi sebab bertambah jelasnya masalah-masalah yang hendak dijelaskan, dengan kehendak dan pertolongan Allah.

Mestilah didahulukan pengantar sebagai persiapan ter­hadap apa yang hendak dijelaskan, yang telah saya tunjuk­kan di atas secara garis besar. Ketahuilah, bahwa kehendak aI-Haqq untuk menciptakan segala yang bersifat mungkin (yang tidak wajib ada) bukan karena keesaan zat-Nya. Sebab, di dalam hal ini, hubungan tuntutan penciptaan terhadap keesaan zat-Nya dan penafiannya adalah sama, karena zat-Nya tidak memiliki ikatan dan hubungan dengan sesuatu apapun dari aspek ini yang menuntut pemberian dan pene­rimaan pengaruh. Hukum-hukum dan pandangan-pandangan lebur di dalam keesaan ini. Yang menjadi motif penciptaan segala sesuatu adalah hukum ilmu yang bersifat esensial dan azali, karena cakupan, keumuman hukum, dan hubungan­nya dengan esensi, asma, sifat, dan pengetahuan al-Haqq. Sebab-sebab penciptaan berdasarkan hukum ilmu adalah nama-nama esensi yang diwujudkan dalam kunci-kunci ke­gaiban. Itu merupakan pembuka kegaiban adz-Dzat, kegaib­an segala objek pengetahuan, dan induk sifat-sifat Ilahi yang merupakan martabat adz-Dzat yang dinamakan al-Haydh, al­ llm, al-Irddah, dan al-Qudrah. Hal itu merupakan naungan bagi kunci-kunci kegaiban tersebut, sebagaimana uluhiyyah merupakan naungan bagi adz-Dzat. Perhatian al-Haqq itu adalah dengan pemberian pengaruh esensial walaupun satu pada asalnya. Sebagaimana hal itu ditegaskan secara akal, syariat, dan penyingkapan. Sudut pandang dan ungkapan, terutama induk-induknya, diwujudkan dalam kunci-kunci tersebut. Hubungannya, dari induk hakikat alam yang di­tampakkan, pada induk sifat uluhiyyah adalah terbilang. Kunci-kunci ini, walaupun disatukan oleh satu esensi tetapi derajatnya berlainan.

Penyingkapan (kasyf) yang benar mengungkapkan bahwa dua dari derajat-derajat itu mengikuti dua yang pertama, sebagaimana menentukan dua yang pertama adalah dari kesatuan gabungan esensial. Jenis ini yang termasuk tingkat­an yang ditunjukkan, tersembunyi di dalam nama-nama adz-Dzat, karena tidak ada yang menyingkapnya kecuali orang-orang sempurna dari ahli Allah, para khalifah, para cende­kia, dan orang-orang yang dipercaya. Ia terpelihara di dalam sifat-sifat uluhiyyah yang berada pada martabat naungan (zhilliyyah) dalam hubungannya dengan nama-nama adz-Dzat, seperti kelebih-utamaan al-'ilm atas al-qudrah dan ke­lebihan cakupannya. Terhadap yang kami sebutkan, harus ditegaskan perbedaan perhatian dan pengaruhnya pada se­gala sesuatu yang ditampakkannya dalam ilmu azali pada esensinya. Karena itu, hubungan-hubungan ilmu al-Haqq menjadi banyak. Ilmu itu di dalam hukum dan hubungan­nya mengikuti objek (ma'lum). Karena itu, objek-objek itu mencari eksistensi yang satu dan kemunculan yang berlain­an. Semua ini merupakan hubungan, penisbahan, dan cara yang muncul dan dihasilkan dari bentuk-bentuk kesatuan yang terjadi di antara nama-nama adz-Dzat yang disebut se­bagai kunci-kunci kegaiban adz-Dzat dan induk-induk hakikat alam lainnya. Dan juga yang terjadi di antara segala yang bercabang darinya berupa induk-induk berikutnya se­bagai asal sifat-sifat uluhiyyah dan induk hakikat alam lain­nya. Kemudian dengan perhatian adz-Dzat, melalui asal ter­sebut muncul maujud sebagian demi sebagian dan alam demi alam di dalam lima martabat yang telah dijelaskan. Maka muncullah tingkatan demi tingkatan. Demikianlah hingga akhir maujud yang berupa manusia pertama dan penutup martabat penciptaan.

Kemudian saya katakan bahwa bentuk-bentuk kesatuan yang dihasilkan dari perhatian pada kunci-kunci kegaiban adz-Dzat yang hakiki, hukum induk sifat-sifat uluhiyyah, dan prinsip hakikat alam yang tampak secara azali di dalam ilmu al-Haqq mengikuti perhatian al-Haqq yang esensial, seperu yang telah dijelaskan, di dalam martabat kegaiban relatif. Ia adalah alam makna (alam ma'dni) dalam pikiran selain al-Haqq. Kemunculannya adalah dari yang batin ke yang lahir. Batinnya dihubungkan pada setiap yang dipikirkan selain al-Haqq. jika tidak, maka senantiasa ia berhubungan dengan al-Haqq sebagai yang disaksikan dan tampak pada ilmu-Nya dalam martabat dan derajat yang berbeda-beda. Kemudian muncul dari al-Haqq bentuk-bentuk kesatuan yang dihasilkan dari gabungan berbagai makna dan sejum­lah hukum wajib dan mungkin dengan pemberian penga­ruh dari al-Haqq, melalui prinsip-prinsip yang telah disebut­kan, pada martabat rohani yang merupakan alam arwah dengan derajat yang berlainan.

Roh merupakan bentuk kesatuan yang dihasilkan dari berbagai makna. Yaitu, nama, hakikat, dan pengaruh yang dinisbahkan kepada al-Haqq. Semata-mata hal itu dinisbah-kan kepada-Nya mengingat keberbilangan semua itu me­nurut prinsip-prinsip yang telah disebutkan, yang merupa­kan kunci-kunci dan faktor-faktor yang dekat. Kadang-kadang hal itu diungkapkan dengan hukum-hukum wajib. Itu benar sebagaimana yang diungkapkan melalui pene­rimaan pengaruh yang berkaitan dengan para penerima. Para penerima itu merupakan tempat pengaruh hukum­ hukum wajib terhadap hukum-hukum mungkin, seperti yang sudah dijelaskan. Setiap pengaruh adalah konsekuensi dari bentuk kesatuan maknawi yang terjadi di antara kunci-kunci kegaiban itu dan hukum-hukum wajib yang mengikutinya. Setiap eksistensi tampak pada setiap diri dari diri-diri yang bersifat mungkin. Ia adalah konsekuensi dari konsekuensi maknawi yang ditunjukkan sebelumnya. Maka bentuk-bentuk kesatuan itu terdapat pada martabat-martabat penerima se­bagai cermin penampakan eksistensi, muncul dengan per­hatian zat Ilahi melalui prinsip-prinsip yang sudah disebut­kan menurut martabat dan tempat kesatuan pertama. Hal itu dinamakan pernikahan gaib (an-nikdh al-ghaybi). Maka kunci-kunci pada perhatian adz-Dzat itu memiliki derajat kelaki-lakian. Sementara bentuk-bentuk kesatuan yang ber­kaitan dengan hukum-hukum penerima memiliki martabat kewanitaan. Martabat itu memiliki derajat tempat. Semen­tara penampakan eksistensi pada martabat tersebut me­miliki suatu martabat berdasarkan derajat yang dihasilkan. Jika ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa kesatuan yang dapat dicerna dari perhatian roh-roh yang tinggi, berdasar­kan pengaruh yang berhubungan dengannya dan tempat berlakunya hukum dari kunci-kunci kegaiban dan hukum-hukum eksistensi yang lain, berada pada dua aspek, yaitu: Pertama, perhatian dengan esensinya yang terwarnai pengaruh-pengaruh yang telah disebutkan tanpa hukum-hukum tempat penampakannya. Namun dalam martabat alam, menyebabkan penampakan alam pra-eksistensi. Karena, penampakan bentuk setiap pengaruh adalah pada hakikat setiap yang diberi pengaruh. Semata-mata hal itu terjadi dan tampak menurut tempat pengaruh, baik tempat itu bersifat maknawi, seperti martabat-martabat, maupun berupa suatu eksistensi. Ini merupakan prinsip utama yang tidak rusak. Ia tennasuk sunah Allah.

"Kamu sekali-kali tidak akan menemu­kan perubahan bagi sunnatullah itu. " (QS. al-Fath: 23)

Roh-roh yang mengikuti roh-roh tertinggi dan pemelihara langit dari para malaikat sebagai roh-roh yang tidak memiliki mazhhar merupakan buah dari perhatian yang disebutkan tadi. Maka pahamilah.

Kedua, perhatian roh-roh yang tinggi dalam penampilan-penampilannya yang tampak pada alam pra-eksistensi dan tercelup dengan sifatnya. Hukumnya pada martabat jisim membuahkan alam jisim yang terindra, yang awalnya adalah 'Arsv yang membentang dan jisim yang sederhana. Kelahir­an ini muncul dari pernikahan rohani. Maka roh-roh itu memiliki derajat kelaki-lakian dengan penerimaan penga­ruh yang telah disebutkan. Sedangkan alam fisik memiliki derajat kewanitaan. Jisim keseluruhan memiliki martabat tempat. Bentuk 'Arsy memiliki derajat anak. Maka alam di sini memiliki keibuan. Di dalam hal-hal yang baru saja saya sebutkan terdapat derajat tempat. Alam roh memiliki derajat bapak. Aspek pertama dari perhatian roh-roh tertinggi ber­laku pada martabat jiwa. Anak-anak itu adalah para peme­lihara langit, sebagaimana telah dijelaskan. Maka dua aspek itu kembali pada satu bagian, karena keduanya tidak berada di luar hukum pernikahan rohani. Maka ketahuilah hal itu.

Kemudian dari pengaruh-pengaruh bentuk dan hukum yang dinisbahkan kepada al-Haqq muncul alam langit yang berada di bawah 'Arsy, al-Kursiy, alam, segala ciptaan, dan kerusakan menurut perbedaan tingkatan-tingkatannya, jenis-jenisnya, dan macam-macamnya. Maka pahamilah. Jika engkau memahami apa yang telah saya kemukakan, niscaya engkau tahu bahwa setiap maujud dari mumkinat, esensinya mencakup sejumlah hukum wajib dan hukum mungkin. Maujud itu, dalam hal hakikat dan faktor-faktor universal­nya, eksistensinya tampak pada beberapa martabat. Lalu, dalam hal faktor-faktor perinciannya, ia merupakan cermin dari hukum-hukum tersebut. Mestilah pada setiap kemung­kinan itu diperoleh dominasi dan kekalahan yang terjadi di antara hukum-hukum tersebut yang menyebabkan perbeda­an bentuk kesatuan, serta hakikat, faktor-faktor kesiapan dan martabat penerima. Dengan dominasi dan kekalahan itu tampak derajat-derajat penyimpangan dan keseimbang­an pada segala maujud yang merupakan tempat dan kesatu­an bagi hukum-hukum tersebut. Artinya, sebagian maujud merupakan gabungan hukum-hukum wajib dan mungkin yang terjadi atas dasar kedekatan pada kesamaan atau domi­nasi bagi hukum-hukum salah satu dari wajib atau mungkin. Perbedaan kemuliaan dan kehinaan di antara maujud ter­jadi menurut salah satu dari hal ini. Maka dominasi hukum-hukum wajib atau hukum-hukum mungkin menuntut tam­bahan kemuliaan. Kebalikan dari itu merupakan kehinaan. Kumpulan hukum-hukum kedua sisi itu berdasarkan ke­dekatan pada kesamaan dalam salah satu derajat keseim­bangan yang dikhususkan pada species manusia. Karena, tujuan manusia mencakup berbagai derajat yang berbeda berdasarkan tambahan persekutuan dan tambahan kedekat­an pada keseimbangan hakiki Ilahi yang dikhususkan dengan pemisahan. Pemisahan itu menggabungkan antara seluruh universal hukum-hukum wajib dan hukum-hukum mungkin. Maka yang sempurna dari species manusia adalah yang me­nerima hukum-hukum yang tercakup dalam pemisahan ter­sebut, yang muncul pada derajat keseimbangan yang meng­gabungkan berbagai keseimbangan. Yaitu, pertama, keseim­bangan maknawi ma'gul (yang dipahami akal) di dalam ke­satuan makna dan hukum yang buahnya adalah eksistensi arwah yang tinggi. Kedua, keseimbangan rohani ma'qul di dalam perhatian dan motif roh adalah keberadaan roh yang tinggi itu. Ketiga, keseimbangan rohani ma'quldengan per­hatian dan motif roh yang telah disebutkan. Keempat, ke­seimbangan pra-eksistensi ma'qulterjadi dari kesatuan segala yang dinaikkan padanya dari alam ini setelah melewati langit, al-Kursiy dan 'Arsy. Atau, yang menampakkan bentuknya pada salah satu orbit. Alam roh di setiap langit memiliki bagian tertentu. Artinya, setiap langit merupakan cermin bagi keseimbangan. Dari alam pra-eksistensi tampak bentuk-bentuk perbuatan dan ihwal yang menetap di sana.

Jadi, tidak seuap yang dinaikkan di alam ini, dalam ke­kuatannya dan kekuatan orang yang datang darinya, me­lewati alam jisim ke alam pra-eksistensi mudak. Demikian pula halnya pada hal-hal yang turun. Pada hukum hadirat al-Haqq, alam makna dan roh bergantung. Maka ia turun di langit dan bumi menurut bagian-bagian alam pra-eksistensi yang ditampakkan pada masing-masing darinya. Maka pa­hamilah. Selanjutnya yang kami sebutkan adalah keseim­bangan yang terindra. Ia terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

Pertama, bagian yang dapat dirasakan hasilnya di dalam hubungan-hubungan planet, pembentukan orbit, dan per­campuran yang terjadi di antara kekuatannya dan kekuatan para malaikat yang mengurusnya menurut segala yang ter­simpan di setiap langit. Sebagaimana hal itu dikabarkan oleh al-Haqq dengan firman-Nya,

"Dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. " (QS. Fushshilat: 12)

Kedua, keseimbangan alami yang terjadi di antara unsur-unsur menurut keseimbangan yang telah disebutkan. Hasil-hasil yang ditinggikan dalam derajat keseimbangan pada susunan tubuh manusia merupakan penampakan seluruh keseimbangan tersebut, yang melampauinya naik ke keseim­bangan khusus dengan pemisahan yang telah dikemukakan di atas. Maka pahamilah.

Roh-roh tinggi yang luput dari sebagian besar hukum kemajemukan dan kemungkinan karena hubungannya yang dekat pada hadirat keesaan Tuhan adalah yang paling mulia. Manusia hakiki yang sempurna perbuatannya adalah yang paling sempurna dan paling seimbang dalam titik pusat lingkup eksistensi dan martabat.

Setiap orbit dan alam merupakan tempat dan penam­pakan suatu aspek keseimbangan. Setiap aspek mencakup derajat-derajat yang ditampakkan dengan bentuk kesatuan yang dihasilkan sifat, kekuatan, perbuatan, penghadapan, dan percampuran yang terkumpul di sana. Itu, seperti alam terendah ini, merupakan cermin bagi pengaruh, kekuatan, dan karakteristik yang terpendam di alam yang tinggi. De­mikian pula alam yang tinggi, berdasarkan tingkatan yang berbeda, merupakan cermin yang muncul dari setiap ting­katannya sebagai akibat dari kekuatan dan pengaruh yang datang darinya dan menjadi bahan dalam penciptaan peng­huni alam ini. Kemudian ia terpisah dan kembali ke tempat asalnya dalam bentuk yang berbeda dari bentuk semula. Hal itu terutama diakibatkan oleh sifat, perbuatan, dan peng­hadapan yang muncul dari manusia sebagai bagian dari keseluruhan dan cermin yang membiaskan kekuatan setiap alam. Pengaruh setiap orbit dan perhatian setiap kerajaan berbeda-beda hubungannya dengan setiap orbit dan alam berdasarkan dominasi kekuatan dan karakteristik materinya. Hal itu terjadi pada orbit tersebut, pada awal penciptaannya, di tengah-tengah penghadapannya, dan ketika naik dengan ilmu, amal, akhlak, kesiapan eksitensi yang diperoleh me­lalui perantaraan penciptaannya, dan berdasarkan bagian keseimbangan yang dikhususkan bagi orang-orang sempurna. Hal ini ditunjukkan oleh Nabi saw dengan sabdanya dalam hadis tentang isra' bahwa beliau melihat Adam di langit dunia—yang merupakan orbit bulan—, Isa di langit kedua, Yusuf di langit ketiga—yang merupakan orbit bintang luciver—, Idris pada orbit matahari, Harun di langit kelima, Musa di langit keenam, dan Ibrahim di langit ketujuh.[104]

Itu merupakan pengabaran-pengabaran tentang bentuk hubungan mereka dengan orbit tersebut dan pengenalan tempat penampakan mereka yang diperoleh dari amalan, akhlak, dan sifat mereka yang terbit dari materi penciptaan mereka berupa kekuatan orbit. Diperoleh dominasi sebagi­an kekuatan dan pengaruh itu terhadap sebagian yang lain pada masing-masing mereka ketika semua itu berkumpul padanya. Jika tidak, maka jelaslah bahwa arwah udak me­nempati suatu tempat. Bagaimana bisa disifad tempat tinggal­nya di langit. Maka ketahuilah hal itu.

Rahasia pada setiap pertemuan di antara dua hal, atau beberapa hal, adalah adanya kesesuaian. Kesesuaian itu me­miliki lima prinsip yang membatasi keumuman. Maka ke­sesuaian itu terdapat di antara beberapa hal, baik di dalam suatu sifat, atau beberapa sifat, atau dalam suatu kasus, atau beberapa kasus, atau perbuatan. Atau, penggabungan di dalam martabat. Atau kesesuaian itu terjadi dari segi esensi, dan keterbatasannya. Setiap kesesuaian yang terjadi di antara dua hal, atau beberapa hal, tidak keluar dari lima prinsip ini, kecuali kesesuaian-kesesuaian yang terjadi di antara makhluk. Hal itu adalah cabang dari prinsip-prinsip ini. Kesesuaian pada hal yang sama adalah setiap hal yang menggabungkan antara dua hal, atau beberapa hal. Ia me­nyerupai penyifatan dengan hukum-hukumnya dan peneri­maan penganih-pengaruhnya, jika sesuatu itu adalah bagian dari hal-hal yang ditampakkan di dalam martabat resep-tivitas (infi'aliyyah). Jika tidak, apa yang saya sebutkan terjadi pada martabat pelaku (fd'iliyyah) dan atas dua penegasan. Maka kesamaan itu terpastikan. Penggabungan terjadi dalam hal terangkatnya hukum keberbilangan di antara dua hal, atau beberapa hal. Percampuran itu tidak mudak, melain­kan pada hal-hal yang memiliki kesamaan. Yang tergabung melalui persekutuan adalah persamaan hakiki, sebagaimana kami katakan berulang kali. Dalam hal makna yang ada pada setiap sesuatu, di mana sebagian sisinya sama dengan se­bagian lain, adalah seperti sudut-sudut pandang yang telah saya sebutkan. Penggabung tersebut merupakan pengga­bung dengan esensi, atau dengan martabat dan esensi se­kaligus. Di antara keduanya pun terdapat hikmah, di mana terjadi penyatuan beberapa hal sebagai penggabungnya. Darinya tidak dibedakan antara hukum yang menegaskan dan yang menafikan sesuatu yang telah ditegaskan. Kemu­dian hukum-hukum penyebab percampuran itu masuk dan bercampur dengan hukum-hukum yang menyebabkan pe­nyatuan. Maka ia menjadi kuat pada sebagian makhluk dalam hal esensi, sifat, ihwal, perbuatan, dan martabat. Hal-hal yang menuntut pembedaan sebagian mereka dari se­bagian yang lain adalah berdasarkan hukum-hukum yang menyebabkan penyatuan, seperti halnya di dalam hukum-hukum wajib dan mungkin yang telah disebutkan. Hal itu, baik dari kecenderungan hukum-hukum yang menyebab­kan percampuran dalam kekuatan otentisitas maupun dari kemajemukan keberbilangan yang menyebabkan dominasi. Maka muncullah kontradiksi ketidak-tahuan, kejauhan, dan keterpisahan dari sesuatu. Kadang-kadang hal itu terjadi sebaliknya. Menjadi kuatiah hukum kesesuaian dan penye­bab penyatuan. Maka terbidah kecintaan (mahabbah) dan muncul kekuasaan ilmu, hubungan, penggabungan, dan sebagainya. Pendek kata, sebab kemunculan perbedaan dan kesesuaian, penggabungan, dan keterpisahan di antara makhluk adalah prinsip ini. Maka hadirkanlah agar engkau memahaminya dan memahami apa yang saya sebutkan dalam pasal ini.

Ketahuilah bahwa sedikit dan banyaknya perkumpulan di antara manusia, dalam keadaan terjaga dan tidur, kembali pada kuat dan lemahnya perbedaan yang berlaku di antara mereka. Yang berlawanan itu, misalnya, adalah yang di satu sisi menyerupai, sementara di sisi lain membelakangi. Atau, dari berbagai sisi. Demikianlah hal itu terjadi jika hukum-hukum penyebab penyatuan mendekat untuk menyamai, dalam kekuatan dan kemajemukan keberbilangan, hukum-hukum yang menyebabkan percampuran. Maka terjadilah hukum kesesuaian dan persekutuan dalam sedikit dan banyak menurut dekat dan jauhnya dari persamaan kekuatan hukum­ hukum tersebut. Setiap kali bertambah kedekatan, ber­tambah banyaklah persekutuan dan kesesuaian. Demikian pula sebaliknya, apabila hukum kedekatan itu lemah. Ketika hukum-hukum yang menyebabkan percampuran mendo­minasi hukum-hukum yang menyebabkan penyatuan, maka terjadilah kontradiksi dan pertentangan. Kadang-kadang satu sisi penyebab penyatuan menjadi kuat, maka kuadah kecintaan di mana hampir-hampir dua orang itu tidak ter­pisah dan tidak berbeda. Maka pahamilah.

Kemudian ketahuilah, ketika engkau tujukan pandang­an pada apa yang saya sebutkan di dalam pasal ini, dan yang sebelumnya ketika memulai menjelaskan hadis ini, dan engkau perhatikan apa yang saya bentangkan dari hukum-hukum kesesuaian, lima prinsipnya, bentuk-bentuk perse­kutuan yang dihasilkan dan terjadi di antara hukum-hukum wajib dan hukum-hukum mugkin, yang dapat diperoleh dari hukum-hukum sifat, perbuatan, keadaan hal-hal lain yang telah disebutkan, niscaya engkau pun ingat apa yang di­sebutkan di dalam derajat-derajat keseimbangan. Penampak­annya dalam lima kehadiran adalah berdasarkan perbedaan bentuk tersebut. Engkau tahu bahwa tempat kemunculan­nya adalah kesamaan kehadiran-kehadiran tersebut dan kandungannya berupa bagian-bagian alam, seperti 'Arsy, al-Kursiy, tujuh langit, alam unsur, dan yang Allah ciptakan dari kumpulannya. Engkau tahu bahwa sebab paling kuat dalam perkumpulan manusia, sebagian mereka dengan se­bagian lain, dari segi bentuk mereka di alam ini, jiwa mereka yang terjaga di alam-alam yang tinggi, dan keterpisahan jiwa dari badannya sehubungan dengan orang yang diberi ke­mampuan untuk itu, adalah pengaruh kesesuaian tersebut. Banyak dan sedikitnya perkumpulan kembali pada kekuatan dan kelemahan pengaruh-pengaruhnya. Karena, kesesuaian itu, apabila berlaku di dalam sifat dan perbuatan sekaligus, adalah seperti pengaruhnya yang lebih kuat daripada ke­sesuaian yang berlaku dalam perbuatan saja.

Jika digabungkan dengan apa yang saya sebutkan tentang hukum kesesuaian sifat dan perbuatan, maka pengaruhnya menjadi lebih kuat. Jika terhadap hal itu digabungkan hukum persekutuan dalam martabat, niscaya ia semakin kuat. Jika dengan itu semua ditetapkan tegasnya kesesuaian, dalam hal esensi, maka sempurnalah keadaannya. Maka barangsiapa yang teguh kesesuaiannya di antara dia dan roh orang-orang sempurna, seperti para nabi dan para wali terdahulu, dari lima sisi ini, maka dia berkumpul bersama mereka dalam terjaga dan tidur. Saya lihat hal itu pada guruku ra selama puluhan tahun. Saya pun lihat sebagiannya pada orang lain.

Asy-Syaikh (Ibn al-'Arabi) ra dapat berkumpul dengan arwah siapa saja yang dia kehendaki dari para nabi, para wali, dan orang-orang terdahulu melalui tiga cara. Jika dia ingin menurunkan rohaninya di alam ini dan menjelma dalam rupa yang menyerupai rupa unsur terindra yang ada pada­nya dalam kehidupan dunia, maka tidak ada sesuatu yang menghalanginya. Sekalipun pun dia ingin menghadirkannya di dalam tidurnya. Dan jika mau, dia terpisah dari raganya dan berkumpul dengannya di mana tampak martabat diri­nya. Sebab, hal itu terjadi di alam yang tinggi menurut kecederungan hukum kesesuaian yang teguh dari diri orang yang dilihatnya dan di antara orbit menurut hukum yang berlaku di antara dia dan orbit serta alam yang lain. Inilah hal yang saya sebutkan tentang kemampuan guruku ra. Itu termasuk tanda-tanda kesahihan pewaris nabi. Hal itu di-tunjukan dengan firman .Allah SWT,

"Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu. " (QS. az-Zukhruf: 45).

Kalau tidak ada yang mampu berkumpul ber­sama mereka, maka tidak ada manfaat dari ayat ini. Tidak dianggap mustahil diperoleh hal semacam itu. Maka hin­darilah penakwilan yang lemah dan pengkajian yang tidak dapat membantu pemahamanmu dan menghalangimu dari hal seperti ini, lalu membingungkan mu. Demi Allah, lebih dari satu orang yang melihat ini dan yang semisalnya, dan itu udak hanya sekali.

Pasal ini adalah tentang penjelasan hakikat alam pra-eksistensi dan tempat kemunculan hukum-hukumnya dari alam-alam tinggi dan rendah, terutama spesies manusia. Selain itu, pasal ini memuat penjelasan lain tentang hukum-hukum mimpi dan martabat-martabatnya, serta perbedaan derajat manusia dalam hal itu semua. Dengan pasal ini selesailah pembahasan dalam syarak hadis ini yang men­cakup ilmu-ilmu yang asing itu.

Ketahuilah, bahwa alam arwah itu lebih dahulu dalam eksistensi dan martabauiya ketimbang alam jisim. Pertolong­an rabbani yang sampai pada jisim bergantung pada peran­taraan arwah yang ada antara keduanya dan al-Haqq. Peng­aturan jisim itu diserahkan kepada roh. Mustahil terjadi ikatan antara roh dan jisim karena esensi keduanya yang saling bertolak belakang. Yang satu kompleks (murakkab), sementara yang lain sederhana (basith). Jadi, semua jisim adalah kompleks, sedangkan roh adalah sederhana. Tidak ada kesesuaian dan ikatan di antara keduanya. Apa-apa yang tidak merupakan ikatan tidak memberi dan menerima pengaruh, serta memberi dan meminta bantuan. Karena itu, Allah menciptakan alam pra-eksistensi sebagai pemisah yang menggabungkan antara alam arwah dan alam jisim agar terjadi ikatan di antara keduanya. Sehingga mudah diperoleh penerimaan dan pemberian pengaruh, dan sampai bantuan dan pengaturan. Alam roh dan karakteristiknya menjelmakan roh di dalam tempat-tempat penjelmaannya yang ditunjukkan dengan Firman-Nya,

"Maka menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna, " (QS. Maryam: 17)

dan sabda Rasulullah saw,

"Kadang-kadang malaikat itu menjelma kepadaku dalam rupa laki-laki."[105]

''Termasuk di antaranya adalah sabda Nabi saw tentang surga dan neraka,

"Baru saja dijelmakan kepadaku surga dan neraka pada permukaan dinding ini." [106]

Juga sabdanya tentang hari kiamat ihwal orang yang tidak membayar zakat,

"Dijelmakan padanya hartanya sebagai seorang yang berani yang meng­halangi."[107]

Di dalam riwayat yang sahih disebutkan,

"Dibayangkan baginya pengganti yang dijelmakan padanya."[108]

Dan sebagai-nyayang dikabarkan syariat. Ke alam pra-eksistensi itu naik­lah mereka yang berpetualang dalam mikraj rohani mereka. Mikraj rohani itu dicapai melalui keterpisahan dari bentuk unsur alami. Arwah mereka terselubung penampakan rohani. Demikianlah ihwal roh manusia dengan jisim unsur alami­nya, di mana rohnya mengatur jisimnya dan meliputinya dalam hal ilmu dan amal. Sebab, terdapat kontradiksi di antara roh dan badannya, dan terhalangnya ikatan yang memungkinkan pengaturan itu dan sampainya pertolongan kepadanya. Allah menciptakan dirinya yang bersifat hewani itu sebagai pemisah di antara badan dan roh. Maka diri hewaninya, sebagai suatu kekuatan akal, adalah sederhana, sesuai dengan roh yang terpisah, dan sebagai sesuatu yang dengan esensinya meliputi berbagai kekuatan yang muncul dalam bingkai badan, merupakan pengatur berbagai tindak­an. Ia pun terbawa dalam asap lembut yang terdapat pada rongga bagian sebelah kiri berupa hati yang berbentuk ke­rucut sesuai dengan susunan tubuhnya yang tersusun dari unsur-unsur. Maka dihasilkan ikatan, serta penerimaan dan pemberian pengaruh. Sehingga memudahkan datangnya pertolongan, seperu saya katakan, dan pengaturan. Apabila ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa kekuatan imajinasi yang ada pada penciptaan manusia, karena keberadaannya sebagai bagian dari alam, terhadap alam pra-eksistensi mutlak adalah seperu suatu bagian terhadap keseluruhan. Hal itu bagai selokan terhadap sungai yang merupakan tempat asal­nya. Sebagaimana ujung selokan bersambung dengan sungai, maka demikian pula alam khayal manusia dari ujungnya yang tertinggi bersambung dengan alam pra-eksistensi. Namun di dalam hal itu, manusia terbagi ke dalam dua golongan, yaitu:

Pertama, mereka tidak mengetahui ikatan itu, tidak merasakannya, dan udak pula memperhatikannya. Mereka adalah kebanyakan manusia.

Kedua, mereka adalah golongan yang lebih sedikit. Yaitu, yang mengetahui, memperhatikan, dan tertarik padanya. Bahkan mereka melampauainya ke alam arwah dan apa yang ada di atasnya, yang akan saya kemukakan kepadamu beserta sebagian rahasia-rahasianya, insya Allah.

Ketahuilah bahwa hubungan alam pra-eksistensi dengan bentuk alam yang merupakan penampakan nama lahir ada­lah seperti hubungan pikiran dan khayalan manusia dengan bentuknya. Sedangkan roh bentuk alam merupakan, dari satu sisi, penampakan nama batin. Yang dijelmakan pada segala hal rasional yang tidak memiliki bentuk merupakan nama batin dan pengatur. Tidak ada kekurangan dalam pengetahuan, dan tidak pula dalam kekuatan dari manusia sebagai bagian darinya. Al-Haqq memiliki kekuatan yang teguh. Di sana sesuatu tidak menjelma kecuali berdasarkan apa yang diketahui. Tidak ada ketidaktahuan yang menem­bus ilmu tersebut. Maka hal itu mendorong kesesuaian dan kesahihan. Demikian pula halnya dengan akal dan jiwa yang tinggi. Tetapi halnya pada manusia tidaklah demikian. Karena, kekuatan imajinasinya mengikuti cahaya rohnya, yang telah dijelaskan. Maka roh itu ditempatkan pada dirinya menurut kekuatan imajinasinya. Lalu ia memulai peniruan-peniruannya. Namun, menurut kemurahan bentuk akalnya, kelurusan atau penyimpangan susunan tubuhnya dan kekhususan tempat dan waktu, ia berbeda dengan yang menjelma di alam pra-eksistensi sebagai nama batin, lalu akal dan jiwa. Sebagaimana telah saya kemukakan bahwa hubungan imaji­nasi manusia yang terikat dengan alam pra-eksistensi adalah seperti hubungan selokan dengan sungai.

Kemudian, khayalan dan mimpi manusia memiliki ber­bagai motif. Sebagiannya bersifat campuran dan sebagian lainnya di luar campuran. Yang dikhususkan dengan cam­puran adalah kebenaran bentuk akal dan apa yang telah disebutkan. Sementara yang di luar campuran adalah ke­kekalan hukum hubungan antara khayalannya dan alam pra-eksistensi melalui ilmu dan kesesuaian yang menuntut penyatuan dari salah satu dari dua sisinya. Ini adalah kasyf yang tinggi yang sedikit orang menyaksikannya. Saya me­masukkan diriku ke dalam sebagian penampakannya be­rupa khayalan yang terikat pada alam pra-eksistensi. Dari pintu hubungan yang ditunjukkan saya sampai ke ujungnya. Saya keluar darinya menuju alam arwah, kemudian ke ke­luasan tempat terbit cahaya. Segala puji bagi Allah atas apa yang Dia karuniakan. Kemudian hendaknya diketahui bahwa martabat manusia dalam berbagai golongan terbatas pada tiga kelompok, yaitu:

Pertama, kelompok yang paling rendah. Allah telah memberi cap pada hati mereka. Dari jiwa mereka tidak ada sesuatu pun yang bersambung ke kalbu mereka, yang se­belumnya terlukis di dalam dirinya atau diperbarui kecuali sedikit yang tidak esensial, cepat hilang, dan terlambat datang. Bahkan, kadang-kadang tidak keluar dari kegaiban alam tertinggi, dan juga yang di atasnya, sesuatu dalam dirinya karena tidak adanya kejernihan dan terdapat penyimpangan total dari keseimbangan dan penyambutan yang benar dalam kehadiran kedekatan dan penghadapan ke hadirat al-Haqq atau martabat-martabat roh.

Kedua, kelompok yang kadang-kadang memperoleh ke­jernihan dalam hadnya, kekosongan dari segala kesibukan diri dan hubungan khayalannya dengan alam pra-eksistensi mudak. Semua itu diperoleh jiwa mereka kedka itu. Ia ter­balik seperu terbaliknya bayangan, dan terbalik dari hati ke akal, lalu tercap padanya. Jika dia menemukan, pada mimpi­nya, pengaruh keadaan jiwa, maka di dalam hal itu kekuat­an khayalan memiliki pendahuluan menurut alat dan susun­an tubuh yang telah saya sebutkan. Jika mimpi itu luput dari keadaan jiwa, maka bentuk rasional itu adalah sahih. Jika susunan tubuh itu benar, maka itu merupakan mimpi dari Allah. Pada umumnya mimpi itu tidak ada ta'bir-nya. Sebab, kebalikan dari kebalikan itu tampak dalam rupa asli. Demi­kianlah mimpi kebanyakan para nabi. Inilah sebab tidak adanya penakwilan al-Khalil (Ibrahim) as terhadap mimpi-mimpinya. Dia mengambil bentuk lahirnya.

Ketiga, orang yang hatinya menjadi tempat bersemayam al-Haqq. Pada umumnya, tidak tercetak di dalam hatinya itu hal-hal dari luar. Bahkan hatinya menjadi sumber segala hal dan ketercetakan pertama di dalam akal. Ketika al-Khalil membiasakan keadaan pertama, sementara al-Haqq berke­hendak untuk memindahkannya ke maqam orang yang Allah luaskan hatinya, maka ketercetakan tidak muncul dari hati ketuhanannya ke akalnya. Ia tidak tampak dalam bentuk asli. Ia memerlukan penakwilan untuk mengungkap hal yang dimaksud dengan penggambaran atas bentuk yang ditam-pakkannya di alam tertinggi, yang memiliki akal dan jiwa, sebagai penampakan rohani. Atau, atas kemunculannya dari hati sebagai pemersatu keberbilangan dengan sifat keesaan. Ketahuilah hal itu, dan perhatikanlah. Pasal ini mengan­dung ilmu-ilmu tersembunyi yang darinya diketahui per­bedaan martabat dan derajat jiwa serta sebab-sebab pema­haman yang salah dan yang benar. Diketahui darinya per­bedaan antara khayal yang terikat dan alam pra-eksistensi yang mutlak. Dan, darinya diketahui hubungan setiap satu terhadap yang lain, dan terhadap al-Haqq. Setiap khayal yang terikat adalah salah satu hukum dari hukum-hukum nama batin yang menjelma di alam pra-eksistensi mudak dengan penjelmaan yang benar karena kesahihan ilmu dan kekuatan peniruan. Ia menjelma di dalam setiap khayal menurut kekuatan, tempat, dan ihwal yang dipahami. Yang dominan dari sifat-sifat itu adalah waktu pemahaman. Dari­nya pun diketahui bahwa mimpi yang tidak ada penakwil-annya adalah tidak diperlukan. Mimpi yang memerlukan penakwilan terjadi pada kelompok terendah. Sementara pada makhluk paling sempurna terjadi sebaliknya, yang tidak ada penakwilannya. Itu merupakan keadaan per­tengahan. Diketahui pula darinya hal-hal lain yang tidak cukup tempat untuk menyebutkannya berupa segala yang saya telah kemukakan dan sebutkan, bentuk-bentuk yang dihasilkan dari apa yang telah saya jelaskan berupa hukum-hukum prinsip dalam martabat penyimpangan terhadap martabat keseimbangan dengan penyimpangan susunan tubuh yang diimpikan. Terutama, apabila ditambahkan pada hal tersebut bentuk akal dan perilaku yang jelek. Dalam hal ini, mimpi itu adalah dari setan, sebagaimana ditunjukkan Nabi saw. Maka pahamilah. Ini merupakan batasan martabat-martabat mimpi dan prinsip martabat-martabat pemimpi, karena perbedaan derajat mereka dan sebab perbedaan mereka dalam hal itu semua. Barangsiapa yang mengkaji apa yang saya telah jelaskan di dalam bab ini, niscaya dia mengetahui kesimpulan dari prinsip-prinsip tersebut dan buahnya. Dia mengetahui, dari mimpi itu sendiri, setiap pemimpinya ketika disebutkan padanya apa yang dia lihat. Apakah yang dilihatnya itu adalah nabi anu, wali anu, Zaid, atau Umar, baik yang dilihat dalam benak pemimpi itu ada­lah sudah mati atau masih hidup. Atau, yang dilihatnya tidak seperu itu. Apakah itu merupakan kesesuaian yang berlaku di antara pemimpi dan yang diimpikan dalam hal keadaan, sifat, perbuatan, martabat, atau esensi, menurut apa yang telah dijelaskan. Atau, itu adalah nabi, wali, Zaid, atau Umar, sebagaimana yang diyakini dan diduga pe­mimpi. Selama dia belum mengetahui secara pasti apa yang saya sebutkan, maka mimpinya tidak menghasilkan ilmu. Dia tidak meletakkan kepercayaan pada dugaan dan ke­yakinannya. Sehingga dia berkata, "Saya bermimpi melihat fulan. Dia berkata kepadaku dan saya pun berkata kepada­nya." Sehingga kadang-kadang dia melihat sebagian mayat dalam keyakinannya di dalam mimpi. Lalu dia bertanya ke­padanya ihwal akhirat. Tetapi mayat itu tidak menjawabnya dan berpaling darinya. Kalau pun mayat itu menjawab, jawabannya tidak sempurna, atau tidak benar. Rahasia di dalam hal itu adalah bahwa yang dilihat itu, jika memiliki rupa kesesuaian dari segi keadaan, perbuatan atau sifat, maka dia tidak menuntut penampakan hal-hal yang ditanya­kan. Karena itu, tidak diperoleh jawaban yang benar, dan tidak ada kesepakatan yang berguna.

Karena, semua itu merupakan bentuk WdAyang tidak ada penegasannya. Ini berbeda dengan apabila pemimpi itu telah melihat roh nabi tersebut, wali, atau orang yang berada pada tempat penampakan alam pra-eksistensi di barzakh, adanya kesesuaian antara dia dan roh pemimpi dari bentuk-bentuk alam yang tinggi, atau kesesuaian itu berlaku di antara keduanya dari segi martabat, maqam, dan esensi sekaligus, serta sendiri-sendiri. Maka jawaban dan bantahan yang terjadi di antara pemimpi dan yang diimpi­kan adalah benar walaupun yang diimpikan itu adalah ter­masuk orang yang telah mengetahui apa yang ditanyakan di dunia ini sebelum kematiannya. Atau, keyakinannya ter­hadap apa yang ditanyakan pemimpi merupakan keyakinan yang sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Apabila tidak terjadi seperti itu, maka jawaban itu merupakan buah keya­kinan orang yang diimpikan yang diajukan padanya suatu pertanyaan. Kadang-kadang jawaban itu adalah benar, atau mendekati kebenaran. Tetapi kadang-kadang pula jawaban itu tidak benar. Hal itu didasarkan pada benar dan tidaknya keyakinan pemimpi dan yang diimpikan. Maka ketahuilah hal itu.

Ini semua adalah yang berulang kali dialami banyak orang yang hampir tidak dapat saya hitung jumlah mereka. Balikan, saya alami sendiri sebelum al-Haqq menganugerahiku pe­nampakan yang benar terhadap hal-hal ini, makrifat hakikat-hakikatnya, dan martabat-martabat asalnya. Maka segala pujian bagi Allah yang telah menunjukkan kami pada hal ini dan yang lainnya. Kami tidak akan memperoleh petun­juk kalau Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Mahasuci Dia, tiada Tuhan selain Dia. Dia yang Maha Me­ngetahui, Mahakuasa, Maha Pemberi kenikmatan, dan Maha Pemberi kebaikan.

HADIS KEDUA PULUH TIGA

Dari Jabir bin 'Abdullah[109] bahwa seseorang berdiri, lalu salat fajar (subuh) dua rakaat. Pada rakaat pertama dia membaca Qull ya ayyuha al-kafirun ..." (QS. al-Kafirun—penj.) Maka Rasulullah saw bersabda,

"Ini adalah hamba yang mengenali Tuhannya."

Sementara pada rakaat kedua dia membaca "Qul huwa Allah ahad ... (QS. al-Ikhlash—penj.) Maka Nabi saw bersabda,

"Ini adalah hamba yang beriman kepada Tuhannya."[110]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, bahwa makrifat memiliki beberapa derajat yang berlainan. Sebagiannya lebih tinggi daripada sebagian yang lain. Yang pertama di dalam syariat, terutama pada zaman Nabi saw adalah membedakan al-Haqq oleh orang yang meyakini dari apa yang biasa dilakukan orang-orang Arab dalam menyembah patung, bintang, dan sebagainya. Kandungan surah qulya ayyuha al-kafirun merupakan jenis pembedaan ini. Karena itu, Rasulullah saw merasa puas terhadap jawaban budak perempuan bisu ketika ditanyakan kepadanya melalui isyarat, "Di mana Allah?" Maka dia me­nunjukkan jarinya ke langit. Lalu Rasulullah saw bertanya lagi kepadanya,

"Siapakah saya?"

Maka dia menunjuk se­bagai isyarat. Dari isyarat itu dipahami bahwa dia menun­jukkan bahwa engkau adalah Rasulullah. Maka beliau ber­kata kepada tuannya,

"Merdekakanlah dia, karena dia se­orang wanita mukmin."[111]

Hal seperti ini pun disebutkan di dalam hadis Mu'adz: Ketika Rasulullah saw mengutusnya ke Yaman, beliau bersabda, "Engkau diutus kepada kaum Ahli Kitab. Maka jadikanlah seruan pertamamu kepada mereka adalah kesaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah saw. Apabila mereka telah mengenal Allah, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa diwajibkan kepada mereka salat lima waktu pada siang dan malam."[112] (Hadis). Maka pernyataan syahddatain dinamakan makrifat. Hal itu berarti mengesakan al-Haqq dan membedakannya dari setiap yang disembah oleh orang-orang Arab dan yang mereka sekutukan bersama al-Haqq dalam uluhiyyah-Nya. Maka pahamilah.

Sabda Rasulullah saw tentang qul huioa Allah ahad ketika dibaca oleh orang itu dalam salatnya,

"Ini adalah hamba yang beriman kepada Tuhannya."

Rahasia dalam sabda itu adalah lafal ahad diletakkan pada derajat tertinggi sebagai penyucian al-Haqq dari martabat keberbilangan. Karena itu, seluruh muhaqqiqsepakat bahwa pengungkapan-diri (tajalli) di dalam ahadiyyak (kemahaesaan) adalah mustahil. Karena, al-Haqq, dalam hal ahadiyyak-Nya, tidak ada ikatan dan hubungan dengan sesuatu di dalam perkara apa pun. Zat-Nya yang tidak diketahui itu tidak mengubah sifat, nama, hukum, dan ilmu-Nya. Sehingga di dalam memutlakkan semua itu dan menisbahkannya kepada al-Haqq harus ada penalaran martabat, sudut pandang, atau anggapan. Ketika diasumsikan semua anggapan itu gugur, maka semua hu­bungan dan penisbahan ini pun dinafikan. Tidak ada lagi selain membenarkan al-Haqq sesuai apa yang Ia kabarkan tentang diri-Nya dalam hal pengetahuan-Nya terhadap diri­Nya dan ketiadaan pengetahuan kita terhadap diri-Nya. Ini adalah makna sabda Nabi saw yang berkaitan dengan orang yang membaca qul huwa Allah ahad, "Ini adalah hamba yang beriman kepada Tuhannya." Maka pahamilah.

Lisan maqam ini mengandung banyak rahasia di antara rahasia-rahasia al-Haqq yang paling agung. Maqam penyu­cian tauhid beserta keagungan-Nya merupakan salah satu cabang dari cabang-cabang maqam ini. Karena, penyucian tauhid merupakan sifat Yang Maha Esa. Lisan penyucian al-Haq ini merupakan karakteristik keesaan-Nya yang mem­bedakan dari selain-Nya. Tidak ada cara untuk membuk­tikan makrifat ini kecuali memperoleh penampakan-diri dan penampakan-penampakan transedental melalui ketentutan-ketentuan tempat-tempat penampakan-diri. Maka dari al-Haqq dipahami kesekatan-Nya (barzakhiyyah) yang agung yang meliputi segenap eksistensi, kemungkinan (imkdn), serta maksud-maksud yang tercakup keduanya, pengabaran tentang zat-Nya yang tidak diketahui tanpa perantaraan suatu materi apapun, maujud, nama-nama, dan sifat-sifat. Di dalam makrifat tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada ini. Ia merupakan kebalikan derajat makrifat pertama yang sudah ditunjukkan. Derajat-derajat makrifat lainnya serta martabat-martabatnya adalah di antara kedua martabat ini. Maka pahamilah, niscaya engkau mendapat petunjuk, insya Allah.

HADIS KEDUA PULUH EMPAT

Dari Thalhah[113] dari Malik[114] dari Makhul[115] dari Abu Bakar ash-Shiddiq[116] ra, dia berkata, Billah al-azhim (demi Allah Yang Mahaagung). Telah mengabarkan kepadaku Muhammad al-Mushthafa saw, beliau bersabda, Billah al-azhim. Telah me­ngabarkan kepadaku Jibril as, dia berkata, Billah al-'azhim. Telah mengabarkan kepadaku Mikail, da berkata, Billah al-'azhim. Telah mengabarkan kepadaku Israfd, dia berkata Allah Swt. berfirman, "Wahai Israfil, demi keagungan, ke­besaran, kemurahan dan kemuliaan-Ku, barangsiapa mem­baca Bismillah ar-rahmdn ar-rahim bersambung dengan surah al-Fatihah dalam satu nafas, bersaksilah kalian kepada-Ku bahwa Aku telah mengampuninya. Aku terima darinya ke­baikan dan Aku hapuskan darinya kejelekan. Aku udak akan membakar lidahnya dengan api (neraka). Aku menyelamat­kannya dari azab kubur, azab hari kiamat, dan ketakutan yang besar. Dia akan menemui-Ku sebelum para nabi dan para wali."[117]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ditegaskan dari Rasulullah saw apa yang diriwayatkan dari Tuhannya mengenai sifat salat. Yaitu, apabila hamba membaca: Bismillah ar-rahman ar-rahim, maka Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi berfirman,

"Hamba-Ku mengingat­Ku." Apabila hamba mengucapkan: al-Hamd lillah rabb al-'alamin, Allah berfirman, "Hamba-Ku memuji-Ku." (Hadis) [118]

Hadis ini adalah seperu kunci dan pengantar untuk men­jelaskan makna hadis yang disebutkan sebelumnya. Apabila engkau mengetahui hal ini, maka ketahuilah bahwa orang berakal mengetahui bahwa semata-mata bersambungnya bacaan basmalah dengan surah al-Fatihah dan bentuk pe­lafalannya udak menyebabkan kecenderungan ini dan ke­muliaan yang tinggi. Rahasia yang terdapat dalam hal itu semua adalah bahwa ketika Allah SWT menjadikan basmalah sebagai zikir dan al-hamd lilldh sebagai pujian, dari sisi ini. Dia membedakan di antara keduanya. Di antara hal yang nyata bagi para muhaqqiq dan ulul albab adalah bahwa pujian dari setiap pemuji atas setiap yang dipuji merupakan pe­ngenalan dari pemuji kepada yang dipuji tentang esensi yang dipuji berkaitan dengan pemuji.

Hakikat zikir sempurna itu adalah menjelaskan apa yang menunjukkan pada yang dizikir sebagai penunjukan yang sempurna dan menerangkan zat-Nya. Atau, pezikir itu meng­hadirkan yang dizikir di dalam dirinya atau kehadirannya bersama-Nya. Kehadiran dan penghadiran mengungkapkan pengagungan kepada yang sudah diketahui (ma'lum). Maka hasilnya pun kembali kepada ilmu. Ini, dari satu sisi, tidak berbeda dengan pujian. Namun sehubungan dengan orang yang mengingat al-Haqq sebagai zikir makrifat dan penge­nalan, maka seakan-akan Dia berfirman, "Barangsiapa zikir­nya menyaUi dengan pujiannya, di mana zikirnya merupakan pengungkapan tentang Zat yang dizikir seperti pengenalan pemuji yang benar dengan pujiannya walaupun dalam hal Dia sebagai yang dizikir atau yang dipuji. Dia pantas men­dapat pemuliaan dan pendekatan yang sempurna. Tidak diragukan bahwa diperolehnya sifat ini terlalu agung dan tidak mungkin bagi kebanyakan makhluk. Yang memper­olehnya adalah orang yang pantas mendapat pendekatan dan pemuliaan yang sempurna. Inilah yangjarang ada, bukan pemikiran adanya sambungan bacaan basmalah dengan surah al-Fatihah. Maka pahamilah. Allah Maha Pemberi petunjuk.

 HADIS KEDUA PULUH LIMA

At-Turmudzi dari Ibn 'Abbas, [119] dia berkata,

"Ketika turun Al-Quran kepadanya, beliau menggerakkan lidahnya." [120]

Di dalam riwayat lain,

"Ketika Al-Quran diturunkan ke­pada Rasulullah saw, beliau mendapati kesusahan. Maka Allah berfirman, 'Janganlah engkau menggerakkan lidah­mu untuk segera menghafalnya,"

Dia berkata,

"Karenanya beliau menggerakkan kedua bibirnya." [121]

Dan dia pun berkata, "Ini adalah hadis hasan sahih."

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah bahwa syariat dan kajian membuktikan bahwa ikatan maujud dengan al-Haqq berlaku dalam dua hal. Pertama, rangkaian susunan dan perantaraan yang awalnya adalah pena (al-qalam), kemudian laiuh al-mahfudz, 'Arsy, al-Kursiy, langit, unsur-unsur, lalu segala yang dihasilkan dari unsur-unsur tersebut, dan akhir penciptaan dan perkara manusia. Nabi saw telah mengabarkan semua itu. Beliau pun mengabarkan ihwal akhir penciptaan dan tentang per­kara manusia. Beliau saw bersabda,

"Manusia adalah maujud terakhir yang diciptakan."[122]

Kedua, ketiadaan perantara. Arti­nya, setiap maujud memiliki ikatan dengan al-Haqq dari sisi yang tidak ada perantara di antara dia dan Tuhannya. Ini merupakan sisi kebersamaan al-Haqq dengan segala sesuatu dan cakupan pengetahuan terhadap lahir dan batin setiap sesuatu. Sebagaimana hal itu disebutkan di dalam Kitab yang agung dan yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Ada­pun yang disebutkan di dalam Kitab yang agung adalah seperti firman-Nya,

"Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." (QS. al-Hadid: 4)

Ayat-ayat lainnya adalah sebagai berikut:

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia­lah yang keempatnya. Dan tiada [pembicaraan antara} lima orang melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada [pula] pem­bicaraan an tara [jumlah] yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka. (QS. al-Mujadilah: 7)

... dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS. Qaf: 16)

... sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu, (QS. Fushshilat: 54)

dan sebagainya.

Adapun isyarat-isyarat Nabi saw terhadap hal itu, di antaranya adalah sabdanya,

"Sesungguhnya Tuhanku ber­firman kepada-Ku tadi malam begini dan begitu."[123]

Sabdanya,

"Saya punya suatu waktu yang tidak meliputiku pada waktu itu selain Tuhanku."[124]

Dan sabda beliau kepada para sahabatnya ketika mereka mengeraskan suara takbir dan tahlil,

"Kalian udak menyeru kepada yang tuli dan yang tidak ada. Yang kalian seru bukan binatang tunggangan-mu." [125]

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"Sesungguhnya Dia lebih dekat kepada salah seorang di antara kalian daripada leher binatang tunggangannya,"[126]

dan sebagainya. Sebagai­mana beliau pun menunjukkan pernyataan rangkaian urut­an dengan riwayat dari Jibril dari Mikail dari Israfil dari Allah. Kadang-kadang diringkas dengan hanya menyebut­kan Jibril as, karena cukup dengan pernyataan yang telah disebutkan, bahwa Jibril mengambil dari Mikail, Mikail dari Israfil, dan Israfil dari Allah. Kadang-kadang pula dikabar­kan bahwa Israil adalah pemilik hijab. Di dalam hadis lain disebutkan, sebelum Israfil, ar-Rafi' dari Israfil, dan Israfil dari Allah.

Kemudian, ketahuilah bahwa sisi ikatan dengan al-Haqq dalam hal ketiadaan perantara adalah berlakunya hubungan dengan setiap maujud. Tetapi kebanyakan manusia udak mengetahuinya. Tidak terbuka bagi mereka pintu itu untuk mengambilnya dari Allah tanpa perantara. Bahkan, hal itu udak diperoleh kecuali bagi sebagian orang dari para nabi, para wali, dan pemuka para muhaqqiq. Mereka memper­hatikan sisi ini, yakni sisi ketiadaan perantara secara khusus. Sedangkan para filosof mengingkari sisi ini. Mereka me­ngatakan, "Tidak ada ikatan antara al-Haqq dengan maujud kecuali melalui sisi sebab dan perantara." Mereka keliru di dalam hukum ini. Karena, ketiadaan pengetahuan mereka terhadap sisi ini tidak mengharuskan ketiadaan adanya hubungan tersebut. Ketiadaan perasaan tidak berarti ketiadaan eksistensi. Sebab, walaupun mereka tidak mengenal-Nya, tetapi orang selain mereka telah mengenal, bahkan me­nyaksikan dan mendapatkan ini sebagai sesuatu yang pasti menurut penyingkapan (kasyf) dan syariat. Pernyataan ini adalah dari sisi akal yang dicerahkan dengan cahaya Allah. Yaitu, ketika tidak boleh menurut akal bahwa terpikit pada al-Haqq dua sisi yang berbeda, karena Ia esa dari seluruh sisi, maka haruslah ikatan rasional antara Allah dan maujud menjadi pasti dari al-Haqq, melalui satu sisi. Karena, bilang­an banyak itu termasuk keharusan segala yang bersifat mungkin dan sifat-sifat esensialnya, dan bentuk keber­bilangan yang pertama dan paling sedikit adalah dua, maka haruslah ikatan setiap segala yang bersifat mungkin dengan al-Haqq dari pihak al-mumkin itu dari dua sisi. Pertama, dari sisi eksistensinya yang mungkin, dan kedua, dari sisi eksis­tensinya yang wajib, dari sisi telah diketahui oleh Allah. Mesti dan harus ada dominasi sisi yang membawa al-Haqq pada keesaan dan hukum-hukum eksistensi wajib yang di­ungkapkan dengan nama-nama. Sebagaimana harus ada dominasi keberbilangan dari sisi lain dan terbukanya pintu sisi khusus yang kami katakan: "Tidak ada perantara di dalam­nya yang bergantung pada penggunaan hukum-hukum ke­berbilangan dan kemungkinan di dalam keesaan al-Haqq dan hukum-hukum wajib keberadaan-Nya." Maka pahami­lah.

Karena Nabi kita adalah makhluk paling sempurna, maka pintu yang tinggi bagi hukum-hukum perantara di antara hamba dan Tuhannya terbuka baginya dan tercetak di dalam kalbunya melalui rahasia firman-Nya, "Tidak melapangkan-Ku bumi-Ku, dan tidak pula langit-Ku. Melainkan melapangkan-Ku kalbu hamba-Ku yang mukmin, bertakwa, dan member­sihkan diri."[127] Di antara ilmu Tuhannya adalah yang hendak al-Haqq kabarkan kepadanya agar dia menyampaikannya kepada umatnya. Hal itu sebagaimana firman Allah SWT, "Agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (QS. an-Nahl: 44) Ketika kalam itu disampaikan kepadanya melalui perantara dalam bentuk lafal-lafal dan ungkapan yang disesuaikan dengan ihwal yang diajak bicara, maka disampaikan kepada Rasulullah saw ilmu­Nya dalam bentuk makna-makna disebabkan penyampaian­nya tanpa perantara untuk meringankan dirinya. Sehingga, tidak menyebabkan kesusahan yang dialami oleh tabiatnya karena pewahvuan yang bersifat rohani. Tabiat mencemas­kan hal itu karena adalanya tolak belakang yang terjadi antara tabiat dan roh malaikat. Maka firman Allah SWT,

"Janganlah engfcau menggerakkan lidahmu untuk segera menghapalnya," (QS. al-Qiyamah: 16)

sebagai pengajaran dan penanaman adab. Adapun penanaman adab, yaitu ketika yang membawa wahyu itu dari Allah adalah Jibril as, maka beliau bersegera menyebut apa yang diwahyukan kepadanya dengan tergesa-gesa dan menampakkan ketidak-pedulian kepadanya. Ini, tidak diragukan lagi, merupakan kekurang­an di dalam adab, terutama dengan sang guru yang mem­beri petunjuk.

Adapun aspek pengajaran, dari satu sisi, adalah bahwa makhluk yang diajak bicara dengan Al-Quran dihukumkan keterikatan mereka dengan al-Haqq dari sisi rangkaian urut­an dan perantara yang tampak dan dominan pada mereka. Karena, pintu aspek lain tertutup bagi kebanyakan dari mereka. Mereka tidak memahami Allah kecuali dari sisi yang bersesuaian dengan ihwal mereka. Itu merupakan sisi perantara dan keberbilangan dari sesuatu yang bersifat mungkin, sebagaimana telah dijelaskan. Hal itu ditunjukkan dengan firman-Nya:

Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran itu dengan bahasamu. (QS. Maryam: 97)

Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami. (QS. az-Zukhruf: 3)

Allah SWT mengabarkan derajat AI-Quran dalam maqam mengangkat (menghilangkan) perantara. Allah berfirman,

"Dan sesungguhnya ALQuran itu di dalam induk al-Kitab. " (QS. az-Zukhruf: 4)

Yakni, Al-Quran yang disifati dengan buatan di sisi kalian.

"Di sisi Kami adalah benar-benar tinggi dan banyak mengan­dung hikmah" (QS. az-Zukhruf: 4)

Yakni, Al-Quran itu lebih tinggi dan lebih berisi hikmah daripada sifat buatannya. Maka al-Haqq mengajarkan kepada Nabi kita saw bahwa AJ-Quran, walaupun engkau mengambilnya dari Kami dan engkau menampakkannya kepada Kami dalam induk al-Kitab (umm al-kitab) dalam hal maknanya tanpa perantara, namun ketika Kami menurunkannya pada waktu yang lain dengan perantaraan, hal itu mengandung faedah-faedah tambahan, di antaranya adalah menjaga pemahaman orang-orang yang membacanya. Selain itu, faedahnya adalah agar pengenalanmu meliputi makna-makna ungkapan yang sem­purna tersebut. Maka engkau menggabungkan antara ke­sempurnaan lahir dan kesempurnaan batinnya. Dengannya ditampakkan rohani dan jasmanimu. Kemudian, masalah itu melampauimu menuju umatmu. Maka masing-masing mereka mengambil bagiannya darinya berupa ilmu dan amal. Allah mengatakan yang benar dan menunjukkan orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.


 HADIS KEDUA PULUH ENAM

Ditegaskan di dalam ash-Shahih dari Rasulullah saw bahwa beliau tidak pernah menoleh dengan memalingkan muka­nya. Yakni, menoleh dengan memutar lehernya. Jika me­noleh, beliau menghadap dengan seluruh tubuhnya.[128]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, di antara masalah yang menjadi sandaran para muhaqqiq dan syariat adalah bahwa kesempurnaan manusia adalah dalam berakhlak dengan akhlak Allah serta berhias dan meniru sifat-sifat-Nya yang agung. Tidak ada keraguan dalam keesaan al-Haqq, keesaan limpahan karunia-Nya, dan perhatian-Nya untuk menciptakan apa yang Dia hendaki ciptakan. Perhatian-Nya pada penciptaan semut adalah se­perti perhatian-Nya pada penciptaan 'Arsy dan al-Kursiy. Karena, Dia disucikan dari terbayang padanya berbagai arah yang berbeda yang memberi aib di dalam tindakan-Nya sebab tidak ada kemajemukan dan pembagian. Keberbilangan, kemajemukan, perbedaan, dan sebagainya termasuk sifat-sifat segala yang bersifat mungkin (mumkinat) yang mene­rima perlakuan-Nya, dan menampakkan limpahan karunia-Nya.

Ketika masalahnya seperti itu, maka wajib bagi setiap orang yang berakhlak dengan akhlak Tuhannya agar tidak memperhatikan sesuatu kecuali secara keseluruhan. Dia harus menjaga diri dari mencampurkan bagian sesuatu dengan yang lain, sehingga dapat membagi perhatian. Bahkan, ia harus memperhatikan dengan sempurna segala sesuatu dengan kehadiran yang sempurna, meniru Tuhannya dalam hal menampakkan sifat-sifat-Nya yang menghiasi dirinya. Maka pahamilah, niscava engkau mendapat petunjuk. Insya Allah.

 HADIST KE DUA PULUH TUJUH

Ditegaskan dari Rasulullah saw,

"Zaman telah berputar se­perti keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi." [129]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Hadis di atas mengandung pokok-pokok ilmu Ilahi. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit dari kalangan orang-orang yang sempurna. Di antaranya adalah pengetahuan tentang permulaan perputaran 'Arsy. Maka ketahuilah, bahwa penyingkapan sempurna terhadap rahasia universal ini memahamkan bahwa permulaan perputaran 'Arsy ada­lah dari al-mizan (neraca). Dari situ menuju Pisces tempat Allah menciptakan roh-roh samawi dan bentuk-bentuk asal universal yang ditempatkan di rongga 'Arsy. Jangka waktu kekuasaan enam rasi ini adalah 21 ribu tahun. Dari Aries ke Virgo adalah lima puluh ribu tahun. Dari awal perputar­an Virgo berdasarkan perintah Ilahi yang diwahyukan ke­padanya, tempat kemunculan jenis manusia, lamanya ada­lah tujuh ribu tahun. Nabi kita saw diutus sebagai rasul pada tujuh ribu tahun terakhir. Pada bagian-bagian pemisah (al­ barzakhiyyah) yang menggabungkan antara perputaran Virgo dan perputaran al-mizan yang khusus bagi akhirat, adalah seperu yang disebutkan ahli tentang rasi, memiliki dua fisik. Disebutkan bahwa separuh terakhirnya adalah bercampur dengan karakteristik pemisahan yang akan datang. Demi­kian pula dari pengutusan Nabi saw. Ia adalah waktu per­campuran dunia dan akhirat. Seperti subuh, yang darinya awal siang dimulai hingga terbitnya matahari, adalah ban­dingan waktu pengutusan beliau hingga hari kiamat. Se­bagaimana bertambahnya terang setelah terbit fajar secara bertahap sedikit demi sedikit, demikian pula munculnya hukum-hukum akhirat dari sejak pengutusan bertambah hingga waktu terbit matahari dari tempat terbenamnya.

Terhadap contoh ini disebutkan isyarat-isyarat Nabi saw dengan sabdanya,

"Pengutusanku dan hari kiamat adalah seperti yang datang bersama-sama, atau hampir mendahuluiku." [130]

Dan sabdanya,

"Hari kiamat tidak terjadi sebelum berkata kepada seseorang cambuknya."[131]

"Hingga pahanya mengatakan kepadanya tentang apa yang diperbuat oleh keluarganya sesudahnya." Serta isyaratnya di dalam hadis lain yang berisi kabar-kabar tentang kebanyakan manusia akhir zaman yang mendengar ucapan benda-benda mati, tumbuhan, dan binatang. Prinsip ini adalah dari ilmu raha­sia dunia dan waktunya, ilmu rahasia akhirat, ilmu rahasia-rahasia perputaran, ilmu zaman keberadaan para malaikat langit, ilmu rahasia Nabi saw sebagai penutup kenabian dan risalah yang khusus berkaitan dengan syariat, ilmu keber-akhiran al-wilayah (kewalian), rahasia keberakhiran kenabi­an mutlak, dan ilmu lainnya dari jenis-jenis ilmu yang tidak cukup tempat untuk disebutkan.

Namun, tidak dibayangkan bahwa masa kemunculan jenis manusia terbatas pada tujuh ribu tahun. Ini hanya me­nyiratkan jika udak ada selain satu putaran saja. Masalahnya bukan begitu. Melainkan maksudnya adalah untuk meng­ingatkan bahwa Allah SWT menciptakan hal-hal tersebut pada awal perputaran universal, pada akhir kekuasaan, dan perintah Tuhan kepada telinga Adam. Allah Maha Menge­tahui jumlah perputaran dan keberakhiran ke rasi Virgo. Kadang-kadang Allah SWT mengajarkannya kepada se­bagian hamba-Nya. Maka mereka mengetahuinya, walaupun tidak jelas penyebutannya. Maka ketahuilah hal itu.

 HADIS KEDUA PULUH DELAPAN

Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya."

Di dalam riwayat lain disebutkan,

"... atas rupa ar-Rahman.  [132]

Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya

Ketahuilah, Allah mengetahui diri-Nya, maka Dia me­ngetahui alam semesta. Karena itu, Adam adalah atas rupa-Nya. Ini memerlukan pendahuluan. Sebagai pendahuluan, ketahuilah bahwa merupakan kesepakatan orang-orang yang berakal sehat bahwa al-Haqq adalah Maha Esa. Bersamaan dengan itu, tidak dibenarkan Allah SWT menjadi rupa bagi sesuatu, dan tidak pula menjadi yang dirupakan oleh se­suatu. Sesungguhnya hakikat-hakikat itu tidak berubah. Maka 'adam (ketiadaan) tidak berubah menjadi wujud (keberada­an), dan wujud pun tidak berubah menjadi 'adam. Apabila sesuatu menuntut suatu hal bagi esensinya, maka ia senan­tiasa begitu selama ada esensinya. Apabila ia menuntutnya dengan satu atau beberapa syarat, maka syarat tersebut menjadi wajib, baik satu atau beberapa syarat itu merupakan sesuatu yang ada (wujud) maupun hubungan ketiadaan ('adam), atau gabungan dari keduanya dalam pikiran. Jika engkau memahami ini, niscaya engkau mengetahui bahwa alam ini udak akan menjadi ketiadaan. Maka hakikatnya terbalik, dengan kekuasaan-Nya, hingga menjadi sesuatu yang ada. Tetapi ia tidak memiliki eksistensi azali, karena hal itu akan menjadikannya sama dengan al-Haqq dalam keberadaan abadi. Maka eksistensi itu menjadi wajib bagi zat-Nya. Al-Haqq tidak memiliki rupa, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Maka tegaslah bahwa martabat alam berada di antara keberadaan abadi dan ketiadaan murni. Martabat tersebut tidak berlaku dalam dua sisi di atas. Tidak ada lagi kecuali menjadi pengikut pada zat Pencipta Yang Maha Mengetahuinya sebagai ikutan azali dan maknawi. Maka ia menjadi maujud dalam hubungannya dengan ilmu Yang Maha Mengetahui dan menjadi tiada (ma'dum) pada zat-Nya karena kemustahilan-Nya menjadi menyerupai dan diserupakan. Adalah mustahil ilmu al-Haqq menjadi baru dan mengubah ilmu, baik dalam keadaan maupun sifat-Nya, karena mustahilnya merubah hakikat, sebagaimana telah dijelaskan. Maka gambaran diketahuinya setiap bagian dari bagian-bagian alam dan gambaran keseluruhannya berada pada ilmu-Nya SWT secara azali dan abadi di atas satu mar­tabat, tanpa ada perubahan dan pergantian. Ilmu-Nya SWT berada pada hadirat keesaan hakiki. Zat-Nya tidak berubah dan tidak terpisah sehingga tidak ada keberbilangan dan kemajemukan.

Maka haruslah alam ini muncul dari kehadiran-Nya ber­dasarkan tuntutan ilmu-Nya yang bersifat esensial, esa, dan azali yang berkaitan dengan setiap yang diketahui (ma'lum) menurut keadaannya. Karena itu, alam muncul dalam rupa yang al-Haqq ketahui di dalam zat-Nya secara azali. Maka bentuk lahir Adam merupakan bagian dari bentuk lahir alam, dan batinnya merupakan bagian dari batin alam. De­mikian pula rohnya dan maknanya. Kesemuanya itu me­rupakan bentuk hubungan-hubungan yang menentukan tuntutan penciptaan al-Haqq dan kesahihannya menurut keadaan, hukum, esensi, dan ilmu. Hal itu tidak tertentu, terikat, atau bercampur pada diri-Nya dengan sesuatu yang tidak dituntut zat-Nya. Ilmu konseptual ('ilm tashawwuri), persepsi kesaksian (idrak syuhudi) dan persepsi pengindraan (idrak bashari) tidak dapat mengungkap rahasia ini lebih dari ini. Hal itu disebabkan sempitnya ungkapan dan pe­mahaman akal. Bahkan itu disebabkan sempitnya jiwa yang mempersepsi dalam hubungannya dengan keindahan ke­hadiran Yang Mahasuci dan keluasan lingkup kehadiran adz-Dzat yang menjadi sumber dan asas. Apabila engkau me­ngetahui hal ini, niscaya engkau tahu rahasia sabdanya saw, "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya."

Rupa merupakan homonim yang mencakup lahir dan batin, serta menggabungkan hal-hal yang harus digabung­kan dan diikuti kebergantungan pada gabungan percam­puran dan tiupan serta air secara khusus. Padahal dari satu sisi, tidak semua begitu. Maka ketahuilah, niscaya engkau pendapat petunjuk, insya Allah.

 HADIST KEDUA PULUH SEMBILAN


Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Tuhanmu, pada hari-harimu, memiliki tiupan-tiupan rahmat-Nya. Maka hadapilah."[133] Benarlah Rasulullah saw.

Penyingkapan Rahasia dan Penyingkapan Maknanya

Ketahuilah, bahwa menghadap itu terbagi ke dalam dua bagian. Yaitu, yang tanpa usaha dan yang disertai usaha. Yang tanpa usaha adalah menghadap melalui kesiapan esensial yang udak dibuat dan sama sekali tidak disertai perintah. Ini merupakan martabat penghadapan yang utama dan yang paling tinggi. Berikutnya adalah penghadapan melalui kejernihan rohani. Keluasan orbitnya yang dapat dipahami adalah pada hukum-hukum martabat dan pemiliknya. Asal­nya adalah derajat yang berbeda-beda menurut kekuatan roh, kemuliaan jawhar, dan ketinggian martabatnya. Ke­adaan esensial yang mendominasinya adalah keadaan peng­hadapan.

Keduanya ini adalah tanpa usaha, sebagaimana saya telah tunjukkan. Hanya saja, di antara keduanya terdapat perbedaan yang samar. Yaitu, bahwa bagian kedua yang dikhususkan dengan kejernihan rohani dan keluasan lingkup, saya jadikan sebagai bagian kedua yang mengiringi bagian pertama, karena hal itu diperoleh dari bagian eksistensi yang sebelumnya dari al-Haqq melalui kesiapan universal yang dengan martabatnya mendahului wujud yang diterima karena keberadaannya yang tidak diusahakan sebagai ke­siapan parsial, eksistensial, dan terus menjadi baru. Penguasa­an terhadapnya dilakukan dengan usaha. Ia termasuk buah u'ujud yang diperoleh roh melalui kejernihan dan sebagainya. Ini—yakni nama ini—adalah kesiapan parsial, walaupun dari satu sisi merupakan salah satu hukum kesiapan uni­versal dan sifatnya. Kemunculan dan penampakannya ber­gantung pada wujud yang dihasilkannya. Maka pahamilah.

Berikutnya adalah penghadapan dengan kecintaan (mahabbah) yang mesti disertai kebutuhan, baik kebutuhan mudak maupun kebutuhan bersyarat. Asalnya berdasarkan derajat-derajat yang berbeda-beda. Pemilik derajat pertama adalah yang menghadap kepada al-Haqq dengan sifat-sifat kecintaan mudak yang tidak menuntut sesuatu selain-Nya. Bahkan, mereka tidak mencintai dan tidak mencari-Nya karena pengenalan mereka terhadap-Nya atau pengabaran seseorang kepada mereka. Bahkan, mereka tidak mengeta­hui mengapa mereka mencintai-Nya. Mereka pun tidak me­nampakkan suatu tuntutan kepada-Nya. Hubungan ini me­nyerupai dua penghadapan yang tidak diusahakan yang tidak dapat dibedakan kecuali dengan kecenderungan perasaan dan tarikan yang tidak dapat ditolak. Bahkan, dia merasakan pada dirinya ada ikatan, kebutuhan, ketertarikan, kerindu­an, dan kecenderungan kepada aI-Haqq yang tidak diketahui sebabnya. Maka dia merasakan, cenderung, dan rindu. Dia tidak tahu mengapa tidak, dan bagaimana. Ini merupakan hubungan esensial. Sava telah menyebutkannya pada be­berapa tempat dari buku saya.

Berikutnya adalah penghadapan dengan sifat kecintaan terhadap hal-hal tertentu secara kolektif dan sendiri-sendiri, seperti makrifat atau kesaksian dan kedekatan kepada-Nya melalui segala hal yang diperlukan. Itu merupakan derajat pertama kebutuhan bersyarat.

Selanjutnya adalah yang menghadap dengan sifat ke­cintaan kepada al-Haqq dengan mempertimbangkan apa yang ada dari al-Haqq yang tidak khusus dan tidak berkaitan dengan al-Haqq, seperti segala sesuatu yang telah disebutkan di atas berupa pengenalan kepada al-Haqq, kesaksian, ke­dekatan kepada-Nya, dan melangkah dengan-Nya. Semata-mata dia menghadap karena tuntutan-tuntutan khusus se­cara kolektif dan sendiri-sendiri, seperti mencapai sebab-sebab kebahagiaan karena muncul di dalam benak berdasar­kan hadis-hadis Rasulullah saw yang benar dan penelaahan dari sebagian sisi.

Bagian ini memiliki perincian. Maka satu maqam hukum pun menuntut didatangkan manfaat dan menolak bahaya segera dan tidak segera, dalam jangka waktu tertentu dan tidak tertentu. Di dalam bagian ini dihasilkan hal-hal yang menimbulkan keinginan dan rasa takut menurut perbedaan aspek-aspeknya. Kebutuhan bersyarat adalah menyertai semua itu kecuali dua penghadapan pertama. Sebab, kebutuhan yang menyertai keduanya adalah kebutuhan mutlak yang disebut menghadap. Maka ingatiah. Pengikat kebutuhan ini adalah menuntut penyempurnaan yang bergantung pada pencapaian satu atau beberapa tujuan. Saya pastikan untuk menyebut pokok-pokoknya setelah dua penghadapan per­tama. Ketahuilah hal itu, dan juga selain yang saya sebutkan. Ia semata-mata penghadapan dengan bentuk-bentuk peran­tara, seperti perbuatan, perhatian, bentuk-bentuk doa, dan sebagainya. Penghadapan ini tidak memiliki martabat uni­versal selain yang saya sebutkan, melainkan perincian pokok-pokok ini. Tiada lain.



[1] 'Lihat biografinya di dalam Thabaqat as-Syafi'iyyah al-Kubra karya as-Subki, Mesir: 1324, jilid VII, hal. 19; Manaqib al-'Arifin (dalam bahasa Persia) karya Ahmad al-Aflaki yang diterbitkan oleh Ahmad Atasy, Ankara: 1961: Safahat al-L'ns li al-Jami, terjemahan oleh al-Lama'i Chelbi dari bahasa Persia ke dalam bahasa Turki, cet. Istambul: 1279 H, hal. 632­633; alh-Thabaqdt al-Kubra karva asy-Sya'rani, cet. Mesir, tanpa tahun, jilid I, hal. 177; Safinah al-Awliyd' karva Daraciku {berbahasa Persia), cet. Qampur: 1900. hal. 64; Kitab al-Khithab karya Ismail Haq al-Bruswi (berbahasa Turki), cet. Istanbul: 1256 H, hal- 288-293; Tadzkirah al-Huffazh karya adz-Dzahabi. cet. India, 1956 M, jilid IV, hal 1391; al-Wafi li al-Lafiyat karya Shafadi, cet. Weisbadn: 1981, jilid II. hal. 200; Jami' at-Karamat al-Awliya' karya an-Nabhani. cet. Mesir: 1962. jilid II, hal 222; Habib as-Sayr karya Ghiyats ad-Din Husaini (berbahasa Persia). cet. Iran: 1362, jilid II. hal. 155-156; Brockelmann, GAL, I, 585: Suppl., I. 807; Osman Ergin, Sadreddin el-Konevi ve Eserleri, IU Edebiyat Fakultesi Sarkivat Mecmuasi, Istanbul: 1957, II, 63-90; Nihad Keklik, Sadreddin Konevi'nin Felesefesinde Allali-Kainat ve Insan, Istanbul: 1967.

[2] 'Lihat Kasyf al-Khafa karya al-'Ajlunl Isma'il bin Muhammad (Beirut. 1352), jilid II, hal. 236. Diriwayatkan oleh Abu Na'im,  Ibn 'Adi, dan sebagainya.

[3] Ibn Wad'an adalah Abu Manshur Muhammad bin 'Ali bin 'Ubaydillah bin Ahmad bin Shalih bin Sulayman bin Wadal-Moshuli. Dia lahir pada tahun 408 H dan wafat pada tahun 494 H Di Moshul. Dia meng­himpun empat puluh hadis, namun dituduh berdusta. Lihat Siyar A'lam an-Nubala' karya adz-Dzahabi (Beirut: 1984), jilid 19, hal. 164-167.

[4] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[5] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Birr, hal. 55.

[6] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam hab al-Musafirin hal. 201 dan an-Nasa'i dalam bab al-Iftitah hal. 17.

[7] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dalam bab al-Fitan, hal. 22 dan Ibn Hanbal, V/277-280.

[8] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab al-Birr, hal. 55; ad-Darimi dalam bab ar-Riqaq, hal. 74 dan Ibn Hanbal, V/153-158.

[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-lman hal, 39 dan al-Buyu hal. 2; Muslim di dalam bab ai-Musaqah hal. 107-108; Abu Dawud dalam bab al-Buyu' hal. 3; at-Turmudzi di dalam bab al-Buyu' hal. 1 an-Nasa'i di dalam bab al-Buyu' hal 2 dan al-Qudhdh hal. 11; Ibn Majali di dalam bab al-Fitan hal. 14; ad-Darimi di dalam bab al-Buyu hal. 1; dan Ibn Hanbal IV/267, 269-271 dan 275.

[10] Diriwayatkan oleh al-'Ajluni di dalam kitab Kasyfal-Khafa' juz II, hal. 224. Lihat pula Kanz al-Ummal karya 'Ala' ad-Din 'Ali al-Hindi (Beirut: 1985) juz III, hal. 24.

[11] Lihat Kasyf al-Khaf ' karya al-'Ajluni, juz II, hal. 195.

[12] Jami' al Ushul Judul lengkap buku ini adalah Jami' al-Ushul min al-Hadits ar-Rasul karya Ibn Atsir (tahun 607 H). Buku ini dicetak di Beirut pada tahun 1950 dan berjumlah 12 jilid. Hadis ini terdapat pada jilid II, hal. 186.

[13] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam bab al-Jihad, hal. 73.

[14] 'Rifa'ah bin Rafi' adalah seorang sahabat. Nama lengkapnya adalah Rifa'ah bin Rafi' bin Malik bin al-Harits al-Habli. Bapaknya, Rafi' bin Malik, adalah salah seorang dari dua belas panglima yang memimpin Perang Aqabah bersama tujuh puluh orang Anshar. Rifa'ah ikut terlibat dalam Perang Khandaq dan seluruh peperangan bersama Rasulullah saw. Dia wafat pada awal kekhalifahan Mu'awiyah bin .Ali Sufyan. Lihat kitab ath-Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa'ad (Beimt: 1967) jilid III, hal. 596-597.

[15] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Adzan, hal. 126 dan Ibn Hanbal, III/158.

[16] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Masdjid, hal. 149; an-Nasai di dalam bab al-Iftitah, hal. 19 dan 36; dan Ibn Hanbal, III/106.

[17] Abu Umamah, nama lengkapnya adalah Abu Umamah al-Bahili, seorang sahabat Rasulullah saw. Dia meriwayatkan banyak ilmu dan men­ceritakan tentang 'Umar, Mu'adz, dan Abu 'Ubaidah. Dia wafat pada tahun 84 H. Lihat biografinya pada kitab Siyar Alam an-Nubala' karya adz-Dzahabi, jilid III, hal. 359-363.

[18] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Musafirin, hal 252.

 

[19] Diriwayatkan oleli ath-Thabrani. Lihat kitab al-Jami'ash-Shaghir karya as-Suyuthi, cet. Mesir: 1321, jilid I, hal. 82.

[20] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam    bab ad-Da’wat, hal. 101 dan Ibn Majali di dalam bab az-Zuhd, hal. 27.

[21]Diriwayatan oleh at-Turmudzi di dalam bab ad-Da'wat, hal. 98; Ibn Majah di dalam bab az-Zuhd, hal. 30; dan Ibn Hanbal, 11/132, 155 dan III/425

[22] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab at-Ta'bir, hal. 45; Abu Dawud di dalam bab al-Adab, hal. 88; at-Turmudzi di dalam bab ar-Ru'ya, hal. 8; Ibn Majah di dalam bab ar-Ru'ya’, hal. 8; dan Ibn Hanbal, 1/216, 246, 359 dan III/505.

[23] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab ar-Ruya, hal. 3; ad-Darimi di dalam bab ar-Ruya', hal. 9; dan Ibn Hanbal. 111/67, 93.

[24] 'Anas bin Malik adalah pelayan Rasulullah saw dan sahabatnya yang paling terakhir wafat, yaitu pada tahun 93 H. Lihat Siyar A'lam an-Nubala', jilid II, hal. 395-40G.

[25] Diriwayatkan oleh Ibn Majali di dalam bab al-Iqamah. hal. 119 dan ad-Du'a', hal. 130.

[26] Di riwayatkan oleh Ibn Hanbal dengan redaksi yang berbeda. Lihat jilid II, hal. 177.

[27] Di riwayat kau oleh at-Turmudzi di dalam bab ad-Da'wdt, hal. 65.

[28] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab adz-Dzikr, hal. 78; Abu Dawud di dalam bab al-Khatam, hal. 4; dan an-Nasa'i di dalam bab az-Zinah, hal. 8 dan 121.

[29] Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni dari Mu'adz. Lihat Kanz al-'Ummal karya al-Hindi, jilid III, hal. 144.

[30] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Bab Al Iman, Hal 172 dan An Nasa’i dalam Bab al-Buyu’ Hal 5-6

[31] Diriwayatkan oleh Abu asy-Syekh dan ad-Dailami dengan berbagai redaksi Lihat Kasyf al-Khafa' oleh al-Ajluni. juz I. hal 246. hadis no. 748

[32] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dengan berbagai redaksi di dalam bab al-Qiyamah, hal. 40.

[33] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab Jahannam, hal. 6 dan Ibn Hanbal, II/ 197.

[34] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[35] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ath-Thaharah, hal. I; ai-Turmudzi di dalam bab ad-Da'wat, hal. 86, ad-Darimi di dalam bab al-Wudhu, hal. 2; dan Ibn Hanbal, IV/260, V/342-344 dan 370.

[36] Haritsah bin Malik al-Anshari.

[37] Diriwayatkan oleh Ibn Majah di dalam bab at-Fitan, hal. 3.

[38] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Abu Na'im. Lihat Kanz al-'Ummal karya al-Hindi, jilid XII, hal. 351.

[39] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dengan berbagai redaksi di dalam bab al-Adab. hal. 78.

[40] Diriwayatkan oleh an-Nasa'i di dalam bab an-Nisa hal. 1 dan Ibn Hanbal, III/128, 199 dan 285.

[41] Diriwayatkan oleh Ibn Hanbal, 11/309 dan 505.

[42] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab az-Zakah dan bab-babnya yang lain; Muslim di dalam bab az-Zakah, hal. 68; an-Nasa'i di dalam bab az-Zakah, hal. 63; ad-Dariml di dalam bab az-Zakah, hal. 23; dan Ibn Hanbal, IV/256, 258 dan 259.

[43] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[44] Diriwayatkan oleh an-Nasa'i di dalam bab as-Sahw, hal. 62 dan Ibn Hanbal, V/191.

[45] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-lmarah, hal. 153-154; Abu Dawud di dalam bab al-Jihad, hal. 13; an-Nasa'i di dalam bab al-Jihad, hal. 15; Ibn Majah di dalam bab al-Jihad, hal. 13; dan Ibn Hanbal, 11/169.

 

[46] Diriwayatkan oleh Ibn Hanbal, III/124.

[47] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab Tafsir Surah, hal. 3 dan bab al-Jannah, hal. 25.

[48] Abu Sa'id di sini maksudnya adalah Abu Sa'id al-Khudri Sa'ad bin Malik bin Sannan, seorang sahabat. Dia banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Dia wafat pada tahun 63 H. Lihat biografinya dalam kitab Siyar A'lam an-Nubala’ karya adz-Dzhahabi, jilid III, hal. 168-172.

[49] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Buyu’, hal. 78; Muslim di dalam bab al-Musaqah, hal. 81-83 dan 90; Abu Dawud di dalam bab al-Buyu’, hal. 12; an-Nasa'i di dalam bab al Buyu', hal. 50; Ibn Majah di dalam bab at-Tijarah, hal 48; ad-Dariirri di dalam bab al-Buyu) dan Ibn Hanbal, 11/262 dan 427

[50] Asma' binti Yazid bin as-Sakn al-Asyhaliyyah, anak perempuan bibi Mu'adz bin Jabal. Dia masuk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah saw. Dia meriwayatkan dari Rasulullah saw beberapa hadis dan mengikuti beberapa peperangan. Dia hidup hingga masa pemerintahan Yazid bin Mu'awiyah. Lihat biografinya di dalam kitab SiyarA'lam an-Nubala’ karya adz-Dzahabi, jilid II, hal. 296-297.

[51] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam bab al-Witr, hal. 23; Ibn Majah di dalam bab ad-Du'ahal. 9; ad-Darimi di dalam bab Fadhail Al-Qur'an, hal. 14-15; dan Ibn Hanbal, Vl/461.

[52] Buraydah bin Khashib bin 'Abdullah bin al-Harits. Abu 'Abdillah dan Abu Sahi al-Aslami. Dia adalah seorang sahabat. Dia masuk Islam pada masa hijrah. Dia hidup mengembara, lalu tinggal di Bashrah selama beberapa waktu, selanjutnya pergi ke Khurasan pada masa kekhalifahan Utsman. Dia wafat pada tahun 66 H. Lihat Siyar A'lam an-Nubala 'jilid II. hal. 469-470.

[53] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam bab al-Witr, hal. 23.

[54] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ash-Shalah, hal. 222: Abu Dawud di dalam bab ash-Shatah. hal. 148; dan yang lainnya.

[55] diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Iman, hal. 37.

[56] Dia adalah Syaikh Muhyad-Din bin al-'Arabi, guru penulis buku ini

[57]Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ash-Shalah, hal. 31. 76

[58] Abu Yazid al-Bisthami. Thayfur bin 'Isa bin Syarusan. Dia adalah seorang zahid yang wafat pada tahun 161 H. Lihat Siyar A'lam an-Nubala’,  XIII/86-89.

[59] Ummu Habibah adalah seorang janda, anak perempuan Abu Su­fyan, salah seorang Ummahat al-Mu'minun, saudara perempuan Mu'awiyah. Dia meriwayatkan beberapa hadis. Dia wafat pada tahun 44 H. Lihat Siyar Alam an-Nubala'. 11/218-223.

[60] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Qadr, hal. 3 dan 33; dan Ibn Hanbal, 1/39, 403, 433, 445 dan 466.

[61] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Qadr, hal. 18

[62] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab Bad'al-Khalq, hal. 6 dan Ibn Hanbal, V/96, 103 dan 106.

[63] Lihat Ibn Hanbal, V/197.

[64] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Kusuf, hal. 2; Muslim di dalam bab at-Tawbah, hal. 32-36; at-Turmudzi di dalam bab ad-Da'wat, hal. 95; an-Nasa'i di dalam bab al-Kusuf, hal. 11; ad-Darimi di dalam bab an-Nikah, hal. 37; dan Ibn Hanbal, 1/281 dan 426.

[65] Abdurrahman bin 'Awf adalah salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat kabar gembira (dijamin masuk surga). Banyak hadis yang diriwayatkan darinya oleh Ibn 'Abbas, Ibn 'Umar, dan Anas bin Malik. Dia wafat pada tahun 32 H. Lihat SiyarA'lam an-Nubala 'Jilid I, hal. 69-92.

[66]Diriwayatkan oleh Ibn Hanbal, 1/191 dan 194.

[67] Abu Hurayrah adalah seorang sahabat Rasulullah saw yang me­nyertai beliau selama empat tahun. Dia wafat pada tahun 57 H. Disan­darkan padanya 5374 hadis. Lihat SiyarA'lam an-Nubala', 11/578-632.

[68] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Adab, hal. 13; at-Turmudzi di dalam bab al-Birr, hal. 16; dan Ibn Hanbal, 1/190, 321 dan 11/295.

[69] Diriwavatkan oleh al-Bukhari di dalam bab Tafsir Surah, hal. 47 dan at-Tawhld, hal. 35; Muslim di dalam bab al-Bin; hal. 16; dan Ibn Hanbal, 11/330, 383. dan 406.

[70]'Aisyah bin al-Imam ash-Shiddiq. Dia adalah Umm al-Mu'mimn. Dia wafat pada tahun 57 H. Lihat Siyar A'lam an-Nubald', 11/135-201.

[71] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Btrr, hal. 17 dan Ibn Hanbal, 11/163 dan 190.

[72] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Washiyyah, hal. 14; Abu Dawud di dalam bab al-Washdyd, hal. 13; dan an-Nasa'I di dalam bab al-Washaya, hal. 8.

[73] Saya tidak menemukannya di dalam rujukan.

[74] Ibu 'Abbas, nama lengkapnya adalah 'Abdullah bin 'Abbas, paman Rasulullah saw. Beliau menyertai Nabi selama kurang lebih tiga puluh bulan. Dia belajar kepada Ubay dan Zaid bin Tsabit, pena umat. Dia wafat pada tahun 68 H. Lihat Siyar A'lam an-Nubala', III/331-359.

[75] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Harts, hal. 16; an-Nasa'i di dalam bab al-Qiydmah, hal. 13; dan Ibn Majah di dalam bab al-Mandsik, hal. 40.

diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam al-Muwaththa'dalam bab Al-Quran, hal. 40.

[76] Lihat Sunan ad-Darimi dalam bab ar-Ru'ya, hal. 12; Ibn Hanbal, I/ 367, IV/66, V/243 dan 278; dan at-Turmudzi di dalam bab Tafsir Surah, hal. 38.

[77] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[78] Diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam al-Muwaththa’ dalam Bab Al-Qur’an, Hal. 40

[79]Al-Fashsh al-Isma'ili dari kitab Fushush al-Hikam karya Ibn AI'Arabi, cet. Beinit: 1400/1980, jilid I, hal. 90-94 (dengan ta'liq oleh Doktor Abu al ‘Ali 'Afifi).

[80] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[81]  Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab at-Tawhid, hal. 24; Muslim di dalam bab al-Iman, hal. 29; Abu Dawud di dalam bab az-Zakah, hal. 5; at-Turmudzi di dalam bab az-Zakdh, hal. 6; an-Nasa'i di dalam bab az-Zakah, hal. 46; Ibn Majah di dalam bab az-Zakdh, hal. 1; dan Ibn Hanbal, 1/233.

[82]Dia adalah Syekh Muhyiddin bin al-'Arabi.

[83] Hubungkan dengan al-Jdmi' ash-Shahih karya at-Turmudzi dalam Tafsir Surah, hal. 113.

[84] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-fannah, hal. 44 dan at-Turmudzi di dalam bab Jahannam, hal. 3.

[85] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab adz-Dzikr, hal. 73; an-Nasa'i di dalam bab al-Isti'adzah, hal. 13 dan 65; dan Ibn Hanbal, TV/371 dan W 209.

[86] Lihat al-Jami' ash-Shaghir karya as-Suyuthi, cet. Kairo: 1321, jilid I, hal. 63. dari Ibn Hibban dengan redaksi yang berbeda-beda.

[87] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab at-Tawhid, hal. 15 dan 35; Muslim di dalam bab at-Tawbah, hal. 1 dan bab adz-Dzikr, hal. 2 dan 19; at-Turmudzi di dalam bab az-Zuhd, hal. 51 dan kitab ad-Da'wat, hal. 131; Ibn Majah di dalam bab al-Adab, hal. 58; ad-Darimi di dalam bab ar-Riqdq, hal. 22; dan Ibn Hanbal, 11/251.

[88] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Istidzan. hal. 1; Muslim di dalam bab al-Birr, hal. 115 dan bab al-Jannah, hal. 28; dan Ibn Hanbal, 11/244.

[89]Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab ar-Riqaq, hal. 48.

[90]Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Mawaqit, hal. 16; Muslim di dalam bab al-Masdjid, hal. 210; an-Nasa'T di dalam bab ash-Shaldh, hal. 231; al-Muwaththa' di dalam bab as-Safar, hal. 82; dan Ibn Hanbal. 11/257, 312 dan 486.

[91] diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab ar-Riqdq, hal. 38.

[92] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab ash-Shaldh, hal. 62-63.

[93] Saya tidak, menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[94] Diriwayatkan oleh an-Nasa'i di dalam bab at-Tathbiq, hal. 81. 

[95] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[96] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab al-Bin, hal. 55; ad-Dariml di dalam bab ar-Riqaq, hal. 74; dan Ibn Hanbal, V/153, 158, 169,

[97] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab ad-Da'wat, hal. 66.

[98] Ibid.

[99] Diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam al-Muwaththa 'dalam kitab Al-Qur'an, hal. 40.

[100] Ibn Mas'ud adalah 'Abdullah bin Mas'ud. seorang sahabat Rasulullah saw, ulama, dan faqih. Dia termasuk orang pertama yang masuk Islam dan turut serta dalam Perang Badar. Sejumlah perawi meriwayatkan hadis darinya, seperti Abu Hurairah dan Abu Umamah dari kalangan sahabat. Dia wafat di Madinah al-Muuawwarah dan dikuburkan di pemakaman Baqi' pada tahun 32 H. Lihat SiyarA'lam an-Nubald' karya adz-Dzahabi pada jilid I, hal. 461-499.

[101] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-'Ilm, hal. 38, al-Adab, hal. 109 dan at-Ta'bir, hal. 10; Muslim di dalam bab ar-Ru'ya’, hal. 10-11; at-Turmudzi di dalam bab ar-Ru'ya, hal. 4 dan 7; Ibn Majah di dalam bab ar-Ru'ya", hal. 2; ad-Darimi di dalam bab ar-Ru'ya’ hal. 4; dan Ibn Hanbal, 1/375, 400, 440 dan 11/232. 411, 442.

[102] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[103] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab at-Ta'bir, hal. 26; Muslim di dalam bab ar-Ru'ya’ hal. 6; at-Turmudzi di dalam bab ar-Ru'ya, hal. 1, 7, 10; Ibn Majali di dalam bab ar-Ru'yd\ hal. 3; ad-Darimi di dalam bab ar-Ru'ya’  hal. 6; dan Ibn Hanbal, 11/395.

[104] Lihat al-Jdmi' ash-Shakih karya al-Bukhari di dalam bab at-Tawhid, hal 27, bab at-Anbiya' Hal. 22, 41, bab Tafsir Surah, hal. 17; Muslim di dalam bab al-Iman, hal. 262-268; at-Turmudzi di dalam bab ash-Shaldh, hal. 45; dan sehagainya.

[105]  Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab Bada al-Wahy, hal. 2 dan al-Muwaththa' di dalam bab Mas-y Al-Qur'an, hal. 7.

[106] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Fitan. hal. 15 dan bab ad-Da’wa hL 34, Muslim dalam Bab Fadha’il Hal 137 dan Ibn Hanbal II/177, 218 dan 254

[107] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab az-Zakah, hal. 3 dan Tafsir Surah, hal. 3, 14; Ibn Majah di dalam bab az-Zakah, hal. 2; al-Muwaththa' di dalam bab az-Zakah, hal. 22; dan Ibn Hanbal, 11/355.

[108] Lihat Shahih al-Bukhdridi dalam bab ar-Riqaq, hal. 51 dan Ibn Hanbal, 1/460.

[109] Jabir bin 'Abdullah adalah sahabat Rasulullah saw yang mengikuti perjanjian ar-Ridhwan. Dia wafat pada tahun 78 H. Lihat SiyarA'lam an-AfefoAS'karya adz-Dzahabi, jilid III, hal. 189-194.

[110] Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan.

[111]  Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Masajid, hal. 33.

[112] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam bab al-Imdn, hal. 31.

[113] Banyak nama Thalhah di antara para perawi hadis. Kami tidak tahu yang mana yang dimaksud. Lihat buku-buku rijal hadis seperu SiyarA'lam an-Nubald'karya adz-Dzahabi.

[114] Malik adalah al-Imam Malik bin Anas bin Malik dari kalangan tabi' at-tabi'in. Dia wafat pada tahun 179 H. Lihat, Siyar A'lam an-Nubala’  VIII/ 48-135.

[115] Makhul ad-Dimasyq termasuk kalangan tabi'tn. Dia wafat pada tahun 113 H. Lihat, ath-Thabaqdt al-Kubra karva Ibn Sa'ad. jilid VII, hal. 453­454, cet. Beinu: 1388 H/1968 M.

[116]Abu Bakar adalah khalifah ar-rasyidin yang pertama.

[117]Saya tidak menemukannya di dalam sumber-sumber rujukan hadis. Tetapi saya menemukannya di dalam Misykah al-Anwdr karya Muhy ad-Din al-'Arabi. Di dalam buku ini terdapat 101 buah hadis, diterjemahkan dan diterbitkan oleh Walson ke dalam bahasa Perancis (dicetak di Paris: 1983), hal 29

[118] Diriwavatkan oleh Muslim di dalam bab ash-Shalah, hal. 38. 40; Abu Dawud di dalam bab ash-Shalah, hal. 132; at-Turmudzi di dalam bab Tafsir Surah, hal. 1; an-Nasa't di dalam bab al-Iftitah; Ibn Majah di dalam bab al-Adah. hal 52; Dan Ibn Hanbal, 11/241, 285 dan 460.

[119] ibn 'Abbas adalah 'Abdullah bin 'Abbas, anak paman Nabi saw. Dia seorang mujtahid, faqih, dan ahli tafsir. Dia wafat pada tahun 68 H. Lihat SiyarA'lam an-Nubala’, Jilid III, hal. 331-359.

[120] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Tafsir Surah, hal. 75.

[121] Ibid an-Nasai’ di dalam bab al-Iftitah, hal. 37 dan Ibn Hanbal, I/343

[122] Lihat al-Jami' ash-Shahih karya Muslim di dalam bab al-Qiyamah, hal. 27 dengan redaksi yang berbeda.

[123] Lihat Sunan ad-Darimi pada bab ar-Ru’ya, hal. 12 dan Ibn Hanbal, I/368, IV/66, dan VII/243

[124] Lihat Kasyf al Khafa karya Al-‘Aljini, II/175

[125] Diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam bab At-Tawhid, Hal.9 Bab Al Maghari, hal 38 dan Bab al-Qadr Hal. 7; dan Muslim di dalam Bab Al Dzikr, Hal 44-45

[126] Diriwayatkan oleh Ibn Hanbal di dalam Musnadnya IV/402

[127]Lihal Kasyfal-Khafa, 11/195.

[128] Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab al-Manaqib, hal. 8.

[129] Diriwayatkan oleh Ibn Hanbal, V/73.

[130]Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab ar-Riqaq, hal. 39; Muslim di dalam bab al-Jum'ah, hal. 43; Ibn Majah di dalam al-Muqaddimah, hal. 7; ad-Dariml di dalam bab ar-Riqaq, hal. 46; dan Ibn Hanbal, IV/309.

[131]Diriwayatkan oleh at-Turmudzi di dalam bab al-Fitan, hal. 19 dan Ibn Hanbal, 111/84 dan 89.

[132] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam bab al-Istidzan, hal.l; Muslim di dalam bab al-Birr, hal. 110; dan Ibn Hanbal, 11/244.

[133] Lihat Kasyf al Khafa’ karya Al-‘Ajluni Jilid I Halaman 32


0 comments:

Posting Komentar

Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun