LOKASI

Banyuwangi Jawa Timur

Tampilkan postingan dengan label SPIRITUAL KEBANGSAAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SPIRITUAL KEBANGSAAN. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Februari 2024

KH Saleh Lateng Banyuwangi, Pejuang Senyap Revolusi

 


Oleh Munawir Aziz Jaringan ulama santri berperan penting untuk menjemput sekaligus menegakkan kemerdekaan. Para kiai dan santri menjadi tulang punggung perjuangan melawan kolonial, sejak pasca Walisongo hingga 1945. 

Bisa Dicek juga di Wikipedia berikut

Kyai Saleh Lateng Wikipedia

Kiai-kiai di pesantren mengabdikan diri untuk mendidik santri, membentuk jaringan antar pesantren, sekaligus mengobarkan semangat untuk berjuang mengawal kemerdekaan. Inilah peran penting kiai-santri yang harus dicatat oleh sejarah bangsa Indonesia. Namun, sayang sekali tidak banyak catatan sejarah yang menarasikan perjuangan santri. Sejarawan lebih senang menyisir perjuangan jaringan militer pada masa kemerdekaan. Padahal, jaringan militer pada kiai-santri telah terbentuk sejak masa Dipanegara, yang berhasil mengobarkan semangat untuk berjuang pada masa Perang Jawa (1825-1830). Meski pada akhirnya kalah, namun semangat juang dan jaringan santri-kiai tidak padam, justru semakin kuat dengan membentuk koneksi di penjuru nusantara. Perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan menjadi buktinya (Bizawie, 2014; 2016). 

Pada ujung abad 19 dan paruh pertama abad 20, kisah Kiai Saleh Lateng Banyuwangi layak disimak sebagai cermin sejarah, sebagai kaca benggala dalam memaknai perjuangan kaum pesantren. Siapa sebenarnya Kiai Saleh Lateng? Bagaimana perjuangannya dalam mengawal kemerdekaan dan mengabdi untuk negeri? Kiai Saleh lahir di Kota Mandar, Banyuwangi, pada Ahad, 6 Ramadhan 1278 H/ 07 Maret  1862. Ia memiliki nama kecil Ki Agus Muhammad Saleh. Ayahnya bernama Ki Agus Abdul Hadi, sedangkan Ibunya bernama Aisyah. Kiai Saleh memiliki jalur nasab hingga Raja Palembang. Bagaimana kisahnya keluarga Kiai Saleh mendarat di Banyuwangi? Pada sekitar awal abad 19, Kerajaan Palembang Darussalam telah kehilangan kontrol kekuasaan. Belanda berhasil memegang kendali wilayah kerajaan ini. Raja Palembang, Sultan Najamuddin dibuang ke Aceh, sedangkan kawasan Palembang dikendalikan oleh seorang Residen Belanda. Pada masa genting itu, sebagian besar bangsawan kerajaan Palembang memilih untuk menyingkirkan diri. Situasi yang tidak aman serta kekejaman Belanda menjadikan para keluarga kerajaan berusaha untuk mencari lokasi baru untuk tempat tinggal. Ki Agus Abdurrahman—kakek Kiai Saleh—merupakan bangsawan Kerajaan Palembang yang memilih menyingkirkan keluarganya. Beliau hijrah ke Sumenep di ujung timur Madura. Pada waktu itu, Sumenep masih menjadi basis kerajaan Islam yang sangat kuat, dengan kultur masyarakat setempat yang kental dengan tradisi muslim. Ki Agus Abdurrahman mendapatkan jodoh di Sumenep, menikah dengan Najihah. Pernikahan ini dikaruniai tiga keturunan, namun hanya seorang yang meneruskan perjuangan Ki Agus Abdurrahman dalam berdakwah dan menggeluti ilmu keislaman, yakni Ki Agus Abdul Hadi. Selang beberapa waktu, Ki Agus Abdul Hadi hijrah ke Banyuwangi, di kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur. Di kawasan Banyuwangi inilah, Ki Agus Abdul Hadi mendapatkan jodoh bernama Aisyah. Pasangan ini menetap di kawasan Kota Mandar Banyuwangi, hingga melahirkan putra bernama Ki Agus Muhammad Saleh, atau yang terkenal dengan sebutan Kiai Saleh Lateng. Sejak kecil, Ki Agus Muhammad Saleh telah mengaji kepada orang tuanya. Ia mendapat didikan sebagai seorang santri, belajar al-Qur'an dan kajian keislaman dalam tradisi pesantren. 

Silsilah Kyai Saleh Lateng 


Pada usia remaja, sekitar usia 15 tahun, Kiai Saleh mengaji di pesantren Kebondalem Surabaya, asuhan Kiai Mas Ahmad. Kemudian, beliau melanjutkan mengaji kepada Syaikhona Khalil di Bangkalan Madura, lalu tabarrukan kepada Tuan Guru Muhammad Said di Jembrana Bali. Selepas mengaji di Jawa, Madura dan Bali, Kiai Saleh kemudian melanjutkan mengaji di Makkah. Ketika belajar di Makkah, Kiai Saleh telah dianggap sebagai rujukan keilmuan, ia mengajar beberapa santri di kota suci dengan menggunakan empat bahasa. 

Di ujung abad 19, Syaichona Kholil Bangkalan meminta Kiai Saleh untuk pulang ke tanah air, mengabdikan diri untuk mendidik santri dan berjuang mengawal pergerakan. Kiai Saleh meminta waktu satu tahun untuk menuntaskan mengaji di Hijaz. Pada tahun 1900, pada umur 38 tahun, Kiai Saleh kembali ke kampung halaman, di kawasan Lateng Banyuwangi. Lambat laun, nama Kiai Saleh Lateng menjadi terkenal karena kealiman dan pengabdiannya dalam mendidik para santri. Bupati Banyuwangi, Koesoemonegoro memberikan izin kepada Kiai Saleh Lateng untuk mengajar, sejak 4 Maret 1909. Dari kampung halaman di kawasan Lateng, Kiai Saleh berhasil menebarkan ilmu Islam ke masyarakat di penjuru Banyuwangi dan sekitarnya.

 Di ujung abad 19 dan awal abad 20, kawasan Banyuwangi masih diwarnai kekerasan oleh para bromocorah. Banyuwangi merupakan kawasan kerajaan Blambangan, yang menjadi pusat kekuasaan di ujung timur Jawa. Kerajaan Blambangan memiliki peran sentral, yang berkembang bersamaan dengan Majapahit. Selepas Majapahit runtuh, Blambangan menjadi satu-satunya kerajaan di ujung timur Jawa yang mengontrol wilayah di kawasan Banyuwangi, Jember, Lumajang, Bondowoso dan Situbondo. Pada 1743, Raja Pakubuwono II dari Mataram menyerahkan Java Oesthoek (kawasan sebelah timur Malang hingga Banyuwangi) termasuk Blambangan kepada VOC. Namun, justru VOC menelantarkan wilayah ini.

Silsilah sampai Rasulullah 


 Pada 1767 pemerintah Kompeni di Batavia (Hoge Regering) baru mengirimkan tentara untuk melakukan kontrol administratif (Margana, 2007; 2012). Kawasan di ujung timur Pulau Jawa ini menjadi tanah pergolakan. Perlawanan warga terhadap tentara penjajah sudah berlangsung lama, hingga menjadi karakter. Bromocorah dan begal berkembang marak, kekerasan menjadi sikap yang tidak bisa dihindari. Sikap keras warga Banyuwangi dengan berbagai macam masalah menjadi keseharian Kiai Saleh Lateng. Bromocorah dan begal mewarnai kehidupan warga kawasan Blambangan, dengan segenap tindakan kriminal yang menyertai. Tantangan Kiai Saleh Lateng tidak hanya bagaimana mengembangkan dakwah islamiyyah, namun juga bagaimana menaklukkan para bromocorah yang mengganggu. Dengan keyakinan diri, bekal ilmu kanuragan dari Syaichona Khalil, serta atas pertolongan Allah, Kiai Saleh Lateng berhasil meredam konflik-konflik dan kekerasan pada warga Banyuwangi. Meredam konflik antar bromocorah bukanlah hal yang mudah, mengingat tindak kekerasan dengan kenekadan tingkat tinggi menjadi bagian dari wajah begal-begal Banyuwangi. Inilah kelebihan Kiai Saleh Lateng, yang mampu menyatukan para begal-bromocorah, hingga akhirnya takluk dan menjadi pengikut Kiai Saleh Lateng. Bahkan, para bromocorah menjadi mengikut setia Kiai Saleh Lateng, dengan belajar mengaji, bela diri hingga berjuang bersama melawan penjajah di kawasan Banyuwangi dan sekitarnya. Mengabdi untuk Kebangkitan Ulama Kiai Saleh Lateng merupakan tipikal kiai penggerak. Beliau memegang peranan startegis dalam mengkonsolidasi jaringan ulama-santri untuk berdakwah dan mengawal kemerdekaan Indonesia. Kiai Saleh Lateng juga menjadi kiai penting pada masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, bersama Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri dan beberapa kiai lainnya di penjuru Nusantara. Pada awalnya, Kiai Saleh Lateng menggerakkan Sarekat Islam. Hal ini merupakan hal yang lumrah, karena pada awal abad 20, pergerakan Syarekat Islam menjadi gerbong bagi para kiai-santri untuk menyuarakan kemerdekaan dan mengorganisasi diri. Meski pada akhirnya para kiai memisahkan diri dari pergerakan Sarekat Islam. Hal ini juga terjadi pada Kiai Wahab Chasbullah, yang pernah menjadi penggerak Sarekat Islam sewaktu mengaji di Hijaz.

 Ketika kembali ke tanah air, Kiai Wahab Chasbullah membentuk organisasi sendiri dengan merangkul kiai santri, dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Wathan, hingga kemudian terbentuklah Nahdlatul Ulama. Kiai Saleh Lateng, yang pada awalnya menggerakkan Sarekat Islam di Banyuwangi, kemudian menjadi tokoh penting dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, pada 1913, Kiai Saleh Lateng memimpin Rapat Umum Sarekat Islam di Kawedanan Glenmere Banyuwangi. Dengan demikian, peranan Kiai Saleh dalam menggerakkan jaringan Islam di awal abad 20, diakui memiliki kontribusi penting. 

Ketika Komite Hijaz dibentuk, Kiai Saleh Lateng bergabung bersama barisan kiai. Ikatan emosional ketika mengaji di beberapa pesantren, terutama pesantren Bangkalan dan Makkah, menambah kekuatan komunikasi antara Kiai Saleh dengan beberapa kiai lainnya. Ketika masa awal pendirian Nahdlatul Ulama, yakni pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926, Kiai Saleh Lateng ditunjuk oleh Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Wahab Chasbullah menjadi anggota muassis-mukhtasar (formatur) pendirian Nahdlatul Ulama.   Garda Depan Revolusi Kemerdekaan Ketika masa revolusi kemerdekaan, Kiai Saleh Lateng tidak hanya berperan mengirimkan para santrinya, beliau juga terlibat langsung dalam pertempuran di garda depan. Gema Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 menjadi panggilan berjihad bagi para kiai santri, khususnya di kawasan Jawa Timur dan Madura. Kiai Saleh juga terpanggil dengan pernyataan jihad kemerdekaan yang digelorakan Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Laskar-laskar santri bergerak untuk mengawal negeri (Latief, 1995).   





Perjuangan yang gigih bagi Kiai Saleh Lateng merupakan panggilan hati. Karena perjuangan untuk mengawal kemerdekaan inilah, Kiai Saleh dikejar-kejar oleh tentara dan intel Belanda. Beliau kemudian menyingkir ke kawasan Pakisaji. Ketika menyingkir inilah, Kiai Saleh Lateng bertemu para santrinya yang juga dikejar intel Belanda. Terbukti kemudian bahwa, Kiai Saleh Lateng menjadi panutan para santri karena perjuangan total dalam mengawal kemerdekaan di medan laga. Sikap Kiai Saleh terhadap penjajah sangat keras dan tanpa kompromi. Ketika masa menjelang kemerdekaan, Kiai Saleh melarang para santrinya untuk berpakaian menyerupai kaum penjajah. Hal ini karena, prinsipnya bahwa menyerupai kaum (kafir) berarti termasuk di dalam komunitasnya. Inilah yang dihindari oleh Kiai Saleh, agar perjuangan para santri dengan tekad bulat dan total dalam menegaskan identitas. Kiai Saleh Lateng juga memiliki hubungan yang baik dengan Kiai Wahid Hasyim. Suatu ketika, setelah masa kemerdekaan, Kiai Wahid Hasyim mendapatkan amanah untuk turut serta membangun pemerintahan, mengawal kemerdekaan. Kiai Wahid menjadi Menteri Agama pertama, membantu Soekarno dan Hatta sebagai Presiden-Wakil Presiden. Ketika menyusun pedoman pembentukan organ kementrian, Kiai Wahid Hasyim mencari kitab-kitab rujukan ke beberapa pesantren, serta mengutus wakil untuk silaturahmi ke beberapa kiai. Kebetulan, di pesantren Kiai Saleh, kitab rujukan ini ditemukan, yakni kitab 'Mu'jamul Buldan'. Pengabdian panjang Kiai Saleh Lateng menjadi pelajaran penting bagaimana seharusnya santri berpikir, bersikap dan mengabdi untuk mengawal negeri. Kiai Saleh berdakwah dengan mengajar santri, sekaligus turut serta berjuang untuk menjemput kemerdekaan dan mengawal berdirinya negara. Perpaduan Islam dan nasionalisme bagi kaum pesantren, tidak sekedar konsep yang tertulis, namun dipraktikkan dalam sepenuh keteladana. Bagi kaum santri, perjuangan mengawal negara merupakan panggilan jiwa, lonceng yang berdentang dari hati terdalam. 

Perjuangan mengawal NKRI tercermin dari seluruh kehidupan panjang Kiai Saleh Lateng, yang dengan ikhlas berjuang serta mengabdi untuk negeri. Kiai Saleh Lateng wafat pada malam Rabu, 29 Dzulqo'dah 1371 H/ 20 Agustus 1952 pada usia 93 tahun. Jenazahnya disemayamkan di sebelah musholla (Langgar), tempat Kiai Saleh Lateng biasa memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pada tahun 1956, DPRD Kabupaten Banyuwangi memberikan keputusan penggunaan mana KH. Saleh Lateng untuk sebuah ruas jalan. Keputusan DPRD Banyuwangi ini untuk menghormati perjuangan dan pengabdian Kiai Saleh Lateng dalam mendidik warga sekaligus berjuang untuk negeri.







*** Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PBNU, Peneliti Islam Nusantara. 

Referensi: Bizawie, Zainul Milal. Laskar Ulama Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia, 1945-1949. Tangerang: Pustaka Compass. 2014. 

Bizawie, Zainul Milal. Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945). Tangerang: Pustaka Compass. 2016. 

Latief, Hisyam. Laskar Hizbullah: Berjuang menegakkan Negara RI. Jakarta: LTN PBNU. 1995. Margana, Sri. Java's Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, 1763-1818. Thesis Dissertation. Universiteit Leiden, 2007 Margana, Sri. Perebutan Hegemoni Blambangan: Ujung Timur Pulau Jawa, 1763-1818. Yogyakarta: Pustaka Ifada. 2012.


Kamis, 23 Juli 2020

PERJALANAN PUTRA NUSANTARA

Masa I
SEBELUM SUMPAH PEMUDA,  Keadaan penduduk Nusantara masih berbentuk Kerajaaan,  suku (1928). 

Masa II
Pendidikan Nusantara semula dikuasai VOC lalu oleh Pemerintah Belanda,  dilakukan penjajahan,  pemerasan,  kerja rodi dll. 

Masa III
Mulai Adanya pergerakan dengan lahirnya SUMPAH PEMUDA pada tahun 1928. Dengan materi penyatuan wilayah,  bahasa,  dan Bangsa.  Wilayah Indonesia,  Bahasa Indonesia,  Bangsa Indonesia

Masa IV.  
Setelah SUMPAH PEMUDA melahirkan pergerakan melawan 
pemerintah Belanda 
Jepang datang ke Indonesia. Pada masa PD II yang berakibat Belanda terpaksa meninggalkan Indonesia. 
Indonesia diduduki Jepang 1942. Untuk kepentingan Jepang,  penduduk Indonesia dimanfaatkan Jepang,  kaibodan seinendan,  heiho. 
Dari sisi lain dibangun PETA,  menghibur rakyat Indonesia dengan janji kemerdekaan. 

Masa V
Jepang kalah perang,  dengan kekalahan perangnya dimanfaatkan oleh rakyat Indonesia untuk melawan dan melucuti tentara Jepang dan merampas harta perang untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan.  

Masa VI
Tanggal 17 Agustus 1945 Sukarno mengumumkan kemerdekaan Indonesia.  Dibentuklah Pembukaan UUD 1945, lahirnya UUD 1945, yang isinya sbb:  - bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa - penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. 
            IDE BANGSA INDONESIA 
Perjuangan rakyat Indonesia telah sampai di pintu gerbang kemerdekaan Ngera Indonesia. 
BERKAT RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA dan dengan didorongkan oleh KEINGINAN LUHUR, dengan ini rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan nya.  

APAKAH KITA SUDAH berterima KASIH KEPADA PREAMBULE??????? 



Senin, 20 Juli 2020

The Master Crystal - Poseida dan Atla-Ra

The Master Crystal - Poseida & Atla-Ra

By. Lana Sanjaya

 

Atlantis, pada masa kejayaannya adalah para penerus kejayaan Lemuria, peradaban sebelumnya yang mewariskan mereka pengetahuan yang sangat tinggi. Lemuria sendiri mengalami.masa keemasan yang sangat singkat, jauh lebih singkat daripada masa keemasan Atlantis sejak 50000 - 17500 SM. Tetapi pada masa kejayaan Lemuria, mereka tidak bisa dilihat sama seperti manusia saat ini, tetapi lebih kepada tubuh matrix / plasma, maka kita sebut mereka sebagai makhluk etheric. Sedangkan pada masa kejayaan Atlantis, mereka memiliki fisik yang sama kondisinya dengan manusia saat ini, tubuh yang padat.

 

Ada 12 Master Crystal di pulau Poseida, sebuah tempat yang menjadi pusat pengembangan pengetahuan. Mereka membangun piramid - piramid raksaksa dengan berbagai bentuk berbeda, piramid berbentuk dome digunakan untuk kepentingan belajar pengetahuan, yang berbentuk prisma segi empat biasanya sebagai tempat penyembuhan, dan yang berbentuk tiga sisi simetris biasanya terkait dengan pemancar gelombang elektromagnetik ke konstelasi bintang.

 

Tiap Master Crystal adalah penggerak dari satelit yang berada dalam konstelasi bintang berbeda, ada sangat banyak satelit yang dikendalikan oleh Atlantis, untuk berbagai kepentingan. Salah satunya adalah sebagai alat transportasi (teleportasi) dari bumi ke konstelasi tertentu. Itu sebabnya dalam peradaban ini, banyak makhluk yang berbeda, yang berasal dari berbagai konstelasi berbeda di alam semesta ini. Pada masa keberadaan 12 Master itu, yang tertinggi dari mereka adalah Mer Ka Na, makhluk - makhluk etheric yang bertahan dengan kesadaran tertinggi (dimensi 12).

 

Mereka adalah para pengusung The Law of One, mereka berada dalam fisik yang jauh pebih halus daripada makhluk lain, tetapi mereka terlihat oleh semua makhluk yang berfisik padat. Tubuh mereka bersinar, pikiran mereka multi-dimensional, dan mereka tidak menganggap keberadaan diri mereka murni di bumi, tapi makhluk - makhluk seperti ini berada dalam semua dimensi berbeda. Mer Ka Na dan 12 Master Crystal adalah makhluk - makhluk yang menentukan berbagai lokasi dan koordinat untuk pembangunan kompleks piramid.  Ada lebih dari 100 kompleks piramida di seluruh benua di bumi.

 

Para Master Crystal membuat piramid dari bahan - bahan berbeda, marmer, granit, dan berbagai jenis batu alam, menyesuailan dengan fungsi dari masing - masing piramid. Tetapi apapun materinya, tiap pirsmid yang mereka bangun sebenarnya transparan, hanya berbentuk plasma tembus pandang, tetapi bentuk itu terlihat mata, seperti sebuah pola matrix berukuran besar berbentuk prisma. Tiap piramid akan terkoneksi satu sama lain, mereka dihubungkan dengan 'ley tunnels', maka tiap piramid itu juga berfungsi sebagai 'amplifier' energi yang mengalir di sepanjang bumi.

 

Piramid selalu dikatakan sebagai 'meridian' bumi, karena mereka dibangun selalu pada titik pertemuan aliran energi dari berbagai arah berbeda. Tiap koordinat yang menjadi struktur piramid adalah titik meridian, maka satu piramid sebagai bentuk keutuhannya, adalah kumpulan bidang energi yang sangat kuat. Bentuk mengecil diatas, itu menunjukkan fungsi amplifier, energi yang mengalir akan terpusat di satu titik, ibarat sinar laser yang sangat tajam dan kuat. Dalam tiap kompleks, jumlah piramid bisa lebih dari 9 unit, maka jika dikatakan mereka telah membangun lebih dari 100 kompleks piramid, di seluruh bumi ini ada ribuan unit piramid besar. Kita baru menemukan beberapa yang tersisa di daratan ini, sebagian lainnya belum ditemukan, terutama yang tenggelam bersama benua mereka.

 

Jika dikatakan bahwa piramid itu terbuat dari mineral berupa kristal yang transparan, mengapa piramida yang saat ini telah ditemukan, materinya sangat padat? Seiring dengan perubahan yang terjadi pads bumi, maka apapun materi etheric itu menyesuaikan dengan bumi, menjadi lebih padat. Tetapi penelitian - penelitian terhadap beberapa piramida yang tersisa saat ini, membuktikan bahwa materi dominan dari piramida itu adalah 'quartz', /kuarsa, secara alkimia kuarsa adalah bentuk padat dari crystalline. Penelitian - penelitian yang telah dilakukan di Giza, membuka lebih banyak fakta tentang materi dan sistem energi yang masih berfungsi. Dalam beberapa titik di tiap piramid, gravitasi memang berkurang sangat jauh, artinya memang bidang energi itu sangat besar dan membentuk anti-gravity yang mempengaruhi lingkungan.

 

Para Master Crystal dan Mer Ka Na, setelah ketuntuhan Atlantis, mereka tetap ada menjadi bagian dari para suku yang melarikan diri saat banjir besar. Ini adalah salah satu awal kisah tentang 13 tengkorak kristal yang diceritakan dalam mitologi bangsa Maya. Sebagian dari mereka musnah, tetapi tidak dengan pengetahuan - pengetahuan yang mereka telah tempatkan dalam berbagai kristal berbeda, yang saat ini belum semuanya ditemukan. Begitu juga dengan tiap piramid, mereka menyimpan berbagai pengetahuan dalam memory pada tiap elemen materi, yang bisa diakses karena semua itu abadi. Pada saatnya memang semua peninggalan itu akan muncul kembali dengan sendirinya.


Selasa, 16 Juni 2020

LOGIKA ADALAH BATASAN FIKIRAN

RUANG FIKIRAN ITU LUAS TAK TERBATAS YANG TERBATAS. 
DIBATASI OLEH LOGIKA. 
YA.. LOGIKA ADALAH BATASAN FIKIRAN.



Sudah sering saya sampaikan bahwa.. fikiran butuh bentuk untuk membaca. Tanpa bentuk fikiran tak mampu membaca. Dan.. fikiran hanya bisa mengartikan bacaan sesuai dengan bentuk-bentuk yang sudah ada dalam bank data di dalam fikiran itu sendiri.

Beberapa kasus di bawah ini, mungkin bisa lebih menjelaskan maksud yang ingin saya sampaikan di pagi ini..
******

T : Beberapa waktu yang lalu, aku lewat di jalan depan gedung itu. Aku cium bau menyan bang. Kek nya menyan madu. Kalok menyan madu biasanya yang keluar itu puyang.. Percaya gak bang? Eee.. betul.. puyang itu terbang di atas kepala ku ke dalam gedung itu.

A : Aai.. kau yang cium menyan, kau yang tengok puyang, kau suruh aku percaya. Mana la pulak ku tau. Aku nggak nengok kok.
******

Ada banyak intervensi fikiran ketika fikiran membaca post yang muncul di notif fb. Terutama post-post yang mempunyai bentuk-bentuk yang tak sesuai dengan bentuk-bentuk data sebelumnya yang ada di dalam bank data fikiran. 

Di satu sisi.. ini adalah hal yang wajar untuk tetap membuat fikiran kuat dalam jalan sesuai bentuk data yang di anggap sebagai kebenaran (imanen). Ini adalah modal dasar fikiran untuk Isra' ke sidratul muntaha.

Di sisi lain.. justru bentuk-bentuk data akan memenuhi fikiran. Dan tentu saja tak ada ruang lain untuk menyimpan bentuk-bentuk data yang baru yang tak sesuai dengan bentuk-bentuk data lama. Yang bisa jadi justru sebenarnya bentuk data ini bisa meng-upgrade pemikiran, dan mempercepat proses Isra'.

Ruang fikiran itu sebenarnya luas tak terbatas yang terbatas. Dibatasi oleh LOGIKA. Ya.. logika adalah batasan fikiran. Artinya.. keluasan ruang fikiran tergantung pada logika berfikir.

Shammind file

DUALITAS KEHIDUPAN

DUALITAS

Selama kehidupan masih ada, maka kita akan terjebak dalam adanya anggapan perbedaan antara ketinggian dan kedalaman, tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah. Dualitas tidak bisa dihindari. Dua sifat berlawanan bahkan perlu.

Namun, untuk menikmati pahala kasih sayang yang manis, maka kita harus mengupas kulit amarah, kedengkian, iri hati dan keserakahan. Gunakanlah rasa getir dalam diri kita untuk melestarikan dan mengembangkan rasa manis.

Dari pengalaman orang-orang suci dan orang bijaksana, maka kita dapat menyadari bahwa sukacita yang didapat dari dunia luar sangatlah kecil ukurannya jika dibandingkan dengan kebahagiaan yang dapat diraih melalui ketaatan pada aturan kerokhanian.

Untuk meraih kebahagiaan itu, upaya rokhniah dengan melepaskan diri dari keterikatan duniawi adalah sesuatu yang penting. Untuk mengisap air dari bumi melalui lubang, maka pipa bor harus kedap dari udara sehingga air tanah dapat terisap naik. Jika udara masuk karena adanya kebocoran, maka air tidak akan dapat diisap naik. Demikian juga, pastikan keterikatan pada hal-hal duniawi tidak merusak upaya kerokhanian kita.

Kasih sayang tidak akan berkembang jika kesenangan indriawi dan kesombongan pribadi datang menyerbu pikiran!

Sumber: Interpretasi Wacana Baba.

TINGKAT PERADABAN_KARDASHEV SCALE

Kardashev Scale (1) - Tingkat Peradaban

Nikolai Kardashev, adalah seorang ilmuan astrofisika Russia yang mencetuskan teori tentang skala tingkatan peradaban alam semesta yang diukur melalui parameter 'konsumsi energi' dan 'basic technology' yang digunakan dalam peradaban itu. Pada prinsipnya kita bisa menganalisa itu dari dua parameter energi dan teknologi karena keduanya saling terkait erat.

Persepsi untuk memahami ini adalah, jika kita mampu memanfaatkan energi dengan maksimal, kita akan mudah. berkembang untuk menciptakan teknologi apapun. Sebaliknya, jika kita memiliki teknologi maju maka kita mampu memanfaatkan sumber daya apapun untuk memperoleh energi bagi kebutuhan kehidupan kita. Dengan melihat parameter ini kita bisa mengkategorikan tiap peradaban di alam semesta (bukan hanya di bumi), dengan cara mengukur tingkat konsumsi energi yang mereka gunakan di planet tempat hidup mereka, dan teknologi apa yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya apapun sebagai sumber energi 

Bagaimana teknis pengukuran parameter ini bisa dilakukan tanpa kita memiliki teknologi yang memadai untuk melihat kehidupan extraterrestrial diluar bumi? Kita akan membahas sosok Nikolai Kardashev dulu untuk memahami teknisnya, ia adalah pemimpin SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence), sebuah badan research yang dimiliki Russia, dalam hal ini mereka memang bertujuan untuk menganalisa segala hal tentang kehidupan extraterrestrial diluar planet bumi dan solar system kita.

Sejak kita menemukan teknologi radio sebenarnya kita telah memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian melalui gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik dari seluruh bidang alam semesta bisa kita tangkap dengan teknologi radio, maka ini adalah sebuah alat yang sangat memadai untuk melacak fluktuasi gelombang elektromagnetik dari semua bagian alam semesta. Radio, sejak ditemukan pada awal abd 20, telah berkembang menjadi berbagai teknologi berbeda yang salah satu perkembangannya adalah peralatan - peralatan antariksa kita.

Kita bisa mengukur besaran gelombang elektromagnetik yang terjadi pada berbagai planet berbeda, dan tiap kehidupan (makhluk apapun) selalu menghasilkan gelombang elektromagnetik yang bisa kita identifikasikan. Maka dengan cara ini kita bisa melacak keberadaan kehidupan itu terjadi di planet mana saja, baik di solar system, konstelasi, dan galaksi tempat kita berada. 

Begitu juga dengan penggunaan teknologi apapun, semua menghasilkan gelombang elektromagnetik yang fluktuasinya berbeda - beda, maka itu kita bisa perkiraan seperti apa teknologi itu, cara kerjanya, lokasinya, dan konsumsi energi yang digunakan untuk mengoperasikan teknologi itu. Ini adalah sebuah teknik yang masuk diakal untuk melacak keberadaan extraterrestrial, fungsi radio juga termasuk bisa untuk digunakan sebagai alat komunikasi dengan extraterrestrial. Russia adalah salah satu negara yang sangat fokus dalam penelitian tentang extraterrestrial, hanya saja informasi seperti itu tidak selalu dipublikasikan terbuka, karena itu selalu akan kontroversial.

Dengan teknik ini Nikolai mendapatkan berbagai data tentang indikasi kehidupan di tempat - tempat berbeda di alam semesta ini,  lepas dari banyak manusia yang skeptik tentang keberadaan extraterrestrial, data ilmiah tentang itu telah diteliti berbagai ilmuan berbeda, jelas kita bukan satu - satunya makhluk berpikir yang ada di alam semesta ini. Nikolai membagi kategori menjadi 3 yaitu peradaban tingkat I, II dan III. 

1. Peradaban Tingkat I - adalah peradaban yang telah mampu memanfaatkan semua sumber daya di planetnya sendiri sebagai sumber energi yang menopang kehidupannya. Dalam hal ini, artinya juga peradaban itu telah mampu mengendalikan cuaca, bencana, dan melindungi planetnya dari faktor eksternal, misalnya komet. Maka peradaban seperti ini juga kita sebut sebagai 'planetary civilization'.

2. Peradaban Tingkat II - adalah peradaban yang telah mampu memanfaatkan sumber daya apapun dari konstelasi tempatnya berada, artinya mereka tidak hanya bergantung pada sumber daya yang ada di planetnya saja. Tetapi mereka mampu menyedot energi dari seluruh bintang yang ada dalam konstelasi mereka. Dalam konteks ini kita tentu harus membahas teknologi Dyson Sphere, tanpa memiliki itu, mustahil sebuah peradaban mampu mengambil energi dari bintang diluar planetnya sendiri. Peradaban seperti ini kita sebut juga sebagai 'Stellar civilization'.

3. Peradaban Tingkat 3 - adalah sebuah peradaban yang telah mampu memanfaatkan energi dari seluruh bintang / planet yang berada dalam galaksi tempatnya berada. Peradaban ini kita sebut juga sebagai 'galactic civilization', mereka yang berada dalam tingkatan ini tentunya juga sudah mampu mengontrol semua kondisi galaksinya dengan menggunakan teknologi yang mereka miliki.

Lalu pertanyaannya, manusia bumi termasuk ke dalam kategori yang mana? Anda tentu dapat menyimpulkan sederhana dengan melihat uraian diatas, kita belum masuk ke kategori manapun, dengan kata lain kita bisa menyebut diri kita sebagai '"Peradaban Tingkat 0", bahkan kita belum mampu memanfaatkan semua sumber daya yang ada di bumi, kita masih mengalami krisis energi, apalagi mengendalikan bencana dan menghindar dari tabrakan komet, itu impian yang masih terlalu jauh.

Mengutip pernyataan seorang ilmuan terkemuka Carl Sagan (1973), ia mengatakan bahwa peradaban manusia bumi baru mencapai tingkat 0.7, belum mencapai satu, tapi kita mengarah kepada peradaban tingkat I, mungkin 100 - 200 tahun lagi kita baru akan sampai pada peradaban tingkat I. 

Mengutip pernyataan lain dari profesor quantum physic Michio Kaku (2011), ia mengatakan bahwa kita memasuki tingkatan 0.72, sedikit lebih baik dari apa yang Sagan katakan. Karena dalam 40 tahun sejak Carl Sagan mengungkapkan itu, kita telah mulai mengembangkan teknologi yang mampu memanfaatkan sumber daya lain yang tersedia di bumi, seperti hydrothermal, biomass, biofuel, dan berbagai teknologi yang telah berkembang sebagai alternatif untuk kita menghadapi krisis energi.

Michio Kaku juga mengungkapkan bahwa dalam 100 tahun ini kita sudah harus mampu menjadi peradaban tingkat I, jika itu tidak berhasil kita memang benar - benar akan mengalami krisis energi global, dan itu akan secara tidak langsung memusnahkan kita dari bumi. Perubahan iklim bumi yang semakin ekstrim, bencana alam semskin besar, belum lagi beberapa komet yang berpotensi berada dalam lintasan bumi, bagaimana kita mampu bertahan hidup dengan segala ancaman itu?

Pernyataan ini tentunya bukan untuk mengecilkan hati sebagai makhluk bumi, tetapi ini adalah sebuah analisa yang berdasar, bahwa keberadaan homosapiens yang telah ribuan tahun di bumi, masih belum mampu mengendalikan dan memanfaatkan semua sumber daya di bumi untuk kepentingan bertahan hidup. 

Maka rendah hatilah manusia bumi, kita masih terlalu jauh dari kemajuan sebagai makhluk yang mampu mengenali planetnya sendiri dengan sempurna. Padahal kenyataannya jika mau berpikir terbuka akan keberadaan diri, leluhur kita yang hidup ratusan ribu / jutaan tahun lalu, di tempat sama bernama bumi, mereka telah mampu mencapai bahkan lebih dari peradaban tingkat I, tidak ada yang tahu pasti mereka termasuk ke tingkat berapa. 

Itu alasannya mengapa kita menyebut manusia modern / homosapiens adalah sebuah peradaban yang paling terbelakang di alam semesta ini. Maka sekali lagi rendah hatilah, terutama bagi sebagian besar manusia yang berani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk termulia di alam semesta ini, sekali lagi pertanyakan itu kepada diri sendiri. Hanya dengan memiliki kerendahan hati kita akan membuka diri untuk belajar lebih banyak dan mengenali sempurna tentang diri dan planet kita tercinta bernama bumi.

KESADARAN AKAN TUHAN

TUHAN PUN HANYALAH PRODUK FIKIRAN

Suatu kali dalam satu obrolan, ada teman yang beropini bahwa yang menuhankan akal sehat bukanlah golongan nabi. Ok.. saya kira tujuannya adalah untuk menyindir saya. Dalam hal ini saya menghormati opininya yang muncul tentu dari cara berfikirnya. Saya diam saja dan cukup tersenyum karena ada beberapa teman lagi untuk berdiskusi. Jadi saya kira ini tidak masuk zona private saya. Saya kira diskusi ini justru menjadi menarik bila saya masuk ke dalam cara berfikir mereka. Saya bilang bahwa nabi diturunkan untuk meluruskan akhlak manusia, demikian hadist nya. Dan akhlak hanya bisa tumbuh dari akal sehat. Demikian seterusnya dilanjutkan sampai kemudian.. diskusi selesai karena saatnya buka puasa pada waktu itu. Eropa dan Jepang adalah negara yang sebagian besar penduduknya atheis, agnostik dan gnostik. Kalaupun mereka beragama, kebanyakan hanya untuk identitas berkelompok saja. Tapi tingkat kriminalitas itu sangat rendah, dan disiplin itu tinggi. Karena apa? Karena mereka sudah menemukan KESADARAN kolektif bernegara yang baik. Bila menurut akal sehat kolektif mereka pemerintah baik, mereka menurutnya dengan patuh. Dari semua negara Eropa, hanya Italia yang warganya sering ngeyel pada kebijakan dan saran pemerintah. Dan lalu.. Ketika covid19 menyerang, kesadaran mereka pun muncul. Sayangnya sudah terlambat. Penjara-penjara di Belanda, hanya 1 yang aktif dan itupun tidak penuh dan bukan pelaku kriminal besar. Sebagian negara kecil di Eropa seperti Lithuania, Finlandia sudah tak lagi memiliki tentara, dan hanya memiliki sedikit polisi untuk membantu aktivitas warga. Saya kira.. KESADARAN tak berhubungan dengan agama dan kepercayaan apapun. Tuhan pun hanyalah produk fikiran. Semesta hanyalah berbagai macam vibrasi yang tumpang tindih dengan frekwensi dan amplitudo yang berbeda. Bekerja dengan hukumnya sendiri. Kausalitas prima, dan evolusi semesta yang terjadi terus menerus. Para nabi, filosof dan orang-orang suci, hanyalah manusia biasa yang ingin menularkan dan mengajarkan cara untuk menemukan KESADARAN sesuai dengan budaya mereka dan cara berfikir mereka pada waktu itu. Di abad millenia ini, berbagai macam informasi sangat mudah didapatkan hanya dengan sebuah benda kecil yang ada di tangan kamu yang bernama gadget. Adalah lucu bila kamu masih berada dalam kotak tertentu. Ketika kamu berada di dalam kotak tertentu, kamu sulit melihat kotak lainnya. Ketika kamu berada di luar kotak, kamu tak bisa melihat ke dalam kotak yang manapun. Tapi.. ketika tak ada kotak apapun.. yang terlihat hanyalah nonsens, kekosongan. SUWUNG sajalah!!

QUANTUM PHYSIC

Quantum Physic - Peradaban Diatas Tingkat III

Kardashev Scale adalah sebuah teori yang sampai saat ini tidak pernah usang, itu masih impian tertinggi bagi para ilmuan dan orang - orang berpikiran terbuka. Menurut Kardashev kita terlalu sulit menemukan paramater untuk mengukur dan mengkategorikan peradaban yang lebih tinggi dari tingkat III, tapi pernyataan itu diungkapkan sekitar 60 tahun lalu saat Nikolai Kardashev mempublikasikan jurnal yang dikenal sebagai Kardashev Scale.

Waktu berjalan dan perkembangan keilmuan quantum memang sangat pesat, kita telah banyak membuktikan berbagai hal yang pada masa lalu kita anggap mustahil. Michio Kaku adalah seorang profesor quantum physic, salah satu ilmuan yang sangat terobsesi dengan Kardashev Scale, dalam perjalanannya untuk menciptakan Superstring Theory (teori penciptaan), ia sangat sering membahas tentang Kardashev Scale. Menurut Michio, kita bisa melakukan pengukuran terhadap peradaban - peradaban lebih tinggi dari III, tetapi itu harus dianggap sebagai relatif karena apa yang berupa energi hanya bisa diperkirakan, bukan dideskripsikan baku, energi itu sendiri selalu relatif.

Peradaban tingkat III masih bisa kita gambarkan, dimana kemajuan teknologi sudah sangat jauh dari apa yang kita mampu kembangkan saat ini. Jika kita harus mendeskripsikan peradaban diatas itu, mereka jelas sudah tidak berfokus lagi pada teknologi materi, paling tidak kita bisa menjelaskan sampai dengan tingkat IV dan V, mereka sudah tidak membutuhkan teknologi apapun, tetapi diri mereka sendiri adalah teknologi yang sangat sempurna.

Peradaban tingkat IV - adalah peradaban yang menguasai satu alam semesta, mereka yang telah mampu menguasai seluruh sumber daya energi dalam satu alam semesta. Maka keberadaan mereka bisa diukur dari pola gerakan energi alam semesta ini, yang menggerakkan seluruh obyek alam semesta, mengaliri seluruh kehidupan di alam semesta ini. Tentunya kita tidak bisa mengukur volume energinya, tetapi kita bisa perkirakan bahwa penggunaan energi mereka adalah trilyunan kali lipat dari konsumsi energi yang kita gunakan di bumi.

Bayangkan sebuah peradaban yang tidak lagi menggunakan teknologi yang nyata, diri mereka sendiri adalah teknologi pikiran, sederhananya mereka bukan hanya memanfaatkan energi dari bintang atau matahari, tapi mereka mampu mengubah pola apapun pada semua obyek alam semesta. Dan mungkin kita tidak bisa mengatakan mereka sebagai individual lagi karena satu gerakan mereka terukur dalam volume energi yang sangat besar, kita bisa katakan mereka sebuah kemanunggalan dari berbagai pikiran yang bergerak bersama - sama, jelas bukan individual.

Peradaban tingkat V - adalah peradaban yang menguasai bukan hanya satu alam semesta, dalam hal ini kita bicara tentang 'multiverse'. Mereka tidak hanya bergerak dalam satu alam semesta, tapi mampu transit atau migrasi ke berbagai alam semesta berbeda. Dengan kata lain peradaban seperti ini adalah mereka yang telah mampu menembus berbagai 'blackhole', maka jelas kita bisa katakan mereka adalah energi murni.

Jika membahas blackhole, ini mengingatkan kepada teori Einstein dan Hawking, "obyek apapun yang memasuki blackhole akan terlontar ke bagian luar lingkaran yang kita sebut 'whitehole', bahkan cahaya akan mengalami deviasi dan pembiasan pads saat melalui blackhole". 

Dengan kata lain, yang mampu menembus sebuah blackhole adalah hanya energi murni, tidak ada lagi individualisme, pikiran, tidak ada lagi warna cahaya, hanya sebuah medan magnet yang mengalir. Mungkin itu deskripsi yang mendekati untuk menggambarkan peradaban tingkat V.

Pada titik ini, memang spiritual dan sains menemukan sebuah potensi titik temu, secara spiritual kita bisa mendapatkan deskripsi serupa dengan penjabaran yang diungkapkan Michio Kaku diatas. Lihatlah dalam ajaran - ajaran leluhur, mereka mengungkapkan sebuah penggambaran yang kurang lebih sama, dengan istilah yang berbeda - beda. 

Lalu pertanyaannya, dimana evolusi ini akan berhenti? Menjawab itu tentunya akan menjadi hal yang spekulatif, satu planet saja kita belum mampu kuasai dengan sempurna,  apalagi konstelasi, galaksi, alam semesta, dan multiverse. Perjalanan kita masih terlalu panjang untuk melihat semua itu, maka bijaksananya adalah, kita menyempurnakan diri dulu saat ini, lalu pada saatnya kita naik tingkat, kita akan melihat lebih jelas apa yang berada dua sampai tiga tingkat diatas kita, begitu seterusnya.

Itu sebabnya kita harus mengatakan bahwa pengetahuan kita adalah 'relatif', kita sendiri dalam perjalanan evolusi, yang tanpa awal dan tanpa akhir. jangan terjebak hanya pada satu tingkatan, maka bebaskan saja pikiran, hanya itu yang dapat menyempurnakan diri kita sebagai makhluk alam semesta.

KARDASHEV SCALE_SKALA KARDASHEV

Skala Kardashev  - Peradaban Tipe I, II, III, IV & V.

Teori menyatakan bahwa, sebagai sebuah peradaban yang tumbuh lebih besar dan menjadi lebih maju, kebutuhan energi akan meningkat pesat karena pertumbuhan penduduk dan kebutuhan energi dari berbagai mesinnya. Dengan pemikiran ini, skala Kardashev dikembangkan sebagai cara untuk mengukur kemajuan teknologi peradaban didasarkan pada seberapa banyak energi yang dapat digunakan dan pembuangannya.

Skala ini awalnya dirancang pada tahun 1964 oleh ahli astrofisika Rusia, Nikolai Kardashev (yang sedang mencari tanda-tanda kehidupan di luar bumi dalam sinyal kosmik). Ini memiliki 3 kelas dasar, masing-masing dengan tingkat pembuangan energi: Tipe I (10¹⁶W), Tipe II (10²⁶W), dan Type III (10³⁶W). . Astronom lainnya telah menambah skala untuk Type IV (10⁴⁶W) dan Type V (energi yang tersedia untuk jenis peradaban akan sama bahwa semua energi yang tersedia, tidak hanya alam semesta kita, tetapi dalam semua alam semesta dan di semua garis waktu).

Penambahan ini mempertimbangkan baik akses energi serta jumlah pengetahuan peradaban yang memiliki akses.

Pertama, penting untuk dicatat bahwa umat manusia tidak atau bahkan berada pada skala ini. Karena kita masih mempertahankan kebutuhan energi kita dari tanaman dan hewan yang mati, di bumi, kita adalah paling rendah Type 0 peradaban (dan kita memiliki jalan yang panjang untuk maju sebelum dipromosikan ke peradaban tipe I).

Fisikawan terkenal Michio Kaku percaya kita akan mencapai Tipe I pada waktu 100 hingga 200 tahun kedepan. Tapi apa masing-masing kategori ini maksud sebenarnya dalam hal literal?

Tipe I adalah sebutan yang diberikan kepada spesies yang telah mampu memanfaatkan semua energi yang tersedia dari bintang tetangga, mengumpulkan dan menyimpannya untuk memenuhi kebutuhan energi dari pertumbuhan populasi. Ini berarti bahwa kita perlu meningkatkan produksi energi kita saat ini lebih dari 100.000 kali untuk mencapai status ini. Namun, mampu memanfaatkan energi semua Bumi juga berarti bahwa kita bisa memiliki kontrol atas semua kekuatan alam. Manusia bisa mengendalikan gunung berapi, cuaca, dan bahkan gempa bumi! (Setidaknya, itulah ide.) Jenis-jenis prestasi yang sulit untuk percaya, tapi dibandingkan dengan kemajuan yang mungkin masih akan datang, ini hanya tingkat dasar dan kontrol primitif (itu tak berarti apa-apa dibandingkan dengan kemampuan masyarakat dengan peringkat yang lebih tinggi).

Langkah berikutnya - Tipe II peradaban - dapat memanfaatkan kekuatan seluruh bintang mereka (bukan hanya mengubah cahaya menjadi energi, tetapi mengendalikan bintang). Beberapa metode ini telah diusulkan. Yang paling populer dari yang merupakan hipotetis 'Dyson Sphere. "Perangkat ini, jika Anda ingin menyebutnya itu, akan mencakup setiap inci tunggal dari bintang, mengumpulkan sebagian besar (jika tidak semua) output energi dan memindahkannya ke sebuah planet untuk digunakan nanti. Atau, jika tenaga fusi (mekanisme kekuatan bintang) telah dikuasai oleh suatu ras, reaktor pada skala yang benar-benar besar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Raksasa Gas  di dekatnya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidrogen mereka, perlahan-lahan diserap kehidupan dengan reaktor yang mengorbit.

Apa berarti banyak energi untuk semua spesies? Nah, tidak ada yang dikenal dalam ilmu bisa menghapus sebuah peradaban Tipe II. Ambil contoh, misalnya, jika manusia bertahan cukup lama untuk mencapai status ini, dan objek bulan berukuran memasuki tata surya kita pada jalur tabrakan dengan sedikit planet biru kita, kita memiliki kemampuan untuk melenyapkan eksistensi. Atau jika kita punya waktu, planet kita bisa bergerak keluar dari jalur orbit, yang benar-benar mampu menghindari itu. Tapi katakanlah kita tidak ingin memindahkan bumi ... apakah ada pilihan lain? Baik, karena kita memiliki kemampuan untuk memindahkan Jupiter, atau planet lain , ke jalur tabrakan - keren, kan?

Jadi kita  memiliki kontrol atas planet, hingga bintang, yang telah mengakibatkan kita dapat menyimpan cukup energi "sekali pakai"  pada dasarnya membuat peradaban kita kebal terhadap kepunahan.

Tapi sekarang, ke Tipe III, di mana spesies kemudian menjadi traversers galaksi dengan pengetahuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan energi, sehingga mereka menjadi ras unggul. Dalam halnya manusia, ratusan ribu tahun berevolusi - baik biologis dan mekanis - dapat mengakibatkan penduduk jenis peradaban III  yang sangat berbeda dari ras manusia seperti yang kita kenal. Ini mungkin cyborg (atau organisme cybernetic, makhluk biologis dan robot), dengan keturunan manusia biasa menjadi sub-spesies di antara masyarakat sekarang-sangat maju. Manusia yang sepenuhnya biologis kemungkinan akan terlihat sebagai orang cacat, rendah, atau tidak berevolusi oleh rekan-rekan cybernetic mereka.

Pada tahap ini, kita akan mengembangkan koloni robot yang mampu 'replikasi mandiri'; populasi mereka dapat meningkat hingga jutaan karena mereka tersebar di seluruh galaksi, mengkoloni bintang demi bintang.

Dan makhluk ini mungkin membangun Dyson Spheres dan  membungkusnya masing-masing, menciptakan jaringan besar yang akan membawa energi kembali ke planet induk.

Tapi menjelajah di atas galaksi sedemikian rupa akan menghadapi beberapa masalah; yaitu, spesies akan dibatasi oleh hukum fisika. Terutama, perjalanan kecepatan cahaya . Artinya, kecuali mereka mengembangkan sistem kerja warp drive, atau menggunakan penyangga energi yang rapi untuk menguasai teleportasi lubang cacing (dua hal yang tetap menjadi teoritis untuk saat ini), mereka hanya bisa mencapai sejauh ini.

Kardashev percaya peradaban Tipe IV adalah 'terlalu' maju dan tidak melampaui Tipe III pada skala nya. Dia berpikir bahwa, pasti, ini akan menjadi tingkat kemampuan setiap spesies '. Banyak berpikir begitu, tetapi beberapa percaya ada tingkat lanjut yang dapat dicapai. (Maksudku, pasti ada batasnya?) Peradaban Tipe IV  akan hampir dapat memanfaatkan kandungan energi dari seluruh alam semesta dan dengan itu, mereka bisa melintasi perluasan percepatan ruang (lebih jauh lagi, kecanggihan ras spesies ini hingga dapat hidup di dalam lubang hitam yng supermasif). Untuk metode  menghasilkan energi sebelumnya, jenis-jenis prestasi ini dianggap mustahil. Peradaban Tipe IV  memasuki sumber energi yang tidak kita ketahui dan menggunakan teknologi yang aneh, yang tidak diketahui, oleh hukum-hukum fisika.

Tipe V. Ya, Tipe V hanya menjadi utopia mencapai kemajuan seperti itu. Makhluk akan seperti dewa, memiliki pengetahuan untuk memanipulasi alam semesta sesuka mereka. Sekarang, seperti yang saya katakan, manusia masih   sangat, sangat panjang dari pencapaian seperti ini. Tapi itu tidak berarti bahwa hal itu tidak dapat dicapai selama kita merawat bumi dan satu sama lain. Untuk melakukannya, langkah pertama adalah untuk melestarikan rumah kecil kita, menghentikan perang, dan terus mendukung kemajuan penemuan ilmiah.

Sumber :

http://www.fromquarkstoquasars.com/the-kardashev-scale-type-i-ii-iii-iv-v-civilization/


Senin, 15 Juni 2020

SYAIKH AL JILLI_INSAN KAMIL

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar (Q.S al-Ahzab 33 : 4)

Mukaddimah

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Segala puji hanyalah untuk Allah. Shalawat dan salam, semoga tetap tercurahkan kepada rasul terkasih-Nya, nabi pamungkas Muhammad saw. Buku ini dikarya semata-mata untuk memberi kontribusi pengetahuan, guna memahami hakekat ketuhanan dan kesejatian al Haq. Fokus kajian dan pembahasan karya ini adalah Allah Azza Jalaalah. Kita akan mengkaji di dalamnya perihal subtansi ketuhanan dan eksistensi al Haq, melalui dimensi nama-nama Nya yang menunjukkan keberadaan Diri Nya, dimensi sifat-sifat Nya yang mewajahkan ragam kesempurnaan inti (dzat)-Nya, karena sifat-sifat-Nya merupakan awal manifestasi al Haq pada segala wujud. Tidak ada tajalli pasca sifat melainkan inti (dzat)-Nya, dengan I’tibar seperti ini, Sifat-Nya lebih tinggi tingkatannya dibandingkan isim-Nya. Kemudian kita akan membahas al Haq dari dimensi inti (dzat)-Nya, sejalan dengan metafora (ibarat) dan paradoks ketuhanan yang terlanskapkan dalam realita alam dan isinya alam. Kami sengaja tidak memakai metafor (paradoks) yang jamak dipakai dalam dunia sufi, untuk memudahkan para pembaca dalam memahami isyarat-isyarat (metafora) yang kami gunakan dalam karya ini. Meski demikian, kami akan mencoba merentah rahasia-rahasia yang belum pernah dipaparkan para pengarang kitab terdahulu, terutama hal-hal yang terkait dengan makrifah al Haq, dan makrifah alam Malakut serta alam Jabarut. Kami akan coba mewartakan rumus-rumus yang berserak dibalik misteri alam ketinggian tersebut terutama buat para Saalik (peniti jalan al Haq), agar mereka bisa mengetahui batas antara realitas yang terpendam dan tertampakkan, antara yang samar dan terang, antara yang lahir dan batin, berikut sebagai Wasilah (media) Tafakkur merenungi nilai-nilai ketuhanan dan esensi al Haq, dengan harapan bisa Makrifah (memahami) kesejatian Diri Nya. Dalam karya ini, kami sengaja memakai bahasa kiasan (Majaz), sebab jika kami paparkan secara lugas, transparansi tersebut dikhawatirkan akan melahirkan multi tafsir dan ragam interpretasi, yang berujung pada ketidak sampaian maksud. Terkait dengan ini, cobalah tafakkuri firman al Haq dalam pesan Qur’ani:

Dan Kami angkut Nuh ke atas dzat yang terbuat dari papan dan paku. Qs. al Qomar 54 : 13.

Andai redaksi firman-Nya berbunyi :

Diatas Bahtera yang terbuat dari papan dan paku,  niscaya Nuh as dengan mudah bisa menangkap pesan al Haq tersebut. Ide membuat bahtera itu lahir ketika Nuh as berusaha menelisik firman-Nya (Papan dan Kayu). Demikian halnya dengan anda wahai pembaca yang budiman, seperti cara Nuh as itulah seyogyanya anda menelisik isi kandungan kitab ini, agar anda mendapat pemahaman yang utuh akan pesan, metafora (isyarat), paradoks yang kami paparkan dalam karya (Insan Kamil) ini.

Untuk anda ketahui wahai pembaca yang budiman, sesungguhnya saya (al Jaily) tidak menorehkan Fikrah (buah pikiran) dalam karya ini, melainkan berpijak pada Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya yang Shahih (valid), jika anda mendapati ada sebagian Fikrah saya yang terkesan agak 'lain' (berbeda) dengan makna lahir pesan Qur'ani dan Sunnah rasul-Nya, yang demikian itu semata-mata berlandaskan Mafhuumuhu (pemahamannya) dan bukan berdasarkan Muradiy (keinginan saya), anda tidak perlu memasyghulkan diri untuk menelisik keganjilan tersebut, sebaiknya anda sikapi dengan Khusnudzan (pikiran positif), atau simpan di relung kalbu dan benak anda, sembari berdoa semoga Allah membukakan jalan bagi anda untuk memakrifahinya. Dalam menyikapi 'Keganjilan' tersebut, sebaiknya anda Taslim (berserah diri) kepada Allah dengan tetap menjadikan pesan Qur’ani dan Sunnah rasul-Nya dasar pijakan bertauhid. Dengan Taslim itulah jalan makrifah akan terbuka lebar, sebaliknya pengingkaran hanya akan menutup pintu Wushul (ketersambungan) anda dengan al Haq. Mereka yang mengingkari disiplin ilmu ini (tasawuf dan intuisi), selamanya tidak akan pernah menemukan Hakekat Makrifah (esensi pemahaman) dan tidak akan pernah menemukan kesejatian ilmu, juga tidak akan pernah Wishal (sampai) kepada al Haq, tidak ada Thariqah (jalan) untuk menggapai hakekat makrifah selain Taslim dan iman yang tulus kepada al Haq.

Ketahuilah, bahwasanya setiap ilmu yang tidak didasari ajaran Qur’ani dan Sunnah rasul-Nya yang Shahih (valid) adalah Dholal (sesat), al Qur’an dan Sunnah rasul-Nya bukan untuk membenarkan ilmu dan tindakan anda, akan tetapi hendaknya ilmu dan tindakan anda sesuai dengan pesan Qur'ani dan Sunnah rasul-Nya. Jadikan al Qur'an dan Sunnah rasul-Nya dasar pijakan ilmu dan ibadah anda, jika nalar anda dan dasar logika anda tidak mampu menjangkau kedalaman ilmu ini (tasawuf dan pengetahuan intuitif), sebaiknya anda Taslim dengan keimanan yang jernih dan jangan sekali-kali mengingkari sesuatu yang anda belum mampu menyibaknya, serahkan segala sesuatunya kepada Sang Maha Mengetahui, Dia­lah Allah Jallah Jalaalah, sebab setiap ilmu yang hadir dalam diri anda tidak akan terlepas dari tiga hal berikut ini.

Pertama: al-Mukaalamah (ujaran-ujaran), yakni apa yang datang dalam kalbu (hati) anda melalui al Khawathir (bersitan-bersitan) Rabbaniyah (ketuhanan) dan Malakiyah (malaikat). Bersitan-bersitan tersebut tidak mungkin terbantahkan dan teringkari akal pikiran dan hati nurani. Sesungguhnya pembicaraan al Haq kepada segenap hamba-Nya dan pesan ketuhanan yang Dia sampaikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya, adalah sebuah keniscayaan yang pasti diterima, tidak seorangpun dari makhlukNya yang mampu menolak. Diantara tanda pembicaraan al Haq kepada hamba yang dikehendaki-Nya itu adalah, sang pendengar secara Dharuriyah (primer) mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa apa yang disimaknya adalah Kalaamullah (perkataan Allah), pendengaran yang disimak itu bersifat Kulli (universal), tidak dibatasi oleh al Jihah (ruang) serta tidak satu arah, sebab jika penyimakan itu terjadi hanya satu arah dan dibatasi oleh ruang, maka pendengaran tersebut tidak berlaku untuk arah juga ruang yang lain. Cobalah telisik kembali perihal nabi Musa as, ia mendengar Khitah (pembicaraan) dari Syajarah (pohon) yang tidak terikat oleh arah, dan pohon itu sendiri merupakan arah. Demikian halnya dengan bersitan-bersitan Malaikat, tidak jauh berbeda dengan bersitan-bersitan ketuhanan, hanya saja kekuatan bersitan ketuhanan lebih kuat dibandingkan bersitan malaikat, kecuali bila bersitan itu bersifat primer, realita tersebut (kekuatan) tidak saja ada pada Mukaalamah (pembicaraan), namun juga pada Tajalli (penampakkan) al Haq. Manakala Anwaar al Haq (cahaya-cahaya al Haq) termanifestasikan pada diri salah seorang hambaNya, hamba itu mengetahuinya secara primer sejak kali pertama kemunculannya, bahwa cahaya tersebut adalah cahaya al Haq, baik berupa manifestasi sifat, nama, ilmu atau inti (dzat)Nya. Jika cahaya al Haq tertajallikan pada diri anda niscaya anda akan bisa mengetahuinya sejak kali pertama, bahwa manifestasi tersebut adalah Nur al Haq (cahaya al Haq), atau sifat-sifatNya pun inti (dzat)Nya, itulah sejatinya Tajalli (manifestasi). Pahami betul masalah ini, samudera tajalli luasnya tak bertepi. Adapun Ilham Ilahiyah (ketuhanan), Thariqah (metode) gapaiannya tersurat jelas dalam pesan Qur’ani dan Sunnah rasul-Nya, kriterianya sangat jelas. Jikalau Ilham itu tidak sejalan dengan nilai-nilai Qur'ani dan Sunnah rasul-Nya, hendaknya proses amaliyah (laku)nya dihentikan, sebab bisikan setan sangat kuat dalam Ilham ini. Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara Ilham ketuhanan dan bisikan setan, karenanya Taslim dan iman kepada al Haq adalah sebuah kemestian yang harus dilakukan dalam menyikapi Ilham ini, dengan tetap berpegang teguh kepada Ushuluddin (pokok-pokok ajaran agama), hingga al Haq membuka pintu makrifah (pemahaman) akan kesejatian Jala' al Khawafhir (bersitan-bersitan hati) tersebut.

Kedua : Ilmu yang keluar dari lisan yang bersumber pada Intisab (runtutan) Sunnah dan Jama'ah, yakni ilmu yang berlandaskan legitimasi dan kesaksian secara utuh dan jernih. Jika anda dihadapkan pada etos keilmuan yang diluar jangkauan nalar logika, dan akal pikir anda tidak mampu menjangkaunya. Cara terbaik menyikapinya adalah dengan Taslim dan mempercayainya secara utuh, serta mentradisikan sikap Khusnudzanitas (pola pikir positif) berikut yakin setulus hati. Anda harus menanamkan dalam diri anda dan mengakui dengan penuh kejujuran, bahwa kekuatan akal insani sangatlah terbatas. Dengan pikiran positif dan keimanan yang jernih seperti itu berarti cahaya akal anda mengikuti cahaya iman anda, begitulah semestinya anda menyikapi dimensi kegaiban seperti halnya anda menyikapi Ilham, Jala' al Khawatir (bersitan-bersitan hati) yaitu dengan mengedepankan iman yang tulus dan jernih, mentradisikan Khusnudzanitas serta Taslim (pasrah diri) kepada al Haq.

Ketiga : Ilmu yang keluar dari lisan, orang-orang yang Mufarraqah (memisahkan diri) dari Madzhab (aliran keagamaan), serta ilmu yang lahir dari mulut para ahli bid'ah. Ilmu semacam itu adalah Marfuud (ditolak). Namun demikian tidak ada kemestian harus ditolak, selama ilmu tersebut masih dalam koridor al Kitab dan as Sunnah, maka tidak ada alasan untuk menolak, hanya saja sangat nihil ilmu semacam itu dilandasi pesan Qur'ani dan Sunnah rasul-Nya. Sebab para ahli bid'ah selalu menciptakan konsesus-konsesus keagamaan yang tidak memiliki dasar pijakan, mengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak berpijak pada ajaran Qur’an dan Sunnah rasulNya, padahal semua konsesus keagamaan sejak awal kelahiran Islam, selalu berlandaskan pesan Qur'ani dan sunnah rasul-Nya yang Shahih (valid). Cobalah anda perhatikan dengan seksama, apa yang keluar dari pesan Qur'ani dan sunnah rasul-Nya, perihal jalan pilihan (petunjuk) seperti yang termaktub dalam firman-Nya.

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Q.s. al Qashashas 28 : 56.

Juga firman-Nya yang lain,

Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Q.s. asy Syura 42 : 52)

Begitu pula dengan sabda rasulullah saw,

Kali pertama yang diciptakan Allah adalah akal

juga

Kali pertama yang diciptakan Allah adalah al Qolam (pena)

serta sabda beliau

Kali pertama yang diciptakan Allah adalah Nur nabimu wahai Jabir.

Maknailah sabda-sabda beliau itu dalam pemaknaan yang utuh, serta menempatkannya pada porsi yang arif dan bijaksana, agar anda memperoleh pemaknaan yang Syaamil (utuh) dan Kaamil (sempurna). Para alim (ulama) berpendapat, keberadaan rasul saw itu sendiri adalah al Hidayah (petunjuk), terutama petunjuk untuk memakrifahi inti (dzat)Nya, sedang Hidayah dalam pemaknaan umum (awam) adalah petunjuk yang mengantar kepada al Haq. Para alim juga berpendapat bahwa ketiga hadits diatas makna hakikinya adalah satu, sedang I'tibarnya mengandung multi makna seperti halnya al Aswad (hitam), al Laami' (kilatan cahaya), al Buraaq (burung Buraq) adalah ibarat al Khabar (kabar), namun runtut historisnya berbeda-beda. Apa yang saya (al Jailiy) sajikan dalam muqoddimah ini adalah untuk memperkaya khazanah pemahaman anda agar anda bisa mewaspadai, bahwa satu Hijab (tirai penghalang) memiliki seribu wajah, supaya anda bisa menemukan formula yang tepat serta jalan yang shahih (valid) guna memahami paparan yang saya sajikan pada karya ini dengan pemahaman yang utuh, teriring lantunan doa semoga kita semua bisa menjadi bagian komunitas para Muhaqqiqiin (ahli hakekat).

Isyarat. Dalam pengembaraan Kasyf (intuitif) al Haq mempertemukan diri saya dengan Ghariib asy Syarq (manusia asing dari belahan bumi sebelah timur). Ia mengenakan Niqob (pakaian penutup wajah) as Shamdaniyah (al Haq tumpuan segala-galanya), berjubah al Ahadiyah (keesaan), bersorban al Jalaal (keperkasaan), bermahkotakan al Hasan (kebaikan), al Jamaal (keindahan). Ia mengucap salam dengan lisan al Kamaal (kesempurnaan). Ketika saya jawab salamnya, ia memandang saya, tampak wajahnya bersinar laksana purnama, sosoknya adalah cerminan keDiaan Nya dan kebijaksanaanNya, tampak pada dirinya kepasrahan yang utuh, sungguh ia merupakan manifestasiNya yang Syaamil (utuh), karenanya saya jadikan manusia gharib (asing) itu cermin diri. Saya lalu bergabung dengannya, pasca bergabung dengannya saya dibawa melanglang buana ke alam ketinggian hingga sampai di sisi Rabb al Arsy (Pengatur Arsy). Ditempat itu saya menaiki kursi taqdir-Nya, saya tegakkan neraca I'tibar, saya sirnakan diri di alam ketinggian tersebut, sehingga saya benar-benar Fana' (sirna) disisi-Nya. Saya memperoleh keberuntungan dapat mengkais pemahaman hakiki, sayapun bisa mengetahui hakekat makrifat, saya benar-benar terpesona manakala mendengar perkataan manusia Gharib itu, ucapan kata-katanya sarat (kaya) hikmah ketuhanan dan padat makna, memancar terang ke semesta cakrawala kalbu dan alam pikir saya, sungguh di alam itu peran akal dan fungsi logika pikir sangatlah nihil ketajaman mata hati, kejernihan jiwa, kesucian ruh sayalah yang menuntun saya ke samudera rahasia ketuhanan hakiki saya merasakan betapa sempurna dan indah wajah kehidupan ini, manakala tirai penghalang (Hijab) telah lenyap dalam diri ini, wajah keagungan, kesempurnaan, keindahanNya benar-benar tampak dihadapan diri saya.

Manusia asing dari belahan bumi timur itu bertutur kepada saya : Ketahuilah bahwa sejatinya Dia (al Haq) adalah Jauhar (entitas) yang memiliki dua Arad (aksiden) dan inti (dzat)Nya memiliki dua sifat. Jauhar Hawiyah (entitas keDiaan)Nya adalah al 'Ilm (ilmu) dan al Qowiy (kuat). Dia adalah dzat yang al 'Aliim (Maha Mengetahui) dan alHakiim (Maha Bijaksana), mengalir dalam Kanal (saluran) al Quwah (kekuatan). Yang melahirkan trident kekuatan. Kekuatan itu selalu melekat pada ilmu yang tersusun dalam konfigurasi keDiaan Nya, dengan demikian anda bisa saja mengatakan ilmu adalah asal sedang kekuatan adalah cabang, atau anda bisa mengatakan kekuatan adalah bumi sedang ilmu adalah tanaman. Ilmu dalam dimensi ini terbagi menjadi dua macam :

1. 'Ilm al Qouli (ilmu perkataan) adalah contoh-contoh yang tersusun dalam struktur citra dirimu dan citra ke-aku-an dirimu.

2. Ilm al Amali (ilmu perbuatan) adalah hikmah yang melahirkan petunjuk (inspirasi) para pembijak dalam memanfaatkan (memberdayakan) ilmu-Nya, yang dengan itu lahir karya-karya (keilmuan) yang sejalan dengan hukum-Nya.

Kekuatan juga terbagi atas dua macam :

1. Kekuatan Jamali Tafshili (keindahan partikuler), yang disertai syarat berupa kesiapan menerima kebaikan, Istiqomah (konsistensi) dalam Ushul (pokok-pokok ajaran), dengan demikian kesempurnaan amal (perbuatan) akan selaras dengan kevalidan dasar pijakan (dalil tekstual dan kontekstual).

2. Kekuatan Jamali Tahayyali (keindahan imajinatif), yang disertai syarat berupa kesiapan menerima keadaan al Jauhar (entitas) yang terbagi dua, yang salah satu diantara dua bagian itu memiliki keutamaan, adapun jauhar (entitas) yang memiliki dua sifat itu adalah Engkau dan aku, Engkau dengan Hawiyah (keDiaan) Mu, yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh narasi akal logika.

Rahasia ketuhanan (Mu) hanya bisa disibak dengan jembatan sifat-sifat Rububiyah (ketuhanan) yang tersaksikan melalui pengetahuain intuisi (Kasyf). Sedangkan (aku) -dengan huruf (a) kecil-, dengan ke-Aku-an (Mu) kisaran makna (Mu) masih terjangkau oleh logika, yaitu tunduk patuh dibawah hukum Rububiyah Mu, (aku) dihadapan keDia an Mu adalah (hamba), (Engkau) dengan Hawiyah Mu dihadapan ke-akuan ku adalah (Rabb). Segenap makhluk (ciptaan) Mu dihadapan Mu adalah 'Abd (hamba), inti (dzat) Mu adalah I'tibar inti (dzat) diriku, sedang I'tibar inti (dzat) Mu dalam lanskap setiap makhluk (ciptaan) Mu adalah al Haqiqah al Kulliyah (hakekat universal).

Maha Suci Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi Mu. Kini (ujar manusia asing itu). Telisiklah dirimu, adakah inti (dzat) mu telah kau hiasi dengan sifat-sifat Rububiyah (Ketuhanan), yang sejatinya adalah metafor inti (dzat) Nya.? sudahkah entitas (Jauhar) dirimu, sejalan dengan hukum ke Dia an Nya ?

Saya begitu takjub dengan paparan sang Gharib itu, saya katakan kepadanya : Ku mohon anda mau menceritakan kepadaku tentang keajaiban-keajaiban yang pernah anda temui dalam pengembaraan spiritual anda. Ia berkata, sesungguhnya tatkala aku mendaki gunung Thur dan mereguk air laut al Masjur (luapan air sungai) serta membaca kitab al Masthur (tersurat), ternyata semua itu hanyalah rumus (simbol) yang disana tersusun kaidah-kaidah hukum. Peraturan-peraturan itu bukanlah untuk Diri Nya, melainkan untuk dirimu, semua simbol-simbol yang tersurat itu adalah untuk mengawal hidup dan kehidupanmu, dimaksudkan juga untuk kebaikan dirimu bukan untukNya, maka tidak sepatutnya kau berujar (rumusan) ini untuk Diri Nya dan (rumusan) ini untuk diriku, karena keadaan DiriNya tidak sama dengan keadaan dirimu, simbol-simbol itu dijadikan untuk dirimu sebagai cerminan Ujaran ke Aku an Diri Nya kepada dirimu, karenanya telisiklah Madzluliyah (makna tersirat) dari simbol-simbol Nya, dan jangan terpaku dengan rumus-rumus tersurat Nya, agar kau bisa memakrifahi subtansi ke Dia an Diri Nya, dengan begitu kau bisa memahami hakekat keberadaan dirimu dan kesejatian Diri Nya dan kau merasa Dia selalu berada disisimu, melihat dan memperhatikan dirimu, meski kau tidak melihat, mengetahui dan mendapatiNya namun demikian, kau bisa merasakan keberadaanNya dengan Dzauq (intuisi)-mu.

Lebih lanjut sang Gharib bertutur : Dengan Dzauq al Wujdaan (pengetahuan intuitif) itulah aku bisa memakrifahi kesejatian-Nya al Haq menegaskan, jikalau seorang arif benar-benar telah menggapai hakekat makrifah, Dia akan menjadi penglihatan dan pendengaran sang arif (manusia yang telah makrifah), tidak ada satupun yang disembunyikan darinya segala wujud, karena mata sang arif adalah manifestasi daripada mata Sang Pencipta segenap makhluk. Jika kau belum menggapai tingkat spiritual seperti itu, maka tidak sepatutnya kau mengingkari sesuatu yang belum kau gapai, karena penafianmu adalah wujud nyata dari keingkaranmu atas Diri Nya, terlebih atas dirimu sendiri. Bagaimana mungkin kau mengingkari dimensi kegaiban yang tidak mampu kau sibak, bercerminlah pada dirimu, sadarkah kau, bahwa kau dulunya tidak ada lalu menjadi ada, siapa yang membuatmu menjadi ada? dimana pula kau sebelum hidup di alam dunia ini? akan kemana pula kau pergi pasca kehidupan dunia ini? Atau kini kau telah maujud (ada) dan kau memiliki karakteristik yang menjadi atribut dirimu. Sifat-sifatmu itu tidak akan bisa dihilangkan dari dirimu, jika karakteristik dan sifat-sifatmu itu tercabut dari dirimu, lantas apa bedanya dirimu dengan patung? Seperti itu pula hendaknya kau menganalogikan dimensi gaib. Sebab insan yang menafikan dimensi gaib sama halnya dengan menafikan eksistensi dirinya dan ia tidak lebih dari patung-patung hidup, al Haq menciptakan dirimu selaras dengan citra Diri Nya. Hayyan (Yang hidup). 'Aaliman (Yang berpengetahuan). Qoodiran (Yang berkuasa). Muuridan (Yang berkemauan). Samii'an (Yang mendengar) Bashiiran (Yang melihat). Mutakalliman (Yang berbicara), tidak ada satupun yang manafikan terlebih memungkiri realita bahwasanya Dia adalah pencipta dirimu. Bukan hanya itu, Dia menciptakan dirimu sesuai dengan citra Diri Nya, berikut menghiasi dirimu dengan sifat-sifatNya dan menamai dirimu dengan nama-nama-Nya.

Dia Maha Hidup dan kau hidup, Dia Maha Berpengetahuan dan kau berpengetahuan, Dia Maha Berkuasa dan kau juga berkuasa, Dia Maha Berkemauan dan kau pun berkemauan, Dia Maha Mendengar dan kau juga mendengar, Dia Maha Melihat dan kau pun melihat, Dia Maha Berbicara dan kau juga berbicara, Dia adalah dzat dan kau adalah dzat, Dia pengumpul dan kau pun pengumpul, Dia Maujud (ada) dan kau maujud, Dia memiliki Rububiyah dan kau juga memiliki Rububiyah berdasarkan aturan hukum. Seperti yang ditegaskan rasul saw (Masing-masing diantara kalian adalah pemimpin, dan masing-masing pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya). Dia memiliki sifat Qidam (eternitas) dan kau juga memiliki sifat eternitas (Qidam) dengan I'tibar bahwa kau maujud (ada) dengan ilmu-Nya. Dan ilmu al Haq tidak dibatasi ruang dan waktu, Dia membentangkan segala milik-Nya dihadapanmu dan kau pasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Dia Sendiri (Tunggal) dalam keperkasaan dan kemuliaan, kau sendiri dalam kehinaan dan kelemahan. Maka hiduplah kau dengan aturan al Haq, nisbatkan dirimu kepada-Nya, hidupmu Dia yang mengatur bukan kau yang mengatur Dia, jika kau ingin hidup bahagia hiduplah bersama dan ikut al Haq.

Saya katakan kepada manusia asing tersebut: Ya Sayyidi (wahai junjunganku): Pada awalnya aku merasa kau dekatkan diriku kepada al Haq, namun diujung pengembaraan aku merasa kau jauhkan diriku dari Nya. Aku merasa kau tidak memberiku isi buah, kau hanya memberiku kulitnya saja, sebenarnya apa yang terjadi dengan laku ritualku? Ia menjawab : Aku sengaja turunkan dirimu ke dalam hukum perundang-undangan hikmah ketuhanan dan aku letakkan dirimu pada takaran neraca al Mudrika (daya persepsi) kemanusiaan, agar memudahkan dirimu menangkap pesan-pesan ketuhanan baik dari dekat maupun jauh, dengan cara seperti itu tidak akan menyulitkan dirimu menyibak dimensi rahasia-Nya. Saya katakan kepada insan asing itu : Bekali diriku dengan kearifan-kearifanmu agar aku bisa teguh meniti jalan Allah melalui cermin lakumu? Ia menjawab : Tatkala aku berada di al Qubbah al Zarqa'(Kubah Biru), aku menyimak seorang alim bertutur kepadaku tentang ciri-ciri burung Garuda, aku sangat antusias menyimaknya dan berharap bisa menangkap burung Garuda tersebut dalam genggaman tanganku. Aku katakan kepada insan alim itu : Tuan, mohon anda perjelas keterangan anda hingga aku bisa memahami ciri-ciri burung tersebut. Ia menjawab : Garuda itu benar-benar merupakan keajaiban hakiki dan seekor burung yang super unik, ia memiliki enam ratus sayap dan seribu ekor, sesuatu yang Haram (dilarang) baginya adalah Mubah (dibolehkan). Ia bernama Safah bin Safah, tertulis di sayap burung Garuda itu nama-nama al Haq yang Khusnah (bagus), citra huruf Ba' ada di kepalanya, huruf Alif di dadanya, huruf Jim di dahinya, huruf Ha' di kakinya, sedangkan huruf-huruf lain ada di matanya, ciri khusus burung Garuda itu di pergelangan kakinya terdapat al Khotim (cincin).

Saya berkata lagi kepada insan gharib tersebut : Tuanku, dimanakah sejatinya tempat burung tersebut? Ia menjawab : Burung itu berada dihamparan padang yang luas dan tempat-tempat kebaikan, manakala kau bisa memakrifahi ibarat-ibarat, metafor-metafor, simbol-simbol, berikut kau bisa menangkap isyarat-isyarat, itu berarti kau telah mampu melintas cakrawala bintang-bintang dan kau berhak bersanding dengan para malaikat. Aku berusaha mencari keajaiban yang disebut dengan Burung Garuda Emas tersebut, akan tetapi aku tidak bisa menemukannya dan aku tidak mendapati metafor-metafor keberadaanya, aku hanya bisa menemukan namanya namun tidak mampu menggapai sifat, ciri, karakteristik dan bentuknya. Manakala aku tanggalkan sifat-sifat (diriku) dan aku leburkan diriku dalam falak dzat, aku tenggelam di dasar samudera yang bernama al Bahirah, maka sayap-sayap Nun ku pun berdiri tegak mengantarkan diriku terbang diatas kampung al Maknun (yang tersimpan), aku terdampar di kampung asing tersebut, lantas tinggal di dalamnya beberapa saat tanpa bisa medengar dan melihat. Ketika aku buka mataku, aku terlepas dari pasung al Aina (dimana), aku menemukan isyarat-isyarat dalam diriku serta ibarat-ibarat itu hadir dalam diriku, tiba-tiba aku merasa memiliki sayap-sayap yang berhiaskan sanjung puji, aku dapati huruf Alif dan Jim di dadaku, huruf Ha' di dahiku, tidak ada rahasia yang tidak tersibakkan dihadapanku, semua ilmu dihadirkan pada diriku, akupun mengerti sejatinya diriku adalah manifestasi Diri Nya, ke Dia an Dia ada pada ke-aku-an diriku juga sebaliknya. Saat itu tampak nuqtah (titik) kesejatianNya, dan reduplah al Ghaltah (kesalahan), maka tampaklah metafor kehidupan insan-insan yang telah meninggal.

Saya bertanya lagi kepada insan gharib tersebut : Wahai tuan, apakah sejatinya yang disebut amar (perintah) yang tersembunyi dan piala yang tersimpan itu? Terangkan kepadaku dengan bahasa yang lugas, agar aku bisa memakrifahi kesejatiannya! Ia menjawab : Contoh-contoh ketinggian yang bisa diterima tataran akal logika yang melahirkan kontribusi (pengetahuan) akan kesejatian Diri Nya. Pengetahuan itu adalah untuk para hamba dan bukan untuk Diri Nya, contoh-contoh itu dihadirkan untuk meninggikan segala yang ada di alam al Asfal (rendahan). KalamNya ditujukan kepada penghuni alam rendah, semua contoh-contoh itu bersumber danNya. Jika para penghuni alam rendah bisa menangkap metafor, isyarat contoh-contoh ketinggian, berikut mengaplikasikan contoh-contoh itu dalam dirinya, maka ia akan terangkat ke alam ketinggian, tidak seperti Khimar (keledai) yang dianalogikan pesan Qur’ani sebagai hewan yang bebal dan dungu serta tidak mampu menangkap pesan-pesan tersirat dari contoh-contoh ketinggian yang ada. Maka sejatinya etos ketinggian itu bisa dihadirkan di alam rendah, terlebih nilai-nilai ketinggian itu bisa ditemukan karena ia maujud (ada) di alam as Suflah (rendah) ini. Karenanya ada stiqma pemikiran nilai-nilai ketinggian tidak akan bisa digapai, selama orang acuh dengan contoh-contoh ketinggian yang dihadirkan di alam rendah ini. Dan orang tidak akan pernah bisa menggapai nilai-nilai ketinggian selama ia tidak mampu menangkap Madluliyah (pesan tersirat) dari contoh-contoh yang ada. Karenanya ada yang berpendapat pesan tersirat itulah sejatinya inti contoh-Nya, jikalau orang seorang salah menginterpretasikan contoh-contoh ketinggian, hal itu tidak akan membuatnya terjerembab ke dalam liang kerendahan, karena ia adalah penghuni alam rendah. Ada pula yang berasumsi, contoh-contoh ketinggian itu sejatinya adalah pengumpul, jika orang itu salah menafsirkannya hal itu tidak akan menjadikannya keluar dari isim (nama) dan sifat Kamaliyah (kesempurnaan), jika keluar maka isim tersebut adalah sifat an Naqs (kurang) dan Ghalth (salah). Ada juga yang mengatakan contoh-contoh itu kisarannya hanya ada pada tataran tersurat bukan tersirat, jika orang itu salah menginterpretasikan pemaknaannya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, maka hal itu hanya berkisar pada masalah an Naqs (kurang).

Cobalah kau telisik dengan jeli, bukankah tempat pengumpulan itu berselimutkan isyarat dan sentra batasan ibarat? Atas dasar (pengumpulan) ini pula ada yang berpendapat : Kelemahan daya persepsi (al Idraak) dalam memahami inti (dzat)-Nya adalah logis, sebab penelisikan akan makna-makna tersirat bukan sekedar melalui wilayah logika, namun juga melalui kesucian dan ketajaman mata hati yang memiliki peran cukup signifikan dalam penyibakannya. Dalam hal ini peran logika hanya bersifat sekunder sedang ketajaman hati bersifat primer. Maka adalah tidak tepat jika label kelemahan itu harus disandangkan kepada para arif paripurna, kalaupun para arif itu memakzulkan kelemahan diri mereka, hal itu bukan karena lemahnya daya persepsi (al Idraak) mereka terhadap sesuatu, namun kelemahan mereka dalam mempersepsi sifat sesuatu dalam lanskap pemaknaan hakiki. Jika daya persepsi itu mampu menangkap secara utuh nilai-nilai hakiki, maka al Idraak semacam itu disebut sebagai al Idrak al Haqiqi (daya persepsi hakiki). Kawan agung dari negeri asing belahan timur itu menandaskan : Daya persepsi yang lemah atas suatu persepsi adalah Idrak (persepsi). Dalam riyawat lain disebutkan : Kelemahan daya persepsi atas suatu persepsi adalah persepsi. Dengan demikian persepsi itulah esensi permasalahanya (pokok tujuannya) bukan kelemahan daya persepsinya. Terkait dengan ini, esensi firman Qur'ani :

Dia tidak dapat capai oleh penglihatan mata. Q.s. al An'aam 6 : 103,

sejatinya adalah penglihatan mata kasat makhluk sedang penglihatan alKhafie al Qodiim (tersembunyi yang eternis) mampu melihat, jikalau mata al Haq itu dimanifestasikan pada diri seorang hamba, maka hamba tersebut bisa melihat kesejatian Diri Nya. Pada kondisi spiritual seperti itu sang hamba melihat dengan pandangan al Haq, Dia-lah esensi penglihatan makhluk-Nya. Pahami dengan seksama masalah ini!

Ketahuilah, bahwa tulisan-tulisan azimat merupakan qutub (poros) peredaran falak contoh-contoh ketinggian. Qutub ruh merupakan contoh pertama daripada tulisan-tulisan tersebut dengan ruh itulah terbangun citra nafs (jiwa) pada masing-masing insan, jika diri orang tidak ber-ruh, maka orang itu tidak layak dihukumi sebagai manusia, lebih dari itu jika orang tidak mampu memahami secara hakiki subtansi ruh dirinya, nicaya ia tidak memahami eksistensi dirinya, juga tidak memahami kententuan hukum-hukum­Nya, serta makna-makna tersirat dibalik metafora, isyarat-isyarat-Nya. Ruh, sejatinya ibarat kuas yang digoreskan pada kanvas dan lukisan yang lahir merupakan ekspresi jiwa sang penggores. Demikian pula dengan ruh, ia merupakan cermin diri. Wujud kasarmu (bentuk tubuhmu) adalah cerminan jiwamu dan jiwamu cerminan daripada ruhmu, jika tubuhmu tak berbentuk niscaya kau tidak bisa bercermin diri. Bagaimana mungkin kau bisa bercermin diri jika kau tidak berbentuk? Bercermin tidak harus di depan 'kaca'. Hakekat bercermin bukan untuk melihat bentuk kasat tubuhmu, akan tetapi memakrifahi eksistensi dirimu. Dengan cermin diri itulah, kau akan mengetahui adakah kau tetap eksis dalam kemanusiaan dirimu? Bergeserkah nilai dirimu dari fitrah penciptaanmu? Seperti halnya ketika kau bercermin didepan kaca, bentuk tubuhmu tidak berkurang atau lebih. Demikian halnya dengan cermin diri (mu), jika eksistensi ruhmu tetap eksis, ia tidak berkurang dan bertambah kecuali jika telah terkoptasi oleh sesuatu yang lain, seperti adanya dominasi nafsu dan pupusnya nilai-nilai keimanan dalam dirimu, kau akan dapati ruhmu tidak suci lagi dan nafs (jiwa)mu tidak lagi jernih.

Terkait dengan ini, kami telah paparkan secara detil dalam karya kami Qutub al 'Ajaib wa Falak al Gharaib. Dalam kitab itu kami paparkan ragam azimat, terutama tiga azimat utama yang merupakan simbol dari segala wujud. Kami akan coba mensyarah (memberi penjelasan) dalam karya Insaan Kaamil ini, hanya saja perlu kami tegaskan, mungkin anda (para pembaca) tidak akan bisa memahami penjelasan itu secara utuh jika anda belum membaca kitab kami Qutub al 'Ajaib wa Falak al Gharaib karena kitab tersebut merupakan induk, sedang kitab ini adalah cabang, kitab itu ibarat asal sedang kitab ini adalah cabang. Dalam kitab Qutub al Ajaib wa Falak al Gharaib kami lebih memfokuskan pada metafor-metafor, isyarat, paradoks ketuhanan, dan pelik wacana alam ketinggian dan alam semesta (makro kosmos), sedangkan kitab ini kami lebih fokuskan pada Manusia Sempurna yang merupakan inti daripada mikro kosmos bahkan alam semesta. Semua rahasia ketuhanan itu hanya bisa disibak melalui cerminan Insaan Kaamil, berikut warta-warta ketuhanan serta manifestasi nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya dalam segala wujud. Pada mulanya orang seorang dapat menyaksikan-Nya melalui manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Nya, lalu berkembang menuju penyaksian (Syuhud) inti (dzat)-Nya, melalui Dzauq al Wujdaan (intuisi). Perhatikan dengan seksama metafor yang kami pakai, agar anda bisa memaknai keterangan kami secara utuh.

Setiap at Thab'u (stempel) akan melahirkan bentuk (motif) sesuai dengan cetakannya, seperti jika bentuk stempel itu segi tiga akan keluar bentuk (gambar) segi tiga. Bisa jadi antara hasil stempel yang satu berbeda dengan hasil stempel yang lain, boleh jadi ada yang terlihat jelas hasilnya, bisa pula terlihat buram atau biasa, bahkan bisa jadi tulisan yang ada di stempel itu sudah usang, namun ketika dipakai menghasilkan bentuk (gambar) yang lebih jelas dari bentuk aslinya. Demikian pula dengan ragam tingkat spiritual para pelaku hakekat, diantara mereka ada yang berhasil dengan sempurna, ada yang sangat sempurna atau biasa-biasa saja dalam memakrifahi hakekat kesempurnaan, keindahan dan keperkasaan­Nya. Meski berangkat dari 'Satu Jalan' namun hasilnya beraneka ragam, tergantung keteguhan, keeksisan masing-masing pelakunya. Seperti hasil stempel yang dipakai menyetempel sebagai mana yang tersebut diatas. Kemudian dalam menyetempel itu sang pelaku bisa saja- menyetempel di sebelah kanan atau sebelah kiri, juga kebalikannya. Setali dua uang 'Arah Berlainan' seperti itu juga ada dalam wacana dunia hakekat dan merupakan wajah rahasia Ubudiyah dimensi Rububiyah (ketuhanan)Nya. Realita itu juga merupakan inti rahasia makna sebuah hadist, seperti yang dituturkan baginda rasul saw : Tatkala beliau diperjalankan dalam perjalanan agung (Mi'raj). Semua hijab (tirai penghalang) diberanguskan, sehingga tidak tersisa satu hijabpun yang menghalangi rasul saw, kecuali satu hijab saja. Ketika beliau hendak memberangus hijab tersebut, dikatakan kepada beliau : Berhentilah! Sesungguhnya Tuhanmu sedang shalat! Keadaan tersebut merupakan rahasia agung yang tidak akan pernah bisa dijangkau (disibak) kecuali dengan kesempurnaan yang berlandaskan isim (nama)-Nya yang al Kaamil (kesempurnaan). Para arif dan ahli hakekat ada yang mampu menjangkaunya, namun hanya sebatas jangkauan al Jamaal (keindahan), itupun sebatas keindahan kesempurnaan bukan keindahan mutlaq, bukan pula kesempurnaan keindahan. Sebagian para arif yang lain ada juga yang mampu menjangkaunya sebatas jangkauan al Jalaal (keperkasaan), namun hanya sebatas keperkasaan kesempurnaan, bukan keperkasaan mutlak, bukan pula kesempurnaan keperkasaan. Pahami dengan seksama masalah ini.!

(Pasal) Setiap sesuatu melahirkan organ (kumpulan), contoh-contoh ketinggian membuahkan kemuliaan, al Raqim (buku yang direkam) merekam kehinaan. Masing-masing berjalan sesuai garis edarnya secara indepeden, masing-masing melantunkan sanjung puji di falaknya. Manakala kau tanggalkan contoh-contoh ketinggian dari sifat-sifat al Raqim, hukum perundang-undangan contoh-contoh ketinggian akan tegak dalam dirimu, ketika kau kenakan sifat-sifat al Raqim dalam dirimu diantara contoh-contoh ketinggian yang ada, maka kau tidak akan bisa melihat rekaman buku tersebut, karena tertutup oleh sesuatu yang lain. Manakala kau nisbatkan inti (dzat) kepada salah satu diantara keduanya maka kau akan terhijabkan, jika kau nisbatkan inti (dzat) kepada dzat lainnya maka kau terjerembab ke dalam tindak penyekutuan. Jika kau campur inti (dzat) dengan al Raqim pada sesuatu yang terdapat pada contoh-contoh ketinggian maka dzat tersebut menjadi dzat yang tercampur, jika kau campur contoh-contoh ketinggian dengan sesuatu yang ada pada al Raqim maka hal itu dinamakan inti penurunan. Yang dimaksud dengan al Raqim (buku yang terekam) sejatinya adalah al 'Abd (hamba), sedangkan maksud daripada contoh-contoh ketinggian, sejatinya adalah Qutub (poros) keajaiban-keajaiban dan falak keanehan-keanehan, adapun yang dimaksud dengan inti (dzat) adalah kitab ini, yang kami beri judul Insan Kaamil.

(Pasal) al Ahadiyah (ke-Esa-an), menandakan ketiadaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta Atsaar (bekas-bekas)nya pun pengaruh-pengaruhnya. al Wahidiyah (ke-Tunggal-an) menandakan fana'(kesirnaan) semesta alam dihadapan inti ke-baqa'-an Diri Nya, serta ke-kekal-an alam dihadapan inti kefana'annya. al Izzah (kemuliaan), menandakan pendorong (motivator) yang mempertemukan antara al Haq dengan makhluk, al Qoyyumiyah (berdiri sendiri), menandakan terealisirnya pertemuan secara valid (shahih) antara Allah Jallah Jalaalah dengan hamba-Nya, sebab esensi al Qayyum adalah yang berdiri sendiri dan mendirikan (menegakkan) lainnya. Kongklusi dari ibarat-ibarat tersebut dapat disimpulkan : Tajalli (manifestasi) al Ahadiyah (ke-Esa-an) terpaparkan dalam isim (nama) dan sifat. Tajalli al Wahidiyah (ke-Tunggal-an) terpaparkan dalam makhluk (ciptaan) untuk media penampakkan kekuasaan-Nya dalam setiap citra Maujudaat (segala yang wujud). Manifestasi (tajalli) Rububiyah (ketuhanan) terpapar dalam makhluk (ciptaan) dan eksistensi al Haq, sejalan dengan adanya wujud al Haq dan wujud makhluk. Tajalli Uluhiyah (ketuhanan), terpaparkan dalam wujud al Haq dan pencitraan Diri Nya pada makhluk-Nya berikut makhluk (ciptaan)-Nya dalam citra al Haq. Tajalli al Izzah (kemuliaan) terpaparkan dalam nisbat diantara al Haq dengan hamba-Nya. Tajalli al Qoyyumiyah terpaparkan dalam wujud al Marbub (yang diatur) karena adanya wujud sifat-sifat Rabb Maha Pengatur berikut kemestian (kelaziman) adanya wujud sifat-sifat Rabb (Tuhan), dengan adanya wujud sifat-sifat al Marbub (yang diatur). Esensinya, bahwa nama-nama-Nya yang Dhahir (jelas penampakkannya) merupakan inti segala wujud, sedang nana-nama-Nya yang batin (gaib tidak tampak) sejatinya Dia adalah kebalikannya (lawan daripadanya), yakni apa yang ada di benak pikiran, asumsi, prediksi, imajinasi anda tentang al Haq, Dia adalah kebalikannya.

Sudah Edit 1. Dzat

Ketahuilah, bahwasanya dzat mutlaq itu sejatinya adalah sesuatu yang disandarkan kepadanya nama-nama dan sifat-sifat yang berdasarkan inti (dzat)nya, bukan berdasarkan wujudnya. Masing-masing isim (nama) atau sifat yang disandarkan kepada sesuatu, maka sesuatu tersebut sejatinya adalah inti (dzat)-nya, baik sesuatu yang Maujud (ada) maupun sesuatu yang tidak ada wujudnya semisal burung Garuda Emas. Ada (maujud) itu sendiri terbagi atas dua bagian :

1. Maujud Murni, yaitu dzat Allah Jallah Jalaalah.

2. Maujud Suplementasi dari Adam (ketiadaan), yaitu dzat segenap makhluk.

Ketahuilah, bahwasanya dzat Allah Jallah Jalaalah ibarat Diri Nya, yang Dia bersama dzat tersebut Maujud (ada) karena Dia berdiri sendiri. Dia adalah dzat yang berhak atas nama-nama dan sifat-sifat serta Hawiyah (ke-Dia-an), yang dengan itu Dia mencitrakan Diri Nya dalam segala citra pada setiap wujud. Dia bersifat dengan segala sifat sejalan dengan kebutuhan sesuatu yang menghajatkan pensifatan. Wujud-Nya berhak atas segala Isim (nama) yang menunjukkan kepada pemahaman (pengertian) al Kamaal (kesempurnaan) eksistensi-Nya. Hakekat kesempurnaan­Nya adalah tidak berakhiran dan tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata (Yudraak).   Maka hukum bahwa hakekat kesempurnaan-Nya tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala sesuatu adalah berdasarkan hukum kemustahilan bahwa Dia memiliki sifat al Jahl (bodoh). Perhatikan dengan penuh seksama masalah ini!

Ketahuilah bahwasanya Dzatullah (dzat al Haq) adalah Ghaib al Ahadiyah (gaib dalam ke-Esa-an), setiap ibarat yang dipresentasikan kepada-Nya tidak akan mencakup (menyentuh) pemaknaan yang utuh karena wajah-wajah ibarat memiliki multi persepsi. Maka hakekat kesempurnaan-Nya dan kesejatian Diri Nya yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata adalah berlanskapkan pemahaman Ibarat, adapun dalam lanskap pemahaman Isyarat, pada realitanya tidaklah demikian, sebab sesuatu hanya bisa dipahami sejalan dengan akurasi, kelaziman, kepatutan, kesesuaian atau dengan sesuatu yang berlawanan dengannya. Inti (dzat)-Nya sama sekali tidak ada kesamaan, keserupaan atau berlawanan dengan segala wujud ciptaan-Nya. Dia tidak terkait dengan istilah-istilah (idiom-idiom) yang sering dipakai manusia. Dia tidak ada satupun daripada makhluk-Nya yang bisa mencapai-Nya dengan penglihatan mata. Al Mutakallim (insan yang berbicara) tentang inti (dzat) al Haq akan diam, insan yang bergerak akan berhenti, insan yang melihat akan terpejam. Dia bisa dipersepsi dengan akal dan pemahaman namun daya persepsi (al Idrak) yang lahir dari akal dan pemahaman sangat terbatas jangkauannya, persepsi logika tidak akan pernah menyentuh kesejatian Diri.Nya. Dia tidak terkait dengan pelik pengetahuan yang berdimensi Huduts (baru, adanya karena diadakan), serta dimensi Qodim (adanya tidak didahului oleh sesuatu), Dia tidak dikumpulkan oleh kelembutan yang terbatas dan keagungan terbatas.

Ahli ke-Qudus-an terbang ke cakrawala ketinggian, ia melantunkan sanjung puji universal, ia gaib dari alam realitas, ia sirna bersama nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam buaian hakekat. Kemudian terbang melintasi awan al 'Adam (ketiadaan), setelah menempuh batas al Huduts dan al Qidam ia dapati dzat Wajib al Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendiri-Nya), yang tidak tampak wujud-Nya dan tidak gaib dalam ketidaktampakkan-Nya. Ketika ahli ke-Qudus-an itu meminta kembali ke alam penciptaan ia meminta raihan tanda-tanda, maka dituliskan tanda-tanda itu pada sayap Merpati: Amma Ba 'd (adapun selanjutnya) sesungguhnya engkau wahai tulisan-tulisan azimat tidak memiliki dzat, tidak bernama, tidak berbentuk, tidak ada naungan, tidak ber-ruh, tidak berbadan, tidak bersifat dan tidak disifati, tidak bertanda. Bagimu wujud dan 'adam (ketiadaan), bagimu Huduts dan Qidam. Ditiadakan inti (dzat)mu, diadakan nafs (jiwa)mu, diketahui nikmatmu, dihilangkan dengan jenismu, engkau sepertinya tidak dicipta melainkan untuk dijadikan tolak ukur, keberadaanmu tidak dimaksudkan, melainkan untuk al Ahbar (warta berita). Kehadiranmu tidak ditujukan, melainkan untuk bukti otentik akan inti (dzat)-mu, dengan ujaran bahasamu yang jelas dan terang. Dan kami dapati dirimu, Hayyan (Yang hidup). 'Aaliman (Yang berpengetahuan). Qoodiran (Yang berkuasa). Muuridan (Yang berkemauan). Samii'an (Yang mendengar) Bashiiran (Yang melihat). Mutakalliman (Yang berbicara), dirimu bersemaikan al Jamaal (keindahan) dan al Jalaal (keperkasaan), dirimu berselimutkan al Kamaal (kesempurnaan), adapun pencitraan segala wujud dengan selain dirimu, maka hal itu tidak akan pernah terjadi, sedang kebaikanmu yang melegenda benar-benar telah sempurna. Sejatinya al Mukhaatib (mitra bicara) dalam audensi ini bukanlah tulisan-tulisan azimat, akan tetapi anda dan saya. Sungguh sangat disayangkan orang yang tidak mencermati (menelisik) arah pembicaraan ini!

Kemudian dituliskan pada sayap burung hijau dengan pena bertinta merah. Amma Ba'd (adapun selanjutnya) sesungguhnya kebesaran adalah api dan ilmu adalah air, kekuatan adalah udara dan hikmah adalah debu, semuanya merupakan unsur-unsur untuk menggapai Jauhar (entitas) kami yang tunggal. Jauhar itu sendiri memiliki dua 'arad (aksiden), pertama azali, kedua abadi, ia memiliki dua pensifatan, pertama al Haq, kedua makhluk. Ia memiliki na'at (sifat), pertama Qidam, kedua Huduts. Ia memiliki dua isim (nama), pertama Rabb (Tuhan), kedua Abd (hamba). Ia memiliki dua wajah, lahir yang sejatinya adalah dunia dan batin sejatinya adalah akhirat. Ia memiliki dua hukum, pertama wajib, kedua mungkin. Ia memiliki dua I'tibar. Pertama dirinya ghaib (tak tampak) jikalau yang lain maujud (ada). Kedua, jika yang lain tidak ada dirinya maujud (ada). Ia memiliki dua makrifat pertama Ijabi (positif) awal, kedua Salaabi (negasi) akhir, kedua, Salaab (negasi) awal dan Ijab (positif) akhir. Ia memiliki nuqta (titik) untuk kesepahaman (sesuatu) yang terdapat al Ghalthah (kesalahan), dan ibarat-ibarat yang berkaitan dengan makna-maknanya yang tereduksi, isyarat-isyarat yang makna-maknanya diputarbalikkan. Maka sungguh berhati-hatilah wahai insan yang terbang (ahli kequdusan) untuk menjaga kitab ini, yang tidak banyak dibaca orang. Dan ahli kequdusan itu senantiasa eksis terbang di cakrawala ini dan ia tetap hidup meski kematian telah menjemputnya, ia tetap kekal meski kehancuran menerpa alam semesta sampai sayap-sayapnya dikumpulkan. Penglihatannya mampu bermukasyafah, ia dapat memakrifahi dirinya, ia akan bersanding dengan insan-insan yang telah menggapai maqom sepertinya, ia tenggelam kedasar samuderah makrifat, dahaganya tidak pernah terpuaskan dengan regukan-regukan kesejatian makrifah. Ia menemukan kesempurnaan mutlak yang terlanskapkan dalam diri dan inti (dzat)-Nya, ia lebur sifat dirinya, ia hiasi dirinya dengan nama-nama inti (dzat) dan sifat-sifat hakiki. Ia tidak memiliki hasrat beredar dalam hukum keselarasan dan perbedaan, ia tetap teguh mengeksiskan diri dengan sifat-sifat hakiki. Ia tidak memiliki kesempurnaan permanen, rotasi kesempurnaannya terus beredar di tempat dan alamnya.

Ia berotasi pada kedudukan dan pengetahuannya, ia temukan purnama kesempurnaan pada dirinya, ia tidak mampu mencegah gerhana mataharinya, ia bergeming atas segala sesuatu namun sejatinya ia memakrifahi sesuatu tersebut. Ia hengkang dari suatu tempat namun sejatinya ia tetap eksis ditempat tersebut, ia menebar perkataan tanpa menggerakkan lisan untuk bicara, ia berdiri tegak tanpa membuat yang lain kaget. Ia taburkan pengetahuan tanpa mempresentasikan keterangan-keterangan, ia mendekatkan sesuatu yang paling jauh menjadi yang paling dekat. Huruf-hurufnya tidak terbaca, makna-maknanya tidak terfahami dan terketahui, diatas huruf-huruf itu ada nuqta (titik) estimasi yang beredar mengitarinya, ia memiliki gugusan yang berbentuk bulat bundar diatasnya terdapat nuqta (titik) gugusan tersebut, titik itu bagian daripada gugusan-gugusan huruf juga. Masing-masing huruf tersusun dengan struktur masing-masing, berdiri dengan eksistensi inti (dzat)nya, kejelasan huruf-huruf itu ibarat cahaya, gelap ibarat ketiadaan huruf-huruf tersebut. Ma'qulah (rasionalitas wujud) ini tidak akan menyentuh hakekat inti (dzat) ketinggian, masing-masing huruf bisa diucapkan melalui lisan, durasi waktunya bisa dipersempit, ucapan-ucapannya bisa disimak tanpa huruf. Maha Suci al Haq, Tuhan Yang Maha Agung segala urusan-Nya, Maha Tinggi kekuasaan-Nya, Maha Mulia keberadaan-Nya.

Belum Edit Syair-syair al-Jily

Semu liputan warta-warta 'ketuhanan' universal dan parsial Bermuara kepada zat DiriMu. Wahai Penggenggam sifat-sifatNya. Tampak jelas wajahMu, meliputi zat segenap realitas wujud Namun demikian, zat DiriMu tidak terjangkau di alam realitas ini. Sungguh sangat merugi orang yang pongah terhadap Tajalli Mu Ia akan terpasung dalam kebodohan dan keragu-raguan tak bertepi.

Sangat Mulia sentuhan penglihatanNya, sangat gaib alam-alamNya

Tampak jelas bentuk hukumanNya, Maha Melindungi penyembahNya Tidak ada satu matapun mampu melihatNya, atau logika menakarNya Mereka yang membuatNya kecewa, tidak akan disemai sifat-sifatNya

Mereka yang tidak mengambil Ibrah, tidak akan menemukan isyaratNya

Qalbu yang tidak disemarakkan petunjukNya, akan rapuh dan runtuh Hati yang keruh, meski berkedudukan, tidak akan meraih keluhuran ruh Mereka yang menerjang larangan-laranganNya, mustahil bisa mulia.

Tidak ada inti penglihatan, ilmu pengetahuan, warta-warta ketuhanan

Dan segenap jejak 'laku' kehidupan yang luput dari penglihatanNya. Poros bintang Tajalli zat Mu tampak jelas, laksana matahari cintaMu Mereka yang ragu akan 'waras' jika mengerti keAgungan TajalliMu

Banyak sketsa hidup yang tersurat dan tersirat di altar kehidupan ini.

Ruh luhur, menangkap semua rahasia wujudNya di semua dimensi. Jiwa yang buruk dan ruh yang nista, hanya melahirkan kebinasaan. Nurani yang mati, adalah kematian meski denyut nadinya bergerak.

Inti zat DiriNya, tampak pada segala kemurnian realitas segala wujud

Hanya manusia-manusia pongah yang tidak mampu melihat DiriNya Penafi manivestasi zat DiriNya di alam realitas ini adalah bodoh. Metafora penampakkanNya terlihat jelas dan terang benderang

Jangan merasa tenang dan Nyaman, bila terjerembab prilaku haram

Jika dirimu benar-benar manusia berpetunjukNya, tentu akan resah Sungguh sangat naif, melumuri laku keta'atan dengan prilaku buruk Zat Yang Maha Suci, tidak akan 'tersentuh' kecuali dengan kesucian

Sungguh celaka, melumuri Zat Yang Maha Suci dengan selain DiriNya.

Akankah kau menyerupakan DiriNya dengan sesuatu yang tidak laik Gelombang KuasaNya, akan menerjang insan-insan yang terperdaya Api siksaNya, akan melahap, mereka yang mencintai selain DiriNya

Jika kau ingin mengerti inti zatNya, maka sirnakan sifat 'manusia'mu.

Jika kau sengaja menafikan inti zatNya, tampakkan kisi manusiamu Rahasia batinku adalah inginNya, ruh suciku sabung nyawaNya.

Hatiku zona landasanNya, tubuhku adalah pelayan Diri Nya. Wujud kebodohanku, adalah menakar zatNya dengan logikaku Bohong besar, mereka yang mengaku ngerti zatNya dengan logika Kubur nalar logikamu, tajamkan mata hatimu 'membaca' zatNya.

Jika rahasia batinmu, mampu 'melihat' DiriNya, maka rahasiakan

Simpan Sirr-mu saat bergerak meluhur, renungkan saat merendah Jika Sirr-mu melenceng maka luruskan. Akan tegak laku dirimu Cerahkan Sirr-mu dengan tidak menyerupakanNya dengan mahluk.

Jernihkan tubuhmu dengan membuang sauh-sauh pelik duniawi.

Warta-warta ketuhananNya, akan ditaburkan jika dirimu suci

Kasih PetunjukNya akan terhampar luas di altar 'laku' ibadah mu Kebodohan, melahirkan ilmu, perang melahirkan perdamaian

Kedzaliman melahirkan keadilan, maksiat melahirkan keta'atan.

Tangis kesadaranku melahirkan empatiNya, dan kebangkitan hatiku Harapanku menenggelamkan diriku kedalam ketentuan taqdirNya Belitan hidup yang menerpaku, memahamkan diriku akan DiriNya Aku melihat kasihNya dalam musibah yang menghampiri hidupk Kadangkala aku melalaikanNya, kadang aku membutuhkanNya.

Aku sering menjauhiNya, juga tidak pernah berhenti memohonNya

Aku jamak memutuskan DiriNya, kadangkala menyambungNya Kadangkala berjuang untukNya, juga jamak memusuhi DiriNya Jika kau menjerembabkan dirimu ke dalam kemurkaan DiriNya Jangan mengeluh, apabila kasih pertolonganNya jauh dari dirimu Sungguh sangat nista orang yang mengerti, namun mengingkari

Zat dan Sifat keluhuranNya tampak di pelupuk mata setiap insan.

Tajalli zatNya laksana sinar matahari yang menerangi alam ini. Membangkitkan hati dan menyapa nurani insan-insan berakal. Dua kutub berlawanan saling bertemu dan saling mengamini.

Bahwa hati yang buta akan Tajalli zatNya di alam ini adalah pongah Dua bola mata yang tidak mampu melihat pandangan jelas

Selamanya tidak akan bisa menembus penglihatan yang terang.

Hati yang buta penampakkanNya adalah racun yang mematikan intuisi Samudera pemisah, yang menyirnakan gelombang penyikapan intuisi

Zat Yang Hidup bagi yang berhati hidup dan tiada duka nestapa Zat Yang Maha Luhur, yang pintu kasihNya terbuka lebar-lebar. Siapa yang bisa lepas dari pantauan Allah dan penglihatanNya? PenglihatanNya meliputi segala sesuatu yang tak terlihat mahluk Andai warta-warta rahasia langit dilepas bebas dari pangkalannya Logika manusia paling jenius, tidak akan mampu menyingkapnya

 Sudah Edit 2. Isim (Nama) Mutlak

Isim (nama) sejatinya adalah sesuatu (kata) yang membantu melahirkan pengertian (pendefinisian) sesuatu (objek) yang dinamai, mencitrakannya dalam imajinasi, menghadirkannya dalam estimasi, mempolanya dalam berpikir (logika), menjaga (memelihara)nya dalam ingatan, menjadikannya ada dalam akal, baik sesuatu yang dinamai tersebut maujud (ada) maupun Ma'dum (tidak ada), hadir maupun gaib. Maka awal Kamaliyah (kesempurnaan) untuk berkenalan dengan al Musamma (objek yang dinamai) adalah mengenali eksistensi nama-nama Diri Nya. Jika kesejatian nama-Nya dapat dimakrifahi. Penisbatannya ke al Musamma adalah nisbat lahir dari batin, Dia dengan I'tibar seperti ini adalah 'ain (inti) al Musamma. Diantara sesuatu yang dinamai (al Musammiyaat) ada yang Ma'dum (tidak ada) eksistensinya maujud (ada) isimnya semisal burung Garuda Emas. Secara terminologi eksistensi burung Garuda Emas hakekatnya tidak ada, namun maujud (ada) isimnya, pameo burung tersebut telah mewacana dalam kehidupan ini meski sejatinya tidak ada. Meski Ma'dum kita bisa menggali hikmah yang ada dibalik realita wacana tersebut yakni: Kita mengetahui sifat-sifat yang terkait dengan nama (burung) itu, meski pada kenyataannya wujud burung itu tidak ada, kita juga mengetahui sifat yang terkait dengan inti (dzat) nama tersebut, yang tidak lain adalah nama yang Ghair al Musamma (tidak dinamakan) dengan penta'biran seperti itu burung Garuda Emas dalam lanskap terminologis berarti sesuatu yang gharib (aneh) dari tataran logika dan wacana pemikiran, digambarkan dalam struktur khusus yang keagungannya tak berbandingkan. Nama itu sendiri tidak terkait dengan tataran hukum, sebab makna dari nama (pameo) yang ada lebih bersifat kulli (universal) dalam takaran nalar logika, namun maknanya masih dalam kisaran logika guna menjaga eksistensi dan kedudukannya dalam wujud agar tidak sirna. Dengan demikian kita bisa menganalogikan bahwa wujud (pameo) dengan inti (dzat)nya ada dalam tataran hukum, ia merupakan media dan Thariqah (jalan) untuk memakrifahi (memahami) sesuatu yang ternamakan atau dinamai.

Maka berhati-hatilah dalam menganalogikan makna nama (mutlak), serta jangan menari-nari dibawah kaki logika dalam memaknai nama (mutlak), karena hal itu akan menjerembabkan anda ke dalam kekufuran. Telisik dengan penuh kearifan nama yang anda simak, tafakkuri pesan tersiratnya, cari Madzluliyah (makna tersiramnya. Jernihkan logika anda seperti yang anda ketahui, nama burung Garuda Emas adalah sebuah nama yang wujudnya tidak ada. Lain halnya dengan nama Allah adalah nama mutlak al Haq, wujud Diri Nya Ghaib, namun Dia Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendiri-Nya). Burung Garuda Emas wujudnya diasumsikan maujud (ada) karena adanya nama, berbeda dengan nama Allah meski wujud-Nya tidak bisa capai dengan penglihatan mata kasat, namun eksistensi-Nya adalah Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Demikian pula dengan sifat-sifat Garuda Emas itu bisa pula diketahui karena adanya nama yang melabeli burung tersebut, walau hakekat wujudnya sama sekali tidak ada. Maka seperti itulah kiranya anda bersemantis logika dalam memahami subtansi nama mutlak al Haq, anda tidak akan bisa Wushul (sambung) kepada-Nya melainkan dengan memahami nama mutlak-Nya. Patrikan dalam diri anda bahwa untuk memakrifahi (memahami) Allah, tidak ada Thariqah (jalan) menuju-Nya kecuali dengan tempuhan jalan nama-nama Nya dan sifat-sifat Nya, sebab semua nama-nama dan sifat-sifat al Haq berada dibawah nama Allah ini. Orang tidak akan pernah Wishal (sampai) kepada hakekat nama mutlak-Nya, kecuali dengan tangga nama-nama dan sifat-sifat-Nya, esensinya untuk wushul (tersambungkan) kepada kesejatian Allah hanya bisa digapai dengan nama mutlak ini!

Ketahuilah, bahwasanya nama mutlak ini akan menghasilkan wujud beserta hakekatnya, dengan nama mutlak mi pula jalan menuju Allah sangat jelas, nama Allah merupakan cincin kesempurnaan makna insaniyah (manusia), dengan nama ini tersambungkan antara manusia yang dirahmati dengan al Rahman (Maha Pemurah). Barang siapa melihat pahatan cincin al Kamal (kesempurnaan) sejatinya ia telah bersama Allah dengan isim (nama), barang siapa yang mampu mengekspresikan pahatan-pahatan (ukiran cincin) tersebut sejatinya ia telah bersama Allah dengan sifat-sifat. Barang siapa yang memecahkan cincin maka ia telah melintas batas sifat dan isim (nama), pada tahap ini sejatinya ia bersama Allah dengan inti (dzat)-Nya, ia tidak terhijabkan dari sifat-sifat-Nya. Orang yang mampu memakrifahi nama mutlak-Nya akan tegak sendi-sendi kemanusiaan dirinya, akan eksis nilai-nilai ketuhanan dalam dirinya. Dengan nama ini pula al Haq akan menyibakkan rahasia-Nya dan mengeluarkan al Kanz (pundi-pundi) yang terpendam yang tersimpan rapi di dasar samudera rahasia kegaiban Diri Nya.

Ketahuilah, bahwasanya al Haq menjadikan nama (Allah) ini sebagai cermin bagi segenap manusia, jika insan tersebut menghadapkan wajahnya ke arah cermin (Allah), ia akan mengetahui hakekat Adalah Allah, tidak ada sesuatupun bersama­Nya, pada tahap ini ia mendapat Kasyf (pengetauan intuitif), bahwasanya pendengarannya adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah penglihatan Allah, pembicaraannya adalah pembicaraan Allah, kehidupannya adalah kehidupan Allah, pengetahuannya adalah pengetahuan Allah, kehendaknya adalah kehendak Allah, kekuasaannya adalah kekuasaan Allah, semua itu berdasarakan ketersambungan. Pada tingkat spiritual ini ia akan mengetahui bahwa segala sesuatu ternisbatkan kepada al Haq, baik dengan cara lugas maupun Majaz (kiasan) melalui jalan kekuasaan hakiki-Nya. al Haq berfirman :

Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu berbuat. Q.s. ash Shaffaat 37 : 96,

dalam ayat lain Dia berfirman :

Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala dan kamu membuat dusta. Q.s. al Ankabuut 29 : 17.

Maka sesuatu yang mereka karya laksana sesuatu yang diciptakan Allah, dan ciptaan tersebut dinisbatkan kepada mereka secara lugas dan Majaz, namun sejatinya karya tersebut tercipta dengan jalan kesejatian Mulkuhu (kekuasaan)-Nya.

Dan orang yang melihat wajahnya di cermin isim mutlak ini akan mendapat ilmu (pengetahuan) Dzauq (intuisi), ia juga mendapatkan ilmu Tauhid dan ilmu al Wahidiyah (ke-Esa-an).

Orang yang mendapat Syuhud (penyaksian) ini doa-doanya terkabulkan, harapan-harapannya terealisasikan, jika ia mendoakan seseorang akan diterima oleh-Nya, ia menjadi media penampakkan untuk nama-Nya (Allah). Kemudian ketika tingkat spiritualnya meningkat dari noda sifat ketiadaan berganti kepada Tim (pengetahuan) akan wujud yang wajib, al Haq mensucikan orang itu dengan penampakkan Qidam (eternitas) dari keburukan Huduts (kebaruan), pada nuqtah (titik) inilah orang itu menjadi cermin bagi nama-Nya (Allah). Ia pada saat itu bersama isim mutlak laksana dua cermin yang saling berhadap-hadapan satu sama lain mendapati dirinya. Orang yang mampu menggapai maqom (tingkat spiritual) ini doanya dikabulkan al Haq, semua permintaannya dijawab oleh-Nya, semua harapannya direalisir oleh-Nya. al Haq marah karena kemarahan insan tersebut, Dia ridha jika insan itu ridha, kemarahan dan keridhaan al Haq adalah sejalan dengan kemarahan dan keridhaan hamba tersebut. Orang itu akan menjadi kampium dalam ilmu Tauhid dan Ahadiyah (ke-Esa-an), juga ilmu-ilmu lainnya. Antara Syuhud (penyaksian) ini dan Tajalli (manifestasi) inti (dzat) ada kelembutan-Nya, yaitu sang pelaku kesakisan (asy Syaahid) mampu membaca al Furqan (keterangan yang membedakan antara yang hak dan yang batil) dengan sendirinya. Sedang sang penggapai inti (dzat)-Nya mampu membaca semua kitab yang diturunkan al Haq baik yang tersurat maupun yang tersirat. Perhatikan dengan seksama masalah ini!

Ketahuilah, bahwasanya nama mutlak ini adalah Huyuli (benda pertama) kesempurnaan universal, tidak ada satu kesempurnaanpun melainkan dibawah falak nama mutlak ini. Karenanya kesempurnaan al Haq tidak berakhiran dan tidak akan pernah habis, sebab setiap kesempurnaan ditampilkan al Haq dari Diri Nya. Sesungguhnya kesempurnaan al Haq yang ada dalam dimensi kegaiban jauh lebih agung dibandingkan dengan apa yang ada pada alam realitas ini. Tidak ada jalan untuk menggapai muara kesempurnaan al Haq, melainkan dengan mengeksiskan ketersambungan (wushul) dan kedekatan (al Qurb) serta kebersamaan dengan-Nya. Berikut senantiasa menghadirkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya dalam diri secara kontinu. Demikian pula dengan Huyuli (benda pertama) yang ada dalam takaran logika, tidak ada jalan untuk menyingkap segenap citra-Nya melainkan dengan menghadirkan citra-citra Huyuli ke dalam logika dan Aql al Bashirah (ketajaman mata hati). Tidak ada kemustahilan bagi daya persepsi untuk menjangkau Huyuli (benda pertama) dengan segala pencitraannya. Kalau realita tersebut terjadi pada makhluk lantas bagaimana dengan al Haq Yang Maha Besar dan Maha Tinggi? Orang yang telah berhasil menangkap tajalli al Haq dalam manifestasi ini ia akan berkata : Daya persepsi yang lemah akan suatu persepsi adalah persepsi. Barang siapa yang diperlihatkan kepadanya manifestasi al Haq, Dia akan tertajallikan pada dirinya, ia akan memakrifahi makna inti (dzat) Allah dari sisi ilmu-Nya, juga memakrifahi inti dzat-Nya dalam lanskap hakekat. Ia tidak akan berkata lemah dalam daya persepsi tidak pula menafikan persepsi itu sendiri, pada tahap ini tingkat spiritualnya adalah maqom yang tidak mungkin dita'birkan karena ia merupakan maqom penyaksian tertinggi akan kesejatian Allah. Maka berusahalah anda mencari dan menggapainya jangan sampai anda lengah dan pongah untuk menggapai kesejatian-Nya. Ketahuilah, bahwasanya al Haq menjadikan nama mutlak ini Huyuli (benda pertama) kesempurnaan citra makna-makna ketuhanan. Dan setiap manifestasi al Haq yang untuk Diri Nya dalam Diri Nya termasuk dalam liputan naungan isim (nama) ini, kecuali al Dhulmah (kegelapan) mutlak yang dinamakan batin dzat dalam dzat. Nama mutlak (Allah) ini merupakan cahaya kegelapan mutlak tersebut, dengan nama ini orang-orang yang dalam kegelapan akan tersinari cahaya-Nya, dengan nama ini pula para makhluk akan Wishal (sampai) kepada makrifah al Haq, yang dalam istilah ahli ilmu kalam disebut Tim (pengetahuan) akan inti (dzat) yang memiliki Uluhiyah (ketuhanan).

Ada banyak pendapat di kalangan para alim perihal esensi nama mutlak ini. Diantara mereka ada yang berkata nama Allah adalah Jaamid tidak Mustaq (derivatif), sebagian yang lain mengatakan, nama Allah adalah Mustaq (derivatif) dari Alah yang berarti (cinta), yakni kecintaan segala yang ada (ciptaan), berubudiyah kepada-Nya dengan kehususan sendiri-sendiri, berjalan dengan Iradah (kehendak)-Nya, rasa rendah dihadapan keagungan kemuliaan-Nya. Alam dan isinya alam merupakan manifestasi Diri Nya, semua yang ada di semesta alam ini berjalan dengan kehendak Diri Nya, yang terlanskapkan dalam ke-Dia-an Dia dan ke-Aku-an Diri Nya. Manakala Dia memanifestasikan Diri Nya kepada ciptaan yang dikehendaki-Nya, maka ciptaan itu akan tergerak mencintai ibadah dan ubudiyah kepada al Haq, seperti halnya besi yang tergerak karena tarikan magnet. Kecintaan alam dan isinya alam berubudiyah kepada-Nya terlanskapkan dalam tasbih (sanjung puji) yang tidak semuanya bisa memahami. Isinya alam juga memiliki puji sanjung kedua yaitu kesiapannya menerima penampakkan al Haq dalam dirinya, sedang puji sanjung ketiga isinya alam adalah, penampakkan dirinya dalam diri al Haq dengan nama makhluk. Ragam (wajah) puji sanjung isinya alam dan alam semesta kepada Allah sangatlah banyak, masing-masing isinya alam memiliki puji sanjung khusus dengan masing-masing asma-asma Allah sejalan dengan nilai-nilai ketuhanan-Nya. Semua wajah puji sanjung itu berasal dari satu lisan satu waktu, itu artinya satu lisan dalam satu waktu melantunkan mega dan mutli tasbih (sanjung pujian) yang jumlahnya tidak terhingga. Setiap wujud dari Maujudaat (segenap wujud) melantunkan tasbih (sanjung puji) kepada al Haq, adapun argumentasi mereka yang mengatakan nama (Allah) ini mustaq (derivatif) dari kata (Alah) -cinta dan yang dicinta- jika nama itu jamid (non-derivatif) niscaya tidak bisa dipisah. Mereka juga menandaskan, bahwasanya nama mutlak ini asal katanya Alah lalu menjadi idiom sesembahan, karenanya dimasukkan kedalam kata Alah huruf Laam. At Ta'rif (pengenalan)lalu Alif yang ditengahnya disembunyikan, karena galibnya pemakaian maka jadilah kata Allah. Ada banyak pendapat dan pemikiran perihal nama Allah ini dari para pakar bahasa Arab, kita tidak perlu mengupas perselisihan pendapat mereka, kita cukupkan sampai disini.

Ketahuilah bahwa isim mutlak ini terdiri atas lima huruf (Khumasiy), karena huruf Alif sebelum Ha' tetap dalam lafadz dan tidak harus dinafikan, meski tidak termuat dalam tulisan, sebab lafadz dalam grametika bahasa lebih dominan dibandingkan tulisan. Ketahuilah bahwasanya Alif pertama ibarat Ahadiyah (ke-Esa-an), segala sesuatu yang wujud pasti akan binasa, tidak ada satupun wajah segala yang wujud baqa' (kekal), itulah sejatinya makna firman Qur’ani : Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. Q.s. al Qoshoshos 28 : 88, yakni wajah-wajah selain al Haq pasti akan binasa, demikian esensi Ahadiyah (ke-Esa-an) Allah. Ke-Esa-an al Haq memiliki hukum yang tidak terikat dengan al Katsrah (sesuatu yang banyak). Patrikan dalam benak anda bahwa Ahadiyah merupakan awal tajalli (manifestasi) inti (dzat)-Nya, dalam diri Nya, untuk diri Nya dan dengan diri Nya. Huruf Alif yang ada di awal nama mutlak ini terpisah, berdiri sendiri dan tidak terkait huruf-huruf lain, merupakan sebuah Tambih (peringatan) bahwasanya ke-Esa-an al Haq tidak terkait dengan sifat-sifat-Nya dan penyifatan makhluk-Nya, ia merupakan ke-Esa-an murni yang tidak tereduksi dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, pengaruh-pengaruhNya dan makhluk-makhluk-Nya. Ada metafora yang terhamparkan dalam huruf Alif, Laam dan Faa'. Alif menunjukkan kesatuan dari yang banyak, Laam menunjukkan sifat Qodiim (eternitas), memakrifahinya akan menuntun kepada pengetahuan akan keterkaitan sifat-sifat yang lahir dari Afal (perbuatan-perbuatan) al Qodiim yang dinisbatkan kepada-Nya.

Faa' menunjukkan objek dengan segala struktur dan konfigurasinya, nuqtah (titik) huruf Faa' menunjukkan wujud al Haq dalam inti (dzat)-Nya. Kepala huruf yang berbentuk bundar dan lingkaran yang berlubang menunjukkan tidak adanya kontradiktif dan keeksisan menerima Faydh (penjelmaan) Ilahi (ketuhanan), ia juga merupakan isyarat tempat keterkabulan Faydh. Bulatnya kepala Faa' menunjukkan tidak adanya kontradiksi untuk sesuatu yang mungkin, karena garis peredaran tidak diketahui permulaan dan akhirannya. Sedang lubang yang ada di kepala huruf Faa' adalah sentra isyarat untuk penerimaan Faydh (penjelmaan), karena sesuatu yang berlubang akan menerima (menampung) sesuatu yang akan diisikan kepadanya. Kemudian titik yang berada di atas lingkaran kepala huruf Faa' merupakan isyarat yang sangat lembut akan amanat yang diemban manusia yaitu amanat kesempurnaan ketuhanan, dimana segenap langit dan bumi serta segenap penghuni kedua alam itu (para makhluk-Nya) tidak mampu (tidak sanggup) mengemban anamat kesempurnaan ketuhanan tersebut. Huruf Faa' itu sendiri ibarat manusia karena manusia adalah pemimpin alam (dunia) ini. Terkait dengan ini rasul pernah bersabda : Kali pertama yang diciptakan Allah adalah ruh nabimu wahai Jabir. Huruf Faa' ibarat Qolam (pena) ditangan penulis yang dengan qolam itu dituliskan Kalam al Haq dan rahasia ke-Esa-an Nya, baik yang lahir maupun batin. Ketahuilah Ahadiyah al Haq terkandung di dalamnya hukum yang bersifat batin, terutama hukum-hukum yang terkait dengan hakekat nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, pengaruh-pengaruh-Nya serta makhluk-makhluk-Nya, kesemua itu akan bermuara pada sifat inti (dzat)-Nya yang terwajahkan dengan wajah Ahadiyah (ke-Esa-an). Kami telah paparkan masalah rahasia huruf Faa' ini dalam kitab kami alKahfi wa alRaqiim,fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim, untuk lebih detilnya silahkan anda membaca kitab tersebut.

Huruf kedua dari isim mutlak ini adalah : Laam Pertama. Ia ibarat al Jalaal (keperkasaan), karenanya huruf Laam dikaitkan dengan Alif, sebab al Jalaal, merupakan manifestasi tertinggi dari manifestasi inti (dzat)-Nya, tajalli al Jalaal lebih dahulu dibandingkan tajalli al Jamaal (keindahan). Dalam sebuah hadits rasul saw bersabda : Keperkasaan adalah sarungku, keindahan adalah sorbanku. Tidak ada yang lebih dekat menyentuh tubuh seorang laki-laki selain sarung dan sorban, dengan demikian dapat dikongklusikan bahwa sifat al Jalaal (keperkasaan) lebih dahulu, dibandingkan sifat al Jamaal (keindahan). Realita tersebut pararel dengan firman al Haq dalam hadist Qudsi (Rahmat Ku, mendahului kemarahan Ku). Rahmat-Nya melahirkan bion-bion keindahan-keindahan-Nya yang bersifat Kulli (universal) dalam Maujudaat (segala wujud), ia laksana kesatuan dari yang banyak di alam dan isinya alam ini. Ketahuilah bahwa sifat al Waahidiyah al Jamaaliyah (Keindahan Tunggal), jika kesempurnaannya mumpuni atau mendekati kesempurnaan maka ia dinamakan al Jalaal (keperkasaan), karena adanya dominasi penampakkan kekuasaan al Jamaal (keindahan). Maka inti pemahaman rahmat dari keindahan universal berikut muara rahmat sejatinya adalah al Jalaal (keperkasaan).

Huruf ketiga dari isim mutlak ini adalah : Laam Kedua. Ia ibarat al Jamaal al Mutlaq (keindahan absolut) yang terlanskapkan dalam pemandangan (tampilan) manifestasi al Haq di segala wujud. Semua sifat-sifat keindahan bermuara pada dua sifat, yaitu al' Ilm (ilmu pengetahuan) dan al Lufhfu (kelembutan). Seperti halnya semua sifat al Jalaal (keperkasaan) bermuara pada dua sifat yaitu al Adzamah (keagungan) dan al Iqtidar (kekuasaan) yang merupakan akhir daripada dua sifat pertama (ilmu dan kelembutan), keduanya laksana satu sifat. Sebagian para arif menandaskan : Sesungguhnya keindahan yang tertampakkan pada makhluk, sejatinya ia adalah keperkasaan, dan esensi keperkasaan adalah inti keindahan, satu sama lain (keindahan dan keperkasaan) saling terkait laksana satu sifat, meski pada realitanya dua sifat. Tajalli kedua sifat tersebut laksana fajar, pada awal terbitnya matahari hingga terbenamnya. Maka nisbat al Jamaal (keindahan) adalah nisbat fajar matahari sedang nisbat al Jalaal (keperkasaan) adalah nisbat Isyraq (terbit)nya matahari, terbit itu bermula dari fajar dan fajar itu bermula dari terbit, itulah esensi makna Jamaal al Jalaal (keindahan keperkasaan) dan Jalaal al Jamaal (keperkasaan keindahan). Huruf Laam merupakan isyarat daripada dua penampakkan (terbit dan terbenam), namun demikian kedudukan (martabat)nya berbeda-beda sejalan dengan hamparan starata yang ada pada huruf Laam, Alif, Mim, tingkatan-tingkatan itu berjumlah 71 strata, itulah sejatinya jumlah al Hijaab (tirai penghalang) yang dihamparkan al Haq diantara diri Nya dan hamba-Nya. Rasul Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadist : Sesungguhnya bagi Allah kurang lebih tujuh puluh hijab dari cahaya. Diantaranya al Jamaal (keindahan), al Dzulmah (kegelapan), al Jalaal (keperkasaan), andai di Kasyf-kan akan menghanguskan pujian-pujian wajah-Nya, namun tidak akan pernah berahir penglihatan-Nya : yakni insan-insan yang telah Wishal (sampai) ke tingkat spiritual tersebut, inti (dzat)-nya lenyap tak berbekas, yang oleh komunitas sufie dinamakan al Mahaq wa al Sahaq (lenyap dan lebur). Setiap jumlah masing-masing huruf merupakan isyarat kedudukan (martabat) hijab yang ditebarkan al Haq diantara para hamba-Nya. Masing-masing tingkatan hijab memiliki seribu wajah hijab, diantara wajah hijab itu adalah al Izzah (kemuliaan), ia merupakan awal hijab yang melingkupi hidup dan kehidupan setiap insan di alam dan isinya alam ini, hijab kemuliaan ini memiliki seribu wajah yang setiap wajah memiliki ragam hijab, demikian pula dengan hijab-hijab yang ada dihuruf-huruf yang lain. Kita cukupkan contoh hijab itu sampai disini saja karena jika dipaparkan memerlukan berjilid-jilid keterangan.

Huruf keempat dari isim mutlak ini adalah : Alif yang tidak tersurat dalam tulisan (alif yang tersembunyi), akan tetapi tetap dalam pelafadzan. Ia merupakan Alif al Kamaal (kesempurnaan) yang tidak berakhiran dan tidak berujung tujuannya, tidak berujungnya tujuan itu merupakan isyarat kejatuhannya dalam khath (kaligrafi) tulisan. Sebab sesuatu yang jatuh dan tersembunyi tidak akan pernah dapat dilihat oleh mata dan tidak meninggalkan bekas (pengaruh) keeksisannya dalam lafadz, yang demikian itu merupakan isyarat akan hakekat wujud jiwa sempurna dalam inti (dzat) al Haq Jallah Jalaalah. Kesempurnaan seperti itu sentiasa tampak dalam diri para ahli ketuhanan (para arif billah) dan terus tumbuh berkembang dalam bingkai al Jamaal (keindahan), apa yang ada dalam diri mereka pararel dengan realitas wujud al Haq yang senantiasa bertajalli dalam ragam manifestasi. Setiap tajalli-Nya tumbuh dan berkembang dalam ke Maha Sempurna-an Diri Nya. Keindahan yang ada pada diri ahli ketuhanan akan bermuara kepada keindahan al Haq, atas dasar itulah para ahli hakekat menandaskan : segenap alam tumbuh dan berkembang pada tiap-tiap jiwa, karena jiwa merupakan tapak Tajalliyaat (manifestasi-manifestasi) al Haq dan tajalli tersebut tidak statis melainkan terus berkembang, semantis logikanya alamjuga selalu dalam Taraqqiy (pertumbuhan). Dengan demikian anda bisa saja mengatakan manifestasi ketuhanan itu selalu berkembang sejalan dengan perkembangan makhluk-Nya, analogi seperti juga bisa dinisbatkan ke alam ketuhanan, sedang al Haq mustahil disifati seperti itu karena Dia adalah Tuhan Maha Sempurna, Dia tidak disifati dengan kekurangan dan penambahan, lebih dari itu al Haq tidak disifati dengan sifat-sifat alam dan isinya alam.

Huruf kelima dari isim mutlak adalah : Haa'. Ia merupakan isyarat dari Hawiyah (ke-Dia-an) al Haq, yang sejatinya adalah inti (dzat) manusia, al Haq berfirman : (Katakanlah) wahai Muhammad. (Dia) yakni manusia. (Allah Yang Maha Esa). Maka huruf Haa' merupakan isyarat (Huwa) -Dia- yang kembali kepada subjek (pelaku) (Qul) -katakanlah- yang sejatinya adalah Engkau. Jika tidak demikian maka tidak diperbolehkan mengembalikan dzomir (kata ganti) kepada sesuatu yang tidak disebutkan. Kontek pembicaraan dalam ayat ini difokuskan pada sesuatu yang ghaib (tidak ada) dengan disertai keterangan isyarat bahwa kontek pembicaraannya juga tidak menafikan jiwa yang hadir (tidak gaib), bahkan muatan pembicaraan tersebut mencakup gaib dan hadir al Haq berfirman : Dan jika kamu, (wahai Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan. Q.s al An'aam 6 : 27, maksudnya adalah bukan Muhammad saw seorang akan tetapi setiap orang yang melihat. Huruf Haa' berbentuk bulat melingkar merupakan isyarat rotasi (pergerakan) ruh wujud-Nya yang diciptakan atas diri manusia. Ia di alam permisalan (Amtsaal) laksana lingkaran yang melahirkan isyarat, anda bisa berkata lingkaran huruf itu al Haq, sedang lubang yang ada dihuruf itu makhluk. Juga sebaliknya lingkaran itu makhluk sedang lubangnya adalah al Haq, huruf itu bisa mengisyaratkan al Haq bisa pula mengisyaratkan makhluk. Anda juga bisa mengatakan amar perintah-Nya lahir dari ilham atau bersitan hati, atau bahkan wahyu. Ketahuilah esensi amar (perintah) ketuhanan yang ditujukan kepada setiap insan beredar diantara eksistensi diri-Nya, yakni diantara kerendahan dan kedhrifan (kelemahan) ubudiyah sang hamba dengan pencitraan al Rahman dalam diri hamba tersebut, yang dengan itu manusia memiliki kemuliaan dan kesempurnaan, al Haq berfirman :

Allah. Dia-lah pelindung hikiki. Q.s. asy Syuura 42 : 9,

yakni pelindung sejati manusia sempurna yang Citranya diwartakan al Haq dalam firmanNya :  

Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Q.s. Yunus 10 : 62.

Sebab adalah mustahil insan yang telah menggapai maqom Insaan Kaamil, syakilah hati dan jiwanya memiliki rasa takut dan sedih, al Haq adalah icon kewalian utama, karena Dia adalah al Waliy al Hamiid (Maha Pelindung lagi Maha Terpuji).

Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah maha Kuasa atas segala sesuatu. Q.s. asy Syuura 42 : 9.

Maka sejatinya (wali) itu adalah (al Haq) yang termanifestasikan dalam berbagai citra kemakhlukan atau makhluk yang mampu memakrifahi kesejatian makna-makna ketuhanan. Etos kewalian itu juga merupakan tajalli al Haq yang termanifestasikan dalam diri tiap insan, ke-Dia-an al Haq merupakan pengumpul diantara sifat Kamaal dan kebalikannya yaitu an Naqsh (kekurangan). Ke-Dia-an Dia terbit di muka bumi yang berwujud sinar matahari ketinggian, ke-Dia-an Nya terlanskapkan dalam bumi dan langit, panjang dan pendek dan seterusnya seperti yang terhampar dalam samudera sifat-sifatNya.

Syair-syair al Jily

Allah Maha Besar, Samudera ini airnya telah pasang

Badai kencang, menyurung ombak bergulung-gulung

Maka tanggalkan bajumu, tenggelamkan dirimu kedalam lautan

Jangan berenang, memujilah. Tidak akan rugi kau memujiNya

Matikan dirimu, mati dalam samuderah puji Allah, sangat indah.

Hidup dalam samuderah pujiNya, membuatmu hidup denganNya

Aku memiliki kerajaan di dua kampung, yang belum aku lihat

Aku berharap kasih keutaman DiriNya, tapi aku takut memintaNya

Tidak sesuatu sebelum diriku yang merubah eksistensiNya

Tidak ada sesuatu sesudahku yang menyalip ketentuan taqdirNya

Telah terhampar luas ragam keparipurnaan dihadapan diriku

Aku bagian integral daripada keindahan dan kesempurnaanNya

Esensi penglihatanmu pada wujud bendawi dan tetumbuhanNya,

habitat binatangNya, sejatinya adalah subtansi penampakkanNya

Esensi penglihatanmu pada unsur penciptaan dan tabiat-tabiatnya,

segala ketiadaan menjadi wujud bermula dari benda pertamaNya.

Esensi penglihatanmu pada setiap deburan ombak samudera,

semua   pepohonan  yang   tegak,   bermuarakan kepada ketinggihanNya.

Esensi penglihatanmu pada setiap citra (bentuk) maknawiyah,

dan segala yang dirasakan indramu. Dia-lah yang menghidupkannya

Esnsi penglihatanmu pada logika pikir dan hayal imajinasimu,

jiwa dan Gjalbumu, akan menyemburkan rasa takutmu padaNya.

Esensi penglihatanmu pada segala kepemilikan yang kau punyai;

kemaruk duniawimu adalah wajah kelblisanmu dihadapan DiriNya

Esensi penglihatanmu pada 'geliat' syahwat kemanusiaanmu

mempertuturkan tabitamu, menjadikan hakmu tercabut dariNya.

Esensi penglihatanmu pada kedudukan,

jabatan dan popularitas membuatmu terhapus

dari daftar para kekasih yang dicintaiNYa

Sesungguhnya DiriKu adalah inti zat segala yang tertampakkan

Akulah sejatinya zat yang tampak, inti zat segala wujud adalah Aku

Aku adalah Pengatur segenap 'nasib' manusia.

Dan tuan mereka Isim dan zat DiriKu,

terlembagakan dalam citra dan identitas mereka

Aku adalah diraja segala raja yang berkuasa atas segala kerajaan

KekuasaanKu meliputi segala kerajaan yang tampak dan yang gaib

Inilah kesejatian DiriKu,

telah Ku wartakan semua perihal DiriKu

Inti zat seorang hamba, akan sirna,

lebur ke dalam inti zat Tuhannya.

Hamba yang rendah hati, merasa hina dalam ketertundukkan

mengakui dosa-dosanya dengan penuh tulus,

akan Aku kesalahannya

Wahai segenap hamba yang tercipta dengan fitrah keluhuran,

sungguh nista, jika kalian pasung diri kalian dengan kemaksiatan.

Aku tujukan ucapanku ini untuk selaksa nasehat buat kalian

Agar, ujaran ini, menjadi sebab petunjuk keselamatan bagi kalian.

Wahai 'tuan' segenap ummat manusia dan junjungan agung.

Kau adalah pemberi syafa'at diriku, untuk mengetas dosa-dosaku

Kau adalah maha guru semesta alam

dan punggawa segenap alim cahaya

yang menyinari insan-insan yang dalam kelam (keruh)

Qalbu Untuk dirimu haturan salam sejahterah dan shalwat dariku

Semoga sanjung shalawat terus bergema sepanjang lorong waktu.

Sudah Edit 3. Sifat Mutlak

As Shifah (sifat) sejatinya adalah sebuah berita yang mengabarkan kepada diri anda tentang keadaan sesuatu yang disifati. Yakni apa yang sampai kepada pemahaman anda esensi dan keadaan suatu yang disifati, yang dengan itu anda bisa memakrifahi sesuatu tersebut, berikut anda bisa mengumpulkan dalam estimasi anda, serta menjabarkannya dalam pikiran anda, pun mengeksiskannya dalam logika anda, terlebih Dzauq (intuisi) anda yang dengan itu anda bisa menghadirkan 'rasa' akan keadaan al Maushuf (yang disifati) dengan sifat itu sendiri, lalu mewacanakan sifat-sifat tersebut dalam diri anda. Pada tahap ini boleh jadi sifat-sifat itu mendominasi diri anda dan membuat anda menemukan 'dzauq' (intuisi), juga sebaliknya melahirkan dzauq yang berlawanan. Maka pahami dengan seksama, telisik dengan cermat agar dzauq (intusi) yang hadir dalam diri anda benar-benar membiaskan 'rasa' pada pendengaran anda yang bersendikan rahmat kebersamaan anda dengan-Nya dan anda pun terlepaskan dari jerat-jerat simbolistik yang mengantarkan diri anda tenggelam dalam samudera fana' bersama-Nya. Demikian pula anda akan tersucikan dari Hijab (tirai penghalang). Ketahuilah bahwasanya as Shifah (sifat) itu selalu mengikuti al Maushuf (yang disifati), yakni tidak bersifat dengan sifat-sifat selain diri anda, tidak pula dengan sifat-sifat jiwa anda, dan anda sama sekali tidak berarti dihadapan sifat-sifat itu, kecuali jika anda mengetahui bahwasanya diri anda adalah inti (dzat) al Maushuf (yang disifati) dan anda benar-benar yakin bahwa anda mengetahuinya secara hakiki. Pada tahap tingkat spiritual (Maqom) ini ilmu mengikuti anda secara primer dan anda tidak butuh peneguhan atas pengetahuan yang anda yakini, karena sifat terkait erat dengan yang disifati dalam segala hal, ia (sifat) ada dengan wujud al Maushuf (yang disifati), ia (sifat) hilang dengan ketiadaan yang disifatinya.

Sifat dalam lanskap pandangan ulama Arab terbagi atas dua macam :

1. Sifat keutamaan. Sifat keutamaan adalah sifat yang terkait dengan inti (dzat) manusia seperti al Hayah (kehidupan).

2. Sifat utama. Sifat utama adalah sifat yang terkait dengan keutamaan dan sesuatu yang diluar keutamaan seperti al Karom (kemuliaan) dan sifat sejenis lainnya.

Para ahli hakekat mengatakan nama-nama al Haq terbagi atas dua bagian yakni nama-nama yang terkait dengan penyifatan Diri Nya, yang oleh para ahli ilmu grametika bahasa disebut dengan nama-nama An Na'utiyah (nama-nama yang berdimensikan sifat). Bagian Pertama : Berdimensikan inti (dzat)-Nya, seperti : Maha Esa, Maha Tunggal, Berdiri Sendiri, Tempat bergantung segala sesuatu. Maha Agung, Maha Hidup, Maha Mulia, Maha Besar, Maha Tinggi dan lain sebagainya. Bagian Kedua : Berdimensikan sifat Diri Nya, seperti, al Ilm (berpengetahuan) dan al Qudrah (yang berkemauan) atau sifat yang terkait dengan Diri Nya, seperti al Mu'thi (Maha Memberi), al Khallaaq (Maha Mencipta), juga sifat yang terkait dengan Af'aal (perbuatan-perbuatan)-Nya. Asal pensifatan dalam sifat-sifat ketuhanan adalah, isim-Nya (ar Rahman) -Maha Pemurah-, hal mana isim tersebut melingkupi segala sesuatu yang bersifat universal, perbedaan antara nama al Rahman dengan nama Allah dalam manifestasi sifat universal al Rahman merupakan manifestasi daripada sifat-sifat-Nya secara universal, sedang Allah penampakkan inti nama-Nya secara utuh.

Ketahuilah, bahwasanya al Rahman adalah nama al Haq yang melahirkan pengetahuan tentang inti martabat ketinggian dari wujud paripurna dengan syarat kesempurnaan mutlak tanpa ada keterkaitan dengan makhluk, sedangkan isim (Allah) adalah pengetahuan akan dzat Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendirinya) dengan syarat kemutlakan kesempurnaan-Nya yang termanifestasikan dalam sifat-sifat kesempurnaan makhluk-Nya. Allah bersifat umum sedang ar Rahman bersifat khusus yakni isim al Rahman dikhususkan dengan kesempurnaan-kesempurnaan Ilahiyah (ketuhanan), sedang nama (Allah) mencakup al Haq dan makhluk. Manakala al Rahman dikhususkan dengan kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan Ilahiyah (ketuhanan), maknanya bergeser dari tempatnya ke nama-nama yang layak dengan kesempurnaan ketuhanan tersebut seperti nama-Nya al Rabb dan al Mulk serta nama-nama-Nya yang lain. Masing-masing dari nama-nama tersebut maknanya meliputi sifat-sifat yang ada pada tiap-tiap martabat, berbeda dengan nama-Nya al Rahman, pemaknaan umumnya adalah sentra kesempurnaan yang mencakup segenap kesempurnaan, ia merupakan sifat universal untuk segala sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan).

Ketahuilah, bahwasanya sifat dimata para ahli hakekat adalah tidak bisa dicapai dengan penglihatan mata dan tidak berujung, berbeda dengan dzat, ia bisa digapai dengan penglihatan, namun penglihatan yang berdimensi al Kasyf (intuitif), dengan demikian para ahli hakekat tersebut mampu memukasyafahi inti (dzat)-Nya. Dimata mereka inti (dzat)-Nya sangat jelas sedang sifat-sifat-Nya dimata para ahli hakekat tidak jelas dan tidak terbatas, contoh sederhananya orang yang prosesi ritualnya tumbuh dan berkembang akan meningkat dari martabat kebendaan menuju martabat kequdusan dan akan dibukakan pengetahuan intuisi (kasyf) untuknya, dengan begitu ia akan memakrifahi (memahami dengan pemahaman hakiki) bahwasanya inti (dzat)-Nya adalah inti (dzat) dirinya. Daya persepsi dan ilmunya mengantarkan dirinya kepada Makrifatullah. Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang memahami dirinya, akan makrifah (faham) Tuhannya. Orang yang telah memahami kesejatian dirinya, ia akan memahami inti (dzat) daripada sifat-sifat yang terlanskapkan dalam sifat-sifat ketuhanan vis avis sifat-sifat dirinya. Karenanya para ahli hakekat tidak akan pernah mampu melihat sifat-sifat-Nya yang termanifestasikan dalam segenap wujud, karena sifat-sifatNya tidak terbatas dan tidak berujung.

Semisal sifat al Timiyah (pengetahuan) jika telah digapai seorang hamba ketuhanan, ia tidak akan pernah bisa mengetahuinya secara rinci (parsial) selain al Qodar yang diturunkan ke dalam kalbunya, sedang al Idrak (daya persepsi) lahir dari sifat al Timiyah (pengetahuan), seperti jikalau ditanyakan kepada seseorang, berapakah jumlah laki-laki yang ada dikomunitasnya? Ia lalu berusaha mengetahui nama-nama mereka dan berusaha mengidentifikasi karakter, kepribadian dan sifat-sifat mereka yang tidak terkira ragamnya, demikianlah hingga ia dapat menyimpulkan secara garis besar akan kesejatian kelaki-lakian seorang pria secara gradual dan bukan secara parsial. Dalam tataran kemanusiaan (ciptaan) saja kita tidak mampu mengindentifikasi sifat-sifat manusia secara universal, bagaimana pula dengan sifat-sifat ketuhanan, sungguh kesempurnaan sifat-Nya tidak berpulang dan tidak memiliki kata akhir. Dengan semantis logika seperti itu dapat difahami jikalau para ahli hakekat berkeyakinan bahwa yang bisa digapai adalah inti (dzat)-Nya, sedang sifat-sifat-Nya tidak terjangkau dalam pengertian tidak ada batasan dan akhirannya, bukan dalam pengertian subtansi sifatnya. Maka hanya dzat yang bisa dilihat dalam lanskap hakiki, sedang sifat-sifat dalam dimensi hakekat tidak bisa dilihat karena tidak berujung dan tidak terbatas.

Para peniti jalan Allah (Saalikin) banyak sekali yang terhijabkan dengan masalah ini, yang sedemikian itu tatkala mereka telah menggapai maqom Kasyf (pengetahuan intuisi) dan dimakrifahkan kepada mereka inti (dzat)-Nya. Mereka mencari gapaian sifat-sifatNya namun mereka tidak mendapatinya dalam diri mereka lalu mengingkarinya. Mereka lantas tidak memenuhi panggilan-Nya manakala Dia menyeru kepada diri mereka, lebih dari itu mereka tidak melakukan ritual ibadah dan ubudiyah kepada-Nya. Jika diberitahukan kepada mereka firman-Nya yang telah diturunkan kepada Musa, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Q.s. Thaahaa 20 : 14. Mereka akan berkata kepada-Nya, Engkau tidak lain adalah makhluk, sebab mereka tidak percaya kepada al Haq, bahwasanya DiriNya tidak bisa dilihat dengan sifat-sifat-Nya, dalam persepsi mereka sifat-sifat al Haq ada pada inti (dzat)-Nya. Tafsir manifestasi ketuhanan yang-ada dibenak mereka berbeda dengan tafsir (pemahaman) ketuhanan yang Shahih (valid) dan Syamil (utuh), maka lahirlah keingkaran dalam diri mereka yang demikian itu karena mereka mengira bahwa sifat-sifat-Nya bisa dilihat dalam inti (dzat)-Nya, dengan syuhud (kesaksian) seperti yang terjadi pada kesaksian inti (dzat). Mereka tidak mengetahui bahwa realita tersebut merupakan sesuatu yang mustahil, meski pada makhluk sekalipun, sebab kesejatian diri anda hanya bisa dilihat dan ditentukan dengan inti (dzat) diri anda sendiri. Adapun sifat-sifat yang ada dalam diri anda seperti keberanian, kedermawanan, keilmuan dan sifat-sifat lainnya tidak bisa dipersepsi secara kesaksian hakiki, akan tetapi bisa dilihat melalui penampakan yang lahir dari diri anda secara parsial dan perlahan-lahan. Jika sifat-sifat tersebut mendominasi diri anda, maka akan tampak pada diri anda sifat-sifat tersebut dan meninggalkan bekas-bekas (pengaruh) pada diri anda, jika sifat-sifat itu nihil dari diri anda, maka sifat-sifat itupun lenyap dari diri anda, hingga sifat-sifat tersebut tidak bisa disaksikan dan tidak memiliki bekas sedikitpun dalam diri anda. Disinilah peran signifikan akal terlihat fungsinya, ia akan mengantarkan pemahaman anda selaras dengan tradisi yang melanskapi diri anda, sejalan dengan hukum kehidupan yang ada.

Ketahuilah, bahwasanya dzat-dzat ketinggian hanya bisa diketahui dengan Thariqah (jalan) Kasyf (pengetahuan intuitif) dan Kasyf al Ilahiyah (intusi ketuhanan), kau hanya ada pada-Nya dan Dia hanya ada pada dirimu tanpa Hului (panteisme), tanpa Ittihad (bersatu secara dzat) bahwa hamba adalah hamba dan Rabb adalah Rabb (Tuhan adalah Tuhan). Seorang hamba tidak akan pernah menjadi Tuhan dan Tuhan tidak akan pernah menjadi hamba, anda akan bisa mengetahui kesejatian Qudrah (kodrat) tersebut melalui jalan Kasyf (pengetahuan intuitif) dan Dzauq (intuisi) serta intuisi ketuhanan yang melintas batas pengetahuan inderawi dan nalar logika. Dan semua itu tidak akan terjadi melainkan pasca as Sahaq (lenyap dan lebur) secara dzat. Adapun tanda-tanda Kasyf itu adalah fana' (sirna)nya diri seorang hamba dengan penampakkan Rabb-nya kemudian fana' kedua kalinya dengan hadirnya sirr (rahasia) Rububiyah (ketuhanan), kemudian fana' ketiga kalinya dari keterkaitan sifat-sifat-Nya dengan hakekat inti (dzat)-Nya. Jika seseorang telah berhasil menggapai tingkat spiritual (Maqom) ini, maka inti sifat kemanusiaan dirinya lenyap (sirna), ia dapat melihat inti (dzat)-Nya. Pada tahap ini ke-Dia-an Dia termanifestasikan dalam ke-aku-an anda yang terlanskapkan dalam ilmu, kodrat, pendengaran, penglihatan, keagungan, keperkasaan, kediqdayaan, dan manifestasi-manifestasi ketuhanan lainnya. Penampakan subtansi ke-Dia-an Dia bergantung dari daya persepsi anda dalam mensirnakan inti (dzat) diri anda dalam membangun kebersamaan dan kedekatan (Qurb) bersama-Nya, dan itu ada pada kekuatan hasrat anda, cita-cita anda, serta kadar pengetahuan anda. Terkait dengan ini anda bisa saja berkata : Inti (dzat)-Nya tidak bisa dilihat dengan I'tibar ia merupakan inti segala sifat, tataran pemaknaan ini berdasarkan firman al Haq :

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Q.s. al An'aam 6 : 103)

karena penglihatan merupakan sifat, barang siapa yang tidak bisa melihat sifat, ia tidak akan pernah bisa melihat dzat. Jika anda berkata : Inti (dzat)-Nya bisa dilihat, maka hal itu dengan I'tibar seperti apa yang telah kami paparkan diatas, masalah ini banyak disepelekan banyak orang, bahkan sering dinafikan para Saalik (peniti jalan Allah) terlebih ahli ketuhanan tidak ada satupun dari mereka yang menyoal dan memberi perhatian khusus tentang masalah ini sebelum saya (al Jailiy). Maka jernihkan pikiran dan hati anda, tafakkuri dengan penuh seksama, sisihkan waktu secara khusus untuk merenungkan masalah ini, agar anda bisa memukasyafahi tajalli-Nya secara hakiki, serta dapat merasakan Dzauq (intuisi) kenikmatan sifat diri dengan sifat-sifat al Haq, jika makrifah anda itu terus berkembang, anda akan mengetahui Kaifiyah (prosesi) pensifatan dengan sifat-sifat-Nya, yang dengan itu anda akan memakrifahi sifat-sifatNya secara hakiki. Pada tingkat makrifah hakiki inilah sesuatu yang tak berujung dapat diketahui akhirannya. Pahami betul masalah ini, sebab masalah ini tidak akan pernah bisa difahami selain insan-insan yang telah dipersiapkan al Haq mampu mewadahi kesempurnaan. Mereka itulah al Muqqorrobuun (insan-insan yang terdekat) dengan Sang Maha Perkasa dan Maha Mulia, dan hanya sedikit sekali insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya bisa Wushul (sampai) ke tingkat spiritual tersebut.

Ketahuilah, bahwasanya isim-Nya al Rahmaan dalam artian bahasa, menunjukkan kekuatan sifat-Nya pada sesuatu yang disifati, dan penampakkan Nya pada sesuatu tersebut. Karenanya liputan rahmat-Nya mencakup segala sesuatu, hingga para penghuni neraka-pun tidak luput dari cakupan rahmat-Nya. Ketahuilah nama-Nya (al Rahman) ini, terkandung dibawahnya segenap nama-nama ketuhanan yang berdimensikan Diri Nya, termasuk tujuh sifat Diri Nya yang utama yaitu : al Hayah (hidup), al Ilm (Tahu atau berpengetahuan), al Qudrah (berkuasa), al Iradah (berkemauan), al Sam'u (mendengar), alBashar (melihat), alKalaam (berbicara) huruf Alif yang ada pada tujuh sifat itu sejatinya bermakna al Hayah (MahaHidup). Tidakkah anda lihat rahasia hidup al Haq dalam setiap Maujudaat (segala wujud), semua yang wujud tegak hidup dengan hidup-Nya, demikian pula dengan huruf Alif, ia menghidupkan segala huruf, tidak ada satu hurufpun yang terlepas dari huruf Alif, dimana ada huruf disitu ada huruf Alif, baik berupa lafadz maupun tulisan. Huruf Baa' ibarat Alif yang terhamparkan, huruf Jiim ibarat Alif yang dilengkungkan dua ujungnya, demikian pula dengan huruf-huruf yang lain. Terkait dengan etos ke-rahman-an ini, maka esensi huruf Alif ibarat penampakkan kehidupan Rahmaniyah (ketuhanan) yang terlanskapkan dalam segala wujud. Huruf Laam, ibarat penampakkan al Ilm (ilmu pengetahuan)-Nya, ilmu yang dimaksud pada pengibaratan ini adalah kesejatian ilmu­Nya, sedangkan tempat untuk memakrifahi ilmu tersebut adalah segala wujud ciptaan-Nya. Huruf Raa' ibarat penampakkan Qudrah (Kuasa)-Nya yang termanifestasikan dalam semesta alam dan isinya alam, dari al Adam (ketiadaan) menjadi Maujud (ada), yang dengan itu bisa dilihat sesuatu yang tidak tampak, dan bisa ditemukan sesuatu yang tidak ada. Huruf Ha' ibarat penampakkan al Iradah (kehendak)-Nya, adapun tempatnya Ghaib al Ghaib (super misteri), kehendak ketuhanan yang sangat misteri dalam diri al Haq tidak akan bisa diketahui, dan tidak akan pernah bisa dilihat. Segala apa yang Dia kehendaki Allah, maka kehendakNya adalah sebuah keniscayaan, dengan demikian al Iradah merupakan kegaiban murni. Huruf Miim, ibarat penampakkan as Sam'u (mendengar)-Nya seperti halnya anda tidak bisa mendengar suatu percakapan dari seseorang, jika orang itu tidak menggerakkan lisannya untuk berbicara? Demikian pula anda tidak akan bisa menyimak pesan-pesan ketuhanan, jika anda tidak mampu bermukasyafah, dan menggapai intuisi ketuhanan, karena manifestasi Sam'u Nya tertampakkan baik melalui al Qoul (perkataan), al Lafdz (rentahan huruf), atau khaal (kondisi spiritual). Lingkaran pada permukaan huruf Mim mengisyaratkan, tempat mendengar kalam-Nya, dengan demikian huruf Mim ibarat tempat mendengar Kalaam (ujaran-ujaran) segala yang wujud baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang terucapkan maupun yang tidak terucapkan. Adapun huruf Alif yang ada diantara huruf Miim dan Nun, ibarat penampakkan al Bashar (melihat)-Nya, ia juga merupakan isyarat bahwasanya al Haq tidak melihat, melainkan dengan inti (dzat)-Nya. Huruf Alif itu dihilangkan dalam tulisan, namun terungkapkan dalam pengucapan lafadz, dihilangkannya (huruf Alif) merupakan isyarat, bahwasanya al Haq, tidak bisa dilihat oleh makhluk-Nya melainkan dengan Diri Nya, dan orang seorang tidak akan pernah bisa melihat kesejatian Diri Nya dengan sesuatu selain Diri Nya. Adapun penetapannya dalam lafadz, isyarat pembedaan (titik pilah) al Haq diantara inti (dzat)-Nya dengan makhluk-Nya, terlebih pensucian dan peninggian al Haq dan sifat-sifat kemahlukkan makhluk-Nya, karena mereka (para makhluk-Nya) diliputi sifat kerendahan, kehinaan dan kekurangan, sedang al Haq Maha Suci dan Maha Sempurna. Huruf Nun, ibarat penampakkan Kalaam (berbicara)-Nya, pararel dengan firman-Nya: Nun,

demi Qalaam dan apa yang mereka tulis. (Q.s. al Qalam 68 : 1),

Nun dalam ayat tersebut, merukapan Kinayah (metafora) daripada Lauh al Mahfudz, yang sejatinya adalah Kitabullah (kitab Allah) halmana kandungan isinya seperti yang diwartakan al Haq,

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam al Kitab. (Q.s al An'aam 6 : 38)

maka jelas sekali bahwa hakekat kitab Nya adalah Kalaam Nya.

Ketahuilah, bahwasanya huruf Nun ibarat lukisan citra segala makhluk-Nya dengan segala ihwal (keadaan)nya dan sifat-sifatnya yang terlanskapkan dalam kesatuan dari yang banyak, lukisan tersebut ibarat kalimat Allah yang bermaknakan (Kun)-Jadilah, maka jadilah, sejalan dengan al Qolam (pena) dalam al Lauh, yang merupakan wajah penampakkan kalimat presensi (al Hadrah). Semua yang keluar dari lafadz (KUN) ia berada dalam lingkup Lauh al Mahfudz, atas dasar inilah kami memaklumatkan bahwasanya huruf Nun merupakan penampakkan Kalamullah. Ketahuilah, bahwasanya nuqta (titik) yang berada diatas huruf Nun merupakan isyarat inti (dzat)-Nya, yang tertampakkan pada segenap citra makhluk-Nya. Awal manifestasi ketuhanan pada segenap makhluk-Nya adalah inti (dzat)-Nya, kemudian tampaklah makhluk tersebut, karena Nun inti (dzat)-Nya lebih tinggi dan lebih tampak dibandingkan Nun makhluk-Nya, rasululullah saw bersabda :

Shadaqah adalah sesuatu yang kali pertama berada di telapak tangan ar Rahman (Maha Pemurah), kemudian berada di telapak tangan insan peminta.

Hal senada juga ditegaskan sufie agung, Shadiq al Akbar ra :

Aku tidak melihat sesuatupun, melainkan aku melihat Allah sebelumnya.

Jika anda mengetahui bahwa nuqta (titik) dalam huruf Nun merupakan isyarat inti (dzat)-Nya, maka ketahuilah bahwa lingkaran huruf Nun merupakan isyarat segenap makhluk-Nya. Kami telah paparkan masalah ini dengan detil pada karya kami al Kahfi wa al Raqiim, fi Syarhi Bismillahir Rahmanirrahim, jika anda ingin mengkaji lebih dalam lagi silakan menela'ah kitab tersebut, jika kita perpanjang membahas rahasia-rahasia huruf isim ini, berikut pengejawantahan huruf-hurufnya, niscaya akan terhamparkan misteri-misteri yang berserak di jagad ini, berikut akan tertampakkan kejaiban-keajaiban yang mengkoyak pemahaman anda. Kami sengaja menyudahi paparan ini hingga disini, agar tidak membuat anda bersikap manja dalam menyibak misteri ketuhanan. Allah adalah Dzat Maha Penolong, kepada-Nya semua harapan dimuarakan.

Sudah Edit 4. Uluhiyah (Ketuhanan)

Ketahuilah, bahwasanya segala hakekat wujud dan pemeliharaannya dalam martabat (kedudukan) wujud, dinamakan al Uluhiyah (ketuhanan). Yang dimaksud dengan hakekat wujud disini adalah, hukum-hukum lahir yang tertampakkan pada makhluk dan al Haq. Maka universalitas kedudukan Ilahiyah (ketuhanan), dan strata segenap wujud, berikut pemberian setiap hak dari masing-masing martabat (kedudukan) wujud, itulah sejatinya makna Uluhiyah (ketuhanan). Allah adalah isim (nama) untuk Rabb (pengatur) kedudukan-kedudukan tersebut, tidak ada dzat Yang Maha Pengatur kedudukan-kedudukan itu, melainkan dzat Yang Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendirinya) dan Maha Oudus (suci). Maka penampakkan tertinggi inti (dzat)-Nya adalah penampakkan Uluhiyah (ketuhanan), karena meliputi segala sesuatu, serta mencakup segala manifestasi yang lahir dari dimensi sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Uluhiyah laksana Umm al Kitab (induk kitab), al Qur'an laksana al Ahadiyah (ke-Esa-an), al Furqon laksana al Wahidiyah (ke-Tunggal-an) al Kitab al Majid (kitab yang mulia) laksana Rahmaniyah (kepemurahan). Kesemua itu merupakan sebuah pengibaratan, jika tidak, maka induk kitab akan dijadikan pijakan I'tibar pertama setiap pelaku hakekat, untuk mengidentifikasi inti (dzat)-Nya. Jikalau demikian adanya, maka al Qur'an ibarat dzat, sedang al Furqon ibarat sifat­ sifat, al Kitab ibarat wujud mutlak. Kami akan kupas masalah ini secara detil pada pasal (al Kitab) pada bab yang akan datang.

Jika anda bisa memahami istilah dan dapat memakrifahi hakekat apa yang kami paparkan,  anda akan bisa memahami subtansi kajian ini, yakni tidak ada dualisme pengertian, karena pengibaratan tersebut sejatinya bermuara pada satu makna. Bila anda telisik lebih dalam lagi, anda akan mengetahui bahwasanya Ahadiyah (ke-Esa-an) merupakan nama tertinggi dibawah naungan kediqdayaan dan keagungan serta pemeliharaan ketuhanan. Wahidiyah (ke-Tunggal-an) merupakan awal penurunan al Haq dari ke-Esa-an, sedang tingkatan tertinggi yang mencakup ke-Tunggal-an adalah tingkatan Rahmaniyah (kepemurahan), dan penampakkan tertinggi Rahmaniyah adalah Rububiyah. Adapun penampakkan tertinggi Rububiyah adalah isim-Nya al Mulk, maka Mulukiyah dibawah Rububiyah, dan Rububiyah dibawah Rahmaniyah, dan Rahmaniyah dibawah Wahidiyah, dan Wahidiyah dibawah Ahadiyah, berikut Ahadiyah dibawah Uluhiyah. Sebab sejatinya Uluhiyah adalah pemberian hak-hak segala yang wujud dan yang tidak wujud, meliputi segala sesuatu secara utuh dan bersifat universal. Sedangkan Ahadiyah merupakan inti dari hakekat-hakekat wujud yang bersifat parsial, dengan demikian Uluhiyah lebih tinggi katimbang Ahadiyah, dan dapat diketahui bahwa nama Allah merupakan nama tertinggi, lebih tinggi dibandingkan nama al Ahad, nama Esa merupakan penampakkan khusus daripada inti (dzat)-Nya, sedang Uluhiyah merupakan penampakkan universal inti (dzat)-Nya, berikut sifat-sifat serta nama-nama-Nya. Dalam laku suluk, terkadang para ahli hakekat banyak yang terhijabkan dari tajalli Ahadiyah, namun jarang yang terhalang dari Uluhiyah. Ahadiyah merupakan dzat murni, tidak tertampakkan sifat-Nya pada makhluk-Nya, tidak diperkenankan penisbatannya (Ahadiyah) kepada makhluk-Nya dalam segala hal, pun dalam bentuk pewajahan apapun. Ahadiyah hanya untuk dzat al Qodim (adanya tidak didahului oleh sesuatu), yang berdiri sendiri bersama inti (dzat)-Nya, tidak ada kalaam (ujaran-ujaran) dalam dzat yang Wajib al Wujud, karena tidak sesuatupun yang disembunyikan dari Diri Nya. Jika kamu manifestasi Dia, maka kamu bukan kamu, akan tetapi Dia adalah Dia, jika Dia manifestasi kamu, Dia bukan Dia, akan tetapi kamu adalah kamu, orang seorang yang telah wushul (sampai) pada tingkatan tajalli ini, maka ia telah menggapai tajalli Ahadiyah (ke-Esa-an), karena hakekat tajalli ke-Esa-an, tidak tereduksi didalamnya penyebutan kamu dan tidak pula terduksi dengan penyebutan Dia. Pahami betul masalah ini.!

Ketahuilah, bahwasanya Wujud (ada) dan Adam (ketiadaan), satu sama lain saling berhadapan dan berlawanan, falak Uluhiyah meliputi keduanya, karena Uluhiyah mengumpulkan dua sifat yang kontradektif, seperti Qodiim (sesuatu yang adanya tidak didahului oleh sesuatu) dan Huduts (adanya karena diciptakan), al Haq dan Mahluk, Wujud (ada) dan 'Adam (ketiadaan). Dalam lanskap Uluhiyah, hal yang mustahil bisa menjadi wajib, pun sebaliknya hal yang wajib menjadi mustahil. Begitu pula dalam dimensi Uluhiyah ini, al Haq memanifestasikan Diri Nya dalam citra makhluk-Nya, seperti sabda rasul-Nya : Aku melihat Rabb-ku dalam citra pemuda yang tampan. Pun makhluk termanifestasikan dalam citra al Haq, seperti sabda rasul saw : Adam diciptakan dalam citra­Nya. Realita yang kontradiktif tersebut menghamparkan jalan bagi para pelaku hakekat untuk memakrifahi hakekat segala sesuatu baik yang berdimensikan ketuhanan maupun kemakhlukan. Sebab hakekat ketuhanan tidak akan pernah selesai ditafsiri oleh manusia sepanjang masa, itulah esensi wajah kebesaran al Haq. Maka penampakkan al Haq dalam dimensi ketuhanan adalah manifestasi kesempurnaan-Nya, dan Uluhiyah merupakan martabat yang paling sempurna dan tertinggi, serta merupakan manifestasi terbaik dus tajalli utama untuk menunjukkan inti (dzat)-Nya berikut nilai-nilai Uluhiyah (ketuhanan) Diri Nya.

Adapun penampakkan makhluk dalam lanskap Uluhiyah, dengan segala wacana dan ragamnya, termasuk wilayah 'Mumkinaat' (sesuatu yang mungkin), demikian pula dengan wujud dan ketiadaannya. Sedangkan penampakkan wujud dalam Uluhiyah adalah juga mungkin terjelma dengan sempurna, terutama penampakkan kebersamaan antara al Haq dengan makhluk-Nya, demikian halnya dengan keterpisahan diantara keduanya. Begitu pula dengan penampakan al 'Adam (ketiadaan) dalam Uluhiyah, dengan segala wacana dan ragam batiniyah-nya, berikut ketiadaan dalam fana' (kesirnaan) yang terjelma secara sempurna adalah juga merupakan wilayah 'Mumkinaat'. Kesemua itu tidak bisa dicapai dengan nalar logika (jalan akal), dan tidak bisa digapai dengan optimalisasi pemikiran, namun hanya bisa digapai dengan Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan), yaitu pengetahuan yang bersifat Dzauq al Mahadz (intuisi murni), dan tajalli universal ini sering disebut dengan tajalli ketuhanan. Tingkat spiritual ini juga merupakan oase kerinduan para pelaku hakekat untuk mereguk hakekat kesempurnaan-Nya. Berpangkal dari rahasia ketuhanan itulah rasul saw bersabda :

Aku adalah insan yang paling mengerti akan Allah, dan aku adalah insan yang paling takut kepada-Nya.

Rasul Muhammad saw tidak takut kepada Rabb (Maha Pengatur), tidak pula takut kepada al Rahman (Maha Pemurah), akan tetapi beliau takut kepada Allah, yang sedemikian itu seperti yang diisyaratkan rasul saw dalam sabda beliau : aku tidak tahu apa yang hendak Dia lakukan (perbuat) kepada diriku dan pada diri kalian, padahal rasul saw adalah insan yang paling paham (mengerti) akan esensi Maujudaat (segala wujud) dengan al Haq, dan apa-apa yang tertampakkan dari rahasia ketuhanan pada segala wujud. Rasul saw hendak memaklumatkan, seraya berkata : aku tidak tahu pencitraan seperti apakah manifestasi ketuhanan yang akan ditampakkan-Nya, Dia tidak akan bertajalli melainkan sejalan dengan hukum-hukum kehidupan, dan hukum ketuhanan-Nya tidak terbantahkan. Dia melihat tapi tidak terlihat, Dia seakan tidak tahu, tapi sebenarnya tahu, dan tajalli ketuhanan adalah tidak ada batas dan ragamnya tidak terkirakan. Tajalli-Nya tidak bisa dirinci terlebih dipersempit dengan beberapa sisi (wajah), sebab adalah mustahil bagi al Haq memiliki batas akhir. Dia tidak berakhiran, tidak ada jalan untuk mempersepsi sesuatu yang tidak berakhiran. Dia bertajalli dengan wajah universal dan global serta kesempurnaan. Masing-masing pelaku hakekat dapat mempersepsi kesempurnaan tersebut, sejalan dengan tingkat spiritual yang telah diraihnya, terlebih sejalan dengan kedekatan dirinya kepada dzat Yang Maha Besar dan Maha Tinggi.

Nilai-nilai Uluhiyah (ketuhanan) itu dapat disaksikan bekas-bekasnya, namun inti (dzat) ketuhanan-Nya tidak bisa disaksikan, hukum-hukum ketuhanan bisa diketahui dengan jelas namun tidak bisa diraba bentuknya, inti (dzat) bisa dilihat dengan intuisi, namun Kaifiyah (seperti apa cara)-nya sangatlah misteri, ia bisa disaksikan dengan intuisi namun daya persepsi tidak akan pernah mampu memberi penjelasan tentangnya. Semantis logikanya, sama seperti ketika anda melihat sosok anak manusia, lalu anda mengetahui sosok itu dilabeli ragam sifat yang menjadi karekteristik dirinya, semua karakteristik sifat yang dilabelkan kepada orang itu hanya bisa anda ketahui dengan dan dari kerangka ilm (pengetahuan) dan keyakinan, sedang anda tidak bisa melihat inti (dzat) karekteristik yang disifatkan kepada orang tersebut. Anda mungkin hanya bisa melihat inti karekteristiknya dalam bentuk global saja, sedang untuk merincinya anda tidak mungkin bisa, begitu pula anda tidak akan bisa melihat esensi karakter orang itu, melainkan dari bekas-bekasnya belaka. Demikianlah jelas sekali kenyataan yang anda hadapi, anda hanya bisa melihat inti sifat anak manusia secara global, anda tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui segala sifat yang ada pada diri anak manusia itu, dari seribu sifat yang dimiliki orang tersebut, anda mungkin hanya mampu mengetahui puluhan saja, inti sifat-nya dapat anda ketahui, sedang multi sifat-sifatnya tidak dapat anda jangkau secara utuh, dan anda hanya bisa mengetahui eksistensi manusia itu melalui atsar (bekas) sifat-sifat dilabelkan kepadanya. Seperti inilah hendaknya anda bersemantis logika untuk memakrifahi inti (dzat)-Nya dan sifat-sifat ketuhanan-Nya.

Inti (dzat)-Nya bisa dimakrifahi dengan Kasyf (pengetahuan intuitif), adapun sifat-sifat-Nya tidak terbilang jumlahnya, anda tidak memiliki kapasitas (kemampuan) untuk menyibak ragam sifat-Nya, karena jumlahnya tidak terbatas. Anda hanya bisa menyaksikan sifat-sifat-Nya dari atsar (bekas) dan jejak serta pengaruh-Nya belaka. Adapun sifat yang terkait Diri Nya, ia sama sekali tidak bisa dilihat dan mustahil bisa dilihat. Mari bersemantis logika, ambilah satu contoh, anda tidak akan bisa mengetahui hakekat keberanian dalam pertempuran, melainkan dengan sikap patriotisme pertarungan di medan laga. Sikap patriotik itu merupakan atsar (pengaruh) keberanian, bukan keberanian itu sendiri, bukankah anda menilai kemuliaan seseorang dari 'laku' kemuliaan-nya? semisal ia sangat dermawan, pemberian yang memberi arti bagi yang lain itulah sejatinya wajah kemuliaan, bukan kemuliaan itu sendiri. Karena sifat merupakan inti (dzat) sesuatu yang disifati, ia tertampakkan dengan sesuatu yang disifatinya, inti sifatnya tidak tampak yang tampak adalah bekas, pengaruh daripada sifat itu sendiri. Dan inti sifat itu tidak boleh dipisahkan dengan al Maushuf (sesuatu yang disifati). Pahami betul masalah ini, agar anda tidak terjebak pada pemaknaan simbolistik.

Uluhiyah memiliki rahasia, yaitu : setiap person (partikel) wujud yang diberi nama, baik yang bersifat Qodiim (eternitas) maupun Huduts (kebaruan), Ma'dum (tidak ada) dan Maujud (ada), jika wushul (sampai) kepada-Nya, akan fana' (sirna) dihadapan hadirat­Nya. Semua inti (dzat) kemakhlukan akan lenyap dihadapan inti (dzat)-Nya, dalam ekstase mistis (Sakr) seperti itu segala wujud berada dalam naungan perlindungan Uluhiyah (ketuhanan).

Perumpamaan Maujudaat (segala wujud) itu laksana cermin yang berhadap-hadapan, masing-masing terlihat dihadapan cermin tersebut, seperti anda tatkalah berdiri dihadapan cermin, anda akan melihat 'gambar' anda secara utuh, dzauq (intusi) andapun merasakan al Wujdaan, bahwa anda merasa menyatu dengan 'gambar' anda dicermin tersebut, anda juga merasa gambar dicermin itu adalah diri anda yang sesungguhnya, perasaan anda yang teralihkan ke gambar anda dalam cermin yang seakan gambar itu (anda rasakan) sebagai diri anda sendiri itulah oleh para pelaku hakekat disebut, al Mahwu (terhapus), yakni hapusnya sifat diri lenyap bersama sifat al Haq. Itulah gambaran sederhana memaknai etos kesirnaan (Fana'), kelenyapan (Halak) dan keterhapusan (Mahwu) diri dihadapan al Haq. Dengan menganalogikan gambar diri dalam cermin, berikut korelasinya dengan cermin ketuhanan ini, citra diri anda dihadapan al Haq tidak akan dilebihkan dan dikurangi, semua itu bergantung diri anda dalam menemukan kesejatian citra diri (anda) dihadapan al Haq, pun kemampuan diri anda dalam menangkap manifestasi ketuhanan-Nya pada diri anda. Dan cermin ketuhanan itu sejatinya banyak sekali, anda bisa bercermin dengan kejadian alam, perilaku manusia, latar kesejarahan bahkan dalam diri sendiri anda sendiri sebenarnya I'tibar ketuhanan itu sangatlah banyak. Citra ketuhanan yang ada pada segala wujud itu merupakan cerminan nyata, yang dengan cermin itu anda tidak akan terjerembab ke dalam pemaknaan Hului (bertempat) dan Ittihad (menyatu secara dzat), terlebih tindak kesyirikan. Dengan pemahaman seperti itu, semoga sayap-sayap ritual anda bisa terbang menuju sangkar Ahadiyah (ke-Esa-an) Diri Nya, dan anda bisa memukasyafahi inti (dzat)-Nya melalui sifat-sifat Diri Nya, andapun bisa meraih manisnya isi (buah) makrifah dan membuang kulit-kulit ritual simbolistik. Semoga anda termasuk insan-insan yang tidak terbutakan dari wajah-Nya serta terbebas dari hijab.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q_.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jily

Aku dengar berita tentang ihwal penduduk kampung ini

Informasi yang menyedihkan berlumur sekam api dan air

Sebuah berita ketuhanan yang hanya turun di malam hari

Terlanskapkan dalam kejadian-kejadian di siang bolong.

Ada sisi kelam kehidupan yang berubah menjadi jernih.

Ada kehidupan jernih berubah luntur berubah hipokrit

Pranata luhur kehidupan, telah terkikis dari hidup kami

Kami rapuh, meluruskan kemungkaran dihadapan kami

Catatan kebaikan hanya tersimpan di relung Qalbu kami

Kami hanya mampu mengaktualisasikannya setengah hati

Tatkala Qalbu menguraikan ayat-ayat cinta untuk kami

Rahasia batin kami mewadahinya dengan gelora membara

Dari balik tirai kelambu tersingkap jelas keindahanNya.

Membuat hati mereka yang memandangNya terpesona

Sebuah keindahan yang tidak bisa diurai dengan kata-kata

Membawa para pelihatnya kepada ekstase ketuhanan hakiki

Makala hati kalian membunca dalam semaian ketuhanan

Kalian akan sadar, bahwa kalian sungguh butuh kepadaNya

Segenap realitas wujud selain DiriKu di alam ini akan sirna

Zat segala wujud yang tampak adalah DiriKu, apapun wujudnya

Aku laksana baju, yang berubah-rubah warna saban hari

Kadang putih, kadang merah, terserah DiriKu memilih warna

Adalah mustahil keEsaan inti zat DiriKu terbagi-bagi

Dan adalah mustahil DiriKu menyerupai mahluk ciptaanKu

Semua realitas wujud yang tertangkap oleh inderamu

Adalah realita hikiki wujud DiriKu yang bisa kau tangkap

KalamKu meliputi maknah batin disamping makna lahir

Insan yang terhijab tidak akan mengerti makna batin KalamKu

Jika kau tanggalkan pakaian DiriKu, aku tetaplah pakaian

Sebagaimana wujud DiriKu semula, Yang Awal dan Yang Ahir

Nama Ku meliputi segala wujud

Kebaikan lahir batin Inti zat DiriKu menyinarkan segala citra kemuliaan abadi

Nilai-nilai ketuhananKu berbasiskan inti Zat DiriKu

Cabang ketuhananKu membunca di setiap realitas wujud

Jangan terbuai oleh keapikan semantis logika para pemikir

KalamKu jelas, padat maknah dan luas arti, bagi yang mau berpikir

Kau bisa melihat tanda-tanda Kuasa dan keAgunganKu

Kau tidak kuasa melihat zat DiriKu dengan nalar logikamu

Itulah Sunnah (hukum) kehidupan yang Aku tetapkan,

Sungguh beruntung hamba yang Aku Lihat, dan Ku perlihatkan.

Hatiku keras jika terlalu dekat kalian

Hatiku damai, jika jauh dari pelik kalian

Cinta diri kalian adalah hayal utopis

Kadang datang dan gampang berlalu

Kalian bukan segala-galanya bagiku

Tempat pelarianku hanyalah DiriNya.

Ku singkirkan nafsu, maka aku tenang

Apa yang ada pada kalian, aku acuhkan

Kau tinggal aku, dan temukan diriku

Tanpa bunda, kemudian tanpa bapak

Ku temukan segala sesuatu sebelumku

Dan sesudahku, tanpa rasa canggung

Aku sirnakan kisi kemanusiaan diriku.

Fana' bersama wajah kedekatan DiriNya

Kini Akulah Sang Qudus itu

KeQudusan yang menyingkap misteri

Akulah zat Yang Tunggal itu

Kesempurnaan melahirkan ketakjuban

Akulah poros rotasi ruhiyah itu

Akulah puncak keluharan yang didamba

Akulah sentra segala keajaib. ci itu Keajaiban yang melahirkan keterpesonaan

Akulah bintang segala kebaikan itu KebaikanKu menyinari jagad timur dan barat

TempatKu diatas segala keluhuran

KeluluhuranKu tak tertandingi oleh sesuatu

Dalam setiap cermin ada gambarKu

Tampak jelas, tapi jarang yang bisa melihat

RahasiaKu meliputi semua dimensi

Maka jangan berpaling sekalipun dari DiriKu

Aku adalah Pencipta yang lahir dan batin

Zat Ku adalah kebenaran absolut.

Jangan heran! Allah hanya dikenal manusia yang luhur

yang tiada pernah membohongi mata Qalbunya.

EksistensiNya tetap wujud, seperti sediakala

Tiada perubahan atas zat Yang Kekal Abadi.

Segenap keluhuran bermuara kepadaNya.

Pemberi kasih ampunan kepada para pegiat dosa.

Sudah Edit 5. Ahadiyah (ke-Esaa-an)

Ahadiyah (ke-Esa-an), Ibarat tempat (sentra) manifestasi inti (dzat)-Nya, yang bukan dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tidak tampak bekas-bekas dus pengaruh-pengaruh nama dan sifat tersebut. Ahadiyah adalah isim (nama) untuk menunjukkan kemurnian inti (dzat)-Nya, yang terlepas dari segala pelik itibar ketuhanan dan kemakhlukan. Manifestasi ke-Esa-an al Haq di alam dan isinya alam ini, terlebih dalam diri anda tidak akan tertajallikan dengan sempurna, selama anda tenggelam dalam ke-aku-an diri anda, berikut anda melalaikan I'tibar kemanusiaan anda, lebih-lebih jika sifat dan karekteristik kemanusiaan anda mendominasi diri anda. Wajah kehidupan seperti itu akan menjadikan anda tercerabut dari nilai-nilai ketuhanan dan anda sama sekali tidak akan pernah bisa memakrifahi ke-Esa-an Diri Nya. Maka jadilah kamu dalam diri kamu dalam kesejatian dirimu, jangan nisbatkan dirimu kepada pelik kemanusiaanmu dan sifat-sifat kemakhlukan lainnya. Jika kau mampu mensucikan dirimu dari pelik dan sifat-sifat kemakhlukan, sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan) akan melanskapi dirimu, dan sifat-sifat ketuhanan (Dia) akan disematkan kepadamu, kaupun menjadi sentra (tempat) citra ketuhanan-Nya dalam wujud sifat-sifat ketuhanan yang dimanifestasikan dalam dirimu. Haal (kondisi spiritual) seperti itu merupakan penampakkan ke-Esa-an par excelent di alam dan isinya alam ini, dan manusia seperti itu juga merupakan manusia utama dalam kehidupan ini. Pahami betul masalah ini. Ahadiyah merupakan awal Tanazulat (penurunan) inti (dzat)-Nya, dari kegelapan kabut, menuju cahaya manifestasi, sedangkan manifestasi al Haq tertinggi adalah manifestasi ke-Esa-an Nya, hal mana dalam tajalli ini diwartakan batas pilah yang jelas, bahwasanya al Haq dalam tajalli ke-Esa-an ini benar-benar terjernihkan dari sifat-sifat, nama-nama, isyarat-isyarat, metafor-metafor, Ftibar-tibar dus atribut segala wujud. Esensinya tajalli ke-Esa-an terlepas dari segala sesuatu selain inti (dzat)-Nya, namun kesemua itu berdasarkan hukum batiniyah, bukan hukum lahiriyah. Hakekat ke-Esa-an dalam lanskap pandangan kaum awam (insan muslim kebanyakan) adalah ke-Esa-an dari yang banyak, atau inti segala sesuatu yang beraneka ragam. Semantis logika Ahadiyah ini laksana orang yang melihat tembok dari kejauhan, dimana tembok itu dibangun dari bahan (material) pasir, semen, batu bata dan material lainnya, akan tetapi ia tidak melihat bahan-bahan (material) tersebut yang ia lihat hanya tembok. Maka Ahadiyah tembok itu berasal dari pasir, semen, batu bata dan bahan material lainnya, bukan berasal dari nama bahan-bahan material yang ada, bahkan Ahadiyah tembok itu merupakan nama untuk struktur (konfigurasi) bahan-bahan bangunan yang menjadikan tembok tersebut maujud (ada).

Demikian halnya dengan diri anda, jika anda fokus dalam penyaksian diri, dan anda hanyut dalam ke-aku-an diri anda, yang dengan ke-aku-an itu anda menjadi 'kamu' dalam kesejatian 'kamu' maka anda tidak menyaksikan sesuatu, melainkan ke-dia-an anda. Pada fase ini, tidak ada suatu penampakkan yang tersaksikan oleh anda, selain hakekat diri anda yang dinisbatkan kepada diri anda, karena anda adalah kumpulan daripada inti hakekat-hakekat tersebut, itulah sejatinya Ahadiyah (ke-esa-an) anda, ia merupakan isim (nama) untuk tempat inti (dzat) diri anda, dengan I'tibar ke-dia-an anda, bukan I'tibar bahwa anda kumpulan hakekat-hakekat yang dinisbatkan kepada anda. Sebab jika anda merupakan bagian dari hakekat-hakekat yang dinisbatkan kepada anda, maka diri anda juga termasuk tempat tajalli ke-esa-an, padahal Ahadiyah anda itu merupakan isim (nama) untuk inti (dzat) anda, dan bukan wajah keterpencaran hakekat-hakekat itu sendiri. Realitas I'tibar -terjernihkan dari metafora, isyarat, paradoks- pelik kemakhlukan tersebut, dalam dimensi Uluhiyah (ketuhanan) diibaratkan dengan kemurnian inti (dzat)-Nya, yang terlepas dari pelik nama-nama, sifat-sifat dan pengaruh-pengaruhnya, pun segala pelik itibar ketuhanan dan kemakhlukan.

Ahadiyah merupakan tempat tajalli tertinggi, karena setiap manifestasi sesudahnya harus terikat dengan Uluhiyah (ketuhanan). Tajalli Ahadiyah bersifat universal dan tidak terikat kekhususan, Ahadiyah merupakan awal penampakkan inti (dzat)-Nya, sifat Ahadiyah (ke-Esa-an) tidak diperbolehkan untuk menyifati makhluk, karena ke-Esa-an merupakan kemurnian inti (dzat)-Nya yang tidak terkait dengan pelik ketuhanan dan kemakhlukan, sifat Ahadiyah juga tidak diperbolehkan untuk mensifati perbuatan dan pekerjaan makhluk, karena hukum ke-Esa-an sama sekali tidak berlaku bagi makhluk, ia murni untuk al Haq. Jika anda mampu Syuhud (menyaksikan) tajalli ini dengan kesaksian hakiki, niscaya anda akan memakrifahi kesejatian Tuhan dan Rabb anda, dan hal itu tidak harus menyirnakan esensi kemakhlukan anda. Ahadiyah sama sekali tidak terkait dengan Tfrakhluk, dan tidak ada nasib (bagian) sedikitpun bagi para makhluk-Nya untuk beroleh ke-Esa-an. Ia milik Allah semata. Maka telisik diri anda, utamanya disposisi anda yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan dan kemakhlukan. Posisikan diri anda pada hukum kemakhlukan, saksikan al Haq melalui hakekat inti (dzat)-Nya dari nama-nama, sifat-sifat-Nya. Anda tiada akan pernah bisa menyaksikan Diri Nya, sebelum anda menyaksikan diri anda, yakni pahami kesejatian diri anda, anda akan bisa memakrifahi kesejatian Diri Nya. Rasul saw bersabda :

Barang siapa yang mampu memakrifahi dirinya, ia akan paham Tuhannya.

Syair-syair al-Jilly

Inti zatku bagi DiriMu benar-benar murni

Isim dan sifat-sifat diriku tersucikan oleh zat Mu

Maka persaksikan kesucian ini,

dan ucapkan diriku berhak atas segala kebaikan yang langgeng

Minumlah dari cawan kesucian dan kebaikan

Jangan bilang, suatu hari aku tinggalkan cawan itu

Apa yang memberatkan dirimu metafora ini

Telisik kesejatian isimNya, tampak keAgungan zatNya

Kau jadikan Tajjali Zat untuk isim-isimMu

Agar mereka yang pongah tidak dapat menyingkapnya

Ini adalah amanat Agung. Jadikan dirimu Pemelihara amanat ini.

Dan jangan sebarkan rahasiaNya

Sudah Edit 6. Wahidiyah (ke-Tunggal-an)

Wahidiyah (ke-Tunggal-an), ibarat tempat tajalli inti (dzat)-Nya yang terlanskapkan dalam sifat-sifat al Haq, karena sifat-Nya merupakan bagian integral (elan vital) inti (dzat)-Nya, melalui penta'biran seperti ini, dapat dipahami bahwa sifat-sifat yang termanifestasikan merupakan inti sesuatu yang disifatinya, dan masing-masing sifat merupakan inti yang lain. Dengan ta'bir ini semantis logikanya nama, al Muntaqim (Yang Menuntut Bela) di dalamnya terkandung inti (dzat) Allah, dan Allah inti al Muntaqim, lebih dari itu al Muntaqim juga inti al Mun'im (Yang Memberi Nikmat), sebab al Mun'im adalah lawan daripada sifat al Muntaqim. Demikian pula jika tampak sifat al Wahidiyah (ke-Tunggal-an), pada anNi'mah (kenikmatan), maka ia merupakan inti nikmat, seperti halnya ia inti Niqmah (bencana). Karena Niqmah adalah lawan daripada Ni'mah, ni'mah yang ibarat rahmat itu, merupakan inti niqmah (bencana) yang diibaratkan inti adzab (siksa), sedang Niqmah yang merupakan siksa, ibarat inti Ni'mah yang merupakan inti rahmat. Semua itu merupakan I'tibar penampakkan inti (dzat)-Nya pada sifat-sifat-Nya dan bekas-bekas sifat-Nya, serta pada segala sesuatu yang manifestasi Wahidiyah-Nya tertampakkan. Namun demikian tajalli dalam dimensi ini berdasarkan I'tibar ketunggalan, bukan berdasarkan I'tibar pemberian hak kepada masing-masing (sesuatu) yang termanifestasikan, itulah sejatinya makna Tajalli al Dzatiy (manifestasi inti).

Ketahuilah, bahwasanya perbedaan antara Ahadiyah, Wahidiyah, Uluhiyah adalah, Ahadiyah tidak tampak didalamnya nama-nama dan sifat-sifat-Nya, ia ibarat kemurnian al Haq, yang tidak terkait dengan segala sesuatu selain inti (dzat)-Nya, ia murni inti Dzat. Sedangkan Wahidiyah tampak didalamnya nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta pengaruh-pengaruh-Nya, akan tetapi berdasarkan hukum inti (dzat)-Nya, bukan berdasarkan ragam kontradiktifnya, masing-masing adalah inti yang lain. Adapun Uluhiyah tampak di dalamnya nama-nama dan sifat-sifat-Nya berdasarkan hukum yang dimiliki masing-masing wujud, dalam Uluhiyah ini tertampakkan bahwa al Mun'im (Yang Memberi Nikmat) lawan daripada al Muntaqim (Yang Menuntut Bela), pun sebaliknya al Muntaqim lawan daripada al Mun'im, demikian pula dengan sifat-sifat dan sifat-sifat al Haq lainnya. Demikian halnya Ahadiyah juga tertampakkan dalam Uluhiyah, namun sejalan (pararel) dengan hukum Ahadiyah. Maka Uluhiyah dengan segala manifestasi-Nya, adalah sentra (tempat) penampakkan pemberian hak kepada masing-masing yang berhak. Sedang Ahadiyah tempat penampakkan (Sesungguhnya Allah, tidak ada satupun bersama­Nya). Adapun Wahidiyah merupakan tempat penampakkan sebagaimana termaktub dalam firman-Nya :

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali al Haq. (Q.s. al Qoshoshos 28 : 88).

Atas dasar itulah Ahadiyah lebih tinggi dibandingkan Wahidiyah, karena ia terkait dengan kemurnian inti (dzat)-Nya, sedangkan Uluhiyah lebih tinggi dibandingkan Ahadiyah, karena ia memberi Ahadiyah haknya. Maka hukum Uluhiyah, sejatinya adalah pemberian hak kepada masing-masing yang berhak, Uluhiyah merupakan nama-nama tertinggi dan sifat-sifat tertinggi, keutamaan Uluhiyah atas Ahadiyah, seperti keutamaan Kulli (universal) atas Juz'iy (parsial), keutamaan Ahadiyah atas tempat (sentra) Tajali Dzat, seperti keutamaan Asal atas Cabang, sedang keutamaan Wahidiyah atas tempat Tajalliyaat, seperti keutamaan perkumpulan atas ketercerai beraian. Telisik dan tafakkuri dengan seksama! Dimanakah posisimu diantara makna-makna diatas, makna-makna yang mana pula yang ada pada dirimu? Cari jawabannya dalam dirimu!

Syair-syair al-Jilly

Ketunggalan adalah manifestasi zat DiriKu

Tempat berkumpul ragam sifat-sifat DiriKu

Ragam sifat-sifat Ku satu dalam ketunggalan

Sungguh menakjubkan ragam sifat Satu Zat

Ketunggalan mengibaratkan ragam hakekat

Dalam Satu Zat, tanpa berbilang jumlahnya

Masing-masing sifat satu dalam ketunggalan

Ketunggalan dalam ragam sifat yang membunca

Furqan adalah citra zat Allah yang terkumpul

Bilangan sifat-safatNya seperti ragam ayat-ayatNya

Maka bacalah, akan terbaca olehmu rahasiaNya

Kau adalah keterangan yang jelas tentang ciptaanKu

Akan ku panen buah itu, akan tetapi.

Aku menanamnya agar kau petik buahnya

Tinggalkan, argumen-argumen utopis Inilah keyakianku, jangan kau distorsikan

Reguklah cawan ketunggalan DiriNya

Biarkan dirimu mabuk ketunggalanNya

Menarilah dengan gelas petunjukNya

Ikuti ragam irama ketunggalan DiriNya

Akan tampak olehmu kebaikan-kebaikanNya

Jangan kau rahasiakan kebahagiaan mu itu

Biarkan bahagiamu denganNya membunca

Bahagia bersamaNya hanya dilihat olehNya

Setiap biji-bijian akan terlepas dari kulitnya

Lepas kisi kemanusiaanmu dihadapanNya

Waspadai dirimu dari tirai penghalang.

Dan hijab terbesarmu adalah dirimu sendiri

Sudah Edit 7 Rahmaniyah (ke-pemurah-an)

Rahmaniyah, sejatinya adalah manifestasi inti (dzat)-Nya melalui hakekat nama-nama dan sifat-sifat, ia meliputi (mencakup) tajalli yang khusus mengenai inti (dzat)-Nya, semisal nama-nama-Nya yang berdimensi dzat, maupun tajalli nama dan sifat-Nya yang terkait dengan segenap makhluk-Nya, semisal al Aalim (Maha Mengetahui), al Qoodir (Maha Berkuasa), dan as Saami' (Maha Mendengar), dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hakekat segala wujud. Rahmaniyah merupakan isim (nama), untuk segenap martabat (kedudukan) ketuhanan, dan sama sekali tidak terkait dengan martabat kemakhlukan, Rahmaniyah lebih khusus dibandingkan Uluhiyah, karena ke-spesialan-nya sejalan dengan ke-khusus-an al Haq. Uluhiyah merupakan sifat-Nya yang menghimpun hukum-hukum ketuhanan dan kemakhlukan, karenanya Uluhiyah bersifat umum sedang Rahmaniyah bersifat khusus. Dengan I'tibar seperti ini Rahmaniyah lebih mulia dibandingkan Uluhiyah, karena ia ibarat penampakkan inti (dzat) dalam martabat ketinggihan, serta at Tanzih (transendensi)-Nya dari martabat-martabat yang rendah. Tidak ada martabat yang berdimensikan inti (dzat)-Nya dalam manifestasi yang bersifat khusus pada martabat ketinggian selaras dengan hukum universal, kecuali martabat Rahmaniyah ini.

Maka nisbat kedudukan Rahmaniyah kepada Uluhiyah adalah seperti nisbat gula kepada pohon tebu. Gula merupakan sari tumbuhan tertinggi yang ada dalam pohon tebu bahkan pada pepohonan yang lain, jika anda mengakui bahwah pohon tebu merupakan tetumbuhan yang banyak mengandung sari gula dan merupakan bahan utama untuk pembuatan gula, maka pohon tebu adalah pohon utama dibandingkan pohon-pohon lain untuk menghasilkan (memproduksi) gula. Keutamaan pohon tebu dibandingkan pepohonan lain, sama halnya dengan keutamaan Rahmaniyah dibandingan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Seperti itu pula nisbat Rahmaniyah kepada Uluhiyah, yakni Rahmaniyah lebih utama dibandingkan Uluhiyah. Adapun nama Dzahir (yang tampak) dalam martabat Rahmaniyah adalah al Rahman ia merupakan muara nama-nama-Nya yang berdimensikan inti (dzat)Nya, dan sifat-sifat Diri Pribadi-Nya, yang berjumlah tujuh yaitu : al Hayah (Mahahidup), al Ilm (Mahaberpengetahuan), al Qudrah (Mahaberkuasa), al Iradah (Mahaberkemauan), al Sam'u (Mahamendengar), al Bashar (Mahamelihat), al Kalaam (Mahaberbicara), juga nama-nama yang berdimensikan inti (dzat)-Nya, semisal : Ahadiyah (ke-Esa-an), Wahidiyah (ke-Tunggal-an), as Shamdaniyah (Tumpuhan segala-galanya), al Adhamah (ke-Agung-an), al Oudsiyah (ke-Suci-an), dan lain sebagainya, kesemua sifat dan nama itu hanya untuk dzat yang Wajib al Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Dia-lah (Allah) Jallah Jalaalah Tuhan Yang Maha Suci, Diraja yang wajib disembah

Kehususan martabat ini dengan nama-Nya al Rahman itu adalah untuk menunjukkan Rahmat Kulli (Universal) bagi setiap kedudukan (martabat), baik yang berdimensi ketuhanan maupun kemakhlukan. Jika manifestasi-Nya berdimensikan martabat ketuhanan, maka martabat kemakhlukan pasti tertajallikan, karenanya rahmat bersifat umum dalam Maujudaat (segala wujud), lahir dari presensi (hadrah) Rahmaniyah. Awal rahmat yang dikaruniakan Allah dalam Maujudaat, adalah Dia mengadakan alam dari diri-Nya, sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya.

Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi semuanya sebagai rahmat dari Diri Nya. (Q.s. al Jaatsiyah 45 : 13)

karenanya wujud­Nya mengalir sejalan dengan adanya Maujudaat (segala wujud), demikian pula dengan kesempurnaan-Nya termanifestasikan pada setiap pertikel dan person yang ada pada elemen-elemen alam makro maupun mikro. Dia tidak berbilang dan tetap Esa serta Tunggal, meski manifestasi-Nya maujud dalam segala wujud pun beraneka ragam. Dia kesatuan dari yang banyak, semua manifestasi-Nya adalah wajah dari kesempurnaan-Nya, tidak ada satu wujudpun melainkan Dia inti wujudnya, ia mencitrakan diri-Nya dalam segala wujud yang ada.

Rahasia dari pewujudan (pengkaryaan) alam dari Diri Nya, merupakan metafor bahwasanya Dia tidak terbagi-bagi, segala sesuatu yang ada di alam semesta dan isinya alam, adalah Dia dengan segala kesempurnaan-Nya. Maka hukum isim (penciptaan) yang terlembagakan dalam wajah-wajah kesempurnaan (Dia) pada Majududaat (segala wujud) itulah sejatinya yang dinamakan pinjaman. Bukan seperti yang diklaim banyak orang, bahwasanya sifat-sifat ketuhanan itulah yang melahirkan hukum pinjaman terhadap hamba. Dengan demikian esensi (pinjaman) yang terdapat pada segala wujud, tidak lain merupakan nisbat wujud ciptaan kepada inti penciptaan itu sendiri. Maka wujud al Haq adalah asal segala wujud, Dia meminjamkan kesejatian Diri Nya kepada isim (nama) penciptaan, yang dengan itu tertampakkan rahasia-rahasia ketuhanan dan hal-hal yang terkait dengan-Nya baik yang senada maupun yang berlawanan, al Haq merupkan Huyuli (benda pertama) alam dan isinya alam, Dia berfirman :

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan alHaq. (Q.s. al Hijr 15 : 85).

Alam dan isinya ini ibarat salju sedangkan al Haq ibarat air, bukankah air asal dari salju demikian pula dengan al Haq, adalah asal segala wujud, isim yang terkandung dalam salju berdimensi pinjaman, sedang isim yang terkandung dalam air berdimensikan hakekat.

Ketahuilah, bahwasanya Rahmaniyah merupakan manifestasi ketuhanan teragung, dan tempat penampakkan yang paling sempurna serta ter-utuh, karenanya Rububiyah merupakan Arsy (Singgasana) Rahmaniyah Mulukiyah (kekuasaan) adalah kursinya, Adzamah (keagungan) bantalnya, al Qudrah (kodrat) belnya, Jalaliyah (keperkasaan) bunyinya. Isim ar Rahmaan tertampakkan pada segala kesempurnaan, dengan tampilan penuh ke-eksis-an, mengalir sejalan dengan eksistensi Maujudaat (segala wujud), berikut peliputan (kuasa)-nya atas hukum segala wujud, yaitu bersemayamnya (isim ini) diatas Arsy, sebab pada setiap Maujudaat (segala wujud) terdapat inti (dzat)-Nya. Semantis logikanya dengan hukum peliputan (kuasa)nya atas segala wujud tersebut, isim ar Rahman merupakan singgasana (Arsy) untuk menifestasi inti (dzat)-Nya dalam penampakkan lahiriyah. Kita akan kaji secara detil masalah ini dalam bab Arsy dalam kitab ini juga. Adapun peliputan kuasa ar Rahman terwajahkan dengan al Qudrah (kekuasaan), al Ilm (pengetahuan), berikut peliputan atas Maujudaat (setiap wujud), bersama wujud-Nya berdasarkan hukum ke-arsy-an yang tersucikan dari Hului (panteisme) dan Tasybih (antropomorfisme) serta Wahda al Wujud (manunggal waujud) mutlak. Bagaimana mungkin al Haq disifati, panteisme, antropomorfisme, manunggal wujud mutlak, sedang Dia adalah inti (dzat) Maujudaat (segala wujud) itu sendiri. Wujud al Haq ada di dalam Maujudaatihi (segala wujud yang diadakan-Nya) berdasar hukum yang lahir dari dimensi nama-Nya (ar Rahman). Dia merahmati segenap makhluk-Nya dengan manifestasi didalamnya serta penampakkan makhluk dalam diri-Nya, kedua hal tersebut terjadi antara al Haq dengan makhluk-Nya.

Ketahuilah, bahwasanya imajinasi jika membentuk citra tertentu dalam benak (pemikiran) seseorang, maka bentuk imajinatif itu adalah makhluk. Semantis logikanya setiap pencipta maujud (ada) pada tiap-tiap makhluk (ciptaan). Kreasi imajinatif yang terbentuk, dan ada dalam benak anda, membuat anda ibarat al Haq dengan I'tibar keberadaan (wujud) imajinasi itu dalam diri anda. Dengan semantis logika seperti itu, adalah sebuah keharusan bagi anda untuk mencitrakan al Haq dalam diri anda, agar anda menggapai al Wujdaan (intuisi). Saya (al Jaliy) telah mewanti-wanti dalam pasal ini, agar menelisik rahasia agung yang terdapat pada Qodar al Haq, sebab dari Qodar-Nya tersebut dapat diketahui rahasia-rahasia Allah, demikian pula dengan rahasia-rahasiaNya yang berserak dalam ilmu ketuhanan, kesemuanya merupakan satu ilmu. Darinya dapat dipahami bahwasanya, keberadaan al Qudrah asal (sumber)nya dari Ahadiyah (ke-Tunggal-an), akan tetapi melalui bingkai penampakkan Rahmaniyah. Demikian pula dengan keberadaan ilmu sumber (asah­nya juga dari Wahidiyah (ke-Tunggal-an), namun dari sentra penampakkan Rahmaniyah, kesemua itu mengandung nuqta-nuqta (titik-titik) isyarat yang mengarah kepada subtansi kesempurnaan-Nya. Tafakkuri dengan jeli masalah ini, agar anda tidak terjebak dalam artian simbolistik dan terbutakan dari makna-makna hakiki.

[Pasal]. Ketahuilah, bahwasanya ar Rahim (Maha Penyayang) dan ar Rahman (Maha Pemurah), dua nama yang berasal dari asal kata Rahmat, namun yang patut anda garis bawahi, ar Rahman bersifat umum, sedang ar Rahim bersifat khusus, keumuman ar Rahman, karena penampakkan rahmat-Nya pada setiap Maujudaat (segala wujud). Kespesialan ar Rahim, disebabkan kekhususan yang melingkupi ahli Sa'adah (kebahagiaan) bersama-Nya. Rahmat yang lahir dari ar Rahman bercampur dengan niqmah (bencana), semisal si pesakitan yang minum obat yang rasanya pahit dan berbau anyir, meski obat itu merupakan rahmat bagi si-sakit, namun hal itu diluar kelaziman tabiat kebahagiaan. Sedangkan rahmat yang lahir dari ar Rahim, tidak tercampuri oleh rasa ketidak enakkan, ia merupakan kenikmatan murni dan kenikmatan dalam bentuk ini tidak akan perna didapatkan, melainkan oleh ahli kebahagiaan yang sempurna di Surga-Nya. Diantara bentuk rahmat yang berada dibawah isim (nama)-Nya (( ar Rahim )) adalah rahmat al Haq untuk sifat-sifat­Nya dan nama-nama-Nya dengan penampakkan bekas-bekas dan pengaruh-pengaruh-Nya. al Rahim dalam al Rahman laksana mata dalam struktur tubuh manusia, salah satunya lebih mulia, lebih tinggi dan lebih murni, sedang lainnya bersifat umum dan menyeluruh. Karenanya para pegiat hakekat menandaskan : Sesungguhnya ar Rahim tidak tampak rahmatnya dengan penampakkan paripurna, kecuali dalam kehidupan kampung ahirat, karena ahirat lebih luas dibandingkan dunia, lebih dari itu setiap nikmat di dunia berselimutkan duka, karena ia berada dalam naungan Rahmaniyah. Kami telah mengulas masalah ini secara detil dalam kitab kami yang berujudul al Kahfi wa al Raqim fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim. Barang siapa yang ingin mendalaminya, silahkan baca kitab tersebut :

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Menelisik kesejatian diri adalah kunci pembuka RahmanNya.

Manusia yang berhati jernih, akan selalu mengintropeksi dirinya

Cermin setiap mahluk laksana patung es

Kaulah airnya, dan Dia sumber mata airnya

Tidak akan pernah ada salju tanpa airNya

Mata air kehidupan ini, bersumber dariNya

Salju membeku berdasarkan ketentuanNya

Air mengalir sejalan dengan aliran kehidupan

Ragam mata air hanya satu sumbernya

Satu-satunya sumber kehidupan adalah DiriNya

Sudah Edit 8. Rububiyah  (ke-pengatur-an)

Rububiyah : Nama martabat yang mendefinisikan (menunjukkan) nama-nama yang dibutuhkan Maujudaat (segala wujud). Nama Rububiyah ini meliputi nama-nama Nya : al 'Aliim (Yang berpengetahuan), al Qoodir (Yang berkuasa), al Muurid (Yang berkemauan), as Samii' (Yang mendengar), al Bashiir (Yang melihat), al Malik (Yang memiliki kekuasaan) dan lain sebagainya. Masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat tersebut melahirkan bias pengaruh dan pewacanaan sifat dan nama yang ada. Semisal al Aliim melahirkan pengetahuan hingga ada yang bisa diketahui, al Qoodir (Yang berkuasa) melahirkan kekuasaan dan ada yang dikuasai pun dikuasakan, al Muriid (Yang menghendaki) melahirkan sesuatu yang dikehendaki dan lain sebagainya. Ketahuilah bahwasanya nama-nama yang berada dibawah naungan nama-Nya (ar Rabb), adalah nama-nama Musytarak (ambigu) diantara al Haq dengan makhluk-Nya, serta merupakan nama Khash (eksklusif) bagi makhluk-Nya dengan kekhususan pengaruh nama-nama ambigu (Musytarak) antara yang dikhususkan kepada al Haq, dengan nama-nama-Nya yang diperuntukkan bagi makhluk-Nya, semisal nama-Nya al Aalim -yang mengetahui-, ia merupakan nama yang berdimensi Hawiyah (ke-Diri-an) Nya, karenanya para pegiat hakikat menandaskan : Jika kau mengetahui diri-Nya, kau akan mengetahui ciptaan-Nya, jika kau mendengar diri-Nya, kau akan mendengar lainnya, juga jika kau melihat diriNya, kau akan melihat lainnya dan banyak lagi nama-nama yang Musytarak (ambigu) antara al Haq dengan makhluk-Nya.

Pahamilah yang kami maksudkan dengan Musytarakah (ambiguitas) adalah bahwa isim (nama) tersebut memiliki dua wajah, pertama wajah yang berdimensikan ketuhanan, kedua wajah yang diperlihatkan oleh-Nya kepada segenap makhluk-Nya, seperti yang telah kita bahas pada pasal terdahulu. Adapun nama-nama yang dikhususkan untuk makhluk-Nya semisal nama-nama yang berdimensi al Af'aal (perbuatan-perbuatan) serta nama-Nya al Qoodir. Karenanya para pegiat hakekat menandaskan : Dia menciptakan segala wujud, bukan Dia menciptakan diri-Nya, Dia memberi rizki segala wujud, bukan memberi rizki diri-Nya, Dia berkuasa atas segala makhluk-Nya, bukan berkuasa atas diri-Nya, penciptaan, pemberian dan kekuasaan diperuntukkan untuk makhluk-Nya bukan untuk Diri Nya. Semua itu wajah daripada Af'aal (perbuatan-perbuatan)-Nya, bukan wajah daripada diri-Nya, kesemua itu berada dibawah isim-Nya (al Mulk). Semantis logikanya seorang yang ditahbiskan menjadi raja pasti memiliki kerajaan, adapun perbedaan antara nama-Nya (al Mulk) dengan nama-Nya (ar Rabb), al Mulk adalah isim (nama) untuk kedudukan (martabat) yang dibawahnya nama-nama yang berdimensikan Af'aal (perbuatan-perbuatan), itulah isyarat ke-khusus-an keterkaitan antara Diri Nya dengan makhluk-Nya. Sedangkan ar Rabb, isim untuk martabat yang dibawahnya nama-nama yang berdimensi Musytarakah (ambiguitas) yang dikhususkan bagi makhluk-Nya.

Perbedaan antara ar Rabb dengan ar Rahman, bahwa ar Rahman isim untuk kedudukan yang dikhususkan bagi segenap sifat-sifat ketinggihan Ilahiyah, baik yang bersifat eksklusif inti (dzat)-Nya semisal Maha Agung dan Maha Esa, atau sifat ambigu antara diri Nya dan makhluk-Nya, semisal Agung dan Melihat, atau sifat eksklusif untuk segenap makhluk-Nya, semisal al Kholiq (sang pencipta) atau al Razzaaq (sang pemberi rizki). Perbedaan isim ar Rahman dengan isim Allah. Isim Allah untuk martabat inti (dzat)-Nya, yang mencakup hakekat segala wujud ketinggihan (langit) dan kerendahan (bumi), isim ar Rahman berada dibawah naungan nama (Allah), isim ar Rabb dibawah naungan isim ar Rahman, isim al Mulk dibawah naungan isim ar Rabb. Rububiyah ibarat Arsy : yakni singgasana penampakkan-Nya, dengannya tertampakkan ar Rahman pada segala wujud, ia juga merupakan centra penglihatan yang dengan-nya ar Rahman melihat segala wujud. Dengan martabat ini, penisbatan antara al Haq dengan hamba-Nya sangatlah valid, tidakkah anda pernah menyimak sabda rasul saw :

Sesungguhnya gapaian rahmat diambil melalui mediasi ar Rahman,

karena Rububiyah merupakan merupakan wasilah (media) menuju Rahmaniyah. Dengan demikian Rahmaniyah merupakan organiser (sentra mediasi) antara kekhususan al Haq dengan apa-apa yang terkait dengan dimensi kemahlukam dan kekhususan makhluk. Nama-nama Musytarak (ambigu) merupakan media perantara yang tidak lain merupakan singgasana Rububiyah. Keterkaitan rahmat dengan ar Rahman, adalah laksana keterikatan antara ar Rabb (pengatur) dengan al Marbuub (yang diatur). Maka tidak akan ada Rabb, melainkan Dia memiliki Marbuub (yang diatur), penisbatan seperti ini merupakan sebuah kelaziman antara Allah dengan para hamba-Nya. Maka telisik dengan jeli, keterkaitan dan keterikatan tersebut dengan mediasi-nya, pahami pula rahasia keterkaitan itu, patrikan dalam benak anda bahwasanya al Haq, tersucikan dari ketersambungan sesuatu yang terpisahkan dari-Nya. Dia tidak berkewajiban menyambung sesuatu yang memutuskan dirinya dengan-Nya, pun sebaliknya ia tidak berkewajiban memutuskan sesuatu yang menyambungkan dirinya dengan-Nya. Semua rahasia itu terhampar luas dalam ragam manisfestasi-Nya pada Maujudaat (segala wujud) di alam dan isinya alam ini.

Ketahuilah, bahwasanya Rububiyah memiliki tajalli yang bersifat Maknawi dan tajalli yang bersifat Shuwari (pencitraan). Tajalli Maknawi penampakkan-Nya dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya, sejalan dengan hukum transendensi (Tanzih) dan kesempurnaan-Nya. Tajalli pencitraan (Shuwari) manifestasi-Nya dalam segenap makhluk-Nya, sejalan dengan hukum antropomorfisme (Tasybih) ciptaan-Nya, serta apa yang meliputi makhluk-Nya dari ragam kekurangan. Jikalau al Haq bermanifestasi pada salah satu makhluk-Nya, sejalan dengan hukum antropomorfisme (Tasybih), maka manifestasi itu ter-transendensi-kan dari Taysbih Mutlak, karena hal itu tidak terkait dengan inti (dzat)-Nya, namun berkaitan dengan pencitraan dan suplemen penyerupaan. Secara Maknawiya'i itu berarti tersucikan dari penyerupaan mutlak, lebih dari itu manifestasi citra dan makna merupakan manifestasi Diri Nya. Semantis logikanya penampakkan Maknawi juga merupakan p enampakkan citra-Nya, satu sama lain saling mengeser dan menutupi, yang berujung pada satu masalah krusial yaitu hijab diri. Pahami dengan seksama masalah ini.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Kami ini hanyalah penyembah DiriMu

Dekatlah, dan jangan berpaling dari kami

Tidak ada yang wujud selain Engkau

Engkau tampak dalam Nyata dan Gaib.

Engkau adalah cermin keindahan kami

KeindahanMu adalah keindahan kami

Alam ini wujud karena adanya kami

Engkau Ada, sebelum alam dan kami maujud

Kau singkapkan kami rahasia DiriMu

Dibalik 'laku' kebaikanMu, tapi, kami abai

Engkau namai DiriMu,

Baik dan Mulia Terimalah 'laku' kebaikan dan mulia kami

Engkau bilang, hati kami akan mengeras

Jikalau jauh dariMu, maka dekatkanlah kami

Dengan namaMu pemimin jadi agung

Dengan nama mahluk pemimpin jadi rendah

Engkau hiasi kami dengan keindahanMu

Kesetiaan kami, melanggengkan keindahanMu

Kesempurnaan dan keindahanmu abadi

Engkau adalah muara segala kesempurnaan insani

Sudah Edit 9. Kabut

Ketahuilah, kabut ibarat inti segala hakekat yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat ketuhanan dan kemakhlukan, ia merupakan inti (dzat) murni, karena tidak terkait dengan kedudukan-kedudukan (Maratib) ketuhanan dan kemakhlukan, ia juga tidak terkait dengan pelik nama dan sifat. Itulah sejatinya apa yang diisyaratkan rasulullah saw dalam sabdanya :

Sesungguhnya kabut itu diatasnya tidak ada udara, dibawahnya juga tidak berudara,

yakni bukan al Haq juga bukan makhluk (ciptaan). Dengan demikian kabut sepadan dengan Ahadiyah (ke-Esa-an). Seperti halnya Ahadiyah yang tidak terkait dengan pelik nama-nama dan sifat-sifat serta tidak ada sesuatupun yang tampak padanya, demikian pula dengan kabut, tidak ada satupun yang berbasiskan penampakkan darinya. Perbedaan antara Ahadiyah dengan Kabut, bahwa Ahadiyah terkait dengan hukum dzat dalam dzat, dengan kehendak ketinggihan, ia merupakan basis penampakkan ke-Esa-an inti (dzat)-Nya. Sedangkan kabut terkait dengan hukum dzat dengan kehendak mutlak, tidak ada satupun dari mereka-mereka yang berada di alam ketinggihan dan kerendahan memahaminya, ia merupakan inti batin dzat-Nya, ia sepadan dengan Ahadiyah yang merupakan kemurnian ketuhanan yang berdimensikan inti (dzat)-Nya. Ahadiyah merupakan kemurnian inti (dzat)-Nya dengan hukum tajalli (penampakkan) sedang Kabut merupakan kemurnian inti (dzat)-Nya dengan hukum Istitar (ketertutupan).

Adalah Allah, Tuhan Yang Maha Berkuasa untuk menutup diri­Nya dari tajalli, atau membuka diri Nya dari ketertutupan. Dia berkuasa atas segala kehendak inti (dzat)-Nya, baik yang berupa kehendak bermanifestasi maupun tidak bermanifestasi, kehendak lahir maupun batin, berikut kehendak lainnya semisal : keadaan, peruntutan, I'tibar, penambahan, nama-nama dan sifat-sifat, semuanya tidak pernah beralih dan berubah. Dia tidak memakai sesuatu lalu menanggalkan sesuatu, atau melepas sesuatu lalu mengambil sesuatu. Hukum dzat al Haq adalah seperti sedia kala, tidak ada bongkar pasang, tidak pula ada pergatian, ia tetap seperti sedia kalah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya :

Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Q.s. ar Ruum 30 : 30)

yakni sifat al Haq yang ada pada ciptaan tersebut. Perubahan dan pergatian hanya terjadi pada etos pencitraan, tambahan dan I'tibar, contohnya seperti hukum manifestasi-Nya pada diri-Nya dan yang tampak kepada kita. al Haq dengan diri-Nya adalah sama dengan Dia dengan segala tajalli-Nya yang tampak pada kita. Hukum manifestasi-Nya berlandaskan hukum ke-Esa-an Nya. Dia merupakan kesatuan dari yang banyak, semua yang banyak itu sejatinya adalah satu, tidak berbilang. Dia memanifestasi diri-Nya dalam azaliyah (zaman azali) sebagaimana Dia tertampakkan dalam abadiyah (kekekalan abadi).

Tajalli Tunggal ini merupakan sentra tajalli yang tidak membiaskan manifestasi kepada selain Diri Nya, para makhluk-Nya tidak memiliki nasib (bagian) sedikitpun dari tajalli tersebut. Tajalli ini tidak menerima I'tibar, pembagian, penambahan, sifat-sifat dan segala sesuatu yang lain, jika dalam tajalli itu terdapat nisbat para makhluk-Nya, maka tajalli itu membutuhkan I'tibar, sifat dan penisbatan pun sesuatu yang lain, kesemua itu sama sekali tidak terkait dengan hukum tajalli ini. Dalam hukum tajalli ini, Dia bertajalli dengan inti (dzat)-Nya, sejak zaman azali hingga zaman abadi, tajalli ini juga selaras dengan tajalliyaat ketuhanan yang lain, baik yang berdimensi inti (dzat)-Nya, Af'aal (perbuatan-perbuatan-Nya, asmaa' (nama-nama)-Nya, sifat-sifat Nya. Hakekat semua manifestasi tersebut tertampakkan pada para hamba-Nya. Kongklosinya tajalli tunggal yang berdimensikan inti (dzat)-Nya berikut ragam manifestasi-Nya, tidak menutup kemungkinan melahirkan Tajalliyaat dengan yang lain, namun demikian hukum manifestasi dengan yang lain tersebut, tetap dibawah hukum manifestasi tunggal. Semantis logikanya seperti hukum bintang-bintang (planet-planet) matahari, kadang ada, kadang hilang, sejalan dengan hukum peredaran cahaya sinar matahari, cahaya bintang-bintang itu sendiri sejatinya adalah cahaya matahari, karena asal cahaya pada bintang-bintang tersebut berasal dari cahaya matahari. Demikian pula dengan wajah manifestasi ketuhanan lainnya, ia merupakan percikan tajalli tunggal ini, atau buliran setitik air dari samudera manifestasi tunggal ini, semua penampakkan itu akan lenyap sejalan dengan hadirnya dominasi tajalli inti (dzat)-Nya, yang Dia berhak atasnya berdasarkan ilmu Diri Nya, sedang tajalli lainnya juga berhak atas dirinya, namun berdasarkan ilmu yang lain. Pahami dengan seksama masalah ini. Dengan demikian jelas sekali, bahwa sejatinya kabut itu adalah ibarat inti (dzat)-Nya dengan I'tibar mutlak, dalam batin (kegaiban) dan ketertutupan. Ahidiyah juga sepadan dengan kabut ini, dengan I'tibar penampakkan ketinggihan dengan keharusan lengsernya I'tibar di dalamnya. Adapun yang kami maksudkan dengan I'tibar penampakkan dan I'tibar ketertutupan, semata-mata karena keterkaitan makna, guna memudahkan pemahaman bagi para penyimaknya, karena Dia berdasarkan hukum kabut merupakan I'tibar (Batin), Dia berdasar hukum Ahadiyah merupakan I'tibar (Dhahir).

Ketahuilah, bahwasanya dalam dirimu terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya, pahamilah bahwasanya al Haq telah membuat perumpaan untuk dirimu, al Haq memiliki Mastaal al Alah (contoh ketinggihan) yang terwajahkan dalam kabut, dan kabut itu juga ada pada dirimu. Jika kamu tidak mampu menghadirkan dirimu secara mutlak, yakni universalitas ke-kamu-an dirimu, lebih-lebih jika kamu tidak mampu memahami kesejatian eksistensi dirimu, niscaya kabut itu akan menyelimuti dirimu. Dengan semantis logika seperti ini, sejatinya dirimu adalah ibarat inti (dzat) kabut, tidakkah kau tafakkuri dengan I'tibar bahwa al Haq adalah inti (dzat) dirimu, dan hakekat ke-dia-an dirimu? namun kau sering melalaikan bahkan menafikan hakekat yang merupakan inti kesejatian dirimu! Dia adalah inti (dzat) kabut, dan kau inti (dzat)-Nya, dengan I'tibar seperti ini kau adalah inti (dzat) kabut tersebut, kau dan sisi hakekatmu tidak akan terhijabkan dari-Nya, karena hukum penampakkan al Haq tidak akan terhijabkan dari diri-Nya. Maka penampakkamu dalam bingkai hakekat dirimu dengan hukum penampakkan al Haq, adalah ibarat penampakkan kabut dalam hukum penampakkan-Nya, itu pula yang merupakan kesejatian Istitar (ketertutupan) hakekat dirimu dalam hukum makhluK (ciptaan). Karenanya jika nafsumu yang tertampakkan pada dirimu, Dia akan tertutup darimu, sebaliknya jika Dia dominan dalam dirimu nafsumu sirna, inilah contoh yang jamak kami wartakan kepada segenap insan, namun sedikit sekali dari mereka yang mau memperhatikan, dan jarang sekali orang yang mau mengoptimalkan akal pikirnya kecuali manusia-manusia yang berpengetahuan. Atas dasar ini pula tatkala rasul Muhammad saw ditanya anak zamannya,

Dimanakah al Haq berada, sebelum Dia menciptakan makhluk?.

Rasul saw menjawab dengan tegas,

Dia berada dalam kabut.

Sebab manifestasi diri-Nya, harus sejalan dengan nama-Nya dan harus tidak ada Istitar (ketertutupan) sebelumnya, yang dimaksud dengan 'sebelumnya' disini adalah yang berlandaskan hukum (penciptaan), bukan 'sebelumnya' yang bermaknakan waktu!

Al Haq Jallah Jalaalah, antara diri Nya dan makhluk-Nya terlepas (tersucikan) dari jarak dan ruang waktu, keterpisahan, dan ketersambungan, keharusan dan sebab-sebab lain yang lahir dari dimensi ruang dan waktu, al Haq tersucikan dari semua itu. Ketahuilah keterpisahan, ketersambungan, keharusan adalah merupakan pelik kemakhlukan yang terkait dengan makhluk-Nya. Cobalah bersemantis logika bagaimana mungkin antara al Haq dengan makhluk-Nya ada makhluk lain? Jika hal itu terjadi maka akan melahirkan Tasalsul (berturut-turut) dan ad Daur (rotasi) keduanya adalah mustahil bagi al Haq, dengan demikian Qobliyah (sebelumnya) dan Ba'diyah (sesudahnya), awal dan akhir berdimensi hukum penta'biran wacana serta penambahan, bukan ta'bir zaman dan tempat. Para pegiat hakekat menandaskan : Adalah sebuah kemestian bagi al Haq sebelum Dia menciptakan makhluk, berada dalam kabut, bahkan paska penciptaan makhluk Dia juga berada di dalamnya. Dengan semantis logika seperti ini dapat dipahami bahwasanya maksud daripada kabut sejatinya adalah hukum as Saabiq (terdahulu) yang berdimensikan inti (dzat)-Nya, dengan ketiadaan I'tibar-I'tibar. Penciptaan makhluk menghendaki penampakkan, dan tajalli merupakan hukum yang berkaitan dengan inti (dzat) beserta wujud I'tibar. Dengan begitu hukum as Saabiq (terdahulu) adalah sama dengan hukum Qobliyah (sebelumnya), hukum kerterkaitan juga melahirkan hukum keterjauhan. Kabut bukan hanya melahirkan hukum sebelum atau sesudah, ia bahkan melahirkan hukum yang awal dan yang akhir. Hal yang mentakjubkan dalam masalah ini, bahwa manifestasi-Nya adalah juga inti batin-Nya yang sama sekali tidak terkait dengan wajah I'tibar maupun intisab (peruntutan), bahkan inti ini dan inti itu, awal-Nya adalah ahiran-Nya, sebelum-Nya adalah sesudah-Nya. Realita hakiki tersebut jelas menggoncangkan pikiran dan merupakan batu sandungan yang menghadang langkah para peniti jalan al Haq untuk menggapai maqom ketersambungan (wushul). Karena tataran logika manusia -siapapun orangnya-, tidak akan mampu menakarnya, mereka yang menuhankan akal jelas akan berkata, hal tersebut tidak logis!

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Sesungguhnya Kabut adalah tempat pertama

Falak mentari kebaikan yang tidak pernah terbenam

Ia adalah jiwa, dengannya jiwa Allah terTajallikan

Ia adalah alam, yang tidak dikeluarkan dan tidak berubah

Meski menyembul kobaran api dari kayu pepohonan

Eksistensi kabut, tetap seperti sediakala dan tidak lenyap

Pepohonan kering yang disulut api, akan berkobar

Itulah, hukum kehidupan yang tiada satupun menafikan

Fokuskan penglihatan hati kalian kepada kabut ini

Akan kalian dapati, ketentuan taqdirNya tidak berubah

Kabut menjadi misteri bagi 'menuhankan' logika

Ia menjadi realita Nyata, bagi yang jernih dan tajam

Qalbu Kabut adalah jiwaNya, bukan karena misteri kegelapannya

Justru karena terang benderangnya yang dilihat mata Qalbu

Kabut adalah cermin keEsaan dan keTunggalanNya

Ia misteri dan gelap, bagi mereka yang pongah, tidak jernih hati

Kabut adalah 'wajah' Nyata kelembutan zat DiriNya

Kesejatian zat DiriNya tersimpan rapi dalam Kabut Awwal.

Diatas janji yang telah dimaklumatkan dihadapanNya

Segala mega bencana yang membelit tidak akan mengkoyaknya

Keeksisanmu memegang sumpah setia bakti kepadaNya.

Melahirkan kasih perlindunganNya yang menyejukkan jiwamu

Prilakumu yang menodai setia janjimu kepada DiriNya

Akan menjadikan dirimu tercampakkan dari presensi DiriNya

Reguk cawan keridhaan DiriNya dengan penyesalanmu

Sebuah penyesalan yang melahirkan kebaktian abadimu kepadaNya

Jangan putus asa mentradisikan sumpah setiamu kepadaNya

Sebagaimana mentari yang tidak perna jemuh beredar pada porosnya

Tiada satu bencanapun yang menimpamu tanpa kelembutanNya

Putus asamu terhadap rahmatNya, akan menjadikan dirimu terhijab

Setiap belitan hidup yang kau sikapi dengan penuh kerelaan

membuatmu mengerti hakekat kesempurnaan dan keindahanNya

Kau tidak perlu berpayah-payah mengurai keindahanNya

Seperti kepayahanmu menelisik hakekat elang emas misteri dan gelap

Sudah Edit 10. At Tanzih (Transendensi)

Tanzih ibarat, ketunggalan al Qodim (eternitas) dengan segala sifat dan nama-Nya serta inti (dzat)-Nya, Dia berhak atas segala sesuatu selain Diri Nya, melalui jalan ketinggihan dan asal penciptaan, bukan dengan I'tibar bahwa al Muhdits (sesuatu yang baru, adanya karena diciptakan), duplikat dan penyerupaan-Nya. al Haq tersucikan dari segala bentuk antropomorfisme (Tasybih) dan duplikasi. Kita (para hamba-Nya) hanya bisa mensucikan diri dari Muhdatsaat (sesuatu yang baru) dari segala bentuk kesyirikan ubudiyah, agar bisa Wishal (sampai) pada kesucian al Qodiim (eternitas). Kesucian kita hendaknya tidak sebatas pada kesucian al Muhdits (kebaruan), namun kesucian yang bermuara kepada kesucian hakiki yakni kepada dzat al Qodiim. Penyucian Huduts (kebaruan) berdasarkan nisbat jenisnya, sedang pensucian al Qodim tidak berdasar nisbat jenis-Nya, karena al Haq tidak mungkin disifati dengan sifat Naqs (kurang), tidak pula harus dibersihkan, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Sempurna, Dia adalah Tuhan yang tidak menyerupai makhluk-Nya. Karenanya para pegiat hakekat menandaskan : Mensucikan-Nya dari penyucian (transendensi), jalan penyucian-Nya atas diri Nya tidak akan pernah diketahui yang lain selain Diri Nya. Kita hanya bisa mengatahui jalan penyucian yang terkait dengan Muhdatsaat (segala kebaruan), karena nisbat pensucian itu dalam lanskap pandangan kita adalah berdimensikan 'pinjaman' yakni kesucian-Nya yang dipinjamkan kepada makhluk-Nya, dan bukan kesucian makhluk itu sendiri. Semantis logikanya orang yang seorang yang memuarakan kesucian dirinya kepada al Haq, Dia akan meminjamkan kesucian diri Nya kepada orang tersebut, lebih dari itu al Haq tidak menyerupai inti (dzat) makhluk-Nya, yang dzat tersebut patut disucikan, sebab kesucian adalah hak dan milik Allah semata, sedang kesucian yang ada pada makhluk-Nya hanya merupakan titipan (pinjaman) dari­Nya. Pahami betul masalah ini.

Dengan demikian inti (dzat)-Nya merupakan emberio kesucian yang melahirkan kediqdayaan, ke-agung-an, keperkasaan ketuhanan Diri Nya. Dimanapun dan kapanpun manisfetasi kesucian itu tertampakkan, Dia tersucikan dari penyerupaan secara dzat, karena inti (dzat)-Nya terjernihkan dari sifat dan asma diri-Nya. Anda tentu pernah menyimak sabda rasul saw :

Aku melihat rabbku dalam citra pemuda nan tampan nan, atau dalam sabda lain aku melihat rabbku dalam citra cahayayangaku saksikan.

Inti (dzat) al Haq tersucikan dari Tasybih (antropomorfisme) seperti ujaran-ujaran hadits tersebut, penyucian inti (dzat)-Nya memiliki hukum yang selaras antara sifat dan yang disifati, sedang inti (dzat)-Nya, tersucikan dari tempat manifestasi-Nya, karena inti (dzat)-Nya suci dari segala yang bersifat Qodim (eternitas) maupun Huduts (baru), tiada satupun yang mengetahui, kecuali Diri Nya. Kesucian inti (dzat)-Nya tidak terkait dengan asma-asma dan sifat-sifat-Nya, penampakari-penampakan-Nya, yang termanifestasikan dalam segala wujud. Tajallinya berdasarkan hukum Qidam (eternitas)-Nya, Dia merupakan dzat yang Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendirinya), maka penyucian al Haq tidak sama dengan penyucian makhluk-Nya, penyamaan-Nya tidak sama dengan penyamaan makhluk-Nya, hanya Dia yang Maha Mengetahui kesejatiannya, sesuatu selain Diri Nya tiada akan pernah bisa mengetahuinya. Para muslim awam meyakini bahwa pengertian pensucian adalah, bermakna pembersihan yang tidak bermuara kepada dimeni ketuhanan, namun berujung kepada dimensi kemakhlukan, pengertian seperti itu jamak terjadi pada diri tiap muslim.

Esensinya banyak dari hamba-Nya berusaha mensucikan diri dengan dirinya dan tidak dengan al Haq, etos pensucian seperti itu tidak akan pernah menggapai kesucian hakiki, karena kesucian yang tersematkan dalam diri seorang hamba adalah merupakan titipan (pinjaman) dari al Haq. Maka jika orang seorang ingin mensucikan dirinya, selazimnya ia menghiasi (mensifati) dirinya dengan sifat-sifat al Haq, dengan begitu maqom dirinya akan tersucikan. Dengan  penyucian ketuhanan itu ia akan terselamatkan dari kekurangan-kekurangan Muhdatsaat (segala kebaruan), berikut ia akan tertuntun kepada kesucian hakiki, jadilah orang tersebut baqa' (kekal) dalam kesucian bersama-Nya, dengan kesucian yang dikuasakan al Haq kepada orang tersebut, ia bisa menempati kesucian-Nya, yaitu kesucian yang berdimensikan makhluk, yakni ia sirna dalam dirinya hanyut dalam kesucian al Haq. Pahami dengan seksama apa yang kami isyaratkan ini. Sekali lagi kami tegaskan dalam kitab ini, maupun kitab-kitab saya terdahulu, bahwa esensi at Tanzih (transendensi) ini, adalah untuk al Haq, bukan untuk makhluk, dan tidak ada keterkaitan sedikitpun dengan dimensi kemakhlukan, karena masalah ini murni terkait dengan inti (dzat)-Nya semata, bukan inti (dzat) segala wujud ciptaan-Nya. Inti (dzat)-Nya ada pada inti (dzat) segala wujud ciptaan-Nya, inti (dzat)-Nya juga tertajallikan pada dimensi ketuhanan dan kemakhlukan, al Haq berhak atas semua itu, Dia berhak mewajahkan diri Nya dalam manifestasi kemakhlukan. Dia juga berhak menjadikan makhluk manifestasi ketuhanan Nya, akan tetapi inti (dzat)-Nya tersucikan dari ketercampuran, Hului (panteisme) dan penyerupaan (antropomorfisme) dengan segenap makhluk-Nya. Dia adalah Tuhan Maha Suci, dzat yang tidak menyerupai makhluk-Nya.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jilly

Wahai Jauhar (entitas) yang menegakkan dua aksiden

Wahai Yang Esa, yang pada hukum realita adalah dua

Kau organisir semua kebaikan luhur, menjadi tunggal.

KuasaMu meliputi segala yang selaras dan berlawanan

Kau tidak lain adalah 'laku' Kebaikan

Tunggal KesempurnaanMu tanpa terlumuri oleh kekurangan

Kau meliputi segala yang tampak dan misteri

Keluhuran DiriMu mencakup segala ketinggihan

Dirimu tersucikan dari segala sesuatu selainMu

KeMuliaan, keQudusan dan kePerkasaanMu adalah suci

Engkau hanya bisa dilihat sebatas penglihatan insani

Dan Kau tersucikan dari penyerupaan segala ciptaanMu

Sudah Edit 11. At Tasybih (Antropomorfisme)

Tasybih al Ilahiyah (penyerupaan ketuhanan), ibarat citra-citra al Jamaalah (keindahan) al Haq, karena keindahan Ilahiyah (ketuhanan) memiliki ragam makna, yaitu nama-nama dan sifat-sifat ketuhanan. Keindahan al Haq juga memiliki citra-citra Tajalliyaat (manifestasi) makna-makna tersebut yang terlanskapkan dalam persepsi inderawi, dan wilayah panca indera serta tataran logika. Citra yang berdimensi persepsi inderawi seperti sabda rasul saw:

Aku melihat rabbku dalam citra pemuda tampan.

Citra yang berdimensi logika seperti sabda rasul saw dalam hadist Oudsi :

Aku ada dalam asumsi hamba Ku, Maka biarkan hamba Ku mengasumsi Diri Ku, sesuai keinginannya.

Pencitraan seperti itulah sejatinya yang dimaksud dengan at Tasybih (antropomorfisme). Satu hal yang pasti, bahwasanya al Haq dalam manifestasi-manifestasi­Nya tampak dengan citra keindahan-Nya, tetap eksis dengan kesucian Nya, seperti halnya anda memberi sisi (dimensi) ketuhanan hak-Nya. Demikian pula dengan tasybih ketuhanan juga patut diberi haknya, yakni pada citra al Haq -apapun bentuk-Nya-, yang termanifestasikan pada segala wujud ciptaan-Nya. Dia Maha Suci dari penyerupaan dan penyamaan, karena inti (dzat)-Nya tidak terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama serta segala sesuatu selain Diri Nya. Pahami dengan seksama masalah ini.!

Ketahuilah, bahwasanya Tasybih (antropomorfisme) dalam hak Allah, memiliki hukum yang tidak sama dengan hukum Tanzih (transendensi)-Nya. Sebab hak Allah berkaitan dengan inti (dzat)-Nya, karenanya tidak bisa disaksikan, selain manusia-manusia paripurna dari Ahlullah, (ahli Allah). Adapun selain mereka, semisal para arif, para pegiat hakekat, daya persepsi indrawi mereka tidak akan mampu menyaksikannya, melainkan dengan jalan keimanan dan pengikutan berdasarkan citra kebaikan dan keindahan-Nya. Maka semua citra dari segenap pencitraan Maujudaat (segala yang wujud) adalah citra kebaikan. Jika anda menyaksikan citra tersebut dalam wajah Tasybih (antropomorfisme), maka anda sama sekali tidak akan melihat-Nya dalam dimensi Tanzih, sebab al Haq mempersaksikan diri anda kebaikan-Nya dan keindahan-Nya dari satu wajah. Jika Dia mempersaksikan kepada anda citra Tasybih, lalu anda sambungkan dengan Tanzih al Ilahiyah (transendensi ketuhanan), maka Dia akan mempersaksikan kepada anda, keindahan-Nya dan keperkasaan-Nya dalam wajah penyerupaan dan penyucian.

Maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. (Q.s. al Baqarah 2 : 115).

Terserah anda, apakah anda mau men-tanzih-kan-Nya, ataukah men-tasybih-kan-Nya, dalam mewajahkan diri anda dihadapan-Nya. Pada fase ini, anda akan tenggelam ke dasar manifestasi-Nya, ke-aku-an anda sirna dalam ke-Dia-an Dia, ke-Dia-an Dia tertajallikan dalam ke-aku-an anda, keadaan, perbuatan serta makna diri anda sirna dalam ke-fana'-an bersama tajalli-Nya, karena anda bersatu dalam universalitas keindahan-Nya. Jika anda tetap dalam tasybih-Nya, maka anda akan menyaksikan kebaikan-kebaikanNya, jika anda buka mata tanzih dalam tasybih anda, maka anda adalah citra kebaikan-Nya, keindahan-Nya dan makna-Nya. Jika anda mampu mengkais hikmah apa yang ada dibalik at Tasybih dan at Tanzih dalam diri anda, dan anda benar-benar telah menggapai rahasia Tasybih dan Tanzih, maka anda akan memakrifahi kesejatian inti (dzat)-Nya.

Ketahuilah, bahwasanya al Haq memiliki dua macam Tasybih. 1.) Tasybih inti (dzat), yaitu citra yang terdapat pada Maujudaat (segala wujud) yang berlandaskan cerapan inderawi, atau apa-apa yang menyerupai perasaan inderawi dalam imajinasi. Tasybih dalam bentuk ini berdimensikan sifat, karena tercakup di dalamnya citra daripada makna-makna yang berdimensikan nama-nama-Nya yang tersucikan dari penyerupaan perasaan inderawi dalam imajinasi. Bentuk citra ini bisa ditakar dengan nalar logika, namun tidak bisa dituangkan dalam perasaan, direntah dengan ujaran-ujaran. Jika dapat diekspresikan, maka jalan menuju antropomorfisme inti (dzat) sangatlah lapang, karena ekspresi inti (dzat) yang berasal dari kesempurnaan tasybih lebih utama dibandingkan dengan ekspresi yang berasal dari antropomorfisme yang lahir dari sifat. Lebih dari itu realitas wujud tasybih inti (dzat)-Nya tidak bisa ditelisik Kaifiyah (prosesi)nya, serta tidak bisa diwacanakan dengan ragam wacana, berikut tidak bisa diumpamakan dengan permisalan apapun, itu jika terkait dengan inti (dzat)-Nya. Adapun jika berkaitan dengan sifat ketuhanan yang lain, masih bisa ditelisik dan difahami Kaifiyah (prosesi)nya.

Tidakkah anda menelaah pesan Qur’ani, bagaimana al Haq Jallah Jalaalah, memakzulkan perumpamaan akan inti cahaya-Nya, Dia memperumpamakan inti cahaya-Nya dengan al Masykaat (lubang yang tidak tembus cahaya,) juga dengan al Misbah (pelita besar), serta az Zujajah (kaca). Sedang manusia adalah citra antropomorfisme inti (dzat)-Nya, karena maksud daripada Misykaat adalah dadanya, az Zujaj (kaca) adalah hatinya, sedang al Mishbah (pelita besar) adalah rahasia batinnya. Adapun asy Syajarah al Mubarakah (pohon yang banyak berkah) adalah iman kepada dimensi gaib, yaitu manifestasi al Haq dalam citra mahlukNya. Sejatinya iman adalah iman kepada dimensi gaib yang tertajallikan dalam segala wujud (ciptaan)-Nya, sedangkan maksud daripada az Zaitun adalah hakekat mutlak, yang terlanskapkan dalam keyakinan bahwasanya Dia maujud (ada) dalam segala wujud, Dia inti segala wujud. Adapun pohon keimanan keberadaannya tidak di sebelah timur dan sebelah barat. Maka tanzih (transendensi) mutlak merupakan sebuah keharusan. Denga mediasi penafian tasybih mutlak. Kami memakai redaksi tasybih mutlak, hingga tanzih yang dilakukan benar-benar mutlak, laksana orang yang mengupas kulit tasybih, dan yang tersisah hanyalah isi tanzih. Dalam kesucian mutlak tersebut (yang minyak saja hampir-hampir) yakni, keyakinannya menerangi esensi kegelapan akan tersapu dengan terbitnya inti cahaya-Nya. Walaupun tidak disentuh api yakni dengan ketetapan inti cahaya-Nya yang sejatinya adalah Dia. Dan (cahaya) tasybih (antropomorfisme) itu diatas cahaya keimanan hakiki, yaitu cahaya tanzih (transendensi) seperti ujaran al Haq,

Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Q.s. an Nuur 24 : 35.

Tasybih yang dimaksud disini adalah tasybih inti (dzat)-Nya, jika berbentuk lahiriyah maka ia terwacanakan dalam al Amtsaal al Ulwiyah (perumpamaan-perumpamaan ketinggian), perumpamaan tersebut merupakan citra kebaikan-Nya, semua perumpaan yang dilabelkan kepada al Mumatsal (yang diperumpamakan), adalah merupakan citra ketuhanan yang dijadikan media manifestasi Diri Nya pada sesuatu tersebut. Maka Myskaat (lubang yang tidak tembus cahaya), Misbhah (pelita besar), Zujajah (kaca), Syajarah (pohon), Zaitun (buah zaitun), tidak disebelah timur, tidak disebelah barat, penerangan, api, cahaya yang merupakan cahaya diatas cahaya, kesemuanya dalam pemaknaan lahiriyahnya sejatinya adalah citra inti bagi inti (dzat) Allah Jallah Jallah. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, itulah sejatinya arti keindahan-Nya, karena hakekat ilmu itu adalah yang menghadirkan suatu pemahaman bagi si empunya, lebih dari itu ilmu yang tidak menggerakkan pemiliknya kepada al Haq, tidaklah disebut ilmu dalam arti yang sesungguhnya.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33:4)

Sudah Edit 12. Manifestasi perbuatan al Haq

Manifestasi al Haq dalam perbuatan-perbuatan-Nya (Tajalli al Af'aal), ibarat pemandangan yang disaksikan segenap hamba-Nya dalam derap roda taqdir kehidupan pada segala wujud ciptaan-Nya. Mereka menyaksikan dengan mata hati dan pikir serta mata kasat mereka, bahwa al Haq-lah sejatinya yang menggerakkan dan menghentikan gerak segala sesuatu, mereka juga menafikan perbuatan tersebut dari hamba-Nya. Mereka dengan keyakinan jernih mengimani semua Af 'aliyah (aktualitas) adalah berasal dari Allah Jallah Jalaalah, dengan demikian jelas sekali bahwa dalam Tajalli Af'aal (manifestasi aktualitas) ini, orang seorang tidak memiliki daya dan upaya serta kehendak, melainkan daya, upaya dan kehendak al Haq. Ada banyak tingkatan capaian (spiritual) serta aneka ragam penyaksian insani dalam penyikapan manifestasi perbuatan ini. Diantara mereka ada yang diperlihatkan al Haq tajalli Iradah (kehendak)-Nya terlebih dahulu, kemudian ditunjukkan tajalli perbuatan-perbuatan-Nya. Pada tingkatan penyaksian ini, daya dan upaya serta kehendak seorang hamba, lebur ke dalam Daya, Upaya, Kehendak al Haq. Penyaksian seperti itu merupakan Musyahadah (penyaksian) tertinggi dalam tajalli afal (manifestasi aktualitas)

Diantara mereka ada yang ditunjukkan al Haq manifestasi Iradah-Nya, namun berupa penampakkan perlakuan al Haq kepada segenap makhluk-Nya, berikut perjalanan hidup dan kehidupan mereka dibawah roda taqdir kekuasaan-Nya. Diantara mereka ada yang melihat esensi manifestasi-Nya dalam aktualisasi (perbuatan) yang lahir dari makhluk-Nya, lalu merujuk semua perbuatan makhluk itu kepada al Haq. Diantara mereka ada yang menyaksikan manifestasi perbuatan-Nya paska lahirnya perbuatan makhluk, akan tetapi manusia yang menyaksikan itu merujuk perbuatan tersebut kepada yang lain (selain al Haq), namun demikian ia tetap Taslim (berserah diri) kepada al Haq. Adapun jika ia sendiri menyaksikan Tajalli ini pada dirinya, ia tidak gegabah taslim kepadanya, kecuali setelah ia benar-benar yakin bahwa tajalli tersebut sejalan dengan nilai-nilai lahiriyah sunnah dan ajaran syariat serta pesan Qur'ani. Lain halnya dengan seseorang yang ditunjukkan al Haq Iradah-Nya terlebih dahulu, kemudian ia menyaksikan tindakan al Haq dengari iradah-Nya sebelum dan sesudah keluarnya perbuatan dari-Nya atau pada-Nya, maka kita harus taslim kepada insan tersebut atas kesaksiannya, dengan syarat, tajalli tersebut harus sejalan dengan ajaran syariat, jika ia jujur dalam kesaksian yang dilihat-nya, sejatinya ia adalah manusia yang tulus (ihlas) antara dirinya dengan al Haq.

Saya (al Jailiy) lebih mengedepankan apresiasi (penghormatan) dan taslim kepada insan protipe dua -manusia yang menyaksikan tindakan al Haq dengan iradah-Nya sebelum dan sesudah keluarnya perbuatan dari-Nya atau pada-Nya Ini, ketimbang protipe pertama-Insan yang menyaksikan manifestasi perbuatan-Nya paska lahirnya perbuatan makhluk, meski demikian kami tidak akan menerima salah satu diantara dua protipe manusia tersebut ber-argumen dengan Qudrah (kekuasaan) yang bertentangan dengan amar perintah dan larangan al Haq. Kami mengharuskan memakai parameter hukum lahir (ajaran syariat), untuk melihat validitas penyaksian yang ada, sebab semua manifestasi perbuatan, tidak akan keluar dari hukum dan sunnatullah, karenanya kami tetap memakai hukum Allah yang terlanskapkan dalam ajaran syariat dalam menilai validitas penyaksian yang ada. Sebab esensi dari manifestasi perbuatan adalah untuk menunjukkan eksistensi al Haq pada sesuatu yang tertajallikan. al Haq telah melaksanakan hak-Nya dalam tajalli tersebut, dan kita harus melaksanakan hak Allah pada diri kita, yaitu melaksanakan amar perintah-Nya yang termaktub dalam kitab-Nya.

Saya (al Jailiy) juga memfokuskan perhatian pada validitas penyaksian, karena hal tersebut terkait erat dengan kadar hubungan si penyaksi dengan al Haq, dari penyaksian itulah dapat diketahui tingkat kedekatan (Qurb) dan kebersamaan (Jam'u) serta ketersambungannya (Wushul) dengan al Haq. Saya tidak memberi apresiasi kepada seseorang yang tidak menyaksikan roda taqdir melainkan paska keluarnya perbuatan, karena orang seperti itu tidak Taslim (berserah diri) secara utuh kepada al Haq. Saya tidak memberi apresiasi kepada insan yang menyaksikan tajalli perbuatan-Nya dalam dirinya, kecuali jika penyaksiannya sejalan pesan Qur'ani dan sunnah nabi-Nya, yang sedemikian itu agar saya -dan juga anda-, tidak terjebak pada perilaku pengkultusan individu. Sebab para zindiq juga melakukan tindak kemaksiatan, paska keluarnya perbuatan, ia akan berargumen, tindak kemaksiatan yang saya lakukan semata-mata atas kehendak al Haq, Qudrah-Nya dan perbuatan-Nya, karena aku (argemen zindik itu) tidak memiliki sedikitpun dari Iradah, Qudrah dan perbuatan, semuanya adalah milik dan berasal dari al Haq.

Diantara mereka ada yang menyaksikan manifestasi perbuatan al Haq dengan al Haq, protipe manusia seperti ini akan menyaksikan perbuatan dirinya, selaras dengan perbuatan al Haq, ia menamakan dirinya dalam laku keta'atan dengan pegiat keta'atan, dalam tindak kemaksiatan dengan pelaku maksiat, ia dalam keta'atan dan kemaksiatan lenyap (sirna) daya dan upaya serta kehendak-nya, yang ada hanyalah Daya, Upaya, Kehendak al Haq. Diantara mereka ada yang tidak menyaksikan laku perbuatan dirinya, akan tetapi ia menyaksikan pekerjaan al Haq saja, dan ia tidak menjadikan pekerjaan tersebut dari dirinya. Dalam melakukan keta'atan ia tidak menyebut dirinya sebagai manusia yang ta'at, demikian pula dalam bertindak kemaksiatan ia tidak menyebut dirinya pelaku maksiat. Diantara 'wajah' (bentuk) perbuatan protipe manusia seperti ini adalah, ia jelas-jelas makan bareng dengan anda, akan tetapi ia bersumpah tidak makan, ia minum bareng bersama anda, namun ia bersumpah tidak minum, kemudian ia bersumpah kepada anda bahwa dia tidak bersumpah. Ia dimata al Haq adalah pelaku setia bakti utama dan manusia terpercaya, realita ini merupakan sebuah noqta (titik) yang tiada akan pernah bisa dipahami, kecuali orang-orang yang telah merasakan Dzauq al Wujdan (intuisi), dan merasakan kehadiran al Haq secara dzat dalam lanskap Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan).

Diantara mereka ada yang tidak menyaksikan perbuatan al Haq, kecuali dengan dan melalui orang lain, ia tidak bisa menyaksikan­Nya sendiri -maksud saya manusia yang dikhususkan al Haq-. Diantara mereka ada yang tidak bisa menyaksikan perbuatan al Haq, kecuali dalam dirinya sendiri dan ia tidak menyaksikan-Nya pada orang lain, capaian penglihatan ini (melihat perbuatan al Haq dalam diri dan bukan pada orang lain), lebih utama dibandingkan dengan yang pertama (melihat perbuatan-Nya melalui orang lain). Diantara mereka ada yang menyaksikan perbuatan al Haq atas dirinya dalam keta'atan dan tidak melihat putaran roda Cjudrah atas dirinya dalam kemaksiatan. Maka protipe manusia seperti ini, senantiasa bersama al Haq dan dapat melihat dimensi tajalli aktualitas-Nya dalam laku keta'atan. al Haq menutup aib kemaksiatan yang diperbuat orang tersebut, sebagai rahmat atas diri pelaku keta'atan itu, agar ia tidak terjerembab ke dalam tindak kemaksiatan. Bentuk previsi al Haq tersebut menunjukkan akan kedhaifan (kelemahan) sang pegiat keta'atan dan wajah dari kedhaifannya, sebab jika pegiat keta'atan itu manusia yang al Ouwwah (potensialitas), niscaya ia akan menyaksikan manifestasi aktualitas al Haq atas dirinya dalam tindak kemaksiatan, dengan tetap menjaga tampilan lahiriyahnya sejalan dengan nilai-nilai ajaran syariat, seperti halnya ia menyaksikan al Haq dalam keta'atan.

Diantara mereka ada yang tidak menyaksikan- maksud saya (al Jailiy), tidak diperlihatkan kepadanya manifestasi perbuatan al Haq, kecuali dalam tindak kemaksiatan, sebagai bentuk ujian kepadanya dari al Haq, ia juga tidak bisa menyaksikan-Nya dalam laku keta'atan. Orang seorang yang berada dalam atmosfir penyifatan ini, akan lahir dua kemungkinan dari dirinya : 1.) Ia merupakan orang di-hijabkan al Haq dalam keta'atan, karena Dia menginginkan orang tersebut menjadi manusia yang ta'at, dan mengedepankan keta'atan dari sesuatu yang lain. Maka al Haq menyibak tabir antara diri-Nya dan orang itu, Dia tampakkan Diri Nya kepada orang tersebut dalam tindak kemaksiatan, agar ia dapat menyaksikan al Haq dalam tindak kemaksiatan yang dikerjakannya, yang ia tidak dapat menyaksikan-Nya dalam keta'atan. Adapun tanda dari realitas ini adalah, kembalinya orang itu kedalam keta'atan, dan tindak kemaksiatan yang dilakukannya tidak berlangsung lama. 2.) ia merupakan orang yang memiliki daya persepsi kuat tentang urgensi kemaksitan, namun ia menikmati tindak kemaksiatan yang dikerjakannya, sehingga ia terhijabkan dari al Haq, ia-pun melakukan kemaksiatan secara kontinu, Na'udzubillah (kami berlindung kepada Allah) dari perbuatan seperti itu.

Diantara mereka ada yang kadang-kadang menyaksikan al Haq dalam perilaku keta'atan dan kemaksiatan, diantara mereka ada yang dalam penyaksian manifestasi aktualitas al Haq tidak eksis, serta bersikap acuh terhadap metafor-metafor, paradoks, isyarat yang ada pada tajalli-Nya, sehingga ia tidak memahami urgensi manifestasi-Nya. Diantara mereka ada yang menyaksikan manifestasi perbuatan al Haq, namun ia tidak eksis dalam penyaksian, ia masih sulit mengetas dirinya dari lembah kemaksiatan, ia lalu menangis, mengibah, sujud simpuh dihadapan-Nya, memohon kasih Maghfiroh (ampunan) al Haq dan meminta perlindungan kepada-Nya, untuk memprevisi dirinya dari tindak kemaksiatan yang tersurat dalam roda taqdir-Nya. Langkah spiritual seperti itu menunjukkan kesesungguhan dan kejujuran orang itu, dalam mengakui keburukan dirinya dihadapan al Haq, kejujuran yang tulus tersebut, akan menghamparkan jalan baginya menuju penyaksian-Nya dan keter-bebas-annya dari jerat-jerat nafsu syahwat dan nafsu-nafsu lainnya yang telah dikodratkan kepada dirinya. Diantara mereka (para pelaku maksiat) ada yang tidak sedih, tidak sujud simpuh dihadapan al Haq, tidak memohon perlindungan, dan meminta previsi-Nya, ia merasa enjoy dan nyaman dibawah putaran roda kodrat-Nya, pola hidupnya mengalir sejalan dengan aliran kodrat-Nya. Tidak ada sedikitpun dalam syakilah hatinya rasa galau dan resah dalam menjalani tindak kemaksiatan, hal ini menunjukkan akan keeksisan dan kediqdayaan Kasyf (pengetahuan intuitif)-nya. Dalam penyaksian ini protipe manusia seperti ini lebih waskita dibandingkan protipe pertama (manusia yang sedih, menangis, mengibah, memohon previsi al Haq dari tindak kemaksiatan), selama ia bisa menjaga ke-salim-an (keselamatan) diri dan jiwanya dari godaan nafsunya.

Diantara mereka ada yang tindak kemaksiatannya diganti al Haq dengan keta'atan, yang dengan itu ia bisa melihat putaran roda qudrah-Nya dalam kemaksiatan dan kodrat-Nya yang lain. al Haq memperlihatkan putaran kemaksiatan kepada orang tersebut, Dia menulis tindak kemaksiatan orang tersebut sebagai keta'atan. Dia tidak memberlakukan kepada orang itu 'nama' kemaksiatan, diantara mereka ada yang nafsu kemaksitannya justru merupakan amal keta'atan, sejalan dengan Iradah (kehendak) al Haq, orang seperti ini, meski perbuat maksiat, tindak kemaksiatannya dihitung sebagai keta'atan oleh-Nya, protipe manusia seperti ini, tampilan lahirnya terlihat selalu berbuat kemaksiatan, dan melanggar perintah-perintah­Nya, utamanya jika disudut dari amar perintah-Nya -ajaran syariat­, namun jika di sudut dari sisi Iradah (kehendak) sejatinya ia adalah muthi' (orang yang ta'at), yang sedemikian itu karena ia memakzulkan kesaksiannya terlebih dahulu, sebelum datang (keluar)-nya perbuatan Iradah (kehendak) al Haq. Tidak ada isim (nama) yang melabeli dirinya, melainkan sejalan dengan Iradah-Nya, ia senantiasa melihat al Haq dalam setiap putaran roda qudrah-Nya, dan al Haq melihatnya pula.

Diantara mereka ada yang disapa dengan kehinaan dan kerendahan serta pemargmalan, al Haq bertajalli kepada insan yang berlumur kehinaan dan kerendahan tersebut, hamba itu melihat tipu daya-Nya dan ia merasakan hal tersebut pada dirinya. Namun dari lubuk hatinya yang paling dalam ia mengimani apa yang mengkondisikan dirinya adalah merupakan putaran roda taqdir sejalan dengan kehendak-Nya. Dalam sebuah riwayat ditandaskan, suatu hari seorang faqir (insan yang merasa butuh kepada al Haq) dari komunitas pegiat hakekat, bertemu salah satu teman sejawatnya (sesama faqir), orang itu berkata : wahai faqir, andai kau tegakkan etika Allah dalam dirimu dengan menjaga dhahir (ajaran syariat)mu, dan kau mohon kepadan-Nya keselamatan, yang sedemikian itu lebih utama bagimu, dibandingkan meminta ketersambungan-Nya atas dirimu, si faqir berkata : wahai tuan, kesediaanku menerima Iradah (kehendak)Nya, meski harus mengenakan baju kehinaan dan kerendaan serta tipu daya-Nya, atau pengikutanku kepada kesuksesan para pelaku maksiatan, kesemua itu lebih utama bagiku dinandingkan etika, akankah anda memintaku mengenakan baju keta'atan yang membuatku menafikan Iradah (kehendak)Nya?, aku tidak menjalani hidup dan kehidupan ini, kecuali dalam rotasi kehendak al Haq, biarkan aku berjalan pada jalanku, tinggalkan diriku, pergilan anda! Ketahuilah si faqir yang tidak mau menjaga tampilan lahir (ajaran syariat) itu, meski capaian spiritualnya tinggi, dan jelas tujuannya, namun, sejatinya ia adalah manusia yang mahjub (terhalang) dari nilai-nilai hakiki. Ia telah banyak kehilangan al Haq dibanding penemuannya, Infishal (keterpisahan)-Nya lebih sering dibandingkan Wushu (ketersambungan)-nya, lebih dari itu waktu keintimannya dengan al Haq sangat sedikit, kebanyakan waktunya terlewatkan dan terjauhkan dari al Haq, sebab manifestasi al Haq dalam dimensi nama-nama dan sifat-sifat-Nya terhijabkan oleh tajalli-Nya dalam perbuatan-perbuatan (aktualitas). Demikian uraian perihal manifestasi perbuatan-Nya, tidak singkat dan tidak pula terlalu panjang. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 13. Manifestasi nama-nama al Haq

Jikalau al Haq bertajalli pada salah satu hamba-Nya, dengan isim dari nama-nama-Nya, maka hamba tersebut akan tersinari cahaya nama-Nya yang Dia tampakkan pada si hamba. Hidup dan kehidupan hamba itu bersemaikan cahaya nama-Nya. Manakala anda memanggil al Haq dengan isim (nama) yang tertajallikan, hamba tersebut akan menjawab panggilan anda, karena nama-Nya telah termanifestasikan dalam dirinya. Pemandangan awal dari manifestasi nama-nama al Haq adalah tajalli-nama-Nya al Maujud, nama ini Dia labelkan kepada segenap yang wujud (Maujudaat). Adapun tajalli nama-nama Nya yang tertinggi adalah dengan nama-Nya al Waahid sedang puncak tertinggi dari tajalli nama-nama ini adalah dengan isim-Nya Allah. Pada tajalli ini, seorang hamba benar-benar telah sirna dalam kefana'an bersama­Nya. Pada Maqom ini al Haq memanggil hamba itu diatas Thur (bukit) hakekat dirinya : Sesungguhnya dia adalah Aku (Allah). Pada capaian spiritual ini Allah menghapus nama hamba-Nya, Dia menetapkan (mengeksiskan) nama-Nya pada diri hamba tersebut. Jika kau memanggil : Wahai Allah, hamba itu akan menjawab, % Labbaika..! (aku sambut panggilanmu), jika kefana'an-nya bersama al Haq terus berkembang dan semakin eksis, maka al Haq mendiqdayakannya dan mengkekalkan kefana'an hamba tersebut bersama-Nya, Dia akan menjawab semua doa-nya, mengabulkan semua harapan hamba itu, jika kau panggil hamba itu misalnya : wahai Muhammad, al Haq akan menjawab panggilanmu : Labbaika..! (Aku sambut panggilanmu).

Kemudian jika hamba itu terus berkembang dan semakin eksis dalam kebersamaan dan kedekatan (Qurb) bersama-Nya. al Haq bertajalli kepadanya dengan isim-Nya ar Rahman, lalu dengan nama-Nya ar Rabb kemudian isim-Nya al Mulk, lalu dengan nama-Nya al Aliim, kemudian isim-Nya al Qoodir. Setiap al Haq bertajalli dengan nama-nama-Nya diatas, realitas tersebut juga menunjukkan tingkat (martabat) kemuliaan nama-nama tersebut. Seperti ar Rahman lebih tinggi tingkatan dibanding ar Rabb demikian seterusnya. Yang sedemikian itu manifestasi al Haq secara partikuler lebih utama dibandingkan tajalli-Nya secara universal, manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya ar Rahman adalah merupakan partikulasi dari manifestasi universal yang tertampakkan pada nama-Nya Allah manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya ar Rabb adalah merupakan partikulasi dari manifestasi global yang tertampakkan pada nama-Nya ar Rahman, manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya al Mulk adalah merupakan partikulasi dari manifestasi global yang tertampakkan pada nama-Nya ar Rabb, manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya al Aliim dan al Qoodir adalah merupakan partikulasi dari manifestasi global yang tertampakkan pada nama-Nya al Mulk, demikian pula dengan manifestasi nama-nama Nya yang lain.

Berbeda dengan manifestasi inti (dzat), jika inti (dzat)-Nya, termanifestasikan dalam strata hukum tajalli martabat ketuhanan, maka hukum umum berada diatas hukum khusus, jadilah ar Rahman diatas ar Rabb, diatas kedua nama tersebut adalah nama Allah. Titik pilah antara tajalli nama-nama dengan tajalli inti (dzat), tajalli dzat menghasilkan hukum umum diatas hukum khusus, sedangkan dalam tajalli nama-nama, hukum umum dibawah hukum khusus. Adapun muara daripada tajalli nama-nama yang pada hakekatnya adalah tajalli dzat, akan menuntun dan memotivasi seorang hamba untuk mencari semua nama-nama ketuhanan yang termanifestasikan dalam dirinya, seperti halnya nama mencari (membutuhkan) yang dinamai. Pada fase ini sayap-sayap al Uns (ke-intim-an) akan menerbangkan hamba tersebut ke relung ke-Qudus-an Nya. hamba itupun sirna bersama Sang Oudus. Suatu yang menakjubkan dari manifestasi nama-nama ini adalah, orang seorang yang ditampakkan manifestasi-Nya, ia tidak menyaksikan selain inti perubahan, ia sama sekali tidak menyaksikan isim (nama). Meski demikian manusia yang memiliki pemahaman hakekat sejati akan dengan mudah mengetahui kekuasaan al Haq pada nama-namaNya tersebut, yang dengan itu ia bisa menggapai maqom kedekatan (Qurb) dan kebesamaan bersama al Haq, karena hamba itu menjadikan nama-Nya mediasi dan petunjuk pelaksanaan untuk menggapai inti (dzat)-Nya. Dengan demikian hamba tersebut akan mengetahui dari nama-Nya yang tertajallikan pada dirinya, bahwasanya Dia adalah Allah, Dia adalah ar Rahman, atau Dia adalah al Aliim dan seterusnya. Nama al Haq yang tertajallikan itu merupakan penguasa atas waktu hamba tersebut, dan merupakan centra pandangnya kepada inti (dzat). Ada banyak protipe manusia dalam penyikapan manifestasi nama-nama Nya ini, yang tidak mungkin kami paparkan semua tajalli-Nya. Kami akan memaparkan sebagian tajalli nama-Nya, berikut cara Wushul (sampai)nya tajalli nama-nama al Haq itu kepada hamba-Nya, sebab ada banyak (ragam) cara Wishal (sampai) mereka kepada tajalli nama-nama al Haq. Saya (al Jailiy) tidak akan memaparkan tajalli tersebut, melainkan apa yang telah saya alami sendiri dalam proses suluk yang telah saya jalankan, atau apa yang telah saya alami dari prosesi saya meniti jalan Allah, semua yang saya wartakan ini merupakan epos cerita baik tentang diri saya, atau tentang insan lain, dari pengetahuan yang saya peroleh melalui Kasyf (pengetahuan intuitif) dan al Mu'ayanah (kasih pertolongan)-Nya.

Adapun protipe manusia dalam penyikapan manifestasi nama-nama-Nya ini, diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya nama-Nya al Qodiim, adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut, sehingga ia bisa memakrifahi bahwasanya eksistensi dirinya maujud (ada) dalam ilmu-Nya, sebelum Dia menciptakan segala makhluk-Nya, dan ilmu-Nya maujud (ada) sejalan dengan wujud-Nya. Dia adalah dzat yang Qodim (eternitas), maka ilmu itu merupakan sesuatu yang Qodim, dan sesuatu yang diketahui melalui ilmu dan lebur dalam keilmuan­Nya maka ia juga Qodim. Sebab ilmu tidak bisa dikatakan sebagai ilmu (pengetahuan), melainkan melahirkan sesuatu yang bisa diketahui, sesuatu yang bisa diketahui itulah yang memberi sang Alim, isim (nama) ke-alim-an. Dengan I'tibar seperti itu dapat diketahui bahwa Maujudaat itu adanya lebih dahulu katimbang Ilmu Ketuhanan, dan muara kembalinya seorang hamba kepada al Haq adalah melalui dimensi nama-Nya al Qodim ini. Manakalah inti (dzat)-Nya yang Qodim tersebut tertajallikan (termanifestasikan) pada diri seorang hamba, maka runtuh dan sirnalah sendi-sendi ke-Huduts-an (kebari a,) seorang hamba, jadilah hamba itu baqa' (kekal) dalam ke-Qodim-an (eternitas) bersama al Haq, fana' (sirna)-lah wujud kebaruan (Huduts)-nya.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya al Haq adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut, sehingga ia bisa memakrifahi rahasia hakiki yang termetaforkan dalam firman-Nya :

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan al Haq. Q.s. al Hijr 15 : 85.

Manakala inti (dzat)-Nya, tertampakkan dalam dimensi nama-Nya al Haq, sirnalah eksistensi kemakhlukan seorang hamba, yang baqa' (kekal abadi) hanya inti (dzat)-Nya yang Maha Oudus, hamba itu juga ter-transendensi-kan dari segala sifat an Naqs (kekurangan). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya melalui nama-Nya al Waahid adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut tentang asal penciptaan alam dan isinya alam, serta menampakkannya dari inti (dzat)-Nya, seperti tampaknya ombak dari lautan. Hamba itu juga menyaksikan manifestasi-Nya disegenap ciptaanNya, melalui hukum ke-Tunggal-an (al Wahidiyah) pada fase ini, leburlah eksistensi segala wujud, tunggal dalam kebersamaan dengan-Nya. Hilanglah ragam struktur dan konfigurasi segala wujud tersebut, sirna ke dalam kesatuan Wahidiyah (tunggal)-Nya, segala makhluk seakan seperti sebelum terciptakan, dan al Haq kekal seperti sedia kala.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya al Quddus adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut, perihal rahasia firman-Nya,

Dan Aku telah meniupkan kedalamnya ruh-Ku. (Q.s. al Hijr 15 : 29).

Dia memakrifahkan kepada hamba tersebut, bahwa sejatinya ruh dirinya adalah ruh-Nya, bukan ruh selain Diri Nya. Dia juga memahamkan kepada hamba itu bahwa ruh Allah adalah Maha Suci dan tersucikan dari segala antropomorfisme (Tasybih) makhluk-Nya, al Haq lalu memanifestasikan Diri Nya kepada hamba itu melalui isim-Nya al Quddus pada fase ini, hamba tersebut tersirna (fana')-kan dari kekurangan diri dan alam semesta, ia baqa' (kekal) dengan Allah serta tersucikan dari sifat-sifat kebaruan (Huduts). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya al Dhahir adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut, tentang rahasia penampakkan Cahaya Ketuhanan (Nurun Ilahiyyun), pada wujud Katsib (kasar) segala wujud. Huduts (adanya karena diadakan), sebagai mediasi untuk memahami bahwasanya Allah adalah Tuhan yang Dhahir. Pada fase ini al Haq memanifestasikan Diri Nya kepada hamba tersebut, sehingga hamba itu memakrifahi esensi ke-dhahir-an Nya, dan manakala al Haq dhahir pada diri hamba itu, ia-pun lenyap ke dalam dimensi batiniyah-nya, eksistensi kemahlukannya sirna (fana') sejalan dengan dhahirnya al Haq dalam dirinya.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya melalui nama-Nya al Bathin adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut, tentang tegak dan hidupnya segala sesuatu dengan al Haq, yang dengan itu hamba itu bisa makrifahi bahwasanya al Haq adalah batin segala sesuatu. Manakala Dia bertajalli dengan inti (dzat) kepada segala sesuatu tersebut dengan nama-Nya al Bathin, maka lenyapiah wujud lahir sesuatu itu sejalan dengan terpancarnya cahaya al Haq. Pada fase ini al Haq adalah batin sesuatu tersebut, dan sesuatu itu merupakan dhahir-Nya. Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya melalui nama-Nya Allah adapun prosesi manifestasi-Nya adalah tidak terbatas dan tidak berahiran, bahkan meliputi manifestasi setiap isim (nama), dari nama-nama Allah yang tak terbatas, seperti yang telah kaji bersama pada pasal terdahulu. Manifestasi dalam bentuk ini, tidak terpengaruh oleh wacana yang silih berganti dalam segala situasi penampakkan. Manakala al Haq memanifestasikan Diri Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya Allah, maka hamba itu merupakan 'ganti' Nya, pada capaian ini, runtuhlah sendi-sendi kemakhlukan hamba tersebut dibawah puing-puing ke-Huduts-an (kebaruan), terlepaslah pasung eksistensi dirinya sirna (fana') dalam ke-baqa'-an bersama-Nya, jadilah hamba itu berada dalam singgasana ke-Esa-an bersama-Nya. Tunggal bersama sifat-sifat-Nya, tidak tahu lagi ayah dan ibunya, jikalau ada orang yang mengingat Allah, maka ia mengingatnya, barang siapa melihat Allah, maka ia melihatnya, dengan demikian hamba tersebut tunggal dalam ke-Esa-an bersama-Nya, tanpa Hului (pantaisme) dan Tasybih (atropomorfisme) mutlak.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya ar Rahman adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi makrifah (pemahaman) kepada hamba tersebut, bahwasanya tatkala al Haq bermanifestasi dengan nama-Nya Allah, sejatinya Dia hendak menunjukkan kepadanya bahwa inti (dzat)-Nya, berada pada martabat ketinggihan yang maha agung dan mencakup segala sifat kemuliaan yang terlanskapkan dalam segala wujud ciptaan-Nya.

Realita tersebut merupakan Thariqah (jalan) bagi hamba tersebut untuk Wishal (sampai) kepada tajalli dzat dengan mediasi nama-Nya ar Rahman. Hal seorang hamba pada capaian spiritual ini (tertajallikan isim Rahman-Nya), diturunkan kepadanya nama-nama ketuhanan satu persatu, dan hamba tersebut menerimanya sejalan dengan kapasitas cahaya inti (dzat)-Nya, yang disematkan al Haq pada dirinya. Setelah nama ar Rahman termanifestasikan dalam diri hamba itu, lantas diturunkan kepadanya nama ar Rabb, ketika hamba tersebut mampu menerima nama-Nya ar Rabb dengan baik, diturunkan lagi kepadanya nama-nama yang berdimensikan Diri Nya, yang berada dibawah naungan nama ar Rabb, semisal al Aliim, al Qodiir dan nama-nama Nya yang lain, hingga diturunkan kepada hamba itu nama-Nya al Mulk, jika ia mampu menerimanya dengan baik, dan ia mampu menangkap manifestasi inti (dzat)-Nya, maka turunlah kepada hamba tersebut, nama-nama-Nya yang lain dengan segala kesempurnaan satu persatu, (nama per-nama), hingga berujung pada nama-Nya al Qoyyum, jika nama al Qoyyum itu terpatri dengan kuat pada diri hamba, maka bergantilah manifestasi nama-nama-Nya kepada manifestasi sifat-sifat.

Syair-syair al-Jilly

Ku jawab seruan hamba yang memanggil dengan namanya.

Ia tidak mengira bahwa sebutan namaNya adalah juga namaKu

Namanya dan nama DiriKu adalah satu jiwa (ruh)

Sungguh sangat mentakjubkan, Satu jiwa (ruh) dalam dua jisim

Setiap hamba memiliki dua nama, namun satu zat

Jika salah satu dari dua nama kau sebut, zat pasti ikut terpanggil

Zat Diriku adalah zatnya, namaKu adalah namanya

Keadaan setiap hamba adalah Tunggal dengan keadaan DiriKu

Kau akan sulit menelisik hakekat ketunggalan nama ini

Akan tetapi, seperti apa rasa jiwamu ketika kau rindu kekasihmu?

Aku Ku adalah aku mu. Dia mu adalah dia Ku

Engkau adalah DiriKu dan Aku adalah dirimu

Ruh dirimu adalah satu dalam ketunggalanKu

Dalam realitas wujud, tampak sendiri-sendiri

Itulah wujud dirimu, sebelum dan sesudah penciptaanmu.

Sebagaimana keadaan DiriKu, sediakala dan yang akan datang

Luhurkan ruh dirimu, akan Aku singkapkan hijab dirimu

Tirai penghalang dirimu dan DiriKu adalah matinya Qalbumu

Saksikan DiriKu dengan melihat Kesejatian DiriKu

Dalam setiap keindahan dan kesempurnaan, pandanglah DiriKu

Keindahan dan kesempurnaan DiriKu sangatlah jelas

Tradisikan semua itu dalam dirimu, engkau akan melihat DiriKu.


Sudah Edit 14. Manifestasi Sifat-Sifat al Haq

Jikalau inti (dzat) al Haq termanifestasikan kepada salah satu daripada hamba-Nya dengan sifat dari sifat-sifat-Nya, sebutan dan ingatan hamba tersebut selalu beredar di-falak sifat-Nya dengan cara Kulli (universal) dan bukan dengan cara juz'i (partular). Kedua sifat (kulli dan juz'i) itu tidak akan mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan cara global. Jika seorang  hamba  memujikan  salah  satu  nama-Nya dan menyempurnakannya dengan harapan global, maka ia akan dapat menduduki singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia akan disifati dengan sifat-Nya. Ketika hamba itu dapat menerima sifat-Nya secara eksis dalam dirinya, maka ia akan dapat menerima sifat-sifat-Nya yang lain, demikian seterusnya hingga ia dapat mewadahi nama-nama al Haq dalam dirinya, sehingga sifat-sifat-Nya benar-benar sempurna dalam diri hamba tersebut. Kemudian ketahuilah wahai saudaraku, manakala al Haq hendak memanifestasikan Diri Nya dengan nama-nama atau sifat-sifat-Nya kepada salah satu hamba-Nya, Dia akan mensirnakan diri hamba tersebut fana' bersama Diri Nya, Dia leburkan eksistensi (wujud) hamba itu dalam kesirnaan bersama-Nya. Manakala cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna (fana'), al Haq akan mencitrakan Diri Nya pada struktur kemanusiaan hamba tersebut, tanpa Hului (pantaisme), inti (dzat)-Nya tidak menempati jisim (tubuh) hamba itu, kasih kelembutan­Nya tidak terpisahkan dari hamba tersebut. Dia juga tidak tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain sebagai ganti atas peleburan dan kesirnaan struktur jisim hamba-Nya. Sebab manifestasi-Nya, kepada para hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih Fadhal (keutamaan) dan kasih al Juud (kepemurahan) al Haq kepada para hamba-Nya. Jika para hamba itu difana'kan, lalu Dia tidak mengganti kefana'an mereka dengan kasih keutamaan dan kepemurahan-Nya, maka kesirnaan seperti itu adalah Niqmah (bencana). Kasih kelembutan itu sejatinya adalah ruh al Quddus (ruh suci). Manakala al Haq menegakkan kasih kelembutan dari inti (dzat)-Nya, sebagai ganti atas kefana'an hamba-Nya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi tajalli Diri Nya. Hanya saja kami menamakan kasih kelembutan Ilahiyah dalam dimensi ini dengan sebutan al Abd (hamba), dengan I'tibar ia (kelembutan kasih ini) merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak demikian, maka tidak akan ada hamba atau Rabb. Semantis logikanya jika tidak ada al Marbuub (yang diatur) maka tidak ada Rabb (pengatur), yang ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha Esa.

Ketahuilah, bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan inti (dzat) seorang hamba (dalam bersifat) dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan penerimaan secara Ushul (dasar) dan hukum serta mutlak, seperti penerimaan sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena kelembutan kasih ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba, tegak bersama struktur diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas dirinya. Maka sifat-sifat ketuhanan yang melanskapi hamba tersebut, merupakan sifat dasar (Ushul)-dan mutlak. Manakala seorang hamba mensifati dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan, maka sifat al Haq adalah sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat al Haq. Ada banyak ragam penyikapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al Haq ini. Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan (kapabelitas) yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang mereka punyai, serta kekuatan azam (hasrat kuat) yang ada pada diri masing-masing seorang hamba.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Hayatiyah, maka jadilah hamba tersebut sentra Hayah (hidup) alam semesta, ia dapat memakrifahi rahasia hidupnya dalam Maujudaat (segala wujud) secara universal, baik yang berdimensikan jasadiyah (badan kasar) maupun dimensi ruhiyah (ruh). Ia bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya dalam dirinya, yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal (perkataan-perkataan) atau al A'maal (perbuatan-perbuatan), bisa juga berupa citra dimensi kelembutan semisal al Arwah (ruh-ruh) atau citra al Katsib (alam kasar) semisal al Ajsaam (tubuh-tubuh kasar). Lain halnya jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu Syuhud (menyaksikan), mampu menggapai Dzauq al Wujdaan (pengetahuan intuitif), serta mampu memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa Wasilah (perantara). Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah (intuisi ketuhanan), serta memukasyafahi inti (dzat)-Nya. Pahami dengan seksama masalah ini!

Saya (al Jaily), secara pribadi pernah merasakan tajalli sifat ini, yang sedemikian itu, saya menyaksikan hidup dan kehidupan segala wujud dalam diri saya. Saya melihat Qadar segala sesuatu yang maujud (ada) dalam kehidupan saya, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak inti (dzat)-Nya. Saya pada tajalli tersebut hidup esa, tidak terpisah dengan inti (dzat), hingga tangan pertolongan­Nya memindahkan diri saya dari tajalli inti (dzat)-Nya kepada tajalliyaat-Nya yang lain. Sayapun lebur dalam manifestasi-manifestasiNya. Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Ilmiyah, yang sedemikian itu, tatkalah al Haq memanifestasikan Diri Nya dengan sifat al Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Hamba tersebut merasakan kekuatan ke-Esa-an Hayah (hidup)Nya dalam segala al Mumkinaat (sesuatu yang mungkin). Pada saat itu al Haq memanifestasikan Diri Nya pada hamba tersebut dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu bisa mengetahui kesejatian ragam alam (semesta) seperti sebelum dan paska penciptaannya. Ia bisa mengetahui segala sesuatu, mulai pra penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari penciptaan segala wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan, serta akhir dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi ruang dan waktu, serta melintas batas logika. Kesemua itu merupakan ilmu yang datang dari al Haq melalui pembelajaran secara langsung dari-Nya, serta merupakan ilmu yang lahir dari Kafsy (pengetahuan intutif), pun Dzauq al Wujdaan dari inti (dzat)-Nya. Dengan media keilmuan inilah rahasia ilmu-Nya yang tersimpan rapi di Ghaib al Ghaib (kegaiban misteri), bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmu-Nya yang bersifat universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk menguak tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyf (pengetahuan intuitif).

Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni (ilmu yang berasal dari pembelajaran langsung dari al Haq), dan ilmu Dzati (ilmu yang terkait dengan inti (dzat)-Nya) diturunkan secara partikuler dari Ghaib al Ghaib, (kegaiban yang gaib), ke Syahadah asy Syahadah (realitas yang riel), bisa disaksikan rincian globalitasnya dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam kegaiban yang gaib. Sedangkan ilmu Shifati (ilmu yang berdimensikan sifat-sifat-Nya), tiada akan perna bisa diketahui, melainkan paska terjadinya sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan tersebut tidak akan bisa dipahami, kecuali oleh al Ghuraba' (insan-insan yang gharib), tidak ada yang bisa merasakan, kecuali para sastrawan ketinggihan yang telah menggapai Kasyf (pengetahuan intuitif). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Bashar, yang sedemikian itu tatkala Dia memanifestasikan Diri Nya kepada hamba tersebut dengan sifat al Bashariyah (penglihatan), al Ilmiyah (pengetahuan), al Ihaathiyah (peliputan) dan al Kasyfiyah (intuisi). Dia menanifestasikan Diri Nya kepada hamba-Nya dengan sifat al Bashar (melihat). Maka penglihatan hamba itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan rujukan ilmunya bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu dimuarakan kepada makhluk-Nya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq, ia dapat melihat segala wujud (Maujudaat), seperti ketika Maujudaat itu berada di kegaiban yang gaib, (Ghaib al Ghaib)

Sungguh merupakan kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu keterpesonaan yang mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak di-acuh-kan oleh kebanyakan orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam asy Syahadah (alam realitas). Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan pemandangan ketinggihan nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang dan jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa banyak keterpesonaan yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri anda manusia yang memiliki penglihatan sehat dan jelas, namun tidak mampu menembus pandangan yang terang dan jelas. Sebab banyak sekali para hamba yang ditajallikan sifat-sifat-Nya pada dirinya, namun sifat kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga sifat-sifat ketuhanan-Nya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala sifat-Nya termanifestasikan pada diri seorang hamba-Nya, maka sifat-Nya dan sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disini, namun hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni kegaiban-Nya tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit insan saja. Penampakkan al Haq pada hamba-Nya melalui sifat-Nya merupakan bentuk pemuliaan Diri Nya kepada hamba tersebut berbeda dengan hamba yang ditajallikan kepadanya inti (dzat)-Nya, yang kehadiran­Nya adalah kegaiban hamba-Nya, dan kegaiban-nya adalah kehadiran al Haq.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya as Sam'u, yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al Jamadaat (benda-benda padat), tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta perkataan para malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta ujaran-ujaran makhluk-Nya yang lain. Demikian pula sesuatu yang jauh bagi hamba itu serasa dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri Nya dengan sifat-Nya as Sam'u, hamba tersebut bisa mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an sifat tersebut ragam bahasa, multi ujaran komunikasi benda-benda padat dan hewan-hewan. Dalam etos tajalli ini saya (al Jaili) telah menyimak ilmu Rahmaniyah dari ar Rahman, saya telah belajar membaca al Qur'an secara hakiki, sayapun merasa bahwa diri ini tidak lebih dari sebuah ar Rithlu (delapan ons) sedang Dia adalah al Mizaan (neraca). Realita ini tidak bisa dipahami, kecuali oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli ketuhanan yaitu insan-insan khawas (golongan istimewah) yang menjadi kekasih-Nya. Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Kalaam, yang dengan itu semua Maujudaat (segala wujud), berasal dari Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al Haq memanifestasikan Diri Nya, kepada hamba itu melalui sifat-Nya al Hayatiyah. Kemudian Dia mengajari hamba itu dengan sifat 'Aliim-Nya, bahwa segala rahasia hidup dan kehidupan berasal dari Diri Nya, lalu Dia memperlihatkan dan memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam'u-Nya, berikut dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara dengan Kalam-Nya, jadilah segala wujud dari kalam-Nya. Saat itulah sang hamba menyaksikan dengan kalam-Nya, dalam capaian spintual ini keazalian segala sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada ikan pernah habis dan tidak pula berakhir.

Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi dengan hamba-Nya tanpa Hijab (tirai penghalang) nama-nama pra penampakkannya. Diantara para audien tersebut ada yang bisa beraudiensi dengan inti (dzat)-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak pembicaraan yang datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan suara, penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan bukan dengan telinga. Dikatakan kepada hamba tersebut: kau adalah cinta Ku, kau adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan diharapkan, kau adalah wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan utama, kau adalah pencarian tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam segala rahasia, kau adalah cahaya Ku dalam segala cahaya, kau adalah permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah keindahan Ku, kau kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti (dzat) Ku, kau sifat Ku. Aku adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu. Duhai kekasih Ku, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud dari segala wujud dan Huduts (kebaruan). Dekatkan dirimu kepada penyaksian Ku, maka Aku akan dekatkan diri Ku kepadamu dengan wujud Ku, jangan kaujauhkan dirimu dari Ku, sebab Akulah yang berfirman :

Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Q.s. Qaaf 50 : 16).

Jangan kau belenggu dirimu dengan isim (nama) seorang hamba, kalau bukan karena adanya Rabb, maka tidak akan pema ada Abd (hamba), kau tampakkan Diri Ku, seperti halnya Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena ubudiyah (ritus peribadatanjmu, niscaya tidak akan tertampakkan Rububiyah (ketuhanan) Ku, kau menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti halnya Aku menjadikan dirimu, kalau bukan karena wujudmu, maka wujud tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling dekat dari segala yang terdekat. Cinta Ku paling tinggi dari segala yang tertinggi, cinta Ku menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih dirimu untuk Diri Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan keluarkan Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah garam dalam makanan. Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logika-mu dalam pengetahuan. Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan inderawi, membuat Ku tersentuh dalam sentuhan. Kekasih-Ku, kau adalah muara harapan Ku, sentra penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku. Betapa indah kebersamaan Ku denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan Diri Ku.

Diantara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui lisan makhluk (ciptaan)-Nya, ia menyimak pembicaraan dan satu arah tertentu, akan tetapi ia sangat mafhum (faham), bahwa ungkapan itu bukan keluar dari arah tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar dari lisan makhluk-Nya. Ia bisa memakrifahi sejatinya perkataan tersebut berasal dari al Haq, adapun ragam pembicaraanya sangatlah banyak, yang tidak mungkin kita rinci dalam karya ini. Diantara para audien itu ada yang dilang-lang buanakan al Haq dari alam jisim ke alam ruh, audiensi bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi. Diantara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, diantara mereka ada yang diterbangkan dengan ruhnya ke lapis pertama langit dunia, ada pula yang diterbangkan ke langit lapis kedua dan ketiga, diantara mereka ada yang diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak bicara disana. Tingkat pembicaraan masing-masing insan yang diajak bicara al Haq tersebut, tergantung daripada kemampuan mereka memasuki dan memakrifahi dunia hakekat, sebab al Haq tidak akan meletakkan sesuatu, melainkan pada tempatnya.

Pada saat pembicaran itu, diantara mereka ada yang diberikan contoh (permisalan) cahaya-Nya yang dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya, diantara mereka ada yang dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir (yang menerangi) bersumberkan cahaya-Nya. Diantara mereka ada bisa melihat cahaya-Nya dalam batinnya, yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya Ilahiyah (ketuhanan) tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan dengan berbagai citra. Diantara mereka ada yang melihat citra ruh, yang memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab (pembicaraan), kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah sejatinya al Mutakallim (Sang Pembicara). Kalamullah, adalah sebuah realita yang sangat nyata, tidak membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, bahkan kekhususan Kalamullah tidak samar (tersembunyi). Orang seorang yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil maupun keterangan, terlebih al Burhan (aksioma), sebab dengan penyimakan tersebut sang penyimak memakrifahi (memahami) dengan penuh keyakinan bahwasanya Kalam (ujaran) itu adalah Kalamullah. Diantara yang diajak bicara itu ada yang diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya : Kekasih Ku, ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku. Kekasih Ku, ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku, Aku adalah untukmu bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan, kau untuk diri-Ku bukan untuk dirimu. Cinta Ku... kau adalah nuqta (titik), diatas peredaran wujud, kau dalam rotasi itu adalah pegiat ibadah dan yang disembah, kau adalah cahaya. Kau adalah manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata dalam struktur tubuh manusia. Diantara para audien itu ada  yang dipanggil melalui dimensi kegaiban, serta dapat mengerti warta-warta sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi karena permintaan mereka kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan ujuran-ujaran tersebut. Diantara mereka ada meminta Karamah (kelebihan par excelent), al Haq-pun memuliakannya dengan karamah, sebagai dalil untuknya jika kembali ke alam inderawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual (maqom)nya dihadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin (insan yang diajak bicara) al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian manifestasi sifat-sifat-Nya.

Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Iradah. Ketahuilah bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan Iradah (kehendak) al Haq, manakala Dia bermanifestasi dengan sifat al Mutakallim (berbicara), Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallim (ujaran-ujaran)-Nya kepada segenap makhluk-Nya, al Mukallimin (para audiens)-pun menyimak ujaran-ujaran-Nya sejalan dengan kehendakNya. Mayoritas para insan yang telah Wushul (sampai) pada tajalli ini, kembali mundur ke belakang (feed back). Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang mereka lihat, yang sedemikian tatkala al Haq mempersaksikan kepada mereka dengan kesaksian inti (dzat) bahwa segala sesuatu berjalan dengan Iradah-Nya di alam Gaib Uluhiyah (ketuhanan). Mereka lantas mencari penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita inis, jelas realita itu mustahil terjadi di alam Syahadah (alam realitas) ini, karena hal tersebut merupakan kehususan dua inti (dzat). Mereka lalu mengingkari kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka feed back (melangkah mundur), dan hancurlah kaca hati mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka telah menempuh raihan Syuhud (penyaksian), serta hilang (gaib) sesudah wujud. Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Qudrah, segala sesuatu terjadi dengan qudrah-Nya di alam gaib, Dia menampakkan contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam kasat mata ini. Jika seorang hamba terus intensif memelihara tajalli ini, maka capaian spiritualnya akan meningkat, akan ditampakkan kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya. Pada tajalli ini saya (al Jailiy) telah mendengar Shalsahalah al Jaros (bunyi lonceng), struktur tubuh saya terpencar, citra saya semburat, nama saya terhapus, karena keterpesonaan (Haybah) saya yang tidak ketulungan, saya seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon, dihempas angin kencang, lambat laun terlempar dari pohon tersebut. Pada kondisi spiritual seperti itu, saya tidak melihat, melainkan Buraq, awan putih kemilau yang mengguyurkan hujan cahaya-cahaya, serta samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa berbenturan, saya merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis. Oudra itu terus menciptakan untuk diriku kekuatan-kekuatan Haybah (kedahsyatan), Qudra juga membakar diri saya dengan nafs-nafsu, hingga Sang Maha Perkasa membawa saya ke hanggar ketinggian, tampak keindahan yang terindah dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal. Imajinasi menari-nari membentangkan karya ciptaan, ilasusi dan asums saya pun menari-nari ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala sesuatu. Setelah saya kembali kepada rasi-rasi bintang (falak) al Mulk (kekuasaan)-Nya, tiba-tiba terdengar suara ketinggian :

Wahai langit dan bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku, dengan suka hati atau terpaksa. (Q.s. Fushushilat 41 : 11)

Diantara wajah manifestasi (Tajalli as Shifat) ini adalah, polarisasi obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini terwajahkan dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi imajinatif yang penuh dengan keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga menampakkan Sihir kelas tinggi, dalam manifestasi ini : penghuni surga berbuat apa saja yang mereka kehendaki, juga keajaiban benih yang ada di tanah yang dipakai mencipta Adam as, seperti yang telah disebutkan Ibnu Arabi dalam kitab beliau. Dalam tajalli ini: manusia yang berjalan diatas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu yang sedikit menjadi banyak, dan banyak menjadi sedikit dan banyak lagi panorama kejadian par excelent dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian heran wahai kawan-kawanku, sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu macam, namun memiliki ragam wajah, kenyataan tersebut melahirkan dimensi kebahagiaan dan kepedihan, orang seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan bahagia, insan yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki, akan sedih. Pahami dengan seksama metafora dan isyarat yang ada!

Kami telah berusaha memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat yang berserak dari realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman rahasia yang tersimpan di dalamnya memerlukan tafakkur yang optimal untuk menyingkapnya. Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian pemahaman hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia Qudrah yang terhijab dan tersimpan. Pada khazanah capaian ini, anda bisa berkata kepada sesuatu: Kun (jadilah) Fa Yakun (Maka Jadilah) sesuatu yang anda ujarkan tersebut, itulah sejatinya amar-Nya yang terdapat diantara (Kaf) dan (Nun). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya ar Rahmah, yang sedemikian itu setelah dinisbatkan kepadanya Arsy ketuhanan (Rububiyah), dan dikuasakan kepadanya sifat Rabb-Nya, di letakkan kepadanya Kursi kemampuan (Qudrah) dibawah kakinya. Maka bergeraklah rahmat-Nya ke segenap Maujudaat (segala wujud) dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti (dzat)-Nya, penggerak sifat-sifat-Nya, ia melantunkan ayat-ayat:

Katakanlah : Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab. (Q.s. ali Imraan 3 : 26 - 27)

Kesemua itu di alam gaib-Nya tersucikan dari keraguan, serta sebuah kemestian yang tak terbantahkan, disinilah esensi perbedaan diantara dua sifat dan dua inti (dzat). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak belakang, semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan alam ketinggian. Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikakan, kulit dan isi telah terkupas, segala sesuatu terlihat:

Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya air itu dia tidak ' mendapatinya sesuatu apapun, Dan didapatinya ketetapan Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup. (Q.s. an Nuur 24 :39)

Diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya:

Dan dikatakan: Binasalah orang-orang yang dzalim. (Q.s. Huudll :44)

Ketahuilah, bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis, memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang ditegaskan al Haq dalam firman Qur’ani:

Banyak orang yang disesatkan, dan banyak pula orang yang diberi petunjuk. (Q.s. al Baqarah 2 : 26)

 Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya, tanpa cahaya, dan ia (Nur) merupakan Shiratullah ftalan Allah). Orang seorang yang berjalan dibawah cahaya-Nya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan dengan selain cahaya-Nya akan sesat. Diantara kehususan manifestasi sifa-sifat-Nya ini adalah, bahwa seorang hamba yang tertajallikan, akan membenarkan pendapat-pendapat (keyakinan) pemeluk segala agama, serta mengetahui asal aqidah mereka, ia juga bersaksi akan raihan kebagiaan yang mereka raih, berikut memahami prosesi capaian kebahagiaan yang mereka kerjakan, pun sebaliknya, ia juga tahu raihan kedukaan, pun proses yang menyebabkan kedukaan mereka, lebih dari itu ia juga mengetahi pintu-pintu kebenaran pemeluk lintas agama tersebut, serta kevalidan kepercayaan mereka. Diantara kehususan tajalli ini juga, hamba yang tertajallikan itu, menyalahkan semua pendapat (keyakinan) pemeluk lintas agama, bahkan menyalahkan para Muslim, para Mukmin, para Muhsin dan para arif, ia tidak membenarkan pendapat satu faksipun, selain pendapat para pegiat hakekat yang sempurna, hanya pendapat ahli hakekatlah yang mereka terima, yang lain tidak. Diantara kehusuan tajalli ini : Seorang hamba tidak mungkin baginya melakukan penafian (an Nafyu), serta tidak mungkin baginya melakukan ketetapan (al Itsbaat), ia tidak memperkatakan sifat, tidak pula membincang inti (dzat), ia tidak terlabeli dengan isim (nama) tidak pula dibingkai dengan Rusum (aspek lahiriyah).

Dalam tajalli ini saya berjumpa dengan para Malaikat al Muhaimin (pelindung), saya lihat dengan ragam penyaksian, jika tersenyum ia menebarkan keindahan, jika melihat ia membiaskan kesempurnaan, jika berbicara menaburkan keperkasaan. Ada yang gaib dalam ke-Dia-an Dia, ada yang hadir dalam ke-Aku-an Nya, ada yang hilang dalam wujud, ada yang ditemukan dalam Syuhud (penyaksian), ada yang terpesona dalam ketakjuban, ada yang takjub dalam keterpesonaan, ada yang lebur dalam kesirnaan (kefana'an), ada yang lenyap dalam kekekalan (ke-baqa'-an), ada yang sujud dalam ketiadaan murni, ada yang beribadah dalam wujud dan wujud. dalam kewajiban, ada yang binasa dalam wujud, ada yang tenggelam dalam penyaksian, ada yang terbakar api ke-Esa-an, ada yang tenggelam di dalam samudera as Shamdaniyah (tumpuhan segala-galanya), ada yang hilang dalam Uns (keintiman) dan Wajd (menemukan) al Ouddus, insan yang menemukan keintiman al Muhaimin ini, sirna dalam kequdusan. Orang seorang yang melihat ihwalnya pasti akan terpesona, manusia yang ragu (gamang) ujaran-ujarannya akan teratur, saya mengarahkan pandangan kepada penyaksian tersempurna, dan kesaksian tertinggi, sebuah alih pandang yang berlandaskan hasrat kuat untuk menyibak, bukan alih pandang berdasarkan kegamangan dan keraguan. Saya katakan kepada malaikat al Muhaimin (pelindung) : wahai yang sempurna dan yang dekat, ruh qudus yang santun nan terhormat, wartakan kepadaku, perihal ihwalmu dalam penyaksian akan keberadaan dirimu, bicaralah kepadaku tentang citra dirimu, jelaskan kepadaku dengan namamu. Ia menyambutku dengan sambutan yang santun penuh kesejukan.

Malaikat al Muhaimin itu lantas berkata: Janganlah kau mencari dan meminta isim (nama), yang membuatmu terpasung dengan jerat nama-nama, serta membuatmu terpenjara di dalam rusum (aspek lahiriyah). Jangan mengandalkan apa yang ada di kepalamu, karena akan memalingkan dirimu dari nilai-nilai hakiki, jangan terpaku dengan lembaran-lembaran bertuliskan ilmu, karena akan menghijabkan dirimu dari Rabbmu dan makhluk yang ada dilangit. Jangan kau mencari inti (dzat)-Nya, karena kamu akan dipermalukan ketiadaan, meskipun demikian penafian akan inti (dzat) adalah kekafiran, sedang mencari ketetapan inti dzat-Nya secara kasat mata, hanya membuahkan kesia-siaan tak bertepi. Kedua hal (penafian dan ketetapan) itu ibarat dua samudera dan al Haq,

Diantara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. (Q.s. ar Rahman : 55 : 20).

 Malaikat al Muhaimin itu lalu bertutur: Madluliyah (makna tersirat) dari ayat tersebut, al Haq seakan hendak menegaskan : jika kau mencari ketetapan inti (dzat) Ku dengan ketetapan kasat mata, maka kau akan ditegakkan oleh sesuatu selain Diri Ku, jika kau nafikan Diri Ku, maka kau akan terhijabkan dari makna hakiki Ku, dalam kondisi spiritual seperti itu jikalau kau mengklaim telah fana' bersama Ku, lantas dimana letak kefana'anmu dari kefana'an diri Ku? Jika kau memaklumatkan bahwa dirimu adalah manifestasi Diri Ku, maka ke-sirna-an mu adalah makna kebaikan universal Ku, jika kau gamang maka kau telah faqir (merasa butuh) kepada Ku. Jika kau mengakui kelemahan dirimu, maka telah lenyap sifat lemahmu, jika kau mengklaim telah sempurna, maka itulah awal kekuranganmu dan kebodohonmu. Ketahuilah bahwa masalahmu ada pada permulaan bukan pada penghabisan, jika kau melaparkan dirimu, (berlapar-lapar diri) namun tidak mampu menangkap manifestasiKu, sungguh kau adalah manusia yang rugi dalam arti yang sesungguhnya. Jika kau bangun mutu dirimu dengan selain diri Ku, apa arti kemuliaanmu? Jika kau tegakkan eksistensi dirimu diatas Arsy sifat dirimu, lantas dimana kesempurnaanmu dihadapan kesempurnaan Diri Ku,? Untuk memakrifahi Diri Ku adalah dengan Diri Ku, bukan dengan dirimu, Akulah yang mengatur dirimu, bukan kau yang mengatur Diri Ku.

Malaikat al Muhaimin itu a lantas berkata : Falak-ku adalah falak al A'lah (tertinggi,) masjid ku adalah al Aqsha, diberkahi sekelilingnya bagi penduduk dan penghunjungnya, air yang tawar, bunga yang semerbak. Orang seorang yang memuji dalam samuderah sanjung puji-Ku, akan dibawah berlayar sifat-sifat diriKu, insan yang menaiki ke-pemurah-an dan kedermawanan Ku, akan memasuki gerbang negeri Ku, insan yang melampaui batas diriKu, serta mengklaim sesuatu yang tidak ada pada dirinya tentang diriKu, akan Ku pasung dia dengan Hijab yang kontinu, dan Ku katakan kepadanya :

Janganlah kamu mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, maka Dia akan membinasakan kamu dengan siksa. (Q.s. Thaahaa 20 : 61)

Aku adalah Shiraathal Mustaqiim (jalan yang benar), Aku adalah pelurus segala kebengkokkan, Aku beredar pada falak penciptaan segala kebaruan, Aku bersama inti (dzat) yang ada-Nya tidak didahului oleh sesuatu. Malaikat al Muhaimin itu terus menuangkan cawan-wacan hikmah dalam diriku, dalam jamuan presensi (Hadrah) al Wujud, hingga terkuak semua misteri segala wujud yang selama ini tersimpan rapat di rak-rak rahasia ketuhanan, ku tanyakan kepada malaikat tersebut perihal tentara yang tersimpan, kabar agung, yang melahirkan multi tafsir dan perdebatan tak berujung. Sang malaikat berkata : Dengarlah, apa yang kau katakan itu adalah nama-nama yang benihnya berasal dari alam ketinggian, aku perna menyimak panggilan nama tersebut, dengan suara yang terfashih, keterangan yang paling jelas, dengan paparan yang tidak ada satupun yang tertinggal dan tersembunyikan. Aku tanyakan kepada sang malaikat, apa hakekat panggilan itu?, ia menjawab :

Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Qur'an. (Q.s. ar Rahman 55 : 1 - 2)

Ku katakan kepada sang malaikat, teruskan penjelasanmu, beri aku penjelasan perihal diriku, ia menjawab simaklah wahai kisanak :

Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan serta pepohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan.

Ku katakan kepadanya, wahai ruh yang didamba, kabarkan kepadaku tentang ihwal diriku, tentang sesuatu yang memberi kontribusi bagi diriku, ia bertutur :

Apabila matahari digulung. Dan bintang-bintang berjatuhan. Dan apabila gunung-gunung dihancurkan. Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan. Dan apabila bintang-bintang liar dikumpulkan. Dan apabila lautan-lautan dijadikan meluap. Dan apabila ruh-ruh dipertemukan. (Q.s. at Takwiir 81 : 1-7).

Dengan penuh kearifan, malaikat itu meneruskan penuturannya :

Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh. Dan apabila catatan-catatan amal perbuatan dibuka. Dan apabila langit dilenyapkan. Dan apabila neraka jahim dinyalakan. Dan apabila surga didekatkan. Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. (Q.s. at Takwiir 8 -14)

Ku katakan lagi kepadanya wahai yang bijak nan mengangumkan, wartakan kepadaku perihal burung Garuda Emas, tunjukkan kepadaku kesejatian pundi-pundi yang tersimpan, diantara Kaaf dan Nun. Ia menjawab : cukuplah keteranganku buat dirimu, apa yang telah aku paparkan sudah lebih dari cukup untuk dirimu. Ku coba menyangganya, semua itu belum cukup bagiku. Ia balik bertanya, perlukah aku menambahkan keteranganku? Ku jawab, aku sangat membutuhkan tambahan penjelasanmu wahai ruh yang kudamba, ia berkata: adapun berikutnya ku tambahkan kepadamu keterangan yang benar, dan pendapat yang beroleh petunjuk yang benar, hanya saja dia sangat jauh dariku. Ku katakan kepadanya siapakah sejatinya dia itu wahai tuanku,? Ia menjawab : hamba yang sama, kemudian ia melantunkan

Mereka tidak mendengarkan. (Q.s. al Anfaal 8 : 21).

Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya Jadilah! Maka jadilah ia. (Q.s. 36 : 82)

Malaikat itu terus mengkhutbai diriku dalam jamuan Hadrah (presensi), ia tampakkan kepadaku kejeniusan-kejeniusan yang membuatku hanyut dalam keterpesonaan, hingga diriku berselimutkan kebahagiaan, dia memang pantas dikuasakan ilmu hakiki nan suci ini, aku mencium semerbak ragam wewangian, merasakan puncak kenikmatan hakiki, hingga ahirnya tangan qudrah-Nya menghempaskan diriku dari ke-aku-an diriku, lebur dalam ke-Dia-an Dia, daya dan upayaku lebur dalam daya dan upaya-Nya. Lenyaplah semua gambaran bentuk kehidupan, yang tersisah adalah kematian yang tidak mati, dan kehidupan yang hidup, sebuah kematian dalam kehidupan yang berkafankan keabadian, serta terlepas dari kebangkitan dan pengumpulan, tidak ada sesuatu yang gaib, tidak pula ada yang hadir. Manakala segala yang fana' telah sirna, semua yang wujud di kampung (akhirat) ini telah binasa, ditanyakan kepada dirinya :

Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? ia menjawab: Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Q.s. al Mu'min 40 : 16).

Syair-syair a-Jilly

Khalifah hanyalah istilah untuk menamai wujud

Kekuasaan Khalifah adalah Majaz,

Yang Esalah Sang Penguasa

Khalifah adalah nama Kiasan dalam realitas wujud

Sejatinya Pemimpin dan Penguasa adalah Yang Maha Tunggal

Manakala cahayaNya terbit terang dalam Qalbumu

Nama-NamaNya akan menghiasi 'laku' dirimu di realitas wujud

Sirnakan dirimu ke dalam ekstase asma-asma DiriNya

Kau akan menjadi 'landasan' Tajalli asma-asmaNya di alam ini

Dirimu sama persisnya sebelum dan sesudah penciptaanmu

Seperti halnya AdaNya, seperti sediakala dalam keazalian DiriNya

Deburan asma-asmaNya disurung tiupan keTunggalanNya.

Gulungan ombak lautan sedahsyat apapun berasal dari satu samudra

Deburan air yang semburat digerakkan oleh satu gelombang

Semua gerak apapun bentuknya digerakkan oleh zat Yang Maha Esa

Wahai Ruh segala ruh, dan ayat-ayat agung.

Wahai pelipur lara setiap hati yang berduka nestapa

Wahai muara segala harapan dan cita-cita

Ujaran KalamMu sungguh sangat manis bagi diriku

Wahai 'Ka'bah' segala hakekat dan kesucian

Wahai Arafah kegaiban,

Wahai Pengkobar rindu Kami datang kepadaMu, dengan fana' kami

Kami tukar semua dunia kami dengan ahiratMu

Jika bukan karenaMu, niscaya kami tidak berwujud

Andai bukan karenaMu, niscaya tidak paham kesejatianMu

Engkau adalah muara segala keagungan dan kemuliaan

Hanya kepada DiriMu segenap faqir memuarakan kebutuhan.

Pola dan atur zaman ini sesuai kehenakMu

Engkau adalah Maula da kami adalah abdiMu

Ayunkan pedang di leher musuh-musuhMu

PedangMu lebih tajam daripada besi paling tajam

Beri dan tahan rizki hambaMu, sesukaMu

Agar para abdiMu,rajin dan giat mengkais rizkiMu

Adakah kehabagiaan yang melebih dekatMu?

Adakah kepedihan yang melebihi keterpalinganMu?

Kabulkan harapan mereka yang berbakti

Tolak harapan mereka yang membangkang DiriMu

Kau berkuasa memuliakan yang Kau suka

Kau berhak menista yang Kau benci dan murkai

Pengabdian yang nihil keihlasan akan sia-sia

Ketulusan adalah kunci utama menggapai ridhaMu

Kau Maha Keras siksaMu bagi tiap pendosa

Semua pelaku kemaksiatan tidak akan lepas DariMu

Kau adalah Diraja segala pemilik kekuasaan

KuasaMu meliputi kekuasaan berdimensi kasat dan gaib

Engkau memiliki Arsy agung poros kemuliaan

Dari atas singgasanaMu Engkau Atur segenap karyaMu

 

Sudah Edit 15. Sentra Manifestasi Inti (Dzat)

Ketahuilah, bahwasanya inti (dzat) ibarat wujud mutlak yang meruntuhkan segenap ibarat (metafora), segala Idhafah (atribut), semua wajah (ruang dan waktu), bukan karena semua itu diluar wujud mutlak, akan tetapi semua metafora dan atribut kemahlukan dengan segala wacananya adalah bagian integral ( wujud mutlak). Inti (dzat) dalam wujud mutlaq bukan dengan diriNya, tidak pula dengan metafor (ibarat-ibarat), akan tetapi ia merupakan inti (dzat) wujud mutlak itu sendiri. Wujud mutlak itu sendiri sejatinya adalah, dzat yang Syadzajah (bercampur), yang tidak tampak pada isim (nama), sifat, penyifatan, nisbat, atribut dan lain-lainnya. Tatkala inti (dzat)-Nya termanifestasikan pada sesuatu yang disebut diatas, maka manifestasi tersebut dinisbatkan kepada sesuatu yang termanifestasikan, dan bukan dinisbatkan kepada inti (dzat) murni. Pada fase ini (murni tidak tercampuri sesuatu), dzat dihukumi berdasarkan inti yang mencakup universalitas, parsialitas, global, parsial, nisbat serta atribut, bukan dihukumi berdasarkan ke-kekal-annya. Inti (dzat) pada fase ini bahkan dihukumi dibawah pemencaran dalam naungan kekuasaan ke-Esa-an dzat, sehingga dzat tersebut menjadi wajah Ahidayah al Jam'ah ( kesatuan dari yang banyak). Jika inti dzat itu di-ta'bir-kan dalam inti sifat-sifat, nama-nama, maka inti (dzat) tersebut akan dihukumi berdasarkan Masyhuud (sesuatu yang tersaksikan) sebagai dasar pengibaratannya, dan bukan berdasarkan inti (dzat).

Karenanya kami memakzulkan bahwa inti (dzat) adalah wujud mutlak. Kami tidak menyebutnya dengan wujud Qodim (adanya tidak didahului oleh sesuatu), bukan pula wujud wajib, agar tidak ada keharusan yang bersifat mengikat dan membatasi pada inti (dzat), jika tidak demikian, maka yang dipahami dari inti (dzat) dikajian pasal ini, adalah dzat yang Wajib al Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendirinya) serta Qadim (eternitas). Sedangkan yang kami maksud dengan wujud mutlak adalah tidak adanya ikatan dan batasan dengan wajah (kisi dan sisi) apapun. Pahami dengan seksama masalah ini.

Ketahuilah, bahwasanya zat murni yang bercampur, jika ter-steril-kan (ter-transendensi-kan) dari ketercampuran dan kemurnian, akan membuahkan tiga sentra wacana manifestasi. Pertama : Ahadiyah (ke-Esa-an), pada tajalli ini tidak ada sesuatupun dari I'tibar-I'tibar, atribut-atribut, nama-nama, sifat-sifat pun segala sesuatu selain diri-Nya yang termanifestasikan. Dengan demikian Dia merupakan dzat murni, akan tetapi telah dinisbatkan kepada­Nya sifat Ahadiyah (ke-Esa-an), karena-nya hukum kemurnian-Nya berubah menjadi ketercampuran. Kedua : Hawiyah (ke-Dia-an), tidak ada satupun dari semua yang telah disebutkan tertampakkan, kecuali Ahadiyah (ke-Esa-an). Karenanya kemurnian-Nya beralih kepada hukum ketercampuran, meskipun demikian ketercampuran itu tidak tertampakkan pada Ahadiyah. Karena keterbatasan akal (logika) dalam menangkap dimensi kegaiban, yang bisa dilakukan adalah menangkap metafora (isyarat-isyarat) ke-gaib-an dengan Hawiyah (ke-Dia-an) Dia di alam realitas ini. Ketiga : Inniyah (ke-Aku-an) seperti halnya pada ke-Dia-an Dia, tidak ada satupun dari yang tersebutkan diatas yang tertampakkan, kemurnian-Nya juga beralih ke hukum ketercampuran, akan tetapi tidak tertampakkan pada ke-Aku-an Dia seperti yang terjadi pada Hawiyah (ke-Dia-an) Dia, karena kemampuan akal (logika) sangat terbatas dalam menangkap sesuatu yang berifat kekinian (pelik kontemporer) dan hal-hal yang terkait dengan tatap masa depan (futuristik). Yang perlu dicermati dalam masalah ini, ke-Aku-an Dia, terlembagakan dalam ujaran-ujaran (Khitab) yang diarahkan kepada segenap makhluk-Nya, dengan demikian Sang Pembicara, lebih mudah ditangkap isyarat-Nya katimbang dimensi rahasia gaib-Nya. Pahami betul masalah ini, agar anda bisa menyingkap dimensi yang tersirat!

Al Haq berfirman :

Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku.(Qs an Nahl 16 : 2).

Aku adalah isyarat Ahadiyah (ke-Esa­an), karena Aku merupakan maklumat 'penegasan' kemurnian, tidak ada ikatan dan batasan di dalamnya, demikian pula Ahadiyah merupakan dzat murni mutlak yang tidak ada sesuatupun selain diri-Nya, yang membatasi atau mengikatnya, sedangkan redaksi (Bahwasanya) dalam ayat tersebut, merupakan isyarat, akan Hawiyah (ke-Dia-an), yang tersuplemenkan kepada Ahadiyah, karenanya melahirkan pemahaman redaksional (Bahwasanya Aku), sedangkan Aku mengisyaratkan Hawiyah yang tersuplemenkan kepada Ahadiyah (ke-Esa-an) yang merupakan inti al Inniyah (ke-Aku-an), dengan demikian pemahaman logis dari redaksi Qur’ani tersebut adalah Sesungguhnya Allah, kabar tersebut, yakni Allah diruntutkan kepada Aku dengan penurunan Inniyah (ke-Aku-an), namun berkapasitaskan Hawiyah (ke-Dia-an), dan Ahadiyah (ke-Esa-an). Kesemuanya adalah ibarat inti (dzat) yang berada dibawah naungan hukum ketercampuran, namun ketercampurannya tidak tertampakkan, karena keterbatasan jangkauan akal insani. Tidak ada satu sentra manifestasi paska ketiga sentra tersebut, melainkan sentra al Wahidiyah (ke-Tunggal-an), yang dipresentasikan dengan martabat Uluhiyah (ketuhanan), dan bermuara pada isim (Allah). Redaksi ayat Qur’ani telah memaparkan rincian tersebut dengan lugas dan jelas, maka tafakkuri dengan seksama! Jika anda memahami apa yang kami ungkapkan diatas, maka ketahuilah bahwasanya korelasi dua dzat itu, ibarat kelembutan kasih ketuhanan, seperti yang telah kami paparkan pada pasal terdahulu.

Sungguhnya al Haq, manakala bermanifestasi pada hamba-Nya, Dia sirna (fana')kan hamba tersebut, dari diri dan ke-aku-an serta atribut kemanusiaan dirinya. Dalam kefana'an itu Dia menegakkan kelembutan kasih ketuhanan-Nya kepada si hamba, kasih kelembutan itu bisa berdimensikan inti (dzat), bisa pula berdimensikan sifat, jika berdimensi inti (dzat), maka struktur kemanusiaan hamba tersebut, merupakan individu yang sempurna, ia merupakan Ghaust (penolong) dan sentral segala wujud, ia pantas diapresiasikan dengan sujud dan ruku' (tunduk simpuh). Melalui hamba itu al Haq memelihara semesta alam dan isinya alam ini, disematkan kepada hamba tersebut, 'label' al Mahdi (penunjuk) dan al Khaatim (pamungkas), serta al Khalifah (pengganti), diisyaratkan kepadanya seperti dalam kisah Adam as. Semua hakekat Maujudaat (segala wujud) tertarik kepadanya untuk melaksakanan segala amar perintah, seperti halnya daya tarik magnit yang menarik besi. Dunia tunduk simpuh dihadapan ke­ agung-an person (individu) sempurna tersebut, ia mampu berbuat apa saja sejalan dengan kehendaknya, dikuasakan kepadanya segala kekampuan (qudrah), tidak ada satu hijab-pun yang menghalangi dirinya dengan al Haq.

Lathifah Ilahiyah (kasih kelembutan ketuhanan), akan tetap eksis berada pada diri para wali (kekasih)-Nya, selama kelebihan par excelent itu masih merupakan dzat bercampur yang tidak terikat (terbatasi) dengan tertib kedudukan ketuhanan, pun hakekat ketuhanan serta terikat dengan atribut-atribut kemahlukan dan kehambaan. al Haq memberi hak-hak segala wujud, sejalan dengan martabatnya, baik martabat yang berdimensikan ketuhanan maupun kedudukan kemahlukan, hak-hak yang diberikan itu, manakala tertampakkan pada sesuatu, maka sesuatu itu berjalan berdasarkan hukum manifestasi yang tertampakkan, bukan berdasar hukum inti (dzat). Dengan begitu sesuatu itu telah terhukumi dengan batasan dan ikatan yang menyelimutinya, semisal nama atau sifat (ketuhanan maupun kemahlukan), semua beredar dalam hukum ketercampuran , segala sesuatu (yang wujud) dihukumi dengan Af'aal (aktualitas), bukan dengan hukum al Quwwah (potensialitas). Namun demikian jika sesuatu itu terkait dengan inti (dzat)-Nya, bukan hal yang mustahil ia dihukumi dengan al Quwwah dan bukan dengan hukum Af'aal, karena hal tersebut merupakan al Mumkinaat (sesuatu yang mungkin terjadi), tidak ada sesuatu yang menghalangi realita tersebut, selain Haal (kondisi) dan waktu serta sifat, atribut kemahlukan serta hal-hal yang lain seperti yang telah kami sebutkan diatas. al Haq adalah dzat yang tertransendensikan (Tanzih) dari segala sesuatu, Dia merahmati pemberian segala sesuatu kepada segenap makhluk (ciptaan)-Nya, lalu memberinya petunjuk. Andai para pakar ketuhanan tidak melarang memaparkan tajalli Ahadiyah, terlebih tajalli inti (dzat)-Nya, nicaya kami akan mewartakan ke-unik-an dan keanehan manifestasi ini, serta keajaiban warta-warta ketuhanan yang berdimensikan inti (dzat)-Nya yang murni, yang tidak ada isim (nama), sifat, sifat serta tidak ada tempat masuk dan keluar. Bahkan kami akan turunkan pundi-pundi rahasia yang tersimpan dalam khazanah rahasia kegaiban­Nya, ke alam realitas ini dengan kelembutan ibarat pun kehalusan isyarat, yang dengan itu akan terbuka semua pintu rahasia, terlepas semua pasung logika, yang dengan itu akan terelepas ikatan tali kehambaan seorang hamba, dari belitan pasung Wushul (sampai) ke surga (taman) inti (dzat)-Nya, yang terpelihara dengan prisai sifat-sifat yang berdimensi cahaya-cahaya al Haq.

Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.s. an Nuur 14 : 35)

Syair-syair al-Jilly

Zat Mu adalah Tunggal, dalam ragam spektrum

Segala yang tampak dalam realitas wujud pancaran zatMu

TajalliMu tersucikan dari penyerupaan mahlukMu

Zat DiriMu termanifestasikan dalam sifat-sifat dan asmaMu

Zat DiriMu laksana matahari yang bersinar terang

Seperti halnya sifat-sifat dan asmaMu yang terlihat gamblang

Betapa banyak 'dalil' (petunjuk) Mu yang diabaikan?

Banyak kesesatan terjadi, akibat menafikan ayat petunjukMu

Mereka yang 'menuhankan' pengetahuan rusum

Tidak akan 'menyentuh' hakekat ketersambungan denganMu

Mereka yang 'memuja' logika dan meliarkan pikir

Tidak akan memperoleh Kasyaf, untuk menyibak rahasiaMu

Mereka yang tidak mengerti kelembutan ayatMu

Tidak ubahnya seperti manusia buta yang merabah-rabah gajah

Hakekat kesempurnaanNya tidak terjangkau logika

Mata Qalbumulah yang mengantarmu menyingkab gaibNya

Kobaran api petunjuk dan pengetahuan nisbi

Tidak akan membawamu kepada puncak keluhuran spritual

Kesucian mata hati dan kejernihan mata pikirmu

Adalah kendaraan utamamu mengkuak kesejatian ayatNya

Sifat-sifat ketuhananNya lebur dalam zat DiriNya

Tanpa raihan Mukasyafah. mustahil kau paham zat DiriNya

Sifat-sifatNya adalah wasilah memahami zat DiriNya

Jika kau paham kesejatian sifatNya, kau mengerti hakekat zatNya

Sudah Edit 16. Al Hayyah  (Maha Hidup)

Wujud sesuatu dengan dirinya sendiri, adalah hidupnya yang sempurna, wujud sesuatu dengan yang lain selain dirinya adalah Hayatan Idhafiyatan (kehidupan sambungan). Semantis logikanya wujud yang ada dengan sendirinya adalah wujud yang sempurna, sedang wujud yang adanya karena bergantung kepada sesuatu yang lain adalah tidak sempurna, al Haq maujud (ada) dengan diri-Nya, Dia adalah Maha Hidup, dan hidup­Nya adalah kehidupan sempurna karena tidak terkait dengan sesuatu selain Diri Nya. al Haq tidak terkait dengan kematian. Berbeda dengan segala ciptaan-Nya, hidup dan kehidupan mereka bergantung kepada-Nya, karenanya hidup dan kehidupan mereka disebut Hayatan Idhafiyatan (kehidupan sambungan). Esensinya semua yang wujud hidup dan mati mereka bergantung, terlebih tersambungkan kepada al Haq, segenap Maujudat memiliki ketergantungan dan ketersambungan hidup dan mati kepada Allah berlaku pada mereka hukum fana' (sirna) dan tidak baqa' (kekal). Jika orang seorang mampu memakrifahi kesejatian al Hayah ini, ia akan memahami urgensi kefana'an dan kematian. Ketahuilah bahwasanya manifestasi Hayatullah (hidup Allah) pada segenap makhluk-Nya adalah Satu dan Sempurna, namun memiliki ragam bentuk penampakkan. Diantara mereka ada yang ditajallikkan dalam hidup dan kehidupan mereka dengan citra hidup-Nya yang sempurna, seperti yang termanifestasikan dalam hidup dan kehidupan Insaan Kaamil (manusia sempurna), al Haq memanifestasikan hidup-Nya dalam diri manusia sempurna itu dengan wujud hakiki, bukan wujud majazi serta wujud Idhafiyah (sambungan) berdasarkan al Qurb al Kaamil (kedekatan paripurna). Manusia sempurna itu hidup dan kehidupannya sangat paripurna, yang tidak sama dengan kehidupan para malaikat ketinggian, dimana hidup dan kehidupan mereka masih dalam pemeliharaan al Haq, padahal mereka adalah makhluk super yang tidak terkait dengan unsur-unsur seperti al Qolam al A'lah (pena ketinggian), serta Lauh dan benda-benda ketinggian sejenisnya. Para malaikat ketinggian dan unsur-unsur ketinggian itu hidup dan kehidupan mereka, masih kalah dengan kehidupan Insaan Kaamil, mereka bahkan akan mengikuti jejak Insaan Kaamil dalam menggapai hidup dan kehidupan hakiki. Pahami dengan teliti masalah ini.

Diantara mereka ada yang ditajallikan dalam hidup dan kehidupannya dengan citra hidup-Nya, namun tidak sempurna, seperti hidup manusia kebanyakan, atau hidup bangsa Malaikat dan hidup bangsa Jin. Masing-masing memiliki ketersambungan dan ketergantungan hidup kepada al Haq, masing-masing juga mengerti bahwa al Haq Maujud (Ada), Dia berbuat apa saja dalam hidup dan kehidupan mereka, namun perlakuan al Haq kepada mereka berbeda dengan perlakuan-Nya kepada Insaan Kaamil (manusia sempurna), karena tingkat kedekatan (al Qurb) mereka kepada al Haq berbeda dengan kedekatan Insan Kaamil. al Qurb (kedekatan) itulah sejatinya yang membedakan inti hidup masing-masing makhluk-Nya. Hidup seseorang akan sempurna, jika kedekatannya kepada al Haq sempurna, orang seorang tidak akan bisa menggapai kehidupan sempurna jika kedekatannya kepada al Haq tidak sempurna. Diantara mereka ada yang ditajallikkan dalam hidup dan kehidupannya namun tidak dengan citra hidup-Nya, seperti hidup Hayawanaat (habitat binatang) dan benda-benda hidup selain manusia.

Diantara mereka ada yang ditajallikkan hidup-Nya dengan cara tidak menampakkan nafas hidupnya, namun terasakan kemaujudan (keberadaan)-nya, oleh yang lainnya, semisal tetumbuhan, tambang, hewan dan benda-benda hidup lainya. Segala sesuatu yang wujud itu sejatinya adalah hidup, maka tidak ada sesuatupun di alam realitas ini yang tidak hidup, karena wujudnya adalah inti kehidupannya, perbedaannya ada pada hidup sempurna dan hidup tidak sempurna. Kesempurnaan tidak akan terwujud, melainkan dengan hidup sempurna, karena sejatinya hidup sempurna itu adalah kehidupan yang selaras dengan kedudukan yang telah dikodratkan al Haq kepada segenap makhluk (ciptaan)-Nya. Semantis logikanya makhluk yang tidak mampu menggapai hidup sempurna, adalah makhluk yang hidup dan kehidupannya melenceng dari martabat (kedudukan) dan kodrat penciptaan-Nya. Jika elemen-elemen kesempurnaan itu tidak ada pada diri makhluk, maka mustahil hidup makhluk itu bisa sempurna, lebih dari itu ia tidak akan bisa menggapai hidup sempurna. Manusia yang ingin menggapai kesempurnaan hakiki, ia harus bisa menjadikan hidupnya sempurna, tanpa hidup sempurna mustahil ia bisa menggapai kehidupan hakiki.

Segala yang wujud, belum disebut hidup dalam arti yang sesunggunya jika tidak hidup dalam naungan kesempurnaan, yakni manusia disebut hidup jika ia mampu hidup sempurna. Label hidup tidak akan disematkan kepadanya, melainkan dengan hidup sempurna, sebab inti hidup dan kehidupan ini adalah satu, ketunggalan itu tidak terbagi-bagi dan tidak partikuler, karena keterpencaran Jauhar al Fard (entitas tunggal)-Nya adalah sebuah kemustahilan. Maka hidup adalah entitas tunggal-Nya, Maujud (ada) dengan kesempurnaan-Nya bagi diri-Nya dalam segala sesuatu, kehendak sesuatu merupakan manifestasi hidup-Nya, yang sejatinya adalah Hayatullah (Hidup Allah). Dengan hidup-Nya segala sesuatu menjadi hidup, tegaknya sesuatu dalam hidup dan kehidupan ini, itulah esensi tasbih (sanjung puji) sesuatu tersebut kepada al Haq, itu pula hakekat daripada dimensi nama-Nya (al Hayyu). Segala sesuatu yang wujud menghaturkan sanjung puji kepada al Haq dengan mediasi ragam isim (nama)-Nya, meskipun demikian tidak semua wujud yang bertasbih kepada al Haq memakai nama-Nya al Hayyu sebagai mediasi sanjung pujinya, sebab al Hayyu merupakan inti wujud segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan sesuatu tersebut. Dengan demikian jelas sekali bahwa wujud segala sesuatu adalah inti hidupnya, dan manifestasi hidup al Haq pada sesuatu terlanskapkan dalam isim-Nya al Hayyu. Segenap makhluk-Nya yang hidup bertasbih kepada-Nya dengan isim-Nya al Hayyu, karena hakekat wujud makhluk adalah kesejatian hidup-Nya.

Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Aliim memetaforkan masuknya sesuatu tersebut dibawah naungan ilmu-Nya. Jika sesuatu itu berucap Yaa 'Aliim (Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui), hal itu memetaforkan adanya pembelajaran ilmu dari Diri al Haq kepada sesuatu tersebut, hingga sesuatu tersebut menjadi berpengetahuan, dan sesuatu itupun memiliki pengetahuan par excelent karena pembelajaran langsung dari al Haq. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Qoodir memetaforkan masuknya sesuatu tersebut dibawah naungan kekuasaan-Nya. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Muriid, memetaforkan pengkhususan al Haq dengan Iradah-Nya kepada sesuatu tersebut dibawah naungan kehendak-Nya. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya as Samii', memetaforkan penyimakan sesuatu tersebut dari al Haq, sehingga pendengaran-Nya ditampakkan pada pendengaran sesuatu itu, demikian pula dengan perkataan sesuatu itu adalah perkataan al Haq, namun demikian perkataan yang dimaksud adalah berkataan yang berdimensi hakekat, yang tidak sama dengan perkataan yang jamak kita lihat pada perkataan manusia atau makhluk-Nya yang lain. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Bashiir, memetaforkan masuknya sesuatu tersebut dibawah naungan penglihatan-Nya, namun penglihatan dalam dimensi hakekat, bukan penglihatan dalam pemaknaan umum. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Mutakkalim, memetaforkan masuknya sesuatu tersebut dibawah naungan pembicaraan-Nya, yakni sesuatu itu maujud (ada) pada kalimat-kalimat-Nya Qiyas-kan apa yang telah kami paparkan diatas dengan . nama-nama al Haq yang lain.

Jika anda bisa memahami paparan diatas dengan makrifah yang utuh, maka anda bisa mengerti bahwa sejatinya hidup sesuatu itu bersifat Muhditsah (bersifat baru) jika dinisbatkan kepada Huduts (kebaruan) sesuatu tersebut. Adapun jika hidup sesuatu itu dinisbatkan kepada Allah, maka sesuatu itu bersifat Qodim (eternitas) karena sesuatu itu sejatinya adalah hidup-Nya, dan hidup-Nya adalah sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya tersuplemenkan dengan diri-Nya. Untuk mendalami penjelasan ini, cobalah anda telisik dan tafakkuri diri anda (pribadi). Lihatlah pada hidup anda, dan keterkaitan serta keterikatan pun batasan hidup yang melanskapi diri anda, tentu anda tidak menemukan sesuatu, melainkan ruh (Nya) yang husus ditiupkan pada diri anda, ruh-Nya yang ditiupkan ke jisim (tubuh) anda itu adalah ruh-Nya yang Muhdits (bersifat baru). Manakala anda melintas batas penglihatan anda dari kehususan (peniupan ruh) yang ada di jisim anda, lalu anda merusaha menggapai Dzauq al Wujdaan (intuisi), dalam Syuhuud (penyaksian), anda akan temui hakekat, bahwa segala yang hidup berada dalam naungan hidup-Nya, dan andapun akan merasakan bahwa hidup dan kehidupan anda adalah bagian integral dari hidup-Nya. Bahkan dengan Kasyf (intuisi) anda akan memahami bahwasanya eksistensi wujud anda sejatinya adalah kesejatian hidup-Nya, anda juga akan menyaksikan rahasia hidup dan kehidupan yang terdapat pada Maujudaat (segala wujud), kesemua itu sejatinya adalah kehidupan al Haq. Dengan hidup-Nya itulah hidup segala sesuatu, dengan hidupNya pula semesta alam ini tertegakkan, itulah esensi daripada hidup Qodim Ilahiyah (eternitas ketuhanan).

Maka hendaknya anda cermati dengan seksama, isyarat yang saya (al Jaily) gunakan untuk ibarat dalam penjelasan ini, bahkan pada penjelasan semua karya saya terdahulu. Saya sengaja memakai (ibarat) yang berbeda dengan para alim (ulama) yang lain dalam menjelaskan metafor-metafor, paradoks, isyarat yang lahir dari nilai-nilai ketuhanan. Mayoritas para alim menganggap pengibaratan seperti ini, sebagai sesuatu yang tabuh, dan terlalu sakral untuk diungkapkan kepada khalayak umum, karena ilmu ini merupakan ilmu khusus, yang hanya orang-orang khusus saja yang boleh mengetahuinya. Dengan tetap menghormati pendapat mereka, saya memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Menurut hemat saya, masalah ini sah-sah saja diungkapkan kepada publik, karena saya selalu mengacu kepada kaidah-kaidah yang berlaku dalam dunia hakekat, esensinya saya masih berpijak pada kaidah pewartaan, ada sesuatu yang laik dan pantas dipublikasikan, ada sesuatu yang tidak patut bahkan haram dipublikasikan, sedang apa yang saya paparkan adalah masih dalam koridor yang dibenarkan (dibolehkan) untuk diwartakan. Lebih dari itu apa yang saya wartakan, berikut ibarat yang saya gunakan adalah tidak berdasar pendapat, Itba' (pengikutan) orang lain, akan tetapi berdasarkan Kasyf (pengetahuan intuitif) yang saya alami, kesemua itu dipaparkan dengan jelas dan gamblang dalam kembara intuitif yang saya alami, lebih-lebih tidak ada satu tirai penghalang (hijab)-pun di bumi dan langit ini.

Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar dan itu, malainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata. (Q.s. Yunus 10 : 61)

Ketahuilah, bahwa segala sesuatu dari makna-makna ketuhanan, nilai-nilai Uluhiyah, citra-citra ketuhanan, perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan ketuhanan, tetumbuhan, benda-benda yang ada di perut dan permukaan bumi, dan segala sesuatu yang dilabeli wujud, kesemuanya memiliki hidup dengan dan untuk dirinya, serta memiliki hidup sempurna, seperti hidup dan kehidupan Insaan Kaamil (manusia sempurna). Akan tetapi karena banyaknya hijab (tirai penghalang) yang mengkeruhkan hidup mereka, menyebabkan derajat hidup mereka menjadi turun. Andai hijab-hijab tersebut lenyap, niscaya segala sesuatu akan memiliki hidup dengan dan untuk Diri Nya, serta memiliki hidup sempurna. Dengan hidup sempurna itu, sesuatu tersebut, berbicara, berpikir, mendengar, melihat, berkehendak, berkuasa serta berbuat apa saja sejalan dengan keinginan-Nya. Semua itu tidak bisa dimakrifahi (dipahami), melainkan dengan thariqah (jalan) Kasyf (pengetahuan intuitif). Mereka-mereka yang telah Mukasyafah, akan bisa menyaksikan kesejatian warta-warta ketuhanan yang diberitakan sang rasul (Muhammad saw), bahwa laku perbuatan-perbuatan buruk maupun baik yang dilakukan manusia di dunia ini, kelak pada hari kiamat, akan datang dengan citra (rupa) tertentu dan akan berkata kepada si pelaku; aku adalah amal (perbuatan)mu, demikian pula dengan perkataan baik dan buruk akan datang kepada sipengucapnya dengan citra seperti ini dan seperti itu. Pemberitaan rasul saw itu adalah semua kebenaran yang tak terbantahkan, namun tidak semua orang bisa memukasyafahinya.

Demikian pula dengan firman al Haq,

Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Q.s. al Israa' 17 : 44).

Segala sesuatu yang wujud, semuanya bersanjung puji kepada al Haq, dengan Lisaan al Maqol (ungkapan tetap), hanya manusia-manusia yang diberi al Haq rahmat Kasyf (intuisi) sajalah yang bisa menyimak sanjung puji tersebut. Adapun ungkapan tetap sanjung puji segala sesuatu itu adalah Hamdan Lillah dengan pemaknaan hakiki, dan bukan Majazi. Maka pahami betul masalah ini! Termasuk dalam citra sanjung puji ini adalah ungkapan tetap tasbih organ tubuh manusia. Maka keimanan seseorang tidak akan bermuara kepada keimanan hakiki, manakala ia belum mampu memukasyafahi semua yang kami sebutkan diatas. Pahamilah bahwasanya kapabilitas iman anda kepada dimensi gaib, hanya bertaraf taklid (pengikutan tidak berdasar), selama anda belum memukasyafahi dimensi gaib-Nya, anda akan merengkuhi keimanan hakiki jikalau telah mukasyafah. Orang seorang yang telah menggapai keimanan hakiki, ke-gaib-an baginya hanyalah merupakan wacana tempat, sebab kegaiban baginya adalah kehadiran-Nya, dan kegaiban-Nya adalah kehadirannya. Kematian bagi mukmin sejati hanyalah perpindahan dari satu alam ke alam yang lain, yakni perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, ungkapan seperti ini hanya bisa dipahami mereka-mereka yang telah mukasyafah. Pahami dengan jeli metafora yang kami paparkan. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33:4)

Sudah Edit 17. Al ‘Ilm (Maha berpengetahuan)

Ketahuilah, bahwasanya al Tim (Maha Berpengetahuan), adalah sifat diri al Haq yang bersifat azali, maka ilmu al Haq tentang diri-Nya, dan ilmu-Nya tentang makhluk-Nya adalah satu ilmu, tidak terbagi dan tidak berbilang. Dia mengetahui Diri Nya dengan apa-apa yang ada pada Diri Nya, Dia mengetahui makhluk-Nya dengan apa-apa yang ada pada makhluk-Nya. Maka tidak dibenarkan jika ada pendapat yang menandaskan, bahwa pengetahuan melahirkan ilmu bagi al Haq, sebab hal itu berarti al Haq bergantung kepada sesuatu selain Diri Nya. al Haq adalah Tuhan yang Berdiri Pribadi, Dia tidak bergantung kepada sesuatu selain Diri Nya. Imam Muhyiddin ibnu Arabi, berperan besar dalam mewacanakan pendapat tersebut, ia selalu berkata : Pengetahuan al Haq, memberi ilmu bagi diri-Nya. Kami tidak sependapat dengan pendapat imam agung tersebut, kami juga tidak menyebut pendapat itu merupakan puncak keilmuan sang imam. Kami memiliki pendapat lain yang kami yakini dan tradisikan, bahwasanya ilmu al Haq adalah murni berasal dari Diri Nya, tidak bersumberkan maklumat (pengetahuan), yang dengan itu al Haq jadi mengetahui. Sebab semua kehendak-Nya adalah sejalan dengan hakekat Diri Nya, dan semua hakekat Diri Nya, adalah sejalan dengan ilmu-Nya. Kehendak dan ilmu al Haq adalah tetap, hukumnya juga tetap. Jika kami mengamini pendapat Ibnu Arabi, hal itu berarti kami menafikan hakekat ketetapan al Haq, bahwa ilmu al Haq sumber dasarnya adalah al Haq, sedang pengetahuan­Nya berdasarkan ilmu-Nya bukan berdasarkan pengetahuan itu sendiri. Jikalau sumber ilmu al Haq adalah pengetahuan, maka ilmu yang belum menjadi pengetahuan, yakni ilmu universal dan asli serta berdimensikan diri-Nya sebelum diadakan atau diciptakan tidak bisa disebut sebagai ilmu berlabelkan ketuhanan, karena belum berwujud pengetahuan. Sungguh merupakan kenaifan yang nyata, jika al Haq disifati dengan sifat Naqs (kurang) seperti itu, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Sempurna.

Telisiklah dengan jeli, karena masalah ini sangat halus yang memerlukan kejelian tela'ah, sebab jika pengetahuan al Haq memberi ilmu bagi-Nya, maka tidak berlaku bagi Diri Nya Ghaniyyun anil Aalamiin, dan manakala pengetahuan memberi­Nya ilmu bagi diri-Nya, maka gapaian ilmu-Nya bergantung kepada maklumat, itu berarti al Haq memiliki ketergantungan kepada sesuatu selain Diri Nya. Sungguh hal itu mustahil bagi-Nya, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, tidak bergantung kepada sesuatu selain Diri Nya, Dia adalah Tuhan yang Berdiri Pribadi! Kembalikan kepada realita kehidupan insani, orang seorang yang penyifatannya dimuarakan kepada sesuatu, maka ia Muftaqir (merasa butuh) dan memiliki ketergantungan kepada sifat sesuatu tersebut. Jika hal ini dinisbatkan kepada al Haq, jelas hal itu mustahil karena Dia adalah dzat yang Ghaniyyun 'An Ghairihi (tidak butuh kepada selain Diri Nya) pun 'an 'Alaamiin (alam dan isinya alam).

Penyifatan ilmu kepada al Haq, adalah merupakan penyifatan Diri Nya, karena ilmu adalah sifat Diri Nya, jika diri al Haq disifati dengan merasa butuh (Muftaqir) kepada sesuatu, Maha Suci Allah dari penyifatan an Naqs (ke-kurang-an) seperti itu. al Haq disifati al Aalim -Maha Mengetahui-, karena penisbatan ilmu kepada-Nya adalah mutlak, Dia dinamakan 'Aliiman, karena semua maklumat (pengetahuan) dinisbatkan kepada-Nya, Dia dinamakan 'Allaaman, karena semua ilmu dan pengetahuan adalah milik-Nya dan bermuara kepada-Nya, maka al 'Aliim adalah isim (nama) sifat Diri, karena tidak adanya nisbat pengetahuan Diri Nya, kepada sesuatu selain Diri Nya. Ilmu merupakan sifat diri-Nya yang melembagakan kesempurnaan inti (dzat)-Nya, sedangkan al Aalim adalah nama sifat yang berdimensikan perbuatan, yang sedemikian itu ilmu-Nya terhadap sesuatu, baik ilmu-Nya terhadap diri Nya, atau sesuatu selain Diri Nya, adalah berdimensikan perbuatan. Karenanya jika ada yang memaklumatkan bahwasanya Dia 'Aalimun bi Nafsihi, yakni mengetahui Diri Nya, dan mengetahui yang lain selain Diri Nya, serta mengetahui ilmu yang lain selain Diri Nya, semantis logikanya realita tersebut merupakan sifat perbuatan-Nya, serta berdimensikan Sifat Perbuatan. Adapun Allaamah dengan sudut pandang nisbat keilmuan, ia merupakan nama sifat Diri seperti al 'Aliim, sedangkan jika di sudut dengan nisbat maklumat (pengetahuan) terhadap sesuatu, maka ia merupakan sifat yang berdimensikan perbuatan. Atas dasar itulah penyifatan terhadap makhluk (ciptaan), kebanyakan dengan istilah Aalim, dan tidak memakai istilah penyifatan 'Aliim atau 'Allaamah. Dalam kehidupan ini jamak kita dengar si fulaan adalah Aalim, tidak pernah kita dengar ada ungkapan si Fulan 'Aliim atau 'Allaamah, lain halnya jika penyifatan itu bersifat kemahiran khusus, atau kelebihan par excelent seseorang, semisal si fulaan Aliim ini dan itu, hal itu berarti si Fulan tersebut memiliki kemahiran diatas rata-rata dan memiliki spesialisasi keahlian ilmu yang jarang dimiliki orang lain, akan tetapi tidak akan pernah ada sebutan si Fulan Allaamah secara mutlak, karena jika sifat ini dilabelkan kepada seseorang, seakan merupakan pentahbisan bagi orang itu sebagai pencipta ilmu, padahal segala ilmu adalah milik Allah, Dia-lah pencipta ilmu, sedang ilmu manusia adalah pemberian al Haq. Pahami betul masalah ini!

Ketahuilah, bahwasanya ilmu adalah sifat yang paling dekat dengan sifat al Hayyu (Yang hidup), seperti halnya sifat al Hayah (hidup), merupakan sifat yang paling dekat dengan dzat, seperti yang telah kami paparkan pada pasal terdahulu. Wujud sesuatu dengan dirinya adalah hidupnya, wujudnya bukan inti (dzat)nya, tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada inti (dzat) melainkan a! Hayah (hidup), tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada al Hayah melainkan al Ilm (ilmu). Setiap yang hidup (al Hayyu) lazim (harus) mengetahui suatu pengetahuan tertentu, baik berupa ilham ilmu seperti yang ada pada hayawaniyah (makhluk yang bernyawa), yaitu ilham-ilham tentang kebutuhan hidup yang harus mereka perankan semisal, makan, minum, bergerak dan diam serta pelik kehidupan lainya, ilmu dalam dimensi ini adalah sebuah kemestian adanya bagi dan untuk sesuatu yang hidup. Ada juga ilmu yang bersifat primer atau berdimensikan kepercayaan, semisal ilmu manusia, malaikat dan jin, keilmuan produk inilah yang lebih dekat kepada pensifatan al Hayah. al Haq memakai redaksi Kinayah guna mewartakan perihal ilmu dan hidup ini, seperti yang termaktub dalam firman Qur'ani : Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan, yakni orang bodoh, maka Kami ajari dia, Kami berikan kepadanya cahaya yang terang yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia yakni dengan aktualitas (tindakan kongkrit) mengamalkan nilai-nilai keilmuan yang ada, Serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita, yakni di dalam gelap gulita tabiat (adat istiadat) yang merupakan inti daripada kebodohan, Sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, karena kegelapan tidak akan memberi petunjuk, melainkan kegelapan juga. Kebodohan produk tabiat tidak akan menjadikan seseorang mampu (sampai) kepada etos keilmuan, orang yang bodoh tidak mungkin mampu mengetas dirinya dari kebodohan jika menjadikan kebodohan sebagai media pengetasannya, yakni kebodohan tidak akan bisa dihilangkan dengan kebodohan.

Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (Q.s. al An'aam 6 : 122)

yakni mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang menutup wujud al Haq dengan wujud diri mereka. Mereka tidak menyaksikan dalam diri mereka dan pada segala wujud (makhluk)-Nya, melainkan etos kemakhlukan-nya, dengan demikian mereka terhijabkan dari wajah Allah. Mereka memaklumatkan bahwa pensifatan-Nya bukan merupakan makhluk, dan pensifatan-Nya tidak didahului oleh al Adam (ketiadaan), namun mereka tidak menemukan kesejatian keyakinan mereka, lebih dari itu mereka tidak mampu menggapai Dzauq al Wujdaan (intuitif), bahwasanya al Haq, jika bermanifestasi pada makhluk-makhluk-Nya, sejatinya bentuk manifestasi-Nya adalah dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan sifat Diri Nya. Dia sama sekali tidak terkait dengan sesuatu yang bersifat an Naqais (kekurangan-kekurangan) al Muhdatsaat (kebaruan-kebaruan). Jika Dia bertajalli pada sesuatu, akan tampak sifat kesempurnaan-Nya pada sesuatu tersebut, bersamaan dengan itu tergerus (lebur)-lah sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan sesuatu itu, sehingga hukum kekurangan sesuatu tersebut menjadi hilang. Jadilah sesuatu itu berada dibawah naungan hukum kesempurnaan-Nya, dan kesempurnaannya menjadi sempurna karena dinisbatkan kepada kesempurnaan al Haq. Kesempurnaan tidak akan membuahkan kesempurnaan melainkan dengan kesempurnaan itu sendiri, kesempurnaan tidak dibangun dengan kekurangan, kesempurnaan hanya bisa dibangun dengan kesempurnaan itu sendiri.

Manakala ilmu merupakan kelaziman hidup, maka hidup juga merupakan kelaziman ilmu, sebab adalah mustahil ada wujud Aalim tanpa adanya hidup si Aalim, satu sama lain ( ilmu dan hidup) merupakan kelaziman yang tak terpisahkan. Jika anda telah memahami paparan realitas ini, maka patrikan dalam diri anda, bahwa kelaziman yang tak terpisahkan tersebut berdasarkan indepedensi masing-masing sifat Diri al Haq, jika tidak indepeden maka ada sebagian sifat al Haq yang tersusun dari sifat-Nya yang lain, atau ada sifat-Nya yang terdiri atas Musytarakah (ambiguitas) daripada sifat-sifat Nya yang lain. Sungguh merupakan kemustahilan yang nyata, jika sifat al Haq tidak indepeden terlebih sifat-Nya merupakan ambiguitas daripada sifat-sifat-Nya yang lain. Ambillah satu contoh, sifat-Nya al Khaaliqiyah (penciptaan), ia tidak tersusun dari sifat Qudrah-Nya, Iradah-Nya, atau sifat Kalaam-Nya, kalau hal itu merupakan sifat makhluk, tentu ketiga elan vital (qudrah, iradah, kalam) itu sebuah keniscayaan dalam penciptaan, akan tetapi jika hal itu merupakan sifat al Haq, jelas merupakan hal yang mustahil, karena sifat al Khaaliqiyah merupakan sifat al Haq yang Tunggal, ia merupakan sifat yang indepeden, tidak tersusun (terorganisir) dengan sifat-sifat lainya, demikian pula dengan sifat-sifat-Nya yang lain, adalah merupakan sifat-Nya yang murni, tidak tercampur dengan sifat-sifat yang lain. Jika anda mengakui kevalidan hak al Haq tersebut, maka anda juga berhak mengakui hak tersebut pada makhluk-Nya, karena al Haq menciptakan Adam as berdasarkan citra-Nya. Semantis logikanya, sifat manusia merupakan duplikat daripada sifat-sifat ar Rahmaan (Maha Pemurah), itu berarti semua sifat al Haq juga ada pada sifat manusia, semisal sifat-Nya ar Rahman juga bisa kita temukan pada diri manusia, demikian seterusnya.

Cobalah telisik realita kehidupan ini, terkadang anda temukan ada manusia yang hidup namun ia tidak berilmu atau seorang Aalim meski ia telah meninggal namun ilmu-nya masih hidup, sehingga ia serasa masih hidup ditengah-tengah kehidupan. Kehidupan tanpa ilmu bagaikan kematian. Kematian yang tetap hidup karena ilmu tersebut, bukan sekedar ilusi logika anda, namun merupakan kenyataan hidup yang ada dalam alam realitas ini, dan bisa dirasakan pada rasionalitas segala wujud. Demikian pula dengan naiasi imajinatif yang lahir dari benak anda, adalah merupakan makhluk (ciptaan) Rabb anda, meski belum teraplikasikan ke alam realitas dan rasionalitas wujud, ia merupakan makhluk-Nya, dan hayal imajinatif itu akan wujud di alam ini melalui media (perantara) manusia, pun pem-bumi-an imajinasi itu bisa lahir dari imajinasi diri sendiri, atau imajinasi orang lain. Dan diatas pengetahuan para alim (ulama) ada Tuhan Yang Maha Aliim. Diatas tiap-tiap orang yang berilmu pengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui. (Q.s. Yusuf 12 : 76). Ketahuilah, bahwasanya alam indera itu, merupakan cabang daripada alam imajinasi, al Haq adalah penguasa dan pemilik alam Malakut, tajalli-Nya di alam Malakut itu adalah sejalan dengan citra malaikat yang ada di alam ketinggian tersebut. Rentahan kalimat-kalimat (ujaran-ujaran) yang mengandung rahasia ketuhanan itu tidak mungkin kami paparkan, meskipun demikian perlu kami wartakan kepada anda, bahwa kalimat-kalimat berdimensi rahasia ketuhanan itu, merupakan kunci pembuka utama inti rahasia-Nya, baik yang ada di alam ketenggihan (langit) maupun alam rendahan (bumi). Kita akan bahas khusus masalah ini pada pasal Malakut dalam karya ini. Kini terserah anda mau mengatakan tentang sifat ilmu dan hidup ini, adakah kelaziman keterkaitan diantara keduanya, ataukah tidak ada. Luaskan daya persepsi anda ke sisi Uluhiyah (ketuhanan) yang berkata melalui lisan nabi-Nya;

Sesungguhnya bumi sangat luas, maka kepada Ku-lah hendaknya kalian menyembah.

Syair-syair al-Jilly

Ilmu adalah titik kebenaran segala sesuatu.

Pintu utama memahami kebenaran hakiki

Segala realitas wujud dan dimensi gaib

Dalam Pengetahuan Sang Maha Ilmu

Segenap ciptaanNya dititipi ilmuNya Ilmu

segala wujud adalah Ilmu DiriNya

Dia mengetahui segala yang qadim

Dia mengerti segala kebaruan yang datang

Hakekat ilmu adalah suci dan Satu

Dalam kesatuan tak terpisah dan tersembunyi

Ia utuh dalam gaib, terbunca dalam kasat

Ia satu dalam kabut, terurai di alam realitas

Keutuhan ilmu dalam kabut bersifat global

Terinci hakekatnya secara parsial di alam ini

Dengan ilmu, dapat dimakrifahi ayatNya

Dengan ilmu, dapat dipahami hakekat nafsu

Dengan ilmu, kita memahami hakekat zat

Tanpa ilmu kesejatian zat tidak akan terurai

Ilmu menyempurnakan kekuarangan sesuatu

Ilmu menjadikan sesuatu yang buruk menjadi elok

Ilmu meluruskan kebatilan kepada kebenaran

Ilmu mengangkat sesuatu yang rendah menjadi mulia

Sudah Edit 18. Al Iradah (Maha Berkehendak)

Ketahuilah, bahwasanya al Iradah (berkehendak) adalah § sifat tajalli (manifestasi) ilmu al Haq, sejalan dengan keinginan inti (dzat)-Nya, keinginan itulah sejatinya yang disebut al Iradah, ia merupakan kekhususan al Haq, yang terlembagakan dalam pengetahuan-Nya terhadap segala wujud, selaras dengan kehendak keilmuan-Nya, penyifatan ini dinamakan al Iradah (berkehendak). Keinginan (iradah) yang tercipta dalam diri kita, sejatinya adalah inti kehendak al Haq, akan tetapi jika Iradah itu dinisbatkan kepada diri kita, maka Iradah itu bersifat Huduts (kebaruan). Atas dasar itulah kami menyebut Iradah sebagai makhluk, karena penisbatannya kepada diri kita, adapun jika dinisbatkan kepada al Haq, maka iradah itu merupakan inti Iradah Qodim (eternitas), yang merupakan kehendak al Haq. Tidak ada satu laranganpun untuk menampakkan Iradah yang dinisbatkan kepada diri kita, penisbatan ini pula yang jamak disebut makhluk (ciptaan), jika sifat kemahlukan tersebut kita lenyapkan dari Iradah dalam diri kita, maka nisbat iradah kemahlukan kita bergeser menuju iradah al Haq, jadilah iradah kita sirna bersama Iradah-Nya. Pahami betul masalah ini! Seperti halnya wujud kita jika kita nisbatkan kepada diri kita, ia disebut makhluk, adapun jika dinisbatkan kepada al Haq, maka akan sirna (fana') ke dalam wujud Qodim, nisbat ini merupakan hal yang Dharuriyah (primer), yang melahirkan Kasyf (pengetahuan intuitif), Dzauq al Wujdaan (intuisi), serta ilmu yang berasal dari pembelajaran secara langsung dari al Haq, yang jamak disebut Ilmu Laduni.

Ketahuilah, bahwasanya sifat Iradah itu temanifestasikan dalam segenap makhluk-Nya, dalam sembilan penampakkan. Pertama : al Mail (kecenderungan), yaitu hasrat hati kepada sesuatu yang dicarinya, jika hasrat itu semakin kuat dan menjadi eksis, maka ia disebut al Wala'ah (kesukaan), itulah penampakkan kedua dari Iradah. Jika terus berkembang dan menjadi eksis dalam syakilah hati tiap orang, maka disebut as Shobabah (curahan) yang sedemikian itu manakala hasrat hati kian kuat untuk menggapai sesuatu yang ingin digapainya, hasrat itu mengalir laksana curahan air yang mengalir dengan deras, itulah wajah ketiga daripada al Iradah. Kemudian jika curahan itu semakian deras (kuat) dan memenuhi ruang hati seseorang, disebut asy Syaghafah (jatuh hati), itulah penampakkan keempat daripada Iradah. Manakala ketertarikan hati itu kian eksis dalam kalbu manusia, serta menjadikannya fokus kepada perealiasasian kertertarikan hatinya, maka hal itu disebut al Haway (ingin mencintai), itulah penampakkan kelima dari Iradah. Jika rasa cinta itu telah meliputi syakilah hati seseorang, dan menggerakkan jasad untuk menggapainya, maka hal itu disebut al Gharam (sangat suka), itulah wajah keenam dari Iradah. Kemudian manakala kesukaan yang sangat itu bergelora dalam tubuh insan dan menjadikannya fana' sirna kedalam sesuatu yang disukai, hal itu disebut al Hub (cinta) itulah wajah ketujuh dari Iradah. Kemudian manakala cinta itu mampu mensirnakan pencinta dan yang dicintai, maka hal itu dinamakan al Isyqun (sangat cinta). Pada maqom (capaian spiritual) ini, antara sang pencinta dan yang dicintai lebur dalam cinta, sehingga satu sama lain tidak mengetahui dirinya karena tenggelam di dasar cinta. Seperti yang terlihat pada diri Majnun (si-penggila) Laylah, suatu hari manakala Laylah memanggilnya untuk berbicara, Majnun berkata : Biarkan diri seorang diri, aku sedang masyghul (sibuk) memikirkan Lavlah, padahal insan yang memanggil itu adalah Laylah yang ia pikirkan dan cintai. Cinta Majnun kepada Laylah adalah cinta tanpa bitas, sebuah cinta yang menembus dimensi ruang dan waktu, sampai-sampai ia tidak mengenali Laylah karena kedalaman cinta Majnun kepadanya.

Al 'Isyq merupakan muara capaian spiritual (maqom) al Wushul (sambung) dan al Qurb (kedekatan), sangat sedikit sekali dan para pegiat hakekat yang mampu memakrifahi hakekat al 'Isyq ini.

Dalam kesejatian al Isyq ini tidak ada Aarif (insan yang memahami) tidak pula Ma'ruf (yang difahami) tidak ada Aasyiq (pecinta) dan Ma'syuuq (yang dicintai), tidak ada yang kekal, selain al Isyq murni. Maka al Isyq itu sejatinya adalah inti (dzat) murni yang tidak tercampuri oleh sesuatu, serta tidak berada dibawah naungan isim (nama), sifat dan yang disifati, yang kami maksud dengan Isyq disini adalah Isyq pada kali pertama penampakkan-Nya, dalam kecintaan yang paripurna itu, sang pencinta fana' (sirna) tidak tersisah pada dirinya, isim, sifat dan yang disifati, karena lebur dalam nama dan sifat-Nya. Manakala kesirnaan itu telah paripurna, maka lenyaplah nama, sifat dan yang disifati antara sang pencinta dengan kekasih sejatinya, al Isyq itu benar-benar menenggelamkan sang pencinta dan yang dicintainya. Pada capaian spiritual ini, sang pencinta akan tertampakkan dengan dua citra dan memiliki dua sifat, ia juga dinamai dengan dua nama, yaitu al 'Aasyiq (sang pencinta) dan al Ma'syuuq (yang dicintai).

Ketahuilah, fana' itu ibarat hilangnya perasaan, karena dominasi hukum kerpesonaan, ketakjuban, kekaguman pada diri seorang hamba, maka fana' seseorang terhadap dirinya adalah hilangnya rasa orang tersebut akan kesejatian eksistensi dirinya. Fana'nya terhadap al Mahbub (yang dicintainya) adalah hancurnya kisi kemanusiaan insan itu kedalam al Mahbub, fana' dalam istilah kaum (pegiat hakekat), adalah ibarat tiadanya perasaan seseorang dengan dirinya, bukan dengan sesuatu yang melazimkan ketiadaan tersebut. Jika anda bisa memahami realita ini dengan betul, maka anda akan bisa memahami bahwasanya Iradah Ilahiyah (ketuhanan), yang dikhususkan bagi para makhluk-Nya, dengan segala citra dan wacananya, tanpa sebab atau dengan sebab, adalah murni merupakan Pilihan Ketuhanan. Karena Iradah merupakan hukum dari hukum-hukum ke-Agung-an, sifat dan sifat-sifat ketuhanan, ketuhanan-Nya. Dan keagungan-Nya adalah untuk Diri Nya, bukan untuk reason (alasan), tentunya pendapat kami ini berbeda dengan pendapat yang dikemukakan Ibnu Arabi, dimana beliau menandaskan : Iradah tidak boleh disebut dengan pilihan, karena Dia (al Haq) tidak berbuat sesuatu dengan pilihan, akan tetapi Dia mengerjakan sesuatu sejalan dengan kebutuhan alam yang berasal dari Diri Nya, apa yang dikehendaki alam dari Diri Nya adalah semua kenyataan di alam realitas ini, dengan demikian adanya alam dan isinya alam bukan berdasarkan pilihan. Demikian ungkapan Ibnu Arabi dalam karya al Futuhaat al Makkiyah, dalam kitab tersebut, Ibnu Arabi banyak membincang tentang rahasia yang lahir dari manifestasi Iradah-Nya. Ibnu Arabi tidak banyak memperoleh keberuntungan dari fikrah tersebut, sebab sejatinya Iradah itu merupakan kehendak keagungan Ilahiyah (ketuhanan), dengan pola pandang seperti ini, kita lebih banyak memperoleh keberuntungan dibandingkan pola pandang Ibnu Arabi. Demikian halnya dengan manifestasi al 'Izzah (kemuliaan), yang tidak lain merupakan pilihan­Nya terhadap sesuatu yang djpilih-Nya secara khusus, berdasarkan hukum pilihan dan kehendak, bukan berdasarkan keterpaksaan atau pencarian, dan hukum pilihan dan kehendak itu merdasarkan ketentuan (preogratif) ketuhanan dan bersifat inti (dzat)-Nya. Seperti yang ditegaskan al Haq perihal Diri Nya,

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. (Q.s. al Qashashas 28 : 68).

Al Haq adalah Tuhan Yang Maha Berkuasa, Maha Memilih, Maha Perkasa, Maha Penakluk, Maha Besar.

Syair-syair al-Jily

Iradah adalah awal bias-bias kasih,

Tiupan kasihNya kepada setiap hambaNya

Tertampakan pundi-pundi keindahanNya

yang tersimpan rapi di lembah ilmu-ilmuNya

Terlihat jelas kasih kebaikan-kebaikanNya

Terbingkai dalam citra hidup para hambaNya

Andai bukan karena kasih kebaikan DiriNya,

niscaya setiap mahlukNya buta hakekat kebaikan

Hakikinya mahluk, tidak dilihat dari kisi fisik

Namun, dari 'laku' kabaikan yang ditunaikannya

Iradah adalah wujud mobilitas setiap mahluk dengannya

lentera keindahan dan kebaikan menyala

Mukmin adalah individu yang menjadi cermin bagi mukmin lain,

kumpulan jiwa-jiwa yang satu.

Ia beriman dan masing-masing kita juga beriman

Kita laksana dua cermin, yang menyatu dalam zat.

Kebaikan-kebaikanNya terlihat oleh nurani kita

Kebaikan-kebaikan kita terlihat olehNya sangat jelas

Iradah kita bermuara kepada Iradah DiriNya

IradahNya, sebuah keniscayaan yang harus diterima

Manusia disebut manusia, jika memiliki Iradah

Iradah kita, termaktub dalam ketentuan taqdirNya.

Andai bukan karena Iradah yang dipahamkanNya

Niscaya, pundi-Pundi rahasiaNya tidak akan terungkap

IradahNya mencakup segala ketentuan DiriNya

meliputi semua sifat, kejadian dan pencapaian-pencapaian

Sudah Edit 19. Al Qudrah (Maha Kuasa)

Al Qudrah (kuasa) adalah kekuatan inti yang hanya lahir dari Allah Azza Wa Jalla semata, wujudnya berupa penampakkan maklumat (pengetahuan), kepada alam realitas (alam panca indera) sejalan dengan kehendak ilmu-Nya. Alam realitas inilah media penampakkan-Nya serta sentra manifestasi-Nya yakni penampakkan-Nya pada sesuatu yang bisa disaksikan pada realitas segala wujud yang lahir dari 'adam (ketiadaan), al Haq mengetahui ke-maujud-an segala sesuatu sejak dari ketiadaan-nya, kesemua itu ada pada ilmu-Nya, dengan demikian al Qudrah (kuasa) sejatinya adalah, kekuatan yang tampak pada Maujudaat (segala yang wujud) dari al 'Adam (ketiadaan), ia merupakan sifat diri al Haq, dengan-nya tampak Rububiyah-Nya, yaitu Qudrah dan inti Qudrah yang maujud pada diri kita dan alam serta isinya alam ini. Qudrah itu jika dinisbatkan kepada diri kita, maka ia merupakan qudrah Haditsah (baru), jikalau dinisbatkan kepada al Haq, maka ia merupakan Qudrah Qodim (eternitas) Qudrah yang dinisbatkan kepada kita sangat lemah dan nihil dari kreasi-kreasi pengkaryaan, sedang Qudrah yang dinisbatkan kepada­Nya, marak dengan karya-karya dus melahirkan ciptaan-ciptaan spektakuler, tertampakkan dari ketiadaan yang tersimpan, hingga realitas wujud. Pahami masalah ini dengan jeli, karena ini merupakan rahasia agung yang oleh kebanyakan pelaku hakikat diklaim tidak bisa disibak, kecuali oleh Insan insan yang kampium dalam masalah inti (Dzat) al Haq.

Dalam hemat kami, al Qudrah itu sejatinya adalah Iijaad al Ma'dum (meng-ada-kan sesuatu yang tidak ada.), tentunya pendapat kami ini berbeda dengan fikrah (buah pemikiran) Ibnu Arabi, halmana dia mengatakan : Sesungguhnya Allah tidak menciptakan segala sesuatu dari al 'adam (ketiadaan), akan tetapi Dia menampakkan sesuatu tersebut dari wujud keilmuan kepada wujud realitas (panca indera). Fikrah Ibnu Arabi itu meski logis dalam tataran logika, namun sarat dengan kelemahan. Kami mensucikan Tuhan kami (Allah Jallah Jalaah) dari segala kelemahan qudrah-Nya untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan, dan menampakkannya dari ketiadaan murni kepada wujud murni. Ketahuilah, apa yang dilontarkan Ibnu Arabi tersebut tidaklah patut dinafikan atau diingkari, karena maksud daripada ungkapannya itu adalah, wujud segala sesuatu berada di dalam ilmu-Nya terlebih dahulu, kemudian tatkala ditampakkan pada alam realitas (panca indera), maka penampakkan itulah menurut Ibnu Arabi sejatinya yang disebut prosesi peralihan dari wujud keilmuan kepada wujud realitas (inderawi). Ibnu Arabi barangkali lupa bahwa hukum wujud al Haq dalam diri Nya, adalah sebelum hukum wujud-Nya dalam ilmu-Nya, maka segala Maujudaat adalah Ma'dum pada hukum tersebut, tidak ada wujud didalamnya melainkan al Haq semata. Atas dasar inilah al Haq berhak disifati al Ojdam (ada-Nya tidak didahului oleh sesuatu), jika tidak, maka ada kelaziman yang mencampuri ke-Qidam-an al Haq, jelas hal itu mustahil dilabelkan kepada al Haq. Dengan demikian dapat dipahami bahwasanya Dia meng-ada-kan segala sesuatu dalam ilmu-Nya, dari ketiadaan, yakni Dia mengetahui segala sesuatu tersebut dalam ilmu-Nya, maujud (ada) dari ketiadaan, kemudian menjadikan sesuatu itu menjadi ada dalam alam realitas (alam panca indera), yang Dia tampakkan melalui ilmu-Nya, sesuatu itu asalnya adalah maujud (ada) dalam ilmu-Nya yang berasal dari ketiadaan murni, dan al Haq tidak meng-ada-kan segala sesuatu, melainkan dari ketiadaan murni.

Ketahuilah bahwasanya ilmu al Haq untuk diri Nya dan ilmu-Nya untuk segenap makhluk-Nya adalah satu ilmu (ilmu tunggal), seperti hal-nya ilmu-Nya tentang inti (dzat)-Nya dengan ilmu-Nya tentang inti (dzat) segenap makhluk-Nya adalah juga satu ilmu. Namun ilmu-Nya tentang segenap makhluk-Nya, bukanlah dengan ilmu Qodim, karena Dia melihat segenap makhluk-Nya dengan ilmu Huduts (kebaruan), segala sesuatu yang baru tersebut, dalam ilmu-Nya berjalan dengan hukum Huduts (kebaruan), yang sedemikian itu jika dinisbatkan kepada Huduts, adapun jika dinisbatkan kepada­Nya maka ilmu-Nya adalah Qodim. Ilmu al Haq adalah Qodim, karena tidak didahului oleh ketiadaan, hukum segala wujud itu berdasarkan asal penciptaan bukan berdasarkan hukum spasial (hukum ruang dan waktu), karena al Haq adalah Tuhan yang memiliki wujud awal, Dia adalah Tuhan yang Maha Awwal, yang adanya tidak didahului oleh sesuatu apapun.

Para makhluk memiliki wujud kedua, atau yang jamak disebut Wujud al Idhafiy (Wujud Sambung), karena rasa butuh mereka kepada al Haq. Segenap makhluk Ma'dum (dalam ketiadaan) pada wujud pertama, al Haq lalu meng-ada-kan dari ketiadaan murni dalam ilmu-Nya, itulah sejatinya yang disebut al Ikhtira' al Ilahiyah (karya cipta ketuhanan). Kemudian Dia menampakkan karya-karya itu dari alam keilmuan ke alam realitas (panca indera), dengan Qudrah-Nya. Dengan tangan Qudrah itulah al Haq meng-ada-kan segenap ciptaan-Nya dari al 'Adam (ketiadaan), kepada al Ilm (ilmu), lalu kepada inti realitas. Semuanya berjalan sesuai kehendak-Nya, tidak ada keharusan bagi-Nya untuk melakukan keinginan-Nya, sebab kelaziman yang disematkan kepada al Haq adalah menodai kesempurnaan-Nya. Dan adalah mustahil al Haq disifati dengan an Naqs (kekurangan), demikian pula mustahil al Haq disifati dengan bodoh, karena ilmu-Nya tidak mengetahui sesuatu yang belum tercipta di alam ketiadaan. Maka tidak ada hukum spasial (konsep ruang dan waktu), serta hikmah yang mengharuskan kerja ketuhanan, karena Dia adalah Maha Izzah (Mulia), dan Maha Sempurna, serta tidak butuh kepada segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, (Ghaniyun anil 'Alamiin). Lebih dari itu antara wujud realitas ilmu-Nya dengan ketiadaan dalam bingkai ilmu-Nya, tidak berlaku hukum spasial (konsep ruang dan waktu). Mereka yang mengklaim ada lorong waktu diantara keduanya, akan memaklumatkan bahwa al Haq tidak mengetahui sesuatu sebelum penciptaan di alam ketiadaan, sungguh klaim seperti itu menodahi kesucian, keagungan dan kesempurnaan al Haq. Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan) akan memaparkan kevalidan realita bahwa al Haq mengetahui segala sesuatu sebelum penciptaan di alam ketiadaan, apa yang kami paparkan dalam karya ini, adalah untuk dijadikan Dzikrah (pengingat) agar kita lebih tekun lagi menela'ah nasehat-nasehat al Haq, pun seruan-seruan nabi-Nya dan ujaran­ujaran para mukmin shaleh terdahulu. Semua ijtihad adalah berpulang kepada al Haq untuk dipungkasmya, kami tidak menyalahkan terlebih skeptis dengan pendapat Imam Ibnu Arabi karena kami menyadari firman-Nya:

Dan diatas uap-uap orang yang berpengatahuan itu ada Tuhan Yang Maha Mengetahui. (Q.s Yusul 12-76)

Jika anda bisa memahami paparan kami diatas, maka anda akan mengetahui bahwa al Qudrah Ilahiyah (kodrat ketuhanan), adalah sifat yang dengan ketetapannya melahirkan penafian akan segenap kelemahan dan kekurangan al Haq dalam segala hal. Kelemahan adalah milik hamba-Nya, bukan milik al Haq, kesempurnaan qudrah-Nya adalah ketetapan yang kekal abadi, kekurangan-Nya adalah ternafikan untuk selama-lamanya. Pahami betul masalah ini, agar anda tidak terjebak pada simbohstik kalimat.

Sudah Edit 20. Al Kalaam (Maha berbicara)

Ketahuilah, bahwasanya Kalaamullah (pembicaraan Allah), secara global merupakan manifestasi ilmu-Nya, dengan I'tibar penampakkan bagi Diri Nya, baik pembicaraan yang berwujud kakmat-kalimat-Nya dalam A'yaan Tsabitah (sesuatu yang tetap) pada Maujudaat, atau pembicaraan-Nya yang berwujud makna-makna   yang   dipahami   para   pelaku Ubudiyah (penyembahan), baik melalui cara pewahyuan, atau audiensi ketuhanan dan lain sebagainya. Kalamullah secara global adalah sifat tunggal diri al Haq, akan tetapi memiliki dua wajah Wajah pertama memiliki dua sisi, pertama : Kalaam itu keluar dari maqom al Izzah dengan amar perintah ketuhanan diatas Arsy Rububiyah (ketuhanan), hal itu merupakan perintah ketinggian yang tidak ada reason (alasan) untuk mengingkari-Nya, hanya saja keta'atan alam dan isinya alam, banyak tidak diketahui dan ternafikan, namun al Haq Maha Mengetahui terlebih menyimak ujaran-ujaran alam dan isinya alam, yang merupakan sentra manifestasi taqdir-Nya serta tajalli wujud-Nya. Kemudian alam dan isinya alam tidak akan melaksanakan segenap perintah-Nya, melainkan dengan Inayah (kasih pertolongan)-Nya, dan merupakan rahmat dari-Nya untuk Maujudaat (segala wujud), karenanya segala wujud pantas dilabeli keta atan yang dengan keta'atan itu melahirkan epos kebahagiaan Terkan dengan ini al Haq mengisyaratkan dengan ungkapan-Nya tatkala beraudiensi dengan langit dan bumi,

Datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku, dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab Kami datang dengan suka hati. (Q.s. Fushshilat 41 : 11).

Dengan demikian jelas sekali alam dan isinya alam ini, senantiasa beredar (berotasi) dalam hukum keta'atan kepada al Haq, mereka melakukan keta'atan berdasarkan suka hati, yang sedemikian itu merupakan Fadhal (keutamaan) dan rahmat dari al Haq untuk alam dan isinya alam. Rahmat al Haq adalah mengalahkan (mendahului) kemarahan-Nya, karena Dia meletakkan hukum keta'atan, yang diberkati dan kepatuhan yang dirahmati bagi alam dan isinya alam. Andai mereka melakukan keta'atan berdasarkan keterpaksaan atau kebencian, maka hukum yang berlaku bagi mereka adalah hukum keadilan, sebab Qudrahlah yang menggerakkan hukum, tidak pula ada Ihtiyar (pilihan) bagi makhluk, lebih-lebih kemarahan al Haq akan mendahului (mengalahkan) rahmat-Nya, akan tetapi hukum yang berjalan pada alam dan isinya alam adalah hukum keta'atan karena rahmat al Haq mendahului kemarahan-Nya. Segala Maujudaat dengan segenap rahasia-Nya, Muthi'un (ta'at) dan patuh kepada al Haq, seperti yang ditegaskan firman Qur'ani:

Kami datang dengan suka hati.

Setiap yang Muthi' (ta'at) pasti akan memperoleh rahmat, karenanya hukum neraka tidak diberlakukan bagi insan Muthi' yang dirahmati-Nya, ketika Sang Maha Perkasa menjejakkan kaki si Muthi didasar api neraka, panas apinya menjadi lenyap', tumbuh didasar neraka itu pohon yang diberi nama Jirjir, seperti yang diwartakan sang Rasul saw dalam hadits, kami akan jelaskan masalah ini pada pasal lain dalam kitab ini.

Adapun sisi kedua dari wajah Kalamullah ini adalah, Kalaam yang keluar dari maqom Rububiyah (ketuhanan), dengan bahasa manusia, semisal kitab-kitab al Haq yang diturunkan kepada para nabi-Nya, berikut audiensi al Haq kepada duta-duta risalah tersebut serta para kekasih-Nya dan insan-insan yang dikasihi-Nya. Karenanya pada dimensi Kalaam ini, terkandung di dalamnya, keta'atan dan kemaksiatan dalam menyikapi segenap amar perintah-Nya yang tertulis dalam kitab yang diturunkan kepada segenap makhluk-Nya. Dalam Kalaam-Nya yang keluar dengan bahasa manusia, wajah keta'atan yang diserukan kepada setiap makhluk-Nya laksana cawan-cawan keterpaksaan serta hidangan-hidangan pemaksaan, terbungkus indah dalam Ihtiar (pilihan) perbuatan yang dinisbatkan kepada mereka, yakni melahirkan balasan siksa bagi tindak kemasikatan, dan siksa akibat tindak kamaksiatan tersebut merupakan wajah al Adi (keadilan)-Nya, sedang balasan atas amal kebaikan merupakan Fadhal (kasih keutamaan) karena Dia menjadikan nisbat pilihan mereka berdasarkan kasih keutamaan­Nya. Dia menjadikan pilihan mereka media untuk menggapai pahala-Nya, dengan demikian pahala-Nya adalah Fadhal (keutamaan) sedang siksa-Nya adalah Adlun (keadilan).

Adapun Wajah Kedua dari Kalamullah ini, ketahuilah oleh kalian, bahwasanya Kalaam al Haq, adalah inti segala sesuatu yang berdimensi Mumkinaat (kemungkinan), setiap kemungkinan merupakan kalimat dari kalimat-kalimat al Haq, karenanya kemungkinan al Haq tiada akan perna habis, al Haq berfirman dalam pesan Qur'ani:

Katakanlah, Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu, sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.(Q.s. al Kahfi 18 : 109)

Maka al Mumkinaat (segala kemungkinan) sejatinya adalah kalimat-kalimat al Haq. Kalaamullah secara global merupakan citra makna-makna yang terkandung dalam ilmu al Mutakallim (sang pembicara). Dia hendak menampakkan citra-citra makna tersebut, pada Maujudaat (segala wujud), dan merekapun menyimak citra makna Kalaam-Nya tersebut. Dengan demikian segala yang Maujud adalah citra Kalaamullah, semuanya merupakan citra tetap dari segenap wujud rasionalitas dan wujud inderawi, yang lahir dari citra makna yang maujud (ada) dalam ilmu-Nya, itulah sejatinya yang disebut al A'yaan as Tsabitah (zat tetap). Dengan demikian anda bisa menyebut al A'yaan as Tsabitah (zat tetap) berupa hakekat manusia, bisa juga kedudukan ketuhanan, atau hamparan ke-Esa-an, atau anda bisa juga menyebutnya Partikulasi kegaiban, atau citra-citra keindahan, pun anda bisa menyebutnya dengan Atsaar (bekas-bekas) nama-nama dan sifat-sifat-Nya, atau maklumat-maklumat al Haq, anda juga bisa menyebutnya dengan huruf-huruf ketinggian, seperti yang diisyaratkan Ibnu Arabi, ia menandaskan : kami adalah huruf-huruf ketinggian yang tak terbaca!

Seperti jamaknya pembicaraan dalam lanskap kemanusiaan, yang mengharuskan pembicaranya mengaktualisasikan gerak dan kehendak untuk berbicara, utamanya gerak nafas yang mengeluarkan huruf dari dada yang gaib ke lisan yang Dhahir. Demikian pula dengan al Haq, dalam penampakkan-Nya kepada makhluk-Nya, dari alam kegaiban ke alam realitas, kehendak pertama-Nya adalah penampakkan Qudrah-Nya, maka Iradah (kehendak) selaras dengan gerak keinginan yang ada dalam diri al Mutakallim (si pengujar), sedangkan Qudrahnya sejalan dengan nafas yang keluar dengan huruf dari dada ke lisan, untuk ditampilkan dari alam ketiadaan ke alam realitas. Demikian pula peng-ada-an makhluk sejalan dengan penyusunan kalimat-kalimat dalam struktur khusus, pada diri Sang Maha Pembicara (al Mutakallim), Maha Suci Allah yang menjadikan manusia Nuskhoh (baca : photo copy) Diri Nya, secara utuh. Jika anda telisik dan tafakkuri secara serius dalam diri anda, niscaya anda akan mendapati setiap sifat-Nya ada duplikatnya dalam diri anda, telisiklah Hawiyah (ke-dia-an) anda, duplikat apakah ia? Ke-aku-an anda photo copy apa ia? Tela'ah ruh anda, ia duplikat apa? Cermati ilusi anda photo copy apa ia? Logika anda, pemikiran anda, imajinasi anda, citra diri anda, kesemua itu duplikat apa dalam diri anda? Lihatlah pada estimasi, imajinasi dan kreasi hayal anda, telah membentuk duplikat apakah semua itu dalam diri anda? citra diri anda photo copy apa? Renungkan penglihatan anda, pendengaran anda, ilmu anda, hidup anda, kekuasaan anda, perkataan anda, kehendak anda, hati anda, jiwa anda, dan segala sesuatu yang ada pada diri anda, masing-masing duplikat apakah dari kesempurnaan-Nya? berikut citra apakah semua yang ada dalam diri anda tersebut dari keindahan-Nya? Andai bukan karena terikat dengan janji, niscaya saya akan paparkan penjelasannya sebagai jamuan Sakr (ekstase ritual) anda, pun cawan kemabukan ritual anda. Cukup sampai disini penjelasan saya tentang masalah ini, meskipun demikian jika anda jeli, saya termasuk insan yang melangkah agak jauh dalam penjelasan ini dibandingkan para penulis lainya, semoga anda tidak terpasung dengan kalimat-kalimat lahir dan pongah dengan makna-makna batin. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Sesungguhnya Kalam Nya adalah Nyata nan Jelas

KalamNya mengurai ketentuan segala wujud yang Jaiz

KalamNya dalam wacana ilmu adalah huruf-huruf

Kalimat tidak akan bisa dipahami tanpa susunan huruf

KalamNya teruai dengan huruf tertulis dan tak tertulis

Mengandung makna-makna lahir dan makna batiniyah

Sungguh merupakan kebenaran absolut Ujaran DiriNya

"Jadilah. Maka jadilah" sesuatu yang diujarkan oleh DiriNya

KalamNya meliputi realita pemaknaan hakiki dan

Majaz KalamNya menguraikan segala sesuatu yang Jaiz (mungkin)

Sudah Edit 21. As Sam'u (Maha Mendengar)

Ketahuilah, bahwasanya as Sam'u (Maha Mendengar) ibarat manifestasi al Haq, melalui aktualisasi dan pemberdayaan segala ilmu-Nya, karena al Haq

mengetahui setiap yang didengar-Nya sebelum Dia mendengar-Nya, demikian pula paska mendengar-Nya, bahkan pendengaran yang berupa tajalli ilmu-Nya, melalui cerapan al Ma'lum (yang diketahui), baik berupa maklumat tentang diri Nya, maupun maklumat tentang segenap makhluk-Nya. Pahami dengan jeli masalah ini! as Sam'u merupakan sifat diri al Haq, dan merupakan media penampakkan kesempurnaan DiriNya, al Haq menyimak Kalaam diri Nya, seperti halnya Dia mendengar ujaran-ujaran segenap makhluk-Nya, baik dari sisi ucapan (ujaran) maupun sisi Haal (keadaan). Pendengaran untuk Diri Nya dari dimensi Kalaam-Nya, merupakan hal yang Mafhum (dapat dipahami), sedangkan pendengaran untuk diri Nya dari dimensi keadaan-Nya merupakan renlita yang sejalan dengan asma-asma-Nya dan sifat-sifat Nya terhamparkan dalam matafora (barat-ibarat) dan bekas-bekas serta pengaruh-pengaruh-Nya. Dengan demikian jawaban daripada Kalam-Nya adalah manifestasi kehendak-kehendak Nya, dan penampakkan bekas-bekas (pengaruh-pengaruh) daripada nama-nama dan sifat-sifat Nya. Inilah yang galib disebut pendengaran model kedua. Diantara bentuk pendengaran model kedua ini adalah, Ta'liim (pembelajaran) al Qur'an yang dilakukan ar Rahman (Yang Maha Pemurah) kepada para hamba-Nya yang dikhususkan untuk inti (dzat)-Nya, yang ditegaskan al Haq, melalui lisan nabi terkasih-Nya Muhammad saw, dalam hadits beliau :

Ahli Qur'an adalah ahli Allah dan makhluk khusus-Nya.

Pendengaran model kedua ini lebih utama dibandingkan pendengaran Kalam Diri Nya.

Sesungguhnya al Haq, jika meminjamkan kepada hamba-Nya sifat pendengaran-Nya, maka hamba tersebut dapat mendengar perkataan al Haq, dan al Haq mendengar perkataan-nya, uniqe-nya hamba tersebut tidak mengetahui kalau ia berada dalam naungan sifat pendengaran-Nya, namun demikian hamba itu dapat menyimak dengan pendangaran inti (dzat) bersama inti (dzat)-Nya. Pendengaran dalam bentuk ini tidak berbilang dan tidak berujung, lain halnya dengan pendengaran model kedua, dimana dzat Yang Maha Pemurah membelajari hamba-Nya membaca al Qur'an. Perhatikan dengan seksama bahwasanya sifat pendengaran model pertama, menjadikan hamba yang dikehendaki-Nya bisa menyimak dengan pendengaran hakiki yang berdimensikan inti (dzat)-Nya, tanpa ada peminjaman atau pemberdayaan dari-Nya. Jika seorang hamba benar-benar mampu memakrifahi tajalli pendengaran ini, akan dikuasakan kepadanya Arsy ar Rahman (singgasana ke-pemurah-an), dan Rabbnya bertajalli dalam semayam Arsy-nya, pendengaran pertama melahirkan pemahaman makrifah inti (dzat)-Nya, yang tersucikan dari sifat dan asma-Nya. Manakala pendengaran pertama itu berlalu dengan sempurna, dan sang hamba mampu ber-etika dengan dengan etika Qur'ani dalam presensi (Hadrah) ar Rahman. Maka ujaran-ujaran dalam fase ini, tidak akan bisa dipahami melainkan oleh al Ghurabaa' (manusia-manusia yang gharib) (asing), yakni manusia-manusia pegiat hakekat yang telah memakrifahi dimensi pembicaraan model kedua. Kalaamullah tiada akan perna habis dan tidak ada berujung, karena al Haq adalah Tuhan yang tidak berpenghabisan.

Manifestasi Kalamullah itu sendiri beraneka ragam bentuknya, diantara mereka ada yang diajak bicara al Haq melalui (mediasi) bahasa nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, diantara mereka ada yang mampu menangkap Kalaam-Nya dengan hakekat inti (dzat), yang terhamparkan dalam ragam al Maushuf (yang disifati) untuk sifat-sifatNya. Yang perlu anda perhatikan sifat-sifat dan nama-nama yang dimaksud bukanlah nama dan sifat yang ada pada tataran pemahaman kita tentang nama-nama dan sifat-sifat Nya, akan tetapi sifat-sifat dan nama-nama dalam ilmu al Haq yang melahirkan pengaruh kepada insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya. Nama-nama-Nya yang membiaskan pengaruh itulah Haal yang menggambarkan korelasi antara al Haq dengan hamba-Nya, ia juga merupakan Haal (kondisi spiritual) seorang hamba bersama Rabb­nya, keadaan itu jika dinisbatkan kepada al Haq menjadi Qodim. Adapun keadaan yang lahir dari bias (pengaruh) nama-nama dan sifat-sifat-Nya sejatinya merupakan cerminan daripada kegaiban­Nya. Pahami nuqta (titik) kajian ini, karena realita ini cerminan daripada misteri lorong waktu, serta rahasia spasial (konsep ruang dan waktu) yang berserak dalam Kalamullah. Guna membaca ujaran-ujaran model kedua ini, adalah seperti yang diisyaratkan al Haq kepada baginda nabi saw dalam

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantara Kalaam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.s. al Alaq 96 : 1 - 5)

Membaca yang diisyaratkan dalam firman Qur’ani itu sejatinya adalah bacaan insan-insan Khosh (istimewa) dari ahli Allah, mereka adalah ahli Qur’an, yakni manusia-manusia yang telah memakrifahi inti (dzat)-Nya, serta manusia-manusia yang taslim kepada rasul Muhammad saw dengan taslim paripurna, mereka itulah ahli Allah dalam arti yang sesungguhnya, dan merupakan manusia-manusia khash (istimewa)Nya.

Adapun pembacaan Kalam Ilahiyah (ketuhanan), serta penyimakannya dari inti (dzat)-Nya, dan al Haq juga menyimaknya. Pembacaan (qiro'ah) model pertama ini disebut qiro'ah (pembacaan) al Furqan (Taurat), modus pembacaan seperti ini jamak dilakukan ahl Ishthifaa' (ahli pilihan), mereka adalah pandega yang memahami ke-Dia-an al Haq, serta insan-insan yang taslim kepada Musa as secara utuh. al Haq berkata kepada nabi Musa as:

Dan Aku telah memilihmu untuk diri Ku. (Q.s. Thaahaa 20 : 41)

karenanya komunitas ini disebut Musawiyah (pengikut Musa). Berbeda dengan kelompok pertama yang modus pembacaan (Qiro'ah)nya dari inti (dzat)-Nya, terkait dengan ini al Haq berfirman kepada nabi terkasih Nya Muhamamd saw :

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan alQur'anyang agung. (Q.s. al Hijr 15 : 87).

Tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang itu sejatinya adalah tujuh sifat utama al Haq, seperti yang telah kami paparkan dalam karya kami al Kahfi wa al Raqim fi Syarah Bismillahirrahmanirrahim sedangkan al Qur’an yang agung sejatinya adalah inti (Dzat), dalam termin pemaknaan ini rasul saw mengisyaratkan dalam hadist beliau : Ahli Qur’an adalah ahli Allah dan makhluk khustis-Nya. Maka ahli Qur’an ahli inti (dzat)-Nya, sedang ahli Furqan (Taurat) ahli ke-Dia-an Nya, diantara keduanya ada perbedaan laksana maqom al Habiib (yang dicintai) dengan maqom al Kaliim (yang diajak bicara).

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Pendengaran adalah 'mesing' pengetahuan sesuatu

Sumber pembicaraan yang tak tertangkap secara inderawi

Pendengaran melahirkan susunan huruf yang terucap,

rangkaian kalimat, yang mewartakan segala realitas wujud

Haal (keadaan) dimataNya, adalah pendengaran

Nyaring bahaya yang paling fasih, untuk menyimak ihwal hambaNya

 

Sudah Edit 22 Al Bashar (Maha Melihat)

Ketahuilah bahwasanya penglihatan al Haq, ibarat inti (dzat)-Nya, dengan I'tibar penyaksian-Nya terhadap segala maklumat (pengetahuan). Ilmu-Nya ibarat inti (dzat)-Nya dengan I'tibar pijakan dasar ilmu-Nya, al Haq dengan inti (dzat)-Nya mengetahui, dengan inti (dzat)-Nya pula Dia melihat, dzat-Nya tidak ber-bilang, sentra ilmu-Nya adalah sentra inti (dzat)-Nya, keduanya merupakan dua sifat indepeden meski pada hakekatnya adalah satu. Dan tiadalah yang dimaksud dengan penglihatan al Haq, melainkan manifestasi ilmu-Nya pada A'yaan Tsabitah (sesuatu yang tetap) dalam alam realitas ini, dan tidaklah yang dimaksud dengan ilmu-Nya, melainkan daya persepsi-Nya dalam melihat eksistensi Diri-Nya di alam realitas ini. Dia melihat inti (dzat)-Nya dengan inti (dzat)-Nya, Dia melihat segenap makhluk-Nya juga dengan inti (dzat)-Nya, penglihatan-Nya kepada Diri Nya adalah inti penglihatan-Nya kepada segenap makhluk-Nya, karena al Bashar (penglihatan) merupakan satu penyifatan, tidak ada perbedaan, melainkan pada objek penglihatan-nya. al Haq senantiasa melihat segala sesuatu, akan tetapi Dia tidak melihat sesuatu melainkan atas kehendak-Nya. Ini adalah Nuqtah (titik) yang krusial, anda harus mencermatinya dengan jeli, karenanya segala sesuatu selamanya tidak akan terhijabkan (terhalang) dari-Nya, hanya saja Dia tidak memfokuskan penglihatan-Nya kepada sesuatu, kecuali sesuatu yang dikehendaki-Nya, sejalan dengan realita ini rasul Muhammad saw bersabda :

Sungguhnya Allah memiliki penglihatan begini dan begitu kepada hati saban hari, selaras dengan pemaknaan hadits tersebut firman-Nya : Dan Allah tidak berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka. (Q.s. ah Imran 3 : 77)

Esensi penglihatan yang dimaksud tidaklah seperti apa yang diwartakan hadits dan firman-Nya diatas, akan tetapi penglihatan yang dimaksud disini adalah ibarat rahmat Ilahiyah (ketuhanan), yang Dia karuniakan kepada hambah-Nya berdasarkan al Qurb (kedekatan) hamba tersebut kepada al Haq. Sedangkan penglihatan­Nya kepada hati (tiap insan), seperti yang termaktub dalam hadits, bukanlah penglihatan yang berdimensi ke-khusus-an sifat, akan tetapi mencakup semua sifat, tidakkah anda telisik firman-Nya :

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu. (Q.s. Muhammad 47 : 31),

anda jangan mengira bahwasanya al Haq tidak mengetahui keadaan mereka sebelum diuji, demikian pula dengan penglihatan-Nya kepada kalbu, Dia tiada perna alpa melihat hati segenap manusia dengan ragam wacananya, namun kesejatian penglihatan itu tidak bisa ditakar dengan logika, ia hanya bisa dilihat melalui Kasyf (pengetahuan intuisi). Jika anda telah memukasyafahinya, nikmati Kasyf anda, jangan diperbincangkan, karena hal itu akan mendangkalkan rahasia batin anda, semakin kuat anda menyimpannya semakin kuat pula sirr-anda.

Ketahuilah, bahwasanya al Bashar (penglihatan) dalam lanskap manusia, pengertian populernya adalah jangkauan daya persepsi melalui penglihatan kasat mata terhadap segala maujudaat, penglihatan dalam lanskap manusia tidak semuanya berdasarkan kasat mata, ada penglihatan manusia yang bersumberkan hati, penglihatan dalam dimensi ini disebut al Bashiirah (penglihatan mata hati), inti penglihatan itu jika dinisbatkan kepada al Haq, maka penglihatann/a berdimensikan al Qodiim. Jika al Haq merahmati anda dengan kemampuan memukasyafahi rahasia penglihatan ini, anda akan dapat melihat hakekat segala sesuatu seperti sedia kala, tidak ada satupun yang terhijabkan dari diri anda. Pahami betul rahasia yang mentakjubkan yang saya isyaratkan kepada anda pada paparan ini, agar anda terangkat dari Arsy makna-maknahnya. Kembalikan segala urusan anda kepada al Haq, jadilah kamu tanpa diri kamu dan bukan kamu, jadikan al Haq satu-satunya pengatur dirimu, apa kehendak-Nya atas dirimu taslim-lah, yakni pasrahlah dengan kehendak-kehendak-Nya yang terlanskapkan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Taslimkan dirimu kepada-Nya secara Syaamil (utuh), jangan sekali-kali ada dalam syakilah hatimu rasa buruk sangka, pikiran negatif kepada al Haq, tradisikan selalu khusnudzan kepada al Haq. Pahami betul hakekat:

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.s. al An'aam 6 : 79).

Syair-syair al-Jily

PenglihatanNya adalah cermin kongkrit llmuNya

Memakrifahi hakekat ilmuNya, kunci utama melihatNya

Segala sesuatu diketahui olehNya, lahir dan batin

PenglihatanNya abadi, sebelum dan sesudah adanya mahlukNya

Ilmu adalah wujud Nyata Tajalli zat DiriNya

Insan yang belum mencapai asy Syuhud tidak akan MelihatNya.

Lihatlah dengan pandangan hakiki segala wujud ini

Intuisimu akan membawamu melihat kesejatian zat DiriNya

Penglihatanmu adalah juga penglihatanDiriNya

Sebab sejatinya penglihatanmu adalah pinjaman penglihatanNya.

Sudah Edit 23. al Jamaal (Keindahan)

Ketahuilah, bahwasanya keindahan Allah itu ibarat sifat-sifat Nya yang tinggi dan nama-nama-Nya yang Khusnaah (bagus), yang sedemikian itu dalam pemaknaan umum, sedangkan dalam pemaknaan khusus, bisa berupa sifat rahmat, sifat ilmu, sifat kelembutan, sifat nikmat sifat kedermawanan (kemurahan), pemberian rizki, penciptaan dan sifat kemanfaatan serta sifat-sifat serupa lainya, kesemua itu merupakan sifat al Jamaal (keindahan). Terkadang ada sifat-sifat yang Musytarak (ambigu) yang membantuk wajah al Jamaal (keindahan), juga membentuk wajah al Jalaal (keperkasaan) semisal nama-Nya (ar Rabb), nama Rabb jika ditelisik dengan I'tibar pendidikan dan pembuatan ia merupakan dimensi isim (nama) Jamaal (keindahan), jika ditelisik dengan I'tibar Rububiyah (ketuhanan) dan kekuasaan,' ia merupakan dimensi isim (nama) Jalaal (keperkasaan), realita serupa juga terkandung dalam nama-Nya (Allah) dan isim-Nya ar Rahman berbeda dengan isim-Nya ar Rahiim, ia merupakan isim Jamaal, qiyas-kan nama-nama lainya. Ketahuilah, bahwasanya keindahan al Haq, meski beraneka ragam, namun dapat diklasifikasi menjadi dua macam : Pertama. Bersifat Maknawiyah, yaitu makna-makna Asma'ul Khusnaah (nama-nama yang khusnah), dan sifat-sifat ketinggian, jenis ini khusus untuk syuhud (penyaksian) kepada al Haq, Kedua. Bersifat Shuwariy (pencitraan), yaitu alam mutlak ini yang diaplikasikan dalam segenap makhluk-Nya dengan segala wacana dan dimensinya. Alam dan isinya alam ini merupakan 'rasa' mutlak ketuhanan, yang termanifestasikan dalam sentra ketuhanan, sentra itu dinamakan (makhluk). Penamaan ini juga merupakan bagian dari Hasan Ilahiyah (kebaikan ketuhanan), keburukan alam dan isinya alam, juga bagian dari panorama keindahan Ilahiyah, bukan dengan I'tibar ragam keindahan, namun dengan I'tibar keindahan ketuhanan, sebab diantara manifestasi kebaikan juga terkandung manifestasi keburukan, untuk menjaga martabat ketuhanan-Nya dalam wujud. Kebaikan ketuhanan sejatinya adalah penampakkan jenis kebaikan dalam wajah Husnah-Nya untuk menjaga martabat-Nya dalam wujud.

Ketahuilah, bahwasanya keburukan yang terdapat pada sesuatu di alam dan isinya alam ini, adalah berdasarkan I'tibar, bukan karena diri (inti) sesuatu tersebut, tidak ada satu keburukan di alam dan isinya alam ini melainkan berdasarkan I'tibar. Hukum keburukan mutlak benar-benar terangkat dari segala wujud, yang kekal adalah kebenaran mutlak. Cobalah anda telisik keburukan maksiat, hanya tampak dengan I'tibar an Nahyu (pelarangan), keburukan bau busuk dengan I'tibar adanya sesuatu yang tidak sejalan dengan realita tabiat, semisal bangkai binatang, makanan busuk, kotoran sampah dan lain sebagainya, namun jika segala sesuatu itu sejalan dengan realita tabiat, maka yang tersisah adalah tabiat kebaikan. Tidakkah anda lihat mereka yang dijebloskan ke dalam api neraka, semua itu lahir dari prilaku kemaksiatan yang telah mereka perbuat, api disebut keburukan dengan I'tibar melahirkan kebinasaan dan kerusakan, akan tetapi tidak demikian dengan Samandal api adalah nuansa kebaikan, karena Samandal adalah jenis burung tidak hidup selain di api. Maka dalam realitas alam dan isinya alam ini sejatinya tidak ada keburukan, segala sesuatu yang diciptakan al Haq, berasal dari akar kebaikan, dasar penciptaan segala sesuatu juga al Hasan (kebaikan). Karena segala yang wujud adalah citra kebaikan al Haq dan citra keindahan-Nya.

Adapun jika terjadi keburukan pada sesuatu yang wujud, kesemua itu terjadi berdimensikan I'tibar, tidakkah anda tafakkuri ada kalimat-kalimat kebaikan, yang pada waktu tertentu menjadi Qobih (jelek) dalam sudut I'tibar, demikian pula dengan kebaikan, pada satu waktu ia merupakan kebaikan tak terbantahkan, namun pada waktu lain dalam sudut pandang I'tibar kebaikan itu menjadi buruk. Dengan termin logika seperti itu dapat dimakrifahi bahwasanya wujud dengan segala kesempurnaan-Nya adalah citra kebaikan dan manifestai keindahan-Nya. Yang kami maksud wujud dengan segala kesempurnaan-Nya termasuk di dalamnya, rasa inderawi, wujud rasionalitas, estimasi, ilusi, pertama dan ahir, lahir dan batin, perkataan, perbuatan, citra dan makna, kesemuanya merupakan citra keindahan-Nya dan menifestasi kesempurnaan-Nya. Ketahuilah bahwasanya keindahan Maknawiyah itu ibarat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. al Haq menghususkan media penyaksian-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang tertajallikan dalam segala wujud, yang dengan itu keindahan dan kesempurnaan-Nya, bisa disaksikan. Adapun kesaksian mutlak tidak meliputi penyaksian metafor, isyarat, tanda-tanda-Nya yang terlanskapkan pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kesaksian mutlak hanya bisa digapai dengan keyakinan utuh serta Kasyf (pengetahuan intuitif), citra-citra manifestasi al Haq, juga merupakan citra keindahan-Nya. Maka tampilan keindahan al Haq bersifat primer, bukan bersifat Maknawiyah, sebab adalah mustahil jikalau tampilan nuansa keindahan-Nya melalui sesuatu selain Diri Nya.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33:4)

Syair-syair al Jily

Kau tampakkan DiriMu pada sesuatu saat menciptakannya

Kaupun tampak Nyata pada segala realitas wujud yang Kau cipta.

Setiap insan hanya melihat 'laku' kebaikanMu secara parsial

mengkavling-kavling ranah kebaikanMu selaras capaian maqam.

Itulah wajah penglihatan para hambaMu memandang DiriMu

Keindahan DiriMu yang universal, hanya dilihat secara parsial

Segala realitas wujud adalah wujud Nyata penampakkanDiriMu

Zat DiriMu adalah juga zat realitas wujud, meskipun tidak sama.

Andai patung ibarat Salju, Kau adalah air dan sumber mata airnya

Salju tidak akan berwujud tanpa air, dan air tak tercipta tampaMu

Air mengalir sejalan dengan kehidupan,

Kaulah mata air kehidupan

Sumber kehidupan ini akan jernih, manakala bersumberkan

DiriMu Segala kemegahan, kegagahan dan keelokkan bermuara kepadaMu

KeindahanMu menembus dimensi ruang dan waktu, kekal nan abadi

Setiap ciptaanMu menyimpan keindahanMu

Setiap karyaMu kau taburi keindahan DiriMu

Setiap yang hitam menjadi manis oleh indahMu

Setiap yang merah, bertaburkan semangatMu

Setiap yang putih, bertaburkan kesucianMu

Setiap yang biru, bertaburkan keteduhanMu

Setiap kesulitan, Kau hapus dengan kemudahan

Setiap duka nestapa,

Kau usir dengan keceriaan

Setiap kebaikan, Kau balas dengan pahalaMu

Setiap keburukan, kau ganjar dengan SiksaMu

KelembutanMu, tampak pada KebaikanMu

KemuliaanMu, Kau tampak pada RahmatMu

RahmatMu mengalahkan KemarahanMu

Kasih AmpunanMu menggerus KemurkaanMu

Setiap tindak kemaksiatan yang diinsyafi

Akan melahirkan kebaktian yang tulus dan jernih

Kemaksiatan yang melahirkan keta'atan,

Jauh lebih baik dari kebaikan yang berbingkai dosa

Kelemahan tiap mahluk, ditutupi sempumaNya

Keburukan tiap mahluk, ditutupi keindahanNya

Pegiat maksiat, tidak akan melihat keindahanNya

KeindahanNya hanya bisa dilihat jiwa-jiwa yang Indah

Maka raih keindahan al Haq disetiap realitas wujud

Keindahan DiriNya tampak Nyata disetiap mahlukNya

Rasakan kelembutanNya yang terbingkai keindahanNya

Pada sesuatu yang terlihat Indah, itulah keindahan DiriNya.

Tabel Belum Edit 24. Al Jalaal (Keperkasaan)

etahuilah, bahwasanya Jalalullah (Keperkasaan Allah) ibarat inti (dzat)-Nya yang termanifestasikan dalam nama-nama-Nya dan sifat-sifat Nya, demikian itu keperkasaan dalam pemaknaan global, sedangkan makna partikularnya, al Jalaal ibarat sifat-sifat ke-agung-an, keperkasaan, kediqdayaan, kemuliaan, puji sanjungan, manakala segenap keindahan-Nya terlihat sangat kuat (dominan) maka ia disebut al Jalaal (keperkasaan). Demikian pula setiap keperkasaan-Nya, yang merupakan dasar penampakkan-Nya pada masing-masing makhluk juga dinamakan al Jamaal (keindahan). Atas dasar inilah ada stiqma pemikiran: Bahwa setiap keindahan adalah keperkasaan, dan setiap keperkasaan adalah keindahan. Adapun dalam lanskap kemahlukan, tidak tampak kepada diri mereka Jamaalullah (keindahan Allah), melainkan keindahan keperkasaan, atau keperkasaan keindahan, sedangkan keindahan mutlak atau keperkasaan mut'ak, kesaksiannya hanya milik al Haq semata, sedangkan makhluk-Nya tidak mampu menggapai-Nya, kecuali insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya, atau insan-insan khosh (istimewah-Nya.

Maka esensi keperkasaan al Haq, adalah ibarat inti (dzat)-Nya, yang tertajallikan pada nama-nama dan sifat-sifatNya. Untuk menggapai hakekat syuhud (penyaksian) tajalli ini, hanya bisa digapai dengan al Haq, yakni melalui kasih kelembutan-Nya kepada hamba yang dikehendaki dan kasihi serta dikhususkan oleh-Nya.

Sedangkan esensi keindahan ibarat sifat-sifat ketinggian-Nya dan nama-nama al Haq yang Khusnaah (Asma'ul Khusnah). Maka penafian nama-nama dan sifat-sifat Nya pada diri makhluk-Nya, adalah mustahil, karena pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam diri makhluk-Nya sangat kuat. Pengaruh (atsaar) yang jelas itulah sejatinya keindahan al Haq yang termanifestasikan pada makhluk-Nya. Dengan demikian dapat dimakrifahi bahwa keindahan mutlak dan keperkasaan mutlak hanya khusus bagi al Haq semata. Jika anda telah memahami realita tersebut, anda akan tahu bahwa sejatinya nama-nama dan sifat-sifat al Haq, yang sejalan dengan kehendak hakiki-Nya itu terbagi atas empat bagian, yakni:

1. Sifat-sifat Keindahan.

2. Sifat-sifat Keperkasaan.

3. Sifat-sifat Musytarak (ambiguitas) antara keindahan dan keperkasaan, yang melahirkan sifat al Kamaal (kesempurnaan).

4. Sifat-sifat yang berdimensikan inti (dzat). Berikut ini statistik (klasifikasi) sifat-sifat tersebut :

• Nama dan Sifat yang berdimensikan inti (dzat) al Haq

- Allah

- al Ahad (Esa)

- al Waahid (Tunggal)

- al Fard (Pribadi)

- as Shamad (Tempat bertumpu segala sesuatu)

- al Quuuus (Suci)

- al Hayyu (Yang Hidup)

- An Nuur (Cahaya)

- al Haq.

• Nama dan Sifat yang berdimensi al Jalaliyah (keperkasaan)

- al Kabiir al Muta'aal (Yang besar. Yang mengatasi segala ketinggian)

- al Aziiz al Adhiim (Yang mulia. Yang agung)

- al Jaliil al Qohhaar (Yang mempunyai kebesaran. Yang kuasa memaksa)

- Al Qoodir al Muqtadir (Yang kuasa. Yang menguasai )

- al Maajid al Waaliy (Yang mempunyai kemuliaan. Yang memimpin)

- al Jabbaar al Mutakabbir (Yang perkasa. Yang mengatasi segala kebesaran)

- al Qoobidh al Khoofidh (Yang menyempitkan. Yang merendahkan)

- al Mudzill ar Raqiib (Yang menjadikan hina. Yang mengawasi)

-al Waasi' asy Syahiid (Yang luas karunia-Nya, Yang menjadi saksi)

- al Qowiyu al Matiin (Yang kuat dan Yang ulet)

- al Mumiitu al Mu'iid (Yang mematikan. Yang mengulang)

- al Muntaqim dzul Jalaali wal Ikraam (Yang menuntut bela. Yang mempunyai kebesaran dan kemurahan)

- al Dhar al Waarits (Yang memberi kemelaratan. Yang mewarisi)

- as Shabuur dzu al Basthi (Yang penuh kesabaran. Yang memiliki kelapangan)

- al Bashir ad Dayyaan (Yang melihat. Yang menundukkan)

- al Mu'dzib al Mufdhil (Yang menyiksa. Yang mengutamakan)

- al Majiid alladzi lam yakun lahu kufuan ahad (Yang luas kemuliaan-Nya, Tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia)

- dzul Hauli asy Syadiid (Yang memiliki tipu daya. Yang keras)

- al Qoohir al Ghuyur (Yang menaklukkan. Yang cemburu)

- Syadiid al Iqoob (Keras Siksanya)

- Nama dan Sifat al Musytarak (ambigu) yang melahirkan sifat al Kamaaliyah (Kesempurnaan)

- ar Rahman al Malik (Yang pengasih. Yang memerintah)

- ar Rabb al Muhaimin (Yang mengatur. Yang menjaga)

- al Khooliq as Samii' (Yang mencipta Yang mendengar)

- al Bashir al Hakam (Yang melihat Yang melaksanakan hukum)

- al Adlu al Hakiim (Yang adil Yang bijaksana)

- al Waliy al Qoyyum (Yang memimpin Yang berdiri pribadi)

- al Muqoddim al Mua'ahhir (Yang mendahului Yang mengakhiri)

- al Awwal al Aahir (Yang awal. Yang akhir)

- adh Dhaahir al Baathin (Yang jelas kekuasaanNya Yang tak tampat dzat-Nya oleh mata)

- Maalikul Mulki al Muqsith (Yang memiliki segala kerajaan. Yang adil)

- al Jaami' al Ghaniy (Yang mengumpulkan. Yang adil)

- Alladzi Laisa Kamistlihi Sya'iun (Yang tidak sesuatupun yang menyerupai-Nya)

- al Muhiith as Sulthaan (Yang meliputi segala sesuatu, Yang berkuasa)

- al Muriid al Mutakallim (Yang menghendaki Yang berbicara) • Nama dan Sifat yang berdimensi al Jamaaliyah (keindahan)

- al Aliim ar Rahiim (Yang luas ilmu-Nya. Yang penyayang)

- as Salaam al Mu'min (Yang sejahtera Yang memberi keamanan)

- al Baari' al Mushowwir (Yang mengadakan Yang memberi bentuk)

- al Ghoffar al Wahhaab (Yang pengampun Yang banyak memberi)

- ar Razzaaq al Fattaah (Yang memberi rizki. Yang memutuskan hukum)

- al Baasith ar Raafi' (Yang melapangkan. Yang meninggikan)

- al Lathiif al Khoobir (Yang lemah lembut. Yang waspada)

- al Mu'iz al Khafiidz (Yang menjadikan mulia. Yang memelihara)

- al Muqiit (Yang mengawal)

- al Hasiib al Jaliil (Yang menghitung-hitung. Yang mempunyai kebesaran)

- al Khaliim al Kabiir (Yang penyantun. Yang besar)

- al Wakiil al Hamiid (Yang mengurus Yang patut dipuji)

- al Mubdi' al Muhyi (Yang memulai. Yang menghidupkan)

- al Mushowwir al Waahid (Yang memberi bentuk Yang satu)

- ad Daaim al Baaqi (Yang terus menerus. Yang kekal)

- al Baari'u al Barru (Yang mengadakan. Yang berbuat baik)

- al Mun'im al Afwu (Yang memberi nikmat Yang memaafkan)

- al Ghafuur ar Ra'uuf (Yang pengampun. Yang penuh rasa kasihan)

- al Mughni al Mu'thi (Yang menjadikan Yang memberi)

- an Naafi' al Haadi (Yang memberi manfaat. Yang memben petunjuk)

- al Baadi' ar Rasyiid (Yang menjadikan sesuatu yang baru. Yang sadar (tidak khilaf)

- al Mujmaal al Ooriib (Yang universal Yang dekat)

- al Mujiib al Kafiil (Yang menjawab Yang menanggung)

- al Kaamil Lam Yalid Yang sempurna. Yang tidak beranak)

- Laam Yuulad al Kaafie (Yang tidak diperanakkan. Yang mencukupi)

- al Jawwaad dzau Thaul (Yang dermawan lagi kaya pemberian)

- asy Syaafie al Ma'aafiy (Yang memberi syafa'at Yang memberi ampunan maaf)

Tabel Klasifikasi Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah (Belum Edit)

Nama Dan Sifat In (Dzat)

i     Nama Dan Sifat Keperkasaan

Gabungan Nama Dan Sifat Yang

Berdimensi Kesempurnaan

Nama Dan Sifat Keindahan

Allah

ai Kabir al Mut'aal

ar Rahmaan al Malik

al Aliim ar Rahiim

al Ahad ( fca )

alAziz alAdzhim

ar Rabb al Muhaimin

as Salaam al Mu'min

al Waahid (Tunggal)

aljaliil a!Qohhar

al Khtxiliq as Saami'

al Baari'u al Mushawwir

al Fard ( Pribadi )

al Qoodir al Muqtadar

al BashiiralHakam

al Ghoffar al VVahhaab

as Shomad {Tumpuhan Segala-galanya)

alMaajidal Waliy

al Adlu al Hakiim

ar Razzaaqal Fattaah

al Hayyu (Yang Hidup)

alJabbaralMutakkabir

al Waliy al Qoyyum

a! Baasith ar Raafi"

an N'ur (Cahaya )

aIQoobidalHaafidz

al Muqoddam al Mu'ahor

alLathiifal Khoobir

al Hai,-

al Mudzlllu ar Raaqib

al Awwal al Aahir

al Mu'iz al Hafiidz

 

al Waasi'asv Syahiid

al Dhaahiral Baathin

al Muqiith

 

al Qowiyyu al Matin

al Waliy al Muta'aal

al Khasiib al jamiil

 

al Mumiitu al Mu'id

Malik al Mulku al Muqsith

al Kfialiim al Kariim

 

al Munta.jim Dzul Jalaal

al Jaami' al Ghanivu

al Wakiil al Himiid

 

al Ikraam al Maani'

Alladzi Laitsa Kamislihi Syai'u

al Mubdi'u al Muhvi

 

ad Dhoor al Waarits

al Muhith asShuIlhan

al Mushowwir at Waahid

 

as Shabuur Dzu a! Basthi

al Muriid al Mutakallim

ad Daaim al Baaqi

 

al Basyid ad Davvaan

 

al Baari'u al Birru

 

al Mu'adzib al Mufadhal

 

al Mun'im al Afwu

 

a! Maajid Lam Yakun Lahu Kufuan Ahad

 

al Ghafuur al Ra'uuf

 

Dzul Haul asy Syadiid

 

il Mughniy al Mu'thi

 

ai Qoohir al Ghuvuur

 

in Naafi'u al Haadi

 

Syadiid al lqoob

 

I Baadi' al Rasviid

 

 

 

1 Mujammilu al Ooriib

 

 

 

 

 

 

 

1 Kaamil Lam Valid

 

 

 

Valam Yulad al Kaafie

 

 

 

IJ a w a a d d z i a t Th a u 1 i

 

 

 

s Syaafie al Ma'aafiy

Ketahuilah, bahwa masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allah memihki bias pengaruh dalam segala wujud, atsar (bekas) pengaruh itulah sejatinya tampilan keindahan-Nya atau keperkasaan-Nya serta kesempurnaan-Nya, maklumat misalnya secara umum ia merupakan bias daripada nama-Nya al Aliim, ia merupakan manifestasi ilmu al Haq dalam alam realitas ini. Demikian pula insan-insan yang beroleh karunia rahmat-Nya, adalah penampakkan daripada isim Rahman-Nya. Segala Maujudaat (yang wujud) tidak akan terlepas dari manifestasi ketuhanan-Nya, segala yang wujud tidak akan terlepas dari rahmat al Haq, karena keberadaan wujud dari ketiadaannya menjadi maujud adalah berkat rahmat-Nya. Tidak ada yang wujud melainkan atas pengetahuan al Haq, segala wujud dalam pengetahuan-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun baik lahir maupun yang batin yang tidak diketahui al Haq. Maka segala yang wujud dengan kemisteriannya merupakan sentra manifestasi al Haq, sebagai media penampakan nama-nama keindahan-Nya dengan segala misterinya, tidak ada isim dan sifat dari nama-nama dan sifat-sifat keindahan, melainkan bekas-bekasnya (pengaruh-pengaruhnya) mendominasi segala wujud, baik berskala khusus maupun umum. Segala yang wujud adalah tampilan daripada keindahan al Haq. demikian pula dengan tiap-tiap sifat keperkasaan, juga membiaskan bekas (pengaruh) kepada segala wujud, semisal al Qoodir, ar Raqiib, al Waasi' bekas dari sifat-sifat tersebut sangat jelas dan dominan dalam Maujudaat (segala wujud), sehingga Maujudaat yang tertajallikan sifat keperkasaan, merupakan panorama keperkasaan al Haq, dan wujud itu menjadi citra keperkasaan-Nya. Ada juga nama-nama Jalaaliyah, yang dihususkan pada sebagian Maujudaat, semisal al Muntaqiim, al Mu'adzib, al Dzaar, al Maani' dan sifat serupa lainya, tidak semua Maujudaat ditampakkan oleh-Nya sifat-sifat Jalaaliyah tersebut, berbeda dengan nama-nama Jamaaliyah-Nya, kesemua nama-nama keindahan-Nya mendominasi setiap wujud, itulah sejatinya esensi rahasia ungkapan al Haq dalam hadits Qudsi; Rahmat Ku, mengalahkan (mendahului) kemarahan Ku, pahami betul masalah ini.

Adapun gabungan nama-nama al Kamaaliyah (kesempurnaan), diantaranya ada yang mewajahkan martabat (kedudukan ketuhanan), semisal nama-Nya : ar Rahmaan, al Mulk, ar Rabb, Maalik al Mulki, al Sulthaan, al Waliy, kesemua nama tersebut merupakan cerminan dari martabat Ilahiyah. Secara umum segala wujud merupakan citra daripada masing-masing nama-Nya tersebut. Yang kami maksud dengan 'secara umum' adalah umum secara I'tibar dan wajah (sisi), maka Maujudaat (segala wujud) adalah citra daripada masing-masing nama dari nama-nama yang mengandung martabat ketuhanan, berbeda dengan nama-nama keindahan dan keperkasaan, penampakan yang ada merupakan tampilan daripada masing-masing nama (keindahan atau keperkasaan) dengan satu wajah, terpancar menjadi multi wajah sejalan dengan I'tibar atau ibarat yang memancarkannya. Pahami betul masalah ini! Diantara gabungan nama-nama (Kamaaliyah) itu, ada yang melahirkan wujud dengan segala misterinya, yang dijadikan wajah penampakkan al Haq, akan tetapi tidak multi wajah, semisal isim-Nya. Al Bashiir, as Saami', al Khaaliq, al Hakiim dan isim serupa lainnya. Diantara gabungan nama-nama (Kamaaliyah) itu ada yang tidak membutuhkan Maujudaat dalam pencitraannya, semisal isim-Nya, al Ghoniy, al Adi, al Ooyyum, dan lain sebagainya, karena nama-nama itu merupakan suplemen inti (dzat). Kami sengaja mengklasifikasikannya ke dalam isim gabungan, karena adanya nuansa keindahan, dan keperkasaan. Pahami betul masalah ini!

Jika anda bisa memahami realita tersebut dengan baik, maka ketahuilah bahwasanya seorang hamba yang Kaamil (sempurna), adalah sentra penampakkan semua nama-nama, baik yang Musytarak (ambigu) maupun yang tidak, baik yang berdimensi inti (dzat), maupun keindahan atau keperkasaan, kesemuanya akan termanifestasikan pada hamba-Nya yang sempurna tersebut, begitu pula anda akan bisa memakrifahi bahwasanya Surga adalah manifestasi keindahan mutlak, sedang al Jahiim (neraka Jahim) merupakan penampakkan keperkasaan mutlak. Dua kampung, yakni kampung dunia dan kampung akhirat, serta segala yang ada diantara keduanya, selain Insaan Kaamil (manusia sempurna), adalah manifestasi dari nama-nama yang mengandung martabat ketuhanan, terkecuali nama-nama yang berdimensikan inti (dzat)-Nya, hanya manusia sempurna sajalah sentra penampakkan inti (dzat)-Nya, juga media penampakkan asma dan sifat-sifat Nya yang lain. Sedang segala maujudaat, tidak ada satupun yang mampu menyangga penampakkan inti (dzat)-Nya tersebut, seperti yang diisyaratkan firman-Nya,  Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah anamat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (Q.s. al Ahzaab 33 : 72)

Sejatinya anamat itu tidak lain adalah al Haq, dengan inti (dzat)-Nya, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, tidak ada satupun dari Maujudaat (segala) wujud yang mampu menyangga (mengemban) 'amanat' itu selain manusia sempurna (Insaan Kaamil), realita ini selaras dengan isyarat baginda rasul saw dengan sabdanya: Al Qur'an diturunkan kepada diriku serentak satu kali. Segenap langit dan apa-apa yang ada diatasnya maupun dibawahnya, segenap bumi dan apa-apa yang ada dibawahnya dan segala yang ada diatasnya dari segenap makhluk (ciptaan)-Nya, kesemuanya dhaif (lemah) dalam memakrifahi hakekat segala nama-nama dan sifat-sifat al Haq, alasannya jelas sekali, mereka tidak mampu dan terlalu lemah untuk mengemban anamat tersebut. Hanya manusia sempurna (Insaan Kaamil) yang berani mengembannya, sungguh manusia itu amat dzalim, yakni teramat sering mendzalimi dirinya, karena tidak memperhatikan terlebih memberi hak-hak dirinya. Adapun hak diri itu adalah Manuth (ikut) Allah, melaksanakan perintah-Nya, serta tidak menodai hak Allah, sedangkan hak-Nya adalah sanjung puji kepada-Nya. al Haq berfirman : Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya. (Q.s. al An'aam 6 : 91) Dan adalah manusia seperti yang termaktub dalam firman Qur’ani : Sungguh manusia itu amat dzalim, yakni ia telah melakukan tindak kedzaliman diri, dengan menganiaya dirinya sendiri, yang sedemikian itu ia tidak memberi penghormatan kepada Allah dengan penghormatan yang selazimnya. Manusia-manusia yang menganiaya dirinya sendiri itu pun tidak memberi penghormatan kepada-Nya dengan penghormatan yang semestinya, Allah menyifatinya dengan Jahuulah (amat bodoh), betapa tidak bodoh manusia itu, karena al Haq telah mendudukkan maqom-nya serta melabeli dirinya dengan sifat al 'Adhim (agung), dan al 'Aziz (mulia), manusia itu sendirilah yang merendahkan martabat dirinya, dengan menafikan Qudrah (kuasa) al Haq yang memberinya keagungan dan kemuliaan. Dan wujud nyata dari penafian itu adalah tidak adanya penghormatan manusia dalam bentuk puji sanjung kepada­Nya dengan semestinya. Ketahuilah manusia yang men-duduk-kan sanjung puji al Haq pada penghormatan yang semestinya, ia akan dititipi keagungan dan kemuliaan-Nya. Pahami betul masalah ini!

Ada pemaknaan lain dari ayat (Q.s. al Ahzaab 33 : 72) ini. yaitu, kata Dzaluuman (amat dzalim) nama untuk Maf'uul (objek), dengan begitu manusia yang Dzaluuman itu menjadi objek, yakni Madzluum (orang yang didzalimi), sebab tidak ada satupun manusia yang mampu melaksanakan hak-hak kesempurnaan, keperkasaan, keindahan al Haq, selain manusia sempurna, karena kedhaifan iurlah ia menjadi manusia yang didzalimi, disebabkan oleh ketidak mampuan-nya, bukan hanya dirinya, semua yang wujudpun tidak mampu mengemban itu selain Insaan Kaamil (manusia sempurna). Adapun Jahuulah (amat bodoh), dalam pemaknaan yang lain hakekatnya adalah Majhuul (misteri), ia tidak tahu hakekat hak-hak kesempurnaan, keperkasaan, keindahan al Haq, karena nihilnya al Qurb (kedekatan) dan Wushul (kersambungan) antara insan tersebut dengan al Haq. Dan adalah merupakan hak Allah memberi kata maaf kepada Insaan Kaamil, demi segenap makhluk-Nya, agar mereka terentaskan dari kedzaliman dan kepedihan, Dia menerima permintaan maaf mereka, pada hari kiamat kelak, al Haq akan menyibakkan tabir-Nya akan Qudrah (kuasaan) manusia sempurna ini yang sejatinya adalah ibarat penampakkan inti (dzat) Allah, dan nama-nama-Nya serta sifat-sifat-Nya. Pahami betul masalah ini. Kita akan jelaskan perihal jenjang dan strata insaan kaamil ini pada pasal yang akan datang. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 25. Al Kamaal (Kesempurnaan)

Ketahuilah, bahwasanya Kamaalullah (Kesempurnaan Allah) ibarat hakekat inti (dzat)-Nya yang bisa dilihat, namun tidak bisa dijangkau dengan daya persepsi inderawi (al Idraak), dan batas kesemprunaan-Nya adalah tidak terbatas serta tidak berahiran. Maka al Haq Jallah Jalaalah, Mengetahui bahwa hakekat inti (dzat)-Nya dapat dikatahui, dan Dia mengetahui bahwa inti (dzat)-Nya tidak dapat dijangkau oleh daya perspesi inderawi (al Idraak) manusia. Kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan tidak berahiran, realita ini ada pada hak-Nya dan juga terdapat pada hak selain Diri Nya, yakni, al Haq mengetahui bahwa inti (dzat)-Nya tidak dapat dijangkau dengan pandangan kasat manusia dus persepsi inderawi manusia itu adalah hak Diri Nya, Dia juga mewartakan kepada segenap Insan, bahwasanya Dia tidak bisa dijangkau dengan penglihatan insani, itulah yang disebut dengan hak manusia sebagaimana diwartakan al Haq, Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Q.s. al An'aan 6 : 103). Adapun maksud kami dengan ungkapan al Haq dapat dilihat hakekat inti (dzat)-Nya adalah melalui penglihatan jalan Kasyf (pengetahuan intuitif), karena kesempurnaan-Nya adalah tidak terbatas, demikian pula kesempurnaan-Nya tidak dibatasi oleh suatu spasial (konsep ruang dan waktu), serta tidak dinodai dengan al Jahl (kebodohan). Sedangkan ungkapan kami bahwa Dia mengetahui bahwa inti (dzat)-Nya tidak dapat dijangkau oleh daya perspesi inderawi (al Idraak) manusia, adalah untuk menunjukkan metafora kediqdayaan-Nya dan tiada berahiran-Nya, karena sesuatu yang diluar daya persepsi adalah sesuatu yang tidak berpenghabisan dan berahiran. Semantis logikanya mustahil sesuatu yang tidak berahiran dan berpenghabisan bisa jangkau daya persepsi inderawi dan sesuatu yang bersifat spasial (konsep ruang dan waktu)! Demikian pula dengan penglihatan inti (dzat)-Nya melalui Kasyf (intuisi) berdasarkan hukum kesempurnaan ilmu-Nya dan ketiadaan bodoh-Nya akan Diri Nya, bukan berdasarkan mampu dan tidaknya daya persepsi inderawi, atau karena kesediaan inti (dzat)-Nya, dipersepsi dengan sisi dari sisi-sisi manifestasi-Nya pada segala wujud. Pahami dengan jeli masalah ini, jangan sembrono dalam bertafakkur agar anda tidak terjebak pada keragu-raguan tak bertepi.

Ketahuilah, bahwasanya kesempurnaan al Haq, tidak serupa dengan kesempurnaan segenap makhluk-Nya, sebab kesempurnaan segenap makhluk-Nya, berlandaskan pemaknaan rasionalitas Maujudaat yang ada pada masing-masing inti (zat) kemahlukan makna-makna itu berubah-ubah sejalan dengan inti (dzat) masing-masing makhluk itu sendiri, itu berarti kesempurnaan makhluk-Nya bersifat labil dan relatif, marak dengan kekurangan dan atribut, kelemahan dan subjetifitas, sedang kesempurnaan al Haq berpijak pada inti (dzat)-Nya, bukan berlandaskan pemaknaan atribut atau kekurangan, Maha Suci al Haq dari segala kekurangan, kelemahan Dia adalah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kesempurnaan al Haq adalah inti (dzat)-Nya, karenanya Dia disifati al Ghaniy al Mutlaq dan al Kamaal at Taam. Adapun jika al Haq dikaitkan dengan makna-makna kesempurnaan, pada hakekatnya bukanlah makna-makna kesempurnaan yang lahir dari selain Diri Nya, dengan demikian wujud rasionalitas kesempurnaan al Haq, yang disandarkan kepada al Haq, adalah berdimensikan inti (dzat), tidak ada penambahan dan pengurangan, tidak ada perubahan pada inti (dzat)-Nya. Kesempurnaan al Haq tidak bisa dibatasi dengan bingkai rasionalitas, sebab kesempurnaan-Nya bersifat universal, menembus dimensi ruang dan waktu, tidak berbilang dan tidak terbilang kesempurnaan-Nya meliputi alam asy Syahadah (alam realitas) dan dimensi kegaiban (Ghaibiyaat).

Setiap wujud dari Maujudaat jika disifati dengan suatu sifat maka akan memiliki (membutuhkan) keterkaitan dengan sifat yang lam, karena inti makhluk dapat terbagi dan terpecah, inti (dzat) makhluk juga multi ragam sejalan dengan ragam makhluk itu sendiri, demikian pula dengan nama dan sifat makhluk juga beraneka ragam sejalan dengan multi kemahlukan-nya, berbeda dengan al Haq, inti (dzat)-Nya adalah Tunggal, meski ragam sifat dan nama-Nya tertajallikan pada segala wujud, namun inti (dzat)-Nya tetap tunggal, karena isim dan sifat-Nya berjalan dibawah naungan hukum inti (dzat)-Nya, Meski multi wajah manifestasi-Nya tertampakkan pada segala wujud, namun inti (dzat)-Nya adalah Tunggal, karena Dia adalah Ahadiyah al Jam'u (Kesatuan dan yang banyak).' Kami sering mengatakan al Insaan Hayawaan an Naatiq -manusia adalah makhluk bernyawa yang berbicara- yakni manusia adalah Hayawan (makhluk yang bernyawa), jiwa manusia adalah jiwa Hayawan (bernyawa), rasionalitas wujud manusia menjadikannya berbicara dalam jiwanya, rasio dan kelebihan bisa berbicara itulah menjadikan manusia memiliki qimmah (nilai) lebih dibanding Hayawan-Hayawan (makhluk-makhluk bernyawa) lainnya, boleh jadi ada juga yang berasumsi bahwa an Nutqu (pembicaraan) dan Hayawaniyah (hidup bernyawa) merupakan 'am tsabit (sesuatu yang tetap) pada diri manusia, karena kedua unsur itu merupakan elan vital pembentukkannya, kemanusian manusia tidak ter-identifikasi tanpa kedua unsur penting tersebut, wujud manusia tidak akan terakaui kredibilitasnya tanpa adanya dua unsur vital tersebut, dengan demikian jelas sekali pensifatan inti (dzat) makhluk terdiri atas berapa unsur, dan bukan dari unsur tunggal, realita (ambiugitas unsur inti (dzat)) seperti itu, jelas mustahil bagi al Haq. Karena inti (dzat)-Nya tidak terbagi-bagi dan tidak terbangun dari beberapa unsur dzat. Pahami betul masalah ini.

Sifat al Haq merupakan inti (dzat)-Nya, berdasarkan hakekat inti (dzat)-Nya dan Hawiyah (ke-Dia-an)Nya, yang terdapat pada Diri Nya, jika sifat-Nya bukan merupakan inti (dzat)-Nya, maka hukum Nya akan sama dengan hukum makhluk, yaitu sifat-nya bukan inti (dzat)-nya, kalaupun al Haq dikaitkan dengan hukum kemahlukan hal itu bersifat Majaziyah (permisalan). Banyak sekali para Mutakallimm (ahli ilmu Kalam) yang salah dalam memahami permasalahan ini, hal senada juga diungkapan Ibnu Arabi, ia menyalahkan para ahli ilmu Kalam, karena mereka mengatakan : Bahwasanya sifa-sifat al Haq, bukan inti (dzat)-Nya. Adapun ungkapan kami bahwa sifat-sifat al Haq adalah inti (dzat)-Nya, semata-mata berdasarkan Kasyf Ilahiyah (intusi ketuhanan), namun bukan dengan I'tibar jumlah (bilangan) atau ketiadaan bilangan, akan tetapi berdasarkan Syuhud (penyaksian) al Matsal al Alah  (sifat yang maha tinggi), sejalan dengan firman-Nya: Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi. (Q.s. an Nahl 16 : 60). Realita ini merupakan Nuqtah (titik) rasionalitas wujud kesempurnaan yang terlanskapkan dalam setiap keindahan dan keperkasaan-Nya pada segala wujud yang laik dengan martabat ketuhanan, yang sejatinya adalah kesempurnaan-kesempurnaan al Haq yang diibaratkan dengan nuqta (titik), serta kesempurnaan ke-Esa-an Diri Nya, dalam bingkai rasionalitas wujud yang tiada penghabisan pun akhiran dan mustahil didahului oleh sesuatu. Kesempurnaan-Nya tiada terbatas dan tidak akan pernah habis untuk dita'birkan. Pahami dengan seksama masalah ini!

Ketahuilah, sifat-sifat ketinggian itu tidak berkaitan dengan inti (dzat) ketinggian, karena dzat-dzat ketinggian itu sendiri juga merupakan makhluk-Nya, sebab al Haq adalah Qodiim (eternitas), adanya tidak didahului oleh sesuatu, sedang sifat ketinggian adalah Huduts (baru), adanya karena diadakan, ibarat-ibarat tentang sifat-sifat ketinggian tersebut, hanya akan menjadi kata-kata tak bermaknah, serta ungkapan-ungkapan kosong, jika anda tidak mampu memukasyafahinya. Untuk memahami kesejatian sifat ketinggian itu tidak ada jalan melainkan dengan Kasyf (pengetahuan intuitif), dan anda tidak akan bisa merasakan-nya kecuali jika telah menggapai Dzauq al Wujdaan (intuisi). Gapaian sifat-sifat ketinggian itu sendiri dalam rasionalitas wujud beragam bentuk dan sisi serta kisinya. Orang seorang yang tingkat kesedihan-nya semaqom dengan kesedihan Ya'qub as, akan termanifestasikan dalam penglihatan-nya yang buta, aroma baju Yusuf as, aroma baju Yusuf itu tidak bisa dirasakan dengan rasa inderawi, namun bisa dirasakan dengan dzauq (intusi), sungguh merupakan keberuntungan yang tiada tara besarnya, bagi mereka yang telah menggapai maqom keimanan dan kebenaran tingkatan ini, lalu meningkatkannya dengan memperdalam pemahaman hakekat, hingga ia benar-benar bisa Makrifatullah, manusia seperti inilah yang diisyaratkan al Haq sebagai insan (yang menggunakan pendengarannya sedang ia menyaksikannya) yakni menyaksikan keimanan hakiki, seakan-akan ia menyaksikan-Nya secara dzat, karena saking kuatnya iman yang ada pada dirinya. Maka insan yang utama adalah insan yang mau mengoptimalkan ketajaman mata hatinya, untuk memaknai dan menyimak, metafor, paradoks, isyarat ketuhanan, terkait dengan ini al Haq berfirman :

Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai kalbu atau yang menggunakan pendengarannya sedang ia menyaksikannya. (Q.s. Qoof 50 : 37).

Semua warta ketuhanan yang universal dan parsial Me'put tajalli zat DiriMu, Wahai zat Yang Maha Sempurna Wajah kesempurnaan DiriMu, meliputi segala sesuatu yang wujud dan gaib, yang dahulu dan yang akan datang Sungguh nista, manusia menafikan kesempurnaanNya Insan yang menafikan KamalNya, ialah manusia yang kurang.

Sudah Edit 26. Hawiyah (Ke-Dia-an)

Hawiyah (ke-Dia-an) al Haq sejatinya adalah, kegaiban-Nya yang tidak mungkin ada penampakkan-Nya, melainkan dengan Itibar kumpulan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, ia laksana isyarat inti batiniyah ketunggalan-Nya. Kami memakai istilah 'laksana' karena tidak ada pengkhususan dengan nama, sifat, kata sifat, martabat (kedudukan) serta dzat mutlak, tanpa Ftibar nama-nama atau sifat-sifat bahkan Hawiyah merupakan isyarat semuanya secara global dan partikular. Hayiwah juga diisyaratkan dengan batiniyah dan dimensi kegaiban, yang sedemikian itu lafadz Hawiyah identik dengan isyarat sesuatu yang tidak tertampakkan (gaib). Hawiyah dalam lanskap hak Allah isyarat esensi inti (dzajt)-Nya, dengan Ftibar nama-nama al Haq dan sifat-sifat-Nya dengan pamahaman dimensi kegaiban-Nya. Ketahuilah bahwasanya isim ini (Huwa) lebih khusus dibandingkan nama-Nya (Allah), ia bahkan merupakan sirr (rahasia batin) untuk isim (Allah). Cobalah telisik dengan seksama, nama Allah selama tertulis dengan kafadz utuh atau tetap (Allah) makna sejatinya adalah berpulang kepada al Haq. Jika anda pecah kalimat Allah maknanya akan bergeser, namun tetap pada kisaran ketuhanan al Haq, misalnya jika anda hilangkan huruf Laam pertama, maka jadilah lafadz Lahu, ia tetap memiliki makna yang multi guna. Jika anda hilangkan huruf Laam kedua, maka jadilah lafadz Hu, asal dari lafadz Huwa adalah Hu tanpa Wau, penambahan Wau dalam Ha' adalah permasalahan gramatika bahasa, untuk memudahkan pengucapan dan kelaziman gramatika.

Huwa merupakan nama yang paling utama, terkait dengan nama utama ini, suatu ketika, disaat saya (al Jailiy) di bumi Makkah al Mukarramah, saya berjumpa dengan Ahlullah (ahli Allah), yang sedemikian terjadi pada tahun 799 H. Beliau mengajari diri saya tentang al Ism al A'dham (nama teragung), yang perna disabdakan baginda rasul Muhammad saw, bahwa nama teragung itu ada di ahir surat al Baqarah dan awal surat ali Imran, beliau berujar kepada saya, taukah anda apa nama teragung itu? nama teragung itu adalah Huwa, itulah hakekat yang bisa digali dari pemaknaan lahir sabda rasul Muhammad saw, karena Ha' adalah huruf ahir firman-Nya dalam surat al Baqarah, dan Wau huruf awal firman-Nya dalam surat ali Imran. Dengan tidak menafikan ke-shahih-an pandangan ahli Allah tersebut, saya memiliki nuansa pandang lain dalam masalah nama teragung ini, saya merasa perlu mewartakan ungkapan ahli Allah itu, untuk dijadikan kontribusi refrensi anda tentang nama teragung tersebut, berikut untuk mengingatkan anda akan kemuliaan dan keagungan nama tersebut, berdasarkan isyarat kenabian yang ada.

Ketahuilah, bahwasanya nama Huwa ibarat rasionalitas wujud yang hadir dibenak seseorang, yang terwajahkan dalam kisi-kisi metafora (isyarat-isyarat). Orang seorang yang menyaksikan realitas 'rasa' (indera) pada kegaiban imajinatif. Kegaiban itu jika masih berada dalam kerangka imajinatif, tidak bisa diisyaratkan dengan lafadz Huwa, rujukan pengisyaratan lafadz Huwa hanya dibenarkan dalam lanskap realita kekinian atau yang akan datang. Lafadz Huwa merupakan lafadz yang mengisyaratkan sesuatu yang terkait dengan kontek realitas kekinian dan realitas yang bersifat futuristik, tidakkah anda tela'ah bahwa dlamir (kata ganti) akan kembali kepada kata yang diganti, sesuai dengan idiom, lafadz, keadaan dan bentuknya. Esensinya lafadz Huwa teraplikasikan pada wujud murni, bukan pada wujud yang 'adam (tidak ada), al Adam (ketiadaan) tidak menyerupai kegaiban dan fana' (kesirnaan), sebab realita ghaib yang berada dalam nuansa ketiadaan sisi (ruang dan waktu), yakni tidak dapat disaksikan sisinya, realita tersebut tidak bisa diisyaratkan dengan lafadz Huwa.

Dengan demikian dapat difahami, bahwasanya Hawiyah itu sejatinya adalah wujud murni yang jelas (terang), mencakup setiap kesempurnaan wujud realitas, serta bisa dijangkau dengan penglihatan mata, akan tetapi realita tersebut berjalan dalam koridor hukum kegaiban. Karenanya Hawiyah tidak bisa disembunyikan dari alam realitas dan tidak pula dapat dijangkau dengan penglihatan mata (persepsi inderawi). Atas dasar itu pula ada stiqma pemikiran bahwa Hawiyah termasuk dimensi kegaiban, karena tidak bisa dijangkau dengan penglihatan mata, dus diluar daya persepsi (al Idrak). Pahami betul masalah ini. Karena al Haq berbeda dengan manusia, kegaiban-Nya bukanlah realitas-Nya, dan realitas-Nya bukanlah kegaiban-Nya, demikian pula dengan segenap makhluk-Nya juga memiliki dimensi realitas dan kegaiban, akan tetapi realitasnya dari satu sisi dan melalui I'tibar, begitu pula dengan kegaibannya juga berasal dari satu sisi serta melalui I'tibar. Tidak ada kegaiban bagi diri al Haq tidak pula ada realita pada diri-Nya, bahkan bagi diri-Nya dalam diri-Nya kelaikan 'Gaib' untuk Diri Nya, berikut kelaikaan 'Realitas' yang reil bagi diri Nya, seperti halnya ilmu pada diri Nya. Kenyataan ini diluar wilayah logika, tidak dibenarkan bagi kita melogikan inti (dza)-Nya, sebab tidak ada yang mengetahui hakekat kegaiban-Nya dan realitas-Nya, kecuali Dia, Jallah Jalaalah.

Syair-syair al-Jily

HawiyahNya, menyirnakan keAkuan hambaNya

Mustahil Aku DiriNya terlihat kasat pada keDiaan hambaNya.

DiaNya adalah Dia hambaNya dalam dimensi ruh,

AkuNya adalah Aku hambaNya yang tampak pada realitas wujud

Aku dirimu adalah Aku DiriNya dalam dimensi ruh

Berikan Aku mu padaNya. Dia akan memberi AkuNya padamu

DiaNya yang di Akukan seorang hamba di alam ini.

Pertanda kebodohan si hamba dalam memaknai hakekat batiniyah

Sudah Edit 27. Inniyah (Ke-Aku-an)

Ketahuilah bahwasanya ke-Aku-an al Haq, sej atinya adalah konsesus-Nya terhadap apa yang ada pada diri Nya, ia merupakan isyarat lahiriyah al Haq dengan I'tibar keseluruhan (universalitas) penampakkan-Nya untuk dimensi Batiniyah-Nya, al Haq berfirman '.

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. (Q.s. Thaahaa 20 : 14).

Sejatinya Hawiyah itu diisyaratkan dengan lafadz Huwa, ia merupakan inti Inniyah yang diisyaratkan dengan lafadz Aku, ke-Dia-an Dia adalah rasionalitas wujud ke-Aku-an Nya. selaras dengan ungkapan kami: Lahiriyah al Haq adalah inti Batiniyah-Nya, batin-Nya inti lahir­Nya, bukan karena Dia batin dari satu sisi dan Lahir dari sisi lam. Cobalah telisik dengan jeli firman-Nya, Dia menegaskan firman-Nya dengan redaksi Sesungguhnya, sebagai bentuk penegasan firman-Nya, jamaknya sebuah ungkapan selalu menyimpan keragu-raguan di benak para penyimaknya. Penegasan merupakan langkah konstruktif untuk menumbuhkan keyakinan serta mengkikis keragu-raguan yang bergelayut dibenak para penyimak, bahkan sebuah ungkapan tidak pernah sepi dari penafian dan pengingkaran, karenanya ungkapan 'penegasan' diperlukan dalam perkataan.

Manakala I'tibar batiniyah dan lahiriyah dimuarakan kepada kesatuan (ketunggalan), lahirlah keragu-raguan (kegamangan) logika, yaitu ketersembunyian-nya, lantas apa sejatinya yang dimaksudkan dengan batin-Nya adalah lahir-Nya, lahir-Nya adalah batin-Nya, apa pula kegunaan pembagian lahir dan batin dalam diri Nya?, jawaban daripada keragu-raguan itu bermuara pada dua kondisi psikis, antara kegamangan dan keingkaran, karenanya al Haq menegaskan dengan lafadz Sesungguhnya, al Haq berfirman kepada Musa as Sesungguhnya Aku yakni ke-Esa-an batin, yang diisyaratkan melalui ke-Dia-an yang sejatinya adalah ke-Aku-an lahiriyah, diisyaratkan dengan lafadz Aku. Jangan sekali-kali anda memberi ruang di syakilah hati dan benak anda, bahwasanya diantara keduanya (ke-Dia-an dan ke-Aku-an) ada perubahan dan pergantian, atau keterpisahan dan keteceraiberaian, pun diskurs sisi dan visi-Nya, lebih-lebih menafisirinya dengan adanya dualisme serta kontradektif diantara keduanya, sebab ini adalah ilmu berdimensikan inti (dzat), yakni isim Allah yang mengisyaratkan kehendak ketuhanan universal dan utuh, yang sedemikian itu tatkala Dia memaklumatkan (kepada Musa) bahwasanya batin-Nya dan Gaib­Nya inti penampakkan-Nya dan realitas-Nya. Dia mengingatkan Musa as bahwa ke-Dia-an dan ke-Aku-an itu realita hakikinya adalah Allah dengan kelaziman maknanya. Perhatikan dengan jeli masalah ini. Ketahuilah bahwasanya, universalitas ketuhanan mencakup dua sifat yang berlawanan, dan segala yang kontradiktif berlandaskan hukum Ahadiyah (ke-Esa-an), dengan 'adam (ketiadaan) perubahan pada saat terjadinya perubahan, pelik masalah ini memang merupakan wilayah 'keragu-raguan', yang akan menggelitik ketenangan logika! Maka waspadailah.

Kemudian al Haq mewartakan esensi: Tidak ada Tuhan selain Aku. Yakni tidak ada Ilahiyah (ketuhanan) al Ma'budah (yang disembah), kecuali Aku, maka Aku adalah Dhahir (yang tampak) pada berhala-berhala sesembahan tersebut, segenap bintang dan segala tabiat, bahkan pada setiap apa yang disembah pemeluk agama-agama yang ada di jagad ini. Aku-lah wujud lahir sesembahan mereka, Tuhan-Tuhan yang tampak itu adalah Aku, karenanya Aku makzulkan kepada mereka lafadz Aalihah -tuhan-tuhan-, dan penamaan Ku dengan Aalihah ini kepada mereka adalah penamaan hakiki, bukan penamaan majaziyah, tidak seperti yang diklaim ahl dhahir (mereka yang hanya beriman kepada realitas lahiriyah), bahwa penamaan Aalihah adalah kiasan, karena adanya etos penyembahan itulah sesuatu yang disembah itu disebut tuhan-tuhan apapun bentuknya. Mereka tidak mendasari penamaan mereka dengan Diri Nya, yang merupakan wujud lahir etos sesembahan mereka. Disinilah Nuqtah (titik) kesalahan mereka, terlebih pangkal keingkaran mereka kepada al Haq. Sebab wujud sesembahan mereka bahkan segala Maujudaat (segenap wujud yang ada), merupakan manifestasi wujud Dhahir (yang tampak) al Haq, maka penamaan Maujudaat yang dijadikan wujud sesembahan itu merupakan penamaan hakiki, bukan penamaan Majaz, karena al Haq adalah inti segala sesuatu dan penamaan-Nya dalam lanskap ketuhanan adalah penamaan hakiki. Tidak seperti yang diklaim para Muqollid (pengikut tanpa dasar) dari komunitas yang terhijabkan, bahwa penamaan dimensi ketuhanan bersifat Majaziyah, jika etos penyembahan itu berdasarkan makna Majaz (seperti klaim ahli dhahir), maka Kalaam (ujaran) tentang batu-batu, bintang-bintang, tabiat-tabiat dan segala sesuatu yang dijadikan wujud sesembahan bukanlah Aalihah (tuhan-tuhan). Pahami dengan jeli masalah ini.

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku Maka sembahlah Aku.

Madluliyah (makna tersirat) dari ayat ini, al Haq hendak mewartakan kepada para paganis (penyembah berhala) dan penyembah tuhan-tuhan lain selain Diri Nya, bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu adalah manifestasi lahir-Nya, sedangkan hukum ketuhanan di dalamnya adalah hakiki, mereka tidak menyembah pada wujud sesembahan tersebut, melainkan Dia, karenanya Dia berfirman, Tidak ada Tuhan selain Aku. Yakni, apapun yang dinamakan Tuhan sejatinya adalah Aku, tidak ada satupun di alam ini orang seorang .yang menyambah selain Diri Ku. Bagaimana mungkin mereka menyembah selain Diri Ku, sedang Aku menciptakan mereka untuk menyembah Diri Ku, dan mereka senantiasa tetap pada fitrah penciptaan seperti tujuan penciptaan mereka, yaitu menyembah Diri Ku. Terkait dengan ini rasul Muhammad saw menandaskan :

Masing-masing berjalan sesuai dasar penciptaan-Nya,

yakni untuk beribadah kepada al Haq, sebab al Haq berfirman,

Aku tidak menciptakan Jin dan manusia, melainkan untuk menyembah kepada diri Ku. (Q.s. adz Dzuriyaat 51 : 56).

Dia juga berfirman :

Dan tidak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. (Q.s. al Israa' 17 : 44).

Al Haq memperingatkan kepada Musa as, bahwa para pelaku penyembahan tuhan-tuhan tersebut sejatinya mereka adalah menyembah Allah Jallah Jalaalah, hanya saja mereka menyembah-Nya dari sisi lahiriyah semata, serta dengan 'model' dan modus penyembahan simbolistik. Dia memintah Musa as, untuk menyembah-Nya dari segala sisi penampakkan, yakni tidak membatasi Diri Nya hanya pada satu sisi spasial (ruang dan waktu), Dia berfirman

Tidak Tuhan selain Aku,

yakni dalam semua arah spasial (ruang dan waktu) yang ada hanyalah Diri Ku. Setiap sesuatu yang dilabeli (dinamakan) Tuhan, maka tuhan itu adalah Aku, bukankah Aku telah wartakan bahwa inti segala sesuatu itu adalah Aku, dan Aku adalah inti segala sesuatu, yang terlembagakan dalam isyarat isim Ku (Allah). Maka sembahlah Diri Ku wahai Musa, dari sisi ke-Aku-an Ku, yang mewadahi segala wujud, yang tidak lain merupakan inti ke-Dia-an Ku.

Realita tersebut, merupakan Inayah (pertolongan) al Haq, kepada nabi-Nya yang bernama Musa as, agar ia (Musa) tidak menyembah-Nya, hanya satu sisi (arah) tanpa sisi-sisi yang lain, yang dengan itu ia akan kehilangan al Haq pada sisi-sisi lainnya' terlebih membuatnya tersesat dari-Nya, dan terpaku pada satu sisi ritus penyembahan-Nya, seperti jerembab kesesatan yang terjadi pada pemeluk agama-agama lain dari jalan Allah Jallah Jalaalah. Berbeda dengan etos penyembahan melalui jalan ke-Aku-an ini yang tertajallikan pada segala yang tampak, dan manifestasi-manifestasi ketuhanan, keadaan, kehendak dan kesempurnaan-kesempurnaan ketuhanan dalam rasionalitas wujud yang terlembagakan dalam ke-Dia-anNya serta teraplikasikan dalam ke-Aku-an Diri Nya. Semua itu sejatinya merupakan wajah isim-Nya Allah sebagaimana dijabarkan dalam keterangan Qur'ani bahwasanya Tidak ada Tuhan kecuali Aku. Etos penyembahan dalam dimensi inilah seharusnya yang harus diaktualisasikan dan ditradisikan dalam diri masing-masing penyembah, dimensi ibadah seperti inilah yang diisyaratkan al Haq dalam firman Nya :

Dan bahwa ini adalah jalan Ku yang lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikah kamu dari jalan­Nya. (Q.s. al An'aam 6 : 153).

Para pengikut jalan-jalan lain, meski berada dijalan Allah, pasti akan tercerai berai, yang menjerembabkan mereka ke dalam tindak kesyirikan. Dan al Ilhad (atheis), berbeda dengan pengikut Muhammad saw sejati, yang eksis dengan ajaran Tauhid, serta senantiasa meng-Esa-kan al Haq, mereka konsisten di jalan Allah, dan tatkala seorang hamba berada di jalan Allah, akan tampak padanya rahasia ungkapan rasul saw,

Barang siapa yang memahami dirinya, maka ia akan paham Tuhannya.

Paska marifah diri itu sang hamba diminta menyembah al Haq dengan etos penyembahan (ubudiyah) hakiki, yakni ritus ibadah yang disertai pemahaman makna hakiki nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, sebab dengan 'wajah' ibadah dan ubudiyah seperti itulah seorang hamba, akan bisa memakrifahi bahwasanya al Haq adalah inti segala sesuatu, baik yang berdimensikan Dhahir (yang tampak) maupun Batin (yang tidak tampak). Ia juga bisa memahami I'tibar ke-Aku-an Nya yang diajarkan kepada Musa as, serta berusaha mengikuti jejak Musa as, dalam menggapai kesejatian kesempurnaan-Nya yang terhampar pada nama-nama dan sifat-sifat Nya. Pada maqom (capaian spintual) seperti inilah seorang hamba akan mampu beribadah kepada Allah dengan ibadah yang hakiki, kesejatian ibadah seperti ini tidak akan ada pasang surutnya, sebab pasang surut ibadah menunjukkan ketidak hakikian ibadah tersebut. Lebih dari itu ibadah yang hakiki tiada berahiran seperti halnya al Haq yang tidak berahiran, pun nama-nama dan sifat-sifat Nya yang tak terbatas demikian pula dengan hak penyembahan-Nya juga tak terbatas, terkait dengan kondisi ritual ini, rasul Muhammad saw menandaskan :

kami tidak bisa memakrifahi Diri Mu dengan makrifah hakiki, dan tidak bisa menyembah Mu dengan sesembahan hakiki, sebagaimana Engkau haturkan puji sanjung Mu atas Diri Mu.

Seorang arif billah menandaskan bahwa mengakui kelemahan daya persepsi (al Idraak) sejatinya adalah Idraak (persepsi). Sebagian para alim ada yang berpendapat : ke-Aku-an al Haq itu sejatinya adalah rasionalitas wujud seorang hamba, karena ia merupakan isyarat penyaksian dalam kontek kekinian dan yang akan datang, setiap penyaksian Hawiyah (ke-Dia-an)-Nya adalah gaib-Nya, mereka meletakkan ke-Dia-an Dia pada dimensi kegaiban, serta menyebutnya sebagai inti (dzat) al Haq. Sedang ke-Aku-an Dia diletakkan pada alam realitas (penyaksian), yang tidak lain adalah rasionalitas wujud para hamba­Nya. Perhatikan dengan seksama masalah ini.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Wahai Citra Hakiki, yang merisaukan para pemikir

Wahai Citra Kebaikan, yang menakjubkan para cendekia

Wahai Muara Tujuan, yang ditempuh para pesuluk PetunjukMu sangat Nyata.

Rambu kesesatan telah Kau wartakan

Bagimu segala puji, dengan puji sanjung tak tebilang

Kaulah zat Yang Maha Terpuji, tanpa ada penyekutuan

pujiMu-PujiMu tidak dipersekutukan dengan puji mahlukMu

Kesucian pujiMu, terquduskan dari segala sesuatu selain DiriMu

Puji sanjung kami sangatlah terbatas dan teramat nihil

Sedangkan pujiMu meliputi sesuatu yang tak terbatas

dan terbilang Inilah pengakuan kami, akan kedzaifan kami dihadapanMu

Kelemahan dalam meraih DiriMu sejatinya adalah raihan itu sendiri.

Sudah Edit 28. Azali (Tidak Berawal)

Azali (tidak berawal) ibarat, rasionalitas wujud dalam bingkai hukum (pendahuluan) atau (ke-tidak berawal-an), yang pemberlakuannya dikaitkan kepada al Haq sejalan dengan kehendak-Nya dalam nuansa kesempurnaan-Nya, bukan dalam dimana Dia lebih dahulu ada-Nya dibandingkan segala Muhditsaat (kebaruan), dengan rentang zaman (waktu) yang sangat panjang. Azali jamak diidentikkan dengan rentang waktu yang memisah jarak zaman, sebuah lorong waktu yang menjadikan al Haq jauh lebih dahulu ada-Nya dibandingkan segala Maujudaat, inilah pengertian populer tentang azali yang menghiasi langit pemikiran orang kebanyakan, sebuah pengertian yang jauh dari kisi-kisi makrifatullah. Pemahaman seperti jelas lahir dari produk pemikiran yang tidak memahami hakekat Allah Jallah Jalaalah, Maha Suci Allah dari segala penyempitan makna kesempurnaan-Nya. Kami telah memaparkan ketidak validan pemahaman seperti itu dalam karya-karya kami terdahulu. Dalam pandangan kami, azali­Nya yang maujud (ada) sekarang, adalah sama seperti adanya sebelum keberadaan wujud kita, azali-Nya tidak berubah sedikitpun, dan masih tetap azali dalam keabadian, kita akan mengkaji masalah abadi pada pasal yang akan datang, demikianlah hukum azali yang berlaku pada hak Allah.

Adapun wujud Muhditsaat (kebaruan), juga memiliki sifat azali, ia ibarat lorong waktu yang wujud keharuannya belum terwujud, setiap sesuatu yang baru (adanya karena diadakan) memiliki azali yang berubah-ubah karena adanya azali wujud-wujud kebaruan-kebaruan yang lain. Azali benih tetumbuhan tidak sama dengan azali tumbuh-tumbuhan, karena wujud benih ada sebelum wujud tumbuh-tumbuhan, lebih dari itu tumbuh-tumbuhan itu tidak akan berwujud jika tidak ada wujud benih, maka azali tumbuh-tumbuhan terkait erat dengan kondisi 'keber-ada-an' benih, bukan terkait dengan didahului atau sebelum benih. Azali benih terkait dengan keberadaan Jauhar (entitas), azali Jauhar terkait dengan keberadaan wujud Huyuli (benda pertama), azali benda pertama terkait dengan keberadaan wujud kabut, azali kabut terkait dengan keberadaan wujud tabiat, azali tabiat terkait dengan keberadan wujud Anasir (unsur-unsur), azali anasir terkait dengan keberadaaan wujud benda-benda ketinggian, semisal pena tertinggi, akal, dan malaikat yang bernama ruh, dan lain sebagainya. Sedang segenap alam dan isinya alam azali-nya adalah kalimat Hadhrah (presensi), itulah sejatinya ungkapan al Haq kepada sesuatu, Jadilah Maka Jadilah. Q.s. Yaasin 36 : 82. Adapun azali mutlak tidak ada yang memilikinya kecuali Allah untuk Diri Nya. Tidak ada satupun dari segenap makhluk (ciptaan)-Nya ada di dalamnya, baik hukum atau inti (dzat) serta I'tibar, karenanya seorang penyair perna berkata : kami dalam azali, ada pada Allah, ketahuilah sesungguhnya Dia adalah azali seganap makhluk-Nya, jika tidak maka mustahil mereka berada didalam azali al Haq, sedang azali al Haq adalah azali segala Azaliyaat berlandaskan hukum inti (dzat) yang menjadi hak-Nya, karena azali merupakan wajah dari kesempurnaan al Haq.

Ketahuilah, bahwa azali tidak disifati dengan wujud juga tidak disifati dengan 'adam (ketiadaan), ia tidak disifati dengan wujud karena merupakan masalah yang berdimensikan hukum, bukan masalah yang berdimensi dzat atau dimensi wujud (realitas maupun rasionalitas wujud), ia tidak disifati dengan 'adam (ketiadaan), karena ia merupakan 'dahulu' atau 'sebelum' serta 'tidak berawal', nisbat dan hukum serta ketiadaan murni. Ia tidak menerima nisbat dan hukum, karenanya hukumnya terangkat, dengan demikian azali al Haq adalah keabadian-Nya dan keabadian-Nya adalah keazalian-Nya. Ketahuilah bahwa azali al Haq yang untuk diri-Nya, tidak ada serta tidak berlaku bagi segenap makhluk-Nya, baik yang berdimensi hukum maupun inti (dzat), karena ia merupakan hukum Qabliyah (tidak berawal) untuk Allah semata. Hukum Qabliyah-Nya tidak berlaku bagi segenap makhluk dengan sisi dan wajah apapun.

Dengan demikian tidak berlaku klaim bahwa dalam Qabliyah al Haq ada wujud berdasarkan ketentuan ilmu, dan bukan berdasarkan ketentuan wujud, sebab jika dihukumi dengan wujud ilmu, melahirkan kelaziman (kemestian) adanya makhluk (ciptaan) dengan wujud al Haq. Terkait dengan ini al Haq telah memperingatkan dalam firman-Nya :

Bukankah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. (Q.s. al Insaan 76 : 01).

Para alim (ulama) sepakat bahwa kata Bukankah dalam ayat itu bermaknah Telah, yakni telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ad Dahr (masa) disini sejatinya adalah al Haq, adapun satu waktu maksudnya adalah segenap manifestasi-Nya, belum merupakan sesuatu yakni manusia belum berupa sesuatu, yang disebut yakni manusia belum berwujud pada manifestasi-Nya, baik dari sisi ketetapan sesuatu, bukan pula dari sisi keilmuan, karena manusia pada waktu itu belum merupakan sesuatu yang al Madzkurah (yang disebut) dan manusia pada waktu itu juga belum diketahui.

Tajalli ini merupakan dimensi azali al Haq untuk diri Nya, ada warta ketuhanan yang menjelaskan bahwasanya al Haq berfirman kepada ruh-ruh di masa azaliyah, seperti yang ditegaskan firman Qur'ani :

Bukankah Aku ini Tuhan kalian? Mereka menjawab : Betul. Engkau tuhan kami. (Q.s. al A'raaf 7 : 172).

 Azali dalam kontek ini adalah azali yang berdimensikan kemahlukan, ia merupakan azali para makhluk-Nya. dalam hadist ditandakan

mereka dikeluarkan bagaikan biji sawi dari punggung Adam as,

realita tersebut merupakan metafora atas ketentuan maklumat (pengetahuan) dalam dunia ilmu. Ta'bir mereka dimetaforkan dengan biji sawi karena kelembutan (kehalusan) dan kemisterian serta tanda daripada ungkapan-Nya kepada mereka

Bukankah Aku adalah Tuhan kalian?,

kenyataan ini juga merupakan pembekalan Ilahiyah (ketuhanan) pada diri mereka. Adapun ungkapan mereka Betul, Engkau adalah Tuhan kami merupakan metafor (isyarat) penerimaan mereka, sebelum mereka dijadikan media penampakkan-Nya. al Haq tidak mempertanyakan eksistensi ketuhanan-Nya kepada mereka, melainkan setelah mempersiapkan (membekali) diri mereka serta menjadikan fitrah penciptaan mereka siap menerima nilai-nilai ketuhanan diri Nya, dan merekapun memakzulkan eksistensi Rububiyah (ketuhanan-Nya, dus mereka sama sekali tidak mengingkari-Nya. Wujud penerimaan mereka adalah maklumat ungkapan mereka Betul, Engkau adalah Tuhan kami.

Al Haq merekam kesaksian mereka dalam kitab-Nya, sebagai bukti kesaksian pada hari kiamat, bahwa mereka adalah insan-insan beriman (mu'minun) dengan Rububiyah-Nya dan men-Tauhid-kan Diri Nya. semantis logikanya kita (insan beriman) akan dijadikan oleh-Nya saksi atas segenap manusia di hari agung tersebut, pada hari kiamat itu tidak diterima kesaksian para malaikat atas kekafiran dan pembangkangan mereka, kitalah yang menjadi saksi pada hari agung itu, kesaksian para malaikat tidak berbingkai hakekat, kesaksian kita berbingkai hakekat, karena al Haq telah mempersiapkan dan membekali hal tersebut pada diri kita. Maka argumen kita sangatlah jelas dan lugas, karena ia merupakan argumen al Haq untuk para makhluk-Nya, adapun wujud hakiki argumen kita itu adalah kebahagiaan hakiki, sedang argumen para malaikat subjektif, karena mereka melandasi argumen dengan realita lahiriyah, dan tidak ada bagi para malaikat itu melainkan sesuatu yang dhahir (yang tampak). Tidakkah anda menelisik vonis para malaikat yang menghukumi Adam as sebagai pembuat onar dan kerusakan dimuka bumi ini, pada saat yang sama mereka mengklaim diri mereka sebagai Mushlihun (pelaku perbaikan), dengan rasa percaya diri dan agunan tasbih serta sanjung puji yang telah mereka tradisikan. Mereka lengah atau bahkan pongah akan eksistensi permasalahan batiniyah yang ada pada diri Adam as, yang berupa hakekat ar Rahmaniyah dan sifat-sifat Rabbaniyah. Manakala sifat-sifat itu termanifestasikan pada diri Adam as, dan Adam as mampu memberitahu kesejatian nama-nama mereka dan mereka memahami apa yang diwartakan Adam as, karena sifat-sifat keilmuan al Haq juga meliputi diri mereka dan makhluk-makhluk selain malaikat,

Mereka berkata : Maha Suci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. (Q.s. al Baqarah 2 : 32).

Jelas sekali ada batasan ilmu pada diri para malaikat, yakni ilmu mereka hanya terbatas pada wacana Dzahiriyah, berbeda dengan Adam as, ia mengetahui segala sesuatu secara mutlak berdasarkan ilmu Ilahiyah (ketuhanan), karena ia (Adam as) sejatinya yang dimaksudkan dengan ilmu ketuhanan. Sifat-sifat al Haq adalah sifat-sifatnya, dan inti (dzat) al Haq, adalah inti (dzat)-nya. Pahami betul semoga Allah membimbingmu ke pemahaman hakiki.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 29. Abadi (Selama-lamanya)

Abadi (kekal selama-lamanya) ibarat, rasionalitas wujud hukum kesudahan atau akhiran yang pemberlakuannya dikaitkan kepada al Haq, sejalan dengan kehendak-Nya dan eksistensi wujud-Nya secara dzat (inti)-Nya serta wujud yang mesti ada dengan sendirinya (Wajib al Wujud). Sebab al Haq wujud dengan sendiri-Nya dan untuk Diri Nya, tegak dengan inti (dzat)-Nya, karenanya Dia pantas disifati baqa' (kekal). Dia tidak didahului oleh al 'adam (ketiadaan), berlaku bagi-Nya hukum baqa' (kekekalan) sebelum dan sesudah al Mumkinaat (kemungkinan). Dia tegak dengan inti (dzat)-Nya, dan ketiadaan rasa butuh-Nya kepada segala sesuatu selain diri Nya. Berbeda dengan Mumkinaat, ia (kemungkinan) meski tidak berujung, namun ia tetap berada dalam koridor hukum keterputusan atau keterpisahan, karena ia didahului oleh al 'Adam (ketiadaan), setiap yang didahului ketiadaan maka akan kembali kepada ketiadaan. Keterkaitan al Haq dengan hukum ke-tidak ada-an bukanlah sebuah keharusan bagi-Nya, sebab jika ada keharusan maka ada keharusan pula bagi al Haq dalam baqa' (kekekalan)-Nya jelas hal itu mustahil bagi Allah, atau jika realita tersebut dibenarkan, maka tidak berlaku hukum kesudahan atau akhiran yang pemberlakuannya dikaitkan kepada al Haq, sejalan dengan kehendak-Nya dan eksistensi wujud-Nya secara dzat (mti)-Nya serta wujud yang mesti ada dengan sendirinya (Wajib al Wujud).

Ketahuilah, Qabliyah (tidak berawal) dan Ba'diyah (kesudahan) bagi al Haq, merupakan dua hukum yang menjadi hak-Nya, Qabliyah dan Ba'diyah al Haq tidak terkait dengan dimensi zaman (masa), spasial (konsep ruang dan waktu) sebab adalah mustahil adanya laju zaman dan syakilah ruang pada diri al Haq. Pahami betul metafora yang kami isyaratkan dalam masalah ini. Maka abadi al Haq merupakan kondisi inti (dzat)-Nya, dengan I'tibar kontiunitas (kelanggengan) wujud-Nya selama-lamanya paska keterputusan wujud segala Mumkinaat (segenap kemungkinan).

Ketahuilah bahwa setiap kemungkinan (Mumkinaat) itu memiliki keabadian, abadi dunia beralih kepada abadi akhirat, abadi akhirat beralih kepada abadi al Haq, maka ada kemestian hukum keterputusan (peralihan) pada keabadian penghuni surga dan keabadian penghuni neraka, sejalan dengan pemberlakuaan hukum kebaqa'an dalam surga dan neraka bagi para penghuninya. Keabadian al Haq tidak dihukumi dengan keterputusan atau peralihan seperti yang berlaku pada keabadian makhluk (ciptaan)-Nya. Tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang berjalan pada hukum ke-kekal-an Diri Nya, itulah rasionalitas wujud hukum keabadian al Haq vis avis keabadian makhluk. Orang seorang tidak akan menemukan nilai-nilai hakiki keabadian itu, jika belum Mukasyafah, sebab hanya dengan Kasyf (pengetahuan intuitif) sajalah hakekat keabadian itu bisa disibak,

Kebenaran itu datangnya dari al Haq, barang siapa yang mau mempercayai, silakan mengimani, barang siapa yang ingin kafir (ingkar), biarlah ia kafir. Q.s. al Kahfi 18 : 29.

Ketahuilah bahwa Haal (kondisi) daripada ihwal-ihwal akhirat itu sejatinya adalah satu, baik ihwal insan-insan yang beroleh rahmat, maupun ihwal manusia-manusia yang ditimpa siksa, yang sedemikian itu sejalan dengan hukum azali dan abadi al Haq. Ini merupakan rahasia agung yang bisa dipahami melalui Dzauq (intuisi), serta Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan). Orang seorang yang telah sampai kepada capaian spiritual ini akan bisa memakrifahi (memahami) bahwasanya hukum azali dan abadi al Haq dengan Diri Nya, tidak akan pernah terputus (berubah) selama-lamanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ihwal (keadaan) alam akhirat dan keadaan penghuni kampung akhirat adalah satu, akan tetapi ada roda pergantian dari satu Haal (kondisi) ke Haal yang lain, peredaran perubahan tersebut manakala berujung kepada al Haq, maka hukum perubahan Haal itu berganti dengan Haal Allah. Pada fase ini hukum Haal itu tidak berubah (berganti), dan hukum akhirat tak tergantikan, tidak ada perubahan dalam ihwal penghuninya, karena ihwal (keadaan) mereka adalah satu. Ini merupakan wilayah Syuhudiyah (penyaksian) al Haq, tidak ada seorang hamba-pun yang mampu menggapainya. Kita akan kaji lebih detil masalah ini pada pasal surga dan neraka di lembaran berikutnya. Kongklusinya adalah, abadi al Haq adalah keabadian yang abadi, seperti halnya azali al Haq adalah keazalian yang azali.

Ketahuilah, bahwa abadi al Haq adalah inti azali-Nya, dan azali-Nya adalah inti abadi-Nya, ini merupakan ibarat keterputusan (peralihan) dua sisi atribut atas diri-Nya, untuk kekhuhusan Baqa' (kekekalan) diriNya dengan inti (dzat)-Nya. Adapun keberadaan qabliyah-Nya dan atribut awaliyah-Nya yang dinisbatkan atas diri-Nya dinamakan rasionalitas wujud azali, berikut wujud-Nya sebelum rasionalitas azali juga adalah azali, keterputusan dan atribut ke-ahir-an yang dinisbatkan atas diriNya dinamakan rasionalitas wujud abadiNya, serta kekal­Nya paska rasionalitas abadi adalah abadi, inilah sejatinya yang kami sebut dengan azali dan abadi untuk al Haq. Sedang dua sifat yang tertampakkan merupakan atribut zaman untuk rasionalitas wujud yang mesti ada dengan sendiri-Nya (Wajib al Wujud-Nya), jika tidak demikian maka tidak ada azali tidak pula ada abadi. Adalah Allah tidak ada sesuatupun bersama-Nya tidak ada zaman (waktu) bagi-Nya, tidak berlaku bagi-Nya hukum spasial (konsep ruang dan waktu), selain azali tidak lain adalah abadi, ia juga merupakan hukum wujud-Nya. Dengan I'tibar ketiadaan zaman yang melaju pada diri Nya, serta keterputusan hukum zaman tanpa kisaran (putaran) waktu yang memanjang berjalan selaras dengan baqa' (kekekalan)-Nya, ke-Kekal-an al Haq lah yang memutus zaman, tanpa adanya kertakaitan kisaran Diri Nya dengan waktu (zaman), itulah sejatinya yang disebut dengan abadi. Pahami dengan seksama masalah ini.!

Sudah Edit 30. Al Qidam (Eternitas)

Al Qidam (eternitas), ibarat hukum kemestian yang berdimensikan inti (dzat), kemestian inti (dzat) itulah yang menampakkan isim (al Qodiim) untuk al Haq, sebab sesuatu yang wujudnya mesti ada dengan inti (dzat)-Nya, tidak akan didahului oleh ketiadaan, dan sesuatu yang tidak didahului oleh ketiadaan maka lazim dihukumi Qodiim (Sedia, adanya tidak didahului oleh sesuatu) jika tidak demikian, maka Qidam (eternitas) akan diliputi zaman (masa) serta diliputi hukum spasial (konsep ruang), berikut beredar pada kisaran waktu, Maha Suci Allah dari batasan zaman (masa) dan waktu, Dia tidak terikat dengan waktu dan ruang. Qidam-Nya merupakan hukum kelaziman wujud-Nya yang mesti dengan inti (dzat)-Nya, jika tidak demikian maka antara al Haq dengan makhluk-Nya ada zaman pun ada waktu yang terkumpulkan, bahkan hukum wujud-Nya mendahului hukum wujud segenap makhluk-Nya, itulah sejatinya yang dinamakan al Qidam, padahal keberadaan makhluk membutuhkan wujud yang diadakan oleh-Nya. Wujud yang ada menjadi Maujud (ada) karena diadakan oleh al Haq karenanya dinamakan Huduts (kebaruan, adanya karena diadakan). Ketahuilah ada pemaknaan kedua bagi Huduts ini, yaitu ; Penampakkan wujud-Nya yang sebelumnya merupakan sesuatu yang belum dan tidak diketahui, maka esensi kebaruan (huduts) itu sejatinya merupakan dimensi kelaziman hak makhluk-Nya, yaitu al Ifqtiqar (rasa butuh) mereka kepada Maha

Wujud yang menjadikan mereka Maujud (ada). Berdasarkan kenyataan itulah lahir kelaziman isim Huduts (kebaruan) atas segenap makhluk, meski maujud (ada) dalam ilmu al Haq, ia tetap Muhdits (sesuatu yang dijadikan) dan bersifat Huduts (baru), karena rasa butuh sesuatu yang baru kepada Maha Wujud yang me-maujud-kan adalah sebuah kenyataan yang tak tenafikan, dan realita yang tak terbantahkan.

Tidak dibenarkan bagi segenap makhluk-Nya melabeli diri dengan nama-Nya (al Qodiim), meski keberadaannya telah maujud dalam ilmu ketuhananNya sebelum penampakkannya (ke alam realitas ini), karena keberadaan makhluk berjalan pada hukum ketergantungan dan rasa butuh kepada Dzat yang mengadakan, lebih dari itu ia merupakan wujud makhluk yang maujud dengan yang lain, hidupnya bergantung kepada al Haq, dan wujud butuh dengan wujud-Nya, inilah sejatinya makna al Huduts. Dengan, I'tibar seperti ini, al A'yaan as Tsabitah (zat tetap) yang maujud dalam ilmu ketuhanan wujudnya adalah Muhditsah (bersifat baru) dan tidak bersifat Qidam, masalah ini jamak dinafikan kebanyakan para alim, mayoritas dari mereka memaklumatkan (menghukumi) bahwa al A'yaan as Tsabitah (dzat tetap) adalah qidam, fikrah seperti itu juga merupakan wajah lain dengan I'tibar lain pula. Kini perlu kami jelaskan kepada anda (wahai para pembaca), bahwasanya jika ilmu ketuhanan bersifat qodim, yakni dihukumi dengan qidam, hal itu merupakan kewajiban yang berdimensikan inti (dzat), karena sifatnya terkait dengan inti (dzat)-nya dalam setiap wacana yang sejalan dengan nuansa hukum-hukum Ilahiyah (ketuhanan). Sebab ilmu tidak bisa disebut ilmu melainkan dengan adanya maklumat (pengetahuan)-nya, jika tidak demikian maka mustahil adanya wujud ilmu atau maklumat, seperti halnya kemustahilan wujud keduanya dengan 'adam (tidak adanya) si Aalim (manusia yang mengetahui).

Maklumat (pengetahuan) adalah wajah al A'yaan as Tsaabitah (zat tetap), dan merupakan sublimasi hukum Qidam dengan ilmu, maka maklumat al Haq adalah Qodim, yang memiliki Muhditsah (sesuatu yang baru) untuk diri Nya dalam inti (dzat)-Nya, maka sublimasi keterkaitan makhluk dengan al Haq adalah keterikatan berlandaskan hukum, karena kembalinya wujud makhluk kepada al Haq berdasarkan inti perintah serta berlandaskan hukum inti (dzat). Tidak akan ada yang bisa memahami apa yang kami katakan ini, melainkan insan-insan yang telah menggampai maqom al Kaamil (kesempurnaan), sebab masalah ini adalah masalah Dzauq al Ilahiyah (intuisi ketuhanan), yang dikhususkan bagi para ahli hakekat serta insan-insan yang telah makrifatullah. Manakala al Qidam ini berdimensikan hak kemakhlukan, ia merupakan sesuatu yang berdimensi hukum, sedangkan al Huduts (kebaruan) merupakan sesuatu yang berdimensikan zat. Nisbat segala makhluk-Nya yang diruntutkan kepada al Haq adalah berdimensikan hukum, yakni keterkaitan hukum ketuhanan dengan segenap makhluk-Nya. Pahami dengan jeli masalah ini. Maka Qidam al Haq merupakan masalah yang berdimensi hukum inti (dzat) dan kemestian wujud-Nya, sedang Huduts makhluk-Nya merupakan masalah berdimensi hukum inti (dzat) dan kelaziman wujud untuk segenap makhluk-Nya, maka segala makhluk-Nya dari sisi ke-Dia-an Dia tidak bisa disebut al Haq, kecuali dari sisi hukum untuk menunjukkan manifestasi-Nya pada segala wujud, sebab diri dan inti (dzat)-Nya tersucikan dari ketercampuran dengan inti (dzat) segala Maujudaat. Ketercampuran itu hanya berdasarkan hukum manifestasi, bukan berdasar inti (dzat)-Nya.

Realita ini tidak akan bisa dijangkau dengan penglihatan mata, karena ini merupakan wilayah Kasyf (intuisi), daya persepsi inderawi manusia pun rasionalitas wujud di alam realitas ini tidak akan mampu menyingkap tajalli inti (dzat)-Nya, kacuali mereka yang telah menggapai Kasyf Ilahiyah (intuisi ketuhanan). Dengan demikian masalah penyingkapan dan penyaksian ini adalah masalah qudrah (kekuasaan), yang lahir dari Kasyf (intuitif), bukan berdasarkan rasionalitas wujud ilmu (pengetahuan). Realita ini sejalan dengan ajaran kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, yang mewartakan ketunggalan al Haq dalam segala wujud, serta kesatuan­Nya dari yang banyak, tidak seperti yang diklaim mereka-mereka yang tidak mengerti kesejatian ilmu hakekat, yang mengatakan syariat adalah kulit dhahir (yang tampak). Mereka tidak mengetahui bahwa syariat merupakan isi dan kulit dari hakekat ketuhanan itu sendiri, beruntunglah mereka-mereka yang bisa memakrifahi inti ajaran syariat dengan pemahaman hakiki, berikut makrifahnya berbingkai ajaran syariat-Nya. Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang mendekatkan pemiliknya kepada al Haq, dan sebaik-sebaik ilmu hakekat adalah ilmu yang menuntun pemiliknya kepada titian hakiki dan amal (laku) hakiki dengan dan bersama serta kepada al Haq. Dengan demikian dapat dipahami bahwa Qidam merupakan masalah yang berdimensi hukum bagi dzat yang wajib al wujud, (wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Adapun titik perbedaan antara azali dan qidam, azali ibarat rasionalitas wujud Qabliyah (tidak berawal) bagi al Haq, sedangkan Qidam ibarat ketiadaan sesuatu yang mendahului al Haq sejak dan ketiadaan. Azali menunjukkan bahwa Dia maujud sebelum segala sesuatu, sedang mdam menunjukkan bahwasanya Dia tidak didahului oleh sesuatu, seperti halnya Dia tidak diawali oleh sesuatu. Dengan demikian jelas sekali batas pengertian antara makna azali dan qidam. Pahami dengan jeli masalah ini!

Syair-syair al-Jily

al Qadiim, adalah wujud yang wajib wujudNya

Setiap hamba wajib mempercayai wujud DiriNya.

Jangan kau batasi wujudNya dengan jarak waktu

Jangan kau takar wujudNya dengan logika pikirmu

Eternitas adalah ihwal DiriNya seperti sediakala.

WujudNya tetap dalam keazalian dan keabadianNya

WujudNya tidak lapuk oleh zaman, sirna oleh waktu

WujudNya tetap eksis, sebelum dan sesudah mahlukNya

Seperti zat DiriNya, wujudNya adalah Qadiim.

Eternitas, tidak lekang oleh waktu, tidak berubah zaman.

Sudah Edit 31. Hari-Hari Allah

Ay yaam al Haq (hari-hari al Haq) sejatinya adalah penampakkan daripada manifestasi-manisfestasi-Nya sejalan dengan kesempurnaan-kesempurnaan inti (dzat)-Nya. Setiap manifestasi dari tajalli-tajalli-Nya berjalan dengan hukum ketuhanan yang ditampilkan sesuai keadaan segala wujud, karenanya bekas-bekas (pengaruh-pengaruh) tajalli-Nya sangat jelas dan merupakan cerminan inti ketuhanan-Nya dalam wujud tersebut, maka ragam wujud, yakni perubahan wujud setiap waktu, itulah sejatinya yang disebut Atsaar (bekas-bekas) keadaan ketuhanan yang terlanskapkan dalam manifestasi, berdasarkan hukum wujud yaitu perubahan wujud, inilah hakekat makna daripada firman al Haq,

Setiap waktu Dia dalam kesibukan. Q.s. ar Rahman 55 : 29.

Yakni al Haq senantiasa dalam 'keadaan' menciptakan, menghidupkan, mematikan, melihat ihwal makhluk-Nya, memberi rizki, menguji dan lain-lainnya. Ketahuilah bahwasanya ayat ini memiliki sisi makna lain yang lebih spesifik yang berpulang kepada al Haq, seperti halnya manifestasi merupakan salah satu sisi maknanya yang lain, dengan demikian 'keadaan' sejatinya adalah 'kesibukan' al Haq dengan segala wacana dan dimensinya, bentuk nyatanya dalam segala wujud adalah bekas-bekasnya. Seperti halnya tajalli yang melahirkan citra-citra ketuhanan diri Nya, demikian pula Iradah (kehendak) al Haq adalah sejalan dengan inti (dzat)-Nya, meskipun demikan inti (dzat)-Nya, tidak berlaku bagiNya hukum perubahan, seperti yang jamak terjadi pada makhluk-Nya. Wajah tajalli-Nya dalam segala wujud dengan ragam manifestasi pada masing-masing wujud tersebut, bukanlah wajah perubahan Diri Nya, karena hukum (inti)-Nya tidak berlaku perubahan, sedang tajalli-Nya melahirkan ragam wajah ketuhanan-Nya. Wajah perubahan manifestasi itulah sejatinya I'tibar Ayyaam al Haq (hari-hari al Haq). Dia-lah perubah keadaan, bukan inti perubahan, Dia berubah dalam bentuk citra, bukan berubah dalam bentuk inti (dzat)-Nya, Dia berubah dalam bentuk wajah kesempurnaan-Nya, bukan inti Diri Nya, Dia adalah dzat Yang tetap, tidak ada perubahan dalam diri Nya, Maha Suci al Haq dari segala atribut dan klaim perubahan. Inilah sejatinya makna hakiki daripada firman-Nya : Setiap waktu Dia dalam kesibukan.

Ketahuilah, manakala al Haq bertajalli pada makhluk-Nya, manifestasi itu dinamakan 'nisbat kesibukan ketuhanan', dan merupakan cerminan 'laku' al Haq, sedang nisbatnya kepada makhluk dinamakan Haal (keadaan). Manifestasi al Haq pada segala wujud, tidak akan keluar dari koridor kekuasaan (dominasi) nama-nama-Nya dan sifat-sifatNya, dominasi itulah yang melahirkan nama tajalli, jika tidak ada dominasi tajalli, maka tidak ada isim (nama) bagi tajalli tersebut, sebab kekuasaan (dominasi) yang terlanskapkan pada sesuatu yang dijadikan tempat tajalli, merupakan inti (dzat) isim (nama) tajalli al Haq atas sesuatu yang tertajallikan tersebut. Inilah yang dimaksudkan rasul Muhammad saw dalam sabdanya :

Sesungguhnya Dia pada hari kiamat akan dihaturkan puji sanjung kepada-Nya dengan sanjung puji yang tidak pernah dihaturkan sebelumnya,

juga sabdanya

Wahai Allahku, sesungguhnya aku memohon kepada Mu, dengan segala isim (nama) yang telah Engkau pakai menamai Diri Mu, atau nama yang Engkau simpan rahasiapengetahuan-nya dalam kegaiban Mu.

Nama-nama yang dipakai untuk menamai Diri Nya, adalah nama-nama yang dimakrifahkan (dipahamkan) kepada para hamba-Nya, yang rahasia-Nya tersimpan rapi dalam kegaiban-Nya, rahasia nama-Nya yang gaib itu sejatinya adalah nama-nama-Nya yang tertampakkan dalam nuansa (ahwaal) manifestasi-Nya dalam segenap wujud ciptaa-Nya, tajalli itulah hakekat rahasia-rahasia yang berserak dalam khazanah kegaiban-Nya. Perhatikan dengan seksama masalah ini.!

Adapun makna sabda beliau

Aku berdoa kepada Mu dan memohon kepada Mu,

sejatinya adalah melaksanakan kelaziman-kelaziman yang patut dikerjakan, sejalan dengan wacana manifestasi yang ada.

Pekerjaan ini hanya bisa ditunaikan mereka-mereka yang telah menggapai Kasyf Ilahiyah (intuisi ketuhanan), atau insan yang memiliki Dzauq al Wujdaan (intuisi), sebab takaran logika tidak akan mampu menjangkau hakekat manifestasi tersebut meski wujud tajalli adalah kasat mata, namun untuk memaknainya harus melalui pintu intuisi, bukan pintu logika. Perhatikan dengan jeli masalah mi. Demikian pula untuk menyibak makna hakiki manifestasi-Nya hanya bisa dilakukan melalui jalan keimanan yakni keimanan hakiki, sebab keimanan hakiki akan melepaskan seorang hamba dan pasung-pasung logika dan keliaran nalar pikirnya keimanan hakiki akan mendudukkan porsi akal pada tempatnya' Dalam lanskap keimanan fungsi akal bersifat skunder bukan bersifat primer, dengan keimanan hakiki dan pemfungsian akal pada porsinya itulah seorang hamba akan memakrifahi bahwasanya al Yaum (hari) sejatinya adalah manifestasi ketuhanan, sebab adalah mustahil bagi al Haq laju hari (zaman) ada pada diri Nya karena hari (zaman) adalah makhluk, sebuah kemustahilan yang nyata jika inti (dzat)-Nya, bertempat atau menyatu serta menyerupai makhluk-Nya. Terkait dengan ini al Haq mengisyaratkan,

Orang-orang yang tiada mengharap akan hari-hari Allah. Q.s. al Jaatsiyah 45 : 14.

Yakni manusia-manusia yang tidak berharap manifestasi al Haq pada diri Mereka, karena mereka mengingkari wujud-Nya dan tidak mempercayai tajalli-Nya. Orang seorang yang mengingkari sesuatu, ia akan menafikan keberadaan sesuatu tersebut bahkan mengklaim ketiadaan sesuatu itu, ia tidak akan berharap manifestasi a Haqpada dirinya, manusia-manusia jenis inilah yang diisyaratkan al Haq pada firman-Nya yang lain :

Orang-orang yang tidak mengharapkan (tidakpercaya akan)pertemuan dengan Kami Qs Yunus 10 .7

Karena sejatinya makna Liqa' (pertemuan) itu adalah Qurb kedekatan) al Haq kepada hamba-Nya, serta manifestasi-Nya kepada para hamba-Nya baik dalam kehidupan dunia ini atau kehidupan di kampung akhirat. Esensinya seorang hamba yang tidak mampu menggapai Liqa' (pertemuan) dan Qurb (kedekatan) dengan al Haq dalam kehidupan dunia ini, ia tidak akan bisa meraih pertemuan (kedekatan) itu dalam kehidupan akhirat. Pahami dengan jeli masalah mi.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.

Sudah Edit 32. Bunyi Lonceng

Shalshalah al Jaros (bunyi lonceng) : Tersibaknya sifat al Qaadiriyah (kekuasaan) melalui manifestasi-Nya pada - segala wujud, dengan contoh (permisalan) daripada ke-Agung-an al Haq. Ia ibarat tampilan keperkasaan (kewibawaan) al Qaahiriyah (Yang kuasa memaksa), yang sedemikian itu seorang hamba ketuhanan, ketika mampu memakrifahi hakekat kekuasaan­Nya tanda-tanda kemakrifahannya, terindikasikan dengan Shalshalah al Jaros (bunyi lonceng), hamba itu mendapati adanya tangan-tangan kekuasaan yang menaklukkan dirinya, melalui kekuatan keagungan. Pada fase ini ia mendengar gemuruh jiwa yang lahir dari benturan hakekat-hakekat, satu sama lam saling bertabrakan, laksana dentingan bunyi lonceng diluar dirinya. Penyaksian (syuhud) -gemuruh jiwa laksana bunyi bel- mi, sering menghalangi hati untuk memasuki Khadrah (presensi) ke-Agung-an karena kediqdayaan penaklukannya terhadap al Waashil (insan yang sampai) kepadaNya. Ia merupakan hijab (tirai penghalang) terbesar yang menjadi tembok penghalang antara martabat ketuhanan dengan hati para hamba-Nya, tidak ada jalan untuk menyingkap martabat ketuhanan, melainkan paska penyimakan Shalshalah al Jaros (bunyi lonceng).

Dalam pengembaraan ritual, saya (al Jaliy) pernah diperjalankan al Haq ke cakrawala ketinggian, ketika saya berada di maqom ketinggian dan panorama pemandangan keagungan, tampak jelas dihadapan saya kedahsatan keperkasaan Nya, saat itu runtuhlah sendi-sendi kemanusian saya dihadapan keagungan, keperkasaan kedahsyatan-Nya. Saya tidak mendengar selain bunyi yang menerbangkan gunung karena keperkasaan-Nya, semua benda-benda berat jagad raya tunduk simpuh dihadapan kemuliaan-Nya aku tidak melihat melainkan awan-awan dari cahaya-cahaya yang mengobarkan percikan api, sedangkan saya pada saat menyaksikan itu, berada di dalam kegelapan samudera dzat, yang gelombang kegelapannya saling tumpuk menumpuk satu sama lain, tidak ada lagi langit-langit diatasnya tidak pula ada bumi dibawahnya. Pada waktu itu gunung-gunung yang menjadi paku bumi digerakkan, saat itu saya melihat:

Bumi itu datar, dan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka Dan mereka akan dibawah dihadapan Tuhanmu dengan berbaris. Q.s. al Kahfi 18 : 47 -48.

 Realita itu terus berlangsung dari sejak zaman azali hingga era keabadian. Saya bertanya lantas bagaimana dengan keadaan langit? Dikatakan : Langit terbelah dan patuh kepada Tuhannya dan sudah semestinya langit itu patuh. Q.s. al Insyiqaaq 84 : 1 - 2. Saya tanyakan lagi lalu bagaimana dengan ihwal bumi? dikatakan :

Bumi diratakan, dan dilemparkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. Q.s. al Insyiqaaq 84 : 3 - 4.

Saya tanyakan lagi bagaimana dengan keadaan matahari? Dikatakan :

Matahari digulung. Bintang-bintang berjatuhan.

Saya berujar kembali lantas keadaan benda-benda yang lain seperti apa? Dikatakan

Gunung-gunung dihancurkan. Unta-unta yang bunting ditinggalkan. Bintang-bintang liar dikumpulkan. Lautan dijadikan meluap. Ruh-ruh dipertemukan. Bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh? Catatan-catatan amal perbuatan dibuka. Langit dilenyapkan. Neraka Jahim dinyalakan. Surga didekatkan. Q.s. at Takwiir 81 : 1 - 13.

Saya bertanya lagi lalu bagaimana dengan keadaan diriku? Yang Maha Perkasa berkata :

Tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. Q.s. at Takwiir 81 : 14.

Itulah sejatinya Qiyamah as Shughrah (kiamat kecil) yang dinisbatkan al Haq kepada diri saya sebagai gambaran (permisalan) Qiyamah al Kubrah (kiamat besar)' agar saya bisa mengakis pemahaman hakiki dari keterangan yang telah Dia wartakan kepada diri saya, supaya saya bisa memberi petunjuk dan nasehat konstruktif kepada mereka-mereka yang meniti jalan al Haq. Keterangan Yang Maha Perkasa itu juga merupakan jawaban atas mereka-mereka yang gundah menyikapi belitan hidupnya, kepada mereka yang bertanya saya tentang langkah konstruktif meniti jalan-Nya. Saya nasehatkan kepadanya • Waspadai diri dengan kewaspadaan yang tinggi, jangan melalaikan hakekat sifat-sifat dan inti (dzat)-Nya, serta maqom ketuhanan, sebab pada tempat-tempat tersebutlah ketersembunyian rahasia­Nya bisa sibak. Adapun tetang kesejatian manusia dan segenap wacana kehidupannya, solusi permasalahan mereka sudah termaktubkan dalam pesan Qur'ani, tidak ada satupun permasalahan mereka yang tidak tertulis jawaban-nya dalam Kitabullah. Semua permasalahan hidup dan kehidupan insan bermuara kepada sang Maha Perkasa dan Maha Mulia, dengan senyum kewibawaan dan kepemurahan serta kasih sayang, Sang Maha Perkasa mengiringi turun saya dari alam ketinggian sambil melantunkan firman-Nya : Sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan terbenam.

Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. Sesungguhnya al Qur’an itu benar-benar firman yang dibawah utusan yang mulia. Yang mempunyai kekuatan yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah yang mempunyai Arsy. Yang dita'ati disana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Q.s. at Takwiir 81 : 15 - 21.

Saya menerima firman-Nya itu dengan pemaknaan yang sangat dalam direlung kalbu, saya berusaha memaknai metafor-metafor yang berserak dibahk firman-firman tersebut.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.

Syair-syair al-Jily

Dalam Wishal Ada pengalaman ritual yang tidak mungkin aku tuturkan kepada kalian

Sebuah ketersambungan yang utuh, antara diriku dengan DiriNya,

tanpa tirai hijab Aku begitu dekat dengan ArsyNya

kedekatan yang tak berjarak dan tak bersentuhan

Wishal yang mewartakan keagungan kasih kesempurnaanNya dan Kasih RahmatNya

Wishal yang menyemai dzauq (rasa) gelombang tanpa angin, dan api tanpa panas.

Ketersambungan, yang menggerakkan hati tetap hidup dan mengurai hakekat segala wujud

Sudah Edit 33. Umm al Kitab (Induk Kitab)

Umm al Kitab : Adalah kesejatian suatu dzat, yang mengambarkan sebagian wajah-wajah-Nya melalui hakekat-hakekat yang belum ternamai, tersifati, wujud ketiadaan, tidak ada dimensi ketuhanan dan ctptaan. Kitab sejatinya adalah wujud mutlaq, yang tidak ada ketiadaan di dalamnya dan merupakan esensi haktki dan umm al kitab, karena wujud akan terurai melalui huruf-huruf yang lahir dan Umm al Kitab tersebut baik berupa huruf yang tereja (terbaca) maupun huruf yang tidak terbaca (misteri). Kesejatian Umm al Kitab tidak dimanai isim (nama wujud atau nama 'adam (ketiadaan), karena hal tersebut diluar tataran logika, menghukumi sesuatu yang irrasional adalah mustahil. Realita itu juga tidak terkait al Haq atau makhluk serta dzat, akan tetap, realita itu mengibaratkan hakekat sesuatu yang terlanskapkan dalam metafor wajah-wajah-Nya, dtsetiap dimensi kemahlukan dan segala yang wujud. Itulah wajah lam dari dimensi Uluhiyah (ketuhanan). Pahami betul masalah ini.

Wajah-wajah ketuhanan al Haq, itu sejatinya adalah tr.npat segala sesuatu serta sumber segala wujud, dan wujud wajah-wajah ketuhanan itu disertai aql (akal). Dengan demikian akal (logika) merupakan dan vital hakekat sesuatu untuk menghadirkan wujud-dalam lanskap wajah ketuhanan, seperti halnya, lebah yang dibutuhkan kehadirannya untuk memproduksi madu. Demikian halnya dengan alam realitas yang menghadirkan wujud (sesuatu) menghajatkan al Fi'el (aktualitas), bukan al Quwwah (potensialitas), agar dapat diketahui hakekat wujud (sesuatu) tersebut. Sedangkan untuk mengetahui wujud ketuhanan harus memakai semantis logika dan hukum akal, guna mengetahui wajah-wajah ketuhanan dalam alam realitas. Orang seorang harus memakai kekuatan akal (logika), dengan mengoptimalkan akal pikir, sedang untuk mengetahui hakekat wujud ketuhanan, orang seorang harus memakai kekuatan kalbu, dengan menajamkan mata hati. Dengan ketajaman mata hati itulah orang seorang bisa Kasyf (intuitif). Kekuatan akal sangatlah terbatas, ia hanya bisa menjangkau hal-hal yang bersifat kasat mata, sedang untuk menyingkap hal-hal yang bersifat hakiki, diperlukan penyaksian melalui Dzauq (intuisi), dengan pengetahuan intuisi (dzauq) itulah orang seorang bisa Wujdaan, dengan begitu akan ter-tajalli-kan sesuatu yang selama ini belum terlihat.

Dengan demkian anda bisa memakrifahi, bahwa Umm al Kitab sejatinya adalah wujud mutlak, yang memberikan pemahaman kepada anda, bahwasanya segala sesuatu yang tidak dihukumi dengan wujud, atau ketiadaan, hakekatnya adalah Umm al Kitab. Ia disebut hakekat segala sesuatu, karena seperti halnya kitab yang merupakan 'sumber' segala kesejatian. Kitab hanya memiliki satu wajah dari wajah-wajah hakekat sesuatu, karena wujud merupakan salah satu sisinya, sedang sisi lain disebut 'adam (ketiadaan). Karenanya kitab tidak memakai ibarat wujud atau ketiadaan, karena kedua sisi itu hanya melahirkan sifat yang kontradeksi (berlawanan). Kitab yang diturunkan al Haq, melalui lisan nabi-Nya, berisi kandungan hukum-hukum wujud mutlak, yang mencerminkan salah satu wajah dari hakekat-hakekat sesuatu. Memakrifahi (memahami) wujud mutlak itulah sejatinya Umm al Kitab. Al Haq mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya,

Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata. Q.s. Yaa Siin. 36 : 12

juga,

Dan tidak ada sesuatu yang basah atau kering, melainkan tertulis dalam kitab induk yang nyata. Q.s. al An'an. 6 : 59.

al Haq berfirman pula :

Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. Q.s. al Israa' 17 : 12.

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwasanya sejatinya Umm al Kitab adalah hakekat sesuatu, dan lahiriyah kitab sejatinya merupakan wujud mutlak.

Ketahuilah bahwasanya dalam kitab itu ada surat-surat dan ayat-ayat, kalimat-kalimat dan huruf-husuf. Surat ibarat bentuk dzat, yang sejatinya adalah tajalli kesempurnaan-Nya. Karenanya masing-masing surat memiliki keutamaan arti, yang me-wajah-kan kesempuraan Ilahiyah (ketuhanan). Ayat ibarat Haqaiq al Jam'i (hakekat plural), setiap ayat menunjukkan pluralitas ketuhanan yang memiliki makna khusus, dengan makna khusus itu dapat diketahui pluralitas ketuhanan dari ayat yang dibaca. Pluraritas ketuhanan itu mewajahkan nama-nama kesempurnaan dan keperkasaan al Haq, yang ter-tajalli-kan melalui nama-nama al Haq tersebut. Ayat disebut hakekat plural, karena mewajahkan satu ibarat dari kalimat-kalimat sesuatu, pluralitas sesuatu itu sejatinya adalah penyaksian aneka ragam segala sesuatu dengan inti (dzat) ke-Esa-an dan hakekat ketuhanan. Kalimat ibarat inti hakekat segala makhluk, yang terlanskapkan dalam alam realitas dan huruf, yang diberi titik, diibaratkan zat tetap (al A'yaan as Tsabitah) dalam dimensi ilmu ketuhanan, sedang yang tidak bertitik ada dua macam :

1. Huruf yang tidak bertitik yang tidak terkait dengan huruf, yaitu : Alif, Dai, Ra', Wau, Lam-alif mengisyaratkan elemen-elemen kesempurnaan, yang berjumlah lima, yaitu: Dzat, Hidup, Ilmu, Qudrah (Kodrat), Kehendak. Keempat hal terakhir (hidup, ilmu, kodrat, kehendak) tidak akan berwujud kecuali dengan Dzat.

2. Huruf yang tidak bertitik yang terkait dengan huruf dan al Haq, yang berjumlah sembilan, yang terlanskapkan dalam wujud Insan Kamil (manusia sempurna), karena bertemunya huruf-huruf tersebut, (lima) berdimensi ketuhanan (al Haq), (empat) berdimensi ciptaan (makhluk), empat huruf itu juga merupakan unsur-unsur dasar kemanusiaan yang dengan itu manusia terlahirkan.

Huruf-huruf manusia kamil tidak diberi titik, karena al Haq menciptakannya dalam bentuk diri-Nya. Namun demikian hakekat ketuhanan mutlak lebih utama, katimbang hakekat kemanusiaan terbatas (tidak mutlak), karena ketergantungan manusia kepada Dzat Yang Wajib Wujud (al Haq) atas keberadaan dan keadaan dirinya. Jika al Haq dzat yang di-ada-kan, niscaya wujud-Nya membutuhkan wujud yang lain, al Haq adalah Dzat yang Wajibul Wujud, (wujud yang mesti ada dengan sendirinya), karena-nya huruf manusia tergantung dengan huruf, dan huruf itu tergantung dengan al Haq. Kami telah membahas masalah ini dengan detil dalam karya kami al Kahfi wa al Roqiim, fi Syarhi Bismillahirrahim, jika anda ingin memperdalam masalah ini silakan baca kitab tersebut. Jikalau hukum al Haq, dzat yang Wajib al Wujud, maka Dia adalah dzat yang berdiri pribadi dengan dzat-Nya, tidak butuh wujud lain selain

Belumm Edit

Diri-Nya, segala yang wujud terkait dan bergantung kepada-Nya. Demikian, halnya dengan huruf-huruf yang ^ pemakaan tersebut (dalam kandungan kitab), huruf-huruf yang tidak bertitik terkait dengan huruf-huruf yang ain, sedang Dia (al Haq) tidak terkait dan bergantung kepada huruf-huruf, semisal Dai Ra Wau Lam. Alif, meski huruf-huruf lam terkait dengan kehma huruf Tsebut, namun Dia (al Haq) sama sekali tidak terkait. Tidak bisa dikatan bahwasanya Laam Alif itu dua huruf, sesungguhnya ada hadist rasul saw yang menandaskan bahwasanya Laam Alif itu satu huruf. Fahami betul masalah ini.!

Ketahuilah bahwasanya huruf-huruf itu bukanlah kalimat-kalimat, karena Ayan Tsabitah (dzat tetap), tidak itermasuk dalam kalimat KUN -jadilah, kecuali di-ada-kan dzat Wajib Wujud (al Haq) KUN bukan wilayah ilmu, dan tidak ada kaitannya dengan hukum produksi manusia, terlebih urusannya sama sekali tidak terkah d'engan dimensi kemahlukan, karena KUN -rm terkai dengan al Haq. Sebab penciptaan ada dalam wilayah KUN. Dzat Sap dalam lanskap keilmuan tidaklah dapat disebut dengan sesuatu yang baru, akan tetapi masih bisa dikaitkan dengan Huduts (sesuatu yang adanya karena diadakan), yang sedemikiaan itu jika dflanskapkan dalam hukum Qoodim-Sedia (adanya tidak dida^ oleh sesuatu) dan Huduts- Baru (ada permulaannya). Dzat tetap merupakan suplemen dunia keilmuan yang dengan itu ada sesuatu -disebut (Lu) dalam kehidupan dunia ini. Dengan demikian kini anda telah mengetahui, bahwasanya sejatinya kital, ada h wujud mutlak, yang mengumpulkan huruf-huruf, ayat-ayat, surat surat, yang mengisyaratkan hakekat masing-masing bahwa (Luh), ibarat media penentuan segala wujud berdasarkan tertib hukum, bukan berlandaskan tertib Ilahi (ketuhanan), yang tidak terbatas, karenanya tidak termaktub dalam Luh ihwal penghuni surga atau neraka, ahli tajalli dan yang senada akan tetap Lmua itu ada dalam kitab dan kitab berdimensikan Kulhy semesta) dan Aam (umum) sedang Luh Juz'iy (parsial) dan Khosh (khusus). Dan Mah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jily

Induk kitab adalah wajah Nyata zat DiriNya,

titik sentral sifat-sifat DiriNya dan poros asmaNya.

Ia adalah susunan huruf yang melahirkan maknah,

daun-daun yang menjadi tanda hidupnya pepohonan

Betapa banyak rangkaian huruf yang tak tereja?

Mengeja kehidupan tidak harus dengan susunan huruf

Ada metafora, dan pesan tersirat dalam hidup ini.

Ada makna lahir dan makna batin dalam induk kitab

Ada kematian, kehidupan, harta bergerak dan diam

Semua adalah kitab kehidupan bagi yang mau berpikir

Huruf yang tersusun menjadi kalimat bermaknah

Itulah sejatinya kalam Nyata segenap mahlukNya.

Induk Kitab adalah Kalam Yang Maha Qadiim

Terurai dalam dzauq (intuisi), terucap berupa huruf.

Sudah Edit 34 Al- Qur’an

etahuilah bahwasanya al Qur'an, itu ibarat dzat, yang terkumpul di dalamnya segala sifat al Haq, sifat-sifat itu tertajallikan dengan nama Ahadiyah (ke-Esa-an), yang diturunkan al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw, untuk dijadikan media penyaksian ke-Esan-an Nya dipenjuru semesta alam. Maknah penurunan ini memataforkan bahwasanya wajah hakekat ke-Esa-an yang tinggi, tampak dengan segala kesempurnaannya dalam jasad Muhammad saw, al Qur'an turun dengan wajah-wajah kesempurnaan-Nya langsung ke dada Muhammad saw, meski semua wajah hakekat ketuhanan telah ada dalam jasad beliau, namun prosesi tajallinya hanya berlangsung satu kali penurunan dalam dirinya, seperti halnya prosesi tajalli ke-Esa-an dan inti dzat-Nya. Karenanya rasulullah saw bersabda :

al Qur'an diturunkan kepadaku dengan satu penurunan,

hal itu mengisyaratkan penurunan hakiki al Qur'an dengan segala hakekat ke-Esa-an yang universal dalam jisim (tubuh) Muhammad saw secara langsung. Penurunan secara langsung dan utuh itu merupakan kemuliaan paripurna yang diapresiasikan al Haq kepada Muhammad saw, karena Dia tidak menyimpan (menahan) satupun dari kandungan al Qur'an, bahkan merupakan Faidz (penjelmaan) pemuliaan Ilahi (ketuhanan) yang berdimensikan dzat pada jisim (tubuh) Muhammad saw.

Al Qur'an al Hakiim (Dzat Yang Maha Bijaksana) sejatinya adalah Nuzul (turun)-nya hakekat-hakekat ketuhanan melalui titian spiritual (ritus pasulukan) seorang hamba, dalam meniti samudera hakekat. Warta-warta ketuhanan itu akan turun ke jisim (tubuh) seorang Saalik (peniti jalan Allah) secara perlahan-lahan sejalan dengan mtentitas si Saalik dalam meniti samudera hakekat, semakin intensif seorang Saalik melakukan suluknya semakin terbuka pintu-pintu hikmah ketuhanan dalam dirinya. Proses penurunan hikmah ketuhanan pada diri seorang hamba (selain nabi) melalui proses penurunan yang tidak serentak (sekali jalan), al Haq menurunkannya step bystep, karena adalah mustahil seorang hamba mampu menerima hakekat-hakekat ketuhanan di rubuhnya dengan sekali penurunan, fitrah ketuhanan-nya hanya mampu menerima hikmah-hikmah Ilahiyah secara perlahan-lahan, dan harus melakui capaian-capaian spiritual, dari proses ritual yang paling dasar hingga sampai ke puncak tertinggi maqom spiritual. Ketahuilah proses Kasyf itu berjalan sesuai tertib Ilahiyah (ketuhanan), yang sedemikian itu ditegaskan al Haq dalam firman-Nya.

Kami menurunkannya bagian demi bagian. Q.s. al Israa' 17 : 106.

Demikianlah proses penggapaian hikmah-hikmah ketuhanan itu, semakin intens seorang hamba mengoptimalkan ((laku ))-nya, semakin cepat pula pintu-pintu hikmah-Nya tersibak. Kalau demikian adanya lantas apa sejatinya yang dimaksud dengan sabda rasul saw :

al Qur'an diturunkan kepadaku dengan satu penurunan?

Hal itu jawabannya ada dua kemungkinan yaitu :

1. Berdimensikan hukum (konsesus) ketuhanan, karena beliau adalah Insan Kaamil (manusia sempurna), jika al Haq bertajalli kepadanya secara dzat. Maka realitas manusia sempurna itu sejatinya adalah kumpulan dzat yang tiada akan pernah sirna, yang melanskapi diri insan kamil tersebut secara utuh.

2. Berdimensikan peleburan dan tercerabutnya sifat-sifat kemanusiaan, berikut tenggelamnya kisi-kisi kemanusiaan serta terkikisnya bentuk-bentuk penciptaan ke dasar hakekat-hakekat ketuhanan, yang meninggalkan bekas (pengaruh) disetiap struktur rubuh manusia (sempurna).

Adapun yang dimaksud rasul saw dengan satu penurunan sejatinya adalah: hilangnya kekurangan dan sisi kelemahan ciptaan' dalam diri makhluk, sejalan dengan hadirnya hekakat ketuhanan dalam dinnya. Hal mi pararel dengan sabda rasulullah saw:

al Qur’an diturunkan ke langit dunia secara serentak. Kemudian al Haq menurunkannya kepadaku ayat per-ayat.

Penurunan al Qur'an ke langit dunia secara serentak, mengisyaratkan akan hakekat dzat-Nya, turunnya ayat secara perlahan-lahan mengisyaratkan penampakkan Atsaar (bekas-bekas) nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sejalan dengan pertumbuhan dan kemampuan seorang hamba dalam merengkuhi nilai-nilai hakiki dalam menyelami samudera hakekat.

Al Haq berfirman :

Dan sesungguhnyaa Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al Qur'an yang agung. Q.s. al Hijr 15 : 87.

al Qur’an yang dimaksud dalam ayat tersebut berdimensikan dzat dalam lanskap penurunan, bukan pada dimensi martabat (kedudukan). Bahkan merupakan kemutlakan ke-Tunggal-an dzat, yang merupakan Hawiyah (ke-Dia-an) dalam setiap sifat dan asma-Nya, yang terwajahkan dalam wajah kesempurnaan-Nya diberbagai wacana dan dimensi Maujudaat (segala wujud). Karenanya redaksi firman-Nya memakai bahasa (yang agung), karena ke-agung-an al Qur'an itu sendiri. Sedangkan maksud daripada tujuh ayat yang dibaca sejatinya adalah, kehadiran al Haq dalam jisim seorang hamba, melalui tujuh hakekat sifat-Nya. al Haq juga berfirman,

Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Qur'an. Q.s. ar-Rahman 55 : 1 – 2

 mengisyaratkan bahwasanya seorang hamba yang apabila ar-Rahman bertajalli dalam dirinya, ia akan merasakan kenikmatan rahmat-Nya. Karunia itu tidak saja melahirkan kenikmatan kasih kepemurahan, namun dapat melahirkan makrifat Dzat-Nya, yang dengan itu si-hamba bisa memahami hakekat sifat-sifat-Nya. Ketahuilah tidak ada pengajar al Qur'an selain Tuhan Yang Maha Pemurah. Insan yang belajar al Qur'an bukan kepada ar Rahman, ia tiada akan pernah, Wishal (sampai) ke kesejatian dzat-Nya, demikian pula ar Rahman tiada akan pernah bertajalli dalam dirinya, karena ar Rahman sejatinya adalah organisasi sifat-sifat dan asma-asma Nya. Dan al Haq tidak bisa dikatahui kesejatian-Nya, kecuali dengan memakrifahi sifat-sifat dan asma-asma-Nya. Pahami betul masalah ini.! Karena masalah ini tidak akan bisa difahami kecuali orang-orang yang Gharib (asing), yaitu orang-orang yang membagi jarak hatinya dengan kemarakan duniawi, dan menjernihkan syakilah hatinya dan sauh-sauh keduniaan, serta hanya fokus kepada al Haq semata. Mereka-mereka itulah yang menjadi fokus perhatian dan sentra penglihatan al Haq dari segenap para hamba-Nya.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.

Syair-syair al-Jilly

al Qur'an adalah realita zat murni

Ujarannya adalah kebenaran absolut

Ayatnya adalah tajalli BicaraNya dari dimensi keDiaanNya

yang misteri al Qur'an adalah penyambung lidah untuk mohon kepada Sang Maha Kasih

Bahasa untuk beraudiensi denganNya

Warta Ketuhanan yang padat maknah

Membacanya menjadi pelipur lara membuahkan pahala dan dicintaiNya

al Qur'an adalah kenikmatan zatiyah namun dalam rasa intuisi, bukan inderawi

Pemahaman berbasis kenikmatan intuitif

Itulah Qur'an hakiki dan Esensi KalamNya.

Sudah Edit 35. Al Furqan

Al Furqon sejatinya adalah hakekat nama-nama dan sifat-sifat al Haq, dengan aneka ragamnya berikut wacana . kelebihan dan keutamaan masing-masing sifat dan asma­Nya. al Furqon itu tertampakkan dari diri al Haq, melalui nama-nama-Nya yang Husnah (bagus) (Asma' al Husnah), dan sifat-sifat paripurna-Nya. Nama ar Rahim (Yang Maha Penyayang) berbeda dengan nama asy Syadiid (Yang Maha Keras), nama-Nya al Mun'im (Pemberi Nikmat) berbeda dengan nama al Muntaqim (Yang menuntut bela), sifat-Nya ridha (rela) berbeda dengan sifat-Nya al Ghadlab (marah), rasul mengisyaratkan hal tersebut dalam hadits Oudsi, bahwasanya al Haq berfirman :

Rahmat Ku, mendahului kemarahan Ku,

karena kasih rahmat-Nya mengalahkan kemarahan-Nya, demikian pula dalam nama-nama-Nya yang lam, ada strata keutamaan dan kelebihannya, martabat nama Rahmaniyah (Maha Pemurah) lebih tinggi ketimbang nama Rububiyah (Ketuhanan), dan seterusnya masing-masing nama memiliki tingkat keunggulan dan keutamaan. Nama Allah lebih utama ketimbang nama ar Rahman, demikian pula ar Rahman lebih utama daripada nama ar Rabb, nama ar Rabb lebih tinggi ketimbang nama al Mulk, demikian seterusnya, hakekat keutamaan itu bukan berdasarkan, kekurangan atau kelemahan, karena inti dzat-Nya tetap, dan kesempurnaan-Nya tidak berkurang sedikitpun. Keutamaan itu hanya berdasarkan wacana penampakkannya serta fungsi (peran) nama-Nya, bukan inti dzat-Nya.

Karenanya para arif sering melantunkan doa dalam munajat mereka : Wahai Aliahku, aku berlindung kepada kasih maaf Mu dari hukuman siksa Mu, aku berlindung kepada keridhaan Mu dari kemurkaan Mu, aku berlindung kepada Mu dengan lantunan sanjung puji yang tiada terbatas, karena puji Mu tidak terbatas, dari lantunan munajat itu dapat diketahui al Furqan dalam nafs (jiwa) dengan inti (dzat)-Nya. Coba telisik permintaan maaf dari hukuman, kemaafan akan melahirkan kesejukan jiwa, lebih dari itu tindakan pemberian maaf, lebih utama ketimbang tindak pemberian hukuman, karenanya kemaafan dan keridhaan di-muara-kan kepada al Haq, karena hanya dengan itu orang seorang akan memahami kesejatian maaf dan rela. Kemaafan dan kerelaan yang disandarkan kepada selain al Haq, tidak akan melahirkan kesejukan jiwa, karena orang yang memuarakan kerelaan dan keridhaan kepada al Haq, sejatinya memuarakan inti kemaafan dan keridhaan-Nya kepada dzat-Nya. Apa yang terjadi dalam Af'aal (perbuatan-perbuatan)-Nya itu juga terjadi pada sifat-sifat-Nya, pun pada nafs (diri) dan dzat-Nya, yang merupakan Ahadiyah al Jam'ah (ke-Satu-an dari yang banyak). Namun demikian dzat itu terkadang menghasilkan sifat Muhal (mustahil) dan Wajib (keharusan), semua yang mustahil secara logika, yang bersifat naql (tekstual), jika ditelisik makna batinnya, akan tampak Madluliyahnya (makna tersiratnya), dan sesuatu yang dalam tataran logika tidak logis, secara batin menjadi logis, hal senada juga diungkapkan Abu Farid al Harraz : Aku bisa memakrifahi Allah melalui pengumpulan dua hal yang kontradiktif, jika aku menemukan nama-nama-Nya al Awwal (Yang awal) dan al Aahir (Yang akhir) juga adh Dhaahir (Yang jelas) dan al Baathin (Yang Tak tampak) aku tidak memaknainya secara harfiah, akan tetapi aku telisik makna tersiratnya dengan begitu aku bisa memahami kesejatian-Nya. Bahkan dalam memakrifahi al Haq dan makhluk, juga melalui cara serupa, aku juga tidak memaknai secara lahir sifat-sifat-Nya yang mustahil dan wajib, wujud dan ketiadaan, terbatas dan tidak terbatas dan sifat-sifat Naqis (kekurangan) dan Kamaal (kesempurnaan) lainnya, akan tetapi aku kumpulkan sifat-sifat kontradiktif tersebut, dengan cara itu aku bisa memakrifahi-Nya. Pahamilah nilai-nilai ketuhanan dan hakekat ketuhanan-Nya dengan menilisik sifat-sifat wajib dan lawan-nya. Sebab dengan manhaj (metode) itulah al Haq membukakan jalan bagi kita untuk memakrifahi-Nya. Ketahuilah esensi ungkapan Abu Said al Harraz - adalah, dengan langkah pengumpulan seperti itu akan dapat dtfahami antara kesejatian Dzat dan Hawiyah (ke-Dia.an)-Nya. Perhatikan dengan seksama masalah ini.! Jika kau telah makrifah, jaga terus pemahamanmu.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 . 4.

 

Syair-syair al-Jily

Sifat-sifat Allah adalah Furqaan Inti zat Allah adalah al Qur’an

Pisah menjadi Utuh berbuah hakekat

Utuh menjadi pisah melahirkan Wujdaan

Ragam sifat-sifatNya yang membuncah

Sejatinya adalah kesatuan sifat yang Tunggal

Hukum zat dalam segala realitas wujud

adalah Tunggal, itulah sejatinya al Furqaan,

Sifat-sifatNya terpencar di setiap wujud

Namun, zat DiriNya tetap dalam keEsaan.

Sudah Edit 36. Taurat

Allah Azza Wa Jalla, menurunkan kepada nabi Musa as sembilan Luh (kepingan batu bertuliskan firman-Nya)' Tujuh diantaranya Dia perintahkan kepada Musa as untuk disampaikan kepada kaumnya. Dua Luh lainnya khusus' untuk diri Musa as, sebab akal manusia tidak akan mampu mencerna isi dua Luh tersebut. Bahkan jika Musa as mewartakan kedua Luh itu kepada kaumnya, niscaya doa dan permintaannya tidak akan didengar dan dikabulkan, berikut tidak ada satupun kaumnya yang mempercayai dirinya. Luh yang dititahkan untuk diserukan itu berisi ilmu-ilmu insan-insan terdahulu dan yang akan datang, kecuali ilmu Muhammad saw, ilmu Ibrahim as, ilmu Isa as, serta ilmu yang diwariskan Muhammad saw. Pesan Taurati juga tidak mencakup pengetahuan tentang kekhususan Muhammad saw dan para pewarisnya, pemuliaan terhadap Ibrahim as dan Isa as. Tujuh Luh yang dititahkan untuk disampaikan itu terbuat dari batu marmer sedangkan dua Luh yang dihususkan untuk Musa as terbuat dari Cahaya. Karena hati kaum Musa as sangat keras (bebal) karenanya Luh-nya terbuat dari batu , masing-maisng Luh bertuliskan perintah ke-tuhan-an.

Luh pertama : Cahaya.

Luh kedua : Petunjuk. Terkait dengan mi firman Qur ani menandaskan :

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kttab Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah. Q.s. al-Maidah. 5 : 44.

Luh ketiga : Hikmah.

Luh keempat : Kekuatan.

Luh kelima : Hukum.

Luh keenam : Ritus Peribadatan.

Luh ketujuh Kejelasan titian jalan, guna menggapai kebahagiaan melalui laku prihatin, berikut penjelasan tentang etos keprihatinan yang menjadi agunan kebahagiaan. Sedangkan dua Luh yang khusus untuk Musa as: Lauh pertama: Rububiyah (Ketuhanan). Lauh kedua: Qudrah (Kuasa). Kaum Musa as tidak ada yang makrifah (memahami) nilai-nilai Ketuhanan dan Kekuasaan, karena Musa as tidak diperintah untuk menyampaikan kedua hal tersebut kepada kaumnya, demikian pula dengan generasi sesudahnya tidak ada satupun yang mewarisi kandungan kedua Luh tersebut. Berbeda dengan Muhammad saw, beliau tidak mewariskan sesuatu kepada kita (ummatnya) kecuali telah disampaikan kepada kita. Allah berfirman :

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab. Q.s. al-An Aam 5 : 38.

Dalam ayat lain Dia berfirman :

Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. Q.s. al-Israa' 17 : 12.

Karenanya agama Muhammad saw adalah agama terbaik. Agama Muhammad saw berintikan koreksi atas agama terdahulu -yang bersifat temporal dan ditujukan untuk komunitas (kaum) tertentu, berikut penyempurnaan dan perbaikan (reformasi) atas ajaran agama-agama yang pernah ada. Agama Muhammad adalah agama Kaamil (sempurna) yang bersifat universal, relevan untuk semua manusia di setiap tempat dan zaman. Allah berfiman :

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku dan telah Ku ridhai Islam jadi agama bagimu. Q.s.al-Maaidah 5 : 3.

Ayat ini tidak diturunkan kepada nabi selain Muhammad saw, jika diturunkan kepada nabi selain beliau, niscaya nabi tersebut merupakan penghulu (penutup) para nabi. Ayat ini hanya diturunkan kepada Muhammad saw, karena beliau adalah pemungkas (penghujung) para nabi, beliau tidak meninggalkan hikmah, petunjuk, ilmu (pengetahuan), sirr (rahasia batin), kecuali telah mewartakan atau memberi isyarat (metafor) sejalan dengan tugas kenabian yang diembannya, baik melalui ungkapan, tindakan, persetujuan, isyarat, kiasan, permisalan dan bentuk-bentuk keterangan (aksioma) lainnya. Sehingga ajarannya bisa di-syiar-kan dengan baik dan sempurna, tidak ada satupun amar perintah yang tidak disampaikan, semua perintah yang diwahyukan Allah beliau sampaikan kepada ummat-nya, sehingga ajaran agamanya benar-benar Kaamil (sempurna) dan Syaamil (utuh).

Muhammad saw disebut 'Penutup Para Nabi' karena tidak ada tugas kenabian sesudahnya, tidak ada agama baru setelah agama yang dibawah Muhammad saw, beliau disebut 'Penghulu Para Nabi' karena risalah yang dibawah adalah penyempurna dan agamanya berintikan kesempurnaan, dan tidak akan pernah ada nabi sesudah Muhammad saw, karena beliau adalah muara kesempurnaan.

Andai Musa as, diperintahkan untuk menyerukan dua Luh yang dikhususkan untuk dirinya, niscaya Allah tidak mengutus Isa as— sesudah Musa as, menjadi nabi dan rasul-Nya. Isa as merupakan 'simbol' rahasia (( ke-Tuhan-an )) dan (( Kuasa )) Allah— sebagaimana yang termaktub dalam kedua Luh Musa as, yang tidak boleh diwartakan kepada ummatnya. Karenanya awal mula eksistensi Isa as, tertampakkan melalui Qudrah (Kuasa) dan Rububiyah (Ketuhanan) Allah, yaitu ; terlahir dari rahim wanita suci yang tidak pernah disentuh (disetubuhi) laki-laki, mampu bicara ketika dalam ayunan sang bunda, mampu menyembuhkan orang yang terjangkiti kebutaan dan sopak, menghidupkan orang meninggal, menghapus ajaran agama Musa as, karena Isa as, hadir membawa misi yang tidak sama dengan misi Musa as. Namun kejadian-kejadian agung (par excelent) yang tertampakkan dari diri Isa as-atas Kuasa dan rahasia ketuhanan tersebut, menjadikan kaum Isa as dan generasi sesudahnya terjerembab ke dalam kesesatan tak bertepi, karena mereka menasbihkan Isa as sebagai salah seorang dari Tuhan yang tiga, yaitu ; Tuhan Bapak, Ruh Qudus, Tuhan Anak, yang jamak disebut Trinitas.

Di kalangan pengikut Isa as, ada banyak faksi dalam meyakini urgensi Trinitas tersebut, diantara mereka ada yang berkeyakinan, Isa adalah Putra Allah golongan ini disebut 'Kaum Suci'. Ada pula yang berkeyakinan Isa as adalah Allah yang datang ke dunia sebagai penebus dosa anak cucu Adam, faksi ini berkeyakinan Isa as adalah Allah yang berbentuk Adam, datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia, lalu kembali lagi ke kerajaan langit, kelompok ini disebut 'Yacobis' (klan Ya'qub yang ada di kaum Isa as). Faksi lain berkeyakinan Allah ada dalam diri Isa as yang terwajahkan dengan tiga unsur ketuhanan yakni Tuhan Bapak : Ruh Qudus. Tuhan Ibu : Maryam. Tuhan Anak : Isa as. Maka sesatlah kaum Isa as, karena apa yang mereka yakini, sama sekali bukan ajaran Isa as, keyakinan mereka lebih berdasarkan 'penuhanan' realitas lahir yang bersifat simbolistik, karenanya ketika Allah bertanya kepada Isa as,

Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah. ? Isa menjawab : Maha Suci Engkau. Q.s. al-Maidah 5 : 116.

Isa dengan tegas memakzulkan ke-Maha Suci-an Allah dari segala bentuk persamaan,

Tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hak-ku, untuk mengatakannya. Q.s. al-Maidah 5 : 116.

Yakni, bagaimana mungkin aku mengumpamakan (mengantropomorfis) diriku ganti Diri Mu! Dengan mengatakan kepada kaumku, sembahlah diriku tanpa Allah.! Dan memaklumatkan kepada mereka : Engkau adalah inti hakekat dan dzat-ku, dan aku adalah inti hakekat dan dzat-Mu. Dalam bentuk Hului (panteisme) dan penyerupaan mutlak !

Isa as menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak terkait dengan klaim kaum-nya, ia terbebaskan dari kesesatan (aqidah trinitas) para pengikutnya, sebab mereka memproklamirkan penyerupaan mutlak, tanpa ada pen-suci-an (Tanzih) Allah dari segala bentuk persamaan, jelas sekali pemaknaan simbolistik seperti itu menodai hak Allah. Isa as lantas berkata :

Jika aku pernah mengatakannya. Q.s. al-Maidah 5 : 116,

bahwa hakekat diriku sejatinya .adalah persamaan (antropomorfisme) terlebih ganti dzat Mu,

Maka tentulah Engkau mengetahui. Q.s. al-Maidah 5 : 116,

bahwasanya aku tidak pernah menisbatkan (mengumpamakan) diriku dengan diri Mu secara inti dzat, kecuali dalam bingkai pen-Suci-an serta metafora Tajalli (penampakkan) Dzat Tunggal dalam multi manifestasi, akan tetapi mereka (kaumku) memahami ungkapan (seruan)-ku dengan nalar berbasis nafsu, logika dangkal dan sempit, yang menyebabkan maksud mereka berbeda dengan apa yang aku maksudkan.

Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku. Q.s. al-Maidah 5 : 116.

Adakah keyakinan mereka sejalan dengan hakekat ketuhanan yang aku maksudkan,? ataukah aku bermaksud sebaliknya.?

Aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Q.s. al-Maidah 5:116,

aku telah sampaikan amar perintah Mu kepada kaumku, aku tidak mengetahui apa yang ada pada Diri Mu, adakah Engkau biarkan kaumku tersesat dan terjauhkan dari pentunjuk-Mu, andai aku tahu mereka akan tersesat seperti itu, niscaya tidak akan aku sampaikan kesejatian rahasia ketuhanan Mu.

Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib. Q.s. al-Maidah 5 : 116,

aku tidak mengetahui perkara yang gaib-gaib, maka ampunilah diriku wahai Rabbku.!

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk mengatakannya. Q.s. al-Maidah. 5 : 117,

yakni dari apa yang aku makrifahi (fahami) tentang Diri Mu melalui diriku, lalu aku anjurkan kepada mereka untuk memakrifahi Diri Mu dengan 'jalan' memahami samudera diri mereka, aku uraikan kepada mereka hakekat ketuhanan Mu, agar mereka terpacu memakrifahi eksistensi diri mereka, yang dengan itu mereka bisa memakrifahi Diri Mu, karenanya ku katakan kepada kaumku:

Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Q.s. al-Maidah. 5 : 117,

aku tidak pernah menghususkan diriku dengan hakekat ketuhanan, aku tidak pernah menitahkan klaim ketuhanan diriku kepada kaumku, justru aku mengajari mereka bahwa sesungguhnya Engkau adalah Rabbku dengan pemaknaan hakiki, dan Engkau Rabb mereka dengan kesejatian makna. Engkau adalah Tuhan sejatiku dan Tuhan hakiki mereka, dengan demikian klaim penuhanan mereka atas diriku, adalah murni dari mereka dan bukan dari diriku.

Ilmu yang dibawah Isa as merupakan pengembangan ilmu yang ada dalam kitab Taurat, yang tidak saja berupa hakekat Rububiyah (ketuhanan) dan Qudrah (Kuasa), lebih dai i itu berupa rahasia-rahasia ketuhanan dan Kuasa Allah, ketika semua itu ditampakkan oleh Isa as, tidak membuat kaumnya menjadi beriman, namun justru membuat mereka menjadi kafir.! Pewartaan rahasia-rahasia ketuhanan tersebut menjadikan pengikut Isa tenggelam ke dasar kekufuran, andai Isa as menutupi ilmu (rahasia ketuhanan)-nya, berikut tidak menyebarkan rahasia ketuhanan itu, kecuali dengan bahasa isyarat atau metafor seperti yang dilakukan Muhammad saw kepada ummat beliau, niscaya para pengikut Isa tidak terperosok ke dalam jurang kesesatan. Betapa arif sang Muhammad meski agama yang dibawah Muhammad saw adalah agama Kaamil (sempurna), namun beliau tidak dengan serta merta menebar ilmu ketuhanan kepada ummatnya, utamanya ilmu yang terkait dengan Dzat Allah, Muhammad saw membiarkan ilmu tersebut disamudera rahasia al Qur'an dan al Furqan, Muhammad saw hanya mewartakan dengan bahasa isyarat, kiasan, metaforis, majaz (permisalan). Terkait dengan ilmu ketuhanan dan dzat Allah ini, banyak isyarat Qur'ani yang mewartakan esensi dzat dan sifat-sifat Allah, bahkan ada ayat Qur’ani yang menerangkan dzat dan sifat-Nya dalam satu ayat :

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia danDia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Q.s. asy-Syuura. 42 : 11.

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah secara dzat! Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan sifat-sifat. Andai Musa as, menyampaikan ilmunya seperti Isa as, niscaya kaum-nya akan menuduh Musa as sebagai pembunuh Fir'aun, sebab Fir'aun pernah berkata :

Akulah Tuhanmu yang paling tinggi. Q.s. an-Naazi'aat. 79 : 24,

akan tetapi Musa as tidak diperkenankan mewartakan rahasia hakekat ketuhanan kepada kaumnya, sebab jika Allah membolehkan Musa as memberitakan ilmu rahasia ketuhanan-Nya, kaumnya akan seperti kaum Isa as, yang tenggelam di dasar kesesatan dan mereka akan menuduh Musa sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas kematian Fir'aun.

Karenanya Allah melarang Musa as memberitakan ilmu rahasia ketuhanan-Nya, seperti halnya Dia memerintahkan nabi Muhammad saw menyembunyikan segala rahasia ketuhanan, berikut melarang memperbincangkannya dengan orang-orang yang tidak memiliki akal yang cukup dan nihil kecerdasan hatinya dalam memahami hakekat rahasia ketuhanan. Dalam sebuah hadits rasulullah Muhammad saw bersabda :

Pada malam ketika aku di-isra'-kan, aku diberi tiga ilmu : Ilmu yang harus aku simpan. Ilmu yang wajib aku sampaikan. Ilmu yang aku diberi pilihan antara menyampaikan dan tidaknya.

Ilmu yang wajib disampaikan beliau adalah ilmu syariat. Ilmu yang beliu diberi kebebasan memilih antara disampaikan dan tidaknya adalah ilmu hakekat, sedangkan ilmu yang wajib beliau simpan adalah ilmu rahasia ketuhanan dan ilmu -rahasia ketuhanan- tersebut ada dalam al Qur’an al Karim. Ilmu yang wajib disampaikan itu disebut ilmu lahir, sedang ilmu yang diberi pilihan untuk disampaikan dan tidaknya disebut ilmu batin, sejalan dengan firman Qur'ani:

Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami, disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Qur'an itu adalah benar. Q.s. Fushshilat. 41 : 53.

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan benar. Q.s.al-Hijr 15 : 85.

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya sebagai rahmat daripada-Nya. Q.s. al-Jaatsiyah 45 : 13.

(Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan ke dalamnya ruh Ku. Q.s. al-Hijr 15 : 29).

Kesemua ayat diatas mencakup dimensi syariat dan dimensi hakekat, yang juga merupakan dimensi Tahyir (pilihan).

Barangsiapa memahaminya dengan sudut pandang Ilahiyan (ketuhanan) akan sampai kepada makrifah (pemahaman) yang utuh, demikian pula sebaliknya barang siapa yang memahaminya dengan kerangka pandang lain, akan mendapati hakekat yang kontradiktif, dan memicu lahirnya pengingkaran dan kesesatan, karenanya Muhammad saw tidak menyampaikan hakekat rahasia ketuhanan itu, agar kaumnya tidak terjerembab ke dalam kubang kesesatan dan kesengsaraan tak bertepi. Ilmu yang disimpan rasul Muhammad saw tersebut terdapat di dalam al Qur'an, halmana ilmu tersebut menyimpan multi Ta'wil (interpretasi), karena peyimpanan-nya penuh misteri. Ilmu itu hanya bisa disibak oleh mereka-mereka yang konstisten mendalaminya, dan hanya bisa disibak dengan jalan Kasyf Ilahi (Penyingkapan Ketuhanan). Pesan Qur’ani juga menegaskan bahwa ilmu tersebut yang tahu kesejatian interpretasinya hanyalah Allah semata, sebagaimana yang ditegaskan firman Qur'ani :

Tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Q.s. al-Imran 3 : 7.

Berangkat dari realita tersebut, sering didapati bahwa insan yang mampu mengetahui Ta'wil (ilmu) hakekat rahasia ketuhanan di dalam dirinya, jamak mengklaim dan mengaku bahwa dirinya adalah Allah. Pahami dengan benar masalah tersebut, agar anda tidak salah interpretasi!

Ketahuilah bahwasanya Taurat adalah media Tajalliyaat (manifestasi-manifestasi) nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang sedemikian itu dengan penampakkan al-Haq dalam inti realita-realita kasat mata. Nama-nama al-Haq adalah merupakan cerminan daripada sifat-sifat-Nya. Dan sifat-sifat tersebut merupakan dalil (petunjuk) akan dzat-Nya, dalam inti realitas kasat mata, berikut penampilan-Nya pada ciptaan-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Karena fitrah   penciptaan Maujudaat sedari awalnya tidak sepi dari makna-makna ketuhanan, jiwa makhluk-Nya laksana kain putih tanpa noda, tergantung siapa yang mempola makhluk tersebut nantinya. Atas dasar itulah jiwa yang baru lahir diberi nama, dengan asma-asma al Haq, agar kelak si makhluk bisa menghiasi dirinya dengan sifat-sifat al Haq, ketika sifat-sifat al Haq itu telah menghiasi diri makhluk, ia akan mengerti sifat-sifat al Haq, lalu meminta petunjuk kepada ahl al Haq (punggawa ketuhanan) agar dibimbing menuju titian jalan Allah, dengan begitu nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan (cermin) untuk menggapai pemahaman hakiki akan sifat-sifat ketuhanan dan inti dzat-Nya. Jika mereka menyebut nama Allah, mereka seakan merasa nama mereka disebut juga, itulah sejatinya inti daripada arti Taurat. Secara bahasa artian Taurat seperti itu, jelas sangat jauh dari pemaknaan maksudnya, karena esensi al Haq dimata orang awam tidak lain hanya merupakan wujud penyembahan, sedang al Haq dimata orang khusus (ahli hakekat) adalah inti dzat diri mereka, itu berarti al Haq adalah inti kesejatian diri mereka. Adapun tujuh Luh yang diturunkan kepada Musa as dan diperintahkan untuk disampaikan itu berisikan amar perintah Tuhan sebagaimana berikut ini :

Luh Pertama : Luh Cahaya, dinamakan demikian, karena dalam luh tersebut paparan dominan-nya terkait dengan masalah Nur (cahaya), seperti halnya pemberian nama surat dalam al-Qur'an, bergantung dari dominasi 'muatan pesan' dan inti pembahasannya, meski tidak menutup kemungkinaan adanya cakupan bahasan-bahasan lain selain topik utamanya. Dalam Luh Cahaya ini, dipaparkan inti kajian tentang sifat-sifat al Haq, ke-Esa-an dan ke-Tunggal-an Nya, berikut pen-Suci-an al Haq secara mutlak. Serta hukum-hukum produk al Haq yang berbeda dengan hukum Wadh'i (hukum produk makhluk), dalam Luh ini juga dipaparkan tentang sisi ketuhanan al Haq, dan Kuasa-Nya. yang terpancarkan dalam cahaya asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Kesemua itu terpancarkan dari al Haq yang Maha Tinggi dan Maha Suci, karenanya Luh ini dinamakan lauh (Cahaya).

Luh Kedua : Luh Petunjuk, didalamnya terkadung warta-warta ketuhanan, utamanya kabar tentang hakekat al Haq, inilah yang disebut dengan ilmu Dzauq (intuisi), atau gambaran cahaya ilham di kalbu para mu'minin (insan beriman). Sesungguhnya petunjuk ketuhanan yang terlanskapkan dalam wujud ilham, adalah merupakan rahasia-Nya yang banyak membuat terpesona hamba Allah dan menjadikan hamba tersebut sahdu bersama-Nya, itulah sejatinya cahaya ketertarikan Ilahi, yang menuntun para arif kepada penglihatan alam ketiggihan, melalui jalan ketuhanan, yaitu titian jalan Allah Azza Wa Jalla. Demikianlah proses kembalinya cahaya ketuhanan yang telah diturunkan kedalam sendi-sendi kemanusiaan ke posisi dan tempat asalnya. Maka petunjuk ketuhanan itu laksana 'sesuatu' yang didapati sang pemilik cahaya, dengan-nya ia bisa menggapai alam ketinggian, melalui proses yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam Luh ini diwartakan ilmu Kasyf (intuisi) tentang situasi agama-agama dan para pemeluknya yang ada dizaman dahulu dan yang akan datang. Juga tentang ilmu alam Malakut, yaitu alam ruh-ruh serta alam Jabarut, yaitu alam Penguasa ruh-ruh dihadirat Sang Maha Qudus. Luh ini juga membahas ilmu Barzah, terjadinya hari kiamat dan kebangkitan, neraca (timbangan) dan hitungan serta surga dan neraka.Luh ini juga mewartakan ihwal para malaikat, rahasia-rahasia ketuhanan yang ditaruh di dalam diri para hamba yang dipilih-Nya. Semisal rahasia yang ditaruh di komunitas (bani) Israel, yang dengan itu mereka dengan penuh aktraktif memamerkan karamah-karamah (kekuatan adikodrati) yang mereka miliki.

Luh Ketiga : Luh Hikmah, didalamnya terkandung pengetahuan tentang cara prosesi suluk, melalui 'jalan' Tajalli, Dzauq (intuisi), bersitan-bersitan suci ketuhanan, dari pelepasan dua sandal berikut pertumbuhan-nya, kedudukan pohon dan penglihatan api di malam hari yang gelap gulita, serta rahasia-rahasia ketuhanan lainnya. Dalam Luh ini juga diwartakan tentang asal usul ilmu perbintangan (astronomi) dan ilmu alam, ilmu misteri pepohonan dan rahasia bebatuan, luh ini juga mewartakan kehususan (kelebihan) bani Israel yang sangat kampium mengusai ilmu rahasia ketuhanan, yang menuntun mereka menjadi rahib (pendeta). Karenanya rahib dalam bahasa Israel berarti: Insan yang kampium dalam meninggalkan pelik duniawi dan pengharap berat sang Maula (Tuhan).

Luh Keempat : Luh Kekuatan, didalamnya diwartakan penurunan hikmah-hikmah ketuhanan, dan kekuatan-kekuatan yang lahir dari dimensi kemanusiaan. Ilmu—hikmah, ini banyak dikuasai bani Isreal, yang mereka warisi dari Musa as, dalam Luh ini, banyak simbol-simbol, isyarat-isyarat serta metafor-metafor ketuhanan, dari hikmah ketuhanan inilah lahir kekuatan dahsat kemanusiaan. Pesan Qur’ani mewartakan perihal kekuatan ini, dalam firman-Nya. Hai Yahya, ambillah al Kitab (Taurat) itu dengan kekuatan (sungguh-sungguh). Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak. Q.s. Maryam 19 : 12. Pengambilan secara kuat tersebut, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang belajar ilmu hikmah dan mendapat petunjuk cahaya ketuhanan. Itentitas kekuatan itu bergantung daripada hikmah ketuhanan dalam diri masing-masing orang, ini adalah masalah Dzuqiyah (intuitif) yang hanya bisa difahami orang-orang khusus, dan tidak bisa difahami orang kebanyakan. Di dalam Luh ini, juga diwartakan ilmu sihir tingkat tinggi, yang apabila orang tidak jeli akan menganggap sihir itu sebagai karamah, disebut sihir tingkat tinggi, karena bisa dilakukan tanpa jampi-jampi (pemantraan) dan pengeluaran tenaga ekstra, kekuatan yang lahir dari sihir itu benar-benar sempurna, si penyihir benar-benar mampu menyihir manusia sesuai keinginan pragmatisnya. Sihir kelas tinggi itu juga mampu menampakkan gambaran imajinatif menjadi realita yang kasat mata, lebih dari itu orang yang melihatnya bisa berimajinasi, seakan-akan realita tersebut pelakunya ia sendiri. Realita serupa juga pernah saya (al Jailiy) alami dalam etos 'laku' ketauhidan, yang sedemikian itu, jika saya ingin menampakkan diri saya dalam wujud sesuatu tertentu, saya bisa merealisasikannya, akan tetapi saya menyadari semua itu hanya akan menuntun diri saya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, maka saya tinggalkan semuanya, lalu Allah membukakan untuk diri saya pintu Qudrah-Nya yang memelihara diri saya dari kehancuran, yang tersimpan dalam kemesterian antara huruf Nun hingga Kaaf. Luh Kelima : Luh Hukum, didalamnya terkandung ilmu tentang amar perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Hukum-hukum itu yang dititahkan Allah kepada bani Israel untuk dilaksanakan. Luh ini berisi syariat Musa as yang diperuntukkan untuk membangun sendi-sendi kehidupan kumnya, yang tidak lain adalah bani Israel. Luh Keenam : Luh Ubudiyah (ritual peribadatan), didalamnya terkandung pentetahuan tentang hukum-hukum kelaziman bagi para makhluk-Nya, semisal: Kerendahan, kehinaan, rasa butuh kepada Allah, rasa takut, dan ketertundukan serta kepatuhan kepada al Haq. Musa as pernah berkata kepada anak zamannya : Kalian akan diganjar dengan siksa yang pedih, jika kalian mengklaim seperti klaim Fir'aun yang mengaku dirinya Tuhan, karena seorang hamba tidak berhak mengklaim diri sebagai Tuhan. Dalam Luh ini juga diwartakan rahasia ilmu tauhid, semisal hakekat penyerahan, tawakkal, kepasrahan, ridha, takut, harapan, keinginan dan zuhud, serta tawajjuh kepada al Haq dengan membuang sauh-sauh hati dari keterikatan dengan segala sesuatu selain al Haq. Luh Ketujuh : Luh yang membincang khusus masalah titian jalan menuju Allah, berikut penjelasan tentang jalan menggapai kebahagiaan dan pengetasan diri dan belitan kepedihan dan kesusahan. Dalam Luh ini diterangkan tentang cara paling ideal untuk menggapai kebahagiaan, diterangkan pula tentang perilaku kaum Musa as, yang mereduksi agama mereka dengan bid'ah-bid'ah berikut klaim-klaim keagamaan yang lahir dan narasi liar pikiran mereka dan sama sekali bukan dan ajaran Musa as, mereka bahkan mengklaim pikiran mereka sebagai titah dari Tuhan. Klaim mereka sama sekali tidak bersentuhan warta-warta ketuhanan dan kasyf Ilahi, andai buah pikiran mereka lahir dari warta dan penyingkapan ketuhanan, niscaya Tuhan masih memperhatikan diri mereka, serta memelihara mereka melalui amar perintah yang diserukan Musa as. Mereka mengklaim langkah yang mereka lakukan itu sebagai wujud kesetiaan kepada Musa as, dan bukan penafian atas ajaran kenabian yang diembannya, dalam kenyataan-nya mereka tidak konsisten dengan klaim keagamaan yang mereka cetuskan, hingga melahirkan adzab Tuhan atas diri mereka. Dalam Luh ini juga diwartakan aneka ilmu pengetahuan, dari masalah keagamaan hingga masalah pemeliharaan tubuh, pesan Taurati banyak mewartakan Kasyf ketuhanan yang multi Ta'wil (interpretasi), yang tidak mungkin kita diskusikan dalam karya ini. Yang jelas ketujuh Lauh itu merupakan cerminan global daripada isi Taurat,

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.

Sudah Edit 37. Zabur

Zabur berasal dari bahasa Assiria yang berarti Kitab. Bangsa Arab memakai kata (bahasa) tersebut, selaras dengan firman-Nya,

Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat, tercatat dalam Zabur. Q.s al-Qomar 54 : 52.

Allah Azza Wa Jalla menurunkan Zabur kepada Daud as dengan penurunan ayat-ayat-Nya secara bertahap, dan Daud as tidak menyampaikan ke kaum-nya, kecuali setelah Allah menurunkan ayat-ayat tersebut secara utuh. Daud as adalah insan yang paling lembut gaya bicaranya, paling pandai berdiplomasi, paling merdu suaranya, serta paling baik budi pekertinya. Jika Daud as melantunkan ayat-ayat Zabur, semua hewan burung-burung atau binatang buas, menghentikan aktifitasnya dan mendekat mengelilingi Daud as, karena terkesima dan sangat terpesona dengan lantunan Zaburnya, Daud as bertubuh kekar, postur tubuhnya pendek, memiliki kekuatan yang sangat diqdaya, kaumnya mengenalnya sebagai kampium ilmu pengetahuan yang jamak dipakai serta populer di zamannya.

Ketahuilah bahwa setiap kitab yang diturunkan Allah kepada setiap nabi-Nya, mencakup hikmah ketuhanan dan ilmu pengetahuan yang populer ditengah-tengah anak zamanya, sehingga para nabi-Nya tidak saja cerdas secara akal namun juga cerdas hatinya. Masing-masing kitab memiliki kelebihan diantara satu dengan lainnya, sejalan dengan kelebihan (keutamaan) yang diberikan Allah kepada masing-masing rasul yang diutus-Nya al Qur'an al Karim adalah kitab Allah yang terbaik (utama), dari segenap kitab yang pernah diturunkan Allah kepada para rasul-Nya karena Muhammad saw adalah rasul-Nya yang paling utama, jika anda berpikiran bahwa Kalamullah (pembicaraan Allah) adalah bernilai sama, tidak ada yang paling utama diantara kalam-Nya yang satu dengan kalam-Nya yang lain, perlu kami wartakan kepada anda bahwasanya rasul Muhammad saw pernah bersabda :

Surat al Faatihah, adalah yang paling utama dari surat-surat yang ada dalam al Qur'an.

Jika al Faatihah surat yang paling utama, semantis logikanya tidaklah salah jika ada pengutamaan diantara kitab-kitab Allah, dan al Qur'an al Karim adalah kitab yang paling utama daripada k'itab-kitab-Nya yang lam, karena dibawah oleh nabi dan rasul yang paling utama daripada nabi-nabi Allah.

Ketahuilah bahwasanya kandungan kitab Zabur kebanyakan berisi nasehat-nasehat konstruktif, pujian-pujian kepada al Haq, adapun kandungan syariatnya hanya sedikit dan bersifat khusus.' Nasehat-nasehat dan pujian-pujian yang termaktub dalam pesan Zabur tersebut mencakup ilmu pengetahuan multi dimensional utamanya ilmu hakekat ketuhanan, ilmu wujud mutlak, ilmu Tajalli (penampakan) al Haq di dalam makhluk-Nya, ilmu penundukkan dan pengaturan, ilmu fisika dan metafisika, ilmu alam, ilmu eksakta ilmu logika, ilmu kepemimpinan, ilmu hikmah, ilmu telepati dan ilmu-ilmu lainnya. Kesemua ilmu itu bisa digapai melalui proses pembelajaran dan bersifat metafisis, dintara ilmu-ilmu itu ada yang proses pencariannya melalui pelatihan jiwa secara intensif, yang tidak boleh dipertontonkan, agar rahasia Kasyf (intuisi) yang dialami sipenuntut ilmu tetap terjaga, serta tidak menyebabkan tereksposnya rahasia-rahasia Allah secara eksploratif.

Daud as adalah pribadi yang sangat giat beribadah, anak zamannya mengenalnya sebagai pegiat ibadah yang teguh, Daud as bisa memahami ucapan-ucapan burung dengan Kasyf Ilahi, ia juga mampu beraudiensi dengan burung dengan kekuatan Ilahi, Daud as mampu menyampaikan pesan yang bisa ditangkap oleh telinga burung yang dengan itu burung bisa memahami maksud daripada kata-kata yang dilontarkan Daud as. Orang-orang yang tidak faham ihwal Daud as, mengira bahwa Daud as berbicara dengan bahasa yang jamak dipakai burung-burung prediksi semacam itu jelaslah tidak valid (shahih), yang benar adalah Daud as mampu memahami ucapan-ucapan burung dengan aneka macam suaranya, dan mampu menangkap makna dan maksud yang lahir dan suara-suara burung-burung tersebut melalui Kasyf Ilahi (intuisi ketuhanan). Itulah yang bisa kita fahami dari ungkapan putranya yang bernama Sulaiman as,

Kami telah diberi pengertian (pemahaman) tentang ueapan-ueapan burung. Q.s. an-Naml 27 : 16.

Kemahiran itu terus berlanjut, hingga ada yang berasumsi bahwa Daud as memiliki kecakapan bisa memahami bahasa burung, terlebih burung memiliki bahasa khusus, yang dipakai media komunikasi antar sesama burung Padahal realitanya kemahiran yang dimiliki Daud as adalah mampu menangkap pesan yang lahir dari suara-suara burung dan bisa memahami maksud dari ucapan-ucapan burung melalui ilham ketuhanan, yang terlembagakan dalam kasih kelembutan ketuhanan. Demikianlah setiap Daud as mendengar suara-suara burung ia mampu menangkap maksud dan pesan dari suara tersebut, dan ia bisa beraudiensi dengan burung melalui kekuatan kelembutan Ilahiyah (ketuhanan), sehingga burung tersebut bisa menangkap ucapan Daud as, yang melahirkan komunikasi dua arah dan bisa dipahami kedua belah pihak. Daud as bahkan bisa memahami suara-suara segenap hewan dan benda-benda alam lainnya, dan ia mampu berdialoq secara komunikatif dengan hewan-hawan dan benda-benda alam tersebut, kesemua iur berlandaskan Kasyf Ilahi (intuisi ketuhanan).

Dengan demikian ketika Daud as melakukan dialoq interaktif dengan hewan-hewan tersebut, ia bisa saja memakai bahasa Assina, atau bahasa lainnya yang bisa difahami hewan-hewan tersebut dengan kekuatan kasih kelembutan Ilahiyah, yang terpancarkan melalui lisan Daud as, yang dengan itu hewan-hewan bisa memahami perkataan Daud as. Kemahiran dan kelebihan par excelent yang diberikan Allah Azza Wa Jalla kepada Daud as dan Sulaiman as tersebut, tidaklah bersifat khusus untuk keduanya semata namun juga bisa diberikan kepada Allah kepada hamba-hamba Nya, utamanya para khalifah-Nya yang Dia kehendaki, karunia semacam itu jamak diberikan kepada para kekasih-Nya dan para arif yang telah menggapai maqom kedekatan (al Qurb) yang purna para kekasih Allah itu bahkan bisa mengetahui sesuatu yang tersembunyi dus terhalus yang ada digelap gulita malam. Imam asy Syibli menandaskan : Jika aku menginjak serangga di butiran-butiran pasir ditengah malam yang gelap gulita, dan aku tidak merasakan hal tersebut, niscaya aku hukumi diriku sebagai manusia yang terperdaya dan termasuk seorang penganiaya.

Lebih lanjut sufi agung itu mengatakan : Aku tidak boleh mengatakan, bahwa aku tidak merasakan menginjaknya atau karena faktor ketidak sengajaanku, yang membuat serangga itu terinjak sebab injakan itu terjadi karena kekuatan yang lahir dari diriku dan aku penggeraknya, bagaimana mungkin aku mengatakan tidak merasakan -menginjaknya, sedangkan aku penggeraknya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, adalah rasulullah Muhammad saw suatu hari mampu menangkap Jin, dan beliau hendak mengikat Jin tersebut di salah satu tiang masjid, namun beliau mengurungkan niat tersebut, karena ingat doa Sulaiman as.

Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Q.s. Shaad 36 : 35.

Rasul Muhammad saw melakukan hal tersebut semata-mata demi menghormati ke-khalifah-an Sulaiman yang rakyatnya termasuk dari golongan Jin. Rasul Muhammad saw mengakui dengan penuh ketulusan bahwa kesempurnaan kekuasaan Sulaiman as tidak tertandingi oleh siapapun sesudahnya. Adapun kesempurnaan lain, masih ada yang menandingi atau bahkan melebihinya, yaitu para nabi dan para kekasih Allah lainnya yang datang sesudah Sulaiman as.

Ketahuilah bahwasanya kandungan kitab Zabur berisikan isyarat dan metafor daripada Tajalli (penampakkan) sifat-sifat perbuatan Ilahiyaat (ketuhanan), sedang Taurat hanya berisikan Tajalli nama-nama sifat belaka, begitu pula Injil berisikan Tajalli nama-nama Dzat semata. Adapun al Furqan terkandung di dalamnya metafor-metafor daripada Tajalli sifat-sifat dan nama-nama mutlak-Nya. al Qur’an laksana inti dzat-Nya, seperti yang telah kita bahas dalam pasal terdahulu. Zabur disebut metafora Tajalli sifat-sifat perbuatan Ilahi, karena merinci perbuatan-perbuatan Ilahi yang lahir dari dimensi Qudrah (Kuasa) ketuhanan, karenanya Daud as ditahbiskan menjadi penguasa alam, dan itu terlegemitasi dalam konsesus-konsesus ketuhanan melalui wahyu-wahyu Allah yang termaktub dalam dikitab Zabur. Daud as mampu memobilisir gunung-gunung yang merupakan paku bumi, Daud as mampu melembutkan besi-besi yang keras serta menundukkan benda-benda alam lainnya Kekuasaan dan kediqdayaan Daud as itu lalu diwarisi Sulaiman as, sedang Daud as sendiri mewarisi kekuasaan dan kediqdayaan itu dan al Haq al Mutlaq, yaitu Allah Azza Wa Jalla.

Daud as tentu merupakan nabi yang utama, karena al Haq memberinya anugerah Khilafah (kekuasaan), dan mengapresiasinya secara khusus dalam Khitab (bincang) kekuasaan, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya, Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. Q.s. Shaad 38 : 26. Pentasbihan kekuasaan itu tidak terjadi pada diri Sulaiman as, kecuali setelah Sulaiman meminta kepada-Nya. Daud as sangat menyadari bahwa kuasa manusia hanya meliputi kekuasaan lahir, cakupan kekuasaan manusia tidak meliputi wilayah batin, hanya Allah sajalah Penguasa Batin manusia, karenanya Allah meng-kuasa-kan Daud as hanya dengan kekuasaan lahir. Marilah kita telisik warta-warta Qur'ani yang memberitakan perihal ucapan-ucapan Sulaiman as. Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang menghembus dengan baik menurut kemana saja yang dikehendakinya. Q s Shaad 38 : 36. Dan banyak lagi kemampuan-kemampuan per excelent Sulaiman as yang lahir dari kodrat Ketuhanan, yang tidak mungkin kita rinci satu persatu, dan kemampuan-kemampuan par excelent seperti itu tidak terbatas pada diri Sulaiman semata, namun juga diberikan kepada para hamba-Nya yang lain yang Dia kehendaki, karena hal tersebut merupakan hak preogratif-Nya. Jika al Haq muncul dalam Tajalli dengan Dzat Diri Nya, maka penampakkan itu merupakan wujud Khalifah Allah di bumi-Nya, yang sedemikian itu sejalan dengan isyarat yang terkandung dalam firman-Nya. Dan sesungguhnya telah Kami tulis di dalam Zabur, sesudah Kami tulis dalam Lauhul Mahfudz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba Ku yang shaleh. Q.s. al-Anbiyaa' 21 : 105. Yaitu para sholeh yang memiliki validitas untuk mewarisi Waratsah (warisan) ketuhanan. Sedangkan yang dimaksud dengan bumi dalam ayat tersebut adalah, hakekat-hakekat wujud yang terhampar diantara realitas penciptaan dan makna-makna yang tersirat dibalik realitas penciptaan tersebut, seperti yang diisyaratkan pesan Qur'ani :

Hai hamba-hamba Ku yang beriman, sesungguhnya bumi Ku luas, maka sembahlah Aku saja. Q.s. al-Ankabuut 29 : 56.

Jika anda berasumsi bahwa doa Sulaiman as, mustajab (dikabulkan), karena dia memiliki kerajaan yang tidak ada satu juapun yang menandingi kekuasaannya Kuasa-Nya ter-tajalh-kan pada kekuasaan Sulaiman as, yang dengan itu doa Sulaiman as terkabulkan, maka asumsi anda tidaklah salah. Demikian pula jika doa Sulaiman as tidak terkabulkan karena tidak adanya batasan kekuasaan bagi insan-msamterkasih-Nya paska Sulaiman as, andapun tidak salah juga. Anda bebas berasumsi sesuka anda, yang mesti anda ketahui, ketika Daud as mengetahui bahwa dikuasakan untuk dirinya 'Kuasa' tanpa batas, ia tidak berkeinginan untuk memilikinya, Daud as tidak pernah meminta kekuasaan, maka kekuasaan itu ahirnya diminta Sulaiman as, bukan karena ia gila jabatan, namun ingin pembelajaran Ilahi, karena Sulaiman as secara pribadi ingin memakrifahi penampakkan ketuhanan, hingga ia bisa memahami kesejatian hakekat-Nya. Demikianlah meski rahasia hakekat ketuhanan itu dilarang untuk disebarkan, namun diperbolehkan memintanya, karena Kasih Allah maha luas, dan wujudnya sangat mungkin. Kecuali jika niatan si peminta untuk kepentingan pragmatisme duniawi. Allah mewartakan kepada kita, perihal perilaku hamba-Nya.

Mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya -Dan, Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan.

Terhadap hamba (nihil penghormatan) seperti itu jelas ditolak permintaannya, dan tiada akan pernah diluluskan apa yang menjadi angan citanya.

Mentradisikan penghormatan, dzikr adalah sebuah kemestian yang harus dilakukan setiap hamba kepada al Haq, terkait dengan masalah ini as Shadiq al Akbar mengatakan : Mengakui kelemahan diri dalam Dzkrullah (mengingat Allah), digolongkan termasuk orang yang ingat. Rasul Muhammad saw bersabda : Haturan pujiku kepada Mu adalah tanpa batas, seperti halnya puji atas Diri Mu adalah tanpa batas. Rasul saw sangat etis dalam berdoa, beliau tidak memohon sesuatu yang tidak mungkin direalisasikan, beliau senantiasa mengakui dengan penuh ketulusan dihadapan Allah, akan ke-dhaif-an dirinya, serta mengakui dengan penuh keimanan akan kesempurnaan Allah. Padahal rasulullah Muhammad saw lebih makrifah (memahami) Tuhannya, ketimbang Sulaiman as, putra Daud as itu ilmunya terbatas dan selalu meminta sesuatu yang diketahuinya, sedangkan Muhammad saw ilmunya tidak terbatas, dan beliau selalu meminta ditunjukkan sesuatu yang belum dikatahuinya. Meski rasul saw mengetahui bahwa doanya pasti dikabulkan Allah, namun beliau selalu melantunkan doanya secara lisan, pekerti yang mulia itu merupakan kekhusuan yang dimiliki rasul saw, pun mereka-mereka yang telah memakrifahi Allah dari para kekasih-Nya. Para arif itu dalam bertawajjuh kepada Allah tidak bergantung keadaan yang mengkondisikan diri mereka, suka duka, sulit susah, tetap eksis beribadah kepada Sang Khaliq, sedangkan mereka yang belum makrifah, wajah ibadah mereka tergantung keadaan, susah ingat Allah, senang lalai dengan-Nya, ketika butuh mendekat dan berbaik-baik kepada Allah, ketika kebutuhan-nya terkabulkan, lupa dan meninggalkan Sang Khaliq.

Orang yang makrifah ilmunya tidak terbatas, sedang orang yang belum makrifah ilmunya terbatas, terkait dengan ini insan-insan yang telah sampai pada tingkat Muhammadiy (bisa mewarisi ilmu dan perilaku Muhammad saw) dari para kekasih-Nya, semisal Syeikh Abd Qodir al Jailaniy menandaskan : Wahai hadirat para nabi kalian diberi hati oleh-Nya, sedang kami diberi-Nya pengetahuan yang menembus dimensi ruang dan waktu. Demikianlah seperti yang diriwayatkan oleh Imam al Muhyiddm Ibnu Arabi dalam kitabnya : Futuhaat al Makkiyah, dengan runtut periwayatan dan beliau sendiri. Syeikh Abu al Ghaits ibnu al Jamil mengatakan : Kami telah mengarungi samudera dan kami dapati para nabi ada dipesisirnya. Ungkapan ini, meski mengandung multi ta'wil (interpretasi), kami tetap berpendapat bahwa para nabi lebih utama, ketimbang para wali (kekasih Allah), kita akan membincang masalah ini secara khusus dalam pasal Kenabian dan Kewalian di bab yang akan datang. Allah petunjuk jalan kebenaran.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.

Sudah Edit 38. Injil

Allah Azza Wa Jalla menurunkan Injil kepada Isa as, dengan bahasa Assiria, Injil dibaca (ditulis) dengan tiga belas bahasa. Pembukaan Injil diawali dengan menyebut nama Tuhan Bapak, Tuhan Ibu, Tuhan anak. Seperti halnya al Qur'an yang dimulai

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Para pengikut Isa as memaknai ungkapan itu secara lahir, mereka mengira bahwa Tuhan Bapak Ibu, Anak itu sejatinya adalah : Ruh Oudus. Maryam, dan Isa. Saat itu mereka memakzulkan pernyataan :

Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga. Q.s. al-Maidah. 5 : 73.

Mereka tidak tahu bahwasanya yang dimaksud dengan Bapak adalah nama Allah sedang Ibu aksiden (Arad) yang menerangkan metafor hakekat sesuatu, adapun Putra maksudnya adalah kitab, Injil merupakan tajalli wujud mutlak, embrio hakekat sesuatu, Allah berfirman

Disisi-Nya-lah terdapat UmmulKitab. Q.s. ar-Ra'd 13 : 39.

Merupakan isyarat tajalli-Nya, seperti yang telah kita paparkan pada bab terdahulu, atas dasar itulah Isa as menandaskan :

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintankan kepadaku. Q.s. al-Maidah 5:117.

Untuk mewartakaunya kepada mereka. Isa lantas memaklumatkan :

Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Q.s. al-Maidah 5 : 117,

sehingga Dia mengetahui bahwa Isa as tidak pelit memaparkan dan mensosialisasikan makna-makna lahir Injil.

Bahkan Isa memaparkan keterangannya dengan lugas dan jelas dengan ungkapannya : Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu

sebagai bentuk penafian Isa as atas klaim pengikutnya, yang memaklumatkan bahwa dirinya, ibunya dan ruh Qudus adalah Tuhan -sesembahan, penegasan tersebut, untuk membebaskan dirinya dari tuduhan dihadapan Allah, karena Isa as telah menjelaskan kepada kaum-nya esensi Injil dengan sedetil-detilnya. Namun para pengikutnya, menafsiri kandungan Injil tersebut dengan prediksi dan nalar diri mereka sendiri, sehingga lahirlah klaim pen-Tuhan-an tersebut, semua itu mumi karena 'ulah' mereka, dan sama sekali bukan seruan Isa as. Ungkapan Isa as dalam menjawab pertanyaan Rabb-nya,

Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku

adalah merupakan bentuk permohonan maaf kepada Rabb atas 'ulah' pengikutnya, Madluliyah (makna tersirat)-nya adalah : Engkau pengutus aku kepada mereka dengan Kalam (wahyu) yang dimulai dengan menyebut nama Tuhan Bapak, Tuhan Ibu dan Tuhan Anak. Ketika aku sampaikan kepada mereka, mereka memaknai-nya dengan pemaknaan lahir (tekstual), aku mohon Engkau jangan menista mereka, atas interpretasi yang mereka lakukan tersebut, karena hanya sebatas itulah kemampuan mereka dalam menangkap apa yang telah aku sampaikan. Apa yang mereka lakukan memang merupakan bentuk kesyirikan atas ke-Esa-an Mu, karena mereka melakukan penafsiran atas warta-warta ketuhanan -yang aku serukan, dengan prediksi dan narasi pemikiran mereka sendiri.

Apa yang dilakukan pengikut Isa as itu tidak ubahnya seperti ijtihad seorang mujtahid, yang apabila ia salah dalam berijtihad ia hanya memperoleh satu pahala (ijtihadnya), karenanya paska menjawab pertanyaan Rabb-nya, Adakah kamu mengatakan kepada manusia :

Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah? Q.s. al-Maidah 5 : 116.

Isa as memohonkan ampunan bagi kaumnya kepada Allah atas kesalahan tersebut. Isa berkata kepada Rabb-nya :

Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Maidah. 5 : 118)

Isa as tidak berkata kepada Rabb-nya : Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya siksa Mu amat keras! Pun ungkapan-ungkapan distruktif lainnya. Isa as sangat empati kepada kaumnya, kesalahan yang mereka lakukan justru dimintakan ma'af, ia dengan penuh kesungguhan memohon Rabb­ nya untuk memaafkan 'ulah' kaumnya, dengan dalih kaum-nya belum keluar dari lajur kebenaran dan belum menyimpang dari ajaran al Haq. Ketahuilah bahwasanya para nabi, mereka tidak memohon Maghfirah (pengampunan) kepada al Haq untuk seseorang atau satu komunitas, kecuali jika orang atau komunitas tersebut berhak mendapatkan siska. Jika orang itu berhak disiksa, maka mereka tidak memintakan ampunan untuknya. Allah berfirman :

Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim melepas diri daripadanya. (Q.s. at-Taubah 9 : 114).

Demikianlah kearifan para nabi, Isa as memohonkan ampunan kepada Allah bagi kaum-nya, karena ia yakin kaum-nya berhak memperoleh Maghfirah (pengampunan) dari-Nya. Meski 'ulah' kaum-nya secara lahir terhitung batil, namun batin mereka tidaklah demikian, itulah keyakinan Isa atas kaumnya yang mendorongnya memohonkan ampunan kepada Allah untuk para pengikutnya. Isa as menyadari perilaku lahir dan klaim mereka memang pantas mendapatkan siksa, karenanya ia berucap kepada Rabb-nya :

Jika Engkau menyiksa mereka, ia meneruskan lobi-nya, Maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau. 

Isa as seakan ingin memaklumatkan : Mereka (kaumku) telah berusaha menyembah Diri Mu, mereka bukan penentang dan pengingkar Diri Mu, mereka bukan atheis, kaumku bukan kafir, karena kafir tidak bertuhan, mereka meyakini adanya Engkau, dan mereka berusaha memahami Diri Mu dengan pemaknaan hakiki, dimata mereka Engkau adalah hakekat Isa, hakekat ibu-nya dan hakekat ruh Oudus, bahkan Engkau adalah hakekat segala sesuatu, itulah sejatinya maksud dari ucapan Isa as.

Maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau.

Isa bahkan berucap kepada Rabb-nya :

Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. (Q.s. al-Maidah 5:118).

Ketulusan Isa mengungkapkan apa yang terjadi pada diri dan kaumnya dihadapan al Haq tersebut, bersambut dengan firman-Nya.

Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. (Q.s. al-Maidah 5 : 120),

dihadapan Rabb mereka Firman tersebut juga merupakan isyarat akan keterkabulan apa yang dipinta Isa as. Madluliyah (makna tersirat) dari ayat itu adalah Jikalau mereka (kaum Isa) benar-benar jujur dengan diri mereka dalam menta'wilkan Kalam-Nya, yang Dia tampakkan kepada mereka, semata-mata untuk memahami kesejatian Diri Nya, dan bukan hakekat selain Dia, maka mereka adalah insan-insan yang benar kebenaran mereka meski secara lahir 'ulah' mereka terlihat batil karena interpretasi tekstual mereka akan Kalam-Nya, sebab klaim 'kesesatan' yang dilabelkan kepada pengikut Isa as adalah berdasarkan realita lahir (pemaknaan tekstual), atas dasar itu pula mereka diklaim berhak atas siksa Allah, akan tetapi ketika mereka benar-benar jujur dengan diri mereka, dalam menta'wilkan Kalam­Nya dengan pemaknaan hakiki, dan batin mereka tulus meyakini kesejatian Kalam-Nya, maka rahmat ketuhanan yang dipinta Isa as untuk kaumnya dikabulkan oleh Rabb-nya, karena keyakinan batin insan-insan yang benar kebenaran mereka mempercayai eksistensi Isa as adalah merupakan bentuk Tajjali-Nya yang mereka sibak (kasyf) di batin mereka. Pada titik ini keyakinana mereka tidaklah salah, karena Allah adalah bersama asumsi hamba-Nya. Kepada-Nya berpulang segala sesuatu.

Injil adalah kitab yang mewartakan Tajalli nama-nama Dzat, yakni Tajalli Dzat dalam nama-nama-Nya. Diantara Tajalliyaat (penampakkan-penampakkan) itu adalah Tajalli-Nya dalam ke-Tunggal-an yang disibak pengikut Isa as pada diri Isa as. Maryam as dan Ruh Oudus, mereka menyakasikan penampakkan al Haq dalam ketiga unsur tersebut. Para pengikut Isa as itu meski mereka menyaksikan Tajjali-Nya dengan keyakinan hakiki, namun mereka tetaplah salah, dan mereka pantas dilabeli sebagai kaum yang sesat.! Kesalahan mereka, karena membatasi penampakkan (Tajjah)-Nya hanya sebatas ketiga unsur—Isa. Ibunya dan ruh Qudus—saja! Adapun kesesatan mereka, karena mereka mengatakan Tuhan (bertubuh) Isa dengan pemaknaan mutlak, dan penyerupaan -antropomorfisme terbatas dan memaknai secara dangkal dan sempit dalam hal ke-Tunggal-an yang mereka persaksikan. Adalah bukan hak dan kuasa mereka membatasi dan menyempitkan bentuk-bentuk Tajalli-Nya, inilah sejatinya inti kesalahan dan kesesatan mereka. Maka fahami betul permasalahan ini.! Dalam kandungan Injil tidak ada keterangan terlebih batasan-batasan contoh sifat-sifat ketuhanan dalam wujud sifat-sifat kemanusiaan, Injil bahkan mewartakan penampakan al Haq dalam setiap ciptaan-Nya. Namun para pemeluk Nasrani mereduksi keyakinan mereka dengan membatasi wujud Tajalli al Haq, serta klaim Tuhan (bertubuh) Isa dan Dia Hului (panteisme) dengan pemaknaan mutlak. Apa yang dilakukan pemeluk Nasrani tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Injil. Oranga-orang Nasrani itu sungguh tidak mengerti isi kitab Injil.

Pengikut Muhammad saw, justru lebih mengerti kandungan hakiki isi kitab Injil. Karena makna-makna hakiki Injil tersebut dipaparkan dengan sempurna dalam banyak ayat Qur’ani Seperti firman-Nya :

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku. (Q.s. al-Hijr 15 : 29)

bukan ruh selain Diri Nya. Demikianlah pewartaan Allah dalam penampakkan-Nya pada Adam as, kemudian Dia menguatkan dengan,

Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Qur’an itu adalah benar. (Q.s. Fushshilat. 41 : 53)

yakni semua alam yang dalam redaksi Qur'an disebut segenap penjuru berikut pada diri mereka sendiri sejatinya adalah 'wajah' Tajjali al Haq Kemudian Dia mempertegas keterangan-Nya dengan merujuk kepada hak Muhammad saw. Sebagaimana firman-Nya,

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (Q.s. al-Fath 48 : 10)

juga

Barang siapa yang mentaati rasul itu (Muhammad), sesungguhnya ia telah menta'ati Allah (Q.s an-Nisa' 4 : 80).

Dengan firman Qur'ani tersebut, ummat Muhammad saw mendapat petunjuk, kesejatian permasalahan yang ada, yaitu wujud hakiki tidak terbatas pada Adam as semata karena ayat Qur'ani tidak menyebut pembatasan kepada Adam as, seorang Ummat Muhammad saw memahami bahwa yang dimaksud Adam (dalam firman tersebut) adalah setiap makhluk yang disebut manusia, Ummat Muhammad saw juga memahami bahwa Syuhud (penyaksian) al Haq, bisa disaksikan dalam setiap wujud kesempurnaan (Kamaliyaat), sejalan dengan amar perintah ketuhanan, sebagaimana yang ditegaskan firman Qur'ani

Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Qur’an itu adalah benar. (Q.s. Fushshilat 41 : 53).

Demikian pula Muhammad saw dan ummat Islam selalu dalam naungan kebenaran cahaya Qur'ani

Andai dalam Injil ada ayat-ayat seperti yang terkandung dalam al Qur’an, niscaya pengikut Isa as akan mengikuti petunjuk tersebut dan mereka tidak mereduksi kandungan Injil dengan tafsir liar mereka, meskipun demikian hal itu bukanlah suatu jaminan mereka akan mengikuti petunjuk-Nya. Karena setiap kitab yang diturunkan Allah, terdapat banyak reaksi, diantara mereka ada yang mengikuti petunjuk kitab-Nya dan tidak sedikit yang mengingkari petunjuk kitab-Nya. Seperti yang diwartakan Allah, betapa banyak para alim (ulama) tekstual yang menafsin firman-firman-Nya secara teks book, sehingga tafsiran mereka menyesatkan, karena mereka hanya fokus pada makna lahir tanpa menelisik makna batin daripada firman-firman-Nya, membuat interpretasi mereka benar-benar liar dan sesat, setidaknya itulah yang terjadi pada pengikut Isa as. Jika para alim itu mau mengoptimalkan ketajaman mata hati mereka dan menelisik makna-makna batin firman-firman-Nya, dengan pemakrifahan (pemahaman) yang hakiki, niscaya mereka bisa menemukan kesejatian makna firman-firman-Nya dan bisa makrifatullah dengan pemahaman hakiki. Dengan begitu mereka akan senantiasa berada dalam kasih perlindungan-Nya dan selalu dalam sinaran petunjukNya, terlebih mereka tidak sesat dan menyesatkan. Firman Qur'ani menandaskan :

Banyak orang yang diberi-Nya petunjuk, Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik. (Q.s. al-Baqarah 2 : 26)

maksud daripada manusia-manusia fasik dalam firman tersebut, adalah komunitas yang pemahaman mereka rusak dalam menafsiri Tajalli ketuhanan, sesuai tafsir diri mereka, yaitu Allah tidak Tajalli pada ciptaan-Nya.

Ketika mereka tidak mampu menyaksikan Tajalli-Nya pada setiap makhluk-Nya, mereka lalu mengusung j organ pen-Suci-an -transendensi dzat ketuhanan, dengan dalih penerapan hukum-hukum-Nya, mereka lupa bahwasanya hukum-hukum-Nya adalah juga wujud kesempuraan-Nya. Dan hukum-hukum-Nya itu juga merupakan wujud Tajalli-Nya. Mereka lupa bahwa Allah telah mewartakan Diri Nya, bahwa Dia adalah Ahadiyah al Jam ah (kesatuan dari yang banyak), seperti yang Dia tegaskan dalam firman-Nya,

Maka kemanapun kamu menghadap disitulah wjah Allah. (Qs al-Baqarah 2 : 115)

firman-Nya yang lain,

Dan pada dirimu sendiri maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Q.s. adz-Dzunyat. 51:21)

serta

Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan benar. (Q.s.al-Hijr 15 . 85)

demikian pula

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya sebagai rahmat daripada­Nya (Qs. al-Jaatsiyah 45 : 13)

Rasulullah saw bersabda :

Sesungguhnya Allah mendengar dengan pendengaran hamba-Nya, melihat dengan penglihatan hamba-Nya, berjalan dengan kaki hamba-Nya.

Dan banyak lagi sabda-sabda rasul saw dengan maksud dan pemaknaan serupa.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Sudah Edit 39. Perihal Turunnya al Haq ke Langit Dunia Setiap Malam,  di Sepertiga Akhir Malam

Dan Sabda Rasulullah saw :

Sesungguhnya setiap malam, di sepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia, Dia berkata : Adakah yang bisa Aku bantu? Adakah yang bisa Aku bantu?

Hadits rasulullah saw tersebut, menunjukkan isyarat kehadiran (manifestasi) al Haq disetiap wujud dari segenap wujud yang ada, meski wujud sesuatu itu sebesar atom sekalipun, yang dimaksud dengan malam dalam hadits adalah kegelapan ciptaan-Nya, adapun maksud dari langh dun a adalah wujud lahir ciptaan-Nya, sedang maksud daripada fepeZ akhir adalah kesejatian-Nya. Sebab segala sesuatu yang maujud (ada) dan ber-wujud terbagi atas tiga bagian :

1. Lahir, yang dinamakan Malak.

2. Batin, yang dinamakan Malakut.

3. Yang tersucikan dari bentuk Malak dan Malakut, yang dinamakan Jabarut Ilahiyah, sebagaimana dalam hadis Lsu! saw tersebut, diisyaratkan dengan sebutan sepertiga akhir

Jika anda menafikan pembagian itu, semantis logikanya, anda berkeyakinan bahwa asal segala sesuatu adalah (( Satu )), jika anda berkeyakinan seperti itu, maka logika anda akan mengatakan bahwa sesuatu yang lahir adalah bentuk (gambar) kasat sesuatu, sesuatu yang batin adalah bentuk jiwa-nya, kalau demikian adanya harus ada hakekat yang menegakkan sesuatu tersebut, maka timbullah isyarat dengan sepertiga akhir. Maka turunnya al Haq, sejatinya adalah penampakkan al Haq dengan Tanzih (transendensi) Diri Nya dari Tasybih (antropomorfisme) secara mutlak pada segenap ciptaan-Nya. Ada isyarat yang lebih tinggi dari isyarat pertama, ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan sepertiga malam dalam hadist rasul saw itu sejatinya adalah. Sifat ketuhanan yang tampak pada hamba-hamba-Nya!

Maka hakekat penampakkan dzat, terjadi di akhir sifat, bukan di permulaan atau pertengahan-nya, masalah ini masuk pada wilayah Dzauq al Wujdaan (intuisi), yang tidak bisa diketahui kecuali melalui Kasyf (pengetahuan intuitif). Penampakkan dzat terjadi pada penghujung (akhir) penampakkan sifat. Segala sesuatu pasti berakhiran dan akhir segala sesuatu itulah dinamakan hukum dzat. Dan dzat itu tampak di sepertiga malam. Sedangkan ucapan rasul saw Turun ke langit dunia maksudnya adalah, turun ke sifat-sifat-Nya yang bisa difahami makhluk-Nya melalui nama-nama-Nya dalam hidup dan kehidupan di dunia ini. Karena bagi al Haq sifat-sifat agung dan tinggi dan Dia Maha Tinggi, al Haq adalah wujud sesembahan yang wajib disembah dalam kehidupan dunia yang renda dan hina, dengan ritus ibadah dunia inilah hamba-Nya akan memakrifahi ke-Maha Tinggi-an Nya. Asma-asma Allah sejatinya adalah wujud langit dunia-Nya, yang dengan itu sendi-sendi peribadatan (ubudiyah) para hamba-Nya bisa ditegakkan. Esensi pelajaran yang bisa diambil dari sabda rasul saw tersebut adalah, bahwasanya al Haq Subhaanahu wa Ta'alah, ber-tajalli pada hamba-hamba-Nya. dengan sifat-sifat-Nya, yang dengan sifat-sifat itu mereka bisa memakrifahi (memahami)-Nya, dipenghunjung (akhir) penampakkan sifat-sifat tersebut, itu berarti jika seorang tidak mampu memahami sifat-sifat kesempurnaan-Nya secara sempurna, ia tidak akan bisa memakrifahi kesejatian dzat-Nya, capaian spritualnya hanya sebatas maqom sifat, dan belum sampai ke maqom dzat! Jika makrifah seorang hamba akan sifat-sifat-Nya sempurna, ia akan bersama dzat-Nya dan bukan pada sifat-sifat­Nya. Pahami betul masalah ini! Pelajaran lain yang bisa kita gali dari hadits rasul saw tersebut adalah : isyarat Sirr (rahasia batin) yang lahir dari kesempurnaan-Nya, yang sedemikian itu jika seorang hamba bisa memahami bahwa hakekat malam adalah dzat ketuhanan. Sepertiga akhir, berdimensikan kesempurnaan makrifah (pemahaman) tentang sifat Jaiz atas dzat-Nya. Karena al Haq memiliki dua makrifah.

1. Makrifah yang boleh dilihat kesempurnaan-Nya.

2. Makrifah yang tidak boleh dilihat kesempurnaan-Nya.

Dalam hemat kami (al Jilliy) kesempurnaan makrifah tentang sifat Jaiz atas dzat-Nya itulah sejatinya yang dimaksud sepertiga akhir. Karena bagi kekasih-Nya (wali Allah) ada tiga makrifah. Pertama : Barang siapa yang bisa memakrifahi dirinya, ia akan bisa memahami Tuhan-nya. Kedua : Makrifah ketuhanan, yaitu pemahaman tentang keindahan dan kesempurnaan al Haq melalui sifat-sifat-Nya. Makrifah ini hanya bisa dilakukan setelah memakrifahi Rabb yang terkait dengan makrifah diri. Ketiga : Dzauq Ilahiyah (intuisi ketuhanan), ketika seorang pada capaian rasa ketuhanan ini, Dia bertajalli dalam wujud hamba tersebut, turun pula hak-Nya pada hamba itu, dan di-kuasa-kan kepadanya kesempurnaan dan kekuasaan-Nya. Itu berarti Atsaar ''pengaruh-pengaruh) ketuhanan tampak dalam jasad ham^ Aya, sehingga tangan kekuasaan-Nya, melahirkan kediqdayaan bagi si hamba, lisan si hamba jadi ampuh, kakinya mampu bergerak melintasi dimensi ruang dan waktu, pandangan matanya mampu menembus ruang dan waktu, telinganya bisa menangkap semua pembicaraan (ujaran-ujaran) Maujudat (segala yang wujud). '

Terkait dengan ini rasulullah menandaskan,

Sehingga ia bisu melihat dengan penglihatan Allah, dan mendengar dengan pendengaran Allah.

Belum Edit

Dengan begitu al Haq tampak pada lahir si hamba sedang hamba tersebut pada batinNya. Walhasil, inti pemahaman hadist ini, yang dimaksud dengan turun-nya Rabb adalah : Penampakkan Atsaar (bekas-bekas)-Nya dan sifat-sifat-Nya, yang merupakan bias (pengaruh) ketuhanan-Nya. Sedang maksud daripada langit dunia adalah, bentuk kasat tubuh sang wali, adapun maksud sepertiga akhir ialah, makrifah dzuq Ilahi (intuisi ketuhanan), yang terdapat pada wujud seorang hamba, dimana semua angan dan harapannya terkabulkan, ucapannya ampuh. Demikian halnya dengan maksud setiap malam. Sejatinya adalah setiap penampakkan secara dzat pada diri setiap wali. Pahami betul masalah ini.! Jika anda ingin mengetahui makna tersirat dan sabda rasul diatas, jangan sekedar meSmmya secara tekstual, namun telisiklah makna batinnya S ungkapan rasulullah saw disampmg bermakna lahir juga mengandung rahasia-rahasia, dan makna batin yang dalam. Setiap bSemUiki makna lahir, setiap lahir memiliki makna batin hmggr ujuh batin, seperti yang ditegaskan rasulullah saw. SesZuhnya dalam al Qur’an terkandung tujuh makna batin. Ucapan rl ulfaw adalah cabang dan Kalam Allah. Karena beliau Tiadalah X diucapkannya itu "menurut kemauanhawa nafsunya Ucapannya \tu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (C^an Naim 52-3-4) Rasul Muhammad saw, adalah nsan kamil Sempurna) dan termulia teragung teragung Dan Allah mengatakan „ sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).


Sudah Edit 40 Fatihah (pembukaan) Kitab

Ketahuilah bahwah Fatihah (pembukaan) Kitab al Qur'an itu berupa tujuh pujian, yang sejatinya adalah tujuh sifat diri, yaitu : hidup, ilmu, berkemauan, kuasa, mendengar, melihat, berbicara. Rasul Muhammad saw, bersabda : ((Sesungguhnya Allah telah membagi fatihah antara hamba-Nya dengan Diri Nya. )) Sebagai suatu isyarat bahwasanya wujud itu terbagi antara makhluk dengan al Haq. Manusia yang merupakan ciptaan-Nya, laksana wujud lahir al Haq, sedang batin-nya adalah al Haq. Wujud terbagi atas lahir dan batin. Dengan demikian sifat-sifat Diri al Haq, sejatinya adalah juga sifat-sifat diri Muhammad saw, jika al Haq bersifat Hidup, berpengetahuan, Muhammad juga bersifat hidup, berpengetahuan, demikian pula dengan sifat-sifat diri " lainnya. Demikianlah esensi pembagian Fatihah antara al Haq dengan hamba-Nya. Fatihah menunjukkan isyarat struktur kemanusiaan, yang dibuka Allah gembok-gembok penutup wujudnya, yang dibagi antara Diri Nya dan hamba-Nya, hal itu merupakan metafor bahwa manusia meski merupakan makhluk, namun hakekatnya adalah al Haq, jika manusia tersebut menghiasi dirinya dengan sifat-sifat Uluhiyah dan mentradisikan laku Ubudiyah (peribadatan), dengan demikian berarti ia juga menghiasi dirinya dengan sifat-sifat Rububiyah (ketuhanan) karena Allah adalah hakekat-nya. Itulah sejatinya yang dimaksud dengan maqom Muhammad, ia tidak dinamai selain itu dan ia berada diantara dua kerajaan (malak dan malakut), ia adalah al Haq dan ia adalah makhluk. Pahami betul masalah ini. Jangan sampai anda terjebak pada makna simbolistik! Tela'ahlah surat al Faatihah. Anda akan mengetahui bahwa Allah membagi dalam kandungan ayat itu, antara pujian Diri Nya dengan doa hamba-Nya, sedang diri hamba­Nya terbagi antara kesempurnaan hikmah ketuhanan, juga dimensi gaib dan wujud, dengan dimensi kekurangan-kekurangan ciptaan, pun dimensi gaib dan Syuhud (penyaksian.)

Fatihah (pembukaan) kitab al Qur’an, sejatinya adalah tujuh pujian, surat ini mengandung banyak Sirr (rahasia batin), dan rahasia ketuhanan yang maha luas, tidak cukup dituangkan dalam rentahan kertas, dan tidak akan habis direntah dengan kata-kata. Dalam kajian ini kita hanya akan membincang pemaknaan lahirnya, dengan interpretasi Ta'bir, sebagai langkah Ihtiar (usaha) untuk Tabarrukan (memperoleh berkah) dari Kalamullah (Kalam Allah). Allah berfirman :

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah.

Kita telah membahas dengan detil tafsir Basmalah ini dalam kitab al Kahfi wa al Roqiim fi Syarkhi Bismillahirrahmanirrahim, jika anda ingin penafsiran yang detil silahkan baca kitab tersebut! Dalam kajian ini, kita hanya fokus kepada Madzluliyah (makna tersirat) dari surat pembukaan ini. Para pakar bahasa Arab mengatakan : huruf Ba' dalam Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) adalah untuk /sti'anah (minta pertolongan), itu berarti Bismillah (dengan menyebut nama Allah) aku mengerjakan ini dan itu, Jenis pekerjaannya bersifat umum, mencakup semua pekerjaan dan aktifitas hidup. Hakekatnya ketika anda menyebut nama Allah dalam setiap aktifitas yang anda lakukan, berarti anda laksana meletakkan 'cermin' yang dengan itu anda bisa melihat 'wajah' diri anda dan semua apa yang anda kerjakan. Cermin itu adalah hati, dengan hati anda itulah anda bisa makrifah (memahami) Allah. Ketika anda bisa makrifatullah, pancaran cahaya-Nya, akan selalu memantul ke kalbu anda, dan anda tidak akan bisa melihat wajah-Nya yang hakiki terlebih wajah kehakikian diri anda kecuali dengan 'cermin' hati anda yang jernih dan bersih. Pahami dengan benar isyarat yang kami maksudkan ini, karena 'cermin' anda akan memotret anda dalam mengarungi bahtera hakekat.

Dengan menyebut nama Allah diwaktu berlayar dan berlabuhnya. (Q.s. Huud 11 : 41)

bukan dengan menyebut nama selain Allah.

Ketika para penyelam hati itu menaiki kapal /sim (nama) Allah di tengah samuderah Tauhid (peng-Esa-an), akan berhembus dengan kencang angin Rahmaniyah (Kasih Ke-Pumurah-an) Allah, di udara

Sesungguhnya aku mendapati Diri ar-Rahman (Dzat Yang Maha Pemurah) disebelah kanan (hati), yakni jiwa akan Wushul (sambung) dengan petunjuk rahmat isim (nama), ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) ke tepian dzat-Nya. Sang pengembara akan dihibur dengan asma-asma-Nya dan sifat-sifat-Nya, maka terbukalah pintu-pintu (rahasia) wujud, dan sang kembara akan memakrifahi inti dzat Yang disembah-Nya dengan pemahaman yang hakiki. Allah berfirman : Segala puji bagi Allah. Al Haq, memuji diri-Nya. Dia berhak atas segala pujian. Pujian-Nya atas diri-Nya adalah merupakan inti kehadiran dan Tajalli-Nya, atas segala makhluk ciptaan-Nya. Huruf A\ii dan Zaam dalam Hamdalah (al Hamdulillah), adalah menunjukkan universalitas, bermakna segenap pujian untuk Allah, itulah maksud utama dari segenap sifat-sifat terpuji yang berdimensikan al Haq dan makhluk-Nya. Maka pujian al Haq atas diri-Nya, ter-tajalli-kan pada dimensi ketuhanan dan ciptaan, demikian pula dengan wujud-Nya berdimensi sama.

Para alim ahlu Sunnah, berpendapat huruf Zaam dalam al Hamdulillah, adalah bermakna universal. Sedang ulama Mu'tazilah juga sebagian ulama ahlu Sunnah berpendapat, huruf Zaam dalam al Hamdulillah, adalah bermakna konsesus (kepatutan), itu berarti pujian kepada Allah merupakan sebuah konsesus, yang patut dilakukan al Haq, lebih-lebih wajib dilakukan para hamba-Nya, karena Dia berhak atas segenap pujian. Madzluliyah (makna tersirat) dari pujian al Haq atas diri-Nya adalah menunjukkan akan keMaha Tinggian eksistensi dan kedudukan-Nya. Maqom (al-Hamd), merupakan capaian spiritual tertinggi, karenanya panji Muhammad saw dinamakan panji (al-Hamd). Karena Muhammad saw memuji dzat-Nya, yang Dia berhak atas-nya, karena ke-Maha Tinggi-an eksistensi-Nya, yang ter-tajalli-kan pada dimensi ketuhanan dan ciptaan, demikian pula dengan wujud-Nya berdimensi sama. Pujian itu dikhususkan hanya untuk nama Allah, karena nama Allah mencakup semua dimensi ketuhanan dan terkandung makna-makna wujud dengan segala dimensi dan tingkatannya. Nama Allah adalah pemberi hakekat segala wujud hak-Nya, nama-nama-Nya yang lain tidak ada yang lebih sempurna dan utuh dibandingkan nama Allah karena Allah adalah nama dzat-Nya, sedang nama-nama-Nya yang lain bukan nama dzat-Nya. Kemudian sifat nama Allah itu membiaskan (melahirkan) hakekat pemahaman manusia, yang dengan itu manusia bisa memakrifahi bahwasanya Dia adalah Tuhan semesta alam yaitu Dia Pencipta, Pengatur, semesta alam, baik yang tertampakkan maupun yang tidak tertampakkan, tidak ada penguasa di alam ketuhanan dan alam makhluk selain Allah, Dia adalah dzat Yang Dhahir Gelas kekuasaan-Nya) dan dzat Yang Batin (tak tampak dzat-Nya oleh mata). Itulah sejatinya yang dimaksud dengan ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) dan ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang).

Ketahuilah bahwa nama ar-Rahim lebih khusus, ketimbang nama ar-Rahman, cakupan makna ar-Rahman lebih luas artian-nya. Limpahan rahmat (karunia) Allah meliputi segala sesuatu, itulah sejatinya inti Faydh (penjelmaan) nama ar-Rahman pada segenap makhluk-Nya. Adapun rahmat (karunia) yang tertulis bagi para Muttaqin (insan-insan yang mentradisikan ketaqwaan) pemberi shadaqah, pengeluar zakat, adalah merupakan penjelmaan nama ar-Rahim-Nya. Itu artinya karunia yang lahir dari nama ar-Rahman-Nya, meliputi bencana juga, semisal pemukulan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya—karena bengalnya si anak, sebagai wujud kasih sayang orang tua kepada sang anak, agar si anak tidak nakal lagi, atau orang sakit yang harus minum obat yang rasanya pahit, demi kesembuhannya dari sakit, meski hal tersebut berbentuk rahmat, namun terkandung di dalamnya Niqmah (rasa tidak enak). Nama ar-Rahman mencakup segala sesuatu, apapun bentuknya, termasuk di dalamnya Ni'mah (kenikmatan) dan Niqmah (bencana), berbeda dengan ar-Rahim,-cakupannya hanya meliputi ni'mah (kenikmatan) tidak meliputi Niqmah (bencana), karenanya kemunculan nama ar Rahim itu berada di akhirat, karena rahmat (karunia) kenikmatan surga tidak diliputi Niqmah (bencana), itulah esensi makna ar-Rahim-Nya. Tidakkah anda ingat, bahwasanya rasulullah Muhammad saw, beliau sangat tidak suka jika ada ummatnya dimasukkan neraka. Dalam sebuah hadits beliau bersabda :

Syafa'at (pertolongan) ummatku itu terdapat pada tiga hal. Dalam ayat-ayat yang ada pada kitab Allah, atau penjilatan madu, serta penghangatan api. Aku sangat tidak menyukai jika ada ummatku dibakar dengan api neraka.

Allah mengapresiasikan nama Muhammad saw, dalam nama ar-Rahim-Nya seperti yang termaktub dalam firman-Nya :

Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanaan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.s. at-Taubah 9 : 128).

Ke-rahim-an Muhammad saw tidak dikeruhkan oleh noda-noda Niqmah (bencana), rahmat (karunia)-Nya meliputi semesta alam. Kemudian Allah mengapresiasikan hakekat Muhammad saw yang terlembagakan dalam inti dzat tiap individu dari setiap makhluk yang bernama manusia, berikut mentradisikan sifat-sifat-nya, yang juga merupakan sifat-sifat al Haq. Maka berfirmanlah Dia, Yang mengusai hari pembalasan, yaitu Diraja, yang Maha Berkuasa dan Maha Perkasa, Pemilik segala yang wujud. Hari dalam ayat ini merupakan tajalli ketuhanan pada ketunggalan hari-hari Allah. Pembalasan sejatinya adalah penistaan, maka hakekat hari pembalasan adalah ibarat tajalli ketuhanan dalam wajah balasan-Nya terhadap segala yang wujud, Dia berhak memperlakukan segala yang wujud sekehendak-Nya,' karena segala yang wujud adalah milik-Nya. Sedangkan Madluliyah (makna tersirat dari ayat Yang mengusai hari pembalasan, sejatinya adalah pemilik alam batin, yang diekspresikan dengan Qiyamah (kebangkitan) atau as-Saa'ah pun al-Jazaa'. Hari pembalasan juga merupakan bentuk hakiki 'gambaran' kasat mata, yang bisa dijangkau persepsi inderawi, juga merupakan sentra kerohanian segala yang wujud dan maujud (ada). Pahami dengan benar masalah ini.!

Kemudian Allah beraudiensi dengan Diri-Nya dengan berfirman,

Hanya Engkaulah yang kami sembah.

Esensinya tidak ada wujud sesembahan yang lain, selain Engkau.! Makna tersirat dari redaksi (bahasa) Qur'ani itu, menggambarkan disamping sebagai Pembicara, al Haq juga memposisikan diri-Nya sebagai mitra bicara. Padahal ungkapan Hanya Engkaulah yang kami sembah sejatinya Sang Pembicara adalah al Haq, Dia berbicara kepada Diri Nya. Dia peyembah Diri Nya dengan (media) penampakkan para makhluk-Nya. Dia-lah sejatinya pelaku ibadat, dengan jalan penampakkan pada diri para makhluk-Nya, Dia yang menggerakkan dan menghentikan mereka. Maka ritus beribadah para makhluk-Nya, sejatinya adalah ritus Ibadah al Haq kepada Diri-Nya sendiri.! Kerena keber-Ada-an al Haq pada diri para hamba-Nya adalah dengan wajah pemberian hak nama-nama dan sifat-sifat Nya, yang termanifestasikan pada diri para hamba-Nya. Dengan demikian ritus ibadah hamba-Nya, hakikinya adalah ritus ibadah al Haq sendiri, sedang Dhahimya berupa ritus ibadah para hamba-Nya.

Kemudian Dia berbicara dengan hak-Nya, melalui lisan ciptaan-Nya.

Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,

ayat ini berdimensi ketuhanan dan kemakhlukan (al Haq dan makhluk), adalah merupakan hak preogratif al Haq adakah Dia beraudiensi Diri dengan Kalam yang diperdengarkan dengan pendengaran makhluk, atau beraudiensi Diri dengan Kalam makhluk-Nya, yang diperdengarkan dengan pendengaran al Haq, Dia Maha Berkehendak atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Meski pada hakekatnya Dia beribadah kepada Diri Nya sendiri melalui ritus ibadah para hamba-Nya. namun Dia mengingatkan kita akan kesaksian yang kita persaksikan dalam ibadah kita, karenanya al Haq berfirman :

Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan,

agar kita bisa mengarifi diri bahwasanya hakekat usaha, kekuatan dan kodrat kita, dalam beribadah dan berubudiyah sejatinya adalah usaha, kekuatan dan kodrat-Nya. Semuanya berpulang kepada al Haq. Catat benar masalah ini dalam diri kita, jangan sampai lupa, karena dengan mengarifi ritus ibadah seperti inilah kita akan sampai pada makrifah ke-Tunggal-an Nya. Berikut akan menghantar kita pada penyaksian tajalli-Nya dengan penglihatan hakiki. Untuk menguraikan dua hal ini, tidak cukup untuk memaparkannya dan memerlukan perbincangan tak bertepi, kita cukupkan peringkasannya sampai disini.!

Kemudian al Haq berbicara dengan lisan makhluk-Nya, Tunjukilah kami jalan yang lurus. Paruh pertama surat al Fatihah dari Basmalah (Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) hingga (Yang menguasai hari pembalasan), adalah merupakan pewartaan pembicaraan al Haq tentang Diri Nya, melalui lisan Diri Nya. Sedangkan paruh kedua, merupakan pewartaan pembicaraan al Haq tentang Diri Nya melalui (media) lisan makhluk-Nya. Jalan yang lurus sejatinya adalah 'jalan' penyaksian Tunggal, atas penampakkan Diri al Haq, untuk diri­Nya sendiri, hal itu pararel dengan firman-Nya

Jalan Allah. (Q.s. asy Syuura 42 : 53)

dengan demikian penyaksian al Haq, adalah dengan jalan-Nya, sedang jalan itu sendiri sejatinya adalah Ma'unah (Kasih Pertolongan)-Nya. Tajalli al Haq pada segenap ciptaan-Nya, tertampakkan dengan banyak 'jalan' serta terwacanakan dalam banyak tingkatan, karenanya ungkapan Jalan Allah juga berdimensikan ragam jalan, hal itu tercerminkan dalam firman-Nya,

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.

Insan yang telah sampai pada fase spiritual seperti ini, akan menyaksikan wujud al Haq, Dia juga menyaksian insan tersebut. Dia lalu ber-tajalli dalam bentuk nikmat Qurb Ilahi (Kedekatan Ilahi), nikmat itu membuat insan (hamba) itu terjauhkan

dan jalan mereka yang dimurkai

yaitu orang-orang yang 'terjauhkan', dari Diri Nya. Pada capaian ini Allah bertajalli kepada mereka dengan inisial nama-Nya, yang disebut al Muntaqim (Yang Menuntut Bela).

Hamba itu juga terpelihara dari jalan mereka yang sesat, yaitu orang-orang yang tersesatkan dalam memakrifahi (salah menafsiri) petunjuk al Haq sehingga tidak bisa menemukan kesejatian al Haq, orang-orang—yang salah tafsir, ini tidaklah dimurkai jalan mereka! al Haq bahkan meridhai usaha mereka, serta mendudukkan mereka sebatas disisi-Nya, bukan pada Diri Nya. Mereka-mereka itulah para hamba Allah yang Dia bertanya dan berujar kepada mereka : Wahai para hamba Ku, berharaplah kepada Ku.! Mereka menjawab ; wahai Tuhan kami, kami hanya mengharapkan ridha Mu. Allah berkata kepada mereka : Ridha Ku untuk kalian, Aku meridhai kalian, Aku akan dudukkan kalian disisi Ku. Orang-orang itu ritus ubudiyah mereka hanya berharap ridha-Nya, mereka tidak berusaha memakrifahi-Nya, sehingga mereka tidak mampu merengkuhi maqom makrifah. Andai mereka telah Makrifatullah (memahami kesejatian Allah), niscaya mereka tidak berharap dalam ritus ibadah mereka kecuali Diri Nya. Mereka memang diberi karunia nikmat dalam taman-taman surga-Nya, namun mereka tidak bisa melihat wajah-Nya disurga-Nya. Gapaian nikmat mereka masih bertaraf ar-Rahman, belum bertaraf ar-Rahim, meski hidup dalam kenikmatan surgawi, namun mereka tidak bisa melihat wajah-Nya. Mereka itulah sejatinya insan-insan yang tersesatkan dari ar-Rahman, akan tetapi mereka dikaruniai nikmat dengan kenikmatan-kenikmataan surgawi. Pahami betul masalah ini!

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 41. Tentang Bukit (Thur) Kitab Yang Ditulis Pada Lembaran Yang Terbuka Baitul Ma'mur, Atap Yang Ditinggikan, Laut Yang Di Dalam Tanahnya Ada Api

etahuilah -semoga Allah senantiasa mengkaruniakan kepada kita kasih petunjuk dan pertolongan-Nya. Bab ini merupakan sendi utama (soko guru) bab-bab yang ada dalam karya ini.! Maka handaknya anda pertajam perenungan anda, serta hendaknya anda lebih jeli mencermati metafor-metafornya, jangan berhenti pada pemaknaan tekstual-nya, anda harus menelisik dan menggali makna tersiratnya, waspadai kehalusan ibarat dan keabsurdan redaksi-redaksinya. Ketahuilah bahwasanya, makna Bukit (Thur) Kitab Yang Tertulis dan seterusnya.... Kesemuanya bermaknakan lahir dan berdimensikan syariat, sedang kajian kita lebih terfokuskan pada pemaknaan batin yang berlandaskan asas hakiki (pemahaman hakekat). Anda harus menjernihkan diri dengan mengosongkan makna-makna lahir (tinjauan syariat), anda harus mengoptimalkan ketajaman mata hati anda, serta menfungsikan batin anda, dengan mengibaratkan semuanya Bukit (Thur) Kitab Yang Tertulis dan seterusnya.... ada pada diri anda.! Dan anda dinamai dengan nama-nama itu, serta anda disifati dengan sifat-sifat tersebut.

Ketahuilah, sejatinya maksud daripada Bukit (Thur) adalah jiwa (diri) anda, Allah berfirman,

Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan bukit Thur. (Q.s. Maryam 19 : 52)

yaitu belahan jiwa (diri) anda, semantis logikanya arah yang berlawanan dengan sebelah kanan (sebelah kiri) adalah jabal (gunung), dimana Musa as tampil diri, sebagaimana insan-insan terkasih Allah bertampak diri di gua-gua, hutan-hutan belantara dan tempat-tempat pemunculan diri lainnya. Tampilan yang terjadi pada Musa as, adalah bermula dari dirinya dan bukan dari gunung. Gunung tidak lain hanyalah sebuah tempat beribadahnya. Gunung ibarat kefana'an (kesirnaan diri) Musa bersama al Haq, pingsannya ibarat peleburan dan pelenyapannya dalam samudera hakekat, ke-tiada-an Musa as, seperti ketidakadaan dirinya sebelum diciptakan, keber-Ada-an al Haq tetap abadi seperti sedia kala. Dalam ekstase ritual (fana') seperti itu, maka bukan Musa as melihat Rabb-nya, akan tetapi Rabb melihat Rabb, Musa as hanya merupakan metafor, karenanya al Haq mengisyaratkan dalam firman-Nya,

Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat Ku. (Q.s. al-Araaf 7 : 143)

makna tersiratnya : wahai Musa selama kamu maujud dengan sifat-sifat kemanusiaan dirimu -dan tidak mampu memfana'kan dirimu dengan Diri Ku, selama itu pula Aku gaib- tidak tertampakkan, darimu, jika kau mendapati Diri Ku, maka kau akan lenyap, fana' bersama Ku, sesuatu yang Huduts (baru) tidak mungkin akan eksis jika zat yang Qodim (eternitas) muncul.

Al Juned menandaskan : Sesuatu yang Huduts (ada karena diciptakan), jika dipertemukan dengan Qoodim (tidak didahuli oleh sesuatu), akan lenyap tak berbekas. Ali Ibnu Abi Thalib mengatakan : Jika aku gaib (lenyap) Dia tampak, jika Dia tampak aku lenyap (gaib). Ketika Musa as bertanya kepada Rabb-nya tentang cara untuk bisa melihat-Nya, al Haq berkata kepada Musa as, : Lenyapkan semua nafsu-nafsu dari dirimu, buang sauh-sauh kemanusiaanmu, baru setelah itu menghadaplah kepada Ku, dalam munajatnya Musa as berkata : Wahai Rabbku, bagaimana caranya agar aku bisa Wushul (sambung) kepada Mu,? Rabb-nya menjawab : Pisahkan dirimu dari segala hal selain Diri Ku.! Dengan demikian kini anda telah tahu bahwasanya Thur itu sejatinya adalah batin diri anda, yang kiasannya dita'birkan dengan hakekat ketuhanan dalam diri manusia. Terkait dengan ini telisiklah makna hadits yang disabdakan rasulullah saw,

Sesungguhnya aku mendapati Diri ar-Rahmaan disebelah kanan,

seperti yang ditegaskan firman Qur’ani bukit sebelah kanan adalah Thur yang sejatinya adalah jiwa (diri), sedang yang bukan sebelah kanan adalah Jabal (gunung). Dalam

sabdanya rasul saw cukup menyebutnya dengan redaksi sebelah kanan. Rasul Muhammad saw mewartakan dengan penuh serius bahwa beliau menemukan Diri ar-Rahman, dalam diri beliau, Diri ar-Rahman tampak (muncul) bersama nama-nama dan sifat-sifat­Nya. Allah berfirman :

Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. (Q.s. at Takwiir 81 : 81)

yakni mulai tertampakkan.

Ketahuilah bahwa maksud daripada Kitab Yang Ditulis sejatinya adalah, wujud al Mutlaq dengan segala wacana dan dimensinya, wujud itu juga berdimensikan ketuhanan dan kemanusiaan (al Haq dan makhluk-Nya), wujud itu tertulis dan maujud (ada) serta masyhud (dapat disaksikan), di alam Malakut, tepatnya di Lauhul Mahfudz, pewacanaannya ada di alam Malak tepatnya pada perilaku dan garis nasib manusia. Jiwa manusia itu diibaratkan Lembaran Terbuka sebagai inti metafornya, ruh manusia itu ibarat lembaran, yang merupakan wujud fitri kemanusiaan seorang manusia, sedang wujud segala wujud diibaratkan sebagai sesuatu yang terbuka. Dengan demikian wujud manusia itu merupakan kitab terbuka, dan ketika kitab telah dibuka, tiap-tiap orang bisa mempelajari dan memahami isi kitabnya. Lauhul Mahfudz merupakan kitab terbuka di alam Malakut, eksistensi manusia adalah lembaran terbuka di alam dunia ini, ruh manusia sebagai elan vital 'radar' penangkapan segala yang wujud, untuk cerminan diri, guna membumikan catatan-catatan yang tertulis di Lauhul Mahfudz. Lembaran-lembaran terbuka yang ada di Lauhul Mahfudz itu sama sekali tidak berubah ketika dimanusia­kan di bumi.

Baitul Ma'mur adalah nama sebuah tempat yang dikhususkan Allah untuk Diri Nya, tempat itu asalnya di bumi, lalu diangkat Allah ke langit, tempat itu lantas dimakmurkan (diramaikan) para malaikat di alam Malakut-Nya, pewacanaannya di alam dunia terdapat pada hati manusia, hati manusia itulah sejatinya tempat khusus Allah. Kalbu manusia tidak pernah sepi dari unsur-unsur yang meramaikan, hati manusia dimarakkan kadang oleh ruh suci ketuhanan, juga ruh para malaikat, lebih-lebih ruh setan, atau nafsu-nafsu yang banyak mendominasi kemarakan hati manusia, nafsu itulah sejatinya ruh hewani (kebinatangan), Allah berfirman :

Yang memakmurkan masjid-masjid (rumah-rumah) Allah hanyalah insan-insan beriman kepada Allah. (Q.s at-Taubah 9:18)

yakni yang menghuninya, karena hakekat pe-makmur-an adalah pen-diam-an. Atap Yang Ditinggikan maksudnya adalah 'tempat' ketuhanan di alam ketinggian, yang terdapat di hati, karena makna hakiki Baitul Ma'mur adalah Hati, dan hakekat ketuhanan sebagai atapnya, seperti halnya rumah tidak akan bisa tegak jika tidak ber-atap, demikian pula dengan hati manusia tidak akan eksis (tegak) jika tidak bersendikan hakekat ketuhanan. Demikian halnya dengan luasnya hati melebihi luas semesta alam. Peluas hati adalah Allah, luas bersifat universal, sedang yang diluaskan bersifat parsial. Hati yang luas (hati universal) mampu menampung hikmah-hikmah ketuhanan, sifat-sifat dan nama-nama Allah, hati yang parsial (tidak diluaskan) tidak mampu menyangganya.

Hikmah ketuhanan, sifat-sifat dan asma Allah, mampu meluaskan segala sesuatu, sedang hati parsial tidak mampu meluaskan hal-hal tersebut. Ke-qudus-an dan kesempurnaan al Haq bersifat universal, dan tidak bersifat parsial. Pahami betul kesejatian Allah dari dimensi inti wujud. Pahami pula eksistensi Allah dalam dimensi wujud hukumNya, pahami dengan jeli siapa sejatinya Dia dan siapa sejatinya anda, bagaimana anda bisa Wishal (sampai) kepada-Nya, dan Dia bisa sambung dengan anda, pun ketika anda beralih kepada-Nya dan Dia tersucikan dari kekurangan dan kelamahan anda. Ketahui pula nisbah (perumpamaan) yang terjadi antara diri anda dengan Diri Nya, adakah sudah valid (shahih) dan mampukah mengantar anda kepada al Wujdan, telisik pula sebab keterputusan antara diri anda dengan Diri Nya, apa gerangan yang membuat anda tidak bisa fana' (ekstase) bersama-Nya. Tafakkuri isyarat-isyarat dan metafor-metafor rahasia hakekat ketuhanan-Nya yang terbenam di samudera misteri dan samudera misteri itu bukan ditempat lain, tapi pada diri anda pribadi.!

Adapun Laut Yang Di Dalam Tanahnya Ada Api sejatinya adalah ilmu yang terprevisi (terjaga), dan Sirr (rahasia batin) yang tersimpan rapat, terhampar diantara Kaaf dan Nuun, itulah artian batinnya, sedang arti lahirnya adalah lautan dibawah Arsy, saban harinya Jibril muncul dari lautan tersebut, ketika keluar sayapnya mengepak-kepak yang merintikkan 70. 000 rintik air, Allah menciptakan malaikat dari tiap tetesan air tersebut untuk membawa ilmu ketuhanan, para malaikat itulah yang setiap harinya memasuki Baitul Ma'mur, dari satu pintu dan keluar melalui pintu lain serta tidak kembali kepadanya hingga datang hari Ojamat. Pahami dengan betul pemaknaan lahir ini! Pahahami pula apa yang telah terkiaskan, kenapa harus memakai Samudera sebagai metafor, adakah itu karena keterbatasan akal manusia untuk menyibaknya, ataukah cerminan gairah ketuhanan yang tak bertepi. Terkait dengan mi rasul saw mewartakan keharusan dirinya untuk menyimpannya rapat-rapat sebagaimana sabda beliau :

Aku diberi tiga ilmu, ilmu yang wajib aku sampaikan, ilmu yang terserah aku menyampaikan atau tidaknya, ilmu yang wajib aku simpan.

Apa yang kami paparkan dalam lembaran terbuka ini, bukanlah untuk mengangkat api yang ada didasar samudera, kami hanya menyuguhkan isyarat-isyarat dan rumus-rumus untuk dijadikan 'gizi' tambahan, guna menela'ah kitab kehidupan, lembaran 'manusia' yang terbuka. Manusia adalah kitab kehidupan, dan merupakan gerbang utama menuju kitab ketuhanan. Berbahagialah mereka-mereka yang telah mampu membaca kitab kemanusiaan dirinya, sebab kitab diri adalah miniatur kitab al Haq, hanya mereka-mereka yang bisa memahami 'kitab' dirinyalah yang mampu memakrifahi hakekat ketuhanan al Haq.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Sudah Edit 42. Bantal yang Tinggi

Rafraf al A'lah (Bantal yang Tinggi) : Ibarat martabat ketuhanan yang terlanskapkan pada Maujudaat (segala wujud). Serta merupakan masalah-masalah dzatiyah (berdimensi dzat) yang dikehendaki Ilahiyah (ketuhanan), dan ia (martabat ketuhanan) bukan satu macam, namun beraneka ragam. Per-macam-nya diberi nama al Rafraf al A'lah (bantal yang tinggi), serta merupakan ibarat entitas (Jauhar) ketuhanan. Meski beragam tingkatan jika rafraf-Nya berdimensikan dzat, maka hal itu juga menunjukan inti (dzat) martabat, tidak ada keutamaan diantara satu dengan lainnya, karena peng-utama-an hanya terjadi pada dimensi sifat-sifat dan asma-asma-Nya. Masalah ini adalah masalah dzat ketuhanan al Haq, tidak ada pengutamaan antara Keperkasaan dan Kemuliaan, karena rafraf merupakan metafor wajah ketuhanan. Anda tidak boleh bilang, Kemuliaan al Haq lebih utama ketimbang Keperkasaan al Haq, demikian pula dengan ke-Agung-an dzat-Nya yang lain. Karena semua itu merupakan wajah dzat dan kedudukan al Haq. Perlu kami tandaskan, kedudukan ketuhanan itu terkait dengan ketentuan (hinggaan) dzat Qadha' (ketentuan) dzat itu sendiri terdiri atas dua macam Qadha' mutlak dan Oadha' terikat. Qadha' mutlak merupakan ketentuan mutlak, yang hanya dimiliki al Haq secara Dzati (Dirinya sendiri), tanpa ada I'tibar (perumpamaan) Uluhiyah (ketuhanan), Rahmaniyah (Kepemurahan), Rububiyah (Ketuhanan), dan permisalan-permisalan (idiom-idiom) lainnya. Semua Qadha' adalah merupakan ketentuan mutlak-Nya, hak preogratif al Haq itu terkait dengan ihwal kesempurnaan dan keperkasaan, hal itu murni terkait dengan dzat Diri Nya.

Perlu kami jelaskan Qadha' (ketentuan) mutlak merupakan kehendak Diri al Haq dan tidak terkait dengan suatu apapun selain Diri Nya, sedang Qadha' terbatas adalah juga kehendak Diri al Haq, namun terwajahkan melalui kesempurnaan-kesempurnaan-Nya, semisal Uluhiyah (ketuhanan), Rahmaniyah (Kepemurahan), Rububiyah guna mewajahkan eksistensi-Nya, juga al Izzah (kemuliaan), al Kibriya' (keperkasaan), al Adzamah (keagungan) untuk mewajahkan kedudukan Ilahi, serta al Tim (ilmu pengetahuan). Pergerakan segala yang wujud merupakan wajah Rahmaniyah (Kasih Kepemurahan) dan banyak lagi wajah-wajah ketuhanan untuk mengibaratkan inti (dzat)-Nya, baik yang berdimensi Rahmaniyah (Kepemurahan) atau Rabbaniyah (ketuhanan) dan wajah-wajah lainnya dari sifat-sifat dan asma-asma­Nya. Ketahuilah Oadha' (ketentuan) terbatas juga akan berujung kepada Qadha' mutlak juga, karena al Haq, menentukan semua itu untuk dzat Diri Nya. Uluhiyah misalnya merupakan kehendak dzat al Haq, demikian halnya dengan Rahmaniyah, pun tertib Qadha' yang lainnya adalah merupakan ketentuan al Haq. Walhasil semua Qadha' adalah ketentuan mutlak al Haq, karena Dia berhak atas segala sesuatu, bukan karena kesempurnaan atau kekurangan-Nya, akan tetapi karena inti (dzat)-Nya dan kesempuraan dzat-Nya. Semua Qadha' adalah kententuan dzat-Nya secara mutlak, hanya saja pada realitanya Qadha' tersebut, kadang terwajahkan dengan Qadha' mutlak, kadang terwajahkan dengan Qadha' terbatas sejalan dengan visi dan kedudukan-Nya. Dengan demikian kami bisa menyimpulkan bahwa sejatinya ketentuan dzat itu juga terbagi dua, yaitu mutlak dan terbatas. Pahami betul masalah ini.

Sudah Edit 43. Tikar dan Mahkota

Ketahuilah, semoga Allah senantiasa menuntun kita di jalan kebenaran. Dalam sebuah hadits ditandaskan : Bahwasanya rasulullah saw pernah melihat Tuhan-nya,

dalam bentuk seorang pemuda belia nan tampan yang baru tumbuh kumisnya duduk diatas tikar yang terbuat dari ini dan itu, dan pada kakinya terdapat ini dan itu. Intinya hadits tersebut mewartakan Kasyf yang telah dilakukan baginda rasul saw, bahwasanya Dia bisa dilihat secara intuitif dengan citra (rupa) bentuk maupun rupa makna. Adapun yang dimaksud dengan rupa bentuk, adalah : Tajalli al Haq, dalam bentuk kasat dan terbatas, diatas tikar tertentu, dua sandal yang terbuat dari emas tertentu, Dia-lah sejatinya inti dan batin bentuk citranya. Dia bertajalli dalam bentuk citra apa saja dan pada citra apa saja, Dia bertajalli sesuai kehendak-Nya dan dengan cara yang Dia ingini. Dia bisa bertajalli pada sesuatu yang logis dan irrasional, populer dan tidak populer, riel dan absurd, bisa dilihat dan tidak bisa disaksikan, bisa didengar maupun tidak bisa didengar. Dia bertajalli sesuai kehendak-Nya dan dengan cara yang Dia ingini, Dia-lah sejatinya rupa bentuk inti dan lahirnya. Dia juga bertajalli dalam bentuk imajinasi. Semua yang bergelayut dibenak orang yang berimajinasi, Dialah inti citra imajinasi dan dhahirnya, al Haq dibelakang imajinasi tersebut tanpa batas dan tiada penghabisan.

Dengan demikian Tajalli Khayaliy (imajinatif) itu, terbagi atas dua macam. Bentuk pencitraan yang diyakini dan bentuk gambar kasat mata. Pahami masalah ini dengan betul.! Yang harus anda ingat, tajalli mutlaq yang tercitrakan, sumbernya berikut inspirasinya berasal dari alam Mitsaliyah (alam ideal), jika tampilan imajinasi itu semakin jelas, ia akan bisa ditangkap dengan mata kasat, dalam dunia hakekat hal itu disebut Musyahadah (penyaksian). Ketika penglihatan itu berdimensikan dzat, maka semua yang tersingkap berdimensikan dzat, dalam capaian spiritual seperti itu, penglihatan­Nya menggantikan ketajaman mata hati si-penyaksi dalam penyaksian tersebut. Sedang Tajalli Maknawi, sejatinya adalah realita kasyf (pengetahuan intuisi), yang lahir dari hadist tersebut diatas. Segala yang disebut dalam hadits itu, mengibaratkan makna ketuhanan, seperti yang telah kami terangkan dalam rafraf, yang hakekatnya adalah kedudukan ketuhanan.

Sedangkan tikar ibarat kedudukan Rahmaniyah, yang mewajahkan kedudukan ketuhanan. Adapun mahkota ibarat sesuatu yang tidak berpenghabisan, yang dalam redaksi hadits diwartakan dengan pemuda nan tampan, agar kita mentafakkuri bahwa masa muda tiada akan pernah eksis, karena akan datang masa tua, hal itu menunjukkan sesuatu yang berpenghabisan, namun hakekat gambar imajinasi itu sendiri tetap eksis (tidak berpenghabisan). Penyebutan mahkota yang tersematkan di kepala, memetaforkan hakekat suatu dzat yang tiada akan pernah habis. Segala sesuatu yang al Haq bertajalli kepadanya, ia akan tetap eksis bersama dzat-Nya, semua yang tertajallikan tidak berakhiran, karena sesuatu yang terjallikan itu merupakan ketunggalan-Nya dan bagian dari kesatuan-Nya. Satu bersama inti (dzat)-Nya berarti tidak ada yang lain di dalamnya, karenanya sesuatu yang banyak (lebih dari satu) tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang tidak berakhiran, sebab tidak berakhiran memiliki banyak syarat, al Haq tersucikan dari sesuatu yang banyak, al Haq adalah dzat Yang Maha Tinggi. Pengetahuan-Nya tidak terbatas. Pengumpulan dua hal yang kontradiktif dan sifat dan asma­Nya, sejatinya adalah tetap pada inti ke-Esa-an-nya, tidak ada dualisme disitu. Tafakkuri dengan betul hadist yang mewartakan sesuatu yang mentakjubkan ini, telisik makna yang tersirat, agar engkau tertuntun ke jalan yang benar. Kepada-Nya kembali segala sesuatu, dan Dia adalah sebaik-baik tempat kembali.

Syair-syair al-Jily

as Sarir adalah metafor kekuasaanNya

Arsy untuk membumikan rahmatNya

DudukNya diatas Sarir memataforkan tajalli

keMuliaan dan keLuhuran KuasaNya.

Dia dilambangkan dengan Arsy

Mulia keAgunganNya diuraikan hukum-hukum Qur',

Arsy adalah Kuasa dan AgungNya.

Luasnya, terbentang dalam rahman dan rahimNya.

Sudah Edit 44. Dua Sandal dan Dua Kaki

Ketahuilah, semoga hidayah dan petunjuk-Nya, senantiasa menyertai diri kita semua, dan semoga Dia memberi hikmah kepada anda dan kita semua. Dua Kaki : ibarat

dua hukum dzat yang saling berlawanan, kedua-nya merupakan jumlah (bilangan) dzat, terlebih inti dzat, kedua hukum itu merupakan elan vital dzat, semisal Huduts (ada permulaan-nya) dengan Qidam (adanya tidak didahului oleh sesuatu), ketuhanan dan kemakhlukan, wujud (ada) dan 'adam (tidak ada), berakhiran dan tidak berakhiran, Tasybih (atropomorfisme) dan Tanzih (transendensi), serta permisalan lain-nya yang mewajahkan al Haq secara subtansi (dzat) hukum. Amtsaal (permisalan-permisalan) itu sejatinya adalah al Haq juga, karenanya semua itu dimetaforkan dengan dua kaki, karena dua kaki merupakan bagian dari Shurah (citra) Adapun dua sandal merupakan, ibarat dua sifat yang kontradiktif, semisal : Rahmah (karunia) dan Niqmah (bencana), Ghadlab (marah) dan Ridha (rela), serta permisalan-permisalan lainnya.

Adapun letak perbedaan antara Dua Kaki dan Dua Sandal. Bahwasanya Dua Kaki ibarat kontradeksi khusus yang terkait dengan dzat, Dua Sandal ibarat multi kontradeksi yang ada pada segenap makhluk-Nya, yakni bias dari kontradeksi itu membuahkan bekas (pengaruh) pada para makhluk, karenanya dimetaforkan dengan dua sandal sebab keberadaannya terletak dibawah dua kaki, pula karena sifat Aqliyah (akal) berada dibawah sifat Dzatiyah (Diri­Nya). Meski eksistensi dua sandal itu terbuat dari emas murni, ia tetap saja meninggalkan bekas, karena ia akan sirna. Berdasarkan hukum Maujudaat (segala yang wujud), bahwa sesuatu yang wujudnya karena diadakan akan hancur binasa. Demikianlah hukum maujudaat, apapun bentuk wujudnya pasti ada ahirannya, jika anda bisa memahami kesejatian makna Dua Sandal dan mengerti maksud dari Dua Kaki, anda akan bisa memakrifahi Sirr (rahasia batin) sabda rasul saw bahwasanya manakala al Jabbar (Dzat Yang Maha Perkasa) menjejakkan kaki hamba yang dikasihi-Nya diatas api neraka, api itu lantas padam, lalu tumbuh ditempatnya (api yang diinjak) pohon Jirjir. Kita akan bahas topik ini dalam bab Jahannam di penghujung karya ini. Fahami betul ibarat dan kiasan yang kami pakai dalam memetafora masalah ini!

Ketahuilah bahwasanya Rabb, memiliki wajah kesempurnaan di setiap Maujudaat (segala wujud), dan wajah kesempurnaan itu sejalan dengan ruh yang ada dalam wujud tersebut. Ruh segala yang wujud itu tampak dalam bentuk jasad maupun benda-benda yang bisa ditangkap secara persepsi inderawi, masalah ini dalam lanskap Rabbaniyah (Ketuhanan) merupakan masalah yang berdimensi Dzatiyah (Diri Nya sendiri). Keberadaan inti (dzat)-Nya dalam Maujudaat adalah sebuah keniscayaan, i'tibar-Nya tidak ternafikan, karena wujud-wujud tersebut tidak bisa diidentifakasi melainkan dengan i'tibar, segala sesuatu yang dinisbatkan ke al Haq i'tibar (perumpamaan)-nya tidak bisa dinafikan. Pahami betul masalah ini.! Dengan demikian citra-citra Maujudaat itu dalam lanskap ketuhanan, sejatinya adalah berdimensikan Dzatiyah (Diri-Nya sendiri) hal itu pararel dengan isyarat rasulullah saw, beliau bersabda : Adam dicipta dalam citra ar-Rahmaan (Dzat Yang Maha Pemurah) sabda yang lain : Adam diciptakan dengan citra Diri Nya. Untuk memperdalam urgensi makna kedua hadits tersebut, silahkan baca karya   kami   al   Kahfi   wa   al   Raqiim,   fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim Dari lanskap pengetahuan intuisi (kasyf) dapat diketahui bahwa kedua hadits itu bermaknakan Dhahir, namun dengan syarat harus disertai Tanzih (transendensi) ketuhanan dari Tasybih mutlak dan Tajsim (bertubuh) mutlak serta Hului (panteisms). Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 45. Arsy (Singgasana)

Arsy dalam lanskap hakekat, sejatinya adalah, simbol keagungan dan tempat tajalli serta kehususan dzat. Arsy juga disebut tubuh Hadrah (presensi), namun ia tersucikan dari enam arah (mata angin). Arsy merupakan pandangan tertinggi, dan tempat termulia yang meliputi semua ragam Maujudaat (segala yang ada), Arsy dalam wujucmutlakseperti jisim (tubuh) dalam wujud manusia, dengan i'tibar bahwa alam jisim mencakup, alam ruh, imajinasi, estimasi, logika dan lam sebagainya. Karenanya para pegiat sufi mengibaratkan A^seha^1Sim^ (tubuh semesta), namun pandangan seperti itu harus diberi catatan kecil karena Jism Kulli (tubuh semesta), meski meliputi alam ruh-ruh namun ruh-ruh itu bertingkat-tingkat keberadaannya, diatasnya ada Nafs Kulli Qma semesta). Yang kita ketahui bahwa tidak ada suatu wujud diatas Arsy, kecuali ar-Rahman. Ada juga yang memetaforkan bahwa Nafs Kulli (jiwa semesta) sejatinya adalah Luh al Mahfudz, dengan demikian keberadaan Lauh itu diatas Arsy, tentunya hal itu berbeda dengan pendapat para pegiat sufi yang menandaskan bahwa sejatinya Arsy itu adalah Jisim Kulli (tubuh semesta). Kami tidak menyanggah bahwa keberadaan Arsy diatas Lauh yang diibaratkan dengan Nafs Kulli (jiwa semesta) dengan demikian tidak bisa diragukan lagi bahwa kedudukan Nafs (jiwa) lebih tinggi ketimbang kedudukan Jism (tubuh).

Dalam pandangan kami berdasarkan Kasyf (pengetahuan intuitif), meski dalam perumusannya kami memakai hukum i'tibar. Kami berpendapat bahwa sejatinya Arsy adalah Falak (bintang) yang dikelilingi Aflak (rasi-rasi-bintang) Maknawiyah (makna) dan Shuwariyah (citra), puncak dari falak tersebut adalah martabat Rahmaniyah (kepemuraan), jiwa Hawiyah (ke-Dia-an). Falak itu adalah wujud mutlak-Nya, baik yang berdimensikan Dzatiyah (Diri­Nya sendiri) maupun hukum-hukum-Nya. Karenanya falak-falak tersebut memiliki dimensi lahiriyah dan dimensi batiniyah, batinnya berupa alam Oudus, yaitu alam nama-nama al Haq dan sifat-sifat­Nya. Alam Qudus dan eksistensinya disebut alam katsiib (alam kasar), yang keluar darinya para penduduk surga disaat mereka rindu melihat wajah al Haq secara dzat. Sedangkan lahirnya berupa alam manusia. Arsy juga merupakan tempat, pemberi citra (rupa) bentuk dan jisim, karenanya atap langit dan segala penyerupaan dan pembentukan dari setiap jisim (tubuh), serta ruh, atau lafadz, makna, serta hukum atau dzat. Kesemuanya adalah metafora yang lahir falak ini, jika ditanyakan kepada anda apa sejatinya Arsy mutlak itu? Falak tersebutlah jawabannya.

Jika dikaitkan dengan sifat-sifat-Nya, ketahuilah maksudnya adalah wajah dari falak ini, semisal ungkapan rasul saw : Arsy al Majiid (Yang mulia) maksudnya adalah alam Qudus dengan martabat Rahmaniyah yang merupakan sumber daripada kemuliaan, demikian pula dengan ungkapan Arsy al Adhiim (Yang agung),' maksudnya adalah hakekat-hakekat dzat dan kehendak Diri Nya yang menunjukkan kedudukan keagungan, itulah sejatinya yang disebut alam Qudus. Dengan demikian alam Qudus ibarat, makna-makna ketuhanan yang Qudus, ter-transendensi-kan dari hukum-hukum penciptaan (makhluk) dan kekurangan-kekurangan alam. Ketahuilah bahwasanya jisim dalam struktur tubuh manusia, merupakan wadah segenap elan vital wujud (organ) manusia, semisal ruh, akal, kalbu dan unsur-unsur kemanusiaan lainnya. Eksistensi manusia laksana Arsy di semesta alam, Arsy merupakan elan vital dari struktur alam, ia merupakan jasad alam meliputi segala apa yang ada di dalamnya. Atas dasar ini para pegiat sufi menyebut Arsy sebagai Jisim Kulli (tubuh semesta), kami sependapat dengan fikrah tersebut, Allah Maha Mengetahui.

Sudah Edit 46. Kursi

Ketahuilah, Kursi merupakan ibarat tajalli (penampakkan)  sifat-sifat yang lahir dari dimensi Fi'liyah (aktualitas). . Kursi merupakan simbol dari Taqdir Ilahi (ketuhanan), tempat keluarnya konsesus perintah-perintah dan larangan-larangan­Nya. Kali pertama kasih kelembutan al Haq tertampakkan pada hakekat-hakekat kemakhlukan bermula dari kursi-Nya. Kursi juga tempat lahirnya segala hal yang bersifat parsial dan absurd, sentra kemanfaatan dan marabahaya, keterkumpulan dan ketercerai beraian, dari Kursi pula terlihat bekas-bekas (Atsaar) sifat-sifat yang kontradiktif. Dari kursi tersiarkan perintah dan warta ketuhanan kepada segala yang wujud, ia tempat memutuskan konsesus ketentuan-Nya (qadha'-Nya) sedang Qolam (pena) tempat memutuskan taqdir-Nya. Lauhul Mahfud, tempat penulisan Qadha' dan Qodar-Nya, al Haq berfirman : ((Kursi Allah meliputi langit dan bumi)) (Q-S- al Baqarah 2 : 255) Ketahuilah, peliputan itu terbagi atas dua liputan.

1. Peliputan berdimensi hukum (ciptaan).

2. Peliputan yang berdimensi wujud dzat.

Disebut peliputan hukum, karena bumi dan langit merupakan atsar (pengaruh) sifat dari sifat-sifat perbuatan (aktualitas) al Haq, Kursi merupakan tempat (pusat) pandangan segala sifat-sifat aktualiatas (perbuatan) al Haq. Walhasil peliputannya berdimensikan

Maknawiyah disetiap wajah yang terlanskapkan dalam wajah-wajah kursi, dan setiap wajah yang lahir dari lanskap ke-kursi-an adalah wajah hakiki sifat-sifat perbuatan (aktualitas) al Haq. Adapun peliputan yang berdimensi wujud dzat (Diri Nya sendiri), sejatinya adalah subtansi (entitas) wujud dengan segala rahasia-rahasia-Nya, yaitu 'wujud terbatas' yang meliputi langit dan bumi dus segala sesuatu diantara keduanya, itulah yang diibaratkan sebagai Kursi. Kami menyebutnya sebagai wujud terbatas, karena Kursi merupakan tempat keluarnya hukum (konsesus) amar perintah dan larangan-Nya. tempat sifat-sifat perbuatan (sentra aktualitas) al Haq, basis taqdir-taqdir ketuhanan, kesemua itu merupakan wujud terbatas, karena ke-maujud-annya berdasarkan perintah dan kehendak-Nya. Kursi juga merupakan tempat tajalli dan simbol ketuhanan, ia juga merupakan tempat berpijaknya kaki al Haq, dari kursi tersebut al Haq melakukan Qadha-Nya, tempat mengadakan atau meniadakan, menghancurkan atau menyelamatkan, memberi atau menahan, memuliakan atau menistakan segala yang ada, al Haq melakukan semua itu melalaui wajah kursi-Nya.

Sudah Edit 47. Qolam (pena) tertinggi

Ketahuilah, Pena tertinggi, ibarat awal ketentuan-ketentuan $ al Haq dalam lanskap ciptaan (epos kemakhlukan) dan L nuansa wujud pada kisaran bahan (dasar) ciptaan. Kami menyebutnya sebagai bahan (dasar) ciptaan, karena dalam ciptaan ada ketentuan absurd (tidak terjangkau logika) yang terkandung dalam ilmu ketuhanan, kemudian wujud bisa teridentifaksi hukum (konsesus) penciptaan-Nya di Arsy. Seperti yang kita ketahui Arsy adalah salah satu wajah-Nya yang berupa Maujudaat al Khalqiyah (wujud makhluk), kemudian wujud itu tampak secara parsial dalam Kursi-Nya, lalu tampak pada bahan dasar ciptaan dalam Qolam (pena) tertinggi. Tajallinya di tempat-tempat itu kesemuanya berdimensi gaib, wujudnya di Qolam adalah wujud inti dari al Haq, dengan demikian sejatinya Qolam (pena) tertinggi adalah Amtsaal (contoh-contoh) yang dilukiskan dalam Lauhul Mahfudz, seperti akal yang merupakan kuas lukisan dalam jiwa, akal dalam mikro kosmos, laksana qolam dalam makro kosmos, jiwa dalam alam mikro, laksana Luh di alam makro, problematika pemikiran yang ada pada jiwa berjalan berdasar hukum logika, ia laksana Shuwar (citra) wujud yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Karenanya rasul saw bersabda :

Kali pertama yang diciptakan Allah adalah akal

juga

Yang pertama kali diciptakan Allah adalah Qolam,

Qolam sejatinya adalah Aql Awwal (akal pertama), keduanya (akal dan qolam) wajah daripada ruh Muhammad saw. Dalam hadistnya beliau bersabda :

Kali pertama yang diciptakan Allah adalah ruh nabimu wahai Jabir.

Dengan demikian Qolam (pena) tertinggi, Aql Awwal (akal pertama), ruh Muhammad adalah ibarat Jauhar (entitas) ketunggalan, nisbatnya pada makhluk dinamakan Qolam tertinggi. Nisbatnya ke inti (dzat) kemakhlukan dinamakan Aql awwal (akal pertama), nisbatnya pada Insan Kaamil (manusia sempurna) dinamakan ruh Muhammad saw. Kita akan membahas lebih rinci masalah ruh ini pada pasal berikutnya.

Sudah Edit 48. Lauhul Mahfudz

Ketahuilah, Lauhul Mahfudz ibarat cahaya ketuhanan yang tertampakkan dalam pemandangan makhluk dan nuansa wujud, yang dengan itu inti wujud tertampakkan. Lauhul Mahfudz merupakan induk benda pertama (Umm al Huyuli), karena benda tidak berbentuk (memiliki rupa) kecuali setelah tertulis di Lauhul Mahfudz, ketika benda pertama itu diwacanakan, bentuk (rupa) ditulis oleh Qolam (pena) tertinggi itulah sejatinya yang disebut Lauhul Mahfudz, adanya benda pertama itu sejalan dengan kehendak al Haq, karenanya dikatakan : Jika benda pertama itu telah terwacanakan dalam sebuah bentuk (citra), niscaya Sang Pemberi bentuk akan tertampakkan pada citra bentuk tersebut di semesta alam-nya, begitu pula ujaran Sang Pemberi bentuk akan tertampakkan, citra bentuk itu juga mengindikasikan peliputan, sejalan dengan sabda rasulullah Muhammad saw :

Sesungguhnya adalah hak Allah, mengangkat atau meletakkan dunia.

Bukan karena sebuah keharusan (kewajiban) bagi-Nya, yang sedemikian itu merupakan bentuk (citra) ketinggian al Haq dengan sebenar-benarnya. Kita akan bahas masalah ini dalam pembahasan Huyuli (benda pertama) dipasal yang akan datang.

Ketahuilah Cahaya Ketuhanan yang terpancarkan dalam segala Maujudaat (segala yang ada) adalah ibarat Nafs Kulli (jiwa semesta), kemudian menjadi I'lm (ilmu) pengetahuan ketika ditulis oleh Qolam (pena) tertinggi di Cahaya Ketuhanan, yang diibaratkan dengan Lauhul Mahfudz. Pengetahuan itu lalu membias dengan wajah-wajah Cahaya Ketuhanan ke Maujudaat (segala yang wujud), wajah wajah itu dalam lanskap pandangan kita disebut Aql Kulli (akal semesta), seperti halnya ia dalam lanskap cahaya disebut Qadha' (ketentuan al Haq). Dalam termin inilah perincian asal (sesuatu) yang berdimensikan sifat-sifat ketuhanan bermula, yang diibaratkan eksistensinya dengan Kursi, sedang Taqdir dalam Luh, sejatinya adalah hukum penampakkan atas bentuk (citra) tertentu,' pada keadaan tertentu dalam waktu khusus pula, semua itu diuraikan dengan Qolam (pena) tertinggi. Dalam termin istilah kita disebut Aql Awwal (akal pertama). Ambilah satu contoh semisal Cjadha' al Haq untuk menciptakan Zaid putra si Fulan, dalam struktur ruang dan waktu yang ada dalam lorong zaman, realisasi Qadha' disebut Qodar (taqdir), ditulis di Lauhul Mahfudz oleh Qolam (pena) tertinggi, yang kita namakan Aql awwal (akal pertama), sedang tempat yang bisa ditemukan keterangan Qadha' disebut Lauhul Mahfudz, diibaratkan dengan Nafs kulli (jiwa semesta). Sesuatu yang melahirkan hukum wujud yang melahirkan sifat-sifat ketuhanan itulah sejatinya yang disebut dengan Qadha', basis penampakkannya disebut Kursi, maka pahami dengan betul,' apa yang dimaksud dengan Qolam, Lauh al Mahfudz, serta apa yang dimaksud dengan Qadha' dan Qodar (taqdir)

Ketahuilah, bahwa ilmu yang lahir dari Lauhul Mahfudz, merupakan percikan ilmu Allah Azza Wa Jalla, yang diedarkan-Nya melalui hikmah ketuhanan, sejalan dengan kebutuhan hakekat ketuhanan. Ilmu Allah mencakup rahasia dibalik semua hakekat, yang tertampakkan pada percikan Qudrah (kodrat) segala yang wujud ( Maujudaat) yang tidak termaktub dalam Lauhul' Mahfudz, namun tertampakkan dalam alam A'yaan as Tsabitah (zat tetap). Segala yang termaktub dalam Lauhul Mahfudz, merupakan dasar wujud, yang bisa ditangkap secara persepsi inderawi hingga hari kiamat, tidak termasuk di dalamnya ilmu tentang penghuni surga atau penghuni neraka, karena ilmu tersebut produk kodrat, sedang masalah kodrat adalah absurd dan tidak ditentukan. Dalam Lauhul Mahfudz tercatat pula ilmu kemudakan-Nya, semisal ilmu kenikmatan mutlak, yang dicatat Qolam (pena) tertinggi sebagai kebahagiaan Kulli (universal) yang bersifat abadi, jika dirinci bisa berupa kenikmatan, penghuni surga Ma'wah, kenikmatan penghuni surga Khuldi, atau surga Na'im, pun surga Firdaus serta kenikmatan-kenikmatan abadi yang ada dalam ke-rahim-an surga­Nya, demikian pula dengan ihwal (keadaan) yang melingkupi para penghuni neraka. Pahami dengan seksama masalah ini.!

Ketahuilah, bentuk Qodar (Taqdir) yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz, terbagi atas dua macam : 1.) Qodar yang tidak mungkin dirubah atau diganti. 2.) Qodar yang mungkin dirubah atau diganti. Adapun taqdir yang tidak mungkin diganti dan dirubah sejatinya adalah, masalah-masalah yang berdimensikan sifat-sifat ketuhanan yang ada disemesta alam, tidak ada jalan untuk mentiadakannya. Sedangkan taqdir yang mungkin dirubah dan diganti, sejatinya adalah masalah-masalah yang terkait dengan isi-nya alam, berlandaskan pada dasar-dasar peraturan hikmah yang dikonsesuskan al Haq secara tertib yang direntah dalam Lauhul Mahfudz, serta tertampakkan melalui hukum penciptaan ketuhanan. Tidak bisa diragukan bahwa kehendak isinya alam, sejatinya adalah kehendak sifat-sifat ketuhanan, meski diantara keduanya terdapat batas pilah yang jelas, yakni antara kehendak isinya alam vis avis kehendak sifat-sifat mutlak. Karenanya ketergantungan isinya alam dengan selain al Haq, hanya akan melahirkan kelemahan, dan tidak terjamin keeksisannya serta menutup ruang al Mumkinaat (kemungkinan), berbeda jika ketergantungan itu kepada al Haq dan sifat-sifat mutlak-Nya, keeksisan Qadha'-Nya merupakan sebuah keniscayaan, serta menyisakan Wajhu al Mumkinaat (ruang kemungkinan).

al Mumkinaat (sesuatu yang mungkin) mengandung dua dimensi, menerima sesuatu atau menolak (lawan) sesuatu. Semantis logikanya jika Qadha' itu terealisir lawannya adalah tidak terealisir, inipunjuga menyisakan dua kemungkinan, jika qadha' itu terlaksana maka hal itu sejalan dengan konsesus hikmah ketuhanan, jika tidak terealisir berarti tidak sejalan dengan hikmah ketuhanan, hal ini merupakan wilayah Dzauqiyah (intuitif), yang tidak bisa ditangkap persepsi inderawi dan jauh dari jangkauan logika pikir, karena hal ini merupakan Kasyf (pengetahuan intuisi) ketuhanan yang diberikan al Haq, kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Maka Qadha' yang terkonsesuskan (dalam bingkai hukum), itulah sejatinya Qadha' yang tidak bisa dirubah atau diganti, sedang Qadha' yang diluar bingkai hukum, ada kemungkinan bisa dirubah atau diganti, karenanya rasul Muhammad saw selalu memohon pertolongan al Haq perihal Qadha' tidak terkonsesuskan ini, sebab beliau mengetahui Qadha' ini bisa dirubah atau diganti, al Haq berfirman :

Allah menghapus apa yang Dia kehendaki, dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan disisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab. (Q.s. arRa'ad : 13 : 39).

Berbeda dengan Qadha' yang terkonsesuskan dalam ketetapan­Nya, al Haq berfirman :

Dan adalah ketetapan Allah itu, suatu ketetapan yang pasti berlaku. (Q.s. al Ahzab 33 : 38)

namun demikian untuk memukasyafahi (menyibak) Qadha' yang tidak terkonsesuskan lebih sulit ketimbang mukasyafah Qadha' yang terkonsesuskan. Langkah untuk mengetahui Qadha' yang tak terkonsesuskan adalah dengan mempelajari hukum-hukum Qadha' yang tertulis, memohon pertolongan kepada Sang Maha Mengetahui untuk menyibak Qadha' yang tak terkonsesuskan, yang sejatinya adalah izin dan kasih pertolongan-Nya, pararel dengan firman-Nya.

Siapakah yang dapat memberi syafaat disisi Allah tanpa izin-Nya? (Q.s. al Baqarah 2 : 255).

Kemudian ketahuilah, bahwa Cahaya Ketuhanan yang diindikasikan dengan Lauhul Mahfudz, sejatinya adalah cahaya dzat Allah yang merupakan inti dzat-Nya, karena kemustahilan pembagian dan pemecahan-nya, itu pula yang disebut kemutlakan al Haq. Kami menyebutnya dengan Nafs Kulli (jiwa semesta), yang diindikasikan dengan kemutlakan ciptaan, hal ini diisyaratkan firman-Nya.

Bahkan wujud mutlak itu ialah al Qur’an yang mulia, yang tersimpan dalam Lauhul Mahfudz. (Q.s al Buruuj 85 : 21 - 22)

yakni melalui al Cmr'an itulah sejarinya dzat al Haq dapat disibak wajah hakiki kemuliaan di Lauhul Mahfudz, diindikasikan dalam Nafs Kulli. Jiwa semesta inilah hakekatnya insaan kaamil (manusia sempurna), tanpa ada Tanasul (reingkarnasi), Irtihad (kemanunggalan), Hului (panteisme), Tasybih (antropomorfisme) dengan al Haq.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jilly

Nafas ikan hanya Dia Yang Maha Tahu

Termaktub dalam Luh seperti nasib anak Adam.

Citra segala wujud semuanya tertuang dalam goresan ketetapan taqdirNya yang azali

Catatan-catatan Luh yang tidak ternodai kotoran dosa,

tidak menghitamkan nasib pelakunya,

Tulisan Luh tereja dalam perilaku lahir

Raport perbuatan insani, menjadi rahasia kehidupan

Sudah Edit 49. Sidratul Muntaha

Ketahuilah, sejatinya Sidratul Muntaha itu adalah penghujung (muara) tempat dan puncak kedudukan, yang bisa digapai makhluk-Nya dalam meniti jalan Allah, tempat setelah Sidratul Muntaha adalah Khusus untuk al Haq, tidak ada satupun makhluk yang bisa menginjakkan kakinya di tempat paska Sidratul Muntaha, karena makhluk yang melintas melebihi batas Sidratul Muntaha, akan lenyap terbakar dan hilang tak berbekas. Hal ini diisyaratkan Jibril as, yang berkata kepada Muhammad saw : Jika kau melangkah sejengkal lagi, niscaya kau akan terbakar, esensinya ketika rasul Muhammad saw berada di Sidratul Muntaha, beliau dilarang melangkah meski hanya sejengkal, sebab beliau akan terbakar lenyap. Rasul saw mewartakan, beliau mendapati di Sidratul Muntaha itu sebuah pohon Sidir, yang daun-daunnya sebesar kuping gajah, kita harus mengimani kabar baginda rasul saw itu, karena kabar itu datang dari penghujung para nabi yang menjadi pelaku sejarah perjalanan agung nan monumental tersebut, meski demikian hadist rasul saw itu banyak menyisakan ruang interpretasi (ta'wil).

Pohon Sidir itu melahirkan ruang kemungkinan dan menyisakan kavling interpretasi penafsiran, boleh jadi itu berdimensi makna lahir, bisa juga merupakan metafor ketuhanan. Pohon Sidir merupakan sesuatu yang kasat dalam bingkai imajinasi beliau, yang bisa disaksikan dengan kesempurnaan Syuhud (penyaksian) dengan demikian imajinasi juga bisa disibak melalui pengetahuan intuisi (kasyf). Untuk mengetahui kesejatian-nya, orang seorang harus mukasyafah. Kami mempercayai ungkapan rasul saw tersebut secara mutlak, karena Mi'raj rasul adalah Mi'raj yang tidak terbatas, sedang Mi'raj kita adalah Mi'raj terbatas, lebih dari itu Mi'raj kita jelas berbeda dengan Mi'raj rasul saw, dengan satu keyakinan bahwa ilmu kita tidak sampai untuk menjangkaunya, atau adanya ilmu yang wajib dirahasiakan beliau, yang tidak boleh disampaikan. Kami mengimani sabda itu berdasar mi'raj kami dengan kepercayaan mutlak. Sejatinya yang dimaksud dengan pohon Sidir itu adalah iman. Rasul Muhammad saw bersabda :

Barang siapa kerongkongannya termasuki buah bidara, Allah telah memasukkan iman ke dalam hatinya.

Pohon Sidir itu daun-daunnya sebesar kuping gajah, hal itu memetaforkan kebesaran dan kekuatan iman, daun-daun itu tampak di setiap rumah di rumah-rumah surga, mengibaratkan keeksisan iman si empunya rumah. Ketahuilah, bahwasanya pohon Sidir itu memiliki delapan Hadrah (presensi), yang masing-masing hadrah menampakkan pemandangan ketinggian yang tidak terbatas, masing-masing pemandangan satu sama lain berbeda, sejalan dengan Dzauq al Wujdan (intuisi) masing-masing pelaku

Adapun Maqom, sejatinya adalah penampakkan al Haq dalam setiap tajalli-Nya pada segala yang wujud, baik yang berdimensi hakekat ketuhanan dan makna kemakhlukan. Hadrah (presensi) pertama : Tajalli al Haq dalam dimensi nama-nama lahir-Nya, yang tertampakkan dalam batin hamba-Nya. Hadrah kedua : Tajalli al Haq dalam dimensi nama-nama batin-Nya, yang tertampakkan dalam lahir hamba-Nya. Hadrah ketiga : Tajalli al Haq dalam dimensi ruh hamba-Nya. Hadrah keempat : Tajalli al Haq dalam dimensi sifat Rabbaniyah (ketuhanan), yang tertampakkan dalam jiwa hamba-Nya. Hadrah kelima : Tajalli al Haq, yang berdimensikan Martabat (kedudukan), yaitu penampakkan ar Rahman dalam akal seorang hamba. Hadrah keenam : Tajalli al Haq dalam estimasi hamba-Nya. Hadrah ketujuh : Makrifah Hawiyah (ke-Dia-an) yang tertajallikan dalam Inniyah (ke-Aku-an) seorang hamba. Hadrah kedelapan : Makrifah dzat dalam kemutlakan hamba, al Haq bertajalli dalam maqom ini dengan segala kesempurnaan-Nya, dalam struktur kemanusiaan seorang hamba, baik secara lahir maupun secara batin, pun batin dalam makna batiniyah dan dhahir dalam makna lahiriyah, Dia adalah dengan ke-Dia-an Nya dan Aku dengan ke-Aku-an Nya. Hadrah ini merupakan presensi tertinggi, dari Hadrah-hadrah yang ada, tidak ada maqom setelahnya melainkan Ahadiyah (Ketunggalan)-Nya. Pada maqom ini eksistensi seorang hamba lenyap dibawah hadirat­Nya. Hadrah (presensi) ini merupakan kehususan al Haq, dzat Yang Wajibul Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Ketika tajalli itu telah sampai ke maqom kesempuraan, maka tajalli ketuhanan juga sampai pada kesempurnaan mutlak, hamba yang terjallikan itu tidak lagi bisa disebut makhluk, namun disebut citra murnia al Haq. Atas dasar inilah para ahli ketuhanan ketika telah merengkuhi tajalli mutlak, mereka tidak mewartakan kepada yang lain dan menyimpannya dalam Sirr (rahasia batin)-nya yang paling dalam. Allah Jallah Jalalaah, adalah penuntun ke jalan kesempurnaan dan pembimbing kepada kebenaran mutlak.

Sudah Edit 50. Ruh Qudus

Ketahuilah sejatinya Ruh Qudus itu adalah : Ruh segala ruh ia ter-tanzih-kan (transendensikan) dari wacana KUN, Ruh Oudus tidak bisa diklasifikasikan sebagai bentuk makhluk, karena ia merupakan wajah khusus dari wajah-wajah al Haq, yang dengan wajah-wajah itu .egala wujud bisa ditegakkan. Ruh Qudus adalah ruh yang tidak sama dengan ruh-ruh lainnya, karena ia merupakan Ruhullah (ruh Allah), ia juga ruh yang ditiupkan ke dalam jisim (tubuh) Adam as, seperti yan* ditegaskan firman-Nya :

Belum Edit

Dan telah Aku tiupkan kedalamnya ruh Ku f, , ,Jr 15 : 29)

mh Adam as makhluk, sedang ruh Allah bukan makhluk, ia adalah ruh Qudus, yaitu ruh yang yang ter-qudus-kan (tersucikan) dan segenap kekurangan, ia ibarat wajah ketuhanan yang terlanskapkan dalam segenap makhluk-Nya. Ruh Qudus inilah sejatinya yang dita'birkan dalam firman-Nya,

Maka kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah. (Q.s. al Baqarah 2-115)

Itulah hakekat ruh Qudus yang dengan-nya al Haq menegakkan segala wujud yang ada di semesta alam, wujudnya alam dengan wujud -wajah Kemanapun kamu menghadap dengan segala perasaan anda melalui serapan inderawi, atau pemikiran anda dalam dimensi wujud rasionalitas. Ruh Qudus merupakan wajah kesempurnaan-Nya karena ia ibarat wajah ketuhanan yang menegakkan segala wujud' wajah yang terlanskapkan dalam segala hal yang maujud (ada) itulah hakekat ruh Allah yang juga merupakan ruh sesuatu tersebut Maka segala yang wujud itu tegak dengan ruh Allah dan inti (dzat) sesuatu itu merupakan cerminan daripada dzat Diri-Nya yang terwajahkan dengan Ruh Qudus dalam alam realitas dan rasionalitas wujud.

Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang bisa ditangkap (dipresepsi) secara inderawi, memiliki ruh yang menegakkan Shurah (citra)-nya, ruh dalam bentuk itu laksana makna dalam lafadz. Ruh setiap makhluk (ciptaan)-Nya bisa tegak karena adanya ruh ketuhanan yang disebut ruh Qudus, barang siapa yang melihat ruh Qudus dalam jisimnya atau jisim manusia yang lain, akan tampak Shurah (citra) ketuhanan-Nya. Sebab jikalau dua Qidam (eternitas) bertemu akan lenyap, tidak ada yang Qidam kecuali al Haq. Demikian pula dengan asma dan sifat-sifat-Nya, sedang segala sesuatu selain itu maka disebut Huduts (kebaruan), itulah yang disebut makhluk. Manusia misal-nya, ia memiliki jasad yang tidak lain adalah bentuk citra-Nya, sedang ruh manusia adalah makna ketuhananNya, ruh manusia merupakan sirr (rahasia batin)-Nya. Wajah ketuhanan yang termanifestasikan dalam tubuh manusia itulah yang disebut ruh Qudus. Ia juga disebut rahasia ketuhanan dan wujud inti (dzat)-Nya. Karenanya jika citra kemanusiaan mendominasi jisim manusia dan menyebabkan redupnya ruh ketuhanan dalam dirinya, maka ia disebut Basyariyah (manusia) dan Syahwaniyah (nafsu), karena ruh-nya tunduk kepada benda, yang merupakan induk dan basis Shurah (citra), namun jika ruh itu mampu lepas dari jerat-jerat kebendaan, berikut membawah manusia melintas batas kemanusiaan-nya, ia disebut hamba ketuhanan yang hakekatnya adalah citra (ruh Qudus) dan sentra ketuhanan. Ketika ruh manusia terlepas dari pasung kebendaan inilah manusia terbebaskan dari penjara kebendaan dan keadaan, itulah penjara dunia yang merupakan cerminan penjara akhirat.

Ruh Qudus yang terpasung oleh kebendaan itu merupakan inti penjara dunia, yang merupakan cerminan siksa akhirat, bedanya penjara dunia tidak bisa dirasakan sedang penjara aldrirat bisa dirasakan dalam jilatan api neraka. Siksa dunia sangat samar berupa jilatan-jilatan Infishal (keterputusan) dan kobaran al Bu'du (keterjauhan) seorang hamba dari al Haq. Manakala ruh Qudus itu benar-benar tercerabut dari inti kemanusiaan seorang manusia, dan wajah ketuhanan benar-benar terangkat dari dirinya, manusia itu akan terputus dari rahmat Allah, Itulah sejatinya yang disebut siksa dunia. Pahami betul masalah ini.! Sebaliknya manusia yang jisimnya didominasi ruh ketuhanan, baik melalui konsistensi dzikr (ingat kepada-Nya), pikiran lurus dan hati jernih, mensedikitkan makan, tidur dan bicara, serta membuang kisi-kisi dan sauh-sauh kemanusiaan dirinya, dalam jisim yang suci seperti itu, kasih kelembutan ruh Qudus akan mendominasi tubuh manusia, ia bisa berjalan diatas air, terbang diudara, melipat jarak, melintas benteng dan memiliki kekuatan-kekuatan adikodrati lainnya. Ruh Oudus itu akan membawah manusia ketingkat kemanusiaan yang paling tinggi, serta mengantarnya ke alam mh mutlak tak terikat jerat dan pasung kebendaan. Itulah yang diisyaratkan al Haq dalam firman-Nya Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. (Q.s. al Infithaar 82 : 13), ia dapat menggapai surga-Nya, meski ia hidup di alam Syahadah (alam realitas) ini.

Kemudian tingkat kemanusiaan tertinggi itu lebur dalam Musyahadah (penyaksian) selain Diri Nya. Itulah hakekat nama-nama al Haq yang Khusnaah dan sifat-sifat-Nya yang Tinggi, yang tersematkan dalam jisim manusia. Pada capaian spiritual seperti ini ruhnya menjadi qudus (suci), ruh manusia belum bisa disebut qudus, selama watak-watak insaniyah (kemanusiaan) masih mendominasi dirinya, nafsu dan syahwatnya masih liar dan sarat dalam tradisi kehidupannya. Manusia yang ingin kequdusan ruhnya, ia harus berani membuang sauh-sauh kekemarukan duniawi, tidak gila jabatan, kekuasaan, posisi, popularitas dimata manusia, serta menjauhkan dari rasa tinggi diri dan kemaruk ketinggian, karena al Haq adalah Maha Tinggi, dari sifat-sifat kemanusiaan dan segala yang wujud, jika manusia mampu melepas itu semua, akan lahir dalam jisimnya Sirr (rahasia batin), yang merupakan asal penciptaan dirinya, lebih dari itu hukum-hukum rahasia ketuhanan akan tertajallikan dalam diri orang tersebut, maka beralihlah struktur kemanusiaannya dan ruhnya dari rupa kemanusiaan ke struktur kequdusan. Pada capaian spiritual seperti itu, ia akan melihat dengan penglihatan Allah, mendengar dengan pendengaran-Nya, demikian pula dengan gerak kaki dan tangan adalah dengan kaki dan tangan-Nya. jika tangan-nya diusapkan ia akan bisa menyembuhkan kebutaan, kelumpuhan dan penyakit lainnya, jika ia berbicara, ungkapannya menjadi manjur (sakti), karena diperkuat ruh Qudus, seperti yang diwartakan al Haq tentang apa yang telah terjadi pada diri Isa as,

Kami perkuat dia dengan ruh Qudus. (Q.s. al Baqarah 2 : 259).

Maka pahami betul masalah ini.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Sudah Edit 51. Malaikat yang Diberi Nama Ruh

Ketahuilah, ada malaikat yang dalam komunitas pegiat sufi, disebut dengan Hakekat Muhammad karena al Haq melihat kepada malaikat ini seperti Dia melihat Diri Nya sendiri. Dia menciptakan malakait itu dari Nur (Cahaya)-Nya, dan darinya pula tercipta semesta alam. al Haq menjadikan malaikat tersebut basis penampakkan-Nya, di alam ini, Dia juga memerintahkan malaikat ini mengejawantahkan asma-asma-Nya, ia merupakan wujud ketinggian yang Maha Mulia, berkedudukan tinggi, berkediqdayaan utama, tidak ada malaikat yang lebih tinggi dari malaikat ini, ia adalah punggawa Muqorrobiin (para pendekat) al Haq, para mulia yang paling utama, al Haq menggerakkan segala wujud dengan malaikat ini, Dia jadikan malaikat ini qutub (poros) falak segenap makhluk, ia juga merupakan wajah khusus al Haq, dalam kehendak penampakkan-Nya, darinya terlihat bentuk delapan malaikat pembawah Arsy. Cahaya ketuhanan ini merupakan asal penciptaan segala malaikat-Nya, malaikat yang lahir dari cahaya ini laksana percikan hujan yang turun dari langit di lautan lepas. Sedangkan angka delapan (pembawa Arsy,) mengisyaratkan delapan unsur dasar yang dengan itu eksistensi manusia terwujudkan, ke delapan elan vital itu juga merupakan inti kehidupan manusia, yaitu: akal, estimasi, pikiran, imajinasi, citra (rupa), ingatan, pengetahuan dan jiwa Malaikat ini berada di cakrawala ketinggian, alam Jabarut alam utama, alam Malakut, alam kerajaan Tuhan. Dalam cakrawala ketinggian dan keagungan tersebut malaikat ini tertampakkan dalam wujud kesempuraan Hakekat Muhammad, karenanya Muhammad saw adalah manusia terbaik jagad ini, kehadirannya melahirkan berkah (rahmat) bagi kita dan kemanusiaan universal serta semesta alam, al Haq memberi apresiasi khusus kepadanya seperti yang ditegaskan firman-Nya,

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu al Qur’an dengan perintah Kami, sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al Qur’an, dan tidak pula mengetahui apakah iman itu tetapi Kami menjadikan al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.s. asy Syura 42 : 52).

Madluhyahnya (makna tersiratnya) Kami jadikan ruhmu manifestasi 'wajah sempurna' daripada wajah-wajah kesempurnaan malaikat yang Kami perintahkan tersebut karena malaikat ini adalah wajah daripada urusan Kami seperti yang ditegaskan firman Qur’ani min Amri Rabbi— Urusan Tuhan­ku. Ketahuilah makna hakiki Urusan Tuhan ku, itu adalah wajah dari wajah-Nya.

Tatkala Muhammad saw, ditanya anak zamannya perihal ruh ini, beliau menjawab, Min Amri Rabbiy -Urusan Tuhan ku seperti yang dilansir pesan Qur'ani :

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh dengan lugas beliau menjawab, Ruh itu merupakan urusan Tuhanku. (Q.s. al Israa' 17 : 85)

yakni wajah dari wajah yang menjadi wilayah (urusan preogratif) al Haq. Hal ini jelas berbeda dengan ruh Muhammad saw, dimana perihal ruh Muhammad ini al Haq berfirman :

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah Kami. (Q.s. asy Syuraa  42 : 52).

 Penyebutan ruh Muhammad saw sebagai bentuk Ihtimam (perhatian) ketuhanan penyifatannya dengan keagungan untuk Wasilah (media) pengingatan akan keagungan kemampuan sang rasul Muhammad saw, sebagaimana yang ditegaskan al Haq dalam firman-Nya,

Hari itu adalah hari dimana manusia dikumpulkan untuknya. (Q.s. Huud 11 : 105).

Adapun bentuk penegasan keagungan Muhammad saw tersebut, termaktub dalam firman-Nya,

Ruh dengan perintah Kami (Q.s. asy Syuraa 42 : 52).

Telisik dengan jeli al Haq tidak bertitah dengan redaksi Qur'ani :

Kami wahyukan kepadamu dengan perintah

Firman-Nya memakai redaksi ....ruh dengan perintah Kami karena ruh Muhammad inilah maksud daripada wujud serta

maksud dari sendi-sendi kemanusiaan universal. Esensi makna ayat qur'ani tersebut, adalah sebuah media penegasan, pengingat, pewartaan, akan ke-agung-an dan kediqdayaan Muhammad saw yang merupakan cerminan hakiki daripada Cahaya Ilahi (ketuhanan).

Ketahuilah, al Haq menciptakan malaikat ini, untuk dijadikan cerminan bagi dzat Diri Nya, al Haq tidak mentajalhkan dzat-Nya, melainkan dengan malaikat ini, penampakan malaikat mi pada segala wujud adalah untuk mengejawantahkan sifat-sifat-Nya. Malaikat ini merupakan Qutub (poros) alam dunia dan alam akhirat, qutub penghuni surga dan penghuni neraka, qutub penghuni alam lembut dan alam kasar. Semua kehendak ketuhanan dan hakekat ketuhanan ter-wajah-kan melalui malaikat ini, ia beredar dalam mikro kosmos dan makro kosmos, jika ia beredar dalam makhluk-Nya ia akan menjadi qutubnya. Malaikat ini tidak akan dapat diketahui kecuali dalam diri Insaan Kaamil (manusia sempurna). Ketika seorang hamba telah makrifatullah, (memahami kesejatian Allah), Dia akan mengajarinya segala sesuatu. Jika hakekat al Haq itu telah melanskapi diri sang hamba, ia akan menjadi qutub beredar disekelilingnya Maujudaat (segala wujud) yang bergerak, ia bagaikan magnit yang semua wujud tertarik kepadanya, semua itu berjalan karena ketersambungan (Ithisaal) dan berbasis akar dan malaikat tersebut.

Itulah sejatinya malaikat yang disebut ruh, seperti yang diwartakan dalam firman Qur'ani  :

Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan ia mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. (Q.s. an Nabaa' 78 : 38 - 39)

yakni pada hari dimana malaikat mi berdiri di kerajaan ketuhanan, sedang para malaikat lam berdiri tegak dihadapannya bershaf-shaf untuk berhidmat kepadanya. Malaikat ini senantiasa eksis dalam berubudiyah kepada al Haq, tidak bergerak kecuali dengan amar perintah-Nya, adapun maksud daripada mereka tidak berkata-kata, adalah merujuk kepada para malaikat selain malaikat ini, ia diperbolehkan berkata dihadapan hadirat ketuhanan, karena ia adalah wajah kesempurnaan-Nya dan keutamaan-Nya. Para malaikat itu meski mereka diizinkan berbicara dihadapan hadirat ketuhanan, mereka tidak akan berkata, kecuali hanya dengan satu kalimat saja.!  Karena mereka tidak mampu berkata lebih dari dua kalimat, para malaikat itu sama sekali tidak bisa memanjangkan perkataan mereka. Malaikat yang kali pertama memperoleh perintah dan al Haq adalah malaikat ini, kemudian ia menyampaikan amar perintah itu kepada para malaikat lam, mereka adalah pasukan, sedang panglimanya adalah malaikat ini.

Jika al Haq memerintahkan suatu amar perintah di semesta alam ini, Dia menciptakan malaikat dari unsur malaikat ruh ini, lalu mengutusnya untuk melaksakan amar perintah tersebut, ruh malaikat inilah yang menggerakkan malaikat yang baru dicipta itu. Semua malaikat Muqorrobiin (para pendekat al Haq) tercipta dari unsur malaikat ruh ini, semisal Israfil, Jibril, Mikail, Izra'il termasuk malaikat yang ada diatas mereka yang bernama malaikat Nun. Ia adalah malaikat yang berdiri dibawah Lauhul Mahfudz, ia sama seperti malaikat yang bernama al Qolam, juga malaikat yang bernama al Mudabbir, yaitu malaikat yang berdiri dibawah al Kursiy (kursi), serta malaikat yang bernama al Mufashil, yang berdiri dibawah Umm al Kitab (induk kitab). Para malaikat itu disebut Ilhyuun (makhluk yang tinggal di alam ketinggian) mereka tidak termasuk malaikat yang diperintahkan al Haq untuk bersujud kepada Adam as, yang sedemikian itu merupakan hikmah ketuhanan, sebab jika mereka diperintah sujud kepada Adam as, niscaya mereka akan tahu masing-masing dari keluarga dan anak turun Adam as. Jika anda ingin tahu para malaikat yang diperintah sujud ke Adam as, bagaimana mereka menampakkan diri mereka kepada anak cucu Adam as, maka telisiklah rupa mereka dalam tidur anda, mereka akan tampak dengan Shurah (citra) ketuhanan yang ditampakkan al Haq melalui mimpi, kesemua gambaran citra itu akan diturunkan malaikat yang ditugaskan untuk menyampaikah citra ketuhanan dengan aneka macam bentuk (rupa) kepada insan yang mimpi.

Dalam mimpi itu orang seorang bisa melihat benda mati bisa berbicara dengannya, meski ia tidak memiliki ruh dalam bentuk benda padat dalam alam realitas, atau meski dalam dunia riel benda itu tidak bisa bicara, namun ketika hadir dalam mimpi ia bisa bicara. Realita ini pararel dengan sabda rasul saw :

Sesungguhnya mimpi yang benar, termasuk wahyu dari Allah,

karena dalam mimpi itu malaikat turun ke dalam diri insan yang mimpi, dalam hadits lain rasul saw bersabda :

Sesungguhnya mimpi yang benar, bagian dari empat puluh enam etos kenabian.

Iblis -semoga Allah melaknatnya-', termasuk bagian dari malaikat yang diperintahkan bersujud kepada Adam as, namun ia enggan bahkan dengan congkak menentang perintah al Haq tersebut, para Iblis itu lantas berusaha mewujudkan citra mereka melalui mimpi, dengan bentuk (rupa) malaikat, karenanya tidak semua mimpi itu benar, sebab ada mimpi yang datang melalui Iblis dengan wujud malaikat, yang disebut mimpi tidak benar. Esensinya para malaikat yang bersemanyam di alam ketinggian bersama-Nya, tidak termasuk malaikat yang diperintah untuk bersujud kepada Adam as, karenanya mereka tidak mampu memakrifahi ilmu ketuhanan anak cucu Adam as, utamanya mereka yang telah sampai ke maqom spiritual tertinggi. Paska menjernihkan sauh-sauh sifat kemanusiaan diri mereka. Cobalah telisik kembali firman-Nya yang membincang Iblis. Allah berfirman :

Hai, Iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan kedua tangan Ku, apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?. (Q.s. Shaad 38 : 75)

yakni malaikat yang lebih tinggi tidak diperintahkan untuk sujud kepada Adam as. Demikian seperti yang diungkapkan Imam Muhyiddin ibnu Arabi dalam kitab Futuhaat al Makkiyah-nya.

Ketahuilah bahwasanya al Haq, tersucikan dari etos pertanyaan, terlebih ketidak fahaman. Ungkapan al Haq kepada Iblis,

Hai, Iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud?

sejatinya bukan sebuah pertanyaan, namun menunjukkan penafian atau penetapan, bisa pula bermakna respon positif atau penistaan, namun makna hakiki ayat itu adalah penistaan al Haq terhadap Iblis. Sedang pertanyaan al Haq,

Apakah kamu menyombongkan diri?

Makna, hakikinya adalah penetapan al Haq bahwa Iblis benar-benar congkak dan sombong, karena ucapan Iblis,

Saya lebih baik daripadanya. (Q_.s. al A'raaf 7 : 12).

Adapun pertanyaan al Haq,

Ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?

Makna hakikinya adalah penafian al Haq bahwa Iblis bukan termasuk bagian makhluk-Nya yang lebih tinggi dari Adam as, yang tidak diperintah untuk sujud kepada Adam as. Sedangkan pertanyaan al Haq yang menandakan respon positif adalah seperti yang termaktub dalam firman-Nya,

Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? (Q.s. Thaaha 20 : 17).

Musa menjawabnya dengan etika,

Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya. (Q.s. Thaahaa 20 : 18).

Musa sangat memahami bahwa dirinya membutuhkan tongkat itu untuk dirinya, karenanya ia berkata,

Ini adalah tongkatku..., ia tidak berkata Tongkatku.. Demikianlah ihwal para insan yang dekat dengan Allah itu beretika dihadapan hadirat-Nya. Kesemua itu tercerminkan pada diri seorang Insaan Kaamil (manusia sempurna). Maka tradisikan dalam diri anda perilaku, etik moral para insan kamil, berprilakulah dengan etika mereka, niscaya anda berbahagia bersama mereka.

Ketahuilah bahwasanya malaikat ruh ini memiliki ragam nama sejalan dengan wajah yang dilanskapinya (nuansa wujudnya) ia bernama Qolam (pena) tertinggi, ruh Muhammad saw, Aql Awwal (akal pertama), ruh Ilahi (ketuhanan), jika tidak multi nama, niscaya ia dihadapan hadirat-Nya hanya memiliki satu inisial yaitu ruh Karenanya kita menghususkan malaikat ini dalam kajian khusus kita sengaja tidak memaparkan keajaiban, keutamaan dan ke-gharib-an (keanehan) malaikat ini karena akan membutuhkan berlembar-lembar kertas yang menjadi berjilid-jilid buku. Saya (al Jailiy) telah bertemu dengan malaikat ini dalam Hadrah (presensi) ketuhanan ia beruluk salam kepada saya dan berkenalan dengan saya. Kujawab uluk salamnya setelah aku tersadarkan diri dari keterpesonaanku akan kewibawaan dan kegagahannya. Ia sangat santun menjalin komunikasi bersamaku, sikapnya sangat lembut dan sangat bersahabat. Aku tanya kepadanya tentang kedudukannya eksistensinya, pencitraannya, kehadirannya, serta basis penampakkannya, asalnya, cabangnya, macamnya, sifatnya namanya, bentuk dan rupanya. Ia menjawab : ((Sesungguhnya sesuatu yang aku bincangkan dan rahasia yang aku wartakan adalah wajah kemuliaan dan keagungan kedudukan-Nya tidak diperbolehkan al Haq untuk diwartakan secara terang-terangan kecuali dengan kiasan atau permisalan belaka. Ku katakan kepada malaikat itu : Cobalah paparkan dengan kiasan atau permisalan barangkali al Haq membentangkan kasih pertolongan-Nya kepadaku hingga aku bisa menangkap pesan tersiratnya. Malaikat itu menjawab : Sejatinya diriku adalah anak yang bapaknya adalah ibunya, keledai yang dimuliakan ekornya, aku adalah cabang yang menghasilkan akar, aku adalah busur yang membuat anak panah sampai ke sasarannya, aku berkumpul dengan para ibu yang membuatku bisa lahir, aku lalu meminang mereka untuk aku nikahi dan mereka menerima lamaranku, akupun menikah dengan mereka...

Ketika aku bergerak di Dzahir asal sesuatu, aku tertampakkan dengan bentuk sesuatu tersebut, aku senantiasa melantunkan tasbih (sanjung puji) atas diriku, aku selalu menghitung diriku aku telah memegang amanat Huyuli (benda pertama), aku punggawa Hadrah yang disifati dengan utama, yang dengan itu engkau akan dapati diriku, bapak semuanya, ibu agung, penyusu hadrah dan wah amanat. Adapun asal dan kedudukan (martabat)ku, ketahuilah olehmu, ketika aku menjadi inti penyaksian, hukum ke-gaiban-ku, lebur bersama penampakkan, ketika aku ingin mengetahui hukum yang tersembunyi dan ingin menyaksikannya, aku sembah al Haq dengan nama itu, dengan ritual ini dan itu selama satu tahun, hatiku tetap eksis terjaga mengingat-Nya selama kurun waktu tersebut, al Haq lantas mewejangi diriku dan bersumpah dengan nama-Nya, ia mewartakan firman-Nya,

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.s. asy Syam 91 : 9 -10).

Dia lantas membagi nama-Nya dan memberinya kepadaku, maka jadilah aku isim (nama)-Nya Aku pun tersucikan hakekat ke-Muhammadan-ku dengan lisan hadirat kerasulan. Rasulullah saw bersabda : Allah menciptakan Adam dalam citra Diri Nya. Sungguh ungkapan itu benar dan tidak boleh diragukan kevalidannya, Adam as tidak lain adalah cerminan dari wujud diriku, disematkan kepadanya amanah ke-khalifah-an, dari situ aku mafhum bahwasanya al Haq, menjadikan diriku media dan maksud serta kehendak para hamba-Nya, tiba-tiba ada suara agung dari maqom kebesaran dan keagungan, seraya berujar : Kau adalah qutub (poros) Yaduuru (berotasi) disekelilingmu Aflaak (bintang-bintang) keindahan, kau adalah matahari yang membentangkan cahaya kesempurnaan, keperkasaanmu tak tertandingkan, dirimu marak dengan nuansa keindahan dan kesempurnaan-Nya, kau adalah titik dari lingkaran-Nya, kau adalah baju dari pakaian mahal Diri Nya....))

Malaikat ruh itu lantas bertutur : ((Wahai maulah (tuan) Yang Maha Agung, dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada, kami memohon kepada Mu kekuatan dan pemeliharaan, kabanlah kepadaku peredaran hikmah, samudera rahmat, agar kami bisa menuntaskan dahaga para pencari Mu dengan cawan hikmah dan air rahmat, agar aku bisa menerbangkan mereka dengan sayap-sayapku, menuju hadirat Mu. Suara Yang Maha Tinggi itu berkata • Ketahuilah bahwasanya al Haq bertajalli melalui asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya yang dengan itu para makhluk-Nya bisa memakrifahi dzat Diri Nya. Jika ia mampu menggapai makrifah al Haq akan menjadi lahir dan batin inti (dzat) hamba tesebut, Ia wujud secara dzat tertampakkan dalam martabat ketuhanan. Jika seorang hamba tidak mengotori syakilah hatinya dengan sesuatu selain Din Nya, akan kuat kedekatan dan keterkaitannya dengan al Haq, sebaliknya jika hatinya kotor, ia akan terjauhkan dari al Haq. Maka buang jauh-jauh pelik duniawi dalam syakilah hatimu, jangan memberi ruang sedikitpun untuk sesuatu selain Diri Nya dalam kalbumu, kau akan fana' (sirna) bersama-Nya. Untuk misi pensucian hati dan penjernihan jiwa inilah al Haq, mengutus para rasul-Nya, dengan kitab-kitab-Nya dan firman-firman-Nya yang kokoh, sebagai media penerjemah daripada sifat-sifat-Nya yang 'Ulaah (tinggi) dan asma-asma-Nya yang Khusnah.....

Agar supaya semua hamba-Nya bisa memakrifahi kesejatian dzat-Nya, sebab tanpa memakrifahi kesejatian asma-asma dan sifat-sifat-Nya, niscaya kesejatian dzat-Nya tidak akan bisa disibak. Karenanya kita diperintahkan baginda rasul saw : Hiasilah dirimu dengan sifat-sifat al Haq, Beretikalah dengan etika al Haq yang dengan itu bisa disibak rahasia-rahasia-Nya yang terpendam dalam diri manusia dan kemanusiaan universal. Hanya dengan memahami rahasia-rahasia-Nya yang terpendam dalam mikro kosmos (diri manusia) itulah tajalli ketinggian kemuliaan Robbani (ketuhanan) bisa dimukasyafahi. al Haq juga mengajarkan martabat Rahmaniyah (kepemurahaan), pun martabat-martabat ketuhanan lainnya, sejalan dengan firman-Nya, Mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya. (Q.s. al An'aam 6 : 91). Inilah firman al Haq yang membentangkan jalan bagi hamba-Nya untuk mengarungi samudera hikmah-Nya. Ini adalah kulit yang membungkus daging buah. Makna hakiki dari ayat ini, orang seorang tidak akan mampu memi'rajkan dirinya ke cakrawala hikmah, selama penghormatannya kepada al Haq nihil, atau berusaha meraihnya dengan selain Diri Nya....))

Rahasia ketuhanan sangatlah luas, akal manusia tidak akan mampu menjangkau-nya, peran akal dalam hal ini bersifat skunder bukan primer, karena akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang bersifat inderawi, sedang penyaksian rahasia itu harus dilakukan dengan Mukasyafah (pengetahuan intuitif). Samudera hikmah-Nya sangatlah dalam, akal tidak akan mampu menyelaminya. Ketahuilah jika kau mendengar perkataan yang menyentuh kalbumu, cobalah telisik makna batinnya, banyak sekali wajah-wajah ketuhanan yang tertampakkan pada bentuk lahiriyah segala wujud, namun tidak tertangkap pesan-Nya oleh mereka-mereka yang menyaksikannya. Wajah-wajah-Nya yang tampak pada bentuk dzahir Maujudaat tersebut, jika tidak mampu disingkap makna batinnya oleh insan yang menyimak, maka itulah sejatinya yang disebut manusia yang terhijabkan (terhalang). Sebab akar hijab bisa dikarenakan hati yang tidak suci atau pasung aql (akal). Orang seorang yang hanya memaknai realitas ketuhanan itu secara rasio, sedang hatinya kering dari penelisikan makna ketuhanan ketahuilah manusia seperti itulah yang disebut al Mahjuub (terhalang). Orang yang terpasung dengan akal-nya hanya akan membuat dirinya bingung, berjalan tanpa arah, meniti tanpa tujuan, titian langkahnya justru cenderung menjauhkan dirinya dari al Haq. Berbeda dengan mereka yang mengoptimalkan ketajaman mata hatinya, ia selalu eksis dengan metafor ketuhanan dan berusaha memukasyafahi-Nya. Seorang pegiat sufi berkata: Kedahagaanku tiada pernah terpuaskan, meski aku selalu mereguk cawan hikmah, ruh Yang Maha Tinggi selalu memberiku minum, semakin aku reguk minuman hikmah-hikmah itu, semakin terasa kehausan jiwaku akan hikmah-Nya, aku terus mereguknya hingga terbit matahari taqdir menyingsingkan fajar ke-aku-an diriku dalam kemilau sinar-Nya. Tiba-tiba rembulan kesadaran menyadarkan diriku, dan menerangi diriku dengan Haal (keadaan), yang dengan itu aku berusaha merengkuhi capaian spiritual tertinggi menuju kedekatan bersama al Haq.

Syair-syair al-Jily

Ia adalah telagaNya yang menyemburkan makna hakiki,

sifat-sifatNya dan zat DiriNya

Ia adalah ruh keindahanNya,

tertajalli pada realitas wujud, yang eksis sepanjang zaman

Ia adalah citra kebaikan-kebaikanNya

Icon segenap 'laku' kebaikan Diri Nya di alam ini

Ia adalah makna batin sesungguhnya 'laku' kebaikan segenap hambaNya,

yang terlihat Segenap alam dibawah centra titiknya

Ia organisir ragam alam dalam keesaan yang utuh

Ia adalah Kinayah hakekat sesungguhnya

Kinarya segenap mahlukNya yang terurai kalimat

Semua citra ciptaanNya, paska dan sebelum

Pengkaryaan adalah sejalan dengan sifat-sifatNya

Ia tidak mewajahkan citra zat DiriNya secara subtansial disegenap realitas wujud ini

'Laku' kebaikanNya membuncah pada setiap 'laku kebaikan segenap para hambaNya

wujud 'laku' kebaikan-kebaikan DiriNya tidak didahului serta diahiri oleh suatu apapun

Saksikan kesempurnaan hakiki DiriNya

Akan tampak jelas kesejatian zatNya yang hakiki

Sudah Edit 52. Hati dan Asal penciptaan Israfil Dari Nur Muhammad SAW

etahuilah, bahwasanya al Qalbu (hati) itu sejatinya adalah Cahaya Azali (tidak berawwal) dan Rahasia ke-Tinggi-an yang diturunkan pada inti alam dan isinya alam (dunia), dengannya al Haq melihat kesejatian manusia dan hakekat kemakhlukan universal. Dalam al Qur'an cahaya azali dan rahasia ketinggian ini disebut dengan redaksi, Ruhullah (ruh Allah) yang ditiupkan ke dalam ruh Adam as, sebagaimana firman-Nya,

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku. (Q.s. al-Hijr 15 : 29).

Cahaya Azali disebut Qalbu (hati) karena mengandung multi makna. Diantara makna-makna qalbu itu adalah :

Hati : Isi segala Mahluqaat (segenap makhluk) dan kulit segala Maujudaat (segala yang wujud), baik yang ada di alam ketinggian maupun alam rendah, hati dinamakan demikian, karena kebalikan sesuatu melahirkan pemaknaan lain, semisal tampilan lahir seseorang belum tentu sama dengan laku batinnya.

Hati : Cepat berubah dan labil, dinamakan demikian karena ia merupakan noqta (titik) yang dikelilingi gusuan sifat-sifat dan nama-nama-Nya, jika nama dan sifat-Nya itu marak dalam diri orang seorang, maka nama dan sifat-Nya itu akan mewarnai perilaku si empunya hati. Kami menyebutnya dengan 'marak' karena fitrah penciptaan hati itu adalah siap menerima sifat-sifat dan asma-asma-Nya. Pada dasarnya hati manusia itu suci dan bersih, tabiat, diri dan nafsu manusialah yang mengotorinya, maka jika nama dan sifat-Nya mendominasi diri seorang hamba, inti nama dan sifat-Nya akan mengubur sifat dan watak kemanusiaan seorang hamba, jadilah hamba itu insan yang berada dibawah kendali asma dan sifat al Haq. Pada termin ini semua perilaku hamba digerakkan oleh sifat-sifat dan nama-nama al Haq.

Ketahuilah bahwa wajah hati itu selalu menghadap ke cahaya yang ada di relung al Fuad (hati yang eksis) yang dinamakan 'Hasrat', ia merupakan basis penglihatan hati dan wajah daripada arah dan tujuan yang hendak ditujunya. Jika sifat dan asma al Haq mendominasi hati, maka arah dan tujuan hati bisa disibak dari makna hakiki nama dan sifat-Nya yang mendominasi hati tersebut, jika hati dikuasai nafsu, maka keliaran nafsulah mendominasi perilaku si empunya hati. Hasrat itulah sejatinya yang disebut wajah hati, sedang hati yang tidak memiliki motivasi disebut hati yang hampa. Ketahuilah tidak ada ruang kosong dalam hati, karena semua syakilah hati memiliki wajah. Hanya saja dalam semantis logika bahasa, hati yang marak dengan harapan dan hasrat disebut wajah obsesi, sedang hati yang nihil harapan dan hasrat disebut hati yang kosong (hampa).

Ketahuilah bahwasanya hasrat yang ada dalam syakilah hati itu, tidak memiliki wajah khusus, kadang mengarah ke atas, kadang ke arah bawah, atau menghadap ke arah kiri atau kanan, semua itu tergantung dari si empunya hati dalam mempola dan menyikapi hatinya. Diantara anak manusia ada yang senantiasa eksis menghadapkan harapan hatinya ke atas, mereka itulah kelompok manusia yang disebut para Aarifin (manusia-manusia yang telah memahami kesejatian Allah), diantara komunitas manusia ada yang selalu mengarahkan harapannya ke bawah, mereka itulah insan-insan yang kemaruk duniawi (materialistis). Diantara mereka ada yang mengarahkan hatinya ke arah kanan, mereka itulah para pegiat ibadah, ada pula yang selalu mengarahkan hatinya ke kiri, mereka itulah pemuja hawa nafsu, para pemalas, pembohong, kaum hipokrit, selalu mengarahkan hati mereka ke arah ini. Adapun para ahli hakekat tidak menghadapkan hatinya ke arah-arah tersebut, arah perhatian mereka hanya kepada al Haq, tidak ada sedikitpun dalam syakilah hati mereka, ruang kosong untuk berharap selain al Haq, syakilah hati mereka hanya fokus ke arah asma-asma dan sifat­sifat-Nya yang hakiki, sehingga perilaku mereka berada dibawah kendali asma dan sifat-sifat Nya, mereka menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat dan asma-asmaNya diberbagai dimensi kehidupan yang ada, baik secara parsial namun secara universal. Dengan capaian spiritual seperti itu, mereka akan sampai kepada maqom al Qurb (kedekatan) bersama al Haq secara dzat, bukan lagi secara asma-asma atau sifat-sifat-Nya. Pahami betul masalah ini.!

Hati : Qolbu, karena mudah berbalik, nama-nama dan sifat-sifat-Nya gambang dibongkar pasang, oleh si empunya hati, karena ketidak eksisan hatinya, disebut demikian karena si empunya hati, mudah berbalik arah dalam memaknai asma dan sifat-sifat-Nya, hal ini terjadi karena rapuhnya keyakinan dan nihil rasa istiqomah dalam diri, pun pula disebut qolbu, karena mudah terbalik, semudah anda membalik piring atau gelas yang ada ditangan anda.

Hati : Kebalikan Muhdatsaat (sesuatu yang adanya karena diadakan), yaitu cahaya Qodim (eternitas)Nya yang berdimensi Ilahiyah (ketuhanan). Hati juga bermakna kembali ke asal penciptaan yaitu basis ketuhanan, sebagaimana firman-Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati. (Q.s. Qaaf 50 : 37)

yakni kembali dari keterpalingan menuju al Haq, dengan membuang sauh-sauh kefokusan kepada selain Dia dan kekemarukan duniawi, kembali dari arah bawah (dunia) ke arah atas (ketuhanan), kembali dari perilaku hati yang mengedepankan ritual simbolistik, ke ritus hati yang berdimensikan batin, kembali dari mentradisikan pemaknaan lahir ke pemaknaan batin. Kembali dari kenikmatan semu ke kenikmatan hakiki. Hati : Kembalinya dimensi ciptaan kepada dimensi al Haq, yakni dari penampakan berdimensikan kemakhlukan kembali ke lanskap ketuhanan, jikalau hal itu tidak terjadi (kembali) maka si-makhluk tidak bisa menembus dimensi ketuhanan, karena makhluk akan tetap menjadi makhluk dan al Haq tetap al Haq. Manusia akan tetap di alam hewaninya jika tidak berusaha kembali ke fitrah penciptaan yaitu alam ketuhanan, ia akan tetap menjadi manusia dan makhluk rendahan jika ia tidak berusaha menghiasi dirinya dengan asma dan sifat-sifat-Nya, al Haq berfirman dalam pesan Qur’ani :

Kepada-Nya kamu akan dikembalikan. (Q.s. al Ankaabut, 29 : 21).

Hati : al Haq, mengembalikan segala sesuatu, sesuai yang dikehendaki-Nya, fitrah penciptaan hati adalah untuk basis penglihatan al Haq kepada manusia, dari hati itulah al Haq melihat wajah kemanusiaan seorang manusia. Adapun hakekat fitrah dalam hati manusia itu adalah nama-nama dan sifat-sifat-Nya. al Haq berfirman :

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.s. 95 : 4),

 akan tetapi banyak manusia yang menodai fitrah penciptaannya dengan melumuri hatinya dengan geliat nafsu dan tabiat-tabiat hewan, serta tradisi-tradisi kehidupan yang jauh dari kisi-kisi ketuhanan. Hati ibarat kanvas putih bersih, corak dan keberadaannya tergantung siapa yang melukisnya, fitrah seorang bayi adalah suci (hatinya), manusia-manusia disekelilingnya yang mewarnai kepribadian si bayi ketika tumbuh dewasa, adakah tetap pada jalur kefitrahan ataukah jauh dari fitrah penciptaannya, jika hati manusia telah terpalingkan dari fitrah penciptaan, ia akan masyghul dan kemaruk dengan kehidupan dunia serta lalai dengan nilai-nilai ketuhanan dan kehidupan akhirat maka ia termasuk mereka yang difirmankan al Haq.

Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.s. at Tiin 95 : 5).

Manusia yang eksis dengan fitrah penciptaannya dan mentradisikan nilai-nilai ketuhanan serta selalu berdzikir (ingat al Haq), berikut mengoptimalkan akalnya untuk tafakkur akan nilai-nilai ketuhanan al Haq, akan mengarahkan hatinya ke alam ketuhanan, yang dengan itu ia akan mendapat kedudukan yang tinggi dan tempat yang muka disisi-Nya. Ia akan senantiasa menjernihkan hatinya dari kotoran hati, mensucikan jiwanya dari noda keburukan, ia laksana orang yang membersihkan bajunya dari noda kotoran, hingga bajunya tersterilkan dari kotoran. Ia sucikan hatinya dari segala kekemarukan duniawi, ia jernihkan syakilah hatinya dari pelik-pelik duniawi, ia murnikan hati dan jiwanya hanya demi dan untuk al Haq semata. Ia tidak nodai amal ibadah dan ubudiyahnya dengan nafsu, ia bersihkan dirinya dari segenap perilaku yang menjauhkan dirinya dari nilai-nilai al Haq. Ia berusaha mengembalikan dirinya kepada fitrah penciptaan, dengan mentradisikan laku 'suluk' (meniti jalan Allah), Mujahadah (usaha yang tiada pernah kenal putus asa), Riyadhah (pelatihan jiwa) serta eksis memerangi nafsu diri, mensucikan jiwa, menghiasi diri dengan sifat-sifat-Nya, memakrifahi hakekat asma-asma-Nya. Manusia seperti itulah yang diapreasiasikan al Haq dalam firman-Nya.

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. (Q.s. at Tiin 95 : 6).

Dengan amal shaleh (laku kebaikan) itulah rahasia-rahasia ketuhanan yang Dia taruh di ayat-ayat kitab-Nya yang diturunkan kepada para rasul-Nya bisa disibak. Kasyf itu tidak akan terjadi kecuali jika orang seorang mampu menggapai iman hakiki kepada al Haq dan rasul-Nya. Dengan laku suluk seperti itu si Saalik akan bertemu dengan al Haq pada noqta (titik) Tauhid (ke-Esa-an), yang dengan itu si Saalik akan menemukan kesejatian iman dan beraktualisasi diri ke garis edar hadirat-Nya, melalui sampan qalbu-nya, mengarungi samuderah hikmah dan rahasia ketuhanan. Amal shaleh itu sendiri mengandung dua makna. Laku qalbiyah (berdimensikan hati), yaitu menjernihkan etos ketauhidan, senantiasa mawas diri, tidak berpaling kepada selain al Haq. Laku Dhahiriyah (berbuatan lahir), yaitu menjalankan ajaran syariat, berprilaku yang tidak menyimpang dari syariat, semua itu merupakan makna hakiki dari firman-Nya.

Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (Q.s. at Tiin 95 : 6).

Mereka mendapat apa yang menjadi hak mereka dari-Nya, pahala yang tiada terputus itu bukan 'pemberian' namun hak yang menjadi milik mereka, karenanya tidak terputus, mereka bahkan tidak sekedar menerima hak, mereka memperoleh lebih dari sekedar hak, yaitu pemuliaan dan kehormatan dari al Haq, yakni memiliki khazanah kasih kedermawanan-Nya, terlebih tajalli dzat-Nya, kedua hal ini bukan merupakan pemberian, namun hak ketuhanan. Atas dasar itulah syeikh kita, asy Syeikh Abd Qodir al Jailaniy menandaskan : Aku selalu merangkak di taman keridhaan, hingga aku sampai pada kedudukan yang bukan merupakan pemberian.

Hati : Pengembalian hakekat-hakekat segala yang wujud, hati laksana cermin untuk melihat wajah. Hati merupakan poros mikro kosmos dalam jasad manusia, ia berubah-ubah sesuai keadaan manusia, seperti halnya wujud di makro kosmos yang selalu berubah-ubah sesuai dengan fonemena alam. Cobalah lihat wajah anda dihadapan cermin, anda akan mendapati diri anda bertautan posisi, tangan kanan anda terlihat dalam cermin posisinya disebelah kiri, meski inti (dzat)nya tidak berubah, tapi posisinya berubah, demikian pula jika anda menulis dari sebelah kanan, anda akan melihat dalam cermin, awal tulisan anda posisinya disebelah kiri, inti rupanya tidak berubah, yang berubah hanya posisinya. Demikian pula dengan keadaan hati. Namun perlu kami tegaskan disini bahwa, alam realitas (dunia) ini sejatinya adalah cerminan hati, asal dan bentuk rupanya adalah hati, cabang dan cerminnya adalah alam dunia. Atas dasar ini pula taqdir bisa disebut hati, karena adanya Shurah (citra) di dalamnya, cermin adalah hati kedua, yakni kebalikannya. Pahami betul masalah ini! Argumentasi kami bahwa hati adalah asal dan alam adalah cabang, berdasarkan firman-Nya dalam hadits Qudsi,

Bumi Ku tidak cukup luas untuk aku diami, demikian pula dengan langit Ku, hanya hati hamba Ku yang beriman yang mampu menampung diri Ku.

Jika alam ini asal, niscaya ia mampu menampung al Haq, dengan demikian jelas sekali bahwa hati itu asal sedang alam cabang. Ketahuilah bahwa luas (peliputan) itu terbagi atas tiga macam :

Pertama: Luas berdimensi 'Ilm (ilmu), yaitu makrifatullah (memahami kesejatian al Haq), tidak cukup hanya dengan mengandalkan kecerdasan logika akal, untuk mengetahui hakekat segala wujud hanya bisa dilakukan dengan kecerdasan hati, akal hanya bisa menagkap hal-hal yang kasat, ia tidak mampu menembus segala wujud yang berada diluar persepsi inderawi. Akal hanya bisa dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya, sedangkan hati dapat dipergunakan untuk melihat wajah al Haq dari segala wajah-wajah-Nya, baik kasat maupun gaib. Kedua : Luas dalam dimensi Musyahadah (penyaksian), yaitu Kasyf (pengetahuan intuitif) dengan-nya hati dapat menangkap hakekat keindahan dan kebaikan al Haq, dengan Kasyf pula hati dapat merasakan dzauq (intuisi) dan wujdaan, akan kesejatian nama-nama dan sifat-sifat al Haq, yang sedemikian itu paska Syuhud (penyaksian). Tidak ada satu mahlukpun, yang mampu merasakan Dzauq al Haq kecuali melalui jalan hati. Jika orang seorang memfungsikan akalnya, ia bisa mengetahui ilmu al Haq yang ada di Maujudaat (segala wujud) dengan kedipan inderawi saja, ia tetap beredar dalam falak wujud, maqom ilmunya hanya sebatas kasat mata, berbeda dengan orang yang mengoptimalkan ketajaman mata hatinya, ia akan berusaha merengkui maqom tertinggi, yang dengan itu, ia bisa memakrifahi hakekat asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Maqom ilmunya menembus dimensi realitas (ruang dan waktu), yang berujung pada makrifah dzat-Nya, inilah sejatinya luas dalam lanskap para arif billah.

Ketiga : Luas dalam dimensi al Khilafah (pengganti), yaitu menyelami hakekat asma-asma dan sifat-sifat-Nya, sehingga ia melihat hakekat dirinya, laksana melihat hekekat al Haq. Hawiyah (ke-Dia-an) al Haq menjadi inti ke-Dia-an dirinya, ke-Aku-an al Haq, menjadi inti ke-Aku-annya, nama al Haq menjadi namanya, sifat al Haq menjadi sifatnya, dzat al Haq menjadi dzat dirinya. Sikap dan perilakunya seperti kebanyakan makhluk-Nya dalam kerajaan-Nya, ialah sejatinya pengganti al Haq dalam alam realitas. Inilah sejatinya luas dalam lanskap ahli hakikat. Lantas dimana letak perbedaan makna luas diantara lanskap para arif dan para ahli hakekat,? agar pembicaraan kita tidak melebar ke wilayah rahasia Rububiyah (ketuhanan), cukup kami wartakan bahwa letak perbedaannya ada pada 'pilihan' yang menjadi hak preogratif al Haq, untuk mengupasnya harus melalui pintu rahasia ketuhanan. Ketahuilah -semoga al Haq menunjukkan kita jalan kebenaran. Bahwasanya inti (dzat) al Haq tidak mungkin di ketahui melalui jalan peliputan (luas) maupun pilihan, begitu pula dengan jalan Qodim maupun Huduts, al Haq tidak bisa diketahui dengan Qodim, karena dzat-Nya tidak masuk dibawah sifat-sifat-Nya, dzat-Nya merupakan wilayah ilmu-Nya, para hamba-Nya tidak mengetahui apa-apa dari ilmu-Nya melainkan apa yang dikehendaki Yang Maha Mengetahui. Ilmu al Haq meliputi segala sesuatu, ilmu-Nya bersifat Kulli (universal) bukan Juz'iy (parsial), sebab mustahil al Haq disifati Naqis (kurang) dan Juz'iy (parsial), al Haq adalah dzat Yang Maha Mengetahui, Maha Sempurna. Ilm-nya mencakup segala wajah, Dia tidak bodoh dengan diri Nya, Dia sangat memahami diri-Nya dengan pemahaman yang utuh. Dzat-Nya tidak dibawah naungan sifat-sifat ilmu-Nya, bukan pula dibawah naungan sifat kodrat-Nya. Demikian halnya dengan para makhluk-Nya, keluasan (peliputan) yang mereka miliki bukanlan berasal dari diri pribadi mereka, namun berasal dari Faydh (penjelmaan) al Haq. Demikian pula dengan kesempurnaan makhluk, sejatinya adalah tajalli kesempurnaan al Haq dan kesempuraan itu tidak terbatas peliputan (luas)nya, itulah sejatinya makna firman-Nya. Hanya hati hamba Ku yang beriman yang mampu menampung diri Ku.

al Haq Jallah Jalalah, menciptakan semesta alam ini, bahkan segenap alam, dari Nur (Cahaya) Muhammad, basis penciptaan makhluk yang diberi nama Israfil, bertempat dihati Muhammad saw, kita akan membahas masalah ini dalam bab penciptaan malaikat. Dengan demikian Israfil makhluk (tercipta) dari Cahaya Hati (Muhammad saw) yang bersemayam di alam Malakut, yang memiliki keluasan (peliputan) dan kekuatan tak terbatas, Israfil adalah malaikat yang menghidupkan semesta alam, dengan sekali tiupan, paska mematikan semesta alam dengan satu tiupan pula, hal itu ditunaikan Israfil dengan kekuatan Ilahiyah yang diciptakan al Haq pada inti (dzat) Israfil. Israfil adalah malaikat terkuat, paling diqdaya, paling dekat dengan al Haq, maksud penciptaan malaikat Israfil adalah untuk cermin dua wajah inti (dzat) al Haq serta wajah ketuhanan-Nya. yaitu Menghidupkan dan Mematikan. Perhatikan dengan penuh seksama masalah ini.!

Syair-syair al-Jilly

Qalbu adalah Singgasana Allah Pusat kendali diri setiap manusia

Landasan penampakkan al Haq

Ranah hamparan kasih rahmatNya

Hati adalah markas rahasiaNya

Samudera pembentang kehidupan

Ia adalah cerminan hakekatNya

Microskop value keluhuranNya

Wadah penampung KalamNya

Jaring penangkap isyarat-isyaratNya

Ia dianalogikan dengan cahaya diurai dengan huruf-huruf Qur'ani

Ia laksana, minyak dan lampu dalam Misykat serta kaca menyala

Ia mudah tebalik dan pongah.

Hati yang ingat mulia, yang lalai nista.

Ia kadang bersinar, kadang gelap

Ia menyinari jagad diri dan kehidupan

Hati didatangi DutaNya untuk dipersiapkan menerima tugas ketuhanan

Hati suci bermoral malaikatNya

Hati kotor berkarakteri Setan terlaknat

Hati adalah penanda setiap insan

Adakah ia manusia baik ataukah buruk

Ia merupakan pundi rahasia batin

Samudera pengetahuan setiap manusia

Ia kunci pembuka keagunganNya

Pintu pembentang rahasia-rahasiaNya

Itulah wajah hakiki hatimu yang sesungguhnya

Simpanlah rahasia batinmu, kau akan melihat rahasiaNya

Kebahagiaan dunia bisa diraih dengan jejak kaki

Kebahagiaan hakiki ahirat hanya bisa ditempuh dengan hati

Penyingkapan Agung dan tirai Makrifat terbuka oleh 'laku' hati.

Raport kebaikan dan keburukan setiap insani berdasar 'laku' hati

Manusia yang membiarkan Qalbunya penuh noda hati

Selamanya tidak akan merasakan penyingkapan rahasia AgungNya.

Hati adalah perbendaharaan agung

Modal utama setiap manusia menujuNya

Insan yang tidak memuliakan hatinya

Akan menuai keburukan abadi disisiNya

Hati adalah landasan pacu hakekat

Nilai hakiki tidak akan landing di hati kotor

Qalbu yang tidak suci berlumur hijab

Hati yang terhijab tidak akan Makrifatullah

Qalbu adalah media Wushul dan Qurb

Keintiman denganNya juga dengan 'laku' hati

Hakekat kebaikan bersendikan Qalbu.

Kebaikan yang tidak bernurani, adalah busuk

Ilham suciNya turun di hati suci

Hati buruk adalah landasan bisikan jahat setan

Muara 'laku' hati adalah ridhaNya

KeralaanNya hanya berdasar 'laku' hati jernih

KemurkaanNya akibat 'ulah' hati

Siksa pedih ahirat juga akibat 'ulah' busuk hati

Hati adalah centra penentu nasib

Kebahagiaan dan kesengsaraan hakiki akibat hati

Hati yang ta'at beroleh ridhaNya

Hati yang kufur, akan menuai kemurkaanNya

Qalbu yang pongah dan tersesat

Adalah hati yang lupa mendzikir DiriNya

Wajah kebaikan hati adalah lurus

Wajah kesesatan hati, tindak kemaksiatannya

Tajamkan mata Qalbu dan pikir

Akan tersingkap keagungan rahasia ayat-ayatNya

Hati adalah pengantin jasad dan ruh

Hanya hati Sakinah yang sambung dengan DiriNya

Lihatlah kepada 'laku' baik hatimu.

Itulah rahasia batinmu, dan modal utamamu menujuNya.

Pandanglah kebaikan-kebaikanNya

Akan ditampakkan untukmu segala makna hakiki.

Sudah Edit 53. Akal pertama dan Asal penciptaan Jibril Dari Nur Muhammad SAW

Ketahuilah, bahwasanya Aql Awwal (akal pertama) sejatinya adalah tempat Citra Ilmu Ketuhanan yang terdapat pada segala wujud. Ia merupakan Qolam (pena) tertinggi, yang menurunkan ilmu (pengetahuan) ke Lauhul Mahfudz ia merupakan isi global Luh maupun perinciannya, bahkan ia merupakan perincian ilmu ketuhanan yang universal, di Luh itulah penentuan dan basis penurunannya. Kemudian akal pertama itu meliputi rahasia-rahasia ketuhanan yang Luh tidak cukup memuatnya, seperti halnya ilmu ketuhanan yang tidak berbasis pada akal pertama, namun ilmu ketuhanan termaktub dalam Umm al Kitab (induk kitab). Akal pertama adalah merupakan induk kitab yang nyata, sedangkan Luh merupakan kitab yang nyata, Maka Luh Ma'mum (pengikut) sedang sedang Qolam imam (pemimpin)nya Qolam yang merupakan akal pertama pengendali, Luh yang merinci permasalahan universal, dalam lanskap ilmu ketuhanan dimetaforkan dengan NUN. Pahami betul masalah ini.!

Perbedaan antara akal pertama, akal semesta, dan akal kehidupan. Akal pertama sejatinya adalah cahaya ilmu Ilahi (ketuhanan), yang tertampakkan pada awal penurunan inti (dzat) para makhluk-Nya, anda juga bisa menyebutnya awal perincian globalitas ilmu ketuhanan, karenanya rasul Muhammad saw bersabda :

Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan al Haq adalah akal,

akal sejatinya adalah hakekat penciptaan (makhluk) paling dekat dengan hakekat ketuhanan. Adapun Aql Kulli (akal semesta) adalah neraca yang benar (lurus), ia merupakan neraca keadilan di kubah Luh perincian. Adapun hakekat akal semesta itu adalah akal aktif, yaitu penangkap cahaya yang terpancar dari bentuk-bentuk ilmu yang diletakkan di akal pertama, tentu ungkapan seperti itu bertolak belakang dengan semantis logika mereka-mereka yang tidak memahami masalah ini. Kami berkata demikian, karena akal semesta mengibaratkan keutuhan (universalitas) dan parsialitas (rincian) jenis akal, baik yang aktif maupun yang tidak difungsikan, karena akal merupakan kesatuan yang utuh dan tidak berhilangan, dengan demikian akal merupakan Jauhar (entitas) individu, ia di alam ideal laksana unsur dasar ruh Malaikat dan Jin, ia bukan unsur dasar ruh hewan. Akal Kehidupan sejatinya adalah cahaya yang ditakar dengan hukum pemikiran, ia tidak bisa diketahui kecuali dengan 'alat' pemikiran, kemudian diwajahkan dengan akal semesta saja, akal kehidupan tidak berhubungan (terkait) dengan akal pertama, karena akal pertama tersucikan dari keterikatan dengan qiyas (permisalan), pun terstrerilkan dari keterbatasan neraca logika. Akal kehidupan ini merupakan basis pengeluaran wahyu Qudus (suci) ke sentra ruh dalam jiwa. Akal semesta merupakan necara keadilan, perinci permasalahan, ia tersucikan dari keterbatasan, akal ini merupakan penimbang segala sesuatu sesuai ukurannya.

Sedangkan akal kehidupan hanya memiliki satu ukuran, yaitu pikir. Ia hanya memiliki satu kisi, yakni adat istiadat, ia hanya memiliki satu sisi yaitu dapat diketahui, ia hanya memiliki satu kendala yakni, tabiat. Adapun akal semesta ia memiliki dua ukuran, yaitu, hikmah dan kodrat, ia memiliki dua sisi, yakni, kehendak ketuhanan dan keselarasan alam, ia memiliki dua kisi yaitu, kehendak ketuhanan dan hasrat ciptaan (makhluk), yang terkandung didalamnya multi takaran, diantara bentuk takarannya adalah tidak terukur, karenanya akal semesta disebut dengan neraca yang benar, karena ia tidak meringankan dan tidak mendzalimi takarannya sedikitpun. Berbeda dengan akal kehidupan, kadang meringankan atau bahkan menghilangkan banyak sesuatu, dan hanya memiliki satu sisi. Pengandaian akal kehidupan tidak akan melahirkan kebenaran, malainkan melapangkan jalan kedustaan, al Haq berfirman : Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta. (Q.s. adz Dzurriyaat 51 : 10). Mereka itulah sejatinya orang-orang yang menimbang masalah-masalah ketuhanan dengan akal, mereka itulah sejatinya para utopis, karena pada hakekatnya mereka tidak menimbang sesuatu, mereka hanya berkata dusta dengan penuh kesengajaan. Dengan demikian mereka yang hendak menyibak nilai-nilai ketuhanan dengan akal, sejatinya ia adalah manusia utopis.

Akal pertama, seumpama matahari, akal semesta, laksana air yang tersinari sinar matahari, akal kehidupan bagaikan pantulan cahaya matahari dari air memantul ke tembok. Orang yang melihat matahari di air, akan menemukan bentuk matahari secara sempurna, cahayanya bisa ditangkap dengan jelas, sama persisnya dengan melihat matahari secara langsung, sama sekali tidak ada perbedaan diantara keduanya, hanya saja orang yang melihat mahatari secara langsung, akan menengadahkan kepalanya ke atas, sedang orang yang melihat matahari melalui air, ia menengadahkan mukanya ke bawah. Demikian pula dengan akal semesta, ia mengambil ilmu-Nya dari akal pertama, akal semesta itu lalu mengangkat qalbu ilmu ketuhanan, kemudian cahaya qalbu ilmu ketuhanan itu dipancarkan ke tempat al Kitab, darinya memantul ilmu ketuhanan ke segenap alam, itulah sejatinya batas pilah antara ilmu yang tertulis di Lauhul Mahfudz dengan ilmu yang terpencar di penjuru alam. Ilmu yang lahir dari akal pertama, datangnya langsung dari al Haq, adapun akal semesta jika mengambil ilmu dari Luh, maka ilmunya disebut kitab, prosesnya berdasarkan hukum hikmah, ukurannya adalah kodrat baik berlandaskan aturan maupun non aturan, karenanya hal ini mencakup dua kemungkinan, salah dan benar. Ilmu dikatakan benar selama masih dalam koridor nilai-nilai ketuhanan dan aturan Tuhan, ilmu dikatakan tidak benar jika keluar dari koridor nilai ketuhanan dan syariat-Nya. al Haq, menurunkan ilmu-Nya kepada segala yang wujud melalui akal pertama saja, demikianlah sunnatullah (hukum Allah) yang terkait dengan penurunan ilmu-Nya, hingga tertulis di Lauhul Mahfudz.

Ketahuilah bahwa akal semesta, jika tidak difahami secara b mar dan utuh, akan dapat menjerumuskan pencarinya kepada keri staan dan kesesatan, akal semesta banyak menyilaukan hati para pencarinya, melapangkan jalan bagi hasrat kemginan para pencarinya, hingga membuat mereka silau (terperdaya) dengan rahasia-rahasia kodrat yang terdapat di semesta jagad raya, semisal tabiat (alam), Aflak (bintang-bintang), cahaya, sinar dan lain-lainnya, mereka terjebak pada ritus penyembahan benda-benda tersebut secara subtansial (dzat benda) dengan menafikan al Haq, mereka lantas memamaklumatkan, bahwasanya Allah dhuhur (tampak) melalui wujud sesembahan mereka saja!, orang-orang itu lalu berkata: bahwa akal semesta inilah Sang Pencipta. Para penyembah isinya alam secara dzat itu, mereka benar-benar pongah dan jelas-jelas terperosok dalam kesesatan yang tidak mereka rasakan. Sebab akal semesta tidak mampu melintas batas alam, mereka tidak akan bisa memakrifahi al Haq dengan akal semesta ini, karena akal tidak bisa memahami Allah, kecuali dengan Nurul Imaan (Cahaya Iman) tanpa keimanan, akal (baik akal kehidupan atau akal semesta) tidak akan mengetahui hakekat pandangan dan takarannya.

Sebagian para alim berpendapat bahwa akal merupakan sebab utama untuk menggapai makrifah, yang sedemikian itu jika akal difungsikan untuk menelisik kebenaran argumen dan dalil (tekstual kontekstual). Kami setuju dengan pendapat tersebut, namun perlu kami tegaskan disini, bahwa pengetahuan yang lahir dari produk akal, sangat terbatas, karena hanya berada pada kisaran dalil-dalil dan Atsaar (pengaruh-pengaruh), pengetahuan produk akal bersifat parsial (sepotong-potong) karena hanya berdasarkan persepsi inderawi, berbeda dengan pengetahuan yang berbasis iman, makrifah dalam dimensi ini bersifat mutlak, cakupannya menembus dimensi ruang dan waktu. Pengetahuan berbasis iman terkait dengan asma-asma dan sifat-siat-Nya, pengetahuan berbasis akal terkait dengan atsar (bekas), meski akal menghasilkan pengetahuan, namun pengetahuan produk akal berbeda dengan pengetahuan yang lahir dari hati para arif billah (ahli ketuhanan). Ilmu produk akal bersifat lahir, sedang ilmu produk iman bersifat qalbiyah (hati). Ilmu produk akal hanya bisa melihat salah satu wajah ketuhanan al Haq, sedang ilmu produk iman dapat melihat seluruh wajah-wajahNya.

Kemudian Nisbat (perumpamaan) akal kehidupan dengan akal semesta, laksana nisbat pelihat sinar matahari dengan pantulan sinar matahari, sinar itu tidak datang kecuali dari saru sisi, ia tidak akan berkumpul kembali ke sumber sinarnya (matahari,) ia juga tidak diketahui bentuknya, cahaya yang terpantul di air tidak bisa diketahui ukuran panjang dan lebarnya, semua itu bergantung benda yang dipantulinya, karenanya ukurannya tidak bisa dipastikan, karena bersifat subjektif, berikut tidak bisa diketahui hakekatnya. Demikian pula dengan akal kehidupan, ia tidak memancarkan sinar kecuali dari satu sisi (satu sumber), yaitu sisi pandangan (analisa), argumen, qiyas (pengumpamaan) dalam pemikiran. Orang yang memfungsikan akalnya untuk memakrifahi al Haq tidak salah, yang sedemikian jika untuk memahami dan mentafakkuri tanda-tanda kekuasaan-Nya, jika anda memakai akal kehidupan untuk hal tersebut jelaslah tidak salah, namun jika yang anda maksud untuk mengetahui kesejatian al Haq melalui akal kehidupan ini, maka andalah yang dimaksud firman-Nya.

Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, yaitu orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai. (Q.s. adz Dzurriyaat 51 : 10 - 11).

Mereka terkutuk karena menuhankan akal, dan mengimani bahwa akal satu-satunya 'alat' untuk menemukan kebenaran mutlak. Mereka terkutuk karena menyempitkan peran hati dalam mukasyafah, merekalah sejatinya yang membusukkan dirinya dengan keliaran nalar yang tercerabut dari nilai-nilai keimanan, orang yang menuhankan akal sejatinya telah membenamkan diri mereka kedasar laknat al Haq dan kebinasaan diri. Kutukan itu bukan lahir dari luar, akan tetapi dari diri mereka sendiri, mereka bodoh bukan karena faktor eksternal, akan tetapi karena sebab internal, karena tidak bisa memakrifahi diri !

Ketahuilah bahwasanya akal pertama dan qolam (pena) tertinggi, merupakan satu cahaya, nisbah (perumpamaan)nya pada para hamba dinamakan akal pertama, sedang nisbatnya kepada al Haq disebut qolam (pena) pertama. Akal pertama itu dinisbahkan kepada Muhammad saw, darinya al Haq menciptakan Jibril pada zaman azali, dengan demikian Muhammad saw sejatinya adalah bapak daripada Jibril dan asal segenap alam. Ketahuilah, jika anda telisik makna hakikinya anda akan bisa memafhumi, kenapa Jibril berhenti di Sidratul Muntaha, dan hanya beliau sendiri yang menghadap al Haq. Akal pertama dinamakan Ruhul Amiin, karena ia merupakan khazinah (gudang) ilmu-ilmu al Haq dan penjaganya. Jibril juga dinamakan Ruhul Amin. Dengan penamaan semacam itu sejatinya Jibril digelari dengan nama aslinya sendiri. Pahami masalah ini dengan seksama!

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Sudah Edit 54. Estimasi dan Asal penciptaan Izrail Dari Nur Muhammad SAW

Al Haq menciptakan Wahm (estimasi) Muhammad saw, dari cahaya yang bernama al Kaamil (sempurna) Dia menciptakan Izrail dari cahaya Wahm (estimasi) Muhammad saw. Ketika al Haq menciptakan estimasi Muhammad saw, dari cahaya-Nya yang bernama al Kaamil, Dia tampakkan kepada segala wujud dengan baju al Qohr (penakluk), maka jadilah Muhammad saw, penakluk paling diqdaya, adikuasa dengan estimasinya atas segala kekuatan estimasi yang ada pada manusia, kekuatan estimasi ini juga mampu membalik logika, dan segala bentuk yang bisa ditangkap indera. Esensinya segala kekuatan yang terdapat pada Shurah (citra) dapat ditaklukkan oleh estimasinya. Izrail adalah malaikat terdiqdaya dan paling kuat dari segenap malaikat, karena ia tercipta dari cahaya estimasi Muhammad saw. Karenanya ketika al Haq, memerintahkan kepada para malaikat untuk menyempitkan bumi dan mengambil sebongkah tanahnya untuk mencipta Adam as, tidak ada satupun malaikat yang sanggup melakukannya kecuali Izrail, yang sedemikian itu tatkala al Haq memerintahkan Jibril untuk menyempitkan bumi dan mengambil sebongkah tanahnya, Jibril bersumpah dihadapan al Haq, bahwa dirinya tidak mampu. Demikian halnya ketika Dia menyuruh, Mikail, Israfil dan para malaikat yang sangat dekat dengan-Nya, tidak ada satupun dari mereka yang mampu melakukannya, ketika al Haq menyuruh Izrail, ia turun dari alam ketinggian lalu menyempitkan bumi, setelah itu mengambil sebongkah tanah bumi. Bongkahan tanah yang diambil Izrail itulah sejatinya yang disebut Ruhul Ardli (ruh bumi).

Dari ruh bumi itu al Haq menciptakan jasad Adam as, karenanya dikuasakan kepada Izrail menyempitkan nyawa, ia ditugaskan al Haq mencabut nyawa dari tubuh segenap makhluk-Nya, karena al Haq meletakan kekuatan kesempurnaan-Nya dalam tajalli Qohr (penaklukan) dan Gholabah (kemenangan) pada dirinya. Izrail juga memiliki makrifah (pemahaman) tentang ihwal (keadaan) semua yang akan dicabut nyawanya yang tidak mungkin dirinci satu persatu. Ia juga bisa berprilaku dan menyamar diri seperti Shurah (rupa) segala sesuatu yang bernyawa, ia kadang mendatangi komunitas anak manusia dengan rupa manusia biasa atau rupa-rupa lain, jika ia hendak mencabut nyawa, ia menyerupakan bentuknya dengan ruh, lalu ia mengeluarkan ruh dari jasadnya, kebanyakan jasad enggan melepas ruhnya karena kecintaannya kepada ruh, terjadilah polemik yang super dahsat, antara kecintaan ruh pada jasad vis avis ketertarikan ruh jelmaan Izrail, ketika ruh jelmaan Izrail itu tarikannya lebih kuat, maka keluarlah ruh itu dari jasadnya, proses keluarnya ruh dari jasad itu sungguh merupakan peristiwa yang menakjubkan.

Ketahuilah, bahwa ruh sejak asal mula masuknya ke dalam jasad dan menyatunya dengan jasad, tidak pernah meninggalkan tempat dan posisinya, namun fokus perhatiannya selalu berpindah-pindah sejalan dengan apa yang meliputinya, namun demikian secara subtansial ia tetap pada tempat dan posisinya dalam jasad. Realita ini jelas tidak bisa diterima tataran logika dan mustahil secara akal, karena memang masalah ini hanya bisa diketahui melalui Kasyf (pengetahuan intuisi). Jika jasad yang ditempati ruh itu berahlak (etik moral) yang diridhai ketuhanan, maka ruh tersebut meski jasad yang mewadahinya berpijak di bumi, akan selalu bersemaikan ahlak ketinggian, jasad itu meski wujudnya ada di bumi namun ia bagian dari Illiyiin (penduduk alam ketinggian). Demikian sebaliknya jika jasad yang ditempati ruh itu berahlak (etik moral) yang tidak diridhai ketuhanan (perilaKu binatang), meski ia berjalan diatas bumi, namun hakekatnya ia adalah bagian dari Sijjiin (penduduk alam paling rendah). Tinggi dan rendah, naik dan jatuhnya seorang hamba, dari alam ketinggian ke alam kerendahan, adalah tergantung dari pribadinya sendiri, yakni, ketika ruh itu mampu mengkondisikan tubuhnya seperti awal penciptaan, (nuansa ketuhanan), ia akan terus naik ke alam ketinggian, sebaliknya jika jasad dan nafsunya mengusai ruh, watak-watak hewani akan mendominasi tubuhnya, ia akan turus turun ke alam kerendahan. Jasad sejatinya bersifat sekunder dalam organ tubuh manusia, ruh merupakan masalah primer dalam tubuh manusia, karena ia poros (inti) kehidupan, terlebih wajah kehidupan. Jasad tidak akan disebut manusia, jika tidak ber-ruh. Jasad meski memiliki nyawa tapi hampa dari ruh, maka manusia seperti itu akan diragukan eksisteni kemanusiaannya, karenanya keterkaitan antara jasad dan ruh sangatlah vital, keduanya merupakan elan vital kemanusiaan seorang manusia.!

Naiknya ruh ke alam Malakut, adalah dengan bentuk kemanusiaan secara jasadi, bentuk ini pula yang mewadahi kebahagiaan dan duka, pahala dan siksa yang melanskapi ruh di alam sana. Dalam alam realitas, keterkaitan (jasad dan ruh) itu sangatlah jelas, yaitu ketika laku ruh dan jasad berjalan seimbang dan serasi, yakni apa yang ada dibatin manusia selaras dengan tampilan lahirnya. Adapun metafor bahwa ruh terpisah dari jasad, telihat dari sikap jasad dalam menunaikan hukum-hukum ketuhanan, ia malas, berat, lemah dan bentuk-bentuk kedhaifan lainnya. Maka keterpisahan ruh dan jasad itu sejatinya adalah keterpisahan dari ketersambungan (Wushul) bukan keterpisahan yang bermakna keterputusan (Infishal). Dengan demikian dapat dipahami bahwa ruh yang memiliki sifat-sifat awal penciptaannya dan tidak mampu menunaikan amar perintah syariat-syariat-Nya. Itulah sejatinya ruh yang terpisah darijasadnya.! Maka pensifatannya adalah berdasarkan al Quwwah (potensialitas) bukan al Fi'l (aktualitas). Ini pula hakekat keterpisahan Wushul (ketersambungan), dan bukan keterpisahan Infishal (keterputusan).

Jika si pemilik jasad, berahlak dengan etika Malakiyah (para malaikat dan unsur-unsur ketinggian), maka ruhnya akan menjadi kuat dan dapat melakukan hukum-hukum ketuhanan dengan ringan dan semangat, bahkan jasad dalam jiwanya laksana ruh, ia bisa berjalan diatas air, terbang di udara, dan dapat melakukan aktifitas adikodrati dan pekerjaan spektakuler lainnya. Sebaliknya jika si pemilik jasad, berahlak dengan etika Basyariyah (kemanusiaan) dan perilaku-perilaku rendah lainnya, (jauh dari nilai-nilai ketuhanan), ruhnya akan menjadi lemah dan malas serta berat menunaikan hukum-hukum ketuhanan, ia akan terpasung di alam kerendahan, bahkan akan menjerembabkan-nya ke dasar kerendahan. Jikalau si pemilik jasad mampu menyeimbangkan (tawazunitas) antara perilaku Malakiyah dan Basyariyah, ia bisa menemukan keseimbangan diri yang dengan itu ia bisa menata dan menyiapkan diri menuju alam ketinggian, meski jasad kasarnya berpijak di bumi. Namun jika ruh itu tetap eksis di alam Rohani (alam ketinggian), maka jasad itu juga termasuk penduduk langit, meski bentuk kasarnya ada di bumi. Ruh ketinggian itu ketika menguasai (mendominasi) jasad, ia akan membuat dada si empunya jasad menjadi lapang, ruh itu menghilangkan kesempitan dan menjadikan kelapangan, mengusir duka dan membuat bahagia. Kesempitan, kesedihan, kesusahan, dan keruwetan-keruwetan hidup lain merupakan pasung (penjara) ruh. Dalam diri insan yang keruh itulah ruh menjadi terpasung! Kelapangan yang bersandarkan nilai-nilai ketinggian itulah hakekat surga dunia, dan itu akan tetap abadi (langgeng), kematian bagi si pemilik jasad yang telah menggapai maqom ini hanyalah merupakan perpindahan alam dari alam kebahagiaan terbatas, menuju alam kebahagiaan tak terbatas. Pahami dengan seksama masalah ini.!

Malaikat Izrail ini, akan datang kepada para hamba yang hendak dicabut nyawanya dalam berbagai bentuk rupa, sejalan dengan tingkat ketersambungan hamba tersebut dengan al Haq diberbagai dimensi kehidupan yang ada, semisal, moralitas, perbuatan, keyakinan (aqidah), dan etos ubudiyah lainnya. Izrail akan bersikap ramah dan santun kepada orang shaleh, ia akan bersikap galak dan bengis kepada para kafir, Izrail akan mendatangi dengan citra (rupa) sesuai keadaan mereka, misalnya ia datang" kepada orang dzalim pekerja kantor, dengan sifat orang yang mendendam kepadanya atau berupa utusan raja dengan tampang yang garang dan bengis, ia juga datang kepada orang shaleh dan ahli taqwa dengan bentuk rupa orang yang paling mereka cintai. Ia bahkan bisa mewujudkan diri laksana baginda rasul Muhammad saw, ketika mereka melihat Izrail dengan citra (rupa) seperti itu, ruh mereka keluar dari jasad mereka dengan tenang dan damai, penyerupaannya dengan bentuk nabi sangatlah mungkin, karena Izrail dan para malaikat yang dekat dengan al Haq adalah makhluk yang tercipta dari Kekuatan Rohani, Izrail tercipta dari hati Nur Muhammad, demikian pula ada malaikat yang tercipta dari akal dan estimasi Nur Muhammad saw. Pahami betul masalah ini.! Maka adalah sangat mungkin para malaikat itu menyerupakan bentuk mereka dengan bentuk rasul Muhammad saw, karena mereka tercipta dari Nur Muhammad saw. serta membentuk citra diri mereka seperti rupa sang rasul saw, baik secara jasadi (bentuk kasat) maupun kepribadian. Tidak ada yang bisa menyerupai Muhammad saw, kecuali makhluk yang diciptakan dari Nur (cahaya) Muhammad saw.

Iblis -laknat Allah selalu menyertainya dan anak-anak turunnya pun manusia-manusia yang berwatak Iblis, tidak akan pernah bisa menyerupai Muhammad saw. Hal ini diisyaratkan sebuah hadits : Sesungguhnya telah datang malaikat kepada Muhammad dan membedah dadanya, lalu menyuci hatinya, dengan mengeluarkan darah dari hatinya. Darah (merah) itulah sejatinya nafsu manusia dan tempat mengalirnya setan dalam tubuh manusia, dengan membersihkan hati itu berarti setan tidak bisa mengganggu hati manusia, karenanya setan tidak bisa menyerupai sang nabi, karena alirannya telah diputus! Kemudian Izrail tidak hanya menghususkan penampakkannya dengan citra (rupa) para ahli ibadah, insan-insan shaleh, pun pelaku maksiat, insan-insan jahat. Akan tetapi ia menampakkan dirinya dengan multi citra sesuai kondisi dan tempat serta segala wacana yang ada, sebagaimana yang telah diwartakan pesan Qur’ani. Izrail juga menampakkan rupanya dalam bentuk binatang-binatang buas, semisal, macam, harimau, srigala, ular berbisa dan hewan-hewan pemangsa lainnya, ia juga menampakkan dirinya dengan rupa burung-burung, semisal, elang, nuri, merpati dan lain sebagainya, atau berbentuk pemburu, pemancing, penjagal dan lain-lain. Esensinya Izrail menampakkan dirinya dengan citra sesuai even tertentu, sejalan dengan misi yang hendak ditunaikannya, ia tidak pernah menjadikan rupa (citra)nya berbentuk rangkap, ia bahkan sering mewajahkan dirinya dengan citra (rupa) sederhana.

Izrail juga menampakkan diri dengan tidak berbentuk, semisal ia bisa mewujudkan diri dengan bauh busuk yang menyengat, atau bauh wangi-wangian, kadang anda bisa menemukan orang yang shaleh, tatkala meninggal baunya sangat wangi, demikian pula dengan orang yang jahat, matinya disertai bauh busuk yang menyengat, atau kadang kita menemukan bauh busuk di tempat orang yang akan dicabut nyawanya, atau bauh wangi ditempat lain. Dari aroma bau itu kita bisa memakrifahi sejatinya insan yang dipanggil menghadap Yang Kuasa. Kadang kita tidak menemukan bauh orang yang sedang sakaratul maut, (sekarat), namun kita temukan keadaan lain dalam diri si mayyit, yaitu ruhnya keluar masuk jasadnya, Izrail tidak mencabut (mengeluarkan) nyawanya tidak pula membiarkan mayat tersebut hidup, kita sering menemukan 'tragedi' kematian seperti itu, Izrail memperlakukan hal seperti itu adalah sejalan dengan perbuatan insan yang dicabut nyawanya, demikianlah ia bisa berbentuk citra apa saja sesuai dengan tugas yang dikuasakan al Haq kepada dirinya.

Ketahuilah bahwa ruh paska keluarnya dari jasadnya, ia sama sekali tidak meninggalkan bentuk jasadnya, akan tetapi ia hanya vakum dalam rentang zaman tertentu, seperti orang yang sedang tidur yang tidak melihat sesuatupun saat tidurnya, ia juga tidak tahu apa yang terjadi disekelilingnya. Secara logika orang tidur jelas tidak bisa melihat apa-apa atau mendengar suara orang yang bicara pun kegaduhan lain, ia juga tidak bisa melihat sesuatu, namun pada reliatanya orang yang tidur bisa melihat sesuatu melalui mimpinya, setidaknya itulah yang kami memakrifahi melalui Kasyf (pengetahuan intuisi). Selanjutnya orang seorang bisa tidur satu hingga dua hari, atau bahkan lebih, ia tidak melihat sesuatupun dalam tidurnya, orang yang tidur seperti itu sejatinya sama dengan orang yang sedang berada di alam kubur, al Haq bisa menjadikan orang yang tidur berhari-hari serasa beberapa menit terlebih menjadikan tidur yang sebentar, namun pada kenyataan-nya ia telah tertidur bertahun-tahun bahkan berabad-abad lalu membangunkannya kembali, tapi insan yang tidur merasa tidurnya hanya beberapa saat saja. Demikian halnya al Haq juga membentangkan waktu untuk seseorang, yang dalam satu waktu itu ia bisa bekerja dengan aneka pekerjaan, berumur panjang dan beranak pinak, yang karunia 'istimewah' itu tidak dimiliki orang lain.

Kita penduduk dunia ini saban harinya memerlukan waktu tidur -di malam hari, bahkan tidak jarang banyak manusia tidur disiang bolong. Dalam dunia hakekat, tidur disebut keheningan (kedamaian) pertama, itu pula sejatinya yang disebut kematian ruh. Tidakkah anda ingat sabda rasul Muhammad saw, yang menganggap malaikat yang berhenti berdzikir sebagai malaikat yang mati, maka kematian bagi para malaikat adalah keterputusan dzikir mereka.! Barang siapa yang memukasyafahi hadits tersebut, ia akan mengetahui hakekat ungkapan rasul saw itu. Kematian disebut keheningan (kedamaian) pertama, ia juga disebut tidur panjang, tatkala jasad berada di rana keheningan pertama ini, posisi ruh berada di alam Barzah, kita akan membincang khusus masalah Barzah ini pada bab berikutnya.

Ketahuilah bahwasanya al Haq menciptakan cahaya estimasi Muhammad saw ini, adalah untuk cerminan bagi Diri Nya dan tempat ke-Qudus-an Nya, tidak ada sesuatupun di alam semesta ini yang lebih cepat dan lebih diqdaya dibandingkan cahaya estimasi Muhammad saw, cahaya ini dikuasakan untuk mengatur segala yang wujud, dengan cahaya estimasi Muhammad saw inilah semesta alam menyembah-Nya. Dengan cahaya estimasi Muhammad ini pula al Haq melihat Adam as dan anak turunya, dengannya orang bisa berjalan diatas air, terbang di udara, cahaya estimasi Muhammad saw sejatinya adalah Nurul Yaqiin (cahaya keyakinan) asal segala penguasaan dan kemungkinan, barang siapa dikuasakan (dikaruniai) cahaya estimasi Muhammad ini, ia bisa menguasai dan mempola segala yang wujud, baik yang ada di alam ketinggian maupun di alam rendah. Barang siapa yang diberi kekuasaan cahaya estimasi, ia bisa berbuat apa saja, akan tergerus rasa ragu, gamang karena tersapu cahaya estimasi Muhammad saw.

Ketahuilah -semoga Allah senantiasa memelihara rasa iman anda, dan menjadikan anda Ahl Yaqiin, (golongan orang yakin), dan pelaku kebaikan. Bahwasanya ketika al Haq menciptakan estimasi ini, Dia berkata kepada cahaya estimasi itu: Aku bersumpah untuk tidak akan bertajalli kepada ahli taqlid, kecuali di dalammu, Aku tidak menampakkan kepada segenap isinya alam, kecuali di dalam rasa takutmu, sejauh mereka-memakai dirimu untuk menghadap Ku, sejauh itu pula petunjuk Ku untuk diri mereka, sejauh mereka memalingkan diri mereka dari cahayamu, sejauh itu pula vonis kehancuran Kujatuhkan kepada mereka. Cahaya estimasi berkata : Wahai Rabb, buatlah anak-anak tangga bagi asma-asma dan sifat-sifat Mu, agar bisa dijadikan tangga bagi mereka untuk menuju sejatian dzat Mu. al Haq lalu menegakkan contoh-contoh yang Munir (menyalah), terlukis dalam tembok-tembok kewibawaan dan kekuasaan serta taqdir-Nya, berikut mengkuasakan pengurusan ritus ibadah dan ubudiyah para hamba-Nya melalui cahaya ini. al Haq bersumpah atas nama Diri Nya. Siapapun orangnya tidak akan bisa menemukan inti dzat-Nya, hingg onta masuk ke lubang jarum, kecuali jika melalui cahaya ini. Tangga itu kini masih berdiri tegak di belantara kemesterian, di tengah padang kesempuraan-Nya. Pintu rahasia ketuhanan-Nya terbuka lebar bagi yang ber-azam Suluk (meniti jalan-Nya). Kunci-kuncinya berserakan dibelantara ibadah dan ubudiyah, mereka yang menemukan tangga dan kunci tersebut, al Haq akan memakaikan kepadanya baju kedekatan (al Qurb) al Haq berkata kepada Izrail. Tunaikan tugasmu wahai malaikat Ku. Dia lantas menyematkan dua hal kepada Izrail:

1. Cahaya hijau yang tertulis di ujungnya dengan cahaya merah.

Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Qur’an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai bicara. (Q.s. ar Rahman 55 : 1 - 4).

2. Daerah kerendahan, yang dilingkupi awan kekufuran dan pengingkaran, tertulis dengan pena penipuan dan penghianatan

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. (Q.s. al 'Ashr 103 : 2)

Ketika cahaya estimasi ini diturunkan dan dibawah Izrail ke segenap alam, dalam bentuk penampakkan makhluk, salah satu bentuknya adalah biji gandum. Adam lantas memakannya, maka ia tercampakkan dari surga bersama biji gandum tersebut. Perhatikan betul penyifatan dan isyarat yang kami paparkan ini. Karena adanya kontradeksi yang jelas-jelas nyata antara isyarat dan realita teks (Qur'ani)!

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jilly

Cahaya kekuasaan terpancar di langit Atlas.

Membiaskan hayal hati disetiap relung jiwa tiap insan

Ia adalah citra dan ayat Sang Maha Kasih

Termanifestasikan pada keindahanNya nan menawan

Ia adalah kediqdayaanNya, ia adalah ilmuNya

Ia adalah zat DiriNya,

Ia adalah segala sifat dan asmaNya

Ia adalah 'laku' DiriNya,

Ia kehendakNya

Ia landasan tajalli kasih kebaikanNya kepada setiap mahluk

Ia adalah titik keadaan, puncak situasi

Ia adalah wajah kesantunan, keindahan dan keintimanNya

Ia adalah 'buhul' ikatan yang kokoh

Ia adalah pedang tajam, penghunus nalar utopis tiap insan

Maka terserah engkau, suka atau tidak

Masihkah kau memfungsikan hayal hatimu yang misteri?

Sudah Edit 55. Cita-Cita dan Asal penciptaan Mikail dari Nur Muhammad SAW

Ketahuilah -semoga al Haq senantiasa menuntun kita di jalan yang benar. Bahwasanya cita-cita adalah sesuatu - yang paling mulia yang diletakkan al Haq pada diri manusia, yang sedemikian itu ketika al Haq menciptakan cahaya, Dia meletakkan cahaya tersebut dihadapan-Nya, Dia melihat cahaya itu masyghul dengan dirinya sendiri, Dia juga melihat cita-cita masyghul dengan al Haq. Dihadapan cahaya cita-cita itu al Haq bertita : Demi kemuliaan dan keperkasaan Ku, niscaya akan Aku jadikan engkau cahaya tertinggi, tidak ada satupun dari makhluk Ku yang mampu menggapai dirimu, melainkan para al Abraar (pembakti) utama, barang siapa diantara mereka yang ingin Wushul (sambung) kepada Ku, ia tidak akan mampu kecuali melalui konsesus perundang-undanganmu, engkau adalah tangga penyampai para murid, Buraq para arif, taman para Waashil (insan yang sampai) denganmu para peniti jalan Ku, berlomba-lomba menuju diri Ku, melaluimu para ahli hakekat tersucikan, para Muqorrobin (insan yang dekat) menjadi tinggi. Kemudian dengan cahaya itu al Haq bertajalli dengan nama-Nya al Qoriib (Yang Dekat) dan melihat dengan nama-Nya al Sarii' (Yang Cepat), serta al Mujiib (Yang Menjawab), dengan penampakkan itu Dia mendekatkan sesuatu yang jauh dari-Nya, dan meluruskan sesuatu yang terpalingkan dari-Nya, mendekatkan hati dan jiwa yang terjauhkan dari-Nya. Penglihatan­Nya kepada ciptaan-Nya akan melahirkan kesegerahan keterkabulan, atas dasar itulah sejatinya Himmah (cita-cita) adalah, tujuan anda yang jelas dan konstruktif serta konsisten dengan tujuan tersebut, berikut istiqomah menghadapi segala konsekwensi yang menghadang cita-cita yang sedang anda perjuangkan.

Istiqomah itu sendiri terbagi atas dua bagian 1.) Kondisional, yakni; menumbuhkan keyakinan yang utuh, bahwa apa yang dicita-citakan dapat digapai dengan tiada keraguan sedikitpun dalam syakilah diri. 2.) Aktualitas, yaitu ; semua aktifitas diarahkan kepada cita-cita yang hendak digapai, esensinya harus disertai dengan tindakan nyata yang konstruktif. Sebab sebuah cita-cita yang tidak disertai tindakan nyata adalah utopis dan hipokrit, serta merupakan angan-angan kosong belaka. Cita-cita yang tidak disertai aktualisasi, bagaikan orang yang menghayal menjadi raja, sementara ia masih berkubang dalam tong sampah, ia ingin menggapai kemuliaan, sementara dirinya masih bergelut dengan sampah kotoran, atau orang yang ingin menulis, tanpa memiliki pena, tinta dan pengetahuan merangkai huruf. Tinta ibarat tujuan cita-cita yang hendak digapai, pena laksana keyakinan bisa menggapai cita-cita, pengetahuan merangkai huruf ibarat langkah konstruktif (tindakan riel) untuk menggapai apa yang dituju. Barang siapa yang tidak mengindahkan masalah ini, ia sejatinya tidak memahami esensi cita-cita dan ia tidak akan pernah berhasil menempuh cita-cita yang didambakannya. Orang seorang yang memahami hakekat cita-cita, ia akan mengoptimalkan tenaga dan pikirannya untuk menggapai harapan yang dicita-citakan, ia akan berjuang dengan sungguh-sungguh hingga berhasil. Dengan langkah konstruktif dan perjuangan yang sungguh-sungguh serta tiada kenal putus asa, niscaya keberhasilan cepat tergapai.

Dikisahkan, ada seorang Faqir (insan yang merasa butuh kepada al Haq) suatu hari, ia mendengar syeikhnya berkata : Barang siapa ingin menggapai sesuatu dan bersungguh-sungguh untuk menggapainya, niscaya ia akan mendapatkannya. Murid itu lantas berkata kepada diri pribadinya : Demi Allah, aku bercita-cita meminang putri raja, aku akan berusaha dengan penuh kesungguhan dan berjuang dengan penuh semangat untuk merealisasikannya. Ia lantas pergi menghadap raja, setelah bertemu ia mengutarakan niatnya ingin melamar putrinya. Raja itu sangat arif, ia dengan pikiran sehatnya merasa bahwa pemuda faqir ini tidak pantas menikahi putrinya, karena perbedaan status sosial yang menganga diantara keduanya, namun demikian ia tidak memperhinakan pemuda itu karena kefaqirannya, ia juga tidak berkata bahwa pemuda itu tidak sederajat dengannya. Dengan penuh kearifan raja berkata kepada pemuda yang melamar putrinya : Ketahuilah mahar putriku ini, adalah permata yang bernama Baharman di dunia ini cuma ada satu, yaitu ditempat peti emas rahasia milik kaisar Anusirwan. Pemuda itu berkata : wahai paduka raja, dimanakah asal tambang permata itu.? Raja mewartakan : asal tambang permata itu di lautan lepas negeri Cylon—dalam peta modern negeri itu kini disebut Srilanka. Jika kau mampu membawah kepada kami permata yang kami maksud, maka kau boleh menikahi putriku.! Pemuda faqir itu lantas pergi ke negeri Cylon, ia pergi ke tepi laut tempat penambangan permata, ia bersemedi (berkhalwat) berhari-hari tidak makan dan minum, ia sangat eksis beri'tikaf siang malam, tiba-tiba ritus pertapaanya diganggu ikan paus, ia lalu mengadukan masalahnya kepada Allah, al Haq lalu menyuruh malaikat yang menjaga laut itu mendatangi pemuda tersebut dan menanyakan keperluannya. Ketika ditanya keperluannya, pemuda itu menjelaskan keperluannya berada di laut itu, malaikat penguasa laut tersebut lantas memerintahkan laut memuntahkan (( permata Baharman )) dengan ombaknya ke daratan, tepi pantai itupun penuh dengan permata Baharman, pemuda itu lalu pergi menghadap raja dengan permata Baharman, ia lalu dinikahkan dengan putri sang raja. Lihatlah apa yang telah dilakukan cahaya cita-cita! Anda mungkin melihatnya sebagai peristiwa yang spektakuler, kami telah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang jauh lebih spektakuler dari kejadian tersebut, yang tidak mungkin kami rinci satu persatu. Allah adalah penjamin atas segala sesuatu yang kita cita-citakan, kami tidak bisa menceritakan kejadian-kejadian spektakuler yang kami lihat dan alami, karena hal itu tidak akan membuat anda percaya, kecuali jika anda mengalaminya sendiri, lebih dari itu kami takut ketidak percayaan anda terhadap apa yang kami ceritakan justru akan membawa anda kepada perilaku kemurtadan, pun menanggalkan hati anda dari rasa iman dan petunjuk-Nya. Sebab hati jika dirasuki keragu-raguan, setan akan menari-nari dengan tipu daya sejuta godaannya, serta akan menutup hati anda meniti jalan hadirat Sang Maha Perkasa. Maka hati-hatilah dengan hati anda, pelihara hati anda agar tidak terpalingkan  dari titian jalan Allah, karena jalan menuju-Nya sangatlah terjal, banyak cobaan dan godaan yang selalu menghadang langkah Saalik (peniti jalan Allah), langkah previsinya adalah dengan mensucikan jiwa dan menjernihkan kalbu, agar bisikan-bisikan setan tidak menghampiri diri anda, sebab jiwa dan hati yang kotor, tidak akan mampu menangkap Nurul Yaqin (cahaya keyakinan) karena digelapkan keragu-raguan, gamang dan ketidak percayaan diri yang lahir dari waswas (tipu daya) setan!    Ketahuilah, semoga al Haq merahmatimu dengan nilai-nilai kebenaran. Bahwasanya gelas cita-cita sebelum terisi Himmah (obsesi), berisikan angan utopis, racun-racun kemalasan, sikap-sikap keragu-raguan dan belenggu-belenggu jiwa lainnya, ketika kau tuangkan Himmah kedalamnya dan kau reguk Himmah itu dengan kerja nyata dan kesungguhan yang mumpuni, semuanya lenyap yang ada adalah Nailul Munah, (tergapainya harapan) dan Wushul al Ghayah (sampainya tujuan) yang anda cita-citakan.! Gelas yang berisikan cita-cita yang kuat, tidak akan bisa digerakkan oleh badai yang mengempasnya, tidak akan pecah jika dihantam godam ketakutan, keraguan, kemalasan. Peminumnya akan diqdaya menghadapi mega bencana yang menghalangi cita-cita yang hendak diraihnya, ia akan eksis dengan langkah cita-citanya. Ia tidak akan dimabukkan oleh tipu daya, mega godaan yang selalu menyelimuti langkahnya, ia tidak takut kegagalan, ia akan hadapi dengan penuh satria semua yang menghalangi cita-citanya, ia sandarkan cita-citanya kepada al Haq, ia serahkan kepada­Nya untuk memungkasinya, ia menyadari tipu daya setan sangatlah dahsat menghadang cita-citanya, karenanya ia tidak memalingkan hatinya kepada selain al Haq. Sungguh jalan untuk meraih cita-cita itu penuh dengan duri-duri cobaan dan bencana, sarat dengan ranjau-ranjau penghadang, jika tidak diwaspadai dengan waspada tinggi, niscaya akan muda terperosok ke jurang kesesatan dan terbelokkan dari jalan yang benar dan lurus. Keberhasilan itu hanya bisa digapai dengan kerja keras, kesungguhan, kesabaran dan tetap eksis dijalan yang lurus, al Haq berfirman :

Keberhasilan itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. (Q.s. Fushshilat 41 : 35).

Ketahuilah bahwa cita-cita itu asal penciptaannya dari sifat-Nya al Awwal, penampakkannya pada sifat-Nya al Afdhal, ia berbasis pada sifat Uluhiyah-Nya, karena sejatinya cita-cita itu merupakan duplikat kitab yang al Maknuun (disimpan), sedang kunci pembukanya adalah rahasia yang al Mashuun (dipelihara). Orang seorang yang ingin berhasil dengan cita-citanya, tidak boleh berpaling dari al Haq, tidak merindukan dan memohon kepada selain Diri Nya, karena Dia-lah penjaga dan pemegang kunci pintu rahasia keberhasilan para hamba-Nya. segala sesuatu tidak akan dikembalikan kecuali kepada asalnya, tanaman kurma tidak mungkin membuahkan apel, biji gandum yang ditanam akan menghasilkan panen gandum, segala sesuatu yang terkait dengan habitat alam tabiat berjalan sesuai hukum alam. Kami perlu memparodikan kenyataan alam tersebut, agar anda bisa mentafakkuri bahwa cita-cita asal penciptaannya di alam ketinggian, ia bukan produk alam rendah (bumi), tidak mengarah kecuali kepada sisi (arah) kemuliaan dan keperkasaan, berbeda dengan 'hasrat' (keinginan) yang merupakan nama hati untuk pewajahan ke segala arah, baik ke arah ketinggian atau kerendahan, kiri dan kanan dan seterusnya. Pahami betul isyarat dan metafor yang kami gunakan ini.! Ketahuilah meski cita-cita itu asal penciptaannya berasal dari alam ketinggian dan keagungan, ia juga merupakan Hijab (tirai penghalang) antara makhluk dan al Haq, yang sedemikian itu jika orang seorang berhenti pada cita-cita semata. Sebab keberhasilan diraihnya melahirkan kesombongan dan penafian akan peran sentral al Haq dalam tempuhan cita-cita yang dilakukannya, meski ia berhasil meraih apa yang ia inginkan, namun ia akan terhalang dari Mukasyafah akan kesejatian Diri Nya, Pahamilah dengan penuh seksama. Banyak pegiat ibadah yang secara lahir terlihat berhasil dalam menggapai maqom tertinggi, namun secara hakiki ia gagal, karena hakekat dibalik keberhasilan itu tidak mampu dimukasyafahinya. Jika kau bercita-cita meniti jalan Allah, sementara kau tidak mampu memukasyafahi kesejatian-Nya, meski secara lahir kau tampak berhasil, katauilah, pada hakekatnya kau adalah orang yang gagal.

Jika kau manusia yang cerdik cendikia, ketahuilah bahwa Muhammad saw sejatinya adalah Umm al Kitab (Induk Kitab), maka makna-makna selain Umm al Kitab adalah berdimensikan Khitab (audisi), al Haq menciptakan segenap alam dari Induk Kitab, segala isinya alam ini, bahkan semesta alam adalah berasal dari Nur (cahaya) Muhammad saw, darinya al Haq menciptakan hakekat semesta alam, penampakkannya melalui sifat Rahmaniyah-Nya itu berarti penciptaan alam ini merupakan bukti nyata Kasih Kemurahan al Haq, kepada segenap makhluk-Nya. al Haq menciptakan ruh dari cahaya cita-cita Nur Muhammad saw, luasnya seluas rahmat-Nya. Dari ruh itu al Haq menciptakan malaikat yang dikuasakan mengatur alam dan isinya alam, al Haq juga mengkuasakan malaikat-Nya untuk membagi rizki serta memberikannya kepada yang berhak, malaikat yang dicipta dari ruh itu merupakan serpihan Nur Muhammad saw, yang diciptakan dari hakekat ke-Esa-an Nya. Ketika malaikat itu telah eksis menjadi wakil-Nya dan konsisten dalam membagi rizki kepada yang berhak, menimbang dengan adil neraca amal para makhluk-Nya, berikut menjadi wakil-Nya dalam beraudisi dengan segenap makhluk-Nya. al Haq lalu memberi nama ruh ini dengan nama ((Mikail)). Dengan demikian Mikail adalam malaikat yang dikuasakan al Haq sebagai pembawa dan pembagi rizki kepada segenap makhluk-Nya, sejak zaman azali hingga abadi, ia juga dikuasakan al Haq mengetahui semua bilangan dan perkataan yang pantas ditorehkan dengan tinta, al Haq mendudukkan Mikail di mimbar keutamaan di atas langit kelima, ia diberi neraca keadilan dan hukum pertimbangan, ia turun dari mimbarnya ke alam dunia dengan sayap-sayap keadilan, meneropong perilaku manusia dengan neraca keadilan. Pahami betul rumus-rumus yang dipakai dalam pembahasan ini, agar anda bisa memakrifahi makna yang tersirat dibalik penjelasan kami. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jaily

Telah dihadirkan kepada dirimu icon kesucian

Teladan untuk menapaki keluhuran nan agung

Dialah Buraq para arif menuju alam keluhuran

Kendaraan setiap ruh menuju muara hakekat

Dialah cahaya al Haq yang terlihat kasat mata

Kasih petunjukNya yang tertangkap Inderawi '

Terbanglah dengan sayap-sayap teladannya

Lintasi badai hidup dengan kesejukan nasehatnya

Tidak sulit kau menemui dirinya saban hari,

namun, kau sering pongah mentradisikan teladannya

Sebutan itukah dirimu menangkap pesannya?

Teladan 'laku' dan nasehat sejuknya sangatlah jelas

Dialah sejatinya cahaya Allah untuk dirimu

Akankah kau simpan cahayaNya di file kepongahanmu?

 

Sudah Edit 56. Logika dan Asal penciptaan para Malaikat Dari Nur Muhammad SAW

 

Ketahuilah—semoga al Haq, mengajarkan kepada kita hikmah-Nya, dan merinci kepada kita khitab-khitab-Nya. Bahwasanya logika pemikiran, merupakan salah satu kunci dari kunci-kunci pembuka dimensi kegaiban yang tidak ada satupun bisa mengetahui hakekatnya, kecuali al Haq Jallah Jalalah. Kunci-kunci pembuka rahasia gaib itu, bisa berdimensikan ketuhanan, bisa pula berdimensikan kemakhlukan. Adapun yang berdimensikan ketuhanan, adalah hakekat nama-nama dan sifat-sifat­Nya. Sedang dimensi kemakhlukan, adalah pengetahuan (makrifah) logika, yang tersusun dari dzat Jauhar (entitas) individu, yakni dzat manusia yang berlanskapkan wajah al Haq yang berupa wajah ar Rahmaan. Logika pemikiran adalah salah satu daripada wajah ar Rahman. Logika merupakan salah satu dari kunci kegaiban yang berdimensikan cahaya, sedang inti (dzat) cahaya itu adalah cahaya terang yang bisa ditangkap oleh mata kasat manusia. Cahaya itulah metafor ke-Pemurahan-Nya yang nyata dihadapan mata pikir dan mata hati segenap hamba-Nya. Cobalah bertafakkur (fungsikan pemikiran dan tajamkan mata pikir anda) tentang etos penciptaan langit dan bumi, anda akan dapati isyarat-isyarat yang sangat halus terkandung di dalamnya, jika anda menemukan hekekat penciptaan-Nya, kegaiban yang misteri dari penciptaan itu akan tertampakkan, ketika orang seorang terus menerus mengoptimalkan ketajaman mata pikirnya, ia akan dapat menyaksikan bentuk-bentuk rohani penciptaan itu ke alam indera, ia menemukan realita alam yang terpendam dibalik cahaya pekirannya, ia bisa menyimak dan beraudisi dengan para malaikat penjaga bumi dan langit, ia bahkan bisa menjadi seorang mentalis yang menari-nari diatas tarian logika pemikirannya. Ketahuilah al 'Aruuj (kembaran langit) itu ada dua macam.

Pertama : Melalui Shiratillah (Jalan Allah ). Orang seorang yang berkelana melalui jalan benar (Shiratal Mustaqiim), akan menuntun Fikr (pemikiran) mampu menggapai nuqtah (titik) markas-Nya yang agung, akan tertampakkan puncak garis (nasib)-nya yang lurus, ia beroleh keberuntungan tajalli yang terpelihara dari kitab yang tertata rapi dibalik rahasia-Nya, yang tiada akan pernah disentuhkan kecuali para Muthahhaar (manusia yang suci hati dan pikir) itulah sejatinya rahasia yang tersimpan diantara huruf Kaf dan Nun yang kunci utamanya melalui,

Sesungguhnya kepada-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya Kun (Jadilah) maka jadilah ia. (Q.s. Yaasin 36 : 82).

Adapun tangga yang dipakai untuk me-Mi'raj-kan diri dalam pemaknaan ini adalah dengan ilmu Syariat dan ilmu Hakikat.

Kedua : Sihir Merah, yang terdapat pada Khayali (imajinasi), gambaran tentang al Haq yang berbungkus kebatilan dan penipuan. Inilah yang disebut Mi'raj kebuntungan (kerugian), tempuhan jalannya adalah Shirat asy Syithaan (jalan setan) yang marak dengan tipu daya.

Amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya suatu apapun. (Q.s. an Nuur 24 : 39).

Cahaya berubah menjadi api, kesenangan menjadi kepedihan, jika al Haq dengan tangan kekuasaan dan rahman-Nya mengambil si pelaku dan mengeluarkannya dengan kasih kelembu^r-Nya, ia akan bisa Mi'raj pada jalan yang benar. Ia akan mendapati al Haq dengan pikiran yang dimilikinya, dengan kasih pertolongan-Nya tersebut, si hamba akan bisa memakrifahi nilai-nilai ketuhanan, ia bisa memahami benang merah antara sesuatu yang haq dan sesuatu yang batil, lebih dari itu ia akan menyadari akalnya sangat terbatas, ia tidak lagi menuhankan akalnya, ia tidak memuja pemikiran logikanya, ia tidak lagi menari-nari diatas logikanya, ia tundukkan pikirannya dibawah hukum-hukum al Haq, ia pakai pikirannya untuk urusan duniawi, sedang untuk akhiratnya ia memfungsikan hatinya, ia jernihkan hati, pikir, perilakunya dari jerat-jerat logika, ia titi jalan-Nya dengan hati, sebab ia percaya dengan haqqul yakin, jika bersandar pada logikanya ia akan hancur, ia tidak akan mampu menyingkap dimensi kegaiban dengan akalnya, ia tidak akan menemukan pengetahuan hakiki jika bersandarkan logika, ia tidak akan pernah bisa memahami makna Umm al Kitab (induk kitab), ia tidak mau dirinya termasuk manusia-manusia yang difirmankan al Haq,

Mereka itulah orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya, dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.s. al Kahfi 18 : 104).

Saya (al Jilliy) juga pernah tenggelam di samudera yang menurut hemat saya merupakan samudera kemuliaan, saya hampir saja diterjang ombak tipu daya yang ada di dasar keyakinan utopis tersebut. Saat itu saya sedang menghadiri majlis Sima'ah di kota Zabidah tahun 779 H. Sima'ah itu diadakan di kediaman syeikh Syihabuddin Ahmad al Raadad, kala itu guru serta pembimbing saya, qutub dunia, punggawa ahli hakekat, syeikh abu Ma'ruf Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim al Jabarutiy hadir di angkasa, saya panggil beliau dengan suara yang keras : Wahai Aliahku, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu, dari ilmu yang menghancurkan, runjukilah aku wahai tuanku, tunjukilah aku. Guruku itu mendengar ungkapanku, beliau lalu membimbingku bermi'raj melalui jalan yang benar (Shiratal Mustaqiim), jalan yang lurus.

Jalan Allah yang kepunyaan-Nya, segala apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi. Ingatlah bahwa kepada Allah-lah kembali segala sesuatu. (Q.s. asy Syuraa 42 : 53).

Kembara langit agung, melalui tangan kelembutan-Nya tersebut, benar-benar sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dalam kembara langit itu juga dapat dimakrifahi para wali yang beredar pada garis Shiratal Mustaqim dan Ghoirul Mustaqim (benar dan tidak benar), namun kita tidak membahasnya pada bab ini.

Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menciptakan Fikr (logika) Muhammad dari asma-Nya yang bernama al Haadi (Yang memberi petunjuk), ar Rasyiid(Yang sadar (Tidak khilaf)), dan tertajallikan melalui nama-Nya al Mubdi'u (Yang memulai), al Mu'iid (Yang mengulangkan). Kemudian melihat kepadanya dengan nama-Nya al Baa'its (Yang membangkitkan), asy Syahiid (Yang menjadi saksi). Ketika logika bersemaikan nilai-nilai asma-asma-Nya tersebut, tampak dalam alam realitas sifat-sifat ketinggian, al Haq, menciptakan dari Fikr (logika) Muhammad saw, ruh para malaikat yang ada di langit dan di bumi, Dia mengkuasakan mereka untuk menjaga alam ketinggian dan alam kerendahan, alam semesta akan tetap terjaga selama ada para malaikat tersebut, ketika ajal yang ditentukan telah tiba, maka masa bakti para malaikat itu berakhir. Dia lalu membawa ruh-ruh para malaikat langit dan bumi dan membawanya ke alam gaib yang dikhususkan untuk ruh mereka, setelah itu hancurlah alam dan isinya alam termasuk diantaranya bumi dan langit.

Mulailah lembaran kehidupan akhirat, dengan dimulainya kehidupan akhirat itu, berakhir pula makna 'perintah-Nya' baik secara lahir maupun batin. Pahami betul isyarat ini! Hijab-hijab (tirai penghalang) mulai dibuka dan terbukalah rahasia-rahasia-Nya, terpancar melalui cahaya ini (cahaya pemikiran Muhammad saw) menggerus semua ibarat, tampak semua yang tersembunyi. Orang seorang yang memakrifahi masalah tersebut di alam dunia ini, wajib baginya untuk menyimpan (menyembunyikan)-nya, karena hal itu akan tampak dengan sendirinya ketika di alam penampakkan ahirati, lebih dari itu hikmah dari pelarangan untuk mewartakan mukasyafah ini, karena pewartaannya hanya akan menimbulkan fitnah dan kesesatan bagi mereka yang tidak mampu mewadahi dengan logika pemikiranya, yang sedemikian itu tidak menguntungkan pewarta dan penyimaknya.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Syair-syair al-Jilly

Logika adalah cahaya dalam kegelapan jiwa

Menunjukkan kebenaran hati-hati yang plin-plan

Ia turun 'membabat' estimasi hayal utopis,

Menghempaskan lumpur utopis ke tepi kesadaran

Kemampuannya sebatas lanskap inderawi

Logika hanyalah 'wasila' untuk memafhumi sesuatu.

Ia memiliki kerang dan semantis yang apik

Namun, jika dipertuhankan, akan menyebabkan sesat

Logika suci akan membuahkan keselamatan

Logika buruk, hanya melahirkan kekufuran dan zindiq

Logika menghamparkan jalan kegamangan

Jika si pemikir tidak membumikannya di kehidupan Nyata

Logika jernih adalah elan vital ibadah,

Kejernihan logika, akan meneguh 'laku' ibadah Qalbu

Logika jernih, merupakan wasilah ibadah, yang efektif,

untuk merengkuhi kenikmatan ubudiyah

Itulah sejatinya fungsi logika bagi insan

Sebab logika yang jauh dari petunjukNya, akan sesat

Jamak sekali para pemikir yang pongah,

mereka berhenti pada logika dan menuhankannya.

Orang yang menuhankan logika pikirnya,

selamanya tidak akan menemukan rahasia ketuhananNya.

Orang yang 'meliarkan' nalar logikanya

Selamanya akan terpasung keragu-raguan tak berujung.

Logika yang dilandasi nilai-nilai iamani

Akan membuahkan keselamatan dan kebahagiaan hakiki

Maka jadikan logikamu wasilah menujuNya

Jangan terbuai keapikan semantis logika yang melalaikan.

Kebenaran hakiki 'produk' mata Qalbu.

Hatimu itulah sejatinya 'alat' pikirmu, bukan logikamu!


Sudah Edit 57. Imajinasi (Hayal) Benda pertama Semesta Alam

 

Ketahuilah, bahwasanya al Hayal (imajinasi), adalah asal wujud dan dzat yang dengannya tampak kesempurnaan dan keindahan al Ma'bud (dzat Yang disembah), adakah anda telah menelisik 'pola' keyakinan anda kepada al Haq,? Dimanakah esensi asma-asma dan sifat-sifat al Haq yang tampak pada diri anda,? apa pula 'gambaran' anda tentang keyakinan anda tersebut? Semua 'gambaran' yang memenuhi benak dan pikir anda itulah sejatinya yang disebut hayali (imajinasi), karenanya kami menyebutnya sebagai inti (dzat) yang dengannya kesempurnaan dan keindahan al Haq tertajallikan. Jika anda benar-benar bisa memakrifahi penampakkan tersebut, anda akan bisa memahami bahwa hayal (imajinasi) adalah asal semesta alam, karena al Haq adalah asal segala sesuatu.! Kesempurnaan penampakkan-Nya tidak terwujud kecuali dengan penampakkan tempat asal penciptaan, sedangkan tempatnya adalah imajinasi, dengan demikian hayal adalah asal semesta alam dengan segala rahasianya. Tidakkah anda memperhatikan ihwal rasulullah Muhammad saw, dimana beliau menjadikan sesuatu yang kasat mata sebagai mimpi, dan mimpi menjadi imajinasi, beliau bersabda :

Semua manusia akan merasakan tidur panjang, maka waspadailah kematian....

yakni akan tertampakkan hakekat diri mereka ketika melakoni kehidupan di alam dunia ini, mereka mengetahui hal tersebut ketika sedang tidur panjang, atas dasar itulah kematian harus selalu diingat dan diwaspadai.!

Ketahuilah kelalaian kepada Allah, dicabut dari diri para manusia ketika mereka berada alam Barzah, para penghuni padang Mahsyar, para penghuni neraka dan surga, hingga al Haq bertajalli kepada mereka di alam Katsiib, yang keluar kepadanya para penghuni surga untuk melihat wajah-Nya. Kelalaian itulah sejatinya tidur.!! Segenap alam asalnya adalah imajinasi, atas dasar ini imajinasi dikaitkan dengan manusia. Setiap komunitas (ummat) terikat dengan imajinasi, dimanapun dan kapanpun serta dialam manapun. Penduduk dunia misalnya, terikat dengan hayal kehidupan mereka, atau tempat kembali mereka, kedua hal itu jamak dinafikan ditengah kebersamaan (kehadiran) bersama al Haq, mereka terlena dan hanyut dalam ketertiduran. Orang yang selalu merasakan kehadiran al Haq, adalah orang yang waspada, kadar kehadiran-Nya pada diri manusia tergantung dari frekwensi tidur orang tersebut, yakni orang yang berusaha menghadirkan al Haq dalam dirinya, ia akan mewaspadai tidurnya.

Penghuni alam Barzah juga lelap dalam tidur, akan tetapi tidur mereka lebih ringan ketimbang tidurnya penduduk dunia. Mereka Masyghul (sibuk) dengan apa yang mengkondisikan diri mereka, utamanya adzab dan kenikmatan yang melingkupi diri mereka, Naum (tidur) mereka karena kelalaian dan kepongahan mereka, yakni, lalai dari mengingat al Haq. Demikian pula penghuni hari kiamat meski mereka berada dihadapan (hadirat) al Haq untuk dihisab (dihitung) amal perbuatan mereka, namun dalam euforia hisab itu syakilah hati dan diri mereka tidak bersama al Haq meski jisim mereka hadir dihadapan-Nya. Realita ini juga disebut Naum (tidur) karena terlalaikan dari hadrah (presensi), meski demikian tidur penghuni hari kiamat lebih ringan dibanding tidurnya penghuni alam Barzah. Begitu pula penghuni surga dengan mega nikmat-Nya dan penghuni neraka dengan mega siksa-Nya mereka juga mengalami tidur yang sejatinya adalah 'kelalaian' akan al Haq. Durasi waktu tidurnya ahl Mahsyar (penghuni alam Mahsyar) lebih sedikit dibanding dengan tidurnya penghuni alam-alam lain, namun demikian manusia disemua (masa) alam tersebut, selalu berusaha mengingat al Haq, karena Dia bersama segala wujud kapanpun dan dimanapun. al Haq berfirman :

Dia bersamamu dimana saja (kapan) saja kamu berada. (Q.s. Hadiid 54 : 4)

hanya saja mereka dalam keadaan tidur bukan dalam situasi terjaga. Tidak ada yang mewaspadai kelalaian tersebut, kecuali ahl A'raaf (penghuni alam ketinggian) dan mereka yang hidup di alam Katsiib saja, karena mereka bersama al Haq. Mereka senantiasa waspada dan ingat akan kesejatian al Haq melalui Tajalli-Nya, barang siapa yang menemukan hakekat tersebut dalam kehidupan dunia ini, ia adalah orang yang berada dibarisan terdepan di alam Katsiib ketika melihat al Haq, ia bisa melihat wajah-Nya dalam keadaan Yaqdhan (tidak tidur). Karenanya insan yang telah menggapai maqom (capaian spiritual) ini, menandaskan : Sesungguhnya kebanyakan manusia tertidur, karena Dia bangkit dan melihat, kini anda telah mengetahui bahwa penghuni semua alam dihukumi sedang tertidur, maka andapun bisa menghukumi semua alam itu sebagai Hayali (imajinasi), karena tidur merupakan alam imajinasi.

Sebuah kisah dari dunia lain. Telah berkelana sang gharib (asing) yang disebut "Ruh", pengembaraannya sampai ke alam yang dinamakan " Yuh" ketika sampai di langit tersebut, ia mengetuk pintu langit yang tersegel, ada suara dibalik pintu. Siapa gerangan yang mengetuk pintu,? Sang kelana berkata: aku perindu yang terpisahkan, aku telah terlempar dari kerajaan langit kalian dan terjauhkan dari etik moral kalian, aku terjerat pada kerendahan, ketinggian, luas dan lebar, diriku terpasung dalam penjara api, air, udara dan bumi. Aku telah berhasil melepaskan jerat-jerat diriku, kini aku datang ke alam ketinggian untuk meminta tolong agar terbebaskan dari penjara yang masih mengungkung diriku. Lebih lanjut sang perawi (penutur cerita) menandaskan : Maka tiba-tiba tampak dihadapanku, seorang kakek tua berjenggot putih tebal, ia berkata : Ketahuilah wahai kisanak, ini adalah alam ghaib, penghuninya sangat banyak, lantunanpuji mereka beraneka ragam, eksis dan tak bertepi, mereka yang ingin menjadi bagian dari penghuni alam ketinggian ini dan masuk menjadi anggota tetap alam ini, maka ia harus beretik moral seperti mereka, mengenakan baju kebesaran mereka dan menghiasi dirinya dengan minyak wangi mereka yang sangat wangi, aku bertanya : Dengan cara apa dan dari mana aku bisa mendapatkan baju tersebut,? Pun pula dimana aku bisa mendapatkan minyak wangi itu.? Orang tua itu berkata: Baju itu kau bisa dapatkan di pasar biji-bijian yang kekal, sedang wangi-wangian terdapat di bumi imajinasi yang teraktualisasikan, jika kau mau, kau bisa balik logika perkataanku, ambilah pakaian itu dibelantara imajinasi dan wangi-wangian di bumi biji-bijian, keduanya saling terkait satu sama lain, karena alam ini disebut alam ghaib. Di alam itu tempat yang kali pertama aku datangi, adalah bumi kesempuranaan, tambang keindahan yang dinamai dengan salah satu wajah-Nya, yakni alam imajinasi, aku lantas mendatangi salah seorang yang terlihat sangat tampan dan gagah perkasa, wibawa, kedudukannya sangat tinggi, kekuasaannya sangat perkasa, yang dinamakan Ruh Hayal (ruh imajinasi) serta digelari dengan Ruh al Jinan (ruh surga), ketika aku beruluk salam dan ku pegang erat-erat tangan sang ruh, ia menjawab salamku dengan penuh hangat dan menyambutku dengan penuh kehangatan serta sangat familiar. Ku tanyakan kepadanya : wahai tuanku, kenapa alam itu disebut biji-bijian yang kekal dari Adam? Apa hakekat semua ini? Orang itu menjawab : Biji-bijian itu sejatinya adalah kasih kelembutan yang tiada akan pernah lekang (kekal abadi) dan merupakan tempat yang melintas di dalamnya hari-hari (siang) dan malam, al Haq menciptakan Adam dari tanah ini, lantas menaburkan benih biji-bijian itu sebanyak bilangan adonan lalu mengkuasakannya atas segala sesuatu, ia melogiskan sesuatu yang mustahil, menampakkan secara inderawi segala bentuk imajinatif, ku katakan kepadanya : adakah jalan yang bisa aku lalui untuk ke tempat yang mentakjubkan dan alam yang gharib tersebut.? ia menjawab : Iyah, ada, yaitu ketika imajinasimu benar-benar paripurna, serta dikuasakan kepadamu kemustahilan-kemustahilan yang menjadi tidak mustahil, serta ditampakkan kepadamu segala yang bersifat hayali (imajinatif) dalam bentuk kasat yang bisa ditangkap panca inderamu, hingga kau bisa memakrifahi noqta (titik) kehidupan dan kau bisa memahami rahasia titik. Ketika kau sampai pada tingkat spiritual seperti itu tertanggalkan dihadapanmu semua pakaian makna-makna.yang membungkus, manakalah kau kenakan pakaian itu, akan terbuka bagimu pintu biji-bijian, aku berkata: wahai tuanku, sesungguhnya aku siap mememuhi semua sarat-sarat yang diperintahkan, aku akan ikat dengan tali janji dan sumpah, aku akan mekarifahi (memahami) dengan Kasyf (intusi) dan wujud, bahwasanya alam ruh ternyata lebih jelas dan lebih kuat, dibandingkan alam realitas, baik secara Dzauq (intuisi) maupun Syuhud (penyaksian). Ketika aku memasuki tanah adonan tersebut, dan aku hiasi diriku dengan wewangiannya yang terbaik, bau wanginya sangat gharib, ku lihat di dalamnya pemandangan yang gharib (aneh), unik, ajaib (mentakjubkan) yang sama sekali tidak pernah terlintas dibenakku dan tiada akan pernah dilihat di alam realitas (panca indera), bahkan terandalkan di alam hayal. Aku lantas mendatangi syeikh yang pertama menunjukkan diriku, ku mohon kepadanya untuk menaikkan diriku ke alam ghaib yang ada, tatkala aku sampai kepadanya, ku dapati tanah itu telah terlembutkan oleh ibadah, laksana imajinasi dan sangat rapuh, hingga dengan mudah aku dapat mencabutnya dari hukum-hukum kemustahilan, akan tetapi tanah tersebut sangat kokoh kasih kelembutannya dan sangat kuat himmah (cita-cita)-nya, sangat eksis azimah (hasrat kuat)-nya, cepat tegak dan eksis berdiri, ia laksana bulan purnama yang bersinar terang dan sempurna.

Ketika aku beruluk salam kepada penjaganya dan ia menjawab salamku, ku katakan kepadanya: Aku ingin masuk dan aku berhasrat bertemu dengan Rijaal al Ghaib (orang-orang gaib), karena aku telah tunaikan syarat-syarat yang dimalumatkan, si penjaga berkata kepadaku : Inilah saat masuk dan waktu Wishal (sampai), kemudian ia membuka segel, maka terbukalah pintunya, aku lalu masuk sebuah kota yang sungguh sangat mentakjubkan, bumi agung yang sangat luas dan panjang, penghuninya merupakan ahli makrifatullah yang paling utama, tidak seorangpun didalamnya manusia yang lalai, bumi-nya kampung Makkah yang sangat putih, langitnya kitab hijau berkilau, penduduknya sangat mulia, pemimpin mereka adalah Khidhir as, aku lantas berusaha memfokuskan pengembaraanku kepadanya, aku mendatanginya, ketika bersua aku beruluk salam kepadanya, ia menjawab salamku, dan menyambutku dengan penuh kehangatan dan memperlakukan diriku dengan penuh pemuliaan. Kemudian Khidhir as, membimbing diriku duduk disampingnya. Khidhir as berkata kepadaku : Utarakan kata-kata yang hendak kau sampaikan kepadaku.! Ku katakan kepadanya : Wahai tuanku, aku hendak bertanya tentang kedudukanmu yang tinggi, keadaanmu yang uniqe, yang menjadi perbincangan banyak orang dan membuat banyak orang salah memprediksi diri anda,? Khidhir as lalu berkata : Aku adalah hakekat ketinggian, kasih kelembutan alam rendah, aku adalah hakekat rahasia eksistensi manusia, aku adalah inti batin al Ma'buud (dzat Yang disembah), aku adalah kelas-kelas hakekat, aku adalah simponi kelembutan, aku syeikh al Lahuut (sifat ketuhanan) aku penjaga an Nasuut (sifat kemanusiaan), aku membentuk diriku dalam setiap makna, dan menampakkan diriku pada setiap makna, aku merupakan diriku dengan segala citra (rupa) dan menampakkan ayat-ayat dalam setiap surat, perintahku merupakan batin keajaiban, keadaanku adalah keadaan yang gharib (aneh), tempat tinggalku adalah gunung dan bukit, alamku adalah alam ketinggian, aku berdiri diantara pertemuan dua laut, tenggelam di sungai inti (dzat), peminum inti dzat, aku adalah guide (petunjuk) paus di samudera lahut (sifat ketuhanan), aku rahasia makanan dan pembawa pemuda, aku pengajar Musa yang tampak, aku noqtah (titik) awal dan akhir, aku qutub (poros) individu dan jama'ah (komunitas), aku cahaya yang terang, aku bulan purnama yang bercahaya, aku perkataan yang lugas, aku fikrah (pemikiran) cerdik cendekia, aku tujuan para pencari, tidak ada satupun yang Wushul (sampai) dan masuk ke dalam diriku, kecuali insaan kaamil (manusia sempurna) dan ruh al Washil (ruh yang sambung).

Adapun selain keduanya maka kedudukanku adalah diatas kedudukannya, ia tidak akan bisa mengetahui kabarku dan tidak akan mendapati jejak-jejakku, bahkan ditampakkan kepadanya dengan keyakinan tersebut, bentuk Tain' yang menyerupai diriku dan mengatas namakan diriku, serta berperilaku seperti diriku. Orang-orang yang pongah dan bodoh akan terperdaya duplikat diriku itu, dan mereka mengira duplikat tipuan itu sejatinya diriku. Lantas dimana eksistensinya dihadapan diriku,? dimana pula cawan hikmahnya,? Ia sama sekali tidak memiliki eksistensi dihadapanku, tidak pula memiliki cawan hikmah.! Oh, Tuhan, mereka (orang-orang bodoh itu) menyebut duplikat tipuan itu noqtah (titik) dari samudera diriku dan waktu dari zamanku, kasih kelembutannya adalah hakekat kasih kelembutanku, menhaj (metode)nya adalah metode diriku, jalannya adalah jalan diriku, dengan metafora seperti sejatinya dinku, ia adalah bintang yang memperdaya. Ku katakan kepada Khidhir, apa sejatinya tanda-tanda Wishal (sampai) kepada anda, dan sampai di bumi kasih kelembutan anda? Ia berkata, tanda-tandanya ada di ilmu Qudrah yang transendental, makrifahnya di ilmu hakekat, dengan hakekat-hakekat yang tersimpan di rahim kemisterian. Kemudian ku tanyakan kepadanya tentang jenis-jenis Rijaal Ghaib (penghuni alam ghaib), ia menjawab: diantara mereka ada dari anak turun Adam as, ada pula dari ruh-ruh alam, mereka terbagi atas enam golongan, yang berbeda-beda maqomnya :

Golongan pertama : Kelompok utama, komunitas paling sempurna, mereka adalah komunitas para Auliya' (para kekasih al Haq), yang mentradisikan jejak para nabi dan rasul, tak tertampakkan di alam kegaiban, karena bedomisili di alam yang setara ar Rahman, tidak bisa ditelisik keberadaanya, tidak pula dapat diidentifikasi sifat-sifatnya, padahal mereka dari anak turun Adam (jenis manusia).

Golongan kedua: Para ahli makna dan ahli ruh-ruh istimewa, seorang Waliyullah mampu mencitrakan dirinya seperti citra mereka, menyempurnakan lahir dan batin mereka dengan pewaliannya,' mereka adalah ruh-ruh yang mewajahkan kekuatan yang berdimensi mungkin, (al Mumkinaat) dalam memberi citra dalam dimensi dzat. Mereka berkelana ke alam Syuhud (penyaksian), mereka bisa sampai ke cakrawala kegaiban wujud, jadilah gaib mereka wujud penyaksian, nafas-nafas mereka adalah ibadah, mereka itulah sejatinya para satria bumi, yang senantiasa berbuat karena al Haq, eksis menegakkan sunnah nabi-Nya dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh-Nya, kahadiran mereka di muka bumi melahirkan multi manfaat bagi ummat manusia.

Golongan ketiga : Para malaikat Ilham, dan para malaikat motivator yang menggerakkan hamba-hamba terkasih-Nya, serta beraudisi dengan para wali-Nya, para malaikat itu tidak menampakkan diri mereka di alam kebaikan, dan tidak bisa diketahui di alam manusia.

Golongan keempat: Para makhluk penolong disetiap tragedi, mereka senantiasa keluar dari alam mereka, dan mereka tidak bisa diketahui, kecuali dalam pemetaforan citra (rupa) diri mereka, dus mereka menyerupakan diri dalam bentuk manusia-manusia di alam inderawi, para wali berada di komunitas ini, dan dibawah panji mereka, golongan ini bisa mewartakan segala dimensi kegaiban, menampakkan segala yang tersimpan (disembunyikan).

Golongan kelima : Para makhluk misterius, mereka adalah pengembara agung di jagad dunia, mereka dari jenis anak cucu Adam, kadang hadir ditengah-tengah manusia, lalu gaib (menghilang), beraudisi dengan banyak manusia dan semua mematuhi perkataannya, tempat tinggal mereka kebanyakan di gunung-gunung, gua-gua, bukit-bukit, dan muara-muara sungai, hanya sedikit diantara mereka bermukim di pemukiman penduduk yang ada di kota, mereka sangat pintar menyimpan kedudukan dan eksistensi serta jati diri mereka.

Golongan keenam: Para makhluk yang mendatangkan bisikan-bisikan jiwa, bersitan-bersitan kalbu yang bukan bisikan jahat, mereka lahir dari rahim tafakkur (perenungan) dan pembentukan gagasan, yang tidak meleset ujaran-ujaran mereka dan tidak gagal bentuk (citra) yang mereka gagas, mereka berada diantara salah dan benar, mereka terdiri atas golongan ahli Kasyf (intisi) dan golongan yang terhijab (terhalang).

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jilly

Imajinasi adalah ruh kehidupan semesta

Ia cikal bakal dirimu dan anak turun Adam.

Wujud ini tidak bermaknah tanpa imajinasi

Tanpa imajinasi hidup akan kering dan hampa

Gerak Inderawi tidak akan eksis tanpa Hayal

Hayal mewadahi mimpi-mimpi tiap manusia

Imajinasi cerdas melahirkan karya indah

Hayal utopis, adalah keranda kematian hakiki

Jangan terperdaya oleh logika utopis, Jangan hanyutkan dirimu ke dalam hayal utopis

Raihan keluhuran tidak dengan hayal

Keluhuran hanya digapai dengan 'laku' hati suci

Jangan merelatifkan daya guna hayal

Ia adalah wajah ketetapan hakiki ketuhananNya.

Hayal jernih adalah 'bungah' hidup

Hayal utopis adalah duri penghempas kehidupan

Ada dua sisi dalam imajinasi dirimu

Sisi berbuah kebaikan dan sisi keburukan

Tajamkan mata Qalbu dan pikirmu

Optimalkan sisi kebaikan imajinasi dirimu

Pahami metafora dan isyarat DiriNya

Salurkan imajinasimu bersendikan kitabNya

Sungguh sangat tipis dan teramat halus,

beda hayal utopis dan imajinasi terbimbing

Ingatlah akan tujuan hakiki hidupmu.

Jangan lumuri imanmu dengan hayal utopis

Apa yang diserukan nabi terkasihNya

Sangatlah jelas dan terang penjelasannya

Sejatinya tujuan hakiki hidupmu adalah.

Tujuan yang selaras dengan sabda nabiNya

Tujuan yang bermuarakan kepada Allah

Qalbu dan hayalmu harus selaras dengannya

Jadikan Qalbu dan imajinasi dirimu,

'alat' kebaktian dan pengabdian kepadaNya

Jika kau sulit memaknai kalamNya,

jangan menafsirinya dengan imajinasimu

Tinggalkan dan serahkan kepadaNya

Dengan begitu hayalmu terjaga dari siksaNya

Sanjungkan shalawat kesejahteraan

Untuk nabi terkasihNya sepanjang lorong waktu.

Dialah penuntun dirimu menujuNya.

Dengan keimanan teguh dan kepercayaan utuh.

Bukankah wujud tanpa bentuk adalah hayal?

Tidakkah bentuk yang tidak menempati ruang adalah hayal?

Hanya ahli Allah yang menghidupkan hatinya.

Hanya manusia-manusia pongah yang meliarkan imajinasinya.

Hayal utopis akan memutus Wushul denganNya

Hati yang hidup akan bersamaNya,

kapanpun dan dimanapun

Mereka yang memperturutkan nafsu diri,

Imajinasi bersihnya, akan diaduk-aduk dan dibelokkan setan

Mereka yang hanyut dalam hayal utopis

Selamanya tidak akan merengkuhi hakekat kesempumaanNya

Pagari hayalmu dengan zat dan sifatNya

Ia akan menerbangkan dirimu menuju keAgungan DiriNya

Gapailah rahasia zat dan sifat-sifat DiriNya

Dengan mengoptimalkan ketajaman mata hati dan hayal jernihmu.

Hayal bersihmu membawamu ke bumi kasturi

menuntunmu kepada entitas kehidupan penuh arti'

Ia akan menjdikanmu meraih pohon kalamNya.

Berteduh dibawah rindang ayat-ayat suci DiriNya

Menikmati kezalatan hikmah-hikmah hakikiNya

Mereguk mata air kehidupan suci bersumber dariNya

Menari-nari di altar Keindahan DiriNya.

Larut dalam sahdu ekstase ketuhanan DiriNya.

Imajinasi suci adalah replika surga Ma'wahNya

Maka bumikan hayal jernihmu di pelataran surgaNya

Ia adalah rahasia Qudrah dan Iradah

DiriNya Lazuardiy kedamaian yang menyejukkan hati hambaNya

Ialah sejatinya pupuk yang penyubur kehidupan

Air yang mengaliri ide-ide segar berbasis nilai ketuhananNya

la dapat menyihir dan mempesonakan si empunya

Ia akan nista, jika tercerabut dari nilai-nilai suci ketuhahan.

Ia dapat membuat manusia buas menjadi lembut

Ia dapat membuat mata, berlinang air mata kesenduhan

Leburkan imajinasi sucimu kedalam Himmahmu

Jejaki pencapaian yang hendak kau raih dengan hayal sucimu

Hanya manusia cerdas yang mendidik hayalnya

Manusia bodoh akan terperdaya oleh hayal utopis dirinya.

Banyak orang salah mencari 'alat' kebahagiaan.

Mereka jadikan hayal utopis 'kendaraan' utama meraihnya.

Hayal adalah, ayah, ibu, adik dan kakak anak Adam.

Ia adalah keluarga yang selalu menemani anak cucu Adam

Tidak sedikit manusia yang hanyut dalam hayal

Hanya hayal suci yang melahirkan kasih kelembutan DiriNya

Imajinasi jernih adalah kurma yang siap panen

Setiap insan diperbolehkan memanen kurma itu sesuka hatinya,

Imajinasi yang bertabur kasih petunjukNya

Akan membuat penghayalnya, haru dalam kebahagiaan diri.

Hayal adalah sesuatu yang tidak berbentuk

Maka waspadai dan kawal hayalmu, agar tidak berbuah fitnah.

Hayal suci adalah sesuatu yang membumi.

Bumikan hayal sucimu, untuk menggapai wushul dan ridhaNya.


 

Sudah Edit 58. Shurah (Citra) Muhammad SAW adalah Cahaya Asal Penciptaan   Surga Dan Neraka yang Melahirkan Kenikmatan Dan Siksa

Ketahuilah, semoga Allah memahamkan kita akan eksistensi-Nya dan menjadikan kita insan yang terkasih dan dikasihi-Nya. Bahwasanya al Haq, menciptakan citra Muhammad saw, dari cahaya nama-Nya al Badii' (Yang menjadikan sesuatu), dan al Qoodir (Yang berkuasa). Serta melihat kepadanya dengan cahaya nama-Nya al Mannaan (Yang memberi nikmat) dan al Qoohir (Yang menaklukkan). Serta menampakkan pada sesuatu tersebut dengan nama-Nya al Lathiif (Yang lemah lembut), dan al Ghaafir (Yang pengampun).

Dengan demikian tajalli itu terlihat seakan-akan memiliki dua sisi : Dia menciptakan surga pada sisi sebelah kanan .lan menjadikannya kampung kebahagiaan bagi mereka-mereka yang diberi nikmat, kemudian Dia menciptakan neraka pad. sisi sebelah kiri dan menjadikannya kampung kepedihan, yang cipersiapkan untuk para orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Sisi penciptaan surga merupakan tajalli ketuhanan yang tertampakkan dengan nama-

Nya al Mannan, yang merupakan rahasia tajalli kasih kelembutan­Nya, tempat para insan mulia dimata al Haq.

Sedang sisi penciptaan neraka merupakan tajalli ketuhanan yang tertampakkan dengan nama-Nya al Qoohir, yang merupakan rahasia tajalli kasih pengampunan-Nya, yang menunjukkan adanya pengampunan al Haq kepada para penghuni neraka, yang pada akhirnya mereka terentaskan dari siksa Neraka. Rasul Muhammad saw mewartakan :

Sesungguhnya al Haq Yang Maha Perkasa, meletakkan kaki hamba terkasih dan dikasihi-Nya di dalam neraka-Nya, neraka berkata pasti pasti, lalu tumbuh di dalam neraka pohon Jirjir.

Rahasia yang terkandung dalam makna hadits ini, bahwa al Haq ketika menciptakan adzab (siksa) Dia juga menciptakan kekuatan bagi mereka untuk menanggung siksa neraka, agar mereka bisa merasakan siksa yang ditimpakan kepada mereka, sebagaimana diwartakan al Haq dalam firman-Nya : Setiap kali kulit mereka hangus,

Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan adzab. (Q.s. an Nisaa' 4 : 56).

Pergantian kulit menunjukkan adanya kekuatan pada diri penghuni neraka, setiap berganti kulit baru, ditambah pula kekuatan pada diri mereka, agar mereka tetap (terus) merasakan siksa yang ditimpakan kepada diri mereka, sungguh pemberian energi kekuatan itu bukan merupakan penghormatan, namun merupakan penghinaan diatas penghinaan, sebab masuknya mereka ke dalam neraka sudah merupakan hinaan, penambahan energi itu untuk melipat gandakan rasa siksa, agar mereka merasakan bahwa al Haq itu ada Ada, dan pengingkaran mereka terhadap-Nya, itulah sejatinya sebab siksa! Siksa neraka yang ditampakkan, merupakan wajah penghinaan, baik bagi yang disiksa maupun yang diperlihatkannya, seperti halnya kenikmatan surgawi yang ditampakkan (diwartakan) merupakan wajah penghormatan, sebelum memasuki surga yang sesungguhnya. Kemudian penduduk neraka itu, ketika satu bentuk siksa telah mereka jalani, dan berganti dengan bentuk siksa yang lain, energi tambahan pada bentuk siksa pertama tidak hilang, karena hal itu merupakan pemberian dari al Mannan.

al Haq tidak pernah mengurungkan pemberian-Nya, sedang siksa itu reda karena tangan Keperkasaan-Nya, kemudian dengan keperkasaan-Nya, Dia menggantinya dengan siksa lain. Demikianlah dalam setiap pergantian bentuk siksa, Dia juga menyertai dengan penambahan energi, sehingga tampak pada penghuni ahli neraka itu bekas-bekas kekuatan Ilahi (ketuhanan), manakala kekuatan Ilahi tampak pada diri mereka, saat itulah mereka baru memahami bahwa al Haq benar-benar Maha Perkasa, mereka juga melihat bahwa al Haq menancapkan kaki dan tangan kekuasaan-Nya di api neraka. Atsar (pengaruh) sifat al Haq tertampakkan pada setiap orang yang berkubang bencana dan kesengsaraan dengan penampakkan lebih jelas dan terasa' dibandingkan penampakkan-Nya kepada tiap insan yang diberkati karunia rahmat-Nya.

Kemudian, pahamilah bahwasanya al Jabbar tidak menampakkan kepada para penghuni neraka itu, kecuali'dengan Kekuatan Ilahi (ketuhanan), yang disingkapkan kepada mereka untuk dijadikan media Wushul (ketersambungan) dengan nilai-nilai ketuhanan dan Diri Nya. Dia meletakkan kaki keperkasaan-Nya diatas api neraka, dan apipun tunduk kepada kekuatan al Haq neraka berujar kepada Nya : Pasti Pasti. Yang menunjukkan situasi kehinaan, dibawah keperkasaan al Izza (Yang Maha Mulia) dengan ujaran seperti itu siksa menjadi lenyap.

Ketahuilah manakala neraka itu bukan merupakan wujud asal (sesuatu yang adanya karena diadakan), maka ia juga akan memiliki masa berakhir, rahasia yang berserak dari siksa neraka ini adalah bahwa sifat yang lahir dari sesuatu yang bukan wujud asal merupakan sifat yang didahului, sedang sifat yang didahului merupakan cabang dari sifat dahulu, itu pula rahasia yang yang tersirat dan ungkapan al Haq :

Rahmat Ku mendahului kemarahan Ku

dahulu merupakan kata pokok, sedang mendahului merupakan cabangnya, jika rahmat merupakan kata pokok (asal) maka hukum keberadaannya ada sejak awal hingga akhir, sedang kemarahan bukan sitat pokok, maka keberadaannya tidak dari awal dan akan memiliki masa akhir, karena pengadaan (penciptaan)nya untuk makhluk bermula dan ketiadaan, hal terebut merupakan manifestasi rahmat-Nya bagi makhluk-Nya, bukan manifestasi kemarahan bagi makhluk-Nya.

Cobalah perhatikan redaksi hadits,

Rahmat Ku mendahului kemarahan Ku,

semantis logikanya al Haq tidak berkata : Kemarahan Ku, meliputi segala sesuatu, karena Dia mengadakan segala sesuatu sebagai bentuk rahmat dari-Nya. Dari termin ini pula dapat dimaknfahi bahwa wujud kemarahan juga akan berakhir. Misteri dan semua mi, bahwa rahmat itu merupakan sifat inti (dzat) al Haq sedangkan marah bukan sifat inti (dzat)-Nya. Tidakkah anda telisik kembali, bahwasanya Dia dinamakan Bismillah ar Rahmaan (Maha

Pemurah) ar Rahim (Maha Penyayang,) dan Dia tidak dinamakan bi al Ghadzbaan (kemarahan) dan al Ghadzuub (pemarah), yang sedemikian itu karena kemarahan merupakan sifat yang lahir dan sifat Adi (Keadilan) al Haq, dan keadilan dipakai menghukumi diantara dua permasalahan. Nama al Adi (keadilan) merupakan nama-Nya yang berdimensikan sifat, sedang nama ar Rahman, merupakan nama-Nya yang berdimensikan dzat.

Telisiklah kembali nama-Nya al Ghoffaar yang merupakan awal penampakkan nikmat yang lahir dan rahim Kasih Kepemurahan-Nya, yang disebut dengan tiga redaksi : al Ghaafir (Maha Mengampuni), al Ghoffaar (MahaPengampun), al Ghafuur (Maha   Luas   ampunan-Nya),   sedang  nama-Nya yang mengekspresikan awal penampakkan Niqmah (bencana) hanya disebut dengan dua redaksi, yaitu : al Qoohir(Maha Menaklukkan) al Qohhaar Maha Penakluk), tidak ada kata Qohuur (Maha Luas penaklukan-Nya). Ini juga merupakan rahasia ungkapan al Haq :

Rahmat Ku mendahului kemarahan Ku.

Ketahuilah bahwasanya jika neraka itu merupakan Arad (aksiden) wujud, maka hilangnya adalah hal bisa diterima tataran akal, jika tidak maka hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil. Adapun yang dimaksud dengan hilangnya neraka itu adalah padamnya kobaran api, dengan padamnya api neraka, maka lenyap pula malaikat penjaganya, dengan perginya malaikat penjaga itu, maka datanglah malaikat pemberi nikmat, bersamaan dengan munculnya malaikat pemben nikmat itu, tumbuh pula benih-benih pohon Jirjir, yang berwarna hijau dan warna terbaik di surga adalah warna hijau. Maka berubalah wujud neraka yang mencekam menjadi tempat yang penuh dengan kenikmatan, selaras dengan kisah Ibrahim as, dimana al Haq berkata kepada api yang membakarnya:

Hai, api menjadi dinginlah dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim. (Q.s. al Ambiyaa' 21 : 69).

Tempat bekas neraka itu berubah menjadi taman-taman indah yang menaburkan kesenangan tak bertepi, apinya telah lenyap. Jika anda bersemantis logika anda bisa mengatakan : neraka itu sejatinya tidak lenyap, yang terjadi adalah perpindahan dari alam siksa menuju alam rahmat (karunia), pun anda bisa menandaskan : Neraka itu benar-benar telah lenyap paska al Jabbar menjejakkan kaki keperkasan-Nya di dalam neraka, anda juga bisa mengatakan : Neraka itu tetap eksis kemaujudannya, hanya saja eksekusi siksanya berganti menjadi jedah peristirahatan, atau anda bisa berasumsi neraka itu tetap adanya hanya taburan siksa-Nya berganti dengan taburan rahmat.

Pahamilah bahwa sejatinya peristirahatan surgawi itu, bisa pula dirasakan di alam dunia ini, utamanya dalam tabiat (alam) jiwa. Orang seorang yang menjernihkan jiwanya, dengan Mujahadah (usaha yang tiada kenal putus asa) dan Riyadhah (pelatihan jiwa), jika tabiat nafsu telah tergerus dari jiwanya, dan ia menjadi suci dan bersih, maka orang tersebut bisa menemukan surganya, jika anda berprediksi bahwa surga dunia itu tersimpan dibalik cahaya pensucian Ilahi (ketuhanan), prediksi anda itu tidaklah salah.

Adapun jika anda memetaforkan suka duka dan ragam bencana yang menerpa para saalik (peniti jalan Allah), pun kelas-kelas cobaan, pasang surut iman, tekanan mental, sikap ragu dan gamang, putus asa, sebagai metafor siksa neraka dalam kehidupan dunia, berikut surga sebagai isyarat maqom ke-eksis-an suluk, hal tersebut tidaklah salah, karena sejatinya neraka dalam kehidupan dunia ini adalah terputusnya rahmat al Haq dari diri hamba-Nya, sedang hakekat surga dalam kehidupan ini adalah tergapainya semua keinginan dan harapan harapan seorang hamba kepada al Haq.

Ketahuilah ragam ujian, bencana, hukuman yang dialami para peniti jalan Allah dalam ritus suluk mereka, di alam kehidupan ini, tidak mungkin akan diberlakukan lagi kepada mereka dalam hukum kehidupan akhirat, yang sedemikian itu jikalau mereka telah makrifah dan tidak Mukholafah (mengkingkari lakunya).

Ruh agung mewartakan kepada diriku, bahwa seorang hamba telah mengalami ujian paling berat dan cobaan keras, dalam menapaki ritus Mujahadah, Riyadlah dan melawan hawa nafsu, . hingga mampu memakrifahi diri-Nya, ia tidak akan menemukan lagi kesulitan-kesulitan itu dalam kehidupan akhirat, sebagaimana ditegaskan firman-Nya ;

Dan tidak ada seorangpun daripada kalian, malainkan mendatangi neraka itu, hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. (Q.s. Maryaam 19 : 71).

Para arif billah itu, setelah merasakan neraka dunia (suka duka suluk), mereka dipelihara al Haq dari api neraka akhirat, sebagai manifestasi kasih kelembutan dan kasih pertolongan-Nya, dengan demikian hamba yang telah makrifah itu tidak diadzab dengan dua adzab, kepedihan hidup di dunia yang telah mereka lalui, merupakan ganti adzab akhirat mereka. Realita tersebut selaras dengan sabda rasulullah saw.

Sesungguhnya terik panas (matahari) itu merupakan nasib setiap muslim dari api neraka.

Jika terik matahari saja merupakan bagian dari kobaran api (siksa) neraka, lantas bagaimana dengan siksa-siksa (batu ujian) yang terdapat pada ritus Riyadhah, Mujahadah dan memerangi hawa nasfii? Sungguh siksa-siksa duniawi itu sangat dahsyat dan keras. Semua itu merupakan sebuah kemestian yang harus dihadapi para pencuci hati, dan penjernih jiwa.

Atas dasar ini pula baginda rasul Muhammad menyebutnya dengan Jihad terAgung, sedang perang dengan hunusan pedang disebut sebagai jihad kecil. Tidak bisa dipungkiri, terik sinar matahari lebih ringan dampaknya dibandingkan dengan berperang di medan laga, bertempur menumpas musuh, yang kesemua itu hanyalah merupakan perjuangan kecil, tidak ada bandingnya dengan duka Mujahadah, Riyadhah dan perang melawan nafsu yang dilakukan para peniti jalan al Haq.

Ketahuilah bahwasanya ketika al Haq menciptakan neraka dari nama-Nya al Qohhaar sebagai manifestasi tajalli keperkasaan-Nya, tajalli-Nya termanifestasikan pada tujuh penampakkan, masing-masing tajalli memiliki pintu-pintu yang memiliki arti tersendiri.

Tajalli Pertama : tampak dengan nama-Nya al Muntaqim (Yang menuntut bela). Terbuka di dalamnya pintu tiga lembah yang memiliki 160.000 tingkat, yang dinamakan Lazh-kobaran Api, al Haq menciptakan pintu lembah ini dari kedzaliman, kemaksiatan, dosa-dosa besar dan kecil, ia merupakan tempat ahli (pelaku) maksiat dan dosa-dosa yang tidak berkaitan dengan makhluk, yaitu dosa yang lahir dari pengingkaran makhluk terhadap amar perintah al Haq, semisal : kebohongan, riya', minum minuman keras, meninggalkan perintah shalat wajib, mempermudah dan mempermainkan hal-hal yang diharamkan al Haq, mereka itu adalah para pendosa seperti yang ditegaskan firman-Nya,

Pendosa ingin kalau sekiranya ia dapat menebus dosanya dari adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya serta saudaranya. Dan kaum familinya yang melindunginya di dunia. Dan orang-orang diatas bumi seluruhnya. Kemudian mengharapkan tebusan itu dapat menyelamatkan. Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergejolak. Yang mengelupaskan kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling dari agama. (Q.s. al Ma'arij 70 : 11 - 17)

yakni berpaling dari keta'atan kepada al Haq dan menafikan Dzikrullah, berikut kemaruk duniawi, menimbun harta dan enggan membagikannya kepada yang berhak. Siksa di neraka tingkatan ini sungguh sangat pedih, meski ia paling ringan dibandingkan siksa tingkatan-tingkatan neraka lainnya.

Tajalli kedua : tampak dengan nama-Nya al 'Aadil (Yang berlaku adil). Terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 120.000 tingkat, yang dinamakan Jahiim, al Haq menciptakan pintu lembah ini dari tindak ke-fajir-an, yakni semangat keberpihakan kepada Ghair al Haq, dan fanatisme buta, serta perilaku batil dan penentangan terhadap al Haq, ia tempat para pembangkang-Nya di muka bumi ini, para insan yang tidak mau beribadah kepada-Nya.

Para penindas, para penjajah yang merampas hak orang lain, dengan tindakan kriminal, memakan harta orang lain dengan jalan inkonstitusional, semisal korupsi dan penggelapan serta perilaku sejenis lainnya, al Haq berfirman :

Sesungguhnya orang-orang yang durhaka, benar-benar berada dalam neraka. (Q.s. al Infihaar 82 : 14)

yakni para pembohong dalam ritus keimanan mereka, pelaku tindak kedzaliman dan para Taghuut penindas hak asasi manusia, al Jahiim merupakan tempat kembali orang-orang yang mendzalimi manusia tanpa kesalahan, ia tempat para hakim yang bertindak curang dalam memutuskan amar perkara pengadilan, siksa pada neraka tingkatan ini, lebih keras dari tingkatan sebelumnya.

Tajalli ketiga : tampak dengan nama-Nya asy Syadiid (Yang keras), terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 1.440.000 tingkat, yang dinamakan 'Usriy (kesulitan), al Haq menciptakan pintu lembah ini dari tindak kekikiran (bakhil), kemaruk harta, gila dunia, kedengkian, kehasudan, keliaran syahwat, gila kekuasaan, dan kekemarukan duniawi lainnya, ia tempat pemuja dunia dan menafikan kehidupan kampung akhirat, lembah ini terletak dibawah lembah tajalli pertama, namun siksa lebih keras berlipat ganda, dibandingkan yang pertama.

Tajalli keempat : tampak dengan nama-Nya al Ghadlab (Yang Marah). Terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 1.188.000 tingkat, yang dinamakan al Haawiyah (Api yang panas). Pendosa yang dimasukkan ke neraka ini, akan dibiarkan dilalap api beberapa saat, sebelum dijatuhkan ke tingkat lebih rendah lagi, demikian seterusnya, al Haq menciptakan pintu ini dari perilaku hipokritas, (kemunafikan), riya' (sombong diri), pembohong, provokator, penipu dan tindakan-tindakan serupa lainnya, dan perilaku-perilaku tipu daya lainnya, al Haq berfirman :

Sesungguhnya para munafik itu ditempatkan pada tingkatan paling bawah dari neraka. (Q.s. an Nisaa' 4 : 145)

siksa neraka ini lebih pedih dan lebih keras dari siksa neraka sebelumnya.

Tajalli kelima : tampak dengan nama-Nya al Mudzill (Yang memperhinakan). Terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 5.760.000 tingkat, yang dinamakan Saqar al Haq menciptakan pintu lembah ini dari perilaku takabbur (bangga diri), di neraka ini Fir'aun diperhinakan dengan penghinaan yang sangat nista, demikian pula dengan para diktator lainnya, yakni orang-orang yang merebut kekuasaan secara tidak sah (diluar jalur hukum) karena al Haq adalah sangat pencemburu. Orang seorang yang mengklaim sifat dari sifat-sifat-Nya, atau nama dari nama-nama-Nya melalaui cara yang tidak valid (shahih), Dia sangat murka dan menista si pengklaimnya, Dia menyiksanya hingga hari kebangkitan, demikian halnya orang-orang yang menyombongkan diri diatas muka bumi ini, dan berkedok dibalik sifat dan nama-Nya, tanpa prosedur yang benar, al Haq akan menyiksa mereka dengan nama-Nya al Mudzill, al Haq berfirman :

Kemudian ia berpaling. (Q,s, al Muddatstsir 74 : 23)

yakni berpaling dari ritus peribadatan kepada al Haq serta tawadhu' (rendah hati dan diri) dibawah kekuasaan-Nya,

dan menyombongkan diri. (Qs. al Muddatstsir 74 : 23)

selalu gila kebesaran, dan enggan beribadah ia bahkan mengejek Tuhan,

ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. (Q,s, al Muddatstsir 74 : 24)

dengan begitu ia merasa tidak berkewajiban untuk beriman kepada al Haq.

Aku akan memasukkannya ke dalam neraka Saqar. (Q,s, al Muddatstsir 74 : 26)

Tajalli keenam : tampak dengan nama-Nya al Bathsy (Yang menyerang), terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 11. 520.000 tingkat, yang dinamakan Sa'iir. al Haq menciptakan pintu lembah ini dari unsur as Syaithaniyah (setan), api yang mengobarkan nafsu (ego) jiwa, yang membiaskan perilaku buruk dan jahat pada diri manusia, dan melahirkan, kemarahan, keliaran nafsu syahwat, tipu daya, penghianatan, tidak percaya adanya Tuhan (atheis) dan tindak-tindak kekufuran lainnya. Manusia yang berperilaku buruk seperti itu pun perilaku yang mengiindikasikan ke arah tersebut adalah penghuni nereka ini, ia akan hidup dengan setan di dalamnya, al Haq berfirman :

Kami jadikan bintang-bintang itu alat pelempar setan. Dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala (O s alMulk 67 : 5)

Tajalli ketujuh : tampak dengan nama-Nya Dzu Iqoob al Aliim

(Yang memiliki siksa yang keras), terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 23.040.000 tingkat, yang dinamakan Jahannam, kesemua tingkatan itu tidak akan berakhir karena tertib hikmah tidak memiliki akhiran, kecuali dengan kodrat-Nya, yang sedemikian itu karena Qudrah adalah sesuatu yang abadi, jika tampak dan berjalan pada sesuatu akan menjadikan sesuatu itu kekal dan abadi. Hari kiamat dan segala yang terjadi paska kiamat adalah produk Qudrah, karena kampung dunia ini adalah kampung hikmah, sedang akhirat adalah kampung Qudrah, sampai ihwal (kondisi) penghuni neraka dan penghuni surga yang ditemukan (dihadapi) penghuninya terkodratkan dengan dimensi azali hingga selama-lamanya (abadi), yang tidak ada k£ta awal atau akhir, karena seuatu yang lahir dari produk antara azali hingga abadi sejatinya adalah merupakan zaman yang satu, dan bukan merupakan multi zaman. Kemudian kesatuan zaman itu dipindahkan al Haq, kepada siapa saja yang Dia kehendaki, ini merupakan rahasia ketuhanan yang sangat mentakjubkan, yang tidak bisa di nalar de- ,an logika akal manusia, bahkan tidak terbersit sedikitpun di benak manusia, karena kisaran logika jangkauannya hanya terkait dengan hikmah, sedang Kasyf (intuisi) terkait dengan Qudrah, realita ini tidak akan bisa difahami (dimakrifahi) kecuali mereka yang telah Mukasyafah (beroleh pengetahuan intuitif), al Haq menciptakan pintu neraka tingkatan ini, dari perilaku kekufuran dan kesyirikan, Dia berfirman :

Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik akan masuk ke neraka Jahannam : mereka kekal di dalamnya, mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Q.s. al Bayyinah 98 : 6)

dan siksa neraka Jahannam adalah siksa yang paling keras, demikian pula siksa Jahannam tidak akan pernah berakhir karena kekal dan abadi, hal itu ditegaskan pula dengan firman-Nya.

Dan ingatlah yang pada hari itu Kami bertanya kepada Jahannam : Apakah kamu sudah penuh? Dia menjawab : Masih adakah tambahan? (Q.s. Qaaf 50 : 30)

yang sedemikian itu karena tiadanya penghabisan. Ketahuilah penghuni masing-masing neraka (tujuh neraka diatas) itu tidak akan keluar dari masing-masing neraka, sebelum merasakan siksa tiap-tiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan neraka yang ada. Diantara mereka ada yang dimudahkan al Haq dalam proses peralihannya, diantara mereka ada yang dipersulit-Nya dalam menapaki tahapan-tahapan tingkatan yang ada. Ketika semua insan telah menapaki semua tingkatan-tingkatan neraka yang ada, saat itu al Jabbar menjejakkan kaki-Nya di setiap tingkatan pada semua neraka dan segala tingkatan yang ada tersebut, al Haq menjejakkan kaki-Nya dalam satu waktu pada satu hari.

Qudrah menampakkan j ejak-Nya kepada penghuni neraka pada satu waktu, hal ini jelas sulit diterima oleh tataran logika manusia, namun hal itu bisa difahami melalui Kasyf (intuisi) ketuhanan. Kemudian al Haq menciptakan pada masing-masing pintu neraka itu Malaikat Penjaga, sebagai manifestasi asy Syiddah (Keras)-Nya, karena malaikat tersebut tercipta dari cahaya nama-Nya asy Syadiid (Yang Keras) dan al Qowwiyu (Yang Kuat).

Telisiklah segenap penampakkan-Nya pada setiap tingkatan neraka Jahannam, akan anda dapati dimensi hakiki makna Keras­Nya, karenanya para malaikat penjaga neraka-neraka itu dikuasakan dengan kekuasaan-Nya, untuk menjaga pintu-pintu neraka-Nya. Yang merupakan cerminan nyata daripada ke-Keras-an hakiki-Nya. al Haq berfirman :

penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras. (Q.s. at Tahriim 66 : 6)

nama asy Syiddah ini juga merupakan sinonim dari nama-Nya al Maalik (Penguasa) dari segala al Mulk kerajaan. Ketahuilah para penghuni neraka itu, dipindah-pindah dan tingkatan tertinggi ke tingkatan paling rendah, sebagai bentuk peringanan kepada mereka, pun sebaliknya mereka juga dipindahkan dari tingkatan yang lebih rendah ke tingkatan paling tinggi, sebagai bentuk pemberatan kepada mereka, kesemua itu sejalan dengan kehendak al Haq, untuk memperberat atau pemperingan siksa para penghuni neraka-Nya.

Ketahuilah dalam neraka itu terdapat banyak aneka keajaiban yang tidak terhingga banyaknya. Kita tidak mungkin merinci keajaiban yang terdapat pada masing-masing tingkatan yang ada, pun sifat-sifat malaikat yang ditugaskan mengurusi neraka-neraka tersebut. Mungkin anda tidak percaya (karena tidak bisa diterima logika) semisal : dalam neraka itu ada orang mukmin yang dijebloskan ke dalamnya tanpa dosa lahir yang diperbuatnya, itulah rahasia yang terpendam dari firman-Nya.

Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja. (Q.s. al Anfaal 8 : 25),

atau perihal suatu komunitas yang menghuni neraka itu, lalu dipindahkan oleh tangan Kodrat-Nya, karena buah kebaikan generasi sesudahnya. Kesemua itu bisa di lihat melalui Mukasyafah (pengetahuan intuitif), dan banyak rahasia Qudrah-Nya yang terlihat sangat jelas, namun tidak mampu disingkap kaum beriman dalam kehidupan mereka, karena kenihilan pemahaman mereka akan nilai-nilai dan rahasia-rahasia ketuhanan. Dalam hidup dan kehidupan ini banyak mata yang sehat, namun tidak mampu menembus pandangan yang jelas, banyak mata yang melihat, tapi tidak mampu memakrifahi apa yang dilihatnya.

Dalam pengembaraan ruhiyah, aku berjumpa dan berkumpul dengan Plato, yang diklaim sebagai manusia realis yang kafir, aku melihatnya di alam gaib, ia dikelilingi cahaya yang terang benderang, aku juga melihat ia ditempatkan pada kedudukan yang tinggi, seperti jamaknya kedudukan para wali (kekasih Allah), saya bertanya : Siapa sejatinya anda,? ia menjawab : aku adalah poros (qutub) zaman, namun realita yang gharib (aneh) seperti ini jangan dimaknai secara harfiyah (tekstual), maknailah realita tersebut sebagai bentuk metafor dan isyarat-isyarat yang menyimpan multi rahasia, agar anda tidak terjebak pada pemaknaan sempit, buanglah kulit maknahnya, ambil isi maknahnya, jika anda memang benar-benar insan yang intelektual. Karya ini bukan dimaksudkan untuk mewartakan secara tektual kabar para penghuni neraka serta ihwal para malaikat penjaganya, berikut aneka ragam bentuk siksaan yang ada di dalamnya, karya ini dimaksudkan untuk mencari makna yang tersirat dari hakekat neraka, berikut kesejatian siksa-siksa-Nya. Pahami betul metafor yang kami pakai dalam pembahasan masalah neraka ini!

Ketahuilah penghuni neraka juga memiliki sisi kenikmatan, seperti kenikmatan para petarung, petinju dan para pelaku hidonistis lainnya, telisiklah dalam alam realitas ini, banyak sekali manusia yang menemukan kenikmatan, ketika melakukan pertempuran, pertarungan, mereka sangat memahami (menyadari) bahwa bentrok fisik itu melahirkan rasa sakit bagi tubuh mereka, namun demikian mereka menemukan kenikmatan tersendiri dalam jiwa mereka, ketika mampu melukai lawannya. Demikian pula anda bisa melihat orang yang terkena penyakit kudis atau penyakit kulit lainnya, ia menemukan kenikmatan ketika menggaruk penyakit yang menerpanya, padahal sangat berbahaya dan menimbulkan rasa sakit, tapi sipesakitan merasakan kenikmatan dari apa yang ia lakukan, pun pula anda dapat menemui manusia yang bodoh dan merasakan kenikmatan dalam menguraikan pikiran bodohnya, padahal kebahagiaan seperti itu jelas sangat merugikan diri dan orang lain.

Pada tahun 709 H. Dalam perjalanan di negeri India, tepatnya di kota yang bernama Karachi, saya melihat salah seorang penduduk hendak membunuh tiga penguasa kota tersebut, ketika ia berhasil membunuh satu penguasa, ia tersemangati membunuh yang lain, hingga ketiga penguasa itu mati tertikam pedangnya, ketika di tangkap dan hendak dieksekusi mati, saya dekati si jagal itu, saya tanyakan kepadanya: apa sejatinya yang telah anda lakukan,? Ia menjawab dengan penuh arogan : Diam kau kisanak! Demi Tuhan, aku telah melakukan tindakan yang sangat terpuji dimata Tuhan, aku merasakan kenikmatan yang tiada tara, ketika aku mampu melenyapkan nyawa manusia-manusia itu, sungguh aku tidak merasakan kenikmatan seperti itu sebelumnya! Orang itu merasakan kenikmatan yang tiada tara, ketika memukul dan menghujamkan pedangnya ke dada orang yang menyebabkan kematian, demikian pula kita temukan dalam sakte tertentu, ada orang yang melukai tubuhnya, menyalib dan memukul tubuhnya hingga berdarah-darah dan jiwanya merasakan kenikmatan yang tiada tara.

Para penghuni neraka itu memiliki kenikmatan lain, serupa kenikmatan seorang pemikir yang menari-nari diatas logika pikirnya, utamanya dalam menyalahkan pun menyanggah pemikiran orang-orang yang dianggapnya bodoh, ia menemukan kenikmatan ketika melihat orang lain bodoh, ia menemukan kenikmatan dalam tindak pembodohan orang lain, padahal penuhanan akal semacam itu hanya akan membuatnya terjerembab dalam siksa tak bertepi, ia menemukan kenikmatan dalam kecongkakan dan keengganan diri mengikuti pemikiran orang-orang bodoh, lugu dan jernih yang banyak melahirkan kebahagiaan.

Orang pandai akan terpasung dengan akalnya, sehingga gengsi mengikuti orang yang dianggapnya bodoh, kenikmatan yang lahir dari keangkuhan seperti itu hanya melahirkan kesengsaraan, sedangkan tidak sedikit kebodohan yang lugu, dapat menghindarkan kesengsaraan. Para penghuni neraka itu juga memiliki kenikmatan, ketika melihat orang lain yang disiksa lebih keras daripada dirinya, namun ketika ditampakkan kepada mereka ihwal penghuni surga, mereka sangat membeci dengan apa yang diperoleh penghuni surga tersebut, disisi lain ada pula penghuni neraka yang apabila melihat ihwal penghuni surga, mereka berharap bisa berkumpul dalam surga-Nya, berharap hidangan dan minuman surgawi, namun keinginan itu tak kesampaian, mereka itulah insan-insan yang diwartakan al Haq dalam firman-Nya.

Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu. Penghuni surga menjawab: Sesungguhnya Allah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir. (Q s al A'raaf 7 : 50).

Ketahuilah, apa yang kami paparkan itu bukan merupakan cerminan penghuni neraka secara keseluruhan, keadaan mereka (penghuni neraka) sangat beraneka ragam. Diantara mereka ada yang merasakan kenikmatan dalam deraan siksa, diantara mereka ada yang sama sekali tidak merasakan kenikmatan dalam timpaan siksa, bahkan ada yang sangat membenci dengan raungan kesakitan siksa, diantara mereka ada yang beroleh siksa lebih keras dari perilaku dosa yang telah diperbuatnya di dunia, ada pula yang disiksa karena ideologi yang diyakininya, pun disiksa karena laku perbuatannya, perkataan baik dan buruknya yang dalam sangkaan (asumsi) mereka tidak terkait dengan perilaku dosa, ada yang disiksa karena niatan dan aktifitasnya. Esensinya masalah penghuni neraka ini sungguh sangat gharib (uniqe) demikianlah rahasia ungkapan al Haq dalam hadits qudsi-Nya,

Orang-orang itu menuju neraka, Aku tidak peduli. Orang-orang itu menuju surga, Aku tidak peduli.

Ketahuilah diantara penghuni neraka itu ada manusia-manusia yang dimata al Haq lebih utama dibandingkan penghuni surga, mereka dimasukkan ke lembah kedukaan (neraka), untuk penampakkan Diri-Nya kepada mereka di dalam neraka serta agar dijadikan pangkal penglihatan kesengsaraan yang ditajallikan-Nya. Ini merupakan rahasia yang sangat misteri. Dia berkehendak apa saja dan menguasai apa saja yang Dia kehendaki, al Haq Maha Berkehendak Dan Maha Kuasa. Pahami dengan seksama masalah ini.

Pasal. Bagian kedua dari citra Muhammad adalah tajalli al Haq dengan nama-Nya al Mannan (Yang memberi nikmat). Darinya al Haq menciptakan surga-surga, kemudian Dia bertajalli dengan nama-Nya al Lathiif (Yang lemah lembut). Yang dijadikan tempat bagi segenap manusia mulia dan insan-insan yang dimuliakan oleh-Nya. Ketahuilah surga itu terbagi atas delapan tingkatan, setiap tingkat memiliki taman-taman surga yang banyak sekali, setiap taman memiliki tingkatan yang tidak terbilang jumlahnya.

Tingkat Pertama : Surga Salaam, surga ini dinamakan juga surga al Mujazah (balasan), al Haq menciptakan pintu surga ini dari amal shaleh (laku kabaikan), di dalamnya Dia bertajalli dengan nama-Nya al Hasiib (Yang menghitang-hitung). Penghuni surga ini murni karena perolehan pahala dari laku kebaikan, sabda rasul saw,

Orang seorang tidak akan masuk surga dengan amalnya,

adalah beliau maksudkan khusus untuk surga Mawahib (pemberian), adapun surga al Mujazah, untuk memasukinya adalah dengan amal-amal shaleh (perbuatan baik), terkait dengan hak penghuni surga ini al Haq berfirman :

Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (Q.s. an Najm 53 : 39 - 41).

Dengan demikian tidak seorangpun bisa memasuki surga ini, kecuali dengan amal (perbuatan) baik. Semantis logikanya barang siapa yang tidak berbuat amal shaleh, tidak akan bisa memasukinya. Surga ini juga dinamakan al Yusrah, al Haq berfirman :

Adapun orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, dan bertagwa. Dan membenarkan adanya pahala yang baik. Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.s. al Lail 92 : 5 - 7)

maksudnya adalah laku perbuatan yang sedikit, tapi diterima oleh-Nya, keterkabulan itu membuat pelakunya dimudahkan memasuki surga.

Tingkat Kedua : Surga Khuldi atau surga al Makasib (perolehan). Perbedaan antara surga al Mujazah dan surga al Makasib. Surga al Mujazah terkait dengan kadar perbuatan baik yang membuahkan balasan dari-Nya, sedang surga al Makasib merupakan keberuntungan murni, karena surga ini produk daripada aqidah (keyakinan) dan prasangka baik kepada al Haq. Esensinya surga balasan hasil kerja fisik sedang surga perolehan murni karena pemberian tanpa kerja fisik, al Haq menampakkan diri-Nya kepada penghuni surga ini dengan nama-Nya al Badi' (Yang menjadikan). Dia tampakkan diri-Nya kepada para pemeluk keyakinan yang lurus dan benar yang tidak menciptakan bid'ah-bid'ah ketuhanan. Pintu surga ini terbuat dari aqidah yang benar dan prasangka baik kepada al Haq, serta Rajaa' (Harapan) kepada-Nya, tidak akan bisa masuk surga ini kecuali mereka yang terkait dengan ketiga hal tersebut. Surga ini dinamakan dengan al Makasib, sebab lawan dari perolehan adalah kerugian, yang disebabkan oleh prasangka buruk kepada dinamakan surga kepemilikan, karena mereka memang berhak masuk kedalamnya, tanpa proses, ganjaran, pemberian, perolehan dari laku amal kebaikan. Manusia-manusia yang mensucikan jiwa mereka hingga bisa kembali ke fitrah penciptaan, itulah yang disebut al Abraar, (para pembakti) al Haq berfirman :

Sesungguhnya orang-orang banyak berbakti, benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. (Q.s. al Infithaar 82 : 4)

makna yang tersirat dari ayat ini adalah, bahwasanya al Haq bertajalli kepada para penghuni surga ini dengan nama-Nya al Haq,  mereka yang tidak mensucikan fitrah penciptaannya, tidak berhak memasuki surga ini. Mereka yang berusaha mensucikan jiwanya lantas dipanggil keharibaan-Nya, ia berhak memasuki surga ini, diantara penghuninya ada juga insan yang telah dimasukkan neraka-Nya, hingga dosa-dosanya tersterilkan, dan kembali ke fitrahnya, setelah itu al Haq memasukkannya ke dalam surga ini. Atap surga ini bernama Arsy, berbeda dengan atap-atap surga sebelumnya, surga al A'lah atapnya bernama al Adna, surga Salaam atapnya bernama Khuldi, sedangkan surga Khuldi atapnya bernama surga al Ma'wah, adapun surga Ma'wah atapnya bernama surga al Istihqoq, surga al Fitrah atau surga al Na'im atapnya adalah Arsy.

Tingkatan Kelima: Surga Firdaus, ia adalah surga makrifat, buminya membentang luas tak bertepi, semakin tinggi penghuninya mendaki semakin mengerucut keluasannya, bahkan puncaknya lebih kecil dibandingkan lubang jarum, tidak ada pepohonan, sungai, istana, bidadari, kecuali jika sang penghuni melihat ke surga di tingkatan bawahnya, jika mereka menginginkan kenikmatan surgawi itu ia bisa turun ke surga ditingkat bawah. Di surga makrifah ini tidak didapati bidadari, para muda tampan atau istana-istana surgawi, surga ini berada didepan pintu Arsy, penghuni surga ini selalu Musyahadah (dalam nuansa penyaksian), karena penghuninya merupakan para penyaksi, yakni penyaksi keagungan dan keindahan, serta kebagusan serta kasih kebaikan Ilahiyah (ketuhanan), mereka gugur dalam naungan rasa kasih cinta dijalan al Haq, dan Dia mencintai mereka, para penghuni surga ini adalah para pecinta al Haq yang gugur dengan pedang fana' (ekstase) atas nasfsu-nafsu diri mereka, sehingga tidak menyaksikan kecuali kekasih sejati (al Haq) mereka. Surga ini dinamakan pula dengan surga 'Wasilah'  (penghubung) karena makrifah merupakan penghubung antara orang yang arif dengan yang dimakrifahi Dia-lah al Haq, penghuni surga ini paling sedikit dibanding surga-surga lainnya, demikian halnya semakin tinggi dakian surga ini semakin sedikit pula penghuni puncaknya.

Tingkat Keenam : Surga Fadhilah (Keutamaan). Penghuninya adalah para Shidiqin (insan-insan yang mentradisikan kebenaran dan kelurusan), al Haq memberi apresiasi yang tinggi kepada mereka dan menempatkan mereka di Sisi Tuhan Yang Berkuasa surga ini disebut surga asma (nama-nama)-Nya, yang terhamparkan diatas tingkatan-tingkatan Arsy, penghuninya lebih sedikit ketimbang surga Firdaus atau Makrifat, namun kedudukannya paling tinggi dihadapan al Haq, karenanya penghuninya disebut penikmat kelezatan Ilahiyah (ketuhanan).

Tingkat Ketujuh : dinamakan surga al Darajah al Rafi'ah (tingkatan tinggi). Ia merupakan surga sifat-sifat-Nya dari dimensi nama-nama-Nya, ia surga dzat-Nya dari dimensi bentuk, buminya adalah dasar Arsy, penghuninya disebut ahli hakekat dan ahli makrifah hakekat-hakekat ke-Tuhan-an, penghuninya paling sedikit dibanding surga-surga-Nya yang lain, penghuninya murapakan al Muqorrobin (insan-insan paling dekat) dengan al Haq dan para khalifah (pengganti) ketuhanan. Mereka adalah insan-insan yang menyembunyikan diri dan memiliki hasrat kuat dalam mengarungi samudera kehakikian al Haq. Dalam pengembaraan ruhiyahku, aku melihat Ibrahim al Kholil (sang terkasih) berdiri disebelah kanan surga ini, melihat ke arah tengah, aku melihat komunitas para rasul dan nabi serta para kekasih Allah (wali), di sebelah kiri surga ini, mereka memfokuskan perhatian mereka ke arah tengah surga ini, aku melihat Muhammad saw di tengah-tengah surga ini, sambil mengarahkan pandangan ke tiang pancang Arsy, memohon keharibaan-Nya maqom Mahmud (kedudukan mulia) dan al Haq mengabulkan permohonan baginda rasul Muhammad saw.

Tingkat Kedelapan : dinamakan surga Maqom Mahmud (Kedudukan Mulia). Ia merupakan surga dzat, buminya dari atap Arsy, yang tiada seorangpun bisa sampai kepadanya, setiap penghuni surga ini berusaha bisa Wushul (sampai) ke atap Arsy ini, sebagian orang berasumsi surga ini ditegakkan hanya dengan hakekat asma-Nya, prediksi mereka tidaklah salah, surga ini diperuntukkan bagi Muhammad saw, sejalan dengan sabdanya dalam sebuah hadist

Sesungguhnya Maqom Mahmud, merupakan tempat tertinggi di dalam surga, ia diperuntukkan hanya untuk satu orang saja, aku berharap satu-satunya orang itu adalah diriku,

al Haq lantas mewartakan bahwasanya Dia mengabulkan permintaan Muhammad saw tersebut, dan mengkhususkan surga untuk beliau seorang. Kita wajib percaya dengan sabda rasul saw tersebut,

Dan tiadalah yang dia ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (Q.s. an Najm 53 : 4 - 5)

Pasal. Ketahuilah, bahwa al Haq menciptakan dari citra Muhammad ini surga yang multi kenikmatan bagi para mukminin dan neraka dengan ragam siksa yang ada di dalamnya, al Haq juga menciptakan dari citra Muhammad ini citra Adam, sebagai bentuk duplikat dari citra Muhammad tersebut, ketika Adam diusir dari surga-Nya, maka terpisah pula citra dirinya, karena keterpisahannya dengan alam ruh. Pahamilah ketika Adam berada disurga, eksistensi fisiknya belum diwujudkan, ia hanya di-ada-kan al Haq dalam bentuk rasa, karenanya orang seorang tidak akan bisa memasuki surga-Nya, kecuali bila ia bisa menemukan rasa fitri-nya, ketika Adam diusir ke bumi rasa fitri-nya tetap tinggal di surga, karena kehidupan-nya di surga bercitrakan rasa yang lahir dari nafs-nya, sedang kehidupannya di dunia bercitrakan ruh, ia bakal mati kecuali yang dikekalkan al Haq, melihat kepada-Nya dengan pandangan dzat-Nya, hak-hak-Nya, sifat-sifat-Nya dan asma-asma-Nya. Nasibnya dalam kehidupan dunia ini bercitrakan Qudrah al Haq yang menentukan wajah kehidupannya di kampung akhirat, al Haq tidak memberi citra kepada nafs (jiwa) hamba-Nya, kecuali dalam 'rasa' Pahami betul metafor yang kami gunakan dalam kajian bab ini, agar anda tidak terjebak pada makna-makna simbolnya.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jilly

Cahaya kebaikan yang berbasiskan Qalbu.

Mentari kebagusan yang tampak kasat dan Nyata.

Para arif merasakan kehadiranNya stiap saat

Tidak tidak ada satupun TajalliNya yang terlewatkan

Qalbu mewadahi semua citra ketuhananNya

Menyimpan rapi file-file rahasia ketuhanan DiriNya.

Ia adalah replika Nyata Surga KhuldiNya.

Istana megah yang menghamparkan kasih sayangNya

Ia adalah taman penuh pepohonan rindang

Berbuah lebat, siap dipanen siapa saja menginginkan

Qalbu adalah cermin diri setiap hambaNya untuk mengaca diri,

meraih kesejatian diri sesungguhnya

Qalbu adalah cermin Ketuhanan DiriNya,

Untuk memantulkan cahayaNya

ke dalam diri tiap hambaNya

Prilaku buruk tidak terlihat dalam cermin

Namun, ia sangat telanjang dalam cermin hati tiap hambaNya

Qalbu adalah sentra penglihatan Tuhan

Kebaikan dan keburukan tiap hamba dimataNya terletak di hati.

Kelemahan, bukan karena rapuhnya tubuh

Akan, tetapi, kerapuhan hati dalam menunaikan hak Tuhannya.

Orang tidak akan merengkuhi kebahagiaan

Selama hatinya terlumuri kotoran-kotoran hati dan noda jiwa

Kepedihan lahir bisa dirahasiakan dengan baik.

Akan tetapi, kepedihan hati, sulit dan mustahil disembunyikan

Jangan lengah terpedaya oleh keapikan logika

Sebab, logika yang tidak bersendikan hati nurani adalah busuk

Bila hati nurani dipinggirkan dari kehidupan

Nilai-nilai ketuhanan terkubur, kebenaran hakiki akan sirnah

Qalbu adalah media penyambung denganNya

Hati juga menjadi sebab utama keterputusan dengan Tuhan.

Jisim yang tidak berjiwa dan berhati nurani.

Tak ubahnya bangkai-bangkai kehidupan, meski ia bernyawa

Hati yang tercampakkan dari dalam diri insan

Laksana biji yang terkelupas dari kulitnya, terbuang sia-sia

Maka jaga dan kawal kesucian Qalbu dirimu

Cahaya ketuhananNya akan dipantulkan ke dalam Qaqlbumu

Kebahagiaan duniawi bisa diraih dengan kaki

Kebahagiaan hakiki ahirati, hanya bisa diraih dengan Qalbu.

 

Sudah Edit 59. Nafsu dan Asal penciptaan Iblis Serta para pengikutnya dari Setan Dan Manusia

 

Ketahuilah, semoga Allah mengeksiskan anda dengan ruh-Nya. Bahwasanya al Haq, menciptakan Muhammad saw dari inti Kesempurnaan-Nya, Dia menjadikan Muhammad saw tampilan daripada Keindahan dan Keperkasaan Diri Nya, Dia menciptakan segala hakekat dalam diri Muhammad dari segenap hakekat asma-asma dan sifat-sifat-Nya, kemudian menciptakan jiwa Muhammad saw dari jiwa-Nya.

Ketahuilah nafs (jiwa) Adam as, diciptakan dari nafs Muhammad saw, karenanya ketika jiwa yang lembut itu dilarang memakan biji yang ada di surga, ia tetap memakannya, karena ia tercipta dari inti (dzat) Rububiyah (ketuhanan), bukan merupakan realitas ketuhanan yang Baqa' (kekal), ia berada dibawah pasung pembatasan, jiwa yang lembut itu ingin melitantas batas hukum (peraturan) ketuhanan, baik di alam dunia maupun di alam akhirat, jiwa yang lembut akan senantiasa berusaha menerjang segala kendala yang menghalangi keinginannya. Pada termin inilah jiwa yang lembut itu berubah menjadi 'Nafsu'.

Ketahuilah, nafsu selalu ingin semua keinginannya terpenuhi, meski dengan menerjang rambu-rambu pelarangan-Nya, tidak peduli adakah sebab pelarangan itu untuk kebaikannya ataukah karena menyebabkan kesengsaraannya. Nafsu melakukan semua itu karena didorong ingin memenuhi dzat Rububiyah-nya, yang merupakan akar dasar penciptaannya. Cobalah telisik kembali perihal sebutir biji yang dimakan jiwa yang lembut di ranah surga, ia menafikan pelarangan al Haq untuk mendekati dan memakannya, dan ia mengetahui dari kabar ketuhanan bahwa memakannya akan berbuah kesengsaraan, sejalan dengan firman-Nya :

Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang dzalim. (Q.s. al A'raaf 7 : 19).

Sebutir biji itu sejatinya adalah tabiat gelap, sebutir biji yang melahirkan pohon itu paradok al Haq dalam tabiat gelap tersebut. Pelarangan-Nya memakan biji itu, karena Dia mengetahui, bahwa nafsu jika bertindak maksiat, ia patut diturunkan ke dunia tabiat gelap dan akan melahirkan kesengsaraan, karena pohon tersebut sebagaimana diwartakan pesan Qur'ani adalah pohon terlaknat, barang siapa mendatanginya akan dilaknat, yakni diusir.

Ketika jiwa lembut itu mendekati pohon terlaknat itu, ia terusir dari kedekatan rohani ketuhanan, terhempas menuju kejauhan jasmani, maka hakekat penurunan itu adalah keterpalingan dari al Haq, terlempar dari alam ketinggian yang tersucikan dari keterbatasan dan ikatan, ke alam kerendahan (bawah), tabiat bumi yang terikat dan terbatas.

Pasal. Ketahuilah, ketika nafs (jiwa) dilarang memakan sebutir biji tersebut, ia merasa bahwa dirinya tidak perlu tunduk kepada pembatasan, pelarangan itu membuatnya kepada ketidak jelasan sikap, antara pengetahuan yang berlandaskan inti (dzat)-Nya yang terlembagakan dalam kebahagiaan ketuhanan vis avis kabar ketuhanan bahwa memakan biji itu akan menyebabkan kesengsaraan, nafs itu lebih berpijak kepada pengetahuan inti (dzat)-nya, ia tidak mempercayai kabar ketuhanan, bahwa memakan biji itu akan menyebabkan kesengsaraan.

Realita inilah yang merupakan 'tiang pancang' ketidak jelasan sikap yang terjadi di semesta alam. Orang seorang yang tertimpa kesengsaraan sejatinya adalah orang diderah ketidak jelasan sikap yang menyelimuti jiwanya sejak fitrah pertama. Atas realita itu pula para ummat terdahulu selalu memakai pijakan ilmu produk akal, atau ilmu-ilmu terapan lainnya, mereka meninggalkan kabar-kabar langit yang jelas dan terang dengan bukti-bukti otentik yang kasat mata, al Haq bahkan mengutus kepada mereka para rasul-Nya untuk memahamkan semua itu, akan tetapi pada kenyataannya mereka hancur karena kekufuran mereka.

Rahasia yang berserak dari realita tersebut, bahwa kehancuran yang lahir dari nafsu itu telah ada sejak fase awal penciptaan, demikian pula dengan manusia pemuja nafsu kebinasaan merupakan keniscayaan, karena mereka tercipta dari satu nafsu al Haq berfirman:

Dia Yang menciptakan kamu dari nafsu yang satu. (Q.s. an Nisaa' 4 : 1).

Semua manusia yang bernafsu akan hancur kecuali Dzat Yang Tunggal, ini pula rahasia yang terkandung dari firman Qur’ani :

Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. (Q.s. at Tiin 95 : 5 - 6)

yaitu mereka yang beriman kepada warta-warta langit dan meninggalkan ketidak pastian sikap yang lahir dari produk ilmu logika dan ilmu terapan, kemudian mentradisikan laku kebaikan.

Hakekat 'bentuk' sebaik-baiknya dalam ayat tersebut adalah meninggalkan tindak kemaksiatan dan melaksanakan keta'atan, sebab kemaksiatan tidak lain produk tabiat gelap, sedang keta'atan merupakan cerminan cahaya rohani.!

Ketahuilah, jiwa yang suci akan terjerembab ke dalam 'ketidak jelasan' (sikap dan tindakan) jika dinodai oleh harapan yang kotor, jiwa yang jernih tidak akan mengingkari fitrah penciptaannya, yaitu ta'at dan patuh kepada warta-warta ketuhanan, karena berita ketuhanan sama sekali tidak ada yang bertentangan dengan nurani hati dan pikir tiap hamba, namun demikian nafsu juga selalu merespon tabiat gelap yang terparadokkan dengan sebutir biji, yang merupakan akar kejadiannya. Nafs juga mafhum (faham benar) bahwa memasuki tabiat gelap hanya akan membuahkan kesengsaraan diri, terlebih jika tabiat gelap itu menjenjakkan kakinya di bumi ruh, kesengsaraan adalah sebuah keniscayaan yang harus diterimanya. Nafs (jiwa) juga memahami bahwasanya etos Rububiyah (ketuhanan), tidak akan mendatangkan sesuatu yang menyengsarakan para hamba-Nya, karena lahir dari ke-qudus-an dzat-Nya, dan kesucian etos ketuhanan-Nya.

Apa yang diwartakan al Haq, sangat dipahami nafs (jiwa) sebagai kebenaran mutlak, namun ia menodai dirinya dengan memakan biji, itulah sejatinya asal dan tiang pancang ketidak jelasan sikap, awal ketidak patuhan, serta tiang pancang 'penodaan' amar (perintah) ketuhanan. Realita itu juga merupakan 'nisan sejarah' tipu daya, serta awal lahirnya sikap (watak) Iblis, seperti ungkapan Iblis,

Tuhan kamu tidak melarangmu mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat. (Q.s. al Araf 7 : 20).

Pada realitanya pohon itu tidak terlarang bagi para malaikat, karenanya Iblis berani berkata : jika kalian berdua enggan memakan biji, maka kalian sendiri yang sengaja memasuki wilayah pelarangan,

Atau tidak menjadi orang-orang yang kekal. (Q.s. al Araf 7 : 20).

Sebab jika kalian berdua enggan menerima pelarangan memakan biji, kalian berdua tidak bisa keluar dari surga-Nya, karena kalian tetap eksis dengan etos ketuhanan. Dan Iblis bersumpah kepada keduanya:

Sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepada kalian berdua. (Q.s. al Araf 7 : 21).

Sumpah yang dimaklumatkan Iblis itu adalah untuk menegaskan argumentasinya serta mengkuatkan alasannya atas apa yang telah dilakukannya, yakni keingkarannya sujud kepada Adam as. Ketahuilah ummat-ummat terdahulu bahkan ummat yang akan datang, sebab kehancuran mereka adalah karena mengotori jiwa mereka dengan pengingkaran akan warta-warta ketuhanan, karena para rasul-Nya tidak datang kepada mereka, kecuali dengan seruan yang logis, keterangan yang jelas, serta pewartaan masalah yang ghaib, semisal penetapan Sang Pencipta dengan bukti-bukti otentik penciptaan (ada wujud citpaan-Nya), wajah Qudrah-Nya dengan dalil proses penciptaan, penetapan hari kebangkitan dengan awal penciptaan, sebagaimana firman-Nya,

Katakanlah, ia akan. dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. (Q.s. Yaasin 36 : 79)

dan banyak lagi yang lainnya.

Kemudian para rasul itu dikuasakan oleh-Nya dengan mukjizat-mukjizat serta kejadian-kejadian par excelent, yang tidak mungkin bisa dilakukan manusia-manusia biasa, kecuali mereka yang dikuasakan dengan Qudrah al Haq, semisal menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta, bisu dan tuli, membelah air laut dan lain sebagainya. Seruan para rasul-Nya tersebut, tidak akan teringkarkan melainkan oleh kotoran jiwa yang bersemayam di dada masing-masing hamba. Diantara mereka ada yang berkata : aku takut masyarakatku akan berubah sikap kepadaku dengan keislamanku, diantara mereka ada yang berkata : Bakarlah dia, Tuhannya menolong dirinya, ada pula yang berkata : akankah kami meninggalkan Tuhan sesembahan para leluhur kami, lalu mengikuti Tuhan baru.? Picu keingkaran mereka adalah kotoran yang melekat dalam jiwa mereka, jika tidak niscaya kabar ketuhanan akan bersemayam dalam jiwa mereka, hal ini difirmankan al Haq :

Mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat al Haq. (Q.s. al An'aam 6 : 33).

Kesemua paparan diatas merupakan inti rahasia ketidak jelasan sikap (permasalan) jiwa yang dikotori dengan pe-makan-an (biji), bahkan ini merupakan rahasia inti perintah ketuhanan dan eksistensi dzat-Nya. (Pasal) Ketahuilah bahwasanya al Haq, ketika menciptakan jiwa Muhammad saw, Dia menciptakannya dari dzat diri-Nya. Inti dzat-Nya mengandung dua hal yang berlainan, Dia menciptakan para Malaikat dalam nuansa ketinggian yang tercerminkan dalam sifat-sifat keindahan dan cahaya serta petunjuk­Nya, semua itu tercipta dari jiwa Muhammad saw, seperti yang telah kita terangkan, al Haq menciptakan Iblis dan para pengikutnya dari dimensi sifat keperkasaan, kedzaliman, kesesatan, semua itu tercipta dari jiwa Muhammad saw. Pada awalnya Iblis bermana Azazil, ia sangat eksis beribadah kepada al Haq, sebelum penciptaan makhluk-Nya yang bernama Adam as, al Haq berkata kepadanya : Wahai Azazil janganlah Engkau menyembah selain Diri Ku.! Ketika Dia menciptakan Adam as dan menyuruh para malaikat-Nya bersujud kepada Adam as, perintah itu dimata Iblis menjadi samar (tidak jelas) dan membuatnya terjerembab ke dalam ketidakjelasan sikap, (antara eksis dengan perintah lama vis avis perintah sujud kepada Adam as), ia mengira jika bersujud kepada Adam as, hal berarti menyembah kepada selain al Haq, Iblis tidak tahu bahwa siapa yang bersujud berdasarkan perintah sejatinya ia bersujud kepada al Haq, karena kebodohannya itu Iblis menolak bersujud kepada selain al Haq, sebab utama keengganan sujud karena pasung ketidak jelasan sikap, terlebih keengganan bersujud kepada Adam as. Atas dasar itulah Azazil disebut Iblis, jika tidak enggan sujud ia tetap disebut Azazil yang gelarannya populer dengan sebutan Abu Marrah. Pahami betul paradok-paradok yang ada, agar anda tidak terjebak pada pemaknaan simbolistik! Manakala al Haq berkata kepada Iblis :

Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan dua tangan Ku, apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi? (Q.s. Shaad 38 : 75).

Para makhluk alam ketinggian itu adalah para malaikat, yang tercipta dari cahaya ketuhanan, semisal malaikat yang bernama Nun dan lain-lainnya, demikian pula dengan para malaikat lainnya juga tercipta dari unsur tersebut, mereka semua diperintahkan bersujud kepada Adam as. Iblis berkata kepada Rabb-nya :

Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah. (Q.s. Shaad 38 : 76).

Dari realita dialogis itu dapat kita ketahui bahwasanya Iblis adalah makhluk yang paling mengerti tentang etika dihadapan hadirat-Nya, serta paling mahir menjawab pertanyaan. Perhatikan redaksi Qur’ani, Iblis sangat faham bahwa al Haq tidak mempertanyakan sebab pelarangan, jikalau Dia bertanya sebab pelarangan, niscaya Dia akan memakai redaksi: Kenapa kamu melarang dirimu untuk melakukan sujud kepada ciptaan Ku, yang telah Aku cipta dari kedua tangan Ku? Akan tetapi al Haq bertanya dengan subtansi pelarangan, karenanya Iblis menjawab sejalan dengan rahasia perintah : karena aku lebih baik daripadanya, yakni : Hakekat api itu adalah tabiat gelap yang Kau ciptakan diriku dari unsurnya, inti api itu lebih utama dibandingkan dengan hakekat tanah, yang Engkau ciptakan dia dari unsurnya, atas dasar inilah aku putuskan tidak mau bersujud. Karena tabiat api hakekatnya adalah berdimensikan ketinggian (alam tinggi), sedang tanah sejatinya berdimensikan kerendahan (alam rendah). Cobalah anda telisik, jika anda ambil lilin dan anda balik ujung sumbuhnya lalu anda bakar lilin tersebut, niscaya kobaran apinya mengarah ke arah atas, sebaliknya jika anda mengambil segepok tanah, lalu anda lemparkan ke atas, ia akan kembali ke turun ke bawah, itulah kenyataan alam realitas. Atas dasar itulah Iblis berkata :

Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.

Iblis tidak melebihkan ucapannya, karena ia mengerti betul bahwa al Haq memahami rahasia dirinya, Iblis juga memahami bahwa posisinya berada pada maqom Qobdh (sempit) bukan pada maqom Basth (lapang), jika ia pada posisi Basth niscaya ia akan memanjangkan ucapannya. : Aku tetap eksis dengan amar perintah Mu, untuk tidak menyembah selain Diri Mu. Namun ketika itu Iblis menyadari posisi diri dalam kesulitan yang menyebabkan dia dalam ketidak jelasan sikap.! al Haq menyebut Azazil dengan Iblis karena identik dengan ketidak jelasan (kesamaran) Azazil belum pernah disebut dengan inisial seperti ini sebelumnya, dengan demikian jelas sekali masalahnya bermula dari ketidak jelasan yang lahir dari diri Azazil, maka bukanlah al Haq penyebab kesengsaraan, namun berasal dari Iblis sendiri, ia tidak meminta maaf atas ketidak patuhannya, ia tidak merasa menyesal dengan sikapnya, terlebih tidak meminta ampunan al Haq atas tindakanya tersebut, karena Iblis yakin dan sangat memahami bahwasanya al Haq tidak berbuat kecuali apa yang dikehendaki-Nya, apa yang menjadi kehendak-Nya akan melahirkan realitas hakiki, yang tiada satupun bisa merubah atau mengganti realitas hakiki tersebut. Atas keengganan bersujud itu, al Haq lantas mengusir Iblis dari hadirat kedekatan-Nya, menuju bentangan kejauhan dari-Nya, Dia berfirman :

Maka keluarlah kamu dari surga : sesungguhnya kamu adalah orang yang diusir. (Q.s. Shaad 38 : 77)

 yakni, dari hadirat ketinggian menuju sentral kerendahan, dengan demikian hakekat 'Pengusiran' adalah pencampakkan dari nuansa ketinggian ke dasar kerendahan, al Haq berfirman ;

 Sesungguhnya kutukan Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan. (Q.s. Shaad 38 : 78).

Sejatinya 'Kutukan' adalah, pengusiran dan perendahan. Pahami betul makna tersirat ayat-ayat tersebut.

Firman Qur’ani ;

Sesungguhnya kutukan Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan

adalah sebuah penegasan dari-Nya bahwa kutukan itu hanya diperuntukkan untuk Iblis saja. Esensinya kutukan Ku, hanya untukmu, seperti anda bilang, aku hanya memukul Zaid, semantis logikanya anda tidak memukul selain Zaid, hal serupa selaras dengan firman Qur'ani,

Hanya kepada Mu, kami menyembah dan hanya kepada Mu pula kami memohon pertolongan

itu artinya anda memakzulkan ritus ibadah anda kepada al Haq, hanya kepada Mu saja aku menghaturkan sembah sujudku, dan hanya kepada Mu saja aku memohon kasih pertolongan. Dengan demikian jelas sekali bahwasanya al Haq tidak menguruk satupun oiptaan-Nya selain Iblis, adapun pengutukan terhadap para dzalim dan para fasik serta para pelaku kekufuran, kesemua itu karena imbas (warisan) dari perilaku Iblis, yang sedemikian itu orang seorang tidak akan mendapatkan kutukan al Haq jika tidak berperilaku Iblis dan berwatak dengan wataknya. Maka kutukan akarnya berasal dari Iblis, sedang kutukan terhadap yang lain merupakan dampak dari bias perilaku Iblisme, adapun firman-Nya :

Sampai hari pembalasan

merupakan 'batasan' yang berarti paska hari Qiyamat kutukan itu telah berakhir, karena hukum tabiat (alam) akan diangkat pada hari pembalasan tersebut. Kita telah menerangkan tafsir hari Qiyamah tersebut pada pasal empat puluh. Paska kiamat Iblis tidak dikutuk lagi, yakni tidak diusir lagi dari hadirat-Nya, Iblis diturunkan ke dunia seakan untuk dijadikan 'batu ujian' bagi para hamba-Nya dan merupakan 'tembok terjal' bagi ruh yang bersemanyam di jasad manusia untuk menggapai hakekat ketuhanan. Hanya ruh yang tersucikan dari bias-bias Iblisme sajalah yang bisa memakrifahi hakekat ketuhanan dan mencapai hadirat-Nya, ketika ruh itu kembali ke alam kesempurnaan, saat itulah Iblis kembali ke tempatnya semula disisi-Nya, yaitu kembali kepada kedekatan ketuhanan seperti fitrah penciptaannya sediakala, yang sedemikian itu setelah hilangnya Jahannam, sebab segala sesuatu yang diciptakan al Haq akan kembali kepada asal penciptaannya. Pahami betul masalah ini.

Dikisahkan, ketika al Haq mengkutuk Iblis, ia justru menampakkan euforia kebahagiaannya, sehingga alam ini penuh dengan dirinya, dikatakan kepadanya, kenapa engkau begitu bergembira, padahal engkau terusir dari hadirat-Nya.? Iblis menjawab : Ini merupakan pelepasan yang membuat diriku memiliki kesempatan bergerak yang tidak akan pernah dimiliki para Malaikat terdekat, atau para rasul-Mu, kemudian Iblis berujar kepada al Haq :

Wahai Rabbku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan. (Q.s. Shaad 38 : 79).

 Permintaan Iblis itu berdasarkan pengetahuannya, bahwa apa yang dimintanya itu adalah sesuatu yang mungkin, demikian pula dengan tabiat gelap yang menjadi ikon dirinya tetap melabeli dirinya, hingga mereka yang terperosok ke dalamnya dibangkitkan oleh al Haq pada hari kiamat, kecuali mereka yang mampu mensucikan dirinya dari tabiat gelap tersebut akan selalu dalam sinaran cahaya ketuhanan-Nya. Permintaan Iblis tersebut dijawab oleh al Haq :

Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh. Sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya. (Q.s Shaad 38 : 80 - 81),

yakni penangguhan terhadap eksistensi wujudnya dihadapan (hadirat) Ilahi, di-Raja Yang wajib disembah. Iblis menimpali firman-Nya,

Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semua. (Q.s. Shaad 38 : 82),

Iblis berani memakzulkan perkataan tersebut, karena ia sangat memahami bahwa segala sesuatu tunduk dibawah hukum tabiat dan tindak kesesatan tidak akan membawa orang seorang kepada sinaran cahaya ketuhanan.

Kecuali hamba-hamba Mu yang Ikhlas diantara mereka. (Q.s. Shaad 38 : 83),

yaitu manusia yang mensucikan dirinya dari tabiat gelap, dan mampu membuang sauh-sauh sekat penghalang antara dirinya dengan cahaya ketuhanan, yang dengan itu ia bisa menghadirkan paradok ketuhanan dalam dirinya, serta menghandirkan sifat-sifat ketuhanan dalam wujud manusia. Pelaku keikhlasan itu sendiri ada dua macam :

1. Manusia melakukan sesuatu, semata-mata demi memperoleh ridha al Haq, pelakunya (subjek) disebut Muhlis (orang yang ihlas). Ihlas dalam bentuk ini lebih merupakan produk daripada subjek ritus peribadatan, dan merupakan buah daripada Riyadlah, Mujahadah, memerangi hawa nafsu.

2. Manusia yang beroleh kasih pertolongan-Nya dan diberkahi kedekatan dan keridhaan dari-Nya, pelakunya (objek) disebut Muhlas (insan yang diihlaskan), kesemua itu berdasarkan ketentuan dan keinginan Ilahiyah.

Ketika Iblis berkata seperti itu al Haq menjawab :

Maka yang benar adalah sumpah Ku, dan hanya kebenaran itulah yang Ku katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam, dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu diantara mereka semuanya. (Q.s. Shaad 38 : 84 - 85).

al Haq menjawab sesuai permintaan Iblis itu lebih berdasarkan hikmah ketuhanan, karena tabiat gelap yang menjadi ikon diri Iblis, merupakan wujud 'ujian' al Haq bagi para hamba-Nya, Iblis dibiarkan mengganggu dan memperdaya mereka, adakah mereka tetap eksis dengan fitrah penciptaan, ataukah terperdaya dengan tipu daya Iblis. Fitrah penciptaan manusia berdimensikan cahaya ketuhanan, sedang Iblis adalah inti (dzat) api, ia juga inti kesesatan, ia pendorong (motivator) utama manusia menuju neraka, bahkan ia merupakan inti (dzat) neraka dunia akhirat, karena sejatinya tabiat gelap (kesesatan) adalah api (neraka) yang ditaruh al Haq dihati para pelaku kemungkaran, tidak ada seorangpun yang terperosok ke tabiat gelap, selain para pengikut Iblis dan berperilaku dengan watak-watak Iblis. Orang yang terjerembab dalam tabiat gelap itulah sejatinya manusia yang terjerembab ke dalam neraka. Telisiklah dengan jeli paradok ketuhanan ini, bagaimana al Haq memataforkan pewartaan-Nya dengan isyarat yang sangat samar, hanya manusia-manusia yang menajamkan mata hati dan pikimyalah yang mampu menangkap pesan tersirat ketuhanan dan mengikuti nasehat terbaik, sedang nasehat yang terbaik adalah pesan Qur'ani dan hadits shahih rasul-Nya. Pahamilah jika anda memang mengharapkan pemahaman hakiki, sebab dalam kehidupan ini, banyak orang yang mengerti sesuatu, tapi tidak bisa memahami sesuatu tersebut secara hakiki, banyak orang hanya memahami artian simbolistik, sedang makna hakikinya sama sekali tidak menyentuh kalbu dan pikir mereka. Pasal. Setelah kita bahas urgensi Iblis, kini mari kita bahas penampakan Iblis dengan segenap paradoknya, berikut berbagai modus tipu daya Iblis dalam kehidupan insani, karena Iblis mengepakkan sayapnya ke segala penjuru untuk memperdaya manusia, dengan segala makar dan tipu dayanya, semua ini terekam dengan jelas dalam pesan Qur'ani, Iblis berkata kepada al Haq ;

Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak serta beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (Q.s. al Israa' 17 : 64).

Ketahuilah Iblis itu memiliki 99 wujud penampakkan, sama dengan jumlah nama-nama al Haq yang Khusnaah, ia memiliki aneka macam citra (rupa) dan modus penampakkan yang tiada terhingga jumlahnya, yang tidak mungkin kita paparkan secara rinci dalam karya ini. Kami akan coba paparkan tujuh penampakkan utama Iblis yang merupakan inti penampakkan dari segenap penampakannya, seperti halnya tujuh nama inti dalam Asmaa'ul Khusnah al Haq. Sungguh realita ini merupakan sesuatu yang mentakjubkan bagi mereka yang mengoptimalkan mata hati dan pikirnya, realita ini pula yang merupakan rahasia penciptaan nafs (jiwa) dalam diri manusia dari inti (dzat) ketuhanan. Pahami betul masalah ini, jangan sampai lengah dengan metafor-metafor yang ada! Adapun tujuh penampakkan Iblis dalam kehidupan ini adalah :

Penampakkan Pertama : Dunia, dan segala sesuatu yang dibangun diatasnya, semisal gugusan bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya, ketahuilah dalam modus penampakkannya Iblis membentuk konfigurasi dengan sesuatu yang dijadikan penampakkanya dengan bentuk (rupa) yang utuh, sehingga tidak ada ruang sedikitpun bagi sesuatu tersebut kembali ke fitrah penciptaannya, ketika Iblis memasuki sebuah komunitas, ia akan menutup semua pintu-pintu ketuhanan, sehingga komunitas tersebut tidak bisa kembali ke cahaya ketuhanan, watak dan perilakunya sangat dominan pada sesuatu yang dijadikan pangkal penampakkannya, semisal penampakkannya pada diri para kafir dan kaum musyrik, ia begitu utuh dalam menampakkan dirinya, sehingga mereka benar-benar terseret kepada jati dirinya. Lihatlah apa yang dilakukan Iblis terhadap para kafir dan musyrik, kali pertama yang dilakukan adalah menyemangati mereka dengan perhiasan dunia, yang dengan itu mereka menjadi kemaruk dunia, dengan cinta dunia itu hati mereka menjadi buta, akal mereka menjadi tumpul, kemudian Iblis memperdaya mereka dengan rahasia-rahasia bintang dan benda-benda angkasa lainnya. Iblis berkata kepada mereka : Benda-benda angkasa itulah pencipta segala wujud, maka sembahlah benda-benda langit itu, karena telah menciptakan kalian! Para kafir dan musyrik itu akhirnya menyembah, karena mereka melihat kebenaran hukum bintang-bintang, yang sedemikian itu dimata mereka, matahari beredar tepat waktu, bulan menerangi mereka di malam hari, tatkalah mereka melihat hujan mengguyur bumi yang disertai kilat dan petir, mereka bertambah yakin bahwa bintang-bintang itu sejatinya adalah Tuhan, karena petir dan kilat dimata para penyembah bintang adalah merupakan tanda ketuhanan atau bahkan bukti ketuhanan bintang-bintang.

Ketika para musyrik dan para kafir itu telah tunduk dalam ritual sesembahan bintang-bintang, Iblis membiarkan mereka pada perilaku kebinatangan, tidak ada aktifitas yang mereka perbuat, selain mencari makan dan minum, mereka tidak mengimani adanya hari kebangkitan dan segala sesuatu yang ada paska kematian, mereka saling bunuh dan saling terkam untuk mendapatkan kenikmatan duniawi, mereka terjerembab dalam lautan kesesatan, langit hidup dan kehidupan mereka dipenuhi dengan tabiat gelap. Wajah kehidupan mereka jauh dari kisi-kisi keikhlasan, yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan duniawi sebanyak-banyaknya dengan segala cara. Setelah menaklukkan manusia dalam lanskap makro kosmos, Iblis juga menaklukkan manusia dalam lanskap mikro kosmos, ia berkata kepada diri masing-masing manusia : Tidakkah kalian ingat bahwa jisim (tubuh) kalian terbuat dari unsur-unsur Jauhar (entitas) dan entitas diri kalian tercipta dari unsur-unsur panas, dingin, kering dan lembab. Benda-benda langit yang menjadi wujud sembahan kalian itulah yang menciptakan semua itu, benda-benda itulah pencipta dan pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini, mereka lalu menyembah api, dan Iblis berkhotbah dihadapan para penyembah api tersebut : Tidakkah kalian mengetahui bahwasanya wujud itu terbagi atas dua bagian, gelap dan terang (cahaya). Gelap adalah Tuhan yang bernama Ahirman, sedang terang adalah Tuhan yang bernama Nordan, api adalah asal cahaya, maka sembahlah api. Mereka mematuhi perintah Iblis dan menjadikan api wujud sesembahan, demikianlah apa yang dilakukan kaum musyrik sejak dahulu kala.

Penampakkan Kedua : Tabiat, Syahwat, dan Kenikmatan. Iblis menampakkan kesemua itu pada diri kaum beriman kebanyakan (para awam), kali pertama yang dilakukan Iblis adalah memperdaya mereka dengan galiat kesenangan syahwat serta keinginan untuk merengkuhi nikmat kebinatangan, yang dengan itu pelan tapi pasti pelakunya terjerembab ke dasar tabiat gelap dan kesesatan nyata, dalam kepongahan seperti itulah Iblis mendoktrin mereka bahwa dunia adalah Ghayah al Hayah (the ultimated goal) dan semua kenikmatan tidak bisa diraih kecuali di dunia ini, ia juga memperdaya mereka untuk selalu mencari dan mengumpulkan dunia ini sebanyak-banyaknya dan menikmatinya sepuas-puasnya, setelah manusia-manusia gila dan kemaruk dunia, Iblis meninggalkan mereka, karena Iblis tidak khawatir mereka lari dari dunia. Ketika para pemuja dunia itu telah masuk ke perangkap Iblis, mereka sangat patuh dengan perintah-perintahnya, jika Iblis menyuruh kufur maka dengan serta mereka menjadi kafir, saat itulah Iblis menebarkan rasa was-was dan keragu-raguan dalam diri mereka akan dimensi kegaiban, yang pada akhirnya mereka sama sekali tidak percaya dengan hal-hal yang berdimensi gaib. Dengan keyakinan seperti itu mereka menjadi atheis (tidak mempercayai adanya al Haq), ketika manusia menjadi Mulhidz (atheis) itulah Iblis benar-benar utuh penampakkanya pada diri manusia!

Penampakkan Ketiga : Tampak pada amal (perbuatan) para shaleh, Iblis menyemangati mereka dan menanamkan benih-benih Takabur (sombong diri) atas laku perbuatan yang telah mereka perbuat, jadilah para shaleh itu besar diri, sombong dan angkuh dengan laku kebaikan yang mereka perbuat, mereka merasa paling benar, paling suci, lebih Islam dibandingkan nabi sendiri, mereka tidak mau menerima nasehat dan saran konstruktif orang lain. Dalam kepongahan seperti itu, Iblis memperdaya para shaleh tersebut hingga mereka berani berkata kepada anak zamannya : Jika kalian mau melakukan apa yang aku perintahkan niscaya akan menjadi seperti diriku bisa meraih kealiman tingkat tinggi, para shaleh itu juga mulai bermalas-malasan melakukan ritus ibadah, mereka lebih banyak santai dan lebih memfokuskan diri mereka untuk mengkais popularitas dimata manusia dengan selubung baju kealiman keagamaan. Mereka juga meremehkan bahkan mudah menista orang lain, hanya karena merasa lebih shaleh dan alim dimata anak zamannya, ketika sikap sektarian mereka direspon negatif anak zamannya mereka mulai melakukan tindakan provokasi, bahkan tidak segan-segan menghibah (menggunjing) orang-orang yang dicurigai sebagai pembusuk karakter dan mutu diri mereka, para shaleh itu bahkan melakukan tindakan sistimatis untuk menjerumuskan anak zamannya ke lembah dosa, ketika itu mereka yang merasa diri mereka paling alim dengan lantang berkata anak zamannya : Lakukanlah sekehendak hati kalian, sesungguh Tuhan kami Maha Pemurah lagi Maha Penyayang! Tuhan tidak menyiksa siapapun dari hamba-Nya! al Haq sangat sungkan melihat orang yang mulia dan orang yang mulia tidak akan meminta haknya, serta bualan-bualan lainnya, sehingga pelan tapi pasti, kebaikan yang semula mereka tegakkan berganti menjadi kerusakan dan kemungkaran serta kefasikan, saat itulah bencana akan menimpa diri mereka. Pahami betul realitas tersebut, agar benang merah kebenaran bisa anda pilah dengan benar!

Penampakkan Keempat : Niat dan mengagungkan perbuatan diri, untuk dipamerkan dihadapan para manusia, yang dengan itu niat bersih mereka jadi ternoda dan rusaklah amal kebaikan mereka, jika pelaku kebaikan itu meniatkan perbuatannya untuk meraih keridhaan al Haq, Iblis akan membisiki pelakunya : Tingkatkan terus amalmu, lakukan sebaik mungkin, maka semua manusia akan melihat laku perbuatanmu dan mereka akan memberi apresiasi yang tinggi atas kebaikan-kebaikan yang kau tunaikan, dengan begini si pelaku merasa tersanjung, ia pun melakukan amalnya berdasarkan riya' (pamer diri) dan selalu membangga-banggakan laku kebaikan yang diperbuatnya, ia malas berbuat kebaikan jika tidak ada yang melihat atau memujinya, sebaliknya ia sangat bersemangat melakukan kebaikan ketika disanjung dan dilihat banyak orang, Iblis melakukan segala cara untuk memperdaya manusia, siapapun orangnya, semisal ia akan membisiki para pembaca Qur'ai : Tidakkah engkau berhasrat menunaikan ibadah haji ke Bnt al Haram (Makkah al Mukarramah), kau bisa memanfaatkan bacaanmu yang baik dalam perjalananmu untuk mencari bekal berhaji, yang dengan itu kau bisa mengumpulkan pahala haji dan membaca al Qur'an, ketika si Qori' itu terperdaya dan pergi ke Baitullah, Iblis menebar keragu-raguan, sembari membisiki si Qori' : Jadilah kau seperti manusia-manusia yang lain dalam beribadah haj!, ketika rasa was-was itu menyelimuti dm si Qon iapun menjadi malas membaca al Qur an  ia bahkan meninggalkan bacaan al Qur'an, lebih dan itu ia tmgga kan semua perintah wajib agama, ia gagal haji dan menmggalkan syariat agamanya, ia fokuskan dirinya bekerja dan bekerja untuk mencari harta, ia bahkan pelit dengan harta yang telah diraihnya, berperilaku buruk, dan berhati kerdil, serta sikap-sikap hina dan rendah lainnya, Iblis telah berhasi merubah motivasi si pembaca Qon' dari berhidmat kepada a1 Haq berganti memuja dunia, ia berhasil memalingkan si Qon dan jalan al Haq ke jalan dunia yang semu dan menipu, sungguh bujuk rayu dan tipu daya Iblis sangat halus!

Penampakkan Kelima :  Ilmu yang tampak pada diri para alim (ulama). Jalan paling mudah bagi Iblis memperdaya manusia adalah melalui jalan ilmu. Iblis pernah berkata Demi Tuhan seribu ulama lebih muda aku taklukkan daripada satu orang buta huruf yang kuat iman, karena ia sangat sulit ditaklukkan! Berbeda dengan orang alim, ia dengan mudah ditaklukkan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya yang dengan itu Iblis sangat leluasa mempola kehidupan orang alim tersebut Semisal Iblis datang kepada si alim dengan sentuhanitoyang berlumur syahwat, Iblis membisiki si alim Nikahilah perempuan itu dengan madhab Daud, padahal si alim itu bermadzhab Hanafi atau dengan Madhab Hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali padahal si alim itu bermadzhab Syafi'e, ketika telah menikah dan sang istri meminta mahar atau nafkah lahir, maka si alim dengan mudah memaparkan argumen-argumennya, untuk membebaskan dirinya dan kewajiban mengeluarkan mahar dan kewajiban menafkahi sang istri, ketika sang istri menuntut haknya si alim dengan mudah melontarkan talak, demikianlah si alim itu dengan mudah bergonta-ganti perempuan, menikah seenaknya karena bisa mempermainkan dalil dan argumen keagamaan yang difahammya. Dan banyak lagi kasus-kasus lam yang memakai flmu kegamaan sebagai selubung untuk mengkais kepentingan pragmatisme dunia dan kepentingan sesaat, banyak sekali para u ama yang terjerat dengan tipu daya Iblis, yang tidak dirasakan paTulama, hanya sedikit sekali dan para alim tersebut yang selamat.

Penampakkan Keenam : Iblis menampakkan dirinya pada adat istiadat, tradisi leluhur, serta rasa santai pada diri orang yang meniti jalan al Haq, ia juga memperdaya para shiddiq dan menjerumuskan mereka ke dalam tabiat gelap, yang terwajahkan dalam tradisi dan tindak kemalasan, hingga cita-cita mereka meniti jalan al Haq redup dan obsesi mereka kepada al Haq pupus, ia sangat malas dalam meniti jalan al Haq, ia sangat rapuh menghadapi ujian, ia enggan melaksanakan ritual ibadah. Jika tradisi itu telah memasung kehidupan para murid (insan yang mencari keridhaan al Haq) dan menjadikan si murid tidak takut akan larangan al Haq, serta merasa nyaman berleha-leha dalam meniti jalan al Haq, saat itulah Iblis menampakkan wujudnya secara utuh dan si murid benar-benar terpalingkan dan al Haq, terlebih ia terjerembab dalam kesesatan yang nyata.

Penampakkan Ketujuh : Makrifah ketuhanan mewartakan kepada kita, bahwasanya Iblis juga menampakkan dirinya pada diri para shiddiq, para wali, para arif biUah, kecuali mereka yang dijaga dan diselamatkan al Haq, adapun kepada para Malaikat Muqorrobiin Iblis sama sekali tidak bisa mendekati mereka Awal penampakkan Iblis kepada ahl Khusus (manusia-manusia khusus) itu adalah dengan wajah hakekat ketuhanan, ia berkata kepada mereka : Bukankah al Haq, hakekat segala wujud,? Sedangkan kalian adalah bagian dari wujud-Nya, maka al Haq adalah wujud sejati kalian! Ahl Khusus itu berkata : kau benar! Iblis juga berkata kepada mereka : Kenapa kalian mentradisikan laku orang-orang yang Muqollid (menjadi pengikut) syeikh tertentu, bukankah kalian mampu melakukannya sendiri, kalian bebas menentukan langkah perbuatan diri kalian sendiri, mereka lantas meninggalkan amal shaleh, ketika mereka tidak lagi melakukan laku kebaikan Iblis berkata : Lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki.! karena al Haq adalah hakekat diri kalian' Kalian adalah Dia, dan Dia adalah kalian. Dia tidak dipertanyakan tanggung jawab-Nya atas apa saja yang Dia kerjakan. Maka mereka melakukan tindakan apa saja, semisal mencuri, berzina, minum arak (miras), sehingga nilai-nilai keimanan dan keislaman benar-benar terkikis dari diri mereka, pnbadi mereka benar-benar terbungkus Atheisme dan Zindiq,' bahkan diantara mereka ada yang terang-terangan menyebut dirinya Atheis. Diantara mereka ada yang mengklaim 'manungguhng kawula' (menyatu dengan dzat al Haq), ketika anak zamannya mengingatkan bahwa dirinya telah terjerembab ke dalam atheisme, mereka dengan lugas mengingkari tuduhan itu, bahkan mereka mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah Haq (kebenaran absolut), dengan lantang ia berkata : aku adalah al Haq dan al Haq adalah aku.! Mereka bahkan berkata kepada orang-orang awam (muslim kebanyakan), Aku adalah al Haq, tidak berlaku pada diriku segala larangan semua halal bagi diriku, aku bebas melakukan segala sesuatu sesuai yang aku kehendaki, jika aku melakukan tindak kemaksiatan aku tidak berdosa, semua tindak keingkaran dan kemaksiatan itu menjadi halal bagi diriku. Pada fase inilah Iblis benar-benar menampakkan wujudnya secara utuh, karena ahl Khusus itu telah berperilaku dengan laku Iblis secara utuh, kecuali orang-orang yang dikhususkan al Haq, sebagai media penampakkan rahasia antara al Haq dengan hamba-Nya. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya wujud al Haq, memiliki tanda-tanda khusus yang terlihat pada wujud yang ditajallikan, pokok keriskanannya terdapat pada mereka yang tidak mampu memakrifahi tajalli tersebut, pun belum menggapai maqom Wushul (ketersambungan) dengan al Haq, metafor-metafor tajalli itu hanya bisa ditangkap mereka yang telah wushul. Tidak ada rahasia lagi diantara para insan-insan yang telah wushul, terlebih rahasia ketuhanan itu tidak ada yang samar (absurd) dimata insan-insan yang telah wushul. Pahami betul masalah ini, agar anda bisa memilah benang merah kebenaran serta agar anda tidak terperosok ke dalam kesalahan tafsir dalam memaknai perilaku ahl Khusus tersebut. Cobalah ingat kembali kisah tentang syeikh Abd Oodir al Jailam, ketika ia berada di tengah padang pasir seorang diri, tiba-tiba ada suara yang berkata kepada beliau : Wahai Abd Qodir, sesungguhnya Aku adalah al Haq, Ku halalkan atasmu segala larangan, maka berbuatlah sesuka hatimu! Syeikh Abd Qodir menjawab : kau bohong besar, sejatinya kau adalah setan.! Ketika ditanyakan kepada beliau, apa gerangan yang menyebabkan anda tahu bahwa yang berkata itu adalah setan.? Syeikh Abd Qodir menjawab seraya menyitir ayat Qur'ani :

 Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan keji. (Q.s. al Araaf 7:28),

ketika si laknat itu menyuruh kepada tindak kekejian, aku bisa memakrifahi bahwa sejatinya ia adalah setan yang hendak memperdaya diriku. Hanya manusia yang telah mencapai kedekatan paripurna dengan al Haq sajalah yang bisa menyingkap tipu daya Iblis yang super halus tersebut. Kita sudahi sampai disini saja, pembahasan masalah penampakkan Iblis dengan segala wacananya, karena akan memerlukan berlembar-lembar dan berjilid-jilid untuk memaparkannya.

Ketahuilah, bahwa Iblis menampakkan dirinya pada diri para arif dalam bentuk tajalli nama-nama-Nya, kadang dengan bentuk sifat-sifat-Nya bahkan kadang berwujud dzat-Nya bentuk-bentuk lainnya, semisal, Arsy, Kursiy, Lauh, Qolam, Ruang Hampa, dan etos ketuhananNya, penampakkan yang super halus itu hanya bisa difahami para kekasih-Nya, tidak semua orang yang diklaim wali itu terpelihara dari kesesatan, para hamba yang terkasih dan dikasihi­Nya yang hakiki, akan selalu dikaruniai al Haq petunjuk dan hidayah­Nya hingga ajal menjemput mereka. Dia mengkaruniakan kepada mereka rahmat kedekatan dihadirat-Nya berikut memberi mereka makrifah hakekat ketuhanan hingga kembali keharibaan-Nya, dengan begitu tidak ada cela sedikitpun bagi Iblis untuk memperdaya mereka hingga hari kebangkitan. Para arif itu jika telah fana' (ekstase) bersama al Haq, maka leburlah seluruh sifat-sifat kemanusiaan diri mereka, tampaklah sifat-sifat ketuhanan dalam diri mereka. Dan sifat-sifat-Nya itu akan tetap tegak dalam diri arif itu hingga hari kebangkitan, sebaliknya manusia yang nihil dari sifat-sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan mendominasi dirinya, sejatinya ia adalah manusia yang mengalami kiamat kecil, dan hidupnya penuh dengan siksa-siksa duniawi, meski secara kasat mata hidupnya bergelimang harta. Pahami betul metafor ini, agar anda tidak terjebak dengan tampilan simbolistik.

Ketahuilah, bahwasanya setan itu adalah anak turun Iblis -semoga al Haq selalu mengutuknya- yang sedemikian itu ketika bias-bias Iblis telah mendominasi nafsu dan tabiat seseorang serta melahirkan geliat syahwat pada orang tersebut, disitulah setan tertampakkan dalam arti yang sesungguhnya, ketika Iblis mampu membalik al Fuad (hati yang eksis) menjadi Qolbu (hati yang tidak eksis), maka lahirlah setan-setan itu dari diri Iblis, seperti lahirnya keburukan dari bara api pun laksana tumbuhnya tetumbuhan diatas muka bumi ini. Para pengikut setan itulah sejatinya anak turun iblis, yang selalu bersemanyam di hati tiap insan, para setan itu selalu menebar kejahatan dan bisikan jahat yang tersembunyi di dada manusia, para setan itu berkalobrasi dengan manusia dalam segala hal diberbagai dimensi kehidupan yang ada, seperti yang diwartakan pesan Qur'ani :

Mereka berserikat dengan para manusia pada harta dan anak-anak. (Q.s. al Israa' 17 : 64).

Diantara mereka ada yang mengkokohkan watak-watak kebinatangan manusia, dan meredupkan cahaya-cahaya ketuhanan pada diri manusia, para setan itu bahkan mampu menampakkan diri mereka dengan wujud hakiki manusia, hal itu seperti yang ditegaskan firman Qur'ani :

Setan-setan dari jenis manusia, dan dari jenis jin. (Q.s. al An'aam 6 : 112),

hanya manusia-manusia yang makrifah dan tajam mata hati dan pikirnyalah yang bisa mengetahui kesejatian setan-setan jenis manusia tersebut. Setan jenis inilah sejatinya sumber fitnah dalam kehidupan dunia ini, yang sepak terjangnya difirmankan pesan Qur’ani :

Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki.

Ketahuilah, bahwa 'alat' (senjata) yang dipakai Iblis untuk memperdaya manusia adalah al Ghaflah (kelalaian), ia laksana pedang untuk memotong segala sesuatu, kemudian syahwat, laksana busur yang mematikan sasaran bidikan, lalu kekuasaan, ibarat perisai yang menjaga terkikisnya nafsu, kemudian kebodohan dengan nisbat penumpang yang diantar kebodohan ke segala dimensi kehidupan, terus syair-syair utopis dan hipokrit, kehura-huraan dan keglamouran serta jerat-jerat setan lainnya, semisal : perang dan wanita dengan segala jeratnya, dari semua jerat-jerat setan itu wanitalah ujung tombaknya. Esensinya para setan itu memiliki banyak senjata dan banyak musim diantara musim yang dimiliki setan itu adalah waktu malam dan waktu perkelaian, dan banyak lagi yang lainnya. Kodrat itu sangat jelas dan sangat valid kebenarannya, jika anda seorang yang cerdik cendekia, tafakkurilah masalah ini dengan seksama.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal, atau menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksiannya. (Q.s. Qaaf 50 : 17).

Pasal. Ketahuilah bahwa nafsu itu dalam pemaknaan terminologisnya memiliki lima arti :

1. Nafsu Kebinatangan.

2. Nafsu Amarah.

3. Nafsu Mulhamah.

4. Nafsu Lawwamah.

5. Nafsu Mutma'innah.

Kesemuanya adalah nama ruh, sebab hakekat nafsu adalah ruh sedang kesejatian ruh itu adalah al Haq. Pahami dengan jeli bahwasanya nafsu kebinatangan, pada prinsipnya adalah terkait dengan badan saja! Sedangkan para filosof menandaskan bahwasanya nafsu kebinatangan itu sejatinya adalah darah yang mengalir dalam tubuh manusia, kita tidak sependapat dengan pendapat seperti itu. Adapun nafsu amarah sejatinya adalah ; segala kehendak yang lahir dari tabiat syahwat yang cenderung kepada penlaku kebinatangan dengan menafikan rambu-rambu pelarangan dan perintah ketuhanan. Sedangkan nafsu Mulhamah sejatinya adalah ilham-ilham ketuhanan yang ditafsiri dengan keragu-raguan dan sak wasangka, segala ilham yang disikapi dengan keragu-raguan adalah nafsu, wujud hakikinya terlihat dengan jelas pada perilaku buruk manusia dalam kehidupan alam Syahadah (alam realitas) tafakkunlah bahwa keragu-raguan akan mendorong seseorang kepada penlaku negatif yang menjadi embrio keburukan dalam alam realitas. Sedang nafsu Amarah, sejatinya adalah : buah dari perilaku amarah nafsu, karenanya ilham yang lahir dari diri disebut Amarah sedang ilham yang lahir dari ketuhanan disebut Mulhamah. Kemudian nafsu Lawwamah sejatinya adalah ; konsekwensi logis yang lahir dari nafsu Amarah dan Mulhamah yang menyebabkan pelakunya tercampakkan dari nilai-nilai ketuhanan bahkan Tuhan itu sendiri. Adapun nafsu Mutma'innah sejatinya adalah nafsu yang tetap eksis dalam naungan nilai-nilai ketuhanan, jika ia konsist dalam jasad manusia, maka jasad tersebut, akan eksis dalam kertersambungan bersama al Haq, dan bisa menyingkap dimensi gaib-Nya. Ketahuilah nafsu .itu asal pencitpaanya dari ruh, jika ruh itu terputus dari bersitan-bersitan suci dan terpuji yang lahir dari ke-rahim-an al Haq, maka si empunya jasad akan berperilaku dengan sifat-sifat ketuhanan, sebaliknya jika ruh itu didominasi sifat-sifat setan, ruh itu marak dengan bisikan-bisikan jahat dan tercela sehingga si empunya jasad tercampakkan dari sifat-sifat ketuhanan dan tiada akan pernah bisa merengkuhi hakekat inti (dzat)-Nya Maka orang seorang disebut arif, karena ia bisa memakrifahi metafor dan paradok ketuhanan, sifat-sifat dan asma-asma Nya dan esensi dzat Diri Nya dengan pemahaman yang benar dan hakiki.'

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jily

Jiwa suci adalah rahasia ketuhanan dalam zat.

Jiwa merupakan Zat hakiki DiriNya di alam realitas

Ia tercipta dari cahaya dan sifat ketuhananNya

Jiwa adalah sentuhan Nyata esensi ketuhanan DiriNya

Tertampakkan dengan segala keAgunganNya

Membiaskan kebesaran bagi mereka yang disinariNya.

Jiwa yang dihasi ahlak ketuhanan DiriNya

Akan terkawal oleh nilai-nilai suci ketuhanan DiriNya

Jiwa yang dilumuri kesyirikan dan hipokritas

Akan menuai kemurkahan dan siksa keras dariNya

Semua cahaya suciNya diturunkan ke jiwa suci

Jadikan jiwa sucimu 'landasan' nilai-nilai ketuhananNya

Kubur keliaran logikamu ke dalam jiwa sucimu

Kau akan disibakkan rahasia agung ketuhanan DiriNya.

Pecinta sejati, selalu setia kepada kekasihnya

Mengabulkan semua permintaan sang kekasih.

Qalbunya, selalu merindu sang pujaan hati

Muara kebahagiaannya jika bertemu sang kekasih

Cintanya menggelorakan semangat dirinya

Berbuat yang terbaik demi kerelaan sang kekasih

Seperti itukah jiwamu mencintai DiriNya?

Setelus itukah kepatuhan dan kerelaanmu padaNya?

Wahai insan-insan yang terperdaya dunia

Dimanakah nurani dan jiwa sucimu dihadapanNya?

Dia mencintaimu sebelum kau wujud.

CintanNya tidak lekang oleh zaman dan keadaan.

Lantas bagaimana dengan cintamu?

Waktu dan keadaanmu sering melalaikan dirimu

Bukankah Dia telah mengutus rasulNya

Menjelaskan nilai-nilai ketuhananNya padamu?

Bukankah, Dia selalu mengawasi dirimu

Kapanpun dan dimanapun dirimu bertingkah?

Jiwa sucimu adalah kendaraan utama menujuNya

Meraih kebahagiaan hakiki yang dijanjikan olehNya

Jiwa sucimu adalah ruh kehidupan di kampungNya.

Kampung ahirat yang penuh dengan nikmat dan siksa

Jiwa sucimu adalah investasi akhiratmu yang mahal

Membuahkan kenikmatan surgawi yang kekal abadi

Jiwa kotormu adalah investasi buruk dirimu

Melahirkan siksa pedih neraka yang kekal nan abadi

Dengan jiwa sucimu bisa kau raih ragam nikmatNya

Kampung penuh nikmat surgawi, bertabur bidadari

Kampung berhiaskan kemuliaan dan keluhuran

Kampung para nabi dan rasul serta para kekasihNya.

Jiwa suci membuahkan rumah kebahagiaan abadi

Rumah Pemilik segala sifat keagungan dan keluhuran

Rumah yang selalu dijaga para malaikat setiaNya

Rumah yang bersendikan kasih kerahmanan dan rahimNya

Jiwa sucimu memfana'kan dirimu bersama DiriNya

Membawamu kepada hirarkhi keluhuran tertinggi disisiNya

Muhammad saw adalah teladan utama lakumu.

Qudwah dan Uswahnya, akan meluhurkan dirimu

Ia paling mengerti Allah diantara semua insan

Paling luhur dan paling agung - aihan sepiritualnya

Segenap malaikatNya berada dibawah panjinya

Mengapresiasi dirinya dengan penghormatan tertinggi

Ialah diraja segala singah penegak kebenaranNya

Tegas kepada para musuh Allah dengan pedang kesantunan

Samudera pengetahuan yang tak pernah kering

Wibwahnya menggentarkan segenap raja penguasa bumi

Qutub hakekat yang beredar di poros syariat

Bintang yang menyinari pegiat ibadah dan ahli taqwa

Karib setia para yatim, para fakir dan miskin

Pembebas perbudakan, penegak keadilan, pewujud perdamaian

Duta Tuhan kepada para penguasa dzalim

Pengobar semangat keta'atan dan kepatuhan kepadaNya

Penerus ajaran kasih Ibrahim leluhurnya

Pengetas insan-insan yang tersesat dari titian jalanNya

Wahai, cucu Ibrahim yang agung nan mulia

Wahai, pengulu rasul dan nabi yang paling dicintaiNya

Kau adalah hamba paling mulia dihadapanNya

Taburkan syafa'atmu kepada kami yang mendambakannya

Kami mendengar dan mematuhi semua sabdamu

Kami jernihkan jiwa dan Qalbu kami,  mengikuti jejakmu

Hanya para hipokrit yang menafikan jasa agungmu

Mereka yang memutus "buhul' shalawatmu akan merugi.

Kami ikuti jejakmu di Makkah dan tanah sucimu

Kami hijrahkan hati kami dari sauh-sauh pelik insaniyah

Betapa agung cinta kami kepadamu wahai rasul.

Cinta suci yang menembus dimensi ruang dan waktu.

Tidak ada ruang sedikitpun di syakilah hati kami

Kecintaan kepada selain dirimu, wahai junjungan

Kepadamu kami haturkan shalawat dan salaam

Sebanyak bintang di langit, sepanjang hayat kami.


Sudah Edit 60. Insan Kamil (Manusia Sempurna) Adalah Muhammad SAW Citra al haq dan Makhluk

 

Ketahuilah, bahwasanya bab ini merupakan inti kajian dalam karya ini, bahkan semua kitab dari zaman permulaan hingga kelak akhir zaman, akan menjelaskan inti kajian . bab ini, maka cermati betul kandungan maknahnya, agar anda bisa memahami kesejatian Insan Kamil (Manusia Sempurna). Ketahuilah bahwa manusia sempurna itu satu sama lain adalah duplikat yang lainnya, kesempurnaannya tidak terkurangi sedikitpun, melainkan dalam hal 'Arad (aksiden), semisal kaki dan tangannya terputus karena satu dan lain hal, atau terlahir dalam keadaan buta atau lumpuh karena penyakit yang diderita sejak dalam rahim ibunya (cacat bawaan). Jika tidak ada kendala aksiden tersebut, maka satu sama lain adalah cermin dan duplikat bagi insan kamil lainnya, laksana dua cermin yang berhadap-hadapan yang satu sama lain bisa melihat duplikat dirinya. Namun demikian diantara manusia sempurna itu ada yang lebih menonjol dalam hal kediqdayaannya, ada pula yang menonjol karena perbuatannya, mereka semua adalah manusia-manusia terkasih dan duta-duta Tuhan (para nabi dan para wali), demikian pula strata kesempurnaan mereka satu sama lain berbeda, ada yang sempurna ada yang lebih sempurnah serta ada yang pari sempurna.

Diantara manusia Sempurna itu yang paling Sempurna adalah Muhammad saw, beliau adalah satu-satunya manusia terSempurna di semesta alam ini, semua itu tercerminkan dalam ahlak (moralitas) beliau, perkataan dan perbuatan beliau, serta ihwal (keadaan) pun konsesus beliau, pahami dengan betul bahwa Muhammad saw adalah hakekat fnsan Kamil, adapun para kekasih Allah (dari para nabi dan insan terkasih-Nya) sejatinya adalah pewaris kesempurnaan beliau. Dalam kitab ini, kami hanya memfokuskan kajian kepada inti Insan Kamil, yaitu Muhammad saw, tidak ada yang patut melabeli dirinya dengan gelar Insan Kamil, karena gelar itu hanya patut disandang baginda rasulullah Muhammad saw. Tidak ada satupun makhluk di dunia yang mengunggulli Muhammad saw dalam kesempurnaan dan keutamaan, yang sedemikian itu merupakan konsesus (Ijma') para ulama.

Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil itu sejatinya qutub yang berotasi disekelilingnya segenap rasi bintang-bintang wujud dari permulaan wujud hingga ahirannya. Ia adalah Tunggal (Satu) sejak wujud (ada) hingga kekekalan abadi, ia memiliki aneka ragam baju, kemudian menampakkan diri dengan baju-baju tersebut, lalu dinamakan sesuai dengan nama baju yang melabeli wujud penampakkanya, dan ia tidak dinamai dengan baju lain selain baju kesempurnaan dan keutamaan. Namanya yang hakiki adalah Muhammad, gelaranya Abu al Qoshim, pensifatannya Abdullah. Julukannya Samsuddin, setiap zaman ia memiliki nama sesuai dengan baju yang dikenakan yang sesuai dengan zamannya. Saya pernah berjumpa dengan beliau, dalam citra syeikh dan guruku, Syarifuddin Ismail al Jabarutiy, pada awalnya saya tidak tahu bahwa beliau adalah rasulullah saw, yang saya tahu beliau adalah syeikh dan guruku, kejadian tersebut terjadi pada tahun 796 H, tepatnya di distrik Zabidah, hikmah yang bisa saya ambil dari peristiwa tersebut adalah, bahwa rasul Muhammad saw, sangat mungkin mencitrakan diri dalam multi pencitraan, para sastrawan jika menemukan nilai-nilai hakiki dalam kehidupannya, akan menyebut apa yang ditemui tersebut sebagi citra Muhammad, jika ia temukan dalam bentuk gambar, maka gambar itu ia labeli dengan Muhammad, ia tidak akan menamai sesuatu yang hakiki selain nama Citra Muhammad.

Sejarah merekam peristiwa pencitraan rasul saw dalam bentuk (citra) asy Syibli, suatu hari asy Syibli berkata kepada muridnya : Aku bersaksi bahwa sesungguhnya diriku adalah rasulullah, si murid yang merupakan seorang ahli Kasyf (intuisi) dan telah merengkuhi maqom makrifah, lantas berkata : Aku bersaksi bahwasanya engkau adalah rasulullah, realita tersebut bukanlah sesuatu yang diingkari dalam komunitas ahli Mukasyafah (pengetahuan intuitif), sebab realita tersebut sama seperti yang terjadi dalam diri orang awam (orang kebanyakan) yang melihat citra (bentuk) atau wajah seseorang dalam tidurnya. Sedangkan mimpi melihat rasul saw merupakan tingkatan paling rendah dalam Mukasyafah, meskipun demikian antara mimpi dan Mukasyafah terdapat titik pilah yang sangat jelas. Yang sedemikian itu citra Muhammad saw yang terlihat dalam mimpi, tidak akan pernah tercitrakan dalam Yaqdzah (terjaga), dan hakekat citra Muhammad saw dalam mimpi tidak sama dengan citra Muhammad saw yang terlihat secara Yaqdzah, yakni bukan dalam keadaan mimpi!

Kenapa demikian, karena alam mimpi mengandung multi tafsir dan ragam interpretasi serta banyak ibarat, sehingga interpretasi citra Muhammad pun melahirkan multi tafsir yang kesejatiannya bisa dilihat secara hakiki dalam keadaan Yaqdzah (terjaga). Berbeda dengan Mukasyafah, jika anda mampu menyibak hakekat citra Muhammad yang terjallikan dalam citra Bani Adam, maka hakekat pencitraan .tersebut akan tampak jelas di mata anda, ketika (penampakkan) itu anda harus beretika sebaik mungkin dihadapan orang yang tercitrakan tersebut, sama halnya ketika anda berhadapan dengan baginda rasul saw, karena saat itu anda sejatinya berhadapan dengan rasul meski dalam wujud citra beliau yang tertajallikan pada orang itu, jika citra Muhammad itu benar-benar di-mukasyafah-kan kepada diri anda, maka anda harus merubah sikap anda dihadapan orang yang tercitrakan tersebut, dan anda tidak boleh berestimasi atau berasumsi bahwa hal tersebut merupakan Tanasukh (reingkarnasi), buang jauh-jauh fikrah seperti itu dalam diri anda, saya berlindung kepada Allah dari klaim reingkarnasi, sebab pencitraan seperti itu sama sekali bukan reinkarnasi, dan saya sama sekali tidak percaya adanya reingkarnasi, saya hanya mempercayai pencitraan citra Muhammad pada seseorang yang memang pantas dicitrakan dengan beliau. Pahami dengan betul, bahwasanya dimungkinkan bagi rasulullah mencitrakan diri beliau dalam bentuk apapun, citra beliau selalu hadir setiap zaman dan di setiap tempat dengan wujud kesempurnaan citra, yang sedemikian itu untuk menunjukkan keotentikan dan ke-kamil-an beliau, serta mengangkat harkat ummat beliau berikut menegakkan agama yang diserukan beliau, citra Muhammad itu jamak tertajallikan dalam diri para khalifah (pengganti) beliau dari para kekasih Allah dan insan-insan yang dikasihi-Nya, mereka itulah sejatinya khalifah (pemimpin) ummat secara lahir, sedang batin mereka sejatinya adalah pengganti rasul saw.

Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil berhadapan dengan segala hakekat wujud dengan dirinya sendiri, ia menghadapi hakekat ketinggian dengan kelembutannya, menghadapi hakekat kerendahan dengan kehebatan (ke-keras-an)-nya. Awal penampakkannya dalam lanskap hakekat ciptaan (makhluk) ialah, ia menghadapi Arsy dengan hatinya, rasul saw bersabda : Hati orang beriman adalah Arsy Allah, menghadapi Kursyi dengan ke-aku-annya, menghadapi Sidratul Muntaha dengan maqom (capaian spiritualnya, menghadapi Qolam al A'lah (pena tertinggi) dengan akalnya, menghadapi Lauhul Mahfudz dengan jiwanya, menghadapi Anasir (unsur-unsur) dengan tabiatnya, menghadapi benda pertama dengan kesamaannya, menghadapi ruang kosong dengan infra strukturnya, menghadapi cakrawala bumi dengan pendapatnya, menghadapi gugusan bintang (cakrawala langit) dengan ingatan penglihatannya, menghadapi langit ketujuh dengan cita-citanya, menghadapi langit keenam dengan estimasinya, menghadapi langit kelima dengan dambaannya, menghadapi langit keempat dengan pemahamannya, menghadapi langit ketiga dengan imajinasinya, menghadapi langit kedua dengan pemikirannya, menghadapi langit pertama dengan pemeliharannya, menghadapi bintang Zuhal (Saturnus) dengan kekuatan sentuhannya, menghadapi bintang Musytariy (Yupiter) dengan kekuatan pendorongnya, menghadapi bintang Murih (Mars) dengan kekuatan penggeraknya, menghadapi bintang Syams (matahari) dengan kekuatan penglihatannya, menghadapi  bintang  Zuhra  (Venus)  dengan kekuatan kenikmatannya, menghadapi bintang Atarad (Merkurius) dengan kekuatan kebajikannya, menghadapi bintang Oomar (bulan), dengan kekuatan pendengaranya. Kemudian menghadapi falak (rasi bintang) an Nar (api) dengan kepanasannya, menghadapi al Maa' (air) dengan kedinginannya, menghadapi falak al Hawa' (udara) dengan kelembabannya, menghadapi falak at Turab (debu) dengan kekeringannya.

Ia menghadapi Malaikat dengan khawatir al qalb (bersitan-bersitan hati)-nya, menghadapi Jin dan Setan dengan bisikan jahatnya, menghadapi habitat binatang dengan perilaku kebinatangannya, menghadapi singa dengan kekuatan terkamnya, menghadapi kancil dengan kekuatan pecundangnya, menghadapi srigala dengan kekuatan tipu dayanya, menghadapi kera dengan kekuatan kedengkiannya, menghadapi tikus dengan kekuatan kewaspadaannya, kemudian qiyaskan binatang-binatang lainnya dengan kekuatan masing-masing. Kemudian ia menghadapi burung dengan kekuatan rohaninya, ia menghadapi api dengan materi kobarannya, menghadapi air dengan materi cairnya, menghadapi udara dengan materi hembusannya, menghadapi tanah dengan materi kehitamannya, kemudian menghadapi tujuh lautan dengan kucuran keringat, dahak, ludah, darah, air seni, kesemua itu adalah materi yang bergerak diantara darah, keringat dan kulit, masing-masing memiliki cita rasa, manis dan pahit, asing dan tawar. Kemudian ia menghadapi Jauhar (entitas) dengan ke-dia-nya, dan ia merupakan inti (dzat) Jauharaat tersebut, menghadapi 'Aradl (aksiden) dengan sifatnya, menghadapi benda-benda tidak bernyawa dengan tajinya, taji-taji itu jika telah sampai pada batasnya, ia akan berbentuk benda mati, tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Kemudian ia menghadapi tetumbuhan dengan rambut dan kukunya menghadapi hewan dengan syahwatnya, menghadapi makhluk sesamanya (manusia) dengan kemanusiaan dan citranya. Insan Kamil itu lalu menghadapi berbagai bentuk manusia; ia menghadapi raja dengan ruhnya, menghadapi para menteri dengan analisa pemikirannya,   menghadapi   hakim   dengan   ilmu   yang , diperdengarkan dan pendapatnya yang dicetak, menghadapi polisi atau tentara dengan prediksi (asumsi)nya, menghadapi para pembantu dengan keringat dan kekuatannya, menghadapi kaum mu'minin (insan-insan beriman) dengan keyakinannya, menghadapi kaum musyrikin dengan keraguan dan kegamangannya, ia senantiasa menghadapi hakekat Maujudaat (segala yang wujud) dengan ketajaman mata hati dan pikirnya.

Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil itu merupakan duplikat (pencitraan) al Haq, sebagaimana yang diwartakan rasulullah saw,

al Haq menciptakan Adam dengan citra ar Rahman,

dalam hadits lain beliau bersabda :

Al Haq menciptakan Adam dengan citra Diri Nya,

yang sedemikian itu bahwasanya keber-Ada-an al Haq adalah dzat yang : Hayyun (Yang Hidup), Aalimun (Yang Berpengetahuan), Qoodirun (Yang Berkuasa), Muriidun (Yang Berkemauan), Samii'un (Yang Mendengar), Bashiirun (Yang Melihat), Mutakallimun (Yang Berbicara) demikian pula dengan keberadaan manusia, ia makhluk yang hidup, berpengetahuan, berkuasa, berkemauan, mendengar, melihat dan berbicara. Kemudian Insan Kamil itu menghadapi ke-Dia-an Nya dengan ke-dia-dirinya, ke-Aku-an Nya dengan ke-aku-an dirinya, dzat-Nya dengan dzat dirinya, keuniversalan dengan universal, keglobalan dengan global, kekhususan dengan khusus, ia menghadapi al Haq dengan hakekat inti (dzat) dirinya. Kita telah membahas masalah ini pada pasal khusus dalam karya saya yang lain, sebelum ini. Pembahasan masalah inti dzat itu kita sudahi sampai disini.

Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil itu, dialah yang berhak atas nama-nama yang berdimensi dzat, dan sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dengan akar kepemilikan yang berdasarkan kepatutan, berikut penguasaan berdasarkan hukum ketuhanan secara dzat, semua metafor asma-asma dan sifat-sifat-Nya yang berdimensikan dzat terlanskapkan dalam diri Insan Kamil, permisalannya terhadap al Haq adalah semisal cermin yang orang bisa melihat bentuk gambar dirinya secara utuh di dalamnya, jika tidak, maka orang tersebut tidak akan bisa melihat bentuk gambar dirinya kecuali dengan cermin nama (Allah) yang sejatinya adalah cerminan-Nya. Manusia Sempurna adalah cerminan al Haq. Pahamilah bahwasanya al Haq memaklumatkan Diri Nya, tidak bisa dilihat nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, kecuali pada diri Insan Kamil, itulah sejatinya hakekat makna firman Qur’ani :

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (Q.s. al Ahzab 33 : 72)

yakni manusia menjadi dzalim dengan dirinya sendiri, karena ingkar terhadap amanat ketuhanan dan keingkaran itu menurunkan kredibilitas dirinya dari keagungan dan ketinggian derajat, manusia menjadi bodoh karena tidak memahami eksistensi dirinya yang tidak lain adalah pengemban amanat ketuhanan. Maka sejatinya manusia bodoh itu adalah manusia yang tidak mengerti amanat ketuhanan yang harus dipikul dan yang wajib ditunaikannya. Pahami betul masalah ini.

Ketahuilah Insan Kamil itu membagi segenap sifat-sifat dan nama-nama Nya menjadi dua bagian : Satu bagian berada disebelah kanannya, seperti : Hidup, Tahu (berpengetahuan), Kuasa, Berkemauan (berkehendak), Mendengar, Melihat, Berbicara dan sifat-sifat senada lainnya. Satu bagian lagi berada disebelah kirinya, semisal: Azali dan Abadi, Awal dan Akhir serta sifat-sifat lain yang senada. Insan Kamil memiliki kenikmatan rahasia dibalik segala sesuatu yang wujud, yang dinamakan kenikmatan Ilahiyah (ketuhanan), kenikmatan tersebut baru bisa dirasakan ketika syakilah hati tersucikan dari ke-kemaruk-an kepada segala sesuatu selain al Haq.  Ketahuilah bahwa hakekat zuhud itu bukan anti dunia, tapi menjaga jarak hati dari ke-kemaruk-an dunia, maka hakekat menjaga jarak lebih berdimensikan batin (Qalbiyah), bukan dimensi lahiriyah, banyak orang yang salah dalam memaknai Insihaab (baca : jaga jarak) ini, kebanyakan mereka memaknainya dengan anti dunia, bukan menjaga jarak hati dari kemaruk duniawi, sampai-sampai ada seorang murid, yang tega menyiksa dirinya dengan hidup dalam kubangan kemiskinan, tanpa kerja dan tempat tinggal dengan alasan anti dunia. Hendaknya anda jangan terperdaya dengan orasi-orasi mereka yang memaknai hakekat dunia ini dengan pemaknaan sempit, pun jangan terkecoh dengan tampilan laku simbolistik mereka, sungguh mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang tidak memahami hakekat suluk, mereka itulah orang yang tidak mampu memakrifahi hakekat asma-asma dan sifat-sifat Nya. Mereka tidak akan pernah sampai ke maqom (capaian spiritual) Insan Kamil, disebabkan kebodohan mereka dalam memaknai kesejatian nama-nama dan sifat-sifat al Haq, bahkan diri mereka tercerabut dari nama-nama dan sifat-sifat serta dzat al Haq. Pahami betul bahwasanya hakekat manusia sempurna itu adalah insan yang memarakkan hati dan jiwa mereka dengan sifat-sifat dan asma-asma-Nya, melihat segala yang wujud bukan pada wujud lahirnya, akan tetapi pada hakekat ke-Dian-an 'Nya dalam bingkai hukum keyakinan akan inti (dzat)-Nya, Kasyf (intuisi) menampakkan eksisteni wujud dari hal yang tertinggi hingga hal yang terendah, ia juga disibakkan aneka wacana wujud dalam penampakkan eksistensi Diri Nya, seperti halnya diantara kita ada yang dengan bersitan-bersitan hatinya mampu melihat hakekat segala Maujudaat (sesuatu yang wujud).

Insan Kamil diberi kemampuan menahan dan membuang bersitan hatinya, baik yang universal maupun yang parsial, kemudian penyikapannya terhadap segala sesuatu yang kasat mata bukan pada makna simbolistik arti lahirnya berbasis pada nama dan gambar kasatnya, seperti halnya penyikapan salah seorang diantara kita dalam makan, minum dan pembicaraannya. Pahamilah bahwasanya Insan Kamil itu memiliki tiga barzah (alam), setelahnya ada maqom yang bernama al Khitam : Barzah pertama, dinamakan al Bidayah, sejatinya adalah pemaknaan secara hakiki nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Barzah kedua, dinamakan at Tawasuth, sejatinya adalah falak kesejatian eksistensi manusia dengan hakekat Rahmaniyah, jika realitas tersebut benar-benar tersibak maka segala yang tersirat akan disuratkan, al Haq akan menampakkan segala dimensi kegaiban-Nya kepada hamba yang dikehendaki-Nya tersebut. Barzah ketiga, dikenal dengan ragam hikmah, terwajahkan didalamnya kemampuan par excelent (adikodrati), ia memiliki kekuatan diluar batas kemampuan manusia kebanyakan, ia memiliki karomah (kelebihan par excelent), yang melintas batas hukum kelaziman dan al Haq mempersilahkan menampakkan kemampuan luar biasa (adikodrati) itu dalam alam realitas. Manakala ketiga Barzah tersebut, telah dilalui, hamba itu akan sampai kepada maqom yang dinamai al Khitam yang disifati dengan al Jalai (Keperkasaan) dan al Ikraam (Pemuliaan), tidak ada sifat setelahnya selain al Kibriyaa' (ke-Maha Agung-an) itulah muara harapan setiap insan. Pada capaian spiritual ini, terdapat beragam tingkatan manusia, ada yang Sempurna dan paling Sempurna, utama dan paling utama.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Syair-syair al-Jilly

Hati yang dipatuhi segala wujud sepenuh jiwa

Diingkari manusia-manusia kufur penuh jahili

Jiwa yang diapresiasi segala wujud dengan tulus

Hanya mereka yang berhati busuk yang mendiskritkannya

Beribu ketaladanan, berjuta nasehat lahir darinya

Kesantunan sikap dan kelembutan ujaran adalah sifat dasarnya.

Penuh kasih sayang, sangat peduli kepada sesama

Memberi yang terbaik, tidak berharap sesuatu dari kabaikannya

Meneteskan air mata, setiap bermunajat kepadaNya

Tak kuasa menahan tangis melihat penderitaan ummatnya

Sikap kasihnya memadamkan kemarahan para kafir

Kesantunan sikapnya melunakkan hati mereka yang keras kepala

Dialah Muhammad saw pegiat ibadah sejati.

Penyembah Allah paling utama dan paling memakrifahiNya

Sifat dan asma Agung Allah ada pada dirinya

Semuanya teraktualisasikan dalam kehidupan nyata

Muhammad Wahai, penuntun kehidupan hakiki nan mulia

Wahai, teladan kebaikan, kobarkan spirit kami mengikuti jejakmu

Kau adalah maha guru kehidupan kami,

Pengajar agung kami, dalam memahami esensi ketuhanan

DiriNya Ajarilah kami teguh menegakkan syariatNya

Menerapkannya dalam kehidupan Nyata kami sepanjang waktu

Ajarilah kami teguh beribadah seperti dirimu.

Tidak meluangkan waktu kami sedetikpun, terpaling dariNya.

Ajari kami mengetas diri kami dari kepedihan.

Hidup dalam semaian kerelaan, ketabahan menerima taqdiNya

Ajari kami mendiqdayakan Qalbu dan jiwa.

Agar kami sabar, tawakkal menerima segala coba yang menerpa kami

Wahai satria agung Allah, nan diqdaya

Pelipur lara para faqir dan miskin yang lemah

Wahai duta terkasih Allah, nan bijak

Muara rujukan perlindungan segenap insan

Kaulah pelita hidup setiap anak zaman

Penabur kasih sayang di hati setiap hamba

Mereka yang berpaling dari ajaranmu

Akan menunai duka nestapa abadi dunia ahirat.

Kau redam kedengkian dengan kebaikan.

Kau balas keburukan dengan kasih kema'afan

Kau terima 'ulah' busuk dengan tabah

Kau rangkul yang menyakitimu dengan jiwa besar

Kau mereka yang lemah dan terlemahkan

Dengan kepemilikanmu, meski dirimu lebih butuh

Kau hibur mereka yang dibelit kesedihan

Dengan nasehat konstruktifmu yang meneduhkan

Kau rekatkan Qalbu para sahabatmu.

Dengan 'buhul' keimanan yang kokoh dan tulus

Kau jaga hati dan perasaan mereka, dengan mengutamakan kebutuhan mereka.

Kau berikan hidupmu sepenuh jiwa untuk dan demi ummatmu dan Allah semata.

Wahai citra dan identitas ketuhanan DiriNya

Kau wariskan kepada kami Qur'an dan sunnahmu

Tidak ada seorangpun yang sedih bersamamu

Tidak ada kerugian sedikitpun yang mengikutimu

Kau taburkan kesucian dihati setiap pengkutmu.

Nilai-nilai keluhuran yang jauh dari hipokritas

Wajah hidupmu adalah cermin ketuhananNya

Cerminan Nyata, tindakan, ujaran dan konsesusNya

Semua perilakumu adalah cermin ketuhananNya

Moralmu juga moral Qur’anNya, ujaranmu, juga titaNya

Hidupmu mulia selaras dengan MuliaNya

Karenanya, kau beroleh apresiasi dan puji dari DiriNya

Sungguh aneh, mereka yang menafikan dirimu

Sebab, kau adalah wujud Nyata petunjukNya di alam ini

Hanya para kafir yang memungkiri risalahmu.

Nikmat apalagi yang lebih besar daripada keberadaanmu?

Eksistensimu laksana mentari menyinari bumi

Risalahmu sejatinya adalah matahari penerang Qalbu

Mereka yang bercita-cita meniti jalan Allah dengan olah ruhani, harus meguru kepada 'laku' dirimu

Sebab hanya 'laku'mulah yang paling valid mengantar setiap pegiat suluk meraih cita-cita hakiki.

Apalah arti segala wujud di alam Nyata ini

Jika kau tidak dihadirkan olehNya di jagad realitas ini?

Segala realialitas wujud akan kehilangan arti.

Jika risalahmu, tidak dijadikan pijakan dasar kehidupan

Risalahmu adalah rahmat bagi semesta alam dirimu adalah wujud Nyata taburan rahmatNya di alam ini

Semua mahluk yang hidup dibawah langitNya akan hina dan nista jika berpaling dari seruan ajaranmu.

Semua diraja bumi, akan lumpuh tak berdaya

Jika menghalangi langkah menegakkan agamaNya

Kau adalah benda pertama asal segala karya

Tiada satu mahlukpun tercipta dari selain cahayamu

Kaulah nuqtah hakekat, dan samuderanya

Basis syariat dan penegak utamanya dalam hidup ini

Kaulah taburan rahmat dan anugerahNya

Pengetas setiap insan dari neraka dunia dan ahirat

Segala wujud menghaturkan shalawat untukmu

Sebagai bentuk rasa terima kasih atas tuntunanmu

Kaulah media penyambung utama kepadaNya.

Tanpa wasilahnu, setiap hamba tidak sambung denganNya

Kaulah satu-satunya penghuni maqam Mahmud

Zat Yang Maha Agung khusus menyediakannya untukmu

Wahai  kinasih pabur rahmat semesta alam.

Naungilah kami dengan syafa'atmu dan rahmatNya

Singkirkan segala duka nestapa yang menerpa kami

Taburkan ruh Aminmu pada jiwa dan relung hati kami

Wahai kinasih lentera kehidupan para hamba

Sinari kami, dengan rahasia batinmu yang suci murni Kau adalah embun penyegar kehidupan.

Salju yang mengguyur kekeringan jiwa dan Qalbu Arsy 'laku' dan pionir cita-cita hakiki kami

Bimbimbinglah kami menuju Wushul dan kedekatanNya

Mi'rajkan kami ke maqam terluhur disisiNya

Agar kami bisa merengkuhi kesejatian Wushul denganNya

Kabarmu menembus dimensi ruang dan waktu.

Ajaranmu tidak lekang dan valid sepanjang lorong waktu

Bagimu emas permata tak ubahnya batu pasir

Tiada keterpalingan dan ketertarikan sedikitpun padanya

Kekuasaan dan kekayaan dimatamu adalah fitnah

Syakilah hatimu benar-benar suci dari sauh-sauh pelik duniawi

Wahai imam para ahli taqwa dan pegiat ibadah

Tunjukilah kami jalan ibadah hakiki dan laku taqwa sejati

Wahai kinasih yang bening Qalbu dan jiwa suci

Taburkan kebeningan hatimu dan kesucian jiwamu kepada kami.

Rahasia ketuhananNya tersimpan di batinmu.

Singkapkan untuk kami, rahasia ketuhananNya ke Qalbu kami

Kau cukupkan dirimu Allah sebagai pelindungmu

Ajari kami menjadikan Dia satu-satunya muara perlindungan.

Dia memujimu dengan penghormatan tinggi.

Wariskan kepada kami, 'laku' untuk menggapai puji sanjungNya

Wahai Allah kami, kami berlindung kepadaMu

Dari tipu daya yang melalaikan kami tidak mengikuti jejak nabiMu

Jadikanlah kami pengikut sejati Muhammad saw

Jadikan kami pewaris ilmu, laku ibadah, ahlak dan perjungannya

Haturan shalawat semoga tetap tercurah untuknya

Limpahan kesejahteraan, semoga terhaturkan kepada beliau

Salam sejahtera untukmu wahai junjungan kami beserta keluarga, sahabat dan para kekasihNya sepanjang waktu.


 

Sudah Edit 61. Tanda-tanda Kiamat, Ingat Kematian, Barzah, Kiamat, Hisab, Timbangan, Shirat (Titian), Neraka, Surga, A’raaf dan Katsiib

 

Ketahuilah, bahwasanya alam dunia yang kita hidup di dalamnya sekarang ini akan berakhir, karena dunia ini adalah sesuatu yang Huduts (baru), sejalan hukum penciptaan, sesuatu yang adanya karena diadakan (huduts) pasti akan berakhir, awal dan akhir sesuatu itu berada dibawah kekuasaan hakekat ketuhanan, segala sesuatu yang tertampakkan secara lahiriyah pada bentuk kasat masing-masing isinya alam mi pasti memiliki ujung pengahiran, adapun ujung pengahiran segala yang Hudust itu seperti yang diwartakan pesan Qur’ani sejatinya adalah as Saa'ah al Kubrah (Kiamat Besar). Masing-masing isinya alam itu mengalami kiamat kecil, karena bersifat khusus dan Juz’iy (parsial), sedang kiamat besar mencakup segala wujud dan bersifat Kulli (universal), jika anda tafakkun secara dalam, anda akan mengetahui bahwa masing-masing isinya alam ini, baik yang berskala mikro maupun makro akan mengalami kiamat dan memiliki batas akhir yang telah ditentukan. Dalam lanskap hukum kehidupan umum, orang lebih memahami kiamat sebagai  kehancuran yang bersifat lahir (fisik), padahal hakekat kiamat itu lebih bermaknah batin. Pahami betul masalah kiamat ini, agar anda tidak terjebak pada pemaknaan simbolistik yang bersifat tekstual.!

Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menciptakan banyak alam, Dia melihat masing-masing alam melalui media al Insaan (manusia) yang dinamakan kesaksian wujud, setiap alam yang Dia lihat tidak melalui media manusia sempurna dinamakan al Ghaib (kegaiban). Kemudian al Haq menciptakan kegaiban itu dua macam :

1. ke-Gaib-an yang terpisah dari alam manusia.

2. ke-Gaib-an dibalik realitas alam manusia.

Kegaiban yang terpisah dari alam manusia dinamakan wujud kegaiban, seperti alam Malakut (alam semua ruh dan malaikat), sedangkan kegaiban dibalik realitas alam manusia dinamakan ketiadaan kegaiban, seperti alam-alam yang hanya al Haq Yang Maha Mengetahui-Nya, kita tidak bisa kita mengetahui sama sekali. Realita tersebut dalam lanskap logika kita disebut al 'Adam, (ketiadaan), itulah sejatinya yang disebut ketiadaan kegaiban. Alam dunia ini akan tetap disebut kesaksian wujud selama al Haq menjadikan manusia sebagai media penglihatan-Nya kepada alam (dunia) dan isinya alam, dengan demikian alam dunia ini akan menjadi kegaiban Adamiyan (ketiadaan), ketika itu wujud alam dunia ini di alam ketuhanan, seperti wujud surga dan neraka hari ini, itulah yang disebut Ain al Fana' (inti kesirnaan) alam dunia, sedang inti kiamat besar adalah kiamat Kulli (universal). Kita tidak akan membahas masalah kiamat umum tersebut, pada karya ini kita akan membahas kiamat khusus, yang terjadi pada masing-masing isinya alam, utamanya kiamat khusus yang terjadi pada diri manusia, karena manusia adalah wujud paling sempurna dari segenap wujud isinya alam ini bahkan semesta alam. Kami sengaja tidak membincang hakekat kiamat besar terlebih keajaiban-keajaiban yang lahir dari kiamat besar yang dimetaforkan pesan Qur’ani, agar iman anda tidak tereduksi bisikan-bisikan jahat setan, yang melahirkan keragu-raguan dalam diri anda, kami fokus kepada pembahasan kiamat kecil yang terjadi sebelum kiamat besar. Anda jangan sekali-kali berprediksi bahwa kiamat besar dan kecil itu (dua kiamat), akan tetapi hal itu sejatinya adalah satu kiamat, semisal jika anda menyebut kata hewan maka tercakup di dalamnya ikan, burung, manusia dan hewan-hewan lainnya, demikian pula dengan kiamat. Cobalah anda pertajam kejelian anda, untuk memahami metafor dan isyarat-isyarat pemaparan masalah kiamat ini, agar anda bisa memakrifahi hakekat kiamat!

Ketahuilah, bahwasanya kiamat kecil itu memiliki tanda-tanda yang juga merupakan metafor kiamat besar. Seperti yang diwartakan pesan Qur'ani dan sunnah rasul-Nya, kiamat besar (makro kosmos) itu metafornya adalah : Para budak wanita melahirkan anak majikan mereka. Anda akan melihat banyak orang bertelanjang kaki mempertahankan apa yang mereka kehendaki, akan ada banyak orang yang berlomba-lomba membangun gedung mewah. Demikian pula dengan manusia (mikro kosmos) tanda kiamat kecil (khusus) yang menimpa dirinya terlihat dengan tampaknya Rububiyah (ketuhanan) al Haq pada inti dzat-nya. Inti (dzat) manusia itu ibarat budak wanita, kelahiran memetaforkan penampakan perintah-Nya yang terpendam dari batin kepada lahir manusia, karena anak tempat (prosesi) penciptaannya di perut, sedang kelahiran wujud penampakkannya dalam bentuk kasat (inderawi). Demikian halnya dengan al Haq maujud (ada) dalam diri manusia tanpa Tanasul (reingkarnasi) dan Hului (panteisme), eksisteni-Nya dalam diri manusia berdimensikan batin, jikalau Dia tampak melalui ketentuan-Nya dan manusia mampu memakrifahi eksistensi keberadaan al Haq dalam dirinya, maka hamba tersebut seperti firman al Haq dalam hadits Qudsi:

Aku adalah pendengarannya yang ia simak. Aku adalah tangannya yang ia bentangkan, Aku adalah kaki yang ia jalankan.

Wujud al Haq ada pada diri hamba tersebut, etos ke-Lahut-an (sifat-sifat ketuhanan) benar-benar mendominasi perilaku hamba itu di setiap aktifitasnya, inti (dzat)-Nya ibarat budak wanita, bekas-bekas ketuhanan-Nya ibarat majikan, penampakkan-Nya ibarat kelahiran, sedang Tajarrud (penjauhan diri dari segala sesuatu) pegiat hakikat kepada selain nama-nama-Nya ibarat, keadaan orang yang melepas sandal, karena nama-nama-Nya merupakan 'kendaraan' para pegiat hakekat, adapun Tajjarud pegiat hakekat kepada selain sifat-sifat-Nya ibarat orang yang telanjang kaki, sementara konsistensi mereka dalam mentafakkuri dan menelisik  cahaya-cahaya  azaliyah,   ibarat  orang yang mempertahankan apa yang ia kehendaki demikian halnya dengan sang Majdzub, sedangkan menumbuh kembangkan makrifah Ilahiyah (ketuhanan) ibarat orang yang berlomba-lomba membangun gedung mewah. Realitas lahir (kasat mata) menunjukkan tanda-tanda kiamat besar yang bersifat universal, sedang realitas batin, menunjukkan tanda-tanda kiamat kecil bersifat khusus yang terjadi pada tiap individu anak manusia.

Diantara Tanda-Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Munculnya Ya'juj dan Ma'juj dimuka bumi ini dan menjadi penguasanya, para pengikutnya memakan segala hasil bumi, memimun air samudera, kemudian al Haq mengirimkan badar dahsat dalam satu malam, semuanya tewas, setelah itu bumi menjadi subur penuh dengan tanaman yang berbuah lebat dan menghasilkan buah yang baik, semua manusia banyak memuji al Jabbar (Yang Maha Diqdaya). Demikian halnya dengan kiamat kecil yang terlihat pada diri manusia : Adanya kebangkitan nafsu dengan gejolak bisikan-bisikan jahat yang merusak, geliat nafsu itu menguasai bumi hatinya, melahap isi buah nurani kalbunya, mengikis rahasia samudera rahasianya, sehingga diri manusia itu benar-benar nihil dari pemahaman nilai-nilai ketuhanan dan rahasia batinnya, serta nilai-nilai ketuhanan sama sekali tidak berbekas dihatinya, lalu ia memahami kemabukannya dan kembali kepada kebangkitan hati nuraninya, kemudian datang pertolongan ketuhanan dengan tiupan kasih kepemurahan-Nya, Maka sesungguhnya pengikut Allah itulah yang pasti Menang. (Q.s. al Maaidah 5 : 56). Sesungguhnya pengikut Allah itulah yang pasti beruntung. (Q.s. al Mujadalah 58 : 22).  Petunjuk al Haq lantas terpatri dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya tersebut, Dia berkuasa memilih siapa saja yang Dia kehendaki, pada fase diri seperti itu punahlah bisikan-bisikan nafsu dan bisikan-bisikan jahat setan dalam diri manusia tersebut, kemudian hadir malaikat-Nya dengan ilmu-ilmu ketuhanan, siraman-siraman rohani dan kesempurnaan budi pekerti, realita itulah ibarat banyaknya tanaman yang berbuah lebat, kemudian hamba itu menggapai maqom kedekatan dan dapat menikmati Musyahadah al Haq yang merupakan ibarat buah yang baik dan banyak memuji al Jabbar. Demikianlah secara lahir tanda-tanda itu merupakan metafor kiamat besar, sedang apa yang kami isyaratkan merupakan tanda-tanda kiamat kecil, yang khusus menimpa individu-individu anak manusia.

Diantara Tanda-Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Munculnya binatang-binatang melata dari perut bumi. al Haq berfirman :

Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka. Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka. Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami. (Q.s. an Naml 27 : 82),

jika perkataan telah jatuh, yakni perintah ketuhanan yang menyuruh alam kembali kepada-Nya, saat itulah akhir kehidupan dunia dan mulainya lembaran kehidupan akhirat, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, yakni mengingatkan kepada mereka akan hakekat apa yang telah Kami janjikan kepada mereka, yaitu hari kebangkitan, adanya neraka dan surga, sebab mayoritas manusia tidak yakin dengan kabar-kabar yang telah Kami wartakan. Karena ketidak percayaan mereka itulah Kami keluarkan binatang melata dari perut bumi agar mereka mengerti bahwa Kami mampu atas segala sesuatu, yang dengan kejadian itu mereka bisa dan mau percaya lalu kembali kepada al Haq dan mempercayai apa yang diwartakan-Nya. Demikian halnya dengan kiamat kecil yang terjadi pada diri manusia, diantara tanda-tandanya adalah tampak ruh kedamaian-Nya dihadirat kesucian, lalu terbang menuju bumi kebaikan yang ada pada kemanusiaan, yang dengan itu tradisi jelek tergerus dan sifat-sifat rendah dan hina dalam diri manusia menjadi lenyap. Pada fase ini manusia mampu menggapai Kasyf Kabir (penyibakan agung), ruh Qudus memberinya kabar secara detil segala dimensi kegaiban, membincangkan kabar-kabar itu secara jelas dan lugas, sehingga tampak oleh hamba itu semua hakekat rahasia yang terpendam, menjadikan hamba tersebut naik dari maqom as Shiddiq ke maqom al Qurb (kedekatan) di singgasana al Haq, berikut beroleh multi kenikmatan itulah wajah karunia al Haq dan pengutamaan-Nya bagi hamba-Nya, agar benteng keimanannya tidak dijebol Hijab (tirai penghalang) yang menyebabkan seorang hamba terjerembab ke dalam kesalahan tak bertepi dan terjauhkan dari kisi-kisi kebenaran hakiki, yaitu terkikisnya nilai-nilai ketuhanan dalam dirinya, serta nihil dari capaian spiritual. Ketahuilah hati manusia tidak akan mencapai kemuliaan hakiki, kecuali bila telah merasakan Kasyf, (pengetahuan intuisi) sebab setiap makhluk pada prinsipnya tidak akan pernah percaya kepada sesuatu kecuali setelah adanya penyingkapan Ilahi, sebagaimana para manusia yang sulit percaya kecuali paska keluarnya binatang melata dari perut bumi, demikian halnya dengan para arif yang tidak muda percaya realitas hakiki ketuhanan kecuali paska keluarnya ruh dari bumi tabiat (adat istiadat) dan mensucikannya dari penghalang dan pengkompas. Pahami betul masalah ini.

Diantara Tanda-Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Munculnya Dajjal, ia memiliki surga disebelah kirinya dan neraka disebelah kanannya, tertulis diantara matanya Kafir dan Allah, ia melaparkan para manusia dan menghauskan mereka, semua manusia tidak mampu mendapatkan makanan dan minuman kecuali pada Dajjal itu. Setiap orang yang percaya dan tunduk kepadanya akan diberinya makan dan minum, barang siapa yang makan dan minum dari pemberian Dajjal tersebut, ia tiada akan pernah beroleh keberuntungan untuk selama-lamanya, orang mukmin yang memasuki surga (dunia) Dajjal, surganya (diahirat) akan dibalik al Haq menjadi neraka, Dajjal akan memasukkan orang yang tidak mempercayai dan tunduk kepadanya ke dalam neraka (dunia)nya. Barang siapa yang dimasukkan neraka Dajjal, al Haq akan membalik neraka (akhirat)nya dengan surga. Mayoritas manusia (saat munculnya Dajjal) memakan rerumputan dan dedaunan, hingga al Haq mengangkat marabahaya tersebut. Sementara itu Dajjal terus berekspansi ke penjuru belahan bumi kecuali Makkah dan Madinah yang terdapat taman yang hijau, kedua kota itu tidak bisa dimasukinya, kemudian ia pergi ke arah Baitul Maqdis (Palestina) dan terhenti sampai Ramallah, al Haq lantas menurunkan nabi Isa as, di salah satu kubah di distrik tersebut, Isa as membawah kapak, tatkala Isa as melihat Dajjal ia mengejarnya dan membunuhnya. Demikian halnya dengan metafor kiamat kecil pada diri manusia, munculnya Dajjal sejatinya adalah munculnya geliat nafsu Dajjal dalam diri manusia yang tampak pada perilaku-perilaku busuk dalam sikap lahiriyahnya, wajah nyata nafsu Dajjal itu disebut asy Syaithaan al Insu (setan wujud manusia), sentra para setan dan bisikan-bisikan jahat dan tipu daya serta kemurtadan, wujud kongkrit nafsu Dajjal lainnya adalah nafsu al 'Amarah bi al Suu' (nafsu yang menyeru kejahatan), karenanya dalam dunia tasauf para pegiat sufi mengindentikkan nafsu sebagai Dajjal, sedang perilaku syahwat diibaratkan dengan surga yang terletak disebelah kiri Dajjal, karena surga kiri itu merupakan taman-taman ahl Syaqawat (para sengsara), untuk mengetas diri dari surga kiri tersebut jalan yang bisa dilakukan adalah dengan meninggalkan tabiat-tabiat buruk, memutus tali-tali yang menjerat ke jalan al Haq. Sedangkan pasung-pasung tradisi dan belenggu-belenggu ibadah itu ibarat neraka, yang berada disebelah kanan Dajjal, yang merupakan taman-taman ahl Sa'adah (para bahagia).

Adapun geliat-geliat nafsu, tebalnya tirai pembatas (hijab), tindak kedzaliman, ibarat tulisan yang ada dahi Dajjal, itulah sejatinya kekufuran kepada al Haq yang termetaforkan dengan padamnya api cahaya al Haq pada diri seorang hamba, sehingga ia terjauhkan dari kisi-kisi kebenaran hakiki. Sedangkan kelaparan dan kehausan di era Dajjal ibarat, hakiki adalah penafian manusia akan warta-warta ketuhanan, yang menyebabkan mereka dikuasai dan ditundukkan kenikmatan-kenikmatan tunai dunia. Dalam kelam kehidupan seperti itu cahaya Ilahiyah tidak akan perna menyinari jiwa mereka, itulah sebabnya mereka dimetaforkan dengan orang-orang yang tidak memperoleh makanan dan minuman, demikian halnya dengan para pegiat sufi, makanan dan minuman itu dimata mereka ibarat sinar ketuhanan, jika jiwa mereka tidak beroleh sinar ketuhanan hal tersebut sama dengan perut mereka tidak memperoleh makanan dan minuman. Sungguh merupakan realita kehidupan yang super sulit pada waktu itu, sampai-sampai rasul Muhammad saw bersabda : Akan datang kepada segenap manusia suatu zaman, dimana orang yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agamanya, bagaikan orang yang memegang bara api. Dalam staqnasi kehidupan seperti itu, mereka-mereka yang eksis degan ritus Mujahadah, Riyadlah, memerangi hawa nafsunya, tidak kembali kepada tabiat liar syahwat, taqlid (pengikutan) buta, mereka itulah sejatinya penggenggam bara api dalam hidupnya. Sedangkan orang yang menuhankan nafsu syahwat dan tabiat diri serta merasa nyaman dengan tindak kemaksiatan dan kekufuran, dalam lanskap pandangan pegiat tasauf adalah pengikut hakiki Dajjal, wajah riel perilakunya adalah menghalalkan segala cara untuk menggapai kepentingan pragmatisme duniawi. Sedangkan orang yang merasa nyaman dengan segala al Mubahaat (hal-hal yang diperkenankan) dimata para ahli hakekat, ibarat khamer (tuak) haram yang dituangkan Dajjal ke rongga pengikutnya, yang dengan itu sipeminum akan terdegradasi kedalam perilaku kelalaian, kepongahan, angan utopis serta tindakan-tindakan bodoh lainnya, semakin banyak mereka menenggak arak, semakin dalam pula hayal utopianya dan semakin kuat pula watak-watak Dajjal membekas dalam dirinya. Mereka yang putus asa dan lemah keyakinan menghadapi ujian hidup seperti itu, dalam pandangan para ahli makrifat, mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang tiada akan pernah beroleh al Falah (keberuntungan).

Adapun manusia-manusia yang terperdaya dengan kemegahan hidup, meyakini menemukan kenikmatan hakiki dalam gelimang kemewahan, mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang terperangkap imajinasi utopis, kenikmatan seperti itu adalah semu dan menipu, mereka itulah ibarat orang-orang yang memasuki surga Dajjal, al Haq akan membalik surga (akhirat) mereka dengan neraka di akhirat kelak. Sungguh sangat merugi tempuhan jalan yang  warta-warta ketuhanan, yang menyebabkan mereka dikuasai dan ditundukkan kenikmatan-kenikmatan tunai dunia. Dalam kelam kehidupan seperti itu cahaya Ilahiyah tidak akan perna menyinari jiwa mereka, itulah sebabnya mereka dimetaforkan dengan orang-orang yang tidak memperoleh makanan dan minuman, demikian halnya dengan para pegiat sufi, makanan dan minuman itu dimata mereka ibarat sinar ketuhanan, jika jiwa mereka tidak beroleh sinar ketuhanan hal tersebut sama dengan perut mereka tidak memperoleh makanan dan minuman. Sungguh merupakan realita kehidupan yang super sulit pada waktu itu, sampai-sampai rasul Muhammad saw bersabda :

Akan datang kepada segenap manusia suatu zaman, dimana orang yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agamanya, bagaikan orang yang memegang bara api.

Dalam staqnasi kehidupan seperti itu, mereka-mereka yang eksis degan ritus Mujahadah, Riyadlah, memerangi hawa nafsunya, tidak kembali kepada tabiat liar syahwat, taqlid (pengikutan) buta, mereka itulah sejatinya penggenggam bara api dalam hidupnya. Sedangkan orang yang menuhankan nafsu syahwat dan tabiat diri serta merasa nyaman dengan tindak kemaksiatan dan kekufuran, dalam lanskap pandangan pegiat tasauf adalah pengikut hakiki Dajjal, wajah riel perilakunya adalah menghalalkan segala cara untuk menggapai kepentingan pragmatisme duniawi. Sedangkan orang yang merasa nyaman dengan segala al Mubahaat (hal-hal yang diperkenankan) dimata para ahli hakekat, ibarat khamer (tuak) haram yang dituangkan Dajjal ke rongga pengikutnya, yang dengan itu sipeminum akan terdegradasi kedalam perilaku kelalaian, kepongahan, angan utopis serta tindakan-tindakan bodoh lainnya, semakin banyak mereka menenggak arak, semakin dalam pula hayal utopianya dan semakin kuat pula watak-watak Dajjal membekas dalam dirinya. Mereka yang putus asa dan lemah keyakinan menghadapi ujian hidup seperti itu, dalam pandangan para ahli makrifat, mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang tiada akan pernah beroleh al Falah (keberuntungan).

Adapun manusia-manusia yang terperdaya dengan kemegahan hidup, meyakini menemukan kenikmatan hakiki dalam gelimang kemewahan, mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang terperangkap imajinasi utopis, kenikmatan seperti itu adalah semu dan menipu, mereka itulah ibarat orang-orang yang memasuki surga Dajjal, al Haq akan membalik surga (akhirat) mereka dengan neraka di akhirat kelak. Sungguh sangat merugi tempuhan jalan yang Wushul (sampai), padahal mereka sejatinya belum sampai. Saat itulah al Haq menurunkan ruh Isa as dengan pembawa kapak kematian, Isa as sejatinya adalah Ruhullah (ruh Allah) sebagaimana firman-Nya, jika datang kebenaran akan sirnalah kebatilan, ruh Isa as itu lantas menyingkirkan tembok-tembok Hijab yang dalam lanskap lahiriyah dibaratkan dengan kapak kematian yang menumpas segala bentuk watak kedzaliman dan Dajjalisme, sedang dalam lanskap batiniyah, menyingkirkan hijab-hijab diri para saalik sehingga mereka bisa Wushul dalam arti yang sesungguhnya. Demikianlah tanda-tanda kiamat besar dan kecil yang pada prinsipnya adalah sama, tanda kiamat makro kosmos itu dapat dilihat dengan jelas pada mikro kosmos. Dan tanda kiamat besar itu bisa kita lihat dalam diri manusia!

Tanda-Tanda Kiamat Besar lain adalah : Munculnya Imam Mahdi as, usianya berkisar empat puluh tahunan, hari-hari yang dilaluinya penuh panorama kehijau-hijauan, malam-malamnya penuh dengan cahaya putih yang indah, buminya penuh dengan tanaman yang subur berbuah lebat, para manusia saat itu hidup aman sejahtera, damai dan sentosa, mereka sangat giat beribadah kepada ar Rahmaan. Demikian pula dengan kiamat kecil, tanda-tandanya dapat dilihat dalam kehidupan manusia, yakni pada kurun waktu keluarnya sang Mahdi, yaitu manusia yang telah menggapai maqom Muhammad, juru selamat, ratu adil, manusia sempurna. Imam Mahdi itu tumpuk kekuasaannya berlangsung selama empat puluh tahun, kala itu segenap manusia di muka bumi ini hidup dalam kemakmuran, damai sejahterah, tidak ada satupun penduduk bumi ini yang hidup miskin dan sengsara, kami telah paparkan masalah ini dalam kitab al Kahfi wa al Raqiiq al Mahtum fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim, jika anda ingin kejelasan lebih rinci silakan baca karya tersebut. Adapun maksud malamnya penuh dengan putih yang indah, hari-harinya penuh dengan panorama kehijau-hijauan, dalam lanskap dunia tasauf ibarat Sakr (ekstase mistis) dan Shahwah al Tsaniyah (kebangkitan kedua), sedangkan lebatnya buah dan sepinya bencana, ibarat limpahan karunia dan banjirnya karomah (adikodrati) yang terjadi pada diri para pegiat hakikat, damai sejahtera ibarat masuknya para ahli makrifah ke maqom Tajarrud (lepasnya sifat Nasut) dan masuknya ke sifat Lahut, yang diparadokkan dengan maqom Ibrahim sebagaimana firmanNya,

Barang siapa memasukinya menjadi amanlah dia. (Q.s. al Imraan 3 : 97)

yakni aman dari adzab (siksa) yang keras dan pedih.

Dalam lanskap kaum awam aman dimetaforkan dengan keselamatan dari jilatan api neraka, sedang dalam lanskap hakekat aman dimetaforkan dengan keselamatan dan makar (tipuan) ar Rahman, itulah maqom yang telah digapai syeikh Abd Oodir al Jilani, hal mana : al Haq telah berjanji kepadanya dengan tujuh puluh perjanjian, salah satunya al Haq tidak akan menipu dirinya, ketika orang seorang telah terselamatkan dari tipuan ar Rahman yang ia lakukan hanyalah Ibadah kepada ar Rahman dan memuji Diraja segala kekuasaan. Pahami dengan jeli metafor-metafor yang ada!

Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Terbitnya matahari dari tempat terbenamnya. Pintu taubat ditutup rapat-rapat, tidak akan berguna keimanan sedikitpun, jalur-jalur Wishal (ketersambungan) telah tertutup, kala itu permohonan maaf ditolak dan tobat tidak dikabulkan. Demikian pula dengan kiamat kecil, yang tandanya bisa dilihat pada diri manusia, terbitnya matahari dari arah barat, merupakan isyarat yang mengibaratkan Kasyf (intusisi) batin, yaitu capaian sejati akan rahasia-rahasia yang al Maktum (terpendam), pada capaian itu dapat di ketahui hakekat ke-Dia-an dan ke-Aku-an al Haq dengan segala rahasia sifat-sifat-Nya, berikut sang arif dapat menikmati surga A'raaf Nya, saat itu rumus-rumus terpecahkan, tampaklah Kunuz (pundi-pundi) hakekat, pada waktu itu keimanan tidak lagi berguna, karena iman telah gaib (sirna) sejalan dengan terbukanya hijab, tobat tidak diterima dan permohonan ampunan ditolak, karena dosa dan pengampunan keduanya berada di dua maqom yang berbeda, sedang al Ahad ( Yang Esa) berada dalam ke-Tunggal-an Nya tertransendisikan dan pelik dosa dan pengampunan. Terkait dengan ini Imam Muhyiddin Ibnu Arabi, mengibaratkan terbitnya matahari dari arah barat dengan kembali ruh ke markas pertamanya, yang dia metaforkan dengan kematian manusia dan berpindahnya urusan dunia ke akhirat berlandaskan hukum kematian, sedang ditutupnya pintu taubat dan ditolaknya pintu permohonan ampunan, ibarat bentuk keragu-raguan dalam diri manusia, masing-masing pintu (tobat dan ampunan) berdurasi (jarak) sembilan puluh tahun, Ibnu Arabi menisbatkan durasi waktu itu dengan umur manusia, dalam pandangan saya (al Jailiy) apa yang dimetaforkan Ibnu Arabi tersebut, bisa diterima, sedang kebenarannya adalah hanya al Haq Yang maha Mengetahui, sebaiknya kita tidak perlu memperpanjang penafsiran ungkapan tersebut, lebih baik kita pakai energi pikir dan hati kita untuk mentafakkuri metafor, paradok, isyarat yang terdapat pada tanda­-tanda kiamat, baik besar maupun kecil yang terdapat pada makro kosmos dan mikro kosmos, agar kita dapat memakrifahi hakekat kiamat. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4). Pasal. Kita akan mengkaji sisi-sisi Dzikr al Maut (Ingat Kematian), meski sebagian telah kita bahas dalam bab kelima puluh empat dalam karya ini. Ketahuilah bahwasanya kematian itu ibarat, padamnya api tabiat yang merupakan elan vital (unsur dasar) kehidupan di alam dunia ini, sedang kehidupan itu sendiri ibarat, penglihatan ruh terhadap dirinya dalam struktur (citra) setiap bentuk, adapun pengendali penglihatan pada struktur masing-masing bentuk adalah panas tabiat, yang sedemikian itu selama termperaturnya berjalan normal. Yang saya maksud dengan normal disini adalah temperaturnya berada ditingkat (degri) keempat, karena kembalinya temperatur ke degri pertama akan berbentuk unsur dasar kekuatan panas (asal temperatur), pada degri ini tidak ada pemuaian, karena tidak adanya unsur yang berujung pada kepadaman api, sedang temperatur pada degri kedua, adalah panas api yang bisa memuai, jika pemuaiannya dengan unsur lain (selain api), maka api tersebut tidak akan berwujud, karena masing-masing dan Api. Air. Udara. Tanah merupakan anasir yang saling terkait, tanah terdiri atas empat unsur dasar, yaitu : Panas, Dingin, Kering, dan Lembab. Jika unsur panas mendominasi tiga unsur lainnya, maka tabiatnya disebut api, jika unsur dingin mendominasi unsur-unsur lam, maka tabiatnya disebut air, jika unsur kering yang mendominasi, maka tabiatnya disebut udara, jika unsur lembab mendominasi yang lain, maka tabiatnya disebut tanah. Pada degri ini penamaan api, air, udara, tanah belum bisa disebut, kecuali jika telah turun ke degri ketiga, yakni terjadinya persenyawaan diantara unsur-unsur yang ada. Jika unsur panas dan kering bersenyawa secara seimbang dalam degri ketiga dan persenyewaan dua unsur itu mendominasi sesuatu pada degri lain, maka sesuatu itu disebut api, demikian pula jika unsur dingin dan lembab persenyawaannya seimbang dalam degri ketiga tersebut, maka sesuatu yang didommasi disebut tanah, segala sesuatu yang unsur panas dan keringnya mendominasi sesuatu itu, maka sesuatu itu disebut udara, demikian pula segala sesuatu yang unsur dingin dan lembabnya mendominasi sesuatu, maka sesuatu itu disebut air. Lihatlah falak Anasir (unsur-unsur) yang eksistensinya berada diatas falak tabiat, falak tabiat diatas falak pembentukan, yang terdiri atas falak, api, udara, air dan tanah, kemudian temperatur tabiat itu turun ke degri keempat dan berada pada titik kesamaan persenyawaan. Unsur senyawa seimbang itu terdapat pada struktur setiap benda, jika terdapat pada tubuh hewan, maka bentuk itu disebut hayawan, hal itu terus berlanjut selama temperatur tabiatnya berada pada degri ini, seperti halnya yang terdapat pada degri kedua yang disebut temperatur tabiat, pada degri pertama disebut temperatur unsur, demikian pula pada unsur-unsur lam, satu sama memiliki temperatur tersendiri. Kematian sejatinya adalah hilangnya temperatur tabiat pada struktur hayawan (makhluk bernyawa), pun terkikisnya lawan temperatur tabiat yaitu dinginnya tabiat, demikian itulah sesuatu yang berkaitan dengan nasib jisim (tubuh).

Adapun yang berkaitan dengan nasib ruh, kehidupan strukturnya tergantung durasi penglihatannya kepada stuktur inti penyatuan, sedang kematiannya adalah tercerabutnya penglihatan tersebut dari inti struktur dan kembalinya kepada ruh Kulli (universal), berkumpulnya ruh di alam arwah tersebut, berbentuk menyerupai jasad yang mengkandungnya, karena hukum kehidupan yang berlaku di alam tersebut adalah sama dengan hukum kehidupan dalam kandungan jasad. Dengan demikian banyak ahli Kasyf cahaya yang salah berprediksi bahwasanya jisim (tubuh) tidak berkumpul dengan ruh di alam arwah, kami juga mendapatkan kepastian dari penampakkan ketuhanan bahwasanya ruh dan jasad berkumpul di alam arwah itu. Karena kematian sejatinya adalah tercerabutnya ruh dari struktur jasad, lebih dari itu, realita tersebut merupakan jeda ketercerabutan yang berlangsung hanya beberapa saat saja! Kenyataan itu seperti orang tidur yang tidak melihat sesuatu dalam tidurnya, ia seperti orang yang tidak ada (saat tidur tersebut) karena ia tidak berada di alam realitas dan terjaga, bukan pula di alam gaib yang membuatnya menyadari eksistensi dirinya, saat tidur itu ia ada tapi tidak ada.

Untuk lebih detilnya, anda umpamakan ruh itu sebagai matahari, jika sinar matahari itu menyinari kaca sebuah rumah muka rumah itu menjadi terang, sinar matahari itu ibarat penglihatan ruh di jisim, utamanya jisim hayawan (manusia dan lainnya), sedangkan matahari itu sendiri tidak turun atau bertempat (tinggal) di rumah tersebut, jika kaca itu berwarna hijau, maka sinar yang masuk ke dalam rumah akan bermarna hijau, atau berwarna merah jika kaca rumah itu berwarna merah, pun warna-warna lainnya, cahaya matahari akan masuk rumah sesuai warna kaca yang dipakai di rumah tersebut, demikian pula dengan ruh, jika melihat ke struktur tubuh manusia atau ke struktur hewani lainnya, ia tetap pada Citranya dan tidak berubah dan bentuk aslinya, kemudian redupnya sinar matahari dari rumah ibarat terangkatnya penglihatan ruh dari jasad, kematian ibarat tertutupnya sinar matahari dari penglihatan kasat mata di alam ini, maka kematian yang terjadi pada seseorang sama realitanya dengan terbenamnya sinar matahari dari pandangan kasat mata dalam kehidupan dunia ini.

Kemudian Barzah itu, wujud sejatinya tidak utuh dan tidak indepedent, ia bersifat temporal dan kondisional, jika Barzah adalah alam permanen, niscaya ia merupakan Daar (kampung) hunian yang ditempati secara permanen seperti alam (Daar) dunia dan akhirat. Barzah dalam semantis permisalan kita, bagaikan sinar matahari yang menyinari rumah, hijauh birunya rumah itu bergantung warna kaca yang mewadahi sinar dalam rumah tersebut, hanya saja hal tersebut terjadi di alam imajinasi bagi mereka yang mencernanya secara logika, sedang mereka yang melihatnya secara Kasyf (intuisi), hakekatnya memang ada dan sebuah realita yang tak terbantahkan adanya. Imajinasi dalam lanskap ahli dunia tidak bersifat permanen serta tidak utuh, karena berdasarkan realita kasat mata yang utopis dan parsial, berbeda dengan imjinasi Ahlullah (manusia yang telah makrifatullah) imajinasi mereka utuh dan permanen, imajanisi dunia ahli makrifat itu sama 'nilai'nya dengan imajinasi akhirat ahli dunia (orang kebanyakan), imajinasi orang yang hendak mensucikan diri dari kekafiran, kesyirikan adalah dengan Mujahadah, Riyadlah dan pelatihan jiwa lainnya, realita tersebut sama persis dengan keadaan orang yang sedang tidur di alam dunia ini, selama tidak dirusak dengan hal-hal yang mengotori jiwa dan kalbu. Karenanya meski hayal para filosof dan ahli kebatinan dari pemeluk agama lam, telah sampai pada titik kejernihan, namun dominasi logika dan hukum alam (tabiat) tetap mengusai imajinasi mereka, yang menyebabkan tidak adanya ketersambungan imajinasi mereka dengan makna-makna ketuhanan. Berbeda dengan imajinasi Ahlullah (ahli makrifat), hayal mereka tidak berbasis logika dan hukum alam, imajinasi mereka terpelihara dan pelik duniawi, dijaga al Haq di dalam kegaiban azali, karena tidak adanya wujud utuh itulah Barzah disebut alam Barzah. Demikian pula imajinasi ahli dunia, ia merupakan Barzah antara alam wujud dengan alam 'adam (ketiadaan). Nisbat (perumpamaan) kiamat dengan kembalinya energi matahari yang melahirkan sinar ke energi asalnya dengan kematian yang sejatinya adalah kembalinya penglihatan ruh pada jisim (tubuh) adalah merupakan Bayan (aksioma) yang sangat gamblang, kemudian ruh-ruh itu tetap eksis dengan sifat-sifat jasad di alam Barzah, hingga al Haq membangkitkannya di alam Mahsyar, kebangkitan ruh itu sama persisnya dengan terjaganya orang tidur di alam dunia, dimana ia dapati ruhnya tetap berada dalam kandungan jasadnya, demikian pula dengan mereka yang dibangkitkan di alam Barzah untuk menuju alam Mahsyar adalah sama, yakni bangkit dengan ruh dan jasad mereka! Ketahuilah saat dibangkitkan tersebut, protipe ruh mencerminkan perilaku jasadnya di dunia, jika hidup dan kehidupan si empunya jasad di dunia baik, maka ia terbangkitkan dalam nuansa kebaikan, jika perilaku si empunya jasad di dunia jelek, ia tertampakkan dengan wajah kejelekan, karena perilaku dan wajah ruh di alam Barzah dan alam Mahsyar itu merupakan cerminan daripada perilaku manusianya di alam dunia, inilah sejatinya makna firman Qur'ani :

Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusakannya. (Q.s. an Najm 53 : 39)

Ketahuilah, bahwa keberadaan ruh-ruh yang proses penciptaan­nya dari multi cahaya al Haq tersebut, ibarat pancaran sinar matahari yang multi warna sejalan dengan benda-benda yang tersinarinya, klaim ahli hakekat yang mengatakan ketunggalan alam, ibarat matahari yang tunggal, sinarnya tetap satu, ia menjadi multi warna karena warna benda yang disinarinya yang dengan itu wajah pandangnyapun berbeda-beda pula namun demikian sinarnya tetaplah tunggal. Pahami betul masalah ini dan tela'ah kembali proses pencambutan nyawa yang dilakukan Malaikat Izaril, seperti yang telah kami paparkan pada bab terdahulu. Ketahuilah bahwasanya kondisi para manusia di alam Barzah beraneka ragam, diantara mereka ada yang diperlakukan al Haq dengan hikmah, ada yang disikapi-Nya dengan Qudrah. Perlakuan secara hikmah itu berdasarkan hakekat amal (perbuatan) manusia tersebut di alam dunia, semisal jika manusia itu di dunia orang yang ta'at kepada al Haq, maka di alam Barzah al Haq mencitrakan orang tersebut dalam nuansa keta'atan, adapun citra keta'atannya bisa berbentuk, shalat, puasa atau shadaqah, atau citra-citra keta'atan lainnya, demikianlah orang tersebut senantiasa dalam citra kebaikan, dari satu amal ke amal yang lam hingga kiamat tiba, tingkatan citra kebaikan itu sendiri bergantung dari nilai kebaikan yang dilakukan orang tersebut ketika hidup di dunianya. Demikian pula sebaliknya, jika orang itu di dunia berperilaku buruk, maka al Haq akan mencitrakan orang itu dengan keburukan, semisal ketika di dunia ia seorang pencuri, penzina, peminum khomer, maka al Haq mencitrakan farj (alat kelamin)nya dengan api yang sengatan panasnya sangat keras, baunya sangat busuk, sejalan dengan etentitas perilaku zinanya di dunia, demikian pula dengan pemabuk Dia akan mencitrakan dengan piala dari api tertuang di dalamnya api yang diminumkan ke orang tersebut, seperti ia bermabuk-mabukan di dunia, pencitraan keta'atan di alam tersebut terlanskapkan dengan cahaya, sedang kemaksiatan dicitrakan dengan api. Kemaksiatan dalam kehidupan dunia diibaratkan dengan api, sedang keta'atan dimetaforkan dengan cahaya, antara api dan cahaya silih berganti dalam diri manusia, keberadaannya saling berbalik dalam diri manusia, selama manusia itu belum menemukan nilai-nilai hakiki ketuhanan dan belum menggapai maqom makrifatullah, demikian pula dengan api dan cahaya itu dalam kehidupan alam Barzah, terus merambat dalam kehidupan penghuninya hingga datangnya Qiyamah.

Adapun penyikapan al Haq adalah dengan Qudrah, Dia tidak memperlakukan hamba-Nya dengan makna-makna perbuatan-Nya, namun dengan pencitraan Qudrah-Nya. Jika orang itu ahli maksiat, Dia mengampuninya, namun tidak menjadikan orang itu beralih ke citra kebaikan, orang itu tetap pada citra kemaksiatannya hingga hari kebangkitan, jika ia seorang ahli keta'atan, al Haq bisa saja menggugurkan kebaikannya, namun demikian tidak menjadikan citra orang itu beralih ke citra kemaksiatan hingga datangnya hari kiamat. Kebaikan dan keburukan akan didapatkan raportnya paska hari penghitungan yang raportnya baik akan beroleh surga-Nya, sesuai kadar kebaikan yang diperbuatnya pun sebaliknya akan beroleh neraka-Nya sesuai dengan kadar kejahatan yang dikerjakan orang tersebut dalam kehidupan dunia. Ketahuilah di alam Barzah itu, al Haq menciptakan makhluk yang khusus diciptakan untuk menghuni dan memakmurkan Barzah, mereka bukan dari makhluk ahli dunia dan bukan pula makhluk ahli kiamat, akan tetapi mereka berasal dari duplikat ahli akhirat, karena kesamaan asal penciptaan mereka. Barang siapa paska kematian bergaul dengan mereka, mereka merespon dengan sikap yang sangat baik, seperti halnya orang yang datang ke suatu komunitas (dalam kehidupan dunia) dan jika ia mampu berinteraksi dengan baik dengan mereka, tentu komunitas itu akan bersikap baik dan simpati kepada orang tersebut, barang siapa yang tidak mau bergaul terlebih bersikap buruk kepada makhluk-makhluk Barzah itu, mereka akan bersikap buruk dan tidak simpati kepada orang tersebut, bahkan mereka bersikap kasar kepada orang yang tidak mau bergaul tersebut. Makhluk-makhluk itulah yang dijadikan al Haq citra perbuatan manusia dalam kehidupan dunianya, jika orang itu pelaku kemaksiatan, makhluk itu akan berwujud citra buruk sebagai paradoks keburukan yang diperbuatnya di dunia, tentunya orang yang didatanginya sangat benci dan jijik, padahal yang datang itu adalah bentuk 'laku' keburukan yang dikerjakannya di dunia. Jika orang itu pelaku kebaikan, maka makhluk itu akan berwujud citra baik sebagai metafor kebaikan yang diperbuatnya di dunia, kedatangannya disambut penuh suka cita, padahal yang datang itu adalah bentuk 'laku' kebaikan yang diperbuatnya di dunia, yang sedemikian itu terus berlangsung hingga kiamat tiba.  Itulah sejatinya siksa dan pahala yang ada di alam Barzah, Pahami betul metafor ini agar anda bisa memahami hakekat alam Barzah.

Ketahuilah, bahwasanya Qiyamah, Barzah dan Kampung Dunia sejatinya keberadaannya adalah satu. Metafornya seperti papan yang satu sisinya Dunia sisi lainnya Akhirat, sedang Barzah berada diantara kedua sisi tersebut, kediaan anda yang anda saat ini berada, ia juga merupakan inti ke-dia-an anda di alam Barzah, dan ke-dia-an anda di alam barzah itu juga merupakan inti ke-dia-an anda di alam Qiyamat, eksistensi ke-aku-an anda di alam dunia, barzah dan akhirat adalah sama dengan ke-aku-an anda saat ini.' Kisi perbedaannya, Barzah bersifat dharunyah (darurat) karena dibangun diatas permasalahan dunia, demikian pula Qiyamat juga bersifat dharuri, karena dibangun diatas permasalahan Barzah, sedang permasalahan dunia bersifat Ikhtiyariyah'(multi choice) dan kebebasan memilih.

Ketahuilah, bahwasanya ketika al Haq menghendaki kiamat, Dia memerintahkan kepada Israfil as untuk meniupkan 'Tiupan Kedua' ke segenap Maujudaat (segala yang berwujud), karena tiupan pertamanya untuk kematian, sedang pencitraannya berupa alam citra ruh, di alam ini Israfil meniupkan 'Tiupan Pertama'-nya, karenanya ia digelari Malaikat Pencabut nyawa atau malaikat kematian, maka terbanglah citra ruh dari struktur tubuhnya seperti halnya ketiadaannya dalam manusia yang sedang tidur, manusia yang tidur baru menemukan kesadaran dirinya ketika terjaga dari tidurnya. Kemudian Israfil meniupkan 'Tiupan Kedua' ke segala bentuk yang berwujud yang dengan itu segala yang berbentuk (wujud) kembali ke asal penciptaannya, laksana kembalinya sinar matahari yang menyinari suatu benda ketika terbenam. Karenanya alam akhirat disebut alam ruh dan semua alam ruh ibarat tempat bertolaknya ruh yang ada dalam diri manusia oleh sebab itu manusia disebut hidup jika masih ber-ruh manusia yang tidak ber-ruh tidak bisa disebut manusia hidup, meski jasadnya tetap hidup. Pahami betul masalah ini dan tafakkuri pula bahwa alam akhirat itu ibarat alam ruh-ruh dan berkumpulnya ruh di alam ini merupakan sebuah keniscayaan, masing-masing ruh merupakan cerminan ruh yang lainnya berdasarkan hukum ketunggalan, bukan berdasar hukum tasybih (antropomorfisme) ataupun penyerupaan, sebab semua ruh itu merupakan Jauhar al Fard (entitas tunggal) yang dalam lanskap hakiki tidak terbagi-bagi, adapun jika anda melihatnya sebagai sesuatu yang terbagi dan berbilang, maka hal itu merupakan imajinasi anda sendiri, karena sejatinya ruh itu adalah Ahadiyah al Jam'ah (kesatuan dari yang banyak), itulah sejatinya firman al Haq :

Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari qiamat dengan sendiri-sendiri. (Q.s. Maryaam 19 : 95).

Jika anda bisa memakrifahi masalah ini, anda akan bisa memahami rahasia ke-Tunggal-an al Haq dalam wujud dan anda bisa menyaksikan secara hakiki apa yang dijanjikan al Haq, akan surga dan neraka-Nya serta ihwal akhirat secara Kasyf (intuisi) hakiki. Iman anda akan seperti iman Zaid ibnu Haritsah, yang tatkala rasul saw menanyanya ia berkata :

Aku menjadi mukmin hakiki, rasul bertanya apa sejatinya hakekat imanmu? Zaid menjawab : Aku melihat seakan-akan kiamat telah ditegakkan dan Arsy Tuhanku telah tampak.

Seperti yang termaktub dalam hadist rasul saw.

Adapun sejatinya kiamat kecil, adalah khusus bagi individu manusia, yang sedemikian itu ketika keseimbangan akal pertamanya terjatuhkan dari kuba (menara) keadilan paripurna dan nilai-nilai hakiki ke-Esa-an Nya terlindas dalam diri manusia, sehingga tabiat jahannam benar-benar mendominasi diri dan perilaku manusia tersebut, itulah sejatinya yang menjadi inti hijab antara seorang hamba dengan al Haq, namun demikian hijab (tirai penghalang) itu sangatlah tipis, ia laksana pedang yang memutus tali kedekatan dengan al Haq, akan tetapi jika hijab itu dapat disingkirkan, ia bisa melesat laksana larinya Buraq yang terbang menuju alam makrifah, ia juga kokoh dan berat seperti gunung karena keterkaitannya dengan bumi dibawahnya. Jika hijab itu tersingkap, Shirat al Mustaqim (Jalan Benar) menuju kenikmatan surga dzat-Nya sangatlah lurus, taman-taman sifat-Nya terwadahi dalam ke-Tunggal-an Nya, ke-aku-an orang yang Wushul (sambung) itu menyatu dengan ke-Dia-an Dia, dalam ekstase spiritual seperti itu ke-aku-an seorang hamba lebur (sirna) dalam ke-Dia-an Dia, dan ke-Dia-an Dia lebur dalam ke-aku-an hamba-Nya. Pada maqom (Jalan Benar ) ini hamba itu mendengar suara yang menyeru :

Kepunyaan siapakah kerajaan hari mz?(Q.s. al Mu'min 40 : 16),

ketika ia tidak mendapati dalam dirinya selain Dia, ia berkata :

Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Q.s al Mu'min 40 : 16)

setelah itu hamba tersebut tidak lagi Ghaflah (lalai) dan tidak pula Hudzur (hadir), ia tidak lagi berharap kematian dan kebangkitan, itulah sejatinya Qiyamah yang telah ditegakkan pada diri orang tersebut, karena tampilan lahiriyahnya telah mengalami 'adam (ketiadaan), kiaskan kiamat kecil ini dengan kiamat besar, makrifahi pula esensi al Hisab (perhitungan) dan al Mizaan (neraca), yang telah kita bahas dalam kajian surga dan neraka, telisiklah dengan jeli matafor (isyarat) yang telah kami paparkan dalam kajian tersebut, agar anda tidak terjebak dengan pemaknaan simbolistik.

Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menciptakan kampung akhirat dengan segala apa yang ada didalamnya, merupakan duplikat kampung dunia dan menciptakan dunia sebagai duplikat al Haq, maka dunia ini adalah asal sedang akhirat adalah cabang, dalam sebuah hadist rasul saw bersabda :

Dunia adalah ladang akhirat,

al Haq berfirman :

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula. (Q.s. az Zalzalah 99 : 7 - 9)'

dengan demikian perbuatan di dunia ini merupakan asal, sedang cabangnya adalah apa yang akan diterima dari perbuatan tersebut di akhirat, maka jelas sekali bahwa akhirat bukan asal, seperti klaim para ulama selama ini, qiamat merupakan muqodimahnya, sedang hasil perbuatan merupakan cabangnya, karenanya dunia penciptaan-nya lebih dahulu dibanding penciptaan akhirat dan dinamakan awal karena ia merupakan asal, sedang akhirat disebut akhir karena diciptakan pada ahiran dan merupakan cabang, jikalau akhirat bukan cabang daripada dunia, semantis logikanya ia asal dunia, hal tersebut sangatlah mustahil, karena mundahulukan sesuatu yang akhir dan mengahirkan sesuatu yang dahulu, jika ada klaim akhirat asal dan dunia cabang, hal itu jelas merupakan logika terbalik dan tidak logis.

Kemudian ketuilah, bahwa cerapan inderawi di akhirat lebih kuat dibandingkan cerapan indera di dunia ini, kenikmatan akhirat rasanya lebih nikmat dibandingkan kenikmatan dunia, demikian pula dengan kebencian akhirat lebih dahsat ketimbang kebencian dunia, yang sedemikian itu karena ruh di akhirat memiliki peran signifikan dalam menerima dan merespon kesenangan dan kebencian, berbeda dengan saat di dunia, ruh tidak memiliki peran menerima dan merespon,  karena dominasi jasad yang membungkusnya, semisal orang yang makan hidangan yang lezat sementara ruhnya fokus kepada sesuatu selain makanan itu, maka makanan yang nikmat itu terasa hambar, karena keterfokusan ruh itu menjadi penghalang untuk menghadapi makanan yang tersaji. Karenanya kampung akhirat lebih mulia dibandingkan kampung dunia, meski akhirat adalah cabang daripada dunia, anda tidak perlu heran' dengan realita tersebut, bukankah dalam alam realitas ini banyak anak yang lebih mulia dari orang tuanya,? Meski dunia asal akhirat, namun akhirat lebih utama dimata al Haq, karena kesejatian yang ada di alam tersebut, pemuliaan itu bukan berdasar semantis logika bahasa, namun pada realitas hakiki. Dalam lanskap bahasa asal lebih utama dibandingkan cabang, sedang dalam lanskap hakiki tidaklah demikian, meski dunia asal akhirat, namun pada hakekatnya, akhirat lebih utama, lebih mulia, lebih luas dibandingkan dunia ini sebabnya adalah, karena akhirat makhluk dari ruh dan ruh merupakan kelembutan cahaya-Nya, sedangkan dunia makhluk dan jisim (tubuh) yang kasar dan gelap. Semantis logika mengatakan kelembutan lebih utama ketimbang kekasaran, lebih dari itu akhirat adalah kampung kemuliaan dan kodrat. Orang seorang yang telah menggapai tangga kebahagiaan di surga-Nya, bebas berkeinginan apa saja yang ia kehendaki, sedang dunia adalah kampung kehinaan dan kelemahan, tidak ada satupun penguasa dunia yang mampu mencegah bencana, meski bencana itu tertimpakan kepada nyamuk sekalipun, meskipun demikian mayoritas penghuninya masyghul dengan kenikmatan dunia yang pasti hilangnya, sedang kenikmatan akhirat adalah tanpa batas dan kekal dalam keabadian, pemberian di dunia ini sangatlah terbatas sejalan dengan hikmah ketuhanan, jika anda fahami masalah ini dengan jeli, maka anda akan sampai kepada apa yang anda inginkan.!

Ketahuilah, akhirat dengan segala wacananya, yakni surga, neraka, A'raaf, Katsiib, kesemuanya merupakan kampung yang satu dan tidak terpisah-pisah, serta tidak berbilang. Barang siapa yang menghukumi keterpecahan wacana ahirati tersebut, maka ia berhak dilabeli dengan ahli neraka, karena penghuni neraka dibawah naungan hukum kehinaan dan ketertaklukan, barang siapa yang tidak berada dibawah naungan hukum kehinaan dan ketertaklukkan maka ia berhak dilabeli ahli surga. Barang siapa di kampung (dunia) ini berjalan diatas hukum al Haq dan mentradisikan keta'atan kepada-Nya, ia akan menjadikan al Haq, Hakim segala hakikat dampung tersebut dan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, barang siapa yang tidak berjalan diatas hukum al Haq dan bertindak maksiat kepada-Nya, ia akan beroleh hukuman, ia akan dikuasai hakekat hukum kampung ini dan tidak akan bisa lari daripadanya, seperti penghuni nereka dibawah kendali hukum Zabaniyah, realita tersebut berbeda dengan keadan penghuni surga. Ketahuilah bahwasanya ahli surga itu bebas berbuat apa saja yang mereka kehendaki, tidak ada satupun yang mengendalikan diri mereka, barang siapa yang telah memahami hakekat ilmu kampung akhirat dan surga tersebut, ia bisa memakrifahi hakekat al A'raf. Adapun sejatinya al A'raaf adalah tempat ketinggian disisi al Haq yang dalam redaksi al Qur'an disebut Disamping Singgasana al Haq, tempat ini dinamakan al A'raaf karena ia merupakan hakekat ilmu yang bisa dilihat melalui makrifah, sedang penghuni al A'raaf adalah para arif billah, itulah sebabnya insan yang makrifatullah akan bisa memahami hakekat masalah akhirat, barang siapa yang belum makrifah, ia tidak bisa memahami (memakrifahi) hakekat ilmunya, tafakkuri firman al Haq.

Dan diatas al a'raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dengan tanda-tanda mereka. (Q.s. al a'raaf 7 : 46),

yakni orang-orang yang telah menggapai maqom makrifat satu sama lain saling kenal karena ada tanda-tanda khusus yang hanya para arif itu sendiri yang mengetahui, sedang mereka yang belum makrifah tidak akan pernah bisa mengenali tanda-tanda tersebut.

Al Katsiib, merupakan maqom lain, yang berbeda dengan al A'raaf, tempatnya diatas surga Na'im, para penghuni surga yang (selama dalam kehidupan dunia) mampu makrifatullah, mereka beroleh derajat yang tinggi di al Katsiib ini, perbedaan antara ahli al A'raaf dan ahli al Katsiib adalah, bahwa ahli katsiib keluar dari dunia sebelum al Haq bertajalli kepada mereka, tatkala mereka pindah (wafat) ke akhirat, maka tempat mereka adalah surga, al Haq memberi apresiasi kepada mereka dengan mengeluarkan mereka dari surga menuju al Katsiib, Dia lantas menampakkan 'wajah hakiki Nya kepada mereka, tingkatan tajalli itu bergantung daripada tingkat keimanan dan kemaknfahan mereka kepada al Haq, sedangkan ahli al a'raaf adalah komunitas yang keluar dari dunia setelah al Haq bertajalli kepada mereka dan mereka telah memaknfahi-Nya dalam kehidupan dunia, tatkala mereka keluar dari dunia menuju akhirat, mereka tidak memiliki tempat di kampung akhirat, kecuali disisi-Nya sebab orang-orang yang memasuki suatu daerah atau negeri, ia tidak akan singgah kecuali di tempat orang yang dikenalinya, itu jika terkait dengan manusia, lebih-lebih jika berkaitan dengan al Haq, dalam pesan Qur’ani ditegaskan, tempat mereka berada di sisi Singgasana Tuhan ada keajaiban dan keghariban yang tidak mungkin kita nncikan dalam karya ini, bahkan saking uniknya kita tidak bisa memahaminya kecuali dengan metafor dan paradoks yang mengisyaratkan ke permasalahan tersebut, kecuali jika anda telah makrifah dan pernah memukasyafahinya, anda akan bisa memahami sandi-sandi dan metafor yang terkait dengannya, kita sudahi pembahasan ini, agar kita terjebak ke dalam kebodohan tafsir dan ta'wil karena masalah ini adalah masalah khusus yang tidak mungkin kita wartakan kepada para awam (muslim kebanyakan). Lebih dan itu ilmu ini untuk dimukasyafahi bukan dikhutbahkan.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 62. Tujuh Langit dan apa yang Ada Diatasnya, Tujuh Bumi Dan Apa Yang Ada Dibawahnya, tujuh Lautan dan Keajaiban-Keajaibannya Serta penghuni yang ada Didalamnya

 

Ketahuilah, semoga al Haq mengkokohkan dirimu dengan ruh-Nya. Bahwasanya al Haq sebelum menciptakan makhluk, tidak ada suatu wujudpun dan tidak ada

penampakkan wujud apapun, itulah yang disebut Harta yang Tersimpan yang diibaratkan rasulullah Muhammad saw, dengan Kabut yang diatasnya hanya udara dan dibawahnya juga berupa udara, karena hakekat wujudnya tidak memiliki kehususan yang bisa diidentifikasi eksistensinya, ia laksana permata Yaqut putih, seperti yang diwartakan hadits rasul saw :

Sesungguhnya al Haq sebelum menciptakan makhluk, terdapat Yaqutputih

ketika al Haq hendak menciptakan alam raya ini, Dia melihat hakekat segala sesuatu. Jika anda mau, anda bisa saja mengatakan bahwasanya Yaqut putih itu merupakan hakekat asal wujud. Dia melihat alam ini dengan lanskap pandang al Kamaal (kesempurnaan), Yaqut putih itu lantas berotasi menjadi air, karenanya tidak ada kesempurnaan dalam penampakkan wujud kecuali Dia Yang Esa. Dia-lah sejatinya hakekat segala sesuatu dalam lanskap batin, sedang putaran Yaqut menjadi air tidak lain merupakan hakekat lahiriyah-Nya. Kemudian al Haq melihat cakrawala ini dengan pandangan al 'Adzamah (ke-agung-an), air itu lalu berotasi laksana angin yang menghembuskan gelombang ombak di lautan, lalu berwujud laksana tumpukan buih-buih di lautan lepas, dari buih-buih itu al Haq menciptakan tujuh lapis bumi, kemudian Dia menciptakan penghuni masing-masing lapis bumi tersebut dari jenis tanahnya. Kemudian kelembutan air naik ke cakrawala, seperti uap air laut naik ke udara, darinya al Haq menciptakan tujuh langit, Dia menciptakan malaikat pada masing-masing langit itu sesuai jenisnya, al Haq lantas mengguyurkan air itu menjadi tujuh samudera diatas permukaan bumi ini, inilah sejatinya asal kejadian segala wujud di alam (dunia) ini.

al Haq wujud-Nya bersifat Qidam (eternitas), maujud (ada) di kabut yang diibaratkan sebagai hakekat 'Harta yang Terpendam' dan 'Yaqut Putih', Dia juga maujud (ada) pada segala sesuatu yang tercipta dari 'Yaqut Putih' tersebut, tanpa ada Khulul (panteisme) juga Tasybih (antropomorfisme) mutlak, Dia bertajalli disetiap partikel atom yang ada di cakrawala ini, tanpa ada keterpisahan dan kesambungan serta bilangan, Dia adalah Ahadiyah al Jam'ah (kesatuan dari yang banyak), Dia bertajalli di segala yang wujud, karena Dia Pengkarya segala sesuatu, Dia berada di 'Kabut' Dia maujud di 'Yaqut Putih' karena benda-benda yang ada di cakrawala (semesta alam) ini asal kejadiannya dari Kabut dan Yaqut Putih tersebut, jikalau al Haq tidak bertajalli pada segala wujud itu, niscaya Dia berubah, Maha Suci al Haq, Dia tidak pernah berubah, Dia Tuhan Yang Esa, tidak ada perubahan pada al Haq, yang ada hanyalah Tajalli (penampakkan) pada Yaqut Putih, yang merupakan asal kejadian alam dan isinya alam bahkan alam semesta ini. Penampakkan itu terjadi setelah Dia menciptakan segala makhluk-Nya, dari unsur penciptaan Yaqut Putih, sedang Harta Tersimpan­Nya yang belum tertampakkan itu tetap ada pada Kabut Diri Nya. Pahami betul masalah ini! Perihal Kabut ini telah kita bahas pada bab terdahulu, kini kita mulai pembahasan kita dari. Tujuh Langit yang asal kejadiannya dan Yaqut Putih.

Ketahuilah, langit yang menjadi fokus pembahasan kita dalam karya ini bukanlah perihal langit bumi, bukan pula tentang warna dan karakteristiknya, sebab sejauh mata kita memandang angkasa yang kita lihat itu sejatinya adalah awan yang tampak berdasarkan hukum tabiat (alam), dan kekeringan bumi dan kelembaban air karena sinar matahari menguap ke udara, uap air itu lalu mengisi ruang-ruang hampa udara diantara cakrawala bumi dan langit bumi, karenanya kadang kita melihat warna mega-mega itu terkadang berwarna biru, kadang biru bercampur putih, atau seperti warna debu, kesemua itu berdasarkan hukum naiknya uap air laut dari bumi dan bergantung daripada jatuhnya sinar matahari pada lautan-luatan asal uap tersebut, mega-mega itu tidak berkumpul dengan langit. Ketahuilah bentangan warna biru diangkasa raya yang kita lihat dengan mata kasat kita, bukanlah langit bumi, ia sejatinya adalah batas pandang mata kasat kita, sedang langit bumi itu sendiri diluar jangkauan penglihatan kita, karena sangat jauh jaraknya pun sangat putih warnanya lebih putih daripada susu, dalam sebuah hadist rasul saw bersabda :

Sesungguhnya jarak antara langit bumi dan bumi itu, jika ditempuh dengan jalan kaki membutuhkan waktu lima ratus tahun.

Sedang untuk melihatnya tidak membutuhkan waktu selama itu (lima ratus tahun), dengan demikian jelas sekali apa yang ditangkap mata kasat kita di angkasa raya itu bukan langit dunia, namun hal itu merupakan batas pandang mata kita, andai bintang-bintang dan benda-benda langit itu tidak menjatuhkan sinarnya ke bumi, niscaya kita belum bisa percaya bahwa apa yang kita pandang diangkasa raya itu bukan langit bumi, dengan adanya sinar-sinar bintang-bintang yang menyinari bumi itulah kita tahu, bahwa apa yang kita lihat di angkasa itu bukan langit bumi, sementara berapa milyar lagi benda-benda angkasa raya itu yang sinarnya tidak sampai ke bumi, dan kita tidak bisa melihatnya karena jarak yang super jauh dan super lembutnya, akan tetapi para ahli Kasyf (pengetahuan intuitif) dapat melihatnya serta dapat mempresentasikannya ke penduduk bumi yang dengan itu mereka bisa memahami hakekat langit bumi.

Ketahuilah, bahwasanya al Haq, telah menciptakan segala rizki dan segala aneka makanan dalam kurun waktu empat hari, dan menjadikan segala rizki serta aneka makanan itu diantara langit dan bumi, tersimpan dalam jantung empat falak (musim) yaitu :

1. Falak Panas.

2. Falak Kering.

3. Falak Dingin.

4. Falak Lembab.

Itulah sejatinya makna firman-Nya,

Dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)-nya, dalam empat masa, (penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (Q.s. Fushshilat 41 : 10)

yakni berdasarkan keseimbangan atas pertanyaan subtansial, karena segala hakekat dicari berdasarkan subtansinya, seperti halnya hakekat permohonan setiap makhluk akan harta yang terpendam, diturunkan (dikabulkan) al Haq sesuai dengan kadar hakiki permohonannya, itulah makna hakiki firman-Nya.

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran (kadar) yang tertentu. (Q.s. 15 : 21).

Kemudian al Haq menjadikan Malaikat penurunan sebagai duta-Nya menyampaikan setiap rizki kepada para hamba yang diberi rizki-Nya pada tujuh langit. Kemudian Dia menjadikan pada setiap langit seorang malaikat pembagi rizki yang berkuasa atas penghuninya, malaikat pembagi rizki itu dipunggawai malaikat yang disebut malaikat Hawadits, Dia menjadikan malaikat itu rohani bintang-bintang (benda-benda angkasa) yang ada di langit tersebut, tidak ada satupun malaikat pembagi rizki yang turun, kecuali atas izin malaikat yang menjadi rohani bintang-bintang pada masing-masing langit. Bintang langit bumi (pertama) al Qomar (bulan), bintang langit kedua, 'Atarad (Merkurius), bintang langit ketiga, Zuhra (Venus), bintang langit keempat, Syams (matahari), bintang langit kelima, Murih (Mars), bintang langit keenam, Mustariy (Yupiter), bintang langit ketujuh, Zuhal (Saturnus).

Langit Pertama : Adapun warna langit bumi itu sangat putih lebih mengkilap ketimbang perak, diciptakan al Haq dan hakekat ruh dan dinisbatkan ke bumi dengan ruh untuk jasad, demikian pula Dia menciptakan al Qomar (bulan) dari hakekat ruh, karena al Haq menjadikan al Qomar (bulan) sebagai media penampakkan nama-Nya al Hayyu (Dzat Yang Hidup). Dia menggerakkan falaknya di langit al Buruuj (gugusan bintang-bintang), di dalamnya terdapat sifat hidup segala yang wujud, falak ini juga menjadi sentra asy Syuhud (penyaksian), kemudian al Haq mengkuasakan falak al Qomar (bulan) menjadi pengatur bumi, seperti halnya ruh yang berperan sebagai pengatur ruh, andai al Haq tidak menciptakan langit bumi, dan hakekat ruh, niscaya tidak terpancarkan hikmah akan eksistensi hewani (makhluk bernyawa) di bumi dan bumi tidak lebih dan tempat Jamadaat (benda-benda mati). Kemudian al Haq menempatkan Adam di langit ini, karena Adam adalah ruh alam dunia yang dengannya (Adam) al Haq melihat segala yang wujud dan merahmatinya. al Haq menjadikan segala yang wujud itu kehidupan sebagaimana Dia menghidupkan Adam di dalamnya.

Alam dunia akan tetap hidup, selama makhluk yang berjenis 'Manusia' hidup di dalamnya, jika manusia tidak ada lagi yang hidup di alam dunia ini, maka alam dunia akan hancur dan kembali ke asal kejadiannya, seperti halnya ruh al Hayawan (makhluk bernyawa) keluar dari jasad yang membungkusnya, jasad itu akan hancur dan kembali ke asal kejadiannya, al Haq menghiasi langit bumi ini dengan cakrawala bintang-bintang, seperti halnya ruh menghiasi struktur tubuh manusia dengan kelembutan-kelembutan lahir, yang terlanskapkan dalam panca indera. Diantara perhiasan yang tercerminkan dalam kelembutan batiniyah adalah tujuh kekuatan rohani yaitu ; akal, cita-cita, pemahaman, estimasi, kalbu, hati dan imajinasi, seperti halnya gugusan bintang-bintang dalam langit bumi yang merupakan Rujuum li asy Syayaatin (alat-alat pelempar setan), demikian pula dengan tujuh kekuatan tersebut, jika orang seorang mampu mengoptimalkan secara valid dalam dirinya, tujuh kekuatan itu merupakan pedang tajam untuk menghunus bersitan-bersitan setan dalam dirinya, dan tujuh kekuatan itu menjadi benteng dirinya yang kokoh, seperti kokohnya bintang-bintang yang cahayanya menembus langit bumi. Malaikat yang mendiami langit ini adalah ruh-ruh basith (muda dan sederhana), senantiasa bertasbih memuji keagungan-Nya, jika diperintah turun oleh malaikat penguasa langit bumi ini, akan berwujud sesuai dengan misi yang diemban dan amar penurunannya, malaikat yang disuruh tersebut akan menjadi rohani perintah yang dititahkan al Haq, malaikat itu melaksanakan segenap amar perintah-Nya dengan penuh keta'atan dan dedikasi yang sempurna, jika ia diperintahkan menurunkan rizki, ia akan tunaikan perintah tersebut, hingga rizki itu sampai ke tempat (orang) yang dimaksud, jika ia diperintahkan untuk melaksanakan 'amar' keputusan al Haq, ia akan menjalankan keputusan al Haq yang ditentukan kepada hamba-Nya, baik berupa pemberian pahala ataupun hukuman, kemudian ia kembali ke langitnya semula, lalu eksis mendzikir-Nya dan selamanya tidak akan turun, kecuali jika diperintah al Haq.

Ketahuilah, al Haq menjadikan malaikat yang diberi nama Ismail, sebagai pemimpin atas segenap malaikat langit ini, ia juga merupakan rohani al Qomar (bulan), jika al Haq memerintahkan sesuatu, maka Dia mendelegasikannya kepada malaikat Ismail ini, al Haq mendudukkan malaikat ini diatas kursi yang diberi nama Manshat al Shuwar (desain citra), malaikat itu duduk diatasnya dengan multi citra, sesuai amar perintah al Haq, ia tidak kembali kepada bentuk (citra) bisathah (sederhana) untuk selama-lamanya, akan tetapi ia tetap dalam bentuk multi citra, baik yang berdimensikan universal maupun partikular, ia senantiasa eksis beribadah kepada al Haq. Dalam lanskap ruh jika mencitrakan diri pada sesuatu yang berbentuk, maka bentuk itu tidak akan lepas dari citra ruh, kecuali jika ruh itu kembali ke asal kejadiannya, jelas hal itu mustahil dilabelkan kepada sesuatu yang disebut hidup, adapun citra ruh itu terihat dari kekuatan-nya yang membias pada sesuatu yang dicitrakannya, itulah sejatinya yang disebut paradok hikmah Ilahiyah (ketuhanan). Citra rohani itu merupakan Rahmatullah dan tanda keber-Ada-an al Haq yang menegakkan segala yang wujud, seperti halnya ruh menegakkan jasad, dengan begitu segala pengetahuan yang misteri, menjadi telanjang dipandang mata tegak bersama inti (dzat) wujud. Semua jisim alam baik dari benda-benda padat (mati) dan tumbuh-tumbuhan serta hayawan (manusia dan binatang) dan isinya alam yang hidup lainnya, kesemuanya memiliki ruh yang menegakkan citra masing-masing jisim yang membungkusnya dan ruh itu tetap memuji al Haq, meski jisim yang mewadahinya telah hancur sekalipun, ruh itu akan tetap eksis sejalan dengan ke-eksis-an al Haq, karena al Haq tidak menciptakan ruh dalam kefana'an, Dia menciptakan ruh dalam dimensi keabadian.

Ketahuilah, untuk mengetahui kesejatian ruh itu, hanya bisa dilakukan dengan Mukasyafah (pengetahuan intuisi), sebab hanya dengan Kasyf (intuisi) itulah ruh yang terdapat pada segala yang wujud tersebut dapat diketahui kesejatiannya, lebih dari itu dengan Mukasyafah itu dapat diketahui hakekat Tajalli (penampakan) al Haq pada ruh-ruh tersebut, yang pada hakekatnya adalah Rahmatullah. Sedang Kalimat al Haq itu sendiri hanya bisa diketahui dengan memakrifahi hakekat asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya dan inti (dzat)-Nya. Setiap ruh dan ruh segala wujud, ter-tajalli-kan pada karekteristik jisim yang mewadainya, semisal jisim Hayawan (manusia dan binatang), tambang, tumbuh-tumbuhan atau pada pencitraan ruh yang melahirkan dimensi makna, semisal, lafadz, aktifitas, aksiden dan lam sebagainya yang tampak pada dunia ilmu pengetahuan dan dunia kasat mata, (alam realitas), jika pencitraan mh itu eksis dalam dunia ilmu pengetahuan akan melahirkan karakteristik pencitraan pada jisim yang menjadi pusat penampakkannya. Karakter pencitraan itu tidak akan berujud kecuali dengan adanya ruh dalam jisim tersebut, maka esensi pencitraan karakerter suatu ilmu itu berdasarkan ruh sesuatunya, bukan pada ilmu itu sendiri, karena eksistensi suatu ilmu itu karena inti ruhnya bukan inti sesuatu tersebut, ruh itulah sejatinya hakekat sesuatu, bukan jasad sesuatu tersebut yang melahirkan hakekat. Realita ini jelas sangat kontradiktif dengan pandangan kaum realis, yang melihat realita sesuatu itu sebagai inti sesuatu, kaum realis juga berpendapat bahwa hakekat segala sesuatu itu berdasarkan wujud kasat inderawi, segala yang tidak tampak tidak akan bisa diketahui hakekatnya, demikian halnya dengan ilmu, ilmu sejati dimata mereka adalah berdasarkan eksakta, pengetahuan yang tidak berdasarkan realita kasat mata tidak bisa diketahui hakekatnya.

Ketahuilah, hakekat segala yang wujud juga hakekat ilmu itu, nilai-nilai hakikinya tidak berdasarkan makna lahirnya, namun terdapat pada makna batinnya, pandangan kasat mata tidak akan mampu menembus dimensi hakiki, karena hakekat sesuatu itu hanya bisa disibak dengan Mukasyafah (pengetahuan intuisi), demikian halnya dengan ilmu, orang seorang tidak akan pernah menemukan hakekat ilmu kecuali dengan Kasyf, jalan Mukasyafah inilah yang selama ini ditempuh para nabi dan para wali (kekasih Allah) dalam memaknai kesejatian sesuatu. Dengan Mukasyafah ini pula para nabi dan kekasih-Nya saru sama lain bisa bersua. Saya (al Jailiy), pada pertengahan bulan Syawwal tahun 800 H, dikaruniai Mukasyafah oleh al Haq, yang dengan itu saya bisa melihat segenap para rasul dan nabi-Nya serta seluruh para kekasih-Nya, para Malaikat semesta alam dan para Malaikat al Muqorrobin (terdekat-Nya), juga Malaikat Penakluk-Nya, saya juga melihat rohani segala wujud, yang dengan itu saya bisa me-mukasyafahi hakekat segala sesuatu dan ke-azali-annya hingga keabadiannya, dengan kasyf itu saya memafhumi kesejatian segala wujud secara hakiki, yang tidak bisa saya rentah dengan kata-kata dan ungkapkan dengan perasaan. Sungguh asy Syuhud (penyaksian) yang saya lihat, tidak pernah terlihat oleh mata, terlintas dalam benak dan tidak akan tertuangkan dalam kata-kata, kesemua itu hingga kini tersimpan rapi dalam sirr (rahasia batin) saya, dan saya melihatnya sebagai karunia yang bersifat pribadi, dan tidak terbersit dibenak saya sedikitpun untuk mewartakannya.

Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menjadikan rotasi (peredaran) planet bumi ini jarak tempuhnya 11.000 tahun. Hal ini merupakan rotasi bintang bersumbu paling kecil, ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24 jam pada garis edar lurus (lingkaran vertikal), sementara itu ia berotasi pada porosnya dalam 320 hari, selain bergerak mengelilingi bumi, ia juga berevolusi diantara gugusan-gugusan bintang, yang jarak tempuh per jamnya membutuhkan waktu (durasi) 485.000 tahun lebih 120 hari, ia ini juga berotasi pada porosnya yang jarak tempuh peredarannya berdurasi 4500 tahun, demikian halnya dengan planet-planet besar angkasa lainnya, masing-masing memiliki planet yang beredar disekelilingnya, bintang paling besar rotasinya berjalan lamban, sebaliknya bintang kecil rotasinya berjalan cepat, masing-masing planet berjalan pada garis edar yang sehaluan (searah), jika tidak maka akan terjadi benturan karena saling bertabrakan, jika benturan antar bintang terjadi, maka hancurlah alam ini.

Ketahuilah, al Qomar (bulan) merupakan benda langit yang tidak bersinar sendiri, sinar bulan yang dapat kita lihat itu, sebenarnya adalah sinar matahari yang dipantulkannya, pancaran sinar bulan itu bergantung posisi (letak) bulan dalam menerima sinar matahari, ketika dalam posisi kwartir, separoh badan bulan memancarkan sinar, yang jamak disebut bulan purnama, kadang badan bulan yang menampakkan sinar itu tidak terlihat dari bumi yang jamak disebut bulan baru, karenanya bulan itu tidak tampak pada pandangan kasat mata kita kecuali dengan sinar matahari, berbeda dengan gugusan bintang-bintang lainnya yang dapat menerima sinar matahari secara utuh, seperti gelas kaca yang dapat menerima sinar matahari secara utuh, bulan tidak bisa menerima matahari secara utuh karena sinar matahari tidak menembus jisimnya, itulah sebabnya sinar matahari hanya bisa dipantulkan dengan separoh badannya, tidak lebih dari itu, sedang benda-benda langit yang lain dapat memantulkan sinar matahari secara utuh. Ketahuilah bahwasanya benda-benda langit-langit itu satu sama lain saling beredar mengitari sumbunya, masing-masing bintang memiliki planet yang mengelilinginya, bintang terbesar di cakrawala adalah Zuhal (Saturnus) sedang cakrawala terkecil adalah al Qomar (bulan). Masing-masing cakrawala memiliki spektrum yang menampakkan cahaya berkat sinar bintang yang diserapnya dan kemudian dipancarkannya kembali. Kita akan memerlukan berlembar-lembar kertas untuk menerangkan asal kejadian, menit, jam, hari, bulan dan tahun, juga asal kejadian kalender, pun paparan proses kejadian fajar dan senja, berikut sistim galaksi alam raya, kesemua itu akan menjadi berjilid-jilid buku, tapi yang paling esensial dari keterangan yang sederhana ini adalah, adanya wujud Qudrah (Kuasa) al Haq, dalam penciptaan dan pengaturan (tadbiir) semesta alam, dari wujud penciptaan dalam makro kosmos yang tampak pada pandangan kasat mata, lalu kita implikasikan dalam diri dengan bercermin pada penciptaan dan pengaturan-Nya yang tertampakkan pada mikro kosmos dalam diri kita, dengan jalan itulah kita akan dapat memakrifahi hakekat ketuhanan-Nya, yang merupakan inti pesan karya ini.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Langit Kedua : Merupakan Jauhar al Fard (entitas tunggal) yang sangat tipis dan sangat halus berwarna kelabu dalam makro kosmos (jagad raya,) al Haq menciptakannya dari hakekat al Fikr (pemikiran) sedang dalam mikro kosmos seperti pikir dalam diri manusia, karenanya pada tingkatan langit ini, al Haq meletakkan malaikat pencatat. Dalam dunia astronomi disebut bintang 'Atarad (Merkurius), langit ini dijadikan al Haq tempat penampakkan nama-Nya al Qodiir (Yang Berkuasa). Dia menjadikan cakrawalanya dari cahaya nama-Nya al Ilm (Yang Berpengetahuan) dan al Khobiir (Yang Waspada). Di langit ini Dia juga menciptakan Malaikat yang memberi inspirasi bagi para pencipta yang dengan itu banyak karya dilahirkan manusia, al Haq juga mengkuasakan kepada rohani bintang dan langit ini untuk mendelegasikan beberapa malaikat guna menyebarkan ilmu ke alam dunia ini, para jin mendatangi permukaan langit dunia ini, berikut menyimak suara-suara malaikat yang ada di langit kedua tersebut, yang sedemikian itu pendengaran ruh­-ruh tidak mengenal jarak penyimakan sebuah percakapan, selama hal itu terjadi di alam ruh, adapun jika bukan pada alamnya, maka hukum pendengaran itu berjalan sesuai alam tersebut. Ketahuilah Jin adalah makhluk yang dicipta dari ruh, meski ia hidup di alam Ajsaam (tubuh) dan Katsafah (kasar) ia bisa menyentuh permukaan langit dunia, dan menyimak perkatan malaikat penghuni langit kedua, diantara keduanya (jin dan malaikat) tidak ada sekat penghalang yang memisahkan, demikian pula orang seorang yang ingin memukasyafahi (menyibak) perkataan malaikat langit kedua, maka hal yang harus dilakukannya adalah mensucikan ruhnya agar bisa sederajat dengan malaikat penghuni langit kedua Jin meski hidup di alam dunia, ia masih bisa mencuri kabar dari perkataan malaikat penghuni langit kedua, yang dengan itu ia dapat memberitahu (mengajari) para pengikut dan penyembahnya warta-warta yang berdimensi kegaiban, namun cahaya kegaiban yang lahir dari ajaran Jin itu akan lenyap, manakalah Nur Muhammad terpancarkan, karenanya sediqdaya apapun ilmu pemuja Jin, akan dapat dikalahkan para ahli Kasyf, yang berjalan dibawah naungan Nur Muhammad.

Dalam ritual mukasyafah yang telah saya (al Jailiy) alami, di langit ini saya melihat Nuh as sedang duduk diatas tikar yang terbuat dari cahaya al Kibriyaa' (Maha Diqdaya) diantara ahli kemuliaan dan pujian, saya beruluk salam kepadanya, ia membalas salam saya dan menyambut saya dengan penuh kehangatan, saya lantas bertanya kepadanya perihal esensi langit fikr (pemikiran)nya dan maqom sirr (rahasia batin)-nya, Nuh as menjawab : bahwa langit ini merupakan 'cincin' permata al Ma'arif (pengetahuan) darinya tertampakkan karya-karya yang lahir dari rahim ilmu pengetahuan, malaikat langit ini tercipta dari cahaya al Qudrah, citra segala wujud di alam realitas ini tidak akan tercipta kecuali melalui para malaikat dari unsur cahaya Qudrah ini, malaikat ini juga merupakan 'wajah' kelembutan taqdir yang merupakan cikal bakal pencitraan segala yang wujud secara inderawi, dari langit mi pula lahir ayat-ayat penakluk dan mukjizat-mukjizat lahiriyah, darinya pula lahir karomah (keramat-keramat) yang tampak dengan kasat mata. Dalam langit ini al Haq juga menciptakan malaikat yang tidak untuk beribadah, namun untuk menjadi guide (petunjuk) para makhluk kepada cahaya al Haq, para malaikat itu terbang dengan sayap Qudrah ke langit Ibrah (pengajaran), melingkar di kepala mereka kerlap kerlip cahaya yang memancarkan kemesterian rahasia, barang siapa yang mampu menaiki punggung malaikat ini, ia akan bisa terbang lepas ke tujuh langit, para malaikat itu juga menurunkan citra rohani di hati jisim, kapanpun dan dimanapun, jika diajak beraudiensi akan berkata, jika ditanya akan memberi kontribusi pengetahuan, al Haq menjadikan rotasi (peredaran) benda langit ini jarak tempuhnya 313.000 tahun plus 120 hari ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24 jam, sementara itu ia berotasi pada porosnya dalam 320 hari. Atarad (Merkurius) juga berevolusi mengelilingi gugusan bintang-bintang yang tempuhan jaraknya berdurasi 550.000 tahun, plus lima bulan dua puluh hari. Bintang terkecil mengitari bumi dua puluh empat jam untuk satu kali putarannya, sedang bintang terbesar mengitari bumi satu tahun untuk satu kali putarannya. Rohani malaikat yang berkuasa atas segenap malaikat pada langit ini dinamakan Malaikat Nuhail as, kemudian saya (al Jailiy) melihat di langit ini keajaiban ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) ar Rahman dan kt-uniqe-kaxi ayat-ayat-Nya yang terdapat pada rahasia dunia, yang tidak akan cukup diungkapkan dengan kata-kata seluruh bahasa yang ada di muka bumi. Tafakkuri dengan jeli metafor yang kami paparkan kepada anda, mulailah dengan membaca tanda-tanda-Nya yang ada pada diri anda terlebih dahulu, sebelum anda mentafakkuri ayat-ayat-Nya yang ada di makro kosmos, (tubuh msaniyah) dengan mengacu kepada paradoks dan isyarat yang kami paparkan kepada anda.

Langit Ketiga : berwarna kuning keemasan, ia disebut az Zuhrah (venus) permatanya sangat halus, penghuninya mewarnai segenap sifat. Langit ini diciptakan dari hakekat imajinasi dan merupakan tempat daripada alam al Matsal (utama), al Haq menjadikan gugusan bintang-bintangnya, sebagai media penampakkan nama-Nya al 'Alim (Yang Maha Berpengetahuan). Menjadikan falaknya manifestasi kodrat Sang Pencipta al Hakiim (Yang Maha Bijaksana). Malaikat-malaikat langit ini, diciptakan dengan multi Syakl (bentuk) dan Shurah (citra), di langit ini terdapat keajaiban-keajaiban dan ke-uniqe-an yang tiada pernah terbersit dibenak tiap hamba-Nya, suatu kemustahilan yang terwacanakan di alam (dunia) ini dilangit tersebut menjadi hal yang tidak mustahil, evolusi benda langit ini jarak tempuhnya 15.036 tahun plus 120 hari, ia berevolusi mengelilingi bumi satu putaran sempurna 24 jam, sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet besar lainnya, dalam durasi waktu 320 hari. Punggawa malaikat bintang ini dikuasakan kepada malaikat yang bernama, Shura'iyil, ia merupakan rohani planet Venus.

Para malaikat penghuni planet ini kuasa mereka meliputi alam dunia, menjawab segenap anak cucu Adam yang bermunajat melantunkan doa. Dalam pengalaman Mukasyafah yang telah saya (al Jailiy) lakukan, saya melihat citra malaikat planet ini beraneka ragam amar penugasannya, diantara mereka ada yang menjadi wakil al Haq untuk membangunkan manusia-manusia yang tidur, baik secara langsung maupun melalui aql alam lainnya, diantara mereka ada yang dikuasakan al Haq mendidik para bayi (balita) dan mengajari mereka makna perkataan (pembicaraan), diantara mereka ada yang dikuasakan al Haq mengentas himpitan dan kepedihan hidup para hamba­Nya, ada pula yang ditugaskan menjinakkan binatang dan orang buas serta berbicara kepada para ahli tauhid, diantara mereka ada yang ditugasi al Haq mengeksiskan hati para mukmin serta mengentas mereka dari jerat-jerat setan dan membawa mereka ke pangkuan bidadari-Nya di surga, diantara mereka ada yang ditugasi al Haq menyalakan api cinta kepada dua kekasih yang dibuai asmara dan membenamkan para pecinta syahwat ke dalam jerembab kenistaan, serta mendiqdayakan para pecinta al Haq dalam kefana'an hakiki, diantara mereka ada yang dikuasakan al Haq mencitrakan dirinya menjadi 'gambar' orang yang dicintai utamanya orang-orang yang dimabuk asmara, diantara mereka ada yang ditugasi-Nya menyampaikan risalah kepada duta-duta-Nya di bumi, untuk menyeru ummat (anak zaman)nya kepada ajaran al Haq.

Di langit ini saya berjumpa dengan nabiyullah Yusuf as, dia duduk diatas singgasana rahasia yang memancarkan rumus-rumus cahaya yang tersimpan di alam hakikat, dengan pernik-pernik esensi segala makna yang selama ini berserak di rahasia Uluhiyah (ketuhanan)-Nya, disekelilingnya terdapat permadani sebening air yang keluar dan sumber (mata) airnya. Saya beruluk salam kepadanya, ia menjawab salamku dengan penuh kehangatan dan menyambutku dengan penuh bersahabat, saya katakan kepadanya : wahai junjunganku, saya ingin bertanya perihal ungkapan anda : Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir peristiwa-peristiwa. (Q.s. Yusuf 12 : 101), apakah sejatinya kerajaan yang anda maksudkan itu,? pun sejatinya ta'bir peristiwa apa yang anda maksud dari ungkapan anda tersebut,? Yusuf as menjawab : aku menghendaki kerajaan ar Rahmaniyah (ketuhanan) yang disematkan pada diri manusia dan kemanusiaan universal, sedangkan yang aku kehendaki dan ta'bir peristiwa adalah amanat (kepercayaan) yang beredar di lisan-lisan hayawan (makhluk yang bernyawa), saya katakan kepada nabiyullah Yusuf as, bukankah hal tersebut terlihat jelas metafornya bahkan merupakan realita yang sangat jelas dan gamblang? Ia menjawab : Ketahuilah, bahwasanya al Haq mempunyai amanat kepada para hamba-Nya yang mengantarkan mereka menjadi ahli al Rasyaad (petunjuk), saya tanyakan kepada Yusuf as, bagaimana mungkin al Haq memiliki amanat kepada para hamba-Nya, sebab Dia adalah asal wujud, dan awal pencipta? Ia menjawab : Demikianlah sifat, realita, hukum dan metafor al Haq, akan tetapi jamaknya manusia menjadikan amanat al Haq hanya ritual lisan simbolistik, sedang hakekat amanat-Nya dibiarkan berserak di alam kemistenan sehingga ritus ibadah mereka lebih bermaknakan simbol, nihil dari makna hakikinya, mereka bahkan terjerembab ke dalam keragu-raguan tak bertepi dalam memahami urgensi ibadah dan ubudiyah kepada al Haq. Saya tanyakan kepadanya, bagaimana hal tersebut bisa terjadi wahai nabi Allah.? ia menjawab : Ketahuilah, semoga al Haq senantiasa mengeksiskan dan memelihara dirimu, bahwasanya al Haq menjadikan kadar rahasia-rahasia-Nya pararel dengan isyarat-isyarat (metafor)-Nya yang Dia taburkan dimisteri ibarat (ta'bir), rahasia-rahasia itu Dia lemparkan di garis edar lisan-lisan komunitas hamba-Nya, mayoritas dari mereka buta (pongah) menangkap isyarat-isyarat yang dihamparkan-Nya, hanya manusia-manusia Khash (istimewa) yang mampu menangkap metafor (isyarat) ibarat-ibarat tersebut, berikut menta'birkannya (menginterpretasikannya) sejalan realita yang ada. Adakah ta'bir (interpretasi) mimpi bagian integral dari samudera ibarat yang terhamparkan bagi sampan-sampan para faqir (insan-insan yang merasa butuh kepada al Haq,) dari keterangan Yusuf as Shiddiq itu, kebodohan saya akan nilai-nilai hakekat menjadi sirna, kemudian saya pamit kepadanya guna melanjutkan pengembaraan saya ke jenjang langit yang lebih tinggi dan mega kenikmatan yang lebih agung.

Langit Keempat : ia merupakan permata kebanggaan wujud yang memiliki warna putih bersih, yaitu langit asy Syams (matahari) cahaya-cahaya, ia merupakan qutub (poros) gugusan bintang-bintang, al Haq menciptakan langit ini dari cahaya Qalbiyah (hati) dan Dia menjadikan eksistensi matahari sama dengan kedudukan hati pada diri tiap hamba-Nya, yang dengan hati itu al Haq menegakkan dan melihat tiap insan, demikian halnya dengan matahari, benda-benda langit menjadi bersinar karena pantulan cahayanya, dengan cahayanya pula tanda-tanda kekuasaan-Nya di cakrawala (alam raya), tertampakkan secara kasat mata al Haq menciptakan matahari di falak Qalbiyah (hati) untuk manifestasi ketuhanan-Nya serta media penampakkan ragam sifat ke-Qudus-an, ke-Suci-an diri-Nya. Matahari merupakan asal bagi segenap makhluk yang berdimensikan materi (kebendaan), seperti halnya nama (Allah) merupakan asal daripada degri ketinggian serta asal strata nama Uluhiyah (ketuhanan)-Nya. al Haq mendudukkan nabi-Nya yang bernama Idris as, di maqom par excelent ini, karena ke-kampium-annya dalam hakekat Qalbiyah (hati), ia memiliki tempat khusus dalam strata ketuhanan karena kelebihan yang dimilikinya tersebut, al Haq memberi apresiasi khusus kepada Idris as karena kelebihan yang dimilikinya, al Haq menjadikan langit ini tempat leanding (turun)nya cahaya-cahaya dan pundi-pundi rahasia-Nya, Dia mengkuasakan kepada malaikat-Nya yang berinisial Israfil untuk menjadi penguasa langit ini, ia merupakan rohani planet matahari, ia bertugas mengatur peredaran nasib segenap ciptaan-Nya, tidak ada yang mampu mengangkat (mengentas) kesempitan dan melenyapkan kelapangan kecuali dirinya, ia merupakan asal penciptaan kesedihan dan kegembiraan, kesempitan dan kelapangan. Israfil merupakan malaikat yang memiliki kewibawaan yang paling besar dan kekuatan par excelent, berikut memiliki hikmah yang paling diqdaya, wilayah kekuasaannya membentang dari Sidratul Muntaha, hingga tempat yang paling bawah di dasar bumi, kesemuanya dibawah previsi dirinya dari hal yang paling terkecil hingga yang mega besar, singgasananya diatas Kursiy yang merupakan asal penciptaan bintang matahari, alamnya mencakup semua langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya baik ang berdimensikan aql (akal) maupun khiss (inderawi).

Ketahuilah, al Haq menjadikan rotasi planet matahari ini jarak tempuhnya 46.000 tahun lebih 60 hari, ia berevolusi mengelilingi bumi satu putaran sempurna 24 jam, sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet besar lainnya dalam durasi waktu 65 hari, plus seperempat hari lebih tiga menit. Ketahuilah, bahwa maqom yang ditempati Idris as ini, adalah merupakan citra maqom Muhammad saw, tidakkah anda ingat, manakalah, rasul Muhammad saw sampai di langit keempat dalam mi'raj beliau, rasul saw bersua Idris as dan beliau tidak berhenti di langit tersebut, namun melanjutkan ke jenjang langit yang lebih tinggi, realita tersebut -sampainya rasul di maqom Idris as dan naiknya beliau ke jenjang langit yang lebih tinggi- merupakan bukti otentik, akan keutamaan Muhammad saw dalam martabat ketuhanan, adapun realita hakiki keutamaan rasul Muhammad saw itu adalah kelanjutan perjalanan beliau ke jenjang langit yang lebih tinggi,

Maha Suci Allah, yang memperjalankan hamba­Nya di malam hari. (Q.s. 17 : 01),

maqom Ubudiyah adalah maqom Mahmud (terpuji) dan Rafii' (tinggi), ia juga merupakan panji Hamad (puji), kesemua itu diapresiasikan al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw. Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menjadikan segenap wujud dengan segala misterinya, terlambangkan dalam bulatan matahari, yang dengan itu tertampakkan kekuatan tabiat (alam) wujud segala sesuatu, atas izin dan kehendak (perintah) al Haq matahari merupakan titik rahasia-rahasia ketuhanan, dan sentra citra oahaya-cahaya-Nya, mayoritas para nabi dan punggawa makrifat berada pada garis edar falak ini, seperti Isa as, Sulaiman as, Daud as, Idris as, Jirjis as dan nabi-nabi-Nya yang lain yang tidak berbilang jumlahnya, kesemuanya berada di naungan maqom al Jaliy (yang terang benderang) dan berdomisili di maqom ketinggian tersebut,

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.

Langit kelima: ia merupakan langit (planet) yang bernama Bahraam, ia merupakan manifestasi ke-Agung-an Ketuhanan, Keperkasaan, Kediqdayaan, Intiqom (Menuntut Balas)-Nya, di langit mi nabiyullah Yahya as diturunkan untuk menyaksikan ke-Agung-an dan ke-Perkasa-an al Haq berikut penampakkan ke-Mulia-an Diri Nya serta para malaikat-Nya, langit mi tersucikan dari citra kerendahan dan keputus asaan, langit mi merupakan embrio cita-cita dan hasrat kokoh. Langit mi diciptakan dan cahaya estimasi-Nya, adapun warnanya merah seperti warna darah, malaikat langit ini dicipta al Haq sebagai cerminan al Kamaal (kesempurnaan) dan keperkasaan-Nya dengan para malaikat langit mi para hamba Allah bisa menjadi hamba-Nya yang hakiki, dengan mereka pula segala wujud tunduk simpuh dan ahli taqlid (pengikutan tak berdasar) dihadapan al Haq, bersama malaikat langit ini para hamba yang terjauhkan dari al Haqbisa menjadi dekat, barang (kepemilikan) para hamba yang hilang bisa ditemukan kembali, dengan para malaikat langit ini para hamba yang beribadah kepada al Haq bisa menemukan sendi-sendi (tiang pancang) keimanan dalam kalbu mereka, dengan malaikat langit ini pula para hamba yang eksis beribadah bisa mengusir setan dan para kafir dari diri mereka, begitu pula para ahli ibadah itu bisa menyembuhkan orang-orang yang sakit, mengentas belitan hidup serta mengusir marabahaya yang menjangkiti diri mereka. Para malaikat langit ini juga dikuasakan menyempitkan ruh dan mencabut ruh atas izin al Hakiim (Tuhan Yang Maha Bijaksana), punggawa langit ini bernama malaikat 'Izrail, ia juga merupakan rohani falak al Murikh (Mars), al Haq mengkuasakan kepadanya sebagai malaikat al Muntaqhm (Penuntut Balas) dan Pemsta. al Haq menciptakan langit ini dari asal penciptaan yang tersimpan di Qolam (pena) tertinggi, tidak ada satupun malaikat yang turun ke bumi untuk menuntut balas, mencabut nyawa, serta menyebarkan sistim kehidupan (peraturan) kecuali atas izin dan perintah punggawa malaikat langit mi yang berinisial ('Izrail), ia merupakan rohani falak Bahraam. Ketahuilah, al Haq menjadikan rotasi planet ini, jarak tempuhnya 851.000 tahun lebih 120 hari, ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24 jam, ia berotasi pada porosnya dalam durasi waktu 826.000 tahun plus 140 hari, sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet-plnet besar lainnya per jamnya dalam durasi waktu  540 hari, sedang rohani planet ini dikuasakan untuk menghunuskan pedang-pendang dendam (penuntut balas), ia juga dikuasakan untuk memberi kemenangan dan kesuksesan bagi siapa saja yang dikehendaki al Haq untuk dimenangkan dan disukseskan.

Langit Keenam : asal pencitaannya berasal dari cahaya Himmah (cita-cita), ia merupakan permata halus nan lembut, warnanya biru cerah, gugusan bintangnya merupakan media penampakkan kiamat dan tajalli ke-Eksis-an keber-Ada-an Diri Nya, bintang bercahaya ini bernama al Musytariy (Yupiter). Dalam kembara ritual di langit ini, saya melihat Musa as berdomisili di planet mi, ia berdiri tegak di permukaan langit ini, tangan kanannya menggenggam Sidratul Muntaha, ia dalam kondisi Sakr (ekstase ritual) yang disebabkan oleh Tajalli (penampakkan) Rububiyah (ketuhanan), ia hanyut dalam dekapan kemuliaan ketuhanan, ia tenggelam didasar citra ilmu-Nya pada semesta alam, dalam ke-aku-an dirinya tertajallikan ke-Dia-an al Haq, sukmanya selalu bergetar dengan dzauq (intusi) wujdan-Nya, ia benar-benar syahdu dalam keintiman bersama-Nya. Saya mendekati Musa as dan beruluk salam kepadanya, ia mengangkat kepalanya, masih terlihat jelas gurat-gurat ekstase ketuhanan dalam dirinya' ia membalas salam saya dengan penuh kehangatan dan sikap yang penuh santun persahabatannya, saya katakan kepada Musa as: Wahai junjunganku yang mulia, dzat Yang Maha Bicara telah mewartakan realita kebenaran yang lebih gamblang dibandingkan ungkapan kata-kata, tirai-tirai penghalang itu telah dibersihkan dan diri anda, dan engkau kini menjadi insan yang tidak ada tirai antara dirimu dengan al Haq, saya berharap untuk sudi kiranya engkau menerangkan kepada saya realita yang sangat mentakjubkan yang ada pada dirimu itu?

Musa as berkata : Ketahuilah, bahwasanya tatkala aku keluar dari bumi Mesir, saat itu aku juga berusaha menghijrahkan Nasut (sifat kemanusiaanku, menuju Lahutiyah (sifat ketuhanan) diri-Nya, aku lalu bermunajat di bukit kalbuku dengan lisan rabbku, disamping pohon ke-Tunggal-an Nya, di lembah yang suci yang bersinarkan cahaya azaliyah, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku. (Q.s. Thaaha. 20 : 14). Ketika aku menyembah-Nya seperti yang Dia perintahkan kepada segala yang wujud, aku sanjungkan pujiku kepada-Nya yang Dia berhak atas puja sanjung dari sifat-sifat dan asma-asma Nya, lalu tampak cahaya-cahaya ketuhanan-Nya yang menyilaukan mataku, aku memohon Baqa' (kekal) dalam maqom (capaian spiritual) Liqo' (pertemuan), namun hal itu jelas mustahil diriku yang Muhdist (baru, adanya karena diciptakan) ini, akan eksis dengan hadirnya al Qodiim (dzat yang adanya tidak didahului oleh sesuatu apapun), lisan rahasiaku memanggil realita keagungan tersebut, aku berucap : Ya Tuhanku, tampakkanlah diri Mu kepadaku, agar aku dapat melihat kepada Mu. (Q.s. al A'raaf 7 : 143), masukkan ke-aku-an diriku ke dalam hadirat kequdusan Mu, aku lalu mendengar jawaban, Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat Ku. Tetapi melihatlah ke bukit itu. (Q.s. al A'raaf 7 : 143). Ia (bukit) itu tidak lain adalah citra dzat dirimu (Musa) yang tercipta dan cahaya Ku pada hakekat azali. Maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sedia kala), paska al Qodhm menampakkan kekuasaan-Nya, Niscaya kamu dapat melihat Ku. Tatkala Tuhannya tampak atas gunung itu, aku sangat terkesima dengan hakekat azali tersebut dan tampak al Qodiim atas al Muhdits, Kejadian itu menjadikan gunung tersebut hancur luluh. (Q.s. al A'raaf 7 : 143). Dan Musa pun jatuh pingsan. Musa as lantas bertutur : Ketika itu tidak ada yang eksis dalam al Qodiim kecuali al Qodiim, Dia tidak bertajalli dalam keagungan kecuali pada sesuatu yang agung, atas dasar itu pula pensifatan al Haq dengan an Naqs (kekurangan) dan membatasi-Nya dengan batas, merupakan sesuatu yang mustahil, karena Dia Maha Sempurna, yang kesejatian dzat-Nya tidak bisa di nalar secara akal dan tidak bisa diprediksi dengan narasi logika, tidak bisa diandaikan dengan imajinasi, semua yang terlintas dibenak, terpikir dilogika, terangan di imajinasi, terbayang di hayal tentang al Haq, Dia adalah kebalikannya. Jalan paling selamat (valid) untuk mengetahui warta-warta ketuhanan adalah dengan Umm al Kitab (induk kitab) setelah mendengar siraman rohani itu, saya lalu pamit diri kepada Musa, setidaknya paska pertemuan dengan Musa as itu aku tenggelam dalam samudera Uluhiyah-Nya yang tak bertepi.

Ketahuilah, al Haq menjadikan rotasi planet ini, jarak tempuhnya 88.000 tahun, lebih 8 bulan, ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24 jam, bintang Mars ini berotasi pada porosnya, perjamnya berdurasi 919.000 ribu, plus lima bulan lebih dua puluh hari, sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet-plnet besar lainnya dalam durasi waktu 12 tahun, al Haq menjadikan langit ini dari cahaya Himmah (cita-cita) serta menjadikan Mikail penguasa para malaikat yang menjadi penghuninya, mereka adalah para malaikat ar Rahmah, mereka adalah pengiring mi'raj para nabi, tangga yang ditapaki para kekasih-Nya menuju hadirat-Nya. al Haq menciptakan para malaikat itu sebagai media penyambung para hamba-Nya ke jenjang nilai-nilai hakiki, Dia mengkuasakan kepada mereka, untuk mengentas belitan hidup para hamba dan membawa mereka kepada kebahagiaan hakiki, membahagiakan orang yang susah, memudahkan urusan yang sulit, mensukseskan sesuatu yang gagal, para malaikat itu senantiasa berkelana diatas muka bumi, melenyapkan kebatilan, menegakkan kebenaran, menyelamatkan penghuni dunia dari cengkraman setan, para malaikat itu juga dikuasakan membagi dan menyampaikan kepada insan-insan yang dikehendaki al Haq rizki, para malaikat itu juga merupakan penyampai doa-doa para hamba-Nya, tidak ada seorangpun yang akan sampai doanya, melainkan disampaikan malaikat penghuni langit ini kehadirat al Haq, tidak ada seorangpun yang akan terentaskan dari belitan hidup, melainkan atas bantuan malaikat penduduk langit ini,' sebagaimana yang diisyaratkan rasulullah saw :

Barang siapa yang beroleh agunan malaikat penyampai doa, niscaya doanya akan dikabulkan dan teragapaiapa yang menjadi keinginannya,

karenanya dalam    bermunajat    kita    disarankan bertawasul (mendistribusikan) doa kepada malaikat, agar keterkabulan doa yang dipanjatkan beroleh agunan diterima oleh-Nya.

Kemudian dalam pengalaman Mukasyafah, saya melihat para malaikat di langit ini diciptakan untuk menjaga semua makhluk yang bernyawa dan dicitrakan dalam berbagai habitat hewani, diantara mereka ada yang diciptakan dalam citra burung-burung yang memiliki sayap tak bertepi, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan para hamba-Nya dari lumpur kegelapan dan dibawah terbang ke alam cahaya, diantara mereka ada dicitrakan dalam bentuk kuda jantan, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan hati para hamba-Nya dari penjara Syahadah (realitas) dan realitas wujud, menuju cakrawala kegaiban, diantara malaikat itu ada yang dicitrakan dalam bentuk burung garuda, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan jiwa para hamba-Nya dan alam makna menuju alam inderawi, diantara mereka ada dicitrakan dalam bentuk keledai (himar) wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan para hamba-Nya dari lumpur kehinaan, belitan hidup yang mengkondisikan diri para hamba serta mereka dikuasakan untuk melimpahkan harta dari yang sedikit menjadi berlimpah ruah. Diantara mereka ada yang dicitrakan dalam bentuk manusia, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa menjaga aqidah agama, diantara mereka ada yang dicitrakan dalam bentuk sifat Jauhar (entitasl) dan 'Arad (aksiden), wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa penabur, penawar kesembuhan bagi para hamba-Nya yang tertimpa sakit, diantara mereka ada yang diciptakan dalam citra, aneka ragam biji-bijian, air, aneka macam makanan dan minuman, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa menyampaikan rizki kepada ciptaan dikaruniakan rizki, dari segenap makhluk-Nya. Saya juga melihat dalam pengembaraan ini, malaikat yang tercipta dalam bentuk ganda, separuh dan api yang berkobar, separuh lagi dari air yang membeku, api itu tidak bisa memadamkan api yang ada, pun api tersebut tidak bisa merubah air seperti yang telah diputuskan al Haq dalam penciptaan tersebut. Ketahuilah, bahwasanya malaikat Mikail as adalah rohani bintang-bintang di langit ini, dikuasakan kepadanya memunggawai segenap malaikat penghuni langit tersebut, al Haq menciptakan asal penciptaan langit ini dari bagian sebelah kanan Sidratul Muntaha, saya bertanya kepada Mikail as, perihal Buraq Muhammad, adakah asal penciptaan Buraq itu berasal dari materi ketinggian ini? ia menjawab, tidak! Karena kesejatian dzat Muhammad saw tidak akan tertampakkan dalam wujud Katsib (kasar) dengan pengetahuan tertulis, terlebih rahasia-Nya tidak akan turun dari langit cahaya, karena ia merupakan asal penciptaan Aql Awwal (akal pertama) dan tempat hunian ruh al Afdhal (ruh utama), maka Buraq Muhammad berasal dan falak ini, sedangkan manifestasinya berupa Jibril yang tidak lain adalah ruh al amin, adapun para nabi yang lain serta para kekasih dan insan-insan yang dikasihi-Nya kendaraan mereka dalam kembara ketinggian hingga langit ketujuh, adalah dengan habitat hewan yang ada di langit ini, kemudian mereka tiada lagi memiliki kendaraan melainkan sifat-sifat (al Haq,) pun tiada lagi terjemah makna-makna melainkan inti (dzat) al Haq, demikian halnya mereka turun ke bumi juga dengan hewan-hewan langit ini, hingga sampai ke bumi tabiat. Langit Ketujuh: Adalah langit Zuhal (Saturnus), permatanya lembut nan halus, berwarnah hitam pekat laksana gelap gulita malam, al Haq menciptakannya dan cahaya Aql Awwal (akal pertama), serta menjadikannya sebagai tempat utama, adapun warnanya yang hitam, hal itu memataforkan jauhnya jarak langit ini, karenanya akal pertama tidak mengetahui melainkan alam kesempurnaan. Inilah langit yang menaungi segenap langit serta merupakan langit ter-afdhal (terbaik) berikut alam tertinggi, semua bintang tetap beredar di langit ini, gugusan bintang-bintangnya berevolusi di jagad langit ini. Rotasi planet ini jarak tempuhnya 24.500 tahun, bintang Saturnus ini berotasi pada porosnya, perjamnya berdurasi 1.020 tahun plus sepuluh sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet-plnet besar lainnya dalam durasi waktu 30 tahun. Planet-planet tetapnya selalu beredar pada garis edar yang eksis tidak ada satupun dari planet-planet tersebut yang berevolusi melebihi durasi waktu tiga puluh tahun. Planet-planet langit sungguh sangat banyak yang tak terbilang jumlahnya, para pakar astronomi tiada akan pernah mampu menghitung jumlah. Berbeda dengan ahli Kasyf (pengetahuan intuisi) mereka mengetahui jumlahnya, nama-nama perplanetnya, mereka bahkan bisa baraudiensi dengan planet tersebut dan menanyakan peredarannya, planet-planet itupun menjawab pertanyaan ahli kasyf, berikut mewartakan realita yang ada di falak-nya. Langit ini merupakan langit yang meliputi alam raya termasuk diantaranya adalah dunia ( alam yang kita hidup di dalamnya ini), langit ini juga melahirkan langit dilapis bawahnya yaitu Nur Aql Awwal, (cahaya akal pertama) yang sejatinya adalah awal makhluk (ciptaan) di alam al Muhdatsaat (kabaruan, yang adanya karena diciptakan). Saya melihat Ibrahim as menetap di langit ini, ia memiliki singgasana yang terletak disebelah kanan Arsy yang leta'knya diatas Kursiy, ia melantunkan ayat-Nya :

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku dihari tuaku, Ismail dan Ishaa (O s Ibrahiim 14 : 39) '

Ketahuilah, bahwasanya para malaikat penghuni langit ini, mereka semua adalah malaikat Muqorrobuun (sangat dekat dengan al Haq), kedekatan mereka bervariasi sejalan dengan Wadhifah (misi yang dikerjakan) yang dikuasakan al Haq kepada mereka, tidak ada langit diatas langit ini, melainkan langit Atlas (bumi). Ia merupakan falak (bintang) besar, permukaannya berupa al Kursiy al A'lah (kursi tertinggi) diantara keduanya (Atlas dan Kursi tertinggi) ada tiga falak (bintang) yang misteri dan sarat hikmah, eksistensinya tidak bisa dikatahui dengan realita kasat mata, namun hanya bisa diprediksi secara hukum. Falak pertama dari falak misteri itu adalah, falak al A'lah (tertinggi) ialah falak Huyuliy (benda pertama). Falak kedua, adalah falak Haba' (debu). Falak ketiga adalah falak Anasir (unsur), selanjutnya falak benda, sebagian ahli hikmah mengatakan setelah ketiga falak tersebut ada falak keempat yang bernama falak Thabi'a (tabiat).

Ketahuilah bahwasanya falak Atlas (bumi) sejatinya adalah hamparan halaman Sidratul Muntaha, ia berada dibawah alam Kursiy, (lihat bab Kursiy terdahulu), penghuni Sidratul Muntaha adalah' para malaikat Karwabiyuun, saya melihat mereka dengan ragam bentuk dengan jumlah yang tidak terhingga, hanya al Haq yang mengetahui persis jumlahnya. Cayaha-cahaya tajalli (penampakkan) dipancarkan kepada mereka, cahaya tajalli itu ada yang dijatuhkan pada wajahnya, ada di turun kakinya, ada pula hinggap disebelah kanannya, ada yang lekat dengan pergerakan tubuhnya,  ada yang disematkan pada ketakjuban dan keterpesonaannya, ada yang dilabelkan di ke-aku-annya. Saya melihat seratus malaikat, berpawai sementara tangan mereka membawa tongkat dari cahaya, masing-masing tongkat bertuliskan Asmaa'ul Khusnah menyemangati para malaikat yang bukan dan golongan Karwabiyyuun dan para ahli Allah (Ahl Allah) yang belum Wushul (sampai) ke maqom kedekatan bersama-Nya, kemudian saya melihat tujuh malaikat dari yang seratus tersebut, digelari punggawa Karwabiyyun, kemudian aku lihat tiga malaikat dan yang tujuh itu digelari ahli martabat dan keteguhan, saya melihat satu dari tiga'malaikat itu digelari Abdullah (hamba Allah), kesemua malaikat Karwabiyuun tersebut adalah malaikat 'Aaluun (bermartabat ketinggian), yang tidak termasuk para malaikat yang diperintahkan bersujud kepada Adam as, ada juga malaikat dalam tingkatan mi yang bernama Nun juga Qolam dan para malaikat Aaluun lain-lain, dibawah tingkatan malaikat—'Aaluun ini, ada malaikat semisal Jibril, Mikail, Israfil, 'Izrail dan lain sebagainya, di falak ini saya melihat keajaiban-keajaiban yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata dan terlalu luas untuk diperbincangkan.

Ketahuilah, bahwa jumlah falak yang diciptakan al Haq di alam ini berjumlah 18 falak, yaitu :

1. Falak : Arsy al Muhith. (Singgasana Peliputan)

2. Falak : al Kursiy (Kursi)

3. Falak : Atlas (bumi), ia merupakan falak Sidratul Muntaha.

4. Falak : al Huyuli (benda pertama).

5. Falak : al Haba' (debu).

6. Falak : al Anashir (unsur-unsur).

7. Falak : al Thaba'iu (tabiat-tabiat).

8. Falak Gugusan bintang-bintang, ia merupakan falak Zuhal (Saturnus) dan dinamakan poros bintang-bintang.

9. Falak : al Mustariy (Yupiter).

10. Falak : al Murikh (Mars)

11. Falak : asy Syams (matahari).

12. Falak : az Zuhra (venus).

13. Falak : Atarad (Merkurius).

14. al Oomar (Bulan).

15. Falak : al Atsiir (zat yang sangat halus), ia merupakan falak an Naar (api).

16. Falak : al Hawaa' (udara).

17. Falak : al Maa' (air).

18. Falak : at Thurab (tanah).

Falak Bahr al Muhith (samudera luas), di dalamnya ada al Bahamut, ia adalah paus yang memanggul bumi diatas punggungnya diatasnya ada falak udara, falak api, kemudian falak bulan Masing-masing alam dan benda-benda isinya alam, melakukan ritus ibadah kepada al Haq dengan caranya sendiri-sendiri, semua benda yang maujud (ada karena diadakan) bertasbih (melakukan sembah puji) kepada al Haq, jumlah aflak (bintang-bintang) di semesta alam ini tiada terhitung jumlah-nya, al Haq berfirman :

Masing-masing beredar di dalam garis edarnya. (Q.s. al Anbiyaa' 21 : 33)

Ketahuilah bahwasanya masing-masing dari falak api, air, udara, memiliki empat tingkatan (lapis), falak tanah memiliki tujuh lapis (tingkatan) kita fokuskan pada tingkatan-tingkatan (lapis) bumi, karena al haq selalu mengkaitkan al Ardh (bumi) dengan as Samaa' (langit) keduanya merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Tingkatan (lapis) Bumi pertama : al Haq menciptakat lapis bumi pertama mi, pada awalnya sangat putih, lebih putih daripada susu, baunya sangat wangi, lebih wangi ketimbang misik kemilau putih itu mulai memudar dengan turunnya Adam as dan surga paska melakukan tindak kemaksiatan kepada al Haq, bumi mi dinamakan bumi an nufus (nafsu), karenanya bumi mi didiami hewan-hewan, bumi ini beredar (rotasi) pada porosnya dalam durasi waktu 1166 tahun plus 240 hari. Tiga perempat ( ¾) luasnya diliputi air yang berwujud samudera luas sedang sepertiganya berupa daratan yang berada bagian tengah dan utaranya, hanya seperempat bagian kutub selatan (belahan utara) yang belum bisa dijangkau ekspedisi manusia, lain halnya dengan apa yang telah dilakukan Alexander Agung, diraja Romawi, telah sampai ke poros bumi bagian selatan tersebut, halmana dia membutuhkan waktu 24 tahun, adapun bagian utara semuanya tertutup air, yang sedemikian itu ia lakukan paska sukes berekspedisi ke tempat Masynq asy Syams (tempat terbit matahari), ia melanjutkan ekspedisinya ke poros bumi sebelah selatan, hingga sampai ke pusat gravitasi bumi selatan yang sejatinya adalah centra kegelapan, hingga datangnya Ya'juj dan Ma'juj, keduanya berada di bumi selatan yang paling selatan, nisbat keduanya dengan bumi adalah seumpama bersitan-bersitan (bisikan-bisikan) nafsu yang jumlahnya sebanyak debu tanah yang tak terbilang nominalnya, matahari tiada pernah menampakkan sinarnya di bumi tersebut selama-lamanya, karenanya mereka yang tenggelam dalam gelap gulita bisikan nafsu hingga era ini, mereka (pengikut Ya juj dan Ma'juj) sulit menjernihkan diri mereka dan tidak mampu merobohkan tembok nafsu tersebut.

Kemudian Alexander melakukan ekspedisi ke bumi belahan utara hal mana di poros bumi sebelah utara tersebut, matahari tiada pernah terbenam, bagian bumi ini sangat putih warnanya. Ia merupakan kediaman Rijaal al Ghaib (manusia-manusia gaib) punggawanya bernama Khidzir as, penghuni bumi mi beraudiensi langsung dengan para malaikat, yang Adam as tiada pernah sampai ke tempatnya, terlebih manusia-manusia pendosa (pelaku tindak kemaksiatan) tidak akan pernah bisa sampai ke bumi tersebut, bumi itu akan tetap eksis sejalan dengan fitrah penciptaannya, ia dekat dengan bumi Balghar, seperti yang diketahui Balghar adalah sebuah negeri yang tidak diwajibkan di dalamnya shalat Isya' di musim dingin, tepatnya di malam yang super pendek, hal itu terjadi di awal musim panas (lihat karya at Thahthawi) karena pada waktu itu, awan merah fajar terbit sebelum awan merah maghnb, atas dasar itulah tidak ada kewajiban shalat isya' di negeri tersebut, kita tidak perlu memperanjang keajaiban bumi ini, karena akan membutuhkan beribu-ribu lembar untuk memaparkannya, jika anda ingin memperdalam baca karya at Thahthawi. Yang paling esensial adalah, hendaknya anda menelisik metafor-metafor yang kami isyaratkan, yang jelas bagian bumi ini merupakan bumi yang paling mulia dan merupakan citra kekuasaan al Haq yang paling tinggi, karena ia tempat hunian para nabi, para rasul, para wali dan insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya, para shaleh dan ahli makrifat, andai saja anda bisa Wushul (sambung) dengan Rijaal al Ghaib tersebut, anda bisa melihat mereka begitu leluasa beraudisi dengan para malaikat, berbicara dengan bahasa ghaib dan semua perilaku mereka berdimensi gaib, ia bebas melakukan apa saja atas kehendak dan izin al Haq, sekali lagi pahami secara jeli metafor yang kami pakai, jangan sampai terjebak pada kalimat dan pemaknaan lahir, terlebih jangan hanya sekedar memaknai sesuatu dengan pemaknaan lahir karena setiap lahir memiliki batin, setiap yang haq memiliki hakekat.!

Tingkatan (lapis) bumi kedua: warnanya laksana zamrud hijau, bumi ini dinamakan bumi Ubudiyah (ritus peribadatan), penghuninya dan komunitas Jin yang mukmin, malam mereka adalah (waktu) siang bumi, demikian pula siang mereka adalah (waktu) malam bumi, penghuninya tetap mendiami bumi ini hingga matahari terbenam dari bumi dunia, mereka keluar ke permukaan bumi dan selalu ingin dekat dengan anak turun Adam as, seperti halnya besi yang selalu ingin dekat dengan magnit, penghuni bumi ini sangat takut kepada anak turun Adam as, melebihi rasa takutnya binatang kecil kepada terkaman harimau yang super buas, rotasi (peredaran) bumi ini berdurasi 1200 tahun plus 4 bulan. Tidak ada satupun penghuni bumi yang Kharbanah (rusak), semuanya sangat patuh dan hidup dalam kedamaian, mayoritas Jin mukmin itu sangat benci kepada pelaku hura-hura dan pemuas nafsu serta para pelanggar ajaran al Haq. Diantara sebab daripada banyaknya ketergelinciran (rusaknya) para Saalik (penitijalan) Allah, adalah terjebak pada bentuk penyembahan kepada makhluk (jin mukmin) penghuni bumi ini. Saya banyak melihat banyak punggawa pegiat sufie di era ini, yang bertingkah over confident (melebih-lebihkan) sikap kedigdayaan terlebih menampakkan kekhususannya, hati dan jiwa mereka telah terbutakan oleh ritus penyembahan kepada jin mukmin penghuni bumi mi, yang mereka kira al Haq, mereka mengira (percikan ilham) yang mereka tangkap itu dan al Haq, padahal berasal danjin penghuni bumi ini, sesungguhnya mereka telah terhijabkan dan al Haq, namun mereka tiada pernah merasakan hal tersebut, jika mencoba memahamankan masalah ini, niscaya mereka menolaknya, karena terlalu bebal rasa benar mereka, sehingga tidak mau mendengar saran dan peringatan orang lam. Maka pahami betul metafor yang ada, selainlah memohon kasih pertolongan al Haq, dalam setiap titian langkah anda menuju­Nya agar anda terpelihara dan memperoleh Ma'unah (kasih pertolongan)-Nya,  dari  perangkap  tipu  daya yang menyebabkan anda tersesat dan jalan-Nya.

Tingkatan (lapis) bumi ketiga : warnanya kuning laksana Zakfaran -jenis salah satu minyak wangi- bumi ini dinamakan dengan bumi tabiat, penghuninya adalah para Jin musyrik, tidak ada satupun penghuni bumi ini yang beriman kepada al Haq, mereka dicipta sebagai citra kesyirikan dan kekufuran, yang tertampakkan pada karakter dan sifat anak curu Adam as, tidak ada yang mampu mengetahui realita tersebut, selain para wah (kekasih) al Haq, para jin musyirik ini tidak akan berani memasuki negeri yang di dalamnya ada ahli hakekat, sebab cahaya ketuhanan yang disematkan kepada ahli hakekat tersebut, mampu merontokkan jin-jin musyrik tersebut, adapun negen yang tidak ada satupun ahli hakekat, maka dengan leluasa para jin musyrik itu memperdaya dan mereka berpesta pora menjerumuskan anak cucu Adam kepada tindak kesyirikan dan kekufuran, realita tersebut terus berlanjut hingga al Haq menolong penduduk negeri tersebut dengan menjadikan salah satu penduduknya ahli hakikat, dengan pemilihan orang yang Dia kehendaki menjadi kekasih-Nya itu, sinar ketuhanan-Nya senantiasa terpancar dan kekasihNya tersebut, yang dengan itu para jin musyrik akan terbakar jika ingin mendekat dan mengganggu penghuni negeri tersebut. Para jin musyrik tidak memiliki aktifitas di bumi tersebut selain memperdaya manusia dan menjerumuskan manusia ke tindak kesesatan dan kelalaian beribadah kepada al Haq, mereka berusaha dengan segala daya dan upaya untuk memalingkan para hamba al Haq, dan Dzikr dan ibadah kepada-Nya, rotasi bumi ini berdurasi 442 tahun plus 8 bulan, mereka tetap eksis tinggal di bumi ini dan tiada mengalami kehancuran, mereka tiada pernah berdzikir kepada al Haq sejak kali pertama penciptaan diri mereka, kecuali satu kali, itupun dengan bahasa yang bukan bahasa induk mereka. Pahami betul isyarat yang kami paparkan ini, pahami betul metafor yang kami pakai, agar anda bisa menelisik makna tersirat dibalik pengibaratan yang ada!

Tingkatan (lapis) bumi keempat : warnanya merah, laksana darah, bumi ini dinamakan bumi syahwat, rotasi bumi ini 73 tahun plus 120 hari, penghuninya adalah para setan, mereka sangat eksis mendiami bumi ini dan tidak pernah hancur, para setan itu beraneka ragam bentuknya, para setan itu melahirkan para Iblis, ketika mereka terusir dari sisi-Nya, mereka mengajari orang-orang yang telah diperdaya dengan berbagai 'model' sesuai misi yang mereka kehendaki, diantara manusia ada yang mereka ajari seni membunuh (Qotl), guna dijadikan 'pisau' pengganggu para hamba-Nya, ada pula manusia yang mereka ajari seni kesyirikan (penyekutuan), guna dijadikan misiu untuk menggalang opini pemahaman kesyirikan, terlebih untuk membangun sendi-sendi (tiang pancang) kekufuran dihati para hamba-Nya, ada juga manusia yang mereka ajari multi ilmu pengetahuan, untuk dijadikan 'kaki tangan' dalam berdebat dan mematahkan argumen para alim ulama, diantara manusia ada yang mereka ajari, makar (tipu daya) penipuan, berzina, pencurian dan perampokkan, serta seni-seni kemungkaran,' kedzaliman, kekufuran dan kesyirikan lainnya, sehingga tidak ada maksiat sekecilpun yang tertinggal, semua tindak kemaksiatan yang terjadi pada diri ummat manusia, adalah berkat pembelajaran Iblis, lebih dari itu Iblis juga mencitrakan dirinya dengan multi bentuk pada diri tiap manusia, Iblis bahkan menyerupakan dirinya seperti manusia yang duduk diatas singgasana kekuasaan, lalu membelajari manusia seni tipu menipu dan makar dan perbuatan sejenisnya, ia juga berdiam diri di istana ketamakan, lalu mengajari manusia seni-seni perilaku tamak, Iblis juga memotivasi para pembunuh dan penikam untuk mengapai tangga kekuasaan, mengajari ahli syirik untuk membangun imperium kesyirikan, mengajari ahli ibadah untuk meminta dirinya bukan kepada al Haq, mengajari ahli zina dan pencuri untuk selalu memuaskan keinginan nafsunya, memotivasi keduanya untuk meluapkan nafsu, kemudian Iblis membuat rantai dan memerintahkan anak cucunya, mengalungkan rantai tersebut di leher para manusia yang berhasil diperdaya, hingga tidak ada sedikitpun dalam syakilah hati orang-orang yang terperdaya itu, matan untuk bertaubat, Iblis lalu menyerahkahkan orang-orang itu kepada setan Ifrit dan komunitas sejenisnya, guna dibawah turun ke lapis bumi yang ada dibawahnya, orang-orang itu akan tetap loyal kepada Iblis, meski kalung rantai tersebut telah dilepas dari leher mereka.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Tingkatan (lapis) bumi kelima : warnanya biru seperti nila, bumi mi dinamakan bumi pembangkangan, rotasinya 627 tahun plus 8 bulan, bumi ini ramai dengan penghuninya, lapisan bumi mi dihuni para Ifrit, Jin serta para setan, mereka tidak beraktivitas, selain memotivasi dan mempimpin para pelaku kemaksiatan, kepada tindak kemaksiatan dosa besar, titah para setan penghuni bumi sangatlah diqdaya, jika mereka memanggil semuanya datang, pun sebaliknya, tipu daya setan penghuni bumi ini sangatlah kuat, meskipun demikian bagi para arif billah (mereka yang telah memahami al Haq secara hakiki), tipu daya para setan itu sangatlah lemah, hal itu ditegaskan al Haq dalam firman Qur'ani :

Sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (Q.s. an Nisaa' 4 : 76),

adapun para loyalis Iblis penghuni lapis bumi ini (para pembangkang), tipu daya mereka terhadap anak cucu Adam sangatlah kuat yang disertai tindak kekerasan dan kediktatoran, yang tidak ada satupun kaum Mustad'afm (lemah dan terlemahkan) mampu melawan tindak ketiranian para thaqut tersebut. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4). Tingkatan (lapis) bumi keenam : adalah bumi Mulhid (tidak mengakui adanya Tuhan), warnanya hitam, laksana malam yang gelap gulita, rotasi (peredarannya) 256 tahun plus 120 hari, bumi ini di marak dihuni para murtad (manusia yang keluar dari ajaran agama), tidak ada satupun penduduk bumi ini yang mau tunduk kepada ahli ibadah kepada al Haq. Ketahuilah, bahwasanya segenap Jin dengan ragam jenisnya, semuanya terbagi atas empat macam :

1. Unshuriyuun (unsur penciptaan).

2. Jenis Naariyuun (api).

3. Hawaiyuun (nafsu).

4. Turabiyuun (tanah).

Jin dari jenis Unshuriyuun tidak pernah keluar dari alam ruh, jangkauannya sangat luas, Jin jenis ini adalah yang paling keras kekejamannya, dimanakan Unshuriyuun karena kuatnya kedekatan Jin jenis ini dengan malaikat, yaitu dominasi unsur ruhiyah atas tabiat kerendahan, Jin jenis ini tidak tampak kecuali pada bisikan-bisikan jahat di relung kalbu manusia, al Haq berfirman : Para setan dari jenis manusia dan jin. Pahami makna hakiki ayat tersebut! Tidak ada yang mengetahui keberadaan Jin jenis ini melainkan para wali Allah, adapun Jin Naariyuun (api) mayoritas mereka keluar dari alam ruh, mereka mencitrakan diri dengan berbagai bentuk penampakkan, mereka jamak menampakkan diri pada manusia di alam ideal, mereka dapat mempola manusia dengan berbagai tipu daya, di alam manusia, Jin jenis ini tipu dayanya sangat dahsat, mereka bahkan bisa menyerupakan dirinya dengan bentuk manusia alim, tokoh masyarakat dan manusia-manusia penting lainnya, serta menggiring para manusia ke jalan kesesatan dengan tokoh yang dianut tersebut, Jin jenis ini terus menempel orang yang menjadi targetnya sampai ia tunduk kepadanya, sedangkan Jin Hawaiyuun (nafsu) wilayah garapan mereka berkisar pada alam inderawi, (kasat mata) mereka berusaha mengkikis nilai-nilai ruhiyah yang ada dalam diri manusia, berikut menggiring manusia untuk mentuhankan materi, serta menjadikan matan muara tujuan hidup dan kehidupan insani. Adapun Jin Thurabiyuun (tanah), mereka berusaha'memotivasi dan menjerumuskan manusia ke alam rendah dengan sifat-sifat ketanahannya, Jin jenis ini paling lemah kekuatannya demikian pula makar (tipu dayanya) sangat dhaif.

Tingkatan (lapis) bumi ketujuh : bumi ini dinamakan bumi kesedihan (kesusahan), ia merupakan permukaan Jahannam, bumi ini diciptakan dari kerendahan tabiat, penghuninya ular-ular berbisa, kalajengking, serta sebagian penghuni Jahannam, rotasi (peredaran) bumi ini 512 tahun plus 4 bulan, ular-ular dan kalajengking besarnya laksana gunung-gunung yang tinggi menjulang, membentang hingga ke Jahannam. Binatang-binatang buas (ular dan kalajengking) tersebut, dihidupkan al Haq diatas muka bumi kita ini, sebagai metafor ketuhanan, agar segenap manusia senantiasa ingat akan Jahannam dengan ragam siksanya, seperti halnya al Haq menghidupkan komunitas penghuni surga di falak yang berada di gugusan bintang-bintang agar segenap penduduk bumi bisa termotivasi untuk menggapai kenikmatan surgawi, sebelah kiri bumi (lapis tujuh) ini merupakan duplikat bumi ini dengan ular berbisa dan kalajengking dan binatang-binatang buas lainnya, sedang sebelah kanannya merupakan duplikat falak Atlas dengan bidadari dan lain-lainnya, semua itu ditampakkan al Haq untuk dijadikan bukti otentik akan adanya surga dan neraka di alam akhirat, sebab jika dalam kehidupan dunia ini tidak dihadirkan bukti-bukti otentik adanya surga dan neraka, niscaya akal manusia tidak akan mampu beroleh petunjuk untuk memahaminya, bukti-bukti otentik tersebut melapangkan jalan logika manusia untuk menalar dan mengotimalkan akal pikirnya, terlebih ketajaman mata hatinya dalam memahami warta-warta ketuhanan yang berkaitan dengan ragam kenikmatan surgawi dan pelik siksa neraka. Pahami betul isyarat-isyarat yang kami paparkan, jangan sampai melupakan makna batinya, bahkan anda harus memahami kesejatian makna batin dari apa yang tertampakkan secara lahir, sebab setiap lahir memiliki batin, setiap yang hak memiliki hakekat, orang yang arif bijaksana akan selalu mendengar (menyimak) perkataan dan mengikuti ungkapan yang terbaik, semoga al Haq menjadikan kita semua termasuk insan-insan yang apa bila diberi penjelasan, bisa menangkap kesejatian maknanya.

Ketahuilah, semua tingkatan (lapis) bumi tersebut, jika rotasi peredarannya telah berakhir, ia akan kembali ke asal penciptaannya semula, seperti halnya para penghuni neraka jika masa hukumannya telah berakhir, ia akan dikeluarkan dari neraka dan menjadi penghuni surga-Nya yang dengan itu ia bisa menyaksikan keagungan al Haq serta bisa menikmati mega kenikmatan surga. Begitu pula dengan air yang merupakan awal falak sebelum falak debu, ia juga awal falak paska falak debu, lalu setelahnya ada falak udara, kemudian falak api, benkutnya falak bulan, demikian seterusnya seperti tertib falak yang telah kita sebutkan diatas, hingga berujung pada Arsy al Muhith.

Ketahuilah, bahwasanya'tujuh samudera itu asalnya hanya dua lautan saja, yang sedemikian itu ketika al Haq melihat kabut putih, kabut itu menjadi air, sejalan dengan ilmu-Nya yang terlanskapkan dalam Haibah (kewibawaan) 'Adhamah (keagungan) Kibriyaa' (keperkasaan) karena kedahsatan Haibah al Haq itulah air laut itu menjadi asm, sedangkan air yang sejalan dengan ilmu-Nya yang terlanskapkan dalam al Luthfu (kelembutan) ar Rahmah (kepemurahan) air laut itu menjadi tawar, al Haq lebih dahulu menyebut kata tawar perihal air laut tersebut, sebagaimana yang ditandaskan firman Qur’ani : Yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit. (Q.s. al Furqaan 25 : 53). Ini pula makna hakiki ungkapan al Haq dalam hadits Qudsi : Rahmat Ku, mengalahkan kemarahan Ku. Dengan demikian jelas sekali bahwasanya asal samudera itu dua, yaitu tawar dan asin. Laut tawar itu melahirkan anak sungai yang menjorok ke arah timur, lalu membentuk lautan tersendiri, ia bisa mengairi daratan yang menumbuhkan tetumbuhan dus menaburkan aroma mewangian, kemudian laut tawar itu juga melahirkan anak sungai yang menjorok ke arah barat dimana airnya bertemu dengan air asin, dan keduanya bercampur menjadi lautan tersendiri. Adapun lautan asin melahirkan anak sungai. Pertama anak sungai yang berada ditengah bumi, airnya tetap pada rasa pertamanya yaitu asin, tidak berubah sedikitpun, lalu membentuk lautan tersendiri, anak sungai yang menjorok ke sebelah kanan, ia merupakan bagian (arah) selatan, rasa air bumi belahan itu, didominasi oleh rasa air laut ini (asin dan pahit), lalu membentuk lautan tersendiri, anak sungai yang lain menjorok ke arah Syam (Syiria dalam peta modern), ia merupakan bagian ' .rah) utara, rasa air laut yang asin dan pahit juga mendominasi bumi belahan mi, lalu membentuk lautan tersendiri. Air laut itu lalu membentang ke gunung Qof, dan semua daratan rendah lainnya, tidak diketaui secara pasti rasa air lautnya, namun yang pasti baunya tidak buruk, aroma bumi yang diliputi air laut ini menebarkan wewangian, namun tebaran aroma itu tidak selamanya eksis, ia berubah-rubah'bahkan aroma wewangian itu bisa lenyap, itulah realita yang ada pada samudera luas, yang tidak ada satupun para realis dan para Aqlani (pemuja akal) mampu menyibak dimensi kemisteriannya, adapun para ahli hakekat mereka bisa mengeja rahasia dibalik kemestenan samudera tersebut. Pahami metafor-metafor yang ada, agar anda bisa menyelami samudera hakekat isyarat yang ada.

Kini saya (al Jaily) akan memaparkan Madzlulivah (makna tersirat), dan rahasia-rahasia al Haq yang ada di jagad ini, pun dari firman-firman-Nya dengan paparan global. Adapun sejatinya laut tawar itu adalah minuman yang Thayyib (baik) dan segar, muda dilayari, ia mengusung segala sesuatu baik yang bersifat khusus maupun umum, membentangkan jalan logika dan pemahaman, meyambungkan yang jauh menjadi dekat, memberi energi sesuatu yang lemah menjadi kuat dengannya neraca tubuh menjadi tegak dan eksis, ia merupakan tiang pancang hukum keagamaan, warnanya putih wajah dari kelembutan alam, muda dikonsumsi oleh siapapun bahkan ia merupakan menu pertama yang dilahap bayi saat kali pertama lahir ke dunia ini, ia menjadi hidangan utama bagi pekerja keras, ia menjadi sumber energi tubuh, ia tercipta dari cahaya Ta'dz'im al Ihtiraam (kebesaran yang dimuliakan), ke-halal-an nya sangat jelas dan segala yang haram, dengan-nya tersambung hukum lahiriyah, dengan air ini perintah pertama tetap valid hingga masa ahirnya, banyak mengalir, nihil marabaya, bahtera yang berlayar akan sampai ke tempat tujuan dengan selamat, tiada satupun yang menghalangi laju bahtera yang berlayar diatasnya, ia merupakan jalan insan-insan yang sedang berlari menuju kesukesan, berikut Thariq (jalan) untuk menggapai harapan yang didambakan setiap insan, muncul darinya metafor-metafor kehidupan yang sangat jelas paradoks dan isyaratnya, tampak dari air ini permata (jauhar) hukum di jendela-jendela ungkapan, para penumpangnya akan terangkut hingga sampai ke tujuannya, arah perjalanannya sangat jelas dan sama sekali tidak berbalut kemestrian, dasarnya sangat mudah digapai, sumbernya sangat muda didapatkan, penduduknya pemeluk agama yang beraneka ragam, yang bersumberkan ajaran langit, penguasanya kaum muslimin, hakimnya para pakar fiqih, yang benar-benar kampium dibidangnya, al Haq mengkuasakan kepada para malaikat pemberi nikmat untuk menjaga penduduknya, Dia menjadikan mereka ahli kelapangan dan kemudahan, Dia memudahkan segala urusan penduduknya.

Air laut ini memiliki empat cabang utama yang sangat populer, berikut empat ribu cabang yang menyebar ke segala penjuru, adapun cabang yang populer itu adalah Everat. Nil. Sihun. Jihun. Sedang cabang-cabang lam yang bertebaran banyak ditemui di bumi India dan Turki serta di Habasyah (Ethopia) terdapat dua cabang, rotasi peredaran samudera mi 24 tahun, ia mengalir ke seluruh daratan rendah bumi, dengan panjang dan lebar cabang yang berbeda-beda. Sungai itu membentang dengan dua cabang. Pertama, di daerah Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi. Kedua, di daerah Na'man, adapun sungai yang alirannya melebar di daratan rendah bumi, sejatinya adalah metafor aktifitas nel (tindakan nyata), dan para pekerja, yang terwajahkan dalam aktifita membangun kontruksi bangunan (gedung-gedung mewah dan perumahan), sedangkan sungai yang alirannya memanjang di daratan rendah bumi, sejatinya adalah paradoks, penafian akan eksistensi al Haq sebagai wujud sesembahan, mereka hanya menuhankan materi, terlebih merasa tenang dan nyaman hidup dibalik gedung-gedung mewah. Esensinya mereka menuhankan materi dan menafikan Dzat Pencipta materi itu sendiri. Cabang sungai kedua ini sejatinya adalah lautan yang airnya mengalir bercampur aduk (antara air tawar dan asin). Pahami dengan betul metafor dan paradoks yang ada, hakekat sesuatu bukanlah pada penampakkan lahirnya akan tetapi pada makna tersiratnya, al Haq meliputi segala sesuatu dari permulaan sesuatu hingga akhirannya.

Laut yang berair keruh (karena campur aduk antara tawar dan asin) ini sulit dilalui, mudah hancur, ia merupakan 'titian' jalan para Saalik (penuju jalan al Haq) setiap mukmin sejati berharap bisa melintas jalan ini dan tiada satupun yang sampai ke muara perjalanan melainkan dengan kesungguhan ibadah dan ubudiyah kepada-Nya. Warnanya putih kemilau, keadaannya sangat Ajiib (unik) dan gharib, gelombangnya berupa laku kebaktian, kepatuhan, keta'atan, udara dan hembusan angin serta topannya berupa keutamaan-keutamaan perilaku, karimah ahlak, kesucian hati dan jiwa, kebersihan anggota tubuh (bersih lahir batin), ikan yang hidup di dalamnya laksana keledai dan onta yang memanggul setiap beban dan belitan hidup menuju negen kekerdilan jiwa, orang seorang akan sulit mengentas dirinya dan kekerdilan jiwa, kecupetan hati, melainkan dengan usaha yang super keras dengan energi kesabaran yang tiada tara, keeksisan yang membaja. Orang-seorang tiada akan pernah bisa bangkit dari keterpurukan jiwanya, kecuali dengan bersungguh-sungguh bekerja keras. Kesungguhan yang jernih dan tulus, berikut disertai optimalisasi diri dalam bekerja dan berbuat, adalah merupakan tiang pancang kebangkitan menuju keadaan diri yang lebih konstruktif, guna mengarungi bahtera kehidupan demi tergapainya pulau harapan. Tidak ada yang mampu melayari lautan ini, hingga sampai ke pulau ketuhanan, kecuali manusia-manusia yang memiliki azimah (hasrat kuat) yang diqdaya, hembusan udara laut ini menghempaskan jiwa-jiwa yang ragu, gamang, putus asa, hanya manusia yang berjiwa kokoh, berhati baja, berjiwa diqdaya sajalah yang bisa sampai ke tepian kesuksesan dalam mengarungi samudera ini, penduduk laut ini terdiri atas insan-insan yang shiddiq (jujur dan benar) dalam bekerja dan berbuat, perkataan dan Haal mereka dapat dipercaya (Aammim), tidak ada penghuninya yang malas bertindak (bekerja) dan hipokrit,' penghuni laut ini adalah para ahli ibadah yang tulus, para shaleh yang arif dan pegiat zuhud nomer wahid. Laut ini menghasilkan ke-baqa'-an hidup dan permata (hati dan jiwa) yang suci nan jernih, yang dengan itu mereka bersih tampilan lahinyahnya, suci batiniyahnya, mampu menangkap tajalli al Haq dan memakrifahi ekstensi ke-maujud-an Nya. al Haq mengkuasakan kepada malaikat Adzab (penyiksa), untuk menjaga laut yang rasa pahit ini, rotasi samudera ini kisarannya selama 5000 tahun, laut ini putaran arusnya hanya ada di sebagian belahan bumi tertentu saja.

Sedangkan lautan yang mengalir di dalamnya air tawar dan asm, warnanya kekuning-kuningan, gelombangnya sangat dahsat, terlihat laksana padang pasir merah, tidak ada seorangpun yang mau mereguk airnya, serta tidak ada satupun yang kuat mengarungi samuderahnya, ia adalah paradoks gedung-gedung tinggi menjulang yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu dinegeri-negeri lain, laut ini sulit sekali diarungi, banyak insan yang menuai kegetiran dan kehancuran di dalamnya, tidak ada yang bisa selamat di dalamnya, melainkan orang-orang mukmin yang memiliki keyakinan tauhid yang utuh, tidak menyerahkan pelik urusan duniawinya kepada orang-orang yang berkeyakinan aqidah lain, mereka yang menaiki bahtera para kuffar (manusia-manusia yang ingkar kepada al Haq) dalam mengarungi samudera ini, niscaya mereka akan tenggelam dan hancur, pengembaraan yang paling aman di lautan ini adalah dengan mengendarai kapal-kapal Islam (ajaran Ourani dan sunnah rasul-Nya yang shahih), para nahkoda kapal Islam itu adalah manusia-manusia yang memfungsikan akalnya secara jernih dan jujur, mereka senantiasa mengoptimalkan akal pikir mereka untuk mentafakkun ajaran Ilahiyah, baik tekstual maupun kontekstual, sedang nahkoda kapal lam, mayoritas dari mereka suka mank ongkos yang terlalu mahal, mempungli para penumpang kapal, serta menyandarkan nasib diri dan penumpang kapalnya kepada ikan-ikan paus (hiu) yang ada di dalam lautan ini, kapal non Islam ini penuh dengan trik-trik penipuan, saling menjatuhkan satu sama lain, demi mengkais kepentingan pragmatisme duniawi, mereka yang menumpangi kapal ini syakilah hati mereka tiada pernah menemukan ketenangan din, mereka selalu diliputi keragu-ragguan, kegamangan serta kegelisahan tak bertepi, yang sedemikian itu karena mereka tidak menyandarkan nasib din mereka kepada al Haq namun kepada makhluk-Nya yang fana'. Sedang para penumpang kapal Islam, al Haq menjadi agunan nasib mereka, syakilah hati mereka senantiasa dalam kedamaian, hanya insan-insan beriman yang bisa mengarungi samudera ini dengan selamat, dengan bahtera Islam tersebut, mereka bisa mengkais permata Lahuti (sifat-sifat ketuhanan) yang orisinil, berikut mereka dapat mengkais Marjaan (mutiara) Nasuut (sifat-sifat kemanusiaan) yang terpuji dan mulia, kegunaan lautan ini tiada terhmgga banyaknya dan keluasaan fungsinya tak bertepi. Orang seorang yang tidak mampu mengkais hikmah di dalamnya, ia sunggguh sangat merugi, baik secara fisik maupun secara agama, penghuni laut ini adalah ahl Siddiqiyah (ahli kebenaran), baik kebenaran yang berskala mikro, maupun bersakala makro.

Dalam pengalaman Mukasyafah saya di lautan ini, saya melihat penghuninya adalah orang-orang yang beraqidah benar, keyakinan mereka lurus, senantiasa Khusnudzan (berprasangka baik) terhadap berbagai bentuk fitnahan yang mendera diri mereka selalu ikhlas dan rela dengan apa yang ditentukan al Haq untuk diri mereka, tidak pernah putus asa menghadapi musibah yang memayungi langit kehidupan mereka, hati dan jiwa mereka selalu dibangkitkan untuk bertawajjuh kepada al Haq, Dia mengkuasakan kepada malaikat penakluk untuk memelihara lautan yang ombaknya selalu mengalir dengan deras ini, mereka adalah

Penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun suatu kota seperti itu, di negeri-negeri lain. (Q.s. al Fajr 89 : 7 - 8).

Samudera ini ombaknya menggelinding ke Iram (ibu kota kaum 'Aad) itu, penduduk tepi pantai kota tersebut juga dapat memfaatkan ikan-ikan pausnya yang sangat mentakjubkan, rotasi (peredaran) samudera ini, berdurasi jarak 7000 tahun, seorang pengembara akan butuh waktu satu tahun untuk mengarunginya. Lautan' ini penuh dengan duri-duri cobaan dan bencana, jika tidak memiliki kesungguhan yang optimal terlebih keyakinan aqidah (tauhid) yang benar akan tenggelam ke dasar kehancuran dan kerusakan diri.

Adapun lautan tawar, sejatinya adalah samudera umum (lautan lepas) yang jamak dijumpai banyak orang, warnanya kebiru-biruan, semakin biru menunjukkan kedalamnnya, orang seorang yang meminum air laut ini akan mati kehausan, kefa'an dirinya akan sirna bersama segala sesuatu yang bersifat Huduts (adanya karena diciptakan), angin azali menghembus dengan kencang, melahirkan gelombang-gelombang besar yang membahana hingga ke bibir (tepian) pantai, tidak ada seorang perenangpun yang selamat mengarunginya, angin azali tidak bisa menyelamatkan siapapun yang berenang di dalamnya, kecuali jika tangan Kasih Dzat yang Maha

Pemurah, mengulurkan kasih Inayah (pertolongan)Nya kepada perenang tersebut, mereka yang menaiki bahtera Syariat dalam mengarungi samudera ini, akan beroleh keselamatan serta akan terpelihara dari keterjatuhan ke lautan (kehidupan) yang dalamnya tak terukur, bahtera itu tiada pernah bisa berjalan kecuali dengan pelaksanaan ajaran syariat-Nya, angin azali itu tidak pernah berhembus kecuali ke arah kiri dan kanan, bahtera itu terbuat dan simbol-simbol yang tertorehkan dalam luh-luh bebatuan, mereka yang mengandalkan logika untuk memecahkan rumus-rumus (simbol) tersebut akan tersesatkan, para cerdik cendikia akan terjerembab kedalam keragu-raguan menafsiri simbol-simbol yang ada, bahterah ini penuh dengan duri-duri kehidupan, gampang hancur serta mudah diluluh lantakkan, tidak ada seorangpun dari penumpangnya yang bisa selamat, melainkan orang-orang yang bertauhid utuh dan benar serta memiliki keyakinan yang lurus, hanya beberapa orang saja dari penumpangnya yang selamat, gelombang lautan ini senantiasa menghantui para penghuninya, baik yang menetap maupun yang bepergian, para pengkelana di samudera ini akan mendapati beribu-ribu rintangan dalam setiap jengkal langkahnya, mereka dihadapkan realita yang sangat tipis antara yang halal dan haram, mereka disuguhi sesuatu yang haram namun dalam pandangan mereka seperti sesuatu yang halal, mereka sulit membedakan antara sumber penghasilan (uang) yang halal dengan uang haram, mereka tidak meyakini bahwa kenikmatan dunia ini pasti berakhir, mereka juga belum menyiapkan diri untuk kehidupan abadi di kampung akhirat, tidak ada yang mampu mengentas diri dari gelombang lautan ini, melainkan insan-insan yang memiliki azimah (keinginan kuat) yang tulus dan utuh, tidak ada yang mampu memalingkan dirinya dari euforia kenikmatan duniawi, selain mereka-mereka yang memiliki Himmah (cita-cita) al Ulwiyah (ketinggian), gelombang lautan ini dibangun berdasarkan ritus peribadatan tauhid secara murni (Ushuliyah,) tidak direcoki dengan pelik-pelik cabang (Furu'iyah,) lautan ini menghamparkan dasar-sasar peribadatan, bukan cabang-cabang peribadatan, hembusan anginnya akan menerjang keyakinan-keyakinan yang tidak berdasarkan Ushul, topan laut ini akan menggilas Furu' (cabang) ibadah yang sarat dengan bid'ah-bid'ah serta taklid (pengikutan tak berdasar).

Penghuni lautan ini tidak memiliki bintang sebagai dalil (petunjuk) selain falak Zuhrah (venus), tidak ada pemandu (nahkoda) bahtera kapal di lautan ini selain niat yang tulus dan jernih guna menyeberangi Dzulumaat (kegelapan) laut, ikan-ikan paus yang hidup di dalamnya mampu mencitrakan dirinya dengan bentuk segala makhluk, tubuhnya mengandung minyak-minyak penawar racun yang multi guna, al Haq menciptakan binatang-binatang yang hidup di lautan ini dari cahaya nama-Nya al Qodiir, Dia menjadikan binatang-binatang laut tersebut, hakekat hikmah lahiriyah dan tajalli-Nya. hanya manusia-manusia yang khusus yang bisa mengentas diri mereka dan ketenggelaman samudera yang dalam, berikut mereguk hikmah-Nya yang berserak di dalamnya, al Haq menjadikan penghuni laut ini terdiri atas malaikat ketinggian yang memiliki tangan-tangan kekuasaan yang panjang, Dia mengkuasakan kepada malaikat penghidup memelihara penghuni samudera tersebut.

Ketahuilah, bahwasanya Dzat yang Qidam (adanya tidak didahului oleh sesuatu), Dia melihat kepada permata Yaqut yang berada di 'Adam (ketiadaan) samudera ini memilik cahaya dari permata Yaqut tersebut dengan segala kewibawaan-Nya, rasa tawar airnya adalah lahir dari citra kewibawaan dan rahmat serta keagungan­Nya, ketika Yaqut itu berubah menjadi air maka jadilah Yaqut itu dua lautan yang satu gelap gulita, sedang satunya lagi terang benderang, tatkalah kedua lautan itu mengalir, maka bertemulah air tawar dan asin, (terang dan gelap), al Haq membiarkan dua lautan itu mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. (Q.s. ar Rahmaan 55 : 19 -20). Air yang mengalir dan berkumpul di pertemuan dua laut tersebut merupakan metafor pertemuan dua hukum dan perintah (syariat lahir dan hakekat batin), secara lahiriyah ia mempakan inti mata air yang mengalir dari sebuah daerah yang bernama Azyil pada bumi belahan barat. Kekhususan laut yang terdiri atas pertemuan dua (air) laut ini barang siapa yang meminum airnya tidak akan mati, barang siapa yang menyelam di dalamnya akan bisa melahap hati Bahamut, adapun sejatinya Bahamut adalah paus yang hidup di air laut tawar, laut dan pausnya dijadikan al Haq, penyangga dunia dan isinya dunia, ketika al Haq membentangkan bumi ini, Dia menjadikannya diatas dua tanduk lembu jantan yang dinamakan Baharmut, serta menjadikan lembu jantan itu diatas ikan paus yang ada di lautan ini dan dinamakan Bahamut, yang sedemikian itu seperti yang diisyaratkan al Haq dalam firman Qur’ani :

Dan semua yang ada dibawah tanah. (Q.s. Thaahaa 20 : 6).

Telisik dengan benar metafor (isyarat) yang kami gunakan dalam keterangan ini agar anda tidak terjebak pada makna simbolnya.

Di pertemuan dua laut itulah, Musa as berjumpa Khidhir as di tepi pantainya, karena al Haq telah menjanjikan kepada Musa as bahwasanya ia akan bersua dengan hamba kinasih-Nya di pertemuan dua laut, Musa as dengan disertai anak muda yang bertugas membawa bekal makanan memulai pengembaraan mencari tempat pertemuan dua lautan tersebut, tatkala keduanya sampai pada seuatu tempat yang sejatinya adalah pertemuan dua laut itu, keduanya lupa akan bekal makanannya (ikan yang dibawahnya) keduanya lalu kembali ke tempat penyimpanan makanan, ketika sampai, air laut sudah pasang dan bekal makanan yang berupa ikan tersebut menjadi hidup karena tergenang air pasang, ikan itu lalu melompat mengambil jalannya ke laut ditempat tersebut, Musa as sangat takjub dengan kejadian itu, bagaimana mungkin ikan yang telah dipanggang bisa hidup kembali seperti sediakala, mata hatinya terbuka dan ia menjadi yakin bahwasanya al Haq telah memberi isyarat, bahwa laut yang dituju ikan itulah sejatinya pertemuan dua lautan yang salama ini ia cari, adapun pemuda yang mendampingi pengembaraan Musa as itu bernama Yusa' bin Nun, ia lebih tua usianya dibandingkan umur Musa as, kisah kembara agung ini banyak direntah dalam pesan Qur'ani, kami telah membahas khusus masalah tersebut dalam karya kami yang berjudul Masamirah al Habiib wa Musayarah as Shahiib, untuk lebih jelasnya silahkan anda membaca karya tersebut.

Alexander Agung sengaja pergi ke tempat ini untuk mereguk air lautnya, yang sedemikian itu Alexander Agung mempercayai petuah Plato yang memaklumatkan, bahwasanya : barang siapa yang mereguk air kehidupan (air pertemuan dua lautan) ini, ia tidak akan pernah mati. Plato sendiri telah sampai ke tempat tersebut dan meminum air lautnya, ia hingga kini tetap eksis (hidup) di sebuah gunung yang bernama Dravenda, setidaknya itulah keyakinan para Platonis. Aristoteles yang merupakan punggawa murid Plato adalah guru Alexander Agung, Aristoteles juga menyertai Alexander Agung dalam pengembaraannya menuju pertemuan dua laut tersebut, dalam pengembaraan itu, ketika mereka melintasi bumi kegelapan. Aristoteles memilih sikap terus berjalan, ia hanya diikuti segelintir pasukan, sedang mayoritas pasukan lebih memilih memasang tenda besar di sebuah tempat yang bernama Tsabat, ditempat mi dapat dilihat matahari menampakkan sinarnya tatkala terbit, Khidhir as juga ada diantara pengikut kembara Alexander Agung itu, mereka tidak tahu sudah berapa jarak yang telah mereka tempuh, berapa hari yang telah mereka lewati dalam pengembaraan tersebut, tiba-tiba mereka merasa telah berada di tepi laut, dengan sigap sebagian dan mereka turun ke tepi laut untuk mereguk airnya, tidak sedikit dari anggota rombongan yang putus asa dan memilih tidak ikut melanjutkan pengembaraan, mereka memutuskan untuk tetap di markas persinggahan, sejatinya mereka telah sampai pada tempat yang mereka tuju (pertemuan dua laut) akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa tempat itu adalah pertemuan dua laut, mereka-pun tidak turun ke pantainya dan meminum air lautnya padahal Khidir as, telah mengisayaratkan kepada mereka dengan menyembelih seekor burung dan mengikatnya di pergelangan tangannya, ia lalu pergi ke tepian laut tersebut ketika burung itu dibenamkan ke air laut tiba-tiba hidup kembali seperti sedia kala, Khidir as lalu melepaskan burung tersebut, ia sendiri lalu mandi dan berenang serta mereguk air laut tersebut, semua orang melihat apa yang diperagakan Khidhir itu namun tidak ada satupun yang menangkap isyarat yang ia berikan kepada mereka, Khidhir as juga tidak memberitahukan hal tersebut kepada Alexander Agung namun Plato sangat jeli menangkap pesan tersirat yang dipragakan Khidhir as tersebut, Plato dari lubuk hatinya yang paling dalam mengakui Khidhirlah yang beruntung dalam pengembaraan itu, karena ia telah mereguk air kehidupan, ia patut diberi apresiasi yang tinggi dan wajib diikuti, Plato berguru kepada Khidhir hingga ajal menjemputnya, sedang Alexandena hanya bisa belajar ilmu Khidhir dari apa yang diajarkan Plato kepada dirinya. Ketahuilah, sejatinya Ain al Hayah (air kehidupan) itu adalah hakekat inti (dzat) dari segala yang wujud. Pahami isyarat ini agar anda bisa memecahkan rumus ibarat, jangan hanya memaknai hakekat sesuatu dengan pandangan kasat mata anda, pahami sesuatu dengan lanskap pandangan kesejatian diri anda, atau jangan memahami hakekat sesuatu sebelum anda bisa memahami kesejatian diri anda agar anda bisa menggapai maqom (capaian spiritual) sebagaimana digambarkan pesan Qur’ani,

Mereka itu tetap hidup disisi Tuhannya dengan perolehan rizki. (Q.s. ali Imraan 3 : 169),

yang dengan itu sejalan dengan perjalanan waktu, anda akan diperkenankan berjalan dan bergabung dengan kelompok yang telah lebih dahulu bersua dengan Khidhir as dan Musa as serta anda akan terjauhkan dari Alexander dan kegelapan siang bolongnya.

Kita telah membincang perihal Khidzir ini pada pasal terdahulu, ia dicipta al Haq dan hakekat,

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku.  (Q.s. al-Hijr 15 : 29),

sejatinya adalah Ruh Allah, karenanya Khidhir as tetap hidup hingga hari kiamat. Dalam kasyf, saya bertemu dengan Khidhir as, saya bertanya banyak hal kepada kinasih al Haq tersebut, paska pertemuan itu saya bisa mereguk semua air yang terhampar di samudera kehidupan luas mi, ketahuilah bahwasanya samudera luas yang tersebut diatas berikut apa yang terpisahkan dari gunung Qoof dan alirannya melebar ke segenap dataran rendah bumi yang barairkan asin dan rasanya pahit, adalah merupakan lautan kasat mata yang jamak kita temukan di berbagai penjuru dunia, sedang laut yang tersambungkan dengan gunung itu, adalah laut merah yang bau airnya tidak amis, adapun laut yang berada di balik gunung Qoof dan tersambung dengan gunung hitam, ia adalah laut hijau rasa airnya sangat pahit seperti racun yang mematikan, barang siapa yang menenggaknya akan hancur dan sirna seketika, sedangkan laut yang berada dibalik gunung itu dan tidak tersambung dengan segala yang wujud dibaliknya disebut laut hitam yang tidak diketahui kesejatian rasa dan baunya, tidak ada seorangpun yang bisa menjangkaunya, bahkan kabar tentang kesejatian laut ini telah sirna dan terkubur sejarah peradaban kehidupan insaniyah, adapun laut merah airnya tidak amis, ia bahkan menebarkan aroma misik dan kasturi, ia jamak disebut dengan laut harapan, yang menebarkan kesejatian segala wujud, dalam mukasyafah saya melihat ditepian laut ini marak dihuni para insan beriman, yang tekun beribadah mendekatkan diri kepada al Haq, mereka telah Wushul (sambung) dengan al Haq, barang siapa yang berinterkasi (bergaul) dengan mereka akan bisa memakrifahi hakekat ketuhanan-Nya, hingga sampai kesejatian inti (dzat)-Nya.

Wajah mereka, laksana sinar mentari yang menampakkan senyumnya dengan terang benderang, menerangi insan-insan yang berada dipersimpangan jalan yang terjerembab ke dalam keragu-raguan sikap dalam mengeksiskan diri meniti jalan al Haq, sinar mentan itu akan menyinari insan-insan yang memaklumatkan ketaubatan dirinya, ditengah arus gelombang dashat kehidupan yang sarat misteri, jika mereka hendak bepergian mengarungi samudera mi, mereka berkalobrasi dengan paus-paus penghuninya, mereka menaiki paus-paus itu untuk membelah samudera raya, karena paus-paus itulah satu-satunya kendaraan yang ada di belantara samudera mi, sumber penghasilan mereka adalah al Lu'Lu' (permata) dan Marjan yang ada di dalamnya, tatkalah mereka bersandar diatas punggung paus mi, tiba-tiba mereka pingsan karena aroma wewangian laut ini, ketika mereka mengarungi bahtera ini, mereka kubur ke-aku-an diri mereka pun mereka tenggelamkan perasaan inderawi yang ada dalam diri mereka, mereka ceburkan diri mereka ke dalam lautan sepenuh hati, paus itu memudahkan langkah mereka menuju bibir pantai pulau idaman, ditempat itu mereka hanyut dalam euforia ritual yang tak bisa direntali dengan kata-kata, manakala mereka kembali ke daratan tempat mereka semula tinggal dan mereka benar-benar telah keluar dari lautan tersebut, maka kembali pula akal mereka, yang dengan itu mereka bisa mentafakkuri perjalanan ritual yang telah dilaluinya, lalu keajaiban-keajaiban tersebut mereka simpan dalam-dalam di sirr (rahasia batin) mereka, yang tidak bisa mereka tuturkan kepada kita, jamak kita dengar sesuatu yang tiada pernah terlihat oleh pandangan kasat mata, tiada pernah tersimak oleh pendengaran telinga, dan sama sekali tidak pernah terbersit di hati tiap manusia.!

Ketahuilah, gelombang air samudera ini, setiap deburan ombaknya membanjiri apa yang ada diantara langit dan bumi, deburan ombak itu terjadi berjuta-juta kali, andai Dzat Yang Maha Mengetahui akan Kekuasaan-Nya tidak meluaskan samudera ini, niscaya tidak ada satupun yang wujud ini yang tersisah disapuh golombangnya, al Haq mengkuasakan kepada para malaikat Karwabuun, menjaga samudera ini, mereka berdiri di tepian samudera, tidak ada penghuni samudera ini melainkan binatang-binatang laut dan paus-paus. Adapun laut Hijau rasa airnya terasa pahit, sumber kesirnaan dan ketenggelaman, para alim (ulama) pegiat hakekat mensifatinya dengan sebaik-baik sifat, para insan yang telah mengarifi kesejatian laut ini, memberi 'simbol' dengan simbol terbaik, tidak ada paus penghuninya yang apabila dinaiki tidak menyebabkan kematian si penunggangnya. Saya pernah melihat pesisirnya terdapat kota yang tenang dan aman, itulah sejatinya kota yang disinggahi Khidhir as dan Musa as, seperti yang diwartakan pesan Qur’ani,

Tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, meeka berdua minta dijamu, kepada penduduk negeri tersebut, akan tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka berdua. (Q,s, al Kahfi 18 : 77),

yang sedemikian itu karena keduanya (Khidhir dan Musa) mengenakan pakaian gembel yang jamak dikenakan para faqir, sehingga membuat penghuni kota enggan menjamu keduanya, lebih dari itu penduduk kota itu adalah kaum elit yang menu dan porsi makan mereka sekelas menu para raja dan penguasa negeri.

Dalam muksyafah, saya melihat penghuni kota itu sangat hobi menyelam di samudera ini, mereka memiliki kecintaan yang dalam untuk menenggelamkan diri mereka ke dasar samudera, mereka berkumpul tiap awal tahun, yang tidak lain hari raya mereka, pada hari itu mereka menghiasai kapal-kapal mereka dengan dekorasi terbaik, kapal mereka penuh aneka warna, keceriaan lahiriyah tersebut menggambarkan keceriaan batin mereka, kemudian mereka beramai-ramai mendorong kapal-kapal itu ketepian pantai, lalu bergerak bersama-sama mengarungi samudera luas dengan kapal masing-masing, diantara mereka ada yang tenggelam bersama kapalnya ke dasar lautan, diantara mereka ada yang kembali ke daratan dengan selamat, mereka yang tenggelam dianggap telah menuai kesuksesan, sedang mereka yang kembali kedaratan, dianggap sebagai manusia yang gagal dan hidupnya menjadi marginal dimata anak zamannya, namun demikian orang itu masih diberi kesempatan untuk melaut pada tahun berikutnya, hingga bisa terwujud keinginannya tenggelam dan tewas dilautan lepas untuk memuaskan dahaga kerinduannya kepada sang laut. Seperti halnya kerinduan si penakut kepada sinar lentera untuk menina bobokkan dirinya, ia selalu ingin berada dibawah temaran cahaya hingga ia benar-benar terbenam dalam tidurnya.

Adapun laut ketujuh, warnanya hitam pekat, penghuninya tidak bisa diidentifikasi, pausnya juga tidak bisa dideteksi, ia adalah laut yang mustahil bisa dijangkau, karena tidak mungkin dijangkau, ia berada dibalik at Tathawwur (pertumbuhan) dan diujung putaran keajaibannya tak berujung dan keuniqannya tak bertepi, ia sejatinya adalah Bahr al Dzat (Samudera Dzat), yang hanya bisa dilihat eksistensi-Nya melalui tajalli sifat-sifat dan asma-asma-Nya, ia adalah samudera Ma'dum (ketiadaan) dan Maujud (ada), ia merupakan samudera Marsum (yang diformat) dan Mafqud (yang dihilangkan) yang Ma'luum (diketahui) dan yang Majhuul (misteri), ada-Nya adalah ketidak adaan-Nya, ketidak adaan-Nya adalah kemaujudan (ada)-Nya, awal-Nya meliputi akhir-Nya, batin-Nya tercerminkan dalam lahir-Nya, tidak bisa dijangkau hakekat dzat-Nya, tidak ada satupun yang bisa mengetahui inti Dzat-Nya di alam ini. Pahami betul isyarat-isyarat yang kami pakai dalam paparan pasal ini, agar anda bisa menangkap makna yang tersirat dibalik yang tersurat.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Sudah Edit 63. Akidah Semua Agama dan Ritual ibadah Serta Nuqta (Titik) segala Haal dan Maqomat

Ketahuilah, bahwa al Haq tidak menciptakan segala yang wujud, melainkan untuk beribadah kepada-Nya, semuanya terkodratkan untuk menyembah kepada al Haq, karena fitrah penciptaan mereka adalah untuk beribadah, ketersambungan segala sesuatu dengan al Haq adalah dengan mentradisikan ritus ibadah kepada-Nya dengan Haal (keadaan)Nya dan Maqol ujaran dan rasionalitas wujudnya serta fi'il (perbuatan)nya, bahkan dengan dzat dan sifat-nya, segala yang wujud adalah muthi' (patuh) dan mentradisikan keta'atan kepada al Haq, sebagaimana firman-Nya kepada langit dan bumi:

Datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku, dengan suka hati atau terpaksa, keduanya menjawab : Kami datang dengan suka hati. (Q.s. Fushsshilat 41 : 11),

tidaklah yang dimaksud dengan langit itu, melainkan penghuninya, pun tidaklah yang dimaksud dengan bumi tersebut, melainkan penduduknya, dalam ayat lain al Haq berfirman :

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Ku. (Q.s. ad Dzaariyaat. 51 : 56).

Rasul saw juga bersaksi bahwanya segala yang wujud tersebut, menyembah (beribadah) kepada al Haq, sebagaimana sabda beliau :

Masing-masing berjalan sesuai dengan kodrat penciptaannya,

para jin dan manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk beribadah dan mereka berjalan sesuai kodrat (fitrah) penciptaan masing-masing. Mereka (masing-masing makhluk) menyembah al Haq secara primer, namun demikian ritus peribadatan mereka satu sama lam berbeda-beda tergantung daripada tingkat pemahaman mereka akan urgensi nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang sedemikian itu al Haq bertajalli dengan nama-Nya al Mudzzil (yang menjadikan tersesat), seperti halnya Dia bertajalli dengan nama-Nya al Haadi (yang memberi petunjuk), demikian halnya nama-Nya al Mun'im (yang memberi nikmat), meninggalkan bekas-bekas yang nyata, seperti halnya nama-Nya al Muntaqim (yang menuntut bela), juga meninggalkan bekas yang riel. Demikian pula dengan Haal (kondisi spiritual) orang seorang satu sama lain berbeda, sejalan dengan tingkat pemahaman mereka dalam memaknai nama-nama dan sifat-sifat al Haq, meskipun mereka tercipta dalam fitrah yang satu, seperti yang ditegaskan firman Qur’ani :

Manusia itu adalah ummat yang satu. (Q.s. al Baqarah 2:213)

yakni para hamba al Haq yang tercipta dalam keta'atan dan kepatuhan kepada-Nya, itulah fitrah dasar penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada al Haq.

Karenanya al Haq mengutus para nabi dan rasul kepada mereka untuk mewartakan kabar gembira dan memberi peringatan, agar mereka bisa menyembah al Haq dengan mengikuti petunjuk risalah yang dibawah para rasul dan nabi-Nya, melalui pancaran nama-Nya al Haadi (yang memberi petunjuk), serta bisa memahami esensi pancaran nama-Nya al Mudzzil (yang menyesatkan), dalam menjalankan ritus ibadahnya. Terkait dengan ritual ibadah ini, banyak ragam ritual, lahir bermacam-macam keyakinan serta tampak berbagai macam agama, masing-masing yakin dengan kebenaran agama yang dipeluknya, meski dalam teropong ilmu pengetahuan, agama tersebut adalah salah, namun demikian al Haq masih memberi apresiasi kepada para pemeluk agama-agama itu sejalan dengan sifat-sifat-Nya yang perpengaruh pada diri si-penyembah melalui jalan keyakinan masing-masing (agama), sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya,

Tidak ada suatu binatang melatapun, melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. (Q.s. Huud 11 : 56).

Dialah subjek atas apa yang mereka kerjakan, sejalan dengan apa yang dikehendaki-Nya, Dia memberi balasan pahala kepada mereka sesuai dengan kadar keimanan dan pemahaman mereka akan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, Dia senantiasa berbuat adil atas apa yang mereka lakukan, Dia memberi pahala sesuai ritus ibadah yang mereka tunaikan, Dia bahkan memperlakukan segala sesuatu, sejalan dengan ragam ibadah masing-masing karena Dia adalah dzat Yang maha Sempurna, segala yang wujud menyembah kepada al Haq, tunduk simpuh dalam keta'atan dan kebaktian ibadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya :

Dan tidak ada suatupun melainkan bertasbih, dengan memuji­Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. (Q.s. al Israa' 17 : 44)

karena bentuk tasbih (sanjung puji) mereka ada yang terwajahkan dalam bentuk pelanggaran, kemaksiatan, kekerasan kepala dan lain-lain, tidak ada satupun yang mengerti tasbihnya, penafian yang ada dalam redaksi Qur'ani tersebut, tidak menunjukkan keseluruhan tasbih. Semantis logikanya sebagian tasbih mereka bisa dimengerti. Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka bukan berarti semua tasbih (mereka) tidak bisa dimengerti, sebagian tasbih (sanjung puji) mereka bisa difahami.

Ketahuilah, ketika al Haq men-ada-kan segala yang wujud dan menurunkan Adam dari surga, Adam adalah kinasih-Nya sebelum penurunannya ke alam dunia ini, ketika ia menginjakkan kakinya di atas muka bumi ini, al Haq mentahbiskannya menjadi nabi, karena tugas kenabian adalah seruan kepada ajaran syariat dan penugasan. Dunia adalah kampung penugasan, berbeda dengan surga yang merupakan kampung pemuliaan dan penyaksian serta kampung pewalian. Adam sendiri sebelum beranak pinak, ia adalah kinasih al Haq, namun paska kelahiran anak dan cucunya, ia mengemban tugas kenabian, ia mengajari mereka nilai-nilai ajaran al Haq, menerangkan kepada mereka amar perjntah ketuhanan, al Haq menurunkan kepadanya Shahifah (lembaran) yang berisi ajaran-ajaran-Nya, anak cucunya yang membaca Shahifah tersebut, mengimaninya dan menjadikannya 'tuntunan' hidup dan kehidupan mereka, sedang anak cucunya yang memperturutkan hawa nafsunya dan menafikan keberadaan Shahifah tersebut, hidup dan kehidupan mereka, terjauhkan dari petunjuk Tuhan, serta hanyut dalam kelalaian (kepongahan) berikut terjerembab ke dalam kenikmatan dunia yang semu dan menipu, keterperdayaan itu menjadikan mereka manusia-manusia yang ingkar dan nihil keimanan kepada Shahifah yang diturunkan kepada Adam as, mereka itulah pelaku utama kekafiran yang melahirkan benih-benih kekufuran sepanjang masa. Tatkala Adam as kembali keharibaan-Nya anak cucunya bercerai berai, tidak saja dalam kehidupan praktis namun juga dalam masalah aqidah (keyakinan), mereka yang mempercayai kedekatan Adam as dengan al Haq berusaha mewajahkan bentuk ketakdziman (pengagungan) mereka dengan membuat patung Adam as, guna mengeksiskan penghormatan dan pengabdian mereka kepada Adam as, mereka bahkan berusaha menghidupkan simbol kecintaan mereka kepada Adam as, dengan memakzulkan kepribadian dan karakter Adam as sepanjang waktu, karena dengan cara seperti itu mereka berkeyakinan bisa taqarrub (mendekatkan diri) kepada al Haq, seperti halnya keyakinan mereka semasa Adam as hidup, bahwa dengan berhidmat (mengabdi) kepada Adam as adalah merupakan cara yang paling valid untuk menggapai kedekatan kepada al Haq.

Orang-orang itu beranggapan dengan melakukan penghidmatan kepada Adam as melalui pembuatan patung Adam berikut menghidupkan karakteristik Adam dalam diri mereka, itulah kedekatan dengan al Haq bisa terwujud, perilaku mereka itu diikuti generasi sesudahnya bahkan bentuk pengkhidmatan itu telah tereduksi hingga menjadi bentuk penyembahan kepada patung tersebut secara dzat (subtansial). Mereka kini tidak saja menjadikan patung itu simbol kecintaan atau media pengagungan Adam as, untuk usaha mendekatkan diri kepada Tuhan, namun menjadikan patung itu sendiri Tuhan wujud sesembahan. Mereka itulah cikal bakal paganisme (penyembah patung) yang menelorkan giant penyembahan patung (paganisme) hingga kontek kekinian. Sementara itu ada kelompok lain yang mencoba memakai kerangka logika mereka dengan mengkritisi perilaku paganisme yang ada dan menciptakan wujud sesembahan baru, kelompok ini berujar : Yang paling utama kita lakukan adalah menyembah empat unsur tabiat (alam) karena ia merupakan asal segala wujud, sebab alam ini tersusun atas empat elan vital, yaitu : Panas. Dingin. Kering. Lembab. Penyembahan kepada asal segala wujud lebih utama dibandingkan penyembahan kepada furu' (pertikel) wujud, berhala-berhala itu adalah partikel penyembahan sedangkan empat unsur alam itu asal wujud yang melahirkan penyembahan, maka menyembahan tabiat lebih utama ketimbang menyembahan berhala. Mereka itulah sejatinya Tabi'iyuun (penyembah alam).

Kemudian ada kolompok lain yang menyembah tujuh bintang, mereka berujar : Sesungguhnya Panas. Dingin. Kering. Lembab, kesemuanya tidak bergerak sendiri, sifat-sifat tersebut tidak berdiri sendiri, terlebih keempat sifat itu tidak memiliki indepedensi gerak, serta punya pilihan gerak, maka menyembahnya tidak akan menghasilkan faedah, yang utama bukanlah menyembah alam akan tetapi menyembah tujuh bintang, yaitu :

1. Zuhal (Saturnus).

2. Musytari (Yupiter).

3. Murih (Mars).

4. Syams (Matahari).

5. Zuhra (Venus).

6. Atarad (Merkurius).

7. Qomar (Bulan).

Karena masing-masing bintang tersebut beredar sendiri-sendiri dan masing-masing memiliki planit yang beredar mengelilinginya keberadaan bintang-bintang tersebut di jagad raya melahirkan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan manusia diatas muka bumi ini, karenanya penyembahan kepada bintang-bintang tersebut adalah sebuah keharusan. Para penyembah tujuh bintang ini kebanyakan dan para filosof. Ada kelompok lam yang menyembah cahaya (terang) dan gelap dalam keyakinan kelompok mi ada dua kekuatan dijagad raya ini. pertama adalah cahaya (terang) perlambang dan kebaikan yang dinamakan Ahuramazda, kedua adalah gelap perlambang dan kejahatan (keburukan) yan, dinamakan Ahnman, setiap manusia harus menyembah cahayf (terang) jika ingin mendapatkan kebahagiaan dan kemenangan karena hakekat wujud di jagad ini dalam keyakinan mereka hanya ada dua, yaitu cahaya mutlak dan kegelapan mutlak, cahaya dapat menyingkirkan kegelapan, sedang kegelapan tidak mampu mengusir cahaya karenanya mereka memurnikan penyembahan kepada cahaya (terang) atau gelap, dengan meninggalkan penyembahan bintang-bintang  kelompok ini juga disebut al Watsamyah (Paganisme). Lalu ada kolompok penyembah api, mereka menandaskan .Sesungguhnya tiang pancang kehidupan ini berdasarkan api Ghanziyah (mstingtif), yang ada dalam diri tiap manusia, sedangkan wujud lahiriyahnya adalah berupa api maka api itu sejatinya adalah asal segala wujud, para penyembah api ini kebanyakan  dari mereka adalah orang-orang Majusi, kemudian ada kelompok lain, mereka meninggalkan penyembahan api lalu menyembah ad Dahr (Masa) kelompok ini berkeyakinan, bahwa mti kehidupan itu tidak lam adalah kehidupan dunia in, saja, mereka berkeyakinan tidak ada yang bisa membinasakan diri mereka, selain ad Dahr (masa) mereka adalah al Mulhidiin (para atheis).

Para ahl Kitab (pengikut agama-agama Samawi), juga beraneka ragam keyakinan mereka, diantara mereka ada yang mengklaim sebagai Barahimah yang mengaku sebagai penerus ajaran Ibrahim as, bahkan mereka mengklaim sebagai anak cucu Ibrahim as, mereka memiliki ritual ibadah yang khusus, kemudian ada Yahudi, mereka adalah pengikut dan penerus ajaran Musa as, ada pula Nasrani mereka adalah pengikut dan penerus ajaran Isa as, lalu Muslimun, mereka adalah pengikut ajaran Muhammad saw. Ada banyak agama yang dipeluk bangsa-bangsa terdahulu, keyakinan mereka berdasarkan Ushul (dasar) kepercayaan yang beraneka ragam, namun demikian meski terdapat beragam keyakinan dalam banyak agama, ushul (dasar) keyakinan satu sama lain, tidak saling bertentangan, agama-agama itu pada dasarnya bertolak dari noqta (titik) yang sama, meski dalam praktenya melahirkan banyak titik-titik, seperti noqta kekafiran (Kuffaar), penyembahan alam (tabiat), noqta filosof, paganisme, Majusi, Dahriyah (penyembah masa), Barahima (Abraham-isme), Yahudi, Nasrani dan Muslimuun. al Haq menyediakan bagi para penyembah pada masing-masing noqtah (titik-titik) keyakinan itu surga dan neraka, diantara mereka ada yang dimasukkan ke surga-Nya, ada pula yang dijebloskan ke dalam neraka-Nya. Tidakkah anda tahu, bahwasanya para Kuffar di zaman pra kenabian atau paska kenabian yang tidak sampai kepada mereka seruan risalah kenabian mereka (para kafir) terbagi dua golongan, pertama golongan pelaku kebaikan, al Haq membalasnya dengan pahala surga, kedua golongan pelaku kejahatan (keburukan) al Haq mengganjarnya dengan siksa neraka. Demikian pula dengan ahl Kitab (para pemeluk agama Samawi). Sejatinya kebaikan sebelum turunnya syariat adalah apa yang menyejukkan hati dan menyenangkan jiwa serta membahagiakan ruh, sedangkan kebaikan paska turunnya syariat, adalah laku ibadah yang ditunaikan para hamba kepada al Haq. Begitu pula dengan hakekat keburukan sebelum turunnya syariat adalah, apa yang mengeruhkan hati dan dibenci jiwa serta menyakiti jiwa, adapun keburukan paska turunnya syariat, adalah apa-apa yang dilarang al Haq atas segenap hamba­Nya. Masing-masing kelompok keyakinan (beragama) tersebut diatas, menyembah kepada al Haq dengan bentuk penyembahan yang selazimnya, karena ritus ibadah itu sejatinya adalah untuk maslahat hamba-Nya, bukan maslahat diri-Nya. Masing-masing pegiat ibadah beroleh manfaat sesuai dengan tingkat ibadah yang ditunaikannya, lebih dari itu al Haq menamapakkan pada masing-masing agama, hakekat asma-asma dan sifat-sifat Nya, ia bertajalli kepada semuanya dengan inti (dzat)-Nya dan masing-masing pemeluk agama-agama tersebut menyembah-Nya sesuai kemampuan mereka dalam menangkap tajalli-Nya yang terlanskapkan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

al Kuffar (para kafir) mereka menyembah al Haq dengan inti (dzat)-Nya karena Dia adalah hakekat segala wujud dengan segala rahasia-Nya, sedang al Kuffar bagian dari wujud dan al Haq adalah hakekat diri mereka, atas dasar itulah mereka kufur (mengingkari) adanya Rabb bagi diri mereka, sebab al Haq adalah sejatian diri mereka dan tidak ada Rabb untuk-Nya, bahkan Dia adalah Rabb Mutlaq. Maka para kuffar itu menyembah-Nya sesuai kehendak diri mereka karena diri mereka adalah inti (dzat)-Nya. Diantara para kafir itu ada yang menjadi paganis (penyembah berhala) berdasarkan rahasia wujud al Haq dengan segala kesempurnaan-Nya, tanpa ada Hului (bertempat Diri dalam jisim mereka) atau Ittihad al Wujud (Manunggaling Kawula Gusti) serta Tasybih (antropomorfisme) wujud secara dzat, pada masing-masing individu atau benda-benda tertentu, dimata para paganis, al Haq adalah hakekat berhala-berhala yang mereka sembah, sejatinya yang mereka sembah bukanlah berhala-berhala tersebut, akan tetapi kesejatian al Haq, mereka tidak merasa butuh (faqr) kepada berhala tersebut, mereka juga tidak memuarakan niat mereka kepada patung-patung itu, mereka menjadikan  berhala-berhala  itu  sebagai  media (wasila) ketersambungan dengan al Haq, karena esensi sebuah hakekat meski lama dipendam, niscaya akan tertampakkan kesejatiannya, itulah rahasia pengikutan mereka kepada al Haq melalui diri mereka, karena hati mereka memperlihatkan kepada diri mereka bahwasanya al Haq tampak pada ritus paganis yang mereka kerjakan. Maka kisaran aqidah mereka beredar pada hakekat wujud sesembahan yang ada dan al Haq bersama Dzan (persangkaan) hamba-Nya. Rasul saw bersabda :

Berpijaklah pada fatwa hatimu, meski banyak para mufti memfatwai dirimu.

Demikianlah interpretasi (tafsir) hati secara umum, sedangkan dalam pemaknaan khusus, tidaklah semua hati mampu berfatwa, terlebih tidak semua fatwa hati itu mesti benar.

Demikianlah futuwah hati yang lahir dari kelembutan aqidah hakiki, karena kemurnian aqidah akan melapangkan jalan bagi penampakkan hakekat segala sesuatu dan insan yang mampu memakrifahi hakekat segala sesuatu akan lapang jalan kebahagiaannya di kampung akhirat, seperti yang diisyaratkan pesan Qur’ani :

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka masing-masing. (Q.s. al Mu'minuun 23 : 53)

yakni di dunia dan akhirat. Karena isim (nama) tidak akan terpisahkan dari apa yang dinamakan, al Haq menamai mereka dengan golongan yang bangga dengan apa yang ada disisi mereka dan Dia mensifati mereka dengan kebanggaan dan pensifatan-Nya tidak merubah apa yang disifati, apa yang diwartakan al Haq itu menunjukkan keeksisan dan keabadian rasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka. Makna tersirat dari firman Qur'ani tersebut adalah mereka bangga dengan apa yang ada disisi mereka dalam kehidupan dunia ini, dengan laku amahyah (perbuatan) mereka dan mereka akan bangga di kampung akhirat dengan keadaan mereka. Mereka senantiasa bangga dengan apa yang ada disi mereka, baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat kelak. Bahkan sampai-pun, mereka dijebloskan ke dalam siksa-Nya, jika kelembutan kasih nikmat-Nya menyertai mereka tentu mereka menikmati siksa itu dan menjadi sebab bagi kekekalan mereka di dalam siksa tersebut. Sesungguhnya al Haq dengan kasih rahmat-Nya, jika hendak menyiksa seorang hamba dengan siksa di kampung akhirat, lantas Dia menghadirkan rasa nikmat dalam siksa yang ditimpakan tersebut, niscaya si pesakitan tidak memohon perlindungan kepada-Nya dari siksa yang menerpa dirinya, ia juga tidak meraung-raung memohon pertolongan kepada al Haq karena dia merasakan nikmat dengan siksaan yang ada, ia selalu mengharapkan adzab itu selama kenikmatan menyelimuti dirinya, jika al Haq menghendaki meringankan siksa hamba tersebut, Dia menghilangkan kenikmatan itu dari hamba yang disiksanya yang dengan itu si hamba akan memohon rahmat dari-Nya, al Haq ingin menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Mujiib (pengabul) doa insan-insan yang dalam kondisi terpaksa dan tidak berdaya, jika mereka memohon kepada-Nya, kala itu—hamba yang disiksa tersebut, memohon ampunan dan pertolongan kepada al Haq karena rasa nikmat telah tercerabut dan dirinya dan berlindung kepada-Nya. Pahami betul masalah ini. Para kafir itu etos peribadatan mereka kepada al Haq adalah secara entitas, modus peribadatan seperti ini, meski tampak melapangkan jalan kebahagiaan, namun sejatinya ia adalah jalan Dzalal (kesesatan), karena jauhnya tempuhan gapaian kebahagiaan yang sedemikian itu para kuffar tidak akan menggapai hakekat kebahagiaan, kecuali paska mengarungi siksaan neraka akhirati sebagai balasan atas laku kekufuran yang mereka lakukan dalam kehidupan dunia, baik kekafiran dalam dimensi perbuatan, perkataan dan Haal, jika semua siksaan itu telah habis masa hukuman siksanya, maka jalan menuju al Haq terbuka dan Dia akan memanggil eks penghuni neraka tersebut dari tempat yang jauh, merekapun berjalan menuju kebahagiaan Ilahiyah, merekapun beroleh kebahagiaan seperti halnya para Muqorrobiin (hamba-hamba yang dekat) karena mereka di panggil al Haq dari tempat yang dekat. Pahami betul matafor yang kami pakai dalam paparan ini!

at Thabi'iyyuun (para penyembah alam) mereka menyembah al Haq dengan empat sifat-Nya, yaitu :

1. al Hayah (Hidup)

2. al Ilm (Berpengetahuan)

3. al Qudrah (Kuasa).

4. al Iradah (Berkemauan).

Keempat sifat tersebut merupakan kerangka bangun asal segala wujud, maka Panas. Dingin. Kering. Lembab, adalah wujud nyata keempat sifat itu di alam dunia ini, Lembab merupakan pencitraan al Hayah (Hidup). Dingin mencitrakan al Ilm (berpengetahuan). Panas penampakkan al Iradah (berkemauan). Kering merupakan pencitraan al Qudrah (kuasa). Hakekat yang disifati dalam segala pencitraan itu adalah inti (dzat)-Nya. Ketika hakekat tersebut tampak pada ruh para penyembah alam, yaitu kelembutan kasih ketuhanan yang ada pada segala wujud, mereka merujuk kepada sifat al Haq yang empat, kemudian mereka mempercayai wujud penampakkan empat sifat-sifat itu dalam bentuk : Panas. Kering. Dingin. Lembab. Fitrah penciptaan yang ada pada diri mereka itulah yang mengajarkan kepada mereka sehingga mereka mempunyai kesiapan ketuhanan, bahwa empat sifat tersebut memiliki makna lahir, atas dasar itu pula mereka menyembah alam (tabiat) ini karena segala yang tampak di alam realitas ini ada rahasia dibaliknya. Manusia-manusia zaman bahula (pra sejarah) itu ada yang memahami masalah ini, ada pula yang tidak faham. Orang alim (berpengetahuan) terus bergerak maju, sedang orang jahil (bodoh) selalu tertinggal, baik dalam kehidupan riel maupun kehidupan beragama. Para penyembah alam itu, mereka sejatinya menyembah al Haq dan dimensi sifat, dengan sifat-sifat ketuhanan itu mereka ingin menggapai kebahagiaa abadi, seperti halnya para kafir yang menyembah-Nya dan dimensi inti (dzat)-Nya.

al Falasifah (para filosof) mereka menyembah al Haq dengan nama-nama-Nya. Dalam keyakinan mereka, bintang-bintang di alam raya merupakan manifestasi daripada nama-nama al Haq, hakekat benda-benda langit itu adalah al Haq, Syams (matahari) adalah manifestasi nama-Nya (Allah), karena matahari merupakan pusat tata surya, sinarnya memancar ke segenap bintang diangkasa raya, seperti halnya nama Allah yang merupakan sentra nama-nama-Nya yang mewadahi hakekat asma-asma-Nya yang Khusnah. al Qomar merupakan manifestasi nama-Nya (ar Rahman ), karena ia merupakan bintang (benda langit) yang paling sempurna, menangkap (memantulkan) sinar matahari, seperti halnya nama ar Rahman, merupakan tingkatan nama-Nya tertinggi paska nama Allah seperti yang telah kita bahas pada pasal terdahulu. Musytan (Yupiter) merupakan manifestasi nama-Nya (ar Rabb), ia merupakan benda langit yang paling ketara dalam menampakkan kebahagiaan. Seperti halnya nama ar Rabb, yang memiliki martabat super khusus dalam tertib nama-nama-Nya, sebab terkandung di dalamnya nama-Nya (al Kibnyaa') karena kehendak pengaturan­Nya. Zuhal (Saturnus) merupakan manifestasi nama-Nya al Wahidiyah (ke-Tunggal-an), karena semua benda-benda langit dibawah peliputannya, seperti halnya nama al Wahiid meliputi semua sifat-sifat dan nama-nama Nya. Murih (Mars) merupakan manifestasi nama-Nya (al Qudrah), karena benda angkasa ini, merupakan cerminan kekhususan pekerjaan al Qohariyah (Kuasa Memaksa). Zuhra (Venus), merupakan manifestasi nama-Nya (al Iradah), karena ia cepat berubah dengan sendirinya, seperti halnya al Haq' yang berkehendak atas segala sesuatu, kapanpun dan dimanapun. Atarad (Merkurius) merupakan manifestasi nama-Nya (al Ilm), karena Dia penulis segala apa yang ada di langit. Adapun benda-benda angkasa (gugusan bintang-bintang) lainnya yang terhitung adalah manifestasi nama-nama Nya yang Khusnaah (Asma'ul Khusnah), sedang bintang-bintang yang tidak terdeteksi adalah manisfestasi nama-nama-Nya yang tak terhingga jumlahnya.

Ketika ruh, para filosof itu mengalami Dzauq (intusi) keberadaan Tuhan sejalan dengan fitrah penciptaan diri mereka, para filosof itu lantas menyembah bintang-bintang untuk mengkais kelembutan ketuhanan yang ada pada masing-masing benda angkasa tersebut, dimata para filosof al Haq adalah hakekat bintang-bintang maka menyembah bintang-bintang tersebut adalah sama dengan menyembah inti (dzat)-Nya. Inilah esensi kenapa anak cucu Adam menjadikan segala wujud sebagai Tuhan sesembahan bahkan ritus peribadatan itu tidak saja dilakukan manusia namun juga dilakukan habitat hewani. Yang perlu anda ingat dalam ritus ibadah mi, insan yang beribadah kepada al Haq secara mutlaq, ia disebut pegiat tauhid sejati sedang insan yang menyembah al Haq dengan media lain ia disebut sebagai Musyrik (penyekutu Tuhan), kesemuanya pada hakekatnya adalah penyembah al Haq, dasar penyembahan mereka adalah adanya keyakinan dalam diri mereka bahwa al Haq itu Maujud (Ada), mereka juga meyakini hakekat al Haq ada pada segala yang wujud, atas dasar itu pula mereka menyembah sesuatu tersebut karena al Haq adalah hakekat sesuatu yang disembahnya Karenanya dalam kehidupan nel ada sebagian manusia yang menyembah Tabiat yang merupakan asal alam, ada yang menyembah bintang-bintang, ada yang menyembah batu, tambang ada pula yang menyembah api, sehingga tidak ada sesuatu yang wujud melainkan dijadikan wujud sesembahan anak manusia kecuali Muhammadiyuun (pengikut Muhammad saw) mereka menyembah kepada al Haq secara mutlak dan kaffah (utuh), tanpa ada batasan-batasan atau penyekutuan dengan sesuatu selain al Haq Ummat Muhammad saw tidak mencampur adukkan ritus penbadatan mereka dengan partikel Muhdatsaat (sesuatu yang baru adanya karena diadakan) mereka menjernihkan (mensucikan) ritus ibadah (ubudiyah) mereka dan keterkaitan dengan wajah-wajah selain wajah-Nya, lahir dan batin. Tempuhan jalan mereka adalah Shiratul Mustaqim (jalan benar) yaitu jalan al Haq, sebuah 'jalan' yang mengantar mereka kepada maqom (capaian spirtual) kedekatan tertinggi disisi-Nya. Mereka itulah yang diisyaratkan firman Qur'ani :

Mereka itu adalah orang-orang yang dipanggil dari tempat yang dekat

lain halnya dengan mereka-mereka yang menyembah-Nya dengan media tabiat, bintang-bintang, berhala dan benda-benda lainnya mereka itu disebut firman Qur’ani :

Mereka itu adalah orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh. (Q.s. Fushshilat 41 - 44)

karena mereka tidak akan kembali kepada al Haq melainkan setelah urusan' mereka dengan wujud sesembahan selain Diri Nya telah dituntaskan vonisnya. Itulah esensi makna jauh, dan panggilan al Haq kepada hamba-Nya, maka tafakkuri betul subtansi panggilan jauh dan dekat yang diserukan al Haq tersebut.

al Watsaniyah (Paganisme): mereka menyembah al Haq dengan Diri-Nya, karena al Haq mengumpulkan segala yang berlawanan (kontradiktif) dalam Din Nya, begitu pula Dia mencakup dimensi al Haq dan dimensi al Khalq (makhluk), Dia juga tajalli dengan dua sifat dan dua hukum, Dia tampak di dua kampung (dunia - akhirat) dengan dua sifat, mereka yang menisbatkan ritus ibadahnya kepada hakekat al Haq, Dia akan tampak dengan cahaya-cahaya-Nya, mereka yang menisbatkan ritus ibadahnya kepada hakekat Khalqiyah (kemahlukan), Dia tampak dengan kegelapan, karenanya mereka menyembah cahaya (terang) dan gelap berdasarkan rahasia ketuhanan yang mengumpulkan dua sifat yang kontradiktif dua ibarat dan hukum yang berbeda sejalan dengan kehendak-Nya. al Haq mengumpulkan dua hal yang berlawanan tersebut dalam diri-Nya, para penyembah paganisme menyembah al Haq berdasarkan kelembutan ketuhanan yang berkumpul dalam diri al Haq, dalam pandangan penyembah paganisme wujud sesembahan mereka bisa dinamakan al Haq, bisa dinamakan al Khalq (makhluk) yang berwujud cahaya (terang) dan gelap.

al Majusi (kaum Majusi) mereka menyembah al Haq dengan al Ahadiyah (ke-Esa-an), seperti halnya ke-Esa-an yang terstrenlkan dan tertib nama-nama dan sifat-sifat, demikian pula dengan api, ia merupakan sumber energi utama yang bisa melelehkan segala sesuatu yang disatukan dengan-nya, karena isinya alam mi tidak akan bisa eksis jika disatukan dengan api, karena kekuatan api akan menghancurkan isinya alam tersebut, demikian pula dengan al Ahadiyah ia tidak menyatu dengan isim (nama) maupun sifat, melainkan isim dan sifat itu lebur dalam ke-Tunggal-an, karena kelembutan ketuhanan inilah kaum Majusi itu menyembah api, yang sejatinya adalah inti (dzat)-Nya. Ketahuilah, bahwasanya Huyuli (benda pertama) sebelum penampakkannya dalam struktur tabiat (alam) yang tidak lam adalah: Api. Air. Udara. Tanah. Citranya terdapat pada struktur tabiat, ketika Huyuli itu tertampakkan pada struktur tabiat (alam) maka Citranya tidak akan terpisahkan dan struktur tabiat tersebut, demikian halnya dengan asma-asma dan sifat-sifat dalam inti (dzat) ke-Tunggal-an Nya, masing-masing mencitrakan makna ketuhanan yang melahirkan makna kedua semisal nama-Nya al Mun'in (pemberi nikmat), maka Dia adalah al Muntaqim (yang menuntut bela), jika tampak nama-nama dalam martabat Ilahiyah (ketuhanan) semua isim (nama) yang tidak mencitrakan hakekat nilai-nilai ketuhanan adalah tidak berguna, maka al Mun'im (Pemberi nikmat) adalah lawan dan al Muntaqim (yang menuntut bela). Api di alam tabiat laksana penampakkan al Wahidiyah (ke-Esa-an) dalam nama-namaNya, ketika ruh kaum Majusi itu tertebari aroma wewangian misik kelembutan ketuhanan dalam dimensi ini, maka lenyaplah bau-bau yang lain, mereka lantas menjadikan api wujud sesembahan dan mereka tidak menyembah melainkan Tuhan Yang Esa Yang Maha Perkasa.

ad Dahr (penyembah masa), mereka menyembah al Haq dengan Hawiyah (ke-Dia-an) Nya, rasul Muhammad saw bersabda :

Janganlah kalian mencaci (menista) masa (zaman), sesungguhnya Allah itu adalah ad Dahr (masa).

al Barahimah (pengikut Ibrahim as) mereka menyembah al Haq dengan kemutlakan (absolut), tidak melalui nabi dan rasul bahkan mereka memakzulkan segala yang wujud adalah tercipta untuk al Haq, wujud mereka ter-agun-kan dalam ketunggalan bersama al Haq, karenanya mereka menafikan para nabi dan rasul secara mutlak. Etos peribadatan mereka kepada al Haq adalah setara dengan ibadah para rasul sebelum tugas penyampaian risalah, mereka mengklaim sebagai anak turun Ibrahim as, mereka juga memaklumatkan memiliki kitab yang khusus ditulis Ibrahim as untuk diri mereka, dari diri pribadi Ibrahim as dan bukan dari al Haq, dalam kitab tersebut termaktub lima pasal hakekat, empat pasal hakekat pertama boleh dibaca dan disebarkan, sedang pasal hakekat kelima tidak boleh dibaca dan disebarkan, kecuali kepada orang-orang yang super khusus, karena kedalaman makna dan iterpretasinya, ada opini yang mewacana dalam kominitas mereka, bahwa orang seorang yang membaca pasal hakekat kelima akan tertuntun kepada keyakinan Islam dan paska membacanya, niscaya akan memaklumatkan masuk agama Muhammad saw, kelompok pembaca ini kini banyak terdapat di bumi India, ada pula kelompok yang mengklaim sebagai giant Barahimah, namun setelah ditelisik lebih dalam mereka bukanlah pengikut Barahimah, mereka terkenal sebagai Watsaniy (paganis), sebab batas pilah antara pengikut Barahima dan tidak adalah pada laku penyembahan berhala, mereka yang menyembah berhala (paganisme), jelas bukan pengikut Barahimah, perilaku paganisme itulah yang menyebabkan meieka terjerembab dalam kesusahan hidup, langit kehidupan mereka marak dengan belitan hidup, jika mereka ingin meraih kebahagiaan hidup, maka mereka harus meninggalkan ritus penyembahan berhala, sebab belitan hidup mereka semata-mata karena keterjauhan mereka dar al Haq, akibat daripada ritus sesembahan berhala (laku paganisme). Pahami betul masalah hakekat (Jauh). Adapun mereka yang menyembah al Haq sebagaimana yang diajarkan para nabi dan rasul-Nya, mereka tidak akan diterpa kesusahan (bencana) bahkan kebahagiaan mereka akan akan tetap eksis, selama mereka berpegang teguh pada tali ajaran al Haq. Apa yang'terjadi pada ahl Kitab (pengikut agama Samawi) adalah karena mereka berani mereduksi ajaran al Haq, mengganti ayat-ayat kitab-Nya, dengan pikiran-pikiran mereka, berikut mereka membuat ungkapan-ungkapan baru yang mereka klaim sebagai firman Tuhan, ulah (perbuatan busuk) mereka itulah yang menyebabkan kesengsaraan dan bencana yang menimpa diri mereka, semakin mereka mereduksi kitab al Haq, semakin berat bencana yang memayungi langit kehidupan mereka, semakin mereka mengingkari risalah kenabian dan perintah-perintah al Haq, semakin jauh kebahagiaan memayungi langit kehidupan mereka, sebab al Haq tidak mengutus seorang rasul atau nabi kepada suatu ummat, melainkan menjadikan risalah-Nya untuk kebahagiaan dan keselamatan para hamba yang mengikuti-Nya.

al Yahud (Yahudi) mereka menyembah al Haq dengan mentauhidkan (meng-Esa-kan) al Haq,   kemudian dengan mentradisikan shalat dua kali per-hari, kita akan membahas secara khusus perihal rahasia shalat, mereka juga menyembah al Haq dengan melaksanakan puasa pada hari kesepuluh setiap awal tahun yang jamak disebut dengan hari Asyurah mereka juga beribadah dengan I'tikaf, pada hari sabtu, syarat I'tikaf kamunitas Yahudi, adalah tidak memasukkan sesuatu ke dalam rumah mereka, baik yang berupa aktifitas kerja atau makanan dan minuman dan tidak keluar sedikitpun dan dalam rumah, tidak berbicara, bercanda, tidak melakukan aktifitas bisnis (jual beli) pada hari sabtu itu, semua aktifitas harus dihentikan kecuali beribadah kepada al Haq, sebagaimana yang difirmankan al Haq dalam kitab Taurat :

Engkau, dan hambamu serta ummatmu adalah untuk al Haq pada hari sabtu.

Atas dasar itulah kaum Yahudi dilarang berbicara pada hari sabtu, utamanya pembicaraan yang terkait dengan kepentingan (pelik) duniawi, mereka juga menyiapkan persiapan makanan mereka pada hari jum'at, awal waktu puasa mereka adalah sejak terbenamnya matahan pada hari jum'at hingga terbenamnya matahari pada hari sabtu.

Demikianlah hikmah ketuhanan, sesungguhnya al Haq menciptakan langit dan bumi ini dalam tempo enam hari, dimulai dari hari ahad (minggu) kemudian al Haq bersemanyam diatas Arsy pada hari ketujuh, yaitu hari sabtu, ia adalah hari 'kosong' (istirahat), atas dasar inilah komunitas Yahudi menyembah kepada al Haq pada hari sabtu, sebagai isyarat akan kebersayaman ar Rahmani (ke-Maha Pemurah-an), berikut keberhasilan mereka dalam mendekatkan diri kepada-Nya pada hari sabtu tersebut. Pahami betul masalah ini! Kita sengaja tidak menyoal rasia makanan dan minuman yang dianjurkan Musa as, kepada anak zamannya (kaum Yahudi), karena hal itu memerlukan paparan yang sangat panjang berikut hikmah-hikmah berserak dari apa yang diserukan nabi Musa kepada mereka, karena kami khawatir rahasia yang berserak dari hikmah-hikmah tersebut akan melahirkan kontradiksi tak berujung, terlebih akan membuat mereka yang tidak kuat menangkapnya terperosok ke jurang kesesatan dan keluar dari agama, kita batasi kajian kita pada rahasia yang tertampakkan pada ritus ibadah ahl kitab saja. Kita ambil yang terbaik dari rahasia-rahasia yang ada, yaitu rahasia ibadah pemeluk Islam. Karena rahasia ibadah pemuluk Islam sangat universal dan utuh, tidak ada rahasia yang terpendam melainkan al Haq telah mewartakannya kepada Muhammad saw, karenanya agama Muhammad saw adalah agama yang paling sempurna dan ummatnya adalah sebaik-baik ummat dalam kesejarah keagamaan dan kemanusiaan.

An Nashara (kaum Kristani), mereka adalah ummat terdahulu yang paling dekat dengan al Haq sebelum kehadiran ummat Muhammad saw, kaum Kristani adalah kaum yang sangat eksis dalam menjalankan ritus peribadatan kepada al Haq, yang sedemikian itu karena mereka sangat konsisten menyembah Tuhan dan mereka menyembah-Nya, melalui Isa dan Maryam serta Ruh Oudus, mereka mengklaim ketiganya sebagai satu kesatuan yang tunggal (Trinitas). Ketiga unsur itulah yang mereka anggap disejajarkan dengan Tuhan, sedang unsur-unsur lain tidak pantas sejajar dengan al Haq, karena keyakinan tersebut mereka terlempar dan komunitas Muwahiddin (penyembahan berdasarkan Tauhid), jika kita jeli sejatinya kaum Kristani itu lebih dekat kepada pengikut Muhammad saw, sebab orang seorang yang bersaksi bahwasanya al Haq mencitrakan diri pada manusia adalah sebuah kesaksian yang utuh dan syahadatnya lebih sempurna dibanding syahadat insan muslim kebanyakan, hanya saja mereka membatasi tajalli al Haq itu hanya berlaku pada Isa as saja tidak untuk yang lain, andai mereka bercermin kepada penciptaan Adam as niscaya mereka akan memahami bahwa masing-masing anak cucu Adam as adalah cermin bagi yang lain, mereka bisa menyaksikan citra al Haq pada diri tiap makhluk-Nya (masing-masing manusia), karena penyempitan tajalli

dan pembatasan tajalli yang diklaim kaum Kristani tersebut, mereka terjauhkan dan 'label' pegiat Tauhid dan mereka termasuk kelompok hamba-Nya yang dipanggil dan tempat yang jauh! Etos peribadatan kaum Kristani itu sendiri dengan mentradisikan puasa 49 hari, dimulai hari ahad dan berakhir di hari ahad pula, jika tidak mampu diperbolehkan melakukan puasa tiap hari ahad selama delapan mmggu, demikianlah durasi waktu puasa kaum Kristani, adapun cara puasa mereka adalah dengan menahan diri dan makan selama 23 jam, dimulai sejak waktu ashar atau beberapa jam sebelumnya, tepatnya pada waktu santap siang, dalam puasa itu mereka diperbolehkan minum Khamer (arak) atau air, diperbolehkan juga melahap buah-buahan berair yang penting bukan makanan pokok (gandum, nasi, roti dan lain-lain) etos ibadah kaum Kristani yang lain adalah mentradisikan I'tikaf pada hari ahad dan pada hari raya, dalam keyakinan Kristen ada sembilan hari raya yang tidak perlu kita bahas dalam kitab ini. Namun diantara ritus ibadah yang dilakukan ummat terdahulu tersebut, ritus peribadatan Muhammadiyuun (pengikut Muhammad saw) yang paling penting untuk kami ketengahkan dalam karya ini utamanya etos penyembahan kaum muslimin kepada al Haq.

Al Muslimuun (ummat Islam pengikut Muhammad saw) ketahuilah, al Haq mewartakan eksistensi mereka dalam firman Qur'ani :

Kalian adalah ummat terbaik, yang dilahirkan untuk manusia. (Q.s. ali Imran 3 : 110).

Karena nabi mereka adalah Muhammad saw, nabi-Nya yang terbaik, agama yang dibawah adalah agama terbaik, setiap kaum (bangsa, etnis, suku) yang mengingkari kenabian dan berpaling dari ajaran Muhammad saw dimanapun dan kapanpun, niscaya akan tersesat dan sengsara serta akan disiksa dalam neraka-Nya, seperti yang diwartakan al Haq mereka yang berpaling dari ajaran Muhammad tidak akan pernah beroleh rahmat-Nya, kecuali setelah vonis siksa yang ditimpakan kepada mereka di neraka masa waktunya telah berakhir, yang sedemikian itu berdasarkan rahasia firman-Nya :

Rahmat Ku, mengalahkan kemarahan Ku, jika tidak, niscaya mereka akan kekal abadi dalam kemarahan dan kenistaan-Nya.

Tafakkurilah, bahwasanya titian jalan menuju al Haq itu sendiri adalah 'jalan' penuh duri-duri ujian dan cobaan, kesengsaraan dan kemarahan, kepedihan dan kepayahan tak bertepi, semua tempuhan jalan menuju al Haq, selain jalan yang diserukan Muhammad saw adalah rusak dan tiada akan pernah dikabulkan, al Haq berfirman :

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. (Q.s. ali Imran 3 : 83).

Kerugian apalagi yang lebih besar, dibandingkan kerugian hilangnya kebahagiaan yang diberoleh seorang hamba dan kedekatan dengan al Haq? Keterputusan dan terkikisnya kedekatan dengan al Haq adalah sebuah kerugian teragung yang menimpa seorang hamba.!

Sejatinya ummat Islam itu adalah ummat yang dipanggil oleh al Haq dari tempat yang dekat Makaanun Qoriib, karena keterputusan dan hilangnya kedekatan dengan al Haq, membuat mereka dipanggil dari tempat yang jauh Makaanun Ba'iid, kerugian agung itulah esensi kesengsaraan (duniawi) dan citra siksa yang keras dikampung akhirat kelak. Pahamilah bahwa sejatinya adzab itu adalah terputusnya seorang hamba dari rahmat al Haq dan jika mereka ingin terselamatkan dari kesengsaraan hidup dunia dan terbebaskan dari siksa neraka, maka wajib bagi mereka mengikuti ajaran yang diserukan Muhammad saw. Cobalah telisik dengan baik dan lihatlah dengan kejernihan hati dan pikir kepada orang yang ditimpa adzab dunia dalam satu hari, dengan adzab yang paling keras ahirati, adzab dunia itu tidak lebih besar dari biji sawi jika dibandingkan dengan adzab akhirat, bagaimana mungkin si-pesakitan itu merasa sengsara dengan adzab yang tidak lebih besar dari biji sawi? Lantas apa yang ada dibenak anda, jika mentafakkuri orang-orang yang dijebloskan ke api neraka yang kekal abadi,? al Haq mewartakan mereka akan kekal di neraka Jahannam, selama bumi dan langit ini masih tegak, mereka tidak akan dientas dari neraka menuju rahmat-Nya kecuali setelah lengsernya matahari dan bumi, pada saat itu mereka akan dikembalikan kepada sesuatu yang merupakan awal penciptaan mereka, yaitu al Haq Jallah Jalalah. Pahami betul metafor ini, agar anda tidak terjebak pada makna simbolistik.

Kaum muslimin, mereka adalah insan-insan yang bahagia karena mengikuti ajaran Muhammad saw, dalam hadits riwayatkan suatu hari, ada seorang Arab badui yang bertanya kepada rasul saw : wahai utusan al Haq seperti yang anda lihat dari ihwal (keadaan) diriku, aku menghalalkan bagi diriku apa yang dihalalkan-Nya, aku mengharamkan bagi diriku apa yang diharamkan-Nya, aku tunaikan shalat wajibku, aku tidak mengurangi ibadahku dan tidak melebihkan ritual ibadahku, adakah aku akan dimasukkan surga al Haq? Rasul saw menjawab : Ya, kau akan dimasukkan surga al Haq, tanpa syarat bahkan tidak ada sesuatupun yang menghalangi kau memasuki surga-Nya. Lebih lanjut rasul saw, menambahkan : Barang siapa dimasukkan surga al Haq, ia telah beruntung dengan keuntungan utama, yaitu derajat kedekatan, al Haq berfirman dalam pesan Qur’ani : Barang siapa dijauhkan dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. (Q.s. ali Imran 3 : 185). Seorang muslim sejati, akan selalu berjalan pada Shirat al Mustaqiim Galan yang benar) yang merupakan jalan kebahagiaan hakiki, tanpa ada duri-duri kesengsaraan, sebuah jalan yang ditempuh para pegiat tauhid murni, pegiat hakekat, mereka semua senantiasa eksis berjalan pada Shiratillah Galan Allah). Jalan Allah ini lebih khusus dibandingankan jalan pertama—Shirat al Mustaqiim, karena jalan Allah merupakan tempuhan para ahli tauhid dan ahli hakekat, sedang Shirat al Mustaqim, merupakan tempuhan jalan yang dilalui ummat Islam kebanyakan. Selain penempuh jalan umum dan khusus itu mereka adalah para Musyrikuun (penyekutu al Haq), termasuk golongan ini adalah para pemeluk agama-agama yang telah kami sebutkan diatas. Dengan demikian jelas sekali, bahwa seorang muslim sejati adalah, pegiat Tauhid yang hanya meng-Esa-kan al Haq.

Ada banyak jalan untuk mewajahkan ritus ubudiyah kepada al Haq, diantara ummat Islam ada yang menyembah al Haq melalui dimensi nama-Nya (ar Rabb), mereka sangat teguh melaksanakan segenap amar perintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang al Haq, dimensi ibadah ini selaras dengan ayat pertama yang diturunkan al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw, adalah Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu. (Q.s. al Alaq 96 : 01). Kata Amr (perintah) diruntutkan ke Maha Pengatur (Rabb) dari situlah kewajiban beribadah bermula, sebab al Marbuub (insan yang diatur) harus mendedikasikan ubudiyahnya kepada Rabb (maha pengatur), kebanyakan ummat Islam (para awam) menyembah al Haq melalui dimensi nama-Nya (( ar Rabb)), wajah beribadatan mereka tidak akan keluar dari aura Rabb tersebut, berbeda dengan para Arif (ahli hakekat) mereka menyembah al Haq melalui dimensi nama-Nya ar Rahman (Maha Pemurah), karena Tajalli wujud-Nya yang terdapat pada segala wujud yang mereka sibak, karenanya martabat ibadah dan ubudiyah para arif jamak disebut dengan martabat Rahmaniyah. Sedang para Muhaqqiqiin (ahli hakekat) mereka menyembah al Haq dengan nama-Nya (Allah), segala puja dan sanjung puji mereka muarakan kepada al Haq yang Dia memang berhak atas segenap nama-nama dan sifat- sifat-Nya yang tercitrakan dalam diri mereka. Sebab esensi puji sanjung adalah, menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan yang terpancarkan dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya, apa yang mereka sanjung pujikan dalam ritus ubudiyahnya dari sifat-sifat ketuhanan itu betul-betul menghiasi diri mereka yang lahir dari citra asma-asma Nya yang Khusnah, mereka itulah ahli ibadah yang hakiki. Para arif adalah Ibadurrahman (hamba Sang Maha Pemurah), orang muslim kebanyakan (para awam) mereka adalah Ibaduraab (hama Sang Maha Pengatur).

Maqom (capaian spiritual) para ahli hakekat adalah : al Hamd Lillah (Segala puji hanyalah bagi Allah), maqom para arif adalah : Tuhan Yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas Arsy. Kepunyaanlah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua ada diantara keduanya dan semua yang dibawah tanah. (Q.s. Thaahaa 20 : 5 -6). Adapun maqom orang Islam kebanyakan (kaum awam ) adalah : Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan yang menyeru kepada iman, yaitu : berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman, Ya tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami berserta orang-orang yang banyak berbuat bakti. (Q.s. ah Imraan 3 : 195). Yang dimaksud dengan kaum (muslim) awam, adalah mereka-mereka selain para arif dari para Syuhada', para Shaleh dan para alim yang mengamalkan ilmu mereka. Disebut kaum awam, karena mereka benar-banar awam pengetahuan mereka tentang ahl Qurb (ahli kedekatan) Ilahi, para ahl Qurb, itulah sejatinya ahl ' Haqiqoh (ahli hakekat) yang dijadikan al Haq tiang pancang segala wujud. Dia menggerakkan semesta alam dengan jiwa-jiwa mereka " (ahli hakekat), mereka adalah centra penglihatan al Haq dalam semesta ini bahkan mereka tempat tajalli al Haq dalam segala yang maujud (ada), sebagai media penampakkan bias-bias nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, Dia menjadikan din mereka cerminan daripada tajalli-Nya. Kami tidak sependapat dengan fikrah Hului (panteisme), juga Tasybih (antropomorfisme) dengan makhluk-Nya. al Haq beraudiensi dengan para ahli hakekat dengan aneka rahasia, mereka adalah insan-insan yang terpilih dibalik tirai, mereka adalah insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya. al Haq menjadikan pokok-pokok ajaran agama ini (Islam) bahkan agama-agama lain berlandaskan bumi makrifah mereka (ahli hakekat), hakekat kemakrifahan mereka merupakan radar kasih kelembutan-Nya yang tercitrakan dalam diri mereka, tiada yang mengetahui kesejatian kasih kelembutan tersebut, melainkan diri mereka Kalamullah (Perkataan al Haq) dalam diri mereka merupakan oase isyarat dan metafor serta paradok ketuhanan yang sarat makna, kaya hikmah segenap amar perintah-Nya dan etos ubudiyah-Nya dimata pegiat ibadah sarat dengan rumus-rumus. Isyarat dan rumus-rumus itu bagi para ahli hakekat adalah merupakan Kunuz (pundi-pundi simpanan) makrifah Ilahiyah, al Haq mengeluarkan Kunuz tersebut sejalan dengan tingkatan makrifah mereka berikut sepadan dengan maqom (capaian spiritual) yang telah mereka raih, yang sedemikian itu dari Makanah (kedudukan) ke kedudukan yang lain, dari Khadrah (presensi) ke presensi yang lain, dari al Ilm (pengetahuan) ke a'yaan (etentitas,) dan etentitas ke hakekat, hingga La Aina (tidak dimana) La Kaif (tidak bagaimana).

Semua makhluk sejatinya laksana penyanggah (pelaksana) segenap amanat yang dikuasakan al Haq kepada Thaifah (komunitas) ahli hakekat tersebut, amanat disini hanyalah sebuah kata Majaz (perumpamaan), sebab penyanggah hakiki amanat tersebut adalah para ahli hakekat, karena mereka adalah centra audensi daripada Kalam (ujaran-ujaran) al Haq, sumber metafor-metafor (isyarat) ketuhanan serta tempat tajalli keterangan-keterangan nyata, sedang Thaifah lainnya hanyalah pengikut (Muqollid) belaka, mereka itulah hamba-hamba al Haq yang diberi minuman dari air Kafur, sebuah mata air dalam surga-Nya. Sedang yang lain diberi minum yang bukan dan gelas dan mata air Kafur, yang sedemikian itu sejalan dengan capaian-capaian spiritual yang mereka gapai, al Haq berfirman :

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan, minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah air kafur, yaitu mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. (Q.s. al Insaan 76 : 5 -6).

Maka hakekat seorang hamba­Nya, adalah mereka yang menyembah-Nya secara hakiki, jika orang seorang ingin memahami kesejatian al Haq, maka hendaknya ia menyembahnya secara hakiki, al Abraar (pegiat kebaikan) adalah bersama al Haq, seperti diwartakan pesan Qur’ani diatas adalah merupakan Majaz (pengandaian), sedangkan muslim kebanyakan (awam) mereka bersama al Haq berdasarkan pengikutan dan dibawah naungan konsesus hakekat, masing-masing (insan muslim) berusaha dekat dalam kebersamaan dengan al Haq, yang pada realitanya tingkat kedekatan dan kebersamaan itu beraneka ragam, ada yang terlanskapkan dalam : Ibadulallah (hamba Allah) Ibadurrahman (hamba Sang maha pemurah), Ibadurrab (hamba Sang maha pengatur).

Ketahuilah, bahwasanya eksistensi ummat Muhammad saw itu terbagi atas tujuh martabat (kedudukan), yaitu :

1. Islam

2. Iman

3. as Shalah (keshalehan)

4. al Ihsan, (kebaikan)

5. asy Syahadah

6. as Shiddiqqiyah (kejujuran kepada al Haq)

7. al Qurbah (kedekatan).

Paska ketujuh martabat tersebut, tidak ada martabat lagi, selain Nubuwah (kenabian), dan pintu kenabian itu telah disegel dengan penutup kenabian yang bernama Muhammad saw. Kemudian Islam dibangun dengan lima Ushul (pokok-pokok agama), yaitu :

1. Syahadat (pengakuan) bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah. Bahwa Muhammad adalah utusan (rasul) Allah.

2. Mendirikan shalat

3. Menunaikan Zakat

4. Puasa di bulan suci Ramadhan

5. Melaksanakan ritual haji di Bait al Haram, bagi mereka yang mampu melaksanakannya.

Adapun Iman dibangun dengan dua 'tiang pancang' keimanan. Pertama : Pengakuan dengan penuh ketulusan dan keyakinan yang utuh, akan ke-Esa-an Allah, adanya para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan adanya hari akhir, percaya Qodar-Nya, baik yang berdimensikan kebaikan dan keburukan semata-mata berasal dari Allah. Pembenaran yang beralaskan keyakinan yang utuh dan jernih ini, termetaforkan dalam kedamaian hati, kesejukan jiwa dalam mengimani nilai-nilai hakiki atas apa-apa yang diwartakan al Haq dalam dimensi ghaib, seperti halnya kedamaian hati dan kesejukan jiwa, tatkalah mata kasat memandang segala wujud, tanpa ada keraguan sedikitpun dalam kalbu. Kedua : Menunaikan dasar-dasar agama (Ushul) yang ada dalam rukun Islam yang lima (Syahadat. Shalat. Zakat. Puasa. Haji).

Sedangkan Shalah (keshalehan) dibangun atas tiga dasar keyakinan, yaitu :

1. Islam

2. Iman

3. Konsistensi ibadah kepada al Haq yang disertai rasa Khouf (takut), ar Rajaa' (harapan), kepada al Haq.

Adapun al Insaan (kebaikan), dibangun atas empat dasar keyakinan, yaitu :

1. Islam

2. Iman

3. Shalah

4 Istiqomah (konsistensi) dalam tujuh maqomaat (capaian spiritual), yaitu : Taubat. Inabah (kembali kepada al Haq) Zuhud. Tawakkal. Ridha. Tafwid (penyerahan), Ikhlas dalam segala hal. Sedangkan Syahadat dibangun atas lima dasar keyakinan, yaitu :

1. Islam

2. Iman

3. Shalah

4. Ihsan

5 Iradah yang mencakup tiga syarat. Pertama : Menumbuh kembangkan Mahabbah (kecintaan) kepada al Haq tanpa syarat. Kedua : Dzikr yang kontinu tanpa jeda. Ketiga : Menegakkan diri dengan melawan nafsu tanpa ada dispensasi.

Adapun as Shiddiqiyah (kejujuran kepada al Haq) dibangun dengan enam dasar keyakinan :

1. Islam

2. Iman

3. Shalah 4.Ihsan 5. Syahadat

6 Makrifah, yang terkandung di dalamnya tiga khadrah (presensi). Presensi pertama : Ilm Yaqm. Presensi kedua : Ainul Yaqm. Presensi ketiga ; Haqqul Yaqin.

Masing-masing Khadrah (presensi) mengandung tujuh syarat yaitu :

1. Fana'

2. Baqa'

3. Makrifah al Dzat dari dimensi tajajalli (penampakkan) asma-asma-Nya

4. Makrifah al Dzat dan dimensi tajalli sifat-sifat-Nya

5. Makrifah al Dzat dari dimensi inti (dzat)-Nya

6. Makrifah asma-asma dan sifat-sifat-Nya dengan Dzat-Nya

7. Pensifatan dengan sifat-sifat dan asma-asma al Haq.

Sedangkan al Qurb (kedekatan) dibangun dengan tujuh dasar keyakinan, yaitu :

1. Islam

2. Iman

3. Shalah

4. Ihsan

5. Syahadah

6. Shiddiqiyah

7. Wilayah al Kubrah.

Kewalian agung terkandung di dalamnya empat khadrah (presensi) Presensi pertama ; al H illah (kinasih), sejatinya adalah maqom  Ibrahim, barang siapa yang memasukinya akan beroleh kedamaian dan kenyamanan. Presensi kedua : al Hub (cinta), dalam presensi mi ditampakkan kepada Muhammad saw, cincin yang diberi nama Habibullah (kekasih Allah). Presensi ketiga : al Khitam (penutup) sejatinya adalah maqom Muhammad, dalam presensi ini panji Muhammad ditegakkan. Presensi keempat : Ubudiyah (ritus peribadatan) dalam prensensi ini al Haq menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada hamba terkasih-Nya, seperti yang diwartakan pesan Qur’ani :

Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba­Nya pada suatu malam. (Q.s. al Israa 17 : 1).

Dalam Hadrah (presensi) ini, terkandung di dalamnya seorang nabi dan rasul yang diutus kepada segenap makhluk, untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Para ahli hakekat dalam hadrah (presensi) mi capaian spiritual mereka hanya sampai pada maqom Subhaanahu (Maha Suci Dia), para hamba terkasih-Nya (wali-Nya) tersebut juga disebut sebagai hamba {Subhaanahu). Mereka (para ahli hakekat) merupakan khalifah (pengganti) rasul Muhammad saw dalam setiap hadrah (presensi), mereka adalah hamba-hamba yang dikhususkan al Haq, untuk tugas kekhalifahan ini, mereka yang tidak konsist dengan nilai-nilai hakiki hanya akan sampai pada maqom kenabian, mereka yang eksis dengan nilai-nilai hakiki akan mampu menggapai maqom risalah (kerasulan), agama ini (Islam) akan tetap eksis diatas muka bumi ini selama masih ada salah satu dari komunitas ahli hakikat ini, karena mereka adalah Khulafa' (para pengganti) rasulullah Muhammad saw yang senantiasa mengembala agama (Islam) ini, seperti halnya para pengembala kambing yang selalu fokus kepada gembalanya. Para ahli hakekat tersebut adalah ihwan (karib) sejati rasul saw, seperti yang beliau isyaratkan dalam sabda haditsnya :

Aku sangat rindu kepada karibku, yang akan datang jauh setelah zamanku,

para ahli hakekat itu sejatinya adalah pengemban amanah kenabian, mereka bukanlah auliya' (para kekasih)-Nya. Adapun esensi amanah kenabian yang dimaksud disini adalah kenabian dalam makna al Qurb (kedekatan), pewartaan risalah, menerapan hukum-hukum Ilahiyah (ketuhanan), bukan kenabian dalam makna Tasyri' (penyebaran syariat), karena kenabian dalam dimensi ini (Tasyri') telah berakhir pada diri Muhammad saw, karena beliau adalah-nabi pamungkas, para ahli hakekat tersebut sumber pengetahuan mereka sama dengan ilmu-ilmu para nabi, yang beroleh pengajaran langsung dari al Haq tanpa Wasitha (perantara).

Ketahuilah, bahwasanya al Wilayah (etos kewalian), adalah ibarat pendelegasian kekuasaan oleh al Haq kepada hamba-Nya dengan penampakkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, baik dalam dimensi ilm (keilmuan), Haal (keadaan), Arad (aksiden), bias, atsar (bekas), kenikmatan dan tindakan, adapun esensi kenabian dan kewalian : Pendelegasian (pendistribusian) hak al Haq kepada makhluk-Nya untuk perealisasian urusan mereka, demi kemaslahatan urusan segenap hamba-Nya. Para nabi dan wali dikuasakan al Haq untuk mengatur urusan mereka, agar tercipta kemaslahatan bagi segenap hamba-Nya, yang dengan itu mereka bisa mengantar anak zaman mereka kepada maslahat yang terbaik. Diantara mereka yang menyeru para hamba kepada al Haq sebelum kedatangan Muhammad saw sejatinya adalah seorang rasul, adapun komunitas ini (para ahli hakekat) yang menyeru para hamba kepada al Haq, paska kedatangan Muhammad saw sejatinya adalah Khalifah (pengganti) Muhammad saw, mereka tidak menyeru dengan wahyu diri mereka sendiri, akan tetapi mereka menyeru dengan wahyu ajaran Muhammad saw, seperti yang telah dilaksanakan para punggawa sufi agung, semisal Abu Yazid al Bustami, al Juned, syeikh Abd Qodir al Jailani, Mahyuddm ibnu Arabi dan para punggawa sufie lainnya. Diantara para sufie agung itu, ada yang tidak melaksanakan (misi) penyeruan kepada al Haq meskipun demikian mereka menjadi rujukan permasalahan yang memayungi langit kehidupan anak zamannya, punggawa sufie dalam capaian spiritual ini, maqom mereka ibarat Nubuwah Wilayah (nabi wali), adapun jika terkait dengan runtut ajaran nabi sebelumnya dan bukan pengikut nabi-nabi terdahulu, ia adalah ibarat Nubuwah at Tasyri' (nabi syariat) nabi dalam dimensi ini telah dipungkasi oleh Muhammad saw, dan pintu kenabian telah tersegel dengan 'segel' Muhammad saw, dengan demikian esensi al Wilayah (wali) adalah isim (nama) untuk ta'bir ke-khusus-an, antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Sedang Nubuwah Wilayah (nabi wali), adalah isim yang menta'birkan ambiguitas (Musytarak) antara seorang makhluk dengan Sang Kholiq dalam bingkai perwalian.

Nubuwah at Tasyri' (nabi syariat) adalah isim untuk ta'bir indepedensi dalam ritus peribadatan dan etos ubudiyah dengan diri pribadi tanpa membutuhkan pihak lain, sedangkan Risalah adalah isim untuk menta'birkan Haal (keadaan) antara seorang hamba dengan segenap makhluk-Nya dengan demikian dapat diketahui, bahwasanya nabi wali lebih utama dibandingkan nabi mutlak. Pengganti kenabian (Muhammad saw) lebih afdhal daripada penyebar syariat kenabian sebelum datangnya Muhammad saw, karena etos kenabian sebelum Muhammad saw adalah diperuntukkan bagi komunitas tertentu dan bersifat temporal, sedang risalah Muhammad saw adalah untuk semesta alam dan bersifat universal, valid dalam setiap masa dan tempat. Mayoritas para nabi, etos kenabian mereka adalah Nubuwa Tasyri' (nabi syariat). Hanya sedikit yang mengemban etos kenabian. Etos kenabian Nubuwah Wilayah (nabi wali), semisal Khidhir yang tertampakkan dalam ungkapan-ungkapan hikmahnya, Isa as jika turun ke dunia kelak, maka misinya tidak lagi sebagai Nubuwah at Tasyri' (nabi syariat), seperti jamaknya nabi-nabi komunitas Israel, mayoritas nabi yang lahir dari komunitas Israel, mereka bukanlah seorang rasul, melainkan seorang nabi yang mengemban syariat untuk diri pribadi mereka, diantara mereka (nabi-nabi dari komunitas Israel) hanya satu yang menjadi rasul, ada pula yang menjadi rasul yang diutus kepada komunitas tertentu, ada pula yang dijadikan rasul kepada ummat manusia, namun tidak diutus kepada komunitas Jin. al Haq tidak mengutus seorang rasul untuk menyeru kepada komunitas, etnis ras kuning, hitam, putih, coklak, manusia-manusia dibelahan bumi yang dekat, maupun jauh, kecuali Muhammad saw, nabi terkasih-Nya itu diutus kepada segenap makhluk, karenanya kehadiran Muhammad saw di semesta ini merupakan rahmat bagi semesta alam. Jika anda memahami realita mi, maka anda mengetahui bahwa al Wilayah (kewalian), lebih utama dibandingkan dengan an Nubuwah (kenabian) Nubuwah al Wilayah (nabi wah) lebih utama dibandingkan Nubuwah at Tasyri', (nabi syariat) Nubuwah Tasyri' lebih utama dibandingkan Nubuwah Risalah (nabi risalah), ketahuilah bahwasanya setiap rasul (utusan) adalah nabi Tasyri' (syariat), setiap nabi penyebar syariat adalah nabi al Wilayah (wah), setiap nabi wali lebih utama dibandingkan wali mutlaq, atas dasar itu pula ada pameo yang mengatakan : Awal kenabian adalah akhir kewalian. Pahami betul masalah ini dan telisik makna tersiratnya!

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).

Sudah Edit 64. Rahasia Ibadah berdasarkan Keterangan Rasul Muhammad saw

 

Pasal. Kita akan mengkaji rahasia-rahasia yang berserak dari ritus ibadah dan ubudiyah kita kepada al Haq, berdasarkan keterangan nabi terkasih-Nya Muhammad saw, yaitu lima Ushul (pokok-pokok agama) yang merupakan 'tiang pancang' agama Islam. Kemudian kita juga akan mengkaji rahasia-rahasia iman, berikut kita akan membahas rahasia makna yang ditaburkan al Haq pada maqom (capaian spiritual) as Shalah (keshalehan) yang lahir dari kontinuitas ibadah berlandaskan al Khauf (rasa takut) dan ar Raja' (harapan), kemudian kita juga menelisik rahasia-rahasia yang berserak dari Maqoomaat as Sab'ah (tujuh capaian spiritual), yang disebutkan dalam al Ihsaan (kebaikan), yaitu : Taubat, Inabah (kembali kepada al Haq), Zuhud, Tawakkal, Ridha, Tafwid (penyerahan din), dan Ikhlas. Kita juga akan membincang sisi Maqoomaat asy Syahadah, berikut tanda-tanda peniti jalan al Haq yang telah menggapai Ilm Yaqin, Amul Yaqm dan Haqqul Yaqin. Kita juga akan menelisik keajaiban-keajaiban maqom al Khillah (kinasih) al Hub (cinta) dan al Khitam (penutup) dan al Ubudiyah (Ibadah,) kesemua itu akan kita bahas secara global dan ringkas, sebab jika kita rinci keterangan pasal-pasal kajian diatas, niscaya akan membutuhkan kertas yang berjilid-jilid untuk pemaparannya, kita akan mulai kajian ini dengan membahas rahasia kalimat Syahadat. Ketahuilah, bahwasanya wujud itu terbagi atas dua macam, yaitu:

1. Wujud Mahluk yang berlandaskan hukum as Salab (negasi), tidak adanya konsistensi dan fana' (tidak kekal).

2. Wujud al Haq, pengkarya (al Khaaliq) segala sesuatu, inti (dzat)-Nya ada dan kekal abadi.

Kalimat Syahadat; terbangun atas susunan kata as Salab (negasi) yang bermakna tidak, dan alljaab (a-negasi) yang bermakna kecuali, maka esensi makna La Ilaha Illa Allah sejatinya adalah tidak ada wujud sesuatu kecuali Allah, kata Ilah dalam kalimat La Ilaha, maksudnya adalah berhala-berhala yang menjadi wujud sesembahan para paganis. al Haq dinamakan Ilah (tuhan), seperti halnya mereka menamakan berhala-berhala itu Tuhan, karena rahasia wujud-Nya ada pada inti (zat) berhala-berhala tersebut, pada realitanya wujud sesembahan mereka dengan keberadaan tajalli al Haq merupakan Tuhan hakiki, setiap al Ma'bud (sesuatu yang disembah) dengan adanya penampakkan al Haq pada inti sesuatu tersebut, sejatinya adalah disebut Tuhan, karena al Haq adalah inti sesembahan dan al Haq jika bertajalli kepada sesuatu, maka bekas-bekas Uluhiyah (ketuhanan) akan tertampakkan. Cermati redaksi kalimat syahadat La Ilaaha Illa Allah (Tidak Ada Tuhan Kecuali Allah) yakni tuhan-tuhan sesembahan itu tidak ada yang patut disebut Tuhan hakiki (kecuali Allah) tidak ada yang patut disembah dari tuhan-tuhan itu secara mutlak (kecuali Allah). Tuhan Allah adalah Tuhan yang patut disembah secara mutlak, tanpa ada batasan arah, Dia disembah dari segala arah, maka segala yang wujud adalah al Haq, Dia merupakan inti (dzat) segala yang wujud, namun kesejatian wujud tersebut tidak akan bisa disibak melainkan dengan Syuhud (penyaksian) dan Kasfy (pengetahuan intuisi), karenanya kesaksian ini dilembagakan dengan kalimat Syahadat. Sebagian para alim berpendapat, kalimat Asyhadu (aku bersaksi) maknanya aku melihat dengan mata kasatku dengan kesaksian, bahwasanya tidak ada wujud sesuatu, melainkan Allah, ada banyak wacana tafsir dan ragam pendapat tentang esensi (pengecualian) adakah kata Illa (kecuali), itu tersambungkan atau terputus? Adakah tuhan-tuhan selain al Haq itu tuhan hakiki atau tuhan batil? Bagaimana sejatinya pengecualian itu menjadi pemahaman yang utuh? Masing-masing memiliki argumentasi, untuk melandasi pendapat mereka. Pahami betul masalah ini, agar anda tidak terjebak pada tafsir sempit dalam memaknai kalimat Syahadat.

Shalat sejatinya adalah ibarat ke-Esa-an al Haq, mendirikan shalat merupakan isyarat pendirian simbol-simbol ke-Esa-an al Haq melalui segenap sifat-sifat dan asma-asma Nya.

Thaharah (bersuci) ibarat pensterilan diri dari kekurangan-kekurangan yang melanskapi diri, adapun penyucian dengan air, mengisyaratkan bahwasanya kekurangan-kekurangan diri tersebut, tidak akan lenyap dalam diri, kecuali dengan hadirnya atsar (bekas dan pengaruh) daripada sifat-sifat ketuhanan yang dengannya segala wujud menjadi hidup, karena air merupakan rahasia kehidupan, sedangkan Tayammum (bersuci dengan debu) bagian dari penyucian darurat, merupakan isyarat pensucian dengan memerangi hawa nafsu, menjauhi segala Tahrim (pelanggaran) dengan Mujahadah dan Riyadlah. Makna hakiki daripada Thaharah itu adalah, usaha untuk mensucikan diri dari kotoran-kotoran jiwa dan hati dengan al Maa' al Azali (air keabadian) yang sejatinya adalah mengadirkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri serta menghiasi laku diri dengan asma-asma-Nya dalam menapaki hidup dan kehidupan, sehingga terjernihkan dari Naqois (kekurangan-kekurangan) diri dihadapan al Haq, rasul Muhammad saw mengisyaratkan realita tersebut dalam hadist beliau :

Datangkan ketaqwaan kepada nafsuku, sucikan nafsuku, sejatinya Engkau adalah sebaik-sebaik pembersih nafsu.

Datangkan ketaqwaan kepada nafsuku, mengisyaratkan purna harapan kepada al Haq, karena rasul saw hanya memiliki satu keyakinan bahwasanya yang bisa membersihkan nafsu hanyalah al Haq semata, yang sedemikian itu paska melakukan totalitas Mujahadah.

Menghadap kiblat, mengisyaratkan, tawajjuh universal (menghadapkan hati dan jiwa secara utuh) dalam mencari al Haq.

Niat mengisyaratkan usaha memotivasi dan membangkitkan hati dalam bertawajjuh.

Takbiratul Ihram, mengisyaratkan sisi Ilahiyah (ketuhanan) yang maha Agung dan maha Luas dari sedekar apa yang tertajallikan dalam segala yang wujud, eksistensi al Haq tidak terbatas dengan penyaksian kasat mata, melainkan maha agung dari apa yang bisa ditangkap panca indera dan lanskap pandang tajalli (manifestasi) al Haq kepada para hamba-Nya, adalah tidak terbatas dan tidak berujung.

Membaca surat Fatihah, mengisyaratkan kesempurnaan wujud-Nya yang tercitrakan pada diri segenap manusia dan kemanusiaan universal, karena manusia adalah kunci pembuka segala wujud, keberadaan manusia merupakan kunci pembuka segala gembok-gembok yang mengunci rahasia segala wujud, membacanya (surat al Fatihah) adalah isyarat penampakkan rahasia-rahasia Rabbaniyah (ketuhanan) yang terlanskapkan pada rahasia-rahasia  manusia  dan  kemanusiaan  universal.

Ruku' mengisyaratkan pudar (leburnya) eksistensi segala yang wujud bersama hadirnya tajalli (penampakkan) ketuhanan.

Berdiri (paska ruku') mengisyaratkan maqom Baqa' (kekal), karenanya tatkala bangkit dari ruku' para pegiat shalat berucap : Sami'allahu Liman Hamidah  (Allah mendengar siapa saja yang memuji), tidak ada seorangpun dari para hamba-Nya yang berhak atas kalimat ini, karena kalimat ini merupakan pewartaan akan Haal Ilahiyah (ihwal ketuhanan), hamba yang sedang berdiri dalam menunaikan shalat, mengisyaratkan ke-kekal-an pengganti (khalifah) al Haq, karenanya dalam ritual shalat tidak memakai redaksi bahasa ' Amila (mengerjakan) akan tetapi Qooma (mendirikan), karena sejatinya shalat bukan ritual simbolistik (gerak tubuh) namun menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan shalat dalam praktek kehidupan riil.

Sujud ibarat, penghapusan sifat-sifat kemanusiaan berikut menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang suci dalam diri secara kontinu. 

Duduk diantara  dua sujud mengisyaratkan pendalaman nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam sifat-sifat dan asma-asma-Nya. karena duduk merupakan isyarat kebersemayaman  diatas Aqd (perjanjian), seperti yang diisyaratkan firman Qur’ani :

Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam diatas Arsy. (Q.s. Thaahaa 20 : 5).

Sujud kedua mengisyaratkan maqom ibadah, yaitu kembali dari al Haq kepada makhluk

Tahiyyat mengisyaratkan kesempurnaan al Haq dan makhluk, karena ia mengibaratkan puji sanjung kepada al Haq dan puja sanjung kepada nabi terkasih-Nya serta kepada para hamba-Nya yang shaleh, itulah sejatinya maqom al Kamaal (kesempurnaan),  seorang  wali  tidak  akan sempurna kewaliaannya melainkan dengan pemahaman hakikinya akan hakekat ketuhanan, berikut pengikutannya kepada Muhammad saw, serta keteladanan dan pengajarannya kepada para hamba­Nya yang shaleh dan banyak lagi rahasia-rahasia yang berserak dari ritual shalat tersebut, namun kami hanya memaparkannya secara ringkas.

Zakat : adalah ibarat penyucian diri dengan bias-bias (pengaruh) keberadaan al Haq pada segenap makhluk-Nya. Yaitu bias pengaruh kesaksian al Haq kepada makhluk-Nya pun kesaksian makhluk kepada-Nya, orang seorang yang mampu memakrifahi eksistensi dirinya, ia akan melihat bias-bias pengaruh al Haq terhadap dirinya dengan penyaksian yang sangat jelas. Jika orang seorang konsisten mensifati dirinya dengan sifat-sifat al Haq, maka pengaruh sifat-sifat-Nya akan melanskapi hidup dan kehidupan orang tersebut, jika seorang hamba mampu memahami inti (dzat)-Nya dan ia bisa memakrifahi ke-aku-an diri-Nya, maka pengaruh ke-Dia-an al Haq akan melanskapi diri orang tersebut, demikianlah isyarat yang berserak dalam ritus zakat, ibadah ini memiliki empat puluh degri (tingkatan) yang sedemikian itu segala yang wujud memiliki empat puluh tingkatan (degri), muara dari tingkatan zakat adalah martabat Ilahiyah (ketuhanan) capaian spiritual ini merupakan saru dari empat puluh martabat ketinggian, kami telah paparkan secara detil masalah empat puluh martabat ketinggian ini dalam karya kami ((al Kahfi wa al Raqiim fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim )) silakan anda memperdalam masalah ini dalam karya tersebut.

Puasa adalah isyarat untuk mencegah diri dari kepentingan-kepentingan Basyariyah     (kemanusiaan), berikut mensosialisasikan sifat-sifat Shamdaniyah (al Haq tumpuhan segala-segalanya) dalam diri. Sejauh orang mampu menahan diri dari kepentingan-kepentingan kemanusiaan dirinya, akan tampak jelas bias pengaruh al Haq terhadap dirinya, semakin eksis mengekang keliaran nafsu dirinya, semakin tampak tajalli al Haq pada dirinya. Puasa dilakukan selama sebulan penuh, merupakan isyarat al Faqr (rasa butuh) akan hajat hidup selama hayat dikandung badan kepada al Haq, yakni durasi waktu puasa (satu bulan penuh), merupakan metafor bahwa selama manusia hidup di alam dunia ini, selama itu pula merasa butuh akan hajat hidup dan kehidupannya kepada-Nya, esensinya durasi waktu puasa menunjukkan masa butuh kepada al Haq, karenanya adalah tidak logis jika ada seseorang yang berkata : aku telah Wushul (sambung), aku tidak perlu meninggalkan kepentingan-kepentingan kemanusiaan diriku, terlebih tidak butuh kepada al Haq, sebab nilai-nilai kemanusiaan yang nihil dari nilai-nilai ketuhanan adalah kosong, dan si pengklaimnya adalah hipokrit dan penipu! Ia tidak saja menipu dirinya namun juga menipu Tuhannya, maka adalah wajib bagi setiap hamba mentradisikan puasa, dalam pemaknaan, meninggalkan kepentingan dan ketergantungan kepada kemanusiaan selama menapaki hidup dan kehidupan dunia ini, berikut menggantungkan dan menyandarkan segala sesuatunya kepada al Haq semata, agar bisa meraih al Fauz (kemenangan), dalam menggapai keeksisan hakekat inti (dzat) ketuhanan. Dalam kaitan ini ada banyak bahasan yang menyoal masalah niat puasa, buka puasa, sahur, shalat tarawih dan segala amaliyah (amalan-amalan) di bulan suci Ramadhan, kami sudahi sampai disini perihal puasa ini.

Haji : mengisyaratkan kontinuitas Qoshd (tujuan), dalam mencari al Haq. Ihram merupakan isyarat, meninggalkan penyaksian dan keterfokusan kepada segenap makhluk-Nya, menanggalkan pakaian berjahit mengisyaratkan pencerabutan sifat-sifat rendah dan tercela dalam diri, berikut menghiasi diri dengan sifat-sifat Mahmudah (terpuji), Tahallul (memotong sehelai rambut) dan meninggalkan mencukur rambut secara keseluruhan, merupakan isyarat meninggalkan Riyasah (kepemimpinan) umat manusia. Meninggalkan memotong kuku (tangan dan kaki), mengisyaratkan penyaksian akan perbuatan al Haq dari segala amaliyah (perbuatan) yang lahir dari-Nya. Meninggalkan pemakaian wewangian, mengisyaratkan pengosongan sifat-sifat dan asma-asma Nya, untuk menggapai inti (dzat)-Nya. Meninggalkan persenggamaan (pada waktu haji) mengisyaratkan penahanan diri dalam bersikap dus menyikapi segala wujud, meninggalkan pemakaian celak, mengisyaratkan kepada pelarangan ketergesahan meminta Kasyaf (intuisi), untuk sampai kepada Hawiyah (ke-Dia-an) Ahadiyah (ke-Esa-an) Nya. Miqat ibarat hati, Makkah ibarat martabat ketuhanan, Ka'bah ibarat inti (dzat)-Nya, Hajar Aswad (batu hitam) ibarat pola hidup Insaniyah (kemanusiaan). Warna hitamnya isyarat ragam tabiat manusia, yang sedemikian itu seperti yang diisyaratkan rasul saw dalam sebuah hadist,

Hajar aswad ini diturunkan dengan warna putih kemilau, lebih putih daripada warna susu, batu ini dihitamkan oleh kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) anak cucu Adam,

hadist ini memaklumatkan bahwa pola hidup manusia yang tercipta dalam fitrah kesucian, kodrat penciptaan manusia memiliki ketersambungan dengan hakekat Ilahiyah (ketuhanan), itulah esensi makna firman Qur’ani :

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.s. at Tiin 95 : 4).

Keterpalingan manusia kepada pelik kehidupan duniawi, meninggalkan fitrah penciptaannya, kemasyghulan manusia dengan tabiat dirinya, adat istiadat (tradisi) yang mengungkung dirinya, keterputusannya dengan nilai-nilai ketuhanan dan ketersambungannya dengan nafsu-nafsu dirinya itulah yang menghitamkan dirinya. Dosa-dosa yang dilakukan manusia tersebut membawanya kepada noqta (titik) hitam hidup dan kehidupannya, serta terjauhkan dari pancaran sinar Uluhiyah-Nya. Maka hakekat kehitaman itu adalah dosa-dosa anak cucu Adam, realita tersebut pararel dengan firman Qur’ani :

Kemudian Kami kembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.s. at Tiin 95 : 6).

Ketahuilah bahwasanya esensi Thawaf itu adalah, ibarat daya presepsi (al Mudrika) yang dioptimalkan seorang hamba untuk memahami ke-Dia-an al Haq, berikut memahami asal penciptaan dirinya, pertumbuhan serta muara hidup dan kehidupannya. Tujuh kali putaran mengisyaratkan tujuh sifat utama yang merupakan 'tiang pancang' inti (dzat)-Nya, yaitu:

1. al Hayah (hidup)

2. al Ilm (berpengetahuan)

3. al Iradah (berkemauan)

4. al Qudrah (kuasa)

5. as Sam'u (mendengar)

6. al Bashar (melihat)

7. al Kalam (berbicara).

Dengan ketujuh sifat itu diharapkan sang pelaku thawaf bisa memakrifahi dirinya dengan ketujuh sifat yang merupakan sendi hidup dan kehidupannya, lalu mengembalikan ketujuh sifat itu kepada al Haq berikut menyandarkan dan memasrahkan hidup dan kehidupannya kepada al Haq, merujuk ilmunya kepada-Nya, memuarakan kehendaknya kepada al Haq, menyandarkan kekuasaannya kepada-Nya, pendengarannya kepadaNya, penglihatannya kepada al Haq, pembicaraannya kepada-Nya. Dengan demikian sang pegiat thawaf itu bisa memakrifahi sabda rasul saw, al Haq berfirman dalam hadist Qudsi :

Aku menjadi pendengaran apa yang didengarnya, penglihatan apa yang dilihatnya.

Kemudian Shalat paska thawaf mengisyaratkan penampakkan ke-Esa-an Diri Nya, tegaknya simbol-simbol ketuhanan, adapun diutamakan pelaksaan shalat tersebut dibelakang maqom Ibrahim, mengisyaratkan maqom (capaian spiritual) al Khillah (kinasih), yaitu sebagai metafor penampakkan bekas-bekas ketuhanan dalam diri pelaku thawaf, yang dengan itu apabila tangannya mengusap mata insan yang buta menjadi sembuh (bisa melihat), jika melangkahkan kakinya diatas bumi, bumi menyempit dan ia bisa melintas jarak dan waktu, demikian pula dengan anggota tubuh lainnya, cahaya ketuhanan akan tercitrakan dalam dirinya, tanpa Khulul (panteisme) dan Tasybih (antropomorfisme).

Air zam-zam isyarat ilmu-ilmu hakekat, meminum air zam­zam isyarat rasa haus akan ilmu-ilmu tersebut. Shafah isyarat Tashaffi (penjernihan) diri dari sifat-sifat kemahlukkan. Berlari-lari dari bukit Shafah isyarat, usaha untuk mendahagakan diri dengan mereguk minuman dari piala asma-asma dan sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan), sedang puji sanjung kepada al Haq pada ritual berlari-lari kecil dari bukit Shafah, mengisyaratkan pemakzulan akan kesejatian kekuasaan Ilahi pada maqom tersebut, kemudian Taqshir (berleha-leha) dalam penunaiannya mengisyaratkan penurunan degn (tingkatan), dari derajat hakekat yang juga merupakan martabat al Qurb (kedekatan) kepada degri al Ayyaan itulah nasib yang digapai para Shiddiqqiin. Kemudian melepas pakaian Ihram, ibarat pelebaran diri dalam berkalobrasi dengan para mahlukNya dan memperluas intentias kebersamaan dengan mereka, dengan tetap menyandarkan dan memfokuskan hati dan jiwa kepada singgasana ketuhanan. Arafah ibarat maqom Makrifatullah. Muzdalifah ibarat tebaran maqom (capaian spiritual) dan ketinggiannya, Mas'aril Haram ibarat keagungan pelarangan-pelarangan yang lahir dari konsesus ketuhanan, sedang penyikapannya adalah dengan pelaksanaan syariat-syariat-Nya. Mina ibarat tergapainya al Muna (harapan), bagi mereka yang telah sampai pada maqom (capaian spirtual) al Qurb (kedekatan). Melempar Jumrah tiga kali, ibarat nafsu, tabiat dan adat istiadat, ketiganya dilempar sebanyak tujuh kali, yakni membuang, mengkikis dan melenyapkan serta menindasnya dengan bekas-bekas tujuh sifat utama ketuhanan :

1. al Hayah (hidup),

2. al Ilm (berpengetahuan),

3. al Iradah (berkemauan),

4. al Qudrah (kuasa),

5. as Sam'u (mendengar),

6. al Bashar (melihat), dan

7. al Kalam (berbicara)

Kemudian Thawaf Ifadah ibarat konsistensi dan kontinuitas pertumbuhan ruhiyah, sejalan dengan kontiunitas al Faydz (penjelmaan) ketuhanan, Dia tidak akan terputus dari manusia sempurna, insan yang telah menggapai maqom (Insaan Kaamil) ketersambungannya dengan al Haq tidak akan berakhir. Thawaf wada' isyarat memohon Hidayah (petunjuk) kepada al Haq, melalui jalan Haal, (kondisi spiritual) karena rahasia-Nya berserakan pada Haal tersebut, karenanya rahasia al Haq ditaruh pada diri para wali (kekasih)-Nya pun para hamba-Nya yang pantas dititipi-Nya sejalan dengan firman Qur’ani :

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (Q.s. an Nisaa' 4 : 6).

Dalam ritual ibadah haji ini, ada banyak rahasia yang berserak pada doa-doa yang dibaca dalam pelaksanaan manasik haji, masing-masing doa yang dipanjatkan memiliki rahasia, yang tidak mungkin kita kupas dalam kajian ini. Allah Maha Mengetahui!

Iman : Merupakan awal tangga capaian Kasyf (pengetahuan intuitif) tentang alam gaib, iman juga merupakan media transportasi yang ditumpangi pengendaranya ke maqom (capaian spiritual) tertinggi di alam ketinggian, serta media Khadrah (presensi) kesucian dan kemuliaan bersama al Haq, iman ibarat jejak-jejak hati paska Idrak (persepsi) akal, semua yang difahami akal jika tidak menggerakkan jejak-jejak hati kepada al Haq, tidak bisa disebut iman hakiki dan pemahaman semacam itu hanya disebut ilmu teoritis, karena berdasarkan bukti-bukti riel kasat mata, karenanya pengetahuan yang tidak menggerakkan hati kepada al Haq tidak disebut sebagai pengetahuan hakiki, akan tetapi disebut pengetahuan teoritis dan pengetahuan semacam itu tidaklah bisa disebut sebagai etos keimanan. Karena syarat keimanan adalah penerimaan hati terhadap sesuatu yang dipercayai tanpa syarat, bahkan merupakan kepercayaan utuh (mutlak) yang lahir dari hati, karenanya bias cahaya akal tempuhannya sangat terbatas, sedang bias cahaya iman tempuhan cahayanya tidak terbatas, kekuatan akal sangat terbatas sedang kekuatan iman tidak terbatas. Merpati akal terbang dengan sayap-sayap hikmah dan dalil-dalil otentik serta valid (shahih), dalil-dalil tersebut tidak bisa ditemukan melainkan pada sesuatu yang kasat mata, sedang sesuatu yang bersifat batiniyah tidak memiliki dalil otentik kasat mata satupun, merpati iman terbang dengan sayap-sayap Qudrah, tidak hinggap pada satu ketinggian yang satu ke ketinggian yang lain, akan tetapi terbang lepas ke penjuru semesta alam, karena QudrahNya meliputi segala sesuatu, tanda keutamaan iman yang pertama-tama bisa disaksikan adalah, menuntun pelakunya mampu melihat dengan Bashirah (mata hati)-nya, hakekat keimanan seperti yang diwartakan al Haq hanya bisa disaksikan dengan Kasyf (pengetahuan intuitif) melalui cahaya keimanan, Nur al Iman tersebut perlahan-lahan menuntun pegiatnya kepada maqom hakikat sejati melalui apa-apa yang diimaninya, al Haq berfirman :

Alif Laam Miim. Kitab ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertagwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.s. al Baqarah : 1 - 5)

Para mukmin sejati, tiada sedikitpun dalam syakilah hati mereka, rasa ragu dan gamang dengan apa yang diwartakan kitab-Nya, etos keimanan mereka tidak membuat diri mereka berhenti melihat dan merujuk dalil-dalil baik tekstual maupun kontekstual, etos keimanan mereka tidak terpasung oleh nalar logika mereka, jika ada dalil yang tidak mampu ditangkap akal, mereka mengembalikan permasalahan tersebut kepada al Haq, yang sedemikian ini mereka sangat memahami bahwa akal mereka sangat terbatas dan mereka tidak menjadikan akal mereka tolak ukur keimanan diri mereka, jika ada sesuatu yang diluar narasi logika akal, mereka mengimaninya tanpa ada rasa ragu dan gamang, sebab insan yang mengaku beriman sementara etos keimanannya terpasung oleh akal dan dalil-dalil sempit, maka sejatinya ia telah mencidrai validitas kandungan kitab-Nya. Seperti yang jamak kita lihat pada diri para pakar ilmu kalam, ilmu logika mereka justru terbelenggu oleh logika dan pikir dalam menggapai keimanan hakiki, berikut melapangkan jalan kepada taqlid (pengikutan tak berdalil) dan bid'ah (pengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak memiliki dasar pijakan) serta menjadi Mulhid (anti Tuhan). Ketahuilah sejatinya landasan iman itu ada di hati, iman adalah cahaya dari cahaya-cahaya al Haq, dengannya al Haq melihat segenap hamba-Nya dari permulaan hingga ahiran, terkait dengan ini rasul saw bersabda :

Takutlah kalian dengan firasat insan beriman, karena ia melihat dengan cahaya alHaq,

rasul tidak menyebut takutlah dengan firasat orang muslim, atau orang berakal, akan tetapi beliau menghususkannya dengan kata mukmin. Pahami betul masalah ini!

Ketahuilah ayat Q.s. al Baqarah 1:1-5 ini, memiliki banyak interpretasi tafsir yang tidak mungkin kita paparkan satu persatu secara detil. Saya berharap suatu hari bisa membuat karya khusus, tentang Madzluliyah (makna tersirat) dari huruf Alif, Laam, Miim, Kaaf, al Kitab dan lain-lain, semoga Allah memberi kesempatan dan karunia kekuatan untuk menulis tafsir tentang huruf-huruf rahasia tersebut. Saya juga selalu berdoa agar bisa membuat karya Tafsir Qur’ani, untuk menyibak rahasia-rahasia yang berserak dalam kandungan Qur'ani, agar kelemahan akal bisa menangkap lebih luas lagi nilai-nilai Qur'ani, sejalan dengan janji al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw dalam firman-Nya,

Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (Q.s. al Qiyamah 75 : 19).

Saya berharap bisa berhidmah untuk membumikan nilai-nilai Qur'ani kepada ummat Muhammad saw, agar mereka bisa memakrifahi al Qur'ani secara hakiki. Kembali kepada kajian (pasal) ini, adapun firman-Nya,

Kitab ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagimereka yang bertagwa. (Q.s. al Baqarah 1 : 2),

 mengisyaratkan hakekat Alif, Laam, Miim. Secara global ayat tersebut mengisyaratkan kepada inti (dzat), sifat-sifat dan asma-asma al Haq. (Kitab ini) makna kitab dalam ayat tersebut, sejatinya adalah al Insaan al Kaamil (Manusia Sempurna). Maka Alif, Laam, Miim, adalah isyarat hakekat manusia.

Tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertagwa,

yakni insan-insan yang menjaga (memelihara) dan mentradisikan ajaran agama al Haq Dia menjaga dan memelihara mereka, jika disebut nama Allah hati mereka bergetar, takut tiada tara, jika mereka menyebut dan memohon kepada al Haq, Dia mengabulkan semua doa-doa mereka.

Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib,

sejatinya Ghaib dalam ayat ini adalah Allah, dalam kegaiban itu mereka beriman secara utuh, ke-dia-an mereka adalah ke-Aku-an Dia. Ke-aku-an mereka adalah ke-Dia-an Dia. Yang mendirikan shalat yaitu insan-insan yang menegakkan simbol, idiom, ikon, martabat ketuhanan dalam eksistensi wujud mereka, yang terwajahkan pada hakekat nama-nama dan sifat-sifat al Haq dalam din mereka.

Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka,

yakni mereka mengaktualisasikan diri mereka dengan nilai-nilai ke-Esa-an ketuhanan dalam setiap wacana kehidupan yang ditapakinya, berikut mendistribusikan segala Faydz (kelimpahan) yang lahir dari buah ke-Esa-an Ilahiyah kepada sanak keluarga, kerabat, handai tolan dan anak bangsanya, yang sedemikian itu hakekat rizki, bukanlah bermakna materi semata, rizki yang berupa pemahaman akan hakekat ke-Esa-an ketuhanan, merupakan nzki yang tak ternilai harganya.

Dan hakekat rizki itu adalah rizki yang mengantar penerimanya kepada nilai-nilai Uluhiyah dari menjadikan si penerimanya paham akan nilai-nilai ke-Esa-an Nya. Sejalan dengan sabda rasul saw :

Tegakkan langkahmu seiring dengan insan-insan yang meng-Esa-kan terdahulu, dengan demikian mereka yang meng-Esa-kan al Hag adalah para pendahulu yang utama,  adapun insan-insan yang mengikuti langkah-langkah para peng-Esa (pendahulu utama) itu adalah mereka yang beriman yakni beriman kepada yang ghaib, sedangkan kesejatian iman gaib adalah percaya kepada Kitab yang telah diturunkan kepadamu secara mutlak. Dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.s. al Baqarah : 4 - 5).

Keberuntungan itu melanskapi hidup dan kehidupan mereka, karena mereka percaya kepada isi kitab secara mutlak, percaya dengan adanya para malaikat, kitab-kitab al Haq, para rasul dan hari akhir. Menerima segala bentuk Qadha' dan Qadar al Haq baik yang buruk maupun yang baik dengan penuh kerelaan dan keyakinan utuh bahwa al Haq Maha Mengetahui apa yang terbaik buat diri mereka. Lebih dari itu mereka tidak sekedar beriman, namun juga memahami hakekat keimanan yang mereka yakini dengan kesaksian yang utuh, hal mana kesaksian yang utuh tersebut mengantarkan mereka kepada pemahaman hakiki (makrifah) allmaan bi Allah (iman kepada Allah) dengan itu mereka bisa menangkap metafor ketuhanan serta nilai-nilai hakiki dan penciptaan para malaikat, penurunan kitab serta pendelegasian para rasul-Nya. dengan demikian hakekat keimanan itu adalah yang berdimensikan asy Syuhud (penyaksian dimensi gaib), sebab diantara syarat iman adalah penyaksian dan pengetahuan secara intuitif (Dzauq al Wujdaan) dan bukan pengakuan syahadat simbolistik. Orang seorang yang mengaku telah beriman, sementara ia tidak memakrifahi esensi kegaiban dan hakekat kesejatian Diri Nya, etos keimanannya belumlah sempurna dan orang itu belum disebut sebagai as Saabiquun (para pendahulu) insan beriman, ketahuilah esensi pendahulu dan pengikut dalam etos keimanan bukanlah pada rentang jarak waktu, akan tetapi pada pemahaman paripurna etos keimanan itu sendiri, yaitu, mempercayai adanya Allah (al Haq), para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, serta Oadha' dan Qadhar, baik buruk maupun baik yang datang dari Allah. Orang seorang yang bisa memahami etos keimanan itu dengan makrifah (pemahaman) hakiki, ia berhak disebut sebagai as Saabiqun (para pendahulu), sedang yang insan yang tidak mampu disebut sebagai al Laahiquun (para pengikut).

as Shalaah  (keshalehan) : Ibarat kontinuitas ibadah dan keeksisan ubudiyah. Ibadah dalam pemaknaan umum, adalah amal kebaikan yang dimaksudkan untuk mencari pahala Allah dan manifestasi dan ketakutan akan siksa (adzab) Allah, pegiat ibadah awam (orang kebanyakan) memahami bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, pegiat ibadah itu berharap tambahan, baik dalam kehidupan dunia ini, maupun kehidupan akhirat kelak, ia menyembah al Haq karena takut kepada kobaran api neraka-Nya, serta hasrat ingin dimasukkan surga-Nya. Etos peribadatan seperti itu, ia patrikan dalam kalbunya, ia kristalkan ke-Agung-an al Haq di benak pikirnya, lalu ia aktualisasikan dalam dirinya dengan cara menjauhi sejauh-jauhnya segala bentuk kemaksiatan kepada al Haq, ia jernihkan dan sucikan hatinya dari segala bentuk larangan al Haq. Sedangkan faedah kontinuitas ibadah adalah, melahirkan keteguhan (keeksisan) diri dalam bertawajjuh kepada al Haq dan fokus kepada nilai-nilai ketuhanan yang lahir dari hati nurani yang paling dalam, keistiqomahan yang tulus itu akan memutihkan hati dari noqta hitam, serta akan merobohkan tembok-tembok Hijab (tirai, penghalang), yang menghalangi ketersambungan (Wushul) seorang hamba dengan al Haq dan jika Hijab telah sirna dan diri seseorang, maka orang tersebut dapat menggapai maqom (capaian spiritual) hakekat dalam bingkai syariat-Nya. Maka esensi Dawaamul Ibadah (kontiunitas ibadah) adalah ibadah yang berlandaskan hakekat yang berbingkai ajaran syariat, dengan tetap menghiasi ritus ibadah dengan ar Rajaa' (harapan), sebab ritus ibadah para shaleh syarat dengan Rajaa' bahkan harapan itu merupakan kemestian yang harus diusung dalam ritus ibadah para shaleh, lam halnya dengan Muhsinuun (para pegiat Insaan), mereka melandasi ibadah mereka dengan ar Rahbah (harapan besar) kepada al Haq, benang merah (perbedaan) ibadah antara para shaleh dan para muhsin, ialah para shaleh diri mereka takut kepada adzab (siksa) neraka dan berharap memperoleh pahala agar bisa memasuki surga-Nya untuk diri mereka, maka rasa takut dan harapan itu bersumberkan diri mereka, esensinya mereka melakukan ritus peribadatan untuk diri mereka. Lain halnya dengan para Muhsin etos beribadatan mereka berlandaskan ar Rahbah (harapan besar) akan Jalalah (keagungan) al Haq dan harapan besar akan lamalah (Keindahan) al Haq. Etos ibadah dan ubudiyah mereka murni bersumberkan al Jalalah dan al Jamalah. Maka muara ibadah para Muhsinun itu bermuara pada maqom al Muhlis (manusia yang Ikhlas) kepada al Haq. Sedang muara maqom para shaleh adalah as Shaaddiq (manusia yang benar) kepada-Nya. Ibadah para muhsin tidak menjadikan pahala besar sebagai agunan, sedang para shaleh selalu menjadikan pahala besar agunan ibadah mereka. Pahami betul, metafor dan rumus-rumus keterangan ini!

al Ihsan (kebaikan) : Isim (nama) Maqom (capaian spiritual), dimana dalam fase ini, seorang hamba mampu menelisik hakekat nama-nama dan sifat-sifat al Haq serta menangkap atsar (bekas) daripada ayat (tanda) ketuhanan. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut, ia citrakan dalam ritus ibadahnya, seakan-akan ia berada dihadapan al Haq. Hati dan jiwanya selalu fokus kepada al Haq, tidak ada ruang sedikitpun dalam syakilah hatinya sesuatu selain al Haq. Diantara tingkatan paling elementer dalam maqom ini, adalah seorang hamba merasa bahwa al Haq melihat dirinya kapanpun dan dimanapun dan ia pun merasa dilihat al Haq dimanapun dan kapanpun, namun penglihatan itu harus memenuhi tujuh syarat berikut ini :

1. Taubat

2. Inabah (kembali kepada al Haq)

3. Zuhud

4. Tawakkal

5. Tafwid (penyerahan)

6. Ridha

7. Ikhlas.

Taubat : dijadikan syarat Ihsaan, karena seorang hamba jika kembali kepada tindak dosa dan kemaksiatan, itu pertanda ia tidak memperdulikan lagi penglihatan al Haq atas dirinya, lebih dan itu ia tidak lagi melihat kepada-Nya, terlebih menafikan penglihatan al Haq atas dirinya, sebab sejatinya insan yang merasa melihat dan dilihat al Haq, tidak ada sedikitpun bersitan dihatinya untuk berbuat maksiat. Taubatnya orang yang muhsin (berbuat kebaikan) pun taubat orang yang berada dibawah maqom al Ihasan, semisal, para shaleh, para mu'min dan para muslim adalah taubat dari dosa-dosa. Sedang taubatnya insan yang telah menggapai maqom Syahadah, dari bersitan hati terhadap keinginan melakukan tindak kemaksiatan, taubat orang yang telah menggapai maqom as Shidiqiyah dari bersitan hati terhadap keterpalingan selain al Haq. Taubat para Muqorrrobin dari haal (kondisi spiritual) yang mengkondisikan diri mereka, yang sedemikian itu para Muqorrobin adalah insan-insan yang eksis dan kontinu berada dalam jalur ketuhanan yang hakiki, semua wajah hidup dan kehidupannya berada dalam orbit makritullah.

al Inabah (kembali kepada al Haq) : Diklasifikasikan dalam maqom al Ihsan, karena syarat utama keterkabulan taubat, adalah tidak kembali kepada perilaku dosa dan tindak kemaksiatan, tidak kembali berbuat dosa itu murni berdasarkan rasa takut yang sangat kepada al Haq, rasa takut itu melahirkan semangat kembali kepada al Haq secara utuh, Inabah para Muhsin dan insan-insan yang berada dibawah maqom Ihsan semisal para shaleh, para mu'min, para muslim adalah kembali kepada al Haq dengan cara memelihara diri dari segala larangan-larangan-Nya, berikut mentradisikan konsistensi dan kontiunitas diri dalam melaksanakan segenap amar perintah-Nya. Inabah para syuhada' adalah kembalinya mereka dari kehendak kepada diri pribadi mereka, kepada kehendak al Haq, Inabah para Shiddiqin, adalah kembalinya diri mereka dari al Haq kepada al Haq. Inabah para Muqorrobin, kembalinya mereka dari nama-nama dan sifat-sifat al Haq kepada inti (dzat)-Nya. Terkait dengan maqom (capaian spiritual) ini, ada banyak wacana yang melanskapi para Shiddiqiin dalam memaknai dunia hakekat mereka, masing-masing mangklaim telah kembali kepada inti (dzat)-Nya dan berkumpul bersama  inti (dzat)-Nya, pada kenyataannya (mereka) tidaklah demikian, mereka bersama nama-nama dan sifat-sifat-Nya karena sakr (esktase mistis) mereka lahir dan Khamer (arak) ke-Esa-an, hanya saja ke-Esa-an al Haq yang tak terbatas tersebut, mereka sempitkan dengan narasi logika mereka, padahal kekuatan logika mereka sangatlah terbatas. Jika anda mengklaim mereka bersama inti (dzat)-Nya, jelas anda memberi batasan permasalan ini, sebaiknya anda katakan mereka bersama al Haq melalui media asma-asma dan sifat-sifat Nya. Lain halnya dengan para Muhaqqiqin (para ahli hakekat) mereka bersama inti (dzat)-Nya tanpa ada batasan bahkan dengan dzat, dalam dzat dan bersama inti (dzat)-Nya, yang sedemikian itu para ahli hakekat adalah ahli maqom al Qurb (kedekatan). Kita akan bahas pada pasal berikutnya.

Zuhud menjaga jarak hati dari kekemarukkan duniawi : Merupakan syarat maqom Ihsaan, karena syarat muraqabah (bentuk perhatian) kepada al Haq adalah, tidak memalingkan hati kepada dunia, berikut tidak menjerembabkan hati ke dalam pelik kepentingan pragmatisme dunia. Cobalah anda telisik dengan jeli, manakalah anda melihat seorang budak yang sedang berada dihadapan tuannya dan si budak itu benar-benar memahami bahwa tuannya sedang membutuhkan khidmahnya, nicaya budak ini akan meninggalkan semua kepentingan (keperluan) dirinya untuk fokus berhidmat kepada tuannya, demikian halnya dengan etos zuhud, si zahid (pelaku zuhud) akan fokus kepada kepentingan al Haq, ketimbang kepentingan diri pribadinya, adapun zuhud para muhsin dan insan-insan yang berada dibawah maqom al Ihsan, semisal para shaleh, para mu'min, para muslim, adalah menjaga jarak hati mereka dari gelimang nikmat dunia dan keglamourannya, zuhud para syuhada' adalah menjaga jarak hati dari pelik kehidupan dunia dan akhirat secara keseluruhan, zuhud para Shiddiqqiq, menjaga j arak hati dari segala makhluk-Nya, mereka tidak zuhud melainkan kepada al Haq, nama-nama dan sifat-sifat­Nya, zuhud para Muqorrobin, menjaga jarak hati dari baqa' dengan asma-asma dan sifat-sifat, mereka bersama inti (dzat)-Nya. Pahami betul masalah ini!

Tawakkal (berserah diri): dijadikan bagian dari syarat al Ihsan, karena syarat orang seorang yang merasa diperhatikan dan dilihat al Haq, ia harus memfakuskan segala urusannya sejalan dengan ajaran syariat-Nya, serta tidak menyibukkan dirinya dengan pelik-pelik selain al Haq, adapun syarat tawakkal adalah memasrahkan diri kepada al Haq dengan memperlakukan diri sejalan dengan kehendak-Nya, apapun yang dikehendaki al Haq terhadap dirinya, ia pasrah, itulah esensi makna firman Qur’ani :

Dan hanya kepada Allah, hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Q.s. al Maa'idah 5 : 23)

yakni pasrahkan dirimu kepada al Haq, terserah Dia, diapakan dirimu oleh-Nya, jika memang kamu benar-benar beriman kepada-Nya, patrikan dalam dirimu bahwasanya al Haq tidak berbuat kepadamu melainkan sesuai dengan kehendak-Nya, patukan pula dalam dirimu bahwasanya Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik buat dirimu, pasrahkan urusanmu kepada al Haq, jangan protes dan marah serta kecewa dengan keputusan-Nya, karena sikap semacam itu merupakan cerminan daripada ketidak shalehanmu, maka jika anda jeli, kebanyakan para pelaku kebaikan, memasrahkan urusan kepada al Haq, agar Dia berbuat untuk kepentingan diri pribadi mereka pun mereka berharap ketawakkalan itu bisa menghasilkan multi guna bagi diri mereka, itulah esensi firman Qur’ani :

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (Q.s. ath Thalaq 63 : 2 - 3)

yakni barang siapa yang bertawakkal dan menyerahkan nasib dirinya untuk dipungkasi al Haq, itulah sejatinya insan yang berpasrah diri, etos ketawakkalannya tidak untuk kepentingan pragmatisme dirinya, melainkan untuk al Haq semata, etos tawakkal seperti akhirannya seperti diwartakan pesan Qur'am :

Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, nicaya Allah akan mencukupkan keperluannya, sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendakiNya.

Ia pasrahkan dirinya terserah al Haq mau diapakan dirinya, berikut ia pasrahkan nasibnya untuk dipungkasi al Haq,

Sesungguhnya Allah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Qs. ath Thalaq 65 : 3)

tawakkal para muhsin, ibarat memfokuskan segala sesuatu hanya kepada al Haq, berikut memasrahkan kepada-Nya untuk memungkasi nasib diri mereka. Tawakkal para syuhada' ibaratnya adalah melepaskan jerat-jerat hukum sebab akibat (hukum kausalitas) dan Wasitha (media-media) dengan memasrahkan secara utuh segala nasib yang mengkondisikan dirinya kepada al Haq untuk dipungkasi-Nya. Dengan demikian para pentawakkal itu menjadikan al Haq inti kehendak-Nya, menjadi kan kehendak diri mereka maksud dan tujuan-Nya, mereka tidak memiliki pilihan, karena pilihan mereka telah dimuarakan kepada al Haq, pilihan al Haq adalah pilihan mereka, seorang Mutawakkil (pegiat tawakal) sejati akan senantiasa Khusnudzan (berprasangka baik) kepada al Haq, bahwa apa yang mengkondisikan dirinya adalah yang terbaik menurut al Haq. Karenanya apa yang menjadi kehendak dan kemauan al Haq, adalah merupakan kehendak dan keinginan dirinya. Tawakkal para Shiddiqqin adalah mengembalikan eksistensi diri mereka dan segala pelik nasib mereka kepada al Haq, mereka tidak memiliki, pilihan, kehendak dan bentuk ketawakkalan yang mereka mnaikan, karena telah dipasrahkan kepada al Haq. Etos ketawakkalan para

Shiddiqqin itu adalah dengan menenggelamkan diri mereka dalam Syuhud (penyaksian) Diri Nya, berikut melenyapkan eksistensi diri, dalam wujud-Nya. sedang tawakkal para ahli hakekat, adalah tidak melihat diri mereka karena tenggelam dalam fana' (kesirnaan) bersama-Nya.

Tajwid (penyerahan) : Sejatinya sama dengan Taslim (berserah diri) hanya saja pada realitanya ada sedikit perbedaan, yaitu orang yang mentradisikan berserah diri (muslim), tidak selamanya ridha dengan ketentuan yang lahir dari keberserah dirian-nya, ia terkadang kecewa bahkan marah dengan apa dan siapa yang diserahinya, karena tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya, berbeda dengan Mufawwid (manusia yang mentradisikan penyerahan), ia senantiasa ridha dengan ketentuan yang lahir dari tafwidnya, ia pasrah sepenuh hati kepada apa dan siapa yang diserahinya tanpa syarat, ia dengan kerelaan yang tulus menerima segala yang lahir dari penyerahannya. Keduanya (taslim dan tafwid) lebih mendekati pada pemaknaan al wakalah (penitipan) sedang perbedaan diantara keduanya (taslim dan tafwid) dengan wakalah adalah, al wakalah (penitipan) ada syarat yang terkait dengan etos kepemilikan, antara si pemilik yang mengalih tangankan kepada orang yang dititipi, alih tangan semacam (klaim kepemilikan) itu tidak berlaku pada taslim dan tafwid. Maka penyerahan para Muhsin (pelaku kabaikan) kepada al Haq dalam segala urusan dan permasalahan mereka, sejatinya adalah pengembalian  segenap  urusan  dan  permasalahan yang mengkondisikan diri mereka kepada al Haq. Mereka membebaskan diri mereka dari klaim kepemilikan atas apa yang telah al Haq ciptakan untuk diri mereka, para muhsin menganggap apa yang mereka miliki hanyalah merupakan 'titipan' (pinjaman) al Haq yang Dia titipkan untuk diri mereka, karenanya mereka kembalikan segala sesuatunya kepada Sang Maha Pemberi rizki, karenanya disebut dengan tafwid (penyerahan).

Tafwid para syuhada' adalah, Sukuun (rasa damai) mereka dengan dan bersama al Haq, mereka senantiasa mentafakkuri afal (aktualitas) al Haq pada diri mereka, pun pada segala sesuatu selain diri mereka, lebih dan itu mereka serahkan segala urusan mereka kepada al Haq semata, mereka dengan keyakinan yang utuh percaya apa yang menjadi suratan taqdir din mereka adalah yang terbaik menurut al Haq atas diri mereka, apa yang dilakukan al Haq atas diri mereka diterima dengan penuh ketulusan, tanpa ada sedikitpun dalam syakilah hati mereka rasa Su'udzan (buruk sangka) kepada al Haq, penyikapan mereka kepada al Haq tidaklah sama dengan insan muslim kebanyakan (para awam), mereka tidak berpikir tentang imbalan dari ritus ibadah dan ubudiyah mereka, pun pula mereka tidak mengemis-ngemis pahala atas ritus ubudiyah yang mereka kerjakan, karena para Muhsin tersebut merasa bahwa diri mereka sama sekali tidak berhak atas pahala dari ritus ibadah yang mereka kerjakan. Sedangkan tafwid para Shiddiq adalah, mentafakkuri al Jamaal al Ilahiyah (keindahan ketuhanan) dalam berbagai tajalli (manifestasi) segala wujud, mereka tidak menyempitkan dimensi tajalli al Haq pada sesuatu tertentu, dus pada batasan-batasan tertentu, mereka serahkan etos tajalli itu kepada al Haq sejalan dengan kehendak-Nya, apapun tajalli-Nya mereka menyaksikannya, sejalan dengan maqom isim (nama), sifat, kemutlakan, tafwid (penyerahan), seperti halnya para Muqorrobin yang tidak ada rentang jarak yang memisah antara diri mereka dengan al Haq, sejalan dengan apa yang telah termaktub (tertulis) pada Qolam tertinggi segenap makhluk-Nya. Mereka tidak memasghulkan dengan wacana segala yang wujud, mereka serahkan diri mereka kepada al Haq, terserah Dia memperlakukan diri mereka sesuai kehendak-Nya, mereka itulah insan-insan yang terpecaya, tidak akan pernah membuka rahasia-rahasia al Haq yang disematkan pada diri mereka, tidak sombong dan congkak dengan karunia yang mereka miliki, tidak pula membuat kerusakan dimuka bumi ini, terlebih tidak mengganggu orang lain dalam menapaki hidup dan kehidupan ini, bahkan mereka sangat santun, peduli dan penuh empati kepada sesamanya. Mereka sama sekali tidak pernah menaburkan kebencian, kemarahan, kedengkian di dada orang lain, mereka selalu menebar rasa kasih, damai, dan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan orang lain, mereka bahkan berusaha menyatukan jiwa mereka kepada sesama insan, seperti halnya mereka berusaha menyatukan hati dan jiwa mereka kepada al Haq, ruh mereka senantiasa eksis dalam hadirat kedekatan bersama al Haq dalam singgasana Ilahiyah (ketuhanan).

Ridha (rela) : syaratnya adalah paska Qadha', sedang sebf lum Qadha' maka ia disebut 'Azam (hasrat kuat) akan ridha, konsesus semacam itu telah banyak dikeluarkan oleh para alun, punggawa thanqat. Ketahuilah ridha para muhsin (pelaku kebaikan) kepada al Haq adalah kerelaan mereka dengan Qadha' Nya, mereka sama sekali tidak menyoal al Muqdhi (penentu Qadha'), apapun ketentuan al Haq mereka terima dengan penuh ketulusan dan kerelaan al Haq terkadang menurunkan Qadha' berupa kepedihan dan kesusahan hidup dan mereka menerima (menghadapi kepedihan serta kesusahan hidup) itu dengan penuh kerelaan. Keridhaan mereka dengan Qadha' al Haq sejatinya adalah kerelaan mereka terhadap hukum-Nya dan keridhaan harus beralaskan hukum al Haq, dengan demikian jelas sejali dasar keridhaan mereka adalah hukum al Haq, bukan kepedihan dan kesusahan hidup yang memayungi langit kehidupan mereka, dalam menyikap Qadha' mereka melihat hukum al Haq bukan melihat bentuk (rupa) daripada Oadha' itu sendiri. Adapun ridha para syuhada' adalah kecintaan mereka kepada, demi dan untuk al Haq, yang tidak disertai permintaan Wushul (tersambungan) atau hengkang dari pelarian atau keterjauhan, bahkan mereka senantiasa eksis dalam kedekatan dan pertemuan. Kemarahan dan kerelaan mereka sama sekali tidak mengurangi esensi kecintaan mereka kepada al Haq, wacana hidup yang mengkondisikan diri mereka, tidak membuat diri mereka terpalingkan dari al Haq, terlebih melunturkan kadar cinta mereka kepada-Nya. Sedangkan ridha para as Shiddiqqin adalah, senantiasa merindukan kehadiran (presensi) ridha al Haq dalam lanskap pandangan ketinggian, yang sedemikian itu mereka senantiasa dalam proses pertumbuhan, semakin dekat seorang hamba kehadirat al Haq, semakin sempit penglihatan mereka kepada makhluk-Nya, dus semakin fokus kepada hadirat Ilahi, sebab kali pertama kebersamaan seorang hamba dengan al Haq, adalah melalui manifestasi perbuatan-perbuatan al Haq yang tertajallikan pada segenap makhluk-Nya, jika cerapan manifestasi itu kian dalam pada diri seorang hamba, semakin sempit pula fokus perhatiannya kepada makhluk-Nya, maka esensi ridha para shiddiq adalah, ke-berdiam-an diri mereka kepada al Haq dalam bingkai ke-acu-an (keterpalingan) mereka dari segala sesuatu selain Diri Nya, capaian spiritual semacam itu tidak bisa dianalogikan dengan kekuatan akal, karena hal itu merupakan wilayah Dzauq (intuisi) dan Kasfy (pengetahuan intuitif), sedangkan ridha para Muqorrobm adalah kembalinya mereka dan al Haq kepada makhluk.

al Ikhlas (keihlasan) : adalah wajah dari perilaku para shaleh yaitu, tidak berpaling kepada segenap makhluk-Nya dalam menjalankan ritus ibadah dan ubudiyah kepada al Haq. Ihlasnya para Muhsin (pelaku kebaikan) adalah, ibadah kepada al Haq tanpa berharap dan meminta imbalan dalam kehidupan dunia dan pahala kehidupan akhirat, etos peribadatan mereka kepada al Haq, semata­ mata karena amar perintah-Nya kepada segenap hamba untuk menyembah-Nya, sedang nisbat (perumpaan) ibadah para shaleh dan sebagian para muhsin dalam ritus ibadah, adalah laksana seorang hamba sahaya yang tidak berharap upah dari laku pekerjaan yang ditunaikannya, sedangkan ikhlas para syuhada' adalah, penunggalan al Haq dalam segala wujud, adapun ihlasnya al Muhaqqiqin (para ahli hakekat,) dan para Shiddiqin adalah, tidak adanya hasrat kepentingan untuk memakrifahi inti (dzat)-Nya pada sesuatu daripada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Adapun ihlasnya para Muqorrobin adalah, pensucian diri dari segala sekat-sekat keterkaitan dengan segala pelik selain al Haq, sehingga tidak ada Hijab (tirai penghalang) antara diri mereka dengan al Haq.

Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)

Adapun Syahadah terbagi atas dua golongan. 1.) Syahadah agung. 2.) Syahadah kecil. Kesyahidan kecil itu sendiri terbagi atas beberapa macam, sebagaimana yang diwartakan sebuah hadist semisal, insan mati dalam pengasingan, tenggelam, atau mati karena sakit muntaber dan lain sebagainya, adapun tingkatan tertinggi dalam kesayahidan kecil ini adalah, terbunuh dalam memperjuangkan agama Allah di medan laga. Syahadah agung terbagi atas dua macam, tinggi dan rendah, kesyahidan tinggi adalah Syuhud (penyaksian) kepada al Haq dengan 'ain (inti) keyakinan yang termanifestasikan dalam segenap makhluk-Nya, semisal jika si penyaksi melihat sesuatu dari ciptaan-Nya, sejatinya ia melihat eksistensi Sang Khaliq tanpa Hului (panteisme) dan Infishal (keterpisahan) sebagaimana yang diwartakan al Haq dalam firman-Nya :

Maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. (Q.s. al Baqarah 2 : 115)

al Haq telah memberi isyarat akan muara hakiki kesaksian yang kita maklumatkan, yaitu keterfokusan yang eksis dan kontinu tanpa ada keterputusan untuk Hadrah (presensi) al Haq dalam diri kita, kapanpun dan dimanapun kita berada, jika etos syahadah seperti itu benar-benar telah terpatri dalam diri seorang hamba, sejatinya ia adalah seorang Musyahid (penyaksi) al Haq dalam arti yang sesungguhnya, itulah tingkatan tertinggi daripada syahadat, tidak ada tingkatan sesudahnya melainkan as Shiddiqiyah yang terlanskapkan dalam wujud. Sang penyaksi akan fana' bersama wujud al Haq, dalam kesirnaan bersama-Nya itulah sang penyaksi berada pada capaian spiritual as Shiddiqiyah, adapun tingkatan terendah dan syahadah agung ini adalah, kebangkitan cinta kasih kepada al Haq, hakekat kecintaan dalam capaian spiritual ini adalah kecintaan yang beralaskan sifat-sifat Nya, lebih dari itu karena al Haq memang patut di-Mahabbah-i (dicintai).

Ketahuilah, bahwasanya al Mahabbah (kecintaan) itu terbagi atas tiga macam, yaitu :

1. Kecintaan berdimensikan perbuatan-perbuatan-Nya

2. Kecintaan berdimensikan sifat-sifat-Nya

3. Kecintaan berdimensikan inti (dzat)-Nya. Mahabbah perbuatan adalah kecintaan orang kebanyakan (para awam), yaitu mereka yang mencintai al Haq karena kebaikan-Nya kepada diri mereka, berkat kebaikan itu mereka bersemangat melakukan laku kebaikan dan al Haq merespon positif amal shaleh (perbuatan baik) mereka. Mahabbah sifat, adalah kecintaan para khawwash (orang-orang istimewa) mereka mencintai al Haq Li Jamaalihi (karena keindahan) dan Li Jalaalihi (keperkasaan)-Nya tanpa meminta kepada-Nya untuk menyingkap hijab (tirai penghalang) dan tidak pula memohon ditanggalkan niqob (tutup kepala) etos kecintaan mereka benar-benar murni dan jernih, tanpa ada tendensi apapun untuk kepentingan diri mereka, sebab etos kecintaan yang dilumuri kepentingan, sejatinya bukanlah kecintaan kepada al Haq, namun kecintaan kepada nafs (jiwa) mereka. Cinta yang utuh dan jernih adalah cinta yang tidak dibalut dengan kepentingan pragmatisme dus kepentingan selain al Haq, adapun esensi kecintaan para Khawwash (orang-orang istimewa) adalah kerinduan tak bertepi kepada inti (dzat)-Nya yang melahirkan kekuatan adidaya pada diri sang perindu, berikut membiaskan cahaya-cahaya kerinduan. Dalam fase ritual seperti sang perindu adalah manifestasi dari sifat-sifat Dzat yang dirindunya, seperti halnya ruh yang menggerakkan jasad untuk bersua dengan sosok yang dirindukannya, dengan demikian jelas sekali kecintaan para awam (insan kebanyakan) adalah berdimensikan perbuatan, kecintaan para Syuhada' berdimensikan sifat-sifat-Nya. Kecintaan para Muqorrobin berdimensikan inti (dzat)-Nya.

Diantara syarat syahadah agung adalah, mendiqdayakan diri dalam memerangi nafsu tanpa ada kompromi, semangat perang melawan nafsu tersebut murni berdasarkan azam (hasrat kuat) bukan berdasarkan Rukhsah (keringanan). Dalam wacana dunia thariqat, banyak terjadi kesalah pahaman dalam memaknai urgensi memerangi hawa nafsu, semisal ada orang yang ingin memungkasi nafsunya dengan banyak melakukan puasa, ia jauhkan dirinya dari makan dan minum sehingga membahayakan kesehatan tubuhnya, ia banyak melakukan shalat, hingga meninggalkan kewajiban hidupnya, nafsu tidak bisa dimatikan akan tetapi bisa di-didik, keinginan nafsu lebih bersifat pragmatis (kepentingan sesa'at). Orang seorang perlu memberi ruang bagi nafsunya selama tidak berlebih-lebihan dan merusak, shalat dan puasa adalah merupakan laku kebaikan yang banyak dianjurkan ajaran agama, dan media yang paling baik untuk pembelajaran (pendidikan) nafsu, selama hal itu dilakukan tidak berlebih-lebihan, semisal orang yang tekun Qiyam al Lail (bangun untuk shalat malam) namun shalat subuhnya terabaikan atau insan yang istiqomah puasa akan tetapi meninggalkan kewajibannya bekerja untuk kelangsungan hidup diri dan keluarganya, ketahuilah hakekat laku kebaikan adalah yang melahirkan kesejukan dan kedamaian jiwa serta berdampak positif bagi ruh, karena ruh adalah mitra malaikat dan malaikat adalah mitra al Haq, berbeda dengan nafs (jiwa) yang merupakan mitra hawa (nafsu) dan hawa nafsu mitra setan, karenanya jika diri seseorang didominasi ruhnya, kedamaian dan kesejukan akan memayungi orang tersebut, berikut menjadikan orang tersebut dekat bersama al Haq, rasul saw menyebut memerangi hawa nafsu itu sebagai sebuah jihad teragung, seperti sabda beliau :

Kita baru saja kembali dari jihad terkecil, dan akan menuju jihad teragung,

atas dasar itu pula etos syahadah (kesyahidan) dengan hunusan pedang disebut sebagai jihad terkecil, sedang syahadah dengan al Mahabbah (kecintaan) disebut dengan syahadah al Kubrah (agung).

as Shiddiqiyah, ibarat hakekat maqom (capaian spiritual)

Barang siapa yang memakrifahi dirinya, ia telah memahami Tuhannya,

makrifah dalam dimensi ini memiliki tiga hadrah (presensi), yaitu :

1. Presensi Ilm al Yaqin (keyakinan ilmu)

2. Presensi 'Ain al Yaqin (keyakinan inti)

3. Presensi Haq al Yaqin (keyakinan absolut).

Tanda kejujuran dalam melintas presensi (hadrah) tersebut adalah, segala wujud yang ghaib masyhud (tersaksikan) dan bisa dilihat dengan cahaya Nur al Yaqm (cahaya keyakinan), esensinya segala rahasia ketuhanan yang gaib dalam lanskap pandangan kasat mata manusia, dapat dilihat (disaksikan). Pada fase capaian spiritual ini, hakekat ketuhanan tertampakkan dengan jelas, sehingga sang penyaksi fana' (sirna) dibawah kekuasaan cahaya-cahaya al Jamaal  (keindahan) dan prosesi kefana'an tersebut merupakan pintu gerbang menuju gapaian ke-baqa'-an bersama-Nya. Saya (al Jaily) sengaja memakai redaksi 'gapaian' karena kebaqa'an bersama-Nya merupakan buah daripada presensi (hadrah) yang dilakukan sang penyaksi. Jika orang seorang eksis dalam kebaqa'an bersama al Haq, maka akan tampak kepadanya nama-nama-Nya yang menjadi 'inisial' orang tersebut. Dan orang itu teridentifikasi dengan nama al Haq yang melabeli dirinya, orang itupun akan memakrifahi (memahami) inti (dzat)-Nya, melalui nama-nama al Haq. Pada fase inilah batas ilm al yaqin (keyakinan ilmu) tersebut bermuara setelahnya tidak lagi ilm, selain inti (dzat)-Nya, kemudian berkembang menjadi tajalli (penampakkan) sifat-sifat-Nya, orang itupun bisa memakrifahi inti (dzat)-Nya melalui sifat-sifat al Haq, capaian spiritual itu terus berkembang hingga, (orang tersebut) tidak butuh lagi kepada nama-nama dan sifat-sifat dalam berkorelasi dengan inti (dzat)-Nya, kemudian berkembang lagi hingga orang itu bisa memakrifahi inti (dzat)-Nya dengan hakekat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sebelum ahirnya ia memahami hakekat inti (dzat)-Nya. Pada fase spiritual ini orang itu bisa memahami al Haq dengan al Haq, ia lalu berada dalam presensi (hadrah) al Haq dengan nama-nama dan sifat-sifat Nya, berikut menyaksikan hakekat asma dan sifat-sifat-Nya, mengetahui universalitas asma dan sifat-sifat­Nya secara rinci pun perinciannya secara global, ia senantiasa dalam naungan Rububiyah (Ketuhanan) dimanapun dan kapanpun hingga ajal menjemput dirinya, jika al Haq memanggil keharibaan-Nya ia akan diberi suguhan minuman dan piala yang disimpan ditempat yang tersembunyi, saat itulah orang itu bisa memahami esensi haqqul yaqin (keyakinan absolut), ini pula sejatinya awal daripada maqomat (capaian spiritual) al Muqorrobin.

al Qurbah (kedekatan), ibarat keketeguhan dan keeksisan seorang kekasih dalam mendekatkan diri kepada al Haq dan Dia juga senantiasa dekat dengan kekasih-Nya tersebut, wajah kasih itu terlanskapkan dalam manifestasi sifat-sifat-Nya dalam diri sang kekasih, maka hakekat al Qurbah adalah, manifestasi seorang hamba dalam mengaplikasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sehingga kehadiran al Haq dalam aplikasi nama-nama dan sifat-sifatNya itu, benar-benar Qorhb (sangat dekat) sebab adalah mustahil seorang hamba bisa mengaplikasikan hakekat sifat dan dari sifat-sifat-Nya, secara utuh dan sempurna tanpa-Nya namun demikian, jika orang seorang teguh (eksis) memanifestasi nama-nama dan sifat-sifatNya dalam dirinya, berikut tidak menodai kesempurnaan nama dan sifat-Nya pun memaknai asma dan sifat-sifat-Nya dengan bingkai keilmuan yang utuh, maka orang tersebut dikuasakan untuk melakukan sesuatu yang benar-benar Qorrib (sangat dekat) dengan perbuatan al Haq, semisal ia bisa menyembuhkan penyakit kebutaan sejak lahir, menyembuhkan penyakit sopak, serta menghidupkan orang yang telah mati dan lain sebagainya, yang kesemua itu merupakan perbuatan al Haq, hanya insan yang Qoriib (sangat dekat) dengan al Haq sajalah yang dikuasakan Qudrah-Nya dan bisa berlaku sama dengan laku al Haq. al Qurbu (kedekatan) juga bermakna al Jiwar (bersanding disisi) al Haq, dalam sebuah hadist diwartakan bahwasanya penghuni surga mereka berada (bersanding) disisi al Haq, yang dengan kesandingan itu mereka bebas melakukan apapun sesuai kehendak hati mereka di surga-Nya, itulah esensi kedekatan bi Jiwarillah (disisi al Haq).

Presensi (hadrah) pertama pada maqom al Qurb ini adalah al Khillah (kinasih), yakni penampakkan kasih al Haq kepada seorang hamba yang terlanskapkan dalam segenap perilaku organ tubuhnya, semua dimensi hidup dan kehidupannya membiaskan bekas-bekas Khillah (kinasih) berikut semua tindakannya berdimensikan KUN (jadilah) karenanya ia bisa menyembuhkan orang yang buta, insan yang berpenyakit sopak, berikut mampu melakukan pengobatan alternatif lainnya, dus dapat melakukan pekerjaan spektakuler lainnya, kakinya bisa dipakai untuk berjalan di udara, ia mampu membentuk dirinya dengan berbagai bentuk, ia bisa menyerupai sesuatu dengan bentuk paling sempurna, itulah esensi daripada firman al Haq dalam hadist Oudsi :

Hamba Ku yang eksis berusaha mendekatkan dirinya kepada Ku, dengan amalan Nawafil (ibadah-ibadah sunnah), niscaya akan Aku cintai, dan jika telah Aku cintai, Aku adalah pendengaran yang ia dengarkan, Aku penglihatan yang ia pakai melihat, lisan (mulut) yang ia pakai beraudiensi, tangan yang ia bentangkan, kaki yang ia pakai jalan.

Jikalau al Haq, hakekat pendengaran, penglihatan, kaki, tangan dan anggota tubuh lainnya, maka orang tersebut adalah Khalilullah (kekasih al Haq), yakni pancaran kasih­Nya memancar dari diri orang tersebut, ia beroleh maqom yang sepadan dengan maqom Ibrahim as, dalam capaian spiritual seperti itu seluruh organ tubuhnya dan tindak tanduknya menyimpan kekuatan par excelent, (adikodrati) tangan dan kakinya bisa melakukan perbuatan spektakuler, pendengaran dan penglihatannya melahirkan kekuatan par excelent, ia memiliki kekuatan adikodrati lahir batin diluar kemampuan manusia kebanyakan, masing-masing anggota tubuhnya, yakni tangan, kaki, lisan, pendengaran, penglihatan wajah manifestasi-Nya. Dengan KUN ia mampu mempola dunia dengan kekuatan adikodratinya, karena sejatinya semua perbuatan hamba tersebut adalah manifestasi perbuatan al Haq meski secara lahiriyah tampak perbuatan itu lahir dan lisan, tangan kaki, pendengaran, penglihatan seorang hamba, namun sejatinya al Haq-lah pelaku semua perbuatan tersebut. Cobalah telesik kembali apa yang telah terjadi pada diri nabiyullah Ibrahim as yang telah menggapai maqom Khillah (kinasih) mi, bagaimana dia melepas burung pada empat arah yang berjauhan, lalu memanggil burung-burung tersebut, dengan serta merta burung-burung itu terbang menuju Ibrahim as yang memanggilnya. Dalam alam realitas dan rasionalitas wujud, kenyataan itu menunjukkan Ibrahim as memiliki kekuatan adikodrati namun hakekatnya al Haqlah si empunya adikodrati itu, Ibrahim dikuasakan memiliki kekuatan yang sangat dekat dengan kekuatan-Nya, itu pula esensi daripada maqom al Khillah (kinasih).

Ketahuilah, maqom al Ourb juga merupakan al Wasilah (mediasi) karena insan yang Wushul (sambung) kepada maqom kedekatan akan menjadi perantara hati menuju ketenangan dan kedamaian, untuk memahami hakekat ketuhanan, dengan demikian hati manusia pada awalnya adalah kering dan nilai-nilai ketuhanan dengan wasilah (mediasi) kedekatan itulah hati menemukan nilai-nilai hakiki ketuhanan, hati yang nihil dan wasilah kedekatan, niscaya akan didominasi pelik-pelik duniawi dan kering dan nilai-nilai Uluhiyah, ia laksana cermin atau tabiat yang akan melanskapi semua yang tercermin pada hati tersebut, semua bersitan hati akan kosong dari nilai-nilai ketuhanan dan tetap pada asal penciptaannya yaitu kering dari nilai-nilai ketuhanan, maka isim (nama) al Haq adalah wasilah pertama untuk as Sukuun (kedamaian) ruh-ruh dalam memaknai hakekat sifat-sifat ketuhanan. Hati para wah yang telah Wishal (sampai) kepada maqom al Ourb merupakan wasilah kedamaian jisim (tubuh) untuk memakrifahi hakekat ketuhanan yang terlanskapkan dalam atsar (bekas-bekas) ketuhanan yang ada di alam makro dan mikro. Dan adalah tidak mungkin seorang wah (kekasih al Haq) bisa memahamkan jisimnya, dengan hakekat ketuhanan melainkan setelah Musyahadah dan Wushul (sampaf ke maqom al Qurb. Kedekatan itulah yang menjadi Wasilah (perantara) untuk menggapai derajat hakekat. Masing-masing daripada para nabi dan para auliya (kekasih Allah) Wasilah mereka adalah Muhammad saw. Maka wasilah adalah ain (inti) maqom (capaian spiritual) al Qurb (kedekatan)

Wasilah merupakan awal martabat maqom al Khillah (kinasih), sedang penghujung maqom al Khillah adalah maqom al Habib (tercinta) sebab etos kecintaan yang berdimensikan dzat adalah ibarat kerinduan yang terlembagakan dalam ketunggalan, sehingga sang pencinta dan kekasih sejatinya satu sama lain menjadi belahan jiwa, terlebih menyatu dalam satu ketunggalan. Telisiklah antara jasad dan ruh keduanya saling merindu dalam ketunggalan dzat. Ruh akan merasakan sakit yang diderita jasad dalam kehidupan dunia ini dan jasad merasakan sakit ruh dalam kehidupan akhirat, satu sama lain saling menampakkan (memanifestasikan) keberadaan kinasihnya serta mencitrakan kekasih yang dirindukannya, realita tersebut diisyaratkan al Haq dalam firman-Nya kepada Muhammad saw,

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (Q.s. al Fath 48 : 10).

al Haq mendudukkan Muhammad saw sepadan dengan kedudukan Diri Nya. Demikian pula dengan firman-Nya yang lain,

Barang siapa yang mentaati rasul, sejatinya ia telah mentaati Allah. (Q.s. an Nisaa 4 : 80).

Rasul Muhammad saw bahkan menegaskan realita tersebut kepada Abi Said al Khudri, tatkala ia melihat beliau dalam mimpinya, Said al Khudri berkata kepada rasulullah saw : wahai rasulullah, maafkan diriku, sesungguhnya kecintaanku kepada al Haq, membuatku mengabaikan kecintaanku kepada diri anda, rasul saw berkata : Wahai insan yang diberkahi, sesungguhnya kecintaan kepada al Haq sejatinya adalah kecintaan kepadaku juga. Jika muhammad saw adalah khalifah (pengganti) al Haq, maka tentunya ada Naib (wakil) Muhammad saw dalam kehidupan ini, Naib (wakil) itulah sejatinya khalifah (pengganti) pun sebaliknya Khalifah itu sejatinya juga Naib (wakil). Karenanya Muhammad saw adalah Insaan Kaamil (manusia sempurna) tiada seorangpun di jagad raya ini yang mengungguli kesempurnaannya. Muhammad saw juga merupakan Khootim (pamungkas) Kamaalat (kesempurnaan-kesempurnaan). Magoomat (capaian-capaian spiritual), Ilahiyah (ketuhanan) secara batiniyah, sedang bentuk lahiriyah daripada Khootimiyah (kepamungkasan) Muhammad saw adalah risalah yang dibawahnya, akhir daripada maqom maqom Mahabbah adalah awal maqom al Khitam (pamungkas), sedangkan esensi daripada maqom al Khitam adalah, etos memakrifahi (memahami) secara hakiki subtansi (entitas) Dzat Yang Maha Perkasa, Maha Mulia, dan sedikit sekali manusia yang mampu menggapai capaian spiritual ini, hanya manusia terkasih dan dikasihi-Nya sajalah yang bisa sampai ke maqom ini. Kesempurnaan hanyalah milik al Haq, setiap manusia akan melalui proses-proses kesempurnaan untuk menggapai hakekat kesempurnaan-Nya, karenanya kesempurnaan manusia selalu berproses untuk bisa Wushul (sambung) kepada al Kamaal al Haqiqiy (kesempurnaan hakiki). Sebab kesempurnaan al Haq adalah tiada batas, sedang kesempurnaan manusia sangatlah terbatas, seorang wali (kekasih) Allah akan terus berproses untuk menggapai kesempuraan hakiki inti (dzat)-Nya.

Ketahuilah, bahwasanya maqom Ubudiyah tidak akan bermartabat khusus, tanpa maqom-maqom lainnya, seperti halnya wali pada maqom al Khillah, maqom ubudiyah selalu beredar menuju kesempurnaan hakiki, maqom ubudiyah ini tidak berbeda dengan maqom al Hub yang bermuara pada maqom al Khitam. Esensi dari paparan tersebut adalah, sejatinya maqom ubudiyah itu, kembalinya seorang hamba dari martabat ketuhanan bersama al Haq kepada presensi (hadrah) kemahlukan. Maqom ubudiyah memiliki previsi tersendiri diantara maqoomat (capaian-capaian spiritual) yang ada, adapun perbedaan antara Ibadah, Ubudiyah dan Abudah. Ibadah adalah keluarnya amal shaleh (laku kebaikan) dari seorang hamba kepada al Haq dengan harapan beroleh imbalan (pahala) dari-Nya, sedangkan Ubudiyah adalah keluarnya amal shaleh (laku kebaikan) dari seorang hamba kepada al Haq, tanpa disertai harapan ingin beroleh imbalan (pahala) dari-Nya, ritus sesembahan yang dilakukan murni berdasarkan keikhlasan tanpa pamrih apapun, semua dilakukan semata-mata karena, demi dan untuk al Haq semata, adapun Abudah, ibarat amal (perbuatan) bersama al Haq karenanya ritus Ubudiyah memiliki previsi tersendiri dibandingkan maqoomat lainnya, demikian pula dengan maqom al Khitam, ia terlepas dari segenap capaian-capaian spiritual yang ada pada maqom al Ourb, karena ia ibarat pamungkas capaian-capaian spiritual para kekasih al Haq. Seorang wali (kekasih Allah) yang telah menggapai maqom al Qurb (kedekatan), secara otomatis ia dapat menggapai semua Maqoomat yang telah digapai segenap makhluk-Nya dihadapan hadirat-Nya, karena maqom al Qurb adalah muara segenap Maqoomat disisi al Haq dan puncak daripada maqom al Qurb itu adalah maqom al Khitam (pamungkas). Pada fase inilah orang tersebut disebut Insaan Kaamil (manusia sempurna) hanya Muhammad saw-lah yang berhak atas gelar tersebut, adalah sebuah keniscayaan seorang kekasih Allah, sebelum menggapai maqom Insaan Kaamil, harus melalui capaian-capaian spiritual dan menjadi ahli maqom al Hub serta maqom al Khillah yang ada pada maqom al Ourb, nama al Khillah dijadikan titik tolak maqom al Qurb karena insan yang Qoriib, merupakan manifestasi kinasih al Haq dalam segala wujud, lebih dari itu sang kinasih itu merupakan manifestasi wujud-Nya. Dalam fase spiritual inilah wajah al Hub benar-benar terlanskapkan pada kekasih (wali)-Nya tersebut, maqom al Hub ibarat maqom Muhammad dalam lanskap pandangan ketuhanan, sedang maqom al Khitam merupakan pamungkas maqom al Qurb, yang tiada berujung karena al Haq adalah dzat La Nihayah (tiada berahiran), namun demikian nama al Khitam terlepas dari capaian-capaian spiritual al Qurb, dengan demikian orang seorang yang telah menggapai maqom al Qurb, sejatinya ia adalah Khotim (pamungkas) para kekasih al Haq, pewaris nabi dalam maqom al Khitam. Karena maqom al Qurb sejatinya adalah maqom Mahmud (terpuji) dan Wasilah (mediasi) untuk pergi menuju kedekatan tanpa batas bersama-Nya, sehingga kedekatannya bersama al Haq tiada tertandingkan, lebih dari itu ia benar-benar menjadi manusia utama disisi maqoomat ketuhanan, dan itu hanya terjadi pada diri Muhammad saw, seperti yang diisyaratkan rasul saw : Sesungguhnya maqom Mahmud (terpuji) itu merupakan kedudukan tertinggi di surga-Nya, dan tiada seorangpun yang mampu menggapainya kecuali satu orang, aku berharap, mudahan-mudahan satu-satunya orang itu adalah aku. Muhammad saw adalah awal segala wujud, adalah Muhammad saw yang menjadi al Khitam (pamungkas) segala wujud, kepada Muhammad saw kami haturkan salam dan shalawat terbaik kami. Wa Shallahu 'ala Muhammad.


 

Otobiografi Syekh Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili

SYEKH ABDUL KARIM AL JAILI, nama lengkapnya : Abdul Karim Qutub ad Din ibnu Ibrahim al Jaili. Ia terlahir dari klan keluarga sufi agung Syeikh Abdul Qodir al Jailani, pada tahun 767 H (1366 M) di pemukiman yang bernama al Jailan, salah satu distrik di kota Baghdad. Abdul Karim al Jaili meninggal pada tahun 832 H (1430 M), sebagian pakar sejarah menandaskan al Jaili meninggal pada tahun 805 H. Ada pula sejarawan yang mengatakan ia meninggal pada tahun 826 H (1424 M) di kota Zabidah negeri Yaman.

Abdul Karim al Jaili adalah seorang pengembara sejati, ia telah berkelana ke berbagai negara. Ia telah berkeliling ke penjuru negeri Irak. Al Jaili juga telah mengembara ke negeri India, Persia (Iran), negara-negara Arab semisal; Cairo (Mesir), Axanderia (Mesir), Gaza (Palestina), Zabidah (Yaman), Makkah dan Madinah (Saudi Arabia). Di setiap negara yang dikunjunginya al Jaili menetap beberapa waktu guna melakukan aktifitas belajar mengajar atau melakukan prosesi ritual. Seperti lazimnya seorang pengembara, ia banyak mempelajari budaya dan peradaban negeri-negeri yang disinggahinya. Dalam keyakinan al Jaili. 'Allah tidak mengajar manusia dari al Qur'an dan Hadits saja, dari perilaku manusia, realita alam dan latar kesejajaran masing-masing penghuni bumi ini, sejatinya ajaran Allah sangatlah banyak".

Al Jaili adalah 'Penggila' ilmu pengetahuan. Ia merupakan sosok penuntut ilmu yang giat. Al Jaili dikenal anak zamannya sebagai pakar ilmu Geografi, Pedagogi, Ilmu Filsafat (Yunani), Ilmu Logika, Grametika dan Rahasia Huruf, Perbandingan Agama dan Ilmu-ilmu lain yang sedang mewacana di anak zamannya, dan masyhur sebagai intelektual nomer wahid. Ia telah mengkaji semua kitab-kitab suci dan aqidah-aqidah agama, ia sangat mahir bersemantis logika, pembicaraannya sangat tertata, tutur katanya lembut, logikanya sangat teratur, sikapnya sangat santun, ia bersedia belajar kepada siapa saja, selama melahirkan kontribusi positif bagi pengetahuan dirinya dan mendekatkan dirinya kepada Allah. Al Jaili juga populer sebagai pakar studi ilmu perbandingan agama. Di hadapan pemeluk agama lain ia mampu menunjukkan kesejatian Islam, hingga tidak sedikit orang yang memaklumatkan keislamannya dihadapan al Jaili.

Disamping giat mempelajari ilmu 'produk' logika, al Jaili juga sangat eksis mencerdaskan hati dan jiwanya. Ia merupakan seorang Saalik (peniti jalan Allah) yang istiqomah mentradisikan olah rohani. Al Jaili hidup sezaman dengan peletak dasar ajaran thariqat Naqsabandiyah yang bernama Syeikh Baha'uddin Muhammad Naqsabandi tersebut dan banyak menimba ilmu darinya. Al Jaili berguru dan ber-taslim kepada Syeikh Syarifuddin Ismail ibnu Ibrahim al Jabaruti. Melalui pembimbing spiritualnya itu al Jaili banyak belajar dan mendalami 'Ta'lim' (ajaran) Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang sufi agung dan pakar ilmu ketuhanan yang masyhur di kalangan ummat Islam.

Al Jaili telah menulis hampir tiga puluh kitab dan berbagai risalah (makalah) dengan berbagai topik kajian. Diantara karya-karya utamanya semisal : "al Kahfi wa al Raqim fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim" kitab ini merupakan karya pertama Abd Karim al Jaili, juga kitab "al Kamalaah al Ilahiyyah" serta "Oashidah an Naadirah al Ainiyah" dan "Qutub al Ajaib". Diantara semua karya yang lahir dari rahim pemikiran al Jaili, yang paling monumental adalah "Insan Kaamil fi Ma'rifah al Awahir wa al Awail". Dari kitab Insan Kamil itu bisa dibaca kesejatian sosok Abdul Karim al Jaili secara utuh, utamanya pemikirannya tentang Fikrah Tasaufi-nya dan Pandangan Tauhid Uluhiyaat (ketuhanan)nya.

Dalam menulis karya-karyanya, Abdul Karim al Jaili banyak memakai simbol-simbol, isyarat-isyarat dan metafora-metafora dalam meluangkan fikrahnya. Rumus-rumus itu kadang terasa Gharib (aneh) bahkan Nyeleneh, utamanya bagi kalangan non sufi atau mereka-mereka yang belum pernah tersentuh capaian-capaian spiritual. Abdul Karim al Jaili selalu mewanti-wanti para pembaca kawanya, seraya berkata: Kesungguhanku dalam mengkarya tulisan mempunyai makna dan arti. Karenanya singkirkanlah segenap pikiran,prediksi, asumsi dan estimasi dan maknah-maknah lahiriyah. pan agar kalian benar-benar memakrifahi (memahami) karya-karyaku. Maka carilah makna-makna batinnya. Al Jaili memaklumatkan bahwasanya al Haq telah memberiknya 'Ijazah' (izra) mewartakan ilmu-Nya dan menyebarkannya kepada setiap insan.


 

MADZHAB TASAUF AL JAILI

AbduIKarim al Jaili berpandangan bahwa : Tasauf mencakup rahasia-rahasia batin yang tidak mungkin ditakbirkan dengan kaflirnat-kalimat tegas dan lugas. Kalimat-kalimat tasaufi sarat dengan paradoks dan Madluliyah (maknah tersirat). Ujaran-ujaran tasaufi sangat pekat dengan simbol, metafora, isyarat dan rumus-rumus yamg terkesan absurd bahkan terasa menyimpang. Ke-Ganji-an ungkapan para pegiat sufi itu merupakan ekspresi pengalaman batiniyah (insight) mereka dengan Allah, berikut wajah al Uns (kfiJUtimaii) mereka dengan-Nya. Menurut al Jaili sumber utama pengetahuan kaum sufi adalah Dzauq (intuisi) dan Ilham. Dengan pengetahuan intuitif dan Ilham Illahiyah (ketuhanan) itulah seaeorangbisa memakrifahi segala sesuatu secara hakiki. Jika firasat berjalan pada lajur kebenaran, dzauq sang peniti jalan Allah (Saalik) akan mampu memakrifahi inti (dzat) al Haq. Dimata al Jaili: Peran dan fungsi akal sangatlah terbatas, logika tidak laik untuk dijadikan 'afiat' menggapai makrifah hakiki. Logika hanya bisa menjangkau pengetahuan kasat mata dan tidak akan keluar dan cerapan inderawi.Makrifah Sejati hanya bisa digapai melaluijalan hati bukan jalktn akal Pengetahuan intuitif hanya bisa diraih dengan mediasi jalan sofis bukan dengan jalan logika. Al Jaili berani berkata tegas bahwa : Manusia yang menuhankan akal, selamanya tidak akan bisa memahami kesejatian segala sesuatu.

Adapun muara pengetahuan intuitif (Dzauq al Wujdaan) adalah hakekat wujud, utamanya al Wujud al A'dzam (wujud teragung) yang prosesi Wushul-Nya melalui degri-degri Makrifah. Dzauq al Wujdan akan mengantar sang Saalik memahami kesejatian wujud teragung. Dia hanya bisa diketahui dzat-Nya dengan dzat-Nya. Yang Kekal (Maha Tetap). Demikian pula dengan jiwa, manakala jiwa telah sampai pada puncak singgasana rohani, pada maqom ini jiwa lebur dalam kerohanian dan jiwa tidak menjadi jiwa seperti pemahaman kita tentang jiwa dalam kehidupan individu kasat mata. Jiwa tidak lagi merupakan partikulasi rohani seperti yang jamak dipahami para filosof. Dimata kaum sufi ketika jiwa seseorang telah sampai pada puncak kesempurnaan, ia akan fana' (sirna) dihadapan al Haq. Sebab dzat yang tersirat Huduts (baru) jika dihadapkan dengan dzat yang Qodim (eternitas) niscaya akan sirna. Lain halnya dengan para filosof yang mengharuskan adanya Infishal (keterpisahan) antara jiwa dan pencipta jiwa. Al Jaili menafikan adanya Infishal tersebut, meskipun demikian ia menentang keras faham Hului dan Tanasukh serta Wahdat al Wujud.

Al Jaili menuturkan: Fana'nya jiwa bersama al Haq, haram dimaknai dengan Hului (panteisme). Wahdat al Wujud (Manunggaling Kawula Gusti) berikut adanya Tanasukh (Reinkarnasi). Karena Allah adalah dzat Yang Maha Suci dan Maha Sempurna haram disifati dengan sifat-sifat an Naqs (kurang). Wujud teragung itu inti (dzat)-Nya hanya bisa disibak dengan pengetahuan intuitif. Adapun keberadaan al Haq bisa ditelisik dengan mengoptimalkan ketajaman mata hati dan pikir guna memahami Tajalli (manifestasi)-Nya di alam realitas ini, utamanya dalam mikro-kosmos dan makro-kosmos. Al Jaili mencoba merumuskan degri-degri Makrifah, dimulai dari pemahaman tentang kesejatian wujud tingkat paling dasar hingga wujud teragung. Ketika seseorang telah menggapai Maqom (capaian spiritual) Haqiqah al Haqaiq (hakekat segala hakekat) .yakni hakekat wujud universal, ia akan paham bahwasanya al Haq adalah Ahadiyah al Jam'ah (kesatuan dari yang banyak) juga al Wahdah al Mutlaq (Ketunggalan Mutlak) yang termanifestasikan dalam diri "Insan Kamil". Menurut al Jaili, "Insan Kamil" adalah citra Diri-Nya. Manusia Sempurna itu merupakan cerminan daripada wujud teragung di alam realitas ini.

Dalam karya "Insan Kamil fi Ma'rifah al Awahir wa al Awahir", tepatnya sub kajian tertib (tingkatan) wujud, al Jaili menandaskan: Tidak ada sesuatu yang hakiki selain al Dzat al Ilahiyah (Inti Ketuhanan) yang mencakup inti al Haq dan inti al Makhluk. Menurut al Jaili, inti (dzat) al Haq dan Makhluk adalah dua hal yang berbeda, namun termanifestasikan dalam satu wujud. Demikianlah, tajalli Wujud Mutlak dalam realitas wujud ini bisa disibak melalui tahapan-tahapan manifestasi atau penurunan-penurunan. Adapun tahapan utamanya adalah 'Kabut': Ibarat dzat murni yang terselimuti sebelum tajalli. Kemudian al Ahadiyah (ke-Esa-an) yang merupakan awal penurunan dari kegelapan kabut menuju cahaya Tajalli. Lalu al Wahidiyah (ke-Tunggal-an), ia merupakan Ahadiyah dan manifestasi dzat dengan sifat-sifat dalam pen-citra-an global, tidak ada keutamaan diantara sifat-sifat yang ada dalam dimensi tajalli ini. Semua manifestasi adalah wujud inti makhluk dan inti al Haq.

Al Jaili mengistilahkan pencitraan global itu dengan Alam Kabir (makro-kosmos) sedang manusia disebut 'Alam Shagir (mikro­kosmos). Dengan demikian sejatinya 'Manusia Sempurna' adalah cerminan manifestasi al Haq pada Maujudaat (segala wujud). Insan Kamil itulah sejatinya citra lahir al Haq di alam realitas ini. Ia laksana cerminan wajah al Haq di segala ciptaan-Nya. Maqom pemahaman etos Insan Kamil seperti ini berlandaskan logika dan realita kasat mata. Manakala seorang mampu memakrifahi Insan Kamil melalui pengetahuan intuitif, pada saat yang sama ia akan menemukan Dzauq al Wujdaan (menemukan rasa batin) bersama al Haq. Ia akan mengetahui bahwa al Haq adalah inti segala wujud. Dan Dia adalah Ahadiyah al Jam'ah (kesatuan dari yang banyak) tanpa Hului dan Wahdat al Wujud. Menurut al Jaili, ketika jiwa bersatu dengan Insan Kamil dan al Haq, kebersamaannya bersama segenap makhluk hanya bersifat artifisial sedang ruhnya menyatu dengan Insan Kamil dan menemukan 'rasa batin' bersama al Haq. Kebersamaan itu terus berkembang menelusuri tangga-tangga rohani hingga sampai ke inti Hakekat Ketuhanan. Pada fase ini pasung-pasung inderawi terlepas, makrifah ruhiyah bersatu dengan sifat Isyraqiyah (ilmuniasi), semua hijab tersingkirkan, jadilah hamba itu fana' (sirna) bersama al Haq.

Menurut al Jaili: Seorang sufi mengetahui hakekat segala sesuatu -yang pada hakekatnya- ia hanya mengetahui dasar (asal) sesuatu tersebut melalui an Nur al Illahiyah (Cahaya Ketuhanan) yang dimukasyafahinya. Disimlah sejatinya batas pilah antara ilmu pengetahuan produk Dzauq (intuisi) vis avis produk Aql (logika) bisa diketahui titik pilahnya. Pengetahuan produk intuisi bersandarkan pada subtansi dan asal (sesuatu) bukan berdasarkan cerapan inderawi dan aksiden-aksiden. Sang sufi pada capaian spiritual ini hanya bisa dilihat 'gambar' fisiknya saja, sedang rohaninya lebur dalam keintiman bersama al Haq. Tampilan lahiriyah sufi di maqom ini terlihat tenang bahkan terkesan Nyentrik, sedang batinnya marak dengan cahaya ketuhanan. Keindahan batin sang Saalik (peniti jalan Allah) dalam fase ini penuh dengan luapan cahaya ketuhanan, sikap dan ujarannya tidak sepenuhnya bisa dipahami dari makna lahirnya, maksud sesungguhnya justru sering tersimpan dalam makna batinnya.

Dalam euforia al Uns (keintiman) bersama al Haq seperti itu, perilaku lahir sang Saalik sangat kontradiktif dengan laku batinnya. Karenanya dalam dunia sufi ada istilah Jadzzab. Adapun insan yang mampu menyeimbangkan (menyelaraskan) keindahan batinnya dengan keindahan wujud lahirnya sangatlah jarang, jikalau ada hal itu semata-mata karena Fadhal (kasih keutamaan) al Haq, dan itu hanya bisa ditemukan pada diri Insan Kamil. Tawazunitas keindahan batin dan keindahan lahir, melahirkan citra hakiki manusia dan kemanusiaan universal, dalam istilah tasaufi disebut "Manusia Sempurna" atau "Manusia Universal". Orang seorang tidak akan bisa memahami kesejatian alam universal ini, sebelum bisa memahami universalitas kemanusiaan dirinya. Dengan memakrifahi kesejatian diri seseorang akan bisa memahami kesejatian al Haq. Dengan demikian jelas sekali menurut al Jalili: Untuk memahami Wujud ter-Agung dan hakekat jagad universal ini, orang harus memahami universalitas kesejatian wujud teragung. Melalui kerangka teoritis "Insan Kamil" inilah al Jaili berusaha menuntun para peniti jalan Allah ke maqom (capaian spiritual) hakikat makrifat. Terlebih Wushul (ketersambungan) dengan kesejatian al Haq.