LOKASI

Banyuwangi Jawa Timur

Minggu, 07 Juni 2020

SIPIRIT PENDIDIKAN

Pendidikan adalah fondasi kehidupan manusia. Sejak lahir sudah dikenalkan secara otomatis proses pendidikan. Setiap manusia mengalami sebuah proses. Maka Proses itulah unsur pendidikan. Setiap gerak nafas ataupun gerak langkah kaki, gerak fikir dan dzikir senantiasa menghadirkan pendidikan.
Berkaca mata pada proses dan kebijakan pendidikan di Indonesia, kami masih merasa banyak tumpang tindih tentang arah dan hasil yang akan menjadi tujuan proses pendidikan tersebut, baik foemal ataupun nonformal serta informal. 
Jika kami melihat struktur kurukulum pendidikan kita, terdapat beberapa hal yang menjadi dasar pijakan untuk sebuah tujuan pendidikan. Sebut sajalah istilah kompetensi.
Ada beberapa kompetensi yang tertulis indah dalam kerangka kurikulum pendidikan kita. 
Diantaranya, KI1, yaitu Kompetensi Inti Spiritual, KI2 kompetensi inti Sosial, KI3 yaitu kompetensi pengetahuan, dan KI4 kompetensi keterampilan. 
Pendidikan kita tak lain adalah tetap berbau warisan para penjajah, hal ini tidak serta merta sama. Akan tetapi kita sadar bahwa bangsa kita adalah bangsa yang pernah dijajah oleh Bangsa lain, seperti Belanda, Jepang, bahkan sekutu. Pengaruh dan anasir dari eks penjajah kita masih nampak dalam budaya perkehidupan kita dalam bermasyarakat berbangsa. Sebagi contoh wacana berbau menakuti, bukan mencerahkan atau menjelaskan. Budaya ini menurut hemat penulis adalah warisan kolonial yang masih terpatri dalam fikiran masyarakat kita. Memang terlihat sangat tegas dengan gaya menakuti, akan tetapi dalam kajian ilmu pengetahuan psikologi modern justru merupakan faktor prnjajahan itu sendiri. Kita dijajah oleh ketakutan yang tak mendasar.
 Melihat perkembangan saat ini, tentu masih ada sedikit atau lebih, budaya tersebut hingga masuk ke dunia pendidikan kita. 
Memaknai bahwa pendidikan itu memerdekakan, membebaskan dari belenggu apapun, harus kita cermati dlam setiap unsur pendidikan. 
Apa yang kami sebut dengan pondasi pendidikan adalah sebuah grand design yang mewajibkan setiap warga bangsa mengetahui hakekatnya. 
Sebagaimana tercantum dalam alenea ke empat Pembukaan UUD 1945, menyebutkan bahwa kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa tidaklah hanya tugas negara atau pemerintah saja, akan tetapi merupakan tugas seluruh warga, pemilik bangsa yang besar ini, yaitu Kita.
Terkait tujuan utama berbangsa dan bernegara tersebut, maka pantaslah bagi kami mengutarakan sebuah penegasan bahwa kita telah kehilangan momentum spirit. Kita tidak kehilangan materi kebangsaan, akan tetapi fondasi spiritual kita semakin hilang bak badai pasir menerbangkan debu debunya.
Maka dari itu, dalam struktur kurikulum yang katanya juga menghabiskan uang yang banyak, serta pemikiran para orang-orang hebat di negeri ini, akan sangat berfaedah dan bermanfaat jika memang benar-benar diaplikasikan.
Menyoroti tentang Kompetensi Spiritual, penulis merasa bahwa spiritual bukan berhenti di tulisan saja, berhenti hanya ketika seorang guru secara administratif menulis angka-angka buku raport, lalu menuliskan bahwa si A sekian, begini aspek spiritualnya. Secara kasat mata ketika melihat angka-angka, kualitas siswa, bisa dikatakan sudah maksimal penilaiannya.
Pada sisi lain penulis sangat miris, jika proses itu hanya berhenti pada selembar penilaian kauntitatif meski terkadang dipakas kualitatif. 
Dari sini penulis sangat ingin sekali bahwa, pola-pola inilah yang secara tidak sadar telah menghilangkan fondasi utama pendidikan, yakni Aspek Spiritual.
Jika kita lihat dlam struktur kurikulum, bahwa KI1 adalah kompetensi spiritual. Kompetensi ini terletak pada tingkat paling mulia, yaitu nomor satu. 
Pada kenyataannya, kompetensi itu hanya berhenti pada angka, huruf, tanpa ada analisis sejauh mana aspek satu ini berpengaruh pada aspek-aspek di bawahnya.
Pendidkan kita tersurat spiritual, akan tetapi tak sampai tersirat, karena indikator SDM output atau outcome dari pendidikan tetap belum menjadikan cermin bahwa seorang menjadi mulia karena aspek spiritualnya. Pada hal yang terjadi, justru kemuliaan seseorang tercermin seberapa besar dan banyak nilai, angka, pujian kualitatif yang tertulis pada lembaran-lembaran "Suci" buku raport.
Lalu pertanyaannya, kenapa Aspek spiritual yang menjadi aspek tertinggi dalam struktur kurikulum kita, justru terasa kering dan tandus pada aspek-aspek selanjutnya. 
Dalam perspektif kami, pemerintah dalam hal ini pelaku dunia pendidikan masih dan akan dilenakan dengan segudang prestasi yang berisi angka, huruf, predikat semu dan sesaat saja.
Mereka masih berparadigma bahwa angka adalah kualitatif dari kuantitatif, maka semua akan berpijak pada angka materialis, sungguh terlalu.
Malihat hal ini, hanyalah sebuah mimpi saja, jika aspek tertinggi itu, kita tancap bersama dan disupport dengan kebijakan yang mengena, serta pendanaan yang utama, disamping aspek lainnya.
Ke depan kita jadikan Aspek spiritual menjadi aspek penentu seseorang dapat dikatakan tuntas melalui sebuah proses pendidikan. Mungkin kita buat indikator sederhana saja, umpam seorang siswa mampu menyelesaikan sendiri permasalahan dengan teman sebayanya hingga mereka sama-sama menyadari kekurangan, kesalahan. 
Yang lebih luas dan berkembang lagi, hemat kami dukungan dana untuk memompa hasil aspek spiritual ini tentu sangat harus direalisasikan segera. Sehingga ke depan Outcome kita mempu bersaing dan siap dengan fondasi kuat untuk menguasai Dunia, bukan untuk dikuasai dunia.

Demikian, kupasan perspektif alternatif, untuk kita renungkan bersam-sama, agar pendidikan kita tetap pada jalurnya, menjadi manusia indonesia yg bangga dengan jatidirinya, serta memahami aspek spiritual kebangsaannya, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

salam kebangsaan, Merdekaaaa.....!!!




0 comments:

Posting Komentar

Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun