Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar (Q.S al-Ahzab 33 : 4)
Mukaddimah
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang
Segala puji hanyalah untuk Allah. Shalawat dan salam, semoga tetap tercurahkan
kepada rasul terkasih-Nya, nabi pamungkas Muhammad saw. Buku ini dikarya semata-mata untuk
memberi kontribusi pengetahuan, guna memahami hakekat ketuhanan dan kesejatian
al Haq. Fokus kajian dan pembahasan karya ini adalah Allah Azza Jalaalah. Kita
akan mengkaji di dalamnya perihal subtansi ketuhanan dan eksistensi al Haq,
melalui dimensi nama-nama Nya yang menunjukkan keberadaan Diri Nya, dimensi
sifat-sifat Nya yang mewajahkan ragam kesempurnaan inti (dzat)-Nya, karena
sifat-sifat-Nya merupakan awal manifestasi al Haq pada segala wujud. Tidak ada
tajalli pasca sifat melainkan inti (dzat)-Nya, dengan I’tibar seperti ini,
Sifat-Nya lebih tinggi tingkatannya dibandingkan isim-Nya. Kemudian kita akan
membahas al Haq dari dimensi inti (dzat)-Nya, sejalan dengan metafora (ibarat)
dan paradoks ketuhanan yang terlanskapkan dalam realita alam dan isinya alam.
Kami sengaja tidak memakai metafor (paradoks) yang jamak dipakai dalam dunia
sufi, untuk memudahkan para pembaca dalam memahami isyarat-isyarat (metafora)
yang kami gunakan dalam karya ini. Meski demikian, kami akan mencoba merentah
rahasia-rahasia yang belum pernah dipaparkan para pengarang kitab terdahulu,
terutama hal-hal yang terkait dengan makrifah al Haq, dan makrifah alam Malakut
serta alam Jabarut. Kami akan coba mewartakan rumus-rumus yang berserak dibalik
misteri alam ketinggian tersebut terutama buat para Saalik (peniti jalan al
Haq), agar mereka bisa mengetahui batas antara realitas yang terpendam dan
tertampakkan, antara yang samar dan terang, antara yang lahir dan batin,
berikut sebagai Wasilah (media) Tafakkur merenungi nilai-nilai ketuhanan dan
esensi al Haq, dengan harapan bisa Makrifah (memahami) kesejatian Diri Nya.
Dalam karya ini, kami sengaja memakai bahasa kiasan (Majaz), sebab jika kami
paparkan secara lugas, transparansi tersebut dikhawatirkan akan melahirkan
multi tafsir dan ragam interpretasi, yang berujung pada ketidak sampaian
maksud. Terkait dengan ini, cobalah tafakkuri firman al Haq dalam pesan Qur’ani:
Dan Kami angkut Nuh ke atas dzat yang terbuat dari papan dan paku. Qs. al Qomar 54 : 13.
Andai redaksi firman-Nya berbunyi :
Diatas Bahtera yang terbuat dari
papan dan paku, niscaya Nuh as dengan mudah bisa menangkap pesan al Haq tersebut. Ide
membuat bahtera itu lahir ketika Nuh as berusaha menelisik firman-Nya (Papan
dan Kayu). Demikian halnya dengan anda wahai pembaca yang budiman, seperti cara
Nuh as itulah seyogyanya anda menelisik isi kandungan kitab ini, agar anda
mendapat pemahaman yang utuh akan pesan, metafora (isyarat), paradoks yang kami
paparkan dalam karya (Insan Kamil) ini.
Untuk anda ketahui wahai pembaca yang budiman, sesungguhnya saya (al Jaily)
tidak menorehkan Fikrah (buah pikiran) dalam karya ini, melainkan berpijak pada
Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya yang Shahih (valid), jika anda mendapati ada
sebagian Fikrah saya yang terkesan agak 'lain' (berbeda) dengan makna lahir
pesan Qur'ani dan Sunnah rasul-Nya, yang demikian itu semata-mata berlandaskan Mafhuumuhu
(pemahamannya) dan bukan berdasarkan Muradiy (keinginan saya), anda tidak
perlu memasyghulkan diri untuk menelisik keganjilan tersebut, sebaiknya anda
sikapi dengan Khusnudzan (pikiran positif), atau simpan di relung kalbu
dan benak anda, sembari berdoa semoga Allah membukakan jalan bagi anda untuk
memakrifahinya. Dalam menyikapi 'Keganjilan' tersebut, sebaiknya anda Taslim
(berserah diri) kepada Allah dengan tetap menjadikan pesan Qur’ani dan
Sunnah rasul-Nya dasar pijakan bertauhid. Dengan Taslim itulah jalan makrifah akan
terbuka lebar, sebaliknya pengingkaran hanya akan menutup pintu Wushul (ketersambungan)
anda dengan al Haq. Mereka yang mengingkari disiplin ilmu ini (tasawuf dan
intuisi), selamanya tidak akan pernah menemukan Hakekat Makrifah (esensi
pemahaman) dan tidak akan pernah menemukan kesejatian ilmu, juga tidak akan
pernah Wishal (sampai) kepada al Haq, tidak ada Thariqah (jalan)
untuk menggapai hakekat makrifah selain Taslim dan iman yang tulus kepada al
Haq.
Ketahuilah, bahwasanya setiap ilmu yang tidak didasari ajaran Qur’ani dan
Sunnah rasul-Nya yang Shahih (valid) adalah Dholal (sesat), al Qur’an
dan Sunnah rasul-Nya bukan untuk membenarkan ilmu dan tindakan anda, akan
tetapi hendaknya ilmu dan tindakan anda sesuai dengan pesan Qur'ani dan Sunnah
rasul-Nya. Jadikan al Qur'an dan Sunnah rasul-Nya dasar pijakan ilmu dan ibadah
anda, jika nalar anda dan dasar logika anda tidak mampu menjangkau kedalaman
ilmu ini (tasawuf dan pengetahuan intuitif), sebaiknya anda Taslim dengan
keimanan yang jernih dan jangan sekali-kali mengingkari sesuatu yang anda belum
mampu menyibaknya, serahkan segala sesuatunya kepada Sang Maha Mengetahui, Dialah
Allah Jallah Jalaalah, sebab setiap ilmu yang hadir dalam diri anda tidak akan
terlepas dari tiga hal berikut ini.
Pertama: al-Mukaalamah (ujaran-ujaran),
yakni apa yang datang dalam kalbu (hati) anda melalui al Khawathir (bersitan-bersitan)
Rabbaniyah (ketuhanan) dan Malakiyah (malaikat).
Bersitan-bersitan tersebut tidak mungkin terbantahkan dan teringkari akal
pikiran dan hati nurani. Sesungguhnya pembicaraan al Haq kepada segenap
hamba-Nya dan pesan ketuhanan yang Dia sampaikan kepada hamba yang
dikehendaki-Nya, adalah sebuah keniscayaan yang pasti diterima, tidak
seorangpun dari makhlukNya yang mampu menolak. Diantara tanda pembicaraan al
Haq kepada hamba yang dikehendaki-Nya itu adalah, sang pendengar secara Dharuriyah
(primer) mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa apa yang disimaknya adalah
Kalaamullah (perkataan Allah), pendengaran yang disimak itu bersifat Kulli
(universal), tidak dibatasi oleh al Jihah (ruang) serta tidak satu
arah, sebab jika penyimakan itu terjadi hanya satu arah dan dibatasi oleh
ruang, maka pendengaran tersebut tidak berlaku untuk arah juga ruang yang lain.
Cobalah telisik kembali perihal nabi Musa as, ia mendengar Khitah (pembicaraan)
dari Syajarah (pohon) yang tidak terikat oleh arah, dan pohon itu
sendiri merupakan arah. Demikian halnya dengan bersitan-bersitan Malaikat,
tidak jauh berbeda dengan bersitan-bersitan ketuhanan, hanya saja kekuatan
bersitan ketuhanan lebih kuat dibandingkan bersitan malaikat, kecuali bila
bersitan itu bersifat primer, realita tersebut (kekuatan) tidak saja ada pada Mukaalamah
(pembicaraan), namun juga pada Tajalli (penampakkan) al Haq.
Manakala Anwaar al Haq (cahaya-cahaya al Haq) termanifestasikan pada
diri salah seorang hambaNya, hamba itu mengetahuinya secara primer sejak kali
pertama kemunculannya, bahwa cahaya tersebut adalah cahaya al Haq, baik berupa
manifestasi sifat, nama, ilmu atau inti (dzat)Nya. Jika cahaya al Haq
tertajallikan pada diri anda niscaya anda akan bisa mengetahuinya sejak kali
pertama, bahwa manifestasi tersebut adalah Nur al Haq (cahaya al Haq),
atau sifat-sifatNya pun inti (dzat)Nya, itulah sejatinya Tajalli
(manifestasi). Pahami betul masalah ini, samudera tajalli luasnya tak bertepi.
Adapun Ilham Ilahiyah (ketuhanan), Thariqah (metode) gapaiannya
tersurat jelas dalam pesan Qur’ani dan Sunnah rasul-Nya, kriterianya sangat
jelas. Jikalau Ilham itu tidak sejalan dengan nilai-nilai Qur'ani dan Sunnah
rasul-Nya, hendaknya proses amaliyah (laku)nya dihentikan, sebab bisikan setan
sangat kuat dalam Ilham ini. Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara
Ilham ketuhanan dan bisikan setan, karenanya Taslim dan iman kepada al Haq
adalah sebuah kemestian yang harus dilakukan dalam menyikapi Ilham ini, dengan
tetap berpegang teguh kepada Ushuluddin (pokok-pokok ajaran agama),
hingga al Haq membuka pintu makrifah (pemahaman) akan kesejatian Jala' al
Khawafhir (bersitan-bersitan hati) tersebut.
Kedua : Ilmu yang keluar dari lisan yang bersumber pada Intisab
(runtutan) Sunnah dan Jama'ah, yakni ilmu yang berlandaskan legitimasi dan
kesaksian secara utuh dan jernih. Jika anda dihadapkan pada etos keilmuan yang
diluar jangkauan nalar logika, dan akal pikir anda tidak mampu menjangkaunya.
Cara terbaik menyikapinya adalah dengan Taslim dan mempercayainya secara utuh,
serta mentradisikan sikap Khusnudzanitas (pola pikir positif) berikut
yakin setulus hati. Anda harus menanamkan dalam diri anda dan mengakui dengan
penuh kejujuran, bahwa kekuatan akal insani sangatlah terbatas. Dengan pikiran
positif dan keimanan yang jernih seperti itu berarti cahaya akal anda mengikuti
cahaya iman anda, begitulah semestinya anda menyikapi dimensi kegaiban seperti
halnya anda menyikapi Ilham, Jala' al Khawatir (bersitan-bersitan hati) yaitu
dengan mengedepankan iman yang tulus dan jernih, mentradisikan Khusnudzanitas
serta Taslim (pasrah diri) kepada al Haq.
Ketiga : Ilmu yang keluar dari lisan, orang-orang yang Mufarraqah (memisahkan
diri) dari Madzhab (aliran keagamaan), serta ilmu yang lahir dari mulut
para ahli bid'ah. Ilmu semacam itu adalah Marfuud (ditolak). Namun
demikian tidak ada kemestian harus ditolak, selama ilmu tersebut masih dalam
koridor al Kitab dan as Sunnah, maka tidak ada alasan untuk menolak, hanya saja
sangat nihil ilmu semacam itu dilandasi pesan Qur'ani dan Sunnah rasul-Nya.
Sebab para ahli bid'ah selalu menciptakan konsesus-konsesus keagamaan yang
tidak memiliki dasar pijakan, mengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang
tidak berpijak pada ajaran Qur’an dan Sunnah rasulNya, padahal semua konsesus
keagamaan sejak awal kelahiran Islam, selalu berlandaskan pesan Qur'ani dan
sunnah rasul-Nya yang Shahih (valid). Cobalah anda perhatikan dengan seksama,
apa yang keluar dari pesan Qur'ani dan sunnah rasul-Nya, perihal jalan pilihan
(petunjuk) seperti yang termaktub dalam firman-Nya.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Q.s. al Qashashas 28 : 56.
Juga firman-Nya yang lain,
Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Q.s. asy Syura 42 : 52)
Begitu pula dengan sabda rasulullah saw,
Kali pertama yang diciptakan Allah
adalah akal
juga
Kali pertama yang diciptakan Allah
adalah al Qolam (pena)
serta sabda beliau
Kali pertama yang diciptakan Allah
adalah Nur nabimu wahai Jabir.
Maknailah sabda-sabda beliau itu dalam pemaknaan yang utuh, serta
menempatkannya pada porsi yang arif dan bijaksana, agar anda memperoleh
pemaknaan yang Syaamil (utuh) dan Kaamil (sempurna). Para alim
(ulama) berpendapat, keberadaan rasul saw itu sendiri adalah al Hidayah (petunjuk),
terutama petunjuk untuk memakrifahi inti (dzat)Nya, sedang Hidayah dalam
pemaknaan umum (awam) adalah petunjuk yang mengantar kepada al Haq. Para alim
juga berpendapat bahwa ketiga hadits diatas makna hakikinya adalah satu, sedang
I'tibarnya mengandung multi makna seperti halnya al Aswad (hitam), al
Laami' (kilatan cahaya), al Buraaq (burung Buraq) adalah ibarat al
Khabar (kabar), namun runtut historisnya berbeda-beda. Apa yang saya (al
Jailiy) sajikan dalam muqoddimah ini adalah untuk memperkaya khazanah pemahaman
anda agar anda bisa mewaspadai, bahwa satu Hijab (tirai penghalang)
memiliki seribu wajah, supaya anda bisa menemukan formula yang tepat serta
jalan yang shahih (valid) guna memahami paparan yang saya sajikan pada karya
ini dengan pemahaman yang utuh, teriring lantunan doa semoga kita semua bisa
menjadi bagian komunitas para Muhaqqiqiin (ahli hakekat).
Isyarat. Dalam pengembaraan Kasyf (intuitif) al Haq mempertemukan diri saya
dengan Ghariib asy Syarq (manusia asing dari belahan bumi sebelah
timur). Ia mengenakan Niqob (pakaian penutup wajah) as Shamdaniyah (al
Haq tumpuan segala-galanya), berjubah al Ahadiyah (keesaan), bersorban al
Jalaal (keperkasaan), bermahkotakan al Hasan (kebaikan), al
Jamaal (keindahan). Ia mengucap salam dengan lisan al Kamaal (kesempurnaan).
Ketika saya jawab salamnya, ia memandang saya, tampak wajahnya bersinar laksana
purnama, sosoknya adalah cerminan keDiaan Nya dan kebijaksanaanNya, tampak pada
dirinya kepasrahan yang utuh, sungguh ia merupakan manifestasiNya yang Syaamil
(utuh), karenanya saya jadikan manusia gharib (asing) itu cermin diri. Saya
lalu bergabung dengannya, pasca bergabung dengannya saya dibawa melanglang
buana ke alam ketinggian hingga sampai di sisi Rabb al Arsy (Pengatur Arsy).
Ditempat itu saya menaiki kursi taqdir-Nya, saya tegakkan neraca I'tibar, saya
sirnakan diri di alam ketinggian tersebut, sehingga saya benar-benar Fana' (sirna)
disisi-Nya. Saya memperoleh keberuntungan dapat mengkais pemahaman hakiki,
sayapun bisa mengetahui hakekat makrifat, saya benar-benar terpesona manakala
mendengar perkataan manusia Gharib itu, ucapan kata-katanya sarat (kaya) hikmah
ketuhanan dan padat makna, memancar terang ke semesta cakrawala kalbu dan alam
pikir saya, sungguh di alam itu peran akal dan fungsi logika pikir sangatlah
nihil ketajaman mata hati, kejernihan jiwa, kesucian ruh sayalah yang menuntun
saya ke samudera rahasia ketuhanan hakiki saya merasakan betapa sempurna dan
indah wajah kehidupan ini, manakala tirai penghalang (Hijab) telah lenyap dalam
diri ini, wajah keagungan, kesempurnaan, keindahanNya benar-benar tampak
dihadapan diri saya.
Manusia asing dari belahan bumi timur itu bertutur kepada saya : Ketahuilah
bahwa sejatinya Dia (al Haq) adalah Jauhar (entitas) yang memiliki dua Arad
(aksiden) dan inti (dzat)Nya memiliki dua sifat. Jauhar Hawiyah (entitas
keDiaan)Nya adalah al 'Ilm (ilmu) dan al Qowiy (kuat). Dia adalah
dzat yang al 'Aliim (Maha Mengetahui) dan alHakiim (Maha
Bijaksana), mengalir dalam Kanal (saluran) al Quwah (kekuatan). Yang
melahirkan trident kekuatan. Kekuatan itu selalu melekat pada ilmu yang
tersusun dalam konfigurasi keDiaan Nya, dengan demikian anda bisa saja
mengatakan ilmu adalah asal sedang kekuatan adalah cabang, atau anda bisa
mengatakan kekuatan adalah bumi sedang ilmu adalah tanaman. Ilmu dalam dimensi
ini terbagi menjadi dua macam :
1. 'Ilm al Qouli (ilmu perkataan) adalah contoh-contoh yang tersusun
dalam struktur citra dirimu dan citra ke-aku-an dirimu.
2. Ilm al Amali (ilmu perbuatan) adalah hikmah yang melahirkan
petunjuk (inspirasi) para pembijak dalam memanfaatkan (memberdayakan) ilmu-Nya,
yang dengan itu lahir karya-karya (keilmuan) yang sejalan dengan hukum-Nya.
Kekuatan juga terbagi atas dua macam :
1. Kekuatan Jamali Tafshili (keindahan partikuler), yang disertai
syarat berupa kesiapan menerima kebaikan, Istiqomah (konsistensi) dalam Ushul
(pokok-pokok ajaran), dengan demikian kesempurnaan amal (perbuatan) akan
selaras dengan kevalidan dasar pijakan (dalil tekstual dan kontekstual).
2. Kekuatan Jamali Tahayyali (keindahan imajinatif), yang disertai
syarat berupa kesiapan menerima keadaan al Jauhar (entitas) yang terbagi dua,
yang salah satu diantara dua bagian itu memiliki keutamaan, adapun jauhar
(entitas) yang memiliki dua sifat itu adalah Engkau dan aku, Engkau dengan
Hawiyah (keDiaan) Mu, yang tidak akan pernah bisa dijangkau oleh narasi akal
logika.
Rahasia ketuhanan (Mu) hanya bisa disibak dengan jembatan sifat-sifat Rububiyah
(ketuhanan) yang tersaksikan melalui pengetahuain intuisi (Kasyf).
Sedangkan (aku) -dengan huruf (a) kecil-, dengan ke-Aku-an (Mu) kisaran makna
(Mu) masih terjangkau oleh logika, yaitu tunduk patuh dibawah hukum Rububiyah
Mu, (aku) dihadapan keDia an Mu adalah (hamba), (Engkau) dengan Hawiyah Mu
dihadapan ke-akuan ku adalah (Rabb). Segenap makhluk (ciptaan) Mu dihadapan Mu
adalah 'Abd (hamba), inti (dzat) Mu adalah I'tibar inti (dzat) diriku,
sedang I'tibar inti (dzat) Mu dalam lanskap setiap makhluk (ciptaan) Mu adalah
al Haqiqah al Kulliyah (hakekat universal).
Maha Suci Engkau, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi Mu. Kini (ujar
manusia asing itu). Telisiklah dirimu, adakah inti (dzat) mu telah kau hiasi
dengan sifat-sifat Rububiyah (Ketuhanan), yang sejatinya adalah metafor inti
(dzat) Nya.? sudahkah entitas (Jauhar) dirimu, sejalan dengan hukum ke Dia an
Nya ?
Saya begitu takjub dengan paparan sang Gharib itu, saya katakan kepadanya :
Ku mohon anda mau menceritakan kepadaku tentang keajaiban-keajaiban yang pernah
anda temui dalam pengembaraan spiritual anda. Ia berkata, sesungguhnya tatkala
aku mendaki gunung Thur dan mereguk air laut al Masjur (luapan air
sungai) serta membaca kitab al Masthur (tersurat), ternyata semua itu
hanyalah rumus (simbol) yang disana tersusun kaidah-kaidah hukum.
Peraturan-peraturan itu bukanlah untuk Diri Nya, melainkan untuk dirimu, semua
simbol-simbol yang tersurat itu adalah untuk mengawal hidup dan kehidupanmu,
dimaksudkan juga untuk kebaikan dirimu bukan untukNya, maka tidak sepatutnya
kau berujar (rumusan) ini untuk Diri Nya dan (rumusan) ini untuk diriku, karena
keadaan DiriNya tidak sama dengan keadaan dirimu, simbol-simbol itu dijadikan
untuk dirimu sebagai cerminan Ujaran ke Aku an Diri Nya kepada dirimu,
karenanya telisiklah Madzluliyah (makna tersirat) dari simbol-simbol
Nya, dan jangan terpaku dengan rumus-rumus tersurat Nya, agar kau bisa
memakrifahi subtansi ke Dia an Diri Nya, dengan begitu kau bisa memahami
hakekat keberadaan dirimu dan kesejatian Diri Nya dan kau merasa Dia selalu
berada disisimu, melihat dan memperhatikan dirimu, meski kau tidak melihat,
mengetahui dan mendapatiNya namun demikian, kau bisa merasakan keberadaanNya
dengan Dzauq (intuisi)-mu.
Lebih lanjut sang Gharib bertutur : Dengan Dzauq al Wujdaan (pengetahuan
intuitif) itulah aku bisa memakrifahi kesejatian-Nya al Haq menegaskan, jikalau
seorang arif benar-benar telah menggapai hakekat makrifah, Dia akan menjadi
penglihatan dan pendengaran sang arif (manusia yang telah makrifah), tidak ada
satupun yang disembunyikan darinya segala wujud, karena mata sang arif adalah
manifestasi daripada mata Sang Pencipta segenap makhluk. Jika kau belum
menggapai tingkat spiritual seperti itu, maka tidak sepatutnya kau mengingkari
sesuatu yang belum kau gapai, karena penafianmu adalah wujud nyata dari
keingkaranmu atas Diri Nya, terlebih atas dirimu sendiri. Bagaimana mungkin kau
mengingkari dimensi kegaiban yang tidak mampu kau sibak, bercerminlah pada
dirimu, sadarkah kau, bahwa kau dulunya tidak ada lalu menjadi ada, siapa yang
membuatmu menjadi ada? dimana pula kau sebelum hidup di alam dunia ini? akan
kemana pula kau pergi pasca kehidupan dunia ini? Atau kini kau telah maujud
(ada) dan kau memiliki karakteristik yang menjadi atribut dirimu. Sifat-sifatmu
itu tidak akan bisa dihilangkan dari dirimu, jika karakteristik dan
sifat-sifatmu itu tercabut dari dirimu, lantas apa bedanya dirimu dengan
patung? Seperti itu pula hendaknya kau menganalogikan dimensi gaib. Sebab insan
yang menafikan dimensi gaib sama halnya dengan menafikan eksistensi dirinya dan
ia tidak lebih dari patung-patung hidup, al Haq menciptakan dirimu selaras
dengan citra Diri Nya. Hayyan (Yang hidup). 'Aaliman (Yang
berpengetahuan). Qoodiran (Yang berkuasa). Muuridan (Yang
berkemauan). Samii'an (Yang mendengar) Bashiiran (Yang melihat). Mutakalliman
(Yang berbicara), tidak ada satupun yang manafikan terlebih memungkiri
realita bahwasanya Dia adalah pencipta dirimu. Bukan hanya itu, Dia menciptakan
dirimu sesuai dengan citra Diri Nya, berikut menghiasi dirimu dengan
sifat-sifatNya dan menamai dirimu dengan nama-nama-Nya.
Dia Maha Hidup dan kau hidup, Dia Maha Berpengetahuan dan kau
berpengetahuan, Dia Maha Berkuasa dan kau juga berkuasa, Dia Maha Berkemauan
dan kau pun berkemauan, Dia Maha Mendengar dan kau juga mendengar, Dia Maha
Melihat dan kau pun melihat, Dia Maha Berbicara dan kau juga berbicara, Dia
adalah dzat dan kau adalah dzat, Dia pengumpul dan kau pun pengumpul, Dia
Maujud (ada) dan kau maujud, Dia memiliki Rububiyah dan kau juga memiliki
Rububiyah berdasarkan aturan hukum. Seperti yang ditegaskan rasul saw
(Masing-masing diantara kalian adalah pemimpin, dan masing-masing pemimpin
bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya). Dia memiliki sifat Qidam (eternitas)
dan kau juga memiliki sifat eternitas (Qidam) dengan I'tibar bahwa kau maujud (ada)
dengan ilmu-Nya. Dan ilmu al
Haq tidak dibatasi ruang dan waktu, Dia membentangkan segala milik-Nya
dihadapanmu dan kau pasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Dia Sendiri (Tunggal)
dalam keperkasaan dan kemuliaan, kau sendiri dalam kehinaan dan kelemahan. Maka
hiduplah kau dengan aturan al Haq, nisbatkan dirimu kepada-Nya, hidupmu Dia
yang mengatur bukan kau yang mengatur Dia, jika kau ingin hidup bahagia
hiduplah bersama dan ikut al Haq.
Saya katakan kepada manusia asing tersebut: Ya Sayyidi (wahai junjunganku):
Pada awalnya aku merasa kau dekatkan diriku kepada al Haq, namun diujung
pengembaraan aku merasa kau jauhkan diriku dari Nya. Aku merasa kau tidak
memberiku isi buah, kau hanya memberiku kulitnya saja, sebenarnya apa yang
terjadi dengan laku ritualku? Ia menjawab : Aku sengaja turunkan dirimu ke
dalam hukum perundang-undangan hikmah ketuhanan dan aku letakkan dirimu pada
takaran neraca al Mudrika (daya persepsi) kemanusiaan, agar memudahkan
dirimu menangkap pesan-pesan ketuhanan baik dari dekat maupun jauh, dengan cara
seperti itu tidak akan menyulitkan dirimu menyibak dimensi rahasia-Nya. Saya
katakan kepada insan asing itu : Bekali diriku dengan kearifan-kearifanmu agar
aku bisa teguh meniti jalan Allah melalui cermin lakumu? Ia menjawab : Tatkala
aku berada di al Qubbah al Zarqa'(Kubah Biru), aku menyimak seorang alim
bertutur kepadaku tentang ciri-ciri burung Garuda, aku sangat antusias
menyimaknya dan berharap bisa menangkap burung Garuda tersebut dalam genggaman
tanganku. Aku katakan kepada insan alim itu : Tuan, mohon anda perjelas
keterangan anda hingga aku bisa memahami ciri-ciri burung tersebut. Ia menjawab
: Garuda itu benar-benar merupakan keajaiban hakiki dan seekor burung yang
super unik, ia memiliki enam ratus sayap dan seribu ekor, sesuatu yang Haram
(dilarang) baginya adalah Mubah (dibolehkan). Ia bernama Safah bin
Safah, tertulis di sayap burung Garuda itu nama-nama al Haq yang Khusnah (bagus),
citra huruf Ba' ada di kepalanya, huruf Alif di dadanya, huruf Jim di dahinya,
huruf Ha' di kakinya, sedangkan huruf-huruf lain ada di matanya, ciri khusus
burung Garuda itu di pergelangan kakinya terdapat al Khotim (cincin).
Saya berkata lagi kepada insan gharib tersebut : Tuanku, dimanakah
sejatinya tempat burung tersebut? Ia menjawab : Burung itu berada dihamparan
padang yang luas dan tempat-tempat kebaikan, manakala kau bisa memakrifahi
ibarat-ibarat, metafor-metafor, simbol-simbol, berikut kau bisa menangkap
isyarat-isyarat, itu berarti kau telah mampu melintas cakrawala bintang-bintang
dan kau berhak bersanding dengan para malaikat. Aku berusaha mencari keajaiban
yang disebut dengan Burung Garuda Emas tersebut, akan tetapi aku tidak bisa
menemukannya dan aku tidak mendapati metafor-metafor keberadaanya, aku hanya
bisa menemukan namanya namun tidak mampu menggapai sifat, ciri, karakteristik
dan bentuknya. Manakala aku tanggalkan sifat-sifat (diriku) dan aku leburkan
diriku dalam falak dzat, aku tenggelam di dasar samudera yang bernama al
Bahirah, maka sayap-sayap Nun ku pun berdiri tegak mengantarkan diriku terbang
diatas kampung al Maknun (yang tersimpan), aku terdampar di kampung
asing tersebut, lantas tinggal di dalamnya beberapa saat tanpa bisa medengar
dan melihat. Ketika aku buka mataku, aku terlepas dari pasung al Aina (dimana),
aku menemukan isyarat-isyarat dalam diriku serta ibarat-ibarat itu hadir dalam
diriku, tiba-tiba aku merasa memiliki sayap-sayap yang berhiaskan sanjung puji,
aku dapati huruf Alif dan Jim di dadaku, huruf Ha' di dahiku, tidak ada rahasia
yang tidak tersibakkan dihadapanku, semua ilmu dihadirkan pada diriku, akupun
mengerti sejatinya diriku adalah manifestasi Diri Nya, ke Dia an Dia ada pada
ke-aku-an diriku juga sebaliknya. Saat itu tampak nuqtah (titik) kesejatianNya, dan reduplah al Ghaltah (kesalahan),
maka tampaklah metafor kehidupan insan-insan yang telah meninggal.
Saya bertanya lagi kepada insan gharib tersebut : Wahai tuan, apakah
sejatinya yang disebut amar (perintah) yang tersembunyi dan piala yang
tersimpan itu? Terangkan kepadaku dengan bahasa yang lugas, agar aku bisa
memakrifahi kesejatiannya! Ia menjawab : Contoh-contoh ketinggian yang bisa
diterima tataran akal logika yang melahirkan kontribusi (pengetahuan) akan
kesejatian Diri Nya. Pengetahuan itu adalah untuk para hamba dan bukan untuk
Diri Nya, contoh-contoh itu dihadirkan untuk meninggikan segala yang ada di
alam al Asfal (rendahan). KalamNya ditujukan kepada penghuni alam
rendah, semua contoh-contoh itu bersumber danNya. Jika para penghuni alam
rendah bisa menangkap metafor, isyarat contoh-contoh ketinggian, berikut
mengaplikasikan contoh-contoh itu dalam dirinya, maka ia akan terangkat ke alam
ketinggian, tidak seperti Khimar (keledai) yang dianalogikan pesan Qur’ani
sebagai hewan yang bebal dan dungu serta tidak mampu menangkap pesan-pesan
tersirat dari contoh-contoh ketinggian yang ada. Maka sejatinya etos ketinggian
itu bisa dihadirkan di alam rendah, terlebih nilai-nilai ketinggian itu bisa
ditemukan karena ia maujud (ada) di alam as Suflah (rendah) ini. Karenanya ada
stiqma pemikiran nilai-nilai ketinggian tidak akan bisa digapai, selama orang
acuh dengan contoh-contoh ketinggian yang dihadirkan di alam rendah ini. Dan
orang tidak akan pernah bisa menggapai nilai-nilai ketinggian selama ia tidak
mampu menangkap Madluliyah (pesan tersirat) dari contoh-contoh yang ada.
Karenanya ada yang berpendapat pesan tersirat itulah sejatinya inti contoh-Nya,
jikalau orang seorang salah menginterpretasikan contoh-contoh ketinggian, hal
itu tidak akan membuatnya terjerembab ke dalam liang kerendahan, karena ia
adalah penghuni alam rendah. Ada pula yang berasumsi, contoh-contoh ketinggian
itu sejatinya adalah pengumpul, jika orang itu salah menafsirkannya hal itu
tidak akan menjadikannya keluar dari isim (nama) dan sifat Kamaliyah (kesempurnaan),
jika keluar maka isim tersebut adalah sifat an Naqs (kurang) dan Ghalth
(salah). Ada juga yang mengatakan contoh-contoh itu kisarannya hanya ada
pada tataran tersurat bukan tersirat, jika orang itu salah menginterpretasikan
pemaknaannya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, maka hal itu hanya
berkisar pada masalah an Naqs (kurang).
Cobalah kau telisik dengan jeli, bukankah tempat pengumpulan itu
berselimutkan isyarat dan sentra batasan ibarat? Atas dasar (pengumpulan) ini
pula ada yang berpendapat : Kelemahan daya persepsi (al Idraak) dalam
memahami inti (dzat)-Nya adalah logis, sebab penelisikan akan makna-makna
tersirat bukan sekedar melalui wilayah logika, namun juga melalui kesucian dan
ketajaman mata hati yang memiliki peran cukup signifikan dalam penyibakannya.
Dalam hal ini peran logika hanya bersifat sekunder sedang ketajaman hati
bersifat primer. Maka adalah tidak tepat jika label kelemahan itu harus
disandangkan kepada para arif paripurna, kalaupun para arif itu memakzulkan
kelemahan diri mereka, hal itu bukan karena lemahnya daya persepsi (al Idraak)
mereka terhadap sesuatu, namun kelemahan mereka dalam mempersepsi sifat sesuatu
dalam lanskap pemaknaan hakiki. Jika daya persepsi itu mampu menangkap secara
utuh nilai-nilai hakiki, maka al Idraak semacam itu disebut sebagai al Idrak
al Haqiqi (daya persepsi hakiki). Kawan agung dari negeri asing belahan
timur itu menandaskan : Daya persepsi yang lemah atas suatu persepsi adalah
Idrak (persepsi). Dalam riyawat lain disebutkan : Kelemahan daya persepsi atas
suatu persepsi adalah persepsi. Dengan demikian persepsi itulah esensi
permasalahanya (pokok tujuannya) bukan kelemahan daya persepsinya. Terkait
dengan ini, esensi firman Qur'ani :
Dia tidak dapat capai oleh
penglihatan mata. Q.s. al An'aam 6 : 103,
sejatinya adalah penglihatan mata kasat makhluk sedang penglihatan alKhafie
al Qodiim (tersembunyi yang eternis) mampu melihat, jikalau mata al Haq itu
dimanifestasikan pada diri seorang hamba, maka hamba tersebut bisa melihat
kesejatian Diri Nya. Pada kondisi spiritual seperti itu sang hamba melihat
dengan pandangan al Haq, Dia-lah esensi penglihatan makhluk-Nya. Pahami dengan
seksama masalah ini!
Ketahuilah, bahwa tulisan-tulisan azimat merupakan qutub (poros) peredaran
falak contoh-contoh ketinggian. Qutub ruh merupakan contoh pertama daripada
tulisan-tulisan tersebut dengan ruh itulah terbangun citra nafs (jiwa) pada
masing-masing insan, jika diri orang tidak ber-ruh, maka orang itu tidak layak
dihukumi sebagai manusia, lebih dari itu jika orang tidak mampu memahami secara
hakiki subtansi ruh dirinya, nicaya ia tidak memahami eksistensi dirinya, juga
tidak memahami kententuan hukum-hukumNya, serta makna-makna tersirat dibalik
metafora, isyarat-isyarat-Nya. Ruh, sejatinya ibarat kuas yang digoreskan pada
kanvas dan lukisan yang lahir merupakan ekspresi jiwa sang penggores. Demikian
pula dengan ruh, ia merupakan cermin diri. Wujud kasarmu (bentuk tubuhmu)
adalah cerminan jiwamu dan jiwamu cerminan daripada ruhmu, jika tubuhmu tak
berbentuk niscaya kau tidak bisa bercermin diri. Bagaimana mungkin kau bisa
bercermin diri jika kau tidak berbentuk? Bercermin tidak harus di depan 'kaca'.
Hakekat bercermin bukan untuk melihat bentuk kasat tubuhmu, akan tetapi
memakrifahi eksistensi dirimu. Dengan cermin diri itulah, kau akan mengetahui
adakah kau tetap eksis dalam kemanusiaan dirimu? Bergeserkah nilai dirimu dari
fitrah penciptaanmu? Seperti halnya ketika kau bercermin didepan kaca, bentuk
tubuhmu tidak berkurang atau lebih. Demikian halnya dengan cermin diri (mu),
jika eksistensi ruhmu tetap eksis, ia tidak berkurang dan bertambah kecuali
jika telah terkoptasi oleh sesuatu yang lain, seperti adanya dominasi nafsu dan
pupusnya nilai-nilai keimanan dalam dirimu, kau akan dapati ruhmu tidak suci
lagi dan nafs (jiwa)mu tidak lagi jernih.
Terkait dengan ini, kami telah paparkan secara detil dalam karya kami Qutub
al 'Ajaib wa Falak al Gharaib. Dalam kitab itu kami paparkan ragam
azimat, terutama tiga azimat utama yang merupakan simbol dari segala wujud.
Kami akan coba mensyarah (memberi penjelasan) dalam karya Insaan Kaamil ini,
hanya saja perlu kami tegaskan, mungkin anda (para pembaca) tidak akan bisa
memahami penjelasan itu secara utuh jika anda belum membaca kitab kami Qutub
al 'Ajaib wa Falak al Gharaib karena kitab tersebut merupakan induk,
sedang kitab ini adalah cabang, kitab itu ibarat asal sedang kitab ini adalah
cabang. Dalam kitab Qutub al Ajaib wa Falak al Gharaib kami lebih memfokuskan
pada metafor-metafor, isyarat, paradoks ketuhanan, dan pelik wacana alam
ketinggian dan alam semesta (makro kosmos), sedangkan kitab ini kami lebih
fokuskan pada Manusia Sempurna yang merupakan inti daripada mikro kosmos bahkan
alam semesta. Semua rahasia ketuhanan itu hanya bisa disibak melalui cerminan
Insaan Kaamil, berikut warta-warta ketuhanan serta manifestasi nama-nama-Nya
dan sifat-sifat-Nya dalam segala wujud. Pada mulanya orang seorang dapat
menyaksikan-Nya melalui manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Nya, lalu
berkembang menuju penyaksian (Syuhud) inti (dzat)-Nya, melalui Dzauq al
Wujdaan (intuisi). Perhatikan dengan seksama metafor yang kami pakai, agar
anda bisa memaknai keterangan kami secara utuh.
Setiap at Thab'u (stempel) akan melahirkan bentuk (motif) sesuai
dengan cetakannya, seperti jika bentuk stempel itu segi tiga akan keluar bentuk
(gambar) segi tiga. Bisa jadi antara hasil stempel yang satu berbeda dengan
hasil stempel yang lain, boleh jadi ada yang terlihat jelas hasilnya, bisa pula
terlihat buram atau biasa, bahkan bisa jadi tulisan yang ada di stempel itu
sudah usang, namun ketika dipakai menghasilkan bentuk (gambar) yang lebih jelas
dari bentuk aslinya. Demikian pula dengan ragam tingkat spiritual para pelaku
hakekat, diantara mereka ada yang berhasil dengan sempurna, ada yang sangat
sempurna atau biasa-biasa saja dalam memakrifahi hakekat kesempurnaan,
keindahan dan keperkasaanNya. Meski berangkat dari 'Satu Jalan' namun hasilnya
beraneka ragam, tergantung keteguhan, keeksisan masing-masing pelakunya.
Seperti hasil stempel yang dipakai menyetempel sebagai mana yang tersebut
diatas. Kemudian dalam menyetempel itu sang pelaku bisa saja- menyetempel di
sebelah kanan atau sebelah kiri, juga kebalikannya. Setali dua uang 'Arah
Berlainan' seperti itu juga ada dalam wacana dunia hakekat dan merupakan wajah
rahasia Ubudiyah dimensi Rububiyah (ketuhanan)Nya. Realita itu juga merupakan
inti rahasia makna sebuah hadist, seperti yang dituturkan baginda rasul saw :
Tatkala beliau diperjalankan dalam perjalanan agung (Mi'raj). Semua hijab
(tirai penghalang) diberanguskan, sehingga tidak tersisa satu hijabpun yang
menghalangi rasul saw, kecuali satu hijab saja. Ketika beliau hendak
memberangus hijab tersebut, dikatakan kepada beliau : Berhentilah! Sesungguhnya
Tuhanmu sedang shalat! Keadaan tersebut merupakan rahasia agung yang tidak akan
pernah bisa dijangkau (disibak) kecuali dengan kesempurnaan yang berlandaskan
isim (nama)-Nya yang al Kaamil (kesempurnaan). Para arif dan ahli hakekat ada
yang mampu menjangkaunya, namun hanya sebatas jangkauan al Jamaal (keindahan),
itupun sebatas keindahan kesempurnaan bukan keindahan mutlaq, bukan pula kesempurnaan
keindahan. Sebagian para arif yang lain ada juga yang mampu menjangkaunya
sebatas jangkauan al Jalaal (keperkasaan), namun hanya sebatas
keperkasaan kesempurnaan, bukan keperkasaan mutlak, bukan pula kesempurnaan
keperkasaan. Pahami dengan seksama masalah ini.!
(Pasal) Setiap sesuatu melahirkan organ (kumpulan), contoh-contoh ketinggian
membuahkan kemuliaan, al Raqim (buku yang direkam) merekam kehinaan. Masing-masing
berjalan sesuai garis edarnya secara indepeden, masing-masing melantunkan
sanjung puji di falaknya. Manakala kau tanggalkan contoh-contoh ketinggian dari
sifat-sifat al Raqim, hukum perundang-undangan contoh-contoh ketinggian akan
tegak dalam dirimu, ketika kau kenakan sifat-sifat al Raqim dalam dirimu
diantara contoh-contoh ketinggian yang ada, maka kau tidak akan bisa melihat
rekaman buku tersebut, karena tertutup oleh sesuatu yang lain. Manakala kau
nisbatkan inti (dzat) kepada salah satu diantara keduanya maka kau akan
terhijabkan, jika kau nisbatkan inti (dzat) kepada dzat lainnya maka kau
terjerembab ke dalam tindak penyekutuan. Jika kau campur inti (dzat) dengan al
Raqim pada sesuatu yang terdapat pada contoh-contoh ketinggian maka dzat tersebut
menjadi dzat yang tercampur, jika kau campur contoh-contoh ketinggian dengan
sesuatu yang ada pada al Raqim maka hal itu dinamakan inti penurunan. Yang
dimaksud dengan al Raqim (buku yang terekam) sejatinya adalah al 'Abd (hamba),
sedangkan maksud daripada contoh-contoh ketinggian, sejatinya adalah Qutub
(poros) keajaiban-keajaiban dan falak keanehan-keanehan, adapun yang dimaksud
dengan inti (dzat) adalah kitab ini, yang kami beri judul Insan Kaamil.
(Pasal) al Ahadiyah (ke-Esa-an), menandakan ketiadaan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya serta Atsaar (bekas-bekas)nya pun pengaruh-pengaruhnya. al
Wahidiyah (ke-Tunggal-an) menandakan fana'(kesirnaan) semesta alam
dihadapan inti ke-baqa'-an Diri Nya, serta ke-kekal-an alam dihadapan inti
kefana'annya. al Izzah (kemuliaan), menandakan pendorong (motivator)
yang mempertemukan antara al Haq dengan makhluk, al Qoyyumiyah (berdiri
sendiri), menandakan terealisirnya pertemuan secara valid (shahih) antara Allah
Jallah Jalaalah dengan hamba-Nya, sebab esensi al Qayyum adalah yang berdiri
sendiri dan mendirikan (menegakkan) lainnya. Kongklusi dari ibarat-ibarat
tersebut dapat disimpulkan : Tajalli (manifestasi) al Ahadiyah (ke-Esa-an)
terpaparkan dalam isim (nama) dan sifat. Tajalli al Wahidiyah (ke-Tunggal-an)
terpaparkan dalam makhluk (ciptaan) untuk media penampakkan kekuasaan-Nya dalam setiap
citra Maujudaat (segala yang wujud). Manifestasi (tajalli) Rububiyah
(ketuhanan) terpapar dalam makhluk (ciptaan) dan eksistensi al Haq, sejalan
dengan adanya wujud al Haq dan wujud makhluk. Tajalli Uluhiyah (ketuhanan),
terpaparkan dalam wujud al Haq dan pencitraan Diri Nya pada makhluk-Nya berikut
makhluk (ciptaan)-Nya dalam citra al Haq. Tajalli al Izzah (kemuliaan)
terpaparkan dalam nisbat diantara al Haq dengan hamba-Nya. Tajalli al
Qoyyumiyah terpaparkan dalam wujud al Marbub (yang diatur) karena adanya
wujud sifat-sifat Rabb Maha Pengatur berikut kemestian (kelaziman) adanya wujud
sifat-sifat Rabb (Tuhan), dengan adanya wujud sifat-sifat al Marbub (yang
diatur). Esensinya, bahwa nama-nama-Nya yang Dhahir (jelas penampakkannya)
merupakan inti segala wujud, sedang nana-nama-Nya yang batin (gaib tidak
tampak) sejatinya Dia adalah kebalikannya (lawan daripadanya), yakni apa yang
ada di benak pikiran, asumsi, prediksi, imajinasi anda tentang al Haq, Dia
adalah kebalikannya.
Sudah Edit 1. Dzat
Ketahuilah, bahwasanya dzat mutlaq itu sejatinya adalah sesuatu yang
disandarkan kepadanya nama-nama dan sifat-sifat yang berdasarkan inti
(dzat)nya, bukan berdasarkan wujudnya. Masing-masing isim (nama) atau sifat
yang disandarkan kepada sesuatu, maka sesuatu tersebut sejatinya adalah inti
(dzat)-nya, baik sesuatu yang Maujud (ada) maupun sesuatu yang tidak ada
wujudnya semisal burung Garuda Emas. Ada (maujud) itu sendiri terbagi atas dua
bagian :
1. Maujud Murni, yaitu dzat Allah Jallah Jalaalah.
2. Maujud Suplementasi dari Adam (ketiadaan), yaitu dzat segenap makhluk.
Ketahuilah, bahwasanya dzat Allah Jallah Jalaalah ibarat Diri Nya, yang Dia
bersama dzat tersebut Maujud (ada) karena Dia berdiri sendiri. Dia adalah dzat
yang berhak atas nama-nama dan sifat-sifat serta Hawiyah (ke-Dia-an), yang
dengan itu Dia mencitrakan Diri Nya dalam segala citra pada setiap wujud. Dia
bersifat dengan segala sifat sejalan dengan kebutuhan sesuatu yang menghajatkan
pensifatan. Wujud-Nya berhak atas segala Isim (nama) yang menunjukkan kepada
pemahaman (pengertian) al Kamaal (kesempurnaan) eksistensi-Nya. Hakekat
kesempurnaanNya adalah tidak berakhiran dan tidak dapat dicapai dengan
penglihatan mata (Yudraak). Maka hukum bahwa hakekat kesempurnaan-Nya
tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
sesuatu adalah berdasarkan hukum kemustahilan bahwa Dia memiliki sifat al
Jahl (bodoh). Perhatikan dengan penuh seksama masalah ini!
Ketahuilah bahwasanya Dzatullah (dzat al Haq) adalah Ghaib al Ahadiyah
(gaib dalam ke-Esa-an), setiap ibarat yang dipresentasikan kepada-Nya tidak
akan mencakup (menyentuh) pemaknaan yang utuh karena wajah-wajah ibarat
memiliki multi persepsi. Maka hakekat kesempurnaan-Nya dan kesejatian Diri Nya
yang tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata adalah berlanskapkan pemahaman
Ibarat, adapun dalam lanskap pemahaman Isyarat, pada realitanya tidaklah
demikian, sebab sesuatu hanya bisa dipahami sejalan dengan akurasi, kelaziman,
kepatutan, kesesuaian atau dengan sesuatu yang berlawanan dengannya. Inti
(dzat)-Nya sama sekali tidak ada kesamaan, keserupaan atau berlawanan dengan
segala wujud ciptaan-Nya. Dia tidak terkait dengan istilah-istilah
(idiom-idiom) yang sering dipakai manusia. Dia tidak ada satupun daripada
makhluk-Nya yang bisa mencapai-Nya dengan penglihatan mata. Al Mutakallim
(insan yang berbicara) tentang inti (dzat) al Haq akan diam, insan yang
bergerak akan berhenti, insan yang melihat akan terpejam. Dia bisa dipersepsi
dengan akal dan pemahaman namun daya persepsi (al Idrak) yang lahir dari akal
dan pemahaman sangat terbatas jangkauannya, persepsi logika tidak akan pernah
menyentuh kesejatian Diri.Nya. Dia tidak terkait dengan pelik pengetahuan yang berdimensi
Huduts (baru, adanya karena diadakan), serta dimensi Qodim (adanya
tidak didahului oleh sesuatu), Dia tidak dikumpulkan oleh kelembutan yang
terbatas dan keagungan terbatas.
Ahli ke-Qudus-an terbang ke cakrawala ketinggian, ia melantunkan sanjung puji
universal, ia gaib dari alam realitas, ia sirna bersama nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dalam buaian hakekat. Kemudian terbang melintasi awan al
'Adam (ketiadaan), setelah menempuh batas al Huduts dan al Qidam ia dapati
dzat Wajib al Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendiri-Nya), yang
tidak tampak wujud-Nya dan tidak gaib dalam ketidaktampakkan-Nya. Ketika ahli
ke-Qudus-an itu meminta kembali ke alam penciptaan ia meminta raihan
tanda-tanda, maka dituliskan tanda-tanda itu pada sayap Merpati: Amma Ba 'd (adapun
selanjutnya) sesungguhnya engkau wahai tulisan-tulisan azimat tidak memiliki
dzat, tidak bernama, tidak berbentuk, tidak ada naungan, tidak ber-ruh, tidak
berbadan, tidak bersifat dan tidak disifati, tidak bertanda. Bagimu wujud dan
'adam (ketiadaan), bagimu Huduts dan Qidam. Ditiadakan inti (dzat)mu, diadakan
nafs (jiwa)mu, diketahui nikmatmu, dihilangkan dengan jenismu, engkau
sepertinya tidak dicipta melainkan untuk dijadikan tolak ukur, keberadaanmu
tidak dimaksudkan, melainkan untuk al Ahbar (warta berita). Kehadiranmu
tidak ditujukan, melainkan untuk bukti otentik akan inti (dzat)-mu, dengan
ujaran bahasamu yang jelas dan terang. Dan kami dapati dirimu, Hayyan (Yang
hidup). 'Aaliman (Yang berpengetahuan). Qoodiran (Yang berkuasa).
Muuridan (Yang berkemauan). Samii'an (Yang mendengar) Bashiiran
(Yang melihat). Mutakalliman (Yang berbicara), dirimu bersemaikan al
Jamaal (keindahan) dan al Jalaal (keperkasaan), dirimu berselimutkan
al Kamaal (kesempurnaan), adapun pencitraan segala wujud dengan selain
dirimu, maka hal itu tidak akan pernah terjadi, sedang kebaikanmu yang
melegenda benar-benar telah sempurna. Sejatinya al Mukhaatib (mitra bicara)
dalam audensi ini bukanlah tulisan-tulisan azimat, akan tetapi anda dan saya.
Sungguh sangat disayangkan orang yang tidak mencermati (menelisik) arah
pembicaraan ini!
Kemudian dituliskan pada sayap burung hijau dengan pena bertinta merah.
Amma Ba'd (adapun selanjutnya) sesungguhnya kebesaran adalah api dan ilmu
adalah air, kekuatan adalah udara dan hikmah adalah debu, semuanya merupakan
unsur-unsur untuk menggapai Jauhar (entitas) kami yang tunggal. Jauhar itu
sendiri memiliki dua 'arad (aksiden), pertama azali, kedua abadi, ia memiliki
dua pensifatan, pertama al Haq, kedua makhluk. Ia memiliki na'at (sifat),
pertama Qidam, kedua Huduts. Ia memiliki dua isim (nama), pertama Rabb (Tuhan),
kedua Abd (hamba). Ia memiliki dua wajah, lahir yang sejatinya adalah dunia dan
batin sejatinya adalah akhirat. Ia memiliki dua hukum, pertama wajib, kedua
mungkin. Ia memiliki dua I'tibar. Pertama dirinya ghaib (tak tampak) jikalau
yang lain maujud (ada). Kedua, jika yang lain tidak ada dirinya maujud (ada).
Ia memiliki dua makrifat pertama Ijabi (positif) awal, kedua Salaabi (negasi)
akhir, kedua, Salaab (negasi) awal dan Ijab (positif) akhir. Ia memiliki nuqta
(titik) untuk kesepahaman (sesuatu) yang terdapat al Ghalthah (kesalahan), dan
ibarat-ibarat yang berkaitan dengan makna-maknanya yang tereduksi,
isyarat-isyarat yang makna-maknanya diputarbalikkan. Maka sungguh berhati-hatilah
wahai insan yang terbang (ahli kequdusan) untuk menjaga kitab ini, yang tidak
banyak dibaca orang. Dan ahli kequdusan itu senantiasa eksis terbang di
cakrawala ini dan ia tetap hidup meski kematian telah menjemputnya, ia tetap
kekal meski kehancuran menerpa alam semesta sampai sayap-sayapnya dikumpulkan.
Penglihatannya mampu bermukasyafah, ia dapat memakrifahi dirinya, ia akan
bersanding dengan insan-insan yang telah menggapai maqom sepertinya, ia
tenggelam kedasar samuderah makrifat, dahaganya tidak pernah terpuaskan dengan
regukan-regukan kesejatian makrifah. Ia menemukan kesempurnaan mutlak yang
terlanskapkan dalam diri dan inti (dzat)-Nya, ia lebur sifat dirinya, ia hiasi
dirinya dengan nama-nama inti (dzat) dan sifat-sifat hakiki. Ia tidak memiliki
hasrat beredar dalam hukum keselarasan dan perbedaan, ia tetap teguh
mengeksiskan diri dengan sifat-sifat hakiki. Ia tidak memiliki kesempurnaan
permanen, rotasi kesempurnaannya terus beredar di tempat dan alamnya.
Ia berotasi pada kedudukan dan pengetahuannya, ia temukan purnama
kesempurnaan pada dirinya, ia tidak mampu mencegah gerhana mataharinya, ia
bergeming atas segala sesuatu namun sejatinya ia memakrifahi sesuatu tersebut.
Ia hengkang dari suatu tempat namun sejatinya ia tetap eksis ditempat tersebut,
ia menebar perkataan tanpa menggerakkan lisan untuk bicara, ia berdiri tegak
tanpa membuat yang lain kaget. Ia taburkan pengetahuan tanpa mempresentasikan
keterangan-keterangan, ia mendekatkan sesuatu yang paling jauh menjadi yang
paling dekat. Huruf-hurufnya tidak terbaca, makna-maknanya tidak terfahami dan
terketahui, diatas huruf-huruf itu ada nuqta (titik) estimasi yang beredar
mengitarinya, ia memiliki gugusan yang berbentuk bulat bundar diatasnya
terdapat nuqta (titik) gugusan tersebut, titik itu bagian daripada
gugusan-gugusan huruf juga. Masing-masing huruf tersusun dengan struktur
masing-masing, berdiri dengan eksistensi inti (dzat)nya, kejelasan huruf-huruf
itu ibarat cahaya, gelap ibarat ketiadaan huruf-huruf tersebut. Ma'qulah
(rasionalitas wujud) ini tidak akan menyentuh hakekat inti (dzat) ketinggian,
masing-masing huruf bisa diucapkan melalui lisan, durasi waktunya bisa
dipersempit, ucapan-ucapannya bisa disimak tanpa huruf. Maha Suci al Haq, Tuhan
Yang Maha Agung segala urusan-Nya, Maha Tinggi kekuasaan-Nya, Maha Mulia
keberadaan-Nya.
Belum Edit Syair-syair al-Jily
Semu
liputan warta-warta 'ketuhanan' universal dan parsial Bermuara kepada zat
DiriMu. Wahai Penggenggam sifat-sifatNya. Tampak jelas wajahMu, meliputi zat
segenap realitas wujud Namun demikian, zat DiriMu tidak terjangkau di alam
realitas ini. Sungguh sangat merugi orang yang pongah terhadap Tajalli Mu Ia
akan terpasung dalam kebodohan dan keragu-raguan tak bertepi.
Sangat
Mulia sentuhan penglihatanNya, sangat gaib alam-alamNya
Tampak
jelas bentuk hukumanNya, Maha Melindungi penyembahNya Tidak ada satu matapun
mampu melihatNya, atau logika menakarNya Mereka yang membuatNya kecewa, tidak
akan disemai sifat-sifatNya
Mereka
yang tidak mengambil Ibrah, tidak akan menemukan isyaratNya
Qalbu
yang tidak disemarakkan petunjukNya, akan rapuh dan runtuh Hati yang keruh,
meski berkedudukan, tidak akan meraih keluhuran ruh Mereka yang menerjang
larangan-laranganNya, mustahil bisa mulia.
Tidak
ada inti penglihatan, ilmu pengetahuan, warta-warta ketuhanan
Dan
segenap jejak 'laku' kehidupan yang luput dari penglihatanNya. Poros bintang
Tajalli zat Mu tampak jelas, laksana matahari cintaMu Mereka yang ragu akan
'waras' jika mengerti keAgungan TajalliMu
Banyak
sketsa hidup yang tersurat dan tersirat di altar kehidupan ini.
Ruh
luhur, menangkap semua rahasia wujudNya di semua dimensi. Jiwa yang buruk dan
ruh yang nista, hanya melahirkan kebinasaan. Nurani yang mati, adalah kematian
meski denyut nadinya bergerak.
Inti zat
DiriNya, tampak pada segala kemurnian realitas segala wujud
Hanya
manusia-manusia pongah yang tidak mampu melihat DiriNya Penafi manivestasi zat
DiriNya di alam realitas ini adalah bodoh. Metafora penampakkanNya terlihat
jelas dan terang benderang
Jangan
merasa tenang dan Nyaman, bila terjerembab prilaku haram
Jika
dirimu benar-benar manusia berpetunjukNya, tentu akan resah Sungguh sangat
naif, melumuri laku keta'atan dengan prilaku buruk Zat Yang Maha Suci, tidak
akan 'tersentuh' kecuali dengan kesucian
Sungguh
celaka, melumuri Zat Yang Maha Suci dengan selain DiriNya.
Akankah
kau menyerupakan DiriNya dengan sesuatu yang tidak laik Gelombang KuasaNya,
akan menerjang insan-insan yang terperdaya Api siksaNya, akan melahap, mereka
yang mencintai selain DiriNya
Jika kau
ingin mengerti inti zatNya, maka sirnakan sifat 'manusia'mu.
Jika kau
sengaja menafikan inti zatNya, tampakkan kisi manusiamu Rahasia batinku adalah
inginNya, ruh suciku sabung nyawaNya.
Hatiku
zona landasanNya, tubuhku adalah pelayan Diri Nya. Wujud kebodohanku, adalah
menakar zatNya dengan logikaku Bohong besar, mereka yang mengaku ngerti zatNya
dengan logika Kubur nalar logikamu, tajamkan mata hatimu 'membaca' zatNya.
Jika
rahasia batinmu, mampu 'melihat' DiriNya, maka rahasiakan
Simpan
Sirr-mu saat bergerak meluhur, renungkan saat merendah Jika Sirr-mu melenceng
maka luruskan. Akan tegak laku dirimu Cerahkan Sirr-mu dengan tidak
menyerupakanNya dengan mahluk.
Jernihkan
tubuhmu dengan membuang sauh-sauh pelik duniawi.
Warta-warta
ketuhananNya, akan ditaburkan jika dirimu suci
Kasih
PetunjukNya akan terhampar luas di altar 'laku' ibadah mu Kebodohan, melahirkan
ilmu, perang melahirkan perdamaian
Kedzaliman
melahirkan keadilan, maksiat melahirkan keta'atan.
Tangis
kesadaranku melahirkan empatiNya, dan kebangkitan hatiku Harapanku
menenggelamkan diriku kedalam ketentuan taqdirNya Belitan hidup yang menerpaku,
memahamkan diriku akan DiriNya Aku melihat kasihNya dalam musibah yang
menghampiri hidupk Kadangkala aku melalaikanNya, kadang aku membutuhkanNya.
Aku
sering menjauhiNya, juga tidak pernah berhenti memohonNya
Aku
jamak memutuskan DiriNya, kadangkala menyambungNya Kadangkala berjuang
untukNya, juga jamak memusuhi DiriNya Jika kau menjerembabkan dirimu ke dalam
kemurkaan DiriNya Jangan mengeluh, apabila kasih pertolonganNya jauh dari
dirimu Sungguh sangat nista orang yang mengerti, namun mengingkari
Zat dan
Sifat keluhuranNya tampak di pelupuk mata setiap insan.
Tajalli
zatNya laksana sinar matahari yang menerangi alam ini. Membangkitkan hati dan
menyapa nurani insan-insan berakal. Dua kutub berlawanan saling bertemu dan
saling mengamini.
Bahwa
hati yang buta akan Tajalli zatNya di alam ini adalah pongah Dua bola mata yang
tidak mampu melihat pandangan jelas
Selamanya
tidak akan bisa menembus penglihatan yang terang.
Hati yang
buta penampakkanNya adalah racun yang mematikan intuisi Samudera pemisah, yang
menyirnakan gelombang penyikapan intuisi
Zat Yang
Hidup bagi yang berhati hidup dan tiada duka nestapa Zat Yang Maha Luhur, yang
pintu kasihNya terbuka lebar-lebar. Siapa yang bisa lepas dari pantauan Allah
dan penglihatanNya? PenglihatanNya meliputi segala sesuatu yang tak terlihat
mahluk Andai warta-warta rahasia langit dilepas bebas dari pangkalannya Logika
manusia paling jenius, tidak akan mampu menyingkapnya
Sudah Edit 2. Isim (Nama) Mutlak
Isim (nama) sejatinya adalah sesuatu (kata) yang membantu melahirkan
pengertian (pendefinisian) sesuatu (objek) yang dinamai, mencitrakannya dalam
imajinasi, menghadirkannya dalam estimasi, mempolanya dalam berpikir (logika),
menjaga (memelihara)nya dalam ingatan, menjadikannya ada dalam akal, baik
sesuatu yang dinamai tersebut maujud (ada) maupun Ma'dum (tidak ada), hadir
maupun gaib. Maka awal Kamaliyah (kesempurnaan) untuk berkenalan dengan al
Musamma (objek yang dinamai) adalah mengenali eksistensi nama-nama Diri Nya.
Jika kesejatian nama-Nya dapat dimakrifahi. Penisbatannya ke al Musamma adalah
nisbat lahir dari batin, Dia dengan I'tibar seperti ini adalah 'ain (inti) al
Musamma. Diantara sesuatu yang dinamai (al Musammiyaat) ada yang Ma'dum (tidak
ada) eksistensinya maujud (ada) isimnya semisal burung Garuda Emas. Secara
terminologi eksistensi burung Garuda Emas hakekatnya tidak ada, namun maujud
(ada) isimnya, pameo burung tersebut telah mewacana dalam kehidupan ini meski
sejatinya tidak ada. Meski Ma'dum kita bisa menggali hikmah yang ada dibalik
realita wacana tersebut yakni: Kita mengetahui sifat-sifat yang terkait dengan
nama (burung) itu, meski pada kenyataannya wujud burung itu tidak ada, kita
juga mengetahui sifat yang terkait dengan inti (dzat) nama tersebut, yang tidak
lain adalah nama yang Ghair al Musamma (tidak dinamakan) dengan penta'biran
seperti itu burung Garuda Emas dalam lanskap terminologis berarti sesuatu yang
gharib (aneh) dari tataran logika dan wacana pemikiran, digambarkan dalam
struktur khusus yang keagungannya tak berbandingkan. Nama itu sendiri tidak
terkait dengan tataran hukum, sebab makna dari nama (pameo) yang ada lebih
bersifat kulli (universal) dalam takaran nalar logika, namun maknanya masih
dalam kisaran logika guna menjaga eksistensi dan kedudukannya dalam wujud agar
tidak sirna. Dengan demikian kita bisa menganalogikan bahwa wujud (pameo)
dengan inti (dzat)nya ada dalam tataran hukum, ia merupakan media dan Thariqah
(jalan) untuk memakrifahi (memahami) sesuatu yang ternamakan atau dinamai.
Maka berhati-hatilah dalam menganalogikan makna nama (mutlak), serta jangan
menari-nari dibawah kaki logika dalam memaknai nama (mutlak), karena hal itu
akan menjerembabkan anda ke dalam kekufuran. Telisik dengan penuh kearifan nama
yang anda simak, tafakkuri pesan tersiratnya, cari Madzluliyah (makna
tersiramnya. Jernihkan logika anda seperti yang anda ketahui, nama burung
Garuda Emas adalah sebuah nama yang wujudnya tidak ada. Lain halnya dengan nama
Allah adalah nama mutlak al Haq, wujud Diri Nya Ghaib, namun Dia Wajib al Wujud
(wujud yang mesti ada dengan sendiri-Nya). Burung Garuda Emas wujudnya
diasumsikan maujud (ada) karena adanya nama, berbeda dengan nama Allah meski
wujud-Nya tidak bisa capai dengan penglihatan mata kasat, namun eksistensi-Nya
adalah Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Demikian pula
dengan sifat-sifat Garuda Emas itu bisa pula diketahui karena adanya nama yang
melabeli burung tersebut, walau hakekat wujudnya sama sekali tidak ada. Maka
seperti itulah kiranya anda bersemantis logika dalam memahami subtansi nama
mutlak al Haq, anda tidak akan bisa Wushul (sambung) kepada-Nya
melainkan dengan memahami nama mutlak-Nya. Patrikan dalam diri anda bahwa untuk
memakrifahi (memahami) Allah, tidak ada Thariqah (jalan) menuju-Nya kecuali
dengan tempuhan jalan nama-nama Nya dan sifat-sifat Nya, sebab semua nama-nama
dan sifat-sifat al Haq berada dibawah nama Allah ini. Orang tidak akan pernah Wishal
(sampai) kepada hakekat nama mutlak-Nya, kecuali dengan tangga nama-nama
dan sifat-sifat-Nya, esensinya untuk wushul (tersambungkan) kepada kesejatian
Allah hanya bisa digapai dengan nama mutlak ini!
Ketahuilah, bahwasanya nama mutlak ini akan menghasilkan wujud beserta
hakekatnya, dengan nama mutlak mi pula jalan menuju Allah sangat jelas, nama
Allah merupakan cincin kesempurnaan makna insaniyah (manusia), dengan nama ini
tersambungkan antara manusia yang dirahmati dengan al Rahman (Maha Pemurah).
Barang siapa melihat pahatan cincin al Kamal (kesempurnaan) sejatinya ia telah
bersama Allah dengan isim (nama), barang siapa yang mampu mengekspresikan
pahatan-pahatan (ukiran cincin) tersebut sejatinya ia telah bersama Allah
dengan sifat-sifat. Barang siapa yang memecahkan cincin maka ia telah melintas
batas sifat dan isim (nama), pada tahap ini sejatinya ia bersama Allah dengan
inti (dzat)-Nya, ia tidak terhijabkan dari sifat-sifat-Nya. Orang yang mampu
memakrifahi nama mutlak-Nya akan tegak sendi-sendi kemanusiaan dirinya, akan
eksis nilai-nilai ketuhanan dalam dirinya. Dengan nama ini pula al Haq akan
menyibakkan rahasia-Nya dan mengeluarkan al Kanz (pundi-pundi) yang terpendam
yang tersimpan rapi di dasar samudera rahasia kegaiban Diri Nya.
Ketahuilah, bahwasanya al Haq menjadikan nama (Allah) ini sebagai cermin
bagi segenap manusia, jika insan tersebut menghadapkan wajahnya ke arah cermin
(Allah), ia akan mengetahui hakekat Adalah Allah, tidak ada sesuatupun
bersamaNya, pada tahap ini ia mendapat Kasyf (pengetauan intuitif),
bahwasanya pendengarannya adalah pendengaran Allah, penglihatannya adalah
penglihatan Allah, pembicaraannya adalah pembicaraan Allah, kehidupannya adalah
kehidupan Allah, pengetahuannya adalah pengetahuan Allah, kehendaknya adalah
kehendak Allah, kekuasaannya adalah kekuasaan Allah, semua itu berdasarakan
ketersambungan. Pada tingkat spiritual ini ia akan mengetahui bahwa segala
sesuatu ternisbatkan kepada al Haq, baik dengan cara lugas maupun Majaz
(kiasan) melalui jalan kekuasaan hakiki-Nya. al Haq berfirman :
Allah menciptakan kamu dan apa yang
kamu berbuat. Q.s. ash Shaffaat 37 : 96,
dalam ayat lain Dia berfirman :
Sesungguhnya apa yang kamu sembah
selain Allah itu adalah berhala dan kamu membuat dusta. Q.s. al Ankabuut 29 : 17.
Maka sesuatu yang mereka karya laksana sesuatu yang diciptakan Allah, dan
ciptaan tersebut dinisbatkan kepada mereka secara lugas dan Majaz, namun
sejatinya karya tersebut tercipta dengan jalan kesejatian Mulkuhu
(kekuasaan)-Nya.
Dan orang yang melihat wajahnya di cermin isim mutlak ini akan mendapat
ilmu (pengetahuan) Dzauq (intuisi), ia juga mendapatkan ilmu Tauhid dan ilmu al
Wahidiyah (ke-Esa-an).
Orang yang mendapat Syuhud (penyaksian) ini doa-doanya terkabulkan,
harapan-harapannya terealisasikan, jika ia mendoakan seseorang akan diterima
oleh-Nya, ia menjadi media penampakkan untuk nama-Nya (Allah). Kemudian ketika
tingkat spiritualnya meningkat dari noda sifat ketiadaan berganti kepada Tim
(pengetahuan) akan wujud yang wajib, al Haq mensucikan orang itu dengan
penampakkan Qidam (eternitas) dari keburukan Huduts (kebaruan), pada nuqtah
(titik) inilah orang itu menjadi cermin bagi nama-Nya (Allah). Ia pada saat itu
bersama isim mutlak laksana dua cermin yang saling berhadap-hadapan satu sama
lain mendapati dirinya. Orang yang mampu menggapai maqom (tingkat spiritual)
ini doanya dikabulkan al Haq, semua permintaannya dijawab oleh-Nya, semua
harapannya direalisir oleh-Nya. al Haq marah karena kemarahan insan tersebut,
Dia ridha jika insan itu ridha, kemarahan dan keridhaan al Haq adalah sejalan
dengan kemarahan dan keridhaan hamba tersebut. Orang itu akan menjadi kampium
dalam ilmu Tauhid dan Ahadiyah (ke-Esa-an), juga ilmu-ilmu lainnya. Antara
Syuhud (penyaksian) ini dan Tajalli (manifestasi) inti (dzat) ada
kelembutan-Nya, yaitu sang pelaku kesakisan (asy Syaahid) mampu membaca al
Furqan (keterangan yang membedakan antara yang hak dan yang batil) dengan
sendirinya. Sedang sang penggapai inti (dzat)-Nya mampu membaca semua kitab
yang diturunkan al Haq baik yang tersurat maupun yang tersirat. Perhatikan
dengan seksama masalah ini!
Ketahuilah, bahwasanya nama mutlak ini adalah Huyuli (benda pertama)
kesempurnaan universal, tidak ada satu kesempurnaanpun melainkan dibawah falak
nama mutlak ini. Karenanya kesempurnaan al Haq tidak berakhiran dan tidak akan
pernah habis, sebab setiap kesempurnaan ditampilkan al Haq dari Diri Nya.
Sesungguhnya kesempurnaan al Haq yang ada dalam dimensi kegaiban jauh lebih
agung dibandingkan dengan apa yang ada pada alam realitas ini. Tidak ada jalan
untuk menggapai muara kesempurnaan al Haq, melainkan dengan mengeksiskan
ketersambungan (wushul) dan kedekatan (al Qurb) serta kebersamaan dengan-Nya.
Berikut senantiasa menghadirkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya dalam diri secara
kontinu. Demikian pula dengan Huyuli (benda pertama) yang ada dalam takaran
logika, tidak ada jalan untuk menyingkap segenap citra-Nya melainkan dengan
menghadirkan citra-citra Huyuli ke dalam logika dan Aql al Bashirah (ketajaman
mata hati). Tidak ada kemustahilan bagi daya persepsi untuk menjangkau Huyuli
(benda pertama) dengan segala pencitraannya. Kalau realita tersebut terjadi
pada makhluk lantas bagaimana dengan al Haq Yang Maha Besar dan Maha Tinggi?
Orang yang telah berhasil menangkap tajalli al Haq dalam manifestasi ini ia
akan berkata : Daya persepsi yang lemah akan suatu persepsi adalah persepsi.
Barang siapa yang diperlihatkan kepadanya manifestasi al Haq, Dia akan
tertajallikan pada dirinya, ia akan memakrifahi makna inti (dzat) Allah dari
sisi ilmu-Nya, juga memakrifahi inti dzat-Nya dalam lanskap hakekat. Ia tidak
akan berkata lemah dalam daya persepsi tidak pula menafikan persepsi itu
sendiri, pada tahap ini tingkat spiritualnya adalah maqom yang tidak mungkin
dita'birkan karena ia merupakan maqom penyaksian tertinggi akan kesejatian Allah.
Maka berusahalah anda mencari dan menggapainya jangan sampai anda lengah dan
pongah untuk menggapai kesejatian-Nya. Ketahuilah, bahwasanya al Haq menjadikan
nama mutlak ini Huyuli (benda pertama) kesempurnaan citra makna-makna
ketuhanan. Dan setiap manifestasi al Haq yang untuk Diri Nya dalam Diri Nya
termasuk dalam liputan naungan isim (nama) ini, kecuali al Dhulmah (kegelapan)
mutlak yang dinamakan batin dzat dalam dzat. Nama mutlak (Allah) ini merupakan
cahaya kegelapan mutlak tersebut, dengan nama ini orang-orang yang dalam
kegelapan akan tersinari cahaya-Nya, dengan nama ini pula para makhluk akan
Wishal (sampai) kepada makrifah al Haq, yang dalam istilah ahli ilmu kalam
disebut Tim (pengetahuan) akan inti (dzat) yang memiliki Uluhiyah (ketuhanan).
Ada banyak pendapat di kalangan para alim perihal esensi nama mutlak ini.
Diantara mereka ada yang berkata nama Allah adalah Jaamid tidak Mustaq
(derivatif), sebagian yang lain mengatakan, nama Allah adalah Mustaq
(derivatif) dari Alah yang berarti (cinta), yakni kecintaan segala yang ada
(ciptaan), berubudiyah kepada-Nya dengan kehususan sendiri-sendiri, berjalan
dengan Iradah (kehendak)-Nya, rasa rendah dihadapan keagungan kemuliaan-Nya.
Alam dan isinya alam merupakan manifestasi Diri Nya, semua yang ada di semesta
alam ini berjalan dengan kehendak Diri Nya, yang terlanskapkan dalam ke-Dia-an
Dia dan ke-Aku-an Diri Nya. Manakala Dia memanifestasikan Diri Nya kepada
ciptaan yang dikehendaki-Nya, maka ciptaan itu akan tergerak mencintai ibadah
dan ubudiyah kepada al Haq, seperti halnya besi yang tergerak karena tarikan
magnet. Kecintaan alam dan isinya alam berubudiyah kepada-Nya terlanskapkan
dalam tasbih (sanjung puji) yang tidak semuanya bisa memahami. Isinya alam juga
memiliki puji sanjung kedua yaitu kesiapannya menerima penampakkan al Haq dalam
dirinya, sedang puji sanjung ketiga isinya alam adalah, penampakkan dirinya
dalam diri al Haq dengan nama makhluk. Ragam (wajah) puji sanjung isinya alam
dan alam semesta kepada Allah sangatlah banyak, masing-masing isinya alam
memiliki puji sanjung khusus dengan masing-masing asma-asma Allah sejalan
dengan nilai-nilai ketuhanan-Nya. Semua wajah puji sanjung itu berasal dari
satu lisan satu waktu, itu artinya satu lisan dalam satu waktu melantunkan mega
dan mutli tasbih (sanjung pujian) yang jumlahnya tidak terhingga. Setiap wujud
dari Maujudaat (segenap wujud) melantunkan tasbih (sanjung puji) kepada al Haq,
adapun argumentasi mereka yang mengatakan nama (Allah) ini mustaq (derivatif)
dari kata (Alah) -cinta dan yang dicinta- jika nama itu jamid (non-derivatif)
niscaya tidak bisa dipisah. Mereka juga menandaskan, bahwasanya nama mutlak ini
asal katanya Alah lalu menjadi idiom sesembahan, karenanya dimasukkan kedalam
kata Alah huruf Laam. At Ta'rif (pengenalan)lalu Alif yang ditengahnya
disembunyikan, karena galibnya pemakaian maka jadilah kata Allah. Ada banyak
pendapat dan pemikiran perihal nama Allah ini dari para pakar bahasa Arab, kita
tidak perlu mengupas perselisihan pendapat mereka, kita cukupkan sampai disini.
Ketahuilah bahwa isim mutlak ini terdiri atas lima huruf (Khumasiy), karena
huruf Alif sebelum Ha' tetap dalam lafadz dan tidak harus dinafikan, meski
tidak termuat dalam tulisan, sebab lafadz dalam grametika bahasa lebih dominan
dibandingkan tulisan. Ketahuilah bahwasanya Alif pertama ibarat Ahadiyah
(ke-Esa-an), segala sesuatu yang wujud pasti akan binasa, tidak ada satupun
wajah segala yang wujud baqa' (kekal), itulah sejatinya makna firman Qur’ani : Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah. Q.s. al Qoshoshos 28 : 88, yakni
wajah-wajah selain al Haq pasti akan binasa, demikian esensi Ahadiyah
(ke-Esa-an) Allah. Ke-Esa-an al Haq memiliki hukum yang tidak terikat dengan al
Katsrah (sesuatu yang banyak). Patrikan dalam benak anda bahwa Ahadiyah
merupakan awal tajalli (manifestasi) inti (dzat)-Nya, dalam diri Nya, untuk
diri Nya dan dengan diri Nya. Huruf Alif yang ada di awal nama mutlak ini
terpisah, berdiri sendiri dan tidak terkait huruf-huruf lain, merupakan sebuah
Tambih (peringatan) bahwasanya ke-Esa-an al Haq tidak terkait dengan
sifat-sifat-Nya dan penyifatan makhluk-Nya, ia merupakan ke-Esa-an murni yang
tidak tereduksi dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya,
pengaruh-pengaruhNya dan makhluk-makhluk-Nya. Ada metafora yang terhamparkan
dalam huruf Alif, Laam dan Faa'. Alif menunjukkan kesatuan dari yang banyak,
Laam menunjukkan sifat Qodiim (eternitas), memakrifahinya akan menuntun kepada
pengetahuan akan keterkaitan sifat-sifat yang lahir dari Afal (perbuatan-perbuatan)
al Qodiim yang dinisbatkan kepada-Nya.
Faa' menunjukkan objek dengan segala struktur dan konfigurasinya, nuqtah
(titik) huruf Faa' menunjukkan wujud al Haq dalam inti (dzat)-Nya. Kepala huruf
yang berbentuk bundar dan lingkaran yang berlubang menunjukkan tidak adanya
kontradiktif dan keeksisan menerima Faydh (penjelmaan) Ilahi (ketuhanan), ia
juga merupakan isyarat tempat keterkabulan Faydh. Bulatnya kepala Faa'
menunjukkan tidak adanya kontradiksi untuk sesuatu yang mungkin, karena garis
peredaran tidak diketahui permulaan dan akhirannya. Sedang lubang yang ada di
kepala huruf Faa' adalah sentra isyarat untuk penerimaan Faydh (penjelmaan),
karena sesuatu yang berlubang akan menerima (menampung) sesuatu yang akan
diisikan kepadanya. Kemudian titik yang berada di atas lingkaran kepala huruf
Faa' merupakan isyarat yang sangat lembut akan amanat yang diemban manusia
yaitu amanat kesempurnaan ketuhanan, dimana segenap langit dan bumi serta
segenap penghuni kedua alam itu (para makhluk-Nya) tidak mampu (tidak sanggup)
mengemban anamat kesempurnaan ketuhanan tersebut. Huruf Faa' itu sendiri ibarat
manusia karena manusia adalah pemimpin alam (dunia) ini. Terkait dengan ini
rasul pernah bersabda : Kali pertama yang diciptakan Allah adalah ruh nabimu
wahai Jabir. Huruf Faa' ibarat Qolam (pena) ditangan penulis yang dengan qolam
itu dituliskan Kalam al Haq dan rahasia ke-Esa-an Nya, baik yang lahir maupun
batin. Ketahuilah Ahadiyah al Haq terkandung di dalamnya hukum yang bersifat
batin, terutama hukum-hukum yang terkait dengan hakekat nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, pengaruh-pengaruh-Nya serta
makhluk-makhluk-Nya, kesemua itu akan bermuara pada sifat inti (dzat)-Nya yang
terwajahkan dengan wajah Ahadiyah (ke-Esa-an). Kami telah paparkan masalah
rahasia huruf Faa' ini dalam kitab kami alKahfi wa alRaqiim,fi Syarhi
Bismillahirrahmanirrahim, untuk lebih detilnya silahkan anda membaca kitab
tersebut.
Huruf kedua dari isim mutlak ini adalah : Laam Pertama. Ia ibarat al Jalaal
(keperkasaan), karenanya huruf Laam dikaitkan dengan Alif, sebab al Jalaal,
merupakan manifestasi tertinggi dari manifestasi inti (dzat)-Nya, tajalli al
Jalaal lebih dahulu dibandingkan tajalli al Jamaal (keindahan). Dalam sebuah
hadits rasul saw bersabda : Keperkasaan adalah sarungku, keindahan adalah
sorbanku. Tidak ada yang lebih dekat menyentuh tubuh seorang laki-laki
selain sarung dan sorban, dengan demikian dapat dikongklusikan bahwa sifat al
Jalaal (keperkasaan) lebih dahulu, dibandingkan sifat al Jamaal (keindahan). Realita
tersebut pararel dengan firman al Haq dalam hadist Qudsi (Rahmat Ku,
mendahului kemarahan Ku). Rahmat-Nya melahirkan bion-bion
keindahan-keindahan-Nya yang bersifat Kulli (universal) dalam Maujudaat (segala
wujud), ia laksana kesatuan dari yang banyak di alam dan isinya alam ini.
Ketahuilah bahwa sifat al Waahidiyah al Jamaaliyah (Keindahan Tunggal), jika
kesempurnaannya mumpuni atau mendekati kesempurnaan maka ia dinamakan al Jalaal
(keperkasaan), karena adanya dominasi penampakkan kekuasaan al Jamaal
(keindahan). Maka inti pemahaman rahmat dari keindahan universal berikut muara
rahmat sejatinya adalah al Jalaal (keperkasaan).
Huruf ketiga dari isim mutlak ini adalah : Laam Kedua. Ia ibarat al Jamaal
al Mutlaq (keindahan absolut) yang terlanskapkan dalam pemandangan (tampilan)
manifestasi al Haq di segala wujud. Semua sifat-sifat keindahan bermuara pada
dua sifat, yaitu al' Ilm (ilmu pengetahuan) dan al Lufhfu (kelembutan). Seperti
halnya semua sifat al Jalaal (keperkasaan) bermuara pada dua sifat yaitu al
Adzamah (keagungan) dan al Iqtidar (kekuasaan) yang merupakan akhir daripada
dua sifat pertama (ilmu dan kelembutan), keduanya laksana satu sifat. Sebagian
para arif menandaskan : Sesungguhnya keindahan yang tertampakkan pada makhluk,
sejatinya ia adalah keperkasaan, dan esensi keperkasaan adalah inti keindahan,
satu sama lain (keindahan dan keperkasaan) saling terkait laksana satu sifat,
meski pada realitanya dua sifat. Tajalli kedua sifat tersebut laksana fajar,
pada awal terbitnya matahari hingga terbenamnya. Maka nisbat al Jamaal
(keindahan) adalah nisbat fajar matahari sedang nisbat al Jalaal (keperkasaan)
adalah nisbat Isyraq (terbit)nya matahari, terbit itu bermula dari fajar dan
fajar itu bermula dari terbit, itulah esensi makna Jamaal al Jalaal (keindahan
keperkasaan) dan Jalaal al Jamaal (keperkasaan keindahan). Huruf Laam merupakan
isyarat daripada dua penampakkan (terbit dan terbenam), namun demikian
kedudukan (martabat)nya berbeda-beda sejalan dengan hamparan starata yang ada
pada huruf Laam, Alif, Mim, tingkatan-tingkatan itu berjumlah 71 strata, itulah
sejatinya jumlah al Hijaab (tirai penghalang) yang dihamparkan al Haq diantara
diri Nya dan hamba-Nya. Rasul Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadist : Sesungguhnya
bagi Allah kurang lebih tujuh puluh hijab dari cahaya. Diantaranya al
Jamaal (keindahan), al Dzulmah (kegelapan), al Jalaal (keperkasaan), andai di
Kasyf-kan akan menghanguskan pujian-pujian wajah-Nya, namun tidak akan pernah
berahir penglihatan-Nya : yakni insan-insan yang telah Wishal (sampai) ke
tingkat spiritual tersebut, inti (dzat)-nya lenyap tak berbekas, yang oleh
komunitas sufie dinamakan al Mahaq wa al Sahaq (lenyap dan lebur). Setiap
jumlah masing-masing huruf merupakan isyarat kedudukan (martabat) hijab yang
ditebarkan al Haq diantara para hamba-Nya. Masing-masing tingkatan hijab
memiliki seribu wajah hijab, diantara wajah hijab itu adalah al Izzah
(kemuliaan), ia merupakan awal hijab yang melingkupi hidup dan kehidupan setiap
insan di alam dan isinya alam ini, hijab kemuliaan ini memiliki seribu wajah
yang setiap wajah memiliki ragam hijab, demikian pula dengan hijab-hijab yang
ada dihuruf-huruf yang lain. Kita cukupkan contoh hijab itu sampai disini saja
karena jika dipaparkan memerlukan berjilid-jilid keterangan.
Huruf keempat dari isim mutlak ini adalah : Alif yang tidak tersurat dalam
tulisan (alif yang tersembunyi), akan tetapi tetap dalam pelafadzan. Ia
merupakan Alif al Kamaal (kesempurnaan) yang tidak berakhiran dan tidak berujung
tujuannya, tidak berujungnya tujuan itu merupakan isyarat kejatuhannya dalam
khath (kaligrafi) tulisan. Sebab sesuatu yang jatuh dan tersembunyi tidak akan
pernah dapat dilihat oleh mata dan tidak meninggalkan bekas (pengaruh)
keeksisannya dalam lafadz, yang demikian itu merupakan isyarat akan hakekat
wujud jiwa sempurna dalam inti (dzat) al Haq Jallah Jalaalah. Kesempurnaan
seperti itu sentiasa tampak dalam diri para ahli ketuhanan (para arif billah)
dan terus tumbuh berkembang dalam bingkai al Jamaal (keindahan), apa yang ada
dalam diri mereka pararel dengan realitas wujud al Haq yang senantiasa
bertajalli dalam ragam manifestasi. Setiap tajalli-Nya tumbuh dan berkembang
dalam ke Maha Sempurna-an Diri Nya. Keindahan yang ada pada diri ahli ketuhanan
akan bermuara kepada keindahan al Haq, atas dasar itulah para ahli hakekat
menandaskan : segenap alam tumbuh dan berkembang pada tiap-tiap jiwa, karena
jiwa merupakan tapak Tajalliyaat (manifestasi-manifestasi) al Haq dan tajalli
tersebut tidak statis melainkan terus berkembang, semantis logikanya alamjuga
selalu dalam Taraqqiy (pertumbuhan). Dengan demikian anda bisa saja mengatakan
manifestasi ketuhanan itu selalu berkembang sejalan dengan perkembangan
makhluk-Nya, analogi seperti juga bisa dinisbatkan ke alam ketuhanan, sedang al
Haq mustahil disifati seperti itu karena Dia adalah Tuhan Maha Sempurna, Dia
tidak disifati dengan kekurangan dan penambahan, lebih dari itu al Haq tidak
disifati dengan sifat-sifat alam dan isinya alam.
Huruf kelima dari isim mutlak adalah : Haa'. Ia merupakan isyarat dari
Hawiyah (ke-Dia-an) al Haq, yang sejatinya adalah inti (dzat) manusia, al Haq
berfirman : (Katakanlah) wahai Muhammad. (Dia) yakni manusia. (Allah
Yang Maha Esa). Maka huruf Haa' merupakan isyarat (Huwa) -Dia- yang kembali
kepada subjek (pelaku) (Qul) -katakanlah- yang sejatinya adalah Engkau. Jika
tidak demikian maka tidak diperbolehkan mengembalikan dzomir (kata ganti)
kepada sesuatu yang tidak disebutkan. Kontek pembicaraan dalam ayat ini
difokuskan pada sesuatu yang ghaib (tidak ada) dengan disertai keterangan
isyarat bahwa kontek pembicaraannya juga tidak menafikan jiwa yang hadir (tidak
gaib), bahkan muatan pembicaraan tersebut mencakup gaib dan hadir al Haq
berfirman : Dan jika kamu, (wahai Muhammad) melihat ketika mereka
dihadapkan. Q.s al An'aam 6 : 27, maksudnya adalah bukan Muhammad saw
seorang akan tetapi setiap orang yang melihat. Huruf Haa' berbentuk bulat
melingkar merupakan isyarat rotasi (pergerakan) ruh wujud-Nya yang diciptakan
atas diri manusia. Ia di alam permisalan (Amtsaal) laksana lingkaran yang
melahirkan isyarat, anda bisa berkata lingkaran huruf itu al Haq, sedang lubang
yang ada dihuruf itu makhluk. Juga sebaliknya lingkaran itu makhluk sedang
lubangnya adalah al Haq, huruf itu bisa mengisyaratkan al Haq bisa pula
mengisyaratkan makhluk. Anda juga bisa mengatakan amar perintah-Nya lahir dari
ilham atau bersitan hati, atau bahkan wahyu. Ketahuilah esensi amar (perintah)
ketuhanan yang ditujukan kepada setiap insan beredar diantara eksistensi
diri-Nya, yakni diantara kerendahan dan kedhrifan (kelemahan) ubudiyah sang
hamba dengan pencitraan al Rahman dalam diri hamba tersebut, yang dengan itu
manusia memiliki kemuliaan dan kesempurnaan, al Haq berfirman :
Allah. Dia-lah pelindung hikiki. Q.s. asy Syuura 42 : 9,
yakni pelindung sejati manusia sempurna yang Citranya diwartakan al
Haq dalam firmanNya :
Ingatlah sesungguhnya wali-wali
Allah itu tidak kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih
hati. Q.s.
Yunus 10 : 62.
Sebab adalah mustahil insan yang telah menggapai maqom Insaan Kaamil,
syakilah hati dan jiwanya memiliki rasa takut dan sedih, al Haq adalah icon
kewalian utama, karena Dia adalah al Waliy al Hamiid (Maha Pelindung lagi Maha
Terpuji).
Dia menghidupkan orang-orang yang
mati, dan Dia adalah maha Kuasa atas segala sesuatu. Q.s. asy Syuura 42 : 9.
Maka sejatinya (wali) itu adalah (al Haq) yang termanifestasikan dalam
berbagai citra kemakhlukan atau makhluk yang mampu memakrifahi kesejatian
makna-makna ketuhanan. Etos kewalian itu juga merupakan tajalli al Haq yang
termanifestasikan dalam diri tiap insan, ke-Dia-an al Haq merupakan pengumpul
diantara sifat Kamaal dan kebalikannya yaitu an Naqsh (kekurangan). Ke-Dia-an
Dia terbit di muka bumi yang berwujud sinar matahari ketinggian, ke-Dia-an Nya
terlanskapkan dalam bumi dan langit, panjang dan pendek dan seterusnya seperti
yang terhampar dalam samudera sifat-sifatNya.
Syair-syair al
Jily
Allah
Maha Besar, Samudera ini airnya telah pasang
Badai
kencang, menyurung ombak bergulung-gulung
Maka
tanggalkan bajumu, tenggelamkan dirimu kedalam lautan
Jangan
berenang, memujilah. Tidak akan rugi kau memujiNya
Matikan
dirimu, mati dalam samuderah puji Allah, sangat indah.
Hidup
dalam samuderah pujiNya, membuatmu hidup denganNya
Aku
memiliki kerajaan di dua kampung, yang belum aku lihat
Aku
berharap kasih keutaman DiriNya, tapi aku takut memintaNya
Tidak
sesuatu sebelum diriku yang merubah eksistensiNya
Tidak
ada sesuatu sesudahku yang menyalip ketentuan taqdirNya
Telah
terhampar luas ragam keparipurnaan dihadapan diriku
Aku
bagian integral daripada keindahan dan kesempurnaanNya
Esensi
penglihatanmu pada wujud bendawi dan tetumbuhanNya,
habitat
binatangNya, sejatinya adalah subtansi penampakkanNya
Esensi
penglihatanmu pada unsur penciptaan dan tabiat-tabiatnya,
segala
ketiadaan menjadi wujud bermula dari benda pertamaNya.
Esensi
penglihatanmu pada setiap deburan ombak samudera,
semua pepohonan
yang tegak, bermuarakan kepada ketinggihanNya.
Esensi
penglihatanmu pada setiap citra (bentuk) maknawiyah,
dan
segala yang dirasakan indramu. Dia-lah yang menghidupkannya
Esnsi
penglihatanmu pada logika pikir dan hayal imajinasimu,
jiwa dan
Gjalbumu, akan menyemburkan rasa takutmu padaNya.
Esensi
penglihatanmu pada segala kepemilikan yang kau punyai;
kemaruk
duniawimu adalah wajah kelblisanmu dihadapan DiriNya
Esensi
penglihatanmu pada 'geliat' syahwat kemanusiaanmu
mempertuturkan
tabitamu, menjadikan hakmu tercabut dariNya.
Esensi
penglihatanmu pada kedudukan,
jabatan
dan popularitas membuatmu terhapus
dari
daftar para kekasih yang dicintaiNYa
Sesungguhnya
DiriKu adalah inti zat segala yang tertampakkan
Akulah
sejatinya zat yang tampak, inti zat segala wujud adalah Aku
Aku
adalah Pengatur segenap 'nasib' manusia.
Dan tuan
mereka Isim dan zat DiriKu,
terlembagakan
dalam citra dan identitas mereka
Aku
adalah diraja segala raja yang berkuasa atas segala kerajaan
KekuasaanKu
meliputi segala kerajaan yang tampak dan yang gaib
Inilah
kesejatian DiriKu,
telah Ku
wartakan semua perihal DiriKu
Inti zat
seorang hamba, akan sirna,
lebur ke
dalam inti zat Tuhannya.
Hamba
yang rendah hati, merasa hina dalam ketertundukkan
mengakui
dosa-dosanya dengan penuh tulus,
akan Aku
kesalahannya
Wahai
segenap hamba yang tercipta dengan fitrah keluhuran,
sungguh
nista, jika kalian pasung diri kalian dengan kemaksiatan.
Aku
tujukan ucapanku ini untuk selaksa nasehat buat kalian
Agar,
ujaran ini, menjadi sebab petunjuk keselamatan bagi kalian.
Wahai
'tuan' segenap ummat manusia dan junjungan agung.
Kau
adalah pemberi syafa'at diriku, untuk mengetas dosa-dosaku
Kau
adalah maha guru semesta alam
dan
punggawa segenap alim cahaya
yang
menyinari insan-insan yang dalam kelam (keruh)
Qalbu
Untuk dirimu haturan salam sejahterah dan shalwat dariku
Semoga
sanjung shalawat terus bergema sepanjang lorong waktu.
Sudah Edit 3. Sifat
Mutlak
As Shifah (sifat) sejatinya adalah sebuah berita yang mengabarkan kepada
diri anda tentang keadaan sesuatu yang disifati. Yakni apa yang sampai kepada
pemahaman anda esensi dan keadaan suatu yang disifati, yang dengan itu anda
bisa memakrifahi sesuatu tersebut, berikut anda bisa mengumpulkan dalam
estimasi anda, serta menjabarkannya dalam pikiran anda, pun mengeksiskannya
dalam logika anda, terlebih Dzauq (intuisi) anda yang dengan itu anda bisa
menghadirkan 'rasa' akan keadaan al Maushuf (yang disifati) dengan sifat itu
sendiri, lalu mewacanakan sifat-sifat tersebut dalam diri anda. Pada tahap ini
boleh jadi sifat-sifat itu mendominasi diri anda dan membuat anda menemukan
'dzauq' (intuisi), juga sebaliknya melahirkan dzauq yang berlawanan. Maka
pahami dengan seksama, telisik dengan cermat agar dzauq (intusi) yang hadir
dalam diri anda benar-benar membiaskan 'rasa' pada pendengaran anda yang bersendikan
rahmat kebersamaan anda dengan-Nya dan anda pun terlepaskan dari jerat-jerat
simbolistik yang mengantarkan diri anda tenggelam dalam samudera fana'
bersama-Nya. Demikian pula anda akan tersucikan dari Hijab (tirai penghalang).
Ketahuilah bahwasanya as Shifah (sifat) itu selalu mengikuti al Maushuf (yang
disifati), yakni tidak bersifat dengan sifat-sifat selain diri anda, tidak pula
dengan sifat-sifat jiwa anda, dan anda sama sekali tidak berarti dihadapan
sifat-sifat itu, kecuali jika anda mengetahui bahwasanya diri anda adalah inti
(dzat) al Maushuf (yang disifati) dan anda benar-benar yakin bahwa anda
mengetahuinya secara hakiki. Pada tahap tingkat spiritual (Maqom) ini ilmu
mengikuti anda secara primer dan anda tidak butuh peneguhan atas pengetahuan
yang anda yakini, karena sifat terkait erat dengan yang disifati dalam segala
hal, ia (sifat) ada dengan wujud al Maushuf (yang disifati), ia (sifat) hilang
dengan ketiadaan yang disifatinya.
Sifat dalam lanskap pandangan ulama Arab terbagi atas dua macam :
1. Sifat keutamaan. Sifat keutamaan adalah sifat yang terkait dengan inti
(dzat) manusia seperti al Hayah (kehidupan).
2. Sifat utama. Sifat utama adalah sifat yang terkait dengan keutamaan dan
sesuatu yang diluar keutamaan seperti al Karom (kemuliaan) dan sifat sejenis
lainnya.
Para ahli hakekat mengatakan nama-nama al Haq terbagi atas dua bagian yakni
nama-nama yang terkait dengan penyifatan Diri Nya, yang oleh para ahli ilmu
grametika bahasa disebut dengan nama-nama An Na'utiyah (nama-nama yang berdimensikan
sifat). Bagian Pertama : Berdimensikan inti (dzat)-Nya, seperti : Maha Esa,
Maha Tunggal, Berdiri Sendiri, Tempat bergantung segala sesuatu. Maha Agung,
Maha Hidup, Maha Mulia, Maha Besar, Maha Tinggi dan lain sebagainya. Bagian
Kedua : Berdimensikan sifat Diri Nya, seperti, al Ilm (berpengetahuan) dan al Qudrah
(yang berkemauan) atau sifat yang terkait dengan Diri Nya, seperti al Mu'thi
(Maha Memberi), al Khallaaq (Maha Mencipta), juga sifat yang terkait dengan
Af'aal (perbuatan-perbuatan)-Nya. Asal pensifatan dalam sifat-sifat ketuhanan
adalah, isim-Nya (ar Rahman) -Maha Pemurah-, hal mana isim tersebut melingkupi
segala sesuatu yang bersifat universal, perbedaan antara nama al Rahman dengan
nama Allah dalam manifestasi sifat universal al Rahman merupakan manifestasi
daripada sifat-sifat-Nya secara universal, sedang Allah penampakkan inti
nama-Nya secara utuh.
Ketahuilah, bahwasanya al Rahman adalah nama al Haq yang melahirkan
pengetahuan tentang inti martabat ketinggian dari wujud paripurna dengan syarat
kesempurnaan mutlak tanpa ada keterkaitan dengan makhluk, sedangkan isim
(Allah) adalah pengetahuan akan dzat Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada
dengan sendirinya) dengan syarat kemutlakan kesempurnaan-Nya yang
termanifestasikan dalam sifat-sifat kesempurnaan makhluk-Nya. Allah bersifat
umum sedang ar Rahman bersifat khusus yakni isim al Rahman dikhususkan dengan
kesempurnaan-kesempurnaan Ilahiyah (ketuhanan), sedang nama (Allah) mencakup al
Haq dan makhluk. Manakala al Rahman dikhususkan dengan kesempurnaan dari
kesempurnaan-kesempurnaan Ilahiyah (ketuhanan), maknanya bergeser dari
tempatnya ke nama-nama yang layak dengan kesempurnaan ketuhanan tersebut
seperti nama-Nya al Rabb dan al Mulk serta nama-nama-Nya yang lain.
Masing-masing dari nama-nama tersebut maknanya meliputi sifat-sifat yang ada
pada tiap-tiap martabat, berbeda dengan nama-Nya al Rahman, pemaknaan umumnya
adalah sentra kesempurnaan yang mencakup segenap kesempurnaan, ia merupakan
sifat universal untuk segala sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan).
Ketahuilah, bahwasanya sifat dimata para ahli hakekat adalah tidak bisa
dicapai dengan penglihatan mata dan tidak berujung, berbeda dengan dzat, ia
bisa digapai dengan penglihatan, namun penglihatan yang berdimensi al Kasyf
(intuitif), dengan demikian para ahli hakekat tersebut mampu memukasyafahi inti
(dzat)-Nya. Dimata mereka inti (dzat)-Nya sangat jelas sedang sifat-sifat-Nya
dimata para ahli hakekat tidak jelas dan tidak terbatas, contoh sederhananya
orang yang prosesi ritualnya tumbuh dan berkembang akan meningkat dari martabat
kebendaan menuju martabat kequdusan dan akan dibukakan pengetahuan intuisi
(kasyf) untuknya, dengan begitu ia akan memakrifahi (memahami dengan pemahaman
hakiki) bahwasanya inti (dzat)-Nya adalah inti (dzat) dirinya. Daya persepsi
dan ilmunya mengantarkan dirinya kepada Makrifatullah. Rasulullah saw bersabda
: Barang siapa yang memahami dirinya, akan makrifah (faham) Tuhannya. Orang
yang telah memahami kesejatian dirinya, ia akan memahami inti (dzat) daripada sifat-sifat
yang terlanskapkan dalam sifat-sifat ketuhanan vis avis sifat-sifat dirinya.
Karenanya para ahli hakekat tidak akan pernah mampu melihat sifat-sifat-Nya
yang termanifestasikan dalam segenap wujud, karena sifat-sifatNya tidak
terbatas dan tidak berujung.
Semisal sifat al Timiyah (pengetahuan) jika telah digapai seorang hamba
ketuhanan, ia tidak akan pernah bisa mengetahuinya secara rinci (parsial)
selain al Qodar yang diturunkan ke dalam kalbunya, sedang al Idrak (daya
persepsi) lahir dari sifat al Timiyah (pengetahuan), seperti jikalau ditanyakan
kepada seseorang, berapakah jumlah laki-laki yang ada dikomunitasnya? Ia lalu
berusaha mengetahui nama-nama mereka dan berusaha mengidentifikasi karakter,
kepribadian dan sifat-sifat mereka yang tidak terkira ragamnya, demikianlah
hingga ia dapat menyimpulkan secara garis besar akan kesejatian kelaki-lakian
seorang pria secara gradual dan bukan secara parsial. Dalam tataran kemanusiaan
(ciptaan) saja kita tidak mampu mengindentifikasi sifat-sifat manusia secara
universal, bagaimana pula dengan sifat-sifat ketuhanan, sungguh kesempurnaan
sifat-Nya tidak berpulang dan tidak memiliki kata akhir. Dengan semantis logika
seperti itu dapat difahami jikalau para ahli hakekat berkeyakinan bahwa yang
bisa digapai adalah inti (dzat)-Nya, sedang sifat-sifat-Nya tidak terjangkau
dalam pengertian tidak ada batasan dan akhirannya, bukan dalam pengertian
subtansi sifatnya. Maka hanya dzat yang bisa dilihat dalam lanskap hakiki,
sedang sifat-sifat dalam dimensi hakekat tidak bisa dilihat karena tidak
berujung dan tidak terbatas.
Para peniti jalan Allah (Saalikin) banyak sekali yang terhijabkan dengan
masalah ini, yang sedemikian itu tatkala mereka telah menggapai maqom Kasyf
(pengetahuan intuisi) dan dimakrifahkan kepada mereka inti (dzat)-Nya. Mereka
mencari gapaian sifat-sifatNya namun mereka tidak mendapatinya dalam diri
mereka lalu mengingkarinya. Mereka lantas tidak memenuhi panggilan-Nya manakala
Dia menyeru kepada diri mereka, lebih dari itu mereka tidak melakukan ritual
ibadah dan ubudiyah kepada-Nya. Jika diberitahukan kepada mereka firman-Nya
yang telah diturunkan kepada Musa, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak
ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Q.s. Thaahaa 20 : 14. Mereka akan
berkata kepada-Nya, Engkau tidak lain adalah makhluk, sebab mereka tidak
percaya kepada al Haq, bahwasanya DiriNya tidak bisa dilihat dengan
sifat-sifat-Nya, dalam persepsi mereka sifat-sifat al Haq ada pada inti
(dzat)-Nya. Tafsir manifestasi ketuhanan yang-ada dibenak mereka berbeda dengan
tafsir (pemahaman) ketuhanan yang Shahih (valid) dan Syamil (utuh), maka
lahirlah keingkaran dalam diri mereka yang demikian itu karena mereka mengira
bahwa sifat-sifat-Nya bisa dilihat dalam inti (dzat)-Nya, dengan syuhud
(kesaksian) seperti yang terjadi pada kesaksian inti (dzat). Mereka tidak
mengetahui bahwa realita tersebut merupakan sesuatu yang mustahil, meski pada
makhluk sekalipun, sebab kesejatian diri anda hanya bisa dilihat dan ditentukan
dengan inti (dzat) diri anda sendiri. Adapun sifat-sifat yang ada dalam diri
anda seperti keberanian, kedermawanan, keilmuan dan sifat-sifat lainnya tidak
bisa dipersepsi secara kesaksian hakiki, akan tetapi bisa dilihat melalui
penampakan yang lahir dari diri anda secara parsial dan perlahan-lahan. Jika
sifat-sifat tersebut mendominasi diri anda, maka akan tampak pada diri anda
sifat-sifat tersebut dan meninggalkan bekas-bekas (pengaruh) pada diri anda,
jika sifat-sifat itu nihil dari diri anda, maka sifat-sifat itupun lenyap dari
diri anda, hingga sifat-sifat tersebut tidak bisa disaksikan dan tidak memiliki
bekas sedikitpun dalam diri anda. Disinilah peran signifikan akal terlihat
fungsinya, ia akan mengantarkan pemahaman anda selaras dengan tradisi yang
melanskapi diri anda, sejalan dengan hukum kehidupan yang ada.
Ketahuilah, bahwasanya dzat-dzat ketinggian hanya bisa diketahui dengan
Thariqah (jalan) Kasyf (pengetahuan intuitif) dan Kasyf al Ilahiyah (intusi
ketuhanan), kau hanya ada pada-Nya dan Dia hanya ada pada dirimu tanpa Hului
(panteisme), tanpa Ittihad (bersatu secara dzat) bahwa hamba adalah hamba dan
Rabb adalah Rabb (Tuhan adalah Tuhan). Seorang hamba tidak akan pernah menjadi
Tuhan dan Tuhan tidak akan pernah menjadi hamba, anda akan bisa mengetahui
kesejatian Qudrah (kodrat) tersebut melalui jalan Kasyf (pengetahuan intuitif)
dan Dzauq (intuisi) serta intuisi ketuhanan yang melintas batas pengetahuan
inderawi dan nalar logika. Dan semua itu tidak akan terjadi melainkan pasca as
Sahaq (lenyap dan lebur) secara dzat. Adapun tanda-tanda Kasyf itu adalah fana'
(sirna)nya diri seorang hamba dengan penampakkan Rabb-nya kemudian fana' kedua
kalinya dengan hadirnya sirr (rahasia) Rububiyah (ketuhanan), kemudian fana'
ketiga kalinya dari keterkaitan sifat-sifat-Nya dengan hakekat inti (dzat)-Nya.
Jika seseorang telah berhasil menggapai tingkat spiritual (Maqom) ini, maka
inti sifat kemanusiaan dirinya lenyap (sirna), ia dapat melihat inti
(dzat)-Nya. Pada tahap ini ke-Dia-an Dia termanifestasikan dalam ke-aku-an anda
yang terlanskapkan dalam ilmu, kodrat, pendengaran, penglihatan, keagungan,
keperkasaan, kediqdayaan, dan manifestasi-manifestasi ketuhanan lainnya.
Penampakan subtansi ke-Dia-an Dia bergantung dari daya persepsi anda dalam
mensirnakan inti (dzat) diri anda dalam membangun kebersamaan dan kedekatan
(Qurb) bersama-Nya, dan itu ada pada kekuatan hasrat anda, cita-cita anda,
serta kadar pengetahuan anda. Terkait dengan ini anda bisa saja berkata : Inti
(dzat)-Nya tidak bisa dilihat dengan I'tibar ia merupakan inti segala sifat,
tataran pemaknaan ini berdasarkan firman al Haq :
Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata. (Q.s. al An'aam 6 : 103)
karena penglihatan merupakan sifat, barang siapa yang tidak bisa melihat
sifat, ia tidak akan pernah bisa melihat dzat. Jika anda berkata : Inti
(dzat)-Nya bisa dilihat, maka hal itu dengan I'tibar seperti apa yang telah
kami paparkan diatas, masalah ini banyak disepelekan banyak orang, bahkan
sering dinafikan para Saalik (peniti jalan Allah) terlebih ahli ketuhanan tidak
ada satupun dari mereka yang menyoal dan memberi perhatian khusus tentang
masalah ini sebelum saya (al Jailiy). Maka jernihkan pikiran dan hati anda,
tafakkuri dengan penuh seksama, sisihkan waktu secara khusus untuk merenungkan
masalah ini, agar anda bisa memukasyafahi tajalli-Nya secara hakiki, serta
dapat merasakan Dzauq (intuisi) kenikmatan sifat diri dengan sifat-sifat al
Haq, jika makrifah anda itu terus berkembang, anda akan mengetahui Kaifiyah
(prosesi) pensifatan dengan sifat-sifat-Nya, yang dengan itu anda akan memakrifahi
sifat-sifatNya secara hakiki. Pada tingkat makrifah hakiki inilah sesuatu yang
tak berujung dapat diketahui akhirannya. Pahami betul masalah ini, sebab
masalah ini tidak akan pernah bisa difahami selain insan-insan yang telah
dipersiapkan al Haq mampu mewadahi kesempurnaan. Mereka itulah al Muqqorrobuun
(insan-insan yang terdekat) dengan Sang Maha Perkasa dan Maha Mulia, dan hanya
sedikit sekali insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya bisa Wushul (sampai) ke
tingkat spiritual tersebut.
Ketahuilah, bahwasanya isim-Nya al Rahmaan dalam artian bahasa, menunjukkan
kekuatan sifat-Nya pada sesuatu yang disifati, dan penampakkan Nya pada sesuatu
tersebut. Karenanya liputan rahmat-Nya mencakup segala sesuatu, hingga para
penghuni neraka-pun tidak luput dari cakupan rahmat-Nya. Ketahuilah nama-Nya
(al Rahman) ini, terkandung dibawahnya segenap nama-nama ketuhanan yang
berdimensikan Diri Nya, termasuk tujuh sifat Diri Nya yang utama yaitu : al
Hayah (hidup), al Ilm (Tahu atau berpengetahuan), al Qudrah (berkuasa),
al Iradah (berkemauan), al Sam'u (mendengar), alBashar (melihat),
alKalaam (berbicara) huruf Alif yang ada pada tujuh sifat itu sejatinya
bermakna al Hayah (MahaHidup). Tidakkah anda lihat rahasia hidup al Haq
dalam setiap Maujudaat (segala wujud), semua yang wujud tegak hidup dengan
hidup-Nya, demikian pula dengan huruf Alif, ia menghidupkan segala huruf, tidak
ada satu hurufpun yang terlepas dari huruf Alif, dimana ada huruf disitu ada
huruf Alif, baik berupa lafadz maupun tulisan. Huruf Baa' ibarat Alif yang
terhamparkan, huruf Jiim ibarat Alif yang dilengkungkan dua ujungnya, demikian
pula dengan huruf-huruf yang lain. Terkait dengan etos ke-rahman-an ini, maka
esensi huruf Alif ibarat penampakkan kehidupan Rahmaniyah (ketuhanan) yang
terlanskapkan dalam segala wujud. Huruf Laam, ibarat penampakkan al Ilm (ilmu
pengetahuan)-Nya, ilmu yang dimaksud pada pengibaratan ini adalah kesejatian
ilmuNya, sedangkan tempat untuk memakrifahi ilmu tersebut adalah segala wujud
ciptaan-Nya. Huruf Raa' ibarat penampakkan Qudrah (Kuasa)-Nya yang
termanifestasikan dalam semesta alam dan isinya alam, dari al Adam (ketiadaan)
menjadi Maujud (ada), yang dengan itu bisa dilihat sesuatu yang tidak tampak,
dan bisa ditemukan sesuatu yang tidak ada. Huruf Ha' ibarat penampakkan al Iradah
(kehendak)-Nya, adapun tempatnya Ghaib al Ghaib (super misteri), kehendak
ketuhanan yang sangat misteri dalam diri al Haq tidak akan bisa diketahui, dan
tidak akan pernah bisa dilihat. Segala apa yang Dia kehendaki Allah, maka
kehendakNya adalah sebuah keniscayaan, dengan demikian al Iradah merupakan
kegaiban murni. Huruf Miim, ibarat penampakkan as Sam'u (mendengar)-Nya seperti
halnya anda tidak bisa mendengar suatu percakapan dari seseorang, jika orang
itu tidak menggerakkan lisannya untuk berbicara? Demikian pula anda tidak akan
bisa menyimak pesan-pesan ketuhanan, jika anda tidak mampu bermukasyafah, dan
menggapai intuisi ketuhanan, karena manifestasi Sam'u Nya tertampakkan baik
melalui al Qoul (perkataan), al Lafdz (rentahan huruf), atau khaal (kondisi
spiritual). Lingkaran pada permukaan huruf Mim mengisyaratkan, tempat mendengar
kalam-Nya, dengan demikian huruf Mim ibarat tempat mendengar Kalaam
(ujaran-ujaran) segala yang wujud baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik
yang terucapkan maupun yang tidak terucapkan. Adapun huruf Alif yang ada
diantara huruf Miim dan Nun, ibarat penampakkan al Bashar (melihat)-Nya, ia
juga merupakan isyarat bahwasanya al Haq tidak melihat, melainkan dengan inti
(dzat)-Nya. Huruf Alif itu dihilangkan dalam tulisan, namun terungkapkan dalam
pengucapan lafadz, dihilangkannya (huruf Alif) merupakan isyarat, bahwasanya al
Haq, tidak bisa dilihat oleh makhluk-Nya melainkan dengan Diri Nya, dan orang
seorang tidak akan pernah bisa melihat kesejatian Diri Nya dengan sesuatu
selain Diri Nya. Adapun penetapannya dalam lafadz, isyarat pembedaan (titik
pilah) al Haq diantara inti (dzat)-Nya dengan makhluk-Nya, terlebih pensucian
dan peninggian al Haq dan sifat-sifat kemahlukkan makhluk-Nya, karena mereka
(para makhluk-Nya) diliputi sifat kerendahan, kehinaan dan kekurangan, sedang
al Haq Maha Suci dan Maha Sempurna. Huruf Nun, ibarat penampakkan Kalaam
(berbicara)-Nya, pararel dengan firman-Nya: Nun,
demi Qalaam dan apa yang mereka
tulis. (Q.s.
al Qalam 68 : 1),
Nun dalam ayat tersebut, merukapan Kinayah (metafora) daripada Lauh al
Mahfudz, yang sejatinya adalah Kitabullah (kitab Allah) halmana kandungan
isinya seperti yang diwartakan al Haq,
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di
dalam al Kitab. (Q.s al An'aam 6 : 38)
maka jelas sekali bahwa hakekat kitab Nya adalah Kalaam Nya.
Ketahuilah, bahwasanya huruf Nun ibarat lukisan citra segala makhluk-Nya
dengan segala ihwal (keadaan)nya dan sifat-sifatnya yang terlanskapkan dalam
kesatuan dari yang banyak, lukisan tersebut ibarat kalimat Allah yang
bermaknakan (Kun)-Jadilah, maka jadilah, sejalan dengan al Qolam (pena) dalam
al Lauh, yang merupakan wajah penampakkan kalimat presensi (al Hadrah). Semua
yang keluar dari lafadz (KUN) ia berada dalam lingkup Lauh al Mahfudz, atas dasar
inilah kami memaklumatkan bahwasanya huruf Nun merupakan penampakkan
Kalamullah. Ketahuilah, bahwasanya nuqta (titik) yang berada diatas huruf Nun
merupakan isyarat inti (dzat)-Nya, yang tertampakkan pada segenap citra
makhluk-Nya. Awal manifestasi ketuhanan pada segenap makhluk-Nya adalah inti
(dzat)-Nya, kemudian tampaklah makhluk tersebut, karena Nun inti (dzat)-Nya
lebih tinggi dan lebih tampak dibandingkan Nun makhluk-Nya, rasululullah saw
bersabda :
Shadaqah adalah sesuatu yang kali
pertama berada di telapak tangan ar Rahman (Maha Pemurah), kemudian berada di
telapak tangan insan peminta.
Hal senada juga ditegaskan sufie agung, Shadiq al Akbar ra :
Aku tidak melihat sesuatupun,
melainkan aku melihat Allah sebelumnya.
Jika anda mengetahui bahwa nuqta (titik) dalam huruf Nun merupakan isyarat
inti (dzat)-Nya, maka ketahuilah bahwa lingkaran huruf Nun merupakan isyarat
segenap makhluk-Nya. Kami telah paparkan masalah ini dengan detil pada karya
kami al Kahfi wa al Raqiim, fi Syarhi Bismillahir Rahmanirrahim, jika
anda ingin mengkaji lebih dalam lagi silakan menela'ah kitab tersebut, jika
kita perpanjang membahas rahasia-rahasia huruf isim ini, berikut
pengejawantahan huruf-hurufnya, niscaya akan terhamparkan misteri-misteri yang
berserak di jagad ini, berikut akan tertampakkan kejaiban-keajaiban yang
mengkoyak pemahaman anda. Kami sengaja menyudahi paparan ini hingga disini,
agar tidak membuat anda bersikap manja dalam menyibak misteri ketuhanan. Allah
adalah Dzat Maha Penolong, kepada-Nya semua harapan dimuarakan.
Sudah Edit 4. Uluhiyah (Ketuhanan)
Ketahuilah, bahwasanya segala hakekat wujud dan pemeliharaannya dalam
martabat (kedudukan) wujud, dinamakan al Uluhiyah (ketuhanan). Yang dimaksud
dengan hakekat wujud disini adalah, hukum-hukum lahir yang tertampakkan pada
makhluk dan al Haq. Maka universalitas kedudukan Ilahiyah (ketuhanan), dan
strata segenap wujud, berikut pemberian setiap hak dari masing-masing martabat
(kedudukan) wujud, itulah sejatinya makna Uluhiyah (ketuhanan). Allah adalah
isim (nama) untuk Rabb (pengatur) kedudukan-kedudukan tersebut, tidak ada dzat
Yang Maha Pengatur kedudukan-kedudukan itu, melainkan dzat Yang Wajib al Wujud
(wujud yang mesti ada dengan sendirinya) dan Maha Oudus (suci). Maka
penampakkan tertinggi inti (dzat)-Nya adalah penampakkan Uluhiyah (ketuhanan),
karena meliputi segala sesuatu, serta mencakup segala manifestasi yang lahir
dari dimensi sifat-sifat dan nama-nama-Nya. Uluhiyah laksana Umm al Kitab
(induk kitab), al Qur'an laksana al Ahadiyah (ke-Esa-an), al Furqon laksana al
Wahidiyah (ke-Tunggal-an) al Kitab al Majid (kitab yang mulia) laksana
Rahmaniyah (kepemurahan). Kesemua itu merupakan sebuah pengibaratan, jika
tidak, maka induk kitab akan dijadikan pijakan I'tibar pertama setiap pelaku
hakekat, untuk mengidentifikasi inti (dzat)-Nya. Jikalau demikian adanya, maka
al Qur'an ibarat dzat, sedang al Furqon ibarat sifat sifat, al Kitab ibarat wujud mutlak. Kami
akan kupas masalah ini secara detil pada pasal (al Kitab) pada bab yang akan
datang.
Jika anda bisa memahami istilah dan dapat memakrifahi hakekat apa yang kami
paparkan, anda akan bisa memahami
subtansi kajian ini, yakni tidak ada dualisme pengertian, karena pengibaratan
tersebut sejatinya bermuara pada satu makna. Bila anda telisik lebih dalam
lagi, anda akan mengetahui bahwasanya Ahadiyah (ke-Esa-an) merupakan nama
tertinggi dibawah naungan kediqdayaan dan keagungan serta pemeliharaan
ketuhanan. Wahidiyah (ke-Tunggal-an) merupakan awal penurunan al Haq dari
ke-Esa-an, sedang tingkatan tertinggi yang mencakup ke-Tunggal-an adalah
tingkatan Rahmaniyah (kepemurahan), dan penampakkan tertinggi Rahmaniyah adalah
Rububiyah. Adapun penampakkan tertinggi Rububiyah adalah isim-Nya al Mulk, maka
Mulukiyah dibawah Rububiyah, dan Rububiyah dibawah Rahmaniyah, dan Rahmaniyah
dibawah Wahidiyah, dan Wahidiyah dibawah Ahadiyah, berikut Ahadiyah dibawah
Uluhiyah. Sebab sejatinya Uluhiyah adalah pemberian hak-hak segala yang wujud
dan yang tidak wujud, meliputi segala sesuatu secara utuh dan bersifat
universal. Sedangkan Ahadiyah merupakan inti dari hakekat-hakekat wujud yang
bersifat parsial, dengan demikian Uluhiyah lebih tinggi katimbang Ahadiyah, dan
dapat diketahui bahwa nama Allah merupakan nama tertinggi, lebih tinggi
dibandingkan nama al Ahad, nama Esa merupakan penampakkan khusus daripada inti
(dzat)-Nya, sedang Uluhiyah merupakan penampakkan universal inti (dzat)-Nya,
berikut sifat-sifat serta nama-nama-Nya. Dalam laku suluk, terkadang para ahli
hakekat banyak yang terhijabkan dari tajalli Ahadiyah, namun jarang yang
terhalang dari Uluhiyah. Ahadiyah merupakan dzat murni, tidak tertampakkan
sifat-Nya pada makhluk-Nya, tidak diperkenankan penisbatannya (Ahadiyah) kepada
makhluk-Nya dalam segala hal, pun dalam bentuk pewajahan apapun. Ahadiyah hanya
untuk dzat al Qodim (adanya tidak didahului oleh sesuatu), yang berdiri sendiri
bersama inti (dzat)-Nya, tidak ada kalaam (ujaran-ujaran) dalam dzat yang Wajib
al Wujud, karena tidak sesuatupun yang disembunyikan dari Diri Nya. Jika kamu
manifestasi Dia, maka kamu bukan kamu, akan tetapi Dia adalah Dia, jika Dia
manifestasi kamu, Dia bukan Dia, akan tetapi kamu adalah kamu, orang seorang
yang telah wushul (sampai) pada tingkatan tajalli ini, maka ia telah menggapai
tajalli Ahadiyah (ke-Esa-an), karena hakekat tajalli ke-Esa-an, tidak tereduksi
didalamnya penyebutan kamu dan tidak pula terduksi dengan penyebutan Dia.
Pahami betul masalah ini.!
Ketahuilah, bahwasanya Wujud (ada) dan Adam (ketiadaan), satu sama lain
saling berhadapan dan berlawanan, falak Uluhiyah meliputi keduanya, karena
Uluhiyah mengumpulkan dua sifat yang kontradektif, seperti Qodiim (sesuatu yang
adanya tidak didahului oleh sesuatu) dan Huduts (adanya karena diciptakan), al
Haq dan Mahluk, Wujud (ada) dan 'Adam (ketiadaan). Dalam lanskap Uluhiyah, hal
yang mustahil bisa menjadi wajib, pun sebaliknya hal yang wajib menjadi
mustahil. Begitu pula dalam dimensi Uluhiyah ini, al Haq memanifestasikan Diri
Nya dalam citra makhluk-Nya, seperti sabda rasul-Nya : Aku melihat Rabb-ku
dalam citra pemuda yang tampan. Pun makhluk termanifestasikan dalam citra
al Haq, seperti sabda rasul saw : Adam diciptakan dalam citraNya. Realita
yang kontradiktif tersebut menghamparkan jalan bagi para pelaku hakekat untuk
memakrifahi hakekat segala sesuatu baik yang berdimensikan ketuhanan maupun
kemakhlukan. Sebab hakekat ketuhanan tidak akan pernah selesai ditafsiri oleh
manusia sepanjang masa, itulah esensi wajah kebesaran al Haq. Maka penampakkan
al Haq dalam dimensi ketuhanan adalah manifestasi kesempurnaan-Nya, dan
Uluhiyah merupakan martabat yang paling sempurna dan tertinggi, serta merupakan
manifestasi terbaik dus tajalli utama untuk menunjukkan inti (dzat)-Nya berikut
nilai-nilai Uluhiyah (ketuhanan) Diri Nya.
Adapun penampakkan makhluk dalam lanskap Uluhiyah, dengan segala wacana dan
ragamnya, termasuk wilayah 'Mumkinaat' (sesuatu yang mungkin), demikian pula
dengan wujud dan ketiadaannya. Sedangkan penampakkan wujud dalam Uluhiyah
adalah juga mungkin terjelma dengan sempurna, terutama penampakkan kebersamaan
antara al Haq dengan makhluk-Nya, demikian halnya dengan keterpisahan diantara
keduanya. Begitu pula dengan penampakan al 'Adam (ketiadaan) dalam Uluhiyah,
dengan segala wacana dan ragam batiniyah-nya, berikut ketiadaan dalam fana'
(kesirnaan) yang terjelma secara sempurna adalah juga merupakan wilayah
'Mumkinaat'. Kesemua itu tidak bisa dicapai dengan nalar logika (jalan akal),
dan tidak bisa digapai dengan optimalisasi pemikiran, namun hanya bisa digapai
dengan Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan), yaitu pengetahuan yang bersifat
Dzauq al Mahadz (intuisi murni), dan tajalli universal ini sering disebut
dengan tajalli ketuhanan. Tingkat spiritual ini juga merupakan oase kerinduan para pelaku
hakekat untuk mereguk hakekat kesempurnaan-Nya. Berpangkal dari rahasia
ketuhanan itulah rasul saw bersabda :
Aku adalah insan yang paling
mengerti akan Allah, dan aku adalah insan yang paling takut kepada-Nya.
Rasul Muhammad saw tidak takut kepada Rabb (Maha Pengatur), tidak pula
takut kepada al Rahman (Maha Pemurah), akan tetapi beliau takut kepada Allah,
yang sedemikian itu seperti yang diisyaratkan rasul saw dalam sabda beliau : aku
tidak tahu apa yang hendak Dia lakukan (perbuat) kepada diriku dan pada diri
kalian, padahal rasul saw adalah insan yang paling paham (mengerti) akan
esensi Maujudaat (segala wujud) dengan al Haq, dan apa-apa yang tertampakkan
dari rahasia ketuhanan pada segala wujud. Rasul saw hendak memaklumatkan,
seraya berkata : aku tidak tahu pencitraan seperti apakah manifestasi ketuhanan
yang akan ditampakkan-Nya, Dia tidak akan bertajalli melainkan sejalan dengan
hukum-hukum kehidupan, dan hukum ketuhanan-Nya tidak terbantahkan. Dia melihat
tapi tidak terlihat, Dia seakan tidak tahu, tapi sebenarnya tahu, dan tajalli
ketuhanan adalah tidak ada batas dan ragamnya tidak terkirakan. Tajalli-Nya tidak
bisa dirinci terlebih dipersempit dengan beberapa sisi (wajah), sebab adalah
mustahil bagi al Haq memiliki batas akhir. Dia tidak berakhiran, tidak ada
jalan untuk mempersepsi sesuatu yang tidak berakhiran. Dia bertajalli dengan
wajah universal dan global serta kesempurnaan. Masing-masing pelaku hakekat
dapat mempersepsi kesempurnaan tersebut, sejalan dengan tingkat spiritual yang
telah diraihnya, terlebih sejalan dengan kedekatan dirinya kepada dzat Yang
Maha Besar dan Maha Tinggi.
Nilai-nilai Uluhiyah (ketuhanan) itu dapat disaksikan bekas-bekasnya, namun
inti (dzat) ketuhanan-Nya tidak bisa disaksikan, hukum-hukum ketuhanan bisa
diketahui dengan jelas namun tidak bisa diraba bentuknya, inti (dzat) bisa
dilihat dengan intuisi, namun Kaifiyah (seperti apa cara)-nya sangatlah
misteri, ia bisa disaksikan dengan intuisi namun daya persepsi tidak akan
pernah mampu memberi penjelasan tentangnya. Semantis logikanya, sama seperti
ketika anda melihat sosok anak manusia, lalu anda mengetahui sosok itu dilabeli
ragam sifat yang menjadi karekteristik dirinya, semua karakteristik sifat yang
dilabelkan kepada orang itu hanya bisa anda ketahui dengan dan dari kerangka
ilm (pengetahuan) dan keyakinan, sedang anda tidak bisa melihat inti (dzat)
karekteristik yang disifatkan kepada orang tersebut. Anda mungkin hanya bisa
melihat inti karekteristiknya dalam bentuk global saja, sedang untuk merincinya
anda tidak mungkin bisa, begitu pula anda tidak akan bisa melihat esensi
karakter orang itu, melainkan dari bekas-bekasnya belaka. Demikianlah jelas
sekali kenyataan yang anda hadapi, anda hanya bisa melihat inti sifat anak
manusia secara global, anda tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui segala
sifat yang ada pada diri anak manusia itu, dari seribu sifat yang dimiliki orang
tersebut, anda mungkin hanya mampu mengetahui puluhan saja, inti sifat-nya
dapat anda ketahui, sedang multi sifat-sifatnya tidak dapat anda jangkau secara
utuh, dan anda hanya bisa mengetahui eksistensi manusia itu melalui atsar
(bekas) sifat-sifat dilabelkan kepadanya. Seperti inilah hendaknya anda
bersemantis logika untuk memakrifahi inti (dzat)-Nya dan sifat-sifat
ketuhanan-Nya.
Inti (dzat)-Nya bisa dimakrifahi dengan Kasyf (pengetahuan intuitif),
adapun sifat-sifat-Nya tidak terbilang jumlahnya, anda tidak memiliki kapasitas
(kemampuan) untuk menyibak ragam sifat-Nya, karena jumlahnya tidak terbatas.
Anda hanya bisa menyaksikan sifat-sifat-Nya dari atsar (bekas) dan jejak serta
pengaruh-Nya belaka. Adapun sifat yang terkait Diri Nya, ia sama sekali tidak
bisa dilihat dan mustahil bisa dilihat. Mari bersemantis logika, ambilah satu
contoh, anda tidak akan bisa mengetahui hakekat keberanian dalam pertempuran,
melainkan dengan sikap patriotisme pertarungan di medan laga. Sikap patriotik
itu merupakan atsar (pengaruh) keberanian, bukan keberanian itu sendiri,
bukankah anda menilai kemuliaan seseorang dari 'laku' kemuliaan-nya? semisal ia
sangat dermawan, pemberian yang memberi arti bagi yang lain itulah sejatinya
wajah kemuliaan, bukan kemuliaan itu sendiri. Karena sifat merupakan inti
(dzat) sesuatu yang disifati, ia tertampakkan dengan sesuatu yang disifatinya,
inti sifatnya tidak tampak yang tampak adalah bekas, pengaruh daripada sifat
itu sendiri. Dan inti sifat itu tidak boleh dipisahkan dengan al Maushuf
(sesuatu yang disifati). Pahami betul masalah ini, agar anda tidak terjebak
pada pemaknaan simbolistik.
Uluhiyah memiliki rahasia, yaitu : setiap person (partikel) wujud yang
diberi nama, baik yang bersifat Qodiim (eternitas) maupun Huduts (kebaruan), Ma'dum
(tidak ada) dan Maujud (ada), jika wushul (sampai) kepada-Nya, akan fana'
(sirna) dihadapan hadiratNya. Semua inti (dzat) kemakhlukan akan lenyap
dihadapan inti (dzat)-Nya, dalam ekstase mistis (Sakr) seperti itu segala wujud
berada dalam naungan perlindungan Uluhiyah (ketuhanan).
Perumpamaan Maujudaat (segala wujud) itu laksana cermin yang
berhadap-hadapan, masing-masing terlihat dihadapan cermin tersebut, seperti
anda tatkalah berdiri dihadapan cermin, anda akan melihat 'gambar' anda secara
utuh, dzauq (intusi) andapun merasakan al Wujdaan, bahwa anda merasa menyatu
dengan 'gambar' anda dicermin tersebut, anda juga merasa gambar dicermin itu
adalah diri anda yang sesungguhnya, perasaan anda yang teralihkan ke gambar
anda dalam cermin yang seakan gambar itu (anda rasakan) sebagai diri anda
sendiri itulah oleh para pelaku hakekat disebut, al Mahwu (terhapus), yakni
hapusnya sifat diri lenyap bersama sifat al Haq. Itulah gambaran sederhana
memaknai etos kesirnaan (Fana'), kelenyapan (Halak) dan keterhapusan (Mahwu)
diri dihadapan al Haq. Dengan menganalogikan gambar diri dalam cermin, berikut
korelasinya dengan cermin ketuhanan ini, citra diri anda dihadapan al Haq tidak
akan dilebihkan dan dikurangi, semua itu bergantung diri anda dalam menemukan
kesejatian citra diri (anda) dihadapan al Haq, pun kemampuan diri anda dalam
menangkap manifestasi ketuhanan-Nya pada diri anda. Dan cermin ketuhanan itu
sejatinya banyak sekali, anda bisa bercermin dengan kejadian alam, perilaku
manusia, latar kesejarahan bahkan dalam diri sendiri anda sendiri sebenarnya
I'tibar ketuhanan itu sangatlah banyak. Citra ketuhanan yang ada pada segala
wujud itu merupakan cerminan nyata, yang dengan cermin itu anda tidak akan
terjerembab ke dalam pemaknaan Hului (bertempat) dan Ittihad (menyatu secara
dzat), terlebih tindak kesyirikan. Dengan pemahaman seperti itu, semoga
sayap-sayap ritual anda bisa terbang menuju sangkar Ahadiyah (ke-Esa-an) Diri
Nya, dan anda bisa memukasyafahi inti (dzat)-Nya melalui sifat-sifat Diri Nya,
andapun bisa meraih manisnya isi (buah) makrifah dan membuang kulit-kulit
ritual simbolistik. Semoga anda termasuk insan-insan yang tidak terbutakan dari
wajah-Nya serta terbebas dari hijab.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q_.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair
al-Jily
Aku
dengar berita tentang ihwal penduduk kampung ini
Informasi
yang menyedihkan berlumur sekam api dan air
Sebuah
berita ketuhanan yang hanya turun di malam hari
Terlanskapkan
dalam kejadian-kejadian di siang bolong.
Ada sisi
kelam kehidupan yang berubah menjadi jernih.
Ada
kehidupan jernih berubah luntur berubah hipokrit
Pranata
luhur kehidupan, telah terkikis dari hidup kami
Kami
rapuh, meluruskan kemungkaran dihadapan kami
Catatan
kebaikan hanya tersimpan di relung Qalbu kami
Kami
hanya mampu mengaktualisasikannya setengah hati
Tatkala
Qalbu menguraikan ayat-ayat cinta untuk kami
Rahasia
batin kami mewadahinya dengan gelora membara
Dari
balik tirai kelambu tersingkap jelas keindahanNya.
Membuat
hati mereka yang memandangNya terpesona
Sebuah
keindahan yang tidak bisa diurai dengan kata-kata
Membawa
para pelihatnya kepada ekstase ketuhanan hakiki
Makala
hati kalian membunca dalam semaian ketuhanan
Kalian
akan sadar, bahwa kalian sungguh butuh kepadaNya
Segenap
realitas wujud selain DiriKu di alam ini akan sirna
Zat
segala wujud yang tampak adalah DiriKu, apapun wujudnya
Aku
laksana baju, yang berubah-rubah warna saban hari
Kadang
putih, kadang merah, terserah DiriKu memilih warna
Adalah
mustahil keEsaan inti zat DiriKu terbagi-bagi
Dan
adalah mustahil DiriKu menyerupai mahluk ciptaanKu
Semua
realitas wujud yang tertangkap oleh inderamu
Adalah
realita hikiki wujud DiriKu yang bisa kau tangkap
KalamKu
meliputi maknah batin disamping makna lahir
Insan
yang terhijab tidak akan mengerti makna batin KalamKu
Jika kau
tanggalkan pakaian DiriKu, aku tetaplah pakaian
Sebagaimana
wujud DiriKu semula, Yang Awal dan Yang Ahir
Nama Ku
meliputi segala wujud
Kebaikan
lahir batin Inti zat DiriKu menyinarkan segala citra kemuliaan abadi
Nilai-nilai
ketuhananKu berbasiskan inti Zat DiriKu
Cabang
ketuhananKu membunca di setiap realitas wujud
Jangan
terbuai oleh keapikan semantis logika para pemikir
KalamKu
jelas, padat maknah dan luas arti, bagi yang mau berpikir
Kau bisa
melihat tanda-tanda Kuasa dan keAgunganKu
Kau
tidak kuasa melihat zat DiriKu dengan nalar logikamu
Itulah
Sunnah (hukum) kehidupan yang Aku tetapkan,
Sungguh
beruntung hamba yang Aku Lihat, dan Ku perlihatkan.
Hatiku
keras jika terlalu dekat kalian
Hatiku
damai, jika jauh dari pelik kalian
Cinta
diri kalian adalah hayal utopis
Kadang
datang dan gampang berlalu
Kalian
bukan segala-galanya bagiku
Tempat
pelarianku hanyalah DiriNya.
Ku
singkirkan nafsu, maka aku tenang
Apa yang
ada pada kalian, aku acuhkan
Kau
tinggal aku, dan temukan diriku
Tanpa
bunda, kemudian tanpa bapak
Ku
temukan segala sesuatu sebelumku
Dan
sesudahku, tanpa rasa canggung
Aku
sirnakan kisi kemanusiaan diriku.
Fana'
bersama wajah kedekatan DiriNya
Kini
Akulah Sang Qudus itu
KeQudusan
yang menyingkap misteri
Akulah
zat Yang Tunggal itu
Kesempurnaan
melahirkan ketakjuban
Akulah
poros rotasi ruhiyah itu
Akulah
puncak keluharan yang didamba
Akulah
sentra segala keajaib. ci itu Keajaiban yang melahirkan keterpesonaan
Akulah
bintang segala kebaikan itu KebaikanKu menyinari jagad timur dan barat
TempatKu
diatas segala keluhuran
KeluluhuranKu
tak tertandingi oleh sesuatu
Dalam
setiap cermin ada gambarKu
Tampak
jelas, tapi jarang yang bisa melihat
RahasiaKu
meliputi semua dimensi
Maka
jangan berpaling sekalipun dari DiriKu
Aku
adalah Pencipta yang lahir dan batin
Zat Ku
adalah kebenaran absolut.
Jangan
heran! Allah hanya dikenal manusia yang luhur
yang
tiada pernah membohongi mata Qalbunya.
EksistensiNya
tetap wujud, seperti sediakala
Tiada
perubahan atas zat Yang Kekal Abadi.
Segenap
keluhuran bermuara kepadaNya.
Pemberi
kasih ampunan kepada para pegiat dosa.
Sudah Edit 5. Ahadiyah (ke-Esaa-an)
Ahadiyah (ke-Esa-an), Ibarat tempat (sentra) manifestasi inti (dzat)-Nya,
yang bukan dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tidak tampak bekas-bekas
dus pengaruh-pengaruh nama dan sifat tersebut. Ahadiyah adalah isim (nama)
untuk menunjukkan kemurnian inti (dzat)-Nya, yang terlepas dari segala pelik
itibar ketuhanan dan kemakhlukan. Manifestasi ke-Esa-an al Haq di alam dan
isinya alam ini, terlebih dalam diri anda tidak akan tertajallikan dengan
sempurna, selama anda tenggelam dalam ke-aku-an diri anda, berikut anda
melalaikan I'tibar kemanusiaan anda, lebih-lebih jika sifat dan karekteristik
kemanusiaan anda mendominasi diri anda. Wajah kehidupan seperti itu akan
menjadikan anda tercerabut dari nilai-nilai ketuhanan dan anda sama sekali
tidak akan pernah bisa memakrifahi ke-Esa-an Diri Nya. Maka jadilah kamu dalam
diri kamu dalam kesejatian dirimu, jangan nisbatkan dirimu kepada pelik kemanusiaanmu
dan sifat-sifat kemakhlukan lainnya. Jika kau mampu mensucikan dirimu dari
pelik dan sifat-sifat kemakhlukan, sifat-sifat Uluhiyah (ketuhanan) akan
melanskapi dirimu, dan sifat-sifat ketuhanan (Dia) akan disematkan kepadamu,
kaupun menjadi sentra (tempat) citra ketuhanan-Nya dalam wujud sifat-sifat
ketuhanan yang dimanifestasikan dalam dirimu. Haal (kondisi spiritual) seperti
itu merupakan penampakkan ke-Esa-an par excelent di alam dan isinya alam ini,
dan manusia seperti itu juga merupakan manusia utama dalam kehidupan ini. Pahami betul masalah
ini. Ahadiyah merupakan awal Tanazulat (penurunan) inti (dzat)-Nya, dari
kegelapan kabut, menuju cahaya manifestasi, sedangkan manifestasi al Haq
tertinggi adalah manifestasi ke-Esa-an Nya, hal mana dalam tajalli ini
diwartakan batas pilah yang jelas, bahwasanya al Haq dalam tajalli ke-Esa-an
ini benar-benar terjernihkan dari sifat-sifat, nama-nama, isyarat-isyarat,
metafor-metafor, Ftibar-tibar dus atribut segala wujud. Esensinya tajalli
ke-Esa-an terlepas dari segala sesuatu selain inti (dzat)-Nya, namun kesemua
itu berdasarkan hukum batiniyah, bukan hukum lahiriyah. Hakekat ke-Esa-an dalam
lanskap pandangan kaum awam (insan muslim kebanyakan) adalah ke-Esa-an dari
yang banyak, atau inti segala sesuatu yang beraneka ragam. Semantis logika
Ahadiyah ini laksana orang yang melihat tembok dari kejauhan, dimana tembok itu
dibangun dari bahan (material) pasir, semen, batu bata dan material lainnya,
akan tetapi ia tidak melihat bahan-bahan (material) tersebut yang ia lihat
hanya tembok. Maka Ahadiyah tembok itu berasal dari pasir, semen, batu bata dan
bahan material lainnya, bukan berasal dari nama bahan-bahan material yang ada,
bahkan Ahadiyah tembok itu merupakan nama untuk struktur (konfigurasi)
bahan-bahan bangunan yang menjadikan tembok tersebut maujud (ada).
Demikian halnya dengan diri anda, jika anda fokus dalam penyaksian diri,
dan anda hanyut dalam ke-aku-an diri anda, yang dengan ke-aku-an itu anda
menjadi 'kamu' dalam kesejatian 'kamu' maka anda tidak menyaksikan sesuatu,
melainkan ke-dia-an anda. Pada fase ini, tidak ada suatu penampakkan yang
tersaksikan oleh anda, selain hakekat diri anda yang dinisbatkan kepada diri
anda, karena anda adalah kumpulan daripada inti hakekat-hakekat tersebut,
itulah sejatinya Ahadiyah (ke-esa-an) anda, ia merupakan isim (nama) untuk
tempat inti (dzat) diri anda, dengan I'tibar ke-dia-an anda, bukan I'tibar
bahwa anda kumpulan hakekat-hakekat yang dinisbatkan kepada anda. Sebab jika
anda merupakan bagian dari hakekat-hakekat yang dinisbatkan kepada anda, maka
diri anda juga termasuk tempat tajalli ke-esa-an, padahal Ahadiyah anda itu
merupakan isim (nama) untuk inti (dzat) anda, dan bukan wajah keterpencaran
hakekat-hakekat itu sendiri. Realitas I'tibar -terjernihkan dari metafora,
isyarat, paradoks- pelik kemakhlukan tersebut, dalam dimensi Uluhiyah
(ketuhanan) diibaratkan dengan kemurnian inti (dzat)-Nya, yang terlepas dari
pelik nama-nama, sifat-sifat dan pengaruh-pengaruhnya, pun segala pelik itibar
ketuhanan dan kemakhlukan.
Ahadiyah merupakan tempat tajalli tertinggi, karena setiap manifestasi
sesudahnya harus terikat dengan Uluhiyah (ketuhanan). Tajalli Ahadiyah bersifat
universal dan tidak terikat kekhususan, Ahadiyah merupakan awal penampakkan
inti (dzat)-Nya, sifat Ahadiyah (ke-Esa-an) tidak diperbolehkan untuk menyifati
makhluk, karena ke-Esa-an merupakan kemurnian inti (dzat)-Nya yang tidak
terkait dengan pelik ketuhanan dan kemakhlukan, sifat Ahadiyah juga tidak
diperbolehkan untuk mensifati perbuatan dan pekerjaan makhluk, karena hukum
ke-Esa-an sama sekali tidak berlaku bagi makhluk, ia murni untuk al Haq. Jika
anda mampu Syuhud (menyaksikan) tajalli ini dengan kesaksian hakiki, niscaya
anda akan memakrifahi kesejatian Tuhan dan Rabb anda, dan hal itu tidak harus
menyirnakan esensi kemakhlukan anda. Ahadiyah sama sekali tidak terkait dengan
Tfrakhluk, dan tidak ada nasib (bagian) sedikitpun bagi para makhluk-Nya untuk
beroleh ke-Esa-an. Ia milik Allah semata. Maka telisik diri anda, utamanya
disposisi anda yang berkaitan dengan dimensi ketuhanan dan kemakhlukan.
Posisikan diri anda pada hukum kemakhlukan, saksikan al Haq melalui hakekat
inti (dzat)-Nya dari nama-nama, sifat-sifat-Nya. Anda tiada akan pernah bisa
menyaksikan Diri Nya, sebelum anda menyaksikan diri anda, yakni pahami
kesejatian diri anda, anda akan bisa memakrifahi kesejatian Diri Nya. Rasul saw
bersabda :
Barang siapa yang mampu memakrifahi
dirinya, ia akan paham Tuhannya.
Syair-syair
al-Jilly
Inti
zatku bagi DiriMu benar-benar murni
Isim dan
sifat-sifat diriku tersucikan oleh zat Mu
Maka
persaksikan kesucian ini,
dan
ucapkan diriku berhak atas segala kebaikan yang langgeng
Minumlah
dari cawan kesucian dan kebaikan
Jangan
bilang, suatu hari aku tinggalkan cawan itu
Apa yang
memberatkan dirimu metafora ini
Telisik
kesejatian isimNya, tampak keAgungan zatNya
Kau
jadikan Tajjali Zat untuk isim-isimMu
Agar
mereka yang pongah tidak dapat menyingkapnya
Ini
adalah amanat Agung. Jadikan dirimu Pemelihara amanat ini.
Dan
jangan sebarkan rahasiaNya
Sudah Edit 6. Wahidiyah (ke-Tunggal-an)
Wahidiyah (ke-Tunggal-an), ibarat tempat tajalli inti (dzat)-Nya yang
terlanskapkan dalam sifat-sifat al Haq, karena sifat-Nya merupakan bagian
integral (elan vital) inti (dzat)-Nya, melalui penta'biran seperti ini, dapat
dipahami bahwa sifat-sifat yang termanifestasikan merupakan inti sesuatu yang
disifatinya, dan masing-masing sifat merupakan inti yang lain. Dengan ta'bir
ini semantis logikanya nama, al Muntaqim (Yang Menuntut Bela) di dalamnya
terkandung inti (dzat) Allah, dan Allah inti al Muntaqim, lebih dari itu al
Muntaqim juga inti al Mun'im (Yang Memberi Nikmat), sebab al Mun'im adalah
lawan daripada sifat al Muntaqim. Demikian pula jika tampak sifat al Wahidiyah
(ke-Tunggal-an), pada anNi'mah (kenikmatan), maka ia merupakan inti nikmat,
seperti halnya ia inti Niqmah (bencana). Karena Niqmah adalah lawan daripada
Ni'mah, ni'mah yang ibarat rahmat itu, merupakan inti niqmah (bencana) yang
diibaratkan inti adzab (siksa), sedang Niqmah yang merupakan siksa, ibarat inti
Ni'mah yang merupakan inti rahmat. Semua itu merupakan I'tibar penampakkan inti
(dzat)-Nya pada sifat-sifat-Nya dan bekas-bekas sifat-Nya, serta pada segala
sesuatu yang manifestasi Wahidiyah-Nya tertampakkan. Namun demikian tajalli
dalam dimensi ini berdasarkan I'tibar ketunggalan, bukan berdasarkan I'tibar
pemberian hak kepada masing-masing (sesuatu) yang termanifestasikan, itulah
sejatinya makna Tajalli al Dzatiy (manifestasi inti).
Ketahuilah, bahwasanya perbedaan antara Ahadiyah, Wahidiyah, Uluhiyah
adalah, Ahadiyah tidak tampak didalamnya nama-nama dan sifat-sifat-Nya, ia
ibarat kemurnian al Haq, yang tidak terkait dengan segala sesuatu selain inti
(dzat)-Nya, ia murni inti Dzat. Sedangkan Wahidiyah tampak didalamnya nama-nama
dan sifat-sifat-Nya serta pengaruh-pengaruh-Nya, akan tetapi berdasarkan hukum
inti (dzat)-Nya, bukan berdasarkan ragam kontradiktifnya, masing-masing adalah
inti yang lain. Adapun Uluhiyah tampak di dalamnya nama-nama dan
sifat-sifat-Nya berdasarkan hukum yang dimiliki masing-masing wujud, dalam
Uluhiyah ini tertampakkan bahwa al Mun'im (Yang Memberi Nikmat) lawan daripada
al Muntaqim (Yang Menuntut Bela), pun sebaliknya al Muntaqim lawan daripada al
Mun'im, demikian pula dengan sifat-sifat dan sifat-sifat al Haq lainnya.
Demikian halnya Ahadiyah juga tertampakkan dalam Uluhiyah, namun sejalan
(pararel) dengan hukum Ahadiyah. Maka Uluhiyah dengan segala manifestasi-Nya,
adalah sentra (tempat) penampakkan pemberian hak kepada masing-masing yang
berhak. Sedang Ahadiyah tempat penampakkan (Sesungguhnya Allah, tidak ada
satupun bersamaNya). Adapun Wahidiyah merupakan tempat penampakkan sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya :
Tiap-tiap sesuatu pasti binasa,
kecuali al Haq. (Q.s. al Qoshoshos 28 : 88).
Atas dasar itulah Ahadiyah lebih tinggi dibandingkan Wahidiyah, karena ia
terkait dengan kemurnian inti (dzat)-Nya, sedangkan Uluhiyah lebih tinggi
dibandingkan Ahadiyah, karena ia memberi Ahadiyah haknya. Maka hukum Uluhiyah,
sejatinya adalah pemberian hak kepada masing-masing yang berhak, Uluhiyah
merupakan nama-nama tertinggi dan sifat-sifat tertinggi, keutamaan Uluhiyah
atas Ahadiyah, seperti keutamaan Kulli (universal) atas Juz'iy (parsial),
keutamaan Ahadiyah atas tempat (sentra) Tajali Dzat, seperti keutamaan Asal
atas Cabang, sedang keutamaan Wahidiyah atas tempat Tajalliyaat, seperti
keutamaan perkumpulan atas ketercerai beraian. Telisik dan tafakkuri dengan
seksama! Dimanakah posisimu diantara makna-makna diatas, makna-makna yang mana
pula yang ada pada dirimu? Cari jawabannya dalam dirimu!
Syair-syair al-Jilly
Ketunggalan
adalah manifestasi zat DiriKu
Tempat
berkumpul ragam sifat-sifat DiriKu
Ragam
sifat-sifat Ku satu dalam ketunggalan
Sungguh
menakjubkan ragam sifat Satu Zat
Ketunggalan
mengibaratkan ragam hakekat
Dalam
Satu Zat, tanpa berbilang jumlahnya
Masing-masing
sifat satu dalam ketunggalan
Ketunggalan
dalam ragam sifat yang membunca
Furqan
adalah citra zat Allah yang terkumpul
Bilangan
sifat-safatNya seperti ragam ayat-ayatNya
Maka
bacalah, akan terbaca olehmu rahasiaNya
Kau
adalah keterangan yang jelas tentang ciptaanKu
Akan ku
panen buah itu, akan tetapi.
Aku
menanamnya agar kau petik buahnya
Tinggalkan,
argumen-argumen utopis Inilah keyakianku, jangan kau distorsikan
Reguklah
cawan ketunggalan DiriNya
Biarkan
dirimu mabuk ketunggalanNya
Menarilah
dengan gelas petunjukNya
Ikuti
ragam irama ketunggalan DiriNya
Akan
tampak olehmu kebaikan-kebaikanNya
Jangan
kau rahasiakan kebahagiaan mu itu
Biarkan
bahagiamu denganNya membunca
Bahagia
bersamaNya hanya dilihat olehNya
Setiap
biji-bijian akan terlepas dari kulitnya
Lepas
kisi kemanusiaanmu dihadapanNya
Waspadai
dirimu dari tirai penghalang.
Dan
hijab terbesarmu adalah dirimu sendiri
Sudah Edit 7
Rahmaniyah (ke-pemurah-an)
Rahmaniyah, sejatinya adalah manifestasi inti (dzat)-Nya melalui hakekat
nama-nama dan sifat-sifat, ia meliputi (mencakup) tajalli yang khusus mengenai
inti (dzat)-Nya, semisal nama-nama-Nya yang berdimensi dzat, maupun tajalli
nama dan sifat-Nya yang terkait dengan segenap makhluk-Nya, semisal al Aalim
(Maha Mengetahui), al Qoodir (Maha Berkuasa), dan as Saami' (Maha Mendengar),
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hakekat segala wujud. Rahmaniyah
merupakan isim (nama), untuk segenap martabat (kedudukan) ketuhanan, dan sama
sekali tidak terkait dengan martabat kemakhlukan, Rahmaniyah lebih khusus
dibandingkan Uluhiyah, karena ke-spesialan-nya sejalan dengan ke-khusus-an al
Haq. Uluhiyah merupakan sifat-Nya yang menghimpun hukum-hukum ketuhanan dan
kemakhlukan, karenanya Uluhiyah bersifat umum sedang Rahmaniyah bersifat
khusus. Dengan I'tibar seperti ini Rahmaniyah lebih mulia dibandingkan
Uluhiyah, karena ia ibarat penampakkan inti (dzat) dalam martabat ketinggihan,
serta at Tanzih (transendensi)-Nya dari martabat-martabat yang rendah. Tidak
ada martabat yang berdimensikan inti (dzat)-Nya dalam manifestasi yang bersifat
khusus pada martabat ketinggian selaras dengan hukum universal, kecuali martabat
Rahmaniyah ini.
Maka nisbat kedudukan Rahmaniyah kepada Uluhiyah adalah seperti nisbat gula
kepada pohon tebu. Gula merupakan sari tumbuhan tertinggi yang ada dalam pohon
tebu bahkan pada pepohonan yang lain, jika anda mengakui bahwah pohon tebu merupakan
tetumbuhan yang banyak mengandung sari gula dan merupakan bahan utama untuk
pembuatan gula, maka pohon tebu adalah pohon utama dibandingkan pohon-pohon
lain untuk menghasilkan (memproduksi) gula. Keutamaan pohon tebu dibandingkan
pepohonan lain, sama halnya dengan keutamaan Rahmaniyah dibandingan sifat-sifat
ketuhanan lainnya. Seperti itu pula nisbat Rahmaniyah kepada Uluhiyah, yakni
Rahmaniyah lebih utama dibandingkan Uluhiyah. Adapun nama Dzahir (yang tampak)
dalam martabat Rahmaniyah adalah al Rahman ia merupakan muara nama-nama-Nya
yang berdimensikan inti (dzat)Nya, dan sifat-sifat Diri Pribadi-Nya, yang
berjumlah tujuh yaitu : al Hayah (Mahahidup), al Ilm (Mahaberpengetahuan), al Qudrah
(Mahaberkuasa), al Iradah (Mahaberkemauan), al Sam'u (Mahamendengar), al Bashar
(Mahamelihat), al Kalaam (Mahaberbicara), juga nama-nama yang berdimensikan
inti (dzat)-Nya, semisal : Ahadiyah (ke-Esa-an), Wahidiyah (ke-Tunggal-an), as
Shamdaniyah (Tumpuhan segala-galanya), al Adhamah (ke-Agung-an), al Oudsiyah (ke-Suci-an),
dan lain sebagainya, kesemua sifat dan nama itu hanya untuk dzat yang Wajib al
Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Dia-lah (Allah) Jallah Jalaalah
Tuhan Yang Maha Suci, Diraja yang wajib disembah
Kehususan martabat ini dengan nama-Nya al Rahman itu adalah untuk
menunjukkan Rahmat Kulli (Universal) bagi setiap kedudukan (martabat), baik
yang berdimensi ketuhanan maupun kemakhlukan. Jika manifestasi-Nya
berdimensikan martabat ketuhanan, maka martabat kemakhlukan pasti
tertajallikan, karenanya rahmat bersifat umum dalam Maujudaat (segala wujud),
lahir dari presensi (hadrah) Rahmaniyah. Awal rahmat yang dikaruniakan Allah
dalam Maujudaat, adalah Dia mengadakan alam dari diri-Nya, sebagaimana yang
termaktub dalam firman-Nya.
Dia menundukkan untukmu apa yang ada
di langit dan apa yang ada dibumi semuanya sebagai rahmat dari Diri Nya. (Q.s. al Jaatsiyah 45 : 13)
karenanya wujudNya mengalir sejalan dengan adanya Maujudaat (segala
wujud), demikian pula dengan kesempurnaan-Nya termanifestasikan pada setiap
pertikel dan person yang ada pada elemen-elemen alam makro maupun mikro. Dia
tidak berbilang dan tetap Esa serta Tunggal, meski manifestasi-Nya maujud dalam
segala wujud pun beraneka ragam. Dia kesatuan dari yang banyak, semua manifestasi-Nya
adalah wajah dari kesempurnaan-Nya, tidak ada satu wujudpun melainkan Dia inti
wujudnya, ia mencitrakan diri-Nya dalam segala wujud yang ada.
Rahasia dari pewujudan (pengkaryaan) alam dari Diri Nya, merupakan metafor
bahwasanya Dia tidak terbagi-bagi, segala sesuatu yang ada di alam semesta dan
isinya alam, adalah Dia dengan segala kesempurnaan-Nya. Maka hukum isim
(penciptaan) yang terlembagakan dalam wajah-wajah kesempurnaan (Dia) pada
Majududaat (segala wujud) itulah sejatinya yang dinamakan pinjaman. Bukan
seperti yang diklaim banyak orang, bahwasanya sifat-sifat ketuhanan itulah yang
melahirkan hukum pinjaman terhadap hamba. Dengan demikian esensi (pinjaman)
yang terdapat pada segala wujud, tidak lain merupakan nisbat wujud ciptaan
kepada inti penciptaan itu sendiri. Maka wujud al Haq adalah asal segala wujud,
Dia meminjamkan kesejatian Diri Nya kepada isim (nama) penciptaan, yang dengan
itu tertampakkan rahasia-rahasia ketuhanan dan hal-hal yang terkait dengan-Nya
baik yang senada maupun yang berlawanan, al Haq merupkan Huyuli (benda pertama)
alam dan isinya alam, Dia berfirman :
Dan tidaklah Kami ciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan alHaq. (Q.s. al Hijr 15 : 85).
Alam dan isinya ini ibarat salju sedangkan al Haq ibarat air, bukankah air
asal dari salju demikian pula dengan al Haq, adalah asal segala wujud, isim
yang terkandung dalam salju berdimensi pinjaman, sedang isim yang terkandung
dalam air berdimensikan hakekat.
Ketahuilah, bahwasanya Rahmaniyah merupakan manifestasi ketuhanan teragung,
dan tempat penampakkan yang paling sempurna serta ter-utuh, karenanya Rububiyah
merupakan Arsy (Singgasana) Rahmaniyah Mulukiyah (kekuasaan) adalah kursinya,
Adzamah (keagungan) bantalnya, al Qudrah (kodrat) belnya, Jalaliyah
(keperkasaan) bunyinya. Isim ar Rahmaan tertampakkan pada segala kesempurnaan,
dengan tampilan penuh ke-eksis-an, mengalir sejalan dengan eksistensi Maujudaat
(segala wujud), berikut peliputan (kuasa)-nya atas hukum segala wujud, yaitu bersemayamnya
(isim ini) diatas Arsy, sebab pada setiap Maujudaat (segala wujud) terdapat
inti (dzat)-Nya. Semantis logikanya dengan hukum peliputan (kuasa)nya atas
segala wujud tersebut, isim ar Rahman merupakan singgasana (Arsy) untuk
menifestasi inti (dzat)-Nya dalam penampakkan lahiriyah. Kita akan kaji secara
detil masalah ini dalam bab Arsy dalam kitab ini juga. Adapun peliputan kuasa
ar Rahman terwajahkan dengan al Qudrah (kekuasaan), al Ilm (pengetahuan),
berikut peliputan atas Maujudaat (setiap wujud), bersama wujud-Nya berdasarkan
hukum ke-arsy-an yang tersucikan dari Hului (panteisme) dan Tasybih
(antropomorfisme) serta Wahda al Wujud (manunggal waujud) mutlak. Bagaimana
mungkin al Haq disifati, panteisme, antropomorfisme, manunggal wujud mutlak, sedang
Dia adalah inti (dzat) Maujudaat (segala wujud) itu sendiri. Wujud al Haq ada
di dalam Maujudaatihi (segala wujud yang diadakan-Nya) berdasar hukum yang
lahir dari dimensi nama-Nya (ar Rahman). Dia merahmati segenap makhluk-Nya
dengan manifestasi didalamnya serta penampakkan makhluk dalam diri-Nya, kedua
hal tersebut terjadi antara al Haq dengan makhluk-Nya.
Ketahuilah, bahwasanya imajinasi jika membentuk citra tertentu dalam benak
(pemikiran) seseorang, maka bentuk imajinatif itu adalah makhluk. Semantis
logikanya setiap pencipta maujud (ada) pada tiap-tiap makhluk (ciptaan). Kreasi
imajinatif yang terbentuk, dan ada dalam benak anda, membuat anda ibarat al Haq
dengan I'tibar keberadaan (wujud) imajinasi itu dalam diri anda. Dengan
semantis logika seperti itu, adalah sebuah keharusan bagi anda untuk
mencitrakan al Haq dalam diri anda, agar anda menggapai al Wujdaan (intuisi).
Saya (al Jaliy) telah mewanti-wanti dalam pasal ini, agar menelisik rahasia
agung yang terdapat pada Qodar al Haq, sebab dari Qodar-Nya tersebut dapat
diketahui rahasia-rahasia Allah, demikian pula dengan rahasia-rahasiaNya yang
berserak dalam ilmu ketuhanan, kesemuanya merupakan satu ilmu. Darinya dapat
dipahami bahwasanya, keberadaan al Qudrah asal (sumber)nya dari Ahadiyah (ke-Tunggal-an),
akan tetapi melalui bingkai penampakkan Rahmaniyah. Demikian pula dengan
keberadaan ilmu sumber (asahnya juga dari Wahidiyah (ke-Tunggal-an), namun
dari sentra penampakkan Rahmaniyah, kesemua itu mengandung nuqta-nuqta
(titik-titik) isyarat yang mengarah kepada subtansi kesempurnaan-Nya. Tafakkuri
dengan jeli masalah ini, agar anda tidak terjebak dalam artian simbolistik dan
terbutakan dari makna-makna hakiki.
[Pasal]. Ketahuilah, bahwasanya ar Rahim (Maha Penyayang) dan ar Rahman (Maha
Pemurah), dua nama yang berasal dari asal kata Rahmat, namun yang patut anda
garis bawahi, ar Rahman bersifat umum, sedang ar Rahim bersifat khusus,
keumuman ar Rahman, karena penampakkan rahmat-Nya pada setiap Maujudaat (segala
wujud). Kespesialan ar Rahim, disebabkan kekhususan yang melingkupi ahli
Sa'adah (kebahagiaan) bersama-Nya. Rahmat yang lahir dari ar Rahman bercampur
dengan niqmah (bencana), semisal si pesakitan yang minum obat yang rasanya
pahit dan berbau anyir, meski obat itu merupakan rahmat bagi si-sakit, namun
hal itu diluar kelaziman tabiat kebahagiaan. Sedangkan rahmat yang lahir dari
ar Rahim, tidak tercampuri oleh rasa ketidak enakkan, ia merupakan kenikmatan
murni dan kenikmatan dalam bentuk ini tidak akan perna didapatkan, melainkan
oleh ahli kebahagiaan yang sempurna di Surga-Nya. Diantara bentuk rahmat yang
berada dibawah isim (nama)-Nya (( ar Rahim )) adalah rahmat al Haq untuk
sifat-sifatNya dan nama-nama-Nya dengan penampakkan bekas-bekas dan
pengaruh-pengaruh-Nya. al Rahim dalam al Rahman laksana mata dalam struktur
tubuh manusia, salah satunya lebih mulia, lebih tinggi dan lebih murni, sedang
lainnya bersifat umum dan menyeluruh. Karenanya para pegiat hakekat menandaskan
: Sesungguhnya ar Rahim tidak tampak rahmatnya dengan penampakkan paripurna,
kecuali dalam kehidupan kampung ahirat, karena ahirat lebih luas dibandingkan
dunia, lebih dari itu setiap nikmat di dunia berselimutkan duka, karena ia
berada dalam naungan Rahmaniyah. Kami telah mengulas masalah ini secara detil
dalam kitab kami yang berujudul al Kahfi wa al Raqim fi Syarhi
Bismillahirrahmanirrahim. Barang siapa yang ingin mendalaminya, silahkan baca
kitab tersebut :
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair
al-Jilly
Menelisik
kesejatian diri adalah kunci pembuka RahmanNya.
Manusia
yang berhati jernih, akan selalu mengintropeksi dirinya
Cermin
setiap mahluk laksana patung es
Kaulah
airnya, dan Dia sumber mata airnya
Tidak
akan pernah ada salju tanpa airNya
Mata air
kehidupan ini, bersumber dariNya
Salju
membeku berdasarkan ketentuanNya
Air
mengalir sejalan dengan aliran kehidupan
Ragam
mata air hanya satu sumbernya
Satu-satunya
sumber kehidupan adalah DiriNya
Sudah Edit 8. Rububiyah (ke-pengatur-an)
Rububiyah : Nama martabat yang mendefinisikan (menunjukkan) nama-nama yang
dibutuhkan Maujudaat (segala wujud). Nama Rububiyah ini meliputi nama-nama Nya
: al 'Aliim (Yang berpengetahuan), al Qoodir (Yang berkuasa), al Muurid (Yang
berkemauan), as Samii' (Yang mendengar), al Bashiir (Yang melihat), al Malik
(Yang memiliki kekuasaan) dan lain sebagainya. Masing-masing dari nama-nama dan
sifat-sifat tersebut melahirkan bias pengaruh dan pewacanaan sifat dan nama yang
ada. Semisal al Aliim melahirkan pengetahuan hingga ada yang bisa diketahui, al
Qoodir (Yang berkuasa) melahirkan kekuasaan dan ada yang dikuasai pun
dikuasakan, al Muriid (Yang menghendaki) melahirkan sesuatu yang dikehendaki
dan lain sebagainya. Ketahuilah bahwasanya nama-nama yang berada dibawah
naungan nama-Nya (ar Rabb), adalah nama-nama Musytarak (ambigu) diantara
al Haq dengan makhluk-Nya, serta merupakan nama Khash (eksklusif) bagi
makhluk-Nya dengan kekhususan pengaruh nama-nama ambigu (Musytarak) antara yang
dikhususkan kepada al Haq, dengan nama-nama-Nya yang diperuntukkan bagi
makhluk-Nya, semisal nama-Nya al Aalim -yang mengetahui-, ia merupakan nama
yang berdimensi Hawiyah (ke-Diri-an) Nya, karenanya para pegiat hakikat
menandaskan : Jika kau mengetahui diri-Nya, kau akan mengetahui ciptaan-Nya,
jika kau mendengar diri-Nya, kau akan mendengar lainnya, juga jika kau melihat
diriNya, kau akan melihat lainnya dan banyak lagi nama-nama yang Musytarak
(ambigu) antara al Haq dengan makhluk-Nya.
Pahamilah yang kami maksudkan dengan Musytarakah (ambiguitas) adalah bahwa
isim (nama) tersebut memiliki dua wajah, pertama wajah yang berdimensikan
ketuhanan, kedua wajah yang diperlihatkan oleh-Nya kepada segenap makhluk-Nya,
seperti yang telah kita bahas pada pasal terdahulu. Adapun nama-nama yang
dikhususkan untuk makhluk-Nya semisal nama-nama yang berdimensi al Af'aal
(perbuatan-perbuatan) serta nama-Nya al Qoodir. Karenanya para pegiat hakekat
menandaskan : Dia menciptakan segala wujud, bukan Dia menciptakan diri-Nya, Dia
memberi rizki segala wujud, bukan memberi rizki diri-Nya, Dia berkuasa atas
segala makhluk-Nya, bukan berkuasa atas diri-Nya, penciptaan, pemberian dan
kekuasaan diperuntukkan untuk makhluk-Nya bukan untuk Diri Nya. Semua itu wajah
daripada Af'aal (perbuatan-perbuatan)-Nya, bukan wajah daripada diri-Nya,
kesemua itu berada dibawah isim-Nya (al Mulk). Semantis logikanya
seorang yang ditahbiskan menjadi raja pasti memiliki kerajaan, adapun perbedaan
antara nama-Nya (al Mulk) dengan nama-Nya (ar Rabb), al Mulk
adalah isim (nama) untuk kedudukan (martabat) yang dibawahnya nama-nama yang
berdimensikan Af'aal (perbuatan-perbuatan), itulah isyarat ke-khusus-an
keterkaitan antara Diri Nya dengan makhluk-Nya. Sedangkan ar Rabb, isim untuk
martabat yang dibawahnya nama-nama yang berdimensi Musytarakah (ambiguitas)
yang dikhususkan bagi makhluk-Nya.
Perbedaan antara ar Rabb dengan ar Rahman, bahwa ar Rahman isim untuk
kedudukan yang dikhususkan bagi segenap sifat-sifat ketinggihan Ilahiyah, baik
yang bersifat eksklusif inti (dzat)-Nya semisal Maha Agung dan Maha Esa, atau
sifat ambigu antara diri Nya dan makhluk-Nya, semisal Agung dan Melihat, atau
sifat eksklusif untuk segenap makhluk-Nya, semisal al Kholiq (sang pencipta)
atau al Razzaaq (sang pemberi rizki). Perbedaan isim ar Rahman dengan isim
Allah. Isim Allah untuk martabat inti (dzat)-Nya, yang mencakup hakekat segala
wujud ketinggihan (langit) dan kerendahan (bumi), isim ar Rahman berada dibawah
naungan nama (Allah), isim ar Rabb dibawah naungan isim ar Rahman, isim al Mulk
dibawah naungan isim ar Rabb. Rububiyah ibarat Arsy : yakni singgasana
penampakkan-Nya, dengannya tertampakkan ar Rahman pada segala wujud, ia juga
merupakan centra penglihatan yang dengan-nya ar Rahman melihat segala wujud.
Dengan martabat ini, penisbatan antara al Haq dengan hamba-Nya sangatlah valid,
tidakkah anda pernah menyimak sabda rasul saw :
Sesungguhnya gapaian rahmat diambil
melalui mediasi ar Rahman,
karena Rububiyah merupakan merupakan wasilah (media) menuju Rahmaniyah.
Dengan demikian Rahmaniyah merupakan organiser (sentra mediasi) antara
kekhususan al Haq dengan apa-apa yang terkait dengan dimensi kemahlukam dan
kekhususan makhluk. Nama-nama Musytarak (ambigu) merupakan media perantara yang
tidak lain merupakan singgasana Rububiyah. Keterkaitan rahmat dengan ar Rahman,
adalah laksana keterikatan antara ar Rabb (pengatur) dengan al Marbuub (yang
diatur). Maka tidak akan ada Rabb, melainkan Dia memiliki Marbuub (yang
diatur), penisbatan seperti ini merupakan sebuah kelaziman antara Allah dengan
para hamba-Nya. Maka telisik dengan jeli, keterkaitan dan keterikatan tersebut
dengan mediasi-nya, pahami pula rahasia keterkaitan itu, patrikan dalam benak
anda bahwasanya al Haq, tersucikan dari ketersambungan sesuatu yang terpisahkan
dari-Nya. Dia tidak berkewajiban menyambung sesuatu yang memutuskan dirinya
dengan-Nya, pun sebaliknya ia tidak berkewajiban memutuskan sesuatu yang
menyambungkan dirinya dengan-Nya. Semua rahasia itu terhampar luas dalam ragam
manisfestasi-Nya pada Maujudaat (segala wujud) di alam dan isinya alam ini.
Ketahuilah, bahwasanya Rububiyah memiliki tajalli yang bersifat Maknawi dan
tajalli yang bersifat Shuwari (pencitraan). Tajalli Maknawi penampakkan-Nya
dalam sifat-sifat dan nama-nama-Nya, sejalan dengan hukum transendensi (Tanzih)
dan kesempurnaan-Nya. Tajalli pencitraan (Shuwari) manifestasi-Nya dalam
segenap makhluk-Nya, sejalan dengan hukum antropomorfisme (Tasybih)
ciptaan-Nya, serta apa yang meliputi makhluk-Nya dari ragam kekurangan. Jikalau
al Haq bermanifestasi pada salah satu makhluk-Nya, sejalan dengan hukum
antropomorfisme (Tasybih), maka manifestasi itu ter-transendensi-kan dari
Taysbih Mutlak, karena hal itu tidak terkait dengan inti (dzat)-Nya, namun
berkaitan dengan pencitraan dan suplemen penyerupaan. Secara Maknawiya'i itu
berarti tersucikan dari penyerupaan mutlak, lebih dari itu manifestasi citra
dan makna merupakan manifestasi Diri Nya. Semantis logikanya penampakkan Maknawi juga merupakan p enampakkan
citra-Nya, satu sama lain saling mengeser dan menutupi, yang berujung pada satu
masalah krusial yaitu hijab diri. Pahami dengan seksama masalah ini.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair al-Jilly
Kami ini
hanyalah penyembah DiriMu
Dekatlah,
dan jangan berpaling dari kami
Tidak
ada yang wujud selain Engkau
Engkau
tampak dalam Nyata dan Gaib.
Engkau
adalah cermin keindahan kami
KeindahanMu
adalah keindahan kami
Alam ini
wujud karena adanya kami
Engkau
Ada, sebelum alam dan kami maujud
Kau
singkapkan kami rahasia DiriMu
Dibalik
'laku' kebaikanMu, tapi, kami abai
Engkau
namai DiriMu,
Baik dan
Mulia Terimalah 'laku' kebaikan dan mulia kami
Engkau
bilang, hati kami akan mengeras
Jikalau
jauh dariMu, maka dekatkanlah kami
Dengan
namaMu pemimin jadi agung
Dengan
nama mahluk pemimpin jadi rendah
Engkau
hiasi kami dengan keindahanMu
Kesetiaan
kami, melanggengkan keindahanMu
Kesempurnaan
dan keindahanmu abadi
Engkau
adalah muara segala kesempurnaan insani
Sudah Edit 9. Kabut
Ketahuilah, kabut ibarat inti segala hakekat yang tidak berkaitan dengan
sifat-sifat ketuhanan dan kemakhlukan, ia merupakan inti (dzat) murni, karena
tidak terkait dengan kedudukan-kedudukan (Maratib) ketuhanan dan kemakhlukan,
ia juga tidak terkait dengan pelik nama dan sifat. Itulah sejatinya apa yang
diisyaratkan rasulullah saw dalam sabdanya :
Sesungguhnya kabut itu diatasnya
tidak ada udara, dibawahnya juga tidak berudara,
yakni bukan al Haq juga bukan makhluk (ciptaan). Dengan demikian kabut
sepadan dengan Ahadiyah (ke-Esa-an). Seperti halnya Ahadiyah yang tidak terkait
dengan pelik nama-nama dan sifat-sifat serta tidak ada sesuatupun yang tampak
padanya, demikian pula dengan kabut, tidak ada satupun yang berbasiskan
penampakkan darinya. Perbedaan antara Ahadiyah dengan Kabut, bahwa Ahadiyah
terkait dengan hukum dzat dalam dzat, dengan kehendak ketinggihan, ia merupakan
basis penampakkan ke-Esa-an inti (dzat)-Nya. Sedangkan kabut terkait dengan
hukum dzat dengan kehendak mutlak, tidak ada satupun dari mereka-mereka yang
berada di alam ketinggihan dan kerendahan memahaminya, ia merupakan inti batin
dzat-Nya, ia sepadan dengan Ahadiyah yang merupakan kemurnian ketuhanan yang
berdimensikan inti (dzat)-Nya. Ahadiyah merupakan kemurnian inti (dzat)-Nya dengan
hukum tajalli (penampakkan) sedang Kabut merupakan kemurnian inti (dzat)-Nya
dengan hukum Istitar (ketertutupan).
Adalah Allah, Tuhan Yang Maha Berkuasa untuk menutup diriNya dari tajalli,
atau membuka diri Nya dari ketertutupan. Dia berkuasa atas segala kehendak inti
(dzat)-Nya, baik yang berupa kehendak bermanifestasi maupun tidak
bermanifestasi, kehendak lahir maupun batin, berikut kehendak lainnya semisal :
keadaan, peruntutan, I'tibar, penambahan, nama-nama dan sifat-sifat, semuanya
tidak pernah beralih dan berubah. Dia tidak memakai sesuatu lalu menanggalkan
sesuatu, atau melepas sesuatu lalu mengambil sesuatu. Hukum dzat al Haq adalah
seperti sedia kala, tidak ada bongkar pasang, tidak pula ada pergatian, ia
tetap seperti sedia kalah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya :
Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. (Q.s.
ar Ruum 30 : 30)
yakni sifat al Haq yang ada pada ciptaan tersebut. Perubahan dan pergatian
hanya terjadi pada etos pencitraan, tambahan dan I'tibar, contohnya seperti
hukum manifestasi-Nya pada diri-Nya dan yang tampak kepada kita. al Haq dengan
diri-Nya adalah sama dengan Dia dengan segala tajalli-Nya yang tampak pada
kita. Hukum manifestasi-Nya berlandaskan hukum ke-Esa-an Nya. Dia merupakan
kesatuan dari yang banyak, semua yang banyak itu sejatinya adalah satu, tidak
berbilang. Dia memanifestasi diri-Nya dalam azaliyah (zaman azali) sebagaimana
Dia tertampakkan dalam abadiyah (kekekalan abadi).
Tajalli Tunggal ini merupakan sentra tajalli yang tidak membiaskan
manifestasi kepada selain Diri Nya, para makhluk-Nya tidak memiliki nasib
(bagian) sedikitpun dari tajalli tersebut. Tajalli ini tidak menerima I'tibar,
pembagian, penambahan, sifat-sifat dan segala sesuatu yang lain, jika dalam
tajalli itu terdapat nisbat para makhluk-Nya, maka tajalli itu membutuhkan
I'tibar, sifat dan penisbatan pun sesuatu yang lain, kesemua itu sama sekali
tidak terkait dengan hukum tajalli ini. Dalam hukum tajalli ini, Dia bertajalli
dengan inti (dzat)-Nya, sejak zaman azali hingga zaman abadi, tajalli ini juga
selaras dengan tajalliyaat ketuhanan yang lain, baik yang berdimensi inti
(dzat)-Nya, Af'aal (perbuatan-perbuatan-Nya, asmaa' (nama-nama)-Nya,
sifat-sifat Nya. Hakekat semua manifestasi tersebut tertampakkan pada para
hamba-Nya. Kongklosinya tajalli tunggal yang berdimensikan inti (dzat)-Nya
berikut ragam manifestasi-Nya, tidak menutup kemungkinan melahirkan Tajalliyaat
dengan yang lain, namun demikian hukum manifestasi dengan yang lain tersebut,
tetap dibawah hukum manifestasi tunggal. Semantis logikanya seperti hukum
bintang-bintang (planet-planet) matahari, kadang ada, kadang hilang, sejalan dengan hukum
peredaran cahaya sinar matahari, cahaya bintang-bintang itu sendiri sejatinya
adalah cahaya matahari, karena asal cahaya pada bintang-bintang tersebut
berasal dari cahaya matahari. Demikian pula dengan wajah manifestasi ketuhanan
lainnya, ia merupakan percikan tajalli tunggal ini, atau buliran setitik air
dari samudera manifestasi tunggal ini, semua penampakkan itu akan lenyap
sejalan dengan hadirnya dominasi tajalli inti (dzat)-Nya, yang Dia berhak
atasnya berdasarkan ilmu Diri Nya, sedang tajalli lainnya juga berhak atas
dirinya, namun berdasarkan ilmu yang lain. Pahami dengan seksama masalah ini.
Dengan demikian jelas sekali, bahwa sejatinya kabut itu adalah ibarat inti
(dzat)-Nya dengan I'tibar mutlak, dalam batin (kegaiban) dan ketertutupan.
Ahidiyah juga sepadan dengan kabut ini, dengan I'tibar penampakkan ketinggihan
dengan keharusan lengsernya I'tibar di dalamnya. Adapun yang kami maksudkan
dengan I'tibar penampakkan dan I'tibar ketertutupan, semata-mata karena
keterkaitan makna, guna memudahkan pemahaman bagi para penyimaknya, karena Dia
berdasarkan hukum kabut merupakan I'tibar (Batin), Dia berdasar hukum Ahadiyah
merupakan I'tibar (Dhahir).
Ketahuilah, bahwasanya dalam dirimu terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya,
pahamilah bahwasanya al Haq telah membuat perumpaan untuk dirimu, al Haq
memiliki Mastaal al Alah (contoh ketinggihan) yang terwajahkan dalam kabut, dan
kabut itu juga ada pada dirimu. Jika kamu tidak mampu menghadirkan dirimu
secara mutlak, yakni universalitas ke-kamu-an dirimu, lebih-lebih jika kamu
tidak mampu memahami kesejatian eksistensi dirimu, niscaya kabut itu akan
menyelimuti dirimu. Dengan semantis logika seperti ini, sejatinya dirimu adalah
ibarat inti (dzat) kabut, tidakkah kau tafakkuri dengan I'tibar bahwa al Haq
adalah inti (dzat) dirimu, dan hakekat ke-dia-an dirimu? namun kau sering
melalaikan bahkan menafikan hakekat yang merupakan inti kesejatian dirimu! Dia
adalah inti (dzat) kabut, dan kau inti (dzat)-Nya, dengan I'tibar seperti ini
kau adalah inti (dzat) kabut tersebut, kau dan sisi hakekatmu tidak akan
terhijabkan dari-Nya, karena hukum penampakkan al Haq tidak akan terhijabkan
dari diri-Nya. Maka penampakkamu dalam bingkai hakekat dirimu dengan hukum
penampakkan al Haq, adalah ibarat penampakkan kabut dalam hukum
penampakkan-Nya, itu pula yang merupakan kesejatian Istitar (ketertutupan)
hakekat dirimu dalam hukum makhluK (ciptaan). Karenanya jika nafsumu yang tertampakkan
pada dirimu, Dia akan tertutup darimu, sebaliknya jika Dia dominan dalam dirimu
nafsumu sirna, inilah contoh yang jamak kami wartakan kepada segenap insan,
namun sedikit sekali dari mereka yang mau memperhatikan, dan jarang sekali
orang yang mau mengoptimalkan akal pikirnya kecuali manusia-manusia yang
berpengetahuan. Atas dasar ini pula tatkala rasul Muhammad saw ditanya anak
zamannya,
Dimanakah al Haq berada, sebelum Dia
menciptakan makhluk?.
Rasul saw menjawab dengan tegas,
Dia berada dalam kabut.
Sebab manifestasi diri-Nya, harus sejalan dengan nama-Nya dan harus tidak
ada Istitar (ketertutupan) sebelumnya, yang dimaksud dengan 'sebelumnya' disini
adalah yang berlandaskan hukum (penciptaan), bukan 'sebelumnya' yang bermaknakan
waktu!
Al Haq Jallah Jalaalah, antara diri Nya dan makhluk-Nya terlepas
(tersucikan) dari jarak dan ruang waktu, keterpisahan, dan ketersambungan,
keharusan dan sebab-sebab lain yang lahir dari dimensi ruang dan waktu, al Haq
tersucikan dari semua itu. Ketahuilah keterpisahan, ketersambungan, keharusan
adalah merupakan pelik kemakhlukan yang terkait dengan makhluk-Nya. Cobalah
bersemantis logika bagaimana mungkin antara al Haq dengan makhluk-Nya ada
makhluk lain? Jika hal itu terjadi maka akan melahirkan Tasalsul
(berturut-turut) dan ad Daur (rotasi) keduanya adalah mustahil bagi al Haq,
dengan demikian Qobliyah (sebelumnya) dan Ba'diyah (sesudahnya), awal dan akhir
berdimensi hukum penta'biran wacana serta penambahan, bukan ta'bir zaman dan
tempat. Para pegiat hakekat menandaskan : Adalah sebuah kemestian bagi al Haq
sebelum Dia menciptakan makhluk, berada dalam kabut, bahkan paska penciptaan
makhluk Dia juga berada di dalamnya. Dengan semantis logika seperti ini dapat
dipahami bahwasanya maksud daripada kabut sejatinya adalah hukum as Saabiq
(terdahulu) yang berdimensikan inti (dzat)-Nya, dengan ketiadaan
I'tibar-I'tibar. Penciptaan makhluk menghendaki penampakkan, dan tajalli
merupakan hukum yang berkaitan dengan inti (dzat) beserta wujud I'tibar. Dengan
begitu hukum as Saabiq (terdahulu) adalah sama dengan hukum Qobliyah
(sebelumnya), hukum kerterkaitan juga melahirkan hukum keterjauhan. Kabut bukan
hanya melahirkan hukum sebelum atau sesudah, ia bahkan melahirkan hukum yang
awal dan yang akhir. Hal yang mentakjubkan dalam masalah ini, bahwa
manifestasi-Nya adalah juga inti batin-Nya yang sama sekali tidak terkait
dengan wajah I'tibar maupun intisab (peruntutan), bahkan inti ini dan inti itu,
awal-Nya adalah ahiran-Nya, sebelum-Nya adalah sesudah-Nya. Realita hakiki tersebut jelas
menggoncangkan pikiran dan merupakan batu sandungan yang menghadang langkah
para peniti jalan al Haq untuk menggapai maqom ketersambungan (wushul). Karena
tataran logika manusia -siapapun orangnya-, tidak akan mampu menakarnya, mereka
yang menuhankan akal jelas akan berkata, hal tersebut tidak logis!
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair
al-Jilly
Sesungguhnya
Kabut adalah tempat pertama
Falak
mentari kebaikan yang tidak pernah terbenam
Ia
adalah jiwa, dengannya jiwa Allah terTajallikan
Ia
adalah alam, yang tidak dikeluarkan dan tidak berubah
Meski
menyembul kobaran api dari kayu pepohonan
Eksistensi
kabut, tetap seperti sediakala dan tidak lenyap
Pepohonan
kering yang disulut api, akan berkobar
Itulah,
hukum kehidupan yang tiada satupun menafikan
Fokuskan
penglihatan hati kalian kepada kabut ini
Akan
kalian dapati, ketentuan taqdirNya tidak berubah
Kabut
menjadi misteri bagi 'menuhankan' logika
Ia
menjadi realita Nyata, bagi yang jernih dan tajam
Qalbu
Kabut adalah jiwaNya, bukan karena misteri kegelapannya
Justru
karena terang benderangnya yang dilihat mata Qalbu
Kabut
adalah cermin keEsaan dan keTunggalanNya
Ia
misteri dan gelap, bagi mereka yang pongah, tidak jernih hati
Kabut
adalah 'wajah' Nyata kelembutan zat DiriNya
Kesejatian
zat DiriNya tersimpan rapi dalam Kabut Awwal.
Diatas
janji yang telah dimaklumatkan dihadapanNya
Segala
mega bencana yang membelit tidak akan mengkoyaknya
Keeksisanmu
memegang sumpah setia bakti kepadaNya.
Melahirkan
kasih perlindunganNya yang menyejukkan jiwamu
Prilakumu
yang menodai setia janjimu kepada DiriNya
Akan
menjadikan dirimu tercampakkan dari presensi DiriNya
Reguk
cawan keridhaan DiriNya dengan penyesalanmu
Sebuah
penyesalan yang melahirkan kebaktian abadimu kepadaNya
Jangan
putus asa mentradisikan sumpah setiamu kepadaNya
Sebagaimana
mentari yang tidak perna jemuh beredar pada porosnya
Tiada
satu bencanapun yang menimpamu tanpa kelembutanNya
Putus
asamu terhadap rahmatNya, akan menjadikan dirimu terhijab
Setiap
belitan hidup yang kau sikapi dengan penuh kerelaan
membuatmu
mengerti hakekat kesempurnaan dan keindahanNya
Kau
tidak perlu berpayah-payah mengurai keindahanNya
Seperti
kepayahanmu menelisik hakekat elang emas misteri dan gelap
Sudah Edit 10. At Tanzih
(Transendensi)
Tanzih ibarat, ketunggalan al Qodim (eternitas) dengan segala sifat dan
nama-Nya serta inti (dzat)-Nya, Dia berhak atas segala sesuatu selain Diri Nya,
melalui jalan ketinggihan dan asal penciptaan, bukan dengan I'tibar bahwa al
Muhdits (sesuatu yang baru, adanya karena diciptakan), duplikat dan
penyerupaan-Nya. al Haq tersucikan dari segala bentuk antropomorfisme (Tasybih)
dan duplikasi. Kita (para hamba-Nya) hanya bisa mensucikan diri dari Muhdatsaat
(sesuatu yang baru) dari segala bentuk kesyirikan ubudiyah, agar bisa Wishal
(sampai) pada kesucian al Qodiim (eternitas). Kesucian kita hendaknya tidak
sebatas pada kesucian al Muhdits (kebaruan), namun kesucian yang bermuara
kepada kesucian hakiki yakni kepada dzat al Qodiim. Penyucian Huduts (kebaruan)
berdasarkan nisbat jenisnya, sedang pensucian al Qodim tidak berdasar nisbat
jenis-Nya, karena al Haq tidak mungkin disifati dengan sifat Naqs (kurang), tidak
pula harus dibersihkan, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Suci dan Maha
Sempurna, Dia adalah Tuhan yang tidak menyerupai makhluk-Nya. Karenanya para
pegiat hakekat menandaskan : Mensucikan-Nya dari penyucian (transendensi),
jalan penyucian-Nya atas diri Nya tidak akan pernah diketahui yang lain selain
Diri Nya. Kita hanya bisa mengatahui jalan penyucian yang terkait dengan
Muhdatsaat (segala kebaruan), karena nisbat pensucian itu dalam lanskap
pandangan kita adalah berdimensikan 'pinjaman' yakni kesucian-Nya yang
dipinjamkan kepada makhluk-Nya, dan bukan kesucian makhluk itu sendiri.
Semantis logikanya orang yang seorang yang memuarakan kesucian dirinya kepada
al Haq, Dia akan meminjamkan kesucian diri Nya kepada orang tersebut, lebih
dari itu al Haq tidak menyerupai inti (dzat) makhluk-Nya, yang dzat tersebut
patut disucikan, sebab kesucian adalah hak dan milik Allah semata, sedang
kesucian yang ada pada makhluk-Nya hanya merupakan titipan (pinjaman) dariNya.
Pahami betul masalah ini.
Dengan demikian inti (dzat)-Nya merupakan emberio kesucian yang melahirkan
kediqdayaan, ke-agung-an, keperkasaan ketuhanan Diri Nya. Dimanapun dan
kapanpun manisfetasi kesucian itu tertampakkan, Dia tersucikan dari penyerupaan
secara dzat, karena inti (dzat)-Nya terjernihkan dari sifat dan asma diri-Nya.
Anda tentu pernah menyimak sabda rasul saw :
Aku melihat rabbku dalam citra
pemuda nan tampan nan, atau dalam sabda lain aku melihat rabbku dalam citra
cahayayangaku saksikan.
Inti (dzat) al Haq tersucikan dari Tasybih (antropomorfisme) seperti
ujaran-ujaran hadits tersebut, penyucian inti (dzat)-Nya memiliki hukum yang
selaras antara sifat dan yang disifati, sedang inti (dzat)-Nya, tersucikan dari
tempat manifestasi-Nya, karena inti (dzat)-Nya suci dari segala yang bersifat
Qodim (eternitas) maupun Huduts (baru), tiada satupun yang mengetahui, kecuali
Diri Nya. Kesucian inti (dzat)-Nya tidak terkait dengan asma-asma dan
sifat-sifat-Nya, penampakari-penampakan-Nya, yang termanifestasikan dalam
segala wujud. Tajallinya berdasarkan hukum Qidam (eternitas)-Nya, Dia merupakan
dzat yang Wajib al Wujud (wujud yang mesti ada dengan sendirinya), maka
penyucian al Haq tidak sama dengan penyucian makhluk-Nya, penyamaan-Nya tidak
sama dengan penyamaan makhluk-Nya, hanya Dia yang Maha Mengetahui
kesejatiannya, sesuatu selain Diri Nya tiada akan pernah bisa mengetahuinya.
Para muslim awam meyakini bahwa pengertian pensucian adalah, bermakna
pembersihan yang tidak bermuara kepada dimeni ketuhanan, namun berujung kepada
dimensi kemakhlukan, pengertian seperti itu jamak terjadi pada diri tiap
muslim.
Esensinya banyak dari hamba-Nya berusaha mensucikan diri dengan dirinya dan
tidak dengan al Haq, etos pensucian seperti itu tidak akan pernah menggapai
kesucian hakiki, karena kesucian yang tersematkan dalam diri seorang hamba
adalah merupakan titipan (pinjaman) dari al Haq. Maka jika orang seorang ingin
mensucikan dirinya, selazimnya ia menghiasi (mensifati) dirinya dengan
sifat-sifat al Haq, dengan begitu maqom dirinya akan tersucikan. Dengan penyucian ketuhanan itu ia akan terselamatkan
dari kekurangan-kekurangan Muhdatsaat (segala kebaruan), berikut ia akan
tertuntun kepada kesucian hakiki, jadilah orang tersebut baqa' (kekal) dalam
kesucian bersama-Nya, dengan kesucian yang dikuasakan al Haq kepada orang
tersebut, ia bisa menempati kesucian-Nya, yaitu kesucian yang berdimensikan
makhluk, yakni ia sirna dalam dirinya hanyut dalam kesucian al Haq. Pahami
dengan seksama apa yang kami isyaratkan ini. Sekali lagi kami tegaskan dalam
kitab ini, maupun kitab-kitab saya terdahulu, bahwa esensi at Tanzih
(transendensi) ini, adalah untuk al Haq, bukan untuk makhluk, dan tidak ada
keterkaitan sedikitpun dengan dimensi kemakhlukan, karena masalah ini murni
terkait dengan inti (dzat)-Nya semata, bukan inti (dzat) segala wujud
ciptaan-Nya. Inti (dzat)-Nya ada pada inti (dzat) segala wujud ciptaan-Nya,
inti (dzat)-Nya juga tertajallikan pada dimensi ketuhanan dan kemakhlukan, al
Haq berhak atas semua itu, Dia berhak mewajahkan diri Nya dalam manifestasi kemakhlukan.
Dia juga berhak menjadikan makhluk manifestasi ketuhanan Nya, akan tetapi inti
(dzat)-Nya tersucikan dari ketercampuran, Hului (panteisme) dan penyerupaan
(antropomorfisme) dengan segenap makhluk-Nya. Dia adalah Tuhan Maha Suci, dzat
yang tidak menyerupai makhluk-Nya.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair
al-Jilly
Wahai
Jauhar (entitas) yang menegakkan dua aksiden
Wahai
Yang Esa, yang pada hukum realita adalah dua
Kau organisir
semua kebaikan luhur, menjadi tunggal.
KuasaMu
meliputi segala yang selaras dan berlawanan
Kau
tidak lain adalah 'laku' Kebaikan
Tunggal
KesempurnaanMu tanpa terlumuri oleh kekurangan
Kau
meliputi segala yang tampak dan misteri
Keluhuran
DiriMu mencakup segala ketinggihan
Dirimu
tersucikan dari segala sesuatu selainMu
KeMuliaan,
keQudusan dan kePerkasaanMu adalah suci
Engkau
hanya bisa dilihat sebatas penglihatan insani
Dan Kau
tersucikan dari penyerupaan segala ciptaanMu
Sudah Edit 11. At Tasybih
(Antropomorfisme)
Tasybih al Ilahiyah (penyerupaan ketuhanan), ibarat citra-citra al Jamaalah
(keindahan) al Haq, karena keindahan Ilahiyah (ketuhanan) memiliki ragam makna,
yaitu nama-nama dan sifat-sifat ketuhanan. Keindahan al Haq juga memiliki
citra-citra Tajalliyaat (manifestasi) makna-makna tersebut yang terlanskapkan
dalam persepsi inderawi, dan wilayah panca indera serta tataran logika. Citra
yang berdimensi persepsi inderawi seperti sabda rasul saw:
Aku melihat rabbku dalam citra
pemuda tampan.
Citra yang berdimensi logika seperti sabda rasul saw dalam hadist Oudsi :
Aku ada dalam asumsi hamba Ku, Maka
biarkan hamba Ku mengasumsi Diri Ku, sesuai keinginannya.
Pencitraan seperti itulah sejatinya yang dimaksud dengan at Tasybih
(antropomorfisme). Satu hal yang pasti, bahwasanya al Haq dalam
manifestasi-manifestasiNya tampak dengan citra keindahan-Nya, tetap eksis
dengan kesucian Nya, seperti halnya anda memberi sisi (dimensi) ketuhanan
hak-Nya. Demikian pula dengan tasybih ketuhanan juga patut diberi haknya, yakni
pada citra al Haq -apapun bentuk-Nya-, yang termanifestasikan pada segala wujud
ciptaan-Nya. Dia Maha Suci dari penyerupaan dan penyamaan, karena inti
(dzat)-Nya tidak terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama serta segala sesuatu
selain Diri Nya. Pahami dengan seksama masalah ini.!
Ketahuilah, bahwasanya Tasybih (antropomorfisme) dalam hak Allah, memiliki
hukum yang tidak sama dengan hukum Tanzih (transendensi)-Nya. Sebab hak Allah
berkaitan dengan inti (dzat)-Nya, karenanya tidak bisa disaksikan, selain
manusia-manusia paripurna dari Ahlullah, (ahli Allah). Adapun selain mereka,
semisal para arif, para pegiat hakekat, daya persepsi indrawi mereka tidak akan
mampu menyaksikannya, melainkan dengan jalan keimanan dan pengikutan
berdasarkan citra kebaikan dan keindahan-Nya. Maka semua citra dari segenap
pencitraan Maujudaat (segala yang wujud) adalah citra kebaikan. Jika anda
menyaksikan citra tersebut dalam wajah Tasybih (antropomorfisme), maka anda
sama sekali tidak akan melihat-Nya dalam dimensi Tanzih, sebab al Haq
mempersaksikan diri anda kebaikan-Nya dan keindahan-Nya dari satu wajah. Jika
Dia mempersaksikan kepada anda citra Tasybih, lalu anda sambungkan dengan
Tanzih al Ilahiyah (transendensi ketuhanan), maka Dia akan mempersaksikan
kepada anda, keindahan-Nya dan keperkasaan-Nya dalam wajah penyerupaan dan
penyucian.
Maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah. (Q.s. al Baqarah 2 : 115).
Terserah anda, apakah anda mau men-tanzih-kan-Nya, ataukah
men-tasybih-kan-Nya, dalam mewajahkan diri anda dihadapan-Nya. Pada fase ini,
anda akan tenggelam ke dasar manifestasi-Nya, ke-aku-an anda sirna dalam
ke-Dia-an Dia, ke-Dia-an Dia tertajallikan dalam ke-aku-an anda, keadaan,
perbuatan serta makna diri anda sirna dalam ke-fana'-an bersama tajalli-Nya,
karena anda bersatu dalam universalitas keindahan-Nya. Jika anda tetap dalam
tasybih-Nya, maka anda akan menyaksikan kebaikan-kebaikanNya, jika anda buka
mata tanzih dalam tasybih anda, maka anda adalah citra kebaikan-Nya,
keindahan-Nya dan makna-Nya. Jika anda mampu mengkais hikmah apa yang ada
dibalik at Tasybih dan at Tanzih dalam diri anda, dan anda benar-benar telah
menggapai rahasia Tasybih dan Tanzih, maka anda akan memakrifahi kesejatian inti
(dzat)-Nya.
Ketahuilah, bahwasanya al Haq memiliki dua macam Tasybih. 1.) Tasybih inti
(dzat), yaitu citra yang terdapat pada Maujudaat (segala wujud) yang
berlandaskan cerapan inderawi, atau apa-apa yang menyerupai perasaan inderawi
dalam imajinasi. Tasybih dalam bentuk ini berdimensikan sifat, karena tercakup
di dalamnya citra daripada makna-makna yang berdimensikan nama-nama-Nya yang
tersucikan dari penyerupaan perasaan inderawi dalam imajinasi. Bentuk citra ini
bisa ditakar dengan nalar logika, namun tidak bisa dituangkan dalam perasaan, direntah dengan
ujaran-ujaran. Jika dapat diekspresikan, maka jalan menuju antropomorfisme inti
(dzat) sangatlah lapang, karena ekspresi inti (dzat) yang berasal dari
kesempurnaan tasybih lebih utama dibandingkan dengan ekspresi yang berasal dari
antropomorfisme yang lahir dari sifat. Lebih dari itu realitas wujud tasybih
inti (dzat)-Nya tidak bisa ditelisik Kaifiyah (prosesi)nya, serta tidak bisa
diwacanakan dengan ragam wacana, berikut tidak bisa diumpamakan dengan permisalan
apapun, itu jika terkait dengan inti (dzat)-Nya. Adapun jika berkaitan dengan
sifat ketuhanan yang lain, masih bisa ditelisik dan difahami Kaifiyah
(prosesi)nya.
Tidakkah anda menelaah pesan Qur’ani, bagaimana al Haq Jallah Jalaalah,
memakzulkan perumpamaan akan inti cahaya-Nya, Dia memperumpamakan inti
cahaya-Nya dengan al Masykaat (lubang yang tidak tembus cahaya,) juga dengan al
Misbah (pelita besar), serta az Zujajah (kaca). Sedang manusia adalah citra
antropomorfisme inti (dzat)-Nya, karena maksud daripada Misykaat adalah
dadanya, az Zujaj (kaca) adalah hatinya, sedang al Mishbah (pelita besar)
adalah rahasia batinnya. Adapun asy Syajarah al Mubarakah (pohon yang banyak
berkah) adalah iman kepada dimensi gaib, yaitu manifestasi al Haq dalam citra
mahlukNya. Sejatinya iman adalah iman kepada dimensi gaib yang tertajallikan
dalam segala wujud (ciptaan)-Nya, sedangkan maksud daripada az Zaitun adalah
hakekat mutlak, yang terlanskapkan dalam keyakinan bahwasanya Dia maujud (ada)
dalam segala wujud, Dia inti segala wujud. Adapun pohon keimanan keberadaannya
tidak di sebelah timur dan sebelah barat. Maka tanzih (transendensi) mutlak
merupakan sebuah keharusan. Denga mediasi penafian tasybih mutlak. Kami memakai
redaksi tasybih mutlak, hingga tanzih yang dilakukan benar-benar mutlak,
laksana orang yang mengupas kulit tasybih, dan yang tersisah hanyalah isi
tanzih. Dalam kesucian mutlak tersebut (yang minyak saja hampir-hampir) yakni,
keyakinannya menerangi esensi kegelapan akan tersapu dengan terbitnya inti
cahaya-Nya. Walaupun tidak disentuh api yakni dengan ketetapan inti cahaya-Nya
yang sejatinya adalah Dia. Dan (cahaya) tasybih (antropomorfisme) itu diatas
cahaya keimanan hakiki, yaitu cahaya tanzih (transendensi) seperti ujaran al
Haq,
Allah membimbing kepada cahaya-Nya,
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Q.s. an Nuur 24 : 35.
Tasybih yang dimaksud disini adalah tasybih inti (dzat)-Nya, jika berbentuk
lahiriyah maka ia terwacanakan dalam al Amtsaal al Ulwiyah
(perumpamaan-perumpamaan ketinggian), perumpamaan tersebut merupakan citra
kebaikan-Nya, semua perumpaan yang dilabelkan kepada al Mumatsal (yang
diperumpamakan), adalah merupakan citra ketuhanan yang dijadikan media
manifestasi Diri Nya pada sesuatu tersebut. Maka Myskaat (lubang yang tidak
tembus cahaya), Misbhah (pelita besar), Zujajah (kaca), Syajarah (pohon),
Zaitun (buah zaitun), tidak disebelah timur, tidak disebelah barat, penerangan,
api, cahaya yang merupakan cahaya diatas cahaya, kesemuanya dalam pemaknaan
lahiriyahnya sejatinya adalah citra inti bagi inti (dzat) Allah Jallah Jallah.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, itulah sejatinya arti keindahan-Nya,
karena hakekat ilmu itu adalah yang menghadirkan suatu pemahaman bagi si
empunya, lebih dari itu ilmu yang tidak menggerakkan pemiliknya kepada al Haq,
tidaklah disebut ilmu dalam arti yang sesungguhnya.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33:4)
Sudah Edit 12. Manifestasi perbuatan al Haq
Manifestasi al Haq dalam perbuatan-perbuatan-Nya (Tajalli al Af'aal),
ibarat pemandangan yang disaksikan segenap hamba-Nya dalam derap roda taqdir
kehidupan pada segala wujud ciptaan-Nya. Mereka menyaksikan dengan mata hati
dan pikir serta mata kasat mereka, bahwa al Haq-lah sejatinya yang menggerakkan
dan menghentikan gerak segala sesuatu, mereka juga menafikan perbuatan tersebut
dari hamba-Nya. Mereka dengan keyakinan jernih mengimani semua Af 'aliyah
(aktualitas) adalah berasal dari Allah Jallah Jalaalah, dengan demikian jelas
sekali bahwa dalam Tajalli Af'aal (manifestasi aktualitas) ini, orang seorang
tidak memiliki daya dan upaya serta kehendak, melainkan daya, upaya dan
kehendak al Haq. Ada banyak tingkatan capaian (spiritual) serta aneka ragam
penyaksian insani dalam penyikapan manifestasi perbuatan ini. Diantara mereka
ada yang diperlihatkan al Haq tajalli Iradah (kehendak)-Nya terlebih dahulu,
kemudian ditunjukkan tajalli perbuatan-perbuatan-Nya. Pada tingkatan penyaksian
ini, daya dan upaya serta kehendak seorang hamba, lebur ke dalam Daya, Upaya,
Kehendak al Haq. Penyaksian seperti itu merupakan Musyahadah (penyaksian)
tertinggi dalam tajalli afal (manifestasi aktualitas)
Diantara mereka ada yang ditunjukkan al Haq manifestasi Iradah-Nya, namun
berupa penampakkan perlakuan al Haq kepada segenap makhluk-Nya, berikut
perjalanan hidup dan kehidupan mereka dibawah roda taqdir kekuasaan-Nya.
Diantara mereka ada yang melihat esensi manifestasi-Nya dalam aktualisasi
(perbuatan) yang lahir dari makhluk-Nya, lalu merujuk semua perbuatan makhluk
itu kepada al Haq. Diantara mereka ada yang menyaksikan manifestasi perbuatan-Nya
paska lahirnya perbuatan makhluk, akan tetapi manusia yang menyaksikan itu
merujuk perbuatan tersebut kepada yang lain (selain al Haq), namun demikian ia
tetap Taslim (berserah diri) kepada al Haq. Adapun jika ia sendiri menyaksikan
Tajalli ini pada dirinya, ia tidak gegabah taslim kepadanya, kecuali setelah ia
benar-benar yakin bahwa tajalli tersebut sejalan dengan nilai-nilai lahiriyah
sunnah dan ajaran syariat serta pesan Qur'ani. Lain halnya dengan seseorang
yang ditunjukkan al Haq Iradah-Nya terlebih dahulu, kemudian ia menyaksikan
tindakan al Haq dengari iradah-Nya sebelum dan sesudah keluarnya perbuatan
dari-Nya atau pada-Nya, maka kita harus taslim kepada insan tersebut atas
kesaksiannya, dengan syarat, tajalli tersebut harus sejalan dengan ajaran
syariat, jika ia jujur dalam kesaksian yang dilihat-nya, sejatinya ia adalah
manusia yang tulus (ihlas) antara dirinya dengan al Haq.
Saya (al Jailiy) lebih mengedepankan apresiasi (penghormatan) dan taslim
kepada insan protipe dua -manusia yang menyaksikan tindakan al Haq dengan
iradah-Nya sebelum dan sesudah keluarnya perbuatan dari-Nya atau pada-Nya Ini,
ketimbang protipe pertama-Insan yang menyaksikan manifestasi perbuatan-Nya
paska lahirnya perbuatan makhluk, meski demikian kami tidak akan menerima salah
satu diantara dua protipe manusia tersebut ber-argumen dengan Qudrah
(kekuasaan) yang bertentangan dengan amar perintah dan larangan al Haq. Kami
mengharuskan memakai parameter hukum lahir (ajaran syariat), untuk melihat
validitas penyaksian yang ada, sebab semua manifestasi perbuatan, tidak akan
keluar dari hukum dan sunnatullah, karenanya kami tetap memakai hukum Allah
yang terlanskapkan dalam ajaran syariat dalam menilai validitas penyaksian yang
ada. Sebab esensi dari manifestasi perbuatan adalah untuk menunjukkan
eksistensi al Haq pada sesuatu yang tertajallikan. al Haq telah melaksanakan
hak-Nya dalam tajalli tersebut, dan kita harus melaksanakan hak Allah pada diri
kita, yaitu melaksanakan amar perintah-Nya yang termaktub dalam kitab-Nya.
Saya (al Jailiy) juga memfokuskan perhatian pada validitas penyaksian,
karena hal tersebut terkait erat dengan kadar hubungan si penyaksi dengan al
Haq, dari penyaksian itulah dapat diketahui tingkat kedekatan (Qurb) dan
kebersamaan (Jam'u) serta ketersambungannya (Wushul) dengan al Haq. Saya tidak
memberi apresiasi kepada seseorang yang tidak menyaksikan roda taqdir melainkan
paska keluarnya perbuatan, karena orang seperti itu tidak Taslim (berserah
diri) secara utuh kepada al Haq. Saya tidak memberi apresiasi kepada insan yang
menyaksikan tajalli perbuatan-Nya dalam dirinya, kecuali jika penyaksiannya
sejalan pesan Qur'ani dan sunnah nabi-Nya, yang sedemikian itu agar saya -dan
juga anda-, tidak terjebak pada perilaku pengkultusan individu. Sebab para
zindiq juga melakukan tindak kemaksiatan, paska keluarnya perbuatan, ia akan
berargumen, tindak kemaksiatan yang saya lakukan semata-mata atas kehendak al
Haq, Qudrah-Nya dan perbuatan-Nya, karena aku (argemen zindik itu) tidak
memiliki sedikitpun dari Iradah, Qudrah dan perbuatan, semuanya adalah milik
dan berasal dari al Haq.
Diantara mereka ada yang menyaksikan manifestasi perbuatan al Haq dengan al
Haq, protipe manusia seperti ini akan menyaksikan perbuatan dirinya, selaras
dengan perbuatan al Haq, ia menamakan dirinya dalam laku keta'atan dengan
pegiat keta'atan, dalam tindak kemaksiatan dengan pelaku maksiat, ia dalam
keta'atan dan kemaksiatan lenyap (sirna) daya dan upaya serta kehendak-nya,
yang ada hanyalah Daya, Upaya, Kehendak al Haq. Diantara mereka ada yang tidak
menyaksikan laku perbuatan dirinya, akan tetapi ia menyaksikan pekerjaan al Haq
saja, dan ia tidak menjadikan pekerjaan tersebut dari dirinya. Dalam melakukan
keta'atan ia tidak menyebut dirinya sebagai manusia yang ta'at, demikian pula
dalam bertindak kemaksiatan ia tidak menyebut dirinya pelaku maksiat. Diantara
'wajah' (bentuk) perbuatan protipe manusia seperti ini adalah, ia jelas-jelas
makan bareng dengan anda, akan tetapi ia bersumpah tidak makan, ia minum bareng
bersama anda, namun ia bersumpah tidak minum, kemudian ia bersumpah kepada anda
bahwa dia tidak bersumpah. Ia dimata al Haq adalah pelaku setia bakti utama dan
manusia terpercaya, realita ini merupakan sebuah noqta (titik) yang tiada akan
pernah bisa dipahami, kecuali orang-orang yang telah merasakan Dzauq al Wujdan
(intuisi), dan merasakan kehadiran al Haq secara dzat dalam lanskap Kasyf al
Ilahiyah (intuisi ketuhanan).
Diantara mereka ada yang tidak menyaksikan perbuatan al Haq, kecuali dengan
dan melalui orang lain, ia tidak bisa menyaksikanNya sendiri -maksud saya
manusia yang dikhususkan al Haq-. Diantara mereka ada yang tidak bisa
menyaksikan perbuatan al Haq, kecuali dalam dirinya sendiri dan ia tidak
menyaksikan-Nya pada orang lain, capaian penglihatan ini (melihat perbuatan al
Haq dalam diri dan bukan pada orang lain), lebih utama dibandingkan dengan yang
pertama (melihat perbuatan-Nya melalui orang lain). Diantara mereka ada yang
menyaksikan perbuatan al Haq atas dirinya dalam keta'atan dan tidak melihat
putaran roda Cjudrah atas dirinya dalam kemaksiatan. Maka protipe manusia
seperti ini, senantiasa bersama al Haq dan dapat melihat dimensi tajalli
aktualitas-Nya dalam laku keta'atan. al Haq menutup aib kemaksiatan yang
diperbuat orang tersebut, sebagai rahmat atas diri pelaku keta'atan itu, agar
ia tidak terjerembab ke dalam tindak kemaksiatan. Bentuk previsi al Haq
tersebut menunjukkan akan kedhaifan (kelemahan) sang pegiat keta'atan dan wajah
dari kedhaifannya, sebab jika pegiat keta'atan itu manusia yang al Ouwwah
(potensialitas), niscaya ia akan menyaksikan manifestasi aktualitas al Haq atas
dirinya dalam tindak kemaksiatan, dengan tetap menjaga tampilan lahiriyahnya
sejalan dengan nilai-nilai ajaran syariat, seperti halnya ia menyaksikan al Haq
dalam keta'atan.
Diantara mereka ada yang tidak menyaksikan- maksud saya (al Jailiy), tidak
diperlihatkan kepadanya manifestasi perbuatan al Haq, kecuali dalam tindak
kemaksiatan, sebagai bentuk ujian kepadanya dari al Haq, ia juga tidak bisa
menyaksikan-Nya dalam laku keta'atan. Orang seorang yang berada dalam atmosfir
penyifatan ini, akan lahir dua kemungkinan dari dirinya : 1.) Ia merupakan
orang di-hijabkan al Haq dalam keta'atan, karena Dia menginginkan orang
tersebut menjadi manusia yang ta'at, dan mengedepankan keta'atan dari sesuatu
yang lain. Maka al Haq menyibak tabir antara diri-Nya dan orang itu, Dia
tampakkan Diri Nya kepada orang tersebut dalam tindak kemaksiatan, agar ia
dapat menyaksikan al Haq dalam tindak kemaksiatan yang dikerjakannya, yang ia
tidak dapat menyaksikan-Nya dalam keta'atan. Adapun tanda dari realitas ini
adalah, kembalinya orang itu kedalam keta'atan, dan tindak kemaksiatan yang
dilakukannya tidak berlangsung lama. 2.) ia merupakan orang yang memiliki daya
persepsi kuat tentang urgensi kemaksitan, namun ia menikmati tindak kemaksiatan
yang dikerjakannya, sehingga ia terhijabkan dari al Haq, ia-pun melakukan
kemaksiatan secara kontinu, Na'udzubillah (kami berlindung kepada Allah) dari
perbuatan seperti itu.
Diantara mereka ada yang kadang-kadang menyaksikan al Haq dalam perilaku
keta'atan dan kemaksiatan, diantara mereka ada yang dalam penyaksian
manifestasi aktualitas al Haq tidak eksis, serta bersikap acuh terhadap
metafor-metafor, paradoks, isyarat yang ada pada tajalli-Nya, sehingga ia tidak
memahami urgensi manifestasi-Nya. Diantara mereka ada yang menyaksikan
manifestasi perbuatan al Haq, namun ia tidak eksis dalam penyaksian, ia masih
sulit mengetas dirinya dari lembah kemaksiatan, ia lalu menangis, mengibah,
sujud simpuh dihadapan-Nya, memohon kasih Maghfiroh (ampunan) al Haq dan
meminta perlindungan kepada-Nya, untuk memprevisi dirinya dari tindak
kemaksiatan yang tersurat dalam roda taqdir-Nya. Langkah spiritual seperti itu
menunjukkan kesesungguhan dan kejujuran orang itu, dalam mengakui keburukan
dirinya dihadapan al Haq, kejujuran yang tulus tersebut, akan menghamparkan
jalan baginya menuju penyaksian-Nya dan keter-bebas-annya dari jerat-jerat
nafsu syahwat dan nafsu-nafsu lainnya yang telah dikodratkan kepada dirinya.
Diantara mereka (para pelaku maksiat) ada yang tidak sedih, tidak sujud simpuh
dihadapan al Haq, tidak memohon perlindungan, dan meminta previsi-Nya, ia
merasa enjoy dan nyaman dibawah putaran roda kodrat-Nya, pola hidupnya mengalir
sejalan dengan aliran kodrat-Nya. Tidak ada sedikitpun dalam syakilah hatinya
rasa galau dan resah dalam menjalani tindak kemaksiatan, hal ini menunjukkan
akan keeksisan dan kediqdayaan Kasyf (pengetahuan intuitif)-nya. Dalam
penyaksian ini protipe manusia seperti ini lebih waskita dibandingkan protipe
pertama (manusia yang sedih, menangis, mengibah, memohon previsi al Haq dari
tindak kemaksiatan), selama ia bisa menjaga ke-salim-an (keselamatan) diri dan
jiwanya dari godaan nafsunya.
Diantara mereka ada yang tindak kemaksiatannya diganti al Haq dengan
keta'atan, yang dengan itu ia bisa melihat putaran roda qudrah-Nya dalam
kemaksiatan dan kodrat-Nya yang lain. al Haq memperlihatkan putaran kemaksiatan
kepada orang tersebut, Dia menulis tindak kemaksiatan orang tersebut sebagai
keta'atan. Dia tidak memberlakukan kepada orang itu 'nama' kemaksiatan,
diantara mereka ada yang nafsu kemaksitannya justru merupakan amal keta'atan,
sejalan dengan Iradah (kehendak) al Haq, orang seperti ini, meski perbuat
maksiat, tindak kemaksiatannya dihitung sebagai keta'atan oleh-Nya, protipe
manusia seperti ini, tampilan lahirnya terlihat selalu berbuat kemaksiatan, dan
melanggar perintah-perintahNya, utamanya jika disudut dari amar perintah-Nya
-ajaran syariat, namun jika di sudut dari sisi Iradah (kehendak) sejatinya ia
adalah muthi' (orang yang ta'at), yang sedemikian itu karena ia memakzulkan
kesaksiannya terlebih dahulu, sebelum datang (keluar)-nya perbuatan Iradah
(kehendak) al Haq. Tidak ada isim (nama) yang melabeli dirinya, melainkan
sejalan dengan Iradah-Nya, ia senantiasa melihat al Haq dalam setiap putaran
roda qudrah-Nya, dan al Haq melihatnya pula.
Diantara mereka ada yang disapa dengan kehinaan dan kerendahan serta
pemargmalan, al Haq bertajalli kepada insan yang berlumur kehinaan dan
kerendahan tersebut, hamba itu melihat tipu daya-Nya dan ia merasakan hal
tersebut pada dirinya. Namun dari lubuk hatinya yang paling dalam ia mengimani
apa yang mengkondisikan dirinya adalah merupakan putaran roda taqdir sejalan
dengan kehendak-Nya. Dalam sebuah riwayat ditandaskan, suatu hari seorang faqir
(insan yang merasa butuh kepada al Haq) dari komunitas pegiat hakekat, bertemu
salah satu teman sejawatnya (sesama faqir), orang itu berkata : wahai faqir,
andai kau tegakkan etika Allah dalam dirimu dengan menjaga dhahir (ajaran
syariat)mu, dan kau mohon kepadan-Nya keselamatan, yang sedemikian itu lebih
utama bagimu, dibandingkan meminta ketersambungan-Nya atas dirimu, si faqir
berkata : wahai tuan, kesediaanku menerima Iradah (kehendak)Nya, meski harus
mengenakan baju kehinaan dan kerendaan serta tipu daya-Nya, atau pengikutanku
kepada kesuksesan para pelaku maksiatan, kesemua itu lebih utama bagiku
dinandingkan etika, akankah anda memintaku mengenakan baju keta'atan yang
membuatku menafikan Iradah (kehendak)Nya?, aku tidak menjalani hidup dan
kehidupan ini, kecuali dalam rotasi kehendak al Haq, biarkan aku berjalan pada
jalanku, tinggalkan diriku, pergilan anda! Ketahuilah si faqir yang tidak mau
menjaga tampilan lahir (ajaran syariat) itu, meski capaian spiritualnya tinggi,
dan jelas tujuannya, namun, sejatinya ia adalah manusia yang mahjub (terhalang)
dari nilai-nilai hakiki. Ia telah banyak kehilangan al Haq dibanding
penemuannya, Infishal (keterpisahan)-Nya lebih sering dibandingkan Wushu
(ketersambungan)-nya, lebih dari itu waktu keintimannya dengan al Haq sangat
sedikit, kebanyakan waktunya terlewatkan dan terjauhkan dari al Haq, sebab
manifestasi al Haq dalam dimensi nama-nama dan sifat-sifat-Nya terhijabkan oleh
tajalli-Nya dalam perbuatan-perbuatan (aktualitas). Demikian uraian perihal
manifestasi perbuatan-Nya, tidak singkat dan tidak pula terlalu panjang. Dan
Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s
al-Ahzab 33 : 4)
Sudah Edit 13.
Manifestasi nama-nama al Haq
Jikalau al Haq bertajalli pada salah satu hamba-Nya, dengan isim dari
nama-nama-Nya, maka hamba tersebut akan tersinari cahaya nama-Nya yang Dia
tampakkan pada si hamba. Hidup dan kehidupan hamba itu bersemaikan cahaya
nama-Nya. Manakala anda memanggil al Haq dengan isim (nama) yang tertajallikan,
hamba tersebut akan menjawab panggilan anda, karena nama-Nya telah
termanifestasikan dalam dirinya. Pemandangan awal dari manifestasi nama-nama al
Haq adalah tajalli-nama-Nya al Maujud, nama ini Dia labelkan kepada segenap yang
wujud (Maujudaat). Adapun tajalli nama-nama Nya yang tertinggi adalah dengan
nama-Nya al Waahid sedang puncak tertinggi dari tajalli nama-nama ini adalah
dengan isim-Nya Allah. Pada tajalli ini, seorang hamba benar-benar telah sirna
dalam kefana'an bersamaNya. Pada Maqom ini al Haq memanggil hamba itu diatas
Thur (bukit) hakekat dirinya : Sesungguhnya dia adalah Aku (Allah). Pada
capaian spiritual ini Allah menghapus nama hamba-Nya, Dia menetapkan
(mengeksiskan) nama-Nya pada diri hamba tersebut. Jika kau memanggil : Wahai
Allah, hamba itu akan menjawab, % Labbaika..! (aku sambut
panggilanmu), jika kefana'an-nya bersama al Haq terus berkembang dan semakin
eksis, maka al Haq mendiqdayakannya dan mengkekalkan kefana'an hamba tersebut
bersama-Nya, Dia akan menjawab semua doa-nya, mengabulkan semua harapan hamba
itu, jika kau panggil hamba itu misalnya : wahai Muhammad, al Haq akan menjawab
panggilanmu : Labbaika..! (Aku sambut panggilanmu).
Kemudian jika hamba itu terus berkembang dan semakin eksis dalam kebersamaan
dan kedekatan (Qurb) bersama-Nya. al Haq bertajalli kepadanya dengan isim-Nya
ar Rahman, lalu dengan nama-Nya ar Rabb kemudian isim-Nya al Mulk, lalu dengan
nama-Nya al Aliim, kemudian isim-Nya al Qoodir. Setiap al Haq bertajalli dengan
nama-nama-Nya diatas, realitas tersebut juga menunjukkan tingkat (martabat)
kemuliaan nama-nama tersebut. Seperti ar Rahman lebih tinggi tingkatan
dibanding ar Rabb demikian seterusnya. Yang sedemikian itu manifestasi al Haq
secara partikuler lebih utama dibandingkan tajalli-Nya secara universal,
manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya ar Rahman adalah merupakan
partikulasi dari manifestasi universal yang tertampakkan pada nama-Nya Allah
manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya ar Rabb adalah merupakan
partikulasi dari manifestasi global yang tertampakkan pada nama-Nya ar Rahman,
manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya al Mulk adalah merupakan
partikulasi dari manifestasi global yang tertampakkan pada nama-Nya ar Rabb,
manifestasi-Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya al Aliim dan al Qoodir adalah
merupakan partikulasi dari manifestasi global yang tertampakkan pada nama-Nya
al Mulk, demikian pula dengan manifestasi nama-nama Nya yang lain.
Berbeda dengan manifestasi inti (dzat), jika inti (dzat)-Nya,
termanifestasikan dalam strata hukum tajalli martabat ketuhanan, maka hukum
umum berada diatas hukum khusus, jadilah ar Rahman diatas ar Rabb, diatas kedua
nama tersebut adalah nama Allah. Titik pilah antara tajalli nama-nama dengan
tajalli inti (dzat), tajalli dzat menghasilkan hukum umum diatas hukum
khusus, sedangkan dalam tajalli nama-nama, hukum umum dibawah hukum
khusus. Adapun muara daripada tajalli nama-nama yang pada hakekatnya adalah
tajalli dzat, akan menuntun dan memotivasi seorang hamba untuk mencari semua
nama-nama ketuhanan yang termanifestasikan dalam dirinya, seperti halnya nama
mencari (membutuhkan) yang dinamai. Pada fase ini sayap-sayap al Uns
(ke-intim-an) akan menerbangkan hamba tersebut ke relung ke-Qudus-an Nya. hamba
itupun sirna bersama Sang Oudus. Suatu yang menakjubkan dari manifestasi
nama-nama ini adalah, orang seorang yang ditampakkan manifestasi-Nya, ia tidak
menyaksikan selain inti perubahan, ia sama sekali tidak menyaksikan isim
(nama). Meski demikian manusia yang memiliki pemahaman hakekat sejati akan
dengan mudah mengetahui kekuasaan al Haq pada nama-namaNya tersebut, yang
dengan itu ia bisa menggapai maqom kedekatan (Qurb) dan kebesamaan bersama al
Haq, karena hamba itu menjadikan nama-Nya mediasi dan petunjuk pelaksanaan
untuk menggapai inti (dzat)-Nya. Dengan demikian hamba tersebut akan mengetahui
dari nama-Nya yang tertajallikan pada dirinya, bahwasanya Dia adalah Allah, Dia
adalah ar Rahman, atau Dia adalah al Aliim dan seterusnya. Nama al Haq yang
tertajallikan itu merupakan penguasa atas waktu hamba tersebut, dan merupakan
centra pandangnya kepada inti (dzat). Ada banyak protipe manusia dalam
penyikapan manifestasi nama-nama Nya ini, yang tidak mungkin kami paparkan
semua tajalli-Nya. Kami akan memaparkan sebagian tajalli nama-Nya, berikut cara
Wushul (sampai)nya tajalli nama-nama al Haq itu kepada hamba-Nya, sebab ada
banyak (ragam) cara Wishal (sampai) mereka kepada tajalli nama-nama al Haq.
Saya (al Jailiy) tidak akan memaparkan tajalli tersebut, melainkan apa yang
telah saya alami sendiri dalam proses suluk yang telah saya jalankan, atau apa
yang telah saya alami dari prosesi saya meniti jalan Allah, semua yang saya
wartakan ini merupakan epos cerita baik tentang diri saya, atau tentang insan
lain, dari pengetahuan yang saya peroleh melalui Kasyf (pengetahuan intuitif)
dan al Mu'ayanah (kasih pertolongan)-Nya.
Adapun protipe manusia dalam penyikapan manifestasi nama-nama-Nya ini,
diantara mereka ada yang ditajallikan kepadanya nama-Nya al Qodiim, adapun
prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut,
sehingga ia bisa memakrifahi bahwasanya eksistensi dirinya maujud (ada) dalam
ilmu-Nya, sebelum Dia menciptakan segala makhluk-Nya, dan ilmu-Nya maujud (ada)
sejalan dengan wujud-Nya. Dia adalah dzat yang Qodim (eternitas), maka ilmu itu
merupakan sesuatu yang Qodim, dan sesuatu yang diketahui melalui ilmu dan lebur
dalam keilmuanNya maka ia juga Qodim. Sebab ilmu tidak bisa dikatakan sebagai
ilmu (pengetahuan), melainkan melahirkan sesuatu yang bisa diketahui, sesuatu
yang bisa diketahui itulah yang memberi sang Alim, isim (nama) ke-alim-an.
Dengan I'tibar seperti itu dapat diketahui bahwa Maujudaat itu adanya lebih
dahulu katimbang Ilmu Ketuhanan, dan muara kembalinya seorang hamba kepada al
Haq adalah melalui dimensi nama-Nya al Qodim ini. Manakalah inti (dzat)-Nya
yang Qodim tersebut tertajallikan (termanifestasikan) pada diri seorang hamba,
maka runtuh dan sirnalah sendi-sendi ke-Huduts-an (kebari a,) seorang hamba,
jadilah hamba itu baqa' (kekal) dalam ke-Qodim-an (eternitas) bersama al Haq,
fana' (sirna)-lah wujud kebaruan (Huduts)-nya.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya al Haq
adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut,
sehingga ia bisa memakrifahi rahasia hakiki yang termetaforkan dalam firman-Nya
:
Dan tidaklah Kami ciptakan langit
dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya, melainkan dengan al Haq. Q.s. al Hijr 15 : 85.
Manakala inti (dzat)-Nya, tertampakkan dalam dimensi nama-Nya al Haq,
sirnalah eksistensi kemakhlukan seorang hamba, yang baqa' (kekal abadi) hanya
inti (dzat)-Nya yang Maha Oudus, hamba itu juga ter-transendensi-kan dari
segala sifat an Naqs (kekurangan). Diantara meraka ada yang ditajallikan
kepadanya melalui nama-Nya al Waahid adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia
memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut tentang asal penciptaan alam dan
isinya alam, serta menampakkannya dari inti (dzat)-Nya, seperti tampaknya ombak
dari lautan. Hamba itu juga menyaksikan manifestasi-Nya disegenap ciptaanNya,
melalui hukum ke-Tunggal-an (al Wahidiyah) pada fase ini, leburlah eksistensi
segala wujud, tunggal dalam kebersamaan dengan-Nya. Hilanglah ragam struktur
dan konfigurasi segala wujud tersebut, sirna ke dalam kesatuan Wahidiyah
(tunggal)-Nya, segala makhluk seakan seperti sebelum terciptakan, dan al Haq
kekal seperti sedia kala.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya al Quddus
adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba
tersebut, perihal rahasia firman-Nya,
Dan Aku telah meniupkan kedalamnya
ruh-Ku. (Q.s.
al Hijr 15 : 29).
Dia memakrifahkan kepada hamba tersebut, bahwa sejatinya ruh dirinya adalah
ruh-Nya, bukan ruh selain Diri Nya. Dia juga memahamkan kepada hamba itu bahwa
ruh Allah adalah Maha Suci dan tersucikan dari segala antropomorfisme (Tasybih)
makhluk-Nya, al Haq lalu memanifestasikan Diri Nya kepada hamba itu melalui
isim-Nya al Quddus pada fase ini, hamba tersebut tersirna (fana')-kan dari
kekurangan diri dan alam semesta, ia baqa' (kekal) dengan Allah serta
tersucikan dari sifat-sifat kebaruan (Huduts). Diantara meraka ada yang
ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya al Dhahir adapun prosesi
manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba tersebut, tentang
rahasia penampakkan Cahaya Ketuhanan (Nurun Ilahiyyun), pada wujud Katsib
(kasar) segala wujud. Huduts (adanya karena diadakan), sebagai mediasi untuk
memahami bahwasanya Allah adalah Tuhan yang Dhahir. Pada fase ini al Haq
memanifestasikan Diri Nya kepada hamba tersebut, sehingga hamba itu memakrifahi
esensi ke-dhahir-an Nya, dan manakala al Haq dhahir pada diri hamba itu, ia-pun
lenyap ke dalam dimensi batiniyah-nya, eksistensi kemahlukannya sirna (fana')
sejalan dengan dhahirnya al Haq dalam dirinya.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya melalui nama-Nya al Bathin
adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi Kasyf (intuisi) kepada hamba
tersebut, tentang tegak dan hidupnya segala sesuatu dengan al Haq, yang dengan
itu hamba itu bisa makrifahi bahwasanya al Haq adalah batin segala sesuatu.
Manakala Dia bertajalli dengan inti (dzat) kepada segala sesuatu tersebut
dengan nama-Nya al Bathin, maka lenyapiah wujud lahir sesuatu itu sejalan
dengan terpancarnya cahaya al Haq. Pada fase ini al Haq adalah batin sesuatu
tersebut, dan sesuatu itu merupakan dhahir-Nya. Diantara meraka ada yang
ditajallikan kepadanya melalui nama-Nya Allah adapun prosesi
manifestasi-Nya adalah tidak terbatas dan tidak berahiran, bahkan meliputi manifestasi
setiap isim (nama), dari nama-nama Allah yang tak terbatas, seperti yang telah
kaji bersama pada pasal terdahulu. Manifestasi dalam bentuk ini, tidak
terpengaruh oleh wacana yang silih berganti dalam segala situasi penampakkan.
Manakala al Haq memanifestasikan Diri Nya kepada hamba-Nya dengan nama-Nya
Allah, maka hamba itu merupakan 'ganti' Nya, pada capaian ini, runtuhlah
sendi-sendi kemakhlukan hamba tersebut dibawah puing-puing ke-Huduts-an
(kebaruan), terlepaslah pasung eksistensi dirinya sirna (fana') dalam
ke-baqa'-an bersama-Nya, jadilah hamba itu berada dalam singgasana ke-Esa-an
bersama-Nya. Tunggal bersama sifat-sifat-Nya, tidak tahu lagi ayah dan ibunya,
jikalau ada orang yang mengingat Allah, maka ia mengingatnya, barang siapa
melihat Allah, maka ia melihatnya, dengan demikian hamba tersebut tunggal dalam
ke-Esa-an bersama-Nya, tanpa Hului (pantaisme) dan Tasybih (atropomorfisme)
mutlak.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya malalui nama-Nya ar Rahman
adapun prosesi manifestasi-Nya, Dia memberi makrifah (pemahaman) kepada hamba
tersebut, bahwasanya tatkala al Haq bermanifestasi dengan nama-Nya Allah,
sejatinya Dia hendak menunjukkan kepadanya bahwa inti (dzat)-Nya, berada pada
martabat ketinggihan yang maha agung dan mencakup segala sifat kemuliaan yang
terlanskapkan dalam segala wujud ciptaan-Nya.
Realita tersebut merupakan Thariqah (jalan) bagi hamba tersebut untuk
Wishal (sampai) kepada tajalli dzat dengan mediasi nama-Nya ar Rahman. Hal
seorang hamba pada capaian spiritual ini (tertajallikan isim Rahman-Nya),
diturunkan kepadanya nama-nama ketuhanan satu persatu, dan hamba tersebut
menerimanya sejalan dengan kapasitas cahaya inti (dzat)-Nya, yang disematkan al
Haq pada dirinya. Setelah nama ar Rahman termanifestasikan dalam diri hamba
itu, lantas diturunkan kepadanya nama ar Rabb, ketika hamba tersebut mampu
menerima nama-Nya ar Rabb dengan baik, diturunkan lagi kepadanya nama-nama yang
berdimensikan Diri Nya, yang berada dibawah naungan nama ar Rabb, semisal al
Aliim, al Qodiir dan nama-nama Nya yang lain, hingga diturunkan kepada hamba
itu nama-Nya al Mulk, jika ia mampu menerimanya dengan baik, dan ia mampu
menangkap manifestasi inti (dzat)-Nya, maka turunlah kepada hamba tersebut,
nama-nama-Nya yang lain dengan segala kesempurnaan satu persatu, (nama
per-nama), hingga berujung pada nama-Nya al Qoyyum, jika nama al Qoyyum itu
terpatri dengan kuat pada diri hamba, maka bergantilah manifestasi
nama-nama-Nya kepada manifestasi sifat-sifat.
Syair-syair
al-Jilly
Ku jawab
seruan hamba yang memanggil dengan namanya.
Ia tidak
mengira bahwa sebutan namaNya adalah juga namaKu
Namanya
dan nama DiriKu adalah satu jiwa (ruh)
Sungguh
sangat mentakjubkan, Satu jiwa (ruh) dalam dua jisim
Setiap
hamba memiliki dua nama, namun satu zat
Jika
salah satu dari dua nama kau sebut, zat pasti ikut terpanggil
Zat
Diriku adalah zatnya, namaKu adalah namanya
Keadaan
setiap hamba adalah Tunggal dengan keadaan DiriKu
Kau akan
sulit menelisik hakekat ketunggalan nama ini
Akan
tetapi, seperti apa rasa jiwamu ketika kau rindu kekasihmu?
Aku Ku
adalah aku mu. Dia mu adalah dia Ku
Engkau
adalah DiriKu dan Aku adalah dirimu
Ruh
dirimu adalah satu dalam ketunggalanKu
Dalam
realitas wujud, tampak sendiri-sendiri
Itulah
wujud dirimu, sebelum dan sesudah penciptaanmu.
Sebagaimana
keadaan DiriKu, sediakala dan yang akan datang
Luhurkan
ruh dirimu, akan Aku singkapkan hijab dirimu
Tirai
penghalang dirimu dan DiriKu adalah matinya Qalbumu
Saksikan
DiriKu dengan melihat Kesejatian DiriKu
Dalam
setiap keindahan dan kesempurnaan, pandanglah DiriKu
Keindahan
dan kesempurnaan DiriKu sangatlah jelas
Tradisikan
semua itu dalam dirimu, engkau akan melihat DiriKu.
Sudah Edit 14.
Manifestasi Sifat-Sifat al Haq
Jikalau inti (dzat) al Haq termanifestasikan kepada salah satu daripada
hamba-Nya dengan sifat dari sifat-sifat-Nya, sebutan dan ingatan hamba tersebut
selalu beredar di-falak sifat-Nya dengan cara Kulli (universal) dan bukan
dengan cara juz'i (partular). Kedua sifat (kulli dan juz'i) itu tidak akan
mungkin dipisahkan dari diri para hamba, melainkan dengan cara global. Jika
seorang hamba memujikan
salah satu nama-Nya dan menyempurnakannya dengan harapan
global, maka ia akan dapat menduduki singgasana Arsy sifat tersebut, dan ia
akan disifati dengan sifat-Nya. Ketika hamba itu dapat menerima sifat-Nya
secara eksis dalam dirinya, maka ia akan dapat menerima sifat-sifat-Nya yang
lain, demikian seterusnya hingga ia dapat mewadahi nama-nama al Haq dalam
dirinya, sehingga sifat-sifat-Nya benar-benar sempurna dalam diri hamba
tersebut. Kemudian ketahuilah wahai saudaraku, manakala al Haq hendak
memanifestasikan Diri Nya dengan nama-nama atau sifat-sifat-Nya kepada salah
satu hamba-Nya, Dia akan mensirnakan diri hamba tersebut fana' bersama Diri
Nya, Dia leburkan eksistensi (wujud) hamba itu dalam kesirnaan bersama-Nya.
Manakala cahaya kehambaan telah padam, dan ruh kemakhlukan telah sirna (fana'),
al Haq akan mencitrakan Diri Nya pada struktur kemanusiaan hamba tersebut,
tanpa Hului (pantaisme), inti (dzat)-Nya tidak menempati jisim (tubuh) hamba
itu, kasih kelembutanNya tidak terpisahkan dari hamba tersebut. Dia juga tidak
tersambungkan dengan hamba-Nya yang lain sebagai ganti atas peleburan dan
kesirnaan struktur jisim hamba-Nya. Sebab manifestasi-Nya, kepada para
hamba-Nya adalah semata-mata karena kasih Fadhal (keutamaan) dan kasih al Juud
(kepemurahan) al Haq kepada para hamba-Nya. Jika para hamba itu difana'kan,
lalu Dia tidak mengganti kefana'an mereka dengan kasih keutamaan dan
kepemurahan-Nya, maka kesirnaan seperti itu adalah Niqmah (bencana). Kasih
kelembutan itu sejatinya adalah ruh al Quddus (ruh suci). Manakala al Haq
menegakkan kasih kelembutan dari inti (dzat)-Nya, sebagai ganti atas kefana'an
hamba-Nya, maka manifestasi kelembutan kasih tersebut merupakan esensi tajalli
Diri Nya. Hanya saja kami menamakan kasih kelembutan Ilahiyah dalam dimensi ini
dengan sebutan al Abd (hamba), dengan I'tibar ia (kelembutan kasih ini)
merupakan ganti atas hamba, sebab jika tidak demikian, maka tidak akan ada
hamba atau Rabb. Semantis logikanya jika tidak ada al Marbuub (yang diatur)
maka tidak ada Rabb (pengatur), yang ada hanyalah Allah semata, Tuhan Yang Maha
Esa.
Ketahuilah, bahwasanya manifestasi sifat-sifat al Haq, ibarat penerimaan
inti (dzat) seorang hamba (dalam bersifat) dengan sifat-sifat ar Rabb, dengan
penerimaan secara Ushul (dasar) dan hukum serta mutlak, seperti penerimaan
sesuatu yang disifati dengan sifat yang mensifatinya. Karena kelembutan kasih
ketuhanan yang terlanskapkan pada diri seorang hamba, tegak bersama struktur
diri hamba tersebut, serta merupakan ganti atas dirinya. Maka sifat-sifat
ketuhanan yang melanskapi hamba tersebut, merupakan sifat dasar (Ushul)-dan
mutlak. Manakala seorang hamba mensifati dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan,
maka sifat al Haq adalah sifat hamba tersebut dan sifat si hamba adalah sifat
al Haq. Ada banyak ragam penyikapan manusia dalam manifestasi sifat-sifat al
Haq ini. Penerimaan mereka akan manifestasi tersebut tergantung dari kemampuan
(kapabelitas) yang mereka miliki, sejalan dengan kapasitas keilmuan yang mereka
punyai, serta kekuatan azam (hasrat kuat) yang ada pada diri masing-masing
seorang hamba.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al
Hayatiyah, maka jadilah hamba tersebut sentra Hayah (hidup) alam semesta, ia
dapat memakrifahi rahasia hidupnya dalam Maujudaat (segala wujud) secara
universal, baik yang berdimensikan jasadiyah (badan kasar) maupun dimensi
ruhiyah (ruh). Ia bisa memahami makna-makna segala wujud dan mencitrakannya
dalam dirinya, yang dengan itu tegaklah sendi-sendi hidup dan kehidupannya secara
hakiki, boleh jadi citra makna-makna itu berupa al Aqwaal (perkataan-perkataan)
atau al A'maal (perbuatan-perbuatan), bisa juga berupa citra dimensi kelembutan
semisal al Arwah (ruh-ruh) atau citra al Katsib (alam kasar) semisal al Ajsaam
(tubuh-tubuh kasar). Lain halnya jika hidup dan kehidupan hamba tersebut mampu
Syuhud (menyaksikan), mampu menggapai Dzauq al Wujdaan (pengetahuan intuitif),
serta mampu memahami makna-makna tersebut dalam dirinya tanpa Wasilah
(perantara). Sang hamba akan mampu menggapai Kasyf Ilahiyah (intuisi
ketuhanan), serta memukasyafahi inti (dzat)-Nya. Pahami dengan seksama masalah
ini!
Saya (al Jaily), secara pribadi pernah merasakan tajalli sifat ini, yang
sedemikian itu, saya menyaksikan hidup dan kehidupan segala wujud dalam diri
saya. Saya melihat Qadar segala sesuatu yang maujud (ada) dalam kehidupan saya,
semuanya berjalan sesuai dengan kehendak inti (dzat)-Nya. Saya pada tajalli
tersebut hidup esa, tidak terpisah dengan inti (dzat), hingga tangan
pertolonganNya memindahkan diri saya dari tajalli inti (dzat)-Nya kepada
tajalliyaat-Nya yang lain. Sayapun lebur dalam manifestasi-manifestasiNya.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Ilmiyah,
yang sedemikian itu, tatkalah al Haq memanifestasikan Diri Nya dengan sifat al
Hayatiyah, yang terlanskapkan dalam segala wujud. Hamba tersebut merasakan
kekuatan ke-Esa-an Hayah (hidup)Nya dalam segala al Mumkinaat (sesuatu yang
mungkin). Pada saat itu al Haq memanifestasikan Diri Nya pada hamba tersebut
dengan sifat-Nya al Ilmiyah, maka hamba itu bisa mengetahui kesejatian ragam
alam (semesta) seperti sebelum dan paska penciptaannya. Ia bisa mengetahui
segala sesuatu, mulai pra penciptaan, prosesi penciptaan dan tujuan akhir dari
penciptaan segala wujud, ia juga bisa mengetahui sesuatu yang belum dijadikan,
serta akhir dari sesuatu yang telah dan akan terjadi. Ia bisa mengetahui sesuatu
yang akan terjadi, esensinya pengetahuan hamba itu menembus dimensi ruang dan
waktu, serta melintas batas logika. Kesemua itu merupakan ilmu yang datang dari
al Haq melalui pembelajaran secara langsung dari-Nya, serta merupakan ilmu yang
lahir dari Kafsy (pengetahuan intutif), pun Dzauq al Wujdaan dari inti
(dzat)-Nya. Dengan media keilmuan inilah rahasia ilmu-Nya yang tersimpan rapi
di Ghaib al Ghaib (kegaiban misteri), bisa dimakrifahi, baik rahasia ilmu-Nya
yang bersifat universal maupun parsial, global maupun partikular, dan untuk
menguak tabir kegaiban yang misteri itu adalah dengan Kasyf (pengetahuan
intuitif).
Ketahuilah bahwasanya ilmu Laduni (ilmu yang berasal dari pembelajaran
langsung dari al Haq), dan ilmu Dzati (ilmu yang terkait dengan inti (dzat)-Nya)
diturunkan secara partikuler dari Ghaib al Ghaib, (kegaiban yang gaib), ke
Syahadah asy Syahadah (realitas yang riel), bisa disaksikan rincian
globalitasnya dalam kegaiban, dan bisa diketahui universalitas Kulli-nya dalam
kegaiban yang gaib. Sedangkan ilmu Shifati (ilmu yang berdimensikan
sifat-sifat-Nya), tiada akan perna bisa diketahui, melainkan paska terjadinya
sifat tersebut dalam kegaiban yang gaib. Semua perkataan tersebut tidak akan
bisa dipahami, kecuali oleh al Ghuraba' (insan-insan yang gharib), tidak ada
yang bisa merasakan, kecuali para sastrawan ketinggihan yang telah menggapai
Kasyf (pengetahuan intuitif). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya
dengan sifat-Nya al Bashar, yang sedemikian itu tatkala Dia memanifestasikan Diri
Nya kepada hamba tersebut dengan sifat al Bashariyah (penglihatan), al Ilmiyah
(pengetahuan), al Ihaathiyah (peliputan) dan al Kasyfiyah (intuisi). Dia
menanifestasikan Diri Nya kepada hamba-Nya dengan sifat al Bashar (melihat).
Maka penglihatan hamba itu merupakan sumber ilmunya, demikian pula dengan
rujukan ilmunya bermuarakan kepada al Haq, bisa juga rujukan ilmu hamba itu
dimuarakan kepada makhluk-Nya, namun penglihatannya bermuarakan kepada al Haq,
ia dapat melihat segala wujud (Maujudaat), seperti ketika Maujudaat itu berada
di kegaiban yang gaib, (Ghaib al Ghaib)
Sungguh merupakan kenaifan yang sangat telanjang, banyak suatu
keterpesonaan yang mentakjubkan dalam tajalli ini, namun banyak di-acuh-kan
oleh kebanyakan orang, mereka bahkan menafikan kenyataan tersebut dalam alam
asy Syahadah (alam realitas). Cobalah anda memfokuskan diri menyaksikan
pemandangan ketinggihan nan agung ini, serta panorama tajalli yang terang dan
jelas, betapa mentakjubkan, betapa asyiknya tajalli ini, betapa banyak keterpesonaan
yang ada dalam manifestasi ini. Jangan jadikan diri anda manusia yang memiliki
penglihatan sehat dan jelas, namun tidak mampu menembus pandangan yang terang
dan jelas. Sebab banyak sekali para hamba yang ditajallikan sifat-sifat-Nya
pada dirinya, namun sifat kemanusiaannya masih dominan dalam dirinya, sehingga
sifat-sifat ketuhanan-Nya terpinggirkan dari dirinya. Padahal manakala
sifat-Nya termanifestasikan pada diri seorang hamba-Nya, maka sifat-Nya dan
sifat hamba tersebut menjadi tunggal, tidak ada dualisme sifat disini, namun
hanya sedikit sekali yang mampu memukasyafahi tajalli ini, yakni kegaiban-Nya
tidak mampu disaksikan kehadirannya, kecuali oleh sedikit insan saja.
Penampakkan al Haq pada hamba-Nya melalui sifat-Nya merupakan bentuk pemuliaan Diri
Nya kepada hamba tersebut berbeda dengan hamba yang ditajallikan kepadanya inti
(dzat)-Nya, yang kehadiranNya adalah kegaiban hamba-Nya, dan kegaiban-nya
adalah kehadiran al Haq.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya as Sam'u,
yang dengan itu hamba tersebut dapat mendengar perkataan al Jamadaat
(benda-benda padat), tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, serta perkataan para
malaikat dan bisa menyimak ungkapan multi bahasa serta ujaran-ujaran
makhluk-Nya yang lain. Demikian pula sesuatu yang jauh bagi hamba itu serasa
dekat, yang sedemikian itu, tatkala al Haq memanifestasikan Diri Nya dengan
sifat-Nya as Sam'u, hamba tersebut bisa mendengar dengan kekuatan ke-Esa-an
sifat tersebut ragam bahasa, multi ujaran komunikasi benda-benda padat dan
hewan-hewan. Dalam etos tajalli ini saya (al Jaili) telah menyimak ilmu
Rahmaniyah dari ar Rahman, saya telah belajar membaca al Qur'an secara hakiki,
sayapun merasa bahwa diri ini tidak lebih dari sebuah ar Rithlu (delapan ons)
sedang Dia adalah al Mizaan (neraca). Realita ini tidak bisa dipahami, kecuali
oleh ahli Qur’an yang merupakan ahli ketuhanan yaitu insan-insan khawas
(golongan istimewah) yang menjadi kekasih-Nya. Diantara meraka ada yang
ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Kalaam, yang dengan itu semua
Maujudaat (segala wujud), berasal dari Kalaam hamba tersebut, sebab tatkala al
Haq memanifestasikan Diri Nya, kepada hamba itu melalui sifat-Nya al Hayatiyah.
Kemudian Dia mengajari hamba itu dengan sifat 'Aliim-Nya, bahwa segala rahasia
hidup dan kehidupan berasal dari Diri Nya, lalu Dia memperlihatkan dan
memperdengarkan hamba itu dengan sifat al Bashar dan as Sam'u-Nya, berikut
dengan kekuatan ke-Esa-an hidup. Dia jadikan hamba itu berbicara dengan
Kalam-Nya, jadilah segala wujud dari kalam-Nya. Saat itulah sang hamba
menyaksikan dengan kalam-Nya, dalam capaian spintual ini keazalian segala
sesuatu seperti sedia kala, kalimatnya tiada ikan pernah habis dan tidak pula
berakhir.
Dengan tajalli ini al Haq beraudiensi dengan hamba-Nya tanpa Hijab (tirai
penghalang) nama-nama pra penampakkannya. Diantara para audien tersebut ada
yang bisa beraudiensi dengan inti (dzat)-Nya dari dalam dirinya, ia menyimak
pembicaraan yang datang bukan dari salah satu arah tertentu, bukan pula dengan
suara, penyimakannya akan ujaran-ujaran tersebut secara ke-universal-an dan
bukan dengan telinga. Dikatakan kepada hamba tersebut: kau adalah cinta Ku, kau
adalah kekasih Ku, kau adalah insan yang dicari dan diharapkan, kau adalah
wajah Ku pada segenap hamba, kau adalah harapan utama, kau adalah pencarian
tertinggi, kau adalah rahasia Ku dalam segala rahasia, kau adalah cahaya Ku
dalam segala cahaya, kau adalah permata Ku, kau adalah perhiasan Ku, kau adalah
keindahan Ku, kau kesempurnaan Ku, kau nama Ku, kau inti (dzat) Ku, kau sifat
Ku. Aku adalah namamu, Aku adalah citramu, Aku adalah tandamu, Aku metaformu.
Duhai kekasih Ku, kau adalah penolong segala wujud, kau adalah maksud dari
segala wujud dan Huduts (kebaruan). Dekatkan dirimu kepada penyaksian Ku, maka
Aku akan dekatkan diri Ku kepadamu dengan wujud Ku, jangan kaujauhkan dirimu
dari Ku, sebab Akulah yang berfirman :
Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya. (Q.s. Qaaf 50 : 16).
Jangan kau belenggu dirimu dengan isim (nama) seorang hamba, kalau bukan
karena adanya Rabb, maka tidak akan pema ada Abd (hamba), kau tampakkan Diri
Ku, seperti halnya Aku tampakkan dirimu, kalau bukan karena ubudiyah (ritus
peribadatanjmu, niscaya tidak akan tertampakkan Rububiyah (ketuhanan) Ku, kau
menjadikan Diri Ku tertajallikan, seperti halnya Aku menjadikan dirimu, kalau
bukan karena wujudmu, maka wujud tajalli Ku tidak tersibakkan, cinta Ku paling
dekat dari segala yang terdekat. Cinta Ku paling tinggi dari segala yang
tertinggi, cinta Ku menghendaki dirimu untuk pensifatan Diri Ku. Aku pilih
dirimu untuk Diri Ku, jangan kau keluarkan dirimu untuk selain Diri Ku, jangan
keluarkan Diri Ku dari dirimu. Cinta Ku adalah sari dalam buah, cinta Ku adalah
garam dalam makanan. Imajinasi Ku dalam ke-absurd-an, logika-mu dalam pengetahuan.
Cinta Ku, menjadikan Diri Ku terasa dalam jangkauan inderawi, membuat Ku
tersentuh dalam sentuhan. Kekasih-Ku, kau adalah muara harapan Ku, sentra
penglihatan Ku, media kasih kelembutan Ku. Betapa indah kebersamaan Ku
denganmu, betapa syahdu keintimanmu dengan Diri Ku.
Diantara para audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui lisan
makhluk (ciptaan)-Nya, ia menyimak pembicaraan dan satu arah tertentu, akan
tetapi ia sangat mafhum (faham), bahwa ungkapan itu bukan keluar dari arah
tersebut, meski berwujud ungkapan yang keluar dari lisan makhluk-Nya. Ia bisa
memakrifahi sejatinya perkataan tersebut berasal dari al Haq, adapun ragam
pembicaraanya sangatlah banyak, yang tidak mungkin kita rinci dalam karya ini.
Diantara para audien itu ada yang dilang-lang buanakan al Haq dari alam jisim
ke alam ruh, audiensi bentuk ini merupakan tingkatan tertinggi. Diantara para
audien itu ada yang diajak bicara al Haq melalui hatinya, diantara mereka ada
yang diterbangkan dengan ruhnya ke lapis pertama langit dunia, ada pula yang
diterbangkan ke langit lapis kedua dan ketiga, diantara mereka ada yang
diterbangkan ke Sidratul Muntaha, dan diajak bicara disana. Tingkat pembicaraan
masing-masing insan yang diajak bicara al Haq tersebut, tergantung daripada
kemampuan mereka memasuki dan memakrifahi dunia hakekat, sebab al Haq tidak
akan meletakkan sesuatu, melainkan pada tempatnya.
Pada saat pembicaran itu, diantara mereka ada yang diberikan contoh
(permisalan) cahaya-Nya yang dengan itu ia menjadi sumber segala cahaya,
diantara mereka ada yang dinisbatkan kepadanya menjadi al Munir (yang
menerangi) bersumberkan cahaya-Nya. Diantara mereka ada bisa melihat cahaya-Nya
dalam batinnya, yang dengan itu ia bisa mendengar pembicaraan dari arah cahaya
Ilahiyah (ketuhanan) tersebut, ia bahkan bisa melihat ragam cahaya ketuhanan
dengan berbagai citra. Diantara mereka ada yang melihat citra ruh, yang
memanggil-manggil dirinya, kesemua itu tidak dinamakan al Khitab (pembicaraan),
kecuali jika diberitahu al Haq bahwasanya Dia-lah sejatinya al Mutakallim (Sang
Pembicara). Kalamullah, adalah sebuah realita yang sangat nyata, tidak
membutuhkan dalil untuk mengetahuinya, bahkan kekhususan Kalamullah tidak samar
(tersembunyi). Orang seorang yang menyimak Kalamullah tidak menghajatkan dalil
maupun keterangan, terlebih al Burhan (aksioma), sebab dengan penyimakan
tersebut sang penyimak memakrifahi (memahami) dengan penuh keyakinan bahwasanya
Kalam (ujaran) itu adalah Kalamullah. Diantara yang diajak bicara itu ada yang
diangkat ke Sidratul Muntaha, al Haq berbicara kepadanya : Kekasih Ku,
ke-aku-anmu adalah ke-Dia-an Ku, kau adalah permata Ku. Kekasih Ku,
ke-universal-anmu adalah ke-Esa-an Ku, engkaulah harapan Ku, Aku adalah untukmu
bukan untuk Diri Ku, kau adalah yang Ku inginkan, kau untuk diri-Ku bukan untuk
dirimu. Cinta Ku... kau adalah nuqta (titik), diatas peredaran wujud, kau dalam
rotasi itu adalah pegiat ibadah dan yang disembah, kau adalah cahaya. Kau
adalah manifestasi, kau adalah kebaikan, kau adalah perhiasan, laksana mata dalam
struktur tubuh manusia. Diantara para audien itu ada yang dipanggil melalui dimensi kegaiban,
serta dapat mengerti warta-warta sebelum terjadi, yang sedemikian itu terjadi
karena permintaan mereka kepada al Haq untuk diberitahu, dan Diapun mewartakan
ujuran-ujaran tersebut. Diantara mereka ada meminta Karamah (kelebihan par
excelent), al Haq-pun memuliakannya dengan karamah, sebagai dalil untuknya jika
kembali ke alam inderawi, serta untuk mengeksiskan capaian spiritual (maqom)nya
dihadapan al Haq. Kita cukupkan paparan perihal al Mukallimin (insan yang
diajak bicara) al Haq sampai disini. Kita kembali ke pokok kajian manifestasi
sifat-sifat-Nya.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Iradah.
Ketahuilah bahwasanya wajah kehidupan makhluk adalah sejalan dengan Iradah
(kehendak) al Haq, manakala Dia bermanifestasi dengan sifat al Mutakallim
(berbicara), Dia beraudiensi dengan ke-Esa-an al Mutakallim (ujaran-ujaran)-Nya
kepada segenap makhluk-Nya, al Mukallimin (para audiens)-pun menyimak
ujaran-ujaran-Nya sejalan dengan kehendakNya. Mayoritas para insan yang telah
Wushul (sampai) pada tajalli ini, kembali mundur ke belakang (feed back).
Mereka mengingkari al Haq dengan apa yang mereka lihat, yang sedemikian tatkala
al Haq mempersaksikan kepada mereka dengan kesaksian inti (dzat) bahwa segala
sesuatu berjalan dengan Iradah-Nya di alam Gaib Uluhiyah (ketuhanan). Mereka
lantas mencari penyaksian tersebut dalam diri mereka di alam realita inis,
jelas realita itu mustahil terjadi di alam Syahadah (alam realitas) ini, karena
hal tersebut merupakan kehususan dua inti (dzat). Mereka lalu mengingkari
kesaksian inti itu, yang menyebabkan mereka feed back (melangkah
mundur), dan hancurlah kaca hati mereka, lantas mengingkari al Haq. Padahal mereka
telah menempuh raihan Syuhud (penyaksian), serta hilang (gaib) sesudah wujud.
Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya al Qudrah,
segala sesuatu terjadi dengan qudrah-Nya di alam gaib, Dia menampakkan
contoh-contoh produk kegaiban tersebut di alam kasat mata ini. Jika seorang
hamba terus intensif memelihara tajalli ini, maka capaian spiritualnya akan
meningkat, akan ditampakkan kepadanya segala sesuatu yang disembunyikan-Nya.
Pada tajalli ini saya (al Jailiy) telah mendengar Shalsahalah al Jaros (bunyi
lonceng), struktur tubuh saya terpencar, citra saya semburat, nama saya
terhapus, karena keterpesonaan (Haybah) saya yang tidak ketulungan, saya
seperti kain koyak yang tergantung di puncak pohon, dihempas angin kencang,
lambat laun terlempar dari pohon tersebut. Pada kondisi spiritual seperti itu,
saya tidak melihat, melainkan Buraq, awan putih kemilau yang mengguyurkan hujan
cahaya-cahaya, serta samudera yang berombak api, bumi dan langit ini serasa
berbenturan, saya merasa berada di kegelapan yang gelapnya berlapis-lapis.
Oudra itu terus menciptakan untuk diriku kekuatan-kekuatan Haybah
(kedahsyatan), Qudra juga membakar diri saya dengan nafs-nafsu, hingga Sang
Maha Perkasa membawa saya ke hanggar ketinggian, tampak keindahan yang terindah
dalam teropong lubang jarum imajinasi, semburat semua khayal. Imajinasi
menari-nari membentangkan karya ciptaan, ilasusi dan asums saya pun menari-nari
ingin merentah dirinya, pada waktu itu terciptalah segala sesuatu. Setelah saya
kembali kepada rasi-rasi bintang (falak) al Mulk (kekuasaan)-Nya, tiba-tiba
terdengar suara ketinggian :
Wahai langit dan bumi, datanglah
kamu keduanya menurut perintah Ku, dengan suka hati atau terpaksa. (Q.s. Fushushilat 41 : 11)
Diantara wajah manifestasi (Tajalli as Shifat) ini adalah, polarisasi
obsesi manusia-manusia yang bercita-cita besar, wajah tajalli ini terwajahkan
dalam dunia imajinasi, terdapat di dalamnya kreasi imajinatif yang penuh dengan
keghariban dan keajaiban. Tajalli ini juga menampakkan Sihir kelas tinggi,
dalam manifestasi ini : penghuni surga berbuat apa saja yang mereka kehendaki,
juga keajaiban benih yang ada di tanah yang dipakai mencipta Adam as, seperti
yang telah disebutkan Ibnu Arabi dalam kitab beliau. Dalam tajalli ini: manusia
yang berjalan diatas air, terbang di udara, mampu menjadikan sesuatu yang
sedikit menjadi banyak, dan banyak menjadi sedikit dan banyak lagi panorama
kejadian par excelent dengan segala wacana dan dimensinya. Janganlah kalian
heran wahai kawan-kawanku, sebab semua kejadian yang ada, sejatinya adalah satu
macam, namun memiliki ragam wajah, kenyataan tersebut melahirkan dimensi
kebahagiaan dan kepedihan, orang seorang yang bisa memaknai secara hakiki akan
bahagia, insan yang menafikan dan tidak menemukan makna hakiki, akan sedih.
Pahami dengan seksama metafora dan isyarat yang ada!
Kami telah berusaha memaparkan paradoks, metafor-metafor, isyarat-isyarat
yang berserak dari realita yang ada dengan kemampuan kami, karena kedalaman
rahasia yang tersimpan di dalamnya memerlukan tafakkur yang optimal untuk
menyingkapnya. Jika nantinya anda benar-benar mampu menggapai capaian pemahaman
hakiki dalam tajalli ini, anda akan mampu menyibak rahasia Qudrah yang terhijab
dan tersimpan. Pada khazanah capaian ini, anda bisa berkata kepada sesuatu: Kun
(jadilah) Fa Yakun (Maka Jadilah) sesuatu yang anda ujarkan tersebut, itulah
sejatinya amar-Nya yang terdapat diantara (Kaf) dan (Nun). Diantara meraka ada
yang ditajallikan kepadanya dengan sifat-Nya ar Rahmah, yang sedemikian itu
setelah dinisbatkan kepadanya Arsy ketuhanan (Rububiyah), dan dikuasakan
kepadanya sifat Rabb-Nya, di letakkan kepadanya Kursi kemampuan (Qudrah)
dibawah kakinya. Maka bergeraklah rahmat-Nya ke segenap Maujudaat (segala
wujud) dengan mediasi hamba tersebut, itulah sejatinya Kursi inti (dzat)-Nya,
penggerak sifat-sifat-Nya, ia melantunkan ayat-ayat:
Katakanlah : Wahai Tuhan yang
mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki,
dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan
orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang, dan Engkau masukkan siang ke dalam
malam, Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang
mati dari yang hidup, dan Engkau beri rizki siapa yang Engkau kehendaki tanpa
hisab. (Q.s.
ali Imraan 3 : 26 - 27)
Kesemua itu di alam gaib-Nya tersucikan dari keraguan, serta sebuah
kemestian yang tak terbantahkan, disinilah esensi perbedaan diantara dua sifat
dan dua inti (dzat). Diantara meraka ada yang ditajallikan kepadanya dengan
sifat-Nya al Uluhiyah, dalam tajalli ini berkumpul dua sifat yang bertolak
belakang, semisal hitam putih, lapang sempit, termasuk juga alam kerendahan dan
alam ketinggian. Pada fase ini nama dan sifat tak terlogikakan, kulit dan isi
telah terkupas, segala sesuatu terlihat:
Laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tapi bila didatanginya
air itu dia tidak ' mendapatinya sesuatu apapun, Dan didapatinya ketetapan
Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup. (Q.s.
an Nuur 24 :39)
Diperlihatkan kiri dan kanannya serta dibacakan kitabnya:
Dan dikatakan: Binasalah orang-orang
yang dzalim. (Q.s. Huudll :44)
Ketahuilah, bahwasanya Cahaya itu sejatinya adalah kitab yang tertulis,
memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki, seperti yang ditegaskan al
Haq dalam firman Qur’ani:
Banyak orang yang disesatkan, dan
banyak pula orang yang diberi petunjuk. (Q.s. al Baqarah 2 : 26)
Ketahuilah tiada jalan menuju-Nya,
tanpa cahaya, dan ia (Nur) merupakan Shiratullah ftalan Allah). Orang seorang
yang berjalan dibawah cahaya-Nya, akan beroleh petunjuk, sedang yang berjalan
dengan selain cahaya-Nya akan sesat. Diantara kehususan manifestasi sifa-sifat-Nya
ini adalah, bahwa seorang hamba yang tertajallikan, akan membenarkan
pendapat-pendapat (keyakinan) pemeluk segala agama, serta mengetahui asal
aqidah mereka, ia juga bersaksi akan raihan kebagiaan yang mereka raih, berikut
memahami prosesi capaian kebahagiaan yang mereka kerjakan, pun sebaliknya, ia
juga tahu raihan kedukaan, pun proses yang menyebabkan kedukaan mereka, lebih
dari itu ia juga mengetahi pintu-pintu kebenaran pemeluk lintas agama tersebut,
serta kevalidan kepercayaan mereka. Diantara kehususan tajalli ini juga, hamba
yang tertajallikan itu, menyalahkan semua pendapat (keyakinan) pemeluk lintas
agama, bahkan menyalahkan para Muslim, para Mukmin, para Muhsin dan para arif,
ia tidak membenarkan pendapat satu faksipun, selain pendapat para pegiat
hakekat yang sempurna, hanya pendapat ahli hakekatlah yang mereka terima, yang
lain tidak. Diantara kehusuan tajalli ini : Seorang hamba tidak mungkin baginya
melakukan penafian (an Nafyu), serta tidak mungkin baginya melakukan ketetapan
(al Itsbaat), ia tidak memperkatakan sifat, tidak pula membincang inti (dzat),
ia tidak terlabeli dengan isim (nama) tidak pula dibingkai dengan Rusum (aspek
lahiriyah).
Dalam tajalli ini saya berjumpa dengan para Malaikat al Muhaimin
(pelindung), saya lihat dengan ragam penyaksian, jika tersenyum ia menebarkan
keindahan, jika melihat ia membiaskan kesempurnaan, jika berbicara menaburkan
keperkasaan. Ada yang gaib dalam ke-Dia-an Dia, ada yang hadir dalam ke-Aku-an
Nya, ada yang hilang dalam wujud, ada yang ditemukan dalam Syuhud (penyaksian),
ada yang terpesona dalam ketakjuban, ada yang takjub dalam keterpesonaan, ada
yang lebur dalam kesirnaan (kefana'an), ada yang lenyap dalam kekekalan
(ke-baqa'-an), ada yang sujud dalam ketiadaan murni, ada yang beribadah dalam
wujud dan wujud. dalam kewajiban, ada yang binasa dalam wujud, ada yang
tenggelam dalam penyaksian, ada yang terbakar api ke-Esa-an, ada yang tenggelam
di dalam samudera as Shamdaniyah (tumpuhan segala-galanya), ada yang hilang
dalam Uns (keintiman) dan Wajd (menemukan) al Ouddus, insan yang menemukan
keintiman al Muhaimin ini, sirna dalam kequdusan. Orang seorang yang melihat
ihwalnya pasti akan terpesona, manusia yang ragu (gamang) ujaran-ujarannya akan
teratur, saya mengarahkan pandangan kepada penyaksian tersempurna, dan
kesaksian tertinggi, sebuah alih pandang yang berlandaskan hasrat kuat untuk
menyibak, bukan alih pandang berdasarkan kegamangan dan keraguan. Saya katakan
kepada malaikat al Muhaimin (pelindung) : wahai yang sempurna dan yang dekat,
ruh qudus yang santun nan terhormat, wartakan kepadaku, perihal ihwalmu dalam
penyaksian akan keberadaan dirimu, bicaralah kepadaku tentang citra dirimu,
jelaskan kepadaku dengan namamu. Ia menyambutku dengan sambutan yang santun
penuh kesejukan.
Malaikat al Muhaimin itu lantas berkata: Janganlah kau mencari dan meminta
isim (nama), yang membuatmu terpasung dengan jerat nama-nama, serta membuatmu
terpenjara di dalam rusum (aspek lahiriyah). Jangan mengandalkan apa yang ada
di kepalamu, karena akan memalingkan dirimu dari nilai-nilai hakiki, jangan
terpaku dengan lembaran-lembaran bertuliskan ilmu, karena akan menghijabkan
dirimu dari Rabbmu dan makhluk yang ada dilangit. Jangan kau mencari inti
(dzat)-Nya, karena kamu akan dipermalukan ketiadaan, meskipun demikian penafian
akan inti (dzat) adalah kekafiran, sedang mencari ketetapan inti dzat-Nya
secara kasat mata, hanya membuahkan kesia-siaan tak bertepi. Kedua hal
(penafian dan ketetapan) itu ibarat dua samudera dan al Haq,
Diantara keduanya ada batas yang
tidak dilampaui oleh masing-masing. (Q.s. ar Rahman : 55 : 20).
Malaikat al Muhaimin itu lalu
bertutur: Madluliyah (makna tersirat) dari ayat tersebut, al Haq seakan hendak
menegaskan : jika kau mencari ketetapan inti (dzat) Ku dengan ketetapan kasat
mata, maka kau akan ditegakkan oleh sesuatu selain Diri Ku, jika kau nafikan
Diri Ku, maka kau akan terhijabkan dari makna hakiki Ku, dalam kondisi
spiritual seperti itu jikalau kau mengklaim telah fana' bersama Ku, lantas
dimana letak kefana'anmu dari kefana'an diri Ku? Jika kau memaklumatkan bahwa
dirimu adalah manifestasi Diri Ku, maka ke-sirna-an mu adalah makna kebaikan
universal Ku, jika kau gamang maka kau telah faqir (merasa butuh) kepada Ku.
Jika kau mengakui kelemahan dirimu, maka telah lenyap sifat lemahmu, jika kau
mengklaim telah sempurna, maka itulah awal kekuranganmu dan kebodohonmu.
Ketahuilah bahwa masalahmu ada pada permulaan bukan pada penghabisan, jika kau
melaparkan dirimu, (berlapar-lapar diri) namun tidak mampu menangkap manifestasiKu,
sungguh kau adalah manusia yang rugi dalam arti yang sesungguhnya. Jika kau
bangun mutu dirimu dengan selain diri Ku, apa arti kemuliaanmu? Jika kau
tegakkan eksistensi dirimu diatas Arsy sifat dirimu, lantas dimana
kesempurnaanmu dihadapan kesempurnaan Diri Ku,? Untuk memakrifahi Diri Ku
adalah dengan Diri Ku, bukan dengan dirimu, Akulah yang mengatur dirimu, bukan
kau yang mengatur Diri Ku.
Malaikat al Muhaimin itu a lantas berkata : Falak-ku adalah falak al A'lah
(tertinggi,) masjid ku adalah al Aqsha, diberkahi sekelilingnya bagi penduduk
dan penghunjungnya, air yang tawar, bunga yang semerbak. Orang seorang yang
memuji dalam samuderah sanjung puji-Ku, akan dibawah berlayar sifat-sifat
diriKu, insan yang menaiki ke-pemurah-an dan kedermawanan Ku, akan memasuki
gerbang negeri Ku, insan yang melampaui batas diriKu, serta mengklaim sesuatu
yang tidak ada pada dirinya tentang diriKu, akan Ku pasung dia dengan Hijab
yang kontinu, dan Ku katakan kepadanya :
Janganlah kamu mengada-adakan
kedustaan terhadap Allah, maka Dia akan membinasakan kamu dengan siksa. (Q.s. Thaahaa 20 : 61)
Aku adalah Shiraathal Mustaqiim (jalan yang benar), Aku adalah pelurus
segala kebengkokkan, Aku beredar pada falak penciptaan segala kebaruan, Aku
bersama inti (dzat) yang ada-Nya tidak didahului oleh sesuatu. Malaikat al
Muhaimin itu terus menuangkan cawan-wacan hikmah dalam diriku, dalam jamuan
presensi (Hadrah) al Wujud, hingga terkuak semua misteri segala wujud yang
selama ini tersimpan rapat di rak-rak rahasia ketuhanan, ku tanyakan kepada
malaikat tersebut perihal tentara yang tersimpan, kabar agung, yang melahirkan
multi tafsir dan perdebatan tak berujung. Sang malaikat berkata : Dengarlah,
apa yang kau katakan itu adalah nama-nama yang benihnya berasal dari alam
ketinggian, aku perna menyimak panggilan nama tersebut, dengan suara yang
terfashih, keterangan yang paling jelas, dengan paparan yang tidak ada satupun
yang tertinggal dan tersembunyikan. Aku tanyakan kepada sang malaikat, apa
hakekat panggilan itu?, ia menjawab :
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah
mengajarkan al Qur'an. (Q.s. ar Rahman 55 : 1 - 2)
Ku katakan kepada sang malaikat, teruskan penjelasanmu, beri aku penjelasan
perihal diriku, ia menjawab simaklah wahai kisanak :
Dia menciptakan manusia. Mengajarnya
pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan
tumbuh-tumbuhan serta pepohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah
meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan.
Ku katakan kepadanya, wahai ruh yang didamba, kabarkan kepadaku tentang
ihwal diriku, tentang sesuatu yang memberi kontribusi bagi diriku, ia bertutur
:
Apabila matahari digulung. Dan
bintang-bintang berjatuhan. Dan apabila gunung-gunung dihancurkan. Dan apabila
unta-unta yang bunting ditinggalkan. Dan apabila bintang-bintang liar
dikumpulkan. Dan apabila lautan-lautan dijadikan meluap. Dan apabila ruh-ruh
dipertemukan. (Q.s. at Takwiir 81 : 1-7).
Dengan penuh kearifan, malaikat itu meneruskan penuturannya :
Apabila bayi-bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh. Dan apabila
catatan-catatan amal perbuatan dibuka. Dan apabila langit dilenyapkan. Dan
apabila neraka jahim dinyalakan. Dan apabila surga didekatkan. Maka tiap-tiap
jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. (Q.s. at Takwiir 8 -14)
Ku katakan lagi kepadanya wahai yang bijak nan mengangumkan, wartakan kepadaku
perihal burung Garuda Emas, tunjukkan kepadaku kesejatian pundi-pundi yang
tersimpan, diantara Kaaf dan Nun. Ia menjawab : cukuplah keteranganku buat
dirimu, apa yang telah aku paparkan sudah lebih dari cukup untuk dirimu. Ku
coba menyangganya, semua itu belum cukup bagiku. Ia balik bertanya, perlukah
aku menambahkan keteranganku? Ku jawab, aku sangat membutuhkan tambahan
penjelasanmu wahai ruh yang kudamba, ia berkata: adapun berikutnya ku tambahkan
kepadamu keterangan yang benar, dan pendapat yang beroleh petunjuk yang benar,
hanya saja dia sangat jauh dariku. Ku katakan kepadanya siapakah sejatinya dia
itu wahai tuanku,? Ia menjawab : hamba yang sama, kemudian ia melantunkan
Mereka tidak mendengarkan. (Q.s. al Anfaal 8 : 21).
Sesungguhnya keadaan-Nya, apabila
Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya Jadilah! Maka jadilah ia. (Q.s. 36 : 82)
Malaikat itu terus mengkhutbai diriku dalam jamuan Hadrah (presensi), ia
tampakkan kepadaku kejeniusan-kejeniusan yang membuatku hanyut dalam keterpesonaan,
hingga diriku berselimutkan kebahagiaan, dia memang pantas dikuasakan ilmu
hakiki nan suci ini, aku mencium semerbak ragam wewangian, merasakan puncak
kenikmatan hakiki, hingga ahirnya tangan qudrah-Nya menghempaskan diriku dari
ke-aku-an diriku, lebur dalam ke-Dia-an Dia, daya dan upayaku lebur dalam daya
dan upaya-Nya. Lenyaplah semua gambaran bentuk kehidupan, yang tersisah adalah
kematian yang tidak mati, dan kehidupan yang hidup, sebuah kematian dalam
kehidupan yang berkafankan keabadian, serta terlepas dari kebangkitan dan
pengumpulan, tidak ada sesuatu yang gaib, tidak pula ada yang hadir. Manakala
segala yang fana' telah sirna, semua yang wujud di kampung (akhirat) ini telah
binasa, ditanyakan kepada dirinya :
Kepunyaan siapakah kerajaan hari
ini? ia menjawab: Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Q.s. al Mu'min 40 : 16).
Syair-syair a-Jilly
Khalifah
hanyalah istilah untuk menamai wujud
Kekuasaan
Khalifah adalah Majaz,
Yang
Esalah Sang Penguasa
Khalifah
adalah nama Kiasan dalam realitas wujud
Sejatinya
Pemimpin dan Penguasa adalah Yang Maha Tunggal
Manakala
cahayaNya terbit terang dalam Qalbumu
Nama-NamaNya
akan menghiasi 'laku' dirimu di realitas wujud
Sirnakan
dirimu ke dalam ekstase asma-asma DiriNya
Kau akan
menjadi 'landasan' Tajalli asma-asmaNya di alam ini
Dirimu
sama persisnya sebelum dan sesudah penciptaanmu
Seperti
halnya AdaNya, seperti sediakala dalam keazalian DiriNya
Deburan
asma-asmaNya disurung tiupan keTunggalanNya.
Gulungan
ombak lautan sedahsyat apapun berasal dari satu samudra
Deburan
air yang semburat digerakkan oleh satu gelombang
Semua
gerak apapun bentuknya digerakkan oleh zat Yang Maha Esa
Wahai
Ruh segala ruh, dan ayat-ayat agung.
Wahai
pelipur lara setiap hati yang berduka nestapa
Wahai
muara segala harapan dan cita-cita
Ujaran
KalamMu sungguh sangat manis bagi diriku
Wahai
'Ka'bah' segala hakekat dan kesucian
Wahai
Arafah kegaiban,
Wahai
Pengkobar rindu Kami datang kepadaMu, dengan fana' kami
Kami
tukar semua dunia kami dengan ahiratMu
Jika
bukan karenaMu, niscaya kami tidak berwujud
Andai
bukan karenaMu, niscaya tidak paham kesejatianMu
Engkau
adalah muara segala keagungan dan kemuliaan
Hanya
kepada DiriMu segenap faqir memuarakan kebutuhan.
Pola dan
atur zaman ini sesuai kehenakMu
Engkau
adalah Maula da kami adalah abdiMu
Ayunkan
pedang di leher musuh-musuhMu
PedangMu
lebih tajam daripada besi paling tajam
Beri dan
tahan rizki hambaMu, sesukaMu
Agar
para abdiMu,rajin dan giat mengkais rizkiMu
Adakah
kehabagiaan yang melebih dekatMu?
Adakah
kepedihan yang melebihi keterpalinganMu?
Kabulkan
harapan mereka yang berbakti
Tolak
harapan mereka yang membangkang DiriMu
Kau
berkuasa memuliakan yang Kau suka
Kau
berhak menista yang Kau benci dan murkai
Pengabdian
yang nihil keihlasan akan sia-sia
Ketulusan
adalah kunci utama menggapai ridhaMu
Kau Maha
Keras siksaMu bagi tiap pendosa
Semua
pelaku kemaksiatan tidak akan lepas DariMu
Kau
adalah Diraja segala pemilik kekuasaan
KuasaMu
meliputi kekuasaan berdimensi kasat dan gaib
Engkau
memiliki Arsy agung poros kemuliaan
Dari
atas singgasanaMu Engkau Atur segenap karyaMu
Sudah Edit 15.
Sentra Manifestasi Inti (Dzat)
Ketahuilah, bahwasanya inti (dzat) ibarat wujud mutlak yang meruntuhkan
segenap ibarat (metafora), segala Idhafah (atribut), semua wajah (ruang dan
waktu), bukan karena semua itu diluar wujud mutlak, akan tetapi semua metafora
dan atribut kemahlukan dengan segala wacananya adalah bagian integral ( wujud
mutlak). Inti (dzat) dalam wujud mutlaq bukan dengan diriNya, tidak pula dengan
metafor (ibarat-ibarat), akan tetapi ia merupakan inti (dzat) wujud mutlak itu
sendiri. Wujud mutlak itu sendiri sejatinya adalah, dzat yang Syadzajah
(bercampur), yang tidak tampak pada isim (nama), sifat, penyifatan, nisbat,
atribut dan lain-lainnya. Tatkala inti (dzat)-Nya termanifestasikan pada
sesuatu yang disebut diatas, maka manifestasi tersebut dinisbatkan kepada
sesuatu yang termanifestasikan, dan bukan dinisbatkan kepada inti (dzat) murni.
Pada fase ini (murni tidak tercampuri sesuatu), dzat dihukumi berdasarkan inti
yang mencakup universalitas, parsialitas, global, parsial, nisbat serta
atribut, bukan dihukumi berdasarkan ke-kekal-annya. Inti (dzat) pada fase ini
bahkan dihukumi dibawah pemencaran dalam naungan kekuasaan ke-Esa-an dzat,
sehingga dzat tersebut menjadi wajah Ahidayah al Jam'ah ( kesatuan dari yang
banyak). Jika inti dzat itu di-ta'bir-kan dalam inti sifat-sifat, nama-nama,
maka inti (dzat) tersebut akan dihukumi berdasarkan Masyhuud (sesuatu yang
tersaksikan) sebagai dasar pengibaratannya, dan bukan berdasarkan inti (dzat).
Karenanya kami memakzulkan bahwa inti (dzat) adalah wujud mutlak. Kami
tidak menyebutnya dengan wujud Qodim (adanya tidak didahului oleh sesuatu),
bukan pula wujud wajib, agar tidak ada keharusan yang bersifat mengikat dan
membatasi pada inti (dzat), jika tidak demikian, maka yang dipahami dari inti
(dzat) dikajian pasal ini, adalah dzat yang Wajib al Wujud (Wujud yang mesti
ada dengan sendirinya) serta Qadim (eternitas). Sedangkan yang kami maksud
dengan wujud mutlak adalah tidak adanya ikatan dan batasan dengan wajah (kisi
dan sisi) apapun. Pahami dengan seksama masalah ini.
Ketahuilah, bahwasanya zat murni yang bercampur, jika ter-steril-kan (ter-transendensi-kan)
dari ketercampuran dan kemurnian, akan membuahkan tiga sentra wacana
manifestasi. Pertama : Ahadiyah (ke-Esa-an), pada tajalli ini tidak ada
sesuatupun dari I'tibar-I'tibar, atribut-atribut, nama-nama, sifat-sifat pun
segala sesuatu selain diri-Nya yang termanifestasikan. Dengan demikian Dia
merupakan dzat murni, akan tetapi telah dinisbatkan kepadaNya sifat Ahadiyah
(ke-Esa-an), karena-nya hukum kemurnian-Nya berubah menjadi ketercampuran.
Kedua : Hawiyah (ke-Dia-an), tidak ada satupun dari semua yang telah disebutkan
tertampakkan, kecuali Ahadiyah (ke-Esa-an). Karenanya kemurnian-Nya beralih
kepada hukum ketercampuran, meskipun demikian ketercampuran itu tidak
tertampakkan pada Ahadiyah. Karena keterbatasan akal (logika) dalam menangkap
dimensi kegaiban, yang bisa dilakukan adalah menangkap metafora
(isyarat-isyarat) ke-gaib-an dengan Hawiyah (ke-Dia-an) Dia di alam realitas
ini. Ketiga : Inniyah (ke-Aku-an) seperti halnya pada ke-Dia-an Dia, tidak ada
satupun dari yang tersebutkan diatas yang tertampakkan, kemurnian-Nya juga
beralih ke hukum ketercampuran, akan tetapi tidak tertampakkan pada ke-Aku-an
Dia seperti yang terjadi pada Hawiyah (ke-Dia-an) Dia, karena kemampuan akal
(logika) sangat terbatas dalam menangkap sesuatu yang berifat kekinian (pelik
kontemporer) dan hal-hal yang terkait dengan tatap masa depan (futuristik).
Yang perlu dicermati dalam masalah ini, ke-Aku-an Dia, terlembagakan dalam
ujaran-ujaran (Khitab) yang diarahkan kepada segenap makhluk-Nya, dengan
demikian Sang Pembicara, lebih mudah ditangkap isyarat-Nya katimbang dimensi
rahasia gaib-Nya. Pahami betul masalah ini, agar anda bisa menyingkap dimensi
yang tersirat!
Al Haq berfirman :
Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan
Aku.(Qs an
Nahl 16 : 2).
Aku adalah isyarat Ahadiyah (ke-Esaan), karena Aku merupakan maklumat
'penegasan' kemurnian, tidak ada ikatan dan batasan di dalamnya, demikian pula
Ahadiyah merupakan dzat murni mutlak yang tidak ada sesuatupun selain diri-Nya,
yang membatasi atau mengikatnya, sedangkan redaksi (Bahwasanya) dalam
ayat tersebut, merupakan isyarat, akan Hawiyah (ke-Dia-an), yang tersuplemenkan
kepada Ahadiyah, karenanya melahirkan pemahaman redaksional (Bahwasanya
Aku), sedangkan Aku mengisyaratkan Hawiyah yang tersuplemenkan kepada
Ahadiyah (ke-Esa-an) yang merupakan inti al Inniyah (ke-Aku-an), dengan
demikian pemahaman logis dari redaksi Qur’ani tersebut adalah Sesungguhnya
Allah, kabar tersebut, yakni Allah diruntutkan kepada Aku dengan penurunan
Inniyah (ke-Aku-an), namun berkapasitaskan Hawiyah (ke-Dia-an), dan Ahadiyah
(ke-Esa-an). Kesemuanya adalah ibarat inti (dzat) yang berada dibawah naungan
hukum ketercampuran, namun ketercampurannya tidak tertampakkan, karena
keterbatasan jangkauan akal insani. Tidak ada satu sentra manifestasi paska
ketiga sentra tersebut, melainkan sentra al Wahidiyah (ke-Tunggal-an), yang
dipresentasikan dengan martabat Uluhiyah (ketuhanan), dan bermuara pada isim
(Allah). Redaksi ayat Qur’ani telah memaparkan rincian tersebut dengan lugas
dan jelas, maka tafakkuri dengan seksama! Jika anda memahami apa yang kami
ungkapkan diatas, maka ketahuilah bahwasanya korelasi dua dzat itu, ibarat
kelembutan kasih ketuhanan, seperti yang telah kami paparkan pada pasal
terdahulu.
Sungguhnya al Haq, manakala bermanifestasi pada hamba-Nya, Dia sirna
(fana')kan hamba tersebut, dari diri dan ke-aku-an serta atribut kemanusiaan
dirinya. Dalam kefana'an itu Dia menegakkan kelembutan kasih ketuhanan-Nya
kepada si hamba, kasih kelembutan itu bisa berdimensikan inti (dzat), bisa pula
berdimensikan sifat, jika berdimensi inti (dzat), maka struktur kemanusiaan
hamba tersebut, merupakan individu yang sempurna, ia merupakan Ghaust
(penolong) dan sentral segala wujud, ia pantas diapresiasikan dengan sujud dan
ruku' (tunduk simpuh). Melalui hamba itu al Haq memelihara semesta alam dan
isinya alam ini, disematkan kepada hamba tersebut, 'label' al Mahdi (penunjuk)
dan al Khaatim (pamungkas), serta al Khalifah (pengganti), diisyaratkan
kepadanya seperti dalam kisah Adam as. Semua hakekat Maujudaat (segala wujud)
tertarik kepadanya untuk melaksakanan segala amar perintah, seperti halnya daya
tarik magnit yang menarik besi. Dunia tunduk simpuh dihadapan ke agung-an
person (individu) sempurna tersebut, ia mampu berbuat apa saja sejalan dengan kehendaknya,
dikuasakan kepadanya segala kekampuan (qudrah), tidak ada satu hijab-pun yang
menghalangi dirinya dengan al Haq.
Lathifah Ilahiyah (kasih kelembutan ketuhanan), akan tetap eksis berada
pada diri para wali (kekasih)-Nya, selama kelebihan par excelent itu masih
merupakan dzat bercampur yang tidak terikat (terbatasi) dengan tertib kedudukan
ketuhanan, pun hakekat ketuhanan serta terikat dengan atribut-atribut
kemahlukan dan kehambaan. al Haq memberi hak-hak segala wujud, sejalan dengan
martabatnya, baik martabat yang berdimensikan ketuhanan maupun kedudukan
kemahlukan, hak-hak yang diberikan itu, manakala tertampakkan pada sesuatu,
maka sesuatu itu berjalan berdasarkan hukum manifestasi yang tertampakkan,
bukan berdasar hukum inti (dzat). Dengan begitu sesuatu itu telah terhukumi
dengan batasan dan ikatan yang menyelimutinya, semisal nama atau sifat
(ketuhanan maupun kemahlukan), semua beredar dalam hukum ketercampuran , segala
sesuatu (yang wujud) dihukumi dengan Af'aal (aktualitas), bukan dengan hukum al
Quwwah (potensialitas). Namun demikian jika sesuatu itu terkait dengan inti
(dzat)-Nya, bukan hal yang mustahil ia dihukumi dengan al Quwwah dan bukan
dengan hukum Af'aal, karena hal tersebut merupakan al Mumkinaat (sesuatu yang
mungkin terjadi), tidak ada sesuatu yang menghalangi realita tersebut, selain
Haal (kondisi) dan waktu serta sifat, atribut kemahlukan serta hal-hal yang
lain seperti yang telah kami sebutkan diatas. al Haq adalah dzat yang
tertransendensikan (Tanzih) dari segala sesuatu, Dia merahmati pemberian segala
sesuatu kepada segenap makhluk (ciptaan)-Nya, lalu memberinya petunjuk. Andai
para pakar ketuhanan tidak melarang memaparkan tajalli Ahadiyah, terlebih
tajalli inti (dzat)-Nya, nicaya kami akan mewartakan ke-unik-an dan keanehan
manifestasi ini, serta keajaiban warta-warta ketuhanan yang berdimensikan inti
(dzat)-Nya yang murni, yang tidak ada isim (nama), sifat, sifat serta tidak ada
tempat masuk dan keluar. Bahkan kami akan turunkan pundi-pundi rahasia yang
tersimpan dalam khazanah rahasia kegaibanNya, ke alam realitas ini dengan
kelembutan ibarat pun kehalusan isyarat, yang dengan itu akan terbuka semua
pintu rahasia, terlepas semua pasung logika, yang dengan itu akan terelepas
ikatan tali kehambaan seorang hamba, dari belitan pasung Wushul (sampai) ke
surga (taman) inti (dzat)-Nya, yang terpelihara dengan prisai sifat-sifat yang
berdimensi cahaya-cahaya al Haq.
Allah membimbing kepada cahaya-Nya,
siapa yang Dia kehendaki dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.s. an Nuur 14 : 35)
Syair-syair
al-Jilly
Zat Mu
adalah Tunggal, dalam ragam spektrum
Segala
yang tampak dalam realitas wujud pancaran zatMu
TajalliMu
tersucikan dari penyerupaan mahlukMu
Zat
DiriMu termanifestasikan dalam sifat-sifat dan asmaMu
Zat
DiriMu laksana matahari yang bersinar terang
Seperti
halnya sifat-sifat dan asmaMu yang terlihat gamblang
Betapa
banyak 'dalil' (petunjuk) Mu yang diabaikan?
Banyak
kesesatan terjadi, akibat menafikan ayat petunjukMu
Mereka
yang 'menuhankan' pengetahuan rusum
Tidak
akan 'menyentuh' hakekat ketersambungan denganMu
Mereka
yang 'memuja' logika dan meliarkan pikir
Tidak
akan memperoleh Kasyaf, untuk menyibak rahasiaMu
Mereka
yang tidak mengerti kelembutan ayatMu
Tidak
ubahnya seperti manusia buta yang merabah-rabah gajah
Hakekat
kesempurnaanNya tidak terjangkau logika
Mata
Qalbumulah yang mengantarmu menyingkab gaibNya
Kobaran
api petunjuk dan pengetahuan nisbi
Tidak
akan membawamu kepada puncak keluhuran spritual
Kesucian
mata hati dan kejernihan mata pikirmu
Adalah
kendaraan utamamu mengkuak kesejatian ayatNya
Sifat-sifat
ketuhananNya lebur dalam zat DiriNya
Tanpa
raihan Mukasyafah. mustahil kau paham zat DiriNya
Sifat-sifatNya
adalah wasilah memahami zat DiriNya
Jika kau
paham kesejatian sifatNya, kau mengerti hakekat zatNya
Sudah Edit 16.
Al Hayyah (Maha Hidup)
Wujud sesuatu dengan dirinya sendiri, adalah hidupnya yang sempurna, wujud
sesuatu dengan yang lain selain dirinya adalah Hayatan Idhafiyatan (kehidupan
sambungan). Semantis logikanya wujud yang ada dengan sendirinya adalah wujud
yang sempurna, sedang wujud yang adanya karena bergantung kepada sesuatu yang
lain adalah tidak sempurna, al Haq maujud (ada) dengan diri-Nya, Dia adalah
Maha Hidup, dan hidupNya adalah kehidupan sempurna karena tidak terkait dengan
sesuatu selain Diri Nya. al Haq tidak terkait dengan kematian. Berbeda dengan
segala ciptaan-Nya, hidup dan kehidupan mereka bergantung kepada-Nya, karenanya
hidup dan kehidupan mereka disebut Hayatan Idhafiyatan (kehidupan sambungan).
Esensinya semua yang wujud hidup dan mati mereka bergantung, terlebih
tersambungkan kepada al Haq, segenap Maujudat memiliki ketergantungan dan
ketersambungan hidup dan mati kepada Allah berlaku pada mereka hukum fana'
(sirna) dan tidak baqa' (kekal). Jika orang seorang mampu memakrifahi
kesejatian al Hayah ini, ia akan memahami urgensi kefana'an dan kematian. Ketahuilah
bahwasanya manifestasi Hayatullah (hidup Allah) pada segenap makhluk-Nya adalah
Satu dan Sempurna, namun memiliki ragam bentuk penampakkan. Diantara mereka ada
yang ditajallikkan dalam hidup dan kehidupan mereka dengan citra hidup-Nya yang
sempurna, seperti yang termanifestasikan dalam hidup dan kehidupan Insaan
Kaamil (manusia sempurna), al Haq memanifestasikan hidup-Nya dalam diri manusia
sempurna itu dengan wujud hakiki, bukan wujud majazi serta wujud Idhafiyah
(sambungan) berdasarkan al Qurb al Kaamil (kedekatan paripurna). Manusia
sempurna itu hidup dan kehidupannya sangat paripurna, yang tidak sama dengan
kehidupan para malaikat ketinggian, dimana hidup dan kehidupan mereka masih
dalam pemeliharaan al Haq, padahal mereka adalah makhluk super yang tidak
terkait dengan unsur-unsur seperti al Qolam al A'lah (pena ketinggian), serta
Lauh dan benda-benda ketinggian sejenisnya. Para malaikat ketinggian dan
unsur-unsur ketinggian itu hidup dan kehidupan mereka, masih kalah dengan
kehidupan Insaan Kaamil, mereka bahkan akan mengikuti jejak Insaan Kaamil dalam
menggapai hidup dan kehidupan hakiki. Pahami dengan teliti masalah ini.
Diantara mereka ada yang ditajallikan dalam hidup dan kehidupannya dengan
citra hidup-Nya, namun tidak sempurna, seperti hidup manusia kebanyakan, atau
hidup bangsa Malaikat dan hidup bangsa Jin. Masing-masing memiliki
ketersambungan dan ketergantungan hidup kepada al Haq, masing-masing juga
mengerti bahwa al Haq Maujud (Ada), Dia berbuat apa saja dalam hidup dan
kehidupan mereka, namun perlakuan al Haq kepada mereka berbeda dengan
perlakuan-Nya kepada Insaan Kaamil (manusia sempurna), karena tingkat kedekatan
(al Qurb) mereka kepada al Haq berbeda dengan kedekatan Insan Kaamil. al Qurb
(kedekatan) itulah sejatinya yang membedakan inti hidup masing-masing
makhluk-Nya. Hidup seseorang akan sempurna, jika kedekatannya kepada al Haq
sempurna, orang seorang tidak akan bisa menggapai kehidupan sempurna jika
kedekatannya kepada al Haq tidak sempurna. Diantara mereka ada yang
ditajallikkan dalam hidup dan kehidupannya namun tidak dengan citra hidup-Nya,
seperti hidup Hayawanaat (habitat binatang) dan benda-benda hidup selain
manusia.
Diantara mereka ada yang ditajallikkan hidup-Nya dengan cara tidak
menampakkan nafas hidupnya, namun terasakan kemaujudan (keberadaan)-nya, oleh
yang lainnya, semisal tetumbuhan, tambang, hewan dan benda-benda hidup lainya.
Segala sesuatu yang wujud itu sejatinya adalah hidup, maka tidak ada sesuatupun
di alam realitas ini yang tidak hidup, karena wujudnya adalah inti
kehidupannya, perbedaannya ada pada hidup sempurna dan hidup tidak sempurna.
Kesempurnaan tidak akan terwujud, melainkan dengan hidup sempurna, karena
sejatinya hidup sempurna itu adalah kehidupan yang selaras dengan kedudukan
yang telah dikodratkan al Haq kepada segenap makhluk (ciptaan)-Nya. Semantis
logikanya makhluk yang tidak mampu menggapai hidup sempurna, adalah makhluk
yang hidup dan kehidupannya melenceng dari martabat (kedudukan) dan kodrat
penciptaan-Nya. Jika elemen-elemen kesempurnaan itu tidak ada pada diri
makhluk, maka mustahil hidup makhluk itu bisa sempurna, lebih dari itu ia tidak
akan bisa menggapai hidup sempurna. Manusia yang ingin menggapai kesempurnaan
hakiki, ia harus bisa menjadikan hidupnya sempurna, tanpa hidup sempurna mustahil
ia bisa menggapai kehidupan hakiki.
Segala yang wujud, belum disebut hidup dalam arti yang sesunggunya jika
tidak hidup dalam naungan kesempurnaan, yakni manusia disebut hidup jika ia
mampu hidup sempurna. Label hidup tidak akan disematkan kepadanya, melainkan
dengan hidup sempurna, sebab inti hidup dan kehidupan ini adalah satu,
ketunggalan itu tidak terbagi-bagi dan tidak partikuler, karena keterpencaran
Jauhar al Fard (entitas tunggal)-Nya adalah sebuah kemustahilan. Maka hidup
adalah entitas tunggal-Nya, Maujud (ada) dengan kesempurnaan-Nya bagi diri-Nya
dalam segala sesuatu, kehendak sesuatu merupakan manifestasi hidup-Nya, yang
sejatinya adalah Hayatullah (Hidup Allah). Dengan hidup-Nya segala sesuatu
menjadi hidup, tegaknya sesuatu dalam hidup dan kehidupan ini, itulah esensi
tasbih (sanjung puji) sesuatu tersebut kepada al Haq, itu pula hakekat daripada
dimensi nama-Nya (al Hayyu). Segala sesuatu yang wujud menghaturkan sanjung
puji kepada al Haq dengan mediasi ragam isim (nama)-Nya, meskipun demikian
tidak semua wujud yang bertasbih kepada al Haq memakai nama-Nya al Hayyu
sebagai mediasi sanjung pujinya, sebab al Hayyu merupakan inti wujud segala
sesuatu dalam hidup dan kehidupan sesuatu tersebut. Dengan demikian jelas
sekali bahwa wujud segala sesuatu adalah inti hidupnya, dan manifestasi hidup
al Haq pada sesuatu terlanskapkan dalam isim-Nya al Hayyu. Segenap makhluk-Nya
yang hidup bertasbih kepada-Nya dengan isim-Nya al Hayyu, karena hakekat wujud
makhluk adalah kesejatian hidup-Nya.
Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya
al Aliim memetaforkan masuknya sesuatu tersebut dibawah naungan ilmu-Nya. Jika
sesuatu itu berucap Yaa 'Aliim (Wahai Tuhan Yang Maha Mengetahui), hal itu
memetaforkan adanya pembelajaran ilmu dari Diri al Haq kepada sesuatu tersebut,
hingga sesuatu tersebut menjadi berpengetahuan, dan sesuatu itupun memiliki
pengetahuan par excelent karena pembelajaran langsung dari al Haq. Sanjung puji
(tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Qoodir
memetaforkan masuknya sesuatu tersebut dibawah naungan kekuasaan-Nya. Sanjung
puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq dengan mediasi nama-Nya al Muriid,
memetaforkan pengkhususan al Haq dengan Iradah-Nya kepada sesuatu tersebut
dibawah naungan kehendak-Nya. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al
Haq dengan mediasi nama-Nya as Samii', memetaforkan penyimakan sesuatu tersebut
dari al Haq, sehingga pendengaran-Nya ditampakkan pada pendengaran sesuatu itu,
demikian pula dengan perkataan sesuatu itu adalah perkataan al Haq, namun
demikian perkataan yang dimaksud adalah berkataan yang berdimensi hakekat, yang
tidak sama dengan perkataan yang jamak kita lihat pada perkataan manusia atau
makhluk-Nya yang lain. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al Haq
dengan mediasi nama-Nya al Bashiir, memetaforkan masuknya sesuatu tersebut
dibawah naungan penglihatan-Nya, namun penglihatan dalam dimensi hakekat, bukan
penglihatan dalam pemaknaan umum. Sanjung puji (tasbih) segala sesuatu kepada al
Haq dengan mediasi nama-Nya al Mutakkalim, memetaforkan masuknya sesuatu
tersebut dibawah naungan pembicaraan-Nya, yakni sesuatu itu maujud (ada) pada
kalimat-kalimat-Nya Qiyas-kan apa yang telah kami paparkan diatas dengan .
nama-nama al Haq yang lain.
Jika anda bisa memahami paparan diatas dengan makrifah yang utuh, maka anda
bisa mengerti bahwa sejatinya hidup sesuatu itu bersifat Muhditsah (bersifat
baru) jika dinisbatkan kepada Huduts (kebaruan) sesuatu tersebut. Adapun jika
hidup sesuatu itu dinisbatkan kepada Allah, maka sesuatu itu bersifat Qodim
(eternitas) karena sesuatu itu sejatinya adalah hidup-Nya, dan hidup-Nya adalah
sifat-Nya, sedangkan sifat-Nya tersuplemenkan dengan diri-Nya. Untuk mendalami
penjelasan ini, cobalah anda telisik dan tafakkuri diri anda (pribadi).
Lihatlah pada hidup anda, dan keterkaitan serta keterikatan pun batasan hidup
yang melanskapi diri anda, tentu anda tidak menemukan sesuatu, melainkan ruh
(Nya) yang husus ditiupkan pada diri anda, ruh-Nya yang ditiupkan ke jisim (tubuh)
anda itu adalah ruh-Nya yang Muhdits (bersifat baru). Manakala anda melintas
batas penglihatan anda dari kehususan (peniupan ruh) yang ada di jisim anda,
lalu anda merusaha menggapai Dzauq al Wujdaan (intuisi), dalam Syuhuud
(penyaksian), anda akan temui hakekat, bahwa segala yang hidup berada dalam
naungan hidup-Nya, dan andapun akan merasakan bahwa hidup dan kehidupan anda
adalah bagian integral dari hidup-Nya. Bahkan dengan Kasyf (intuisi) anda akan
memahami bahwasanya eksistensi wujud anda sejatinya adalah kesejatian
hidup-Nya, anda juga akan menyaksikan rahasia hidup dan kehidupan yang terdapat
pada Maujudaat (segala wujud), kesemua itu sejatinya adalah kehidupan al Haq.
Dengan hidup-Nya itulah hidup segala sesuatu, dengan hidupNya pula semesta alam
ini tertegakkan, itulah esensi daripada hidup Qodim Ilahiyah (eternitas
ketuhanan).
Maka hendaknya anda cermati dengan seksama, isyarat yang saya (al Jaily)
gunakan untuk ibarat dalam penjelasan ini, bahkan pada penjelasan semua karya
saya terdahulu. Saya sengaja memakai (ibarat) yang berbeda dengan para alim
(ulama) yang lain dalam menjelaskan metafor-metafor, paradoks, isyarat yang
lahir dari nilai-nilai ketuhanan. Mayoritas para alim menganggap pengibaratan
seperti ini, sebagai sesuatu yang tabuh, dan terlalu sakral untuk diungkapkan
kepada khalayak umum, karena ilmu ini merupakan ilmu khusus, yang hanya
orang-orang khusus saja yang boleh mengetahuinya. Dengan tetap menghormati
pendapat mereka, saya memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Menurut hemat
saya, masalah ini sah-sah saja diungkapkan kepada publik, karena saya selalu
mengacu kepada kaidah-kaidah yang berlaku dalam dunia hakekat, esensinya saya
masih berpijak pada kaidah pewartaan, ada sesuatu yang laik dan pantas
dipublikasikan, ada sesuatu yang tidak patut bahkan haram dipublikasikan,
sedang apa yang saya paparkan adalah masih dalam koridor yang dibenarkan
(dibolehkan) untuk diwartakan. Lebih dari itu apa yang saya wartakan, berikut
ibarat yang saya gunakan adalah tidak berdasar pendapat, Itba' (pengikutan)
orang lain, akan tetapi berdasarkan Kasyf (pengetahuan intuitif) yang saya
alami, kesemua itu dipaparkan dengan jelas dan gamblang dalam kembara intuitif
yang saya alami, lebih-lebih tidak ada satu tirai penghalang (hijab)-pun di
bumi dan langit ini.
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak
pula yang lebih besar dan itu, malainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata.
(Q.s. Yunus
10 : 61)
Ketahuilah, bahwa segala sesuatu dari makna-makna ketuhanan, nilai-nilai
Uluhiyah, citra-citra ketuhanan, perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan
ketuhanan, tetumbuhan, benda-benda yang ada di perut dan permukaan bumi, dan
segala sesuatu yang dilabeli wujud, kesemuanya memiliki hidup dengan dan untuk
dirinya, serta memiliki hidup sempurna, seperti hidup dan kehidupan Insaan
Kaamil (manusia sempurna). Akan tetapi karena banyaknya hijab (tirai
penghalang) yang mengkeruhkan hidup mereka, menyebabkan derajat hidup mereka
menjadi turun. Andai hijab-hijab tersebut lenyap, niscaya segala sesuatu akan memiliki
hidup dengan dan untuk Diri Nya, serta memiliki hidup sempurna. Dengan hidup
sempurna itu, sesuatu tersebut, berbicara, berpikir, mendengar, melihat,
berkehendak, berkuasa serta berbuat apa saja sejalan dengan keinginan-Nya.
Semua itu tidak bisa dimakrifahi (dipahami), melainkan dengan thariqah (jalan)
Kasyf (pengetahuan intuitif). Mereka-mereka yang telah Mukasyafah, akan bisa
menyaksikan kesejatian warta-warta ketuhanan yang diberitakan sang rasul
(Muhammad saw), bahwa laku perbuatan-perbuatan buruk maupun baik yang dilakukan
manusia di dunia ini, kelak pada hari kiamat, akan datang dengan citra (rupa)
tertentu dan akan berkata kepada si pelaku; aku adalah amal (perbuatan)mu,
demikian pula dengan perkataan baik dan buruk akan datang kepada sipengucapnya
dengan citra seperti ini dan seperti itu. Pemberitaan rasul saw itu adalah
semua kebenaran yang tak terbantahkan, namun tidak semua orang bisa
memukasyafahinya.
Demikian pula dengan firman al Haq,
Dan tidak ada sesuatupun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya. (Q.s. al Israa' 17 : 44).
Segala sesuatu yang wujud, semuanya bersanjung puji kepada al Haq, dengan
Lisaan al Maqol (ungkapan tetap), hanya manusia-manusia yang diberi al Haq
rahmat Kasyf (intuisi) sajalah yang bisa menyimak sanjung puji tersebut. Adapun
ungkapan tetap sanjung puji segala sesuatu itu adalah Hamdan Lillah dengan
pemaknaan hakiki, dan bukan Majazi. Maka pahami betul masalah ini! Termasuk
dalam citra sanjung puji ini adalah ungkapan tetap tasbih organ tubuh manusia.
Maka keimanan seseorang tidak akan bermuara kepada keimanan hakiki, manakala ia
belum mampu memukasyafahi semua yang kami sebutkan diatas. Pahamilah bahwasanya
kapabilitas iman anda kepada dimensi gaib, hanya bertaraf taklid (pengikutan
tidak berdasar), selama anda belum memukasyafahi dimensi gaib-Nya, anda akan
merengkuhi keimanan hakiki jikalau telah mukasyafah. Orang seorang yang telah
menggapai keimanan hakiki, ke-gaib-an baginya hanyalah merupakan wacana tempat,
sebab kegaiban baginya adalah kehadiran-Nya, dan kegaiban-Nya adalah
kehadirannya. Kematian bagi mukmin sejati hanyalah perpindahan dari satu alam
ke alam yang lain, yakni perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, ungkapan
seperti ini hanya bisa dipahami mereka-mereka yang telah mukasyafah. Pahami
dengan jeli metafora yang kami paparkan. Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33:4)
Sudah Edit 17.
Al ‘Ilm (Maha berpengetahuan)
Ketahuilah, bahwasanya al Tim (Maha Berpengetahuan), adalah sifat diri al
Haq yang bersifat azali, maka ilmu al Haq tentang diri-Nya, dan ilmu-Nya
tentang makhluk-Nya adalah satu ilmu, tidak terbagi dan tidak berbilang. Dia
mengetahui Diri Nya dengan apa-apa yang ada pada Diri Nya, Dia mengetahui
makhluk-Nya dengan apa-apa yang ada pada makhluk-Nya. Maka tidak dibenarkan
jika ada pendapat yang menandaskan, bahwa pengetahuan melahirkan ilmu bagi al
Haq, sebab hal itu berarti al Haq bergantung kepada sesuatu selain Diri Nya. al
Haq adalah Tuhan yang Berdiri Pribadi, Dia tidak bergantung kepada sesuatu
selain Diri Nya. Imam Muhyiddin ibnu Arabi, berperan besar dalam mewacanakan
pendapat tersebut, ia selalu berkata : Pengetahuan al Haq, memberi ilmu bagi
diri-Nya. Kami tidak sependapat dengan pendapat imam agung tersebut, kami juga
tidak menyebut pendapat itu merupakan puncak keilmuan sang imam. Kami memiliki
pendapat lain yang kami yakini dan tradisikan, bahwasanya ilmu al Haq adalah
murni berasal dari Diri Nya, tidak bersumberkan maklumat (pengetahuan), yang
dengan itu al Haq jadi mengetahui. Sebab semua kehendak-Nya adalah sejalan
dengan hakekat Diri Nya, dan semua hakekat Diri Nya, adalah sejalan dengan
ilmu-Nya. Kehendak dan ilmu al Haq adalah tetap, hukumnya juga tetap. Jika kami
mengamini pendapat Ibnu Arabi, hal itu berarti kami menafikan hakekat ketetapan
al Haq, bahwa ilmu al Haq sumber dasarnya adalah al Haq, sedang pengetahuanNya
berdasarkan ilmu-Nya bukan berdasarkan pengetahuan itu sendiri. Jikalau sumber
ilmu al Haq adalah pengetahuan, maka ilmu yang belum menjadi pengetahuan, yakni
ilmu universal dan asli serta berdimensikan diri-Nya sebelum diadakan atau
diciptakan tidak bisa disebut sebagai ilmu berlabelkan ketuhanan, karena belum
berwujud pengetahuan. Sungguh merupakan kenaifan yang nyata, jika al Haq
disifati dengan sifat Naqs (kurang) seperti itu, karena Dia adalah Tuhan Yang
Maha Sempurna.
Telisiklah dengan jeli, karena masalah ini sangat halus yang memerlukan
kejelian tela'ah, sebab jika pengetahuan al Haq memberi ilmu bagi-Nya, maka
tidak berlaku bagi Diri Nya Ghaniyyun anil Aalamiin, dan manakala pengetahuan
memberiNya ilmu bagi diri-Nya, maka gapaian ilmu-Nya bergantung kepada
maklumat, itu berarti al Haq memiliki ketergantungan kepada sesuatu selain Diri
Nya. Sungguh hal itu mustahil bagi-Nya, karena Dia adalah Tuhan Yang Maha
Sempurna, tidak bergantung kepada sesuatu selain Diri Nya, Dia adalah Tuhan
yang Berdiri Pribadi! Kembalikan kepada realita kehidupan insani, orang seorang
yang penyifatannya dimuarakan kepada sesuatu, maka ia Muftaqir (merasa butuh)
dan memiliki ketergantungan kepada sifat sesuatu tersebut. Jika hal ini
dinisbatkan kepada al Haq, jelas hal itu mustahil karena Dia adalah dzat yang
Ghaniyyun 'An Ghairihi (tidak butuh kepada selain Diri Nya) pun 'an 'Alaamiin
(alam dan isinya alam).
Penyifatan ilmu kepada al Haq, adalah merupakan penyifatan Diri Nya, karena
ilmu adalah sifat Diri Nya, jika diri al Haq disifati dengan merasa butuh
(Muftaqir) kepada sesuatu, Maha Suci Allah dari penyifatan an Naqs
(ke-kurang-an) seperti itu. al Haq disifati al Aalim -Maha Mengetahui-, karena
penisbatan ilmu kepada-Nya adalah mutlak, Dia dinamakan 'Aliiman, karena semua
maklumat (pengetahuan) dinisbatkan kepada-Nya, Dia dinamakan 'Allaaman, karena
semua ilmu dan pengetahuan adalah milik-Nya dan bermuara kepada-Nya, maka al
'Aliim adalah isim (nama) sifat Diri, karena tidak adanya nisbat pengetahuan
Diri Nya, kepada sesuatu selain Diri Nya. Ilmu merupakan sifat diri-Nya yang
melembagakan kesempurnaan inti (dzat)-Nya, sedangkan al Aalim adalah nama sifat
yang berdimensikan perbuatan, yang sedemikian itu ilmu-Nya terhadap sesuatu,
baik ilmu-Nya terhadap diri Nya, atau sesuatu selain Diri Nya, adalah
berdimensikan perbuatan. Karenanya jika ada yang memaklumatkan bahwasanya Dia
'Aalimun bi Nafsihi, yakni mengetahui Diri Nya, dan mengetahui yang lain selain
Diri Nya, serta mengetahui ilmu yang lain selain Diri Nya, semantis logikanya
realita tersebut merupakan sifat perbuatan-Nya, serta berdimensikan Sifat
Perbuatan. Adapun Allaamah dengan sudut pandang nisbat keilmuan, ia merupakan
nama sifat Diri seperti al 'Aliim, sedangkan jika di sudut dengan nisbat
maklumat (pengetahuan) terhadap sesuatu, maka ia merupakan sifat yang
berdimensikan perbuatan. Atas dasar itulah penyifatan terhadap makhluk
(ciptaan), kebanyakan dengan istilah Aalim, dan tidak memakai istilah
penyifatan 'Aliim atau 'Allaamah. Dalam kehidupan ini jamak kita dengar si
fulaan adalah Aalim, tidak pernah kita dengar ada ungkapan si Fulan 'Aliim atau
'Allaamah, lain halnya jika penyifatan itu bersifat kemahiran khusus, atau
kelebihan par excelent seseorang, semisal si fulaan Aliim ini dan itu, hal itu
berarti si Fulan tersebut memiliki kemahiran diatas rata-rata dan memiliki
spesialisasi keahlian ilmu yang jarang dimiliki orang lain, akan tetapi tidak
akan pernah ada sebutan si Fulan Allaamah secara mutlak, karena jika sifat ini
dilabelkan kepada seseorang, seakan merupakan pentahbisan bagi orang itu
sebagai pencipta ilmu, padahal segala ilmu adalah milik Allah, Dia-lah pencipta
ilmu, sedang ilmu manusia adalah pemberian al Haq. Pahami betul masalah ini!
Ketahuilah, bahwasanya ilmu adalah sifat yang paling dekat dengan sifat al
Hayyu (Yang hidup), seperti halnya sifat al Hayah (hidup), merupakan sifat yang
paling dekat dengan dzat, seperti yang telah kami paparkan pada pasal
terdahulu. Wujud sesuatu dengan dirinya adalah hidupnya, wujudnya bukan inti
(dzat)nya, tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada inti (dzat) melainkan a!
Hayah (hidup), tidak ada sesuatu yang lebih dekat kepada al Hayah melainkan al
Ilm (ilmu). Setiap yang hidup (al Hayyu) lazim (harus) mengetahui suatu
pengetahuan tertentu, baik berupa ilham ilmu seperti yang ada pada hayawaniyah
(makhluk yang bernyawa), yaitu ilham-ilham tentang kebutuhan hidup yang harus
mereka perankan semisal, makan, minum, bergerak dan diam serta pelik kehidupan
lainya, ilmu dalam dimensi ini adalah sebuah kemestian adanya bagi dan untuk
sesuatu yang hidup. Ada juga ilmu yang bersifat primer atau berdimensikan
kepercayaan, semisal ilmu manusia, malaikat dan jin, keilmuan produk inilah
yang lebih dekat kepada pensifatan al Hayah. al Haq memakai redaksi Kinayah
guna mewartakan perihal ilmu dan hidup ini, seperti yang termaktub dalam firman
Qur'ani : Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan, yakni
orang bodoh, maka Kami ajari dia, Kami berikan kepadanya cahaya yang terang
yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat manusia yakni
dengan aktualitas (tindakan kongkrit) mengamalkan nilai-nilai keilmuan yang
ada, Serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita, yakni
di dalam gelap gulita tabiat (adat istiadat) yang merupakan inti daripada
kebodohan, Sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya, karena kegelapan
tidak akan memberi petunjuk, melainkan kegelapan juga. Kebodohan produk tabiat
tidak akan menjadikan seseorang mampu (sampai) kepada etos keilmuan, orang yang
bodoh tidak mungkin mampu mengetas dirinya dari kebodohan jika menjadikan
kebodohan sebagai media pengetasannya, yakni kebodohan tidak akan bisa dihilangkan
dengan kebodohan.
Demikianlah Kami jadikan orang yang
kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. (Q.s. al An'aam 6 : 122)
yakni mereka itulah sejatinya manusia-manusia yang menutup wujud al Haq
dengan wujud diri mereka. Mereka tidak menyaksikan dalam diri mereka dan pada
segala wujud (makhluk)-Nya, melainkan etos kemakhlukan-nya, dengan demikian
mereka terhijabkan dari wajah Allah. Mereka memaklumatkan bahwa pensifatan-Nya
bukan merupakan makhluk, dan pensifatan-Nya tidak didahului oleh al Adam
(ketiadaan), namun mereka tidak menemukan kesejatian keyakinan mereka, lebih
dari itu mereka tidak mampu menggapai Dzauq al Wujdaan (intuitif), bahwasanya
al Haq, jika bermanifestasi pada makhluk-makhluk-Nya, sejatinya bentuk
manifestasi-Nya adalah dengan sifat-sifat-Nya, yang merupakan sifat Diri Nya.
Dia sama sekali tidak terkait dengan sesuatu yang bersifat an Naqais
(kekurangan-kekurangan) al Muhdatsaat (kebaruan-kebaruan). Jika Dia bertajalli
pada sesuatu, akan tampak sifat kesempurnaan-Nya pada sesuatu tersebut,
bersamaan dengan itu tergerus (lebur)-lah sifat kekurangan dan ketidak
sempurnaan sesuatu itu, sehingga hukum kekurangan sesuatu tersebut menjadi
hilang. Jadilah sesuatu itu berada dibawah naungan hukum kesempurnaan-Nya, dan
kesempurnaannya menjadi sempurna karena dinisbatkan kepada kesempurnaan al Haq.
Kesempurnaan tidak akan membuahkan kesempurnaan melainkan dengan kesempurnaan
itu sendiri, kesempurnaan tidak dibangun dengan kekurangan, kesempurnaan hanya
bisa dibangun dengan kesempurnaan itu sendiri.
Manakala ilmu merupakan kelaziman hidup, maka hidup juga merupakan
kelaziman ilmu, sebab adalah mustahil ada wujud Aalim tanpa adanya hidup si
Aalim, satu sama lain ( ilmu dan hidup) merupakan kelaziman yang tak
terpisahkan. Jika anda telah memahami paparan realitas ini, maka patrikan dalam
diri anda, bahwa kelaziman yang tak terpisahkan tersebut berdasarkan
indepedensi masing-masing sifat Diri al Haq, jika tidak indepeden maka ada
sebagian sifat al Haq yang tersusun dari sifat-Nya yang lain, atau ada
sifat-Nya yang terdiri atas Musytarakah (ambiguitas) daripada sifat-sifat Nya
yang lain. Sungguh merupakan kemustahilan yang nyata, jika sifat al Haq tidak
indepeden terlebih sifat-Nya merupakan ambiguitas daripada sifat-sifat-Nya yang
lain. Ambillah satu contoh, sifat-Nya al Khaaliqiyah (penciptaan), ia tidak
tersusun dari sifat Qudrah-Nya, Iradah-Nya, atau sifat Kalaam-Nya, kalau hal
itu merupakan sifat makhluk, tentu ketiga elan vital (qudrah, iradah, kalam)
itu sebuah keniscayaan dalam penciptaan, akan tetapi jika hal itu merupakan
sifat al Haq, jelas merupakan hal yang mustahil, karena sifat al Khaaliqiyah
merupakan sifat al Haq yang Tunggal, ia merupakan sifat yang indepeden, tidak
tersusun (terorganisir) dengan sifat-sifat lainya, demikian pula dengan
sifat-sifat-Nya yang lain, adalah merupakan sifat-Nya yang murni, tidak
tercampur dengan sifat-sifat yang lain. Jika anda mengakui kevalidan hak al Haq
tersebut, maka anda juga berhak mengakui hak tersebut pada makhluk-Nya, karena
al Haq menciptakan Adam as berdasarkan citra-Nya. Semantis logikanya, sifat
manusia merupakan duplikat daripada sifat-sifat ar Rahmaan (Maha Pemurah), itu
berarti semua sifat al Haq juga ada pada sifat manusia, semisal sifat-Nya ar
Rahman juga bisa kita temukan pada diri manusia, demikian seterusnya.
Cobalah telisik realita kehidupan ini, terkadang anda temukan ada manusia
yang hidup namun ia tidak berilmu atau seorang Aalim meski ia telah meninggal
namun ilmu-nya masih hidup, sehingga ia serasa masih hidup ditengah-tengah
kehidupan. Kehidupan tanpa ilmu bagaikan kematian. Kematian yang tetap hidup
karena ilmu tersebut, bukan sekedar ilusi logika anda, namun merupakan
kenyataan hidup yang ada dalam alam realitas ini, dan bisa dirasakan pada
rasionalitas segala wujud. Demikian pula dengan naiasi imajinatif yang lahir
dari benak anda, adalah merupakan makhluk (ciptaan) Rabb anda, meski belum
teraplikasikan ke alam realitas dan rasionalitas wujud, ia merupakan
makhluk-Nya, dan hayal imajinatif itu akan wujud di alam ini melalui media
(perantara) manusia, pun pem-bumi-an imajinasi itu bisa lahir dari imajinasi
diri sendiri, atau imajinasi orang lain. Dan diatas pengetahuan para alim
(ulama) ada Tuhan Yang Maha Aliim. Diatas tiap-tiap orang yang berilmu
pengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui. (Q.s. Yusuf 12 : 76).
Ketahuilah, bahwasanya alam indera itu, merupakan cabang daripada alam
imajinasi, al Haq adalah penguasa dan pemilik alam Malakut, tajalli-Nya di alam
Malakut itu adalah sejalan dengan citra malaikat yang ada di alam ketinggian
tersebut. Rentahan kalimat-kalimat (ujaran-ujaran) yang mengandung rahasia
ketuhanan itu tidak mungkin kami paparkan, meskipun demikian perlu kami
wartakan kepada anda, bahwa kalimat-kalimat berdimensi rahasia ketuhanan itu,
merupakan kunci pembuka utama inti rahasia-Nya, baik yang ada di alam
ketenggihan (langit) maupun alam rendahan (bumi). Kita akan bahas khusus
masalah ini pada pasal Malakut dalam karya ini. Kini terserah anda mau
mengatakan tentang sifat ilmu dan hidup ini, adakah kelaziman keterkaitan
diantara keduanya, ataukah tidak ada. Luaskan daya persepsi anda ke sisi
Uluhiyah (ketuhanan) yang berkata melalui lisan nabi-Nya;
Sesungguhnya bumi sangat luas, maka
kepada Ku-lah hendaknya kalian menyembah.
Syair-syair
al-Jilly
Ilmu
adalah titik kebenaran segala
sesuatu.
Pintu
utama memahami kebenaran hakiki
Segala
realitas wujud dan dimensi gaib
Dalam
Pengetahuan Sang Maha Ilmu
Segenap
ciptaanNya dititipi ilmuNya Ilmu
segala
wujud adalah Ilmu DiriNya
Dia
mengetahui segala yang qadim
Dia
mengerti segala kebaruan yang datang
Hakekat
ilmu adalah suci dan Satu
Dalam
kesatuan tak terpisah dan tersembunyi
Ia utuh
dalam gaib, terbunca dalam kasat
Ia satu
dalam kabut, terurai di alam realitas
Keutuhan
ilmu dalam kabut bersifat global
Terinci
hakekatnya secara parsial di alam ini
Dengan
ilmu, dapat dimakrifahi ayatNya
Dengan
ilmu, dapat dipahami hakekat nafsu
Dengan
ilmu, kita memahami hakekat zat
Tanpa
ilmu kesejatian zat tidak akan terurai
Ilmu
menyempurnakan kekuarangan sesuatu
Ilmu
menjadikan sesuatu yang buruk menjadi elok
Ilmu
meluruskan kebatilan kepada kebenaran
Ilmu
mengangkat sesuatu yang rendah menjadi mulia
Sudah Edit 18.
Al Iradah (Maha Berkehendak)
Ketahuilah, bahwasanya al Iradah (berkehendak) adalah § sifat tajalli
(manifestasi) ilmu al Haq, sejalan dengan keinginan inti (dzat)-Nya, keinginan
itulah sejatinya yang disebut al Iradah, ia merupakan kekhususan al Haq, yang
terlembagakan dalam pengetahuan-Nya terhadap segala wujud, selaras dengan
kehendak keilmuan-Nya, penyifatan ini dinamakan al Iradah (berkehendak).
Keinginan (iradah) yang tercipta dalam diri kita, sejatinya adalah inti
kehendak al Haq, akan tetapi jika Iradah itu dinisbatkan kepada diri kita, maka
Iradah itu bersifat Huduts (kebaruan). Atas dasar itulah kami menyebut Iradah
sebagai makhluk, karena penisbatannya kepada diri kita, adapun jika dinisbatkan
kepada al Haq, maka iradah itu merupakan inti Iradah Qodim (eternitas), yang
merupakan kehendak al Haq. Tidak ada satu laranganpun untuk menampakkan Iradah
yang dinisbatkan kepada diri kita, penisbatan ini pula yang jamak disebut
makhluk (ciptaan), jika sifat kemahlukan tersebut kita lenyapkan dari Iradah
dalam diri kita, maka nisbat iradah kemahlukan kita bergeser menuju iradah al
Haq, jadilah iradah kita sirna bersama Iradah-Nya. Pahami betul masalah ini!
Seperti halnya wujud kita jika kita nisbatkan kepada diri kita, ia disebut
makhluk, adapun jika dinisbatkan kepada al Haq, maka akan sirna (fana') ke
dalam wujud Qodim, nisbat ini merupakan hal yang Dharuriyah (primer), yang
melahirkan Kasyf (pengetahuan intuitif), Dzauq al Wujdaan (intuisi), serta ilmu
yang berasal dari pembelajaran secara langsung dari al Haq, yang jamak disebut
Ilmu Laduni.
Ketahuilah, bahwasanya sifat Iradah itu temanifestasikan dalam segenap
makhluk-Nya, dalam sembilan penampakkan. Pertama : al Mail (kecenderungan),
yaitu hasrat hati kepada sesuatu yang dicarinya, jika hasrat itu semakin kuat
dan menjadi eksis, maka ia disebut al Wala'ah (kesukaan), itulah penampakkan
kedua dari Iradah. Jika terus berkembang dan menjadi eksis dalam syakilah hati
tiap orang, maka disebut as Shobabah (curahan) yang sedemikian itu manakala
hasrat hati kian kuat untuk menggapai sesuatu yang ingin digapainya, hasrat itu
mengalir laksana curahan air yang mengalir dengan deras, itulah wajah ketiga
daripada al Iradah. Kemudian jika curahan itu semakian deras (kuat) dan
memenuhi ruang hati seseorang, disebut asy Syaghafah (jatuh hati), itulah
penampakkan keempat daripada Iradah. Manakala ketertarikan hati itu kian eksis
dalam kalbu manusia, serta menjadikannya fokus kepada perealiasasian
kertertarikan hatinya, maka hal itu disebut al Haway (ingin mencintai), itulah
penampakkan kelima dari Iradah. Jika rasa cinta itu telah meliputi syakilah
hati seseorang, dan menggerakkan jasad untuk menggapainya, maka hal itu disebut
al Gharam (sangat suka), itulah wajah keenam dari Iradah. Kemudian manakala
kesukaan yang sangat itu bergelora dalam tubuh insan dan menjadikannya fana' sirna
kedalam sesuatu yang disukai, hal itu disebut al Hub (cinta) itulah wajah
ketujuh dari Iradah. Kemudian manakala cinta itu mampu mensirnakan pencinta dan
yang dicintai, maka hal itu dinamakan al Isyqun (sangat cinta). Pada maqom
(capaian spiritual) ini, antara sang pencinta dan yang dicintai lebur dalam
cinta, sehingga satu sama lain tidak mengetahui dirinya karena tenggelam di
dasar cinta. Seperti yang terlihat pada diri Majnun (si-penggila) Laylah, suatu
hari manakala Laylah memanggilnya untuk berbicara, Majnun berkata : Biarkan
diri seorang diri, aku sedang masyghul (sibuk) memikirkan Lavlah, padahal insan
yang memanggil itu adalah Laylah yang ia pikirkan dan cintai. Cinta Majnun
kepada Laylah adalah cinta tanpa bitas, sebuah cinta yang menembus dimensi
ruang dan waktu, sampai-sampai ia tidak mengenali Laylah karena kedalaman cinta
Majnun kepadanya.
Al 'Isyq merupakan muara capaian spiritual (maqom) al Wushul (sambung) dan
al Qurb (kedekatan), sangat sedikit sekali dan para pegiat hakekat yang mampu
memakrifahi hakekat al 'Isyq ini.
Dalam kesejatian al Isyq ini tidak ada Aarif (insan yang memahami) tidak
pula Ma'ruf (yang difahami) tidak ada Aasyiq (pecinta) dan Ma'syuuq (yang
dicintai), tidak ada yang kekal, selain al Isyq murni. Maka al Isyq itu sejatinya
adalah inti (dzat) murni yang tidak tercampuri oleh sesuatu, serta tidak berada
dibawah naungan isim (nama), sifat dan yang disifati, yang kami maksud dengan Isyq
disini adalah Isyq pada kali pertama penampakkan-Nya, dalam kecintaan yang
paripurna itu, sang pencinta fana' (sirna) tidak tersisah pada dirinya, isim,
sifat dan yang disifati, karena lebur dalam nama dan sifat-Nya. Manakala
kesirnaan itu telah paripurna, maka lenyaplah nama, sifat dan yang disifati
antara sang pencinta dengan kekasih sejatinya, al Isyq itu benar-benar
menenggelamkan sang pencinta dan yang dicintainya. Pada capaian spiritual ini,
sang pencinta akan tertampakkan dengan dua citra dan memiliki dua sifat, ia juga
dinamai dengan dua nama, yaitu al 'Aasyiq (sang pencinta) dan al Ma'syuuq (yang
dicintai).
Ketahuilah, fana' itu ibarat hilangnya perasaan, karena dominasi hukum
kerpesonaan, ketakjuban, kekaguman pada diri seorang hamba, maka fana'
seseorang terhadap dirinya adalah hilangnya rasa orang tersebut akan kesejatian
eksistensi dirinya. Fana'nya terhadap al Mahbub (yang dicintainya) adalah
hancurnya kisi kemanusiaan insan itu kedalam al Mahbub, fana' dalam istilah
kaum (pegiat hakekat), adalah ibarat tiadanya perasaan seseorang dengan
dirinya, bukan dengan sesuatu yang melazimkan ketiadaan tersebut. Jika anda
bisa memahami realita ini dengan betul, maka anda akan bisa memahami bahwasanya
Iradah Ilahiyah (ketuhanan), yang dikhususkan bagi para makhluk-Nya, dengan
segala citra dan wacananya, tanpa sebab atau dengan sebab, adalah murni
merupakan Pilihan Ketuhanan. Karena Iradah merupakan hukum dari hukum-hukum
ke-Agung-an, sifat dan sifat-sifat ketuhanan, ketuhanan-Nya. Dan keagungan-Nya
adalah untuk Diri Nya, bukan untuk reason (alasan), tentunya pendapat kami ini
berbeda dengan pendapat yang dikemukakan Ibnu Arabi, dimana beliau menandaskan
: Iradah tidak boleh disebut dengan pilihan, karena Dia (al Haq) tidak berbuat
sesuatu dengan pilihan, akan tetapi Dia mengerjakan sesuatu sejalan dengan
kebutuhan alam yang berasal dari Diri Nya, apa yang dikehendaki alam dari Diri
Nya adalah semua kenyataan di alam realitas ini, dengan demikian adanya alam
dan isinya alam bukan berdasarkan pilihan. Demikian ungkapan Ibnu Arabi dalam
karya al Futuhaat al Makkiyah, dalam kitab tersebut, Ibnu Arabi banyak
membincang tentang rahasia yang lahir dari manifestasi Iradah-Nya. Ibnu Arabi
tidak banyak memperoleh keberuntungan dari fikrah tersebut, sebab sejatinya
Iradah itu merupakan kehendak keagungan Ilahiyah (ketuhanan), dengan pola
pandang seperti ini, kita lebih banyak memperoleh keberuntungan dibandingkan
pola pandang Ibnu Arabi. Demikian halnya dengan manifestasi al 'Izzah
(kemuliaan), yang tidak lain merupakan pilihanNya terhadap sesuatu yang
djpilih-Nya secara khusus, berdasarkan hukum pilihan dan kehendak, bukan
berdasarkan keterpaksaan atau pencarian, dan hukum pilihan dan kehendak itu
merdasarkan ketentuan (preogratif) ketuhanan dan bersifat inti (dzat)-Nya.
Seperti yang ditegaskan al Haq perihal Diri Nya,
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia
kehendaki dan memilih-Nya. (Q.s. al Qashashas 28 : 68).
Al Haq adalah Tuhan Yang Maha Berkuasa, Maha Memilih, Maha Perkasa, Maha
Penakluk, Maha Besar.
Syair-syair
al-Jily
Iradah
adalah awal bias-bias kasih,
Tiupan
kasihNya kepada setiap hambaNya
Tertampakan
pundi-pundi keindahanNya
yang
tersimpan rapi di lembah ilmu-ilmuNya
Terlihat
jelas kasih kebaikan-kebaikanNya
Terbingkai
dalam citra hidup para hambaNya
Andai
bukan karena kasih kebaikan DiriNya,
niscaya
setiap mahlukNya buta hakekat kebaikan
Hakikinya
mahluk, tidak dilihat dari kisi fisik
Namun,
dari 'laku' kabaikan yang ditunaikannya
Iradah
adalah wujud mobilitas setiap mahluk dengannya
lentera
keindahan dan kebaikan menyala
Mukmin
adalah individu yang menjadi cermin bagi mukmin lain,
kumpulan
jiwa-jiwa yang satu.
Ia
beriman dan masing-masing kita juga beriman
Kita
laksana dua cermin, yang menyatu dalam zat.
Kebaikan-kebaikanNya
terlihat oleh nurani kita
Kebaikan-kebaikan
kita terlihat olehNya sangat jelas
Iradah
kita bermuara kepada Iradah DiriNya
IradahNya,
sebuah keniscayaan yang harus diterima
Manusia
disebut manusia, jika memiliki Iradah
Iradah
kita, termaktub dalam ketentuan taqdirNya.
Andai
bukan karena Iradah yang dipahamkanNya
Niscaya,
pundi-Pundi rahasiaNya tidak akan terungkap
IradahNya
mencakup segala ketentuan DiriNya
meliputi
semua sifat, kejadian dan pencapaian-pencapaian
Sudah Edit 19. Al Qudrah (Maha
Kuasa)
Al Qudrah (kuasa) adalah kekuatan inti yang hanya lahir dari Allah Azza Wa
Jalla semata, wujudnya berupa penampakkan maklumat (pengetahuan), kepada alam
realitas (alam panca indera) sejalan dengan kehendak ilmu-Nya. Alam realitas
inilah media penampakkan-Nya serta sentra manifestasi-Nya yakni penampakkan-Nya
pada sesuatu yang bisa disaksikan pada realitas segala wujud yang lahir dari
'adam (ketiadaan), al Haq mengetahui ke-maujud-an segala sesuatu sejak dari
ketiadaan-nya, kesemua itu ada pada ilmu-Nya, dengan demikian al Qudrah (kuasa)
sejatinya adalah, kekuatan yang tampak pada Maujudaat (segala yang wujud) dari
al 'Adam (ketiadaan), ia merupakan sifat diri al Haq, dengan-nya tampak
Rububiyah-Nya, yaitu Qudrah dan inti Qudrah yang maujud pada diri kita dan alam
serta isinya alam ini. Qudrah itu jika dinisbatkan kepada diri kita, maka ia
merupakan qudrah Haditsah (baru), jikalau dinisbatkan kepada al Haq, maka ia
merupakan Qudrah Qodim (eternitas) Qudrah yang dinisbatkan kepada kita sangat
lemah dan nihil dari kreasi-kreasi pengkaryaan, sedang Qudrah yang dinisbatkan
kepadaNya, marak dengan karya-karya dus melahirkan ciptaan-ciptaan
spektakuler, tertampakkan dari ketiadaan yang tersimpan, hingga realitas wujud.
Pahami masalah ini dengan jeli, karena ini merupakan rahasia agung yang oleh
kebanyakan pelaku hakikat diklaim tidak bisa disibak, kecuali oleh Insan insan
yang kampium dalam masalah inti (Dzat) al Haq.
Dalam hemat kami, al Qudrah itu sejatinya adalah Iijaad al Ma'dum
(meng-ada-kan sesuatu yang tidak ada.), tentunya pendapat kami ini berbeda
dengan fikrah (buah pemikiran) Ibnu Arabi, halmana dia mengatakan :
Sesungguhnya Allah tidak menciptakan segala sesuatu dari al 'adam (ketiadaan),
akan tetapi Dia menampakkan sesuatu tersebut dari wujud keilmuan kepada wujud
realitas (panca indera). Fikrah Ibnu Arabi itu meski logis dalam tataran
logika, namun sarat dengan kelemahan. Kami mensucikan Tuhan kami (Allah Jallah
Jalaah) dari segala kelemahan qudrah-Nya untuk menciptakan sesuatu dari
ketiadaan, dan menampakkannya dari ketiadaan murni kepada wujud murni.
Ketahuilah, apa yang dilontarkan Ibnu Arabi tersebut tidaklah patut dinafikan
atau diingkari, karena maksud daripada ungkapannya itu adalah, wujud segala
sesuatu berada di dalam ilmu-Nya terlebih dahulu, kemudian tatkala ditampakkan
pada alam realitas (panca indera), maka penampakkan itulah menurut Ibnu Arabi
sejatinya yang disebut prosesi peralihan dari wujud keilmuan kepada wujud
realitas (inderawi). Ibnu Arabi barangkali lupa bahwa hukum wujud al Haq dalam
diri Nya, adalah sebelum hukum wujud-Nya dalam ilmu-Nya, maka segala Maujudaat
adalah Ma'dum pada hukum tersebut, tidak ada wujud didalamnya melainkan al Haq
semata. Atas dasar inilah al Haq berhak disifati al Ojdam (ada-Nya tidak
didahului oleh sesuatu), jika tidak, maka ada kelaziman yang mencampuri
ke-Qidam-an al Haq, jelas hal itu mustahil dilabelkan kepada al Haq. Dengan
demikian dapat dipahami bahwasanya Dia meng-ada-kan segala sesuatu dalam
ilmu-Nya, dari ketiadaan, yakni Dia mengetahui segala sesuatu tersebut dalam
ilmu-Nya, maujud (ada) dari ketiadaan, kemudian menjadikan sesuatu itu menjadi
ada dalam alam realitas (alam panca indera), yang Dia tampakkan melalui
ilmu-Nya, sesuatu itu asalnya adalah maujud (ada) dalam ilmu-Nya yang berasal
dari ketiadaan murni, dan al Haq tidak meng-ada-kan segala sesuatu, melainkan
dari ketiadaan murni.
Ketahuilah bahwasanya ilmu al Haq untuk diri Nya dan ilmu-Nya untuk segenap
makhluk-Nya adalah satu ilmu (ilmu tunggal), seperti hal-nya ilmu-Nya tentang
inti (dzat)-Nya dengan ilmu-Nya tentang inti (dzat) segenap makhluk-Nya adalah
juga satu ilmu. Namun ilmu-Nya tentang segenap makhluk-Nya, bukanlah dengan
ilmu Qodim, karena Dia melihat segenap makhluk-Nya dengan ilmu Huduts
(kebaruan), segala sesuatu yang baru tersebut, dalam ilmu-Nya berjalan dengan
hukum Huduts (kebaruan), yang sedemikian itu jika dinisbatkan kepada Huduts,
adapun jika dinisbatkan kepadaNya maka ilmu-Nya adalah Qodim. Ilmu al Haq
adalah Qodim, karena tidak didahului oleh ketiadaan, hukum segala wujud itu berdasarkan
asal penciptaan bukan berdasarkan hukum spasial (hukum ruang dan waktu), karena
al Haq adalah Tuhan yang memiliki wujud awal, Dia adalah Tuhan yang Maha Awwal,
yang adanya tidak didahului oleh sesuatu apapun.
Para makhluk memiliki wujud kedua, atau yang jamak disebut Wujud al Idhafiy
(Wujud Sambung), karena rasa butuh mereka kepada al Haq. Segenap makhluk Ma'dum
(dalam ketiadaan) pada wujud pertama, al Haq lalu meng-ada-kan dari ketiadaan
murni dalam ilmu-Nya, itulah sejatinya yang disebut al Ikhtira' al Ilahiyah
(karya cipta ketuhanan). Kemudian Dia menampakkan karya-karya itu dari alam
keilmuan ke alam realitas (panca indera), dengan Qudrah-Nya. Dengan tangan
Qudrah itulah al Haq meng-ada-kan segenap ciptaan-Nya dari al 'Adam
(ketiadaan), kepada al Ilm (ilmu), lalu kepada inti realitas. Semuanya berjalan
sesuai kehendak-Nya, tidak ada keharusan bagi-Nya untuk melakukan
keinginan-Nya, sebab kelaziman yang disematkan kepada al Haq adalah menodai
kesempurnaan-Nya. Dan adalah mustahil al Haq disifati dengan an Naqs
(kekurangan), demikian pula mustahil al Haq disifati dengan bodoh, karena
ilmu-Nya tidak mengetahui sesuatu yang belum tercipta di alam ketiadaan. Maka
tidak ada hukum spasial (konsep ruang dan waktu), serta hikmah yang
mengharuskan kerja ketuhanan, karena Dia adalah Maha Izzah (Mulia), dan Maha
Sempurna, serta tidak butuh kepada segala sesuatu yang ada di alam semesta ini,
(Ghaniyun anil 'Alamiin). Lebih dari itu antara wujud realitas ilmu-Nya dengan
ketiadaan dalam bingkai ilmu-Nya, tidak berlaku hukum spasial (konsep ruang dan
waktu). Mereka yang mengklaim ada lorong waktu diantara keduanya, akan
memaklumatkan bahwa al Haq tidak mengetahui sesuatu sebelum penciptaan di alam
ketiadaan, sungguh klaim seperti itu menodahi kesucian, keagungan dan
kesempurnaan al Haq. Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan) akan memaparkan
kevalidan realita bahwa al Haq mengetahui segala sesuatu sebelum penciptaan di
alam ketiadaan, apa yang kami paparkan dalam karya ini, adalah untuk dijadikan
Dzikrah (pengingat) agar kita lebih tekun lagi menela'ah nasehat-nasehat al
Haq, pun seruan-seruan nabi-Nya dan ujaranujaran para mukmin shaleh terdahulu.
Semua ijtihad adalah berpulang kepada al Haq untuk dipungkasmya, kami tidak
menyalahkan terlebih skeptis dengan pendapat Imam Ibnu Arabi karena kami
menyadari firman-Nya:
Dan diatas uap-uap orang yang
berpengatahuan itu ada Tuhan Yang Maha Mengetahui. (Q.s Yusul 12-76)
Jika anda bisa memahami paparan kami diatas, maka anda akan mengetahui
bahwa al Qudrah Ilahiyah (kodrat ketuhanan), adalah sifat yang dengan
ketetapannya melahirkan penafian akan segenap kelemahan dan kekurangan al Haq
dalam segala hal. Kelemahan adalah milik hamba-Nya, bukan milik al Haq,
kesempurnaan qudrah-Nya adalah ketetapan yang kekal abadi, kekurangan-Nya
adalah ternafikan untuk selama-lamanya. Pahami betul masalah ini, agar anda
tidak terjebak pada simbohstik kalimat.
Sudah Edit 20. Al Kalaam (Maha berbicara)
Ketahuilah, bahwasanya Kalaamullah (pembicaraan Allah), secara global
merupakan manifestasi ilmu-Nya, dengan I'tibar penampakkan bagi Diri Nya, baik
pembicaraan yang berwujud kakmat-kalimat-Nya dalam A'yaan Tsabitah (sesuatu
yang tetap) pada Maujudaat, atau pembicaraan-Nya yang berwujud makna-makna yang
dipahami para pelaku Ubudiyah (penyembahan), baik melalui
cara pewahyuan, atau audiensi ketuhanan dan lain sebagainya. Kalamullah secara
global adalah sifat tunggal diri al Haq, akan tetapi memiliki dua wajah Wajah
pertama memiliki dua sisi, pertama : Kalaam itu keluar dari maqom al Izzah dengan
amar perintah ketuhanan diatas Arsy Rububiyah (ketuhanan), hal itu merupakan
perintah ketinggian yang tidak ada reason (alasan) untuk
mengingkari-Nya, hanya saja keta'atan alam dan isinya alam, banyak tidak
diketahui dan ternafikan, namun al Haq Maha Mengetahui terlebih menyimak
ujaran-ujaran alam dan isinya alam, yang merupakan sentra manifestasi
taqdir-Nya serta tajalli wujud-Nya. Kemudian alam dan isinya alam tidak akan
melaksanakan segenap perintah-Nya, melainkan dengan Inayah (kasih pertolongan)-Nya,
dan merupakan rahmat dari-Nya untuk Maujudaat (segala wujud), karenanya segala
wujud pantas dilabeli keta atan yang dengan keta'atan itu melahirkan epos
kebahagiaan Terkan dengan ini al Haq mengisyaratkan dengan ungkapan-Nya tatkala
beraudiensi dengan langit dan bumi,
Datanglah kamu keduanya menurut
perintah Ku, dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab Kami datang
dengan suka hati. (Q.s. Fushshilat 41 : 11).
Dengan demikian jelas sekali alam dan isinya alam ini, senantiasa beredar
(berotasi) dalam hukum keta'atan kepada al Haq, mereka melakukan keta'atan
berdasarkan suka hati, yang sedemikian itu merupakan Fadhal (keutamaan) dan
rahmat dari al Haq untuk alam dan isinya alam. Rahmat al Haq adalah mengalahkan
(mendahului) kemarahan-Nya, karena Dia meletakkan hukum keta'atan, yang
diberkati dan kepatuhan yang dirahmati bagi alam dan isinya alam. Andai mereka
melakukan keta'atan berdasarkan keterpaksaan atau kebencian, maka hukum yang
berlaku bagi mereka adalah hukum keadilan, sebab Qudrahlah yang menggerakkan
hukum, tidak pula ada Ihtiyar (pilihan) bagi makhluk, lebih-lebih kemarahan al
Haq akan mendahului (mengalahkan) rahmat-Nya, akan tetapi hukum yang berjalan
pada alam dan isinya alam adalah hukum keta'atan karena rahmat al Haq
mendahului kemarahan-Nya. Segala Maujudaat dengan segenap rahasia-Nya, Muthi'un
(ta'at) dan patuh kepada al Haq, seperti yang ditegaskan firman Qur'ani:
Kami datang dengan suka hati.
Setiap yang Muthi' (ta'at) pasti akan memperoleh rahmat, karenanya hukum
neraka tidak diberlakukan bagi insan Muthi' yang dirahmati-Nya, ketika Sang
Maha Perkasa menjejakkan kaki si Muthi didasar api neraka, panas apinya menjadi
lenyap', tumbuh didasar neraka itu pohon yang diberi nama Jirjir, seperti yang
diwartakan sang Rasul saw dalam hadits, kami akan jelaskan masalah ini pada
pasal lain dalam kitab ini.
Adapun sisi kedua dari wajah Kalamullah ini adalah, Kalaam yang keluar dari
maqom Rububiyah (ketuhanan), dengan bahasa manusia, semisal kitab-kitab al Haq
yang diturunkan kepada para nabi-Nya, berikut audiensi al Haq kepada duta-duta
risalah tersebut serta para kekasih-Nya dan insan-insan yang dikasihi-Nya.
Karenanya pada dimensi Kalaam ini, terkandung di dalamnya, keta'atan dan
kemaksiatan dalam menyikapi segenap amar perintah-Nya yang tertulis dalam kitab
yang diturunkan kepada segenap makhluk-Nya. Dalam Kalaam-Nya yang keluar dengan
bahasa manusia, wajah keta'atan yang diserukan kepada setiap makhluk-Nya
laksana cawan-cawan keterpaksaan serta hidangan-hidangan pemaksaan, terbungkus
indah dalam Ihtiar (pilihan) perbuatan yang dinisbatkan kepada mereka, yakni
melahirkan balasan siksa bagi tindak kemasikatan, dan siksa akibat tindak
kamaksiatan tersebut merupakan wajah al Adi (keadilan)-Nya, sedang balasan atas
amal kebaikan merupakan Fadhal (kasih keutamaan) karena Dia menjadikan nisbat
pilihan mereka berdasarkan kasih keutamaanNya. Dia menjadikan pilihan mereka
media untuk menggapai pahala-Nya, dengan demikian pahala-Nya adalah Fadhal
(keutamaan) sedang siksa-Nya adalah Adlun (keadilan).
Adapun Wajah Kedua dari Kalamullah ini, ketahuilah oleh kalian, bahwasanya
Kalaam al Haq, adalah inti segala sesuatu yang berdimensi Mumkinaat
(kemungkinan), setiap kemungkinan merupakan kalimat dari kalimat-kalimat al
Haq, karenanya kemungkinan al Haq tiada akan perna habis, al Haq berfirman
dalam pesan Qur'ani:
Katakanlah, Kalau sekiranya lautan
menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan
itu, sebelum habis ditulis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan
tambahan sebanyak itu pula.(Q.s. al Kahfi 18 : 109)
Maka al Mumkinaat (segala kemungkinan) sejatinya adalah kalimat-kalimat al
Haq. Kalaamullah secara global merupakan citra makna-makna yang terkandung
dalam ilmu al Mutakallim (sang pembicara). Dia hendak menampakkan citra-citra
makna tersebut, pada Maujudaat (segala wujud), dan merekapun menyimak citra
makna Kalaam-Nya tersebut. Dengan demikian segala yang Maujud adalah citra
Kalaamullah, semuanya merupakan citra tetap dari segenap wujud rasionalitas dan
wujud inderawi, yang lahir dari citra makna yang maujud (ada) dalam ilmu-Nya,
itulah sejatinya yang disebut al A'yaan as Tsabitah (zat tetap). Dengan
demikian anda bisa menyebut al A'yaan as Tsabitah (zat tetap) berupa hakekat
manusia, bisa juga kedudukan ketuhanan, atau hamparan ke-Esa-an, atau anda bisa
juga menyebutnya Partikulasi kegaiban, atau citra-citra keindahan, pun anda
bisa menyebutnya dengan Atsaar (bekas-bekas) nama-nama dan sifat-sifat-Nya,
atau maklumat-maklumat al Haq, anda juga bisa menyebutnya dengan huruf-huruf
ketinggian, seperti yang diisyaratkan Ibnu Arabi, ia menandaskan : kami adalah
huruf-huruf ketinggian yang tak terbaca!
Seperti jamaknya pembicaraan dalam lanskap kemanusiaan, yang mengharuskan
pembicaranya mengaktualisasikan gerak dan kehendak untuk berbicara, utamanya
gerak nafas yang mengeluarkan huruf dari dada yang gaib ke lisan yang Dhahir.
Demikian pula dengan al Haq, dalam penampakkan-Nya kepada makhluk-Nya, dari
alam kegaiban ke alam realitas, kehendak pertama-Nya adalah penampakkan
Qudrah-Nya, maka Iradah (kehendak) selaras dengan gerak keinginan yang ada
dalam diri al Mutakallim (si pengujar), sedangkan Qudrahnya sejalan dengan
nafas yang keluar dengan huruf dari dada ke lisan, untuk ditampilkan dari alam
ketiadaan ke alam realitas. Demikian pula peng-ada-an makhluk sejalan dengan
penyusunan kalimat-kalimat dalam struktur khusus, pada diri Sang Maha Pembicara
(al Mutakallim), Maha Suci Allah yang menjadikan manusia Nuskhoh (baca :
photo copy) Diri Nya, secara utuh. Jika anda telisik dan tafakkuri secara
serius dalam diri anda, niscaya anda akan mendapati setiap sifat-Nya ada
duplikatnya dalam diri anda, telisiklah Hawiyah (ke-dia-an) anda, duplikat
apakah ia? Ke-aku-an anda photo copy apa ia? Tela'ah ruh anda, ia duplikat apa?
Cermati ilusi anda photo copy apa ia? Logika anda, pemikiran anda, imajinasi
anda, citra diri anda, kesemua itu duplikat apa dalam diri anda? Lihatlah pada
estimasi, imajinasi dan kreasi hayal anda, telah membentuk duplikat apakah
semua itu dalam diri anda? citra diri anda photo copy apa? Renungkan
penglihatan anda, pendengaran anda, ilmu anda, hidup anda, kekuasaan anda,
perkataan anda, kehendak anda, hati anda, jiwa anda, dan segala sesuatu yang
ada pada diri anda, masing-masing duplikat apakah dari kesempurnaan-Nya?
berikut citra apakah semua yang ada dalam diri anda tersebut dari
keindahan-Nya? Andai bukan karena terikat dengan janji, niscaya saya akan
paparkan penjelasannya sebagai jamuan Sakr (ekstase ritual) anda, pun cawan
kemabukan ritual anda. Cukup sampai disini penjelasan saya tentang masalah ini,
meskipun demikian jika anda jeli, saya termasuk insan yang melangkah agak jauh
dalam penjelasan ini dibandingkan para penulis lainya, semoga anda tidak
terpasung dengan kalimat-kalimat lahir dan pongah dengan makna-makna batin. Dan
Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.
(Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair al-Jilly
Sesungguhnya
Kalam Nya adalah Nyata nan Jelas
KalamNya
mengurai ketentuan segala wujud yang Jaiz
KalamNya
dalam wacana ilmu adalah huruf-huruf
Kalimat
tidak akan bisa dipahami tanpa susunan huruf
KalamNya
teruai dengan huruf tertulis dan tak tertulis
Mengandung
makna-makna lahir dan makna batiniyah
Sungguh
merupakan kebenaran absolut Ujaran DiriNya
"Jadilah.
Maka jadilah" sesuatu yang diujarkan oleh DiriNya
KalamNya
meliputi realita pemaknaan hakiki dan
Majaz
KalamNya menguraikan segala sesuatu yang Jaiz (mungkin)
Sudah Edit 21. As Sam'u (Maha Mendengar)
Ketahuilah, bahwasanya as Sam'u (Maha Mendengar) ibarat manifestasi al Haq,
melalui aktualisasi dan pemberdayaan segala ilmu-Nya, karena al Haq
mengetahui setiap yang didengar-Nya sebelum Dia mendengar-Nya, demikian
pula paska mendengar-Nya, bahkan pendengaran yang berupa tajalli ilmu-Nya, melalui
cerapan al Ma'lum (yang diketahui), baik berupa maklumat tentang diri Nya,
maupun maklumat tentang segenap makhluk-Nya. Pahami dengan jeli masalah ini! as
Sam'u merupakan sifat diri al Haq, dan merupakan media penampakkan kesempurnaan
DiriNya, al Haq menyimak Kalaam diri Nya, seperti halnya Dia mendengar
ujaran-ujaran segenap makhluk-Nya, baik dari sisi ucapan (ujaran) maupun sisi
Haal (keadaan). Pendengaran untuk Diri Nya dari dimensi Kalaam-Nya, merupakan
hal yang Mafhum (dapat dipahami), sedangkan pendengaran untuk diri Nya dari
dimensi keadaan-Nya merupakan renlita yang sejalan dengan asma-asma-Nya dan
sifat-sifat Nya terhamparkan dalam matafora (barat-ibarat) dan bekas-bekas
serta pengaruh-pengaruh-Nya. Dengan demikian jawaban daripada Kalam-Nya adalah
manifestasi kehendak-kehendak Nya, dan penampakkan bekas-bekas
(pengaruh-pengaruh) daripada nama-nama dan sifat-sifat Nya. Inilah yang galib
disebut pendengaran model kedua. Diantara bentuk pendengaran model kedua ini
adalah, Ta'liim (pembelajaran) al Qur'an yang dilakukan ar Rahman (Yang Maha
Pemurah) kepada para hamba-Nya yang dikhususkan untuk inti (dzat)-Nya, yang
ditegaskan al Haq, melalui lisan nabi terkasih-Nya Muhammad saw, dalam hadits
beliau :
Ahli Qur'an adalah ahli Allah dan
makhluk khusus-Nya.
Pendengaran model kedua ini lebih utama dibandingkan pendengaran Kalam Diri
Nya.
Sesungguhnya al Haq, jika meminjamkan kepada hamba-Nya sifat
pendengaran-Nya, maka hamba tersebut dapat mendengar perkataan al Haq, dan al
Haq mendengar perkataan-nya, uniqe-nya hamba tersebut tidak mengetahui kalau ia
berada dalam naungan sifat pendengaran-Nya, namun demikian hamba itu dapat
menyimak dengan pendangaran inti (dzat) bersama inti (dzat)-Nya. Pendengaran
dalam bentuk ini tidak berbilang dan tidak berujung, lain halnya dengan
pendengaran model kedua, dimana dzat Yang Maha Pemurah membelajari hamba-Nya
membaca al Qur'an. Perhatikan dengan seksama bahwasanya sifat pendengaran model
pertama, menjadikan hamba yang dikehendaki-Nya bisa menyimak dengan pendengaran
hakiki yang berdimensikan inti (dzat)-Nya, tanpa ada peminjaman atau
pemberdayaan dari-Nya. Jika seorang hamba benar-benar mampu memakrifahi tajalli
pendengaran ini, akan dikuasakan kepadanya Arsy ar Rahman (singgasana
ke-pemurah-an), dan Rabbnya bertajalli dalam semayam Arsy-nya, pendengaran
pertama melahirkan pemahaman makrifah inti (dzat)-Nya, yang tersucikan dari
sifat dan asma-Nya. Manakala pendengaran pertama itu berlalu dengan sempurna,
dan sang hamba mampu ber-etika dengan dengan etika Qur'ani dalam presensi
(Hadrah) ar Rahman. Maka ujaran-ujaran dalam fase ini, tidak akan bisa dipahami
melainkan oleh al Ghurabaa' (manusia-manusia yang gharib) (asing), yakni
manusia-manusia pegiat hakekat yang telah memakrifahi dimensi pembicaraan model
kedua. Kalaamullah tiada akan perna habis dan tidak ada berujung, karena al Haq
adalah Tuhan yang tidak berpenghabisan.
Manifestasi Kalamullah itu sendiri beraneka ragam bentuknya, diantara
mereka ada yang diajak bicara al Haq melalui (mediasi) bahasa nama-nama-Nya dan
sifat-sifat-Nya, diantara mereka ada yang mampu menangkap Kalaam-Nya dengan
hakekat inti (dzat), yang terhamparkan dalam ragam al Maushuf (yang disifati)
untuk sifat-sifatNya. Yang perlu anda perhatikan sifat-sifat dan nama-nama yang
dimaksud bukanlah nama dan sifat yang ada pada tataran pemahaman kita tentang
nama-nama dan sifat-sifat Nya, akan tetapi sifat-sifat dan nama-nama dalam ilmu
al Haq yang melahirkan pengaruh kepada insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya.
Nama-nama-Nya yang membiaskan pengaruh itulah Haal yang menggambarkan korelasi
antara al Haq dengan hamba-Nya, ia juga merupakan Haal (kondisi spiritual)
seorang hamba bersama Rabbnya, keadaan itu jika dinisbatkan kepada al Haq
menjadi Qodim. Adapun keadaan yang lahir dari bias (pengaruh) nama-nama dan
sifat-sifat-Nya sejatinya merupakan cerminan daripada kegaibanNya. Pahami
nuqta (titik) kajian ini, karena realita ini cerminan daripada misteri lorong
waktu, serta rahasia spasial (konsep ruang dan waktu) yang berserak dalam
Kalamullah. Guna membaca ujaran-ujaran model kedua ini, adalah seperti yang
diisyaratkan al Haq kepada baginda nabi saw dalam
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan
Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantara Kalaam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.s. al Alaq 96 : 1 - 5)
Membaca yang diisyaratkan dalam firman Qur’ani itu sejatinya adalah bacaan
insan-insan Khosh (istimewa) dari ahli Allah, mereka adalah ahli Qur’an, yakni
manusia-manusia yang telah memakrifahi inti (dzat)-Nya, serta manusia-manusia
yang taslim kepada rasul Muhammad saw dengan taslim paripurna, mereka itulah
ahli Allah dalam arti yang sesungguhnya, dan merupakan manusia-manusia khash
(istimewa)Nya.
Adapun pembacaan Kalam Ilahiyah (ketuhanan), serta penyimakannya dari inti
(dzat)-Nya, dan al Haq juga menyimaknya. Pembacaan (qiro'ah) model pertama ini
disebut qiro'ah (pembacaan) al Furqan (Taurat), modus pembacaan seperti ini
jamak dilakukan ahl Ishthifaa' (ahli pilihan), mereka adalah pandega yang
memahami ke-Dia-an al Haq, serta insan-insan yang taslim kepada Musa as secara
utuh. al Haq berkata kepada nabi Musa as:
Dan Aku telah memilihmu untuk diri
Ku. (Q.s.
Thaahaa 20 : 41)
karenanya komunitas ini disebut Musawiyah (pengikut Musa). Berbeda dengan
kelompok pertama yang modus pembacaan (Qiro'ah)nya dari inti (dzat)-Nya,
terkait dengan ini al Haq berfirman kepada nabi terkasih Nya Muhamamd saw :
Dan sesungguhnya Kami telah berikan
kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan alQur'anyang agung. (Q.s. al Hijr 15 : 87).
Tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang itu sejatinya adalah tujuh sifat
utama al Haq, seperti yang telah kami paparkan dalam karya kami al Kahfi wa
al Raqim fi Syarah Bismillahirrahmanirrahim sedangkan al Qur’an yang agung
sejatinya adalah inti (Dzat), dalam termin pemaknaan ini rasul saw
mengisyaratkan dalam hadist beliau : Ahli Qur’an adalah ahli Allah dan
makhluk khustis-Nya. Maka ahli Qur’an ahli inti (dzat)-Nya, sedang ahli
Furqan (Taurat) ahli ke-Dia-an Nya, diantara keduanya ada perbedaan laksana
maqom al Habiib (yang dicintai) dengan maqom al Kaliim (yang diajak bicara).
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair al-Jilly
Pendengaran
adalah 'mesing' pengetahuan sesuatu
Sumber
pembicaraan yang tak tertangkap secara inderawi
Pendengaran
melahirkan susunan huruf yang terucap,
rangkaian
kalimat, yang mewartakan segala realitas wujud
Haal
(keadaan) dimataNya, adalah pendengaran
Nyaring
bahaya yang paling fasih, untuk menyimak ihwal hambaNya
Sudah Edit 22 Al Bashar (Maha Melihat)
Ketahuilah bahwasanya penglihatan al Haq, ibarat inti (dzat)-Nya, dengan
I'tibar penyaksian-Nya terhadap segala maklumat (pengetahuan). Ilmu-Nya ibarat
inti (dzat)-Nya dengan I'tibar pijakan dasar ilmu-Nya, al Haq dengan inti
(dzat)-Nya mengetahui, dengan inti (dzat)-Nya pula Dia melihat, dzat-Nya tidak
ber-bilang, sentra ilmu-Nya adalah sentra inti (dzat)-Nya, keduanya merupakan
dua sifat indepeden meski pada hakekatnya adalah satu. Dan tiadalah yang
dimaksud dengan penglihatan al Haq, melainkan manifestasi ilmu-Nya pada A'yaan
Tsabitah (sesuatu yang tetap) dalam alam realitas ini, dan tidaklah yang
dimaksud dengan ilmu-Nya, melainkan daya persepsi-Nya dalam melihat eksistensi
Diri-Nya di alam realitas ini. Dia melihat inti (dzat)-Nya dengan inti
(dzat)-Nya, Dia melihat segenap makhluk-Nya juga dengan inti (dzat)-Nya,
penglihatan-Nya kepada Diri Nya adalah inti penglihatan-Nya kepada segenap
makhluk-Nya, karena al Bashar (penglihatan) merupakan satu penyifatan, tidak
ada perbedaan, melainkan pada objek penglihatan-nya. al Haq senantiasa melihat
segala sesuatu, akan tetapi Dia tidak melihat sesuatu melainkan atas
kehendak-Nya. Ini adalah Nuqtah (titik) yang krusial, anda harus mencermatinya
dengan jeli, karenanya segala sesuatu selamanya tidak akan terhijabkan
(terhalang) dari-Nya, hanya saja Dia tidak memfokuskan penglihatan-Nya kepada sesuatu,
kecuali sesuatu yang dikehendaki-Nya, sejalan dengan realita ini rasul Muhammad
saw bersabda :
Sungguhnya Allah memiliki
penglihatan begini dan begitu kepada hati saban hari, selaras dengan pemaknaan hadits
tersebut firman-Nya : Dan Allah tidak berkata-kata dengan mereka dan tidak
akan melihat kepada mereka. (Q.s. ah Imran 3 : 77)
Esensi penglihatan yang dimaksud tidaklah seperti apa yang diwartakan
hadits dan firman-Nya diatas, akan tetapi penglihatan yang dimaksud disini
adalah ibarat rahmat Ilahiyah (ketuhanan), yang Dia karuniakan kepada
hambah-Nya berdasarkan al Qurb (kedekatan) hamba tersebut kepada al Haq.
Sedangkan penglihatanNya kepada hati (tiap insan), seperti yang termaktub
dalam hadits, bukanlah penglihatan yang berdimensi ke-khusus-an sifat, akan
tetapi mencakup semua sifat, tidakkah anda telisik firman-Nya :
Dan sesungguhnya Kami benar-benar
akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar
diantara kamu. (Q.s. Muhammad 47 : 31),
anda jangan mengira bahwasanya al Haq tidak mengetahui keadaan mereka
sebelum diuji, demikian pula dengan penglihatan-Nya kepada kalbu, Dia tiada
perna alpa melihat hati segenap manusia dengan ragam wacananya, namun
kesejatian penglihatan itu tidak bisa ditakar dengan logika, ia hanya bisa
dilihat melalui Kasyf (pengetahuan intuisi). Jika anda telah memukasyafahinya,
nikmati Kasyf anda, jangan diperbincangkan, karena hal itu akan mendangkalkan
rahasia batin anda, semakin kuat anda menyimpannya semakin kuat pula sirr-anda.
Ketahuilah, bahwasanya al Bashar (penglihatan) dalam lanskap manusia,
pengertian populernya adalah jangkauan daya persepsi melalui penglihatan kasat
mata terhadap segala maujudaat, penglihatan dalam lanskap manusia tidak
semuanya berdasarkan kasat mata, ada penglihatan manusia yang bersumberkan
hati, penglihatan dalam dimensi ini disebut al Bashiirah (penglihatan mata
hati), inti penglihatan itu jika dinisbatkan kepada al Haq, maka penglihatann/a
berdimensikan al Qodiim. Jika al Haq merahmati anda dengan kemampuan memukasyafahi
rahasia penglihatan ini, anda akan dapat melihat hakekat segala sesuatu seperti
sedia kala, tidak ada satupun yang terhijabkan dari diri anda. Pahami betul
rahasia yang mentakjubkan yang saya isyaratkan kepada anda pada paparan ini,
agar anda terangkat dari Arsy makna-maknahnya. Kembalikan segala urusan anda
kepada al Haq, jadilah kamu tanpa diri kamu dan bukan kamu, jadikan al Haq
satu-satunya pengatur dirimu, apa kehendak-Nya atas dirimu taslim-lah, yakni
pasrahlah dengan kehendak-kehendak-Nya yang terlanskapkan dalam nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Taslimkan dirimu kepada-Nya secara Syaamil (utuh), jangan
sekali-kali ada dalam syakilah hatimu rasa buruk sangka, pikiran negatif kepada
al Haq, tradisikan selalu khusnudzan kepada al Haq. Pahami betul hakekat:
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama
yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Q.s. al An'aam 6 : 79).
Syair-syair al-Jily
PenglihatanNya
adalah cermin kongkrit llmuNya
Memakrifahi
hakekat ilmuNya, kunci utama melihatNya
Segala
sesuatu diketahui olehNya, lahir dan batin
PenglihatanNya
abadi, sebelum dan sesudah adanya mahlukNya
Ilmu
adalah wujud Nyata Tajalli zat DiriNya
Insan
yang belum mencapai asy Syuhud tidak akan MelihatNya.
Lihatlah
dengan pandangan hakiki segala wujud ini
Intuisimu
akan membawamu melihat kesejatian zat DiriNya
Penglihatanmu
adalah juga penglihatanDiriNya
Sebab
sejatinya penglihatanmu adalah pinjaman penglihatanNya.
Sudah Edit 23. al Jamaal
(Keindahan)
Ketahuilah, bahwasanya keindahan Allah itu ibarat sifat-sifat Nya yang
tinggi dan nama-nama-Nya yang Khusnaah (bagus), yang sedemikian itu dalam pemaknaan
umum, sedangkan dalam pemaknaan khusus, bisa berupa sifat rahmat, sifat ilmu,
sifat kelembutan, sifat nikmat sifat kedermawanan (kemurahan), pemberian rizki,
penciptaan dan sifat kemanfaatan serta sifat-sifat serupa lainya, kesemua itu
merupakan sifat al Jamaal (keindahan). Terkadang ada sifat-sifat yang Musytarak
(ambigu) yang membantuk wajah al Jamaal (keindahan), juga membentuk wajah al
Jalaal (keperkasaan) semisal nama-Nya (ar Rabb), nama Rabb jika ditelisik
dengan I'tibar pendidikan dan pembuatan ia merupakan dimensi isim (nama) Jamaal
(keindahan), jika ditelisik dengan I'tibar Rububiyah (ketuhanan) dan
kekuasaan,' ia merupakan dimensi isim (nama) Jalaal (keperkasaan), realita
serupa juga terkandung dalam nama-Nya (Allah) dan isim-Nya ar Rahman berbeda
dengan isim-Nya ar Rahiim, ia merupakan isim Jamaal, qiyas-kan nama-nama
lainya. Ketahuilah, bahwasanya keindahan al Haq, meski beraneka ragam, namun
dapat diklasifikasi menjadi dua macam : Pertama. Bersifat Maknawiyah, yaitu
makna-makna Asma'ul Khusnaah (nama-nama yang khusnah), dan sifat-sifat ketinggian,
jenis ini khusus untuk syuhud (penyaksian) kepada al Haq, Kedua. Bersifat
Shuwariy (pencitraan), yaitu alam mutlak ini yang diaplikasikan dalam segenap
makhluk-Nya dengan segala wacana dan dimensinya. Alam dan isinya alam ini
merupakan 'rasa' mutlak ketuhanan, yang termanifestasikan dalam sentra
ketuhanan, sentra itu dinamakan (makhluk). Penamaan ini juga merupakan bagian
dari Hasan Ilahiyah (kebaikan ketuhanan), keburukan alam dan isinya alam, juga
bagian dari panorama keindahan Ilahiyah, bukan dengan I'tibar ragam keindahan,
namun dengan I'tibar keindahan ketuhanan, sebab diantara manifestasi kebaikan
juga terkandung manifestasi keburukan, untuk menjaga martabat ketuhanan-Nya
dalam wujud. Kebaikan ketuhanan sejatinya adalah penampakkan jenis kebaikan
dalam wajah Husnah-Nya untuk menjaga martabat-Nya dalam wujud.
Ketahuilah, bahwasanya keburukan yang terdapat pada sesuatu di alam dan
isinya alam ini, adalah berdasarkan I'tibar, bukan karena diri (inti) sesuatu
tersebut, tidak ada satu keburukan di alam dan isinya alam ini melainkan
berdasarkan I'tibar. Hukum keburukan mutlak benar-benar terangkat dari segala
wujud, yang kekal adalah kebenaran mutlak. Cobalah anda telisik keburukan
maksiat, hanya tampak dengan I'tibar an Nahyu (pelarangan), keburukan bau busuk
dengan I'tibar adanya sesuatu yang tidak sejalan dengan realita tabiat, semisal
bangkai binatang, makanan busuk, kotoran sampah dan lain sebagainya, namun jika
segala sesuatu itu sejalan dengan realita tabiat, maka yang tersisah adalah
tabiat kebaikan. Tidakkah anda lihat mereka yang dijebloskan ke dalam api
neraka, semua itu lahir dari prilaku kemaksiatan yang telah mereka perbuat, api
disebut keburukan dengan I'tibar melahirkan kebinasaan dan kerusakan, akan
tetapi tidak demikian dengan Samandal api adalah nuansa kebaikan, karena
Samandal adalah jenis burung tidak hidup selain di api. Maka dalam realitas
alam dan isinya alam ini sejatinya tidak ada keburukan, segala sesuatu yang
diciptakan al Haq, berasal dari akar kebaikan, dasar penciptaan segala sesuatu
juga al Hasan (kebaikan). Karena segala yang wujud adalah citra kebaikan al Haq
dan citra keindahan-Nya.
Adapun jika terjadi keburukan pada sesuatu yang wujud, kesemua itu terjadi
berdimensikan I'tibar, tidakkah anda tafakkuri ada kalimat-kalimat kebaikan,
yang pada waktu tertentu menjadi Qobih (jelek) dalam sudut I'tibar, demikian
pula dengan kebaikan, pada satu waktu ia merupakan kebaikan tak terbantahkan,
namun pada waktu lain dalam sudut pandang I'tibar kebaikan itu menjadi buruk.
Dengan termin logika seperti itu dapat dimakrifahi bahwasanya wujud dengan
segala kesempurnaan-Nya adalah citra kebaikan dan manifestai keindahan-Nya. Yang kami
maksud wujud dengan segala kesempurnaan-Nya termasuk di dalamnya, rasa
inderawi, wujud rasionalitas, estimasi, ilusi, pertama dan ahir, lahir dan
batin, perkataan, perbuatan, citra dan makna, kesemuanya merupakan citra keindahan-Nya
dan menifestasi kesempurnaan-Nya. Ketahuilah bahwasanya keindahan Maknawiyah
itu ibarat nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. al Haq menghususkan media
penyaksian-Nya melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang tertajallikan dalam
segala wujud, yang dengan itu keindahan dan kesempurnaan-Nya, bisa disaksikan.
Adapun kesaksian mutlak tidak meliputi penyaksian metafor, isyarat,
tanda-tanda-Nya yang terlanskapkan pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya,
kesaksian mutlak hanya bisa digapai dengan keyakinan utuh serta Kasyf
(pengetahuan intuitif), citra-citra manifestasi al Haq, juga merupakan citra
keindahan-Nya. Maka tampilan keindahan al Haq bersifat primer, bukan bersifat
Maknawiyah, sebab adalah mustahil jikalau tampilan nuansa keindahan-Nya melalui
sesuatu selain Diri Nya.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33:4)
Syair-syair al Jily
Kau
tampakkan DiriMu pada sesuatu saat menciptakannya
Kaupun
tampak Nyata pada segala realitas wujud yang Kau cipta.
Setiap
insan hanya melihat 'laku' kebaikanMu secara parsial
mengkavling-kavling
ranah kebaikanMu selaras capaian maqam.
Itulah
wajah penglihatan para hambaMu memandang DiriMu
Keindahan
DiriMu yang universal, hanya dilihat secara parsial
Segala
realitas wujud adalah wujud Nyata penampakkanDiriMu
Zat
DiriMu adalah juga zat realitas wujud, meskipun tidak sama.
Andai
patung ibarat Salju, Kau adalah air dan sumber mata airnya
Salju
tidak akan berwujud tanpa air, dan air tak tercipta tampaMu
Air
mengalir sejalan dengan kehidupan,
Kaulah
mata air kehidupan
Sumber
kehidupan ini akan jernih, manakala bersumberkan
DiriMu
Segala kemegahan, kegagahan dan keelokkan bermuara kepadaMu
KeindahanMu
menembus dimensi ruang dan waktu, kekal nan abadi
Setiap
ciptaanMu menyimpan keindahanMu
Setiap
karyaMu kau taburi keindahan DiriMu
Setiap
yang hitam menjadi manis oleh indahMu
Setiap
yang merah, bertaburkan semangatMu
Setiap
yang putih, bertaburkan kesucianMu
Setiap
yang biru, bertaburkan keteduhanMu
Setiap
kesulitan, Kau hapus dengan kemudahan
Setiap
duka nestapa,
Kau usir
dengan keceriaan
Setiap
kebaikan, Kau balas dengan pahalaMu
Setiap
keburukan, kau ganjar dengan SiksaMu
KelembutanMu,
tampak pada KebaikanMu
KemuliaanMu,
Kau tampak pada RahmatMu
RahmatMu
mengalahkan KemarahanMu
Kasih
AmpunanMu menggerus KemurkaanMu
Setiap
tindak kemaksiatan yang diinsyafi
Akan
melahirkan kebaktian yang tulus dan jernih
Kemaksiatan
yang melahirkan keta'atan,
Jauh
lebih baik dari kebaikan yang berbingkai dosa
Kelemahan
tiap mahluk, ditutupi sempumaNya
Keburukan
tiap mahluk, ditutupi keindahanNya
Pegiat
maksiat, tidak akan melihat keindahanNya
KeindahanNya
hanya bisa dilihat jiwa-jiwa yang Indah
Maka
raih keindahan al Haq disetiap realitas wujud
Keindahan
DiriNya tampak Nyata disetiap mahlukNya
Rasakan
kelembutanNya yang terbingkai keindahanNya
Pada
sesuatu yang terlihat Indah, itulah keindahan DiriNya.
Tabel Belum Edit 24. Al Jalaal (Keperkasaan)
etahuilah, bahwasanya Jalalullah (Keperkasaan Allah) ibarat inti (dzat)-Nya
yang termanifestasikan dalam nama-nama-Nya dan sifat-sifat Nya, demikian itu
keperkasaan dalam pemaknaan global, sedangkan makna partikularnya, al Jalaal
ibarat sifat-sifat ke-agung-an, keperkasaan, kediqdayaan, kemuliaan, puji
sanjungan, manakala segenap keindahan-Nya terlihat sangat kuat (dominan) maka
ia disebut al Jalaal (keperkasaan). Demikian pula setiap keperkasaan-Nya, yang
merupakan dasar penampakkan-Nya pada masing-masing makhluk juga dinamakan al
Jamaal (keindahan). Atas dasar inilah ada stiqma pemikiran: Bahwa setiap
keindahan adalah keperkasaan, dan setiap keperkasaan adalah keindahan. Adapun
dalam lanskap kemahlukan, tidak tampak kepada diri mereka Jamaalullah
(keindahan Allah), melainkan keindahan keperkasaan, atau keperkasaan keindahan,
sedangkan keindahan mutlak atau keperkasaan mut'ak, kesaksiannya hanya milik al
Haq semata, sedangkan makhluk-Nya tidak mampu menggapai-Nya, kecuali
insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya, atau insan-insan khosh (istimewah-Nya.
Maka esensi keperkasaan al Haq, adalah ibarat inti (dzat)-Nya, yang
tertajallikan pada nama-nama dan sifat-sifatNya. Untuk menggapai hakekat syuhud
(penyaksian) tajalli ini, hanya bisa digapai dengan al Haq, yakni melalui kasih
kelembutan-Nya kepada hamba yang dikehendaki dan kasihi serta dikhususkan
oleh-Nya.
Sedangkan esensi keindahan ibarat sifat-sifat ketinggian-Nya dan nama-nama
al Haq yang Khusnaah (Asma'ul Khusnah). Maka penafian nama-nama dan sifat-sifat
Nya pada diri makhluk-Nya, adalah mustahil, karena pengaruh nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dalam diri makhluk-Nya sangat kuat. Pengaruh (atsaar) yang
jelas itulah sejatinya keindahan al Haq yang termanifestasikan pada
makhluk-Nya. Dengan demikian dapat dimakrifahi bahwa keindahan mutlak dan
keperkasaan mutlak hanya khusus bagi al Haq semata. Jika anda telah memahami
realita tersebut, anda akan tahu bahwa sejatinya nama-nama dan sifat-sifat al
Haq, yang sejalan dengan kehendak hakiki-Nya itu terbagi atas empat bagian, yakni:
1. Sifat-sifat Keindahan.
2. Sifat-sifat Keperkasaan.
3. Sifat-sifat Musytarak (ambiguitas) antara keindahan dan keperkasaan,
yang melahirkan sifat al Kamaal (kesempurnaan).
4. Sifat-sifat yang berdimensikan inti (dzat). Berikut ini statistik (klasifikasi)
sifat-sifat tersebut :
• Nama dan Sifat yang berdimensikan inti (dzat) al Haq
- Allah
- al Ahad (Esa)
- al Waahid (Tunggal)
- al Fard (Pribadi)
- as Shamad (Tempat bertumpu segala sesuatu)
- al Quuuus (Suci)
- al Hayyu (Yang Hidup)
- An Nuur (Cahaya)
- al Haq.
• Nama dan Sifat yang berdimensi al Jalaliyah (keperkasaan)
- al Kabiir al Muta'aal (Yang besar. Yang mengatasi segala ketinggian)
- al Aziiz al Adhiim (Yang mulia. Yang agung)
- al Jaliil al Qohhaar (Yang mempunyai kebesaran. Yang kuasa memaksa)
- Al Qoodir al Muqtadir (Yang kuasa. Yang menguasai )
- al Maajid al Waaliy (Yang mempunyai kemuliaan. Yang memimpin)
- al Jabbaar al Mutakabbir (Yang perkasa. Yang mengatasi segala kebesaran)
- al Qoobidh al Khoofidh (Yang menyempitkan. Yang merendahkan)
- al Mudzill ar Raqiib (Yang menjadikan hina. Yang mengawasi)
-al Waasi' asy Syahiid (Yang luas karunia-Nya, Yang menjadi saksi)
- al Qowiyu al Matiin (Yang kuat dan Yang ulet)
- al Mumiitu al Mu'iid (Yang mematikan. Yang mengulang)
- al Muntaqim dzul Jalaali wal Ikraam (Yang menuntut bela. Yang mempunyai
kebesaran dan kemurahan)
- al Dhar al Waarits (Yang memberi kemelaratan. Yang mewarisi)
- as Shabuur dzu al Basthi (Yang penuh kesabaran. Yang memiliki kelapangan)
- al Bashir ad Dayyaan (Yang melihat. Yang menundukkan)
- al Mu'dzib al Mufdhil (Yang menyiksa. Yang mengutamakan)
- al Majiid alladzi lam yakun lahu kufuan ahad (Yang luas kemuliaan-Nya,
Tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia)
- dzul Hauli asy Syadiid (Yang memiliki tipu daya. Yang keras)
- al Qoohir al Ghuyur (Yang menaklukkan. Yang cemburu)
- Syadiid al Iqoob (Keras Siksanya)
- Nama dan Sifat al Musytarak (ambigu) yang melahirkan sifat al Kamaaliyah
(Kesempurnaan)
- ar Rahman al Malik (Yang pengasih. Yang memerintah)
- ar Rabb al Muhaimin (Yang mengatur. Yang menjaga)
- al Khooliq as Samii' (Yang mencipta Yang mendengar)
- al Bashir al Hakam (Yang melihat Yang melaksanakan hukum)
- al Adlu al Hakiim (Yang adil Yang bijaksana)
- al Waliy al Qoyyum (Yang memimpin Yang berdiri pribadi)
- al Muqoddim al Mua'ahhir (Yang mendahului Yang mengakhiri)
- al Awwal al Aahir (Yang awal. Yang akhir)
- adh Dhaahir al Baathin (Yang jelas kekuasaanNya Yang tak tampat dzat-Nya
oleh mata)
- Maalikul Mulki al Muqsith (Yang memiliki segala kerajaan. Yang adil)
- al Jaami' al Ghaniy (Yang mengumpulkan. Yang adil)
- Alladzi Laisa Kamistlihi Sya'iun (Yang tidak sesuatupun yang
menyerupai-Nya)
- al Muhiith as Sulthaan (Yang meliputi segala sesuatu, Yang berkuasa)
- al Muriid al Mutakallim (Yang menghendaki Yang berbicara) • Nama dan
Sifat yang berdimensi al Jamaaliyah (keindahan)
- al Aliim ar Rahiim (Yang luas ilmu-Nya. Yang penyayang)
- as Salaam al Mu'min (Yang sejahtera Yang memberi keamanan)
- al Baari' al Mushowwir (Yang mengadakan Yang memberi bentuk)
- al Ghoffar al Wahhaab (Yang pengampun Yang banyak memberi)
- ar Razzaaq al Fattaah (Yang memberi rizki. Yang memutuskan hukum)
- al Baasith ar Raafi' (Yang melapangkan. Yang meninggikan)
- al Lathiif al Khoobir (Yang lemah lembut. Yang waspada)
- al Mu'iz al Khafiidz (Yang menjadikan mulia. Yang memelihara)
- al Muqiit (Yang mengawal)
- al Hasiib al Jaliil (Yang menghitung-hitung. Yang mempunyai kebesaran)
- al Khaliim al Kabiir (Yang penyantun. Yang besar)
- al Wakiil al Hamiid (Yang mengurus Yang patut dipuji)
- al Mubdi' al Muhyi (Yang memulai. Yang menghidupkan)
- al Mushowwir al Waahid (Yang memberi bentuk Yang satu)
- ad Daaim al Baaqi (Yang terus menerus. Yang kekal)
- al Baari'u al Barru (Yang mengadakan. Yang berbuat baik)
- al Mun'im al Afwu (Yang memberi nikmat Yang memaafkan)
- al Ghafuur ar Ra'uuf (Yang pengampun. Yang penuh rasa kasihan)
- al Mughni al Mu'thi (Yang menjadikan Yang memberi)
- an Naafi' al Haadi (Yang memberi manfaat. Yang memben petunjuk)
- al Baadi' ar Rasyiid (Yang menjadikan sesuatu yang baru. Yang sadar
(tidak khilaf)
- al Mujmaal al Ooriib (Yang universal Yang dekat)
- al Mujiib al Kafiil (Yang menjawab Yang menanggung)
- al Kaamil Lam Yalid Yang sempurna. Yang tidak beranak)
- Laam Yuulad al Kaafie (Yang tidak diperanakkan. Yang mencukupi)
- al Jawwaad dzau Thaul (Yang dermawan lagi kaya pemberian)
- asy Syaafie al Ma'aafiy (Yang memberi syafa'at Yang memberi ampunan maaf)
Tabel Klasifikasi Nama-Nama Dan
Sifat-Sifat Allah (Belum Edit)
Nama Dan Sifat In (Dzat) |
i Nama
Dan Sifat Keperkasaan |
Gabungan Nama Dan Sifat Yang Berdimensi Kesempurnaan |
Nama Dan Sifat Keindahan |
Allah |
ai Kabir al Mut'aal |
ar Rahmaan al Malik |
al Aliim ar Rahiim |
al Ahad ( fca ) |
alAziz alAdzhim |
ar Rabb al Muhaimin |
as Salaam al Mu'min |
al Waahid (Tunggal) |
aljaliil a!Qohhar |
al Khtxiliq as Saami' |
al Baari'u al Mushawwir |
al Fard ( Pribadi ) |
al Qoodir al Muqtadar |
al BashiiralHakam |
al Ghoffar al VVahhaab |
as Shomad {Tumpuhan Segala-galanya) |
alMaajidal Waliy |
al Adlu al Hakiim |
ar Razzaaqal Fattaah |
al Hayyu (Yang Hidup) |
alJabbaralMutakkabir |
al Waliy al Qoyyum |
a! Baasith ar Raafi" |
an N'ur (Cahaya ) |
aIQoobidalHaafidz |
al Muqoddam al Mu'ahor |
alLathiifal Khoobir |
al Hai,- |
al Mudzlllu ar Raaqib |
al Awwal al Aahir |
al Mu'iz al Hafiidz |
|
al Waasi'asv Syahiid |
al Dhaahiral Baathin |
al Muqiith |
|
al Qowiyyu al Matin |
al Waliy al Muta'aal |
al Khasiib al jamiil |
|
al Mumiitu al Mu'id |
Malik al Mulku al Muqsith |
al Kfialiim al Kariim |
|
al Munta.jim Dzul Jalaal |
al Jaami' al Ghanivu |
al Wakiil al Himiid |
|
al Ikraam al Maani' |
Alladzi Laitsa Kamislihi Syai'u |
al Mubdi'u al Muhvi |
|
ad Dhoor al Waarits |
al Muhith asShuIlhan |
al Mushowwir at Waahid |
|
as Shabuur Dzu a! Basthi |
al Muriid al Mutakallim |
ad Daaim al Baaqi |
|
al Basyid ad Davvaan |
|
al Baari'u al Birru |
|
al Mu'adzib al Mufadhal |
|
al Mun'im al Afwu |
|
a! Maajid Lam Yakun Lahu Kufuan Ahad |
|
al Ghafuur al Ra'uuf |
|
Dzul Haul asy Syadiid |
|
il Mughniy al Mu'thi |
|
ai Qoohir al Ghuvuur |
|
in Naafi'u al Haadi |
|
Syadiid al lqoob |
|
I Baadi' al Rasviid |
|
|
|
1 Mujammilu al Ooriib |
|
|
|
|
|
|
|
1 Kaamil Lam Valid |
|
|
|
Valam Yulad al Kaafie |
|
|
|
IJ a w a a d d z i a t Th a u 1 i |
|
|
|
s Syaafie al Ma'aafiy |
Ketahuilah, bahwa masing-masing
dari nama-nama dan sifat-sifat Allah
memihki bias pengaruh dalam segala wujud, atsar (bekas) pengaruh itulah
sejatinya tampilan keindahan-Nya atau keperkasaan-Nya serta kesempurnaan-Nya,
maklumat misalnya secara umum ia merupakan bias daripada nama-Nya al Aliim, ia
merupakan manifestasi ilmu al Haq dalam alam realitas ini. Demikian pula
insan-insan yang beroleh karunia rahmat-Nya, adalah penampakkan daripada isim
Rahman-Nya. Segala Maujudaat (yang wujud) tidak akan terlepas dari manifestasi
ketuhanan-Nya, segala yang wujud tidak akan terlepas dari rahmat al Haq, karena
keberadaan wujud dari ketiadaannya menjadi maujud adalah berkat rahmat-Nya.
Tidak ada yang wujud melainkan atas pengetahuan al Haq, segala wujud dalam
pengetahuan-Nya, Dia mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun baik lahir
maupun yang batin yang tidak diketahui al Haq. Maka segala yang wujud dengan
kemisteriannya merupakan sentra manifestasi al Haq, sebagai media penampakan
nama-nama keindahan-Nya dengan segala misterinya, tidak ada isim dan sifat dari
nama-nama dan sifat-sifat keindahan, melainkan bekas-bekasnya
(pengaruh-pengaruhnya) mendominasi segala wujud, baik berskala khusus maupun
umum. Segala yang wujud adalah tampilan daripada keindahan al Haq. demikian
pula dengan tiap-tiap sifat keperkasaan, juga membiaskan bekas (pengaruh)
kepada segala wujud, semisal al Qoodir, ar Raqiib, al Waasi' bekas dari
sifat-sifat tersebut sangat jelas dan dominan dalam Maujudaat (segala wujud),
sehingga Maujudaat yang tertajallikan sifat keperkasaan, merupakan panorama keperkasaan
al Haq, dan wujud itu menjadi citra keperkasaan-Nya. Ada juga nama-nama
Jalaaliyah, yang dihususkan pada sebagian Maujudaat, semisal al Muntaqiim, al
Mu'adzib, al Dzaar, al Maani' dan sifat serupa lainya, tidak semua Maujudaat
ditampakkan oleh-Nya sifat-sifat Jalaaliyah tersebut, berbeda dengan nama-nama
Jamaaliyah-Nya, kesemua nama-nama keindahan-Nya mendominasi setiap wujud,
itulah sejatinya esensi rahasia ungkapan al Haq dalam hadits Qudsi; Rahmat
Ku, mengalahkan (mendahului) kemarahan Ku, pahami betul masalah ini.
Adapun gabungan nama-nama al Kamaaliyah (kesempurnaan), diantaranya ada
yang mewajahkan martabat (kedudukan ketuhanan), semisal nama-Nya : ar Rahmaan,
al Mulk, ar Rabb, Maalik al Mulki, al Sulthaan, al Waliy, kesemua nama tersebut
merupakan cerminan dari martabat Ilahiyah. Secara umum segala wujud merupakan
citra daripada masing-masing nama-Nya tersebut. Yang kami maksud dengan 'secara
umum' adalah umum secara I'tibar dan wajah (sisi), maka Maujudaat (segala
wujud) adalah citra daripada masing-masing nama dari nama-nama yang mengandung martabat
ketuhanan, berbeda dengan nama-nama keindahan dan keperkasaan, penampakan yang
ada merupakan tampilan daripada masing-masing nama (keindahan atau keperkasaan)
dengan satu wajah, terpancar menjadi multi wajah sejalan dengan I'tibar atau
ibarat yang memancarkannya. Pahami betul masalah ini! Diantara gabungan
nama-nama (Kamaaliyah) itu, ada yang melahirkan wujud dengan segala misterinya,
yang dijadikan wajah penampakkan al Haq, akan tetapi tidak multi wajah, semisal
isim-Nya. Al Bashiir, as Saami', al Khaaliq, al Hakiim dan isim serupa lainnya.
Diantara gabungan nama-nama (Kamaaliyah) itu ada yang tidak membutuhkan
Maujudaat dalam pencitraannya, semisal isim-Nya, al Ghoniy, al Adi, al Ooyyum,
dan lain sebagainya, karena nama-nama itu merupakan suplemen inti (dzat). Kami
sengaja mengklasifikasikannya ke dalam isim gabungan, karena adanya nuansa
keindahan, dan keperkasaan. Pahami betul masalah ini!
Jika anda bisa memahami realita tersebut dengan baik, maka ketahuilah
bahwasanya seorang hamba yang Kaamil (sempurna), adalah sentra penampakkan
semua nama-nama, baik yang Musytarak (ambigu) maupun yang tidak, baik yang
berdimensi inti (dzat), maupun keindahan atau keperkasaan, kesemuanya akan
termanifestasikan pada hamba-Nya yang sempurna tersebut, begitu pula anda akan
bisa memakrifahi bahwasanya Surga adalah manifestasi keindahan mutlak, sedang
al Jahiim (neraka Jahim) merupakan penampakkan keperkasaan mutlak. Dua kampung,
yakni kampung dunia dan kampung akhirat, serta segala yang ada diantara
keduanya, selain Insaan Kaamil (manusia sempurna), adalah manifestasi dari
nama-nama yang mengandung martabat ketuhanan, terkecuali nama-nama yang
berdimensikan inti (dzat)-Nya, hanya manusia sempurna sajalah sentra penampakkan
inti (dzat)-Nya, juga media penampakkan asma dan sifat-sifat Nya yang lain.
Sedang segala maujudaat, tidak ada satupun yang mampu menyangga penampakkan
inti (dzat)-Nya tersebut, seperti yang diisyaratkan firman-Nya, Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah
anamat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (Q.s.
al Ahzaab 33 : 72)
Sejatinya anamat itu tidak lain adalah al Haq, dengan inti (dzat)-Nya,
nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, tidak ada satupun dari Maujudaat (segala)
wujud yang mampu menyangga (mengemban) 'amanat' itu selain manusia sempurna
(Insaan Kaamil), realita ini selaras dengan isyarat baginda rasul saw dengan
sabdanya: Al Qur'an diturunkan kepada diriku serentak satu kali. Segenap
langit dan apa-apa yang ada diatasnya maupun dibawahnya, segenap bumi dan
apa-apa yang ada dibawahnya dan segala yang ada diatasnya dari segenap makhluk
(ciptaan)-Nya, kesemuanya dhaif (lemah) dalam memakrifahi hakekat segala
nama-nama dan sifat-sifat al Haq, alasannya jelas sekali, mereka tidak mampu
dan terlalu lemah untuk mengemban anamat tersebut. Hanya manusia sempurna
(Insaan Kaamil) yang berani mengembannya, sungguh manusia itu amat dzalim,
yakni teramat sering mendzalimi dirinya, karena tidak memperhatikan terlebih
memberi hak-hak dirinya. Adapun hak diri itu adalah Manuth (ikut) Allah,
melaksanakan perintah-Nya, serta tidak menodai hak Allah, sedangkan hak-Nya
adalah sanjung puji kepada-Nya. al Haq berfirman : Dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya. (Q.s. al An'aam 6 :
91) Dan adalah manusia seperti yang termaktub dalam firman Qur’ani : Sungguh
manusia itu amat dzalim, yakni ia telah melakukan tindak kedzaliman diri,
dengan menganiaya dirinya sendiri, yang sedemikian itu ia tidak memberi
penghormatan kepada Allah dengan penghormatan yang selazimnya. Manusia-manusia
yang menganiaya dirinya sendiri itu pun tidak memberi penghormatan kepada-Nya
dengan penghormatan yang semestinya, Allah menyifatinya dengan Jahuulah (amat
bodoh), betapa tidak bodoh manusia itu, karena al Haq telah mendudukkan
maqom-nya serta melabeli dirinya dengan sifat al 'Adhim (agung), dan al 'Aziz
(mulia), manusia itu sendirilah yang merendahkan martabat dirinya, dengan
menafikan Qudrah (kuasa) al Haq yang memberinya keagungan dan kemuliaan. Dan
wujud nyata dari penafian itu adalah tidak adanya penghormatan manusia dalam
bentuk puji sanjung kepadaNya dengan semestinya. Ketahuilah manusia yang
men-duduk-kan sanjung puji al Haq pada penghormatan yang semestinya, ia akan
dititipi keagungan dan kemuliaan-Nya. Pahami betul masalah ini!
Ada pemaknaan lain dari ayat (Q.s. al Ahzaab 33 : 72) ini. yaitu, kata
Dzaluuman (amat dzalim) nama untuk Maf'uul (objek), dengan begitu manusia yang
Dzaluuman itu menjadi objek, yakni Madzluum (orang yang didzalimi), sebab tidak
ada satupun manusia yang mampu melaksanakan hak-hak kesempurnaan, keperkasaan,
keindahan al Haq, selain manusia sempurna, karena kedhaifan iurlah ia menjadi
manusia yang didzalimi, disebabkan oleh ketidak mampuan-nya, bukan hanya
dirinya, semua yang wujudpun tidak mampu mengemban itu selain Insaan Kaamil
(manusia sempurna). Adapun Jahuulah (amat bodoh), dalam pemaknaan yang lain
hakekatnya adalah Majhuul (misteri), ia tidak tahu hakekat hak-hak
kesempurnaan, keperkasaan, keindahan al Haq, karena nihilnya al Qurb
(kedekatan) dan Wushul (kersambungan) antara insan tersebut dengan al Haq. Dan
adalah merupakan hak Allah memberi kata maaf kepada Insaan Kaamil, demi segenap
makhluk-Nya, agar mereka terentaskan dari kedzaliman dan kepedihan, Dia
menerima permintaan maaf mereka, pada hari kiamat kelak, al Haq akan
menyibakkan tabir-Nya akan Qudrah (kuasaan) manusia sempurna ini yang sejatinya
adalah ibarat penampakkan inti (dzat) Allah, dan nama-nama-Nya serta
sifat-sifat-Nya. Pahami betul masalah ini. Kita akan jelaskan perihal jenjang
dan strata insaan kaamil ini pada pasal yang akan datang. Dan Allah
mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s
al-Ahzab 33 : 4)
Sudah Edit 25. Al Kamaal
(Kesempurnaan)
Ketahuilah, bahwasanya Kamaalullah (Kesempurnaan Allah) ibarat hakekat inti
(dzat)-Nya yang bisa dilihat, namun tidak bisa dijangkau dengan daya persepsi
inderawi (al Idraak), dan batas kesemprunaan-Nya adalah tidak terbatas serta
tidak berahiran. Maka al Haq Jallah Jalaalah, Mengetahui bahwa hakekat inti
(dzat)-Nya dapat dikatahui, dan Dia mengetahui bahwa inti (dzat)-Nya tidak
dapat dijangkau oleh daya perspesi inderawi (al Idraak) manusia.
Kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan tidak berahiran, realita ini ada pada
hak-Nya dan juga terdapat pada hak selain Diri Nya, yakni, al Haq mengetahui
bahwa inti (dzat)-Nya tidak dapat dijangkau dengan pandangan kasat manusia dus
persepsi inderawi manusia itu adalah hak Diri Nya, Dia juga mewartakan kepada
segenap Insan, bahwasanya Dia tidak bisa dijangkau dengan penglihatan insani,
itulah yang disebut dengan hak manusia sebagaimana diwartakan al Haq, Dia
tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan. (Q.s. al An'aan 6 : 103). Adapun maksud kami dengan
ungkapan al Haq dapat dilihat hakekat inti (dzat)-Nya adalah melalui
penglihatan jalan Kasyf (pengetahuan intuitif), karena kesempurnaan-Nya adalah
tidak terbatas, demikian pula kesempurnaan-Nya tidak dibatasi oleh suatu
spasial (konsep ruang dan waktu), serta tidak dinodai dengan al Jahl
(kebodohan). Sedangkan ungkapan kami bahwa Dia mengetahui bahwa inti (dzat)-Nya
tidak dapat dijangkau oleh daya perspesi inderawi (al Idraak) manusia, adalah
untuk menunjukkan metafora kediqdayaan-Nya dan tiada berahiran-Nya, karena
sesuatu yang diluar daya persepsi adalah sesuatu yang tidak berpenghabisan dan
berahiran. Semantis logikanya mustahil sesuatu yang tidak berahiran dan
berpenghabisan bisa jangkau daya persepsi inderawi dan sesuatu yang bersifat
spasial (konsep ruang dan waktu)! Demikian pula dengan penglihatan inti
(dzat)-Nya melalui Kasyf (intuisi) berdasarkan hukum kesempurnaan ilmu-Nya dan
ketiadaan bodoh-Nya akan Diri Nya, bukan berdasarkan mampu dan tidaknya daya
persepsi inderawi, atau karena kesediaan inti (dzat)-Nya, dipersepsi dengan
sisi dari sisi-sisi manifestasi-Nya pada segala wujud. Pahami dengan jeli
masalah ini, jangan sembrono dalam bertafakkur agar anda tidak terjebak pada
keragu-raguan tak bertepi.
Ketahuilah, bahwasanya kesempurnaan al Haq, tidak serupa dengan
kesempurnaan segenap makhluk-Nya, sebab kesempurnaan segenap makhluk-Nya, berlandaskan
pemaknaan rasionalitas Maujudaat yang ada pada masing-masing inti (zat)
kemahlukan makna-makna itu berubah-ubah sejalan dengan inti (dzat)
masing-masing makhluk itu sendiri, itu berarti kesempurnaan makhluk-Nya
bersifat labil dan relatif, marak dengan kekurangan dan atribut, kelemahan dan
subjetifitas, sedang kesempurnaan al Haq berpijak pada inti (dzat)-Nya, bukan
berlandaskan pemaknaan atribut atau kekurangan, Maha Suci al Haq dari segala
kekurangan, kelemahan Dia adalah Tuhan Yang Maha Sempurna. Kesempurnaan al Haq
adalah inti (dzat)-Nya, karenanya Dia disifati al Ghaniy al Mutlaq dan al
Kamaal at Taam. Adapun jika al Haq dikaitkan dengan makna-makna kesempurnaan,
pada hakekatnya bukanlah makna-makna kesempurnaan yang lahir dari selain Diri Nya,
dengan demikian wujud rasionalitas kesempurnaan al Haq, yang disandarkan kepada
al Haq, adalah berdimensikan inti (dzat), tidak ada penambahan dan pengurangan,
tidak ada perubahan pada inti (dzat)-Nya. Kesempurnaan al Haq tidak bisa
dibatasi dengan bingkai rasionalitas, sebab kesempurnaan-Nya bersifat
universal, menembus dimensi ruang dan waktu, tidak berbilang dan tidak
terbilang kesempurnaan-Nya meliputi alam asy Syahadah (alam realitas) dan
dimensi kegaiban (Ghaibiyaat).
Setiap wujud dari Maujudaat jika disifati dengan suatu sifat maka akan
memiliki (membutuhkan) keterkaitan dengan sifat yang lam, karena inti makhluk
dapat terbagi dan terpecah, inti (dzat) makhluk juga multi ragam sejalan dengan
ragam makhluk itu sendiri, demikian pula dengan nama dan sifat makhluk juga
beraneka ragam sejalan dengan multi kemahlukan-nya, berbeda dengan al Haq, inti
(dzat)-Nya adalah Tunggal, meski ragam sifat dan nama-Nya tertajallikan pada
segala wujud, namun inti (dzat)-Nya tetap tunggal, karena isim dan sifat-Nya berjalan
dibawah naungan hukum inti (dzat)-Nya, Meski multi wajah manifestasi-Nya
tertampakkan pada segala wujud, namun inti (dzat)-Nya adalah Tunggal, karena
Dia adalah Ahadiyah al Jam'u (Kesatuan dan yang banyak).' Kami sering
mengatakan al Insaan Hayawaan an Naatiq -manusia adalah makhluk bernyawa yang
berbicara- yakni manusia adalah Hayawan (makhluk yang bernyawa), jiwa manusia
adalah jiwa Hayawan (bernyawa), rasionalitas wujud manusia menjadikannya
berbicara dalam jiwanya, rasio dan kelebihan bisa berbicara itulah menjadikan
manusia memiliki qimmah (nilai) lebih dibanding Hayawan-Hayawan
(makhluk-makhluk bernyawa) lainnya, boleh jadi ada juga yang berasumsi bahwa an
Nutqu (pembicaraan) dan Hayawaniyah (hidup bernyawa) merupakan 'am tsabit
(sesuatu yang tetap) pada diri manusia, karena kedua unsur itu merupakan elan
vital pembentukkannya, kemanusian manusia tidak ter-identifikasi tanpa kedua
unsur penting tersebut, wujud manusia tidak akan terakaui kredibilitasnya tanpa
adanya dua unsur vital tersebut, dengan demikian jelas sekali pensifatan inti
(dzat) makhluk terdiri atas berapa unsur, dan bukan dari unsur tunggal, realita
(ambiugitas unsur inti (dzat)) seperti itu, jelas mustahil bagi al Haq. Karena
inti (dzat)-Nya tidak terbagi-bagi dan tidak terbangun dari beberapa unsur
dzat. Pahami betul masalah ini.
Sifat al Haq merupakan inti (dzat)-Nya, berdasarkan hakekat inti (dzat)-Nya
dan Hawiyah (ke-Dia-an)Nya, yang terdapat pada Diri Nya, jika sifat-Nya bukan
merupakan inti (dzat)-Nya, maka hukum Nya akan sama dengan hukum makhluk, yaitu
sifat-nya bukan inti (dzat)-nya, kalaupun al Haq dikaitkan dengan hukum
kemahlukan hal itu bersifat Majaziyah (permisalan). Banyak sekali para
Mutakallimm (ahli ilmu Kalam) yang salah dalam memahami permasalahan ini, hal
senada juga diungkapan Ibnu Arabi, ia menyalahkan para ahli ilmu Kalam, karena
mereka mengatakan : Bahwasanya sifa-sifat al Haq, bukan inti (dzat)-Nya. Adapun
ungkapan kami bahwa sifat-sifat al Haq adalah inti (dzat)-Nya, semata-mata
berdasarkan Kasyf Ilahiyah (intusi ketuhanan), namun bukan dengan I'tibar
jumlah (bilangan) atau ketiadaan bilangan, akan tetapi berdasarkan Syuhud
(penyaksian) al Matsal al Alah (sifat
yang maha tinggi), sejalan dengan firman-Nya: Allah mempunyai sifat yang
Maha Tinggi. (Q.s. an Nahl 16 : 60). Realita ini merupakan Nuqtah (titik)
rasionalitas wujud kesempurnaan yang terlanskapkan dalam setiap keindahan dan
keperkasaan-Nya pada segala wujud yang laik dengan martabat ketuhanan, yang
sejatinya adalah kesempurnaan-kesempurnaan al Haq yang diibaratkan dengan nuqta
(titik), serta kesempurnaan ke-Esa-an Diri Nya, dalam bingkai rasionalitas
wujud yang tiada penghabisan pun akhiran dan mustahil didahului oleh sesuatu.
Kesempurnaan-Nya tiada terbatas dan tidak akan pernah habis untuk dita'birkan.
Pahami dengan seksama masalah ini!
Ketahuilah, sifat-sifat ketinggian itu tidak berkaitan dengan inti (dzat)
ketinggian, karena dzat-dzat ketinggian itu sendiri juga merupakan makhluk-Nya,
sebab al Haq adalah Qodiim (eternitas), adanya tidak didahului oleh sesuatu,
sedang sifat ketinggian adalah Huduts (baru), adanya karena diadakan,
ibarat-ibarat tentang sifat-sifat ketinggian tersebut, hanya akan menjadi
kata-kata tak bermaknah, serta ungkapan-ungkapan kosong, jika anda tidak mampu
memukasyafahinya. Untuk memahami kesejatian sifat ketinggian itu tidak ada
jalan melainkan dengan Kasyf (pengetahuan intuitif), dan anda tidak akan bisa
merasakan-nya kecuali jika telah menggapai Dzauq al Wujdaan (intuisi). Gapaian
sifat-sifat ketinggian itu sendiri dalam rasionalitas wujud beragam bentuk dan
sisi serta kisinya. Orang seorang yang tingkat kesedihan-nya semaqom dengan
kesedihan Ya'qub as, akan termanifestasikan dalam penglihatan-nya yang buta,
aroma baju Yusuf as, aroma baju Yusuf itu tidak bisa dirasakan dengan rasa
inderawi, namun bisa dirasakan dengan dzauq (intusi), sungguh merupakan
keberuntungan yang tiada tara besarnya, bagi mereka yang telah menggapai maqom
keimanan dan kebenaran tingkatan ini, lalu meningkatkannya dengan memperdalam
pemahaman hakekat, hingga ia benar-benar bisa Makrifatullah, manusia seperti
inilah yang diisyaratkan al Haq sebagai insan (yang menggunakan pendengarannya
sedang ia menyaksikannya) yakni menyaksikan keimanan hakiki, seakan-akan ia
menyaksikan-Nya secara dzat, karena saking kuatnya iman yang ada pada dirinya.
Maka insan yang utama adalah insan yang mau mengoptimalkan ketajaman mata
hatinya, untuk memaknai dan menyimak, metafor, paradoks, isyarat ketuhanan,
terkait dengan ini al Haq berfirman :
Sesungguhnya pada yang demikian itu,
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai kalbu atau yang
menggunakan pendengarannya sedang ia menyaksikannya. (Q.s. Qoof 50 : 37).
Semua warta ketuhanan yang universal dan parsial Me'put tajalli zat DiriMu,
Wahai zat Yang Maha Sempurna Wajah kesempurnaan DiriMu, meliputi segala sesuatu
yang wujud dan gaib, yang dahulu dan yang akan datang Sungguh nista, manusia
menafikan kesempurnaanNya Insan yang menafikan KamalNya, ialah manusia yang
kurang.
Sudah Edit 26. Hawiyah (Ke-Dia-an)
Hawiyah (ke-Dia-an) al Haq sejatinya adalah, kegaiban-Nya yang tidak
mungkin ada penampakkan-Nya, melainkan dengan Itibar kumpulan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, ia laksana isyarat inti batiniyah ketunggalan-Nya. Kami
memakai istilah 'laksana' karena tidak ada pengkhususan dengan nama, sifat,
kata sifat, martabat (kedudukan) serta dzat mutlak, tanpa Ftibar nama-nama atau
sifat-sifat bahkan Hawiyah merupakan isyarat semuanya secara global dan
partikular. Hayiwah juga diisyaratkan dengan batiniyah dan dimensi kegaiban,
yang sedemikian itu lafadz Hawiyah identik dengan isyarat sesuatu yang tidak
tertampakkan (gaib). Hawiyah dalam lanskap hak Allah isyarat esensi inti
(dzajt)-Nya, dengan Ftibar nama-nama al Haq dan sifat-sifat-Nya dengan
pamahaman dimensi kegaiban-Nya. Ketahuilah bahwasanya isim ini (Huwa) lebih
khusus dibandingkan nama-Nya (Allah), ia bahkan merupakan sirr (rahasia batin)
untuk isim (Allah). Cobalah telisik dengan seksama, nama Allah selama tertulis
dengan kafadz utuh atau tetap (Allah) makna sejatinya adalah berpulang kepada
al Haq. Jika anda pecah kalimat Allah maknanya akan bergeser, namun tetap pada
kisaran ketuhanan al Haq, misalnya jika anda hilangkan huruf Laam pertama, maka
jadilah lafadz Lahu, ia tetap memiliki makna yang multi guna. Jika anda
hilangkan huruf Laam kedua, maka jadilah lafadz Hu, asal dari lafadz Huwa
adalah Hu tanpa Wau, penambahan Wau dalam Ha' adalah permasalahan gramatika
bahasa, untuk memudahkan pengucapan dan kelaziman gramatika.
Huwa merupakan nama yang paling utama, terkait dengan nama utama ini, suatu
ketika, disaat saya (al Jailiy) di bumi Makkah al Mukarramah, saya berjumpa
dengan Ahlullah (ahli Allah), yang sedemikian terjadi pada tahun 799 H. Beliau
mengajari diri saya tentang al Ism al A'dham (nama teragung), yang perna
disabdakan baginda rasul Muhammad saw, bahwa nama teragung itu ada di ahir
surat al Baqarah dan awal surat ali Imran, beliau berujar kepada saya, taukah
anda apa nama teragung itu? nama teragung itu adalah Huwa, itulah hakekat yang
bisa digali dari pemaknaan lahir sabda rasul Muhammad saw, karena Ha' adalah
huruf ahir firman-Nya dalam surat al Baqarah, dan Wau huruf awal firman-Nya
dalam surat ali Imran. Dengan tidak menafikan ke-shahih-an pandangan ahli Allah
tersebut, saya memiliki nuansa pandang lain dalam masalah nama teragung ini,
saya merasa perlu mewartakan ungkapan ahli Allah itu, untuk dijadikan
kontribusi refrensi anda tentang nama teragung tersebut, berikut untuk
mengingatkan anda akan kemuliaan dan keagungan nama tersebut, berdasarkan isyarat
kenabian yang ada.
Ketahuilah, bahwasanya nama Huwa ibarat rasionalitas wujud yang hadir
dibenak seseorang, yang terwajahkan dalam kisi-kisi metafora (isyarat-isyarat).
Orang seorang yang menyaksikan realitas 'rasa' (indera) pada kegaiban
imajinatif. Kegaiban itu jika masih berada dalam kerangka imajinatif, tidak
bisa diisyaratkan dengan lafadz Huwa, rujukan pengisyaratan lafadz Huwa hanya
dibenarkan dalam lanskap realita kekinian atau yang akan datang. Lafadz Huwa
merupakan lafadz yang mengisyaratkan sesuatu yang terkait dengan kontek
realitas kekinian dan realitas yang bersifat futuristik, tidakkah anda tela'ah
bahwa dlamir (kata ganti) akan kembali kepada kata yang diganti, sesuai dengan
idiom, lafadz, keadaan dan bentuknya. Esensinya lafadz Huwa teraplikasikan pada
wujud murni, bukan pada wujud yang 'adam (tidak ada), al Adam (ketiadaan) tidak
menyerupai kegaiban dan fana' (kesirnaan), sebab realita ghaib yang berada
dalam nuansa ketiadaan sisi (ruang dan waktu), yakni tidak dapat disaksikan
sisinya, realita tersebut tidak bisa diisyaratkan dengan lafadz Huwa.
Dengan demikian dapat difahami, bahwasanya Hawiyah itu sejatinya adalah
wujud murni yang jelas (terang), mencakup setiap kesempurnaan wujud realitas,
serta bisa dijangkau dengan penglihatan mata, akan tetapi realita tersebut
berjalan dalam koridor hukum kegaiban. Karenanya Hawiyah tidak bisa
disembunyikan dari alam realitas dan tidak pula dapat dijangkau dengan
penglihatan mata (persepsi inderawi). Atas dasar itu pula ada stiqma pemikiran
bahwa Hawiyah termasuk dimensi kegaiban, karena tidak bisa dijangkau dengan
penglihatan mata, dus diluar daya persepsi (al Idrak). Pahami betul masalah
ini. Karena al Haq berbeda dengan manusia, kegaiban-Nya bukanlah realitas-Nya,
dan realitas-Nya bukanlah kegaiban-Nya, demikian pula dengan segenap
makhluk-Nya juga memiliki dimensi realitas dan kegaiban, akan tetapi
realitasnya dari satu sisi dan melalui I'tibar, begitu pula dengan kegaibannya
juga berasal dari satu sisi serta melalui I'tibar. Tidak ada kegaiban bagi diri
al Haq tidak pula ada realita pada diri-Nya, bahkan bagi diri-Nya dalam
diri-Nya kelaikan 'Gaib' untuk Diri Nya, berikut kelaikaan 'Realitas' yang reil
bagi diri Nya, seperti halnya ilmu pada diri Nya. Kenyataan ini diluar wilayah
logika, tidak dibenarkan bagi kita melogikan inti (dza)-Nya, sebab tidak ada
yang mengetahui hakekat kegaiban-Nya dan realitas-Nya, kecuali Dia, Jallah
Jalaalah.
Syair-syair al-Jily
HawiyahNya,
menyirnakan keAkuan hambaNya
Mustahil
Aku DiriNya terlihat kasat pada keDiaan hambaNya.
DiaNya
adalah Dia hambaNya dalam dimensi ruh,
AkuNya
adalah Aku hambaNya yang tampak pada realitas wujud
Aku
dirimu adalah Aku DiriNya dalam dimensi ruh
Berikan
Aku mu padaNya. Dia akan memberi AkuNya padamu
DiaNya
yang di Akukan seorang hamba di alam ini.
Pertanda
kebodohan si hamba dalam memaknai hakekat batiniyah
Sudah Edit 27. Inniyah (Ke-Aku-an)
Ketahuilah bahwasanya ke-Aku-an al Haq, sej atinya adalah konsesus-Nya
terhadap apa yang ada pada diri Nya, ia merupakan isyarat lahiriyah al Haq
dengan I'tibar keseluruhan (universalitas) penampakkan-Nya untuk dimensi
Batiniyah-Nya, al Haq berfirman '.
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan selain Aku. (Q.s. Thaahaa 20 : 14).
Sejatinya Hawiyah itu diisyaratkan dengan lafadz Huwa, ia merupakan inti
Inniyah yang diisyaratkan dengan lafadz Aku, ke-Dia-an Dia adalah rasionalitas
wujud ke-Aku-an Nya. selaras dengan ungkapan kami: Lahiriyah al Haq adalah inti
Batiniyah-Nya, batin-Nya inti lahirNya, bukan karena Dia batin dari satu sisi
dan Lahir dari sisi lam. Cobalah telisik dengan jeli firman-Nya, Dia menegaskan
firman-Nya dengan redaksi Sesungguhnya, sebagai bentuk penegasan firman-Nya,
jamaknya sebuah ungkapan selalu menyimpan keragu-raguan di benak para
penyimaknya. Penegasan merupakan langkah konstruktif untuk menumbuhkan
keyakinan serta mengkikis keragu-raguan yang bergelayut dibenak para penyimak,
bahkan sebuah ungkapan tidak pernah sepi dari penafian dan pengingkaran,
karenanya ungkapan 'penegasan' diperlukan dalam perkataan.
Manakala I'tibar batiniyah dan lahiriyah dimuarakan kepada kesatuan
(ketunggalan), lahirlah keragu-raguan (kegamangan) logika, yaitu
ketersembunyian-nya, lantas apa sejatinya yang dimaksudkan dengan batin-Nya
adalah lahir-Nya, lahir-Nya adalah batin-Nya, apa pula kegunaan pembagian lahir
dan batin dalam diri Nya?, jawaban daripada keragu-raguan itu bermuara pada dua
kondisi psikis, antara kegamangan dan keingkaran, karenanya al Haq menegaskan
dengan lafadz Sesungguhnya, al Haq berfirman kepada Musa as Sesungguhnya Aku
yakni ke-Esa-an batin, yang diisyaratkan melalui ke-Dia-an yang sejatinya
adalah ke-Aku-an lahiriyah, diisyaratkan dengan lafadz Aku. Jangan sekali-kali
anda memberi ruang di syakilah hati dan benak anda, bahwasanya diantara
keduanya (ke-Dia-an dan ke-Aku-an) ada perubahan dan pergantian, atau
keterpisahan dan keteceraiberaian, pun diskurs sisi dan visi-Nya, lebih-lebih
menafisirinya dengan adanya dualisme serta kontradektif diantara keduanya,
sebab ini adalah ilmu berdimensikan inti (dzat), yakni isim Allah yang
mengisyaratkan kehendak ketuhanan universal dan utuh, yang sedemikian itu
tatkala Dia memaklumatkan (kepada Musa) bahwasanya batin-Nya dan GaibNya inti
penampakkan-Nya dan realitas-Nya. Dia mengingatkan Musa as bahwa ke-Dia-an dan
ke-Aku-an itu realita hakikinya adalah Allah dengan kelaziman maknanya.
Perhatikan dengan jeli masalah ini. Ketahuilah bahwasanya, universalitas
ketuhanan mencakup dua sifat yang berlawanan, dan segala yang kontradiktif
berlandaskan hukum Ahadiyah (ke-Esa-an), dengan 'adam (ketiadaan) perubahan
pada saat terjadinya perubahan, pelik masalah ini memang merupakan wilayah
'keragu-raguan', yang akan menggelitik ketenangan logika! Maka waspadailah.
Kemudian al Haq mewartakan esensi: Tidak ada Tuhan selain Aku. Yakni tidak
ada Ilahiyah (ketuhanan) al Ma'budah (yang disembah), kecuali Aku, maka Aku
adalah Dhahir (yang tampak) pada berhala-berhala sesembahan tersebut, segenap
bintang dan segala tabiat, bahkan pada setiap apa yang disembah pemeluk
agama-agama yang ada di jagad ini. Aku-lah wujud lahir sesembahan mereka,
Tuhan-Tuhan yang tampak itu adalah Aku, karenanya Aku makzulkan kepada mereka
lafadz Aalihah -tuhan-tuhan-, dan penamaan Ku dengan Aalihah ini kepada mereka
adalah penamaan hakiki, bukan penamaan majaziyah, tidak seperti yang diklaim
ahl dhahir (mereka yang hanya beriman kepada realitas lahiriyah), bahwa
penamaan Aalihah adalah kiasan, karena adanya etos penyembahan itulah sesuatu
yang disembah itu disebut tuhan-tuhan apapun bentuknya. Mereka tidak mendasari
penamaan mereka dengan Diri Nya, yang merupakan wujud lahir etos sesembahan
mereka. Disinilah Nuqtah (titik) kesalahan mereka, terlebih pangkal keingkaran
mereka kepada al Haq. Sebab wujud sesembahan mereka bahkan segala Maujudaat
(segenap wujud yang ada), merupakan manifestasi wujud Dhahir (yang tampak) al
Haq, maka penamaan Maujudaat yang dijadikan wujud sesembahan itu merupakan
penamaan hakiki, bukan penamaan Majaz, karena al Haq adalah inti segala sesuatu
dan penamaan-Nya dalam lanskap ketuhanan adalah penamaan hakiki. Tidak seperti
yang diklaim para Muqollid (pengikut tanpa dasar) dari komunitas yang
terhijabkan, bahwa penamaan dimensi ketuhanan bersifat Majaziyah, jika etos
penyembahan itu berdasarkan makna Majaz (seperti klaim ahli dhahir), maka Kalaam
(ujaran) tentang batu-batu, bintang-bintang, tabiat-tabiat dan segala sesuatu
yang dijadikan wujud sesembahan bukanlah Aalihah (tuhan-tuhan). Pahami dengan
jeli masalah ini.
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan selain Aku Maka sembahlah Aku.
Madluliyah (makna tersirat) dari ayat ini, al Haq hendak mewartakan kepada
para paganis (penyembah berhala) dan penyembah tuhan-tuhan lain selain Diri
Nya, bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah itu adalah manifestasi lahir-Nya,
sedangkan hukum ketuhanan di dalamnya adalah hakiki, mereka tidak menyembah
pada wujud sesembahan tersebut, melainkan Dia, karenanya Dia berfirman, Tidak
ada Tuhan selain Aku. Yakni, apapun yang dinamakan Tuhan sejatinya adalah
Aku, tidak ada satupun di alam ini orang seorang .yang menyambah selain Diri
Ku. Bagaimana mungkin mereka menyembah selain Diri Ku, sedang Aku menciptakan
mereka untuk menyembah Diri Ku, dan mereka senantiasa tetap pada fitrah
penciptaan seperti tujuan penciptaan mereka, yaitu menyembah Diri Ku. Terkait dengan
ini rasul Muhammad saw menandaskan :
Masing-masing berjalan sesuai dasar
penciptaan-Nya,
yakni untuk beribadah kepada al Haq, sebab al Haq berfirman,
Aku tidak menciptakan Jin dan
manusia, melainkan untuk menyembah kepada diri Ku. (Q.s. adz Dzuriyaat 51 : 56).
Dia juga berfirman :
Dan tidak ada sesuatupun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya. (Q.s. al Israa' 17 : 44).
Al Haq memperingatkan kepada Musa as, bahwa para pelaku penyembahan
tuhan-tuhan tersebut sejatinya mereka adalah menyembah Allah Jallah Jalaalah,
hanya saja mereka menyembah-Nya dari sisi lahiriyah semata, serta dengan
'model' dan modus penyembahan simbolistik. Dia memintah Musa as, untuk
menyembah-Nya dari segala sisi penampakkan, yakni tidak membatasi Diri Nya
hanya pada satu sisi spasial (ruang dan waktu), Dia berfirman
Tidak Tuhan selain Aku,
yakni dalam semua arah spasial (ruang dan waktu) yang ada hanyalah Diri Ku.
Setiap sesuatu yang dilabeli (dinamakan) Tuhan, maka tuhan itu adalah Aku,
bukankah Aku telah wartakan bahwa inti segala sesuatu itu adalah Aku, dan Aku
adalah inti segala sesuatu, yang terlembagakan dalam isyarat isim Ku (Allah).
Maka sembahlah Diri Ku wahai Musa, dari sisi ke-Aku-an Ku, yang mewadahi segala
wujud, yang tidak lain merupakan inti ke-Dia-an Ku.
Realita tersebut, merupakan Inayah (pertolongan) al Haq, kepada nabi-Nya
yang bernama Musa as, agar ia (Musa) tidak menyembah-Nya, hanya satu sisi
(arah) tanpa sisi-sisi yang lain, yang dengan itu ia akan kehilangan al Haq
pada sisi-sisi lainnya' terlebih membuatnya tersesat dari-Nya, dan terpaku pada
satu sisi ritus penyembahan-Nya, seperti jerembab kesesatan yang terjadi pada
pemeluk agama-agama lain dari jalan Allah Jallah Jalaalah. Berbeda dengan etos
penyembahan melalui jalan ke-Aku-an ini yang tertajallikan pada segala yang
tampak, dan manifestasi-manifestasi ketuhanan, keadaan, kehendak dan
kesempurnaan-kesempurnaan ketuhanan dalam rasionalitas wujud yang terlembagakan
dalam ke-Dia-anNya serta teraplikasikan dalam ke-Aku-an Diri Nya. Semua itu
sejatinya merupakan wajah isim-Nya Allah sebagaimana dijabarkan dalam
keterangan Qur'ani bahwasanya Tidak ada Tuhan kecuali Aku. Etos penyembahan
dalam dimensi inilah seharusnya yang harus diaktualisasikan dan ditradisikan
dalam diri masing-masing penyembah, dimensi ibadah seperti inilah yang
diisyaratkan al Haq dalam firman Nya :
Dan bahwa ini adalah jalan Ku yang
lurus, maka ikutilah dia ; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain,
karena jalan-jalan itu mencerai beraikah kamu dari jalanNya. (Q.s. al An'aam 6 : 153).
Para pengikut jalan-jalan lain, meski berada dijalan Allah, pasti akan
tercerai berai, yang menjerembabkan mereka ke dalam tindak kesyirikan. Dan al
Ilhad (atheis), berbeda dengan pengikut Muhammad saw sejati, yang eksis dengan
ajaran Tauhid, serta senantiasa meng-Esa-kan al Haq, mereka konsisten di jalan
Allah, dan tatkala seorang hamba berada di jalan Allah, akan tampak padanya
rahasia ungkapan rasul saw,
Barang siapa yang memahami dirinya,
maka ia akan paham Tuhannya.
Paska marifah diri itu sang hamba diminta menyembah al Haq dengan etos
penyembahan (ubudiyah) hakiki, yakni ritus ibadah yang disertai pemahaman makna
hakiki nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, sebab dengan 'wajah' ibadah dan
ubudiyah seperti itulah seorang hamba, akan bisa memakrifahi bahwasanya al Haq
adalah inti segala sesuatu, baik yang berdimensikan Dhahir (yang tampak) maupun
Batin (yang tidak tampak). Ia juga bisa memahami I'tibar ke-Aku-an Nya yang
diajarkan kepada Musa as, serta berusaha mengikuti jejak Musa as, dalam
menggapai kesejatian kesempurnaan-Nya yang terhampar pada nama-nama dan
sifat-sifat Nya. Pada maqom (capaian spintual) seperti inilah seorang hamba
akan mampu beribadah kepada Allah dengan ibadah yang hakiki, kesejatian ibadah
seperti ini tidak akan ada pasang surutnya, sebab pasang surut ibadah
menunjukkan ketidak hakikian ibadah tersebut. Lebih dari itu ibadah yang hakiki
tiada berahiran seperti halnya al Haq yang tidak berahiran, pun nama-nama dan
sifat-sifat Nya yang tak terbatas demikian pula dengan hak penyembahan-Nya juga
tak terbatas, terkait dengan kondisi ritual ini, rasul Muhammad saw menandaskan
:
kami tidak bisa memakrifahi Diri Mu
dengan makrifah hakiki, dan tidak bisa menyembah Mu dengan sesembahan hakiki,
sebagaimana Engkau haturkan puji sanjung Mu atas Diri Mu.
Seorang arif billah menandaskan bahwa mengakui kelemahan daya persepsi (al
Idraak) sejatinya adalah Idraak (persepsi). Sebagian para alim ada yang
berpendapat : ke-Aku-an al Haq itu sejatinya adalah rasionalitas wujud seorang
hamba, karena ia merupakan isyarat penyaksian dalam kontek kekinian dan yang
akan datang, setiap penyaksian Hawiyah (ke-Dia-an)-Nya adalah gaib-Nya, mereka
meletakkan ke-Dia-an Dia pada dimensi kegaiban, serta menyebutnya sebagai inti
(dzat) al Haq. Sedang ke-Aku-an Dia diletakkan pada alam realitas (penyaksian),
yang tidak lain adalah rasionalitas wujud para hambaNya. Perhatikan dengan seksama
masalah ini.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair al-Jilly
Wahai
Citra Hakiki, yang merisaukan para pemikir
Wahai
Citra Kebaikan, yang menakjubkan para cendekia
Wahai Muara
Tujuan, yang ditempuh para pesuluk PetunjukMu sangat Nyata.
Rambu
kesesatan telah Kau wartakan
Bagimu
segala puji, dengan puji sanjung tak tebilang
Kaulah
zat Yang Maha Terpuji, tanpa ada penyekutuan
pujiMu-PujiMu
tidak dipersekutukan dengan puji mahlukMu
Kesucian
pujiMu, terquduskan dari segala sesuatu selain DiriMu
Puji
sanjung kami sangatlah terbatas dan teramat nihil
Sedangkan
pujiMu meliputi sesuatu yang tak terbatas
dan
terbilang Inilah pengakuan kami, akan kedzaifan kami dihadapanMu
Kelemahan
dalam meraih DiriMu sejatinya adalah raihan itu sendiri.
Sudah Edit 28. Azali (Tidak Berawal)
Azali (tidak berawal) ibarat, rasionalitas wujud dalam bingkai hukum
(pendahuluan) atau (ke-tidak berawal-an), yang pemberlakuannya dikaitkan kepada
al Haq sejalan dengan kehendak-Nya dalam nuansa kesempurnaan-Nya, bukan dalam
dimana Dia lebih dahulu ada-Nya dibandingkan segala Muhditsaat (kebaruan),
dengan rentang zaman (waktu) yang sangat panjang. Azali jamak diidentikkan
dengan rentang waktu yang memisah jarak zaman, sebuah lorong waktu yang
menjadikan al Haq jauh lebih dahulu ada-Nya dibandingkan segala Maujudaat,
inilah pengertian populer tentang azali yang menghiasi langit pemikiran orang
kebanyakan, sebuah pengertian yang jauh dari kisi-kisi makrifatullah. Pemahaman
seperti jelas lahir dari produk pemikiran yang tidak memahami hakekat Allah
Jallah Jalaalah, Maha Suci Allah dari segala penyempitan makna
kesempurnaan-Nya. Kami telah memaparkan ketidak validan pemahaman seperti itu
dalam karya-karya kami terdahulu. Dalam pandangan kami, azaliNya yang maujud
(ada) sekarang, adalah sama seperti adanya sebelum keberadaan wujud kita,
azali-Nya tidak berubah sedikitpun, dan masih tetap azali dalam keabadian, kita
akan mengkaji masalah abadi pada pasal yang akan datang, demikianlah hukum
azali yang berlaku pada hak Allah.
Adapun wujud Muhditsaat (kebaruan), juga memiliki sifat azali, ia ibarat
lorong waktu yang wujud keharuannya belum terwujud, setiap sesuatu yang baru
(adanya karena diadakan) memiliki azali yang berubah-ubah karena adanya azali
wujud-wujud kebaruan-kebaruan yang lain. Azali benih tetumbuhan tidak sama
dengan azali tumbuh-tumbuhan, karena wujud benih ada sebelum wujud
tumbuh-tumbuhan, lebih dari itu tumbuh-tumbuhan itu tidak akan berwujud jika tidak
ada wujud benih, maka azali tumbuh-tumbuhan terkait erat dengan kondisi
'keber-ada-an' benih, bukan terkait dengan didahului atau sebelum benih. Azali
benih terkait dengan keberadaan Jauhar (entitas), azali Jauhar terkait dengan
keberadaan wujud Huyuli (benda pertama), azali benda pertama terkait dengan
keberadaan wujud kabut, azali kabut terkait dengan keberadaan wujud tabiat,
azali tabiat terkait dengan keberadan wujud Anasir (unsur-unsur), azali anasir
terkait dengan keberadaaan wujud benda-benda ketinggian, semisal pena
tertinggi, akal, dan malaikat yang bernama ruh, dan lain sebagainya. Sedang
segenap alam dan isinya alam azali-nya adalah kalimat Hadhrah (presensi),
itulah sejatinya ungkapan al Haq kepada sesuatu, Jadilah Maka Jadilah. Q.s.
Yaasin 36 : 82. Adapun azali mutlak tidak ada yang memilikinya kecuali Allah
untuk Diri Nya. Tidak ada satupun dari segenap makhluk (ciptaan)-Nya ada di
dalamnya, baik hukum atau inti (dzat) serta I'tibar, karenanya seorang penyair
perna berkata : kami dalam azali, ada pada Allah, ketahuilah sesungguhnya Dia
adalah azali seganap makhluk-Nya, jika tidak maka mustahil mereka berada
didalam azali al Haq, sedang azali al Haq adalah azali segala Azaliyaat
berlandaskan hukum inti (dzat) yang menjadi hak-Nya, karena azali merupakan
wajah dari kesempurnaan al Haq.
Ketahuilah, bahwa azali tidak disifati dengan wujud juga tidak disifati
dengan 'adam (ketiadaan), ia tidak disifati dengan wujud karena merupakan
masalah yang berdimensikan hukum, bukan masalah yang berdimensi dzat atau
dimensi wujud (realitas maupun rasionalitas wujud), ia tidak disifati dengan
'adam (ketiadaan), karena ia merupakan 'dahulu' atau 'sebelum' serta 'tidak
berawal', nisbat dan hukum serta ketiadaan murni. Ia tidak menerima nisbat dan
hukum, karenanya hukumnya terangkat, dengan demikian azali al Haq adalah
keabadian-Nya dan keabadian-Nya adalah keazalian-Nya. Ketahuilah bahwa azali al
Haq yang untuk diri-Nya, tidak ada serta tidak berlaku bagi segenap
makhluk-Nya, baik yang berdimensi hukum maupun inti (dzat), karena ia merupakan
hukum Qabliyah (tidak berawal) untuk Allah semata. Hukum Qabliyah-Nya tidak
berlaku bagi segenap makhluk dengan sisi dan wajah apapun.
Dengan demikian tidak berlaku klaim bahwa dalam Qabliyah al Haq ada wujud
berdasarkan ketentuan ilmu, dan bukan berdasarkan ketentuan wujud, sebab jika
dihukumi dengan wujud ilmu, melahirkan kelaziman (kemestian) adanya makhluk
(ciptaan) dengan wujud al Haq. Terkait dengan ini al Haq telah memperingatkan
dalam firman-Nya :
Bukankah datang atas manusia satu
waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat
disebut. (Q.s.
al Insaan 76 : 01).
Para alim (ulama) sepakat bahwa kata Bukankah dalam ayat itu
bermaknah Telah, yakni telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang
ad Dahr (masa) disini sejatinya adalah al Haq, adapun satu waktu maksudnya
adalah segenap manifestasi-Nya, belum merupakan sesuatu yakni manusia
belum berupa sesuatu, yang disebut yakni manusia belum berwujud pada
manifestasi-Nya, baik dari sisi ketetapan sesuatu, bukan pula dari sisi
keilmuan, karena manusia pada waktu itu belum merupakan sesuatu yang al
Madzkurah (yang disebut) dan manusia pada waktu itu juga belum diketahui.
Tajalli ini merupakan dimensi azali al Haq untuk diri Nya, ada warta ketuhanan
yang menjelaskan bahwasanya al Haq berfirman kepada ruh-ruh di masa azaliyah,
seperti yang ditegaskan firman Qur'ani :
Bukankah Aku ini Tuhan kalian?
Mereka menjawab : Betul. Engkau tuhan kami. (Q.s. al A'raaf 7 : 172).
Azali dalam kontek ini adalah azali
yang berdimensikan kemahlukan, ia merupakan azali para makhluk-Nya. dalam
hadist ditandakan
mereka dikeluarkan bagaikan biji
sawi dari punggung Adam as,
realita tersebut merupakan metafora atas ketentuan maklumat (pengetahuan)
dalam dunia ilmu. Ta'bir mereka dimetaforkan dengan biji sawi karena kelembutan
(kehalusan) dan kemisterian serta tanda daripada ungkapan-Nya kepada mereka
Bukankah Aku adalah Tuhan kalian?,
kenyataan ini juga merupakan pembekalan Ilahiyah (ketuhanan) pada diri
mereka. Adapun ungkapan mereka Betul, Engkau adalah Tuhan kami merupakan
metafor (isyarat) penerimaan mereka, sebelum mereka dijadikan media
penampakkan-Nya. al Haq tidak mempertanyakan eksistensi ketuhanan-Nya kepada
mereka, melainkan setelah mempersiapkan (membekali) diri mereka serta
menjadikan fitrah penciptaan mereka siap menerima nilai-nilai ketuhanan diri
Nya, dan merekapun memakzulkan eksistensi Rububiyah (ketuhanan-Nya, dus mereka
sama sekali tidak mengingkari-Nya. Wujud penerimaan mereka adalah maklumat
ungkapan mereka Betul, Engkau adalah Tuhan kami.
Al Haq merekam kesaksian mereka dalam kitab-Nya, sebagai bukti kesaksian
pada hari kiamat, bahwa mereka adalah insan-insan beriman (mu'minun) dengan
Rububiyah-Nya dan men-Tauhid-kan Diri Nya. semantis logikanya kita (insan
beriman) akan dijadikan oleh-Nya saksi atas segenap manusia di hari agung
tersebut, pada hari kiamat itu tidak diterima kesaksian para malaikat atas kekafiran
dan pembangkangan mereka, kitalah yang menjadi saksi pada hari agung itu,
kesaksian para malaikat tidak berbingkai hakekat, kesaksian kita berbingkai
hakekat, karena al Haq telah mempersiapkan dan membekali hal tersebut pada diri
kita. Maka argumen kita sangatlah jelas dan lugas, karena ia merupakan argumen
al Haq untuk para makhluk-Nya, adapun wujud hakiki argumen kita itu adalah
kebahagiaan hakiki, sedang argumen para malaikat subjektif, karena mereka
melandasi argumen dengan realita lahiriyah, dan tidak ada bagi para malaikat
itu melainkan sesuatu yang dhahir (yang tampak). Tidakkah anda menelisik vonis
para malaikat yang menghukumi Adam as sebagai pembuat onar dan kerusakan dimuka
bumi ini, pada saat yang sama mereka mengklaim diri mereka sebagai Mushlihun
(pelaku perbaikan), dengan rasa percaya diri dan agunan tasbih serta sanjung
puji yang telah mereka tradisikan. Mereka lengah atau bahkan pongah akan
eksistensi permasalahan batiniyah yang ada pada diri Adam as, yang berupa
hakekat ar Rahmaniyah dan sifat-sifat Rabbaniyah. Manakala sifat-sifat itu
termanifestasikan pada diri Adam as, dan Adam as mampu memberitahu kesejatian
nama-nama mereka dan mereka memahami apa yang diwartakan Adam as, karena
sifat-sifat keilmuan al Haq juga meliputi diri mereka dan makhluk-makhluk
selain malaikat,
Mereka berkata : Maha Suci Engkau
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Engkau ajarkan kepada kami. (Q.s. al Baqarah 2 : 32).
Jelas sekali ada batasan ilmu pada diri para malaikat, yakni ilmu mereka
hanya terbatas pada wacana Dzahiriyah, berbeda dengan Adam as, ia mengetahui
segala sesuatu secara mutlak berdasarkan ilmu Ilahiyah (ketuhanan), karena ia
(Adam as) sejatinya yang dimaksudkan dengan ilmu ketuhanan. Sifat-sifat al Haq
adalah sifat-sifatnya, dan inti (dzat) al Haq, adalah inti (dzat)-nya. Pahami
betul semoga Allah membimbingmu ke pemahaman hakiki.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Sudah Edit 29. Abadi
(Selama-lamanya)
Abadi (kekal selama-lamanya) ibarat, rasionalitas wujud hukum kesudahan
atau akhiran yang pemberlakuannya dikaitkan kepada al Haq, sejalan dengan
kehendak-Nya dan eksistensi wujud-Nya secara dzat (inti)-Nya serta wujud yang
mesti ada dengan sendirinya (Wajib al Wujud). Sebab al Haq wujud dengan
sendiri-Nya dan untuk Diri Nya, tegak dengan inti (dzat)-Nya, karenanya Dia
pantas disifati baqa' (kekal). Dia tidak didahului oleh al 'adam (ketiadaan),
berlaku bagi-Nya hukum baqa' (kekekalan) sebelum dan sesudah al Mumkinaat
(kemungkinan). Dia tegak dengan inti (dzat)-Nya, dan ketiadaan rasa butuh-Nya
kepada segala sesuatu selain diri Nya. Berbeda dengan Mumkinaat, ia
(kemungkinan) meski tidak berujung, namun ia tetap berada dalam koridor hukum
keterputusan atau keterpisahan, karena ia didahului oleh al 'Adam (ketiadaan),
setiap yang didahului ketiadaan maka akan kembali kepada ketiadaan. Keterkaitan
al Haq dengan hukum ke-tidak ada-an bukanlah sebuah keharusan bagi-Nya, sebab
jika ada keharusan maka ada keharusan pula bagi al Haq dalam baqa'
(kekekalan)-Nya jelas hal itu mustahil bagi Allah, atau jika realita tersebut
dibenarkan, maka tidak berlaku hukum kesudahan atau akhiran yang
pemberlakuannya dikaitkan kepada al Haq, sejalan dengan kehendak-Nya dan
eksistensi wujud-Nya secara dzat (mti)-Nya serta wujud yang mesti ada dengan
sendirinya (Wajib al Wujud).
Ketahuilah, Qabliyah (tidak berawal) dan Ba'diyah (kesudahan) bagi al Haq,
merupakan dua hukum yang menjadi hak-Nya, Qabliyah dan Ba'diyah al Haq tidak
terkait dengan dimensi zaman (masa), spasial (konsep ruang dan waktu) sebab
adalah mustahil adanya laju zaman dan syakilah ruang pada diri al Haq. Pahami
betul metafora yang kami isyaratkan dalam masalah ini. Maka abadi al Haq
merupakan kondisi inti (dzat)-Nya, dengan I'tibar kontiunitas (kelanggengan)
wujud-Nya selama-lamanya paska keterputusan wujud segala Mumkinaat (segenap
kemungkinan).
Ketahuilah bahwa setiap kemungkinan (Mumkinaat) itu memiliki keabadian,
abadi dunia beralih kepada abadi akhirat, abadi akhirat beralih kepada abadi al
Haq, maka ada kemestian hukum keterputusan (peralihan) pada keabadian penghuni
surga dan keabadian penghuni neraka, sejalan dengan pemberlakuaan hukum
kebaqa'an dalam surga dan neraka bagi para penghuninya. Keabadian al Haq tidak
dihukumi dengan keterputusan atau peralihan seperti yang berlaku pada keabadian
makhluk (ciptaan)-Nya. Tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang berjalan pada
hukum ke-kekal-an Diri Nya, itulah rasionalitas wujud hukum keabadian al Haq
vis avis keabadian makhluk. Orang seorang tidak akan menemukan nilai-nilai
hakiki keabadian itu, jika belum Mukasyafah, sebab hanya dengan Kasyf
(pengetahuan intuitif) sajalah hakekat keabadian itu bisa disibak,
Kebenaran itu datangnya dari al Haq,
barang siapa yang mau mempercayai, silakan mengimani, barang siapa yang ingin
kafir (ingkar), biarlah ia kafir. Q.s. al Kahfi 18 : 29.
Ketahuilah bahwa Haal (kondisi) daripada ihwal-ihwal akhirat itu sejatinya
adalah satu, baik ihwal insan-insan yang beroleh rahmat, maupun ihwal manusia-manusia
yang ditimpa siksa, yang sedemikian itu sejalan dengan hukum azali dan abadi al
Haq. Ini merupakan rahasia agung yang bisa dipahami melalui Dzauq (intuisi),
serta Kasyf al Ilahiyah (intuisi ketuhanan). Orang seorang yang telah sampai
kepada capaian spiritual ini akan bisa memakrifahi (memahami) bahwasanya hukum
azali dan abadi al Haq dengan Diri Nya, tidak akan pernah terputus (berubah)
selama-lamanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ihwal (keadaan) alam
akhirat dan keadaan penghuni kampung akhirat adalah satu, akan tetapi ada roda
pergantian dari satu Haal (kondisi) ke Haal yang lain, peredaran perubahan
tersebut manakala berujung kepada al Haq, maka hukum perubahan Haal itu
berganti dengan Haal Allah. Pada fase ini hukum Haal itu tidak berubah
(berganti), dan hukum akhirat tak tergantikan, tidak ada perubahan dalam ihwal
penghuninya, karena ihwal (keadaan) mereka adalah satu. Ini merupakan wilayah
Syuhudiyah (penyaksian) al Haq, tidak ada seorang hamba-pun yang mampu
menggapainya. Kita akan kaji lebih detil masalah ini pada pasal surga dan
neraka di lembaran berikutnya. Kongklusinya adalah, abadi al Haq adalah
keabadian yang abadi, seperti halnya azali al Haq adalah keazalian yang azali.
Ketahuilah, bahwa abadi al Haq adalah inti azali-Nya, dan azali-Nya adalah
inti abadi-Nya, ini merupakan ibarat keterputusan (peralihan) dua sisi atribut
atas diri-Nya, untuk kekhuhusan Baqa' (kekekalan) diriNya dengan inti
(dzat)-Nya. Adapun keberadaan qabliyah-Nya dan atribut awaliyah-Nya yang dinisbatkan
atas diri-Nya dinamakan rasionalitas wujud azali, berikut wujud-Nya sebelum
rasionalitas azali juga adalah azali, keterputusan dan atribut ke-ahir-an yang
dinisbatkan atas diriNya dinamakan rasionalitas wujud abadiNya, serta kekalNya
paska rasionalitas abadi adalah abadi, inilah sejatinya yang kami sebut dengan
azali dan abadi untuk al Haq. Sedang dua sifat yang tertampakkan merupakan
atribut zaman untuk rasionalitas wujud yang mesti ada dengan sendiri-Nya (Wajib
al Wujud-Nya), jika tidak demikian maka tidak ada azali tidak pula ada abadi. Adalah
Allah tidak ada sesuatupun bersama-Nya tidak ada zaman (waktu) bagi-Nya,
tidak berlaku bagi-Nya hukum spasial (konsep ruang dan waktu), selain azali
tidak lain adalah abadi, ia juga merupakan hukum wujud-Nya. Dengan I'tibar
ketiadaan zaman yang melaju pada diri Nya, serta keterputusan hukum zaman tanpa
kisaran (putaran) waktu yang memanjang berjalan selaras dengan baqa'
(kekekalan)-Nya, ke-Kekal-an al Haq lah yang memutus zaman, tanpa adanya
kertakaitan kisaran Diri Nya dengan waktu (zaman), itulah sejatinya yang
disebut dengan abadi. Pahami dengan seksama masalah ini.!
Sudah Edit 30. Al Qidam (Eternitas)
Al Qidam (eternitas), ibarat hukum kemestian yang berdimensikan inti
(dzat), kemestian inti (dzat) itulah yang menampakkan isim (al Qodiim) untuk
al Haq, sebab sesuatu yang wujudnya mesti ada dengan inti (dzat)-Nya, tidak
akan didahului oleh ketiadaan, dan sesuatu yang tidak didahului oleh ketiadaan
maka lazim dihukumi Qodiim (Sedia, adanya tidak didahului oleh sesuatu) jika
tidak demikian, maka Qidam (eternitas) akan diliputi zaman (masa) serta
diliputi hukum spasial (konsep ruang), berikut beredar pada kisaran waktu, Maha
Suci Allah dari batasan zaman (masa) dan waktu, Dia tidak terikat dengan waktu
dan ruang. Qidam-Nya merupakan hukum kelaziman wujud-Nya yang mesti dengan inti
(dzat)-Nya, jika tidak demikian maka antara al Haq dengan makhluk-Nya ada zaman
pun ada waktu yang terkumpulkan, bahkan hukum wujud-Nya mendahului hukum wujud
segenap makhluk-Nya, itulah sejatinya yang dinamakan al Qidam, padahal
keberadaan makhluk membutuhkan wujud yang diadakan oleh-Nya. Wujud yang ada
menjadi Maujud (ada) karena diadakan oleh al Haq karenanya dinamakan Huduts
(kebaruan, adanya karena diadakan). Ketahuilah ada pemaknaan kedua bagi Huduts
ini, yaitu ; Penampakkan wujud-Nya yang sebelumnya merupakan sesuatu yang belum
dan tidak diketahui, maka esensi kebaruan (huduts) itu sejatinya merupakan
dimensi kelaziman hak makhluk-Nya, yaitu al Ifqtiqar (rasa butuh) mereka kepada
Maha
Wujud yang menjadikan mereka Maujud (ada). Berdasarkan kenyataan itulah
lahir kelaziman isim Huduts (kebaruan) atas segenap makhluk, meski maujud (ada)
dalam ilmu al Haq, ia tetap Muhdits (sesuatu yang dijadikan) dan bersifat
Huduts (baru), karena rasa butuh sesuatu yang baru kepada Maha Wujud yang
me-maujud-kan adalah sebuah kenyataan yang tak tenafikan, dan realita yang tak
terbantahkan.
Tidak dibenarkan bagi segenap makhluk-Nya melabeli diri dengan nama-Nya (al
Qodiim), meski keberadaannya telah maujud dalam ilmu ketuhananNya sebelum
penampakkannya (ke alam realitas ini), karena keberadaan makhluk berjalan pada
hukum ketergantungan dan rasa butuh kepada Dzat yang mengadakan, lebih dari itu
ia merupakan wujud makhluk yang maujud dengan yang lain, hidupnya bergantung
kepada al Haq, dan wujud butuh dengan wujud-Nya, inilah sejatinya makna al
Huduts. Dengan, I'tibar seperti ini, al A'yaan as Tsabitah (zat tetap) yang
maujud dalam ilmu ketuhanan wujudnya adalah Muhditsah (bersifat baru) dan tidak
bersifat Qidam, masalah ini jamak dinafikan kebanyakan para alim, mayoritas
dari mereka memaklumatkan (menghukumi) bahwa al A'yaan as Tsabitah (dzat tetap)
adalah qidam, fikrah seperti itu juga merupakan wajah lain dengan I'tibar lain
pula. Kini perlu kami jelaskan kepada anda (wahai para pembaca), bahwasanya
jika ilmu ketuhanan bersifat qodim, yakni dihukumi dengan qidam, hal itu
merupakan kewajiban yang berdimensikan inti (dzat), karena sifatnya terkait
dengan inti (dzat)-nya dalam setiap wacana yang sejalan dengan nuansa
hukum-hukum Ilahiyah (ketuhanan). Sebab ilmu tidak bisa disebut ilmu melainkan
dengan adanya maklumat (pengetahuan)-nya, jika tidak demikian maka mustahil
adanya wujud ilmu atau maklumat, seperti halnya kemustahilan wujud keduanya
dengan 'adam (tidak adanya) si Aalim (manusia yang mengetahui).
Maklumat (pengetahuan) adalah wajah al A'yaan as Tsaabitah (zat tetap), dan
merupakan sublimasi hukum Qidam dengan ilmu, maka maklumat al Haq adalah Qodim,
yang memiliki Muhditsah (sesuatu yang baru) untuk diri Nya dalam inti
(dzat)-Nya, maka sublimasi keterkaitan makhluk dengan al Haq adalah keterikatan
berlandaskan hukum, karena kembalinya wujud makhluk kepada al Haq berdasarkan
inti perintah serta berlandaskan hukum inti (dzat). Tidak akan ada yang bisa
memahami apa yang kami katakan ini, melainkan insan-insan yang telah menggampai
maqom al Kaamil (kesempurnaan), sebab masalah ini adalah masalah Dzauq al Ilahiyah
(intuisi ketuhanan), yang dikhususkan bagi para ahli hakekat serta insan-insan
yang telah makrifatullah. Manakala al Qidam ini berdimensikan hak kemakhlukan,
ia merupakan sesuatu yang berdimensi hukum, sedangkan al Huduts (kebaruan)
merupakan sesuatu yang berdimensikan zat. Nisbat segala makhluk-Nya yang
diruntutkan kepada al Haq adalah berdimensikan hukum, yakni keterkaitan hukum
ketuhanan dengan segenap makhluk-Nya. Pahami dengan jeli masalah ini. Maka
Qidam al Haq merupakan masalah yang berdimensi hukum inti (dzat) dan kemestian
wujud-Nya, sedang Huduts makhluk-Nya merupakan masalah berdimensi hukum inti
(dzat) dan kelaziman wujud untuk segenap makhluk-Nya, maka segala makhluk-Nya
dari sisi ke-Dia-an Dia tidak bisa disebut al Haq, kecuali dari sisi hukum
untuk menunjukkan manifestasi-Nya pada segala wujud, sebab diri dan inti
(dzat)-Nya tersucikan dari ketercampuran dengan inti (dzat) segala Maujudaat.
Ketercampuran itu hanya berdasarkan hukum manifestasi, bukan berdasar inti
(dzat)-Nya.
Realita ini tidak akan bisa dijangkau dengan penglihatan mata, karena ini
merupakan wilayah Kasyf (intuisi), daya persepsi inderawi manusia pun
rasionalitas wujud di alam realitas ini tidak akan mampu menyingkap tajalli
inti (dzat)-Nya, kacuali mereka yang telah menggapai Kasyf Ilahiyah (intuisi
ketuhanan). Dengan demikian masalah penyingkapan dan penyaksian ini adalah
masalah qudrah (kekuasaan), yang lahir dari Kasyf (intuitif), bukan berdasarkan
rasionalitas wujud ilmu (pengetahuan). Realita ini sejalan dengan ajaran
kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, yang mewartakan ketunggalan al Haq dalam segala
wujud, serta kesatuanNya dari yang banyak, tidak seperti yang diklaim
mereka-mereka yang tidak mengerti kesejatian ilmu hakekat, yang mengatakan
syariat adalah kulit dhahir (yang tampak). Mereka tidak mengetahui bahwa
syariat merupakan isi dan kulit dari hakekat ketuhanan itu sendiri,
beruntunglah mereka-mereka yang bisa memakrifahi inti ajaran syariat dengan
pemahaman hakiki, berikut makrifahnya berbingkai ajaran syariat-Nya.
Sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang mendekatkan pemiliknya kepada al Haq, dan
sebaik-sebaik ilmu hakekat adalah ilmu yang menuntun pemiliknya kepada titian
hakiki dan amal (laku) hakiki dengan dan bersama serta kepada al Haq. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Qidam merupakan masalah yang berdimensi hukum
bagi dzat yang wajib al wujud, (wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Adapun
titik perbedaan antara azali dan qidam, azali ibarat rasionalitas wujud
Qabliyah (tidak berawal) bagi al Haq, sedangkan Qidam ibarat ketiadaan sesuatu
yang mendahului al Haq sejak dan ketiadaan. Azali menunjukkan bahwa Dia maujud
sebelum segala sesuatu, sedang mdam menunjukkan bahwasanya Dia tidak didahului
oleh sesuatu, seperti halnya Dia tidak diawali oleh sesuatu. Dengan demikian
jelas sekali batas pengertian antara makna azali dan qidam. Pahami dengan jeli
masalah ini!
Syair-syair al-Jily
al
Qadiim, adalah wujud yang wajib wujudNya
Setiap
hamba wajib mempercayai wujud DiriNya.
Jangan
kau batasi wujudNya dengan jarak waktu
Jangan
kau takar wujudNya dengan logika pikirmu
Eternitas
adalah ihwal DiriNya seperti sediakala.
WujudNya
tetap dalam keazalian dan keabadianNya
WujudNya
tidak lapuk oleh zaman, sirna oleh waktu
WujudNya
tetap eksis, sebelum dan sesudah mahlukNya
Seperti
zat DiriNya, wujudNya adalah Qadiim.
Eternitas,
tidak lekang oleh waktu, tidak berubah zaman.
Sudah Edit 31. Hari-Hari Allah
Ay yaam al Haq (hari-hari al Haq) sejatinya adalah penampakkan daripada
manifestasi-manisfestasi-Nya sejalan dengan kesempurnaan-kesempurnaan inti
(dzat)-Nya. Setiap manifestasi dari tajalli-tajalli-Nya berjalan dengan hukum
ketuhanan yang ditampilkan sesuai keadaan segala wujud, karenanya bekas-bekas
(pengaruh-pengaruh) tajalli-Nya sangat jelas dan merupakan cerminan inti ketuhanan-Nya
dalam wujud tersebut, maka ragam wujud, yakni perubahan wujud setiap waktu,
itulah sejatinya yang disebut Atsaar (bekas-bekas) keadaan ketuhanan yang
terlanskapkan dalam manifestasi, berdasarkan hukum wujud yaitu perubahan wujud,
inilah hakekat makna daripada firman al Haq,
Setiap waktu Dia dalam kesibukan. Q.s. ar Rahman 55 : 29.
Yakni al Haq senantiasa dalam 'keadaan' menciptakan, menghidupkan,
mematikan, melihat ihwal makhluk-Nya, memberi rizki, menguji dan lain-lainnya.
Ketahuilah bahwasanya ayat ini memiliki sisi makna lain yang lebih spesifik
yang berpulang kepada al Haq, seperti halnya manifestasi merupakan salah satu
sisi maknanya yang lain, dengan demikian 'keadaan' sejatinya adalah 'kesibukan'
al Haq dengan segala wacana dan dimensinya, bentuk nyatanya dalam segala wujud
adalah bekas-bekasnya. Seperti halnya tajalli yang melahirkan citra-citra
ketuhanan diri Nya, demikian pula Iradah (kehendak) al Haq adalah sejalan
dengan inti (dzat)-Nya, meskipun demikan inti (dzat)-Nya, tidak berlaku bagiNya
hukum perubahan, seperti yang jamak terjadi pada makhluk-Nya. Wajah tajalli-Nya
dalam segala wujud dengan ragam manifestasi pada masing-masing wujud tersebut,
bukanlah wajah perubahan Diri Nya, karena hukum (inti)-Nya tidak berlaku
perubahan, sedang tajalli-Nya melahirkan ragam wajah ketuhanan-Nya. Wajah
perubahan manifestasi itulah sejatinya I'tibar Ayyaam al Haq (hari-hari al
Haq). Dia-lah perubah keadaan, bukan inti perubahan, Dia berubah dalam bentuk
citra, bukan berubah dalam bentuk inti (dzat)-Nya, Dia berubah dalam bentuk
wajah kesempurnaan-Nya, bukan inti Diri Nya, Dia adalah dzat Yang tetap, tidak
ada perubahan dalam diri Nya, Maha Suci al Haq dari segala atribut dan klaim
perubahan. Inilah sejatinya makna hakiki daripada firman-Nya : Setiap waktu
Dia dalam kesibukan.
Ketahuilah, manakala al Haq bertajalli pada makhluk-Nya, manifestasi itu
dinamakan 'nisbat kesibukan ketuhanan', dan merupakan cerminan 'laku' al Haq,
sedang nisbatnya kepada makhluk dinamakan Haal (keadaan). Manifestasi al Haq
pada segala wujud, tidak akan keluar dari koridor kekuasaan (dominasi)
nama-nama-Nya dan sifat-sifatNya, dominasi itulah yang melahirkan nama tajalli,
jika tidak ada dominasi tajalli, maka tidak ada isim (nama) bagi tajalli
tersebut, sebab kekuasaan (dominasi) yang terlanskapkan pada sesuatu yang
dijadikan tempat tajalli, merupakan inti (dzat) isim (nama) tajalli al Haq atas
sesuatu yang tertajallikan tersebut. Inilah yang dimaksudkan rasul Muhammad saw
dalam sabdanya :
Sesungguhnya Dia pada hari kiamat
akan dihaturkan puji sanjung kepada-Nya dengan sanjung puji yang tidak pernah
dihaturkan sebelumnya,
juga sabdanya
Wahai Allahku, sesungguhnya aku
memohon kepada Mu, dengan segala isim (nama) yang telah Engkau pakai menamai
Diri Mu, atau nama yang Engkau simpan rahasiapengetahuan-nya dalam kegaiban Mu.
Nama-nama yang dipakai untuk menamai Diri Nya, adalah nama-nama yang dimakrifahkan
(dipahamkan) kepada para hamba-Nya, yang rahasia-Nya tersimpan rapi dalam
kegaiban-Nya, rahasia nama-Nya yang gaib itu sejatinya adalah nama-nama-Nya
yang tertampakkan dalam nuansa (ahwaal) manifestasi-Nya dalam segenap wujud
ciptaa-Nya, tajalli itulah hakekat rahasia-rahasia yang berserak dalam khazanah
kegaiban-Nya. Perhatikan dengan seksama masalah ini.!
Adapun makna sabda beliau
Aku berdoa kepada Mu dan memohon
kepada Mu,
sejatinya adalah melaksanakan kelaziman-kelaziman yang patut dikerjakan,
sejalan dengan wacana manifestasi yang ada.
Pekerjaan ini hanya bisa ditunaikan mereka-mereka yang telah menggapai
Kasyf Ilahiyah (intuisi ketuhanan), atau insan yang memiliki Dzauq al Wujdaan
(intuisi), sebab takaran logika tidak akan mampu menjangkau hakekat manifestasi
tersebut meski wujud tajalli adalah kasat mata, namun untuk memaknainya harus
melalui pintu intuisi, bukan pintu logika. Perhatikan dengan jeli masalah mi.
Demikian pula untuk menyibak makna hakiki manifestasi-Nya hanya bisa dilakukan
melalui jalan keimanan yakni keimanan hakiki, sebab keimanan hakiki akan
melepaskan seorang hamba dan pasung-pasung logika dan keliaran nalar pikirnya
keimanan hakiki akan mendudukkan porsi akal pada tempatnya' Dalam lanskap
keimanan fungsi akal bersifat skunder bukan bersifat primer, dengan keimanan
hakiki dan pemfungsian akal pada porsinya itulah seorang hamba akan memakrifahi
bahwasanya al Yaum (hari) sejatinya adalah manifestasi ketuhanan, sebab adalah
mustahil bagi al Haq laju hari (zaman) ada pada diri Nya karena hari (zaman)
adalah makhluk, sebuah kemustahilan yang nyata jika inti (dzat)-Nya, bertempat
atau menyatu serta menyerupai makhluk-Nya. Terkait dengan ini al Haq
mengisyaratkan,
Orang-orang yang tiada mengharap
akan hari-hari Allah. Q.s. al Jaatsiyah 45 : 14.
Yakni manusia-manusia yang tidak berharap manifestasi al Haq pada diri
Mereka, karena mereka mengingkari wujud-Nya dan tidak mempercayai tajalli-Nya.
Orang seorang yang mengingkari sesuatu, ia akan menafikan keberadaan sesuatu
tersebut bahkan mengklaim ketiadaan sesuatu itu, ia tidak akan berharap
manifestasi a Haqpada dirinya, manusia-manusia jenis inilah yang diisyaratkan
al Haq pada firman-Nya yang lain :
Orang-orang yang tidak mengharapkan
(tidakpercaya akan)pertemuan dengan Kami Qs Yunus 10 .7
Karena sejatinya makna Liqa' (pertemuan) itu adalah Qurb kedekatan) al Haq
kepada hamba-Nya, serta manifestasi-Nya kepada para hamba-Nya baik dalam
kehidupan dunia ini atau kehidupan di kampung akhirat. Esensinya seorang hamba
yang tidak mampu menggapai Liqa' (pertemuan) dan Qurb (kedekatan) dengan al Haq
dalam kehidupan dunia ini, ia tidak akan bisa meraih pertemuan (kedekatan) itu
dalam kehidupan akhirat. Pahami dengan jeli masalah mi.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.
Sudah Edit 32. Bunyi Lonceng
Shalshalah al Jaros (bunyi lonceng) : Tersibaknya sifat al Qaadiriyah
(kekuasaan) melalui manifestasi-Nya pada - segala wujud, dengan contoh
(permisalan) daripada ke-Agung-an al Haq. Ia ibarat tampilan keperkasaan
(kewibawaan) al Qaahiriyah (Yang kuasa memaksa), yang sedemikian itu seorang
hamba ketuhanan, ketika mampu memakrifahi hakekat kekuasaanNya tanda-tanda
kemakrifahannya, terindikasikan dengan Shalshalah al Jaros (bunyi lonceng),
hamba itu mendapati adanya tangan-tangan kekuasaan yang menaklukkan dirinya,
melalui kekuatan keagungan. Pada fase ini ia mendengar gemuruh jiwa yang lahir
dari benturan hakekat-hakekat, satu sama lam saling bertabrakan, laksana
dentingan bunyi lonceng diluar dirinya. Penyaksian (syuhud) -gemuruh jiwa
laksana bunyi bel- mi, sering menghalangi hati untuk memasuki Khadrah
(presensi) ke-Agung-an karena kediqdayaan penaklukannya terhadap al Waashil
(insan yang sampai) kepadaNya. Ia merupakan hijab (tirai penghalang) terbesar
yang menjadi tembok penghalang antara martabat ketuhanan dengan hati para
hamba-Nya, tidak ada jalan untuk menyingkap martabat ketuhanan, melainkan paska
penyimakan Shalshalah al Jaros (bunyi lonceng).
Dalam pengembaraan ritual, saya (al Jaliy) pernah diperjalankan al Haq ke
cakrawala ketinggian, ketika saya berada di maqom ketinggian dan panorama
pemandangan keagungan, tampak jelas dihadapan saya kedahsatan keperkasaan Nya,
saat itu runtuhlah sendi-sendi kemanusian saya dihadapan keagungan, keperkasaan
kedahsyatan-Nya. Saya tidak mendengar selain bunyi yang menerbangkan gunung
karena keperkasaan-Nya, semua benda-benda berat jagad raya tunduk simpuh
dihadapan kemuliaan-Nya aku tidak melihat melainkan awan-awan dari
cahaya-cahaya yang mengobarkan percikan api, sedangkan saya pada saat
menyaksikan itu, berada di dalam kegelapan samudera dzat, yang gelombang
kegelapannya saling tumpuk menumpuk satu sama lain, tidak ada lagi
langit-langit diatasnya tidak pula ada bumi dibawahnya. Pada waktu itu gunung-gunung
yang menjadi paku bumi digerakkan, saat itu saya melihat:
Bumi itu datar, dan Kami kumpulkan
seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka Dan mereka
akan dibawah dihadapan Tuhanmu dengan berbaris. Q.s. al Kahfi 18 : 47 -48.
Realita itu terus berlangsung dari
sejak zaman azali hingga era keabadian. Saya bertanya lantas bagaimana dengan
keadaan langit? Dikatakan : Langit terbelah dan patuh kepada Tuhannya dan
sudah semestinya langit itu patuh. Q.s. al Insyiqaaq 84 : 1 - 2. Saya
tanyakan lagi lalu bagaimana dengan ihwal bumi? dikatakan :
Bumi diratakan, dan dilemparkan apa
yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. Q.s. al Insyiqaaq 84 : 3 - 4.
Saya tanyakan lagi bagaimana dengan keadaan matahari? Dikatakan :
Matahari digulung. Bintang-bintang
berjatuhan.
Saya berujar kembali lantas keadaan benda-benda yang lain seperti apa?
Dikatakan
Gunung-gunung dihancurkan. Unta-unta
yang bunting ditinggalkan. Bintang-bintang liar dikumpulkan. Lautan dijadikan
meluap. Ruh-ruh dipertemukan. Bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh? Catatan-catatan amal perbuatan dibuka.
Langit dilenyapkan. Neraka Jahim dinyalakan. Surga didekatkan. Q.s. at Takwiir 81 : 1 - 13.
Saya bertanya lagi lalu bagaimana dengan keadaan diriku? Yang Maha Perkasa
berkata :
Tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa
yang telah dikerjakannya. Q.s. at Takwiir 81 : 14.
Itulah sejatinya Qiyamah as Shughrah (kiamat kecil) yang dinisbatkan al Haq
kepada diri saya sebagai gambaran (permisalan) Qiyamah al Kubrah (kiamat
besar)' agar saya bisa mengakis pemahaman hakiki dari keterangan yang telah Dia
wartakan kepada diri saya, supaya saya bisa memberi petunjuk dan nasehat
konstruktif kepada mereka-mereka yang meniti jalan al Haq. Keterangan Yang Maha
Perkasa itu juga merupakan jawaban atas mereka-mereka yang gundah menyikapi
belitan hidupnya, kepada mereka yang bertanya saya tentang langkah konstruktif
meniti jalan-Nya. Saya nasehatkan kepadanya • Waspadai diri dengan kewaspadaan
yang tinggi, jangan melalaikan hakekat sifat-sifat dan inti (dzat)-Nya, serta
maqom ketuhanan, sebab pada tempat-tempat tersebutlah ketersembunyian rahasiaNya
bisa sibak. Adapun tetang kesejatian manusia dan segenap wacana kehidupannya,
solusi permasalahan mereka sudah termaktubkan dalam pesan Qur'ani, tidak ada
satupun permasalahan mereka yang tidak tertulis jawaban-nya dalam Kitabullah.
Semua permasalahan hidup dan kehidupan insan bermuara kepada sang Maha Perkasa
dan Maha Mulia, dengan senyum kewibawaan dan kepemurahan serta kasih sayang,
Sang Maha Perkasa mengiringi turun saya dari alam ketinggian sambil melantunkan
firman-Nya : Sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang. Yang beredar dan
terbenam.
Demi malam apabila telah hampir
meninggalkan gelapnya Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.
Sesungguhnya al Qur’an itu benar-benar firman yang dibawah utusan yang mulia.
Yang mempunyai kekuatan yang mempunyai kedudukan tinggi disisi Allah yang
mempunyai Arsy. Yang dita'ati disana (di alam malaikat) lagi dipercaya. Q.s. at Takwiir 81 : 15 -
21.
Saya menerima firman-Nya itu dengan pemaknaan yang sangat dalam direlung
kalbu, saya berusaha memaknai metafor-metafor yang berserak dibahk
firman-firman tersebut.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.
Syair-syair al-Jily
Dalam
Wishal Ada pengalaman ritual yang tidak mungkin aku tuturkan kepada kalian
Sebuah
ketersambungan yang utuh, antara diriku dengan DiriNya,
tanpa
tirai hijab Aku begitu dekat dengan ArsyNya
kedekatan
yang tak berjarak dan tak bersentuhan
Wishal
yang mewartakan keagungan kasih kesempurnaanNya dan Kasih RahmatNya
Wishal
yang menyemai dzauq (rasa) gelombang tanpa angin, dan api tanpa panas.
Ketersambungan,
yang menggerakkan hati tetap hidup dan mengurai hakekat segala wujud
Sudah Edit 33. Umm al Kitab (Induk Kitab)
Umm al Kitab : Adalah kesejatian suatu dzat, yang mengambarkan sebagian
wajah-wajah-Nya melalui hakekat-hakekat yang belum ternamai, tersifati, wujud
ketiadaan, tidak ada dimensi ketuhanan dan ctptaan. Kitab sejatinya adalah
wujud mutlaq, yang tidak ada ketiadaan di dalamnya dan merupakan esensi haktki
dan umm al kitab, karena wujud akan terurai melalui huruf-huruf yang lahir dan
Umm al Kitab tersebut baik berupa huruf yang tereja (terbaca) maupun huruf yang
tidak terbaca (misteri). Kesejatian Umm al Kitab tidak dimanai isim (nama wujud
atau nama 'adam (ketiadaan), karena hal tersebut diluar tataran logika,
menghukumi sesuatu yang irrasional adalah mustahil. Realita itu juga tidak
terkait al Haq atau makhluk serta dzat, akan tetap, realita itu mengibaratkan hakekat
sesuatu yang terlanskapkan dalam metafor wajah-wajah-Nya, dtsetiap dimensi
kemahlukan dan segala yang wujud. Itulah wajah lam dari dimensi Uluhiyah
(ketuhanan). Pahami betul masalah ini.
Wajah-wajah ketuhanan al Haq, itu sejatinya adalah tr.npat segala sesuatu
serta sumber segala wujud, dan wujud wajah-wajah ketuhanan itu disertai aql
(akal). Dengan demikian akal (logika) merupakan dan vital hakekat sesuatu untuk
menghadirkan wujud-dalam lanskap wajah ketuhanan, seperti halnya, lebah yang
dibutuhkan kehadirannya untuk memproduksi madu. Demikian halnya dengan alam
realitas yang menghadirkan wujud (sesuatu) menghajatkan al Fi'el (aktualitas),
bukan al Quwwah (potensialitas), agar dapat diketahui hakekat wujud (sesuatu)
tersebut. Sedangkan untuk mengetahui wujud ketuhanan harus memakai semantis
logika dan hukum akal, guna mengetahui wajah-wajah ketuhanan dalam alam
realitas. Orang seorang harus memakai kekuatan akal (logika), dengan
mengoptimalkan akal pikir, sedang untuk mengetahui hakekat wujud ketuhanan,
orang seorang harus memakai kekuatan kalbu, dengan menajamkan mata hati. Dengan
ketajaman mata hati itulah orang seorang bisa Kasyf (intuitif). Kekuatan akal
sangatlah terbatas, ia hanya bisa menjangkau hal-hal yang bersifat kasat mata,
sedang untuk menyingkap hal-hal yang bersifat hakiki, diperlukan penyaksian
melalui Dzauq (intuisi), dengan pengetahuan intuisi (dzauq) itulah orang
seorang bisa Wujdaan, dengan begitu akan ter-tajalli-kan sesuatu yang selama
ini belum terlihat.
Dengan demkian anda bisa memakrifahi, bahwa Umm al Kitab sejatinya adalah
wujud mutlak, yang memberikan pemahaman kepada anda, bahwasanya segala sesuatu
yang tidak dihukumi dengan wujud, atau ketiadaan, hakekatnya adalah Umm al
Kitab. Ia disebut hakekat segala sesuatu, karena seperti halnya kitab yang
merupakan 'sumber' segala kesejatian. Kitab hanya memiliki satu wajah dari
wajah-wajah hakekat sesuatu, karena wujud merupakan salah satu sisinya, sedang
sisi lain disebut 'adam (ketiadaan). Karenanya kitab tidak memakai ibarat wujud
atau ketiadaan, karena kedua sisi itu hanya melahirkan sifat yang kontradeksi
(berlawanan). Kitab yang diturunkan al Haq, melalui lisan nabi-Nya, berisi
kandungan hukum-hukum wujud mutlak, yang mencerminkan salah satu wajah dari
hakekat-hakekat sesuatu. Memakrifahi (memahami) wujud mutlak itulah sejatinya
Umm al Kitab. Al Haq mengisyaratkan hal tersebut dalam firman-Nya,
Dan segala sesuatu Kami kumpulkan
dalam kitab induk yang nyata. Q.s. Yaa Siin. 36 : 12
juga,
Dan tidak ada sesuatu yang basah
atau kering, melainkan tertulis dalam kitab induk yang nyata. Q.s. al An'an. 6 : 59.
al Haq berfirman pula :
Dan segala sesuatu telah Kami
terangkan dengan jelas. Q.s. al Israa' 17 : 12.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwasanya sejatinya Umm al Kitab adalah
hakekat sesuatu, dan lahiriyah kitab sejatinya merupakan wujud mutlak.
Ketahuilah bahwasanya dalam kitab itu ada surat-surat dan ayat-ayat,
kalimat-kalimat dan huruf-husuf. Surat ibarat bentuk dzat, yang sejatinya
adalah tajalli kesempurnaan-Nya. Karenanya masing-masing surat memiliki
keutamaan arti, yang me-wajah-kan kesempuraan Ilahiyah (ketuhanan). Ayat ibarat
Haqaiq al Jam'i (hakekat plural), setiap ayat menunjukkan pluralitas ketuhanan
yang memiliki makna khusus, dengan makna khusus itu dapat diketahui pluralitas
ketuhanan dari ayat yang dibaca. Pluraritas ketuhanan itu mewajahkan nama-nama
kesempurnaan dan keperkasaan al Haq, yang ter-tajalli-kan melalui nama-nama al
Haq tersebut. Ayat disebut hakekat plural, karena mewajahkan satu ibarat dari
kalimat-kalimat sesuatu, pluralitas sesuatu itu sejatinya adalah penyaksian
aneka ragam segala sesuatu dengan inti (dzat) ke-Esa-an dan hakekat ketuhanan.
Kalimat ibarat inti hakekat segala makhluk, yang terlanskapkan dalam alam
realitas dan huruf, yang diberi titik, diibaratkan zat tetap (al A'yaan as
Tsabitah) dalam dimensi ilmu ketuhanan, sedang yang tidak bertitik ada dua
macam :
1. Huruf yang tidak bertitik yang tidak terkait dengan huruf, yaitu : Alif,
Dai, Ra', Wau, Lam-alif mengisyaratkan elemen-elemen kesempurnaan, yang
berjumlah lima, yaitu: Dzat, Hidup, Ilmu, Qudrah (Kodrat), Kehendak. Keempat
hal terakhir (hidup, ilmu, kodrat, kehendak) tidak akan berwujud kecuali dengan
Dzat.
2. Huruf yang tidak bertitik yang terkait dengan huruf dan al Haq, yang
berjumlah sembilan, yang terlanskapkan dalam wujud Insan Kamil (manusia
sempurna), karena bertemunya huruf-huruf tersebut, (lima) berdimensi ketuhanan
(al Haq), (empat) berdimensi ciptaan (makhluk), empat huruf itu juga merupakan
unsur-unsur dasar kemanusiaan yang dengan itu manusia terlahirkan.
Huruf-huruf manusia kamil tidak diberi titik, karena al Haq menciptakannya
dalam bentuk diri-Nya. Namun demikian hakekat ketuhanan mutlak lebih utama,
katimbang hakekat kemanusiaan terbatas (tidak mutlak), karena ketergantungan
manusia kepada Dzat Yang Wajib Wujud (al Haq) atas keberadaan dan keadaan
dirinya. Jika al Haq dzat yang di-ada-kan, niscaya wujud-Nya membutuhkan wujud
yang lain, al Haq adalah Dzat yang Wajibul Wujud, (wujud yang mesti ada dengan
sendirinya), karena-nya huruf manusia tergantung dengan huruf, dan huruf itu
tergantung dengan al Haq. Kami telah membahas masalah ini dengan detil dalam
karya kami al Kahfi wa al Roqiim, fi Syarhi Bismillahirrahim, jika
anda ingin memperdalam masalah ini silakan baca kitab tersebut. Jikalau hukum
al Haq, dzat yang Wajib al Wujud, maka Dia adalah dzat yang berdiri pribadi
dengan dzat-Nya, tidak butuh wujud lain selain
Belumm Edit
Diri-Nya, segala yang wujud terkait dan bergantung kepada-Nya. Demikian, halnya dengan huruf-huruf yang ^
pemakaan tersebut (dalam kandungan kitab), huruf-huruf yang tidak bertitik
terkait dengan huruf-huruf yang ain, sedang Dia (al Haq) tidak terkait dan bergantung kepada huruf-huruf,
semisal Dai Ra Wau Lam. Alif, meski huruf-huruf lam terkait dengan kehma huruf
Tsebut, namun Dia (al Haq) sama sekali tidak terkait. Tidak bisa dikatan
bahwasanya Laam Alif itu dua huruf, sesungguhnya ada hadist rasul saw yang
menandaskan bahwasanya Laam Alif itu satu huruf. Fahami betul masalah ini.!
Ketahuilah bahwasanya huruf-huruf itu bukanlah kalimat-kalimat, karena Ayan
Tsabitah (dzat tetap), tidak itermasuk dalam kalimat KUN -jadilah,
kecuali di-ada-kan dzat Wajib Wujud (al Haq) KUN bukan wilayah ilmu, dan
tidak ada kaitannya dengan hukum produksi manusia, terlebih urusannya sama
sekali tidak terkah d'engan dimensi kemahlukan, karena KUN -rm terkai
dengan al Haq. Sebab penciptaan ada dalam wilayah KUN. Dzat Sap dalam
lanskap keilmuan tidaklah dapat disebut dengan sesuatu yang baru, akan tetapi
masih bisa dikaitkan dengan Huduts (sesuatu yang adanya karena diadakan), yang
sedemikiaan itu jika dflanskapkan dalam hukum Qoodim-Sedia (adanya tidak dida^
oleh sesuatu) dan Huduts- Baru (ada permulaannya). Dzat tetap merupakan
suplemen dunia keilmuan yang dengan itu ada sesuatu -disebut (Lu) dalam
kehidupan dunia ini. Dengan demikian kini anda telah mengetahui, bahwasanya
sejatinya kital, ada h wujud mutlak, yang mengumpulkan huruf-huruf, ayat-ayat,
surat surat, yang mengisyaratkan hakekat masing-masing■ bahwa (Luh), ibarat media
penentuan segala wujud berdasarkan tertib hukum, bukan berlandaskan tertib
Ilahi (ketuhanan), yang tidak terbatas, karenanya tidak termaktub dalam Luh
ihwal penghuni surga atau neraka, ahli tajalli dan yang senada akan tetap Lmua
itu ada dalam kitab dan kitab berdimensikan Kulhy semesta) dan Aam (umum)
sedang Luh Juz'iy (parsial) dan Khosh (khusus). Dan Mah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 :
4).
Syair-syair al-Jily
Induk
kitab adalah wajah Nyata zat DiriNya,
titik
sentral sifat-sifat DiriNya dan poros asmaNya.
Ia
adalah susunan huruf yang melahirkan maknah,
daun-daun
yang menjadi tanda hidupnya pepohonan
Betapa
banyak rangkaian huruf yang tak tereja?
Mengeja
kehidupan tidak harus dengan susunan huruf
Ada
metafora, dan pesan tersirat dalam hidup ini.
Ada
makna lahir dan makna batin dalam induk kitab
Ada
kematian, kehidupan, harta bergerak dan diam
Semua
adalah kitab kehidupan bagi yang mau berpikir
Huruf
yang tersusun menjadi kalimat bermaknah
Itulah
sejatinya kalam Nyata segenap mahlukNya.
Induk
Kitab adalah Kalam Yang Maha Qadiim
Terurai
dalam dzauq (intuisi), terucap berupa huruf.
Sudah Edit 34 Al- Qur’an
etahuilah bahwasanya al Qur'an, itu ibarat dzat, yang terkumpul di dalamnya
segala sifat al Haq, sifat-sifat itu tertajallikan dengan nama Ahadiyah
(ke-Esa-an), yang diturunkan al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw,
untuk dijadikan media penyaksian ke-Esan-an Nya dipenjuru semesta alam. Maknah
penurunan ini memataforkan bahwasanya wajah hakekat ke-Esa-an yang tinggi,
tampak dengan segala kesempurnaannya dalam jasad Muhammad saw, al Qur'an turun
dengan wajah-wajah kesempurnaan-Nya langsung ke dada Muhammad saw, meski semua
wajah hakekat ketuhanan telah ada dalam jasad beliau, namun prosesi tajallinya
hanya berlangsung satu kali penurunan dalam dirinya, seperti halnya prosesi
tajalli ke-Esa-an dan inti dzat-Nya. Karenanya rasulullah saw bersabda :
al Qur'an diturunkan kepadaku dengan
satu penurunan,
hal itu mengisyaratkan penurunan hakiki al Qur'an dengan segala hakekat
ke-Esa-an yang universal dalam jisim (tubuh) Muhammad saw secara langsung.
Penurunan secara langsung dan utuh itu merupakan kemuliaan paripurna yang
diapresiasikan al Haq kepada Muhammad saw, karena Dia tidak menyimpan (menahan)
satupun dari kandungan al Qur'an, bahkan merupakan Faidz (penjelmaan) pemuliaan
Ilahi (ketuhanan) yang berdimensikan dzat pada jisim (tubuh) Muhammad saw.
Al Qur'an al Hakiim (Dzat Yang Maha Bijaksana) sejatinya adalah Nuzul
(turun)-nya hakekat-hakekat ketuhanan melalui titian spiritual (ritus
pasulukan) seorang hamba, dalam meniti samudera hakekat. Warta-warta ketuhanan
itu akan turun ke jisim (tubuh) seorang Saalik (peniti jalan Allah) secara
perlahan-lahan sejalan dengan mtentitas si Saalik dalam meniti samudera
hakekat, semakin intensif seorang Saalik melakukan suluknya semakin terbuka
pintu-pintu hikmah ketuhanan dalam dirinya. Proses penurunan hikmah ketuhanan
pada diri seorang hamba (selain nabi) melalui proses penurunan yang tidak
serentak (sekali jalan), al Haq menurunkannya step bystep, karena adalah
mustahil seorang hamba mampu menerima hakekat-hakekat ketuhanan di rubuhnya
dengan sekali penurunan, fitrah ketuhanan-nya hanya mampu menerima
hikmah-hikmah Ilahiyah secara perlahan-lahan, dan harus melakui capaian-capaian
spiritual, dari proses ritual yang paling dasar hingga sampai ke puncak
tertinggi maqom spiritual. Ketahuilah proses Kasyf itu berjalan sesuai tertib
Ilahiyah (ketuhanan), yang sedemikian itu ditegaskan al Haq dalam firman-Nya.
Kami menurunkannya bagian demi
bagian. Q.s.
al Israa' 17 : 106.
Demikianlah proses penggapaian hikmah-hikmah ketuhanan itu, semakin intens
seorang hamba mengoptimalkan ((laku ))-nya, semakin cepat pula pintu-pintu
hikmah-Nya tersibak. Kalau demikian adanya lantas apa sejatinya yang dimaksud
dengan sabda rasul saw :
al Qur'an diturunkan kepadaku dengan
satu penurunan?
Hal itu jawabannya ada dua kemungkinan yaitu :
1. Berdimensikan hukum (konsesus) ketuhanan, karena beliau adalah Insan
Kaamil (manusia sempurna), jika al Haq bertajalli kepadanya secara dzat. Maka
realitas manusia sempurna itu sejatinya adalah kumpulan dzat yang tiada akan
pernah sirna, yang melanskapi diri insan kamil tersebut secara utuh.
2. Berdimensikan peleburan dan tercerabutnya sifat-sifat kemanusiaan,
berikut tenggelamnya kisi-kisi kemanusiaan serta terkikisnya bentuk-bentuk
penciptaan ke dasar hakekat-hakekat ketuhanan, yang meninggalkan bekas (pengaruh)
disetiap struktur rubuh manusia (sempurna).
Adapun yang dimaksud rasul saw dengan satu penurunan sejatinya adalah:
hilangnya kekurangan dan sisi kelemahan ciptaan' dalam diri makhluk, sejalan
dengan hadirnya hekakat ketuhanan dalam dinnya. Hal mi pararel dengan sabda
rasulullah saw:
al Qur’an diturunkan ke langit dunia
secara serentak. Kemudian al Haq menurunkannya kepadaku ayat per-ayat.
Penurunan al Qur'an ke langit dunia secara serentak, mengisyaratkan akan
hakekat dzat-Nya, turunnya ayat secara perlahan-lahan mengisyaratkan
penampakkan Atsaar (bekas-bekas) nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sejalan dengan
pertumbuhan dan kemampuan seorang hamba dalam merengkuhi nilai-nilai hakiki
dalam menyelami samudera hakekat.
Al Haq berfirman :
Dan sesungguhnyaa Kami telah berikan
kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al Qur'an yang agung. Q.s. al Hijr 15 : 87.
al Qur’an yang dimaksud dalam ayat tersebut berdimensikan dzat dalam
lanskap penurunan, bukan pada dimensi martabat (kedudukan). Bahkan merupakan
kemutlakan ke-Tunggal-an dzat, yang merupakan Hawiyah (ke-Dia-an) dalam setiap
sifat dan asma-Nya, yang terwajahkan dalam wajah kesempurnaan-Nya diberbagai
wacana dan dimensi Maujudaat (segala wujud). Karenanya redaksi firman-Nya
memakai bahasa (yang agung), karena ke-agung-an al Qur'an itu sendiri.
Sedangkan maksud daripada tujuh ayat yang dibaca sejatinya adalah,
kehadiran al Haq dalam jisim seorang hamba, melalui tujuh hakekat sifat-Nya. al
Haq juga berfirman,
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah
mengajarkan al Qur'an. Q.s. ar-Rahman 55 : 1 – 2
mengisyaratkan bahwasanya seorang
hamba yang apabila ar-Rahman bertajalli dalam dirinya, ia akan merasakan
kenikmatan rahmat-Nya. Karunia itu tidak saja melahirkan kenikmatan kasih
kepemurahan, namun dapat melahirkan makrifat Dzat-Nya, yang dengan itu si-hamba
bisa memahami hakekat sifat-sifat-Nya. Ketahuilah tidak ada pengajar al Qur'an
selain Tuhan Yang Maha Pemurah. Insan yang belajar al Qur'an bukan kepada ar
Rahman, ia tiada akan pernah, Wishal (sampai) ke kesejatian dzat-Nya, demikian
pula ar Rahman tiada akan pernah bertajalli dalam dirinya, karena ar Rahman
sejatinya adalah organisasi sifat-sifat dan asma-asma Nya. Dan al Haq tidak
bisa dikatahui kesejatian-Nya, kecuali dengan memakrifahi sifat-sifat dan
asma-asma-Nya. Pahami betul masalah ini.! Karena masalah ini tidak akan bisa
difahami kecuali orang-orang yang Gharib (asing), yaitu orang-orang yang
membagi jarak hatinya dengan kemarakan duniawi, dan menjernihkan syakilah
hatinya dan sauh-sauh keduniaan, serta hanya fokus kepada al Haq semata.
Mereka-mereka itulah yang menjadi fokus perhatian dan sentra penglihatan al Haq
dari segenap para hamba-Nya.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.
Syair-syair al-Jilly
al
Qur'an adalah realita zat murni
Ujarannya
adalah kebenaran absolut
Ayatnya
adalah tajalli BicaraNya dari dimensi keDiaanNya
yang
misteri al Qur'an adalah penyambung lidah untuk mohon kepada Sang Maha Kasih
Bahasa
untuk beraudiensi denganNya
Warta
Ketuhanan yang padat maknah
Membacanya
menjadi pelipur lara membuahkan pahala dan dicintaiNya
al
Qur'an adalah kenikmatan zatiyah namun dalam rasa intuisi, bukan inderawi
Pemahaman
berbasis kenikmatan intuitif
Itulah
Qur'an hakiki dan Esensi KalamNya.
Sudah Edit 35. Al Furqan
Al Furqon sejatinya adalah hakekat nama-nama dan sifat-sifat al Haq, dengan
aneka ragamnya berikut wacana . kelebihan dan keutamaan masing-masing sifat dan
asmaNya. al Furqon itu tertampakkan dari diri al Haq, melalui nama-nama-Nya
yang Husnah (bagus) (Asma' al Husnah), dan sifat-sifat paripurna-Nya. Nama ar
Rahim (Yang Maha Penyayang) berbeda dengan nama asy Syadiid (Yang Maha Keras),
nama-Nya al Mun'im (Pemberi Nikmat) berbeda dengan nama al Muntaqim (Yang
menuntut bela), sifat-Nya ridha (rela) berbeda dengan sifat-Nya al Ghadlab
(marah), rasul mengisyaratkan hal tersebut dalam hadits Oudsi, bahwasanya al
Haq berfirman :
Rahmat Ku, mendahului kemarahan Ku,
karena kasih rahmat-Nya mengalahkan kemarahan-Nya, demikian pula dalam
nama-nama-Nya yang lam, ada strata keutamaan dan kelebihannya, martabat nama
Rahmaniyah (Maha Pemurah) lebih tinggi ketimbang nama Rububiyah (Ketuhanan),
dan seterusnya masing-masing nama memiliki tingkat keunggulan dan keutamaan.
Nama Allah lebih utama ketimbang nama ar Rahman, demikian pula ar Rahman lebih
utama daripada nama ar Rabb, nama ar Rabb lebih tinggi ketimbang nama al Mulk,
demikian seterusnya, hakekat keutamaan itu bukan berdasarkan, kekurangan atau
kelemahan, karena inti dzat-Nya tetap, dan kesempurnaan-Nya tidak berkurang
sedikitpun. Keutamaan itu hanya berdasarkan wacana penampakkannya serta fungsi (peran)
nama-Nya, bukan inti dzat-Nya.
Karenanya para arif sering melantunkan doa dalam munajat mereka : Wahai
Aliahku, aku berlindung kepada kasih maaf Mu dari hukuman siksa Mu, aku
berlindung kepada keridhaan Mu dari kemurkaan Mu, aku berlindung kepada Mu
dengan lantunan sanjung puji yang tiada terbatas, karena puji Mu tidak terbatas,
dari lantunan munajat itu dapat diketahui al Furqan dalam nafs (jiwa) dengan
inti (dzat)-Nya. Coba telisik permintaan maaf dari hukuman, kemaafan akan
melahirkan kesejukan jiwa, lebih dari itu tindakan pemberian maaf, lebih utama
ketimbang tindak pemberian hukuman, karenanya kemaafan dan keridhaan
di-muara-kan kepada al Haq, karena hanya dengan itu orang seorang akan memahami
kesejatian maaf dan rela. Kemaafan dan kerelaan yang disandarkan kepada selain
al Haq, tidak akan melahirkan kesejukan jiwa, karena orang yang memuarakan
kerelaan dan keridhaan kepada al Haq, sejatinya memuarakan inti kemaafan dan
keridhaan-Nya kepada dzat-Nya. Apa yang terjadi dalam Af'aal
(perbuatan-perbuatan)-Nya itu juga terjadi pada sifat-sifat-Nya, pun pada nafs
(diri) dan dzat-Nya, yang merupakan Ahadiyah al Jam'ah (ke-Satu-an dari yang
banyak). Namun demikian dzat itu terkadang menghasilkan sifat Muhal (mustahil)
dan Wajib (keharusan), semua yang mustahil secara logika, yang bersifat naql
(tekstual), jika ditelisik makna batinnya, akan tampak Madluliyahnya (makna
tersiratnya), dan sesuatu yang dalam tataran logika tidak logis, secara batin
menjadi logis, hal senada juga diungkapkan Abu Farid al Harraz : Aku bisa
memakrifahi Allah melalui pengumpulan dua hal yang kontradiktif, jika aku
menemukan nama-nama-Nya al Awwal (Yang awal) dan al Aahir (Yang akhir) juga adh
Dhaahir (Yang jelas) dan al Baathin (Yang Tak tampak) aku tidak memaknainya
secara harfiah, akan tetapi aku telisik makna tersiratnya dengan begitu aku
bisa memahami kesejatian-Nya. Bahkan dalam memakrifahi al Haq dan makhluk, juga
melalui cara serupa, aku juga tidak memaknai secara lahir sifat-sifat-Nya yang
mustahil dan wajib, wujud dan ketiadaan, terbatas dan tidak terbatas dan
sifat-sifat Naqis (kekurangan) dan Kamaal (kesempurnaan) lainnya, akan tetapi
aku kumpulkan sifat-sifat kontradiktif tersebut, dengan cara itu aku bisa
memakrifahi-Nya. Pahamilah nilai-nilai ketuhanan dan hakekat ketuhanan-Nya
dengan menilisik sifat-sifat wajib dan lawan-nya. Sebab dengan manhaj (metode)
itulah al Haq membukakan jalan bagi kita untuk memakrifahi-Nya. Ketahuilah
esensi ungkapan Abu Said al Harraz - adalah, dengan langkah pengumpulan seperti
itu akan dapat dtfahami antara kesejatian Dzat dan Hawiyah (ke-Dia.an)-Nya. Perhatikan
dengan seksama masalah ini.! Jika
kau telah makrifah, jaga terus pemahamanmu.
Dan
Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 . 4.
Syair-syair al-Jily
Sifat-sifat
Allah adalah Furqaan Inti zat Allah adalah al Qur’an
Pisah
menjadi Utuh berbuah hakekat
Utuh
menjadi pisah melahirkan Wujdaan
Ragam
sifat-sifatNya yang membuncah
Sejatinya
adalah kesatuan sifat yang Tunggal
Hukum
zat dalam segala realitas wujud
adalah
Tunggal, itulah sejatinya al Furqaan,
Sifat-sifatNya
terpencar di setiap wujud
Namun,
zat DiriNya tetap dalam keEsaan.
Sudah Edit 36. Taurat
Allah Azza Wa Jalla, menurunkan kepada nabi Musa as sembilan Luh (kepingan
batu bertuliskan firman-Nya)' Tujuh diantaranya Dia perintahkan kepada Musa as
untuk disampaikan kepada kaumnya. Dua
Luh lainnya khusus' untuk diri Musa as, sebab akal manusia tidak akan mampu
mencerna isi dua Luh tersebut. Bahkan jika Musa as mewartakan kedua Luh itu
kepada kaumnya, niscaya doa dan permintaannya tidak akan didengar dan
dikabulkan, berikut tidak ada satupun kaumnya yang mempercayai dirinya. Luh
yang dititahkan untuk diserukan itu berisi ilmu-ilmu insan-insan terdahulu dan
yang akan datang, kecuali ilmu Muhammad saw, ilmu Ibrahim as, ilmu Isa as,
serta ilmu yang diwariskan Muhammad saw. Pesan Taurati juga tidak mencakup
pengetahuan tentang kekhususan Muhammad saw dan para pewarisnya, pemuliaan
terhadap Ibrahim as dan Isa as. Tujuh Luh yang dititahkan untuk disampaikan itu
terbuat dari batu marmer sedangkan dua Luh yang dihususkan untuk Musa as
terbuat dari Cahaya. Karena hati kaum Musa as sangat keras (bebal) karenanya Luh-nya
terbuat dari batu , masing-maisng Luh bertuliskan perintah ke-tuhan-an.
Luh pertama : Cahaya.
Luh kedua : Petunjuk. Terkait dengan mi firman Qur ani menandaskan :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan
Kttab Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya yang menerangi yang dengan
kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah
diri kepada Allah. Q.s. al-Maidah. 5 : 44.
Luh ketiga : Hikmah.
Luh keempat : Kekuatan.
Luh kelima : Hukum.
Luh keenam : Ritus Peribadatan.
Luh ketujuh Kejelasan titian jalan, guna menggapai kebahagiaan melalui laku
prihatin, berikut penjelasan tentang etos keprihatinan yang menjadi agunan
kebahagiaan. Sedangkan dua Luh yang khusus untuk Musa as: Lauh pertama:
Rububiyah (Ketuhanan). Lauh kedua: Qudrah (Kuasa). Kaum Musa as tidak ada yang
makrifah (memahami) nilai-nilai Ketuhanan dan Kekuasaan, karena Musa as tidak
diperintah untuk menyampaikan kedua hal tersebut kepada kaumnya, demikian pula
dengan generasi sesudahnya tidak ada satupun yang mewarisi kandungan kedua Luh
tersebut. Berbeda dengan Muhammad saw, beliau tidak mewariskan sesuatu kepada
kita (ummatnya) kecuali telah disampaikan kepada kita. Allah berfirman :
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di
dalam Al Kitab. Q.s. al-An Aam 5 : 38.
Dalam ayat lain Dia berfirman :
Dan segala sesuatu telah Kami
terangkan dengan jelas. Q.s. al-Israa' 17 : 12.
Karenanya agama Muhammad saw adalah agama terbaik. Agama Muhammad saw
berintikan koreksi atas agama terdahulu -yang bersifat temporal dan ditujukan
untuk komunitas (kaum) tertentu, berikut penyempurnaan dan perbaikan
(reformasi) atas ajaran agama-agama yang pernah ada. Agama Muhammad adalah
agama Kaamil (sempurna) yang bersifat universal, relevan untuk semua manusia di
setiap tempat dan zaman. Allah berfiman :
Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku dan telah Ku
ridhai Islam jadi agama bagimu. Q.s.al-Maaidah 5 : 3.
Ayat ini tidak diturunkan kepada nabi selain Muhammad saw, jika diturunkan
kepada nabi selain beliau, niscaya nabi tersebut merupakan penghulu (penutup)
para nabi. Ayat ini hanya diturunkan kepada Muhammad saw, karena beliau adalah
pemungkas (penghujung) para nabi, beliau tidak meninggalkan hikmah, petunjuk,
ilmu (pengetahuan), sirr (rahasia batin), kecuali telah mewartakan atau memberi
isyarat (metafor) sejalan dengan tugas kenabian yang diembannya, baik melalui
ungkapan, tindakan, persetujuan, isyarat, kiasan, permisalan dan bentuk-bentuk
keterangan (aksioma) lainnya. Sehingga ajarannya bisa di-syiar-kan dengan baik
dan sempurna, tidak ada satupun amar perintah yang tidak disampaikan, semua
perintah yang diwahyukan Allah beliau sampaikan kepada ummat-nya, sehingga
ajaran agamanya benar-benar Kaamil (sempurna) dan Syaamil (utuh).
Muhammad saw disebut 'Penutup Para Nabi' karena tidak ada tugas kenabian
sesudahnya, tidak ada agama baru setelah agama yang dibawah Muhammad saw,
beliau disebut 'Penghulu Para Nabi' karena risalah yang dibawah adalah
penyempurna dan agamanya berintikan kesempurnaan, dan tidak akan pernah ada
nabi sesudah Muhammad saw, karena beliau adalah muara kesempurnaan.
Andai Musa as, diperintahkan untuk menyerukan dua Luh yang dikhususkan
untuk dirinya, niscaya Allah tidak mengutus Isa as— sesudah Musa as, menjadi
nabi dan rasul-Nya. Isa as merupakan 'simbol' rahasia (( ke-Tuhan-an )) dan ((
Kuasa )) Allah— sebagaimana yang termaktub dalam kedua Luh Musa as, yang tidak
boleh diwartakan kepada ummatnya. Karenanya awal mula eksistensi Isa as,
tertampakkan melalui Qudrah (Kuasa) dan Rububiyah (Ketuhanan) Allah, yaitu ;
terlahir dari rahim wanita suci yang tidak pernah disentuh (disetubuhi)
laki-laki, mampu bicara ketika dalam ayunan sang bunda, mampu menyembuhkan
orang yang terjangkiti kebutaan dan sopak, menghidupkan orang meninggal,
menghapus ajaran agama Musa as, karena Isa as, hadir membawa misi yang tidak
sama dengan misi Musa as. Namun kejadian-kejadian agung (par excelent) yang
tertampakkan dari diri Isa as-atas Kuasa dan rahasia ketuhanan tersebut,
menjadikan kaum Isa as dan generasi sesudahnya terjerembab ke dalam kesesatan
tak bertepi, karena mereka menasbihkan Isa as sebagai salah seorang dari Tuhan
yang tiga, yaitu ; Tuhan Bapak, Ruh Qudus, Tuhan Anak, yang jamak disebut
Trinitas.
Di kalangan pengikut Isa as, ada banyak faksi dalam meyakini urgensi
Trinitas tersebut, diantara mereka ada yang berkeyakinan, Isa adalah Putra
Allah golongan ini disebut 'Kaum Suci'. Ada pula yang berkeyakinan Isa as
adalah Allah yang datang ke dunia sebagai penebus dosa anak cucu Adam, faksi
ini berkeyakinan Isa as adalah Allah yang berbentuk Adam, datang ke dunia untuk
menyelamatkan manusia, lalu kembali lagi ke kerajaan langit, kelompok ini
disebut 'Yacobis' (klan Ya'qub yang ada di kaum Isa as). Faksi lain
berkeyakinan Allah ada dalam diri Isa as yang terwajahkan dengan tiga unsur
ketuhanan yakni Tuhan Bapak : Ruh Qudus. Tuhan Ibu : Maryam. Tuhan Anak : Isa
as. Maka sesatlah kaum Isa as, karena apa yang mereka yakini, sama sekali bukan
ajaran Isa as, keyakinan mereka lebih berdasarkan 'penuhanan' realitas lahir
yang bersifat simbolistik, karenanya ketika Allah bertanya kepada Isa as,
Hai Isa putera Maryam, adakah kamu
mengatakan kepada manusia : Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain
Allah. ? Isa menjawab : Maha Suci Engkau. Q.s. al-Maidah 5 : 116.
Isa dengan tegas memakzulkan ke-Maha Suci-an Allah dari segala bentuk
persamaan,
Tidaklah patut bagiku mengatakan apa
yang bukan hak-ku, untuk mengatakannya. Q.s. al-Maidah 5 : 116.
Yakni, bagaimana mungkin aku mengumpamakan (mengantropomorfis) diriku ganti
Diri Mu! Dengan mengatakan kepada kaumku, sembahlah diriku tanpa Allah.! Dan
memaklumatkan kepada mereka : Engkau adalah inti hakekat dan dzat-ku, dan aku
adalah inti hakekat dan dzat-Mu. Dalam bentuk Hului (panteisme) dan penyerupaan
mutlak !
Isa as menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak terkait dengan klaim
kaum-nya, ia terbebaskan dari kesesatan (aqidah trinitas) para pengikutnya,
sebab mereka memproklamirkan penyerupaan mutlak, tanpa ada pen-suci-an (Tanzih)
Allah dari segala bentuk persamaan, jelas sekali pemaknaan simbolistik seperti
itu menodai hak Allah. Isa as lantas berkata :
Jika aku pernah mengatakannya. Q.s. al-Maidah 5 : 116,
bahwa hakekat diriku sejatinya .adalah persamaan (antropomorfisme) terlebih
ganti dzat Mu,
Maka tentulah Engkau mengetahui. Q.s. al-Maidah 5 : 116,
bahwasanya aku tidak pernah menisbatkan (mengumpamakan) diriku dengan diri
Mu secara inti dzat, kecuali dalam bingkai pen-Suci-an serta metafora Tajalli
(penampakkan) Dzat Tunggal dalam multi manifestasi, akan tetapi mereka (kaumku)
memahami ungkapan (seruan)-ku dengan nalar berbasis nafsu, logika dangkal dan
sempit, yang menyebabkan maksud mereka berbeda dengan apa yang aku maksudkan.
Engkau mengetahui apa yang ada pada
diriku. Q.s.
al-Maidah 5 : 116.
Adakah keyakinan mereka sejalan dengan hakekat ketuhanan yang aku
maksudkan,? ataukah aku bermaksud sebaliknya.?
Aku tidak mengetahui apa yang ada
pada diri Engkau. Q.s. al-Maidah 5:116,
aku telah sampaikan amar perintah Mu kepada kaumku, aku tidak mengetahui
apa yang ada pada Diri Mu, adakah Engkau biarkan kaumku tersesat dan terjauhkan
dari pentunjuk-Mu, andai aku tahu mereka akan tersesat seperti itu, niscaya
tidak akan aku sampaikan kesejatian rahasia ketuhanan Mu.
Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui
perkara yang gaib-gaib. Q.s. al-Maidah 5 : 116,
aku tidak mengetahui perkara yang gaib-gaib, maka ampunilah diriku wahai
Rabbku.!
Aku tidak pernah mengatakan kepada
mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk mengatakannya. Q.s. al-Maidah. 5 : 117,
yakni dari apa yang aku makrifahi (fahami) tentang Diri Mu melalui diriku,
lalu aku anjurkan kepada mereka untuk memakrifahi Diri Mu dengan 'jalan'
memahami samudera diri mereka, aku uraikan kepada mereka hakekat ketuhanan Mu,
agar mereka terpacu memakrifahi eksistensi diri mereka, yang dengan itu mereka
bisa memakrifahi Diri Mu, karenanya ku katakan kepada kaumku:
Sembahlah Allah, Tuhanku dan
Tuhanmu. Q.s.
al-Maidah. 5 : 117,
aku tidak pernah menghususkan diriku dengan hakekat ketuhanan, aku tidak
pernah menitahkan klaim ketuhanan diriku kepada kaumku, justru aku mengajari
mereka bahwa sesungguhnya Engkau adalah Rabbku dengan pemaknaan hakiki, dan
Engkau Rabb mereka dengan kesejatian makna. Engkau adalah Tuhan sejatiku dan
Tuhan hakiki mereka, dengan demikian klaim penuhanan mereka atas diriku, adalah
murni dari mereka dan bukan dari diriku.
Ilmu yang dibawah Isa as merupakan pengembangan ilmu yang ada dalam kitab
Taurat, yang tidak saja berupa hakekat Rububiyah (ketuhanan) dan Qudrah
(Kuasa), lebih dai i itu berupa rahasia-rahasia ketuhanan dan Kuasa Allah,
ketika semua itu ditampakkan oleh Isa as, tidak membuat kaumnya menjadi
beriman, namun justru membuat mereka menjadi kafir.! Pewartaan rahasia-rahasia
ketuhanan tersebut menjadikan pengikut Isa tenggelam ke dasar kekufuran, andai
Isa as menutupi ilmu (rahasia ketuhanan)-nya, berikut tidak menyebarkan rahasia
ketuhanan itu, kecuali dengan bahasa isyarat atau metafor seperti yang
dilakukan Muhammad saw kepada ummat beliau, niscaya para pengikut Isa tidak
terperosok ke dalam jurang kesesatan. Betapa arif sang Muhammad meski agama
yang dibawah Muhammad saw adalah agama Kaamil (sempurna), namun beliau tidak
dengan serta merta menebar ilmu ketuhanan kepada ummatnya, utamanya ilmu yang
terkait dengan Dzat Allah, Muhammad saw membiarkan ilmu tersebut disamudera
rahasia al Qur'an dan al Furqan, Muhammad saw hanya mewartakan dengan bahasa
isyarat, kiasan, metaforis, majaz (permisalan). Terkait dengan ilmu ketuhanan
dan dzat Allah ini, banyak isyarat Qur'ani yang mewartakan esensi dzat dan
sifat-sifat Allah, bahkan ada ayat Qur’ani yang menerangkan dzat dan sifat-Nya
dalam satu ayat :
Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia danDia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Q.s. asy-Syuura. 42 : 11.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah secara dzat! Dia Maha
Mendengar dan Maha Melihat segala sesuatu yang berkaitan dengan sifat-sifat.
Andai Musa as, menyampaikan ilmunya seperti Isa as, niscaya kaum-nya akan
menuduh Musa as sebagai pembunuh Fir'aun, sebab Fir'aun pernah berkata :
Akulah Tuhanmu yang paling tinggi. Q.s. an-Naazi'aat. 79 : 24,
akan tetapi Musa as tidak diperkenankan mewartakan rahasia hakekat
ketuhanan kepada kaumnya, sebab jika Allah membolehkan Musa as memberitakan
ilmu rahasia ketuhanan-Nya, kaumnya akan seperti kaum Isa as, yang tenggelam di
dasar kesesatan dan mereka akan menuduh Musa sebagai sosok yang paling
bertanggung jawab atas kematian Fir'aun.
Karenanya Allah melarang Musa as memberitakan ilmu rahasia ketuhanan-Nya,
seperti halnya Dia memerintahkan nabi Muhammad saw menyembunyikan segala
rahasia ketuhanan, berikut melarang memperbincangkannya dengan orang-orang yang
tidak memiliki akal yang cukup dan nihil kecerdasan hatinya dalam memahami
hakekat rahasia ketuhanan. Dalam sebuah hadits rasulullah Muhammad saw bersabda
:
Pada malam ketika aku di-isra'-kan,
aku diberi tiga ilmu : Ilmu yang harus aku simpan. Ilmu yang wajib aku
sampaikan. Ilmu yang aku diberi pilihan antara menyampaikan dan tidaknya.
Ilmu yang wajib disampaikan beliau adalah ilmu syariat. Ilmu yang beliu
diberi kebebasan memilih antara disampaikan dan tidaknya adalah ilmu hakekat,
sedangkan ilmu yang wajib beliau simpan adalah ilmu rahasia ketuhanan dan ilmu
-rahasia ketuhanan- tersebut ada dalam al Qur’an al Karim. Ilmu yang wajib
disampaikan itu disebut ilmu lahir, sedang ilmu yang diberi pilihan untuk
disampaikan dan tidaknya disebut ilmu batin, sejalan dengan firman Qur'ani:
Kami akan perlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami, disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Qur'an itu adalah benar. Q.s. Fushshilat. 41 : 53.
Dan tidaklah Kami ciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan benar. Q.s.al-Hijr 15 : 85.
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya sebagai rahmat daripada-Nya. Q.s. al-Jaatsiyah 45 : 13.
(Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan ke dalamnya ruh Ku. Q.s. al-Hijr 15 : 29).
Kesemua ayat diatas mencakup dimensi syariat dan dimensi hakekat, yang juga
merupakan dimensi Tahyir (pilihan).
Barangsiapa memahaminya dengan sudut pandang Ilahiyan (ketuhanan) akan
sampai kepada makrifah (pemahaman) yang utuh, demikian pula sebaliknya barang
siapa yang memahaminya dengan kerangka pandang lain, akan mendapati hakekat
yang kontradiktif, dan memicu lahirnya pengingkaran dan kesesatan, karenanya Muhammad
saw tidak menyampaikan hakekat rahasia ketuhanan itu, agar kaumnya tidak
terjerembab ke dalam kubang kesesatan dan kesengsaraan tak bertepi. Ilmu yang
disimpan rasul Muhammad saw tersebut terdapat di dalam al Qur'an, halmana ilmu
tersebut menyimpan multi Ta'wil (interpretasi), karena peyimpanan-nya penuh
misteri. Ilmu itu hanya bisa disibak oleh mereka-mereka yang konstisten
mendalaminya, dan hanya bisa disibak dengan jalan Kasyf Ilahi (Penyingkapan
Ketuhanan). Pesan Qur’ani juga menegaskan bahwa ilmu tersebut yang tahu
kesejatian interpretasinya hanyalah Allah semata, sebagaimana yang ditegaskan
firman Qur'ani :
Tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. Q.s. al-Imran 3 : 7.
Berangkat dari realita tersebut, sering didapati bahwa insan yang mampu
mengetahui Ta'wil (ilmu) hakekat rahasia ketuhanan di dalam dirinya, jamak
mengklaim dan mengaku bahwa dirinya adalah Allah. Pahami dengan benar masalah
tersebut, agar anda tidak salah interpretasi!
Ketahuilah bahwasanya Taurat adalah media Tajalliyaat
(manifestasi-manifestasi) nama-nama dan sifat-sifat Allah, yang sedemikian itu
dengan penampakkan al-Haq dalam inti realita-realita kasat mata. Nama-nama
al-Haq adalah merupakan cerminan daripada sifat-sifat-Nya. Dan sifat-sifat
tersebut merupakan dalil (petunjuk) akan dzat-Nya, dalam inti realitas kasat
mata, berikut penampilan-Nya pada ciptaan-Nya melalui nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Karena fitrah
penciptaan Maujudaat sedari awalnya tidak sepi dari makna-makna
ketuhanan, jiwa makhluk-Nya laksana kain putih tanpa noda, tergantung siapa
yang mempola makhluk tersebut nantinya. Atas dasar itulah jiwa yang baru lahir
diberi nama, dengan asma-asma al Haq, agar kelak si makhluk bisa menghiasi
dirinya dengan sifat-sifat al Haq, ketika sifat-sifat al Haq itu telah
menghiasi diri makhluk, ia akan mengerti sifat-sifat al Haq, lalu meminta
petunjuk kepada ahl al Haq (punggawa ketuhanan) agar dibimbing menuju titian
jalan Allah, dengan begitu nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan (cermin)
untuk menggapai pemahaman hakiki akan sifat-sifat ketuhanan dan inti dzat-Nya.
Jika mereka menyebut nama Allah, mereka seakan merasa nama mereka disebut juga,
itulah sejatinya inti daripada arti Taurat. Secara bahasa artian Taurat seperti
itu, jelas sangat jauh dari pemaknaan maksudnya, karena esensi al Haq dimata
orang awam tidak lain hanya merupakan wujud penyembahan, sedang al Haq dimata
orang khusus (ahli hakekat) adalah inti dzat diri mereka, itu berarti al Haq
adalah inti kesejatian diri mereka. Adapun tujuh Luh yang diturunkan kepada
Musa as dan diperintahkan untuk disampaikan itu berisikan amar perintah Tuhan
sebagaimana berikut ini :
Luh Pertama : Luh Cahaya, dinamakan demikian, karena dalam luh tersebut
paparan dominan-nya terkait dengan masalah Nur (cahaya), seperti halnya
pemberian nama surat dalam al-Qur'an, bergantung dari dominasi 'muatan pesan'
dan inti pembahasannya, meski tidak menutup kemungkinaan adanya cakupan
bahasan-bahasan lain selain topik utamanya. Dalam Luh Cahaya ini, dipaparkan
inti kajian tentang sifat-sifat al Haq, ke-Esa-an dan ke-Tunggal-an Nya,
berikut pen-Suci-an al Haq secara mutlak. Serta hukum-hukum produk al Haq yang
berbeda dengan hukum Wadh'i (hukum produk makhluk), dalam Luh ini juga
dipaparkan tentang sisi ketuhanan al Haq, dan Kuasa-Nya. yang terpancarkan
dalam cahaya asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Kesemua itu terpancarkan dari al
Haq yang Maha Tinggi dan Maha Suci, karenanya Luh ini dinamakan lauh (Cahaya).
Luh Kedua : Luh Petunjuk, didalamnya terkadung warta-warta ketuhanan,
utamanya kabar tentang hakekat al Haq, inilah yang disebut dengan ilmu Dzauq
(intuisi), atau gambaran cahaya ilham di kalbu para mu'minin (insan beriman).
Sesungguhnya petunjuk ketuhanan yang terlanskapkan dalam wujud ilham, adalah
merupakan rahasia-Nya yang banyak membuat terpesona hamba Allah dan menjadikan
hamba tersebut sahdu bersama-Nya, itulah sejatinya cahaya ketertarikan Ilahi,
yang menuntun para arif kepada penglihatan alam ketiggihan, melalui jalan
ketuhanan, yaitu titian jalan Allah Azza Wa Jalla. Demikianlah proses
kembalinya cahaya ketuhanan yang telah diturunkan kedalam sendi-sendi
kemanusiaan ke posisi dan tempat asalnya. Maka petunjuk ketuhanan itu laksana
'sesuatu' yang didapati sang pemilik cahaya, dengan-nya ia bisa menggapai alam
ketinggian, melalui proses yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam
Luh ini diwartakan ilmu Kasyf (intuisi) tentang situasi agama-agama dan para
pemeluknya yang ada dizaman dahulu dan yang akan datang. Juga tentang ilmu alam
Malakut, yaitu alam ruh-ruh serta alam Jabarut, yaitu alam Penguasa ruh-ruh
dihadirat Sang Maha Qudus. Luh ini juga membahas ilmu Barzah, terjadinya hari
kiamat dan kebangkitan, neraca (timbangan) dan hitungan serta surga dan neraka.Luh
ini juga mewartakan ihwal para malaikat, rahasia-rahasia ketuhanan yang ditaruh
di dalam diri para hamba yang dipilih-Nya. Semisal rahasia yang ditaruh di
komunitas (bani) Israel, yang dengan itu mereka dengan penuh aktraktif
memamerkan karamah-karamah (kekuatan adikodrati) yang mereka miliki.
Luh Ketiga : Luh Hikmah, didalamnya terkandung pengetahuan tentang cara
prosesi suluk, melalui 'jalan' Tajalli, Dzauq (intuisi), bersitan-bersitan suci
ketuhanan, dari pelepasan dua sandal berikut pertumbuhan-nya, kedudukan pohon
dan penglihatan api di malam hari yang gelap gulita, serta rahasia-rahasia
ketuhanan lainnya. Dalam Luh ini juga diwartakan tentang asal usul ilmu
perbintangan (astronomi) dan ilmu alam, ilmu misteri pepohonan dan rahasia
bebatuan, luh ini juga mewartakan kehususan (kelebihan) bani Israel yang sangat
kampium mengusai ilmu rahasia ketuhanan, yang menuntun mereka menjadi rahib
(pendeta). Karenanya rahib dalam bahasa Israel berarti: Insan yang kampium
dalam meninggalkan pelik duniawi dan pengharap berat sang Maula (Tuhan).
Luh Keempat : Luh Kekuatan, didalamnya diwartakan penurunan hikmah-hikmah
ketuhanan, dan kekuatan-kekuatan yang lahir dari dimensi kemanusiaan.
Ilmu—hikmah, ini banyak dikuasai bani Isreal, yang mereka warisi dari Musa as,
dalam Luh ini, banyak simbol-simbol, isyarat-isyarat serta metafor-metafor
ketuhanan, dari hikmah ketuhanan inilah lahir kekuatan dahsat kemanusiaan.
Pesan Qur’ani mewartakan perihal kekuatan ini, dalam firman-Nya. Hai Yahya,
ambillah al Kitab (Taurat) itu dengan kekuatan (sungguh-sungguh). Dan Kami
berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak. Q.s. Maryam 19 : 12.
Pengambilan secara kuat tersebut, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang belajar
ilmu hikmah dan mendapat petunjuk cahaya ketuhanan. Itentitas kekuatan itu
bergantung daripada hikmah ketuhanan dalam diri masing-masing orang, ini adalah
masalah Dzuqiyah (intuitif) yang hanya bisa difahami orang-orang khusus, dan
tidak bisa difahami orang kebanyakan. Di dalam Luh ini, juga diwartakan ilmu
sihir tingkat tinggi, yang apabila orang tidak jeli akan menganggap sihir itu
sebagai karamah, disebut sihir tingkat tinggi, karena bisa dilakukan tanpa
jampi-jampi (pemantraan) dan pengeluaran tenaga ekstra, kekuatan yang lahir
dari sihir itu benar-benar sempurna, si penyihir benar-benar mampu menyihir
manusia sesuai keinginan pragmatisnya. Sihir kelas tinggi itu juga mampu
menampakkan gambaran imajinatif menjadi realita yang kasat mata, lebih dari itu
orang yang melihatnya bisa berimajinasi, seakan-akan realita tersebut pelakunya
ia sendiri. Realita serupa juga pernah saya (al Jailiy) alami dalam etos 'laku'
ketauhidan, yang sedemikian itu, jika saya ingin menampakkan diri saya dalam
wujud sesuatu tertentu, saya bisa merealisasikannya, akan tetapi saya menyadari
semua itu hanya akan menuntun diri saya kepada kebinasaan dan kehancuran diri,
maka saya tinggalkan semuanya, lalu Allah membukakan untuk diri saya pintu Qudrah-Nya
yang memelihara diri saya dari kehancuran, yang tersimpan dalam kemesterian
antara huruf Nun hingga Kaaf. Luh Kelima : Luh Hukum, didalamnya
terkandung ilmu tentang amar perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
Hukum-hukum itu yang dititahkan Allah kepada bani Israel untuk dilaksanakan.
Luh ini berisi syariat Musa as yang diperuntukkan untuk membangun sendi-sendi
kehidupan kumnya, yang tidak lain adalah bani Israel. Luh Keenam : Luh Ubudiyah
(ritual peribadatan), didalamnya terkandung pentetahuan tentang hukum-hukum
kelaziman bagi para makhluk-Nya, semisal: Kerendahan, kehinaan, rasa butuh
kepada Allah, rasa takut, dan ketertundukan serta kepatuhan kepada al Haq. Musa
as pernah berkata kepada anak zamannya : Kalian akan diganjar dengan siksa yang
pedih, jika kalian mengklaim seperti klaim Fir'aun yang mengaku dirinya Tuhan,
karena seorang hamba tidak berhak mengklaim diri sebagai Tuhan. Dalam Luh ini
juga diwartakan rahasia ilmu tauhid, semisal hakekat penyerahan, tawakkal,
kepasrahan, ridha, takut, harapan, keinginan dan zuhud, serta tawajjuh kepada
al Haq dengan membuang sauh-sauh hati dari keterikatan dengan segala sesuatu
selain al Haq. Luh Ketujuh : Luh yang membincang khusus masalah titian jalan
menuju Allah, berikut penjelasan tentang jalan menggapai kebahagiaan dan
pengetasan diri dan belitan kepedihan dan kesusahan. Dalam Luh ini diterangkan
tentang cara paling ideal untuk menggapai kebahagiaan, diterangkan pula tentang
perilaku kaum Musa as, yang mereduksi agama mereka dengan bid'ah-bid'ah berikut
klaim-klaim keagamaan yang lahir dan narasi liar pikiran mereka dan sama sekali
bukan dan ajaran Musa as, mereka bahkan mengklaim pikiran mereka sebagai titah
dari Tuhan. Klaim mereka sama sekali tidak bersentuhan warta-warta ketuhanan
dan kasyf Ilahi, andai buah pikiran mereka lahir dari warta dan penyingkapan
ketuhanan, niscaya Tuhan masih memperhatikan diri mereka, serta memelihara
mereka melalui amar perintah yang diserukan Musa as. Mereka mengklaim langkah
yang mereka lakukan itu sebagai wujud kesetiaan kepada Musa as, dan bukan
penafian atas ajaran kenabian yang diembannya, dalam kenyataan-nya mereka tidak
konsisten dengan klaim keagamaan yang mereka cetuskan, hingga melahirkan adzab
Tuhan atas diri mereka. Dalam Luh ini juga diwartakan aneka ilmu pengetahuan,
dari masalah keagamaan hingga masalah pemeliharaan tubuh, pesan Taurati banyak
mewartakan Kasyf ketuhanan yang multi Ta'wil (interpretasi), yang tidak mungkin
kita diskusikan dalam karya ini. Yang jelas ketujuh Lauh itu merupakan cerminan
global daripada isi Taurat,
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.
Sudah Edit 37. Zabur
Zabur berasal dari bahasa Assiria yang berarti Kitab. Bangsa Arab memakai
kata (bahasa) tersebut, selaras dengan firman-Nya,
Dan segala sesuatu yang telah mereka
perbuat, tercatat dalam Zabur. Q.s al-Qomar 54 : 52.
Allah Azza Wa Jalla menurunkan Zabur kepada Daud as dengan penurunan
ayat-ayat-Nya secara bertahap, dan Daud as tidak menyampaikan ke kaum-nya,
kecuali setelah Allah menurunkan ayat-ayat tersebut secara utuh. Daud as adalah
insan yang paling lembut gaya bicaranya, paling pandai berdiplomasi, paling
merdu suaranya, serta paling baik budi pekertinya. Jika Daud as melantunkan
ayat-ayat Zabur, semua hewan burung-burung atau binatang buas, menghentikan
aktifitasnya dan mendekat mengelilingi Daud as, karena terkesima dan sangat
terpesona dengan lantunan Zaburnya, Daud as bertubuh kekar, postur tubuhnya
pendek, memiliki kekuatan yang sangat diqdaya, kaumnya mengenalnya sebagai
kampium ilmu pengetahuan yang jamak dipakai serta populer di zamannya.
Ketahuilah bahwa setiap kitab yang diturunkan Allah kepada setiap nabi-Nya,
mencakup hikmah ketuhanan dan ilmu pengetahuan yang populer ditengah-tengah
anak zamanya, sehingga para nabi-Nya tidak saja cerdas secara akal namun juga
cerdas hatinya. Masing-masing kitab memiliki kelebihan diantara satu dengan lainnya,
sejalan dengan kelebihan (keutamaan) yang diberikan Allah kepada masing-masing
rasul yang diutus-Nya al Qur'an al Karim adalah kitab Allah yang terbaik
(utama), dari segenap kitab yang pernah diturunkan Allah kepada para rasul-Nya
karena Muhammad saw adalah rasul-Nya yang paling utama, jika anda berpikiran
bahwa Kalamullah (pembicaraan Allah) adalah bernilai sama, tidak ada yang
paling utama diantara kalam-Nya yang satu dengan kalam-Nya yang lain, perlu
kami wartakan kepada anda bahwasanya rasul Muhammad saw pernah bersabda :
Surat al Faatihah, adalah yang
paling utama dari surat-surat yang ada dalam al Qur'an.
Jika al Faatihah surat yang paling utama, semantis logikanya tidaklah salah
jika ada pengutamaan diantara kitab-kitab Allah, dan al Qur'an al Karim adalah
kitab yang paling utama daripada k'itab-kitab-Nya yang lam, karena dibawah oleh
nabi dan rasul yang paling utama daripada nabi-nabi Allah.
Ketahuilah bahwasanya kandungan kitab Zabur kebanyakan berisi
nasehat-nasehat konstruktif, pujian-pujian kepada al Haq, adapun kandungan
syariatnya hanya sedikit dan bersifat khusus.' Nasehat-nasehat dan
pujian-pujian yang termaktub dalam pesan Zabur tersebut mencakup ilmu
pengetahuan multi dimensional utamanya ilmu hakekat ketuhanan, ilmu wujud
mutlak, ilmu Tajalli (penampakan) al Haq di dalam makhluk-Nya, ilmu penundukkan
dan pengaturan, ilmu fisika dan metafisika, ilmu alam, ilmu eksakta ilmu
logika, ilmu kepemimpinan, ilmu hikmah, ilmu telepati dan ilmu-ilmu lainnya.
Kesemua ilmu itu bisa digapai melalui proses pembelajaran dan bersifat
metafisis, dintara ilmu-ilmu itu ada yang proses pencariannya melalui pelatihan
jiwa secara intensif, yang tidak boleh dipertontonkan, agar rahasia Kasyf
(intuisi) yang dialami sipenuntut ilmu tetap terjaga, serta tidak menyebabkan
tereksposnya rahasia-rahasia Allah secara eksploratif.
Daud as adalah pribadi yang sangat giat beribadah, anak zamannya
mengenalnya sebagai pegiat ibadah yang teguh, Daud as bisa memahami
ucapan-ucapan burung dengan Kasyf Ilahi, ia juga mampu beraudiensi dengan
burung dengan kekuatan Ilahi, Daud as mampu menyampaikan pesan yang bisa
ditangkap oleh telinga burung yang dengan itu burung bisa memahami maksud
daripada kata-kata yang dilontarkan Daud as. Orang-orang yang tidak faham ihwal
Daud as, mengira bahwa Daud as berbicara dengan bahasa yang jamak dipakai
burung-burung prediksi semacam itu jelaslah tidak valid (shahih), yang benar
adalah Daud as mampu memahami ucapan-ucapan burung dengan aneka macam suaranya,
dan mampu menangkap makna dan maksud yang lahir dan suara-suara burung-burung
tersebut melalui Kasyf Ilahi (intuisi ketuhanan). Itulah yang bisa kita fahami
dari ungkapan putranya yang bernama Sulaiman as,
Kami telah diberi pengertian
(pemahaman) tentang ueapan-ueapan burung. Q.s. an-Naml 27 : 16.
Kemahiran itu terus berlanjut, hingga ada yang berasumsi bahwa Daud as
memiliki kecakapan bisa memahami bahasa burung, terlebih burung memiliki bahasa
khusus, yang dipakai media komunikasi antar sesama burung Padahal realitanya
kemahiran yang dimiliki Daud as adalah mampu menangkap pesan yang lahir dari
suara-suara burung dan bisa memahami maksud dari ucapan-ucapan burung melalui
ilham ketuhanan, yang terlembagakan dalam kasih kelembutan ketuhanan.
Demikianlah setiap Daud as mendengar suara-suara burung ia mampu menangkap
maksud dan pesan dari suara tersebut, dan ia bisa beraudiensi dengan burung
melalui kekuatan kelembutan Ilahiyah (ketuhanan), sehingga burung tersebut bisa
menangkap ucapan Daud as, yang melahirkan komunikasi dua arah dan bisa dipahami
kedua belah pihak. Daud as bahkan bisa memahami suara-suara segenap hewan dan
benda-benda alam lainnya, dan ia mampu berdialoq secara komunikatif dengan
hewan-hawan dan benda-benda alam tersebut, kesemua iur berlandaskan Kasyf Ilahi
(intuisi ketuhanan).
Dengan demikian ketika Daud as melakukan dialoq interaktif dengan
hewan-hewan tersebut, ia bisa saja memakai bahasa Assina, atau bahasa lainnya
yang bisa difahami hewan-hewan tersebut dengan kekuatan kasih kelembutan
Ilahiyah, yang terpancarkan melalui lisan Daud as, yang dengan itu hewan-hewan
bisa memahami perkataan Daud as. Kemahiran dan kelebihan par excelent yang
diberikan Allah Azza Wa Jalla kepada Daud as dan Sulaiman as tersebut, tidaklah
bersifat khusus untuk keduanya semata namun juga bisa diberikan kepada Allah
kepada hamba-hamba Nya, utamanya para khalifah-Nya yang Dia kehendaki, karunia
semacam itu jamak diberikan kepada para kekasih-Nya dan para arif yang telah
menggapai maqom kedekatan (al Qurb) yang purna para kekasih Allah itu bahkan
bisa mengetahui sesuatu yang tersembunyi dus terhalus yang ada digelap gulita
malam. Imam asy Syibli menandaskan : Jika aku menginjak serangga di
butiran-butiran pasir ditengah malam yang gelap gulita, dan aku tidak merasakan
hal tersebut, niscaya aku hukumi diriku sebagai manusia yang terperdaya dan
termasuk seorang penganiaya.
Lebih lanjut sufi agung itu mengatakan : Aku tidak boleh mengatakan, bahwa
aku tidak merasakan menginjaknya atau karena faktor ketidak sengajaanku, yang
membuat serangga itu terinjak sebab injakan itu terjadi karena kekuatan yang
lahir dari diriku dan aku penggeraknya, bagaimana mungkin aku mengatakan tidak
merasakan -menginjaknya, sedangkan aku penggeraknya. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan, adalah rasulullah Muhammad saw suatu hari mampu menangkap Jin,
dan beliau hendak mengikat Jin tersebut di salah satu tiang masjid, namun
beliau mengurungkan niat tersebut, karena ingat doa Sulaiman as.
Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku
kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku. Q.s. Shaad 36 : 35.
Rasul Muhammad saw melakukan hal tersebut semata-mata demi menghormati
ke-khalifah-an Sulaiman yang rakyatnya termasuk dari golongan Jin. Rasul
Muhammad saw mengakui dengan penuh ketulusan bahwa kesempurnaan kekuasaan
Sulaiman as tidak tertandingi oleh siapapun sesudahnya. Adapun kesempurnaan
lain, masih ada yang menandingi atau bahkan melebihinya, yaitu para nabi dan
para kekasih Allah lainnya yang datang sesudah Sulaiman as.
Ketahuilah bahwasanya kandungan kitab Zabur berisikan isyarat dan metafor
daripada Tajalli (penampakkan) sifat-sifat perbuatan Ilahiyaat (ketuhanan),
sedang Taurat hanya berisikan Tajalli nama-nama sifat belaka, begitu pula Injil
berisikan Tajalli nama-nama Dzat semata. Adapun al Furqan terkandung di
dalamnya metafor-metafor daripada Tajalli sifat-sifat dan nama-nama mutlak-Nya.
al Qur’an laksana inti dzat-Nya, seperti yang telah kita bahas dalam pasal
terdahulu. Zabur disebut metafora Tajalli sifat-sifat perbuatan Ilahi, karena
merinci perbuatan-perbuatan Ilahi yang lahir dari dimensi Qudrah (Kuasa)
ketuhanan, karenanya Daud as ditahbiskan menjadi penguasa alam, dan itu
terlegemitasi dalam konsesus-konsesus ketuhanan melalui wahyu-wahyu Allah yang
termaktub dalam dikitab Zabur. Daud as mampu memobilisir gunung-gunung yang
merupakan paku bumi, Daud as mampu melembutkan besi-besi yang keras serta
menundukkan benda-benda alam lainnya Kekuasaan dan kediqdayaan Daud as itu lalu
diwarisi Sulaiman as, sedang Daud as sendiri mewarisi kekuasaan dan kediqdayaan
itu dan al Haq al Mutlaq, yaitu Allah Azza Wa Jalla.
Daud as tentu merupakan nabi yang utama, karena al Haq memberinya anugerah
Khilafah (kekuasaan), dan mengapresiasinya secara khusus dalam Khitab (bincang)
kekuasaan, seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya, Wahai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. Q.s.
Shaad 38 : 26. Pentasbihan kekuasaan itu tidak terjadi pada diri Sulaiman as,
kecuali setelah Sulaiman meminta kepada-Nya. Daud as sangat menyadari bahwa
kuasa manusia hanya meliputi kekuasaan lahir, cakupan kekuasaan manusia tidak
meliputi wilayah batin, hanya Allah sajalah Penguasa Batin manusia, karenanya
Allah meng-kuasa-kan Daud as hanya dengan kekuasaan lahir. Marilah kita telisik
warta-warta Qur'ani yang memberitakan perihal ucapan-ucapan Sulaiman as. Kemudian
kami tundukkan kepadanya angin yang menghembus dengan baik menurut kemana saja
yang dikehendakinya. Q s Shaad 38 : 36. Dan banyak lagi kemampuan-kemampuan
per excelent Sulaiman as yang lahir dari kodrat Ketuhanan, yang tidak mungkin
kita rinci satu persatu, dan kemampuan-kemampuan par excelent seperti itu tidak
terbatas pada diri Sulaiman semata, namun juga diberikan kepada para hamba-Nya
yang lain yang Dia kehendaki, karena hal tersebut merupakan hak preogratif-Nya.
Jika al Haq muncul dalam Tajalli dengan Dzat Diri Nya, maka penampakkan itu
merupakan wujud Khalifah Allah di bumi-Nya, yang sedemikian itu sejalan dengan
isyarat yang terkandung dalam firman-Nya. Dan sesungguhnya telah Kami tulis
di dalam Zabur, sesudah Kami tulis dalam Lauhul Mahfudz, bahwasanya bumi ini
dipusakai hamba-hamba Ku yang shaleh. Q.s. al-Anbiyaa' 21 : 105. Yaitu para
sholeh yang memiliki validitas untuk mewarisi Waratsah (warisan) ketuhanan.
Sedangkan yang dimaksud dengan bumi dalam ayat tersebut adalah, hakekat-hakekat
wujud yang terhampar diantara realitas penciptaan dan makna-makna yang tersirat
dibalik realitas penciptaan tersebut, seperti yang diisyaratkan pesan Qur'ani :
Hai hamba-hamba Ku yang beriman,
sesungguhnya bumi Ku luas, maka sembahlah Aku saja. Q.s. al-Ankabuut 29 : 56.
Jika anda berasumsi bahwa doa Sulaiman as, mustajab (dikabulkan), karena
dia memiliki kerajaan yang tidak ada satu juapun yang menandingi kekuasaannya
Kuasa-Nya ter-tajalh-kan pada kekuasaan Sulaiman as, yang dengan itu doa
Sulaiman as terkabulkan, maka asumsi anda tidaklah salah. Demikian pula jika
doa Sulaiman as tidak terkabulkan karena tidak adanya batasan kekuasaan bagi
insan-msamterkasih-Nya paska Sulaiman as, andapun tidak salah juga. Anda bebas
berasumsi sesuka anda, yang mesti anda ketahui, ketika Daud as mengetahui bahwa
dikuasakan untuk dirinya 'Kuasa' tanpa batas, ia tidak berkeinginan untuk memilikinya,
Daud as tidak pernah meminta kekuasaan, maka kekuasaan itu ahirnya diminta
Sulaiman as, bukan karena ia gila jabatan, namun ingin pembelajaran Ilahi,
karena Sulaiman as secara pribadi ingin memakrifahi penampakkan ketuhanan,
hingga ia bisa memahami kesejatian hakekat-Nya. Demikianlah meski rahasia
hakekat ketuhanan itu dilarang untuk disebarkan, namun diperbolehkan
memintanya, karena Kasih Allah maha luas, dan wujudnya sangat mungkin. Kecuali
jika niatan si peminta untuk kepentingan pragmatisme duniawi. Allah mewartakan
kepada kita, perihal perilaku hamba-Nya.
Mereka tidak menghormati Allah
dengan penghormatan yang semestinya -Dan, Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai
keperkasaan dari apa yang mereka katakan.
Terhadap hamba (nihil penghormatan) seperti itu jelas ditolak
permintaannya, dan tiada akan pernah diluluskan apa yang menjadi angan citanya.
Mentradisikan penghormatan, dzikr adalah sebuah kemestian yang harus
dilakukan setiap hamba kepada al Haq, terkait dengan masalah ini as Shadiq al
Akbar mengatakan : Mengakui kelemahan diri dalam Dzkrullah (mengingat Allah),
digolongkan termasuk orang yang ingat. Rasul Muhammad saw bersabda : Haturan
pujiku kepada Mu adalah tanpa batas, seperti halnya puji atas Diri Mu adalah
tanpa batas. Rasul saw sangat etis dalam berdoa, beliau tidak memohon
sesuatu yang tidak mungkin direalisasikan, beliau senantiasa mengakui dengan penuh
ketulusan dihadapan Allah, akan ke-dhaif-an dirinya, serta mengakui dengan
penuh keimanan akan kesempurnaan Allah. Padahal rasulullah Muhammad saw lebih
makrifah (memahami) Tuhannya, ketimbang Sulaiman as, putra Daud as itu ilmunya
terbatas dan selalu meminta sesuatu yang diketahuinya, sedangkan Muhammad saw
ilmunya tidak terbatas, dan beliau selalu meminta ditunjukkan sesuatu yang
belum dikatahuinya. Meski rasul saw mengetahui bahwa doanya pasti dikabulkan
Allah, namun beliau selalu melantunkan doanya secara lisan, pekerti yang mulia
itu merupakan kekhusuan yang dimiliki rasul saw, pun mereka-mereka yang telah
memakrifahi Allah dari para kekasih-Nya. Para arif itu dalam bertawajjuh kepada
Allah tidak bergantung keadaan yang mengkondisikan diri mereka, suka duka,
sulit susah, tetap eksis beribadah kepada Sang Khaliq, sedangkan mereka yang
belum makrifah, wajah ibadah mereka tergantung keadaan, susah ingat Allah,
senang lalai dengan-Nya, ketika butuh mendekat dan berbaik-baik kepada Allah,
ketika kebutuhan-nya terkabulkan, lupa dan meninggalkan Sang Khaliq.
Orang yang makrifah ilmunya tidak terbatas, sedang orang yang belum
makrifah ilmunya terbatas, terkait dengan ini insan-insan yang telah sampai
pada tingkat Muhammadiy (bisa mewarisi ilmu dan perilaku Muhammad saw) dari
para kekasih-Nya, semisal Syeikh Abd Qodir al Jailaniy menandaskan : Wahai
hadirat para nabi kalian diberi hati oleh-Nya, sedang kami diberi-Nya
pengetahuan yang menembus dimensi ruang dan waktu. Demikianlah seperti yang
diriwayatkan oleh Imam al Muhyiddm Ibnu Arabi dalam kitabnya : Futuhaat al
Makkiyah, dengan runtut periwayatan dan beliau sendiri. Syeikh Abu al Ghaits
ibnu al Jamil mengatakan : Kami telah mengarungi samudera dan kami dapati para
nabi ada dipesisirnya. Ungkapan ini, meski mengandung multi ta'wil
(interpretasi), kami tetap berpendapat bahwa para nabi lebih utama, ketimbang
para wali (kekasih Allah), kita akan membincang masalah ini secara khusus dalam
pasal Kenabian dan Kewalian di bab yang akan datang. Allah petunjuk jalan
kebenaran.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Q.s al-Ahzab 33 : 4.
Sudah Edit 38. Injil
Allah Azza Wa Jalla menurunkan Injil kepada Isa as, dengan bahasa Assiria,
Injil dibaca (ditulis) dengan tiga belas bahasa. Pembukaan Injil diawali dengan
menyebut nama Tuhan Bapak, Tuhan Ibu, Tuhan anak. Seperti halnya al
Qur'an yang dimulai
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
Para pengikut Isa as memaknai ungkapan itu secara lahir, mereka mengira
bahwa Tuhan Bapak Ibu, Anak itu sejatinya adalah : Ruh Oudus. Maryam, dan Isa.
Saat itu mereka memakzulkan pernyataan :
Bahwasanya Allah salah seorang dari
yang tiga. Q.s. al-Maidah. 5 : 73.
Mereka tidak tahu bahwasanya yang dimaksud dengan Bapak adalah nama Allah
sedang Ibu aksiden (Arad) yang menerangkan metafor hakekat sesuatu, adapun
Putra maksudnya adalah kitab, Injil merupakan tajalli wujud mutlak, embrio
hakekat sesuatu, Allah berfirman
Disisi-Nya-lah terdapat UmmulKitab. Q.s. ar-Ra'd 13 : 39.
Merupakan isyarat tajalli-Nya, seperti yang telah kita paparkan pada bab
terdahulu, atas dasar itulah Isa as menandaskan :
Aku tidak pernah mengatakan kepada
mereka kecuali apa yang Engkau perintankan kepadaku. Q.s. al-Maidah 5:117.
Untuk mewartakaunya kepada mereka. Isa lantas memaklumatkan :
Sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Q.s. al-Maidah 5 : 117,
sehingga Dia mengetahui bahwa Isa as tidak pelit memaparkan dan
mensosialisasikan makna-makna lahir Injil.
Bahkan Isa memaparkan keterangannya dengan lugas dan jelas dengan
ungkapannya : Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu
sebagai bentuk penafian Isa as atas klaim pengikutnya, yang memaklumatkan
bahwa dirinya, ibunya dan ruh Qudus adalah Tuhan -sesembahan, penegasan
tersebut, untuk membebaskan dirinya dari tuduhan dihadapan Allah, karena Isa as
telah menjelaskan kepada kaum-nya esensi Injil dengan sedetil-detilnya. Namun
para pengikutnya, menafsiri kandungan Injil tersebut dengan prediksi dan nalar
diri mereka sendiri, sehingga lahirlah klaim pen-Tuhan-an tersebut, semua itu
mumi karena 'ulah' mereka, dan sama sekali bukan seruan Isa as. Ungkapan Isa as
dalam menjawab pertanyaan Rabb-nya,
Aku tidak pernah mengatakan kepada
mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku
adalah merupakan bentuk permohonan maaf kepada Rabb atas 'ulah'
pengikutnya, Madluliyah (makna tersirat)-nya adalah : Engkau pengutus aku
kepada mereka dengan Kalam (wahyu) yang dimulai dengan menyebut nama Tuhan
Bapak, Tuhan Ibu dan Tuhan Anak. Ketika aku sampaikan kepada mereka, mereka
memaknai-nya dengan pemaknaan lahir (tekstual), aku mohon Engkau jangan menista
mereka, atas interpretasi yang mereka lakukan tersebut, karena hanya sebatas
itulah kemampuan mereka dalam menangkap apa yang telah aku sampaikan. Apa yang
mereka lakukan memang merupakan bentuk kesyirikan atas ke-Esa-an Mu, karena
mereka melakukan penafsiran atas warta-warta ketuhanan -yang aku serukan,
dengan prediksi dan narasi pemikiran mereka sendiri.
Apa yang dilakukan pengikut Isa as itu tidak ubahnya seperti ijtihad
seorang mujtahid, yang apabila ia salah dalam berijtihad ia hanya memperoleh
satu pahala (ijtihadnya), karenanya paska menjawab pertanyaan Rabb-nya, Adakah
kamu mengatakan kepada manusia :
Jadikanlah aku dan ibuku dua orang
tuhan selain Allah? Q.s. al-Maidah 5 : 116.
Isa as memohonkan ampunan bagi kaumnya kepada Allah atas kesalahan
tersebut. Isa berkata kepada Rabb-nya :
Jika Engkau menyiksa mereka, maka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni
mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.s. al-Maidah. 5 : 118)
Isa as tidak berkata kepada Rabb-nya : Jika Engkau menyiksa mereka, maka
sesungguhnya siksa Mu amat keras! Pun ungkapan-ungkapan distruktif lainnya. Isa
as sangat empati kepada kaumnya, kesalahan yang mereka lakukan justru
dimintakan ma'af, ia dengan penuh kesungguhan memohon Rabb nya untuk memaafkan
'ulah' kaumnya, dengan dalih kaum-nya belum keluar dari lajur kebenaran dan
belum menyimpang dari ajaran al Haq. Ketahuilah bahwasanya para nabi, mereka
tidak memohon Maghfirah (pengampunan) kepada al Haq untuk seseorang atau satu
komunitas, kecuali jika orang atau komunitas tersebut berhak mendapatkan siska.
Jika orang itu berhak disiksa, maka mereka tidak memintakan ampunan untuknya.
Allah berfirman :
Dan permintaan ampun dari Ibrahim
(kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim melepas diri daripadanya. (Q.s. at-Taubah 9 : 114).
Demikianlah kearifan para nabi, Isa as memohonkan ampunan kepada Allah bagi
kaum-nya, karena ia yakin kaum-nya berhak memperoleh Maghfirah (pengampunan)
dari-Nya. Meski 'ulah' kaum-nya secara lahir terhitung batil, namun batin
mereka tidaklah demikian, itulah keyakinan Isa atas kaumnya yang mendorongnya
memohonkan ampunan kepada Allah untuk para pengikutnya. Isa as menyadari
perilaku lahir dan klaim mereka memang pantas mendapatkan siksa, karenanya ia
berucap kepada Rabb-nya :
Jika Engkau menyiksa mereka, ia meneruskan lobi-nya, Maka
sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau.
Isa as seakan ingin memaklumatkan : Mereka (kaumku) telah berusaha
menyembah Diri Mu, mereka bukan penentang dan pengingkar Diri Mu, mereka bukan
atheis, kaumku bukan kafir, karena kafir tidak bertuhan, mereka meyakini adanya
Engkau, dan mereka berusaha memahami Diri Mu dengan pemaknaan hakiki, dimata
mereka Engkau adalah hakekat Isa, hakekat ibu-nya dan hakekat ruh Oudus, bahkan
Engkau adalah hakekat segala sesuatu, itulah sejatinya maksud dari ucapan Isa
as.
Maka sesungguhnya mereka adalah
hamba-hamba Engkau.
Isa bahkan berucap kepada Rabb-nya :
Dan adalah aku menjadi saksi
terhadap mereka selama aku berada diantara mereka. (Q.s. al-Maidah 5:118).
Ketulusan Isa mengungkapkan apa yang terjadi pada diri dan kaumnya
dihadapan al Haq tersebut, bersambut dengan firman-Nya.
Ini adalah suatu hari yang
bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. (Q.s. al-Maidah 5 : 120),
dihadapan Rabb mereka Firman tersebut juga merupakan isyarat akan
keterkabulan apa yang dipinta Isa as. Madluliyah (makna tersirat) dari ayat itu
adalah Jikalau mereka (kaum Isa) benar-benar jujur dengan diri mereka dalam
menta'wilkan Kalam-Nya, yang Dia tampakkan kepada mereka, semata-mata untuk
memahami kesejatian Diri Nya, dan bukan hakekat selain Dia, maka mereka adalah insan-insan
yang benar kebenaran mereka meski secara lahir 'ulah' mereka terlihat batil
karena interpretasi tekstual mereka akan Kalam-Nya, sebab klaim 'kesesatan'
yang dilabelkan kepada pengikut Isa as adalah berdasarkan realita lahir
(pemaknaan tekstual), atas dasar itu pula mereka diklaim berhak atas siksa
Allah, akan tetapi ketika mereka benar-benar jujur dengan diri mereka, dalam
menta'wilkan KalamNya dengan pemaknaan hakiki, dan batin mereka tulus meyakini
kesejatian Kalam-Nya, maka rahmat ketuhanan yang dipinta Isa as untuk kaumnya
dikabulkan oleh Rabb-nya, karena keyakinan batin insan-insan yang benar
kebenaran mereka mempercayai eksistensi Isa as adalah merupakan bentuk
Tajjali-Nya yang mereka sibak (kasyf) di batin mereka. Pada titik ini
keyakinana mereka tidaklah salah, karena Allah adalah bersama asumsi hamba-Nya.
Kepada-Nya berpulang segala sesuatu.
Injil adalah kitab yang mewartakan Tajalli nama-nama Dzat, yakni Tajalli
Dzat dalam nama-nama-Nya. Diantara Tajalliyaat (penampakkan-penampakkan) itu
adalah Tajalli-Nya dalam ke-Tunggal-an yang disibak pengikut Isa as pada diri
Isa as. Maryam as dan Ruh Oudus, mereka menyakasikan penampakkan al Haq dalam
ketiga unsur tersebut. Para pengikut Isa as itu meski mereka menyaksikan
Tajjali-Nya dengan keyakinan hakiki, namun mereka tetaplah salah, dan mereka
pantas dilabeli sebagai kaum yang sesat.! Kesalahan mereka, karena membatasi
penampakkan (Tajjah)-Nya hanya sebatas ketiga unsur—Isa. Ibunya dan ruh
Qudus—saja! Adapun kesesatan mereka, karena mereka mengatakan Tuhan (bertubuh)
Isa dengan pemaknaan mutlak, dan penyerupaan -antropomorfisme terbatas dan
memaknai secara dangkal dan sempit dalam hal ke-Tunggal-an yang mereka
persaksikan. Adalah bukan hak dan kuasa mereka membatasi dan menyempitkan
bentuk-bentuk Tajalli-Nya, inilah sejatinya inti kesalahan dan kesesatan mereka.
Maka fahami betul permasalahan ini.! Dalam kandungan Injil tidak ada keterangan
terlebih batasan-batasan contoh sifat-sifat ketuhanan dalam wujud sifat-sifat
kemanusiaan, Injil bahkan mewartakan penampakan al Haq dalam setiap
ciptaan-Nya. Namun para pemeluk Nasrani mereduksi keyakinan mereka dengan
membatasi wujud Tajalli al Haq, serta klaim Tuhan (bertubuh) Isa dan Dia Hului
(panteisme) dengan pemaknaan mutlak. Apa yang dilakukan pemeluk Nasrani
tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Injil. Oranga-orang Nasrani itu
sungguh tidak mengerti isi kitab Injil.
Pengikut Muhammad saw, justru lebih mengerti kandungan hakiki isi kitab
Injil. Karena makna-makna hakiki Injil tersebut dipaparkan dengan sempurna
dalam banyak ayat Qur’ani Seperti firman-Nya :
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku. (Q.s. al-Hijr 15 : 29)
bukan ruh selain Diri Nya. Demikianlah pewartaan Allah dalam
penampakkan-Nya pada Adam as, kemudian Dia menguatkan dengan,
Kami akan perlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al Qur’an itu adalah benar. (Q.s. Fushshilat. 41 : 53)
yakni semua alam yang dalam redaksi Qur'an disebut segenap penjuru berikut
pada diri mereka sendiri sejatinya adalah 'wajah' Tajjali al Haq Kemudian Dia
mempertegas keterangan-Nya dengan merujuk kepada hak Muhammad saw. Sebagaimana
firman-Nya,
Bahwasanya orang-orang yang berjanji
setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (Q.s. al-Fath 48 : 10)
juga
Barang siapa yang mentaati rasul itu
(Muhammad), sesungguhnya ia telah menta'ati Allah (Q.s an-Nisa' 4 : 80).
Dengan firman Qur'ani tersebut, ummat Muhammad saw mendapat petunjuk,
kesejatian permasalahan yang ada, yaitu wujud hakiki tidak terbatas pada Adam
as semata karena ayat Qur'ani tidak menyebut pembatasan kepada Adam as, seorang
Ummat Muhammad saw memahami bahwa yang dimaksud Adam (dalam firman tersebut)
adalah setiap makhluk yang disebut manusia, Ummat Muhammad saw juga memahami
bahwa Syuhud (penyaksian) al Haq, bisa disaksikan dalam setiap wujud
kesempurnaan (Kamaliyaat), sejalan dengan amar perintah ketuhanan, sebagaimana
yang ditegaskan firman Qur'ani
Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
al Qur’an itu adalah benar. (Q.s. Fushshilat 41 : 53).
Demikian pula Muhammad saw dan ummat Islam selalu dalam naungan kebenaran
cahaya Qur'ani
Andai dalam Injil ada ayat-ayat seperti yang terkandung dalam al Qur’an,
niscaya pengikut Isa as akan mengikuti petunjuk tersebut dan mereka tidak
mereduksi kandungan Injil dengan tafsir liar mereka, meskipun demikian hal itu
bukanlah suatu jaminan mereka akan mengikuti petunjuk-Nya. Karena setiap kitab
yang diturunkan Allah, terdapat banyak reaksi, diantara mereka ada yang
mengikuti petunjuk kitab-Nya dan tidak sedikit yang mengingkari petunjuk
kitab-Nya. Seperti yang diwartakan Allah, betapa banyak para alim (ulama)
tekstual yang menafsin firman-firman-Nya secara teks book, sehingga tafsiran
mereka menyesatkan, karena mereka hanya fokus pada makna lahir tanpa menelisik
makna batin daripada firman-firman-Nya, membuat interpretasi mereka benar-benar
liar dan sesat, setidaknya itulah yang terjadi pada pengikut Isa as. Jika para
alim itu mau mengoptimalkan ketajaman mata hati mereka dan menelisik
makna-makna batin firman-firman-Nya, dengan pemakrifahan (pemahaman) yang hakiki, niscaya mereka bisa
menemukan kesejatian makna firman-firman-Nya dan bisa makrifatullah dengan
pemahaman hakiki. Dengan begitu mereka akan senantiasa berada dalam kasih
perlindungan-Nya dan selalu dalam sinaran petunjukNya, terlebih mereka tidak
sesat dan menyesatkan. Firman Qur'ani menandaskan :
Banyak orang yang diberi-Nya
petunjuk, Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik. (Q.s. al-Baqarah 2 : 26)
maksud daripada manusia-manusia fasik dalam firman tersebut, adalah
komunitas yang pemahaman mereka rusak dalam menafsiri Tajalli ketuhanan, sesuai
tafsir diri mereka, yaitu Allah tidak Tajalli pada ciptaan-Nya.
Ketika mereka tidak mampu menyaksikan Tajalli-Nya pada setiap makhluk-Nya,
mereka lalu mengusung j organ pen-Suci-an -transendensi dzat ketuhanan,
dengan dalih penerapan hukum-hukum-Nya, mereka lupa bahwasanya hukum-hukum-Nya
adalah juga wujud kesempuraan-Nya. Dan hukum-hukum-Nya itu juga merupakan wujud
Tajalli-Nya. Mereka lupa bahwa Allah telah mewartakan Diri Nya, bahwa Dia
adalah Ahadiyah al Jam ah (kesatuan dari yang banyak), seperti yang Dia
tegaskan dalam firman-Nya,
Maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wjah Allah. (Qs al-Baqarah 2 : 115)
firman-Nya yang lain,
Dan pada dirimu sendiri maka apakah
kamu tiada memperhatikan? (Q.s. adz-Dzunyat. 51:21)
serta
Dan tidaklah Kami ciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan benar. (Q.s.al-Hijr 15 . 85)
demikian pula
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya sebagai rahmat daripadaNya (Qs. al-Jaatsiyah 45 : 13)
Rasulullah saw bersabda :
Sesungguhnya Allah mendengar dengan
pendengaran hamba-Nya, melihat dengan penglihatan hamba-Nya, berjalan dengan
kaki hamba-Nya.
Dan banyak lagi sabda-sabda rasul saw dengan maksud dan pemaknaan serupa.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Sudah Edit 39. Perihal Turunnya al Haq ke Langit Dunia Setiap Malam, di Sepertiga Akhir Malam
Dan Sabda Rasulullah saw :
Sesungguhnya setiap malam, di
sepertiga akhir malam, Allah turun ke langit dunia, Dia berkata : Adakah yang
bisa Aku bantu? Adakah yang bisa Aku bantu?
Hadits rasulullah saw tersebut, menunjukkan isyarat kehadiran (manifestasi)
al Haq disetiap wujud dari segenap wujud yang ada, meski wujud sesuatu itu
sebesar atom sekalipun, yang dimaksud dengan malam dalam hadits adalah
kegelapan ciptaan-Nya, adapun maksud dari langh dun a adalah wujud lahir
ciptaan-Nya, sedang maksud daripada fepeZ akhir adalah kesejatian-Nya. Sebab
segala sesuatu yang maujud (ada) dan ber-wujud terbagi atas tiga bagian :
1. Lahir, yang dinamakan Malak.
2. Batin, yang dinamakan Malakut.
3. Yang tersucikan dari bentuk Malak dan Malakut, yang dinamakan Jabarut Ilahiyah, sebagaimana dalam hadis
Lsu! saw tersebut, diisyaratkan dengan sebutan sepertiga akhir
Jika anda menafikan pembagian itu, semantis logikanya, anda berkeyakinan
bahwa asal segala sesuatu adalah (( Satu )), jika anda berkeyakinan seperti
itu, maka logika anda akan mengatakan bahwa sesuatu yang lahir adalah bentuk
(gambar) kasat sesuatu, sesuatu yang batin adalah bentuk jiwa-nya, kalau
demikian adanya harus ada hakekat yang menegakkan sesuatu tersebut, maka
timbullah isyarat dengan sepertiga akhir. Maka turunnya al Haq, sejatinya
adalah penampakkan al Haq dengan Tanzih (transendensi) Diri Nya dari Tasybih
(antropomorfisme) secara mutlak pada segenap ciptaan-Nya. Ada isyarat yang
lebih tinggi dari isyarat pertama, ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan
sepertiga malam dalam hadist rasul saw itu sejatinya adalah. Sifat ketuhanan
yang tampak pada hamba-hamba-Nya!
Maka hakekat penampakkan dzat, terjadi di akhir sifat, bukan di permulaan
atau pertengahan-nya, masalah ini masuk pada wilayah Dzauq al Wujdaan
(intuisi), yang tidak bisa diketahui kecuali melalui Kasyf (pengetahuan
intuitif). Penampakkan dzat terjadi pada penghujung (akhir) penampakkan sifat.
Segala sesuatu pasti berakhiran dan akhir segala sesuatu itulah dinamakan hukum
dzat. Dan dzat itu tampak di sepertiga malam. Sedangkan ucapan rasul saw Turun
ke langit dunia maksudnya adalah, turun ke sifat-sifat-Nya yang bisa
difahami makhluk-Nya melalui nama-nama-Nya dalam hidup dan kehidupan di dunia
ini. Karena bagi al Haq sifat-sifat agung dan tinggi dan Dia Maha Tinggi, al
Haq adalah wujud sesembahan yang wajib disembah dalam kehidupan dunia yang
renda dan hina, dengan ritus ibadah dunia inilah hamba-Nya akan memakrifahi
ke-Maha Tinggi-an Nya. Asma-asma Allah sejatinya adalah wujud langit dunia-Nya,
yang dengan itu sendi-sendi peribadatan (ubudiyah) para hamba-Nya bisa
ditegakkan. Esensi pelajaran yang bisa diambil dari sabda rasul saw tersebut
adalah, bahwasanya al Haq Subhaanahu wa Ta'alah, ber-tajalli pada
hamba-hamba-Nya. dengan sifat-sifat-Nya, yang dengan sifat-sifat itu mereka
bisa memakrifahi (memahami)-Nya, dipenghunjung (akhir) penampakkan sifat-sifat
tersebut, itu berarti jika seorang tidak mampu memahami sifat-sifat
kesempurnaan-Nya secara sempurna, ia tidak akan bisa memakrifahi kesejatian
dzat-Nya, capaian spritualnya hanya sebatas maqom sifat, dan belum sampai ke
maqom dzat! Jika makrifah seorang hamba akan sifat-sifat-Nya sempurna, ia akan
bersama dzat-Nya dan bukan pada sifat-sifatNya. Pahami betul masalah ini!
Pelajaran lain yang bisa kita gali dari hadits rasul saw tersebut adalah :
isyarat Sirr (rahasia batin) yang lahir dari kesempurnaan-Nya, yang sedemikian
itu jika seorang hamba bisa memahami bahwa hakekat malam adalah dzat ketuhanan.
Sepertiga akhir, berdimensikan kesempurnaan makrifah (pemahaman) tentang sifat
Jaiz atas dzat-Nya. Karena al Haq memiliki dua makrifah.
1. Makrifah yang boleh dilihat kesempurnaan-Nya.
2. Makrifah yang tidak boleh dilihat kesempurnaan-Nya.
Dalam hemat kami (al Jilliy) kesempurnaan makrifah tentang sifat Jaiz atas
dzat-Nya itulah sejatinya yang dimaksud sepertiga akhir. Karena bagi
kekasih-Nya (wali Allah) ada tiga makrifah. Pertama : Barang siapa yang
bisa memakrifahi dirinya, ia akan bisa memahami Tuhan-nya. Kedua :
Makrifah ketuhanan, yaitu pemahaman tentang keindahan dan kesempurnaan al Haq
melalui sifat-sifat-Nya. Makrifah ini hanya bisa dilakukan setelah memakrifahi
Rabb yang terkait dengan makrifah diri. Ketiga : Dzauq Ilahiyah (intuisi
ketuhanan), ketika seorang pada capaian rasa ketuhanan ini, Dia bertajalli
dalam wujud hamba tersebut, turun pula hak-Nya pada hamba itu, dan di-kuasa-kan
kepadanya kesempurnaan dan kekuasaan-Nya. Itu berarti Atsaar
''pengaruh-pengaruh) ketuhanan tampak dalam jasad ham^ Aya, sehingga
tangan kekuasaan-Nya, melahirkan kediqdayaan bagi si hamba, lisan si hamba jadi
ampuh, kakinya mampu bergerak melintasi dimensi ruang dan waktu, pandangan
matanya mampu menembus ruang dan waktu, telinganya bisa menangkap semua
pembicaraan (ujaran-ujaran) Maujudat (segala yang wujud). '
Terkait dengan ini rasulullah menandaskan,
Sehingga ia bisu melihat dengan
penglihatan Allah, dan mendengar dengan pendengaran Allah.
Belum Edit
Dengan begitu al Haq tampak pada lahir si hamba sedang hamba tersebut pada
batinNya. Walhasil, inti pemahaman hadist ini, yang dimaksud dengan turun-nya
Rabb adalah : Penampakkan Atsaar (bekas-bekas)-Nya dan sifat-sifat-Nya, yang
merupakan bias (pengaruh) ketuhanan-Nya. Sedang maksud daripada langit dunia
adalah, bentuk kasat tubuh sang wali, adapun maksud sepertiga akhir ialah,
makrifah dzuq Ilahi (intuisi ketuhanan), yang terdapat pada wujud seorang
hamba, dimana semua angan dan harapannya terkabulkan, ucapannya ampuh. Demikian
halnya dengan maksud setiap malam. Sejatinya adalah setiap penampakkan secara
dzat pada diri setiap wali. Pahami betul masalah ini.! Jika anda ingin
mengetahui makna tersirat dan sabda rasul diatas, jangan sekedar meSmmya secara
tekstual, namun telisiklah makna batinnya S ungkapan rasulullah saw disampmg
bermakna lahir juga mengandung rahasia-rahasia, dan makna batin yang dalam.
Setiap bSemUiki makna lahir, setiap lahir memiliki makna batin hmggr
ujuh batin, seperti yang ditegaskan rasulullah saw. SesZuhnya dalam al Qur’an
terkandung tujuh makna batin. Ucapan rl ulfaw adalah cabang dan Kalam
Allah. Karena beliau Tiadalah X diucapkannya itu "menurut kemauanhawa
nafsunya Ucapannya \tu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. (C^an
Naim 52-3-4) Rasul Muhammad saw, adalah nsan kamil Sempurna) dan termulia
teragung teragung Dan Allah mengatakan „ sebenar-benarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Sudah Edit 40 Fatihah (pembukaan) Kitab
Ketahuilah bahwah Fatihah (pembukaan) Kitab al Qur'an itu berupa tujuh
pujian, yang sejatinya adalah tujuh sifat diri, yaitu : hidup, ilmu,
berkemauan, kuasa, mendengar, melihat, berbicara. Rasul Muhammad saw, bersabda
: ((Sesungguhnya Allah telah membagi fatihah antara hamba-Nya dengan Diri Nya.
)) Sebagai suatu isyarat bahwasanya wujud itu terbagi antara makhluk dengan al
Haq. Manusia yang merupakan ciptaan-Nya, laksana wujud lahir al Haq, sedang
batin-nya adalah al Haq. Wujud terbagi atas lahir dan batin. Dengan demikian
sifat-sifat Diri al Haq, sejatinya adalah juga sifat-sifat diri Muhammad saw,
jika al Haq bersifat Hidup, berpengetahuan, Muhammad juga bersifat hidup,
berpengetahuan, demikian pula dengan sifat-sifat diri " lainnya.
Demikianlah esensi pembagian Fatihah antara al Haq dengan hamba-Nya. Fatihah
menunjukkan isyarat struktur kemanusiaan, yang dibuka Allah gembok-gembok
penutup wujudnya, yang dibagi antara Diri Nya dan hamba-Nya, hal itu merupakan
metafor bahwa manusia meski merupakan makhluk, namun hakekatnya adalah al Haq,
jika manusia tersebut menghiasi dirinya dengan sifat-sifat Uluhiyah dan
mentradisikan laku Ubudiyah (peribadatan), dengan demikian berarti ia juga
menghiasi dirinya dengan sifat-sifat Rububiyah (ketuhanan) karena Allah adalah
hakekat-nya. Itulah sejatinya yang dimaksud dengan maqom Muhammad, ia tidak
dinamai selain itu dan ia berada diantara dua kerajaan (malak dan malakut), ia
adalah al Haq dan ia adalah makhluk. Pahami betul masalah ini. Jangan sampai
anda terjebak pada makna simbolistik! Tela'ahlah surat al Faatihah. Anda akan
mengetahui bahwa Allah membagi dalam kandungan ayat itu, antara pujian Diri Nya
dengan doa hamba-Nya, sedang diri hambaNya terbagi antara kesempurnaan hikmah
ketuhanan, juga dimensi gaib dan wujud, dengan dimensi kekurangan-kekurangan
ciptaan, pun dimensi gaib dan Syuhud (penyaksian.)
Fatihah (pembukaan) kitab al Qur’an, sejatinya adalah tujuh pujian, surat
ini mengandung banyak Sirr (rahasia batin), dan rahasia ketuhanan yang maha
luas, tidak cukup dituangkan dalam rentahan kertas, dan tidak akan habis
direntah dengan kata-kata. Dalam kajian ini kita hanya akan membincang
pemaknaan lahirnya, dengan interpretasi Ta'bir, sebagai langkah Ihtiar (usaha)
untuk Tabarrukan (memperoleh berkah) dari Kalamullah (Kalam Allah). Allah
berfirman :
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Pemurah.
Kita telah membahas dengan detil tafsir Basmalah ini dalam kitab al Kahfi
wa al Roqiim fi Syarkhi Bismillahirrahmanirrahim, jika anda ingin penafsiran
yang detil silahkan baca kitab tersebut! Dalam kajian ini, kita hanya fokus
kepada Madzluliyah (makna tersirat) dari surat pembukaan ini. Para pakar bahasa
Arab mengatakan : huruf Ba' dalam Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim)
adalah untuk /sti'anah (minta pertolongan), itu berarti Bismillah (dengan
menyebut nama Allah) aku mengerjakan ini dan itu, Jenis pekerjaannya bersifat
umum, mencakup semua pekerjaan dan aktifitas hidup. Hakekatnya ketika anda
menyebut nama Allah dalam setiap aktifitas yang anda lakukan, berarti anda
laksana meletakkan 'cermin' yang dengan itu anda bisa melihat 'wajah' diri anda
dan semua apa yang anda kerjakan. Cermin itu adalah hati, dengan hati anda
itulah anda bisa makrifah (memahami) Allah. Ketika anda bisa makrifatullah,
pancaran cahaya-Nya, akan selalu memantul ke kalbu anda, dan anda tidak akan
bisa melihat wajah-Nya yang hakiki terlebih wajah kehakikian diri anda kecuali
dengan 'cermin' hati anda yang jernih dan bersih. Pahami dengan benar isyarat
yang kami maksudkan ini, karena 'cermin' anda akan memotret anda dalam
mengarungi bahtera hakekat.
Dengan menyebut nama Allah diwaktu
berlayar dan berlabuhnya. (Q.s. Huud 11 : 41)
bukan dengan menyebut nama selain Allah.
Ketika para penyelam hati itu menaiki kapal /sim (nama) Allah di tengah
samuderah Tauhid (peng-Esa-an), akan berhembus dengan kencang angin Rahmaniyah
(Kasih Ke-Pumurah-an) Allah, di udara
Sesungguhnya aku mendapati Diri ar-Rahman (Dzat Yang Maha Pemurah)
disebelah kanan (hati), yakni jiwa akan Wushul (sambung) dengan petunjuk rahmat
isim (nama), ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) ke tepian dzat-Nya. Sang pengembara
akan dihibur dengan asma-asma-Nya dan sifat-sifat-Nya, maka terbukalah
pintu-pintu (rahasia) wujud, dan sang kembara akan memakrifahi inti dzat Yang
disembah-Nya dengan pemahaman yang hakiki. Allah berfirman : Segala puji
bagi Allah. Al Haq, memuji diri-Nya. Dia berhak atas segala pujian.
Pujian-Nya atas diri-Nya adalah merupakan inti kehadiran dan Tajalli-Nya, atas
segala makhluk ciptaan-Nya. Huruf A\ii dan Zaam dalam Hamdalah (al
Hamdulillah), adalah menunjukkan universalitas, bermakna segenap pujian
untuk Allah, itulah maksud utama dari segenap sifat-sifat terpuji yang
berdimensikan al Haq dan makhluk-Nya. Maka pujian al Haq atas diri-Nya,
ter-tajalli-kan pada dimensi ketuhanan dan ciptaan, demikian pula dengan
wujud-Nya berdimensi sama.
Para alim ahlu Sunnah, berpendapat huruf Zaam dalam al Hamdulillah,
adalah bermakna universal. Sedang ulama Mu'tazilah juga sebagian ulama ahlu
Sunnah berpendapat, huruf Zaam dalam al Hamdulillah, adalah bermakna
konsesus (kepatutan), itu berarti pujian kepada Allah merupakan sebuah
konsesus, yang patut dilakukan al Haq, lebih-lebih wajib dilakukan para
hamba-Nya, karena Dia berhak atas segenap pujian. Madzluliyah (makna tersirat)
dari pujian al Haq atas diri-Nya adalah menunjukkan akan keMaha Tinggian
eksistensi dan kedudukan-Nya. Maqom (al-Hamd), merupakan capaian spiritual
tertinggi, karenanya panji Muhammad saw dinamakan panji (al-Hamd). Karena
Muhammad saw memuji dzat-Nya, yang Dia berhak atas-nya, karena ke-Maha
Tinggi-an eksistensi-Nya, yang ter-tajalli-kan pada dimensi ketuhanan dan
ciptaan, demikian pula dengan wujud-Nya berdimensi sama. Pujian itu dikhususkan
hanya untuk nama Allah, karena nama Allah mencakup semua dimensi ketuhanan dan
terkandung makna-makna wujud dengan segala dimensi dan tingkatannya. Nama Allah
adalah pemberi hakekat segala wujud hak-Nya, nama-nama-Nya yang lain tidak
ada yang lebih sempurna dan utuh dibandingkan nama Allah karena Allah
adalah nama dzat-Nya, sedang nama-nama-Nya yang lain bukan nama dzat-Nya.
Kemudian sifat nama Allah itu membiaskan (melahirkan) hakekat pemahaman
manusia, yang dengan itu manusia bisa memakrifahi bahwasanya Dia adalah
Tuhan semesta alam yaitu Dia Pencipta, Pengatur, semesta alam, baik yang
tertampakkan maupun yang tidak tertampakkan, tidak ada penguasa di alam
ketuhanan dan alam makhluk selain Allah, Dia adalah dzat Yang Dhahir Gelas
kekuasaan-Nya) dan dzat Yang Batin (tak tampak dzat-Nya oleh mata). Itulah
sejatinya yang dimaksud dengan ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) dan ar-Rahiim
(Yang Maha Penyayang).
Ketahuilah bahwa nama ar-Rahim lebih khusus, ketimbang nama ar-Rahman,
cakupan makna ar-Rahman lebih luas artian-nya. Limpahan rahmat (karunia) Allah
meliputi segala sesuatu, itulah sejatinya inti Faydh (penjelmaan) nama
ar-Rahman pada segenap makhluk-Nya. Adapun rahmat (karunia) yang tertulis bagi
para Muttaqin (insan-insan yang mentradisikan ketaqwaan) pemberi shadaqah,
pengeluar zakat, adalah merupakan penjelmaan nama ar-Rahim-Nya. Itu artinya
karunia yang lahir dari nama ar-Rahman-Nya, meliputi bencana juga, semisal
pemukulan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya—karena bengalnya si anak,
sebagai wujud kasih sayang orang tua kepada sang anak, agar si anak tidak nakal
lagi, atau orang sakit yang harus minum obat yang rasanya pahit, demi kesembuhannya
dari sakit, meski hal tersebut berbentuk rahmat, namun terkandung di dalamnya
Niqmah (rasa tidak enak). Nama ar-Rahman mencakup segala sesuatu, apapun
bentuknya, termasuk di dalamnya Ni'mah (kenikmatan) dan Niqmah (bencana),
berbeda dengan ar-Rahim,-cakupannya hanya meliputi ni'mah (kenikmatan) tidak
meliputi Niqmah (bencana), karenanya kemunculan nama ar Rahim itu berada di
akhirat, karena rahmat (karunia) kenikmatan surga tidak diliputi Niqmah
(bencana), itulah esensi makna ar-Rahim-Nya. Tidakkah anda ingat, bahwasanya
rasulullah Muhammad saw, beliau sangat tidak suka jika ada ummatnya dimasukkan
neraka. Dalam sebuah hadits beliau bersabda :
Syafa'at (pertolongan) ummatku itu
terdapat pada tiga hal. Dalam ayat-ayat yang ada pada kitab Allah, atau
penjilatan madu, serta penghangatan api. Aku sangat tidak menyukai jika ada
ummatku dibakar dengan api neraka.
Allah mengapresiasikan nama Muhammad saw, dalam nama ar-Rahim-Nya seperti
yang termaktub dalam firman-Nya :
Berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanaan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin. (Q.s. at-Taubah 9 : 128).
Ke-rahim-an Muhammad saw tidak dikeruhkan oleh noda-noda Niqmah (bencana),
rahmat (karunia)-Nya meliputi semesta alam. Kemudian Allah
mengapresiasikan hakekat
Muhammad saw yang terlembagakan dalam inti dzat tiap individu dari setiap
makhluk yang bernama manusia, berikut mentradisikan sifat-sifat-nya, yang juga
merupakan sifat-sifat al Haq. Maka berfirmanlah Dia, Yang mengusai hari
pembalasan, yaitu Diraja, yang Maha Berkuasa dan Maha Perkasa, Pemilik
segala yang wujud. Hari dalam ayat ini merupakan tajalli ketuhanan pada
ketunggalan hari-hari Allah. Pembalasan sejatinya adalah penistaan, maka
hakekat hari pembalasan adalah ibarat tajalli ketuhanan dalam wajah balasan-Nya
terhadap segala yang wujud, Dia berhak memperlakukan segala yang wujud
sekehendak-Nya,' karena segala yang wujud adalah milik-Nya. Sedangkan
Madluliyah (makna tersirat dari ayat Yang mengusai hari pembalasan, sejatinya
adalah pemilik alam batin, yang diekspresikan dengan Qiyamah (kebangkitan) atau
as-Saa'ah pun al-Jazaa'. Hari pembalasan juga merupakan bentuk hakiki
'gambaran' kasat mata, yang bisa dijangkau persepsi inderawi, juga merupakan sentra
kerohanian segala yang wujud dan maujud (ada). Pahami dengan benar masalah
ini.!
Kemudian Allah beraudiensi dengan Diri-Nya dengan berfirman,
Hanya Engkaulah yang kami sembah.
Esensinya tidak ada wujud sesembahan yang lain, selain Engkau.! Makna tersirat
dari redaksi (bahasa) Qur'ani itu, menggambarkan disamping sebagai Pembicara,
al Haq juga memposisikan diri-Nya sebagai mitra bicara. Padahal ungkapan Hanya
Engkaulah yang kami sembah sejatinya Sang Pembicara adalah al Haq, Dia
berbicara kepada Diri Nya. Dia peyembah Diri Nya dengan (media) penampakkan
para makhluk-Nya. Dia-lah sejatinya pelaku ibadat, dengan jalan penampakkan
pada diri para makhluk-Nya, Dia yang menggerakkan dan menghentikan mereka. Maka
ritus beribadah para makhluk-Nya, sejatinya adalah ritus Ibadah al Haq kepada
Diri-Nya sendiri.! Kerena keber-Ada-an al Haq pada diri para hamba-Nya adalah
dengan wajah pemberian hak nama-nama dan sifat-sifat Nya, yang
termanifestasikan pada diri para hamba-Nya. Dengan demikian ritus ibadah
hamba-Nya, hakikinya adalah ritus ibadah al Haq sendiri, sedang Dhahimya berupa
ritus ibadah para hamba-Nya.
Kemudian Dia berbicara dengan hak-Nya, melalui lisan ciptaan-Nya.
Hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan,
ayat ini berdimensi ketuhanan dan kemakhlukan (al Haq dan makhluk), adalah
merupakan hak preogratif al Haq adakah Dia beraudiensi Diri dengan Kalam yang
diperdengarkan dengan pendengaran makhluk, atau beraudiensi Diri dengan Kalam
makhluk-Nya, yang diperdengarkan dengan pendengaran al Haq, Dia Maha
Berkehendak atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Meski pada hakekatnya Dia
beribadah kepada Diri Nya sendiri melalui ritus ibadah para hamba-Nya. namun
Dia mengingatkan kita akan kesaksian yang kita persaksikan dalam ibadah kita,
karenanya al Haq berfirman :
Hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan,
agar kita bisa mengarifi diri bahwasanya hakekat usaha, kekuatan dan kodrat
kita, dalam beribadah dan berubudiyah sejatinya adalah usaha, kekuatan dan
kodrat-Nya. Semuanya berpulang kepada al Haq. Catat benar masalah ini dalam
diri kita, jangan sampai lupa, karena dengan mengarifi ritus ibadah seperti
inilah kita akan sampai pada makrifah ke-Tunggal-an Nya. Berikut akan
menghantar kita pada penyaksian tajalli-Nya dengan penglihatan hakiki. Untuk
menguraikan dua hal ini, tidak cukup untuk memaparkannya dan memerlukan
perbincangan tak bertepi, kita cukupkan peringkasannya sampai disini.!
Kemudian al Haq berbicara dengan lisan makhluk-Nya, Tunjukilah kami
jalan yang lurus. Paruh pertama surat al Fatihah dari Basmalah (Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) hingga (Yang
menguasai hari pembalasan), adalah merupakan pewartaan pembicaraan al Haq
tentang Diri Nya, melalui lisan Diri Nya. Sedangkan paruh kedua, merupakan pewartaan
pembicaraan al Haq tentang Diri Nya melalui (media) lisan makhluk-Nya. Jalan
yang lurus sejatinya adalah 'jalan' penyaksian Tunggal, atas penampakkan
Diri al Haq, untuk diriNya sendiri, hal itu pararel dengan firman-Nya
Jalan Allah. (Q.s. asy Syuura 42 : 53)
dengan demikian penyaksian al Haq, adalah dengan jalan-Nya, sedang jalan
itu sendiri sejatinya adalah Ma'unah (Kasih Pertolongan)-Nya. Tajalli al Haq
pada segenap ciptaan-Nya, tertampakkan dengan banyak 'jalan' serta terwacanakan
dalam banyak tingkatan, karenanya ungkapan Jalan Allah juga
berdimensikan ragam jalan, hal itu tercerminkan dalam firman-Nya,
Yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.
Insan yang telah sampai pada fase spiritual seperti ini, akan menyaksikan
wujud al Haq, Dia juga menyaksian insan tersebut. Dia lalu ber-tajalli dalam
bentuk nikmat Qurb Ilahi (Kedekatan Ilahi), nikmat itu membuat insan (hamba)
itu terjauhkan
dan jalan mereka yang dimurkai
yaitu orang-orang yang 'terjauhkan', dari Diri Nya. Pada capaian ini Allah
bertajalli kepada mereka dengan inisial nama-Nya, yang disebut al Muntaqim
(Yang Menuntut Bela).
Hamba itu juga terpelihara dari jalan mereka yang sesat, yaitu
orang-orang yang tersesatkan dalam memakrifahi (salah menafsiri) petunjuk al
Haq sehingga tidak bisa menemukan kesejatian al Haq, orang-orang—yang salah
tafsir, ini tidaklah dimurkai jalan mereka! al Haq bahkan meridhai usaha
mereka, serta mendudukkan mereka sebatas disisi-Nya, bukan pada Diri Nya.
Mereka-mereka itulah para hamba Allah yang Dia bertanya dan berujar kepada
mereka : Wahai para hamba Ku, berharaplah kepada Ku.! Mereka menjawab ; wahai
Tuhan kami, kami hanya mengharapkan ridha Mu. Allah berkata kepada mereka :
Ridha Ku untuk kalian, Aku meridhai kalian, Aku akan dudukkan kalian disisi Ku.
Orang-orang itu ritus ubudiyah mereka hanya berharap ridha-Nya, mereka tidak
berusaha memakrifahi-Nya, sehingga mereka tidak mampu merengkuhi maqom
makrifah. Andai mereka telah Makrifatullah (memahami kesejatian Allah), niscaya
mereka tidak berharap dalam ritus ibadah mereka kecuali Diri Nya. Mereka memang
diberi karunia nikmat dalam taman-taman surga-Nya, namun mereka tidak bisa
melihat wajah-Nya disurga-Nya. Gapaian nikmat mereka masih bertaraf ar-Rahman,
belum bertaraf ar-Rahim, meski hidup dalam kenikmatan surgawi, namun mereka
tidak bisa melihat wajah-Nya. Mereka itulah sejatinya insan-insan yang
tersesatkan dari ar-Rahman, akan tetapi mereka dikaruniai nikmat dengan
kenikmatan-kenikmataan surgawi. Pahami betul masalah ini!
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Sudah Edit 41. Tentang Bukit (Thur) Kitab Yang Ditulis Pada Lembaran Yang Terbuka
Baitul Ma'mur, Atap Yang Ditinggikan, Laut Yang Di Dalam Tanahnya Ada Api
etahuilah -semoga Allah senantiasa mengkaruniakan kepada kita kasih
petunjuk dan pertolongan-Nya. Bab ini merupakan sendi utama (soko guru) bab-bab
yang ada dalam karya ini.! Maka handaknya anda pertajam perenungan anda, serta
hendaknya anda lebih jeli mencermati metafor-metafornya, jangan berhenti pada
pemaknaan tekstual-nya, anda harus menelisik dan menggali makna tersiratnya,
waspadai kehalusan ibarat dan keabsurdan redaksi-redaksinya. Ketahuilah
bahwasanya, makna Bukit (Thur) Kitab Yang Tertulis dan seterusnya.... Kesemuanya
bermaknakan lahir dan berdimensikan syariat, sedang kajian kita lebih
terfokuskan pada pemaknaan batin yang berlandaskan asas hakiki (pemahaman
hakekat). Anda harus menjernihkan diri dengan mengosongkan makna-makna lahir
(tinjauan syariat), anda harus mengoptimalkan ketajaman mata hati anda, serta
menfungsikan batin anda, dengan mengibaratkan semuanya Bukit (Thur) Kitab
Yang Tertulis dan seterusnya.... ada pada diri anda.! Dan anda dinamai
dengan nama-nama itu, serta anda disifati dengan sifat-sifat tersebut.
Ketahuilah, sejatinya maksud daripada Bukit (Thur) adalah jiwa (diri) anda,
Allah berfirman,
Dan Kami telah memanggilnya dari
sebelah kanan bukit Thur. (Q.s. Maryam 19 : 52)
yaitu belahan jiwa (diri) anda, semantis logikanya arah yang berlawanan
dengan sebelah kanan (sebelah kiri) adalah jabal (gunung), dimana Musa as
tampil diri, sebagaimana insan-insan terkasih Allah bertampak diri di gua-gua,
hutan-hutan belantara dan tempat-tempat pemunculan diri lainnya. Tampilan yang
terjadi pada Musa as, adalah bermula dari dirinya dan bukan dari gunung. Gunung
tidak lain hanyalah sebuah tempat beribadahnya. Gunung ibarat kefana'an
(kesirnaan diri) Musa bersama al Haq, pingsannya ibarat peleburan dan
pelenyapannya dalam samudera hakekat, ke-tiada-an Musa as, seperti ketidakadaan
dirinya sebelum diciptakan, keber-Ada-an al Haq tetap abadi seperti sedia kala.
Dalam ekstase ritual (fana') seperti itu, maka bukan Musa as melihat Rabb-nya,
akan tetapi Rabb melihat Rabb, Musa as hanya merupakan metafor, karenanya al
Haq mengisyaratkan dalam firman-Nya,
Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat Ku. (Q.s. al-Araaf 7 : 143)
makna tersiratnya : wahai Musa selama kamu maujud dengan sifat-sifat
kemanusiaan dirimu -dan tidak mampu memfana'kan dirimu dengan Diri Ku, selama
itu pula Aku gaib- tidak tertampakkan, darimu, jika kau mendapati Diri Ku, maka
kau akan lenyap, fana' bersama Ku, sesuatu yang Huduts (baru) tidak mungkin
akan eksis jika zat yang Qodim (eternitas) muncul.
Al Juned menandaskan : Sesuatu yang Huduts (ada karena diciptakan), jika
dipertemukan dengan Qoodim (tidak didahuli oleh sesuatu), akan lenyap tak
berbekas. Ali Ibnu Abi Thalib mengatakan : Jika aku gaib (lenyap) Dia tampak,
jika Dia tampak aku lenyap (gaib). Ketika Musa as bertanya kepada Rabb-nya
tentang cara untuk bisa melihat-Nya, al Haq berkata kepada Musa as, : Lenyapkan
semua nafsu-nafsu dari dirimu, buang sauh-sauh kemanusiaanmu, baru setelah itu
menghadaplah kepada Ku, dalam munajatnya Musa as berkata : Wahai Rabbku, bagaimana
caranya agar aku bisa Wushul (sambung) kepada Mu,? Rabb-nya menjawab : Pisahkan
dirimu dari segala hal selain Diri Ku.! Dengan demikian kini anda telah tahu
bahwasanya Thur itu sejatinya adalah batin diri anda, yang kiasannya
dita'birkan dengan hakekat ketuhanan dalam diri manusia. Terkait dengan ini
telisiklah makna hadits yang disabdakan rasulullah saw,
Sesungguhnya aku mendapati Diri
ar-Rahmaan disebelah kanan,
seperti yang ditegaskan firman Qur’ani bukit sebelah kanan adalah Thur yang
sejatinya adalah jiwa (diri), sedang yang bukan sebelah kanan adalah Jabal
(gunung). Dalam
sabdanya rasul saw cukup menyebutnya dengan redaksi sebelah kanan. Rasul
Muhammad saw mewartakan dengan penuh serius bahwa beliau menemukan Diri
ar-Rahman, dalam diri beliau, Diri ar-Rahman tampak (muncul) bersama nama-nama
dan sifat-sifatNya. Allah berfirman :
Dan demi subuh apabila fajarnya
mulai menyingsing. (Q.s. at Takwiir 81 : 81)
yakni mulai tertampakkan.
Ketahuilah bahwa maksud daripada Kitab Yang Ditulis sejatinya
adalah, wujud al Mutlaq dengan segala wacana dan dimensinya, wujud itu juga
berdimensikan ketuhanan dan kemanusiaan (al Haq dan makhluk-Nya), wujud itu
tertulis dan maujud (ada) serta masyhud (dapat disaksikan), di alam Malakut,
tepatnya di Lauhul Mahfudz, pewacanaannya ada di alam Malak tepatnya pada
perilaku dan garis nasib manusia. Jiwa manusia itu diibaratkan Lembaran
Terbuka sebagai inti metafornya, ruh manusia itu ibarat lembaran, yang
merupakan wujud fitri kemanusiaan seorang manusia, sedang wujud segala wujud
diibaratkan sebagai sesuatu yang terbuka. Dengan demikian wujud manusia itu
merupakan kitab terbuka, dan ketika kitab telah dibuka, tiap-tiap orang bisa
mempelajari dan memahami isi kitabnya. Lauhul Mahfudz merupakan kitab terbuka
di alam Malakut, eksistensi manusia adalah lembaran terbuka di alam dunia ini,
ruh manusia sebagai elan vital 'radar' penangkapan segala yang wujud, untuk
cerminan diri, guna membumikan catatan-catatan yang tertulis di Lauhul Mahfudz.
Lembaran-lembaran terbuka yang ada di Lauhul Mahfudz itu sama sekali tidak
berubah ketika dimanusiakan di bumi.
Baitul Ma'mur adalah nama sebuah tempat yang dikhususkan Allah untuk Diri
Nya, tempat itu asalnya di bumi, lalu diangkat Allah ke langit, tempat itu
lantas dimakmurkan (diramaikan) para malaikat di alam Malakut-Nya,
pewacanaannya di alam dunia terdapat pada hati manusia, hati manusia itulah
sejatinya tempat khusus Allah. Kalbu manusia tidak pernah sepi dari unsur-unsur
yang meramaikan, hati manusia dimarakkan kadang oleh ruh suci ketuhanan, juga
ruh para malaikat, lebih-lebih ruh setan, atau nafsu-nafsu yang banyak
mendominasi kemarakan hati manusia, nafsu itulah sejatinya ruh hewani
(kebinatangan), Allah berfirman :
Yang memakmurkan masjid-masjid
(rumah-rumah) Allah hanyalah insan-insan beriman kepada Allah. (Q.s at-Taubah 9:18)
yakni yang menghuninya, karena hakekat pe-makmur-an adalah pen-diam-an. Atap
Yang Ditinggikan maksudnya adalah 'tempat' ketuhanan di alam ketinggian,
yang terdapat di hati, karena makna hakiki Baitul Ma'mur adalah Hati, dan
hakekat ketuhanan sebagai atapnya, seperti halnya rumah tidak akan bisa tegak
jika tidak ber-atap, demikian pula dengan hati manusia tidak akan eksis (tegak)
jika tidak bersendikan hakekat ketuhanan. Demikian halnya dengan luasnya hati
melebihi luas semesta alam. Peluas hati adalah Allah, luas bersifat universal,
sedang yang diluaskan bersifat parsial. Hati yang luas (hati universal) mampu
menampung hikmah-hikmah ketuhanan, sifat-sifat dan nama-nama Allah, hati yang
parsial (tidak diluaskan) tidak mampu menyangganya.
Hikmah ketuhanan, sifat-sifat dan asma Allah, mampu meluaskan segala
sesuatu, sedang hati parsial tidak mampu meluaskan hal-hal tersebut.
Ke-qudus-an dan kesempurnaan al Haq bersifat universal, dan tidak bersifat
parsial. Pahami betul kesejatian Allah dari dimensi inti wujud. Pahami pula
eksistensi Allah dalam dimensi wujud hukumNya, pahami dengan jeli siapa
sejatinya Dia dan siapa sejatinya anda, bagaimana anda bisa
Wishal (sampai) kepada-Nya, dan Dia bisa sambung dengan anda, pun ketika anda
beralih kepada-Nya dan Dia tersucikan dari kekurangan dan kelamahan anda.
Ketahui pula nisbah (perumpamaan) yang terjadi antara diri anda dengan Diri
Nya, adakah sudah valid (shahih) dan mampukah mengantar anda kepada al Wujdan,
telisik pula sebab keterputusan antara diri anda dengan Diri Nya, apa gerangan
yang membuat anda tidak bisa fana' (ekstase) bersama-Nya. Tafakkuri
isyarat-isyarat dan metafor-metafor rahasia hakekat ketuhanan-Nya yang terbenam
di samudera misteri dan samudera misteri itu bukan ditempat lain, tapi pada
diri anda pribadi.!
Adapun Laut Yang Di Dalam Tanahnya Ada Api sejatinya adalah ilmu
yang terprevisi (terjaga), dan Sirr (rahasia batin) yang tersimpan rapat,
terhampar diantara Kaaf dan Nuun, itulah artian batinnya, sedang
arti lahirnya adalah lautan dibawah Arsy, saban harinya Jibril muncul dari
lautan tersebut, ketika keluar sayapnya mengepak-kepak yang merintikkan 70. 000
rintik air, Allah menciptakan malaikat dari tiap tetesan air tersebut untuk
membawa ilmu ketuhanan, para malaikat itulah yang setiap harinya memasuki
Baitul Ma'mur, dari satu pintu dan keluar melalui pintu lain serta tidak
kembali kepadanya hingga datang hari Ojamat. Pahami dengan betul pemaknaan lahir
ini! Pahahami pula apa yang telah terkiaskan, kenapa harus memakai Samudera sebagai
metafor, adakah itu karena keterbatasan akal manusia untuk menyibaknya, ataukah
cerminan gairah ketuhanan yang tak bertepi. Terkait dengan mi rasul saw
mewartakan keharusan dirinya untuk menyimpannya rapat-rapat sebagaimana sabda
beliau :
Aku diberi tiga ilmu, ilmu yang
wajib aku sampaikan, ilmu yang terserah aku menyampaikan atau tidaknya, ilmu
yang wajib aku simpan.
Apa yang kami paparkan dalam lembaran terbuka ini, bukanlah untuk
mengangkat api yang ada didasar samudera, kami hanya menyuguhkan
isyarat-isyarat dan rumus-rumus untuk dijadikan 'gizi' tambahan, guna menela'ah
kitab kehidupan, lembaran 'manusia' yang terbuka. Manusia adalah kitab
kehidupan, dan merupakan gerbang utama menuju kitab ketuhanan. Berbahagialah
mereka-mereka yang telah mampu membaca kitab kemanusiaan dirinya, sebab kitab
diri adalah miniatur kitab al Haq, hanya mereka-mereka yang bisa memahami
'kitab' dirinyalah yang mampu memakrifahi hakekat ketuhanan al Haq.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Sudah Edit 42. Bantal yang Tinggi
Rafraf al A'lah (Bantal yang Tinggi) : Ibarat martabat ketuhanan yang
terlanskapkan pada Maujudaat (segala wujud). Serta merupakan masalah-masalah
dzatiyah (berdimensi dzat) yang dikehendaki Ilahiyah (ketuhanan), dan ia
(martabat ketuhanan) bukan satu macam, namun beraneka ragam. Per-macam-nya
diberi nama al Rafraf al A'lah (bantal yang tinggi), serta merupakan ibarat
entitas (Jauhar) ketuhanan. Meski beragam tingkatan jika rafraf-Nya
berdimensikan dzat, maka hal itu juga menunjukan inti (dzat) martabat, tidak
ada keutamaan diantara satu dengan lainnya, karena peng-utama-an hanya terjadi
pada dimensi sifat-sifat dan asma-asma-Nya. Masalah ini adalah masalah dzat
ketuhanan al Haq, tidak ada pengutamaan antara Keperkasaan dan Kemuliaan,
karena rafraf merupakan metafor wajah ketuhanan. Anda tidak boleh bilang,
Kemuliaan al Haq lebih utama ketimbang Keperkasaan al Haq, demikian pula dengan
ke-Agung-an dzat-Nya yang lain. Karena semua itu merupakan wajah dzat dan
kedudukan al Haq. Perlu kami tandaskan, kedudukan ketuhanan itu terkait dengan
ketentuan (hinggaan) dzat Qadha' (ketentuan) dzat itu sendiri terdiri atas dua
macam Qadha' mutlak dan Oadha' terikat. Qadha' mutlak merupakan ketentuan
mutlak, yang hanya dimiliki al Haq secara Dzati (Dirinya sendiri), tanpa ada
I'tibar (perumpamaan) Uluhiyah (ketuhanan), Rahmaniyah (Kepemurahan), Rububiyah
(Ketuhanan), dan permisalan-permisalan (idiom-idiom) lainnya. Semua Qadha'
adalah merupakan ketentuan mutlak-Nya, hak preogratif al Haq itu terkait dengan
ihwal kesempurnaan dan keperkasaan, hal itu murni terkait dengan dzat Diri Nya.
Perlu kami jelaskan Qadha' (ketentuan) mutlak merupakan kehendak Diri al
Haq dan tidak terkait dengan suatu apapun selain Diri Nya, sedang Qadha'
terbatas adalah juga kehendak Diri al Haq, namun terwajahkan melalui
kesempurnaan-kesempurnaan-Nya, semisal Uluhiyah (ketuhanan), Rahmaniyah (Kepemurahan),
Rububiyah guna mewajahkan eksistensi-Nya, juga al Izzah (kemuliaan), al
Kibriya' (keperkasaan), al Adzamah (keagungan) untuk mewajahkan kedudukan
Ilahi, serta al Tim (ilmu pengetahuan). Pergerakan segala yang wujud merupakan
wajah Rahmaniyah (Kasih Kepemurahan) dan banyak lagi wajah-wajah ketuhanan
untuk mengibaratkan inti (dzat)-Nya, baik yang berdimensi Rahmaniyah
(Kepemurahan) atau Rabbaniyah (ketuhanan) dan wajah-wajah lainnya dari
sifat-sifat dan asma-asmaNya. Ketahuilah Oadha' (ketentuan) terbatas juga akan
berujung kepada Qadha' mutlak juga, karena al Haq, menentukan semua itu untuk
dzat Diri Nya. Uluhiyah misalnya merupakan kehendak dzat al Haq, demikian
halnya dengan Rahmaniyah, pun tertib Qadha' yang lainnya adalah merupakan
ketentuan al Haq. Walhasil semua Qadha' adalah ketentuan mutlak al Haq, karena
Dia berhak atas segala sesuatu, bukan karena kesempurnaan atau kekurangan-Nya,
akan tetapi karena inti (dzat)-Nya dan kesempuraan dzat-Nya. Semua Qadha'
adalah kententuan dzat-Nya secara mutlak, hanya saja pada realitanya Qadha'
tersebut, kadang terwajahkan dengan Qadha' mutlak, kadang terwajahkan dengan
Qadha' terbatas sejalan dengan visi dan kedudukan-Nya. Dengan demikian kami
bisa menyimpulkan bahwa sejatinya ketentuan dzat itu juga terbagi dua, yaitu
mutlak dan terbatas. Pahami betul masalah ini.
Sudah Edit 43. Tikar dan Mahkota
Ketahuilah, semoga Allah senantiasa menuntun kita di jalan kebenaran. Dalam
sebuah hadits ditandaskan : Bahwasanya rasulullah saw pernah melihat Tuhan-nya,
dalam bentuk seorang pemuda belia nan tampan yang baru tumbuh kumisnya
duduk diatas tikar yang terbuat dari ini dan itu, dan pada kakinya terdapat ini
dan itu. Intinya hadits tersebut mewartakan Kasyf yang telah dilakukan baginda
rasul saw, bahwasanya Dia bisa dilihat secara intuitif dengan citra (rupa)
bentuk maupun rupa makna. Adapun yang dimaksud dengan rupa bentuk, adalah :
Tajalli al Haq, dalam bentuk kasat dan terbatas, diatas tikar tertentu, dua
sandal yang terbuat dari emas tertentu, Dia-lah sejatinya inti dan batin bentuk
citranya. Dia bertajalli dalam bentuk citra apa saja dan pada citra apa saja,
Dia bertajalli sesuai kehendak-Nya dan dengan cara yang Dia ingini. Dia bisa
bertajalli pada sesuatu yang logis dan irrasional, populer dan tidak populer,
riel dan absurd, bisa dilihat dan tidak bisa disaksikan, bisa didengar maupun
tidak bisa didengar. Dia bertajalli sesuai kehendak-Nya dan dengan cara yang
Dia ingini, Dia-lah sejatinya rupa bentuk inti dan lahirnya. Dia juga
bertajalli dalam bentuk imajinasi. Semua yang bergelayut dibenak orang yang
berimajinasi, Dialah inti citra imajinasi dan dhahirnya, al Haq dibelakang
imajinasi tersebut tanpa batas dan tiada penghabisan.
Dengan demikian Tajalli Khayaliy (imajinatif) itu, terbagi atas dua macam.
Bentuk pencitraan yang diyakini dan bentuk gambar kasat mata. Pahami masalah
ini dengan betul.! Yang harus anda ingat, tajalli mutlaq yang tercitrakan,
sumbernya berikut inspirasinya berasal dari alam Mitsaliyah (alam ideal), jika
tampilan imajinasi itu semakin jelas, ia akan bisa ditangkap dengan mata kasat,
dalam dunia hakekat hal itu disebut Musyahadah (penyaksian). Ketika penglihatan
itu berdimensikan dzat, maka semua yang tersingkap berdimensikan dzat, dalam
capaian spiritual seperti itu, penglihatanNya menggantikan ketajaman mata hati
si-penyaksi dalam penyaksian tersebut. Sedang Tajalli Maknawi, sejatinya adalah
realita kasyf (pengetahuan intuisi), yang lahir dari hadist tersebut diatas.
Segala yang disebut dalam hadits itu, mengibaratkan makna ketuhanan, seperti
yang telah kami terangkan dalam rafraf, yang hakekatnya adalah kedudukan
ketuhanan.
Sedangkan tikar ibarat kedudukan Rahmaniyah, yang mewajahkan kedudukan
ketuhanan. Adapun mahkota ibarat sesuatu yang tidak berpenghabisan, yang dalam
redaksi hadits diwartakan dengan pemuda nan tampan, agar kita mentafakkuri
bahwa masa muda tiada akan pernah eksis, karena akan datang masa tua, hal itu
menunjukkan sesuatu yang berpenghabisan, namun hakekat gambar imajinasi itu
sendiri tetap eksis (tidak berpenghabisan). Penyebutan mahkota yang tersematkan
di kepala, memetaforkan hakekat suatu dzat yang tiada akan pernah habis. Segala
sesuatu yang al Haq bertajalli kepadanya, ia akan tetap eksis bersama dzat-Nya,
semua yang tertajallikan tidak berakhiran, karena sesuatu yang terjallikan itu
merupakan ketunggalan-Nya dan bagian dari kesatuan-Nya. Satu bersama inti
(dzat)-Nya berarti tidak ada yang lain di dalamnya, karenanya sesuatu yang
banyak (lebih dari satu) tidak bisa disebut sebagai sesuatu yang tidak
berakhiran, sebab tidak berakhiran memiliki banyak syarat, al Haq tersucikan
dari sesuatu yang banyak, al Haq adalah dzat Yang Maha Tinggi. Pengetahuan-Nya
tidak terbatas. Pengumpulan dua hal yang kontradiktif dan sifat dan asmaNya,
sejatinya adalah tetap pada inti ke-Esa-an-nya, tidak ada dualisme disitu.
Tafakkuri dengan betul hadist yang mewartakan sesuatu yang mentakjubkan ini,
telisik makna yang tersirat, agar engkau tertuntun ke jalan yang benar.
Kepada-Nya kembali segala sesuatu, dan Dia adalah sebaik-baik tempat kembali.
Syair-syair al-Jily
as Sarir
adalah metafor kekuasaanNya
Arsy
untuk membumikan rahmatNya
DudukNya
diatas Sarir memataforkan tajalli
keMuliaan
dan keLuhuran KuasaNya.
Dia
dilambangkan dengan Arsy
Mulia
keAgunganNya diuraikan hukum-hukum Qur',
Arsy
adalah Kuasa dan AgungNya.
Luasnya,
terbentang dalam rahman dan rahimNya.
Sudah Edit 44. Dua Sandal dan
Dua Kaki
Ketahuilah, semoga hidayah dan petunjuk-Nya, senantiasa menyertai diri kita
semua, dan semoga Dia memberi hikmah kepada anda dan kita semua. Dua Kaki :
ibarat
dua hukum dzat yang saling berlawanan, kedua-nya merupakan jumlah
(bilangan) dzat, terlebih inti dzat, kedua hukum itu merupakan elan vital dzat,
semisal Huduts (ada permulaan-nya) dengan Qidam (adanya tidak didahului oleh
sesuatu), ketuhanan dan kemakhlukan, wujud (ada) dan 'adam (tidak ada),
berakhiran dan tidak berakhiran, Tasybih (atropomorfisme) dan Tanzih
(transendensi), serta permisalan lain-nya yang mewajahkan al Haq secara
subtansi (dzat) hukum. Amtsaal (permisalan-permisalan) itu sejatinya adalah al
Haq juga, karenanya semua itu dimetaforkan dengan dua kaki, karena dua kaki
merupakan bagian dari Shurah (citra) Adapun dua sandal merupakan, ibarat dua
sifat yang kontradiktif, semisal : Rahmah (karunia) dan Niqmah (bencana), Ghadlab
(marah) dan Ridha (rela), serta permisalan-permisalan lainnya.
Adapun letak perbedaan antara Dua Kaki dan Dua Sandal. Bahwasanya Dua Kaki
ibarat kontradeksi khusus yang terkait dengan dzat, Dua Sandal ibarat multi
kontradeksi yang ada pada segenap makhluk-Nya, yakni bias dari kontradeksi itu
membuahkan bekas (pengaruh) pada para makhluk, karenanya dimetaforkan dengan
dua sandal sebab keberadaannya terletak dibawah dua kaki, pula karena sifat
Aqliyah (akal) berada dibawah sifat Dzatiyah (DiriNya). Meski eksistensi dua
sandal itu terbuat dari emas murni, ia tetap saja meninggalkan bekas, karena ia
akan sirna. Berdasarkan hukum Maujudaat (segala yang wujud), bahwa sesuatu yang
wujudnya karena diadakan akan hancur binasa. Demikianlah hukum maujudaat,
apapun bentuk wujudnya pasti ada ahirannya, jika anda bisa memahami kesejatian
makna Dua Sandal dan mengerti maksud dari Dua Kaki, anda akan bisa memakrifahi
Sirr (rahasia batin) sabda rasul saw bahwasanya manakala al Jabbar (Dzat Yang
Maha Perkasa) menjejakkan kaki hamba yang dikasihi-Nya diatas api neraka, api
itu lantas padam, lalu tumbuh ditempatnya (api yang diinjak) pohon Jirjir. Kita
akan bahas topik ini dalam bab Jahannam di penghujung karya ini. Fahami betul
ibarat dan kiasan yang kami pakai dalam memetafora masalah ini!
Ketahuilah bahwasanya Rabb, memiliki wajah kesempurnaan di setiap Maujudaat
(segala wujud), dan wajah kesempurnaan itu sejalan dengan ruh yang ada dalam
wujud tersebut. Ruh segala yang wujud itu tampak dalam bentuk jasad maupun
benda-benda yang bisa ditangkap secara persepsi inderawi, masalah ini dalam
lanskap Rabbaniyah (Ketuhanan) merupakan masalah yang berdimensi Dzatiyah (Diri
Nya sendiri). Keberadaan inti (dzat)-Nya dalam Maujudaat adalah sebuah
keniscayaan, i'tibar-Nya tidak ternafikan, karena wujud-wujud tersebut tidak
bisa diidentifakasi melainkan dengan i'tibar, segala sesuatu yang dinisbatkan
ke al Haq i'tibar (perumpamaan)-nya tidak bisa dinafikan. Pahami betul masalah
ini.! Dengan demikian citra-citra Maujudaat itu dalam lanskap ketuhanan,
sejatinya adalah berdimensikan Dzatiyah (Diri-Nya sendiri) hal itu pararel
dengan isyarat rasulullah saw, beliau bersabda : Adam dicipta dalam citra
ar-Rahmaan (Dzat Yang Maha Pemurah) sabda yang lain : Adam diciptakan
dengan citra Diri Nya. Untuk memperdalam urgensi makna kedua hadits
tersebut, silahkan baca karya kami al
Kahfi wa al
Raqiim, fi Syarhi
Bismillahirrahmanirrahim Dari lanskap pengetahuan intuisi (kasyf) dapat
diketahui bahwa kedua hadits itu bermaknakan Dhahir, namun dengan syarat harus
disertai Tanzih (transendensi) ketuhanan dari Tasybih mutlak dan Tajsim
(bertubuh) mutlak serta Hului (panteisms). Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 :
4)
Sudah Edit 45. Arsy (Singgasana)
Arsy dalam lanskap hakekat, sejatinya adalah, simbol keagungan dan tempat
tajalli serta kehususan dzat. Arsy juga disebut tubuh Hadrah (presensi), namun
ia tersucikan dari enam arah (mata angin). Arsy merupakan pandangan tertinggi,
dan tempat termulia yang meliputi semua ragam Maujudaat (segala yang ada), Arsy
dalam wujucmutlakseperti jisim (tubuh) dalam wujud manusia, dengan i'tibar
bahwa alam jisim mencakup, alam ruh, imajinasi, estimasi, logika dan lam
sebagainya. Karenanya para pegiat sufi mengibaratkan A^seha^1Sim^
(tubuh semesta), namun pandangan seperti itu harus diberi catatan kecil karena
Jism Kulli (tubuh semesta), meski meliputi alam ruh-ruh namun ruh-ruh itu
bertingkat-tingkat keberadaannya, diatasnya ada Nafs Kulli Qma semesta).
Yang kita ketahui bahwa tidak ada suatu wujud diatas Arsy, kecuali ar-Rahman.
Ada juga yang memetaforkan bahwa Nafs Kulli (jiwa semesta) sejatinya adalah Luh
al Mahfudz, dengan demikian keberadaan Lauh itu diatas Arsy, tentunya hal itu
berbeda dengan pendapat para pegiat sufi yang menandaskan bahwa sejatinya Arsy
itu adalah Jisim Kulli (tubuh semesta). Kami tidak menyanggah bahwa keberadaan
Arsy diatas Lauh yang diibaratkan dengan Nafs Kulli (jiwa semesta) dengan
demikian tidak bisa diragukan lagi bahwa kedudukan Nafs (jiwa) lebih tinggi
ketimbang kedudukan Jism (tubuh).
Dalam pandangan kami berdasarkan Kasyf (pengetahuan intuitif), meski dalam
perumusannya kami memakai hukum i'tibar. Kami berpendapat bahwa sejatinya Arsy
adalah Falak (bintang) yang dikelilingi Aflak (rasi-rasi-bintang) Maknawiyah
(makna) dan Shuwariyah (citra), puncak dari falak tersebut adalah martabat
Rahmaniyah (kepemuraan), jiwa Hawiyah (ke-Dia-an). Falak itu adalah wujud
mutlak-Nya, baik yang berdimensikan Dzatiyah (DiriNya sendiri) maupun
hukum-hukum-Nya. Karenanya falak-falak tersebut memiliki dimensi lahiriyah dan
dimensi batiniyah, batinnya berupa alam Oudus, yaitu alam nama-nama al Haq dan
sifat-sifatNya. Alam Qudus dan eksistensinya disebut alam katsiib (alam
kasar), yang keluar darinya para penduduk surga disaat mereka rindu melihat
wajah al Haq secara dzat. Sedangkan lahirnya berupa alam manusia. Arsy juga
merupakan tempat, pemberi citra (rupa) bentuk dan jisim, karenanya atap langit
dan segala penyerupaan dan pembentukan dari setiap jisim (tubuh), serta ruh,
atau lafadz, makna, serta hukum atau dzat. Kesemuanya adalah metafora yang
lahir falak ini, jika ditanyakan kepada anda apa sejatinya Arsy mutlak itu?
Falak tersebutlah jawabannya.
Jika dikaitkan dengan sifat-sifat-Nya, ketahuilah maksudnya adalah wajah
dari falak ini, semisal ungkapan rasul saw : Arsy al Majiid (Yang mulia)
maksudnya adalah alam Qudus dengan martabat Rahmaniyah yang merupakan sumber
daripada kemuliaan, demikian pula dengan ungkapan Arsy al Adhiim (Yang agung),'
maksudnya adalah hakekat-hakekat dzat dan kehendak Diri Nya yang menunjukkan
kedudukan keagungan, itulah sejatinya yang disebut alam Qudus. Dengan demikian
alam Qudus ibarat, makna-makna ketuhanan yang Qudus, ter-transendensi-kan dari
hukum-hukum penciptaan (makhluk) dan kekurangan-kekurangan alam. Ketahuilah
bahwasanya jisim dalam struktur tubuh manusia, merupakan wadah segenap elan
vital wujud (organ) manusia, semisal ruh, akal, kalbu dan unsur-unsur
kemanusiaan lainnya. Eksistensi manusia laksana Arsy di semesta alam, Arsy
merupakan elan vital dari struktur alam, ia merupakan jasad alam meliputi
segala apa yang ada di dalamnya. Atas dasar ini para pegiat sufi menyebut Arsy
sebagai Jisim Kulli (tubuh semesta), kami sependapat dengan fikrah tersebut,
Allah Maha Mengetahui.
Sudah Edit 46. Kursi
Ketahuilah, Kursi merupakan ibarat tajalli
(penampakkan) sifat-sifat yang lahir
dari dimensi Fi'liyah (aktualitas). . Kursi merupakan simbol dari Taqdir Ilahi
(ketuhanan), tempat keluarnya konsesus perintah-perintah dan larangan-laranganNya.
Kali pertama kasih kelembutan al Haq tertampakkan pada hakekat-hakekat
kemakhlukan bermula dari kursi-Nya. Kursi juga tempat lahirnya segala hal yang
bersifat parsial dan absurd, sentra kemanfaatan dan marabahaya, keterkumpulan dan
ketercerai beraian, dari Kursi pula terlihat bekas-bekas (Atsaar) sifat-sifat
yang kontradiktif. Dari kursi tersiarkan perintah dan warta ketuhanan kepada
segala yang wujud, ia tempat memutuskan konsesus ketentuan-Nya (qadha'-Nya)
sedang Qolam (pena) tempat memutuskan taqdir-Nya. Lauhul Mahfud, tempat
penulisan Qadha' dan Qodar-Nya, al Haq berfirman : ((Kursi Allah meliputi
langit dan bumi)) (Q-S- al Baqarah 2 : 255) Ketahuilah, peliputan itu terbagi
atas dua liputan.
1. Peliputan berdimensi hukum (ciptaan).
2. Peliputan yang berdimensi wujud dzat.
Disebut peliputan hukum, karena bumi dan langit merupakan atsar (pengaruh)
sifat dari sifat-sifat perbuatan (aktualitas) al Haq, Kursi merupakan tempat
(pusat) pandangan segala sifat-sifat aktualiatas (perbuatan) al Haq. Walhasil
peliputannya berdimensikan
Maknawiyah disetiap wajah yang terlanskapkan dalam wajah-wajah kursi, dan
setiap wajah yang lahir dari lanskap ke-kursi-an adalah wajah hakiki
sifat-sifat perbuatan (aktualitas) al Haq. Adapun peliputan yang berdimensi
wujud dzat (Diri Nya sendiri), sejatinya adalah subtansi (entitas) wujud dengan
segala rahasia-rahasia-Nya, yaitu 'wujud terbatas' yang meliputi langit dan
bumi dus segala sesuatu diantara keduanya, itulah yang diibaratkan sebagai
Kursi. Kami menyebutnya sebagai wujud terbatas, karena Kursi merupakan tempat
keluarnya hukum (konsesus) amar perintah dan larangan-Nya. tempat sifat-sifat
perbuatan (sentra aktualitas) al Haq, basis taqdir-taqdir ketuhanan, kesemua
itu merupakan wujud terbatas, karena ke-maujud-annya berdasarkan perintah dan
kehendak-Nya. Kursi juga merupakan tempat tajalli dan simbol ketuhanan, ia juga
merupakan tempat berpijaknya kaki al Haq, dari kursi tersebut al Haq melakukan
Qadha-Nya, tempat mengadakan atau meniadakan, menghancurkan atau menyelamatkan,
memberi atau menahan, memuliakan atau menistakan segala yang ada, al Haq
melakukan semua itu melalaui wajah kursi-Nya.
Sudah Edit 47. Qolam (pena)
tertinggi
Ketahuilah, Pena tertinggi, ibarat awal ketentuan-ketentuan $ al Haq dalam lanskap
ciptaan (epos kemakhlukan) dan L nuansa wujud pada kisaran bahan (dasar)
ciptaan. Kami menyebutnya sebagai bahan (dasar) ciptaan, karena dalam ciptaan
ada ketentuan absurd (tidak terjangkau logika) yang terkandung dalam ilmu
ketuhanan, kemudian wujud bisa teridentifaksi hukum (konsesus) penciptaan-Nya
di Arsy. Seperti yang kita ketahui Arsy adalah salah satu wajah-Nya yang berupa
Maujudaat al Khalqiyah (wujud makhluk), kemudian wujud itu tampak secara
parsial dalam Kursi-Nya, lalu tampak pada bahan dasar ciptaan dalam Qolam
(pena) tertinggi. Tajallinya di tempat-tempat itu kesemuanya berdimensi gaib,
wujudnya di Qolam adalah wujud inti dari al Haq, dengan demikian sejatinya
Qolam (pena) tertinggi adalah Amtsaal (contoh-contoh) yang dilukiskan dalam Lauhul
Mahfudz, seperti akal yang merupakan kuas lukisan dalam jiwa, akal dalam mikro
kosmos, laksana qolam dalam makro kosmos, jiwa dalam alam mikro, laksana Luh di
alam makro, problematika pemikiran yang ada pada jiwa berjalan berdasar hukum
logika, ia laksana Shuwar (citra) wujud yang tertulis dalam Lauhul Mahfudz.
Karenanya rasul saw bersabda :
Kali pertama yang diciptakan Allah
adalah akal
juga
Yang pertama kali diciptakan Allah
adalah Qolam,
Qolam sejatinya adalah Aql Awwal (akal pertama), keduanya (akal dan qolam)
wajah daripada ruh Muhammad saw. Dalam hadistnya beliau bersabda :
Kali pertama yang diciptakan Allah
adalah ruh nabimu wahai Jabir.
Dengan demikian Qolam (pena) tertinggi, Aql Awwal (akal pertama), ruh
Muhammad adalah ibarat Jauhar (entitas) ketunggalan, nisbatnya pada makhluk
dinamakan Qolam tertinggi. Nisbatnya ke inti (dzat) kemakhlukan dinamakan Aql
awwal (akal pertama), nisbatnya pada Insan Kaamil (manusia sempurna) dinamakan
ruh Muhammad saw. Kita akan membahas lebih rinci masalah ruh ini pada pasal
berikutnya.
Sudah Edit 48. Lauhul Mahfudz
Ketahuilah, Lauhul Mahfudz ibarat cahaya ketuhanan yang tertampakkan dalam
pemandangan makhluk dan nuansa wujud, yang dengan itu inti wujud tertampakkan.
Lauhul Mahfudz merupakan induk benda pertama (Umm al Huyuli), karena benda
tidak berbentuk (memiliki rupa) kecuali setelah tertulis di Lauhul Mahfudz,
ketika benda pertama itu diwacanakan, bentuk (rupa) ditulis oleh Qolam (pena)
tertinggi itulah sejatinya yang disebut Lauhul Mahfudz, adanya benda pertama
itu sejalan dengan kehendak al Haq, karenanya dikatakan : Jika benda pertama
itu telah terwacanakan dalam sebuah bentuk (citra), niscaya Sang Pemberi bentuk
akan tertampakkan pada citra bentuk tersebut di semesta alam-nya, begitu pula
ujaran Sang Pemberi bentuk akan tertampakkan, citra bentuk itu juga mengindikasikan
peliputan, sejalan dengan sabda rasulullah Muhammad saw :
Sesungguhnya adalah hak Allah,
mengangkat atau meletakkan dunia.
Bukan karena sebuah keharusan (kewajiban) bagi-Nya, yang sedemikian itu
merupakan bentuk (citra) ketinggian al Haq dengan sebenar-benarnya. Kita akan
bahas masalah ini dalam pembahasan Huyuli (benda pertama) dipasal yang akan
datang.
Ketahuilah Cahaya Ketuhanan yang terpancarkan dalam segala Maujudaat
(segala yang ada) adalah ibarat Nafs Kulli (jiwa semesta), kemudian menjadi
I'lm (ilmu) pengetahuan ketika ditulis oleh Qolam (pena) tertinggi di Cahaya
Ketuhanan, yang diibaratkan dengan Lauhul Mahfudz. Pengetahuan itu lalu membias
dengan wajah-wajah Cahaya Ketuhanan ke Maujudaat (segala yang wujud), wajah
wajah itu dalam lanskap pandangan kita disebut Aql Kulli (akal semesta),
seperti halnya ia dalam lanskap cahaya disebut Qadha' (ketentuan al Haq). Dalam
termin inilah perincian asal (sesuatu) yang berdimensikan sifat-sifat ketuhanan
bermula, yang diibaratkan eksistensinya dengan Kursi, sedang Taqdir dalam Luh,
sejatinya adalah hukum penampakkan atas bentuk (citra) tertentu,' pada keadaan
tertentu dalam waktu khusus pula, semua itu diuraikan dengan Qolam (pena)
tertinggi. Dalam termin istilah kita disebut Aql Awwal (akal pertama). Ambilah
satu contoh semisal Cjadha' al Haq untuk menciptakan Zaid putra si Fulan, dalam
struktur ruang dan waktu yang ada dalam lorong zaman, realisasi Qadha' disebut
Qodar (taqdir), ditulis di Lauhul Mahfudz oleh Qolam (pena) tertinggi, yang
kita namakan Aql awwal (akal pertama), sedang tempat yang bisa ditemukan
keterangan Qadha' disebut Lauhul Mahfudz, diibaratkan dengan Nafs kulli (jiwa
semesta). Sesuatu yang melahirkan hukum wujud yang melahirkan sifat-sifat
ketuhanan itulah sejatinya yang disebut dengan Qadha', basis penampakkannya
disebut Kursi, maka pahami dengan betul,' apa yang dimaksud dengan Qolam, Lauh
al Mahfudz, serta apa yang dimaksud dengan Qadha' dan Qodar (taqdir)
Ketahuilah, bahwa ilmu yang lahir dari Lauhul Mahfudz, merupakan percikan
ilmu Allah Azza Wa Jalla, yang diedarkan-Nya melalui hikmah ketuhanan, sejalan
dengan kebutuhan hakekat ketuhanan. Ilmu Allah mencakup rahasia dibalik semua
hakekat, yang tertampakkan pada percikan Qudrah (kodrat) segala yang wujud (
Maujudaat) yang tidak termaktub dalam Lauhul' Mahfudz, namun tertampakkan dalam
alam A'yaan as Tsabitah (zat tetap). Segala yang termaktub dalam Lauhul
Mahfudz, merupakan dasar wujud, yang bisa ditangkap secara persepsi inderawi
hingga hari kiamat, tidak termasuk di dalamnya ilmu tentang penghuni surga atau
penghuni neraka, karena ilmu tersebut produk kodrat, sedang masalah kodrat
adalah absurd dan tidak ditentukan. Dalam Lauhul Mahfudz tercatat pula ilmu
kemudakan-Nya, semisal ilmu kenikmatan mutlak, yang dicatat Qolam (pena) tertinggi
sebagai kebahagiaan Kulli (universal) yang bersifat abadi, jika dirinci bisa
berupa kenikmatan, penghuni surga Ma'wah, kenikmatan penghuni surga Khuldi,
atau surga Na'im, pun surga Firdaus serta kenikmatan-kenikmatan abadi yang ada
dalam ke-rahim-an surgaNya, demikian pula dengan ihwal (keadaan) yang
melingkupi para penghuni neraka. Pahami dengan seksama masalah ini.!
Ketahuilah, bentuk Qodar (Taqdir) yang tercatat dalam Lauhul Mahfudz,
terbagi atas dua macam : 1.) Qodar yang tidak mungkin dirubah atau diganti. 2.)
Qodar yang mungkin dirubah atau diganti. Adapun taqdir yang tidak mungkin
diganti dan dirubah sejatinya adalah, masalah-masalah yang berdimensikan
sifat-sifat ketuhanan yang ada disemesta alam, tidak ada jalan untuk
mentiadakannya. Sedangkan taqdir yang mungkin dirubah dan diganti, sejatinya
adalah masalah-masalah yang terkait dengan isi-nya alam, berlandaskan pada
dasar-dasar peraturan hikmah yang dikonsesuskan al Haq secara tertib yang
direntah dalam Lauhul Mahfudz, serta tertampakkan melalui hukum penciptaan
ketuhanan. Tidak bisa diragukan bahwa kehendak isinya alam, sejatinya adalah
kehendak sifat-sifat ketuhanan, meski diantara keduanya terdapat batas pilah
yang jelas, yakni antara kehendak isinya alam vis avis kehendak sifat-sifat mutlak.
Karenanya ketergantungan isinya alam dengan selain al Haq, hanya akan
melahirkan kelemahan, dan tidak terjamin keeksisannya serta menutup ruang al
Mumkinaat (kemungkinan), berbeda jika ketergantungan itu kepada al Haq dan
sifat-sifat mutlak-Nya, keeksisan Qadha'-Nya merupakan sebuah keniscayaan,
serta menyisakan Wajhu al Mumkinaat (ruang kemungkinan).
al Mumkinaat (sesuatu yang mungkin) mengandung dua dimensi, menerima
sesuatu atau menolak (lawan) sesuatu. Semantis logikanya jika Qadha' itu
terealisir lawannya adalah tidak terealisir, inipunjuga menyisakan dua
kemungkinan, jika qadha' itu terlaksana maka hal itu sejalan dengan konsesus
hikmah ketuhanan, jika tidak terealisir berarti tidak sejalan dengan hikmah
ketuhanan, hal ini merupakan wilayah Dzauqiyah (intuitif), yang tidak bisa
ditangkap persepsi inderawi dan jauh dari jangkauan logika pikir, karena hal
ini merupakan Kasyf (pengetahuan intuisi) ketuhanan yang diberikan al Haq,
kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Maka Qadha' yang terkonsesuskan (dalam
bingkai hukum), itulah sejatinya Qadha' yang tidak bisa dirubah atau diganti,
sedang Qadha' yang diluar bingkai hukum, ada kemungkinan bisa dirubah atau
diganti, karenanya rasul Muhammad saw selalu memohon pertolongan al Haq perihal
Qadha' tidak terkonsesuskan ini, sebab beliau mengetahui Qadha' ini bisa
dirubah atau diganti, al Haq berfirman :
Allah menghapus apa yang Dia
kehendaki, dan menetapkan apa yang Dia kehendaki dan disisi-Nyalah terdapat
Ummul Kitab. (Q.s. arRa'ad : 13 : 39).
Berbeda dengan Qadha' yang terkonsesuskan dalam ketetapanNya, al Haq
berfirman :
Dan adalah ketetapan Allah itu,
suatu ketetapan yang pasti berlaku. (Q.s. al Ahzab 33 : 38)
namun demikian untuk memukasyafahi (menyibak) Qadha' yang tidak
terkonsesuskan lebih sulit ketimbang mukasyafah Qadha' yang terkonsesuskan.
Langkah untuk mengetahui Qadha' yang tak terkonsesuskan adalah dengan
mempelajari hukum-hukum Qadha' yang tertulis, memohon pertolongan kepada Sang
Maha Mengetahui untuk menyibak Qadha' yang tak terkonsesuskan, yang sejatinya
adalah izin dan kasih pertolongan-Nya, pararel dengan firman-Nya.
Siapakah yang dapat memberi syafaat
disisi Allah tanpa izin-Nya? (Q.s. al Baqarah 2 : 255).
Kemudian ketahuilah, bahwa Cahaya Ketuhanan yang diindikasikan dengan
Lauhul Mahfudz, sejatinya adalah cahaya dzat Allah yang merupakan inti
dzat-Nya, karena kemustahilan pembagian dan pemecahan-nya, itu pula yang
disebut kemutlakan al Haq. Kami menyebutnya dengan Nafs Kulli (jiwa semesta),
yang diindikasikan dengan kemutlakan ciptaan, hal ini diisyaratkan firman-Nya.
Bahkan wujud mutlak itu ialah al Qur’an
yang mulia, yang tersimpan dalam Lauhul Mahfudz. (Q.s al Buruuj 85 : 21 - 22)
yakni melalui al Cmr'an itulah sejarinya dzat al Haq dapat disibak wajah
hakiki kemuliaan di Lauhul Mahfudz, diindikasikan dalam Nafs Kulli. Jiwa
semesta inilah hakekatnya insaan kaamil (manusia sempurna), tanpa ada Tanasul
(reingkarnasi), Irtihad (kemanunggalan), Hului (panteisme), Tasybih
(antropomorfisme) dengan al Haq.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jilly
Nafas
ikan hanya Dia Yang Maha Tahu
Termaktub
dalam Luh seperti nasib anak Adam.
Citra
segala wujud semuanya tertuang dalam goresan ketetapan taqdirNya yang azali
Catatan-catatan
Luh yang tidak ternodai kotoran dosa,
tidak
menghitamkan nasib pelakunya,
Tulisan
Luh tereja dalam perilaku lahir
Raport
perbuatan insani, menjadi rahasia kehidupan
Sudah Edit 49. Sidratul Muntaha
Ketahuilah, sejatinya Sidratul Muntaha itu adalah penghujung (muara) tempat
dan puncak kedudukan, yang bisa digapai makhluk-Nya dalam meniti jalan Allah,
tempat setelah Sidratul Muntaha adalah Khusus untuk al Haq, tidak ada satupun
makhluk yang bisa menginjakkan kakinya di tempat paska Sidratul Muntaha, karena
makhluk yang melintas melebihi batas Sidratul Muntaha, akan lenyap terbakar dan
hilang tak berbekas. Hal ini diisyaratkan Jibril as, yang berkata kepada
Muhammad saw : Jika kau melangkah sejengkal lagi, niscaya kau akan terbakar,
esensinya ketika rasul Muhammad saw berada di Sidratul Muntaha, beliau dilarang
melangkah meski hanya sejengkal, sebab beliau akan terbakar lenyap. Rasul saw
mewartakan, beliau mendapati di Sidratul Muntaha itu sebuah pohon Sidir, yang
daun-daunnya sebesar kuping gajah, kita harus mengimani kabar baginda rasul saw
itu, karena kabar itu datang dari penghujung para nabi yang menjadi pelaku
sejarah perjalanan agung nan monumental tersebut, meski demikian hadist rasul
saw itu banyak menyisakan ruang interpretasi (ta'wil).
Pohon Sidir itu melahirkan ruang kemungkinan dan menyisakan kavling
interpretasi penafsiran, boleh jadi itu berdimensi makna lahir, bisa juga
merupakan metafor ketuhanan. Pohon Sidir merupakan sesuatu yang kasat dalam
bingkai imajinasi beliau, yang bisa disaksikan dengan kesempurnaan Syuhud
(penyaksian) dengan demikian imajinasi juga bisa disibak melalui pengetahuan
intuisi (kasyf). Untuk mengetahui kesejatian-nya, orang seorang harus
mukasyafah. Kami mempercayai ungkapan rasul saw tersebut secara mutlak, karena
Mi'raj rasul adalah Mi'raj yang tidak terbatas, sedang Mi'raj kita adalah
Mi'raj terbatas, lebih dari itu Mi'raj kita jelas berbeda dengan Mi'raj rasul
saw, dengan satu keyakinan bahwa ilmu kita tidak sampai untuk menjangkaunya,
atau adanya ilmu yang wajib dirahasiakan beliau, yang tidak boleh disampaikan.
Kami mengimani sabda itu berdasar mi'raj kami dengan kepercayaan mutlak.
Sejatinya yang dimaksud dengan pohon Sidir itu adalah iman. Rasul Muhammad saw
bersabda :
Barang siapa kerongkongannya
termasuki buah bidara, Allah telah memasukkan iman ke dalam hatinya.
Pohon Sidir itu daun-daunnya sebesar kuping gajah, hal itu memetaforkan
kebesaran dan kekuatan iman, daun-daun itu tampak di setiap rumah di
rumah-rumah surga, mengibaratkan keeksisan iman si empunya rumah. Ketahuilah,
bahwasanya pohon Sidir itu memiliki delapan Hadrah (presensi), yang
masing-masing hadrah menampakkan pemandangan ketinggian yang tidak terbatas,
masing-masing pemandangan satu sama lain berbeda, sejalan dengan Dzauq al
Wujdan (intuisi) masing-masing pelaku
Adapun Maqom, sejatinya adalah penampakkan al Haq dalam setiap tajalli-Nya
pada segala yang wujud, baik yang berdimensi hakekat ketuhanan dan makna
kemakhlukan. Hadrah (presensi) pertama : Tajalli al Haq dalam dimensi nama-nama
lahir-Nya, yang tertampakkan dalam batin hamba-Nya. Hadrah kedua : Tajalli al
Haq dalam dimensi nama-nama batin-Nya, yang tertampakkan dalam lahir hamba-Nya.
Hadrah ketiga : Tajalli al Haq dalam dimensi ruh hamba-Nya. Hadrah keempat :
Tajalli al Haq dalam dimensi sifat Rabbaniyah (ketuhanan), yang tertampakkan dalam
jiwa hamba-Nya. Hadrah kelima : Tajalli al Haq, yang berdimensikan Martabat
(kedudukan), yaitu penampakkan ar Rahman dalam akal seorang hamba. Hadrah
keenam : Tajalli al Haq dalam estimasi hamba-Nya. Hadrah ketujuh : Makrifah
Hawiyah (ke-Dia-an) yang tertajallikan dalam Inniyah (ke-Aku-an) seorang hamba.
Hadrah kedelapan : Makrifah dzat dalam kemutlakan hamba, al Haq bertajalli
dalam maqom ini dengan segala kesempurnaan-Nya, dalam struktur kemanusiaan
seorang hamba, baik secara lahir maupun secara batin, pun batin dalam makna
batiniyah dan dhahir dalam makna lahiriyah, Dia adalah dengan ke-Dia-an Nya dan
Aku dengan ke-Aku-an Nya. Hadrah ini merupakan presensi tertinggi, dari
Hadrah-hadrah yang ada, tidak ada maqom setelahnya melainkan Ahadiyah
(Ketunggalan)-Nya. Pada maqom ini eksistensi seorang hamba lenyap dibawah
hadiratNya. Hadrah (presensi) ini merupakan kehususan al Haq, dzat Yang
Wajibul Wujud (Wujud yang mesti ada dengan sendirinya). Ketika tajalli itu
telah sampai ke maqom kesempuraan, maka tajalli ketuhanan juga sampai pada
kesempurnaan mutlak, hamba yang terjallikan itu tidak lagi bisa disebut
makhluk, namun disebut citra murnia al Haq. Atas dasar inilah para ahli
ketuhanan ketika telah merengkuhi tajalli mutlak, mereka tidak mewartakan
kepada yang lain dan menyimpannya dalam Sirr (rahasia batin)-nya yang paling
dalam. Allah Jallah Jalalaah, adalah penuntun ke jalan kesempurnaan dan
pembimbing kepada kebenaran mutlak.
Sudah Edit 50. Ruh Qudus
Ketahuilah sejatinya Ruh Qudus itu adalah : Ruh segala ruh ia
ter-tanzih-kan (transendensikan) dari wacana KUN, Ruh Oudus tidak bisa
diklasifikasikan sebagai bentuk makhluk, karena ia merupakan wajah khusus dari
wajah-wajah al Haq, yang dengan wajah-wajah itu .egala wujud bisa ditegakkan.
Ruh Qudus adalah ruh yang tidak sama dengan ruh-ruh lainnya, karena ia
merupakan Ruhullah (ruh Allah), ia juga ruh yang ditiupkan ke dalam jisim
(tubuh) Adam as, seperti yan* ditegaskan firman-Nya :
Belum Edit
Dan telah Aku tiupkan kedalamnya ruh Ku f, , ,Jr 15 : 29)
mh Adam as makhluk, sedang ruh Allah bukan makhluk, ia adalah ruh Qudus,
yaitu ruh yang yang ter-qudus-kan (tersucikan) dan segenap kekurangan, ia
ibarat wajah ketuhanan yang terlanskapkan dalam segenap makhluk-Nya. Ruh Qudus
inilah sejatinya yang dita'birkan dalam firman-Nya,
Maka kemanapun kamu menghadap,
disitulah wajah Allah. (Q.s. al Baqarah 2-115)
Itulah hakekat ruh Qudus yang dengan-nya al Haq menegakkan segala wujud
yang ada di semesta alam, wujudnya alam dengan wujud -wajah Kemanapun kamu
menghadap dengan segala perasaan anda melalui serapan inderawi, atau
pemikiran anda dalam dimensi wujud rasionalitas. Ruh Qudus merupakan wajah
kesempurnaan-Nya karena ia ibarat wajah ketuhanan yang menegakkan segala wujud'
wajah yang terlanskapkan dalam segala hal yang maujud (ada) itulah hakekat ruh
Allah yang juga merupakan ruh sesuatu tersebut Maka segala yang wujud itu tegak
dengan ruh Allah dan inti (dzat) sesuatu itu merupakan cerminan daripada dzat
Diri-Nya yang terwajahkan dengan Ruh Qudus dalam alam realitas dan rasionalitas
wujud.
Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang bisa ditangkap (dipresepsi) secara
inderawi, memiliki ruh yang menegakkan Shurah (citra)-nya, ruh dalam bentuk itu
laksana makna dalam lafadz. Ruh setiap makhluk (ciptaan)-Nya bisa tegak karena
adanya ruh ketuhanan yang disebut ruh Qudus, barang siapa yang melihat ruh
Qudus dalam jisimnya atau jisim manusia yang lain, akan tampak Shurah (citra)
ketuhanan-Nya. Sebab jikalau dua Qidam (eternitas) bertemu akan lenyap, tidak
ada yang Qidam kecuali al Haq. Demikian pula dengan asma dan sifat-sifat-Nya,
sedang segala sesuatu selain itu maka disebut Huduts (kebaruan), itulah yang
disebut makhluk. Manusia misal-nya, ia memiliki jasad yang tidak lain adalah
bentuk citra-Nya, sedang ruh manusia adalah makna ketuhananNya, ruh manusia
merupakan sirr (rahasia batin)-Nya. Wajah ketuhanan yang termanifestasikan
dalam tubuh manusia itulah yang disebut ruh Qudus. Ia juga disebut rahasia
ketuhanan dan wujud inti (dzat)-Nya. Karenanya jika citra kemanusiaan mendominasi
jisim manusia dan menyebabkan redupnya ruh ketuhanan dalam dirinya, maka ia
disebut Basyariyah (manusia) dan Syahwaniyah (nafsu), karena ruh-nya tunduk
kepada benda, yang merupakan induk dan basis Shurah (citra), namun jika ruh itu
mampu lepas dari jerat-jerat kebendaan, berikut membawah manusia melintas batas
kemanusiaan-nya, ia disebut hamba ketuhanan yang hakekatnya adalah citra (ruh
Qudus) dan sentra ketuhanan. Ketika ruh manusia terlepas dari pasung kebendaan
inilah manusia terbebaskan dari penjara kebendaan dan keadaan, itulah penjara
dunia yang merupakan cerminan penjara akhirat.
Ruh Qudus yang terpasung oleh kebendaan itu merupakan inti penjara dunia,
yang merupakan cerminan siksa akhirat, bedanya penjara dunia tidak bisa
dirasakan sedang penjara aldrirat bisa dirasakan dalam jilatan api neraka.
Siksa dunia sangat samar berupa jilatan-jilatan Infishal (keterputusan) dan
kobaran al Bu'du (keterjauhan) seorang hamba dari al Haq. Manakala ruh Qudus
itu benar-benar tercerabut dari inti kemanusiaan seorang manusia, dan wajah
ketuhanan benar-benar terangkat dari dirinya, manusia itu akan terputus dari
rahmat Allah, Itulah sejatinya yang disebut siksa dunia. Pahami betul masalah
ini.! Sebaliknya manusia yang jisimnya didominasi ruh ketuhanan, baik melalui
konsistensi dzikr (ingat kepada-Nya), pikiran lurus dan hati jernih, mensedikitkan
makan, tidur dan bicara, serta membuang kisi-kisi dan sauh-sauh kemanusiaan
dirinya, dalam jisim yang suci seperti itu, kasih kelembutan ruh Qudus akan
mendominasi tubuh manusia, ia bisa berjalan diatas air, terbang diudara,
melipat jarak, melintas benteng dan memiliki kekuatan-kekuatan adikodrati
lainnya. Ruh Oudus itu akan membawah manusia ketingkat kemanusiaan yang paling
tinggi, serta mengantarnya ke alam mh mutlak tak terikat jerat dan pasung
kebendaan. Itulah yang diisyaratkan al Haq dalam firman-Nya Sesungguhnya
orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh
kenikmatan. (Q.s. al Infithaar 82 : 13), ia dapat menggapai surga-Nya,
meski ia hidup di alam Syahadah (alam realitas) ini.
Kemudian tingkat kemanusiaan tertinggi itu lebur dalam Musyahadah
(penyaksian) selain Diri Nya. Itulah hakekat nama-nama al Haq yang Khusnaah dan
sifat-sifat-Nya yang Tinggi, yang tersematkan dalam jisim manusia. Pada capaian
spiritual seperti ini ruhnya menjadi qudus (suci), ruh manusia belum bisa
disebut qudus, selama watak-watak insaniyah (kemanusiaan) masih mendominasi
dirinya, nafsu dan syahwatnya masih liar dan sarat dalam tradisi kehidupannya.
Manusia yang ingin kequdusan ruhnya, ia harus berani membuang sauh-sauh
kekemarukan duniawi, tidak gila jabatan, kekuasaan, posisi, popularitas dimata
manusia, serta menjauhkan dari rasa tinggi diri dan kemaruk ketinggian, karena
al Haq adalah Maha Tinggi, dari sifat-sifat kemanusiaan dan segala yang wujud,
jika manusia mampu melepas itu semua, akan lahir dalam jisimnya Sirr (rahasia
batin), yang merupakan asal penciptaan dirinya, lebih dari itu hukum-hukum
rahasia ketuhanan akan tertajallikan dalam diri orang tersebut, maka beralihlah
struktur kemanusiaannya dan ruhnya dari rupa kemanusiaan ke struktur kequdusan.
Pada capaian spiritual seperti itu, ia akan melihat dengan penglihatan Allah,
mendengar dengan pendengaran-Nya, demikian pula dengan gerak kaki dan tangan
adalah dengan kaki dan tangan-Nya. jika tangan-nya diusapkan ia akan bisa
menyembuhkan kebutaan, kelumpuhan dan penyakit lainnya, jika ia berbicara,
ungkapannya menjadi manjur (sakti), karena diperkuat ruh Qudus, seperti yang
diwartakan al Haq tentang apa yang telah terjadi pada diri Isa as,
Kami perkuat dia dengan ruh Qudus. (Q.s. al Baqarah 2 : 259).
Maka pahami betul masalah ini.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Sudah Edit 51. Malaikat yang Diberi
Nama Ruh
Ketahuilah, ada malaikat yang dalam komunitas pegiat sufi, disebut dengan
Hakekat Muhammad karena al Haq melihat kepada malaikat ini seperti Dia melihat
Diri Nya sendiri. Dia menciptakan malakait itu dari Nur (Cahaya)-Nya, dan
darinya pula tercipta semesta alam. al Haq menjadikan malaikat tersebut basis
penampakkan-Nya, di alam ini, Dia juga memerintahkan malaikat ini
mengejawantahkan asma-asma-Nya, ia merupakan wujud ketinggian yang Maha Mulia,
berkedudukan tinggi, berkediqdayaan utama, tidak ada malaikat yang lebih tinggi
dari malaikat ini, ia adalah punggawa Muqorrobiin (para pendekat) al Haq, para
mulia yang paling utama, al Haq menggerakkan segala wujud dengan malaikat ini,
Dia jadikan malaikat ini qutub (poros) falak segenap makhluk, ia juga merupakan
wajah khusus al Haq, dalam kehendak penampakkan-Nya, darinya terlihat bentuk
delapan malaikat pembawah Arsy. Cahaya ketuhanan ini merupakan asal penciptaan
segala malaikat-Nya, malaikat yang lahir dari cahaya ini laksana percikan hujan
yang turun dari langit di lautan lepas. Sedangkan angka delapan (pembawa Arsy,)
mengisyaratkan delapan unsur dasar yang dengan itu eksistensi manusia
terwujudkan, ke delapan elan vital itu juga merupakan inti kehidupan manusia,
yaitu: akal, estimasi, pikiran, imajinasi, citra (rupa), ingatan, pengetahuan
dan jiwa Malaikat ini berada di cakrawala ketinggian, alam Jabarut alam utama,
alam Malakut, alam kerajaan Tuhan. Dalam cakrawala ketinggian dan keagungan
tersebut malaikat ini tertampakkan dalam wujud kesempuraan Hakekat Muhammad,
karenanya Muhammad saw adalah manusia terbaik jagad ini, kehadirannya
melahirkan berkah (rahmat) bagi kita dan kemanusiaan universal serta semesta
alam, al Haq memberi apresiasi khusus kepadanya seperti yang ditegaskan
firman-Nya,
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu
al Qur’an dengan perintah Kami, sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al Qur’an,
dan tidak pula mengetahui apakah iman itu tetapi Kami menjadikan al Qur’an itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki diantara
hamba-hamba Kami dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus. (Q.s. asy Syura 42 : 52).
Madluhyahnya (makna tersiratnya) Kami jadikan ruhmu manifestasi 'wajah
sempurna' daripada wajah-wajah kesempurnaan malaikat yang Kami perintahkan
tersebut karena malaikat ini adalah wajah daripada urusan Kami seperti yang
ditegaskan firman Qur’ani min Amri Rabbi— Urusan Tuhanku. Ketahuilah
makna hakiki Urusan Tuhan ku, itu adalah wajah dari wajah-Nya.
Tatkala Muhammad saw, ditanya anak zamannya perihal ruh ini, beliau
menjawab, Min Amri Rabbiy -Urusan Tuhan ku seperti yang dilansir pesan
Qur'ani :
Dan mereka bertanya kepadamu tentang
ruh dengan
lugas beliau menjawab, Ruh itu merupakan urusan Tuhanku. (Q.s. al Israa'
17 : 85)
yakni wajah dari wajah yang menjadi wilayah (urusan preogratif) al Haq. Hal
ini jelas berbeda dengan ruh Muhammad saw, dimana perihal ruh Muhammad ini al
Haq berfirman :
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu
ruh dengan perintah Kami. (Q.s. asy Syuraa
42 : 52).
Penyebutan ruh Muhammad saw
sebagai bentuk Ihtimam (perhatian) ketuhanan penyifatannya dengan keagungan
untuk Wasilah (media) pengingatan akan keagungan kemampuan sang rasul Muhammad
saw, sebagaimana yang ditegaskan al Haq dalam firman-Nya,
Hari itu adalah hari dimana manusia
dikumpulkan untuknya. (Q.s. Huud 11 : 105).
Adapun bentuk penegasan keagungan Muhammad saw tersebut, termaktub dalam
firman-Nya,
Ruh dengan perintah Kami (Q.s. asy Syuraa 42 : 52).
Telisik dengan jeli al Haq tidak bertitah dengan redaksi Qur'ani :
Kami wahyukan kepadamu dengan
perintah
Firman-Nya memakai redaksi ....ruh dengan perintah Kami karena ruh
Muhammad inilah maksud daripada wujud serta
maksud dari sendi-sendi kemanusiaan universal. Esensi makna ayat qur'ani
tersebut, adalah sebuah media penegasan, pengingat, pewartaan, akan ke-agung-an
dan kediqdayaan Muhammad saw yang merupakan cerminan hakiki daripada Cahaya
Ilahi (ketuhanan).
Ketahuilah, al Haq menciptakan malaikat ini, untuk dijadikan cerminan bagi
dzat Diri Nya, al Haq tidak mentajalhkan dzat-Nya, melainkan dengan malaikat
ini, penampakan malaikat mi pada segala wujud adalah untuk mengejawantahkan
sifat-sifat-Nya. Malaikat ini merupakan Qutub (poros) alam dunia dan alam
akhirat, qutub penghuni surga dan penghuni neraka, qutub penghuni alam lembut
dan alam kasar. Semua kehendak ketuhanan dan hakekat ketuhanan ter-wajah-kan
melalui malaikat ini, ia beredar dalam mikro kosmos dan makro kosmos, jika ia
beredar dalam makhluk-Nya ia akan menjadi qutubnya. Malaikat ini tidak akan
dapat diketahui kecuali dalam diri Insaan Kaamil (manusia sempurna). Ketika
seorang hamba telah makrifatullah, (memahami kesejatian Allah), Dia akan
mengajarinya segala sesuatu. Jika hakekat al Haq itu telah melanskapi diri sang
hamba, ia akan menjadi qutub beredar disekelilingnya Maujudaat (segala wujud)
yang bergerak, ia bagaikan magnit yang semua wujud tertarik kepadanya, semua
itu berjalan karena ketersambungan (Ithisaal) dan berbasis akar dan malaikat
tersebut.
Itulah sejatinya malaikat yang disebut ruh, seperti yang diwartakan dalam
firman Qur'ani :
Pada hari ketika ruh dan para
malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang
telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan ia mengucapkan
kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. (Q.s. an Nabaa' 78 : 38 - 39)
yakni pada hari dimana malaikat mi berdiri di kerajaan ketuhanan, sedang
para malaikat lam berdiri tegak dihadapannya bershaf-shaf untuk berhidmat
kepadanya. Malaikat ini senantiasa eksis dalam berubudiyah kepada al Haq, tidak
bergerak kecuali dengan amar perintah-Nya, adapun maksud daripada mereka
tidak berkata-kata, adalah merujuk kepada para malaikat selain malaikat
ini, ia diperbolehkan berkata dihadapan hadirat ketuhanan, karena ia adalah
wajah kesempurnaan-Nya dan keutamaan-Nya. Para malaikat itu meski mereka
diizinkan berbicara dihadapan hadirat ketuhanan, mereka tidak akan berkata,
kecuali hanya dengan satu kalimat saja.!
Karena mereka tidak mampu berkata lebih dari dua kalimat, para malaikat
itu sama sekali tidak bisa memanjangkan perkataan mereka. Malaikat yang kali
pertama memperoleh perintah dan al Haq adalah malaikat ini, kemudian ia
menyampaikan amar perintah itu kepada para malaikat lam, mereka adalah pasukan,
sedang panglimanya adalah malaikat ini.
Jika al Haq memerintahkan suatu amar perintah di semesta alam ini, Dia
menciptakan malaikat dari unsur malaikat ruh ini, lalu mengutusnya untuk
melaksakan amar perintah tersebut, ruh malaikat inilah yang menggerakkan
malaikat yang baru dicipta itu. Semua malaikat Muqorrobiin (para pendekat al
Haq) tercipta dari unsur malaikat ruh ini, semisal Israfil, Jibril, Mikail,
Izra'il termasuk malaikat yang ada diatas mereka yang bernama malaikat Nun. Ia
adalah malaikat yang berdiri dibawah Lauhul Mahfudz, ia sama seperti malaikat
yang bernama al Qolam, juga malaikat yang bernama al Mudabbir, yaitu malaikat
yang berdiri dibawah al Kursiy (kursi), serta malaikat yang bernama al
Mufashil, yang berdiri dibawah Umm al Kitab (induk kitab). Para malaikat itu
disebut Ilhyuun (makhluk yang tinggal di alam ketinggian) mereka tidak termasuk
malaikat yang diperintahkan al Haq untuk bersujud kepada Adam as, yang
sedemikian itu merupakan hikmah ketuhanan, sebab jika mereka diperintah sujud
kepada Adam as, niscaya mereka akan tahu masing-masing dari keluarga dan anak
turun Adam as. Jika anda ingin tahu para malaikat yang diperintah sujud ke Adam
as, bagaimana mereka menampakkan diri mereka kepada anak cucu Adam as, maka
telisiklah rupa mereka dalam tidur anda, mereka akan tampak dengan Shurah
(citra) ketuhanan yang ditampakkan al Haq melalui mimpi, kesemua gambaran citra
itu akan diturunkan malaikat yang ditugaskan untuk menyampaikah citra ketuhanan
dengan aneka macam bentuk (rupa) kepada insan yang mimpi.
Dalam mimpi itu orang seorang bisa melihat benda mati bisa berbicara
dengannya, meski ia tidak memiliki ruh dalam bentuk benda padat dalam alam
realitas, atau meski dalam dunia riel benda itu tidak bisa bicara, namun ketika
hadir dalam mimpi ia bisa bicara. Realita ini pararel dengan sabda rasul saw :
Sesungguhnya mimpi yang benar,
termasuk wahyu dari Allah,
karena dalam mimpi itu malaikat turun ke dalam diri insan yang mimpi, dalam
hadits lain rasul saw bersabda :
Sesungguhnya mimpi yang benar,
bagian dari empat puluh enam etos kenabian.
Iblis -semoga Allah melaknatnya-', termasuk bagian dari malaikat yang
diperintahkan bersujud kepada Adam as, namun ia enggan bahkan dengan congkak
menentang perintah al Haq tersebut, para Iblis itu lantas berusaha mewujudkan
citra mereka melalui mimpi, dengan bentuk (rupa) malaikat, karenanya tidak
semua mimpi itu benar, sebab ada mimpi yang datang melalui Iblis dengan wujud
malaikat, yang disebut mimpi tidak benar. Esensinya para malaikat yang
bersemanyam di alam ketinggian bersama-Nya, tidak termasuk malaikat yang
diperintah untuk bersujud kepada Adam as, karenanya mereka tidak mampu
memakrifahi ilmu ketuhanan anak cucu Adam as, utamanya mereka yang telah sampai
ke maqom spiritual tertinggi. Paska menjernihkan sauh-sauh sifat kemanusiaan
diri mereka. Cobalah telisik kembali firman-Nya yang membincang Iblis. Allah
berfirman :
Hai, Iblis, apakah yang menghalangi
kamu bersujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan kedua tangan Ku, apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?.
(Q.s. Shaad
38 : 75)
yakni malaikat yang lebih tinggi tidak diperintahkan untuk sujud kepada
Adam as. Demikian seperti yang diungkapkan Imam Muhyiddin ibnu Arabi dalam
kitab Futuhaat al Makkiyah-nya.
Ketahuilah bahwasanya al Haq, tersucikan dari etos pertanyaan, terlebih
ketidak fahaman. Ungkapan al Haq kepada Iblis,
Hai, Iblis, apakah yang menghalangi
kamu bersujud?
sejatinya bukan sebuah pertanyaan, namun menunjukkan penafian atau
penetapan, bisa pula bermakna respon positif atau penistaan, namun makna hakiki
ayat itu adalah penistaan al Haq terhadap Iblis. Sedang pertanyaan al Haq,
Apakah kamu menyombongkan diri?
Makna, hakikinya adalah penetapan al Haq bahwa Iblis benar-benar congkak dan
sombong, karena ucapan Iblis,
Saya lebih baik daripadanya. (Q_.s. al A'raaf 7 : 12).
Adapun pertanyaan al Haq,
Ataukah kamu merasa termasuk
orang-orang yang lebih tinggi?
Makna hakikinya adalah penafian al Haq bahwa Iblis bukan termasuk bagian
makhluk-Nya yang lebih tinggi dari Adam as, yang tidak diperintah untuk sujud
kepada Adam as. Sedangkan pertanyaan al Haq yang menandakan respon positif
adalah seperti yang termaktub dalam firman-Nya,
Apakah itu yang di tangan kananmu hai
Musa? (Q.s.
Thaaha 20 : 17).
Musa menjawabnya dengan etika,
Ini adalah tongkatku, aku bertelekan
padanya dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi
keperluan yang lain padanya. (Q.s. Thaahaa 20 : 18).
Musa sangat memahami bahwa dirinya membutuhkan tongkat itu untuk dirinya,
karenanya ia berkata,
Ini adalah tongkatku..., ia tidak berkata Tongkatku.. Demikianlah
ihwal para insan yang dekat dengan Allah itu beretika dihadapan hadirat-Nya.
Kesemua itu tercerminkan pada diri seorang Insaan Kaamil (manusia sempurna).
Maka tradisikan dalam diri anda perilaku, etik moral para insan kamil,
berprilakulah dengan etika mereka, niscaya anda berbahagia bersama mereka.
Ketahuilah bahwasanya malaikat ruh ini memiliki ragam nama sejalan dengan
wajah yang dilanskapinya (nuansa wujudnya) ia bernama Qolam (pena) tertinggi,
ruh Muhammad saw, Aql Awwal (akal pertama), ruh Ilahi (ketuhanan), jika tidak
multi nama, niscaya ia dihadapan hadirat-Nya hanya memiliki satu inisial yaitu
ruh Karenanya kita menghususkan malaikat ini dalam kajian khusus kita sengaja
tidak memaparkan keajaiban, keutamaan dan ke-gharib-an (keanehan) malaikat ini
karena akan membutuhkan berlembar-lembar kertas yang menjadi berjilid-jilid
buku. Saya (al Jailiy) telah bertemu dengan malaikat ini dalam Hadrah
(presensi) ketuhanan ia beruluk salam kepada saya dan berkenalan dengan saya.
Kujawab uluk salamnya setelah aku tersadarkan diri dari keterpesonaanku akan
kewibawaan dan kegagahannya. Ia sangat santun menjalin komunikasi bersamaku,
sikapnya sangat lembut dan sangat bersahabat. Aku tanya kepadanya tentang
kedudukannya eksistensinya, pencitraannya, kehadirannya, serta basis
penampakkannya, asalnya, cabangnya, macamnya, sifatnya namanya, bentuk dan
rupanya. Ia menjawab : ((Sesungguhnya sesuatu yang aku bincangkan dan rahasia
yang aku wartakan adalah wajah kemuliaan dan keagungan kedudukan-Nya tidak
diperbolehkan al Haq untuk diwartakan secara terang-terangan kecuali dengan
kiasan atau permisalan belaka. Ku katakan kepada malaikat itu : Cobalah
paparkan dengan kiasan atau permisalan barangkali al Haq membentangkan kasih
pertolongan-Nya kepadaku hingga aku bisa menangkap pesan tersiratnya. Malaikat
itu menjawab : Sejatinya diriku adalah anak yang bapaknya adalah ibunya,
keledai yang dimuliakan ekornya, aku adalah cabang yang menghasilkan akar, aku
adalah busur yang membuat anak panah sampai ke sasarannya, aku berkumpul dengan
para ibu yang membuatku bisa lahir, aku lalu meminang mereka untuk aku nikahi
dan mereka menerima lamaranku, akupun menikah dengan mereka...
Ketika aku bergerak di Dzahir asal sesuatu, aku tertampakkan dengan bentuk
sesuatu tersebut, aku senantiasa melantunkan tasbih (sanjung puji) atas diriku,
aku selalu menghitung diriku aku telah memegang amanat Huyuli (benda pertama),
aku punggawa Hadrah yang disifati dengan utama, yang dengan itu engkau akan
dapati diriku, bapak semuanya, ibu agung, penyusu hadrah dan wah amanat. Adapun
asal dan kedudukan (martabat)ku, ketahuilah olehmu, ketika aku menjadi inti
penyaksian, hukum ke-gaiban-ku, lebur bersama penampakkan, ketika aku ingin
mengetahui hukum yang tersembunyi dan ingin menyaksikannya, aku sembah al Haq
dengan nama itu, dengan ritual ini dan itu selama satu tahun, hatiku tetap
eksis terjaga mengingat-Nya selama kurun waktu tersebut, al Haq lantas
mewejangi diriku dan bersumpah dengan nama-Nya, ia mewartakan firman-Nya,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.s. asy Syam 91 : 9 -10).
Dia lantas membagi nama-Nya dan memberinya kepadaku, maka jadilah aku isim
(nama)-Nya Aku pun tersucikan hakekat ke-Muhammadan-ku dengan lisan hadirat
kerasulan. Rasulullah saw bersabda : Allah menciptakan Adam dalam citra Diri
Nya. Sungguh ungkapan itu benar dan tidak boleh diragukan kevalidannya, Adam as
tidak lain adalah cerminan dari wujud diriku, disematkan kepadanya amanah
ke-khalifah-an, dari situ aku mafhum bahwasanya al Haq, menjadikan diriku media
dan maksud serta kehendak para hamba-Nya, tiba-tiba ada suara agung dari maqom
kebesaran dan keagungan, seraya berujar : Kau adalah qutub (poros) Yaduuru
(berotasi) disekelilingmu Aflaak (bintang-bintang) keindahan, kau adalah
matahari yang membentangkan cahaya kesempurnaan, keperkasaanmu tak tertandingkan,
dirimu marak dengan nuansa keindahan dan kesempurnaan-Nya, kau adalah titik
dari lingkaran-Nya, kau adalah baju dari pakaian mahal Diri Nya....))
Malaikat ruh itu lantas bertutur : ((Wahai maulah (tuan) Yang Maha Agung,
dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Waspada, kami memohon kepada Mu kekuatan dan
pemeliharaan, kabanlah kepadaku peredaran hikmah, samudera rahmat, agar kami
bisa menuntaskan dahaga para pencari Mu dengan cawan hikmah dan air rahmat,
agar aku bisa menerbangkan mereka dengan sayap-sayapku, menuju hadirat Mu.
Suara Yang Maha Tinggi itu berkata • Ketahuilah bahwasanya al Haq bertajalli
melalui asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya yang dengan itu para makhluk-Nya bisa
memakrifahi dzat Diri Nya. Jika ia mampu menggapai makrifah al Haq akan menjadi
lahir dan batin inti (dzat) hamba tesebut, Ia wujud secara dzat tertampakkan
dalam martabat ketuhanan. Jika seorang hamba tidak mengotori syakilah hatinya
dengan sesuatu selain Din Nya, akan kuat kedekatan dan keterkaitannya dengan al
Haq, sebaliknya jika hatinya kotor, ia akan terjauhkan dari al Haq. Maka buang
jauh-jauh pelik duniawi dalam syakilah hatimu, jangan memberi ruang sedikitpun
untuk sesuatu selain Diri Nya dalam kalbumu, kau akan fana' (sirna)
bersama-Nya. Untuk misi pensucian hati dan penjernihan jiwa inilah al Haq,
mengutus para rasul-Nya, dengan kitab-kitab-Nya dan firman-firman-Nya yang
kokoh, sebagai media penerjemah daripada sifat-sifat-Nya yang 'Ulaah (tinggi)
dan asma-asma-Nya yang Khusnah.....
Agar supaya semua hamba-Nya bisa memakrifahi kesejatian dzat-Nya, sebab
tanpa memakrifahi kesejatian asma-asma dan sifat-sifat-Nya, niscaya kesejatian
dzat-Nya tidak akan bisa disibak. Karenanya kita diperintahkan baginda rasul
saw : Hiasilah dirimu dengan sifat-sifat al Haq, Beretikalah dengan etika al
Haq yang dengan itu bisa disibak rahasia-rahasia-Nya yang terpendam dalam
diri manusia dan kemanusiaan universal. Hanya dengan memahami
rahasia-rahasia-Nya yang terpendam dalam mikro kosmos (diri manusia) itulah
tajalli ketinggian kemuliaan Robbani (ketuhanan) bisa dimukasyafahi. al Haq
juga mengajarkan martabat Rahmaniyah (kepemurahaan), pun martabat-martabat
ketuhanan lainnya, sejalan dengan firman-Nya, Mereka tidak menghormati Allah
dengan penghormatan yang semestinya. (Q.s. al An'aam 6 : 91). Inilah firman
al Haq yang membentangkan jalan bagi hamba-Nya untuk mengarungi samudera
hikmah-Nya. Ini adalah kulit yang membungkus daging buah. Makna hakiki dari
ayat ini, orang seorang tidak akan mampu memi'rajkan dirinya ke cakrawala
hikmah, selama penghormatannya kepada al Haq nihil, atau berusaha meraihnya
dengan selain Diri Nya....))
Rahasia ketuhanan sangatlah luas, akal manusia tidak akan mampu
menjangkau-nya, peran akal dalam hal ini bersifat skunder bukan primer, karena
akal hanya mampu menjangkau sesuatu yang bersifat inderawi, sedang penyaksian
rahasia itu harus dilakukan dengan Mukasyafah (pengetahuan intuitif). Samudera
hikmah-Nya sangatlah dalam, akal tidak akan mampu menyelaminya. Ketahuilah jika
kau mendengar perkataan yang menyentuh kalbumu, cobalah telisik makna batinnya,
banyak sekali wajah-wajah ketuhanan yang tertampakkan pada bentuk lahiriyah
segala wujud, namun tidak tertangkap pesan-Nya oleh mereka-mereka yang
menyaksikannya. Wajah-wajah-Nya yang tampak pada bentuk dzahir Maujudaat
tersebut, jika tidak mampu disingkap makna batinnya oleh insan yang menyimak,
maka itulah sejatinya yang disebut manusia yang terhijabkan (terhalang). Sebab
akar hijab bisa dikarenakan hati yang tidak suci atau pasung aql (akal). Orang
seorang yang hanya memaknai realitas ketuhanan itu secara rasio, sedang hatinya
kering dari penelisikan makna ketuhanan ketahuilah manusia seperti itulah yang
disebut al Mahjuub (terhalang). Orang yang terpasung dengan akal-nya hanya akan
membuat dirinya bingung, berjalan tanpa arah, meniti tanpa tujuan, titian
langkahnya justru cenderung menjauhkan dirinya dari al Haq. Berbeda dengan
mereka yang mengoptimalkan ketajaman mata hatinya, ia selalu eksis dengan
metafor ketuhanan dan berusaha memukasyafahi-Nya. Seorang pegiat sufi berkata:
Kedahagaanku tiada pernah terpuaskan, meski aku selalu mereguk cawan hikmah,
ruh Yang Maha Tinggi selalu memberiku minum, semakin aku reguk minuman
hikmah-hikmah itu, semakin terasa kehausan jiwaku akan hikmah-Nya, aku terus
mereguknya hingga terbit matahari taqdir menyingsingkan fajar ke-aku-an diriku
dalam kemilau sinar-Nya. Tiba-tiba rembulan kesadaran menyadarkan diriku, dan
menerangi diriku dengan Haal (keadaan), yang dengan itu aku berusaha merengkuhi
capaian spiritual tertinggi menuju kedekatan bersama al Haq.
Syair-syair al-Jily
Ia
adalah telagaNya yang menyemburkan makna hakiki,
sifat-sifatNya
dan zat DiriNya
Ia
adalah ruh keindahanNya,
tertajalli
pada realitas wujud, yang eksis sepanjang zaman
Ia
adalah citra kebaikan-kebaikanNya
Icon
segenap 'laku' kebaikan Diri Nya di alam ini
Ia
adalah makna batin sesungguhnya 'laku' kebaikan segenap hambaNya,
yang
terlihat Segenap alam dibawah centra titiknya
Ia
organisir ragam alam dalam keesaan yang utuh
Ia
adalah Kinayah hakekat sesungguhnya
Kinarya
segenap mahlukNya yang terurai kalimat
Semua
citra ciptaanNya, paska dan sebelum
Pengkaryaan
adalah sejalan dengan sifat-sifatNya
Ia tidak
mewajahkan citra zat DiriNya secara subtansial disegenap realitas wujud ini
'Laku'
kebaikanNya membuncah pada setiap 'laku kebaikan segenap para hambaNya
wujud
'laku' kebaikan-kebaikan DiriNya tidak didahului serta diahiri oleh suatu apapun
Saksikan
kesempurnaan hakiki DiriNya
Akan
tampak jelas kesejatian zatNya yang hakiki
Sudah Edit 52. Hati dan Asal penciptaan
Israfil Dari Nur Muhammad SAW
etahuilah, bahwasanya al Qalbu (hati) itu sejatinya adalah Cahaya Azali
(tidak berawwal) dan Rahasia ke-Tinggi-an yang diturunkan pada inti alam dan
isinya alam (dunia), dengannya al Haq melihat kesejatian manusia dan hakekat
kemakhlukan universal. Dalam al Qur'an cahaya azali dan rahasia ketinggian ini
disebut dengan redaksi, Ruhullah (ruh Allah) yang ditiupkan ke dalam ruh Adam
as, sebagaimana firman-Nya,
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku. (Q.s. al-Hijr 15 : 29).
Cahaya Azali disebut Qalbu (hati) karena mengandung multi makna. Diantara
makna-makna qalbu itu adalah :
Hati : Isi segala Mahluqaat (segenap makhluk) dan kulit segala Maujudaat
(segala yang wujud), baik yang ada di alam ketinggian maupun alam rendah, hati
dinamakan demikian, karena kebalikan sesuatu melahirkan pemaknaan lain, semisal
tampilan lahir seseorang belum tentu sama dengan laku batinnya.
Hati : Cepat berubah dan labil, dinamakan demikian karena ia merupakan
noqta (titik) yang dikelilingi gusuan sifat-sifat dan nama-nama-Nya, jika nama
dan sifat-Nya itu marak dalam diri orang seorang, maka nama dan sifat-Nya itu
akan mewarnai perilaku si empunya hati. Kami menyebutnya dengan 'marak' karena
fitrah penciptaan hati itu adalah siap menerima sifat-sifat dan asma-asma-Nya.
Pada dasarnya hati manusia itu suci dan bersih, tabiat, diri dan nafsu
manusialah yang mengotorinya, maka jika nama dan sifat-Nya mendominasi diri
seorang hamba, inti nama dan sifat-Nya akan mengubur sifat dan watak
kemanusiaan seorang hamba, jadilah hamba itu insan yang berada dibawah kendali
asma dan sifat al Haq. Pada termin ini semua perilaku hamba digerakkan oleh
sifat-sifat dan nama-nama al Haq.
Ketahuilah bahwa wajah hati itu selalu menghadap ke cahaya yang ada di
relung al Fuad (hati yang eksis) yang dinamakan 'Hasrat', ia merupakan basis
penglihatan hati dan wajah daripada arah dan tujuan yang hendak ditujunya. Jika
sifat dan asma al Haq mendominasi hati, maka arah dan tujuan hati bisa disibak
dari makna hakiki nama dan sifat-Nya yang mendominasi hati tersebut, jika hati
dikuasai nafsu, maka keliaran nafsulah mendominasi perilaku si empunya hati.
Hasrat itulah sejatinya yang disebut wajah hati, sedang hati yang tidak memiliki
motivasi disebut hati yang hampa. Ketahuilah tidak ada ruang kosong dalam hati,
karena semua syakilah hati memiliki wajah. Hanya saja dalam semantis logika
bahasa, hati yang marak dengan harapan dan hasrat disebut wajah obsesi, sedang
hati yang nihil harapan dan hasrat disebut hati yang kosong (hampa).
Ketahuilah bahwasanya hasrat yang ada dalam syakilah hati itu, tidak
memiliki wajah khusus, kadang mengarah ke atas, kadang ke arah bawah, atau
menghadap ke arah kiri atau kanan, semua itu tergantung dari si empunya hati
dalam mempola dan menyikapi hatinya. Diantara anak manusia ada yang senantiasa
eksis menghadapkan harapan hatinya ke atas, mereka itulah kelompok manusia yang
disebut para Aarifin (manusia-manusia yang telah memahami kesejatian Allah), diantara
komunitas manusia ada yang selalu mengarahkan harapannya ke bawah, mereka
itulah insan-insan yang kemaruk duniawi (materialistis). Diantara mereka ada
yang mengarahkan hatinya ke arah kanan, mereka itulah para pegiat ibadah, ada
pula yang selalu mengarahkan hatinya ke kiri, mereka itulah pemuja hawa nafsu,
para pemalas, pembohong, kaum hipokrit, selalu mengarahkan hati mereka ke arah
ini. Adapun para ahli hakekat tidak menghadapkan hatinya ke arah-arah tersebut,
arah perhatian mereka hanya kepada al Haq, tidak ada sedikitpun dalam syakilah
hati mereka, ruang kosong untuk berharap selain al Haq, syakilah hati mereka
hanya fokus ke arah asma-asma dan sifatsifat-Nya yang hakiki, sehingga
perilaku mereka berada dibawah kendali asma dan sifat-sifat Nya, mereka
menghiasi diri mereka dengan sifat-sifat dan asma-asmaNya diberbagai dimensi
kehidupan yang ada, baik secara parsial namun secara universal. Dengan capaian
spiritual seperti itu, mereka akan sampai kepada maqom al Qurb (kedekatan)
bersama al Haq secara dzat, bukan lagi secara asma-asma atau sifat-sifat-Nya.
Pahami betul masalah ini.!
Hati : Qolbu, karena mudah berbalik, nama-nama dan sifat-sifat-Nya gambang
dibongkar pasang, oleh si empunya hati, karena ketidak eksisan hatinya, disebut
demikian karena si empunya hati, mudah berbalik arah dalam memaknai asma dan
sifat-sifat-Nya, hal ini terjadi karena rapuhnya keyakinan dan nihil rasa
istiqomah dalam diri, pun pula disebut qolbu, karena mudah terbalik, semudah
anda membalik piring atau gelas yang ada ditangan anda.
Hati : Kebalikan Muhdatsaat (sesuatu yang adanya karena diadakan), yaitu
cahaya Qodim (eternitas)Nya yang berdimensi Ilahiyah (ketuhanan). Hati juga
bermakna kembali ke asal penciptaan yaitu basis ketuhanan, sebagaimana
firman-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati. (Q.s. Qaaf 50 : 37)
yakni kembali dari keterpalingan menuju al Haq, dengan membuang sauh-sauh
kefokusan kepada selain Dia dan kekemarukan duniawi, kembali dari arah bawah
(dunia) ke arah atas (ketuhanan), kembali dari perilaku hati yang mengedepankan
ritual simbolistik, ke ritus hati yang berdimensikan batin, kembali dari
mentradisikan pemaknaan lahir ke pemaknaan batin. Kembali dari kenikmatan semu ke
kenikmatan hakiki. Hati : Kembalinya dimensi ciptaan kepada dimensi al Haq,
yakni dari penampakan berdimensikan kemakhlukan kembali ke lanskap ketuhanan,
jikalau hal itu tidak terjadi (kembali) maka si-makhluk tidak bisa menembus
dimensi ketuhanan, karena makhluk akan tetap menjadi makhluk dan al Haq tetap
al Haq. Manusia akan tetap di alam hewaninya jika tidak berusaha kembali ke
fitrah penciptaan yaitu alam ketuhanan, ia akan tetap menjadi manusia dan
makhluk rendahan jika ia tidak berusaha menghiasi dirinya dengan asma dan
sifat-sifat-Nya, al Haq berfirman dalam pesan Qur’ani :
Kepada-Nya kamu akan dikembalikan. (Q.s. al Ankaabut, 29 : 21).
Hati : al Haq, mengembalikan segala sesuatu, sesuai yang dikehendaki-Nya,
fitrah penciptaan hati adalah untuk basis penglihatan al Haq kepada manusia,
dari hati itulah al Haq melihat wajah kemanusiaan seorang manusia. Adapun
hakekat fitrah dalam hati manusia itu adalah nama-nama dan sifat-sifat-Nya. al
Haq berfirman :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.s. 95 : 4),
akan tetapi banyak manusia yang
menodai fitrah penciptaannya dengan melumuri hatinya dengan geliat nafsu dan
tabiat-tabiat hewan, serta tradisi-tradisi kehidupan yang jauh dari kisi-kisi
ketuhanan. Hati ibarat kanvas putih bersih, corak dan keberadaannya tergantung
siapa yang melukisnya, fitrah seorang bayi adalah suci (hatinya),
manusia-manusia disekelilingnya yang mewarnai kepribadian si bayi ketika tumbuh
dewasa, adakah tetap pada jalur kefitrahan ataukah jauh dari fitrah
penciptaannya, jika hati manusia telah terpalingkan dari fitrah penciptaan, ia
akan masyghul dan kemaruk dengan kehidupan dunia serta lalai dengan nilai-nilai
ketuhanan dan kehidupan akhirat maka ia termasuk mereka yang difirmankan al
Haq.
Kemudian Kami kembalikan ia ke
tempat yang serendah-rendahnya. (Q.s. at Tiin 95 : 5).
Manusia yang eksis dengan fitrah penciptaannya dan mentradisikan
nilai-nilai ketuhanan serta selalu berdzikir (ingat al Haq), berikut
mengoptimalkan akalnya untuk tafakkur akan nilai-nilai ketuhanan al Haq, akan
mengarahkan hatinya ke alam ketuhanan, yang dengan itu ia akan mendapat
kedudukan yang tinggi dan tempat yang muka disisi-Nya. Ia akan senantiasa
menjernihkan hatinya dari kotoran hati, mensucikan jiwanya dari noda keburukan,
ia laksana orang yang membersihkan bajunya dari noda kotoran, hingga bajunya
tersterilkan dari kotoran. Ia sucikan hatinya dari segala kekemarukan duniawi,
ia jernihkan syakilah hatinya dari pelik-pelik duniawi, ia murnikan hati dan
jiwanya hanya demi dan untuk al Haq semata. Ia tidak nodai amal ibadah dan
ubudiyahnya dengan nafsu, ia bersihkan dirinya dari segenap perilaku yang
menjauhkan dirinya dari nilai-nilai al Haq. Ia berusaha mengembalikan dirinya
kepada fitrah penciptaan, dengan mentradisikan laku 'suluk' (meniti jalan
Allah), Mujahadah (usaha yang tiada pernah kenal putus asa), Riyadhah
(pelatihan jiwa) serta eksis memerangi nafsu diri, mensucikan jiwa, menghiasi
diri dengan sifat-sifat-Nya, memakrifahi hakekat asma-asma-Nya. Manusia seperti
itulah yang diapreasiasikan al Haq dalam firman-Nya.
Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh. (Q.s. at Tiin 95 : 6).
Dengan amal shaleh (laku kebaikan) itulah rahasia-rahasia ketuhanan yang
Dia taruh di ayat-ayat kitab-Nya yang diturunkan kepada para rasul-Nya bisa
disibak. Kasyf itu tidak akan terjadi kecuali jika orang seorang mampu
menggapai iman hakiki kepada al Haq dan rasul-Nya. Dengan laku suluk seperti
itu si Saalik akan bertemu dengan al Haq pada noqta (titik) Tauhid (ke-Esa-an),
yang dengan itu si Saalik akan menemukan kesejatian iman dan beraktualisasi
diri ke garis edar hadirat-Nya, melalui sampan qalbu-nya, mengarungi samuderah
hikmah dan rahasia ketuhanan. Amal shaleh itu sendiri mengandung dua makna.
Laku qalbiyah (berdimensikan hati), yaitu menjernihkan etos ketauhidan,
senantiasa mawas diri, tidak berpaling kepada selain al Haq. Laku Dhahiriyah
(berbuatan lahir), yaitu menjalankan ajaran syariat, berprilaku yang tidak
menyimpang dari syariat, semua itu merupakan makna hakiki dari firman-Nya.
Orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. (Q.s. at Tiin 95 : 6).
Mereka mendapat apa yang menjadi hak mereka dari-Nya, pahala yang tiada
terputus itu bukan 'pemberian' namun hak yang menjadi milik mereka, karenanya
tidak terputus, mereka bahkan tidak sekedar menerima hak, mereka memperoleh
lebih dari sekedar hak, yaitu pemuliaan dan kehormatan dari al Haq, yakni
memiliki khazanah kasih kedermawanan-Nya, terlebih tajalli dzat-Nya, kedua hal
ini bukan merupakan pemberian, namun hak ketuhanan. Atas dasar itulah syeikh
kita, asy Syeikh Abd Qodir al Jailaniy menandaskan : Aku selalu merangkak di
taman keridhaan, hingga aku sampai pada kedudukan yang bukan merupakan
pemberian.
Hati : Pengembalian hakekat-hakekat segala yang wujud, hati laksana cermin
untuk melihat wajah. Hati merupakan poros mikro kosmos dalam jasad manusia, ia
berubah-ubah sesuai keadaan manusia, seperti halnya wujud di makro kosmos yang
selalu berubah-ubah sesuai dengan fonemena alam. Cobalah lihat wajah anda
dihadapan cermin, anda akan mendapati diri anda bertautan posisi, tangan kanan
anda terlihat dalam cermin posisinya disebelah kiri, meski inti (dzat)nya tidak
berubah, tapi posisinya berubah, demikian pula jika anda menulis dari sebelah
kanan, anda akan melihat dalam cermin, awal tulisan anda posisinya disebelah
kiri, inti rupanya tidak berubah, yang berubah hanya posisinya. Demikian pula
dengan keadaan hati. Namun perlu kami tegaskan disini bahwa, alam realitas
(dunia) ini sejatinya adalah cerminan hati, asal dan bentuk rupanya adalah
hati, cabang dan cerminnya adalah alam dunia. Atas dasar ini pula taqdir bisa
disebut hati, karena adanya Shurah (citra) di dalamnya, cermin adalah hati
kedua, yakni kebalikannya. Pahami betul masalah ini! Argumentasi kami bahwa
hati adalah asal dan alam adalah cabang, berdasarkan firman-Nya dalam hadits
Qudsi,
Bumi Ku tidak cukup luas untuk aku
diami, demikian pula dengan langit Ku, hanya hati hamba Ku yang beriman yang
mampu menampung diri Ku.
Jika alam ini asal, niscaya ia mampu menampung al Haq, dengan demikian
jelas sekali bahwa hati itu asal sedang alam cabang. Ketahuilah bahwa luas
(peliputan) itu terbagi atas tiga macam :
Pertama: Luas berdimensi 'Ilm (ilmu), yaitu makrifatullah (memahami
kesejatian al Haq), tidak cukup hanya dengan mengandalkan kecerdasan logika
akal, untuk mengetahui hakekat segala wujud hanya bisa dilakukan dengan
kecerdasan hati, akal hanya bisa menagkap hal-hal yang kasat, ia tidak mampu
menembus segala wujud yang berada diluar persepsi inderawi. Akal hanya bisa
dipergunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya, sedangkan hati dapat
dipergunakan untuk melihat wajah al Haq dari segala wajah-wajah-Nya, baik kasat
maupun gaib. Kedua : Luas dalam dimensi Musyahadah (penyaksian), yaitu Kasyf
(pengetahuan intuitif) dengan-nya hati dapat menangkap hakekat keindahan dan
kebaikan al Haq, dengan Kasyf pula hati dapat merasakan dzauq (intuisi) dan
wujdaan, akan kesejatian nama-nama dan sifat-sifat al Haq, yang sedemikian itu
paska Syuhud (penyaksian). Tidak ada satu mahlukpun, yang mampu merasakan Dzauq
al Haq kecuali melalui jalan hati. Jika orang seorang memfungsikan akalnya, ia
bisa mengetahui ilmu al Haq yang ada di Maujudaat (segala wujud) dengan kedipan
inderawi saja, ia tetap beredar dalam falak wujud, maqom ilmunya hanya sebatas
kasat mata, berbeda dengan orang yang mengoptimalkan ketajaman mata hatinya, ia
akan berusaha merengkui maqom tertinggi, yang dengan itu, ia bisa memakrifahi
hakekat asma-asma dan sifat-sifat-Nya. Maqom ilmunya menembus dimensi realitas
(ruang dan waktu), yang berujung pada makrifah dzat-Nya, inilah sejatinya luas
dalam lanskap para arif billah.
Ketiga : Luas dalam dimensi al Khilafah (pengganti), yaitu menyelami hakekat
asma-asma dan sifat-sifat-Nya, sehingga ia melihat hakekat dirinya, laksana
melihat hekekat al Haq. Hawiyah (ke-Dia-an) al Haq menjadi inti ke-Dia-an
dirinya, ke-Aku-an al Haq, menjadi inti ke-Aku-annya, nama al Haq menjadi
namanya, sifat al Haq menjadi sifatnya, dzat al Haq menjadi dzat dirinya. Sikap
dan perilakunya seperti kebanyakan makhluk-Nya dalam kerajaan-Nya, ialah
sejatinya pengganti al Haq dalam alam realitas. Inilah sejatinya luas dalam lanskap ahli
hakikat. Lantas dimana letak perbedaan makna luas diantara lanskap para arif
dan para ahli hakekat,? agar pembicaraan kita tidak melebar ke wilayah rahasia
Rububiyah (ketuhanan), cukup kami wartakan bahwa letak perbedaannya ada pada
'pilihan' yang menjadi hak preogratif al Haq, untuk mengupasnya harus melalui
pintu rahasia ketuhanan. Ketahuilah -semoga al Haq menunjukkan kita jalan
kebenaran. Bahwasanya inti (dzat) al Haq tidak mungkin di ketahui melalui jalan
peliputan (luas) maupun pilihan, begitu pula dengan jalan Qodim maupun Huduts,
al Haq tidak bisa diketahui dengan Qodim, karena dzat-Nya tidak masuk dibawah
sifat-sifat-Nya, dzat-Nya merupakan wilayah ilmu-Nya, para hamba-Nya tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu-Nya melainkan apa yang dikehendaki Yang Maha
Mengetahui. Ilmu al Haq meliputi segala sesuatu, ilmu-Nya bersifat Kulli
(universal) bukan Juz'iy (parsial), sebab mustahil al Haq disifati Naqis
(kurang) dan Juz'iy (parsial), al Haq adalah dzat Yang Maha Mengetahui, Maha
Sempurna. Ilm-nya mencakup segala wajah, Dia tidak bodoh dengan diri Nya, Dia
sangat memahami diri-Nya dengan pemahaman yang utuh. Dzat-Nya tidak dibawah
naungan sifat-sifat ilmu-Nya, bukan pula dibawah naungan sifat kodrat-Nya.
Demikian halnya dengan para makhluk-Nya, keluasan (peliputan) yang mereka
miliki bukanlan berasal dari diri pribadi mereka, namun berasal dari Faydh
(penjelmaan) al Haq. Demikian pula dengan kesempurnaan makhluk, sejatinya
adalah tajalli kesempurnaan al Haq dan kesempuraan itu tidak terbatas peliputan
(luas)nya, itulah sejatinya makna firman-Nya. Hanya hati hamba Ku yang
beriman yang mampu menampung diri Ku.
al Haq Jallah Jalalah, menciptakan semesta alam ini, bahkan segenap alam,
dari Nur (Cahaya) Muhammad, basis penciptaan makhluk yang diberi nama Israfil,
bertempat dihati Muhammad saw, kita akan membahas masalah ini dalam bab
penciptaan malaikat. Dengan demikian Israfil makhluk (tercipta) dari Cahaya
Hati (Muhammad saw) yang bersemayam di alam Malakut, yang memiliki keluasan
(peliputan) dan kekuatan tak terbatas, Israfil adalah malaikat yang menghidupkan
semesta alam, dengan sekali tiupan, paska mematikan semesta alam dengan satu
tiupan pula, hal itu ditunaikan Israfil dengan kekuatan Ilahiyah yang
diciptakan al Haq pada inti (dzat) Israfil. Israfil adalah malaikat terkuat,
paling diqdaya, paling dekat dengan al Haq, maksud penciptaan malaikat Israfil
adalah untuk cermin dua wajah inti (dzat) al Haq serta wajah ketuhanan-Nya.
yaitu Menghidupkan dan Mematikan. Perhatikan dengan penuh seksama
masalah ini.!
Syair-syair al-Jilly
Qalbu
adalah Singgasana Allah Pusat kendali diri setiap manusia
Landasan
penampakkan al Haq
Ranah
hamparan kasih rahmatNya
Hati
adalah markas rahasiaNya
Samudera
pembentang kehidupan
Ia
adalah cerminan hakekatNya
Microskop
value keluhuranNya
Wadah
penampung KalamNya
Jaring
penangkap isyarat-isyaratNya
Ia
dianalogikan dengan cahaya diurai dengan huruf-huruf Qur'ani
Ia
laksana, minyak dan lampu dalam Misykat serta kaca menyala
Ia mudah
tebalik dan pongah.
Hati
yang ingat mulia, yang lalai nista.
Ia
kadang bersinar, kadang gelap
Ia
menyinari jagad diri dan kehidupan
Hati
didatangi DutaNya untuk dipersiapkan menerima tugas ketuhanan
Hati
suci bermoral malaikatNya
Hati
kotor berkarakteri Setan terlaknat
Hati
adalah penanda setiap insan
Adakah
ia manusia baik ataukah buruk
Ia
merupakan pundi rahasia batin
Samudera
pengetahuan setiap manusia
Ia kunci
pembuka keagunganNya
Pintu
pembentang rahasia-rahasiaNya
Itulah
wajah hakiki hatimu yang sesungguhnya
Simpanlah
rahasia batinmu, kau akan melihat rahasiaNya
Kebahagiaan
dunia bisa diraih dengan jejak kaki
Kebahagiaan
hakiki ahirat hanya bisa ditempuh dengan hati
Penyingkapan
Agung dan tirai Makrifat terbuka oleh 'laku' hati.
Raport
kebaikan dan keburukan setiap insani berdasar 'laku' hati
Manusia
yang membiarkan Qalbunya penuh noda hati
Selamanya
tidak akan merasakan penyingkapan rahasia AgungNya.
Hati
adalah perbendaharaan agung
Modal
utama setiap manusia menujuNya
Insan
yang tidak memuliakan hatinya
Akan
menuai keburukan abadi disisiNya
Hati
adalah landasan pacu hakekat
Nilai
hakiki tidak akan landing di hati kotor
Qalbu
yang tidak suci berlumur hijab
Hati
yang terhijab tidak akan Makrifatullah
Qalbu
adalah media Wushul dan Qurb
Keintiman
denganNya juga dengan 'laku' hati
Hakekat
kebaikan bersendikan Qalbu.
Kebaikan
yang tidak bernurani, adalah busuk
Ilham
suciNya turun di hati suci
Hati
buruk adalah landasan bisikan jahat setan
Muara
'laku' hati adalah ridhaNya
KeralaanNya
hanya berdasar 'laku' hati jernih
KemurkaanNya
akibat 'ulah' hati
Siksa
pedih ahirat juga akibat 'ulah' busuk hati
Hati
adalah centra penentu nasib
Kebahagiaan
dan kesengsaraan hakiki akibat hati
Hati
yang ta'at beroleh ridhaNya
Hati
yang kufur, akan menuai kemurkaanNya
Qalbu
yang pongah dan tersesat
Adalah
hati yang lupa mendzikir DiriNya
Wajah
kebaikan hati adalah lurus
Wajah
kesesatan hati, tindak kemaksiatannya
Tajamkan
mata Qalbu dan pikir
Akan
tersingkap keagungan rahasia ayat-ayatNya
Hati
adalah pengantin jasad dan ruh
Hanya
hati Sakinah yang sambung dengan DiriNya
Lihatlah
kepada 'laku' baik hatimu.
Itulah
rahasia batinmu, dan modal utamamu menujuNya.
Pandanglah
kebaikan-kebaikanNya
Akan
ditampakkan untukmu segala makna hakiki.
Sudah Edit 53. Akal pertama dan Asal penciptaan Jibril Dari
Nur Muhammad SAW
Ketahuilah, bahwasanya Aql Awwal (akal pertama) sejatinya adalah tempat Citra
Ilmu Ketuhanan yang terdapat pada segala wujud. Ia merupakan Qolam (pena)
tertinggi, yang menurunkan ilmu (pengetahuan) ke Lauhul Mahfudz ia merupakan
isi global Luh maupun perinciannya, bahkan ia merupakan perincian ilmu
ketuhanan yang universal, di Luh itulah penentuan dan basis penurunannya.
Kemudian akal pertama itu meliputi rahasia-rahasia ketuhanan yang Luh tidak
cukup memuatnya, seperti halnya ilmu ketuhanan yang tidak berbasis pada akal
pertama, namun ilmu ketuhanan termaktub dalam Umm al Kitab (induk kitab). Akal
pertama adalah merupakan induk kitab yang nyata, sedangkan Luh merupakan kitab
yang nyata, Maka Luh Ma'mum (pengikut) sedang sedang Qolam imam (pemimpin)nya
Qolam yang merupakan akal pertama pengendali, Luh yang merinci permasalahan
universal, dalam lanskap ilmu ketuhanan dimetaforkan dengan NUN. Pahami
betul masalah ini.!
Perbedaan antara akal pertama, akal semesta, dan akal kehidupan. Akal
pertama sejatinya adalah cahaya ilmu Ilahi (ketuhanan), yang tertampakkan pada
awal penurunan inti (dzat) para makhluk-Nya, anda juga bisa menyebutnya awal
perincian globalitas ilmu ketuhanan, karenanya rasul Muhammad saw bersabda :
Sesungguhnya yang pertama kali
diciptakan al Haq adalah akal,
akal sejatinya adalah hakekat penciptaan (makhluk) paling dekat dengan
hakekat ketuhanan. Adapun Aql Kulli (akal semesta) adalah neraca yang benar
(lurus), ia merupakan neraca keadilan di kubah Luh perincian. Adapun hakekat
akal semesta itu adalah akal aktif, yaitu penangkap cahaya yang terpancar dari
bentuk-bentuk ilmu yang diletakkan di akal pertama, tentu ungkapan seperti itu
bertolak belakang dengan semantis logika mereka-mereka yang tidak memahami
masalah ini. Kami berkata demikian, karena akal semesta mengibaratkan keutuhan
(universalitas) dan parsialitas (rincian) jenis akal, baik yang aktif maupun
yang tidak difungsikan, karena akal merupakan kesatuan yang utuh dan tidak
berhilangan, dengan demikian akal merupakan Jauhar (entitas) individu, ia di alam
ideal laksana unsur dasar ruh Malaikat dan Jin, ia bukan unsur dasar ruh hewan.
Akal Kehidupan sejatinya adalah cahaya yang ditakar dengan hukum pemikiran, ia
tidak bisa diketahui kecuali dengan 'alat' pemikiran, kemudian diwajahkan
dengan akal semesta saja, akal kehidupan tidak berhubungan (terkait) dengan
akal pertama, karena akal pertama tersucikan dari keterikatan dengan qiyas
(permisalan), pun terstrerilkan dari keterbatasan neraca logika. Akal kehidupan
ini merupakan basis pengeluaran wahyu Qudus (suci) ke sentra ruh dalam jiwa.
Akal semesta merupakan necara keadilan, perinci permasalahan, ia tersucikan
dari keterbatasan, akal ini merupakan penimbang segala sesuatu sesuai
ukurannya.
Sedangkan akal kehidupan hanya memiliki satu ukuran, yaitu pikir. Ia hanya
memiliki satu kisi, yakni adat istiadat, ia hanya memiliki satu sisi yaitu
dapat diketahui, ia hanya memiliki satu kendala yakni, tabiat. Adapun akal
semesta ia memiliki dua ukuran, yaitu, hikmah dan kodrat, ia memiliki dua sisi,
yakni, kehendak ketuhanan dan keselarasan alam, ia memiliki dua kisi yaitu,
kehendak ketuhanan dan hasrat ciptaan (makhluk), yang terkandung didalamnya
multi takaran, diantara bentuk takarannya adalah tidak terukur, karenanya akal
semesta disebut dengan neraca yang benar, karena ia tidak meringankan dan tidak
mendzalimi takarannya sedikitpun. Berbeda dengan akal kehidupan, kadang
meringankan atau bahkan menghilangkan banyak sesuatu, dan hanya memiliki satu
sisi. Pengandaian akal kehidupan tidak akan melahirkan kebenaran, malainkan
melapangkan jalan kedustaan, al Haq berfirman : Terkutuklah orang-orang yang
banyak berdusta. (Q.s. adz Dzurriyaat 51 : 10). Mereka itulah sejatinya
orang-orang yang menimbang masalah-masalah ketuhanan dengan akal, mereka itulah
sejatinya para utopis, karena pada hakekatnya mereka tidak menimbang sesuatu,
mereka hanya berkata dusta dengan penuh kesengajaan. Dengan demikian mereka
yang hendak menyibak nilai-nilai ketuhanan dengan akal, sejatinya ia adalah
manusia utopis.
Akal pertama, seumpama matahari, akal semesta, laksana air yang tersinari
sinar matahari, akal kehidupan bagaikan pantulan cahaya matahari dari air
memantul ke tembok. Orang yang melihat matahari di air, akan menemukan bentuk
matahari secara sempurna, cahayanya bisa ditangkap dengan jelas, sama persisnya
dengan melihat matahari secara langsung, sama sekali tidak ada perbedaan
diantara keduanya, hanya saja orang yang melihat mahatari secara langsung, akan
menengadahkan kepalanya ke atas, sedang orang yang melihat matahari melalui
air, ia menengadahkan mukanya ke bawah. Demikian pula dengan akal semesta, ia
mengambil ilmu-Nya dari akal pertama, akal semesta itu lalu mengangkat qalbu
ilmu ketuhanan, kemudian cahaya qalbu ilmu ketuhanan itu dipancarkan ke tempat
al Kitab, darinya memantul ilmu ketuhanan ke segenap alam, itulah sejatinya
batas pilah antara ilmu yang tertulis di Lauhul Mahfudz dengan ilmu yang
terpencar di penjuru alam. Ilmu yang lahir dari akal pertama, datangnya
langsung dari al Haq, adapun akal semesta jika mengambil ilmu dari Luh, maka
ilmunya disebut kitab, prosesnya berdasarkan hukum hikmah, ukurannya adalah
kodrat baik berlandaskan aturan maupun non aturan, karenanya hal ini mencakup
dua kemungkinan, salah dan benar. Ilmu dikatakan benar selama masih dalam
koridor nilai-nilai ketuhanan dan aturan Tuhan, ilmu dikatakan tidak benar jika
keluar dari koridor nilai ketuhanan dan syariat-Nya. al Haq, menurunkan
ilmu-Nya kepada segala yang wujud melalui akal pertama saja, demikianlah
sunnatullah (hukum Allah) yang terkait dengan penurunan ilmu-Nya, hingga
tertulis di Lauhul Mahfudz.
Ketahuilah bahwa akal semesta, jika tidak difahami secara b mar dan utuh,
akan dapat menjerumuskan pencarinya kepada keri staan dan kesesatan, akal
semesta banyak menyilaukan hati para pencarinya, melapangkan jalan bagi hasrat
kemginan para pencarinya, hingga membuat mereka silau (terperdaya) dengan
rahasia-rahasia kodrat yang terdapat di semesta jagad raya, semisal tabiat
(alam), Aflak (bintang-bintang), cahaya, sinar dan lain-lainnya, mereka
terjebak pada ritus penyembahan benda-benda tersebut secara subtansial (dzat
benda) dengan menafikan al Haq, mereka lantas memamaklumatkan, bahwasanya Allah
dhuhur (tampak) melalui wujud sesembahan mereka saja!, orang-orang itu lalu
berkata: bahwa akal semesta inilah Sang Pencipta. Para penyembah isinya alam
secara dzat itu, mereka benar-benar pongah dan jelas-jelas terperosok dalam
kesesatan yang tidak mereka rasakan. Sebab akal semesta tidak mampu melintas
batas alam, mereka tidak akan bisa memakrifahi al Haq dengan akal semesta ini,
karena akal tidak bisa memahami Allah, kecuali dengan Nurul Imaan (Cahaya Iman)
tanpa keimanan, akal (baik akal kehidupan atau akal semesta) tidak akan
mengetahui hakekat pandangan dan takarannya.
Sebagian para alim berpendapat bahwa akal merupakan sebab utama untuk
menggapai makrifah, yang sedemikian itu jika akal difungsikan untuk menelisik
kebenaran argumen dan dalil (tekstual kontekstual). Kami setuju dengan pendapat
tersebut, namun perlu kami tegaskan disini, bahwa pengetahuan yang lahir dari
produk akal, sangat terbatas, karena hanya berada pada kisaran dalil-dalil dan
Atsaar (pengaruh-pengaruh), pengetahuan produk akal bersifat parsial
(sepotong-potong) karena hanya berdasarkan persepsi inderawi, berbeda dengan
pengetahuan yang berbasis iman, makrifah dalam dimensi ini bersifat mutlak,
cakupannya menembus dimensi ruang dan waktu. Pengetahuan berbasis iman terkait
dengan asma-asma dan sifat-siat-Nya, pengetahuan berbasis akal terkait dengan
atsar (bekas), meski akal menghasilkan pengetahuan, namun pengetahuan produk
akal berbeda dengan pengetahuan yang lahir dari hati para arif billah (ahli
ketuhanan). Ilmu produk akal bersifat lahir, sedang ilmu produk iman bersifat
qalbiyah (hati). Ilmu produk akal hanya bisa melihat salah satu wajah ketuhanan
al Haq, sedang ilmu produk iman dapat melihat seluruh wajah-wajahNya.
Kemudian Nisbat (perumpamaan) akal kehidupan dengan akal semesta, laksana
nisbat pelihat sinar matahari dengan pantulan sinar matahari, sinar itu tidak
datang kecuali dari saru sisi, ia tidak akan berkumpul kembali ke sumber
sinarnya (matahari,) ia juga tidak diketahui bentuknya, cahaya yang terpantul
di air tidak bisa diketahui ukuran panjang dan lebarnya, semua itu bergantung
benda yang dipantulinya, karenanya ukurannya tidak bisa dipastikan, karena
bersifat subjektif, berikut tidak bisa diketahui hakekatnya. Demikian pula
dengan akal kehidupan, ia tidak memancarkan sinar kecuali dari satu sisi (satu
sumber), yaitu sisi pandangan (analisa), argumen, qiyas (pengumpamaan) dalam
pemikiran. Orang yang memfungsikan akalnya untuk memakrifahi al Haq tidak
salah, yang sedemikian jika untuk memahami dan mentafakkuri tanda-tanda
kekuasaan-Nya, jika anda memakai akal kehidupan untuk hal tersebut jelaslah
tidak salah, namun jika yang anda maksud untuk mengetahui kesejatian al Haq
melalui akal kehidupan ini, maka andalah yang dimaksud firman-Nya.
Terkutuklah orang-orang yang banyak
berdusta, yaitu orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai. (Q.s. adz Dzurriyaat 51 : 10
- 11).
Mereka terkutuk karena menuhankan akal, dan mengimani bahwa akal
satu-satunya 'alat' untuk menemukan kebenaran mutlak. Mereka terkutuk karena
menyempitkan peran hati dalam mukasyafah, merekalah sejatinya yang membusukkan
dirinya dengan keliaran nalar yang tercerabut dari nilai-nilai keimanan, orang
yang menuhankan akal sejatinya telah membenamkan diri mereka kedasar laknat al
Haq dan kebinasaan diri. Kutukan itu bukan lahir dari luar, akan tetapi dari
diri mereka sendiri, mereka bodoh bukan karena faktor eksternal, akan tetapi
karena sebab internal, karena tidak bisa memakrifahi diri !
Ketahuilah bahwasanya akal pertama dan qolam (pena) tertinggi, merupakan
satu cahaya, nisbah (perumpamaan)nya pada para hamba dinamakan akal pertama,
sedang nisbatnya kepada al Haq disebut qolam (pena) pertama. Akal pertama itu
dinisbahkan kepada Muhammad saw, darinya al Haq menciptakan Jibril pada zaman
azali, dengan demikian Muhammad saw sejatinya adalah bapak daripada Jibril dan
asal segenap alam. Ketahuilah, jika anda telisik makna hakikinya anda akan bisa
memafhumi, kenapa Jibril berhenti di Sidratul Muntaha, dan hanya beliau sendiri
yang menghadap al Haq. Akal pertama dinamakan Ruhul Amiin, karena ia merupakan
khazinah (gudang) ilmu-ilmu al Haq dan penjaganya. Jibril juga dinamakan Ruhul
Amin. Dengan penamaan semacam itu sejatinya Jibril digelari dengan nama aslinya
sendiri. Pahami masalah ini dengan seksama!
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Sudah Edit 54. Estimasi dan Asal penciptaan Izrail Dari Nur Muhammad SAW
Al Haq menciptakan Wahm (estimasi) Muhammad saw, dari
cahaya yang bernama al Kaamil (sempurna) Dia menciptakan Izrail dari cahaya
Wahm (estimasi) Muhammad saw. Ketika al Haq menciptakan estimasi Muhammad saw,
dari cahaya-Nya yang bernama al Kaamil, Dia tampakkan kepada segala wujud
dengan baju al Qohr (penakluk), maka jadilah Muhammad saw, penakluk paling
diqdaya, adikuasa dengan estimasinya atas segala kekuatan estimasi yang ada
pada manusia, kekuatan estimasi ini juga mampu membalik logika, dan segala
bentuk yang bisa ditangkap indera. Esensinya segala kekuatan yang terdapat pada
Shurah (citra) dapat ditaklukkan oleh estimasinya. Izrail adalah malaikat
terdiqdaya dan paling kuat dari segenap malaikat, karena ia tercipta dari
cahaya estimasi Muhammad saw. Karenanya ketika al Haq, memerintahkan kepada
para malaikat untuk menyempitkan bumi dan mengambil sebongkah tanahnya untuk
mencipta Adam as, tidak ada satupun malaikat yang sanggup melakukannya kecuali Izrail,
yang sedemikian itu tatkala al Haq memerintahkan Jibril untuk menyempitkan bumi
dan mengambil sebongkah tanahnya, Jibril bersumpah dihadapan al Haq, bahwa
dirinya tidak mampu. Demikian halnya ketika Dia menyuruh, Mikail, Israfil dan
para malaikat yang sangat dekat dengan-Nya, tidak ada satupun dari mereka yang
mampu melakukannya, ketika al Haq menyuruh Izrail, ia turun dari alam
ketinggian lalu menyempitkan bumi, setelah itu mengambil sebongkah tanah bumi.
Bongkahan tanah yang diambil Izrail itulah sejatinya yang disebut Ruhul Ardli
(ruh bumi).
Dari ruh bumi itu al Haq menciptakan jasad Adam as, karenanya dikuasakan
kepada Izrail menyempitkan nyawa, ia ditugaskan al Haq mencabut nyawa dari
tubuh segenap makhluk-Nya, karena al Haq meletakan kekuatan kesempurnaan-Nya
dalam tajalli Qohr (penaklukan) dan Gholabah (kemenangan) pada dirinya. Izrail
juga memiliki makrifah (pemahaman) tentang ihwal (keadaan) semua yang akan
dicabut nyawanya yang tidak mungkin dirinci satu persatu. Ia juga bisa berprilaku
dan menyamar diri seperti Shurah (rupa) segala sesuatu yang bernyawa, ia kadang
mendatangi komunitas anak manusia dengan rupa manusia biasa atau rupa-rupa
lain, jika ia hendak mencabut nyawa, ia menyerupakan bentuknya dengan ruh, lalu
ia mengeluarkan ruh dari jasadnya, kebanyakan jasad enggan melepas ruhnya
karena kecintaannya kepada ruh, terjadilah polemik yang super dahsat, antara
kecintaan ruh pada jasad vis avis ketertarikan ruh jelmaan Izrail, ketika ruh
jelmaan Izrail itu tarikannya lebih kuat, maka keluarlah ruh itu dari jasadnya,
proses keluarnya ruh dari jasad itu sungguh merupakan peristiwa yang
menakjubkan.
Ketahuilah, bahwa ruh sejak asal mula masuknya ke dalam jasad dan
menyatunya dengan jasad, tidak pernah meninggalkan tempat dan posisinya, namun
fokus perhatiannya selalu berpindah-pindah sejalan dengan apa yang meliputinya,
namun demikian secara subtansial ia tetap pada tempat dan posisinya dalam
jasad. Realita ini jelas tidak bisa diterima tataran logika dan mustahil secara
akal, karena memang masalah ini hanya bisa diketahui melalui Kasyf (pengetahuan
intuisi). Jika jasad yang ditempati ruh itu berahlak (etik moral) yang diridhai
ketuhanan, maka ruh tersebut meski jasad yang mewadahinya berpijak di bumi,
akan selalu bersemaikan ahlak ketinggian, jasad itu meski wujudnya ada di bumi
namun ia bagian dari Illiyiin (penduduk alam ketinggian). Demikian sebaliknya
jika jasad yang ditempati ruh itu berahlak (etik moral) yang tidak diridhai
ketuhanan (perilaKu binatang), meski ia berjalan diatas bumi, namun hakekatnya
ia adalah bagian dari Sijjiin (penduduk alam paling rendah). Tinggi dan rendah,
naik dan jatuhnya seorang hamba, dari alam ketinggian ke alam kerendahan,
adalah tergantung dari pribadinya sendiri, yakni, ketika ruh itu mampu
mengkondisikan tubuhnya seperti awal penciptaan, (nuansa ketuhanan), ia akan
terus naik ke alam ketinggian, sebaliknya jika jasad dan nafsunya mengusai ruh,
watak-watak hewani akan mendominasi tubuhnya, ia akan turus turun ke alam
kerendahan. Jasad sejatinya bersifat sekunder dalam organ tubuh manusia, ruh
merupakan masalah primer dalam tubuh manusia, karena ia poros (inti) kehidupan,
terlebih wajah kehidupan. Jasad tidak akan disebut manusia, jika tidak ber-ruh.
Jasad meski memiliki nyawa tapi hampa dari ruh, maka manusia seperti itu akan
diragukan eksisteni kemanusiaannya, karenanya keterkaitan antara jasad dan ruh
sangatlah vital, keduanya merupakan elan vital kemanusiaan seorang manusia.!
Naiknya ruh ke alam Malakut, adalah dengan bentuk kemanusiaan secara
jasadi, bentuk ini pula yang mewadahi kebahagiaan dan duka, pahala dan siksa
yang melanskapi ruh di alam sana. Dalam alam realitas, keterkaitan (jasad dan
ruh) itu sangatlah jelas, yaitu ketika laku ruh dan jasad berjalan seimbang dan
serasi, yakni apa yang ada dibatin manusia selaras dengan tampilan lahirnya.
Adapun metafor bahwa ruh terpisah dari jasad, telihat dari sikap jasad dalam
menunaikan hukum-hukum ketuhanan, ia malas, berat, lemah dan bentuk-bentuk
kedhaifan lainnya. Maka keterpisahan ruh dan jasad itu sejatinya adalah
keterpisahan dari ketersambungan (Wushul) bukan keterpisahan yang bermakna
keterputusan (Infishal). Dengan demikian dapat dipahami bahwa ruh yang memiliki
sifat-sifat awal penciptaannya dan tidak mampu menunaikan amar perintah
syariat-syariat-Nya. Itulah sejatinya ruh yang terpisah darijasadnya.! Maka
pensifatannya adalah berdasarkan al Quwwah (potensialitas) bukan al Fi'l
(aktualitas). Ini pula hakekat keterpisahan Wushul (ketersambungan), dan bukan
keterpisahan Infishal (keterputusan).
Jika si pemilik jasad, berahlak dengan etika Malakiyah (para malaikat dan
unsur-unsur ketinggian), maka ruhnya akan menjadi kuat dan dapat melakukan
hukum-hukum ketuhanan dengan ringan dan semangat, bahkan jasad dalam jiwanya
laksana ruh, ia bisa berjalan diatas air, terbang di udara, dan dapat melakukan
aktifitas adikodrati dan pekerjaan spektakuler lainnya. Sebaliknya jika si
pemilik jasad, berahlak dengan etika Basyariyah (kemanusiaan) dan
perilaku-perilaku rendah lainnya, (jauh dari nilai-nilai ketuhanan), ruhnya
akan menjadi lemah dan malas serta berat menunaikan hukum-hukum ketuhanan, ia
akan terpasung di alam kerendahan, bahkan akan menjerembabkan-nya ke dasar
kerendahan. Jikalau si pemilik jasad mampu menyeimbangkan (tawazunitas) antara
perilaku Malakiyah dan Basyariyah, ia bisa menemukan keseimbangan diri yang
dengan itu ia bisa menata dan menyiapkan diri menuju alam ketinggian, meski
jasad kasarnya berpijak di bumi. Namun jika ruh itu tetap eksis di alam Rohani
(alam ketinggian), maka jasad itu juga termasuk penduduk langit, meski bentuk
kasarnya ada di bumi. Ruh ketinggian itu ketika menguasai (mendominasi) jasad,
ia akan membuat dada si empunya jasad menjadi lapang, ruh itu menghilangkan
kesempitan dan menjadikan kelapangan, mengusir duka dan membuat bahagia.
Kesempitan, kesedihan, kesusahan, dan keruwetan-keruwetan hidup lain merupakan
pasung (penjara) ruh. Dalam diri insan yang keruh itulah ruh menjadi terpasung!
Kelapangan yang bersandarkan nilai-nilai ketinggian itulah hakekat surga dunia,
dan itu akan tetap abadi (langgeng), kematian bagi si pemilik jasad yang telah
menggapai maqom ini hanyalah merupakan perpindahan alam dari alam kebahagiaan
terbatas, menuju alam kebahagiaan tak terbatas. Pahami dengan seksama masalah
ini.!
Malaikat Izrail ini, akan datang kepada para hamba yang hendak dicabut
nyawanya dalam berbagai bentuk rupa, sejalan dengan tingkat ketersambungan
hamba tersebut dengan al Haq diberbagai dimensi kehidupan yang ada, semisal,
moralitas, perbuatan, keyakinan (aqidah), dan etos ubudiyah lainnya. Izrail
akan bersikap ramah dan santun kepada orang shaleh, ia akan bersikap galak dan
bengis kepada para kafir, Izrail akan mendatangi dengan citra (rupa) sesuai
keadaan mereka, misalnya ia datang" kepada orang dzalim pekerja kantor,
dengan sifat orang yang mendendam kepadanya atau berupa utusan raja dengan
tampang yang garang dan bengis, ia juga datang kepada orang shaleh dan ahli
taqwa dengan bentuk rupa orang yang paling mereka cintai. Ia bahkan bisa
mewujudkan diri laksana baginda rasul Muhammad saw, ketika mereka melihat
Izrail dengan citra (rupa) seperti itu, ruh mereka keluar dari jasad mereka
dengan tenang dan damai, penyerupaannya dengan bentuk nabi sangatlah mungkin,
karena Izrail dan para malaikat yang dekat dengan al Haq adalah makhluk yang
tercipta dari Kekuatan Rohani, Izrail tercipta dari hati Nur Muhammad, demikian
pula ada malaikat yang tercipta dari akal dan estimasi Nur Muhammad saw. Pahami
betul masalah ini.! Maka adalah sangat mungkin para malaikat itu
menyerupakan bentuk mereka dengan bentuk rasul Muhammad saw, karena mereka
tercipta dari Nur Muhammad saw. serta membentuk citra diri mereka seperti rupa
sang rasul saw, baik secara jasadi (bentuk kasat) maupun kepribadian. Tidak ada
yang bisa menyerupai Muhammad saw, kecuali makhluk yang diciptakan dari Nur
(cahaya) Muhammad saw.
Iblis -laknat Allah selalu menyertainya dan anak-anak turunnya pun
manusia-manusia yang berwatak Iblis, tidak akan pernah bisa menyerupai Muhammad
saw. Hal ini diisyaratkan sebuah hadits : Sesungguhnya telah datang malaikat
kepada Muhammad dan membedah dadanya, lalu menyuci hatinya, dengan mengeluarkan
darah dari hatinya. Darah (merah) itulah sejatinya nafsu manusia dan tempat
mengalirnya setan dalam tubuh manusia, dengan membersihkan hati itu berarti
setan tidak bisa mengganggu hati manusia, karenanya setan tidak bisa menyerupai
sang nabi, karena alirannya telah diputus! Kemudian Izrail tidak hanya
menghususkan penampakkannya dengan citra (rupa) para ahli ibadah, insan-insan
shaleh, pun pelaku maksiat, insan-insan jahat. Akan tetapi ia menampakkan
dirinya dengan multi citra sesuai kondisi dan tempat serta segala wacana yang
ada, sebagaimana yang telah diwartakan pesan Qur’ani. Izrail juga menampakkan
rupanya dalam bentuk binatang-binatang buas, semisal, macam, harimau, srigala,
ular berbisa dan hewan-hewan pemangsa lainnya, ia juga menampakkan dirinya
dengan rupa burung-burung, semisal, elang, nuri, merpati dan lain sebagainya,
atau berbentuk pemburu, pemancing, penjagal dan lain-lain. Esensinya Izrail menampakkan
dirinya dengan citra sesuai even tertentu, sejalan dengan misi yang hendak
ditunaikannya, ia tidak pernah menjadikan rupa (citra)nya berbentuk rangkap, ia
bahkan sering mewajahkan dirinya dengan citra (rupa) sederhana.
Izrail juga menampakkan diri dengan tidak berbentuk, semisal ia bisa
mewujudkan diri dengan bauh busuk yang menyengat, atau bauh wangi-wangian,
kadang anda bisa menemukan orang yang shaleh, tatkala meninggal baunya sangat
wangi, demikian pula dengan orang yang jahat, matinya disertai bauh busuk yang
menyengat, atau kadang kita menemukan bauh busuk di tempat orang yang akan
dicabut nyawanya, atau bauh wangi ditempat lain. Dari aroma bau itu kita bisa
memakrifahi sejatinya insan yang dipanggil menghadap Yang Kuasa. Kadang kita
tidak menemukan bauh orang yang sedang sakaratul maut, (sekarat), namun kita
temukan keadaan lain dalam diri si mayyit, yaitu ruhnya keluar masuk jasadnya,
Izrail tidak mencabut (mengeluarkan) nyawanya tidak pula membiarkan mayat
tersebut hidup, kita sering menemukan 'tragedi' kematian seperti itu, Izrail
memperlakukan hal seperti itu adalah sejalan dengan perbuatan insan yang
dicabut nyawanya, demikianlah ia bisa berbentuk citra apa saja sesuai dengan
tugas yang dikuasakan al Haq kepada dirinya.
Ketahuilah bahwa ruh paska keluarnya dari jasadnya, ia sama sekali tidak
meninggalkan bentuk jasadnya, akan tetapi ia hanya vakum dalam rentang zaman
tertentu, seperti orang yang sedang tidur yang tidak melihat sesuatupun saat
tidurnya, ia juga tidak tahu apa yang terjadi disekelilingnya. Secara logika
orang tidur jelas tidak bisa melihat apa-apa atau mendengar suara orang yang
bicara pun kegaduhan lain, ia juga tidak bisa melihat sesuatu, namun pada
reliatanya orang yang tidur bisa melihat sesuatu melalui mimpinya, setidaknya
itulah yang kami memakrifahi melalui Kasyf (pengetahuan intuisi). Selanjutnya
orang seorang bisa tidur satu hingga dua hari, atau bahkan lebih, ia tidak
melihat sesuatupun dalam tidurnya, orang yang tidur seperti itu sejatinya sama
dengan orang yang sedang berada di alam kubur, al Haq bisa menjadikan orang
yang tidur berhari-hari serasa beberapa menit terlebih menjadikan tidur yang
sebentar, namun pada kenyataan-nya ia telah tertidur bertahun-tahun bahkan
berabad-abad lalu membangunkannya kembali, tapi insan yang tidur merasa
tidurnya hanya beberapa saat saja. Demikian halnya al Haq juga membentangkan
waktu untuk seseorang, yang dalam satu waktu itu ia bisa bekerja dengan aneka
pekerjaan, berumur panjang dan beranak pinak, yang karunia 'istimewah' itu tidak
dimiliki orang lain.
Kita penduduk dunia ini saban harinya memerlukan waktu tidur -di malam
hari, bahkan tidak jarang banyak manusia tidur disiang bolong. Dalam dunia
hakekat, tidur disebut keheningan (kedamaian) pertama, itu pula sejatinya yang
disebut kematian ruh. Tidakkah anda ingat sabda rasul Muhammad saw, yang
menganggap malaikat yang berhenti berdzikir sebagai malaikat yang mati, maka
kematian bagi para malaikat adalah keterputusan dzikir mereka.! Barang siapa
yang memukasyafahi hadits tersebut, ia akan mengetahui hakekat ungkapan rasul
saw itu. Kematian disebut keheningan (kedamaian) pertama, ia juga disebut tidur
panjang, tatkala jasad berada di rana keheningan pertama ini, posisi ruh berada
di alam Barzah, kita akan membincang khusus masalah Barzah ini pada bab
berikutnya.
Ketahuilah bahwasanya al Haq menciptakan cahaya estimasi Muhammad saw ini,
adalah untuk cerminan bagi Diri Nya dan tempat ke-Qudus-an Nya, tidak ada
sesuatupun di alam semesta ini yang lebih cepat dan lebih diqdaya dibandingkan
cahaya estimasi Muhammad saw, cahaya ini dikuasakan untuk mengatur segala yang
wujud, dengan cahaya estimasi Muhammad saw inilah semesta alam menyembah-Nya.
Dengan cahaya estimasi Muhammad ini pula al Haq melihat Adam as dan anak
turunya, dengannya orang bisa berjalan diatas air, terbang di udara, cahaya
estimasi Muhammad saw sejatinya adalah Nurul Yaqiin (cahaya keyakinan) asal
segala penguasaan dan kemungkinan, barang siapa dikuasakan (dikaruniai) cahaya
estimasi Muhammad ini, ia bisa menguasai dan mempola segala yang wujud, baik
yang ada di alam ketinggian maupun di alam rendah. Barang siapa yang diberi
kekuasaan cahaya estimasi, ia bisa berbuat apa saja, akan tergerus rasa ragu,
gamang karena tersapu cahaya estimasi Muhammad saw.
Ketahuilah -semoga Allah senantiasa memelihara rasa iman anda, dan
menjadikan anda Ahl Yaqiin, (golongan orang yakin), dan pelaku kebaikan.
Bahwasanya ketika al Haq menciptakan estimasi ini, Dia berkata kepada cahaya
estimasi itu: Aku bersumpah untuk tidak akan bertajalli kepada ahli taqlid,
kecuali di dalammu, Aku tidak menampakkan kepada segenap isinya alam, kecuali
di dalam rasa takutmu, sejauh mereka-memakai dirimu untuk menghadap Ku, sejauh
itu pula petunjuk Ku untuk diri mereka, sejauh mereka memalingkan diri mereka
dari cahayamu, sejauh itu pula vonis kehancuran Kujatuhkan kepada mereka.
Cahaya estimasi berkata : Wahai Rabb, buatlah anak-anak tangga bagi asma-asma
dan sifat-sifat Mu, agar bisa dijadikan tangga bagi mereka untuk menuju
sejatian dzat Mu. al Haq lalu menegakkan contoh-contoh yang Munir (menyalah),
terlukis dalam tembok-tembok kewibawaan dan kekuasaan serta taqdir-Nya, berikut
mengkuasakan pengurusan ritus ibadah dan ubudiyah para hamba-Nya melalui cahaya
ini. al Haq bersumpah atas nama Diri Nya. Siapapun orangnya tidak akan bisa
menemukan inti dzat-Nya, hingg onta masuk ke lubang jarum, kecuali jika melalui
cahaya ini. Tangga itu kini masih berdiri tegak di belantara kemesterian, di
tengah padang kesempuraan-Nya. Pintu rahasia ketuhanan-Nya terbuka lebar bagi
yang ber-azam Suluk (meniti jalan-Nya). Kunci-kuncinya berserakan dibelantara
ibadah dan ubudiyah, mereka yang menemukan tangga dan kunci tersebut, al Haq
akan memakaikan kepadanya baju kedekatan (al Qurb) al Haq berkata kepada
Izrail. Tunaikan tugasmu wahai malaikat Ku. Dia lantas menyematkan dua hal
kepada Izrail:
1. Cahaya hijau yang tertulis di ujungnya dengan cahaya merah.
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah
mengajarkan al Qur’an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai bicara. (Q.s. ar Rahman 55 : 1 - 4).
2. Daerah kerendahan, yang dilingkupi awan kekufuran dan pengingkaran,
tertulis dengan pena penipuan dan penghianatan
Sesungguhnya manusia itu benar-benar
dalam kerugian. (Q.s. al 'Ashr 103 : 2)
Ketika cahaya estimasi ini diturunkan dan dibawah Izrail ke segenap alam,
dalam bentuk penampakkan makhluk, salah satu bentuknya adalah biji gandum. Adam
lantas memakannya, maka ia tercampakkan dari surga bersama biji gandum
tersebut. Perhatikan betul penyifatan dan isyarat yang kami paparkan ini.
Karena adanya kontradeksi yang jelas-jelas nyata antara isyarat dan realita
teks (Qur'ani)!
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jilly
Cahaya
kekuasaan terpancar di langit Atlas.
Membiaskan
hayal hati disetiap relung jiwa tiap insan
Ia
adalah citra dan ayat Sang Maha Kasih
Termanifestasikan
pada keindahanNya nan menawan
Ia
adalah kediqdayaanNya, ia adalah ilmuNya
Ia
adalah zat DiriNya,
Ia
adalah segala sifat dan asmaNya
Ia
adalah 'laku' DiriNya,
Ia
kehendakNya
Ia
landasan tajalli kasih kebaikanNya kepada setiap mahluk
Ia
adalah titik keadaan, puncak situasi
Ia
adalah wajah kesantunan, keindahan dan keintimanNya
Ia
adalah 'buhul' ikatan yang kokoh
Ia
adalah pedang tajam, penghunus nalar utopis tiap insan
Maka
terserah engkau, suka atau tidak
Masihkah
kau memfungsikan hayal hatimu yang misteri?
Sudah Edit 55. Cita-Cita dan Asal penciptaan Mikail dari Nur Muhammad SAW
Ketahuilah -semoga al Haq senantiasa menuntun kita di jalan yang benar.
Bahwasanya cita-cita adalah sesuatu - yang paling mulia yang diletakkan al Haq
pada diri manusia, yang sedemikian itu ketika al Haq menciptakan cahaya, Dia
meletakkan cahaya tersebut dihadapan-Nya, Dia melihat cahaya itu masyghul
dengan dirinya sendiri, Dia juga melihat cita-cita masyghul dengan al Haq.
Dihadapan cahaya cita-cita itu al Haq bertita : Demi kemuliaan dan keperkasaan
Ku, niscaya akan Aku jadikan engkau cahaya tertinggi, tidak ada satupun dari
makhluk Ku yang mampu menggapai dirimu, melainkan para al Abraar (pembakti)
utama, barang siapa diantara mereka yang ingin Wushul (sambung) kepada Ku, ia
tidak akan mampu kecuali melalui konsesus perundang-undanganmu, engkau adalah
tangga penyampai para murid, Buraq para arif, taman para Waashil (insan yang
sampai) denganmu para peniti jalan Ku, berlomba-lomba menuju diri Ku, melaluimu
para ahli hakekat tersucikan, para Muqorrobin (insan yang dekat) menjadi
tinggi. Kemudian dengan cahaya itu al Haq bertajalli dengan nama-Nya al Qoriib
(Yang Dekat) dan melihat dengan nama-Nya al Sarii' (Yang Cepat), serta al
Mujiib (Yang Menjawab), dengan penampakkan itu Dia mendekatkan sesuatu yang jauh
dari-Nya, dan meluruskan sesuatu yang terpalingkan dari-Nya, mendekatkan hati
dan jiwa yang terjauhkan dari-Nya. PenglihatanNya kepada ciptaan-Nya akan
melahirkan kesegerahan keterkabulan, atas dasar itulah sejatinya Himmah
(cita-cita) adalah, tujuan anda yang jelas dan konstruktif serta konsisten
dengan tujuan tersebut, berikut istiqomah menghadapi segala konsekwensi yang
menghadang cita-cita yang sedang anda perjuangkan.
Istiqomah itu sendiri terbagi atas dua bagian 1.) Kondisional, yakni;
menumbuhkan keyakinan yang utuh, bahwa apa yang dicita-citakan dapat digapai
dengan tiada keraguan sedikitpun dalam syakilah diri. 2.) Aktualitas, yaitu ;
semua aktifitas diarahkan kepada cita-cita yang hendak digapai, esensinya harus
disertai dengan tindakan nyata yang konstruktif. Sebab sebuah cita-cita yang
tidak disertai tindakan nyata adalah utopis dan hipokrit, serta merupakan
angan-angan kosong belaka. Cita-cita yang tidak disertai aktualisasi, bagaikan
orang yang menghayal menjadi raja, sementara ia masih berkubang dalam tong
sampah, ia ingin menggapai kemuliaan, sementara dirinya masih bergelut dengan
sampah kotoran, atau orang yang ingin menulis, tanpa memiliki pena, tinta dan
pengetahuan merangkai huruf. Tinta ibarat tujuan cita-cita yang hendak digapai,
pena laksana keyakinan bisa menggapai cita-cita, pengetahuan merangkai huruf
ibarat langkah konstruktif (tindakan riel) untuk menggapai apa yang dituju.
Barang siapa yang tidak mengindahkan masalah ini, ia sejatinya tidak memahami
esensi cita-cita dan ia tidak akan pernah berhasil menempuh cita-cita yang
didambakannya. Orang seorang yang memahami hakekat cita-cita, ia akan
mengoptimalkan tenaga dan pikirannya untuk menggapai harapan yang
dicita-citakan, ia akan berjuang dengan sungguh-sungguh hingga berhasil. Dengan
langkah konstruktif dan perjuangan yang sungguh-sungguh serta tiada kenal putus
asa, niscaya keberhasilan cepat tergapai.
Dikisahkan, ada seorang Faqir (insan yang merasa butuh kepada al Haq) suatu
hari, ia mendengar syeikhnya berkata : Barang siapa ingin menggapai sesuatu dan
bersungguh-sungguh untuk menggapainya, niscaya ia akan mendapatkannya. Murid
itu lantas berkata kepada diri pribadinya : Demi Allah, aku bercita-cita
meminang putri raja, aku akan berusaha dengan penuh kesungguhan dan berjuang
dengan penuh semangat untuk merealisasikannya. Ia lantas pergi menghadap raja,
setelah bertemu ia mengutarakan niatnya ingin melamar putrinya. Raja itu sangat
arif, ia dengan pikiran sehatnya merasa bahwa pemuda faqir ini tidak pantas
menikahi putrinya, karena perbedaan status sosial yang menganga diantara keduanya,
namun demikian ia tidak memperhinakan pemuda itu karena kefaqirannya, ia juga
tidak berkata bahwa pemuda itu tidak sederajat dengannya. Dengan penuh kearifan
raja berkata kepada pemuda yang melamar putrinya : Ketahuilah mahar putriku
ini, adalah permata yang bernama Baharman di dunia ini cuma ada satu, yaitu
ditempat peti emas rahasia milik kaisar Anusirwan. Pemuda itu berkata : wahai
paduka raja, dimanakah asal tambang permata itu.? Raja mewartakan : asal
tambang permata itu di lautan lepas negeri Cylon—dalam peta modern negeri itu
kini disebut Srilanka. Jika kau mampu membawah kepada kami permata yang kami
maksud, maka kau boleh menikahi putriku.! Pemuda faqir itu lantas pergi ke
negeri Cylon, ia pergi ke tepi laut tempat penambangan permata, ia bersemedi
(berkhalwat) berhari-hari tidak makan dan minum, ia sangat eksis beri'tikaf
siang malam, tiba-tiba ritus pertapaanya diganggu ikan paus, ia lalu mengadukan
masalahnya kepada Allah, al Haq lalu menyuruh malaikat yang menjaga laut itu
mendatangi pemuda tersebut dan menanyakan keperluannya. Ketika ditanya
keperluannya, pemuda itu menjelaskan keperluannya berada di laut itu, malaikat
penguasa laut tersebut lantas memerintahkan laut memuntahkan (( permata
Baharman )) dengan ombaknya ke daratan, tepi pantai itupun penuh dengan permata
Baharman, pemuda itu lalu pergi menghadap raja dengan permata Baharman, ia lalu
dinikahkan dengan putri sang raja. Lihatlah apa yang telah dilakukan cahaya
cita-cita! Anda mungkin melihatnya sebagai peristiwa yang spektakuler, kami
telah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang jauh lebih spektakuler dari kejadian
tersebut, yang tidak mungkin kami rinci satu persatu. Allah adalah penjamin
atas segala sesuatu yang kita cita-citakan, kami tidak bisa menceritakan
kejadian-kejadian spektakuler yang kami lihat dan alami, karena hal itu tidak
akan membuat anda percaya, kecuali jika anda mengalaminya sendiri, lebih dari
itu kami takut ketidak percayaan anda terhadap apa yang kami ceritakan justru
akan membawa anda kepada perilaku kemurtadan, pun menanggalkan hati anda dari
rasa iman dan petunjuk-Nya. Sebab hati jika dirasuki keragu-raguan, setan akan
menari-nari dengan tipu daya sejuta godaannya, serta akan menutup hati anda
meniti jalan hadirat Sang Maha Perkasa. Maka hati-hatilah dengan hati anda,
pelihara hati anda agar tidak terpalingkan
dari titian jalan Allah, karena jalan menuju-Nya sangatlah terjal,
banyak cobaan dan godaan yang selalu menghadang langkah Saalik (peniti jalan
Allah), langkah previsinya adalah dengan mensucikan jiwa dan menjernihkan
kalbu, agar bisikan-bisikan setan tidak menghampiri diri anda, sebab jiwa dan
hati yang kotor, tidak akan mampu menangkap Nurul Yaqin (cahaya keyakinan)
karena digelapkan keragu-raguan, gamang dan ketidak percayaan diri yang lahir
dari waswas (tipu daya) setan!
Ketahuilah, semoga al Haq merahmatimu dengan nilai-nilai kebenaran.
Bahwasanya gelas cita-cita sebelum terisi Himmah (obsesi), berisikan angan
utopis, racun-racun kemalasan, sikap-sikap keragu-raguan dan belenggu-belenggu
jiwa lainnya, ketika kau tuangkan Himmah kedalamnya dan kau reguk Himmah itu
dengan kerja nyata dan kesungguhan yang mumpuni, semuanya lenyap yang ada
adalah Nailul Munah, (tergapainya harapan) dan Wushul al Ghayah (sampainya
tujuan) yang anda cita-citakan.! Gelas yang berisikan cita-cita yang kuat,
tidak akan bisa digerakkan oleh badai yang mengempasnya, tidak akan pecah jika
dihantam godam ketakutan, keraguan, kemalasan. Peminumnya akan diqdaya
menghadapi mega bencana yang menghalangi cita-cita yang hendak diraihnya, ia
akan eksis dengan langkah cita-citanya. Ia tidak akan dimabukkan oleh tipu
daya, mega godaan yang selalu menyelimuti langkahnya, ia tidak takut kegagalan,
ia akan hadapi dengan penuh satria semua yang menghalangi cita-citanya, ia
sandarkan cita-citanya kepada al Haq, ia serahkan kepadaNya untuk
memungkasinya, ia menyadari tipu daya setan sangatlah dahsat menghadang
cita-citanya, karenanya ia tidak memalingkan hatinya kepada selain al Haq.
Sungguh jalan untuk meraih cita-cita itu penuh dengan duri-duri cobaan dan
bencana, sarat dengan ranjau-ranjau penghadang, jika tidak diwaspadai dengan
waspada tinggi, niscaya akan muda terperosok ke jurang kesesatan dan
terbelokkan dari jalan yang benar dan lurus. Keberhasilan itu hanya bisa
digapai dengan kerja keras, kesungguhan, kesabaran dan tetap eksis dijalan yang
lurus, al Haq berfirman :
Keberhasilan itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar. (Q.s. Fushshilat 41 : 35).
Ketahuilah bahwa cita-cita itu asal penciptaannya dari sifat-Nya al Awwal,
penampakkannya pada sifat-Nya al Afdhal, ia berbasis pada sifat Uluhiyah-Nya,
karena sejatinya cita-cita itu merupakan duplikat kitab yang al Maknuun (disimpan),
sedang kunci pembukanya adalah rahasia yang al Mashuun (dipelihara). Orang
seorang yang ingin berhasil dengan cita-citanya, tidak boleh berpaling dari al
Haq, tidak merindukan dan memohon kepada selain Diri Nya, karena Dia-lah
penjaga dan pemegang kunci pintu rahasia keberhasilan para hamba-Nya. segala
sesuatu tidak akan dikembalikan kecuali kepada asalnya, tanaman kurma tidak
mungkin membuahkan apel, biji gandum yang ditanam akan menghasilkan panen
gandum, segala sesuatu yang terkait dengan habitat alam tabiat berjalan sesuai
hukum alam. Kami perlu memparodikan kenyataan alam tersebut, agar anda bisa
mentafakkuri bahwa cita-cita asal penciptaannya di alam ketinggian, ia bukan
produk alam rendah (bumi), tidak mengarah kecuali kepada sisi (arah) kemuliaan
dan keperkasaan, berbeda dengan 'hasrat' (keinginan) yang merupakan nama hati
untuk pewajahan ke segala arah, baik ke arah ketinggian atau kerendahan, kiri
dan kanan dan seterusnya. Pahami betul isyarat dan metafor yang kami gunakan
ini.! Ketahuilah meski cita-cita itu asal penciptaannya berasal dari alam
ketinggian dan keagungan, ia juga merupakan Hijab (tirai penghalang) antara
makhluk dan al Haq, yang sedemikian itu jika orang seorang berhenti pada
cita-cita semata. Sebab keberhasilan diraihnya melahirkan kesombongan dan
penafian akan peran sentral al Haq dalam tempuhan cita-cita yang dilakukannya,
meski ia berhasil meraih apa yang ia inginkan, namun ia akan terhalang dari
Mukasyafah akan kesejatian Diri Nya, Pahamilah dengan penuh seksama. Banyak
pegiat ibadah yang secara lahir terlihat berhasil dalam menggapai maqom
tertinggi, namun secara hakiki ia gagal, karena hakekat dibalik keberhasilan
itu tidak mampu dimukasyafahinya. Jika kau bercita-cita meniti jalan Allah,
sementara kau tidak mampu memukasyafahi kesejatian-Nya, meski secara lahir kau
tampak berhasil, katauilah, pada hakekatnya kau adalah orang yang gagal.
Jika kau manusia yang cerdik cendikia, ketahuilah bahwa Muhammad saw
sejatinya adalah Umm al Kitab (Induk Kitab), maka makna-makna selain Umm al
Kitab adalah berdimensikan Khitab (audisi), al Haq menciptakan segenap alam
dari Induk Kitab, segala isinya alam ini, bahkan semesta alam adalah berasal
dari Nur (cahaya) Muhammad saw, darinya al Haq menciptakan hakekat semesta
alam, penampakkannya melalui sifat Rahmaniyah-Nya itu berarti penciptaan alam
ini merupakan bukti nyata Kasih Kemurahan al Haq, kepada segenap makhluk-Nya.
al Haq menciptakan ruh dari cahaya cita-cita Nur Muhammad saw, luasnya seluas
rahmat-Nya. Dari ruh itu al Haq menciptakan malaikat yang dikuasakan mengatur
alam dan isinya alam, al Haq juga mengkuasakan malaikat-Nya untuk membagi rizki
serta memberikannya kepada yang berhak, malaikat yang dicipta dari ruh itu
merupakan serpihan Nur Muhammad saw, yang diciptakan dari hakekat ke-Esa-an
Nya. Ketika malaikat itu telah eksis menjadi wakil-Nya dan konsisten dalam
membagi rizki kepada yang berhak, menimbang dengan adil neraca amal para
makhluk-Nya, berikut menjadi wakil-Nya dalam beraudisi dengan segenap
makhluk-Nya. al Haq lalu memberi nama ruh ini dengan nama ((Mikail)). Dengan
demikian Mikail adalam malaikat yang dikuasakan al Haq sebagai pembawa dan
pembagi rizki kepada segenap makhluk-Nya, sejak zaman azali hingga abadi, ia
juga dikuasakan al Haq mengetahui semua bilangan dan perkataan yang pantas
ditorehkan dengan tinta, al Haq mendudukkan Mikail di mimbar keutamaan di atas
langit kelima, ia diberi neraca keadilan dan hukum pertimbangan, ia turun dari
mimbarnya ke alam dunia dengan sayap-sayap keadilan, meneropong perilaku manusia
dengan neraca keadilan. Pahami betul rumus-rumus yang dipakai dalam pembahasan
ini, agar anda bisa memakrifahi makna yang tersirat dibalik penjelasan kami. Dan
Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s
al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jaily
Telah
dihadirkan kepada dirimu icon kesucian
Teladan
untuk menapaki keluhuran nan agung
Dialah
Buraq para arif menuju alam keluhuran
Kendaraan
setiap ruh menuju muara hakekat
Dialah
cahaya al Haq yang terlihat kasat mata
Kasih
petunjukNya yang tertangkap Inderawi '
Terbanglah
dengan sayap-sayap teladannya
Lintasi
badai hidup dengan kesejukan nasehatnya
Tidak
sulit kau menemui dirinya saban hari,
namun,
kau sering pongah mentradisikan teladannya
Sebutan
itukah dirimu menangkap pesannya?
Teladan
'laku' dan nasehat sejuknya sangatlah jelas
Dialah
sejatinya cahaya Allah untuk dirimu
Akankah
kau simpan cahayaNya di file kepongahanmu?
Sudah Edit 56. Logika dan Asal penciptaan para Malaikat Dari Nur Muhammad SAW
Ketahuilah—semoga al Haq, mengajarkan kepada kita hikmah-Nya, dan merinci
kepada kita khitab-khitab-Nya. Bahwasanya logika pemikiran, merupakan salah
satu kunci dari kunci-kunci pembuka dimensi kegaiban yang tidak ada satupun
bisa mengetahui hakekatnya, kecuali al Haq Jallah Jalalah. Kunci-kunci pembuka
rahasia gaib itu, bisa berdimensikan ketuhanan, bisa pula berdimensikan
kemakhlukan. Adapun yang berdimensikan ketuhanan, adalah hakekat nama-nama dan
sifat-sifatNya. Sedang dimensi kemakhlukan, adalah pengetahuan (makrifah)
logika, yang tersusun dari dzat Jauhar (entitas) individu, yakni dzat manusia
yang berlanskapkan wajah al Haq yang berupa wajah ar Rahmaan. Logika pemikiran
adalah salah satu daripada wajah ar Rahman. Logika merupakan salah satu dari
kunci kegaiban yang berdimensikan cahaya, sedang inti (dzat) cahaya itu adalah
cahaya terang yang bisa ditangkap oleh mata kasat manusia. Cahaya itulah
metafor ke-Pemurahan-Nya yang nyata dihadapan mata pikir dan mata hati segenap
hamba-Nya. Cobalah bertafakkur (fungsikan pemikiran dan tajamkan mata pikir
anda) tentang etos penciptaan langit dan bumi, anda akan dapati isyarat-isyarat
yang sangat halus terkandung di dalamnya, jika anda menemukan hekekat
penciptaan-Nya, kegaiban yang misteri dari penciptaan itu akan tertampakkan,
ketika orang seorang terus menerus mengoptimalkan ketajaman mata pikirnya, ia
akan dapat menyaksikan bentuk-bentuk rohani penciptaan itu ke alam indera, ia
menemukan realita alam yang terpendam dibalik cahaya pekirannya, ia bisa
menyimak dan beraudisi dengan para malaikat penjaga bumi dan langit, ia bahkan
bisa menjadi seorang mentalis yang menari-nari diatas tarian logika
pemikirannya. Ketahuilah al 'Aruuj (kembaran langit) itu ada dua macam.
Pertama : Melalui Shiratillah (Jalan Allah ). Orang
seorang yang berkelana melalui jalan benar (Shiratal Mustaqiim), akan menuntun
Fikr (pemikiran) mampu menggapai nuqtah (titik) markas-Nya yang agung, akan
tertampakkan puncak garis (nasib)-nya yang lurus, ia beroleh keberuntungan
tajalli yang terpelihara dari kitab yang tertata rapi dibalik rahasia-Nya, yang
tiada akan pernah disentuhkan kecuali para Muthahhaar (manusia yang suci hati
dan pikir) itulah sejatinya rahasia yang tersimpan diantara huruf Kaf dan Nun yang
kunci utamanya melalui,
Sesungguhnya kepada-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya Kun (Jadilah) maka jadilah ia. (Q.s. Yaasin 36 : 82).
Adapun tangga yang dipakai untuk me-Mi'raj-kan diri dalam pemaknaan ini
adalah dengan ilmu Syariat dan ilmu Hakikat.
Kedua : Sihir Merah, yang terdapat pada Khayali
(imajinasi), gambaran tentang al Haq yang berbungkus kebatilan dan penipuan.
Inilah yang disebut Mi'raj kebuntungan (kerugian), tempuhan jalannya adalah
Shirat asy Syithaan (jalan setan) yang marak dengan tipu daya.
Amal-amal mereka laksana fatamorgana
di tanah yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu dia tidak mendapatinya suatu apapun. (Q.s. an Nuur 24 : 39).
Cahaya berubah menjadi api, kesenangan menjadi kepedihan, jika al Haq
dengan tangan kekuasaan dan rahman-Nya mengambil si pelaku dan mengeluarkannya
dengan kasih kelembu^r-Nya, ia akan bisa Mi'raj pada jalan yang benar. Ia akan
mendapati al Haq dengan pikiran yang dimilikinya, dengan kasih pertolongan-Nya
tersebut, si hamba akan bisa memakrifahi nilai-nilai ketuhanan, ia bisa
memahami benang merah antara sesuatu yang haq dan sesuatu yang batil, lebih
dari itu ia akan menyadari akalnya sangat terbatas, ia tidak lagi menuhankan
akalnya, ia tidak memuja pemikiran logikanya, ia tidak lagi menari-nari diatas
logikanya, ia tundukkan pikirannya dibawah hukum-hukum al Haq, ia pakai
pikirannya untuk urusan duniawi, sedang untuk akhiratnya ia memfungsikan
hatinya, ia jernihkan hati, pikir, perilakunya dari jerat-jerat logika, ia titi
jalan-Nya dengan hati, sebab ia percaya dengan haqqul yakin, jika bersandar
pada logikanya ia akan hancur, ia tidak akan mampu menyingkap dimensi kegaiban
dengan akalnya, ia tidak akan menemukan pengetahuan hakiki jika bersandarkan
logika, ia tidak akan pernah bisa memahami makna Umm al Kitab (induk kitab), ia
tidak mau dirinya termasuk manusia-manusia yang difirmankan al Haq,
Mereka itulah orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya, dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.s. al Kahfi 18 : 104).
Saya (al Jilliy) juga pernah tenggelam di samudera yang menurut hemat saya
merupakan samudera kemuliaan, saya hampir saja diterjang ombak tipu daya yang
ada di dasar keyakinan utopis tersebut. Saat itu saya sedang menghadiri majlis
Sima'ah di kota Zabidah tahun 779 H. Sima'ah itu diadakan di kediaman syeikh
Syihabuddin Ahmad al Raadad, kala itu guru serta pembimbing saya, qutub dunia,
punggawa ahli hakekat, syeikh abu Ma'ruf Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim al
Jabarutiy hadir di angkasa, saya panggil beliau dengan suara yang keras : Wahai
Aliahku, sesungguhnya aku berlindung kepada Mu, dari ilmu yang menghancurkan,
runjukilah aku wahai tuanku, tunjukilah aku. Guruku itu mendengar ungkapanku,
beliau lalu membimbingku bermi'raj melalui jalan yang benar (Shiratal
Mustaqiim), jalan yang lurus.
Jalan Allah yang kepunyaan-Nya,
segala apa yang ada di langit dan apa yang ada dibumi. Ingatlah bahwa kepada
Allah-lah kembali segala sesuatu. (Q.s. asy Syuraa 42 : 53).
Kembara langit agung, melalui tangan kelembutan-Nya tersebut, benar-benar
sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dalam kembara langit itu juga dapat
dimakrifahi para wali yang beredar pada garis Shiratal Mustaqim dan Ghoirul
Mustaqim (benar dan tidak benar), namun kita tidak membahasnya pada bab ini.
Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menciptakan Fikr (logika) Muhammad dari
asma-Nya yang bernama al Haadi (Yang memberi petunjuk), ar Rasyiid(Yang sadar
(Tidak khilaf)), dan tertajallikan melalui nama-Nya al Mubdi'u (Yang memulai),
al Mu'iid (Yang mengulangkan). Kemudian melihat kepadanya dengan nama-Nya al Baa'its (Yang
membangkitkan), asy Syahiid (Yang menjadi saksi). Ketika logika bersemaikan
nilai-nilai asma-asma-Nya tersebut, tampak dalam alam realitas sifat-sifat
ketinggian, al Haq, menciptakan dari Fikr (logika) Muhammad saw, ruh para
malaikat yang ada di langit dan di bumi, Dia mengkuasakan mereka untuk menjaga
alam ketinggian dan alam kerendahan, alam semesta akan tetap terjaga selama ada
para malaikat tersebut, ketika ajal yang ditentukan telah tiba, maka masa bakti
para malaikat itu berakhir. Dia lalu membawa ruh-ruh para malaikat langit dan
bumi dan membawanya ke alam gaib yang dikhususkan untuk ruh mereka, setelah itu
hancurlah alam dan isinya alam termasuk diantaranya bumi dan langit.
Mulailah lembaran kehidupan akhirat, dengan dimulainya kehidupan akhirat
itu, berakhir pula makna 'perintah-Nya' baik secara lahir maupun batin. Pahami
betul isyarat ini! Hijab-hijab (tirai penghalang) mulai dibuka dan terbukalah
rahasia-rahasia-Nya, terpancar melalui cahaya ini (cahaya pemikiran Muhammad
saw) menggerus semua ibarat, tampak semua yang tersembunyi. Orang seorang yang
memakrifahi masalah tersebut di alam dunia ini, wajib baginya untuk menyimpan
(menyembunyikan)-nya, karena hal itu akan tampak dengan sendirinya ketika di
alam penampakkan ahirati, lebih dari itu hikmah dari pelarangan untuk
mewartakan mukasyafah ini, karena pewartaannya hanya akan menimbulkan fitnah
dan kesesatan bagi mereka yang tidak mampu mewadahi dengan logika pemikiranya,
yang sedemikian itu tidak menguntungkan pewarta dan penyimaknya.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Syair-syair al-Jilly
Logika
adalah cahaya dalam kegelapan jiwa
Menunjukkan
kebenaran hati-hati yang plin-plan
Ia turun
'membabat' estimasi hayal utopis,
Menghempaskan
lumpur utopis ke tepi kesadaran
Kemampuannya
sebatas lanskap inderawi
Logika
hanyalah 'wasila' untuk memafhumi sesuatu.
Ia
memiliki kerang dan semantis yang apik
Namun,
jika dipertuhankan, akan menyebabkan sesat
Logika
suci akan membuahkan keselamatan
Logika
buruk, hanya melahirkan kekufuran dan zindiq
Logika
menghamparkan jalan kegamangan
Jika si
pemikir tidak membumikannya di kehidupan Nyata
Logika
jernih adalah elan vital ibadah,
Kejernihan
logika, akan meneguh 'laku' ibadah Qalbu
Logika
jernih, merupakan wasilah ibadah, yang efektif,
untuk
merengkuhi kenikmatan ubudiyah
Itulah
sejatinya fungsi logika bagi insan
Sebab
logika yang jauh dari petunjukNya, akan sesat
Jamak
sekali para pemikir yang pongah,
mereka
berhenti pada logika dan menuhankannya.
Orang
yang menuhankan logika pikirnya,
selamanya
tidak akan menemukan rahasia ketuhananNya.
Orang
yang 'meliarkan' nalar logikanya
Selamanya
akan terpasung keragu-raguan tak berujung.
Logika
yang dilandasi nilai-nilai iamani
Akan
membuahkan keselamatan dan kebahagiaan hakiki
Maka
jadikan logikamu wasilah menujuNya
Jangan
terbuai keapikan semantis logika yang melalaikan.
Kebenaran
hakiki 'produk' mata Qalbu.
Hatimu
itulah sejatinya 'alat' pikirmu, bukan logikamu!
Sudah Edit 57. Imajinasi (Hayal) Benda pertama Semesta Alam
Ketahuilah, bahwasanya al Hayal (imajinasi), adalah asal wujud dan dzat
yang dengannya tampak kesempurnaan dan keindahan al Ma'bud (dzat Yang
disembah), adakah anda telah menelisik 'pola' keyakinan anda kepada al Haq,?
Dimanakah esensi asma-asma dan sifat-sifat al Haq yang tampak pada diri anda,?
apa pula 'gambaran' anda tentang keyakinan anda tersebut? Semua 'gambaran' yang
memenuhi benak dan pikir anda itulah sejatinya yang disebut hayali (imajinasi),
karenanya kami menyebutnya sebagai inti (dzat) yang dengannya kesempurnaan dan
keindahan al Haq tertajallikan. Jika anda benar-benar bisa memakrifahi
penampakkan tersebut, anda akan bisa memahami bahwa hayal (imajinasi) adalah
asal semesta alam, karena al Haq adalah asal segala sesuatu.! Kesempurnaan
penampakkan-Nya tidak terwujud kecuali dengan penampakkan tempat asal
penciptaan, sedangkan tempatnya adalah imajinasi, dengan demikian hayal adalah
asal semesta alam dengan segala rahasianya. Tidakkah anda memperhatikan ihwal
rasulullah Muhammad saw, dimana beliau menjadikan sesuatu yang kasat mata
sebagai mimpi, dan mimpi menjadi imajinasi, beliau bersabda :
Semua manusia akan merasakan tidur
panjang, maka waspadailah kematian....
yakni akan tertampakkan hakekat diri mereka ketika melakoni kehidupan di
alam dunia ini, mereka mengetahui hal tersebut ketika sedang tidur panjang,
atas dasar itulah kematian harus selalu diingat dan diwaspadai.!
Ketahuilah kelalaian kepada Allah, dicabut dari diri para manusia ketika
mereka berada alam Barzah, para penghuni padang Mahsyar, para penghuni neraka
dan surga, hingga al Haq bertajalli kepada mereka di alam Katsiib, yang keluar
kepadanya para penghuni surga untuk melihat wajah-Nya. Kelalaian itulah
sejatinya tidur.!! Segenap alam asalnya adalah imajinasi, atas dasar ini imajinasi
dikaitkan dengan manusia. Setiap komunitas (ummat) terikat dengan imajinasi,
dimanapun dan kapanpun serta dialam manapun. Penduduk dunia misalnya, terikat
dengan hayal kehidupan mereka, atau tempat kembali mereka, kedua hal itu jamak
dinafikan ditengah kebersamaan (kehadiran) bersama al Haq, mereka terlena dan
hanyut dalam ketertiduran. Orang yang selalu merasakan kehadiran al Haq, adalah
orang yang waspada, kadar kehadiran-Nya pada diri manusia tergantung dari
frekwensi tidur orang tersebut, yakni orang yang berusaha menghadirkan al Haq
dalam dirinya, ia akan mewaspadai tidurnya.
Penghuni alam Barzah juga lelap dalam tidur, akan tetapi tidur mereka lebih
ringan ketimbang tidurnya penduduk dunia. Mereka Masyghul (sibuk) dengan apa
yang mengkondisikan diri mereka, utamanya adzab dan kenikmatan yang melingkupi
diri mereka, Naum (tidur) mereka karena kelalaian dan kepongahan mereka, yakni,
lalai dari mengingat al Haq. Demikian pula penghuni hari kiamat meski mereka
berada dihadapan (hadirat) al Haq untuk dihisab (dihitung) amal perbuatan
mereka, namun dalam euforia hisab itu syakilah hati dan diri mereka tidak
bersama al Haq meski jisim mereka hadir dihadapan-Nya. Realita ini juga disebut
Naum (tidur) karena terlalaikan dari hadrah (presensi), meski demikian tidur
penghuni hari kiamat lebih ringan dibanding tidurnya penghuni alam Barzah.
Begitu pula penghuni surga dengan mega nikmat-Nya dan penghuni neraka dengan
mega siksa-Nya mereka juga mengalami tidur yang sejatinya adalah 'kelalaian'
akan al Haq. Durasi waktu tidurnya ahl Mahsyar (penghuni alam Mahsyar) lebih
sedikit dibanding dengan tidurnya penghuni alam-alam lain, namun demikian
manusia disemua (masa) alam tersebut, selalu berusaha mengingat al Haq, karena
Dia bersama segala wujud kapanpun dan dimanapun. al Haq berfirman :
Dia bersamamu dimana saja (kapan)
saja kamu berada. (Q.s. Hadiid 54 : 4)
hanya saja mereka dalam keadaan tidur bukan dalam situasi terjaga. Tidak
ada yang mewaspadai kelalaian tersebut, kecuali ahl A'raaf (penghuni alam
ketinggian) dan mereka yang hidup di alam Katsiib saja, karena mereka bersama
al Haq. Mereka senantiasa waspada dan ingat akan kesejatian al Haq melalui
Tajalli-Nya, barang siapa yang menemukan hakekat tersebut dalam kehidupan dunia
ini, ia adalah orang yang berada dibarisan terdepan di alam Katsiib ketika
melihat al Haq, ia bisa melihat wajah-Nya dalam keadaan Yaqdhan (tidak tidur).
Karenanya insan yang telah menggapai maqom (capaian spiritual) ini, menandaskan
: Sesungguhnya kebanyakan manusia tertidur, karena Dia bangkit dan melihat,
kini anda telah mengetahui bahwa penghuni semua alam dihukumi sedang tertidur,
maka andapun bisa menghukumi semua alam itu sebagai Hayali (imajinasi), karena
tidur merupakan alam imajinasi.
Sebuah kisah dari dunia lain. Telah berkelana sang gharib (asing) yang
disebut "Ruh", pengembaraannya sampai ke alam yang dinamakan "
Yuh" ketika sampai di langit tersebut, ia mengetuk pintu langit yang
tersegel, ada suara dibalik pintu. Siapa gerangan yang mengetuk pintu,? Sang kelana
berkata: aku perindu yang terpisahkan, aku telah terlempar dari kerajaan langit
kalian dan terjauhkan dari etik moral kalian, aku terjerat pada kerendahan,
ketinggian, luas dan lebar, diriku terpasung dalam penjara api, air, udara dan
bumi. Aku telah berhasil melepaskan jerat-jerat diriku, kini aku datang ke alam
ketinggian untuk meminta tolong agar terbebaskan dari penjara yang masih
mengungkung diriku. Lebih lanjut sang perawi (penutur cerita) menandaskan :
Maka tiba-tiba tampak dihadapanku, seorang kakek tua berjenggot putih tebal, ia
berkata : Ketahuilah wahai kisanak, ini adalah alam ghaib, penghuninya sangat
banyak, lantunanpuji mereka beraneka ragam, eksis dan tak bertepi, mereka yang
ingin menjadi bagian dari penghuni alam ketinggian ini dan masuk menjadi
anggota tetap alam ini, maka ia harus beretik moral seperti mereka, mengenakan
baju kebesaran mereka dan menghiasi dirinya dengan minyak wangi mereka yang
sangat wangi, aku bertanya : Dengan cara apa dan dari mana aku bisa mendapatkan
baju tersebut,? Pun pula dimana aku bisa mendapatkan minyak wangi itu.? Orang
tua itu berkata: Baju itu kau bisa dapatkan di pasar biji-bijian yang kekal,
sedang wangi-wangian terdapat di bumi imajinasi yang teraktualisasikan, jika
kau mau, kau bisa balik logika perkataanku, ambilah pakaian itu dibelantara
imajinasi dan wangi-wangian di bumi biji-bijian, keduanya saling terkait satu
sama lain, karena alam ini disebut alam ghaib. Di alam itu tempat yang kali
pertama aku datangi, adalah bumi kesempuranaan, tambang keindahan yang dinamai
dengan salah satu wajah-Nya, yakni alam imajinasi, aku lantas mendatangi salah
seorang yang terlihat sangat tampan dan gagah perkasa, wibawa, kedudukannya
sangat tinggi, kekuasaannya sangat perkasa, yang dinamakan Ruh Hayal (ruh
imajinasi) serta digelari dengan Ruh al Jinan (ruh surga), ketika aku beruluk
salam dan ku pegang erat-erat tangan sang ruh, ia menjawab salamku dengan penuh
hangat dan menyambutku dengan penuh kehangatan serta sangat familiar. Ku
tanyakan kepadanya : wahai tuanku, kenapa alam itu disebut biji-bijian yang
kekal dari Adam? Apa hakekat semua ini? Orang itu menjawab : Biji-bijian itu
sejatinya adalah kasih kelembutan yang tiada akan pernah lekang (kekal abadi)
dan merupakan tempat yang melintas di dalamnya hari-hari (siang) dan malam, al Haq
menciptakan Adam dari tanah ini, lantas menaburkan benih biji-bijian itu
sebanyak bilangan adonan lalu mengkuasakannya atas segala sesuatu, ia
melogiskan sesuatu yang mustahil, menampakkan secara inderawi segala bentuk
imajinatif, ku katakan kepadanya : adakah jalan yang bisa aku lalui untuk ke
tempat yang mentakjubkan dan alam yang gharib tersebut.? ia menjawab : Iyah,
ada, yaitu ketika imajinasimu benar-benar paripurna, serta dikuasakan kepadamu
kemustahilan-kemustahilan yang menjadi tidak mustahil, serta ditampakkan
kepadamu segala yang bersifat hayali (imajinatif) dalam bentuk kasat yang bisa
ditangkap panca inderamu, hingga kau bisa memakrifahi noqta (titik) kehidupan
dan kau bisa memahami rahasia titik. Ketika kau sampai pada tingkat spiritual
seperti itu tertanggalkan dihadapanmu semua pakaian makna-makna.yang
membungkus, manakalah kau kenakan pakaian itu, akan terbuka bagimu pintu
biji-bijian, aku berkata: wahai tuanku, sesungguhnya aku siap mememuhi semua
sarat-sarat yang diperintahkan, aku akan ikat dengan tali janji dan sumpah, aku
akan mekarifahi (memahami) dengan Kasyf (intusi) dan wujud, bahwasanya alam ruh
ternyata lebih jelas dan lebih kuat, dibandingkan alam realitas, baik secara
Dzauq (intuisi) maupun Syuhud (penyaksian). Ketika aku memasuki tanah adonan
tersebut, dan aku hiasi diriku dengan wewangiannya yang terbaik, bau wanginya
sangat gharib, ku lihat di dalamnya pemandangan yang gharib (aneh), unik, ajaib
(mentakjubkan) yang sama sekali tidak pernah terlintas dibenakku dan tiada akan
pernah dilihat di alam realitas (panca indera), bahkan terandalkan di alam
hayal. Aku lantas mendatangi syeikh yang pertama menunjukkan diriku, ku mohon kepadanya
untuk menaikkan diriku ke alam ghaib yang ada, tatkala aku sampai kepadanya, ku
dapati tanah itu telah terlembutkan oleh ibadah, laksana imajinasi dan sangat
rapuh, hingga dengan mudah aku dapat mencabutnya dari hukum-hukum kemustahilan,
akan tetapi tanah tersebut sangat kokoh kasih kelembutannya dan sangat kuat
himmah (cita-cita)-nya, sangat eksis azimah (hasrat kuat)-nya, cepat tegak dan
eksis berdiri, ia laksana bulan purnama yang bersinar terang dan sempurna.
Ketika aku beruluk salam kepada penjaganya dan ia menjawab salamku, ku
katakan kepadanya: Aku ingin masuk dan aku berhasrat bertemu dengan Rijaal al
Ghaib (orang-orang gaib), karena aku telah tunaikan syarat-syarat yang
dimalumatkan, si penjaga berkata kepadaku : Inilah saat masuk dan waktu Wishal
(sampai), kemudian ia membuka segel, maka terbukalah pintunya, aku lalu masuk
sebuah kota yang sungguh sangat mentakjubkan, bumi agung yang sangat luas dan
panjang, penghuninya merupakan ahli makrifatullah yang paling utama, tidak
seorangpun didalamnya manusia yang lalai, bumi-nya kampung Makkah yang sangat
putih, langitnya kitab hijau berkilau, penduduknya sangat mulia, pemimpin
mereka adalah Khidhir as, aku lantas berusaha memfokuskan pengembaraanku
kepadanya, aku mendatanginya, ketika bersua aku beruluk salam kepadanya, ia
menjawab salamku, dan menyambutku dengan penuh kehangatan dan memperlakukan
diriku dengan penuh pemuliaan. Kemudian Khidhir as, membimbing diriku duduk
disampingnya. Khidhir as berkata kepadaku : Utarakan kata-kata yang hendak kau
sampaikan kepadaku.! Ku katakan kepadanya : Wahai tuanku, aku hendak bertanya
tentang kedudukanmu yang tinggi, keadaanmu yang uniqe, yang menjadi
perbincangan banyak orang dan membuat banyak orang salah memprediksi diri
anda,? Khidhir as lalu berkata : Aku adalah hakekat ketinggian, kasih
kelembutan alam rendah, aku adalah hakekat rahasia eksistensi manusia, aku
adalah inti batin al Ma'buud (dzat Yang disembah), aku adalah kelas-kelas
hakekat, aku adalah simponi kelembutan, aku syeikh al Lahuut (sifat ketuhanan)
aku penjaga an Nasuut (sifat kemanusiaan), aku membentuk diriku dalam setiap
makna, dan menampakkan diriku pada setiap makna, aku merupakan diriku dengan
segala citra (rupa) dan menampakkan ayat-ayat dalam setiap surat, perintahku
merupakan batin keajaiban, keadaanku adalah keadaan yang gharib (aneh), tempat
tinggalku adalah gunung dan bukit, alamku adalah alam ketinggian, aku berdiri
diantara pertemuan dua laut, tenggelam di sungai inti (dzat), peminum inti
dzat, aku adalah guide (petunjuk) paus di samudera lahut (sifat ketuhanan), aku
rahasia makanan dan pembawa pemuda, aku pengajar Musa yang tampak, aku noqtah
(titik) awal dan akhir, aku qutub (poros) individu dan jama'ah (komunitas), aku
cahaya yang terang, aku bulan purnama yang bercahaya, aku perkataan yang lugas,
aku fikrah (pemikiran) cerdik cendekia, aku tujuan para pencari, tidak ada
satupun yang Wushul (sampai) dan masuk ke dalam diriku, kecuali insaan kaamil
(manusia sempurna) dan ruh al Washil (ruh yang sambung).
Adapun selain keduanya maka kedudukanku adalah diatas kedudukannya, ia
tidak akan bisa mengetahui kabarku dan tidak akan mendapati jejak-jejakku,
bahkan ditampakkan kepadanya dengan keyakinan tersebut, bentuk Tain' yang
menyerupai diriku dan mengatas namakan diriku, serta berperilaku seperti
diriku. Orang-orang yang pongah dan bodoh akan terperdaya duplikat diriku itu,
dan mereka mengira duplikat tipuan itu sejatinya diriku. Lantas dimana
eksistensinya dihadapan diriku,? dimana pula cawan hikmahnya,? Ia sama sekali
tidak memiliki eksistensi dihadapanku, tidak pula memiliki cawan hikmah.! Oh,
Tuhan, mereka (orang-orang bodoh itu) menyebut duplikat tipuan itu noqtah
(titik) dari samudera diriku dan waktu dari zamanku, kasih kelembutannya adalah
hakekat kasih kelembutanku, menhaj (metode)nya adalah metode diriku, jalannya
adalah jalan diriku, dengan metafora seperti sejatinya dinku, ia adalah bintang
yang memperdaya. Ku katakan kepada Khidhir, apa sejatinya tanda-tanda Wishal
(sampai) kepada anda, dan sampai di bumi kasih kelembutan anda? Ia berkata,
tanda-tandanya ada di ilmu Qudrah yang transendental, makrifahnya di ilmu
hakekat, dengan hakekat-hakekat yang tersimpan di rahim kemisterian. Kemudian
ku tanyakan kepadanya tentang jenis-jenis Rijaal Ghaib (penghuni alam ghaib),
ia menjawab: diantara mereka ada dari anak turun Adam as, ada pula dari ruh-ruh
alam, mereka terbagi atas enam golongan, yang berbeda-beda maqomnya :
Golongan pertama : Kelompok utama, komunitas paling sempurna,
mereka adalah komunitas para Auliya' (para kekasih al Haq), yang mentradisikan
jejak para nabi dan rasul, tak tertampakkan di alam kegaiban, karena bedomisili
di alam yang setara ar Rahman, tidak bisa ditelisik keberadaanya, tidak pula
dapat diidentifikasi sifat-sifatnya, padahal mereka dari anak turun Adam (jenis
manusia).
Golongan kedua: Para ahli makna dan ahli ruh-ruh istimewa,
seorang Waliyullah mampu mencitrakan dirinya seperti citra mereka,
menyempurnakan lahir dan batin mereka dengan pewaliannya,' mereka adalah ruh-ruh
yang mewajahkan kekuatan yang berdimensi mungkin, (al Mumkinaat) dalam memberi
citra dalam dimensi dzat. Mereka berkelana ke alam Syuhud (penyaksian), mereka
bisa sampai ke cakrawala kegaiban wujud, jadilah gaib mereka wujud penyaksian,
nafas-nafas mereka adalah ibadah, mereka itulah sejatinya para satria bumi,
yang senantiasa berbuat karena al Haq, eksis menegakkan sunnah nabi-Nya dan
menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh-Nya, kahadiran mereka di muka bumi
melahirkan multi manfaat bagi ummat manusia.
Golongan ketiga : Para malaikat Ilham, dan para malaikat motivator
yang menggerakkan hamba-hamba terkasih-Nya, serta beraudisi dengan para
wali-Nya, para malaikat itu tidak menampakkan diri mereka di alam kebaikan, dan
tidak bisa diketahui di alam manusia.
Golongan keempat: Para makhluk penolong disetiap tragedi, mereka
senantiasa keluar dari alam mereka, dan mereka tidak bisa diketahui, kecuali
dalam pemetaforan citra (rupa) diri mereka, dus mereka menyerupakan diri dalam
bentuk manusia-manusia di alam inderawi, para wali berada di komunitas ini, dan
dibawah panji mereka, golongan ini bisa mewartakan segala dimensi kegaiban,
menampakkan segala yang tersimpan (disembunyikan).
Golongan kelima : Para makhluk misterius, mereka adalah pengembara
agung di jagad dunia, mereka dari jenis anak cucu Adam, kadang hadir
ditengah-tengah manusia, lalu gaib (menghilang), beraudisi dengan banyak
manusia dan semua mematuhi perkataannya, tempat tinggal mereka kebanyakan di
gunung-gunung, gua-gua, bukit-bukit, dan muara-muara sungai, hanya sedikit
diantara mereka bermukim di pemukiman penduduk yang ada di kota, mereka sangat
pintar menyimpan kedudukan dan eksistensi serta jati diri mereka.
Golongan keenam: Para makhluk yang mendatangkan bisikan-bisikan
jiwa, bersitan-bersitan kalbu yang bukan bisikan jahat, mereka lahir dari rahim
tafakkur (perenungan) dan pembentukan gagasan, yang tidak meleset ujaran-ujaran
mereka dan tidak gagal bentuk (citra) yang mereka gagas, mereka berada diantara salah dan benar,
mereka terdiri atas golongan ahli Kasyf (intisi) dan golongan yang terhijab
(terhalang).
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jilly
Imajinasi
adalah ruh kehidupan semesta
Ia cikal
bakal dirimu dan anak turun Adam.
Wujud
ini tidak bermaknah tanpa imajinasi
Tanpa
imajinasi hidup akan kering dan hampa
Gerak
Inderawi tidak akan eksis tanpa Hayal
Hayal
mewadahi mimpi-mimpi tiap manusia
Imajinasi
cerdas melahirkan karya indah
Hayal
utopis, adalah keranda kematian hakiki
Jangan
terperdaya oleh logika utopis, Jangan hanyutkan dirimu ke dalam hayal utopis
Raihan
keluhuran tidak dengan hayal
Keluhuran
hanya digapai dengan 'laku' hati suci
Jangan
merelatifkan daya guna hayal
Ia
adalah wajah ketetapan hakiki ketuhananNya.
Hayal
jernih adalah 'bungah' hidup
Hayal
utopis adalah duri penghempas kehidupan
Ada dua
sisi dalam imajinasi dirimu
Sisi
berbuah kebaikan dan sisi keburukan
Tajamkan
mata Qalbu dan pikirmu
Optimalkan
sisi kebaikan imajinasi dirimu
Pahami
metafora dan isyarat DiriNya
Salurkan
imajinasimu bersendikan kitabNya
Sungguh
sangat tipis dan teramat halus,
beda
hayal utopis dan imajinasi terbimbing
Ingatlah
akan tujuan hakiki hidupmu.
Jangan
lumuri imanmu dengan hayal utopis
Apa yang
diserukan nabi terkasihNya
Sangatlah
jelas dan terang penjelasannya
Sejatinya
tujuan hakiki hidupmu adalah.
Tujuan
yang selaras dengan sabda nabiNya
Tujuan
yang bermuarakan kepada Allah
Qalbu
dan hayalmu harus selaras dengannya
Jadikan
Qalbu dan imajinasi dirimu,
'alat'
kebaktian dan pengabdian kepadaNya
Jika kau
sulit memaknai kalamNya,
jangan
menafsirinya dengan imajinasimu
Tinggalkan
dan serahkan kepadaNya
Dengan
begitu hayalmu terjaga dari siksaNya
Sanjungkan
shalawat kesejahteraan
Untuk
nabi terkasihNya sepanjang lorong waktu.
Dialah
penuntun dirimu menujuNya.
Dengan
keimanan teguh dan kepercayaan utuh.
Bukankah
wujud tanpa bentuk adalah hayal?
Tidakkah
bentuk yang tidak menempati ruang adalah hayal?
Hanya
ahli Allah yang menghidupkan hatinya.
Hanya
manusia-manusia pongah yang meliarkan imajinasinya.
Hayal
utopis akan memutus Wushul denganNya
Hati
yang hidup akan bersamaNya,
kapanpun
dan dimanapun
Mereka
yang memperturutkan nafsu diri,
Imajinasi
bersihnya, akan diaduk-aduk dan dibelokkan setan
Mereka
yang hanyut dalam hayal utopis
Selamanya
tidak akan merengkuhi hakekat kesempumaanNya
Pagari
hayalmu dengan zat dan sifatNya
Ia akan
menerbangkan dirimu menuju keAgungan DiriNya
Gapailah
rahasia zat dan sifat-sifat DiriNya
Dengan
mengoptimalkan ketajaman mata hati dan hayal jernihmu.
Hayal
bersihmu membawamu ke bumi kasturi
menuntunmu
kepada entitas kehidupan penuh arti'
Ia akan
menjdikanmu meraih pohon kalamNya.
Berteduh
dibawah rindang ayat-ayat suci DiriNya
Menikmati
kezalatan hikmah-hikmah hakikiNya
Mereguk
mata air kehidupan suci bersumber dariNya
Menari-nari
di altar Keindahan DiriNya.
Larut
dalam sahdu ekstase ketuhanan DiriNya.
Imajinasi
suci adalah replika surga Ma'wahNya
Maka
bumikan hayal jernihmu di pelataran surgaNya
Ia
adalah rahasia Qudrah dan Iradah
DiriNya
Lazuardiy kedamaian yang menyejukkan hati hambaNya
Ialah
sejatinya pupuk yang penyubur kehidupan
Air yang
mengaliri ide-ide segar berbasis nilai ketuhananNya
la dapat
menyihir dan mempesonakan si empunya
Ia akan
nista, jika tercerabut dari nilai-nilai suci ketuhahan.
Ia dapat
membuat manusia buas menjadi lembut
Ia dapat
membuat mata, berlinang air mata kesenduhan
Leburkan
imajinasi sucimu kedalam Himmahmu
Jejaki
pencapaian yang hendak kau raih dengan hayal sucimu
Hanya
manusia cerdas yang mendidik hayalnya
Manusia
bodoh akan terperdaya oleh hayal utopis dirinya.
Banyak
orang salah mencari 'alat' kebahagiaan.
Mereka
jadikan hayal utopis 'kendaraan' utama meraihnya.
Hayal
adalah, ayah, ibu, adik dan kakak anak Adam.
Ia
adalah keluarga yang selalu menemani anak cucu Adam
Tidak
sedikit manusia yang hanyut dalam hayal
Hanya
hayal suci yang melahirkan kasih kelembutan DiriNya
Imajinasi
jernih adalah kurma yang siap panen
Setiap
insan diperbolehkan memanen kurma itu sesuka hatinya,
Imajinasi
yang bertabur kasih petunjukNya
Akan
membuat penghayalnya, haru dalam kebahagiaan diri.
Hayal
adalah sesuatu yang tidak berbentuk
Maka
waspadai dan kawal hayalmu, agar tidak berbuah fitnah.
Hayal
suci adalah sesuatu yang membumi.
Bumikan
hayal sucimu, untuk menggapai wushul dan ridhaNya.
Sudah Edit 58. Shurah (Citra) Muhammad SAW adalah Cahaya Asal Penciptaan Surga Dan Neraka yang Melahirkan Kenikmatan Dan Siksa
Ketahuilah, semoga Allah memahamkan kita akan eksistensi-Nya dan menjadikan kita insan yang
terkasih dan dikasihi-Nya. Bahwasanya al Haq, menciptakan citra Muhammad saw, dari
cahaya nama-Nya al Badii' (Yang menjadikan sesuatu), dan al Qoodir (Yang
berkuasa). Serta melihat kepadanya dengan cahaya nama-Nya al Mannaan (Yang
memberi nikmat) dan al Qoohir (Yang menaklukkan). Serta menampakkan pada
sesuatu tersebut dengan nama-Nya al Lathiif (Yang lemah lembut), dan al Ghaafir
(Yang pengampun).
Dengan demikian tajalli itu terlihat seakan-akan memiliki dua sisi : Dia
menciptakan surga pada sisi sebelah kanan .lan menjadikannya kampung
kebahagiaan bagi mereka-mereka yang diberi nikmat, kemudian Dia menciptakan
neraka pad. sisi sebelah kiri dan menjadikannya kampung kepedihan, yang
cipersiapkan untuk para orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Sisi penciptaan
surga merupakan tajalli ketuhanan yang tertampakkan dengan nama-
Nya al Mannan, yang merupakan rahasia tajalli kasih kelembutanNya, tempat
para insan mulia dimata al Haq.
Sedang sisi penciptaan neraka merupakan tajalli ketuhanan yang tertampakkan
dengan nama-Nya al Qoohir, yang merupakan rahasia tajalli kasih
pengampunan-Nya, yang menunjukkan adanya pengampunan al Haq kepada para
penghuni neraka, yang pada akhirnya mereka terentaskan dari siksa Neraka. Rasul
Muhammad saw mewartakan :
Sesungguhnya al Haq Yang Maha
Perkasa, meletakkan kaki hamba terkasih dan dikasihi-Nya di dalam neraka-Nya,
neraka berkata pasti pasti, lalu tumbuh di dalam neraka pohon Jirjir.
Rahasia yang terkandung dalam makna hadits ini, bahwa al Haq ketika
menciptakan adzab (siksa) Dia juga menciptakan kekuatan bagi mereka untuk
menanggung siksa neraka, agar mereka bisa merasakan siksa yang ditimpakan
kepada mereka, sebagaimana diwartakan al Haq dalam firman-Nya : Setiap kali
kulit mereka hangus,
Kami ganti kulit mereka dengan kulit
yang lain, supaya mereka merasakan adzab. (Q.s. an Nisaa' 4 : 56).
Pergantian kulit menunjukkan adanya kekuatan pada diri penghuni neraka,
setiap berganti kulit baru, ditambah pula kekuatan pada diri mereka, agar
mereka tetap (terus) merasakan siksa yang ditimpakan kepada diri mereka,
sungguh pemberian energi kekuatan itu bukan merupakan penghormatan, namun
merupakan penghinaan diatas penghinaan, sebab masuknya mereka ke dalam neraka
sudah merupakan hinaan, penambahan energi itu untuk melipat gandakan rasa
siksa, agar mereka merasakan bahwa al Haq itu ada Ada, dan pengingkaran mereka
terhadap-Nya, itulah sejatinya sebab siksa! Siksa neraka yang ditampakkan,
merupakan wajah penghinaan, baik bagi yang disiksa maupun yang
diperlihatkannya, seperti halnya kenikmatan surgawi yang ditampakkan
(diwartakan) merupakan wajah penghormatan, sebelum memasuki surga yang
sesungguhnya. Kemudian penduduk neraka itu, ketika satu bentuk siksa telah
mereka jalani, dan berganti dengan bentuk siksa yang lain, energi tambahan pada
bentuk siksa pertama tidak hilang, karena hal itu merupakan pemberian dari al
Mannan.
al Haq tidak pernah mengurungkan pemberian-Nya, sedang siksa itu reda
karena tangan Keperkasaan-Nya, kemudian dengan keperkasaan-Nya, Dia
menggantinya dengan siksa lain. Demikianlah dalam setiap pergantian bentuk
siksa, Dia juga menyertai dengan penambahan energi, sehingga tampak pada
penghuni ahli neraka itu bekas-bekas kekuatan Ilahi (ketuhanan), manakala
kekuatan Ilahi tampak pada diri mereka, saat itulah mereka baru memahami bahwa
al Haq benar-benar Maha Perkasa, mereka juga melihat bahwa al Haq menancapkan
kaki dan tangan kekuasaan-Nya di api neraka. Atsar (pengaruh) sifat al Haq tertampakkan
pada setiap orang yang berkubang bencana dan kesengsaraan dengan penampakkan
lebih jelas dan terasa' dibandingkan penampakkan-Nya kepada tiap insan yang
diberkati karunia rahmat-Nya.
Kemudian, pahamilah bahwasanya al Jabbar tidak menampakkan kepada para
penghuni neraka itu, kecuali'dengan Kekuatan Ilahi (ketuhanan), yang
disingkapkan kepada mereka untuk dijadikan media Wushul (ketersambungan) dengan
nilai-nilai ketuhanan dan Diri Nya. Dia meletakkan kaki keperkasaan-Nya diatas
api neraka, dan apipun tunduk kepada kekuatan al Haq neraka berujar kepada Nya
: Pasti Pasti. Yang menunjukkan situasi kehinaan, dibawah keperkasaan al Izza
(Yang Maha Mulia) dengan ujaran seperti itu siksa menjadi lenyap.
Ketahuilah manakala neraka itu bukan merupakan wujud asal (sesuatu yang
adanya karena diadakan), maka ia juga akan memiliki masa berakhir, rahasia yang
berserak dari siksa neraka ini adalah bahwa sifat yang lahir dari sesuatu yang
bukan wujud asal merupakan sifat yang didahului, sedang sifat yang didahului merupakan
cabang dari sifat dahulu, itu pula rahasia yang yang tersirat dan ungkapan al
Haq :
Rahmat Ku mendahului kemarahan Ku
dahulu merupakan kata pokok, sedang mendahului merupakan cabangnya, jika
rahmat merupakan kata pokok (asal) maka hukum keberadaannya ada sejak awal
hingga akhir, sedang kemarahan bukan sitat pokok, maka keberadaannya tidak dari
awal dan akan memiliki masa akhir, karena pengadaan (penciptaan)nya untuk
makhluk bermula dan ketiadaan, hal terebut merupakan manifestasi rahmat-Nya bagi
makhluk-Nya, bukan manifestasi kemarahan bagi makhluk-Nya.
Cobalah perhatikan redaksi hadits,
Rahmat Ku mendahului kemarahan Ku,
semantis logikanya al Haq tidak berkata : Kemarahan Ku, meliputi segala
sesuatu, karena Dia mengadakan segala sesuatu sebagai bentuk rahmat dari-Nya.
Dari termin ini pula dapat dimaknfahi bahwa wujud kemarahan juga akan berakhir.
Misteri dan semua mi, bahwa rahmat itu merupakan sifat inti (dzat) al Haq
sedangkan marah bukan sifat inti (dzat)-Nya. Tidakkah anda telisik kembali,
bahwasanya Dia dinamakan Bismillah ar Rahmaan (Maha
Pemurah) ar Rahim (Maha Penyayang,) dan Dia tidak dinamakan bi al Ghadzbaan
(kemarahan) dan al Ghadzuub (pemarah), yang sedemikian itu karena kemarahan
merupakan sifat yang lahir dan sifat Adi (Keadilan) al Haq, dan keadilan
dipakai menghukumi diantara dua permasalahan. Nama al Adi (keadilan) merupakan
nama-Nya yang berdimensikan sifat, sedang nama ar Rahman, merupakan nama-Nya
yang berdimensikan dzat.
Telisiklah kembali nama-Nya al Ghoffaar yang merupakan awal
penampakkan nikmat yang lahir dan rahim Kasih Kepemurahan-Nya, yang disebut
dengan tiga redaksi : al Ghaafir (Maha Mengampuni), al Ghoffaar
(MahaPengampun), al Ghafuur (Maha Luas ampunan-Nya), sedang
nama-Nya yang mengekspresikan awal penampakkan Niqmah (bencana) hanya
disebut dengan dua redaksi, yaitu : al Qoohir(Maha Menaklukkan) al Qohhaar Maha
Penakluk), tidak ada kata Qohuur (Maha Luas penaklukan-Nya). Ini juga merupakan
rahasia ungkapan al Haq :
Rahmat Ku mendahului kemarahan Ku.
Ketahuilah bahwasanya jika neraka itu merupakan Arad (aksiden) wujud, maka
hilangnya adalah hal bisa diterima tataran akal, jika tidak maka hal tersebut
merupakan sesuatu yang mustahil. Adapun yang dimaksud dengan hilangnya neraka
itu adalah padamnya kobaran api, dengan padamnya api neraka, maka lenyap pula
malaikat penjaganya, dengan perginya malaikat penjaga itu, maka datanglah
malaikat pemberi nikmat, bersamaan dengan munculnya malaikat pemben nikmat itu,
tumbuh pula benih-benih pohon Jirjir, yang berwarna hijau dan warna terbaik di
surga adalah warna hijau. Maka berubalah wujud neraka yang mencekam menjadi
tempat yang penuh dengan kenikmatan, selaras dengan kisah Ibrahim as, dimana al
Haq berkata kepada api yang membakarnya:
Hai, api menjadi dinginlah dan jadilah
keselamatan bagi Ibrahim. (Q.s. al Ambiyaa' 21 : 69).
Tempat bekas neraka itu berubah menjadi taman-taman indah yang menaburkan
kesenangan tak bertepi, apinya telah lenyap. Jika anda bersemantis logika anda
bisa mengatakan : neraka itu sejatinya tidak lenyap, yang terjadi adalah
perpindahan dari alam siksa menuju alam rahmat (karunia), pun anda bisa
menandaskan : Neraka itu benar-benar telah lenyap paska al Jabbar menjejakkan
kaki keperkasan-Nya di dalam neraka, anda juga bisa mengatakan : Neraka itu
tetap eksis kemaujudannya, hanya saja eksekusi siksanya berganti menjadi jedah
peristirahatan, atau anda bisa berasumsi neraka itu tetap adanya hanya taburan
siksa-Nya berganti dengan taburan rahmat.
Pahamilah bahwa sejatinya peristirahatan surgawi itu, bisa pula dirasakan
di alam dunia ini, utamanya dalam tabiat (alam) jiwa. Orang seorang yang
menjernihkan jiwanya, dengan Mujahadah (usaha yang tiada kenal putus asa) dan
Riyadhah (pelatihan jiwa), jika tabiat nafsu telah tergerus dari jiwanya, dan
ia menjadi suci dan bersih, maka orang tersebut bisa menemukan surganya, jika
anda berprediksi bahwa surga dunia itu tersimpan dibalik cahaya pensucian Ilahi
(ketuhanan), prediksi anda itu tidaklah salah.
Adapun jika anda memetaforkan suka duka dan ragam bencana yang menerpa para
saalik (peniti jalan Allah), pun kelas-kelas cobaan, pasang surut iman, tekanan
mental, sikap ragu dan gamang, putus asa, sebagai metafor siksa neraka dalam
kehidupan dunia, berikut surga sebagai isyarat maqom ke-eksis-an suluk, hal tersebut
tidaklah salah, karena sejatinya neraka dalam kehidupan dunia ini adalah
terputusnya rahmat al Haq dari diri hamba-Nya, sedang hakekat surga dalam
kehidupan ini adalah tergapainya semua keinginan dan harapan harapan seorang
hamba kepada al Haq.
Ketahuilah ragam ujian, bencana, hukuman yang dialami para peniti jalan
Allah dalam ritus suluk mereka, di alam kehidupan ini, tidak mungkin akan
diberlakukan lagi kepada mereka dalam hukum kehidupan akhirat, yang sedemikian
itu jikalau mereka telah makrifah dan tidak Mukholafah (mengkingkari lakunya).
Ruh agung mewartakan kepada diriku, bahwa seorang hamba telah mengalami
ujian paling berat dan cobaan keras, dalam menapaki ritus Mujahadah, Riyadlah
dan melawan hawa nafsu, . hingga mampu memakrifahi diri-Nya, ia tidak akan
menemukan lagi kesulitan-kesulitan itu dalam kehidupan akhirat, sebagaimana
ditegaskan firman-Nya ;
Dan tidak ada seorangpun daripada
kalian, malainkan mendatangi neraka itu, hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu
kemestian yang sudah ditetapkan. (Q.s. Maryaam 19 : 71).
Para arif billah itu, setelah merasakan neraka dunia (suka duka suluk),
mereka dipelihara al Haq dari api neraka akhirat, sebagai manifestasi kasih
kelembutan dan kasih pertolongan-Nya, dengan demikian hamba yang telah makrifah
itu tidak diadzab dengan dua adzab, kepedihan hidup di dunia yang telah mereka
lalui, merupakan ganti adzab akhirat mereka. Realita tersebut selaras dengan
sabda rasulullah saw.
Sesungguhnya terik panas (matahari)
itu merupakan nasib setiap muslim dari api neraka.
Jika terik matahari saja merupakan bagian dari kobaran api (siksa) neraka,
lantas bagaimana dengan siksa-siksa (batu ujian) yang terdapat pada ritus
Riyadhah, Mujahadah dan memerangi hawa nasfii? Sungguh siksa-siksa duniawi itu
sangat dahsyat dan keras. Semua itu merupakan sebuah kemestian yang harus
dihadapi para pencuci hati, dan penjernih jiwa.
Atas dasar ini pula baginda rasul Muhammad menyebutnya dengan Jihad
terAgung, sedang perang dengan hunusan pedang disebut sebagai jihad kecil.
Tidak bisa dipungkiri, terik sinar matahari lebih ringan dampaknya dibandingkan
dengan berperang di medan laga, bertempur menumpas musuh, yang kesemua itu
hanyalah merupakan perjuangan kecil, tidak ada bandingnya dengan duka
Mujahadah, Riyadhah dan perang melawan nafsu yang dilakukan para peniti jalan
al Haq.
Ketahuilah bahwasanya ketika al Haq menciptakan neraka dari nama-Nya al
Qohhaar sebagai manifestasi tajalli keperkasaan-Nya, tajalli-Nya
termanifestasikan pada tujuh penampakkan, masing-masing tajalli memiliki pintu-pintu
yang memiliki arti tersendiri.
Tajalli Pertama : tampak dengan nama-Nya al Muntaqim (Yang
menuntut bela). Terbuka di dalamnya pintu tiga lembah yang memiliki 160.000
tingkat, yang dinamakan Lazh-kobaran Api, al Haq menciptakan pintu
lembah ini dari kedzaliman, kemaksiatan, dosa-dosa besar dan kecil, ia
merupakan tempat ahli (pelaku) maksiat dan dosa-dosa yang tidak berkaitan
dengan makhluk, yaitu dosa yang lahir dari pengingkaran makhluk terhadap amar
perintah al Haq, semisal : kebohongan, riya', minum minuman keras, meninggalkan
perintah shalat wajib, mempermudah dan mempermainkan hal-hal yang diharamkan al
Haq, mereka itu adalah para pendosa seperti yang ditegaskan firman-Nya,
Pendosa ingin kalau sekiranya ia
dapat menebus dosanya dari adzab hari itu dengan anak-anaknya. Dan istrinya
serta saudaranya. Dan kaum familinya yang melindunginya di dunia. Dan
orang-orang diatas bumi seluruhnya. Kemudian mengharapkan tebusan itu dapat
menyelamatkan. Sekali-kali tidak dapat, sesungguhnya neraka itu adalah api yang
bergejolak. Yang mengelupaskan kulit kepala. Yang memanggil orang yang
membelakangi dan yang berpaling dari agama. (Q.s. al Ma'arij 70 : 11 - 17)
yakni berpaling dari keta'atan kepada al Haq dan menafikan Dzikrullah,
berikut kemaruk duniawi, menimbun harta dan enggan membagikannya kepada yang
berhak. Siksa di neraka tingkatan ini sungguh sangat pedih, meski ia paling ringan
dibandingkan siksa tingkatan-tingkatan neraka lainnya.
Tajalli kedua : tampak dengan nama-Nya al 'Aadil (Yang berlaku
adil). Terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 120.000 tingkat, yang
dinamakan Jahiim, al Haq menciptakan pintu lembah ini dari tindak ke-fajir-an,
yakni semangat keberpihakan kepada Ghair al Haq, dan fanatisme buta, serta
perilaku batil dan penentangan terhadap al Haq, ia tempat para pembangkang-Nya
di muka bumi ini, para insan yang tidak mau beribadah kepada-Nya.
Para penindas, para penjajah yang merampas hak orang lain, dengan tindakan
kriminal, memakan harta orang lain dengan jalan inkonstitusional, semisal
korupsi dan penggelapan serta perilaku sejenis lainnya, al Haq berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang
durhaka, benar-benar berada dalam neraka. (Q.s. al Infihaar 82 : 14)
yakni para pembohong dalam ritus keimanan mereka, pelaku tindak kedzaliman
dan para Taghuut penindas hak asasi manusia, al Jahiim merupakan tempat kembali
orang-orang yang mendzalimi manusia tanpa kesalahan, ia tempat para hakim yang
bertindak curang dalam memutuskan amar perkara pengadilan, siksa pada neraka
tingkatan ini, lebih keras dari tingkatan sebelumnya.
Tajalli ketiga : tampak dengan nama-Nya asy Syadiid (Yang keras),
terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 1.440.000 tingkat, yang
dinamakan 'Usriy (kesulitan), al Haq menciptakan pintu lembah ini dari tindak
kekikiran (bakhil), kemaruk harta, gila dunia, kedengkian, kehasudan, keliaran
syahwat, gila kekuasaan, dan kekemarukan duniawi lainnya, ia tempat pemuja
dunia dan menafikan kehidupan kampung akhirat, lembah ini terletak dibawah
lembah tajalli pertama, namun siksa lebih keras berlipat ganda, dibandingkan
yang pertama.
Tajalli keempat : tampak dengan nama-Nya al Ghadlab (Yang Marah).
Terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 1.188.000 tingkat, yang
dinamakan al Haawiyah (Api yang panas). Pendosa yang dimasukkan ke neraka ini,
akan dibiarkan dilalap api beberapa saat, sebelum dijatuhkan ke tingkat lebih
rendah lagi, demikian seterusnya, al Haq menciptakan pintu ini dari perilaku
hipokritas, (kemunafikan), riya' (sombong diri), pembohong, provokator, penipu dan
tindakan-tindakan serupa lainnya, dan perilaku-perilaku tipu daya lainnya, al
Haq berfirman :
Sesungguhnya para munafik itu
ditempatkan pada tingkatan paling bawah dari neraka. (Q.s. an Nisaa' 4 : 145)
siksa neraka ini lebih pedih dan lebih keras dari siksa neraka sebelumnya.
Tajalli kelima : tampak dengan nama-Nya al Mudzill (Yang
memperhinakan). Terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 5.760.000
tingkat, yang dinamakan Saqar al Haq menciptakan pintu lembah ini dari perilaku
takabbur (bangga diri), di neraka ini Fir'aun diperhinakan dengan penghinaan
yang sangat nista, demikian pula dengan para diktator lainnya, yakni
orang-orang yang merebut kekuasaan secara tidak sah (diluar jalur hukum) karena
al Haq adalah sangat pencemburu. Orang seorang yang mengklaim sifat dari
sifat-sifat-Nya, atau nama dari nama-nama-Nya melalaui cara yang tidak valid
(shahih), Dia sangat murka dan menista si pengklaimnya, Dia menyiksanya hingga
hari kebangkitan, demikian halnya orang-orang yang menyombongkan diri diatas
muka bumi ini, dan berkedok dibalik sifat dan nama-Nya, tanpa prosedur yang
benar, al Haq akan menyiksa mereka dengan nama-Nya al Mudzill, al Haq berfirman
:
Kemudian ia berpaling. (Q,s, al Muddatstsir 74 :
23)
yakni berpaling dari ritus peribadatan kepada al Haq serta tawadhu' (rendah
hati dan diri) dibawah kekuasaan-Nya,
dan menyombongkan diri. (Qs. al Muddatstsir 74 : 23)
selalu gila kebesaran, dan enggan beribadah ia bahkan mengejek Tuhan,
ini tidak lain hanyalah perkataan
manusia. (Q,s,
al Muddatstsir 74 : 24)
dengan begitu ia merasa tidak berkewajiban untuk beriman kepada al Haq.
Aku akan memasukkannya ke dalam
neraka Saqar. (Q,s, al Muddatstsir 74 : 26)
Tajalli keenam : tampak dengan nama-Nya al Bathsy (Yang
menyerang), terbuka di dalamnya pintu lembah yang memiliki 11. 520.000 tingkat,
yang dinamakan Sa'iir. al Haq menciptakan pintu lembah ini dari unsur as
Syaithaniyah (setan), api yang mengobarkan nafsu (ego) jiwa, yang membiaskan
perilaku buruk dan jahat pada diri manusia, dan melahirkan, kemarahan, keliaran
nafsu syahwat, tipu daya, penghianatan, tidak percaya adanya Tuhan (atheis) dan
tindak-tindak kekufuran lainnya. Manusia yang berperilaku buruk seperti itu pun
perilaku yang mengiindikasikan ke arah tersebut adalah penghuni nereka ini, ia
akan hidup dengan setan di dalamnya, al Haq berfirman :
Kami jadikan bintang-bintang itu
alat pelempar setan. Dan Kami sediakan bagi mereka siksa
neraka yang menyala-nyala (O s alMulk 67 : 5)
Tajalli ketujuh : tampak dengan nama-Nya Dzu Iqoob al Aliim
(Yang memiliki siksa yang keras), terbuka di dalamnya pintu lembah yang
memiliki 23.040.000 tingkat, yang dinamakan Jahannam, kesemua tingkatan itu
tidak akan berakhir karena tertib hikmah tidak memiliki akhiran, kecuali dengan
kodrat-Nya, yang sedemikian itu karena Qudrah adalah sesuatu yang abadi, jika
tampak dan berjalan pada sesuatu akan menjadikan sesuatu itu kekal dan abadi.
Hari kiamat dan segala yang terjadi paska kiamat adalah produk Qudrah, karena
kampung dunia ini adalah kampung hikmah, sedang akhirat adalah kampung Qudrah,
sampai ihwal (kondisi) penghuni neraka dan penghuni surga yang ditemukan
(dihadapi) penghuninya terkodratkan dengan dimensi azali hingga selama-lamanya
(abadi), yang tidak ada k£ta awal atau akhir, karena seuatu yang lahir dari
produk antara azali hingga abadi sejatinya adalah merupakan zaman yang satu,
dan bukan merupakan multi zaman. Kemudian kesatuan zaman itu dipindahkan al
Haq, kepada siapa saja yang Dia kehendaki, ini merupakan rahasia ketuhanan yang
sangat mentakjubkan, yang tidak bisa di nalar de- ,an logika akal manusia,
bahkan tidak terbersit sedikitpun di benak manusia, karena kisaran logika
jangkauannya hanya terkait dengan hikmah, sedang Kasyf (intuisi) terkait dengan
Qudrah, realita ini tidak akan bisa difahami (dimakrifahi) kecuali mereka yang
telah Mukasyafah (beroleh pengetahuan intuitif), al Haq menciptakan pintu
neraka tingkatan ini, dari perilaku kekufuran dan kesyirikan, Dia berfirman :
Sesungguhnya orang-orang kafir,
yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik akan masuk ke neraka Jahannam : mereka
kekal di dalamnya, mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Q.s. al Bayyinah 98 : 6)
dan siksa neraka Jahannam adalah siksa yang paling keras, demikian pula
siksa Jahannam tidak akan pernah berakhir karena kekal dan abadi, hal itu
ditegaskan pula dengan firman-Nya.
Dan ingatlah yang pada hari itu Kami
bertanya kepada Jahannam : Apakah kamu sudah penuh? Dia menjawab : Masih adakah
tambahan? (Q.s.
Qaaf 50 : 30)
yang sedemikian itu karena tiadanya penghabisan. Ketahuilah penghuni
masing-masing neraka (tujuh neraka diatas) itu tidak akan keluar dari
masing-masing neraka, sebelum merasakan siksa tiap-tiap tingkatan dari
tingkatan-tingkatan neraka yang ada. Diantara mereka ada yang dimudahkan al Haq
dalam proses peralihannya, diantara mereka ada yang dipersulit-Nya dalam
menapaki tahapan-tahapan tingkatan yang ada. Ketika semua insan telah menapaki
semua tingkatan-tingkatan neraka yang ada, saat itu al Jabbar menjejakkan
kaki-Nya di setiap tingkatan pada semua neraka dan segala tingkatan yang ada
tersebut, al Haq menjejakkan kaki-Nya dalam satu waktu pada satu hari.
Qudrah menampakkan j ejak-Nya kepada penghuni neraka pada satu waktu, hal
ini jelas sulit diterima oleh tataran logika manusia, namun hal itu bisa
difahami melalui Kasyf (intuisi) ketuhanan. Kemudian al Haq menciptakan pada
masing-masing pintu neraka itu Malaikat Penjaga, sebagai manifestasi asy
Syiddah (Keras)-Nya, karena malaikat tersebut tercipta dari cahaya nama-Nya asy
Syadiid (Yang Keras) dan al Qowwiyu (Yang Kuat).
Telisiklah segenap penampakkan-Nya pada setiap tingkatan neraka Jahannam,
akan anda dapati dimensi hakiki makna KerasNya, karenanya para malaikat
penjaga neraka-neraka itu dikuasakan dengan kekuasaan-Nya, untuk menjaga
pintu-pintu neraka-Nya. Yang merupakan cerminan nyata daripada ke-Keras-an
hakiki-Nya. al Haq berfirman :
penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar dan keras. (Q.s. at Tahriim 66 : 6)
nama asy Syiddah ini juga merupakan sinonim dari nama-Nya al Maalik
(Penguasa) dari segala al Mulk kerajaan. Ketahuilah para penghuni neraka itu,
dipindah-pindah dan tingkatan tertinggi ke tingkatan paling rendah, sebagai bentuk
peringanan kepada mereka, pun sebaliknya mereka juga dipindahkan dari tingkatan
yang lebih rendah ke tingkatan paling tinggi, sebagai bentuk pemberatan kepada
mereka, kesemua itu sejalan dengan kehendak al Haq, untuk memperberat atau
pemperingan siksa para penghuni neraka-Nya.
Ketahuilah dalam neraka itu terdapat banyak aneka keajaiban yang tidak
terhingga banyaknya. Kita tidak mungkin merinci keajaiban yang terdapat pada
masing-masing tingkatan yang ada, pun sifat-sifat malaikat yang ditugaskan
mengurusi neraka-neraka tersebut. Mungkin anda tidak percaya (karena tidak bisa
diterima logika) semisal : dalam neraka itu ada orang mukmin yang dijebloskan
ke dalamnya tanpa dosa lahir yang diperbuatnya, itulah rahasia yang terpendam
dari firman-Nya.
Dan peliharalah dirimu daripada
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja. (Q.s. al Anfaal 8 : 25),
atau perihal suatu komunitas yang menghuni neraka itu, lalu dipindahkan
oleh tangan Kodrat-Nya, karena buah kebaikan generasi sesudahnya. Kesemua itu
bisa di lihat melalui Mukasyafah (pengetahuan intuitif), dan banyak rahasia
Qudrah-Nya yang terlihat sangat jelas, namun tidak mampu disingkap kaum beriman
dalam kehidupan mereka, karena kenihilan pemahaman mereka akan nilai-nilai dan
rahasia-rahasia ketuhanan. Dalam hidup dan kehidupan ini banyak mata yang
sehat, namun tidak mampu menembus pandangan yang jelas, banyak mata yang
melihat, tapi tidak mampu memakrifahi apa yang dilihatnya.
Dalam pengembaraan ruhiyah, aku berjumpa dan berkumpul dengan Plato, yang
diklaim sebagai manusia realis yang kafir, aku melihatnya di alam gaib, ia
dikelilingi cahaya yang terang benderang, aku juga melihat ia ditempatkan pada
kedudukan yang tinggi, seperti jamaknya kedudukan para wali (kekasih Allah),
saya bertanya : Siapa sejatinya anda,? ia menjawab : aku adalah poros (qutub)
zaman, namun realita yang gharib (aneh) seperti ini jangan dimaknai secara
harfiyah (tekstual), maknailah realita tersebut sebagai bentuk metafor dan
isyarat-isyarat yang menyimpan multi rahasia, agar anda tidak terjebak pada
pemaknaan sempit, buanglah kulit maknahnya, ambil isi maknahnya, jika anda
memang benar-benar insan yang intelektual. Karya ini bukan dimaksudkan untuk
mewartakan secara tektual kabar para penghuni neraka serta ihwal para malaikat
penjaganya, berikut aneka ragam bentuk siksaan yang ada di dalamnya, karya ini
dimaksudkan untuk mencari makna yang tersirat dari hakekat neraka, berikut
kesejatian siksa-siksa-Nya. Pahami betul metafor yang kami pakai dalam
pembahasan masalah neraka ini!
Ketahuilah penghuni neraka juga memiliki sisi kenikmatan, seperti
kenikmatan para petarung, petinju dan para pelaku hidonistis lainnya,
telisiklah dalam alam realitas ini, banyak sekali manusia yang menemukan
kenikmatan, ketika melakukan pertempuran, pertarungan, mereka sangat memahami
(menyadari) bahwa bentrok fisik itu melahirkan rasa sakit bagi tubuh mereka,
namun demikian mereka menemukan kenikmatan tersendiri dalam jiwa mereka, ketika
mampu melukai lawannya. Demikian pula anda bisa melihat orang yang terkena
penyakit kudis atau penyakit kulit lainnya, ia menemukan kenikmatan ketika
menggaruk penyakit yang menerpanya, padahal sangat berbahaya dan menimbulkan
rasa sakit, tapi sipesakitan merasakan kenikmatan dari apa yang ia lakukan, pun
pula anda dapat menemui manusia yang bodoh dan merasakan kenikmatan dalam
menguraikan pikiran bodohnya, padahal kebahagiaan seperti itu jelas sangat
merugikan diri dan orang lain.
Pada tahun 709 H. Dalam perjalanan di negeri India, tepatnya di kota yang
bernama Karachi, saya melihat salah seorang penduduk hendak membunuh tiga
penguasa kota tersebut, ketika ia berhasil membunuh satu penguasa, ia
tersemangati membunuh yang lain, hingga ketiga penguasa itu mati tertikam
pedangnya, ketika di tangkap dan hendak dieksekusi mati, saya dekati si jagal
itu, saya tanyakan kepadanya: apa sejatinya yang telah anda lakukan,? Ia
menjawab dengan penuh arogan : Diam kau kisanak! Demi Tuhan, aku telah
melakukan tindakan yang sangat terpuji dimata Tuhan, aku merasakan kenikmatan
yang tiada tara, ketika aku mampu melenyapkan nyawa manusia-manusia itu,
sungguh aku tidak merasakan kenikmatan seperti itu sebelumnya! Orang itu
merasakan kenikmatan yang tiada tara, ketika memukul dan menghujamkan pedangnya
ke dada orang yang menyebabkan kematian, demikian pula kita temukan dalam sakte
tertentu, ada orang yang melukai tubuhnya, menyalib dan memukul tubuhnya hingga
berdarah-darah dan jiwanya merasakan kenikmatan yang tiada tara.
Para penghuni neraka itu memiliki kenikmatan lain, serupa kenikmatan
seorang pemikir yang menari-nari diatas logika pikirnya, utamanya dalam
menyalahkan pun menyanggah pemikiran orang-orang yang dianggapnya bodoh, ia
menemukan kenikmatan ketika melihat orang lain bodoh, ia menemukan kenikmatan
dalam tindak pembodohan orang lain, padahal penuhanan akal semacam itu hanya
akan membuatnya terjerembab dalam siksa tak bertepi, ia menemukan kenikmatan
dalam kecongkakan dan keengganan diri mengikuti pemikiran orang-orang bodoh,
lugu dan jernih yang banyak melahirkan kebahagiaan.
Orang pandai akan terpasung dengan akalnya, sehingga gengsi mengikuti orang
yang dianggapnya bodoh, kenikmatan yang lahir dari keangkuhan seperti itu hanya
melahirkan kesengsaraan, sedangkan tidak sedikit kebodohan yang lugu, dapat
menghindarkan kesengsaraan. Para penghuni neraka itu juga memiliki kenikmatan,
ketika melihat orang lain yang disiksa lebih keras daripada dirinya, namun
ketika ditampakkan kepada mereka ihwal penghuni surga, mereka sangat membeci
dengan apa yang diperoleh penghuni surga tersebut, disisi lain ada pula
penghuni neraka yang apabila melihat ihwal penghuni surga, mereka berharap bisa
berkumpul dalam surga-Nya, berharap hidangan dan minuman surgawi, namun
keinginan itu tak kesampaian, mereka itulah insan-insan yang diwartakan al Haq
dalam firman-Nya.
Dan penghuni neraka menyeru penghuni
surga: Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah dirizkikan
Allah kepadamu. Penghuni surga menjawab: Sesungguhnya Allah mengharamkan
keduanya itu atas orang-orang kafir. (Q s al A'raaf 7 : 50).
Ketahuilah, apa yang kami paparkan itu bukan merupakan cerminan penghuni
neraka secara keseluruhan, keadaan mereka (penghuni neraka) sangat beraneka
ragam. Diantara mereka ada yang merasakan kenikmatan dalam deraan siksa,
diantara mereka ada yang sama sekali tidak merasakan kenikmatan dalam timpaan
siksa, bahkan ada yang sangat membenci dengan raungan kesakitan siksa, diantara
mereka ada yang beroleh siksa lebih keras dari perilaku dosa yang telah
diperbuatnya di dunia, ada pula yang disiksa karena ideologi yang diyakininya,
pun disiksa karena laku perbuatannya, perkataan baik dan buruknya yang dalam
sangkaan (asumsi) mereka tidak terkait dengan perilaku dosa, ada yang disiksa
karena niatan dan aktifitasnya. Esensinya masalah penghuni neraka ini sungguh
sangat gharib (uniqe) demikianlah rahasia ungkapan al Haq dalam hadits
qudsi-Nya,
Orang-orang itu menuju neraka, Aku tidak
peduli. Orang-orang itu menuju surga, Aku tidak peduli.
Ketahuilah diantara penghuni neraka itu ada manusia-manusia yang dimata al
Haq lebih utama dibandingkan penghuni surga, mereka dimasukkan ke lembah
kedukaan (neraka), untuk penampakkan Diri-Nya kepada mereka di dalam neraka
serta agar dijadikan pangkal penglihatan kesengsaraan yang ditajallikan-Nya.
Ini merupakan rahasia yang sangat misteri. Dia berkehendak apa saja dan
menguasai apa saja yang Dia kehendaki, al Haq Maha Berkehendak Dan Maha Kuasa.
Pahami dengan seksama masalah ini.
Pasal. Bagian kedua dari citra Muhammad adalah tajalli al Haq dengan
nama-Nya al Mannan (Yang memberi nikmat). Darinya al Haq menciptakan
surga-surga, kemudian Dia bertajalli dengan nama-Nya al Lathiif (Yang lemah
lembut). Yang dijadikan tempat bagi segenap manusia mulia dan insan-insan yang
dimuliakan oleh-Nya. Ketahuilah surga itu terbagi atas delapan tingkatan,
setiap tingkat memiliki taman-taman surga yang banyak sekali, setiap taman
memiliki tingkatan yang tidak terbilang jumlahnya.
Tingkat Pertama : Surga Salaam, surga ini dinamakan juga surga al
Mujazah (balasan), al Haq menciptakan pintu surga ini dari amal shaleh
(laku kabaikan), di dalamnya Dia bertajalli dengan nama-Nya al Hasiib (Yang
menghitang-hitung). Penghuni surga ini murni karena perolehan pahala dari laku
kebaikan, sabda rasul saw,
Orang seorang tidak akan masuk surga
dengan amalnya,
adalah beliau maksudkan khusus untuk surga Mawahib (pemberian), adapun
surga al Mujazah, untuk memasukinya adalah dengan amal-amal shaleh (perbuatan
baik), terkait dengan hak penghuni surga ini al Haq berfirman :
Bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu
kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian diberi balasan kepadanya dengan
balasan yang paling sempurna. (Q.s. an Najm 53 : 39 - 41).
Dengan demikian tidak seorangpun bisa memasuki surga ini, kecuali dengan
amal (perbuatan) baik. Semantis logikanya barang siapa yang tidak berbuat amal
shaleh, tidak akan bisa memasukinya. Surga ini juga dinamakan al Yusrah, al
Haq berfirman :
Adapun orang-orang yang menafkahkan
hartanya dijalan Allah, dan bertagwa. Dan membenarkan adanya pahala yang baik.
Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Q.s. al Lail 92 : 5 - 7)
maksudnya adalah laku perbuatan yang sedikit, tapi diterima oleh-Nya,
keterkabulan itu membuat pelakunya dimudahkan memasuki surga.
Tingkat Kedua : Surga Khuldi atau surga al Makasib (perolehan).
Perbedaan antara surga al Mujazah dan surga al Makasib. Surga al Mujazah
terkait dengan kadar perbuatan baik yang membuahkan balasan dari-Nya, sedang
surga al Makasib merupakan keberuntungan murni, karena surga ini produk
daripada aqidah (keyakinan) dan prasangka baik kepada al Haq. Esensinya surga
balasan hasil kerja fisik sedang surga perolehan murni karena pemberian tanpa
kerja fisik, al Haq menampakkan diri-Nya kepada penghuni surga ini dengan
nama-Nya al Badi' (Yang menjadikan). Dia tampakkan diri-Nya kepada para
pemeluk keyakinan yang lurus dan benar yang tidak menciptakan bid'ah-bid'ah
ketuhanan. Pintu surga ini terbuat dari aqidah yang benar dan prasangka baik
kepada al Haq, serta Rajaa' (Harapan) kepada-Nya, tidak akan bisa masuk surga ini
kecuali mereka yang terkait dengan ketiga hal tersebut. Surga ini dinamakan
dengan al Makasib, sebab lawan dari perolehan adalah kerugian, yang disebabkan
oleh prasangka buruk kepada dinamakan surga kepemilikan, karena mereka memang
berhak masuk kedalamnya, tanpa proses, ganjaran, pemberian, perolehan dari laku
amal kebaikan. Manusia-manusia yang mensucikan jiwa mereka hingga bisa kembali
ke fitrah penciptaan, itulah yang disebut al Abraar, (para pembakti) al Haq
berfirman :
Sesungguhnya orang-orang banyak
berbakti, benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan. (Q.s. al Infithaar 82 : 4)
makna yang tersirat dari ayat ini adalah, bahwasanya al Haq bertajalli
kepada para penghuni surga ini dengan nama-Nya al Haq, mereka yang tidak mensucikan fitrah
penciptaannya, tidak berhak memasuki surga ini. Mereka yang berusaha mensucikan
jiwanya lantas dipanggil keharibaan-Nya, ia berhak memasuki surga ini, diantara
penghuninya ada juga insan yang telah dimasukkan neraka-Nya, hingga
dosa-dosanya tersterilkan, dan kembali ke fitrahnya, setelah itu al Haq
memasukkannya ke dalam surga ini. Atap surga ini bernama Arsy, berbeda dengan
atap-atap surga sebelumnya, surga al A'lah atapnya bernama al Adna, surga
Salaam atapnya bernama Khuldi, sedangkan surga Khuldi atapnya bernama surga al
Ma'wah, adapun surga Ma'wah atapnya bernama surga al Istihqoq, surga al Fitrah
atau surga al Na'im atapnya adalah Arsy.
Tingkatan Kelima: Surga Firdaus, ia adalah surga makrifat, buminya membentang luas
tak bertepi, semakin tinggi penghuninya mendaki semakin mengerucut keluasannya,
bahkan puncaknya lebih kecil dibandingkan lubang jarum, tidak ada pepohonan,
sungai, istana, bidadari, kecuali jika sang penghuni melihat ke surga di
tingkatan bawahnya, jika mereka menginginkan kenikmatan surgawi itu ia bisa
turun ke surga ditingkat bawah. Di surga makrifah ini tidak didapati bidadari,
para muda tampan atau istana-istana surgawi, surga ini berada didepan pintu
Arsy, penghuni surga ini selalu Musyahadah (dalam nuansa penyaksian), karena penghuninya
merupakan para penyaksi, yakni penyaksi keagungan dan keindahan, serta
kebagusan serta kasih kebaikan Ilahiyah (ketuhanan), mereka gugur dalam naungan
rasa kasih cinta dijalan al Haq, dan Dia mencintai mereka, para penghuni surga
ini adalah para pecinta al Haq yang gugur dengan pedang fana' (ekstase) atas
nasfsu-nafsu diri mereka, sehingga tidak menyaksikan kecuali kekasih sejati (al
Haq) mereka. Surga ini dinamakan pula dengan surga 'Wasilah' (penghubung) karena makrifah merupakan
penghubung antara orang yang arif dengan yang dimakrifahi Dia-lah al Haq,
penghuni surga ini paling sedikit dibanding surga-surga lainnya, demikian
halnya semakin tinggi dakian surga ini semakin sedikit pula penghuni puncaknya.
Tingkat Keenam : Surga Fadhilah (Keutamaan). Penghuninya adalah para Shidiqin
(insan-insan yang mentradisikan kebenaran dan kelurusan), al Haq memberi
apresiasi yang tinggi kepada mereka dan menempatkan mereka di Sisi Tuhan
Yang Berkuasa surga ini disebut surga asma (nama-nama)-Nya, yang
terhamparkan diatas tingkatan-tingkatan Arsy, penghuninya lebih sedikit
ketimbang surga Firdaus atau Makrifat, namun kedudukannya paling tinggi
dihadapan al Haq, karenanya penghuninya disebut penikmat kelezatan Ilahiyah
(ketuhanan).
Tingkat Ketujuh : dinamakan surga al Darajah al Rafi'ah (tingkatan
tinggi). Ia merupakan surga sifat-sifat-Nya dari dimensi nama-nama-Nya, ia
surga dzat-Nya dari dimensi bentuk, buminya adalah dasar Arsy, penghuninya
disebut ahli hakekat dan ahli makrifah hakekat-hakekat ke-Tuhan-an, penghuninya
paling sedikit dibanding surga-surga-Nya yang lain, penghuninya murapakan al
Muqorrobin (insan-insan paling dekat) dengan al Haq dan para khalifah
(pengganti) ketuhanan. Mereka adalah insan-insan yang menyembunyikan diri dan
memiliki hasrat kuat dalam mengarungi samudera kehakikian al Haq. Dalam
pengembaraan ruhiyahku, aku melihat Ibrahim al Kholil (sang terkasih) berdiri
disebelah kanan surga ini, melihat ke arah tengah, aku melihat komunitas para
rasul dan nabi serta para kekasih Allah (wali), di sebelah kiri surga ini,
mereka memfokuskan perhatian mereka ke arah tengah surga ini, aku melihat
Muhammad saw di tengah-tengah surga ini, sambil mengarahkan pandangan ke tiang
pancang Arsy, memohon keharibaan-Nya maqom Mahmud (kedudukan mulia) dan al Haq
mengabulkan permohonan baginda rasul Muhammad saw.
Tingkat Kedelapan : dinamakan surga Maqom Mahmud (Kedudukan
Mulia). Ia merupakan surga dzat, buminya dari atap Arsy, yang tiada seorangpun
bisa sampai kepadanya, setiap penghuni surga ini berusaha bisa Wushul (sampai)
ke atap Arsy ini, sebagian orang berasumsi surga ini ditegakkan hanya dengan
hakekat asma-Nya, prediksi mereka tidaklah salah, surga ini diperuntukkan bagi
Muhammad saw, sejalan dengan sabdanya dalam sebuah hadist
Sesungguhnya Maqom Mahmud, merupakan
tempat tertinggi di dalam surga, ia diperuntukkan hanya untuk satu orang saja,
aku berharap satu-satunya orang itu adalah diriku,
al Haq lantas mewartakan bahwasanya Dia mengabulkan permintaan Muhammad saw
tersebut, dan mengkhususkan surga untuk beliau seorang. Kita wajib percaya
dengan sabda rasul saw tersebut,
Dan tiadalah yang dia ucapkan itu
menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya. (Q.s. an Najm 53 : 4 - 5)
Pasal. Ketahuilah, bahwa al Haq menciptakan dari citra Muhammad ini surga yang
multi kenikmatan bagi para mukminin dan neraka dengan ragam siksa yang ada di
dalamnya, al Haq juga menciptakan dari citra Muhammad ini citra Adam, sebagai
bentuk duplikat dari citra Muhammad tersebut, ketika Adam diusir dari
surga-Nya, maka terpisah pula citra dirinya, karena keterpisahannya dengan alam
ruh. Pahamilah ketika Adam berada disurga, eksistensi fisiknya belum
diwujudkan, ia hanya di-ada-kan al Haq dalam bentuk rasa, karenanya
orang seorang tidak akan bisa memasuki surga-Nya, kecuali bila ia bisa
menemukan rasa fitri-nya, ketika Adam diusir ke bumi rasa fitri-nya tetap
tinggal di surga, karena kehidupan-nya di surga bercitrakan rasa yang lahir
dari nafs-nya, sedang kehidupannya di dunia bercitrakan ruh, ia bakal mati
kecuali yang dikekalkan al Haq, melihat kepada-Nya dengan pandangan dzat-Nya,
hak-hak-Nya, sifat-sifat-Nya dan asma-asma-Nya. Nasibnya dalam kehidupan dunia
ini bercitrakan Qudrah al Haq yang menentukan wajah kehidupannya di kampung
akhirat, al Haq tidak memberi citra kepada nafs (jiwa) hamba-Nya, kecuali dalam
'rasa' Pahami betul metafor yang kami gunakan dalam kajian bab ini, agar anda
tidak terjebak pada makna-makna simbolnya.
Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya
dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jilly
Cahaya
kebaikan yang berbasiskan Qalbu.
Mentari
kebagusan yang tampak kasat dan Nyata.
Para
arif merasakan kehadiranNya stiap saat
Tidak
tidak ada satupun TajalliNya yang terlewatkan
Qalbu
mewadahi semua citra ketuhananNya
Menyimpan
rapi file-file rahasia ketuhanan DiriNya.
Ia
adalah replika Nyata Surga KhuldiNya.
Istana
megah yang menghamparkan kasih sayangNya
Ia
adalah taman penuh pepohonan rindang
Berbuah
lebat, siap dipanen siapa saja menginginkan
Qalbu
adalah cermin diri setiap hambaNya untuk mengaca diri,
meraih
kesejatian diri sesungguhnya
Qalbu
adalah cermin Ketuhanan DiriNya,
Untuk
memantulkan cahayaNya
ke dalam
diri tiap hambaNya
Prilaku
buruk tidak terlihat dalam cermin
Namun,
ia sangat telanjang dalam cermin hati tiap hambaNya
Qalbu
adalah sentra penglihatan Tuhan
Kebaikan
dan keburukan tiap hamba dimataNya terletak di hati.
Kelemahan,
bukan karena rapuhnya tubuh
Akan,
tetapi, kerapuhan hati dalam menunaikan hak Tuhannya.
Orang
tidak akan merengkuhi kebahagiaan
Selama
hatinya terlumuri kotoran-kotoran hati dan noda jiwa
Kepedihan
lahir bisa dirahasiakan dengan baik.
Akan
tetapi, kepedihan hati, sulit dan mustahil disembunyikan
Jangan
lengah terpedaya oleh keapikan logika
Sebab,
logika yang tidak bersendikan hati nurani adalah busuk
Bila
hati nurani dipinggirkan dari kehidupan
Nilai-nilai
ketuhanan terkubur, kebenaran hakiki akan sirnah
Qalbu
adalah media penyambung denganNya
Hati
juga menjadi sebab utama keterputusan dengan Tuhan.
Jisim
yang tidak berjiwa dan berhati nurani.
Tak
ubahnya bangkai-bangkai kehidupan, meski ia bernyawa
Hati
yang tercampakkan dari dalam diri insan
Laksana
biji yang terkelupas dari kulitnya, terbuang sia-sia
Maka
jaga dan kawal kesucian Qalbu dirimu
Cahaya
ketuhananNya akan dipantulkan ke dalam Qaqlbumu
Kebahagiaan
duniawi bisa diraih dengan kaki
Kebahagiaan
hakiki ahirati, hanya bisa diraih dengan Qalbu.
Sudah Edit 59. Nafsu dan Asal penciptaan Iblis Serta para pengikutnya dari Setan Dan Manusia
Ketahuilah, semoga Allah mengeksiskan anda dengan ruh-Nya. Bahwasanya al
Haq, menciptakan Muhammad saw dari inti Kesempurnaan-Nya, Dia menjadikan
Muhammad saw tampilan daripada Keindahan dan Keperkasaan Diri Nya, Dia
menciptakan segala hakekat dalam diri Muhammad dari segenap hakekat asma-asma
dan sifat-sifat-Nya, kemudian menciptakan jiwa Muhammad saw dari jiwa-Nya.
Ketahuilah nafs (jiwa) Adam as, diciptakan dari nafs Muhammad saw,
karenanya ketika jiwa yang lembut itu dilarang memakan biji yang ada di surga,
ia tetap memakannya, karena ia tercipta dari inti (dzat) Rububiyah (ketuhanan),
bukan merupakan realitas ketuhanan yang Baqa' (kekal), ia berada dibawah pasung
pembatasan, jiwa yang lembut itu ingin melitantas batas hukum (peraturan)
ketuhanan, baik di alam dunia maupun di alam akhirat, jiwa yang lembut akan
senantiasa berusaha menerjang segala kendala yang menghalangi keinginannya.
Pada termin inilah jiwa yang lembut itu berubah menjadi 'Nafsu'.
Ketahuilah, nafsu selalu ingin semua keinginannya terpenuhi, meski dengan
menerjang rambu-rambu pelarangan-Nya, tidak peduli adakah sebab pelarangan itu
untuk kebaikannya ataukah karena menyebabkan kesengsaraannya. Nafsu melakukan
semua itu karena didorong ingin memenuhi dzat Rububiyah-nya, yang merupakan
akar dasar penciptaannya. Cobalah telisik kembali perihal sebutir biji yang
dimakan jiwa yang lembut di ranah surga, ia menafikan pelarangan al Haq untuk
mendekati dan memakannya, dan ia mengetahui dari kabar ketuhanan bahwa
memakannya akan berbuah kesengsaraan, sejalan dengan firman-Nya :
Janganlah kamu berdua mendekati
pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang dzalim. (Q.s. al A'raaf 7 : 19).
Sebutir biji itu sejatinya adalah tabiat gelap, sebutir biji yang
melahirkan pohon itu paradok al Haq dalam tabiat gelap tersebut. Pelarangan-Nya
memakan biji itu, karena Dia mengetahui, bahwa nafsu jika bertindak maksiat, ia
patut diturunkan ke dunia tabiat gelap dan akan melahirkan kesengsaraan, karena
pohon tersebut sebagaimana diwartakan pesan Qur'ani adalah pohon terlaknat,
barang siapa mendatanginya akan dilaknat, yakni diusir.
Ketika jiwa lembut itu mendekati pohon terlaknat itu, ia terusir dari
kedekatan rohani ketuhanan, terhempas menuju kejauhan jasmani, maka hakekat
penurunan itu adalah keterpalingan dari al Haq, terlempar dari alam ketinggian
yang tersucikan dari keterbatasan dan ikatan, ke alam kerendahan (bawah),
tabiat bumi yang terikat dan terbatas.
Pasal. Ketahuilah, ketika nafs (jiwa) dilarang memakan sebutir biji
tersebut, ia merasa bahwa dirinya tidak perlu tunduk kepada pembatasan,
pelarangan itu membuatnya kepada ketidak jelasan sikap, antara pengetahuan yang
berlandaskan inti (dzat)-Nya yang terlembagakan dalam kebahagiaan ketuhanan vis
avis kabar ketuhanan bahwa memakan biji itu akan menyebabkan kesengsaraan, nafs
itu lebih berpijak kepada pengetahuan inti (dzat)-nya, ia tidak mempercayai kabar
ketuhanan, bahwa memakan biji itu akan menyebabkan kesengsaraan.
Realita inilah yang merupakan 'tiang pancang' ketidak jelasan sikap yang
terjadi di semesta alam. Orang seorang yang tertimpa kesengsaraan sejatinya
adalah orang diderah ketidak jelasan sikap yang menyelimuti jiwanya sejak
fitrah pertama. Atas realita itu pula para ummat terdahulu selalu memakai
pijakan ilmu produk akal, atau ilmu-ilmu terapan lainnya, mereka meninggalkan
kabar-kabar langit yang jelas dan terang dengan bukti-bukti otentik yang kasat
mata, al Haq bahkan mengutus kepada mereka para rasul-Nya untuk memahamkan
semua itu, akan tetapi pada kenyataannya mereka hancur karena kekufuran mereka.
Rahasia yang berserak dari realita tersebut, bahwa kehancuran yang lahir
dari nafsu itu telah ada sejak fase awal penciptaan, demikian pula dengan
manusia pemuja nafsu kebinasaan merupakan keniscayaan, karena mereka tercipta
dari satu nafsu al Haq berfirman:
Dia Yang menciptakan kamu dari nafsu
yang satu. (Q.s. an Nisaa' 4 : 1).
Semua manusia yang bernafsu akan hancur kecuali Dzat Yang Tunggal, ini pula
rahasia yang terkandung dari firman Qur’ani :
Sesungguhnya Kami telah ciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat
yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh. (Q.s.
at Tiin 95 : 5 - 6)
yaitu mereka yang beriman kepada warta-warta langit dan meninggalkan
ketidak pastian sikap yang lahir dari produk ilmu logika dan ilmu terapan,
kemudian mentradisikan laku kebaikan.
Hakekat 'bentuk' sebaik-baiknya dalam ayat tersebut adalah meninggalkan
tindak kemaksiatan dan melaksanakan keta'atan, sebab kemaksiatan tidak lain
produk tabiat gelap, sedang keta'atan merupakan cerminan cahaya rohani.!
Ketahuilah, jiwa yang suci akan terjerembab ke dalam 'ketidak jelasan'
(sikap dan tindakan) jika dinodai oleh harapan yang kotor, jiwa yang jernih
tidak akan mengingkari fitrah penciptaannya, yaitu ta'at dan patuh kepada
warta-warta ketuhanan, karena berita ketuhanan sama sekali tidak ada yang
bertentangan dengan nurani hati dan pikir tiap hamba, namun demikian nafsu juga
selalu merespon tabiat gelap yang terparadokkan dengan sebutir biji, yang
merupakan akar kejadiannya. Nafs juga mafhum (faham benar) bahwa memasuki
tabiat gelap hanya akan membuahkan kesengsaraan diri, terlebih jika tabiat
gelap itu menjenjakkan kakinya di bumi ruh, kesengsaraan adalah sebuah
keniscayaan yang harus diterimanya. Nafs (jiwa) juga memahami bahwasanya etos
Rububiyah (ketuhanan), tidak akan mendatangkan sesuatu yang menyengsarakan para
hamba-Nya, karena lahir dari ke-qudus-an dzat-Nya, dan kesucian etos
ketuhanan-Nya.
Apa yang diwartakan al Haq, sangat dipahami nafs (jiwa) sebagai kebenaran
mutlak, namun ia menodai dirinya dengan memakan biji, itulah sejatinya asal dan
tiang pancang ketidak jelasan sikap, awal ketidak patuhan, serta tiang pancang
'penodaan' amar (perintah) ketuhanan. Realita itu juga merupakan 'nisan
sejarah' tipu daya, serta awal lahirnya sikap (watak) Iblis, seperti ungkapan
Iblis,
Tuhan kamu tidak melarangmu
mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat. (Q.s. al Araf 7 : 20).
Pada realitanya pohon itu tidak terlarang bagi para malaikat, karenanya
Iblis berani berkata : jika kalian berdua enggan memakan biji, maka kalian
sendiri yang sengaja memasuki wilayah pelarangan,
Atau tidak menjadi orang-orang yang
kekal. (Q.s.
al Araf 7 : 20).
Sebab jika kalian berdua enggan menerima pelarangan memakan biji, kalian
berdua tidak bisa keluar dari surga-Nya, karena kalian tetap eksis dengan etos
ketuhanan. Dan Iblis bersumpah kepada keduanya:
Sesungguhnya saya adalah termasuk
orang-orang yang memberi nasehat kepada kalian berdua. (Q.s. al Araf 7 : 21).
Sumpah yang dimaklumatkan Iblis itu adalah untuk menegaskan argumentasinya
serta mengkuatkan alasannya atas apa yang telah dilakukannya, yakni
keingkarannya sujud kepada Adam as. Ketahuilah ummat-ummat terdahulu bahkan
ummat yang akan datang, sebab kehancuran mereka adalah karena mengotori jiwa
mereka dengan pengingkaran akan warta-warta ketuhanan, karena para rasul-Nya
tidak datang kepada mereka, kecuali dengan seruan yang logis, keterangan yang
jelas, serta pewartaan masalah yang ghaib, semisal penetapan Sang Pencipta
dengan bukti-bukti otentik penciptaan (ada wujud citpaan-Nya), wajah Qudrah-Nya
dengan dalil proses penciptaan, penetapan hari kebangkitan dengan awal
penciptaan, sebagaimana firman-Nya,
Katakanlah, ia akan. dihidupkan oleh
Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. (Q.s. Yaasin 36 : 79)
dan banyak lagi yang lainnya.
Kemudian para rasul itu dikuasakan oleh-Nya dengan mukjizat-mukjizat serta
kejadian-kejadian par excelent, yang tidak mungkin bisa dilakukan
manusia-manusia biasa, kecuali mereka yang dikuasakan dengan Qudrah al Haq,
semisal menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang yang buta, bisu dan
tuli, membelah air laut dan lain sebagainya. Seruan para rasul-Nya tersebut,
tidak akan teringkarkan melainkan oleh kotoran jiwa yang bersemayam di dada
masing-masing hamba. Diantara mereka ada yang berkata : aku takut masyarakatku
akan berubah sikap kepadaku dengan keislamanku, diantara mereka ada yang
berkata : Bakarlah dia, Tuhannya menolong dirinya, ada pula yang berkata :
akankah kami meninggalkan Tuhan sesembahan para leluhur kami, lalu mengikuti
Tuhan baru.? Picu keingkaran mereka adalah kotoran yang melekat dalam jiwa
mereka, jika tidak niscaya kabar ketuhanan akan bersemayam dalam jiwa mereka,
hal ini difirmankan al Haq :
Mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat al Haq. (Q.s. al An'aam 6 : 33).
Kesemua paparan diatas merupakan inti rahasia ketidak jelasan sikap
(permasalan) jiwa yang dikotori dengan pe-makan-an (biji), bahkan ini merupakan
rahasia inti perintah ketuhanan dan eksistensi dzat-Nya. (Pasal) Ketahuilah
bahwasanya al Haq, ketika menciptakan jiwa Muhammad saw, Dia menciptakannya
dari dzat diri-Nya. Inti dzat-Nya mengandung dua hal yang berlainan, Dia menciptakan
para Malaikat dalam nuansa ketinggian yang tercerminkan dalam sifat-sifat
keindahan dan cahaya serta petunjukNya, semua itu tercipta dari jiwa Muhammad
saw, seperti yang telah kita terangkan, al Haq menciptakan Iblis dan para
pengikutnya dari dimensi sifat keperkasaan, kedzaliman, kesesatan, semua itu
tercipta dari jiwa Muhammad saw. Pada awalnya Iblis bermana Azazil, ia sangat
eksis beribadah kepada al Haq, sebelum penciptaan makhluk-Nya yang bernama Adam
as, al Haq berkata kepadanya : Wahai Azazil janganlah Engkau menyembah selain
Diri Ku.! Ketika Dia menciptakan Adam as dan menyuruh para malaikat-Nya
bersujud kepada Adam as, perintah itu dimata Iblis menjadi samar (tidak jelas)
dan membuatnya terjerembab ke dalam ketidakjelasan sikap, (antara eksis dengan
perintah lama vis avis perintah sujud kepada Adam as), ia mengira jika bersujud
kepada Adam as, hal berarti menyembah kepada selain al Haq, Iblis tidak tahu
bahwa siapa yang bersujud berdasarkan perintah sejatinya ia bersujud kepada al
Haq, karena kebodohannya itu Iblis menolak bersujud kepada selain al Haq, sebab
utama keengganan sujud karena pasung ketidak jelasan sikap, terlebih keengganan
bersujud kepada Adam as. Atas dasar itulah Azazil disebut Iblis, jika tidak
enggan sujud ia tetap disebut Azazil yang gelarannya populer dengan sebutan Abu
Marrah. Pahami betul paradok-paradok yang ada, agar anda tidak terjebak pada
pemaknaan simbolistik! Manakala al Haq berkata kepada Iblis :
Hai Iblis, apakah yang menghalangi
kamu sujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan dua tangan Ku, apakah kamu
menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi? (Q.s.
Shaad 38 : 75).
Para makhluk alam ketinggian itu adalah para malaikat, yang tercipta dari
cahaya ketuhanan, semisal malaikat yang bernama Nun dan lain-lainnya, demikian
pula dengan para malaikat lainnya juga tercipta dari unsur tersebut, mereka
semua diperintahkan bersujud kepada Adam as. Iblis berkata kepada Rabb-nya :
Aku lebih baik daripadanya, karena
Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah. (Q.s. Shaad 38 : 76).
Dari realita dialogis itu dapat kita ketahui bahwasanya Iblis adalah
makhluk yang paling mengerti tentang etika dihadapan hadirat-Nya, serta paling
mahir menjawab pertanyaan. Perhatikan redaksi Qur’ani, Iblis sangat faham bahwa
al Haq tidak mempertanyakan sebab pelarangan, jikalau Dia bertanya sebab
pelarangan, niscaya Dia akan memakai redaksi: Kenapa kamu melarang dirimu untuk
melakukan sujud kepada ciptaan Ku, yang telah Aku cipta dari kedua tangan Ku?
Akan tetapi al Haq bertanya dengan subtansi pelarangan, karenanya Iblis
menjawab sejalan dengan rahasia perintah : karena aku lebih baik daripadanya,
yakni : Hakekat api itu adalah tabiat gelap yang Kau ciptakan diriku dari
unsurnya, inti api itu lebih utama dibandingkan dengan hakekat tanah, yang
Engkau ciptakan dia dari unsurnya, atas dasar inilah aku putuskan tidak mau
bersujud. Karena tabiat api hakekatnya adalah berdimensikan ketinggian (alam
tinggi), sedang tanah sejatinya berdimensikan kerendahan (alam rendah). Cobalah
anda telisik, jika anda ambil lilin dan anda balik ujung sumbuhnya lalu anda
bakar lilin tersebut, niscaya kobaran apinya mengarah ke arah atas, sebaliknya
jika anda mengambil segepok tanah, lalu anda lemparkan ke atas, ia akan kembali
ke turun ke bawah, itulah kenyataan alam realitas. Atas dasar itulah Iblis
berkata :
Aku lebih baik daripadanya, karena
Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.
Iblis tidak melebihkan ucapannya, karena ia mengerti betul bahwa al Haq
memahami rahasia dirinya, Iblis juga memahami bahwa posisinya berada pada maqom
Qobdh (sempit) bukan pada maqom Basth (lapang), jika ia pada posisi Basth
niscaya ia akan memanjangkan ucapannya. : Aku tetap eksis dengan amar perintah
Mu, untuk tidak menyembah selain Diri Mu. Namun ketika itu Iblis menyadari
posisi diri dalam kesulitan yang menyebabkan dia dalam ketidak jelasan sikap.!
al Haq menyebut Azazil dengan Iblis karena identik dengan ketidak jelasan
(kesamaran) Azazil belum pernah disebut dengan inisial seperti ini sebelumnya,
dengan demikian jelas sekali masalahnya bermula dari ketidak jelasan yang lahir
dari diri Azazil, maka bukanlah al Haq penyebab kesengsaraan, namun berasal
dari Iblis sendiri, ia tidak meminta maaf atas ketidak patuhannya, ia tidak
merasa menyesal dengan sikapnya, terlebih tidak meminta ampunan al Haq atas
tindakanya tersebut, karena Iblis yakin dan sangat memahami bahwasanya al Haq
tidak berbuat kecuali apa yang dikehendaki-Nya, apa yang menjadi kehendak-Nya
akan melahirkan realitas hakiki, yang tiada satupun bisa merubah atau mengganti
realitas hakiki tersebut. Atas keengganan bersujud itu, al Haq lantas mengusir
Iblis dari hadirat kedekatan-Nya, menuju bentangan kejauhan dari-Nya, Dia
berfirman :
Maka keluarlah kamu dari surga :
sesungguhnya kamu adalah orang yang diusir. (Q.s. Shaad 38 : 77)
yakni, dari hadirat ketinggian
menuju sentral kerendahan, dengan demikian hakekat 'Pengusiran' adalah
pencampakkan dari nuansa ketinggian ke dasar kerendahan, al Haq berfirman ;
Sesungguhnya
kutukan Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan. (Q.s.
Shaad 38 : 78).
Sejatinya 'Kutukan' adalah, pengusiran dan perendahan. Pahami betul makna
tersirat ayat-ayat tersebut.
Firman Qur’ani ;
Sesungguhnya kutukan Ku tetap atasmu
sampai hari pembalasan
adalah sebuah penegasan dari-Nya bahwa kutukan itu hanya diperuntukkan
untuk Iblis saja. Esensinya kutukan Ku, hanya untukmu, seperti anda bilang, aku
hanya memukul Zaid, semantis logikanya anda tidak memukul selain Zaid, hal serupa
selaras dengan firman Qur'ani,
Hanya kepada Mu, kami menyembah dan
hanya kepada Mu pula kami memohon pertolongan
itu artinya anda memakzulkan ritus ibadah anda kepada al Haq, hanya kepada
Mu saja aku menghaturkan sembah sujudku, dan hanya kepada Mu saja aku memohon
kasih pertolongan. Dengan demikian jelas sekali bahwasanya al Haq tidak
menguruk satupun oiptaan-Nya selain Iblis, adapun pengutukan terhadap para
dzalim dan para fasik serta para pelaku kekufuran, kesemua itu karena imbas
(warisan) dari perilaku Iblis, yang sedemikian itu orang seorang tidak akan
mendapatkan kutukan al Haq jika tidak berperilaku Iblis dan berwatak dengan
wataknya. Maka kutukan akarnya berasal dari Iblis, sedang kutukan terhadap yang
lain merupakan dampak dari bias perilaku Iblisme, adapun firman-Nya :
Sampai hari pembalasan
merupakan 'batasan' yang berarti paska hari Qiyamat kutukan itu telah
berakhir, karena hukum tabiat (alam) akan diangkat pada hari pembalasan
tersebut. Kita telah menerangkan tafsir hari Qiyamah tersebut pada pasal empat
puluh. Paska kiamat Iblis tidak dikutuk lagi, yakni tidak diusir lagi dari
hadirat-Nya, Iblis diturunkan ke dunia seakan untuk dijadikan 'batu ujian' bagi
para hamba-Nya dan merupakan 'tembok terjal' bagi ruh yang bersemanyam di jasad
manusia untuk menggapai hakekat ketuhanan. Hanya ruh yang tersucikan dari
bias-bias Iblisme sajalah yang bisa memakrifahi hakekat ketuhanan dan mencapai
hadirat-Nya, ketika ruh itu kembali ke alam kesempurnaan, saat itulah Iblis
kembali ke tempatnya semula disisi-Nya, yaitu kembali kepada kedekatan
ketuhanan seperti fitrah penciptaannya sediakala, yang sedemikian itu setelah
hilangnya Jahannam, sebab segala sesuatu yang diciptakan al Haq akan kembali
kepada asal penciptaannya. Pahami betul masalah ini.
Dikisahkan, ketika al Haq mengkutuk Iblis, ia justru menampakkan euforia
kebahagiaannya, sehingga alam ini penuh dengan dirinya, dikatakan kepadanya,
kenapa engkau begitu bergembira, padahal engkau terusir dari hadirat-Nya.?
Iblis menjawab : Ini merupakan pelepasan yang membuat diriku memiliki
kesempatan bergerak yang tidak akan pernah dimiliki para Malaikat terdekat,
atau para rasul-Mu, kemudian Iblis berujar kepada al Haq :
Wahai Rabbku, beri tangguhlah aku
sampai hari mereka dibangkitkan. (Q.s. Shaad 38 : 79).
Permintaan Iblis itu berdasarkan
pengetahuannya, bahwa apa yang dimintanya itu adalah sesuatu yang mungkin,
demikian pula dengan tabiat gelap yang menjadi ikon dirinya tetap melabeli
dirinya, hingga mereka yang terperosok ke dalamnya dibangkitkan oleh al Haq
pada hari kiamat, kecuali mereka yang mampu mensucikan dirinya dari tabiat
gelap tersebut akan selalu dalam sinaran cahaya ketuhanan-Nya. Permintaan Iblis
tersebut dijawab oleh al Haq :
Sesungguhnya kamu termasuk
orang-orang yang diberi tangguh. Sampai kepada hari yang telah ditentukan
waktunya. (Q.s
Shaad 38 : 80 - 81),
yakni penangguhan terhadap eksistensi wujudnya dihadapan (hadirat) Ilahi,
di-Raja Yang wajib disembah. Iblis menimpali firman-Nya,
Demi kekuasaan Engkau, aku akan
menyesatkan mereka semua. (Q.s. Shaad 38 : 82),
Iblis berani memakzulkan perkataan tersebut, karena ia sangat memahami
bahwa segala sesuatu tunduk dibawah hukum tabiat dan tindak kesesatan tidak
akan membawa orang seorang kepada sinaran cahaya ketuhanan.
Kecuali hamba-hamba Mu yang Ikhlas diantara mereka. (Q.s. Shaad 38 : 83),
yaitu manusia yang mensucikan dirinya dari tabiat gelap, dan mampu membuang
sauh-sauh sekat penghalang antara dirinya dengan cahaya ketuhanan, yang dengan
itu ia bisa menghadirkan paradok ketuhanan dalam dirinya, serta menghandirkan
sifat-sifat ketuhanan dalam wujud manusia. Pelaku keikhlasan itu sendiri ada
dua macam :
1. Manusia melakukan sesuatu, semata-mata demi memperoleh ridha al Haq,
pelakunya (subjek) disebut Muhlis (orang yang ihlas). Ihlas dalam bentuk ini
lebih merupakan produk daripada subjek ritus peribadatan, dan merupakan buah
daripada Riyadlah, Mujahadah, memerangi hawa nafsu.
2. Manusia yang beroleh kasih pertolongan-Nya dan diberkahi kedekatan dan
keridhaan dari-Nya, pelakunya (objek) disebut Muhlas (insan yang diihlaskan),
kesemua itu berdasarkan ketentuan dan keinginan Ilahiyah.
Ketika Iblis berkata seperti itu al Haq menjawab :
Maka yang benar adalah sumpah Ku,
dan hanya kebenaran itulah yang Ku katakan. Sesungguhnya Aku pasti akan
memenuhi neraka Jahannam, dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang
mengikuti kamu diantara mereka semuanya. (Q.s. Shaad 38 : 84 - 85).
al Haq menjawab sesuai permintaan Iblis itu lebih berdasarkan hikmah
ketuhanan, karena tabiat gelap yang menjadi ikon diri Iblis, merupakan wujud
'ujian' al Haq bagi para hamba-Nya, Iblis dibiarkan mengganggu dan memperdaya
mereka, adakah mereka tetap eksis dengan fitrah penciptaan, ataukah terperdaya
dengan tipu daya Iblis. Fitrah penciptaan manusia berdimensikan cahaya
ketuhanan, sedang Iblis adalah inti (dzat) api, ia juga inti kesesatan, ia
pendorong (motivator) utama manusia menuju neraka, bahkan ia merupakan inti
(dzat) neraka dunia akhirat, karena sejatinya tabiat gelap (kesesatan) adalah
api (neraka) yang ditaruh al Haq dihati para pelaku kemungkaran, tidak ada
seorangpun yang terperosok ke tabiat gelap, selain para pengikut Iblis dan
berperilaku dengan watak-watak Iblis. Orang yang terjerembab dalam tabiat gelap
itulah sejatinya manusia yang terjerembab ke dalam neraka. Telisiklah dengan
jeli paradok ketuhanan ini, bagaimana al Haq memataforkan pewartaan-Nya dengan
isyarat yang sangat samar, hanya manusia-manusia yang menajamkan mata hati dan
pikimyalah yang mampu menangkap pesan tersirat ketuhanan dan mengikuti nasehat
terbaik, sedang nasehat yang terbaik adalah pesan Qur'ani dan hadits shahih
rasul-Nya. Pahamilah jika anda memang mengharapkan pemahaman hakiki, sebab
dalam kehidupan ini, banyak orang yang mengerti sesuatu, tapi tidak bisa memahami
sesuatu tersebut secara hakiki, banyak orang hanya memahami artian simbolistik,
sedang makna hakikinya sama sekali tidak menyentuh kalbu dan pikir mereka.
Pasal. Setelah kita bahas urgensi Iblis, kini mari kita bahas penampakan Iblis
dengan segenap paradoknya, berikut berbagai modus tipu daya Iblis dalam
kehidupan insani, karena Iblis mengepakkan sayapnya ke segala penjuru untuk
memperdaya manusia, dengan segala makar dan tipu dayanya, semua ini terekam
dengan jelas dalam pesan Qur'ani, Iblis berkata kepada al Haq ;
Dan kerahkanlah terhadap mereka
pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan
mereka pada harta dan anak-anak serta beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang
dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka. (Q.s. al Israa' 17 : 64).
Ketahuilah Iblis itu memiliki 99 wujud penampakkan, sama dengan jumlah
nama-nama al Haq yang Khusnaah, ia memiliki aneka macam citra (rupa) dan modus
penampakkan yang tiada terhingga jumlahnya, yang tidak mungkin kita paparkan
secara rinci dalam karya ini. Kami akan coba paparkan tujuh penampakkan utama
Iblis yang merupakan inti penampakkan dari segenap penampakannya, seperti
halnya tujuh nama inti dalam Asmaa'ul Khusnah al Haq. Sungguh realita ini
merupakan sesuatu yang mentakjubkan bagi mereka yang mengoptimalkan mata hati
dan pikirnya, realita ini pula yang merupakan rahasia penciptaan nafs (jiwa)
dalam diri manusia dari inti (dzat) ketuhanan. Pahami betul masalah ini, jangan
sampai lengah dengan metafor-metafor yang ada! Adapun tujuh penampakkan Iblis
dalam kehidupan ini adalah :
Penampakkan Pertama : Dunia, dan segala sesuatu yang dibangun
diatasnya, semisal gugusan bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya,
ketahuilah dalam modus penampakkannya Iblis membentuk konfigurasi dengan
sesuatu yang dijadikan penampakkanya dengan bentuk (rupa) yang utuh, sehingga
tidak ada ruang sedikitpun bagi sesuatu tersebut kembali ke fitrah
penciptaannya, ketika Iblis memasuki sebuah komunitas, ia akan menutup semua
pintu-pintu ketuhanan, sehingga komunitas tersebut tidak bisa kembali ke cahaya
ketuhanan, watak dan perilakunya sangat dominan pada sesuatu yang dijadikan
pangkal penampakkannya, semisal penampakkannya pada diri para kafir dan kaum
musyrik, ia begitu utuh dalam menampakkan dirinya, sehingga mereka benar-benar
terseret kepada jati dirinya. Lihatlah apa yang dilakukan Iblis terhadap para
kafir dan musyrik, kali pertama yang dilakukan adalah menyemangati mereka
dengan perhiasan dunia, yang dengan itu mereka menjadi kemaruk dunia, dengan
cinta dunia itu hati mereka menjadi buta, akal mereka menjadi tumpul, kemudian
Iblis memperdaya mereka dengan rahasia-rahasia bintang dan benda-benda angkasa
lainnya. Iblis berkata kepada mereka : Benda-benda angkasa itulah pencipta
segala wujud, maka sembahlah benda-benda langit itu, karena telah menciptakan
kalian! Para kafir dan musyrik itu akhirnya menyembah, karena mereka melihat
kebenaran hukum bintang-bintang, yang sedemikian itu dimata mereka, matahari
beredar tepat waktu, bulan menerangi mereka di malam hari, tatkalah mereka
melihat hujan mengguyur bumi yang disertai kilat dan petir, mereka bertambah
yakin bahwa bintang-bintang itu sejatinya adalah Tuhan, karena petir dan kilat
dimata para penyembah bintang adalah merupakan tanda ketuhanan atau bahkan
bukti ketuhanan bintang-bintang.
Ketika para musyrik dan para kafir itu telah tunduk dalam ritual sesembahan
bintang-bintang, Iblis membiarkan mereka pada perilaku kebinatangan, tidak ada
aktifitas yang mereka perbuat, selain mencari makan dan minum, mereka tidak
mengimani adanya hari kebangkitan dan segala sesuatu yang ada paska kematian,
mereka saling bunuh dan saling terkam untuk mendapatkan kenikmatan duniawi,
mereka terjerembab dalam lautan kesesatan, langit hidup dan kehidupan mereka
dipenuhi dengan tabiat gelap. Wajah kehidupan mereka jauh dari kisi-kisi
keikhlasan, yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan duniawi
sebanyak-banyaknya dengan segala cara. Setelah menaklukkan manusia dalam
lanskap makro kosmos, Iblis juga menaklukkan manusia dalam lanskap mikro kosmos,
ia berkata kepada diri masing-masing manusia : Tidakkah kalian ingat bahwa
jisim (tubuh) kalian terbuat dari unsur-unsur Jauhar (entitas) dan entitas diri
kalian tercipta dari unsur-unsur panas, dingin, kering dan lembab. Benda-benda
langit yang menjadi wujud sembahan kalian itulah yang menciptakan semua itu,
benda-benda itulah pencipta dan pengatur segala sesuatu yang ada di alam ini,
mereka lalu menyembah api, dan Iblis berkhotbah dihadapan para penyembah api
tersebut : Tidakkah kalian mengetahui bahwasanya wujud itu terbagi atas dua
bagian, gelap dan terang (cahaya). Gelap adalah Tuhan yang bernama Ahirman,
sedang terang adalah Tuhan yang bernama Nordan, api adalah asal cahaya, maka
sembahlah api. Mereka mematuhi perintah Iblis dan menjadikan api wujud sesembahan,
demikianlah apa yang dilakukan kaum musyrik sejak dahulu kala.
Penampakkan Kedua : Tabiat, Syahwat, dan Kenikmatan. Iblis
menampakkan kesemua itu pada diri kaum beriman kebanyakan (para awam), kali
pertama yang dilakukan Iblis adalah memperdaya mereka dengan galiat kesenangan
syahwat serta keinginan untuk merengkuhi nikmat kebinatangan, yang dengan itu
pelan tapi pasti pelakunya terjerembab ke dasar tabiat gelap dan kesesatan
nyata, dalam kepongahan seperti itulah Iblis mendoktrin mereka bahwa dunia
adalah Ghayah al Hayah (the ultimated goal) dan semua kenikmatan tidak bisa
diraih kecuali di dunia ini, ia juga memperdaya mereka untuk selalu mencari dan
mengumpulkan dunia ini sebanyak-banyaknya dan menikmatinya sepuas-puasnya,
setelah manusia-manusia gila dan kemaruk dunia, Iblis meninggalkan mereka,
karena Iblis tidak khawatir mereka lari dari dunia. Ketika para pemuja dunia
itu telah masuk ke perangkap Iblis, mereka sangat patuh dengan
perintah-perintahnya, jika Iblis menyuruh kufur maka dengan serta mereka
menjadi kafir, saat itulah Iblis menebarkan rasa was-was dan keragu-raguan
dalam diri mereka akan dimensi kegaiban, yang pada akhirnya mereka sama sekali
tidak percaya dengan hal-hal yang berdimensi gaib. Dengan keyakinan seperti itu
mereka menjadi atheis (tidak mempercayai adanya al Haq), ketika manusia menjadi
Mulhidz (atheis) itulah Iblis benar-benar utuh penampakkanya pada diri manusia!
Penampakkan Ketiga : Tampak pada amal (perbuatan) para shaleh,
Iblis menyemangati mereka dan menanamkan benih-benih Takabur (sombong diri)
atas laku perbuatan yang telah mereka perbuat, jadilah para shaleh itu besar
diri, sombong dan angkuh dengan laku kebaikan yang mereka perbuat, mereka
merasa paling benar, paling suci, lebih Islam dibandingkan nabi sendiri, mereka
tidak mau menerima nasehat dan saran konstruktif orang lain. Dalam kepongahan
seperti itu, Iblis memperdaya para shaleh tersebut hingga mereka berani berkata
kepada anak zamannya : Jika kalian mau melakukan apa yang aku perintahkan
niscaya akan menjadi seperti diriku bisa meraih kealiman tingkat tinggi, para
shaleh itu juga mulai bermalas-malasan melakukan ritus ibadah, mereka lebih
banyak santai dan lebih memfokuskan diri mereka untuk mengkais popularitas
dimata manusia dengan selubung baju kealiman keagamaan. Mereka juga meremehkan
bahkan mudah menista orang lain, hanya karena merasa lebih shaleh dan alim
dimata anak zamannya, ketika sikap sektarian mereka direspon negatif anak
zamannya mereka mulai melakukan tindakan provokasi, bahkan tidak segan-segan
menghibah (menggunjing) orang-orang yang dicurigai sebagai pembusuk karakter
dan mutu diri mereka, para shaleh itu bahkan melakukan tindakan sistimatis
untuk menjerumuskan anak zamannya ke lembah dosa, ketika itu mereka yang merasa
diri mereka paling alim dengan lantang berkata anak zamannya : Lakukanlah
sekehendak hati kalian, sesungguh Tuhan kami Maha Pemurah lagi Maha Penyayang!
Tuhan tidak menyiksa siapapun dari hamba-Nya! al Haq sangat sungkan melihat
orang yang mulia dan orang yang mulia tidak akan meminta haknya, serta
bualan-bualan lainnya, sehingga pelan tapi pasti, kebaikan yang semula mereka
tegakkan berganti menjadi kerusakan dan kemungkaran serta kefasikan, saat
itulah bencana akan menimpa diri mereka. Pahami betul realitas tersebut, agar
benang merah kebenaran bisa anda pilah dengan benar!
Penampakkan Keempat : Niat dan mengagungkan perbuatan diri, untuk
dipamerkan dihadapan para manusia, yang dengan itu niat bersih mereka jadi
ternoda dan rusaklah amal kebaikan mereka, jika pelaku kebaikan itu meniatkan
perbuatannya untuk meraih keridhaan al Haq, Iblis akan membisiki pelakunya :
Tingkatkan terus amalmu, lakukan sebaik mungkin, maka semua manusia akan
melihat laku perbuatanmu dan mereka akan memberi apresiasi yang tinggi atas
kebaikan-kebaikan yang kau tunaikan, dengan begini si pelaku merasa tersanjung,
ia pun melakukan amalnya berdasarkan riya' (pamer diri) dan selalu
membangga-banggakan laku kebaikan yang diperbuatnya, ia malas berbuat kebaikan
jika tidak ada yang melihat atau memujinya, sebaliknya ia sangat bersemangat
melakukan kebaikan ketika disanjung dan dilihat banyak orang, Iblis melakukan
segala cara untuk memperdaya manusia, siapapun orangnya, semisal ia akan
membisiki para pembaca Qur'ai : Tidakkah engkau berhasrat menunaikan ibadah
haji ke Bnt al Haram (Makkah al Mukarramah), kau bisa memanfaatkan
bacaanmu yang baik dalam perjalananmu untuk mencari bekal berhaji, yang dengan
itu kau bisa mengumpulkan pahala haji dan membaca al Qur'an, ketika si Qori'
itu terperdaya dan pergi ke Baitullah, Iblis menebar keragu-raguan, sembari
membisiki si Qori' : Jadilah kau seperti manusia-manusia yang lain dalam
beribadah haj!, ketika rasa was-was itu menyelimuti dm si Qon iapun menjadi
malas membaca al Qur an ia bahkan
meninggalkan bacaan al Qur'an, lebih dan itu ia tmgga kan semua perintah wajib
agama, ia gagal haji dan menmggalkan syariat agamanya, ia fokuskan dirinya
bekerja dan bekerja untuk mencari harta, ia bahkan pelit dengan harta yang
telah diraihnya, berperilaku buruk, dan berhati kerdil, serta sikap-sikap hina
dan rendah lainnya, Iblis telah berhasi merubah motivasi si pembaca Qon' dari
berhidmat kepada a1 Haq berganti memuja dunia, ia berhasil memalingkan si Qon
dan jalan al Haq ke jalan dunia yang semu dan menipu, sungguh bujuk rayu dan
tipu daya Iblis sangat halus!
Penampakkan Kelima :
Ilmu yang tampak pada diri para alim (ulama). Jalan paling mudah bagi Iblis memperdaya manusia adalah melalui jalan
ilmu. Iblis pernah berkata Demi Tuhan seribu ulama lebih muda aku taklukkan
daripada satu orang buta huruf yang kuat iman, karena ia sangat sulit
ditaklukkan! Berbeda dengan orang alim, ia dengan mudah ditaklukkan dengan
disiplin ilmu yang dikuasainya yang dengan itu Iblis sangat leluasa mempola
kehidupan orang alim tersebut Semisal Iblis datang kepada si alim dengan
sentuhanitoyang berlumur syahwat, Iblis membisiki si alim Nikahilah perempuan
itu dengan madhab Daud, padahal si alim itu bermadzhab Hanafi atau dengan
Madhab Hanafi yang membolehkan nikah tanpa wali padahal si alim itu bermadzhab
Syafi'e, ketika telah menikah dan sang istri meminta mahar atau nafkah lahir,
maka si alim dengan mudah memaparkan argumen-argumennya, untuk membebaskan
dirinya dan kewajiban mengeluarkan mahar dan kewajiban menafkahi sang istri,
ketika sang istri menuntut haknya si alim dengan mudah melontarkan talak,
demikianlah si alim itu dengan mudah bergonta-ganti perempuan, menikah
seenaknya karena bisa mempermainkan dalil dan argumen keagamaan yang
difahammya. Dan banyak lagi kasus-kasus lam yang memakai flmu kegamaan sebagai
selubung untuk mengkais kepentingan pragmatisme dunia dan kepentingan sesaat,
banyak sekali para u ama yang terjerat dengan tipu daya Iblis, yang tidak
dirasakan paTulama, hanya sedikit sekali dan para alim tersebut yang selamat.
Penampakkan Keenam : Iblis menampakkan dirinya pada adat
istiadat, tradisi leluhur, serta rasa santai pada diri orang yang meniti jalan
al Haq, ia juga memperdaya para shiddiq dan menjerumuskan mereka ke dalam
tabiat gelap, yang terwajahkan dalam tradisi dan tindak kemalasan, hingga
cita-cita mereka meniti jalan al Haq redup dan obsesi mereka kepada al Haq
pupus, ia sangat malas dalam meniti jalan al Haq, ia sangat rapuh menghadapi
ujian, ia enggan melaksanakan ritual ibadah. Jika tradisi itu telah memasung
kehidupan para murid (insan yang mencari keridhaan al Haq) dan menjadikan si
murid tidak takut akan larangan al Haq, serta merasa nyaman berleha-leha dalam
meniti jalan al Haq, saat itulah Iblis menampakkan wujudnya secara utuh dan si
murid benar-benar terpalingkan dan al Haq, terlebih ia terjerembab dalam
kesesatan yang nyata.
Penampakkan Ketujuh : Makrifah ketuhanan mewartakan kepada kita,
bahwasanya Iblis juga menampakkan dirinya pada diri para shiddiq, para wali,
para arif biUah, kecuali mereka yang dijaga dan diselamatkan al Haq, adapun
kepada para Malaikat Muqorrobiin Iblis sama sekali tidak bisa mendekati mereka
Awal penampakkan Iblis kepada ahl Khusus (manusia-manusia khusus) itu adalah
dengan wajah hakekat ketuhanan, ia berkata kepada mereka : Bukankah al Haq,
hakekat segala wujud,? Sedangkan kalian adalah bagian dari wujud-Nya, maka al
Haq adalah wujud sejati kalian! Ahl Khusus itu berkata : kau benar! Iblis juga
berkata kepada mereka : Kenapa kalian mentradisikan laku orang-orang yang
Muqollid (menjadi pengikut) syeikh tertentu, bukankah kalian mampu melakukannya
sendiri, kalian bebas menentukan langkah perbuatan diri kalian sendiri, mereka
lantas meninggalkan amal shaleh, ketika mereka tidak lagi melakukan laku
kebaikan Iblis berkata : Lakukanlah apa saja yang kalian kehendaki.! karena al
Haq adalah hakekat diri kalian' Kalian adalah Dia, dan Dia adalah kalian. Dia
tidak dipertanyakan tanggung jawab-Nya atas apa saja yang Dia kerjakan. Maka
mereka melakukan tindakan apa saja, semisal mencuri, berzina, minum arak
(miras), sehingga nilai-nilai keimanan dan keislaman benar-benar terkikis dari
diri mereka, pnbadi mereka benar-benar terbungkus Atheisme dan Zindiq,' bahkan
diantara mereka ada yang terang-terangan menyebut dirinya Atheis. Diantara
mereka ada yang mengklaim 'manungguhng kawula' (menyatu dengan dzat al Haq),
ketika anak zamannya mengingatkan bahwa dirinya telah terjerembab ke dalam
atheisme, mereka dengan lugas mengingkari tuduhan itu, bahkan mereka mengklaim
bahwa apa yang mereka lakukan adalah Haq (kebenaran absolut), dengan lantang ia
berkata : aku adalah al Haq dan al Haq adalah aku.! Mereka bahkan berkata
kepada orang-orang awam (muslim kebanyakan), Aku adalah al Haq, tidak berlaku
pada diriku segala larangan semua halal bagi diriku, aku bebas melakukan segala
sesuatu sesuai yang aku kehendaki, jika aku melakukan tindak kemaksiatan aku
tidak berdosa, semua tindak keingkaran dan kemaksiatan itu menjadi halal bagi
diriku. Pada fase inilah Iblis benar-benar menampakkan wujudnya secara utuh,
karena ahl Khusus itu telah berperilaku dengan laku Iblis secara utuh, kecuali
orang-orang yang dikhususkan al Haq, sebagai media penampakkan rahasia antara
al Haq dengan hamba-Nya. Tidak bisa dipungkiri bahwasanya wujud al Haq,
memiliki tanda-tanda khusus yang terlihat pada wujud yang ditajallikan, pokok
keriskanannya terdapat pada mereka yang tidak mampu memakrifahi tajalli
tersebut, pun belum menggapai maqom Wushul (ketersambungan) dengan al Haq,
metafor-metafor tajalli itu hanya bisa ditangkap mereka yang telah wushul.
Tidak ada rahasia lagi diantara para insan-insan yang telah wushul, terlebih
rahasia ketuhanan itu tidak ada yang samar (absurd) dimata insan-insan yang
telah wushul. Pahami betul masalah ini, agar anda bisa memilah benang merah
kebenaran serta agar anda tidak terperosok ke dalam kesalahan tafsir dalam
memaknai perilaku ahl Khusus tersebut. Cobalah ingat kembali kisah tentang
syeikh Abd Oodir al Jailam, ketika ia berada di tengah padang pasir seorang
diri, tiba-tiba ada suara yang berkata kepada beliau : Wahai Abd Qodir,
sesungguhnya Aku adalah al Haq, Ku halalkan atasmu segala larangan, maka
berbuatlah sesuka hatimu! Syeikh Abd Qodir menjawab : kau bohong besar,
sejatinya kau adalah setan.! Ketika ditanyakan kepada beliau, apa gerangan yang
menyebabkan anda tahu bahwa yang berkata itu adalah setan.? Syeikh Abd Qodir
menjawab seraya menyitir ayat Qur'ani :
Sesungguhnya
Allah tidak menyuruh mengerjakan perbuatan keji. (Q.s. al Araaf 7:28),
ketika si laknat itu menyuruh kepada tindak kekejian, aku bisa memakrifahi
bahwa sejatinya ia adalah setan yang hendak memperdaya diriku. Hanya manusia
yang telah mencapai kedekatan paripurna dengan al Haq sajalah yang bisa menyingkap tipu daya
Iblis yang super halus tersebut. Kita sudahi sampai disini saja, pembahasan
masalah penampakkan Iblis dengan segala wacananya, karena akan memerlukan
berlembar-lembar dan berjilid-jilid untuk memaparkannya.
Ketahuilah, bahwa Iblis menampakkan dirinya pada diri para arif dalam
bentuk tajalli nama-nama-Nya, kadang dengan bentuk sifat-sifat-Nya bahkan
kadang berwujud dzat-Nya bentuk-bentuk lainnya, semisal, Arsy, Kursiy, Lauh, Qolam,
Ruang Hampa, dan etos ketuhananNya, penampakkan yang super halus itu hanya bisa
difahami para kekasih-Nya, tidak semua orang yang diklaim wali itu terpelihara
dari kesesatan, para hamba yang terkasih dan dikasihiNya yang hakiki, akan
selalu dikaruniai al Haq petunjuk dan hidayahNya hingga ajal menjemput mereka.
Dia mengkaruniakan kepada mereka rahmat kedekatan dihadirat-Nya berikut memberi
mereka makrifah hakekat ketuhanan hingga kembali keharibaan-Nya, dengan begitu
tidak ada cela sedikitpun bagi Iblis untuk memperdaya mereka hingga hari
kebangkitan. Para arif itu jika telah fana' (ekstase) bersama al Haq, maka
leburlah seluruh sifat-sifat kemanusiaan diri mereka, tampaklah sifat-sifat
ketuhanan dalam diri mereka. Dan sifat-sifat-Nya itu akan tetap tegak dalam
diri arif itu hingga hari kebangkitan, sebaliknya manusia yang nihil dari
sifat-sifat ketuhanan dan sifat kemanusiaan mendominasi dirinya, sejatinya ia
adalah manusia yang mengalami kiamat kecil, dan hidupnya penuh dengan
siksa-siksa duniawi, meski secara kasat mata hidupnya bergelimang harta. Pahami
betul metafor ini, agar anda tidak terjebak dengan tampilan simbolistik.
Ketahuilah, bahwasanya setan itu adalah anak turun Iblis -semoga al Haq
selalu mengutuknya- yang sedemikian itu ketika bias-bias Iblis telah
mendominasi nafsu dan tabiat seseorang serta melahirkan geliat syahwat pada
orang tersebut, disitulah setan tertampakkan dalam arti yang sesungguhnya,
ketika Iblis mampu membalik al Fuad (hati yang eksis) menjadi Qolbu (hati yang
tidak eksis), maka lahirlah setan-setan itu dari diri Iblis, seperti lahirnya
keburukan dari bara api pun laksana tumbuhnya tetumbuhan diatas muka bumi ini.
Para pengikut setan itulah sejatinya anak turun iblis, yang selalu bersemanyam
di hati tiap insan, para setan itu selalu menebar kejahatan dan bisikan jahat
yang tersembunyi di dada manusia, para setan itu berkalobrasi dengan manusia
dalam segala hal diberbagai dimensi kehidupan yang ada, seperti yang diwartakan
pesan Qur'ani :
Mereka berserikat dengan para
manusia pada harta dan anak-anak. (Q.s. al Israa' 17 : 64).
Diantara mereka ada yang mengkokohkan watak-watak kebinatangan manusia, dan
meredupkan cahaya-cahaya ketuhanan pada diri manusia, para setan itu bahkan
mampu menampakkan diri mereka dengan wujud hakiki manusia, hal itu seperti yang
ditegaskan firman Qur'ani :
Setan-setan dari jenis manusia, dan
dari jenis jin. (Q.s. al An'aam 6 : 112),
hanya manusia-manusia yang makrifah dan tajam mata hati dan pikirnyalah
yang bisa mengetahui kesejatian setan-setan jenis manusia tersebut. Setan jenis
inilah sejatinya sumber fitnah dalam kehidupan dunia ini, yang sepak terjangnya
difirmankan pesan Qur’ani :
Dan kerahkanlah terhadap mereka
pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki.
Ketahuilah, bahwa 'alat' (senjata) yang dipakai Iblis untuk memperdaya
manusia adalah al Ghaflah (kelalaian), ia laksana pedang untuk memotong segala
sesuatu, kemudian syahwat, laksana busur yang mematikan sasaran bidikan, lalu
kekuasaan, ibarat perisai yang menjaga terkikisnya nafsu, kemudian kebodohan
dengan nisbat penumpang yang diantar kebodohan ke segala dimensi kehidupan,
terus syair-syair utopis dan hipokrit, kehura-huraan dan keglamouran serta
jerat-jerat setan lainnya, semisal : perang dan wanita dengan segala jeratnya,
dari semua jerat-jerat setan itu wanitalah ujung tombaknya. Esensinya para
setan itu memiliki banyak senjata dan banyak musim diantara musim yang dimiliki
setan itu adalah waktu malam dan waktu perkelaian, dan banyak lagi yang lainnya.
Kodrat itu sangat jelas dan sangat valid kebenarannya, jika anda seorang yang
cerdik cendekia, tafakkurilah masalah ini dengan seksama.
Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal, atau
menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksiannya. (Q.s. Qaaf 50 : 17).
Pasal. Ketahuilah bahwa nafsu itu dalam pemaknaan terminologisnya memiliki
lima arti :
1. Nafsu Kebinatangan.
2. Nafsu Amarah.
3. Nafsu Mulhamah.
4. Nafsu Lawwamah.
5. Nafsu Mutma'innah.
Kesemuanya adalah nama ruh, sebab hakekat nafsu adalah ruh sedang
kesejatian ruh itu adalah al Haq. Pahami dengan jeli bahwasanya nafsu
kebinatangan, pada prinsipnya adalah terkait dengan badan saja! Sedangkan para
filosof menandaskan bahwasanya nafsu kebinatangan itu sejatinya adalah darah
yang mengalir dalam tubuh manusia, kita tidak sependapat dengan pendapat
seperti itu. Adapun nafsu amarah sejatinya adalah ; segala kehendak yang lahir
dari tabiat syahwat yang cenderung kepada penlaku kebinatangan dengan menafikan
rambu-rambu pelarangan dan perintah ketuhanan. Sedangkan nafsu Mulhamah
sejatinya adalah ilham-ilham ketuhanan yang ditafsiri dengan keragu-raguan dan
sak wasangka, segala ilham yang disikapi dengan keragu-raguan adalah nafsu,
wujud hakikinya terlihat dengan jelas pada perilaku buruk manusia dalam
kehidupan alam Syahadah (alam realitas) tafakkunlah bahwa keragu-raguan akan
mendorong seseorang kepada penlaku negatif yang menjadi embrio keburukan dalam
alam realitas. Sedang nafsu Amarah, sejatinya adalah : buah dari perilaku
amarah nafsu, karenanya ilham yang lahir dari diri disebut Amarah sedang ilham
yang lahir dari ketuhanan disebut Mulhamah. Kemudian nafsu Lawwamah sejatinya
adalah ; konsekwensi logis yang lahir dari nafsu Amarah dan Mulhamah yang
menyebabkan pelakunya tercampakkan dari nilai-nilai ketuhanan bahkan Tuhan itu
sendiri. Adapun nafsu Mutma'innah sejatinya adalah nafsu yang tetap eksis dalam
naungan nilai-nilai ketuhanan, jika ia konsist dalam jasad manusia, maka jasad
tersebut, akan eksis dalam kertersambungan bersama al Haq, dan bisa menyingkap
dimensi gaib-Nya. Ketahuilah nafsu .itu asal pencitpaanya dari ruh, jika ruh
itu terputus dari bersitan-bersitan suci dan terpuji yang lahir dari
ke-rahim-an al Haq, maka si empunya jasad akan berperilaku dengan sifat-sifat
ketuhanan, sebaliknya jika ruh itu didominasi sifat-sifat setan, ruh itu marak
dengan bisikan-bisikan jahat dan tercela sehingga si empunya jasad tercampakkan
dari sifat-sifat ketuhanan dan tiada akan pernah bisa merengkuhi hakekat inti
(dzat)-Nya Maka orang seorang disebut arif, karena ia bisa memakrifahi metafor
dan paradok ketuhanan, sifat-sifat dan asma-asma Nya dan esensi dzat Diri Nya
dengan pemahaman yang benar dan hakiki.'
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jily
Jiwa
suci adalah rahasia ketuhanan dalam zat.
Jiwa
merupakan Zat hakiki DiriNya di alam realitas
Ia
tercipta dari cahaya dan sifat ketuhananNya
Jiwa
adalah sentuhan Nyata esensi ketuhanan DiriNya
Tertampakkan
dengan segala keAgunganNya
Membiaskan
kebesaran bagi mereka yang disinariNya.
Jiwa
yang dihasi ahlak ketuhanan DiriNya
Akan
terkawal oleh nilai-nilai suci ketuhanan DiriNya
Jiwa
yang dilumuri kesyirikan dan hipokritas
Akan
menuai kemurkahan dan siksa keras dariNya
Semua
cahaya suciNya diturunkan ke jiwa suci
Jadikan
jiwa sucimu 'landasan' nilai-nilai ketuhananNya
Kubur
keliaran logikamu ke dalam jiwa sucimu
Kau akan
disibakkan rahasia agung ketuhanan DiriNya.
Pecinta
sejati, selalu setia kepada kekasihnya
Mengabulkan
semua permintaan sang kekasih.
Qalbunya,
selalu merindu sang pujaan hati
Muara
kebahagiaannya jika bertemu sang kekasih
Cintanya
menggelorakan semangat dirinya
Berbuat
yang terbaik demi kerelaan sang kekasih
Seperti
itukah jiwamu mencintai DiriNya?
Setelus
itukah kepatuhan dan kerelaanmu padaNya?
Wahai
insan-insan yang terperdaya dunia
Dimanakah
nurani dan jiwa sucimu dihadapanNya?
Dia
mencintaimu sebelum kau wujud.
CintanNya
tidak lekang oleh zaman dan keadaan.
Lantas
bagaimana dengan cintamu?
Waktu
dan keadaanmu sering melalaikan dirimu
Bukankah
Dia telah mengutus rasulNya
Menjelaskan
nilai-nilai ketuhananNya padamu?
Bukankah,
Dia selalu mengawasi dirimu
Kapanpun
dan dimanapun dirimu bertingkah?
Jiwa
sucimu adalah kendaraan utama menujuNya
Meraih
kebahagiaan hakiki yang dijanjikan olehNya
Jiwa
sucimu adalah ruh kehidupan di kampungNya.
Kampung
ahirat yang penuh dengan nikmat dan siksa
Jiwa
sucimu adalah investasi akhiratmu yang mahal
Membuahkan
kenikmatan surgawi yang kekal abadi
Jiwa
kotormu adalah investasi buruk dirimu
Melahirkan
siksa pedih neraka yang kekal nan abadi
Dengan
jiwa sucimu bisa kau raih ragam nikmatNya
Kampung
penuh nikmat surgawi, bertabur bidadari
Kampung
berhiaskan kemuliaan dan keluhuran
Kampung
para nabi dan rasul serta para kekasihNya.
Jiwa
suci membuahkan rumah kebahagiaan abadi
Rumah
Pemilik segala sifat keagungan dan keluhuran
Rumah
yang selalu dijaga para malaikat setiaNya
Rumah
yang bersendikan kasih kerahmanan dan rahimNya
Jiwa
sucimu memfana'kan dirimu bersama DiriNya
Membawamu
kepada hirarkhi keluhuran tertinggi disisiNya
Muhammad
saw adalah teladan utama lakumu.
Qudwah
dan Uswahnya, akan meluhurkan dirimu
Ia
paling mengerti Allah diantara semua insan
Paling
luhur dan paling agung - aihan sepiritualnya
Segenap
malaikatNya berada dibawah panjinya
Mengapresiasi
dirinya dengan penghormatan tertinggi
Ialah
diraja segala singah penegak kebenaranNya
Tegas
kepada para musuh Allah dengan pedang kesantunan
Samudera
pengetahuan yang tak pernah kering
Wibwahnya
menggentarkan segenap raja penguasa bumi
Qutub
hakekat yang beredar di poros syariat
Bintang
yang menyinari pegiat ibadah dan ahli taqwa
Karib
setia para yatim, para fakir dan miskin
Pembebas
perbudakan, penegak keadilan, pewujud perdamaian
Duta
Tuhan kepada para penguasa dzalim
Pengobar
semangat keta'atan dan kepatuhan kepadaNya
Penerus
ajaran kasih Ibrahim leluhurnya
Pengetas
insan-insan yang tersesat dari titian jalanNya
Wahai,
cucu Ibrahim yang agung nan mulia
Wahai,
pengulu rasul dan nabi yang paling dicintaiNya
Kau
adalah hamba paling mulia dihadapanNya
Taburkan
syafa'atmu kepada kami yang mendambakannya
Kami
mendengar dan mematuhi semua sabdamu
Kami
jernihkan jiwa dan Qalbu kami, mengikuti jejakmu
Hanya
para hipokrit yang menafikan jasa agungmu
Mereka
yang memutus "buhul' shalawatmu akan merugi.
Kami
ikuti jejakmu di Makkah dan tanah sucimu
Kami
hijrahkan hati kami dari sauh-sauh pelik insaniyah
Betapa
agung cinta kami kepadamu wahai rasul.
Cinta
suci yang menembus dimensi ruang dan waktu.
Tidak
ada ruang sedikitpun di syakilah hati kami
Kecintaan
kepada selain dirimu, wahai junjungan
Kepadamu
kami haturkan shalawat dan salaam
Sebanyak
bintang di langit, sepanjang hayat kami.
Sudah Edit 60. Insan Kamil
(Manusia Sempurna) Adalah Muhammad
SAW Citra al haq dan Makhluk
Ketahuilah, bahwasanya bab ini merupakan inti kajian dalam karya ini, bahkan
semua kitab dari zaman permulaan hingga kelak akhir zaman, akan menjelaskan inti
kajian . bab ini, maka cermati betul kandungan maknahnya, agar anda bisa
memahami kesejatian Insan Kamil (Manusia Sempurna). Ketahuilah bahwa manusia
sempurna itu satu sama lain adalah duplikat yang lainnya, kesempurnaannya tidak
terkurangi sedikitpun, melainkan dalam hal 'Arad (aksiden), semisal kaki dan
tangannya terputus karena satu dan lain hal, atau terlahir dalam keadaan buta
atau lumpuh karena penyakit yang diderita sejak dalam rahim ibunya (cacat
bawaan). Jika tidak ada kendala aksiden tersebut, maka satu sama lain adalah
cermin dan duplikat bagi insan kamil lainnya, laksana dua cermin yang
berhadap-hadapan yang satu sama lain bisa melihat duplikat dirinya. Namun
demikian diantara manusia sempurna itu ada yang lebih menonjol dalam hal
kediqdayaannya, ada pula yang menonjol karena perbuatannya, mereka semua adalah
manusia-manusia terkasih dan duta-duta Tuhan (para nabi dan para wali),
demikian pula strata kesempurnaan mereka satu sama lain berbeda, ada yang
sempurna ada yang lebih sempurnah serta ada yang pari sempurna.
Diantara manusia Sempurna itu yang paling Sempurna adalah Muhammad saw,
beliau adalah satu-satunya manusia terSempurna di semesta alam ini, semua itu
tercerminkan dalam ahlak (moralitas) beliau, perkataan dan perbuatan beliau,
serta ihwal (keadaan) pun konsesus beliau, pahami dengan betul bahwa Muhammad
saw adalah hakekat fnsan Kamil, adapun para kekasih Allah (dari para nabi dan
insan terkasih-Nya) sejatinya adalah pewaris kesempurnaan beliau. Dalam kitab
ini, kami hanya memfokuskan kajian kepada inti Insan Kamil, yaitu Muhammad saw,
tidak ada yang patut melabeli dirinya dengan gelar Insan Kamil, karena
gelar itu hanya patut disandang baginda rasulullah Muhammad saw. Tidak ada
satupun makhluk di dunia yang mengunggulli Muhammad saw dalam kesempurnaan dan
keutamaan, yang sedemikian itu merupakan konsesus (Ijma') para ulama.
Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil itu sejatinya qutub yang berotasi
disekelilingnya segenap rasi bintang-bintang wujud dari permulaan wujud hingga
ahirannya. Ia adalah Tunggal (Satu) sejak wujud (ada) hingga kekekalan abadi,
ia memiliki aneka ragam baju, kemudian menampakkan diri dengan baju-baju
tersebut, lalu dinamakan sesuai dengan nama baju yang melabeli wujud
penampakkanya, dan ia tidak dinamai dengan baju lain selain baju kesempurnaan
dan keutamaan. Namanya yang hakiki adalah Muhammad, gelaranya Abu al Qoshim,
pensifatannya Abdullah. Julukannya Samsuddin, setiap zaman ia memiliki nama
sesuai dengan baju yang dikenakan yang sesuai dengan zamannya. Saya pernah
berjumpa dengan beliau, dalam citra syeikh dan guruku, Syarifuddin Ismail al
Jabarutiy, pada awalnya saya tidak tahu bahwa beliau adalah rasulullah saw,
yang saya tahu beliau adalah syeikh dan guruku, kejadian tersebut terjadi pada
tahun 796 H, tepatnya di distrik Zabidah, hikmah yang bisa saya ambil dari
peristiwa tersebut adalah, bahwa rasul Muhammad saw, sangat mungkin mencitrakan
diri dalam multi pencitraan, para sastrawan jika menemukan nilai-nilai hakiki
dalam kehidupannya, akan menyebut apa yang ditemui tersebut sebagi citra
Muhammad, jika ia temukan dalam bentuk gambar, maka gambar itu ia labeli dengan
Muhammad, ia tidak akan menamai sesuatu yang hakiki selain nama Citra Muhammad.
Sejarah merekam peristiwa pencitraan rasul saw dalam bentuk (citra) asy
Syibli, suatu hari asy Syibli berkata kepada muridnya : Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya diriku adalah rasulullah, si murid yang merupakan seorang ahli
Kasyf (intuisi) dan telah merengkuhi maqom makrifah, lantas berkata : Aku
bersaksi bahwasanya engkau adalah rasulullah, realita tersebut bukanlah sesuatu
yang diingkari dalam komunitas ahli Mukasyafah (pengetahuan intuitif), sebab
realita tersebut sama seperti yang terjadi dalam diri orang awam (orang
kebanyakan) yang melihat citra (bentuk) atau wajah seseorang dalam tidurnya.
Sedangkan mimpi melihat rasul saw merupakan tingkatan paling rendah dalam
Mukasyafah, meskipun demikian antara mimpi dan Mukasyafah terdapat titik pilah
yang sangat jelas. Yang sedemikian itu citra Muhammad saw yang terlihat dalam
mimpi, tidak akan pernah tercitrakan dalam Yaqdzah (terjaga), dan hakekat citra
Muhammad saw dalam mimpi tidak sama dengan citra Muhammad saw yang terlihat
secara Yaqdzah, yakni bukan dalam keadaan mimpi!
Kenapa demikian, karena alam mimpi mengandung multi tafsir dan ragam
interpretasi serta banyak ibarat, sehingga interpretasi citra Muhammad pun
melahirkan multi tafsir yang kesejatiannya bisa dilihat secara hakiki dalam
keadaan Yaqdzah (terjaga). Berbeda dengan Mukasyafah, jika anda mampu menyibak
hakekat citra Muhammad yang terjallikan dalam citra Bani Adam, maka hakekat
pencitraan .tersebut akan tampak jelas di mata anda, ketika (penampakkan) itu
anda harus beretika sebaik mungkin dihadapan orang yang tercitrakan tersebut,
sama halnya ketika anda berhadapan dengan baginda rasul saw, karena saat itu
anda sejatinya berhadapan dengan rasul meski dalam wujud citra beliau yang tertajallikan
pada orang itu, jika citra Muhammad itu benar-benar di-mukasyafah-kan kepada
diri anda, maka anda harus merubah sikap anda dihadapan orang yang tercitrakan
tersebut, dan anda tidak boleh berestimasi atau berasumsi bahwa hal tersebut
merupakan Tanasukh (reingkarnasi), buang jauh-jauh fikrah seperti itu dalam
diri anda, saya berlindung kepada Allah dari klaim reingkarnasi, sebab
pencitraan seperti itu sama sekali bukan reinkarnasi, dan saya sama sekali
tidak percaya adanya reingkarnasi, saya hanya mempercayai pencitraan citra
Muhammad pada seseorang yang memang pantas dicitrakan dengan beliau. Pahami
dengan betul, bahwasanya dimungkinkan bagi rasulullah mencitrakan diri beliau
dalam bentuk apapun, citra beliau selalu hadir setiap zaman dan di setiap
tempat dengan wujud kesempurnaan citra, yang sedemikian itu untuk menunjukkan
keotentikan dan ke-kamil-an beliau, serta mengangkat harkat ummat beliau
berikut menegakkan agama yang diserukan beliau, citra Muhammad itu jamak
tertajallikan dalam diri para khalifah (pengganti) beliau dari para kekasih
Allah dan insan-insan yang dikasihi-Nya, mereka itulah sejatinya khalifah
(pemimpin) ummat secara lahir, sedang batin mereka sejatinya adalah pengganti
rasul saw.
Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil berhadapan dengan segala hakekat wujud
dengan dirinya sendiri, ia menghadapi hakekat ketinggian dengan kelembutannya,
menghadapi hakekat kerendahan dengan kehebatan (ke-keras-an)-nya. Awal
penampakkannya dalam lanskap hakekat ciptaan (makhluk) ialah, ia menghadapi Arsy
dengan hatinya, rasul saw bersabda : Hati orang beriman adalah Arsy Allah, menghadapi
Kursyi dengan ke-aku-annya, menghadapi Sidratul Muntaha dengan maqom (capaian
spiritualnya, menghadapi Qolam al A'lah (pena tertinggi) dengan akalnya,
menghadapi Lauhul Mahfudz dengan jiwanya, menghadapi Anasir (unsur-unsur)
dengan tabiatnya, menghadapi benda pertama dengan kesamaannya, menghadapi ruang
kosong dengan infra strukturnya, menghadapi cakrawala bumi dengan pendapatnya,
menghadapi gugusan bintang (cakrawala langit) dengan ingatan penglihatannya,
menghadapi langit ketujuh dengan cita-citanya, menghadapi langit keenam dengan
estimasinya, menghadapi langit kelima dengan dambaannya, menghadapi langit
keempat dengan pemahamannya, menghadapi langit ketiga dengan imajinasinya,
menghadapi langit kedua dengan pemikirannya, menghadapi langit pertama dengan
pemeliharannya, menghadapi bintang Zuhal (Saturnus) dengan kekuatan
sentuhannya, menghadapi bintang Musytariy (Yupiter) dengan kekuatan
pendorongnya, menghadapi bintang Murih (Mars) dengan kekuatan penggeraknya,
menghadapi bintang Syams (matahari) dengan kekuatan penglihatannya,
menghadapi bintang Zuhra
(Venus) dengan kekuatan
kenikmatannya, menghadapi bintang Atarad (Merkurius) dengan kekuatan
kebajikannya, menghadapi bintang Oomar (bulan), dengan kekuatan pendengaranya.
Kemudian menghadapi falak (rasi bintang) an Nar (api) dengan kepanasannya,
menghadapi al Maa' (air) dengan kedinginannya, menghadapi falak al Hawa'
(udara) dengan kelembabannya, menghadapi falak at Turab (debu) dengan
kekeringannya.
Ia menghadapi Malaikat dengan khawatir al qalb (bersitan-bersitan
hati)-nya, menghadapi Jin dan Setan dengan bisikan jahatnya, menghadapi habitat
binatang dengan perilaku kebinatangannya, menghadapi singa dengan kekuatan terkamnya,
menghadapi kancil dengan kekuatan pecundangnya, menghadapi srigala dengan
kekuatan tipu dayanya, menghadapi kera dengan kekuatan kedengkiannya,
menghadapi tikus dengan kekuatan kewaspadaannya, kemudian qiyaskan
binatang-binatang lainnya dengan kekuatan masing-masing. Kemudian ia menghadapi
burung dengan kekuatan rohaninya, ia menghadapi api dengan materi kobarannya,
menghadapi air dengan materi cairnya, menghadapi udara dengan materi
hembusannya, menghadapi tanah dengan materi kehitamannya, kemudian menghadapi
tujuh lautan dengan kucuran keringat, dahak, ludah, darah, air seni, kesemua
itu adalah materi yang bergerak diantara darah, keringat dan kulit,
masing-masing memiliki cita rasa, manis dan pahit, asing dan tawar. Kemudian ia
menghadapi Jauhar (entitas) dengan ke-dia-nya, dan ia merupakan inti (dzat)
Jauharaat tersebut, menghadapi 'Aradl (aksiden) dengan sifatnya, menghadapi
benda-benda tidak bernyawa dengan tajinya, taji-taji itu jika telah sampai pada
batasnya, ia akan berbentuk benda mati, tidak bertambah dan tidak pula
berkurang. Kemudian ia menghadapi tetumbuhan dengan rambut dan kukunya
menghadapi hewan dengan syahwatnya, menghadapi makhluk sesamanya (manusia)
dengan kemanusiaan dan citranya. Insan Kamil itu lalu menghadapi berbagai bentuk
manusia; ia menghadapi raja dengan ruhnya, menghadapi para menteri dengan
analisa pemikirannya, menghadapi hakim
dengan ilmu yang , diperdengarkan dan pendapatnya yang
dicetak, menghadapi polisi atau tentara dengan prediksi (asumsi)nya, menghadapi
para pembantu dengan keringat dan kekuatannya, menghadapi kaum mu'minin
(insan-insan beriman) dengan keyakinannya, menghadapi kaum musyrikin dengan
keraguan dan kegamangannya, ia senantiasa menghadapi hakekat Maujudaat (segala
yang wujud) dengan ketajaman mata hati dan pikirnya.
Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil itu merupakan duplikat (pencitraan) al
Haq, sebagaimana yang diwartakan rasulullah saw,
al Haq menciptakan Adam dengan citra
ar Rahman,
dalam hadits lain beliau bersabda :
Al Haq menciptakan Adam dengan citra
Diri Nya,
yang sedemikian itu bahwasanya keber-Ada-an al Haq adalah dzat yang :
Hayyun (Yang Hidup), Aalimun (Yang Berpengetahuan), Qoodirun (Yang Berkuasa),
Muriidun (Yang Berkemauan), Samii'un (Yang Mendengar), Bashiirun (Yang
Melihat), Mutakallimun (Yang Berbicara) demikian pula dengan keberadaan
manusia, ia makhluk yang hidup, berpengetahuan, berkuasa, berkemauan,
mendengar, melihat dan berbicara. Kemudian Insan Kamil itu menghadapi ke-Dia-an
Nya dengan ke-dia-dirinya, ke-Aku-an Nya dengan ke-aku-an dirinya, dzat-Nya
dengan dzat dirinya, keuniversalan dengan universal, keglobalan dengan global,
kekhususan dengan khusus, ia menghadapi al Haq dengan hakekat inti (dzat)
dirinya. Kita telah membahas masalah ini pada pasal khusus dalam karya saya
yang lain, sebelum ini. Pembahasan masalah inti dzat itu kita sudahi sampai
disini.
Ketahuilah, bahwasanya Insan Kamil itu, dialah yang berhak atas nama-nama
yang berdimensi dzat, dan sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dengan akar kepemilikan
yang berdasarkan kepatutan, berikut penguasaan berdasarkan hukum ketuhanan
secara dzat, semua metafor asma-asma dan sifat-sifat-Nya yang berdimensikan
dzat terlanskapkan dalam diri Insan Kamil, permisalannya terhadap al Haq adalah
semisal cermin yang orang bisa melihat bentuk gambar dirinya secara utuh di
dalamnya, jika tidak, maka orang tersebut tidak akan bisa melihat bentuk gambar
dirinya kecuali dengan cermin nama (Allah) yang sejatinya adalah cerminan-Nya.
Manusia Sempurna adalah cerminan al Haq. Pahamilah bahwasanya al Haq
memaklumatkan Diri Nya, tidak bisa dilihat nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya,
kecuali pada diri Insan Kamil, itulah sejatinya hakekat makna firman Qur’ani :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (Q.s. al Ahzab 33 : 72)
yakni manusia menjadi dzalim dengan dirinya sendiri, karena ingkar terhadap
amanat ketuhanan dan keingkaran itu menurunkan kredibilitas dirinya dari
keagungan dan ketinggian derajat, manusia menjadi bodoh karena tidak memahami
eksistensi dirinya yang tidak lain adalah pengemban amanat ketuhanan. Maka
sejatinya manusia bodoh itu adalah manusia yang tidak mengerti amanat ketuhanan
yang harus dipikul dan yang wajib ditunaikannya. Pahami betul masalah ini.
Ketahuilah Insan Kamil itu membagi segenap sifat-sifat dan nama-nama Nya
menjadi dua bagian : Satu bagian berada disebelah kanannya, seperti : Hidup,
Tahu (berpengetahuan), Kuasa, Berkemauan (berkehendak), Mendengar, Melihat,
Berbicara dan sifat-sifat senada lainnya. Satu bagian lagi berada disebelah
kirinya, semisal: Azali dan Abadi, Awal dan Akhir serta sifat-sifat lain yang
senada. Insan Kamil memiliki kenikmatan rahasia dibalik segala sesuatu yang
wujud, yang dinamakan kenikmatan Ilahiyah (ketuhanan), kenikmatan tersebut baru
bisa dirasakan ketika syakilah hati tersucikan dari ke-kemaruk-an kepada segala
sesuatu selain al Haq. Ketahuilah bahwa
hakekat zuhud itu bukan anti dunia, tapi menjaga jarak hati dari ke-kemaruk-an
dunia, maka hakekat menjaga jarak lebih berdimensikan batin (Qalbiyah), bukan
dimensi lahiriyah, banyak orang yang salah dalam memaknai Insihaab (baca : jaga
jarak) ini, kebanyakan mereka memaknainya dengan anti dunia, bukan menjaga
jarak hati dari kemaruk duniawi, sampai-sampai ada seorang murid, yang tega
menyiksa dirinya dengan hidup dalam kubangan kemiskinan, tanpa kerja dan tempat
tinggal dengan alasan anti dunia. Hendaknya anda jangan terperdaya dengan
orasi-orasi mereka yang memaknai hakekat dunia ini dengan pemaknaan sempit, pun
jangan terkecoh dengan tampilan laku simbolistik mereka, sungguh mereka itulah
sejatinya manusia-manusia yang tidak memahami hakekat suluk, mereka itulah
orang yang tidak mampu memakrifahi hakekat asma-asma dan sifat-sifat Nya.
Mereka tidak akan pernah sampai ke maqom (capaian spiritual) Insan Kamil,
disebabkan kebodohan mereka dalam memaknai kesejatian nama-nama dan sifat-sifat
al Haq, bahkan diri mereka tercerabut dari nama-nama dan sifat-sifat serta dzat
al Haq. Pahami betul bahwasanya hakekat manusia sempurna itu adalah insan yang
memarakkan hati dan jiwa mereka dengan sifat-sifat dan asma-asma-Nya, melihat
segala yang wujud bukan pada wujud lahirnya, akan tetapi pada hakekat
ke-Dian-an 'Nya dalam bingkai hukum keyakinan akan inti (dzat)-Nya, Kasyf
(intuisi) menampakkan eksisteni wujud dari hal yang tertinggi hingga hal yang
terendah, ia juga disibakkan aneka wacana wujud dalam penampakkan eksistensi
Diri Nya, seperti halnya diantara kita ada yang dengan bersitan-bersitan
hatinya mampu melihat hakekat segala Maujudaat (sesuatu yang wujud).
Insan Kamil diberi kemampuan menahan dan membuang bersitan hatinya, baik
yang universal maupun yang parsial, kemudian penyikapannya terhadap segala
sesuatu yang kasat mata bukan pada makna simbolistik arti lahirnya berbasis
pada nama dan gambar kasatnya, seperti halnya penyikapan salah seorang diantara
kita dalam makan, minum dan pembicaraannya. Pahamilah bahwasanya Insan Kamil
itu memiliki tiga barzah (alam), setelahnya ada maqom yang bernama al Khitam :
Barzah pertama, dinamakan al Bidayah, sejatinya adalah pemaknaan secara hakiki
nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Barzah kedua, dinamakan at Tawasuth, sejatinya
adalah falak kesejatian eksistensi manusia dengan hakekat Rahmaniyah, jika
realitas tersebut benar-benar tersibak maka segala yang tersirat akan
disuratkan, al Haq akan menampakkan segala dimensi kegaiban-Nya kepada hamba
yang dikehendaki-Nya tersebut. Barzah ketiga, dikenal dengan ragam hikmah,
terwajahkan didalamnya kemampuan par excelent (adikodrati), ia memiliki
kekuatan diluar batas kemampuan manusia kebanyakan, ia memiliki karomah (kelebihan
par excelent), yang melintas batas hukum kelaziman dan al Haq mempersilahkan
menampakkan kemampuan luar biasa (adikodrati) itu dalam alam realitas. Manakala
ketiga Barzah tersebut, telah dilalui, hamba itu akan sampai kepada maqom yang
dinamai al Khitam yang disifati dengan al Jalai (Keperkasaan) dan al Ikraam
(Pemuliaan), tidak ada sifat setelahnya selain al Kibriyaa' (ke-Maha Agung-an)
itulah muara harapan setiap insan. Pada capaian spiritual ini, terdapat beragam
tingkatan manusia, ada yang Sempurna dan paling Sempurna, utama dan paling
utama.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Syair-syair al-Jilly
Hati
yang dipatuhi segala wujud sepenuh jiwa
Diingkari
manusia-manusia kufur penuh jahili
Jiwa
yang diapresiasi segala wujud dengan tulus
Hanya
mereka yang berhati busuk yang mendiskritkannya
Beribu
ketaladanan, berjuta nasehat lahir darinya
Kesantunan
sikap dan kelembutan ujaran adalah sifat dasarnya.
Penuh
kasih sayang, sangat peduli kepada sesama
Memberi
yang terbaik, tidak berharap sesuatu dari kabaikannya
Meneteskan
air mata, setiap bermunajat kepadaNya
Tak
kuasa menahan tangis melihat penderitaan ummatnya
Sikap
kasihnya memadamkan kemarahan para kafir
Kesantunan
sikapnya melunakkan hati mereka yang keras kepala
Dialah
Muhammad saw pegiat ibadah sejati.
Penyembah
Allah paling utama dan paling memakrifahiNya
Sifat
dan asma Agung Allah ada pada dirinya
Semuanya
teraktualisasikan dalam kehidupan nyata
Muhammad
Wahai, penuntun kehidupan hakiki nan mulia
Wahai,
teladan kebaikan, kobarkan spirit kami mengikuti jejakmu
Kau
adalah maha guru kehidupan kami,
Pengajar
agung kami, dalam memahami esensi ketuhanan
DiriNya
Ajarilah kami teguh menegakkan syariatNya
Menerapkannya
dalam kehidupan Nyata kami sepanjang waktu
Ajarilah
kami teguh beribadah seperti dirimu.
Tidak
meluangkan waktu kami sedetikpun, terpaling dariNya.
Ajari
kami mengetas diri kami dari kepedihan.
Hidup
dalam semaian kerelaan, ketabahan menerima taqdiNya
Ajari
kami mendiqdayakan Qalbu dan jiwa.
Agar
kami sabar, tawakkal menerima segala coba yang menerpa kami
Wahai
satria agung Allah, nan diqdaya
Pelipur
lara para faqir dan miskin yang lemah
Wahai
duta terkasih Allah, nan bijak
Muara rujukan
perlindungan segenap insan
Kaulah
pelita hidup setiap anak zaman
Penabur
kasih sayang di hati setiap hamba
Mereka
yang berpaling dari ajaranmu
Akan
menunai duka nestapa abadi dunia ahirat.
Kau
redam kedengkian dengan kebaikan.
Kau
balas keburukan dengan kasih kema'afan
Kau
terima 'ulah' busuk dengan tabah
Kau
rangkul yang menyakitimu dengan jiwa besar
Kau
mereka yang lemah dan terlemahkan
Dengan
kepemilikanmu, meski dirimu lebih butuh
Kau
hibur mereka yang dibelit kesedihan
Dengan
nasehat konstruktifmu yang meneduhkan
Kau
rekatkan Qalbu para
sahabatmu.
Dengan
'buhul' keimanan yang kokoh dan tulus
Kau jaga
hati dan perasaan mereka, dengan mengutamakan kebutuhan mereka.
Kau
berikan hidupmu sepenuh jiwa untuk dan demi ummatmu dan Allah semata.
Wahai
citra dan identitas ketuhanan DiriNya
Kau
wariskan kepada kami Qur'an dan sunnahmu
Tidak
ada seorangpun yang sedih bersamamu
Tidak
ada kerugian sedikitpun yang mengikutimu
Kau
taburkan kesucian dihati setiap pengkutmu.
Nilai-nilai
keluhuran yang jauh dari hipokritas
Wajah
hidupmu adalah cermin ketuhananNya
Cerminan
Nyata, tindakan, ujaran dan konsesusNya
Semua
perilakumu adalah cermin ketuhananNya
Moralmu
juga moral Qur’anNya, ujaranmu, juga titaNya
Hidupmu
mulia selaras dengan MuliaNya
Karenanya,
kau beroleh apresiasi dan puji dari DiriNya
Sungguh
aneh, mereka yang menafikan dirimu
Sebab,
kau adalah wujud Nyata petunjukNya di alam ini
Hanya
para kafir yang memungkiri risalahmu.
Nikmat
apalagi yang lebih besar daripada keberadaanmu?
Eksistensimu
laksana mentari menyinari bumi
Risalahmu
sejatinya adalah matahari penerang Qalbu
Mereka
yang bercita-cita meniti jalan Allah dengan olah ruhani, harus meguru kepada
'laku' dirimu
Sebab
hanya 'laku'mulah yang paling valid mengantar setiap pegiat suluk meraih
cita-cita hakiki.
Apalah
arti segala wujud di alam Nyata ini
Jika kau
tidak dihadirkan olehNya di jagad realitas ini?
Segala
realialitas wujud akan kehilangan arti.
Jika
risalahmu, tidak dijadikan pijakan dasar kehidupan
Risalahmu
adalah rahmat bagi semesta alam dirimu adalah wujud Nyata taburan rahmatNya di
alam ini
Semua
mahluk yang hidup dibawah langitNya akan hina dan nista jika berpaling dari
seruan ajaranmu.
Semua
diraja bumi, akan lumpuh tak berdaya
Jika
menghalangi langkah menegakkan agamaNya
Kau
adalah benda pertama asal segala karya
Tiada
satu mahlukpun tercipta dari selain cahayamu
Kaulah
nuqtah hakekat, dan samuderanya
Basis
syariat dan penegak utamanya dalam hidup ini
Kaulah
taburan rahmat dan anugerahNya
Pengetas
setiap insan dari neraka dunia dan ahirat
Segala
wujud menghaturkan shalawat untukmu
Sebagai
bentuk rasa terima kasih atas tuntunanmu
Kaulah
media penyambung utama kepadaNya.
Tanpa wasilahnu,
setiap hamba tidak sambung denganNya
Kaulah
satu-satunya penghuni maqam Mahmud
Zat Yang
Maha Agung khusus menyediakannya untukmu
Wahai kinasih pabur rahmat semesta alam.
Naungilah
kami dengan syafa'atmu dan rahmatNya
Singkirkan
segala duka nestapa yang menerpa kami
Taburkan
ruh Aminmu pada jiwa dan
relung hati kami
Wahai
kinasih lentera kehidupan para hamba
Sinari
kami, dengan rahasia batinmu yang suci murni Kau adalah embun penyegar
kehidupan.
Salju
yang mengguyur kekeringan jiwa dan Qalbu Arsy 'laku' dan pionir cita-cita
hakiki kami
Bimbimbinglah
kami menuju Wushul dan kedekatanNya
Mi'rajkan
kami ke maqam terluhur disisiNya
Agar
kami bisa merengkuhi kesejatian Wushul denganNya
Kabarmu
menembus dimensi ruang dan waktu.
Ajaranmu
tidak lekang dan valid sepanjang lorong waktu
Bagimu
emas permata tak ubahnya batu pasir
Tiada
keterpalingan dan ketertarikan sedikitpun padanya
Kekuasaan
dan kekayaan dimatamu adalah fitnah
Syakilah
hatimu benar-benar suci dari sauh-sauh pelik duniawi
Wahai
imam para ahli taqwa dan pegiat ibadah
Tunjukilah
kami jalan ibadah hakiki dan laku taqwa sejati
Wahai
kinasih yang bening Qalbu dan jiwa suci
Taburkan
kebeningan hatimu dan kesucian jiwamu kepada kami.
Rahasia
ketuhananNya tersimpan di batinmu.
Singkapkan
untuk kami, rahasia ketuhananNya ke Qalbu kami
Kau
cukupkan dirimu Allah sebagai pelindungmu
Ajari
kami menjadikan Dia satu-satunya muara perlindungan.
Dia
memujimu dengan penghormatan tinggi.
Wariskan
kepada kami, 'laku' untuk menggapai puji sanjungNya
Wahai
Allah kami, kami berlindung kepadaMu
Dari
tipu daya yang melalaikan kami tidak mengikuti jejak nabiMu
Jadikanlah
kami pengikut sejati Muhammad saw
Jadikan
kami pewaris ilmu, laku ibadah, ahlak dan perjungannya
Haturan
shalawat semoga tetap tercurah untuknya
Limpahan
kesejahteraan, semoga terhaturkan kepada beliau
Salam
sejahtera untukmu wahai junjungan kami beserta keluarga, sahabat dan para
kekasihNya sepanjang waktu.
Sudah Edit 61.
Tanda-tanda Kiamat, Ingat Kematian, Barzah, Kiamat, Hisab, Timbangan, Shirat
(Titian), Neraka, Surga, A’raaf dan Katsiib
Ketahuilah, bahwasanya alam dunia yang kita hidup di dalamnya sekarang ini
akan berakhir, karena dunia ini adalah sesuatu yang Huduts (baru), sejalan hukum penciptaan, sesuatu yang
adanya karena diadakan (huduts) pasti akan berakhir, awal dan akhir sesuatu itu
berada dibawah kekuasaan hakekat ketuhanan, segala sesuatu yang tertampakkan
secara lahiriyah pada bentuk kasat masing-masing isinya alam mi pasti memiliki
ujung pengahiran, adapun ujung pengahiran segala yang Hudust itu seperti yang
diwartakan pesan Qur’ani sejatinya adalah as Saa'ah al Kubrah (Kiamat Besar).
Masing-masing isinya alam itu mengalami kiamat kecil, karena bersifat khusus
dan Juz’iy (parsial), sedang kiamat besar mencakup segala wujud dan bersifat
Kulli (universal), jika anda tafakkun secara dalam, anda akan mengetahui bahwa
masing-masing isinya alam ini, baik yang berskala mikro maupun makro akan
mengalami kiamat dan memiliki batas akhir yang telah ditentukan. Dalam lanskap
hukum kehidupan umum, orang lebih memahami kiamat sebagai kehancuran yang bersifat lahir (fisik),
padahal hakekat kiamat itu lebih bermaknah batin. Pahami betul masalah kiamat
ini, agar anda tidak terjebak pada pemaknaan simbolistik yang bersifat
tekstual.!
Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menciptakan banyak alam, Dia melihat
masing-masing alam melalui media al Insaan (manusia) yang dinamakan kesaksian
wujud, setiap alam yang Dia lihat tidak melalui media manusia sempurna
dinamakan al Ghaib (kegaiban). Kemudian al Haq menciptakan kegaiban itu dua
macam :
1. ke-Gaib-an yang terpisah dari alam manusia.
2. ke-Gaib-an dibalik realitas alam manusia.
Kegaiban yang terpisah dari alam manusia dinamakan wujud kegaiban, seperti
alam Malakut (alam semua ruh dan malaikat), sedangkan kegaiban dibalik realitas
alam manusia dinamakan ketiadaan kegaiban, seperti alam-alam yang hanya al Haq
Yang Maha Mengetahui-Nya, kita tidak bisa kita mengetahui sama sekali. Realita
tersebut dalam lanskap logika kita disebut al 'Adam, (ketiadaan), itulah
sejatinya yang disebut ketiadaan kegaiban. Alam dunia ini akan tetap disebut
kesaksian wujud selama al Haq menjadikan manusia sebagai media penglihatan-Nya kepada
alam (dunia) dan isinya alam, dengan demikian alam dunia ini akan menjadi
kegaiban Adamiyan (ketiadaan), ketika itu wujud alam dunia ini di alam
ketuhanan, seperti wujud surga dan neraka hari ini, itulah yang disebut Ain al
Fana' (inti kesirnaan) alam dunia, sedang inti kiamat besar adalah kiamat Kulli
(universal). Kita tidak akan membahas masalah kiamat umum tersebut, pada karya
ini kita akan membahas kiamat khusus, yang terjadi pada masing-masing isinya
alam, utamanya kiamat khusus yang terjadi pada diri manusia, karena manusia
adalah wujud paling sempurna dari segenap wujud isinya alam ini bahkan semesta
alam. Kami sengaja tidak membincang hakekat kiamat besar terlebih
keajaiban-keajaiban yang lahir dari kiamat besar yang dimetaforkan pesan Qur’ani,
agar iman anda tidak tereduksi bisikan-bisikan jahat setan, yang melahirkan
keragu-raguan dalam diri anda, kami fokus kepada pembahasan kiamat kecil yang
terjadi sebelum kiamat besar. Anda jangan sekali-kali berprediksi bahwa kiamat
besar dan kecil itu (dua kiamat), akan tetapi hal itu sejatinya adalah satu
kiamat, semisal jika anda menyebut kata hewan maka tercakup di dalamnya ikan,
burung, manusia dan hewan-hewan lainnya, demikian pula dengan kiamat. Cobalah
anda pertajam kejelian anda, untuk memahami metafor dan isyarat-isyarat
pemaparan masalah kiamat ini, agar anda bisa memakrifahi hakekat kiamat!
Ketahuilah, bahwasanya kiamat kecil itu memiliki tanda-tanda yang juga
merupakan metafor kiamat besar. Seperti yang diwartakan pesan Qur'ani dan
sunnah rasul-Nya, kiamat besar (makro kosmos) itu metafornya adalah : Para
budak wanita melahirkan anak majikan mereka. Anda akan melihat banyak orang
bertelanjang kaki mempertahankan apa yang mereka kehendaki, akan ada banyak
orang yang berlomba-lomba membangun gedung mewah. Demikian pula dengan manusia
(mikro kosmos) tanda kiamat kecil (khusus) yang menimpa dirinya terlihat dengan
tampaknya Rububiyah (ketuhanan) al Haq pada inti dzat-nya. Inti (dzat) manusia
itu ibarat budak wanita, kelahiran memetaforkan penampakan perintah-Nya yang
terpendam dari batin kepada lahir manusia, karena anak tempat (prosesi)
penciptaannya di perut, sedang kelahiran wujud penampakkannya dalam bentuk
kasat (inderawi). Demikian halnya dengan al Haq maujud (ada) dalam diri manusia
tanpa Tanasul (reingkarnasi) dan Hului (panteisme), eksisteni-Nya dalam diri
manusia berdimensikan batin, jikalau Dia tampak melalui ketentuan-Nya dan
manusia mampu memakrifahi eksistensi keberadaan al Haq dalam dirinya, maka
hamba tersebut seperti firman al Haq dalam hadits Qudsi:
Aku adalah pendengarannya yang ia
simak. Aku adalah tangannya yang ia bentangkan, Aku adalah kaki yang ia
jalankan.
Wujud al Haq ada pada diri hamba tersebut, etos ke-Lahut-an (sifat-sifat
ketuhanan) benar-benar mendominasi perilaku hamba itu di setiap aktifitasnya,
inti (dzat)-Nya ibarat budak wanita, bekas-bekas ketuhanan-Nya ibarat majikan,
penampakkan-Nya ibarat kelahiran, sedang Tajarrud (penjauhan diri dari segala
sesuatu) pegiat hakikat kepada selain nama-nama-Nya ibarat, keadaan orang yang
melepas sandal, karena nama-nama-Nya merupakan 'kendaraan' para pegiat hakekat,
adapun Tajjarud pegiat hakekat kepada selain sifat-sifat-Nya ibarat orang yang
telanjang kaki, sementara konsistensi mereka dalam mentafakkuri dan menelisik cahaya-cahaya
azaliyah, ibarat orang yang mempertahankan apa yang ia
kehendaki demikian halnya dengan sang Majdzub, sedangkan menumbuh kembangkan makrifah
Ilahiyah (ketuhanan) ibarat orang yang berlomba-lomba membangun gedung mewah.
Realitas lahir (kasat mata) menunjukkan tanda-tanda kiamat besar yang bersifat
universal, sedang realitas batin, menunjukkan tanda-tanda kiamat kecil bersifat
khusus yang terjadi pada tiap individu anak manusia.
Diantara Tanda-Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Munculnya Ya'juj dan Ma'juj
dimuka bumi ini dan menjadi penguasanya, para pengikutnya memakan segala hasil
bumi, memimun air samudera, kemudian al Haq mengirimkan badar dahsat dalam satu
malam, semuanya tewas, setelah itu bumi menjadi subur penuh dengan tanaman yang
berbuah lebat dan menghasilkan buah yang baik, semua manusia banyak memuji al
Jabbar (Yang Maha Diqdaya). Demikian halnya dengan kiamat kecil yang terlihat
pada diri manusia : Adanya kebangkitan nafsu dengan gejolak bisikan-bisikan
jahat yang merusak, geliat nafsu itu menguasai bumi hatinya, melahap isi buah
nurani kalbunya, mengikis rahasia samudera rahasianya, sehingga diri manusia
itu benar-benar nihil dari pemahaman nilai-nilai ketuhanan dan rahasia
batinnya, serta nilai-nilai ketuhanan sama sekali tidak berbekas dihatinya,
lalu ia memahami kemabukannya dan kembali kepada kebangkitan hati nuraninya,
kemudian datang pertolongan ketuhanan dengan tiupan kasih kepemurahan-Nya, Maka
sesungguhnya pengikut Allah itulah yang pasti Menang. (Q.s. al Maaidah 5 :
56). Sesungguhnya pengikut Allah itulah yang pasti beruntung. (Q.s. al
Mujadalah 58 : 22). Petunjuk al Haq
lantas terpatri dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya tersebut, Dia berkuasa
memilih siapa saja yang Dia kehendaki, pada fase diri seperti itu punahlah
bisikan-bisikan nafsu dan bisikan-bisikan jahat setan dalam diri manusia
tersebut, kemudian hadir malaikat-Nya dengan ilmu-ilmu ketuhanan,
siraman-siraman rohani dan kesempurnaan budi pekerti, realita itulah ibarat
banyaknya tanaman yang berbuah lebat, kemudian hamba itu menggapai maqom
kedekatan dan dapat menikmati Musyahadah al Haq yang merupakan ibarat buah yang
baik dan banyak memuji al Jabbar. Demikianlah secara lahir tanda-tanda itu
merupakan metafor kiamat besar, sedang apa yang kami isyaratkan merupakan tanda-tanda
kiamat kecil, yang khusus menimpa individu-individu anak manusia.
Diantara Tanda-Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Munculnya
binatang-binatang melata dari perut bumi. al Haq berfirman :
Dan apabila perkataan telah jatuh
atas mereka. Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan
mengatakan kepada mereka. Sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada
ayat-ayat Kami. (Q.s. an Naml 27 : 82),
jika perkataan telah jatuh, yakni perintah ketuhanan yang menyuruh alam
kembali kepada-Nya, saat itulah akhir kehidupan dunia dan mulainya lembaran
kehidupan akhirat, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan
mengatakan kepada mereka, yakni mengingatkan kepada mereka akan hakekat apa
yang telah Kami janjikan kepada mereka, yaitu hari kebangkitan, adanya neraka
dan surga, sebab mayoritas manusia tidak yakin dengan kabar-kabar yang telah
Kami wartakan. Karena ketidak percayaan mereka itulah Kami keluarkan binatang
melata dari perut bumi agar mereka mengerti bahwa Kami mampu atas segala
sesuatu, yang dengan kejadian itu mereka bisa dan mau percaya lalu kembali
kepada al Haq dan mempercayai apa yang diwartakan-Nya. Demikian halnya dengan
kiamat kecil yang terjadi pada diri manusia, diantara tanda-tandanya adalah
tampak ruh kedamaian-Nya dihadirat kesucian, lalu terbang menuju bumi kebaikan
yang ada pada kemanusiaan, yang dengan itu tradisi jelek tergerus dan
sifat-sifat rendah dan hina dalam diri manusia menjadi lenyap. Pada fase ini
manusia mampu menggapai Kasyf Kabir (penyibakan agung), ruh Qudus memberinya
kabar secara detil segala dimensi kegaiban, membincangkan kabar-kabar itu
secara jelas dan lugas, sehingga tampak oleh hamba itu semua hakekat rahasia
yang terpendam, menjadikan hamba tersebut naik dari maqom as Shiddiq ke maqom
al Qurb (kedekatan) di singgasana al Haq, berikut beroleh multi kenikmatan
itulah wajah karunia al Haq dan pengutamaan-Nya bagi hamba-Nya, agar benteng
keimanannya tidak dijebol Hijab (tirai penghalang) yang menyebabkan seorang
hamba terjerembab ke dalam kesalahan tak bertepi dan terjauhkan dari kisi-kisi
kebenaran hakiki, yaitu terkikisnya nilai-nilai ketuhanan dalam dirinya, serta
nihil dari capaian spiritual. Ketahuilah hati manusia tidak akan mencapai
kemuliaan hakiki, kecuali bila telah merasakan Kasyf, (pengetahuan intuisi)
sebab setiap makhluk pada prinsipnya tidak akan pernah percaya kepada sesuatu
kecuali setelah adanya penyingkapan Ilahi, sebagaimana para manusia yang sulit
percaya kecuali paska keluarnya binatang melata dari perut bumi, demikian halnya
dengan para arif yang tidak muda percaya realitas hakiki ketuhanan kecuali
paska keluarnya ruh dari bumi tabiat (adat istiadat) dan mensucikannya dari
penghalang dan pengkompas. Pahami betul masalah ini.
Diantara Tanda-Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Munculnya Dajjal, ia
memiliki surga disebelah kirinya dan neraka disebelah kanannya, tertulis
diantara matanya Kafir dan Allah, ia melaparkan para manusia dan menghauskan
mereka, semua manusia tidak mampu mendapatkan makanan dan minuman kecuali pada
Dajjal itu. Setiap orang yang percaya dan tunduk kepadanya akan diberinya makan
dan minum, barang siapa yang makan dan minum dari pemberian Dajjal tersebut, ia
tiada akan pernah beroleh keberuntungan untuk selama-lamanya, orang mukmin yang
memasuki surga (dunia) Dajjal, surganya (diahirat) akan dibalik al Haq menjadi
neraka, Dajjal akan memasukkan orang yang tidak mempercayai dan tunduk
kepadanya ke dalam neraka (dunia)nya. Barang siapa yang dimasukkan neraka
Dajjal, al Haq akan membalik neraka (akhirat)nya dengan surga. Mayoritas
manusia (saat munculnya Dajjal) memakan rerumputan dan dedaunan, hingga al Haq
mengangkat marabahaya tersebut. Sementara itu Dajjal terus berekspansi ke
penjuru belahan bumi kecuali Makkah dan Madinah yang terdapat taman yang hijau,
kedua kota itu tidak bisa dimasukinya, kemudian ia pergi ke arah Baitul Maqdis
(Palestina) dan terhenti sampai Ramallah, al Haq lantas menurunkan nabi Isa as,
di salah satu kubah di distrik tersebut, Isa as membawah kapak, tatkala Isa as
melihat Dajjal ia mengejarnya dan membunuhnya. Demikian halnya dengan metafor
kiamat kecil pada diri manusia, munculnya Dajjal sejatinya adalah munculnya
geliat nafsu Dajjal dalam diri manusia yang tampak pada perilaku-perilaku busuk
dalam sikap lahiriyahnya, wajah nyata nafsu Dajjal itu disebut asy Syaithaan al
Insu (setan wujud manusia), sentra para setan dan bisikan-bisikan jahat dan
tipu daya serta kemurtadan, wujud kongkrit nafsu Dajjal lainnya adalah nafsu al
'Amarah bi al Suu' (nafsu yang menyeru kejahatan), karenanya dalam dunia tasauf
para pegiat sufi mengindentikkan nafsu sebagai Dajjal, sedang perilaku syahwat
diibaratkan dengan surga yang terletak disebelah kiri Dajjal, karena surga kiri
itu merupakan taman-taman ahl Syaqawat (para sengsara), untuk mengetas diri
dari surga kiri tersebut jalan yang bisa dilakukan adalah dengan meninggalkan
tabiat-tabiat buruk, memutus tali-tali yang menjerat ke jalan al Haq. Sedangkan
pasung-pasung tradisi dan belenggu-belenggu ibadah itu ibarat neraka, yang
berada disebelah kanan Dajjal, yang merupakan taman-taman ahl Sa'adah (para
bahagia).
Adapun geliat-geliat nafsu, tebalnya tirai pembatas (hijab), tindak
kedzaliman, ibarat tulisan yang ada dahi Dajjal, itulah sejatinya kekufuran
kepada al Haq yang termetaforkan dengan padamnya api cahaya al Haq pada diri
seorang hamba, sehingga ia terjauhkan dari kisi-kisi kebenaran hakiki.
Sedangkan kelaparan dan kehausan di era Dajjal ibarat, hakiki adalah penafian
manusia akan warta-warta ketuhanan, yang menyebabkan mereka dikuasai dan
ditundukkan kenikmatan-kenikmatan tunai dunia. Dalam kelam kehidupan seperti
itu cahaya Ilahiyah tidak akan perna menyinari jiwa mereka, itulah sebabnya
mereka dimetaforkan dengan orang-orang yang tidak memperoleh makanan dan
minuman, demikian halnya dengan para pegiat sufi, makanan dan minuman itu
dimata mereka ibarat sinar ketuhanan, jika jiwa mereka tidak beroleh sinar
ketuhanan hal tersebut sama dengan perut mereka tidak memperoleh makanan dan
minuman. Sungguh merupakan realita kehidupan yang super sulit pada waktu itu,
sampai-sampai rasul Muhammad saw bersabda : Akan datang kepada segenap
manusia suatu zaman, dimana orang yang berpegang teguh kepada nilai-nilai
agamanya, bagaikan orang yang memegang bara api. Dalam staqnasi kehidupan
seperti itu, mereka-mereka yang eksis degan ritus Mujahadah, Riyadlah,
memerangi hawa nafsunya, tidak kembali kepada tabiat liar syahwat, taqlid
(pengikutan) buta, mereka itulah sejatinya penggenggam bara api dalam hidupnya.
Sedangkan orang yang menuhankan nafsu syahwat dan tabiat diri serta merasa
nyaman dengan tindak kemaksiatan dan kekufuran, dalam lanskap pandangan pegiat
tasauf adalah pengikut hakiki Dajjal, wajah riel perilakunya adalah
menghalalkan segala cara untuk menggapai kepentingan pragmatisme duniawi.
Sedangkan orang yang merasa nyaman dengan segala al Mubahaat (hal-hal yang
diperkenankan) dimata para ahli hakekat, ibarat khamer (tuak) haram yang
dituangkan Dajjal ke rongga pengikutnya, yang dengan itu sipeminum akan
terdegradasi kedalam perilaku kelalaian, kepongahan, angan utopis serta
tindakan-tindakan bodoh lainnya, semakin banyak mereka menenggak arak, semakin
dalam pula hayal utopianya dan semakin kuat pula watak-watak Dajjal membekas
dalam dirinya. Mereka yang putus asa dan lemah keyakinan menghadapi ujian hidup
seperti itu, dalam pandangan para ahli makrifat, mereka itulah sejatinya
manusia-manusia yang tiada akan pernah beroleh al Falah (keberuntungan).
Adapun manusia-manusia yang terperdaya dengan kemegahan hidup, meyakini
menemukan kenikmatan hakiki dalam gelimang kemewahan, mereka itulah sejatinya
manusia-manusia yang terperangkap imajinasi utopis, kenikmatan seperti itu
adalah semu dan menipu, mereka itulah ibarat orang-orang yang memasuki surga
Dajjal, al Haq akan membalik surga (akhirat) mereka dengan neraka di akhirat
kelak. Sungguh sangat merugi tempuhan jalan yang warta-warta ketuhanan, yang menyebabkan mereka
dikuasai dan ditundukkan kenikmatan-kenikmatan tunai dunia. Dalam kelam
kehidupan seperti itu cahaya Ilahiyah tidak akan perna menyinari jiwa mereka,
itulah sebabnya mereka dimetaforkan dengan orang-orang yang tidak memperoleh
makanan dan minuman, demikian halnya dengan para pegiat sufi, makanan dan
minuman itu dimata mereka ibarat sinar ketuhanan, jika jiwa mereka tidak
beroleh sinar ketuhanan hal tersebut sama dengan perut mereka tidak memperoleh
makanan dan minuman. Sungguh merupakan realita kehidupan yang super sulit pada
waktu itu, sampai-sampai rasul Muhammad saw bersabda :
Akan datang kepada segenap manusia
suatu zaman, dimana orang yang berpegang teguh kepada nilai-nilai agamanya,
bagaikan orang yang memegang bara api.
Dalam staqnasi kehidupan seperti itu, mereka-mereka yang eksis degan ritus
Mujahadah, Riyadlah, memerangi hawa nafsunya, tidak kembali kepada tabiat liar
syahwat, taqlid (pengikutan) buta, mereka itulah sejatinya penggenggam bara api
dalam hidupnya. Sedangkan orang yang menuhankan nafsu syahwat dan tabiat diri
serta merasa nyaman dengan tindak kemaksiatan dan kekufuran, dalam lanskap
pandangan pegiat tasauf adalah pengikut hakiki Dajjal, wajah riel perilakunya
adalah menghalalkan segala cara untuk menggapai kepentingan pragmatisme
duniawi. Sedangkan orang yang merasa nyaman dengan segala al Mubahaat (hal-hal
yang diperkenankan) dimata para ahli hakekat, ibarat khamer (tuak) haram yang
dituangkan Dajjal ke rongga pengikutnya, yang dengan itu sipeminum akan
terdegradasi kedalam perilaku kelalaian, kepongahan, angan utopis serta
tindakan-tindakan bodoh lainnya, semakin banyak mereka menenggak arak, semakin
dalam pula hayal utopianya dan semakin kuat pula watak-watak Dajjal membekas
dalam dirinya. Mereka yang putus asa dan lemah keyakinan menghadapi ujian hidup
seperti itu, dalam pandangan para ahli makrifat, mereka itulah sejatinya
manusia-manusia yang tiada akan pernah beroleh al Falah (keberuntungan).
Adapun manusia-manusia yang terperdaya dengan kemegahan hidup, meyakini
menemukan kenikmatan hakiki dalam gelimang kemewahan, mereka itulah sejatinya
manusia-manusia yang terperangkap imajinasi utopis, kenikmatan seperti itu
adalah semu dan menipu, mereka itulah ibarat orang-orang yang memasuki surga
Dajjal, al Haq akan membalik surga (akhirat) mereka dengan neraka di akhirat
kelak. Sungguh sangat merugi tempuhan jalan yang Wushul (sampai), padahal mereka sejatinya
belum sampai. Saat itulah al Haq menurunkan ruh Isa as dengan pembawa kapak
kematian, Isa as sejatinya adalah Ruhullah (ruh Allah) sebagaimana firman-Nya,
jika datang kebenaran akan sirnalah kebatilan, ruh Isa as itu lantas
menyingkirkan tembok-tembok Hijab yang dalam lanskap lahiriyah dibaratkan
dengan kapak kematian yang menumpas segala bentuk watak kedzaliman dan
Dajjalisme, sedang dalam lanskap batiniyah, menyingkirkan hijab-hijab diri para
saalik sehingga mereka bisa Wushul dalam arti yang sesungguhnya. Demikianlah
tanda-tanda kiamat besar dan kecil yang pada prinsipnya adalah sama, tanda
kiamat makro kosmos itu dapat dilihat dengan jelas pada mikro kosmos. Dan tanda
kiamat besar itu bisa kita lihat dalam diri manusia!
Tanda-Tanda Kiamat Besar lain adalah : Munculnya Imam Mahdi as, usianya
berkisar empat puluh tahunan, hari-hari yang dilaluinya penuh panorama
kehijau-hijauan, malam-malamnya penuh dengan cahaya putih yang indah, buminya
penuh dengan tanaman yang subur berbuah lebat, para manusia saat itu hidup aman
sejahtera, damai dan sentosa, mereka sangat giat beribadah kepada ar Rahmaan.
Demikian pula dengan kiamat kecil, tanda-tandanya dapat dilihat dalam kehidupan
manusia, yakni pada kurun waktu keluarnya sang Mahdi, yaitu manusia yang telah
menggapai maqom Muhammad, juru selamat, ratu adil, manusia sempurna.
Imam Mahdi itu tumpuk kekuasaannya berlangsung selama empat puluh tahun, kala
itu segenap manusia di muka bumi ini hidup dalam kemakmuran, damai sejahterah,
tidak ada satupun penduduk bumi ini yang hidup miskin dan sengsara, kami telah
paparkan masalah ini dalam kitab al Kahfi wa al Raqiiq al Mahtum fi Syarhi
Bismillahirrahmanirrahim, jika anda ingin kejelasan lebih rinci silakan
baca karya tersebut. Adapun maksud malamnya penuh dengan putih yang indah,
hari-harinya penuh dengan panorama kehijau-hijauan, dalam lanskap dunia tasauf
ibarat Sakr (ekstase mistis) dan Shahwah al Tsaniyah (kebangkitan kedua),
sedangkan lebatnya buah dan sepinya bencana, ibarat limpahan karunia dan
banjirnya karomah (adikodrati) yang terjadi pada diri para pegiat hakikat,
damai sejahtera ibarat masuknya para ahli makrifah ke maqom Tajarrud (lepasnya
sifat Nasut) dan masuknya ke sifat Lahut, yang diparadokkan dengan maqom
Ibrahim sebagaimana firmanNya,
Barang siapa memasukinya menjadi
amanlah dia. (Q.s. al Imraan 3 : 97)
yakni aman dari adzab (siksa) yang keras dan pedih.
Dalam lanskap kaum awam aman dimetaforkan dengan keselamatan dari jilatan
api neraka, sedang dalam lanskap hakekat aman dimetaforkan dengan keselamatan
dan makar (tipuan) ar Rahman, itulah maqom yang telah digapai syeikh Abd Oodir
al Jilani, hal mana : al Haq telah berjanji kepadanya dengan tujuh puluh
perjanjian, salah satunya al Haq tidak akan menipu dirinya, ketika orang
seorang telah terselamatkan dari tipuan ar Rahman yang ia lakukan hanyalah
Ibadah kepada ar Rahman dan memuji Diraja segala kekuasaan. Pahami dengan jeli
metafor-metafor yang ada!
Tanda Kiamat Besar lainnya adalah : Terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya. Pintu taubat ditutup rapat-rapat, tidak akan berguna keimanan
sedikitpun, jalur-jalur Wishal (ketersambungan) telah tertutup, kala itu
permohonan maaf ditolak dan tobat tidak dikabulkan. Demikian pula dengan kiamat
kecil, yang tandanya bisa dilihat pada diri manusia, terbitnya matahari dari
arah barat, merupakan isyarat yang mengibaratkan Kasyf (intusisi) batin, yaitu
capaian sejati akan rahasia-rahasia yang al Maktum (terpendam), pada capaian
itu dapat di ketahui hakekat ke-Dia-an dan ke-Aku-an al Haq dengan segala
rahasia sifat-sifat-Nya, berikut sang arif dapat menikmati surga A'raaf Nya,
saat itu rumus-rumus terpecahkan, tampaklah Kunuz (pundi-pundi) hakekat, pada
waktu itu keimanan tidak lagi berguna, karena iman telah gaib (sirna) sejalan
dengan terbukanya hijab, tobat tidak diterima dan permohonan ampunan ditolak,
karena dosa dan pengampunan keduanya berada di dua maqom yang berbeda, sedang
al Ahad ( Yang Esa) berada dalam ke-Tunggal-an Nya tertransendisikan dan pelik
dosa dan pengampunan. Terkait dengan ini Imam Muhyiddin Ibnu Arabi,
mengibaratkan terbitnya matahari dari arah barat dengan kembali ruh ke markas pertamanya,
yang dia metaforkan dengan kematian manusia dan berpindahnya urusan dunia ke
akhirat berlandaskan hukum kematian, sedang ditutupnya pintu taubat dan
ditolaknya pintu permohonan ampunan, ibarat bentuk keragu-raguan dalam diri
manusia, masing-masing pintu (tobat dan ampunan) berdurasi (jarak) sembilan
puluh tahun, Ibnu Arabi menisbatkan durasi waktu itu dengan umur manusia, dalam
pandangan saya (al Jailiy) apa yang dimetaforkan Ibnu Arabi tersebut, bisa
diterima, sedang kebenarannya adalah hanya al Haq Yang maha Mengetahui,
sebaiknya kita tidak perlu memperpanjang penafsiran ungkapan tersebut, lebih
baik kita pakai energi pikir dan hati kita untuk mentafakkuri metafor, paradok,
isyarat yang terdapat pada tanda-tanda kiamat, baik besar maupun kecil yang
terdapat pada makro kosmos dan mikro kosmos, agar kita dapat memakrifahi
hakekat kiamat. Dan Allah mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4). Pasal. Kita akan
mengkaji sisi-sisi Dzikr al Maut (Ingat Kematian), meski sebagian telah kita
bahas dalam bab kelima puluh empat dalam karya ini. Ketahuilah bahwasanya
kematian itu ibarat, padamnya api tabiat yang merupakan elan vital (unsur
dasar) kehidupan di alam dunia ini, sedang kehidupan itu sendiri ibarat,
penglihatan ruh terhadap dirinya dalam struktur (citra) setiap bentuk, adapun
pengendali penglihatan pada struktur masing-masing bentuk adalah panas tabiat,
yang sedemikian itu selama termperaturnya berjalan normal. Yang saya maksud
dengan normal disini adalah temperaturnya berada ditingkat (degri) keempat,
karena kembalinya temperatur ke degri pertama akan berbentuk unsur dasar
kekuatan panas (asal temperatur), pada degri ini tidak ada pemuaian, karena
tidak adanya unsur yang berujung pada kepadaman api, sedang temperatur pada
degri kedua, adalah panas api yang bisa memuai, jika pemuaiannya dengan unsur
lain (selain api), maka api tersebut tidak akan berwujud, karena masing-masing
dan Api. Air. Udara. Tanah merupakan anasir yang saling terkait, tanah terdiri
atas empat unsur dasar, yaitu : Panas, Dingin, Kering, dan Lembab. Jika unsur
panas mendominasi tiga unsur lainnya, maka tabiatnya disebut api, jika unsur
dingin mendominasi unsur-unsur lam, maka tabiatnya disebut air, jika unsur
kering yang mendominasi, maka tabiatnya disebut udara, jika unsur lembab
mendominasi yang lain, maka tabiatnya disebut tanah. Pada degri ini penamaan
api, air, udara, tanah belum bisa disebut, kecuali jika telah turun ke degri
ketiga, yakni terjadinya persenyawaan diantara unsur-unsur yang ada. Jika unsur
panas dan kering bersenyawa secara seimbang dalam degri ketiga dan persenyewaan
dua unsur itu mendominasi sesuatu pada degri lain, maka sesuatu itu disebut
api, demikian pula jika unsur dingin dan lembab persenyawaannya seimbang dalam
degri ketiga tersebut, maka sesuatu yang didommasi disebut tanah, segala
sesuatu yang unsur panas dan keringnya mendominasi sesuatu itu, maka sesuatu
itu disebut udara, demikian pula segala sesuatu yang unsur dingin dan lembabnya
mendominasi sesuatu, maka sesuatu itu disebut air. Lihatlah falak Anasir
(unsur-unsur) yang eksistensinya berada diatas falak tabiat, falak tabiat
diatas falak pembentukan, yang terdiri atas falak, api, udara, air dan tanah, kemudian temperatur
tabiat itu turun ke degri keempat dan berada pada titik kesamaan persenyawaan.
Unsur senyawa seimbang itu terdapat pada struktur setiap benda, jika terdapat
pada tubuh hewan, maka bentuk itu disebut hayawan, hal itu terus berlanjut
selama temperatur tabiatnya berada pada degri ini, seperti halnya yang terdapat
pada degri kedua yang disebut temperatur tabiat, pada degri pertama disebut
temperatur unsur, demikian pula pada unsur-unsur lam, satu sama memiliki
temperatur tersendiri. Kematian sejatinya adalah hilangnya temperatur tabiat pada
struktur hayawan (makhluk bernyawa), pun terkikisnya lawan temperatur tabiat
yaitu dinginnya tabiat, demikian itulah sesuatu yang berkaitan dengan nasib
jisim (tubuh).
Adapun yang berkaitan dengan nasib ruh, kehidupan strukturnya tergantung
durasi penglihatannya kepada stuktur inti penyatuan, sedang kematiannya adalah
tercerabutnya penglihatan tersebut dari inti struktur dan kembalinya kepada ruh
Kulli (universal), berkumpulnya ruh di alam arwah tersebut, berbentuk
menyerupai jasad yang mengkandungnya, karena hukum kehidupan yang berlaku di
alam tersebut adalah sama dengan hukum kehidupan dalam kandungan jasad. Dengan
demikian banyak ahli Kasyf cahaya yang salah berprediksi bahwasanya jisim
(tubuh) tidak berkumpul dengan ruh di alam arwah, kami juga mendapatkan
kepastian dari penampakkan ketuhanan bahwasanya ruh dan jasad berkumpul di alam
arwah itu. Karena kematian sejatinya adalah tercerabutnya ruh dari struktur
jasad, lebih dari itu, realita tersebut merupakan jeda ketercerabutan yang
berlangsung hanya beberapa saat saja! Kenyataan itu seperti orang tidur yang
tidak melihat sesuatu dalam tidurnya, ia seperti orang yang tidak ada (saat
tidur tersebut) karena ia tidak berada di alam realitas dan terjaga, bukan pula
di alam gaib yang membuatnya menyadari eksistensi dirinya, saat tidur itu ia
ada tapi tidak ada.
Untuk lebih detilnya, anda umpamakan ruh itu sebagai matahari, jika sinar
matahari itu menyinari kaca sebuah rumah muka rumah itu menjadi terang, sinar
matahari itu ibarat penglihatan ruh di jisim, utamanya jisim hayawan (manusia
dan lainnya), sedangkan matahari itu sendiri tidak turun atau bertempat
(tinggal) di rumah tersebut, jika kaca itu berwarna hijau, maka sinar yang
masuk ke dalam rumah akan bermarna hijau, atau berwarna merah jika kaca rumah
itu berwarna merah, pun warna-warna lainnya, cahaya matahari akan masuk rumah
sesuai warna kaca yang dipakai di rumah tersebut, demikian pula dengan ruh, jika
melihat ke struktur tubuh manusia atau ke struktur hewani lainnya, ia tetap
pada Citranya dan tidak berubah dan bentuk aslinya, kemudian redupnya
sinar matahari dari rumah ibarat terangkatnya penglihatan ruh dari jasad,
kematian ibarat tertutupnya sinar matahari dari penglihatan kasat mata
di alam ini, maka kematian yang terjadi pada seseorang sama realitanya dengan
terbenamnya sinar matahari dari pandangan kasat mata dalam kehidupan dunia ini.
Kemudian Barzah itu, wujud sejatinya tidak utuh dan tidak indepedent, ia
bersifat temporal dan kondisional, jika Barzah adalah alam permanen, niscaya ia
merupakan Daar (kampung) hunian yang ditempati secara permanen seperti alam
(Daar) dunia dan akhirat. Barzah dalam semantis permisalan kita, bagaikan sinar
matahari yang menyinari rumah, hijauh birunya rumah itu bergantung warna kaca
yang mewadahi sinar dalam rumah tersebut, hanya saja hal tersebut terjadi di
alam imajinasi bagi mereka yang mencernanya secara logika, sedang mereka yang
melihatnya secara Kasyf (intuisi), hakekatnya memang ada dan sebuah realita
yang tak terbantahkan adanya. Imajinasi dalam lanskap ahli dunia tidak bersifat
permanen serta tidak utuh, karena berdasarkan realita kasat mata yang utopis
dan parsial, berbeda dengan imjinasi Ahlullah (manusia yang telah
makrifatullah) imajinasi mereka utuh dan permanen, imajanisi dunia ahli
makrifat itu sama 'nilai'nya dengan imajinasi akhirat ahli dunia (orang kebanyakan),
imajinasi orang yang hendak mensucikan diri dari kekafiran, kesyirikan adalah
dengan Mujahadah, Riyadlah dan pelatihan jiwa lainnya, realita tersebut sama
persis dengan keadaan orang yang sedang tidur di alam dunia ini, selama tidak
dirusak dengan hal-hal yang mengotori jiwa dan kalbu. Karenanya meski hayal
para filosof dan ahli kebatinan dari pemeluk agama lam, telah sampai pada titik
kejernihan, namun dominasi logika dan hukum alam (tabiat) tetap mengusai
imajinasi mereka, yang menyebabkan tidak adanya ketersambungan imajinasi mereka
dengan makna-makna ketuhanan. Berbeda dengan imajinasi Ahlullah (ahli
makrifat), hayal mereka tidak berbasis logika dan hukum alam, imajinasi mereka
terpelihara dan pelik duniawi, dijaga al Haq di dalam kegaiban azali, karena
tidak adanya wujud utuh itulah Barzah disebut alam Barzah. Demikian pula
imajinasi ahli dunia, ia merupakan Barzah antara alam wujud dengan alam 'adam
(ketiadaan). Nisbat (perumpamaan) kiamat dengan kembalinya energi matahari yang
melahirkan sinar ke energi asalnya dengan kematian yang sejatinya adalah
kembalinya penglihatan ruh pada jisim (tubuh) adalah merupakan Bayan (aksioma)
yang sangat gamblang, kemudian ruh-ruh itu tetap eksis dengan sifat-sifat jasad
di alam Barzah, hingga al Haq membangkitkannya di alam Mahsyar, kebangkitan ruh
itu sama persisnya dengan terjaganya orang tidur di alam dunia, dimana ia
dapati ruhnya tetap berada dalam kandungan jasadnya, demikian pula dengan
mereka yang dibangkitkan di alam Barzah untuk menuju alam Mahsyar adalah sama,
yakni bangkit dengan ruh dan jasad mereka! Ketahuilah saat dibangkitkan
tersebut, protipe ruh mencerminkan perilaku jasadnya di dunia, jika hidup dan
kehidupan si empunya jasad di dunia baik, maka ia terbangkitkan dalam nuansa
kebaikan, jika perilaku si empunya jasad di dunia jelek, ia tertampakkan dengan
wajah kejelekan, karena perilaku dan wajah ruh di alam Barzah dan alam Mahsyar
itu merupakan cerminan daripada perilaku manusianya di alam dunia, inilah
sejatinya makna firman Qur'ani :
Bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusakannya. (Q.s. an Najm 53 : 39)
Ketahuilah, bahwa keberadaan ruh-ruh yang proses penciptaannya dari multi
cahaya al Haq tersebut, ibarat pancaran sinar matahari yang multi warna sejalan
dengan benda-benda yang tersinarinya, klaim ahli hakekat yang mengatakan
ketunggalan alam, ibarat matahari yang tunggal, sinarnya tetap satu, ia menjadi
multi warna karena warna benda yang disinarinya yang dengan itu wajah
pandangnyapun berbeda-beda pula namun demikian sinarnya tetaplah tunggal.
Pahami betul masalah ini dan tela'ah kembali proses pencambutan nyawa yang
dilakukan Malaikat Izaril, seperti yang telah kami paparkan pada bab terdahulu.
Ketahuilah bahwasanya kondisi para manusia di alam Barzah beraneka ragam,
diantara mereka ada yang diperlakukan al Haq dengan hikmah, ada yang
disikapi-Nya dengan Qudrah. Perlakuan secara hikmah itu berdasarkan hakekat
amal (perbuatan) manusia tersebut di alam dunia, semisal jika manusia itu di
dunia orang yang ta'at kepada al Haq, maka di alam Barzah al Haq mencitrakan
orang tersebut dalam nuansa keta'atan, adapun citra keta'atannya bisa
berbentuk, shalat, puasa atau shadaqah, atau citra-citra keta'atan lainnya,
demikianlah orang tersebut senantiasa dalam citra kebaikan, dari satu amal ke
amal yang lam hingga kiamat tiba, tingkatan citra kebaikan itu sendiri
bergantung dari nilai kebaikan yang dilakukan orang tersebut ketika hidup di
dunianya. Demikian pula sebaliknya, jika orang itu di dunia berperilaku buruk,
maka al Haq akan mencitrakan orang itu dengan keburukan, semisal ketika di
dunia ia seorang pencuri, penzina, peminum khomer, maka al Haq mencitrakan farj
(alat kelamin)nya dengan api yang sengatan panasnya sangat keras, baunya sangat
busuk, sejalan dengan etentitas perilaku zinanya di dunia, demikian pula dengan
pemabuk Dia akan mencitrakan dengan piala dari api tertuang di dalamnya api
yang diminumkan ke orang tersebut, seperti ia bermabuk-mabukan di dunia,
pencitraan keta'atan di alam tersebut terlanskapkan dengan cahaya, sedang
kemaksiatan dicitrakan dengan api. Kemaksiatan dalam kehidupan dunia
diibaratkan dengan api, sedang keta'atan dimetaforkan dengan cahaya, antara api
dan cahaya silih berganti dalam diri manusia, keberadaannya saling berbalik
dalam diri manusia, selama manusia itu belum menemukan nilai-nilai hakiki
ketuhanan dan belum menggapai maqom makrifatullah, demikian pula dengan api dan
cahaya itu dalam kehidupan alam Barzah, terus merambat dalam kehidupan
penghuninya hingga datangnya Qiyamah.
Adapun penyikapan al Haq adalah dengan Qudrah, Dia tidak memperlakukan
hamba-Nya dengan makna-makna perbuatan-Nya, namun dengan pencitraan Qudrah-Nya.
Jika orang itu ahli maksiat, Dia mengampuninya, namun tidak menjadikan orang
itu beralih ke citra kebaikan, orang itu tetap pada citra kemaksiatannya hingga
hari kebangkitan, jika ia seorang ahli keta'atan, al Haq bisa saja menggugurkan
kebaikannya, namun demikian tidak menjadikan citra orang itu beralih ke citra
kemaksiatan hingga datangnya hari kiamat. Kebaikan dan keburukan akan
didapatkan raportnya paska hari penghitungan yang raportnya baik akan beroleh
surga-Nya, sesuai kadar kebaikan yang diperbuatnya pun sebaliknya akan beroleh
neraka-Nya sesuai dengan kadar kejahatan yang dikerjakan orang tersebut dalam
kehidupan dunia. Ketahuilah di alam Barzah itu, al Haq menciptakan makhluk yang
khusus diciptakan untuk menghuni dan memakmurkan Barzah, mereka bukan dari
makhluk ahli dunia dan bukan pula makhluk ahli kiamat, akan tetapi mereka
berasal dari duplikat ahli akhirat, karena kesamaan asal penciptaan mereka.
Barang siapa paska kematian bergaul dengan mereka, mereka merespon dengan sikap
yang sangat baik, seperti halnya orang yang datang ke suatu komunitas (dalam
kehidupan dunia) dan jika ia mampu berinteraksi dengan baik dengan mereka,
tentu komunitas itu akan bersikap baik dan simpati kepada orang tersebut,
barang siapa yang tidak mau bergaul terlebih bersikap buruk kepada makhluk-makhluk
Barzah itu, mereka akan bersikap buruk dan tidak simpati kepada orang tersebut,
bahkan mereka bersikap kasar kepada orang yang tidak mau bergaul tersebut.
Makhluk-makhluk itulah yang dijadikan al Haq citra perbuatan manusia dalam
kehidupan dunianya, jika orang itu pelaku kemaksiatan, makhluk itu akan
berwujud citra buruk sebagai paradoks keburukan yang diperbuatnya di dunia,
tentunya orang yang didatanginya sangat benci dan jijik, padahal yang datang
itu adalah bentuk 'laku' keburukan yang dikerjakannya di dunia. Jika orang itu
pelaku kebaikan, maka makhluk itu akan berwujud citra baik sebagai metafor
kebaikan yang diperbuatnya di dunia, kedatangannya disambut penuh suka cita,
padahal yang datang itu adalah bentuk 'laku' kebaikan yang diperbuatnya di
dunia, yang sedemikian itu terus berlangsung hingga kiamat tiba. Itulah sejatinya siksa dan pahala yang ada di
alam Barzah, Pahami betul metafor ini agar anda bisa memahami hakekat alam
Barzah.
Ketahuilah, bahwasanya Qiyamah, Barzah dan Kampung Dunia sejatinya
keberadaannya adalah satu. Metafornya seperti papan yang satu sisinya Dunia
sisi lainnya Akhirat, sedang Barzah berada diantara kedua sisi tersebut,
kediaan anda yang anda saat ini berada, ia juga merupakan inti ke-dia-an anda
di alam Barzah, dan ke-dia-an anda di alam barzah itu juga merupakan inti
ke-dia-an anda di alam Qiyamat, eksistensi ke-aku-an anda di alam dunia, barzah
dan akhirat adalah sama dengan ke-aku-an anda saat ini.' Kisi perbedaannya,
Barzah bersifat dharunyah (darurat) karena dibangun diatas permasalahan dunia,
demikian pula Qiyamat juga bersifat dharuri, karena dibangun diatas
permasalahan Barzah, sedang permasalahan dunia bersifat Ikhtiyariyah'(multi
choice) dan kebebasan memilih.
Ketahuilah, bahwasanya ketika al Haq menghendaki kiamat, Dia memerintahkan
kepada Israfil as untuk meniupkan 'Tiupan Kedua' ke segenap Maujudaat (segala
yang berwujud), karena tiupan pertamanya untuk kematian, sedang pencitraannya
berupa alam citra ruh, di alam ini Israfil meniupkan 'Tiupan Pertama'-nya,
karenanya ia digelari Malaikat Pencabut nyawa atau malaikat kematian, maka terbanglah
citra ruh dari struktur tubuhnya seperti halnya ketiadaannya dalam manusia yang
sedang tidur, manusia yang tidur baru menemukan kesadaran dirinya ketika
terjaga dari tidurnya. Kemudian Israfil meniupkan 'Tiupan Kedua' ke segala
bentuk yang berwujud yang dengan itu segala yang berbentuk (wujud) kembali ke
asal penciptaannya, laksana kembalinya sinar matahari yang menyinari suatu
benda ketika terbenam. Karenanya alam akhirat disebut alam ruh dan semua alam
ruh ibarat tempat bertolaknya ruh yang ada dalam diri manusia oleh sebab itu
manusia disebut hidup jika masih ber-ruh manusia yang tidak ber-ruh tidak bisa
disebut manusia hidup, meski jasadnya tetap hidup. Pahami betul masalah ini dan
tafakkuri pula bahwa alam akhirat itu ibarat alam ruh-ruh dan berkumpulnya ruh
di alam ini merupakan sebuah keniscayaan, masing-masing ruh merupakan cerminan
ruh yang lainnya berdasarkan hukum ketunggalan, bukan berdasar hukum tasybih
(antropomorfisme) ataupun penyerupaan, sebab semua ruh itu merupakan Jauhar al
Fard (entitas tunggal) yang dalam lanskap hakiki tidak terbagi-bagi, adapun
jika anda melihatnya sebagai sesuatu yang terbagi dan berbilang, maka hal itu
merupakan imajinasi anda sendiri, karena sejatinya ruh itu adalah Ahadiyah al
Jam'ah (kesatuan dari yang banyak), itulah sejatinya firman al Haq :
Dan tiap-tiap mereka akan datang
kepada Allah pada hari qiamat dengan sendiri-sendiri. (Q.s. Maryaam 19 : 95).
Jika anda bisa memakrifahi masalah ini, anda akan bisa memahami rahasia
ke-Tunggal-an al Haq dalam wujud dan anda bisa menyaksikan secara hakiki apa
yang dijanjikan al Haq, akan surga dan neraka-Nya serta ihwal akhirat secara
Kasyf (intuisi) hakiki. Iman anda akan seperti iman Zaid ibnu Haritsah, yang
tatkala rasul saw menanyanya ia berkata :
Aku menjadi mukmin hakiki, rasul
bertanya apa sejatinya hakekat imanmu? Zaid menjawab : Aku melihat seakan-akan
kiamat telah ditegakkan dan Arsy Tuhanku telah tampak.
Seperti yang termaktub dalam hadist rasul saw.
Adapun sejatinya kiamat kecil, adalah khusus bagi individu manusia, yang
sedemikian itu ketika keseimbangan akal pertamanya terjatuhkan dari kuba
(menara) keadilan paripurna dan nilai-nilai hakiki ke-Esa-an Nya terlindas
dalam diri manusia, sehingga tabiat jahannam benar-benar mendominasi diri dan
perilaku manusia tersebut, itulah sejatinya yang menjadi inti hijab antara
seorang hamba dengan al Haq, namun demikian hijab (tirai penghalang) itu
sangatlah tipis, ia laksana pedang yang memutus tali kedekatan dengan al Haq,
akan tetapi jika hijab itu dapat disingkirkan, ia bisa melesat laksana larinya
Buraq yang terbang menuju alam makrifah, ia juga kokoh dan berat seperti gunung
karena keterkaitannya dengan bumi dibawahnya. Jika hijab itu tersingkap, Shirat
al Mustaqim (Jalan Benar) menuju kenikmatan surga dzat-Nya sangatlah lurus, taman-taman
sifat-Nya terwadahi dalam ke-Tunggal-an Nya, ke-aku-an orang yang Wushul
(sambung) itu menyatu dengan ke-Dia-an Dia, dalam ekstase spiritual seperti itu
ke-aku-an seorang hamba lebur (sirna) dalam ke-Dia-an Dia, dan ke-Dia-an Dia
lebur dalam ke-aku-an hamba-Nya. Pada maqom (Jalan Benar ) ini hamba itu
mendengar suara yang menyeru :
Kepunyaan siapakah kerajaan hari mz?(Q.s. al Mu'min 40 : 16),
ketika ia tidak mendapati dalam dirinya selain Dia, ia berkata :
Hanya kepunyaan Allah Yang Maha Esa
lagi Maha Mengalahkan. (Q.s al Mu'min 40 : 16)
setelah itu hamba tersebut tidak lagi Ghaflah (lalai) dan tidak pula Hudzur
(hadir), ia tidak lagi berharap kematian dan kebangkitan, itulah sejatinya Qiyamah
yang telah ditegakkan pada diri orang tersebut, karena tampilan lahiriyahnya
telah mengalami 'adam (ketiadaan), kiaskan kiamat kecil ini dengan kiamat
besar, makrifahi pula esensi al Hisab (perhitungan) dan al Mizaan (neraca),
yang telah kita bahas dalam kajian surga dan neraka, telisiklah dengan jeli
matafor (isyarat) yang telah kami paparkan dalam kajian tersebut, agar anda
tidak terjebak dengan pemaknaan simbolistik.
Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menciptakan kampung akhirat dengan segala
apa yang ada didalamnya, merupakan duplikat kampung dunia dan menciptakan dunia
sebagai duplikat al Haq, maka dunia ini adalah asal sedang akhirat adalah
cabang, dalam sebuah hadist rasul saw bersabda :
Dunia adalah ladang akhirat,
al Haq berfirman :
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya
pula. (Q.s.
az Zalzalah 99 : 7 - 9)'
dengan demikian perbuatan di dunia ini merupakan asal, sedang cabangnya
adalah apa yang akan diterima dari perbuatan tersebut di akhirat, maka jelas
sekali bahwa akhirat bukan asal, seperti klaim para ulama selama ini, qiamat
merupakan muqodimahnya, sedang hasil perbuatan merupakan cabangnya, karenanya
dunia penciptaan-nya lebih dahulu dibanding penciptaan akhirat dan dinamakan
awal karena ia merupakan asal, sedang akhirat disebut akhir karena diciptakan
pada ahiran dan merupakan cabang, jikalau akhirat bukan cabang daripada dunia,
semantis logikanya ia asal dunia, hal tersebut sangatlah mustahil, karena
mundahulukan sesuatu yang akhir dan mengahirkan sesuatu yang dahulu, jika ada
klaim akhirat asal dan dunia cabang, hal itu jelas merupakan logika terbalik
dan tidak logis.
Kemudian ketuilah, bahwa cerapan inderawi di akhirat lebih kuat
dibandingkan cerapan indera di dunia ini, kenikmatan akhirat rasanya lebih
nikmat dibandingkan kenikmatan dunia, demikian pula dengan kebencian akhirat
lebih dahsat ketimbang kebencian dunia, yang sedemikian itu karena ruh di
akhirat memiliki peran signifikan dalam menerima dan merespon kesenangan dan
kebencian, berbeda dengan saat di dunia, ruh tidak memiliki peran menerima dan
merespon, karena dominasi jasad yang
membungkusnya, semisal orang yang makan hidangan yang lezat sementara ruhnya
fokus kepada sesuatu selain makanan itu, maka makanan yang nikmat itu terasa
hambar, karena keterfokusan ruh itu menjadi penghalang untuk menghadapi makanan
yang tersaji. Karenanya kampung akhirat lebih mulia dibandingkan kampung dunia,
meski akhirat adalah cabang daripada dunia, anda tidak perlu heran' dengan
realita tersebut, bukankah dalam alam realitas ini banyak anak yang lebih mulia
dari orang tuanya,? Meski dunia asal akhirat, namun akhirat lebih utama dimata
al Haq, karena kesejatian yang ada di alam tersebut, pemuliaan itu bukan
berdasar semantis logika bahasa, namun pada realitas hakiki. Dalam lanskap
bahasa asal lebih utama dibandingkan cabang, sedang dalam lanskap hakiki
tidaklah demikian, meski dunia asal akhirat, namun pada hakekatnya, akhirat
lebih utama, lebih mulia, lebih luas dibandingkan dunia ini sebabnya adalah,
karena akhirat makhluk dari ruh dan ruh merupakan kelembutan cahaya-Nya,
sedangkan dunia makhluk dan jisim (tubuh) yang kasar dan gelap. Semantis logika
mengatakan kelembutan lebih utama ketimbang kekasaran, lebih dari itu akhirat
adalah kampung kemuliaan dan kodrat. Orang seorang yang telah menggapai tangga
kebahagiaan di surga-Nya, bebas berkeinginan apa saja yang ia kehendaki, sedang
dunia adalah kampung kehinaan dan kelemahan, tidak ada satupun penguasa dunia
yang mampu mencegah bencana, meski bencana itu tertimpakan kepada nyamuk
sekalipun, meskipun demikian mayoritas penghuninya masyghul dengan kenikmatan
dunia yang pasti hilangnya, sedang kenikmatan akhirat adalah tanpa batas dan
kekal dalam keabadian, pemberian di dunia ini sangatlah terbatas sejalan dengan
hikmah ketuhanan, jika anda fahami masalah ini dengan jeli, maka anda akan
sampai kepada apa yang anda inginkan.!
Ketahuilah, akhirat dengan segala wacananya, yakni surga, neraka, A'raaf,
Katsiib, kesemuanya merupakan kampung yang satu dan tidak terpisah-pisah, serta
tidak berbilang. Barang siapa yang menghukumi keterpecahan wacana ahirati
tersebut, maka ia berhak dilabeli dengan ahli neraka, karena penghuni neraka dibawah
naungan hukum kehinaan dan ketertaklukan, barang siapa yang tidak berada
dibawah naungan hukum kehinaan dan ketertaklukkan maka ia berhak dilabeli ahli
surga. Barang siapa di kampung (dunia) ini berjalan diatas hukum al Haq dan
mentradisikan keta'atan kepada-Nya, ia akan menjadikan al Haq, Hakim segala
hakikat dampung tersebut dan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, barang
siapa yang tidak berjalan diatas hukum al Haq dan bertindak maksiat kepada-Nya,
ia akan beroleh hukuman, ia akan dikuasai hakekat hukum kampung ini dan tidak
akan bisa lari daripadanya, seperti penghuni nereka dibawah kendali hukum
Zabaniyah, realita tersebut berbeda dengan keadan penghuni surga. Ketahuilah
bahwasanya ahli surga itu bebas berbuat apa saja yang mereka kehendaki, tidak
ada satupun yang mengendalikan diri mereka, barang siapa yang telah memahami
hakekat ilmu kampung akhirat dan surga tersebut, ia bisa memakrifahi hakekat al
A'raf. Adapun sejatinya al A'raaf adalah tempat ketinggian disisi al Haq yang
dalam redaksi al Qur'an disebut Disamping Singgasana al Haq, tempat ini
dinamakan al A'raaf karena ia merupakan hakekat ilmu yang bisa dilihat melalui
makrifah, sedang penghuni al A'raaf adalah para arif billah, itulah sebabnya
insan yang makrifatullah akan bisa memahami hakekat masalah akhirat, barang
siapa yang belum makrifah, ia tidak bisa memahami (memakrifahi) hakekat
ilmunya, tafakkuri firman al Haq.
Dan diatas al a'raaf itu ada
orang-orang yang mengenal masing-masing dengan tanda-tanda mereka. (Q.s. al a'raaf 7 : 46),
yakni orang-orang yang telah menggapai maqom makrifat satu sama lain saling
kenal karena ada tanda-tanda khusus yang hanya para arif itu sendiri yang
mengetahui, sedang mereka yang belum makrifah tidak akan pernah bisa mengenali
tanda-tanda tersebut.
Al Katsiib, merupakan maqom lain, yang berbeda dengan al A'raaf, tempatnya
diatas surga Na'im, para penghuni surga yang (selama dalam kehidupan dunia)
mampu makrifatullah, mereka beroleh derajat yang tinggi di al Katsiib ini,
perbedaan antara ahli al A'raaf dan ahli al Katsiib adalah, bahwa ahli katsiib
keluar dari dunia sebelum al Haq bertajalli kepada mereka, tatkala mereka
pindah (wafat) ke akhirat, maka tempat mereka adalah surga, al Haq memberi
apresiasi kepada mereka dengan mengeluarkan mereka dari surga menuju al
Katsiib, Dia lantas menampakkan 'wajah hakiki Nya kepada mereka, tingkatan
tajalli itu bergantung daripada tingkat keimanan dan kemaknfahan mereka kepada
al Haq, sedangkan ahli al a'raaf adalah komunitas yang keluar dari dunia
setelah al Haq bertajalli kepada mereka dan mereka telah memaknfahi-Nya dalam
kehidupan dunia, tatkala mereka keluar dari dunia menuju akhirat, mereka tidak
memiliki tempat di kampung akhirat, kecuali disisi-Nya sebab orang-orang yang
memasuki suatu daerah atau negeri, ia tidak akan singgah kecuali di tempat orang
yang dikenalinya, itu jika terkait dengan manusia, lebih-lebih jika berkaitan
dengan al Haq, dalam pesan Qur’ani ditegaskan, tempat mereka berada di sisi
Singgasana Tuhan ada keajaiban dan keghariban yang tidak mungkin kita nncikan
dalam karya ini, bahkan saking uniknya kita tidak bisa memahaminya kecuali
dengan metafor dan paradoks yang mengisyaratkan ke permasalahan tersebut,
kecuali jika anda telah makrifah dan pernah memukasyafahinya, anda akan bisa
memahami sandi-sandi dan metafor yang terkait dengannya, kita sudahi pembahasan
ini, agar kita terjebak ke dalam kebodohan tafsir dan ta'wil karena masalah ini
adalah masalah khusus yang tidak mungkin kita wartakan kepada para awam (muslim
kebanyakan). Lebih dan itu ilmu ini untuk dimukasyafahi bukan dikhutbahkan.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Sudah Edit 62. Tujuh Langit dan apa
yang Ada Diatasnya, Tujuh Bumi Dan Apa Yang Ada Dibawahnya, tujuh Lautan dan Keajaiban-Keajaibannya
Serta penghuni yang ada Didalamnya
Ketahuilah, semoga al Haq mengkokohkan dirimu dengan ruh-Nya. Bahwasanya al
Haq sebelum menciptakan makhluk, tidak ada suatu wujudpun dan tidak ada
penampakkan wujud apapun, itulah yang disebut Harta yang Tersimpan yang
diibaratkan rasulullah Muhammad saw, dengan Kabut yang diatasnya hanya
udara dan dibawahnya juga berupa udara, karena hakekat wujudnya tidak memiliki
kehususan yang bisa diidentifikasi eksistensinya, ia laksana permata Yaqut
putih, seperti yang diwartakan hadits rasul saw :
Sesungguhnya al Haq sebelum
menciptakan makhluk, terdapat Yaqutputih
ketika al Haq hendak menciptakan alam raya ini, Dia melihat hakekat segala
sesuatu. Jika anda mau, anda bisa saja mengatakan bahwasanya Yaqut putih itu
merupakan hakekat asal wujud. Dia melihat alam ini dengan lanskap pandang al
Kamaal (kesempurnaan), Yaqut putih itu lantas berotasi menjadi air, karenanya
tidak ada kesempurnaan dalam penampakkan wujud kecuali Dia Yang Esa. Dia-lah
sejatinya hakekat segala sesuatu dalam lanskap batin, sedang putaran Yaqut
menjadi air tidak lain merupakan hakekat lahiriyah-Nya. Kemudian al Haq melihat
cakrawala ini dengan pandangan al 'Adzamah (ke-agung-an), air itu lalu berotasi
laksana angin yang menghembuskan gelombang ombak di lautan, lalu berwujud
laksana tumpukan buih-buih di lautan lepas, dari buih-buih itu al Haq
menciptakan tujuh lapis bumi, kemudian Dia menciptakan penghuni masing-masing
lapis bumi tersebut dari jenis tanahnya. Kemudian kelembutan air naik ke
cakrawala, seperti uap air laut naik ke udara, darinya al Haq menciptakan tujuh
langit, Dia menciptakan malaikat pada masing-masing langit itu sesuai jenisnya,
al Haq lantas mengguyurkan air itu menjadi tujuh samudera diatas permukaan bumi
ini, inilah sejatinya asal kejadian segala wujud di alam (dunia) ini.
al Haq wujud-Nya bersifat Qidam (eternitas), maujud (ada) di kabut yang
diibaratkan sebagai hakekat 'Harta yang Terpendam' dan 'Yaqut Putih', Dia juga
maujud (ada) pada segala sesuatu yang tercipta dari 'Yaqut Putih' tersebut,
tanpa ada Khulul (panteisme) juga Tasybih (antropomorfisme) mutlak, Dia
bertajalli disetiap partikel atom yang ada di cakrawala ini, tanpa ada
keterpisahan dan kesambungan serta bilangan, Dia adalah Ahadiyah al Jam'ah
(kesatuan dari yang banyak), Dia bertajalli di segala yang wujud, karena Dia
Pengkarya segala sesuatu, Dia berada di 'Kabut' Dia maujud di 'Yaqut Putih'
karena benda-benda yang ada di cakrawala (semesta alam) ini asal kejadiannya
dari Kabut dan Yaqut Putih tersebut, jikalau al Haq tidak bertajalli pada
segala wujud itu, niscaya Dia berubah, Maha Suci al Haq, Dia tidak pernah
berubah, Dia Tuhan Yang Esa, tidak ada perubahan pada al Haq, yang ada hanyalah
Tajalli (penampakkan) pada Yaqut Putih, yang merupakan asal kejadian alam dan
isinya alam bahkan alam semesta ini. Penampakkan itu terjadi setelah Dia
menciptakan segala makhluk-Nya, dari unsur penciptaan Yaqut Putih, sedang Harta
TersimpanNya yang belum tertampakkan itu tetap ada pada Kabut Diri Nya. Pahami
betul masalah ini! Perihal Kabut ini telah kita bahas pada bab terdahulu, kini
kita mulai pembahasan kita dari. Tujuh Langit yang asal kejadiannya dan Yaqut
Putih.
Ketahuilah, langit yang menjadi fokus pembahasan kita dalam karya ini
bukanlah perihal langit bumi, bukan pula tentang warna dan karakteristiknya,
sebab sejauh mata kita memandang angkasa yang kita lihat itu sejatinya adalah
awan yang tampak berdasarkan hukum tabiat (alam), dan kekeringan bumi dan
kelembaban air karena sinar matahari menguap ke udara, uap air itu lalu mengisi
ruang-ruang hampa udara diantara cakrawala bumi dan langit bumi, karenanya
kadang kita melihat warna mega-mega itu terkadang berwarna biru, kadang biru
bercampur putih, atau seperti warna debu, kesemua itu berdasarkan hukum naiknya
uap air laut dari bumi dan bergantung daripada jatuhnya sinar matahari pada
lautan-luatan asal uap tersebut, mega-mega itu tidak berkumpul dengan langit.
Ketahuilah bentangan warna biru diangkasa raya yang kita lihat dengan mata
kasat kita, bukanlah langit bumi, ia sejatinya adalah batas pandang mata kasat
kita, sedang langit bumi itu sendiri diluar jangkauan penglihatan kita, karena
sangat jauh jaraknya pun sangat putih warnanya lebih putih daripada susu, dalam
sebuah hadist rasul saw bersabda :
Sesungguhnya jarak antara langit
bumi dan bumi itu, jika ditempuh dengan jalan kaki membutuhkan waktu lima ratus
tahun.
Sedang untuk melihatnya tidak membutuhkan waktu selama itu (lima ratus
tahun), dengan demikian jelas sekali apa yang ditangkap mata kasat kita di
angkasa raya itu bukan langit dunia, namun hal itu merupakan batas pandang mata
kita, andai bintang-bintang dan benda-benda langit itu tidak menjatuhkan
sinarnya ke bumi, niscaya kita belum bisa percaya bahwa apa yang kita pandang
diangkasa raya itu bukan langit bumi, dengan adanya sinar-sinar bintang-bintang
yang menyinari bumi itulah kita tahu, bahwa apa yang kita lihat di angkasa itu
bukan langit bumi, sementara berapa milyar lagi benda-benda angkasa raya itu
yang sinarnya tidak sampai ke bumi, dan kita tidak bisa melihatnya karena jarak
yang super jauh dan super lembutnya, akan tetapi para ahli Kasyf (pengetahuan
intuitif) dapat melihatnya serta dapat mempresentasikannya ke penduduk bumi
yang dengan itu mereka bisa memahami hakekat langit bumi.
Ketahuilah, bahwasanya al Haq, telah menciptakan segala rizki dan segala
aneka makanan dalam kurun waktu empat hari, dan menjadikan segala rizki serta
aneka makanan itu diantara langit dan bumi, tersimpan dalam jantung empat falak
(musim) yaitu :
1. Falak Panas.
2. Falak Kering.
3. Falak Dingin.
4. Falak Lembab.
Itulah sejatinya makna firman-Nya,
Dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)-nya, dalam empat masa, (penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (Q.s. Fushshilat 41 : 10)
yakni berdasarkan keseimbangan atas pertanyaan subtansial, karena segala
hakekat dicari berdasarkan subtansinya, seperti halnya hakekat permohonan
setiap makhluk akan harta yang terpendam, diturunkan (dikabulkan) al Haq sesuai
dengan kadar hakiki permohonannya, itulah makna hakiki firman-Nya.
Dan tidak ada sesuatupun melainkan
pada sisi Kamilah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan
ukuran (kadar) yang tertentu. (Q.s. 15 : 21).
Kemudian al Haq menjadikan Malaikat penurunan sebagai duta-Nya menyampaikan
setiap rizki kepada para hamba yang diberi rizki-Nya pada tujuh langit.
Kemudian Dia menjadikan pada setiap langit seorang malaikat pembagi rizki yang
berkuasa atas penghuninya, malaikat pembagi rizki itu dipunggawai malaikat yang
disebut malaikat Hawadits, Dia menjadikan malaikat itu rohani bintang-bintang
(benda-benda angkasa) yang ada di langit tersebut, tidak ada satupun malaikat
pembagi rizki yang turun, kecuali atas izin malaikat yang menjadi rohani bintang-bintang
pada masing-masing langit. Bintang langit bumi (pertama) al Qomar (bulan),
bintang langit kedua, 'Atarad (Merkurius), bintang langit ketiga, Zuhra
(Venus), bintang langit keempat, Syams (matahari), bintang langit kelima, Murih
(Mars), bintang langit keenam, Mustariy (Yupiter), bintang langit ketujuh,
Zuhal (Saturnus).
Langit Pertama : Adapun warna langit bumi itu sangat putih lebih
mengkilap ketimbang perak, diciptakan al Haq dan hakekat ruh dan dinisbatkan ke
bumi dengan ruh untuk jasad, demikian pula Dia menciptakan al Qomar (bulan)
dari hakekat ruh, karena al Haq menjadikan al Qomar (bulan) sebagai media
penampakkan nama-Nya al Hayyu (Dzat Yang Hidup). Dia menggerakkan falaknya di
langit al Buruuj (gugusan bintang-bintang), di dalamnya terdapat sifat hidup
segala yang wujud, falak ini juga menjadi sentra asy Syuhud (penyaksian),
kemudian al Haq mengkuasakan falak al Qomar (bulan) menjadi pengatur bumi,
seperti halnya ruh yang berperan sebagai pengatur ruh, andai al Haq tidak
menciptakan langit bumi, dan hakekat ruh, niscaya tidak terpancarkan hikmah
akan eksistensi hewani (makhluk bernyawa) di bumi dan bumi tidak lebih dan
tempat Jamadaat (benda-benda mati). Kemudian al Haq menempatkan Adam di langit
ini, karena Adam adalah ruh alam dunia yang dengannya (Adam) al Haq melihat
segala yang wujud dan merahmatinya. al Haq menjadikan segala yang wujud itu
kehidupan sebagaimana Dia menghidupkan Adam di dalamnya.
Alam dunia akan tetap hidup, selama makhluk yang berjenis 'Manusia' hidup
di dalamnya, jika manusia tidak ada lagi yang hidup di alam dunia ini, maka
alam dunia akan hancur dan kembali ke asal kejadiannya, seperti halnya ruh al
Hayawan (makhluk bernyawa) keluar dari jasad yang membungkusnya, jasad itu akan
hancur dan kembali ke asal kejadiannya, al Haq menghiasi langit bumi ini dengan
cakrawala bintang-bintang, seperti halnya ruh menghiasi struktur tubuh manusia
dengan kelembutan-kelembutan lahir, yang terlanskapkan dalam panca indera.
Diantara perhiasan yang tercerminkan dalam kelembutan batiniyah adalah tujuh
kekuatan rohani yaitu ; akal, cita-cita, pemahaman, estimasi, kalbu, hati dan
imajinasi, seperti halnya gugusan bintang-bintang dalam langit bumi yang
merupakan Rujuum li asy Syayaatin (alat-alat pelempar setan), demikian pula
dengan tujuh kekuatan tersebut, jika orang seorang mampu mengoptimalkan secara
valid dalam dirinya, tujuh kekuatan itu merupakan pedang tajam untuk menghunus
bersitan-bersitan setan dalam dirinya, dan tujuh kekuatan itu menjadi benteng
dirinya yang kokoh, seperti kokohnya bintang-bintang yang cahayanya menembus
langit bumi. Malaikat yang mendiami langit ini adalah ruh-ruh basith (muda dan
sederhana), senantiasa bertasbih memuji keagungan-Nya, jika diperintah turun
oleh malaikat penguasa langit bumi ini, akan berwujud sesuai dengan misi yang
diemban dan amar penurunannya, malaikat yang disuruh tersebut akan menjadi
rohani perintah yang dititahkan al Haq, malaikat itu melaksanakan segenap amar
perintah-Nya dengan penuh keta'atan dan dedikasi yang sempurna, jika ia
diperintahkan menurunkan rizki, ia akan tunaikan perintah tersebut, hingga
rizki itu sampai ke tempat (orang) yang dimaksud, jika ia diperintahkan untuk
melaksanakan 'amar' keputusan al Haq, ia akan menjalankan keputusan al Haq yang
ditentukan kepada hamba-Nya, baik berupa pemberian pahala ataupun hukuman,
kemudian ia kembali ke langitnya semula, lalu eksis mendzikir-Nya dan selamanya
tidak akan turun, kecuali jika diperintah al Haq.
Ketahuilah, al Haq menjadikan malaikat yang diberi nama Ismail, sebagai
pemimpin atas segenap malaikat langit ini, ia juga merupakan rohani al Qomar
(bulan), jika al Haq memerintahkan sesuatu, maka Dia mendelegasikannya kepada
malaikat Ismail ini, al Haq mendudukkan malaikat ini diatas kursi yang diberi
nama Manshat al Shuwar (desain citra), malaikat itu duduk diatasnya dengan
multi citra, sesuai amar perintah al Haq, ia tidak kembali kepada bentuk
(citra) bisathah (sederhana) untuk selama-lamanya, akan tetapi ia tetap dalam
bentuk multi citra, baik yang berdimensikan universal maupun partikular, ia
senantiasa eksis beribadah kepada al Haq. Dalam lanskap ruh jika mencitrakan
diri pada sesuatu yang berbentuk, maka bentuk itu tidak akan lepas dari citra
ruh, kecuali jika ruh itu kembali ke asal kejadiannya, jelas hal itu mustahil
dilabelkan kepada sesuatu yang disebut hidup, adapun citra ruh itu terihat dari
kekuatan-nya yang membias pada sesuatu yang dicitrakannya, itulah sejatinya
yang disebut paradok hikmah Ilahiyah (ketuhanan). Citra rohani itu merupakan
Rahmatullah dan tanda keber-Ada-an al Haq yang menegakkan segala yang wujud,
seperti halnya ruh menegakkan jasad, dengan begitu segala pengetahuan yang
misteri, menjadi telanjang dipandang mata tegak bersama inti (dzat) wujud.
Semua jisim alam baik dari benda-benda padat (mati) dan tumbuh-tumbuhan serta
hayawan (manusia dan binatang) dan isinya alam yang hidup lainnya, kesemuanya
memiliki ruh yang menegakkan citra masing-masing jisim yang membungkusnya dan
ruh itu tetap memuji al Haq, meski jisim yang mewadahinya telah hancur
sekalipun, ruh itu akan tetap eksis sejalan dengan ke-eksis-an al Haq, karena
al Haq tidak menciptakan ruh dalam kefana'an, Dia menciptakan ruh dalam dimensi
keabadian.
Ketahuilah, untuk mengetahui kesejatian ruh itu, hanya bisa dilakukan
dengan Mukasyafah (pengetahuan intuisi), sebab hanya dengan Kasyf (intuisi)
itulah ruh yang terdapat pada segala yang wujud tersebut dapat diketahui
kesejatiannya, lebih dari itu dengan Mukasyafah itu dapat diketahui hakekat
Tajalli (penampakan) al Haq pada ruh-ruh tersebut, yang pada hakekatnya adalah
Rahmatullah. Sedang Kalimat al Haq itu sendiri hanya bisa diketahui dengan
memakrifahi hakekat asma-asma-Nya, sifat-sifat-Nya dan inti (dzat)-Nya. Setiap
ruh dan ruh segala wujud, ter-tajalli-kan pada karekteristik jisim yang mewadainya,
semisal jisim Hayawan (manusia dan binatang), tambang, tumbuh-tumbuhan atau
pada pencitraan ruh yang melahirkan dimensi makna, semisal, lafadz, aktifitas,
aksiden dan lam sebagainya yang tampak pada dunia ilmu pengetahuan dan dunia
kasat mata, (alam realitas), jika pencitraan mh itu eksis dalam dunia ilmu
pengetahuan akan melahirkan karakteristik pencitraan pada jisim yang menjadi
pusat penampakkannya. Karakter pencitraan itu tidak akan berujud kecuali dengan
adanya ruh dalam jisim tersebut, maka esensi pencitraan karakerter suatu ilmu
itu berdasarkan ruh sesuatunya, bukan pada ilmu itu sendiri, karena eksistensi
suatu ilmu itu karena inti ruhnya bukan inti sesuatu tersebut, ruh itulah
sejatinya hakekat sesuatu, bukan jasad sesuatu tersebut yang melahirkan hakekat.
Realita ini jelas sangat kontradiktif dengan pandangan kaum realis, yang
melihat realita sesuatu itu sebagai inti sesuatu, kaum realis juga berpendapat
bahwa hakekat segala sesuatu itu berdasarkan wujud kasat inderawi, segala yang
tidak tampak tidak akan bisa diketahui hakekatnya, demikian halnya dengan ilmu,
ilmu sejati dimata mereka adalah berdasarkan eksakta, pengetahuan yang tidak
berdasarkan realita kasat mata tidak bisa diketahui hakekatnya.
Ketahuilah, hakekat segala yang wujud juga hakekat ilmu itu, nilai-nilai
hakikinya tidak berdasarkan makna lahirnya, namun terdapat pada makna batinnya,
pandangan kasat mata tidak akan mampu menembus dimensi hakiki, karena hakekat
sesuatu itu hanya bisa disibak dengan Mukasyafah (pengetahuan intuisi), demikian
halnya dengan ilmu, orang seorang tidak akan pernah menemukan hakekat ilmu
kecuali dengan Kasyf, jalan Mukasyafah inilah yang selama ini ditempuh para
nabi dan para wali (kekasih Allah) dalam memaknai kesejatian sesuatu. Dengan
Mukasyafah ini pula para nabi dan kekasih-Nya saru sama lain bisa bersua. Saya
(al Jailiy), pada pertengahan bulan Syawwal tahun 800 H, dikaruniai Mukasyafah
oleh al Haq, yang dengan itu saya bisa melihat segenap para rasul dan nabi-Nya
serta seluruh para kekasih-Nya, para Malaikat semesta alam dan para Malaikat al
Muqorrobin (terdekat-Nya), juga Malaikat Penakluk-Nya, saya juga melihat rohani
segala wujud, yang dengan itu saya bisa me-mukasyafahi hakekat segala sesuatu
dan ke-azali-annya hingga keabadiannya, dengan kasyf itu saya memafhumi
kesejatian segala wujud secara hakiki, yang tidak bisa saya rentah dengan
kata-kata dan ungkapkan dengan perasaan. Sungguh asy Syuhud (penyaksian) yang
saya lihat, tidak pernah terlihat oleh mata, terlintas dalam benak dan tidak
akan tertuangkan dalam kata-kata, kesemua itu hingga kini tersimpan rapi dalam
sirr (rahasia batin) saya, dan saya melihatnya sebagai karunia yang bersifat
pribadi, dan tidak terbersit dibenak saya sedikitpun untuk mewartakannya.
Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menjadikan rotasi (peredaran) planet bumi
ini jarak tempuhnya 11.000 tahun. Hal ini merupakan rotasi bintang bersumbu
paling kecil, ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24 jam
pada garis edar lurus (lingkaran vertikal), sementara itu ia berotasi pada porosnya
dalam 320 hari, selain bergerak mengelilingi bumi, ia juga berevolusi diantara
gugusan-gugusan bintang, yang jarak tempuh per jamnya membutuhkan waktu
(durasi) 485.000 tahun lebih 120 hari, ia ini juga berotasi pada porosnya yang
jarak tempuh peredarannya berdurasi 4500 tahun, demikian halnya dengan
planet-planet besar angkasa lainnya, masing-masing memiliki planet yang beredar
disekelilingnya, bintang paling besar rotasinya berjalan lamban, sebaliknya
bintang kecil rotasinya berjalan cepat, masing-masing planet berjalan pada
garis edar yang sehaluan (searah), jika tidak maka akan terjadi benturan karena
saling bertabrakan, jika benturan antar bintang terjadi, maka hancurlah alam
ini.
Ketahuilah, al Qomar (bulan) merupakan benda langit yang tidak bersinar
sendiri, sinar bulan yang dapat kita lihat itu, sebenarnya adalah sinar
matahari yang dipantulkannya, pancaran sinar bulan itu bergantung posisi
(letak) bulan dalam menerima sinar matahari, ketika dalam posisi kwartir,
separoh badan bulan memancarkan sinar, yang jamak disebut bulan purnama, kadang
badan bulan yang menampakkan sinar itu tidak terlihat dari bumi yang jamak
disebut bulan baru, karenanya bulan itu tidak tampak pada pandangan kasat mata
kita kecuali dengan sinar matahari, berbeda dengan gugusan bintang-bintang
lainnya yang dapat menerima sinar matahari secara utuh, seperti gelas kaca yang
dapat menerima sinar matahari secara utuh, bulan tidak bisa menerima matahari
secara utuh karena sinar matahari tidak menembus jisimnya, itulah sebabnya sinar
matahari hanya bisa dipantulkan dengan separoh badannya, tidak lebih dari itu,
sedang benda-benda langit yang lain dapat memantulkan sinar matahari secara
utuh. Ketahuilah bahwasanya benda-benda langit-langit itu satu sama lain saling
beredar mengitari sumbunya, masing-masing bintang memiliki planet yang
mengelilinginya, bintang terbesar di cakrawala adalah Zuhal (Saturnus) sedang
cakrawala terkecil adalah al Qomar (bulan). Masing-masing cakrawala memiliki
spektrum yang menampakkan cahaya berkat sinar bintang yang diserapnya dan
kemudian dipancarkannya kembali. Kita akan memerlukan berlembar-lembar kertas
untuk menerangkan asal kejadian, menit, jam, hari, bulan dan tahun, juga asal
kejadian kalender, pun paparan proses kejadian fajar dan senja, berikut sistim
galaksi alam raya, kesemua itu akan menjadi berjilid-jilid buku, tapi yang
paling esensial dari keterangan yang sederhana ini adalah, adanya wujud Qudrah
(Kuasa) al Haq, dalam penciptaan dan pengaturan (tadbiir) semesta alam, dari
wujud penciptaan dalam makro kosmos yang tampak pada pandangan kasat mata, lalu
kita implikasikan dalam diri dengan bercermin pada penciptaan dan
pengaturan-Nya yang tertampakkan pada mikro kosmos dalam diri kita, dengan
jalan itulah kita akan dapat memakrifahi hakekat ketuhanan-Nya, yang merupakan
inti pesan karya ini.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Langit Kedua : Merupakan Jauhar al Fard (entitas tunggal) yang
sangat tipis dan sangat halus berwarna kelabu dalam makro kosmos (jagad raya,)
al Haq menciptakannya dari hakekat al Fikr (pemikiran) sedang dalam mikro
kosmos seperti pikir dalam diri manusia, karenanya pada tingkatan langit ini,
al Haq meletakkan malaikat pencatat. Dalam dunia astronomi disebut bintang
'Atarad (Merkurius), langit ini dijadikan al Haq tempat penampakkan nama-Nya al
Qodiir (Yang Berkuasa). Dia menjadikan cakrawalanya dari cahaya nama-Nya al Ilm
(Yang Berpengetahuan) dan al Khobiir (Yang Waspada). Di langit ini Dia juga
menciptakan Malaikat yang memberi inspirasi bagi para pencipta yang dengan itu
banyak karya dilahirkan manusia, al Haq juga mengkuasakan kepada rohani bintang
dan langit ini untuk mendelegasikan beberapa malaikat guna menyebarkan ilmu ke
alam dunia ini, para jin mendatangi permukaan langit dunia ini, berikut
menyimak suara-suara malaikat yang ada di langit kedua tersebut, yang
sedemikian itu pendengaran ruh-ruh tidak mengenal jarak penyimakan sebuah
percakapan, selama hal itu terjadi di alam ruh, adapun jika bukan pada alamnya,
maka hukum pendengaran itu berjalan sesuai alam tersebut. Ketahuilah Jin adalah
makhluk yang dicipta dari ruh, meski ia hidup di alam Ajsaam (tubuh) dan Katsafah
(kasar) ia bisa menyentuh permukaan langit dunia, dan menyimak perkatan
malaikat penghuni langit kedua, diantara keduanya (jin dan malaikat) tidak ada
sekat penghalang yang memisahkan, demikian pula orang seorang yang ingin
memukasyafahi (menyibak) perkataan malaikat langit kedua, maka hal yang harus
dilakukannya adalah mensucikan ruhnya agar bisa sederajat dengan malaikat
penghuni langit kedua Jin meski hidup di alam dunia, ia masih bisa mencuri
kabar dari perkataan malaikat penghuni langit kedua, yang dengan itu ia dapat
memberitahu (mengajari) para pengikut dan penyembahnya warta-warta yang
berdimensi kegaiban, namun cahaya kegaiban yang lahir dari ajaran Jin itu akan
lenyap, manakalah Nur Muhammad terpancarkan, karenanya sediqdaya apapun ilmu pemuja
Jin, akan dapat dikalahkan para ahli Kasyf, yang berjalan dibawah naungan Nur
Muhammad.
Dalam ritual mukasyafah yang telah saya (al Jailiy) alami, di langit ini
saya melihat Nuh as sedang duduk diatas tikar yang terbuat dari cahaya al
Kibriyaa' (Maha Diqdaya) diantara ahli kemuliaan dan pujian, saya beruluk salam
kepadanya, ia membalas salam saya dan menyambut saya dengan penuh kehangatan,
saya lantas bertanya kepadanya perihal esensi langit fikr (pemikiran)nya dan
maqom sirr (rahasia batin)-nya, Nuh as menjawab : bahwa langit ini merupakan
'cincin' permata al Ma'arif (pengetahuan) darinya tertampakkan karya-karya yang
lahir dari rahim ilmu pengetahuan, malaikat langit ini tercipta dari cahaya al
Qudrah, citra segala wujud di alam realitas ini tidak akan tercipta kecuali
melalui para malaikat dari unsur cahaya Qudrah ini, malaikat ini juga merupakan
'wajah' kelembutan taqdir yang merupakan cikal bakal pencitraan segala yang
wujud secara inderawi, dari langit mi pula lahir ayat-ayat penakluk dan mukjizat-mukjizat
lahiriyah, darinya pula lahir karomah (keramat-keramat) yang tampak dengan
kasat mata. Dalam langit ini al Haq juga menciptakan malaikat yang tidak untuk
beribadah, namun untuk menjadi guide (petunjuk) para makhluk kepada cahaya al
Haq, para malaikat itu terbang dengan sayap Qudrah ke langit Ibrah
(pengajaran), melingkar di kepala mereka kerlap kerlip cahaya yang memancarkan
kemesterian rahasia, barang siapa yang mampu menaiki punggung malaikat ini, ia
akan bisa terbang lepas ke tujuh langit, para malaikat itu juga menurunkan citra
rohani di hati jisim, kapanpun dan dimanapun, jika diajak beraudiensi akan
berkata, jika ditanya akan memberi kontribusi pengetahuan, al Haq menjadikan
rotasi (peredaran) benda langit ini jarak tempuhnya 313.000 tahun plus 120 hari
ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24 jam, sementara itu ia
berotasi pada porosnya dalam 320 hari. Atarad (Merkurius) juga berevolusi
mengelilingi gugusan bintang-bintang yang tempuhan jaraknya berdurasi 550.000
tahun, plus lima bulan dua puluh hari. Bintang terkecil mengitari bumi dua
puluh empat jam untuk satu kali putarannya, sedang bintang terbesar mengitari
bumi satu tahun untuk satu kali putarannya. Rohani malaikat yang berkuasa atas
segenap malaikat pada langit ini dinamakan Malaikat Nuhail as, kemudian saya
(al Jailiy) melihat di langit ini keajaiban ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)
ar Rahman dan kt-uniqe-kaxi ayat-ayat-Nya yang terdapat pada rahasia
dunia, yang tidak akan cukup diungkapkan dengan kata-kata seluruh bahasa yang
ada di muka bumi. Tafakkuri dengan jeli metafor yang kami paparkan kepada anda,
mulailah dengan membaca tanda-tanda-Nya yang ada pada diri anda terlebih
dahulu, sebelum anda mentafakkuri ayat-ayat-Nya yang ada di makro kosmos,
(tubuh msaniyah) dengan mengacu kepada paradoks dan isyarat yang kami paparkan
kepada anda.
Langit Ketiga : berwarna kuning keemasan, ia disebut az Zuhrah
(venus) permatanya sangat halus, penghuninya mewarnai segenap sifat. Langit ini
diciptakan dari hakekat imajinasi dan merupakan tempat daripada alam al Matsal
(utama), al Haq menjadikan gugusan bintang-bintangnya, sebagai media
penampakkan nama-Nya al 'Alim (Yang Maha Berpengetahuan). Menjadikan falaknya
manifestasi kodrat Sang Pencipta al Hakiim (Yang Maha Bijaksana).
Malaikat-malaikat langit ini, diciptakan dengan multi Syakl (bentuk) dan Shurah
(citra), di langit ini terdapat keajaiban-keajaiban dan ke-uniqe-an yang tiada
pernah terbersit dibenak tiap hamba-Nya, suatu kemustahilan yang terwacanakan
di alam (dunia) ini dilangit tersebut menjadi hal yang tidak mustahil, evolusi
benda langit ini jarak tempuhnya 15.036 tahun plus 120 hari, ia berevolusi
mengelilingi bumi satu putaran sempurna 24 jam, sementara itu ia berevolusi
mengelilingi planet besar lainnya, dalam durasi waktu 320 hari. Punggawa
malaikat bintang ini dikuasakan kepada malaikat yang bernama, Shura'iyil, ia
merupakan rohani planet Venus.
Para malaikat penghuni planet ini kuasa mereka meliputi alam dunia,
menjawab segenap anak cucu Adam yang bermunajat melantunkan doa. Dalam
pengalaman Mukasyafah yang telah saya (al Jailiy) lakukan, saya melihat citra
malaikat planet ini beraneka ragam amar penugasannya, diantara mereka ada yang
menjadi wakil al Haq untuk membangunkan manusia-manusia yang tidur, baik secara
langsung maupun melalui aql alam lainnya, diantara mereka ada yang dikuasakan
al Haq mendidik para bayi (balita) dan mengajari mereka makna perkataan
(pembicaraan), diantara mereka ada yang dikuasakan al Haq mengentas himpitan
dan kepedihan hidup para hambaNya, ada pula yang ditugaskan menjinakkan
binatang dan orang buas serta berbicara kepada para ahli tauhid, diantara
mereka ada yang ditugasi al Haq mengeksiskan hati para mukmin serta mengentas
mereka dari jerat-jerat setan dan membawa mereka ke pangkuan bidadari-Nya di
surga, diantara mereka ada yang ditugasi al Haq menyalakan api cinta kepada dua
kekasih yang dibuai asmara dan membenamkan para pecinta syahwat ke dalam
jerembab kenistaan, serta mendiqdayakan para pecinta al Haq dalam kefana'an
hakiki, diantara mereka ada yang dikuasakan al Haq mencitrakan dirinya menjadi
'gambar' orang yang dicintai utamanya orang-orang yang dimabuk asmara, diantara
mereka ada yang ditugasi-Nya menyampaikan risalah kepada duta-duta-Nya di bumi,
untuk menyeru ummat (anak zaman)nya kepada ajaran al Haq.
Di langit ini saya berjumpa dengan nabiyullah Yusuf as, dia duduk diatas
singgasana rahasia yang memancarkan rumus-rumus cahaya yang tersimpan di alam
hakikat, dengan pernik-pernik esensi segala makna yang selama ini berserak di
rahasia Uluhiyah (ketuhanan)-Nya, disekelilingnya terdapat permadani sebening
air yang keluar dan sumber (mata) airnya. Saya beruluk salam kepadanya, ia
menjawab salamku dengan penuh kehangatan dan menyambutku dengan penuh
bersahabat, saya katakan kepadanya : wahai junjunganku, saya ingin bertanya perihal
ungkapan anda : Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan
kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian ta'bir
peristiwa-peristiwa. (Q.s. Yusuf 12 : 101), apakah sejatinya kerajaan yang
anda maksudkan itu,? pun sejatinya ta'bir peristiwa apa yang anda maksud dari
ungkapan anda tersebut,? Yusuf as menjawab : aku menghendaki kerajaan ar
Rahmaniyah (ketuhanan) yang disematkan pada diri manusia dan kemanusiaan
universal, sedangkan yang aku kehendaki dan ta'bir peristiwa adalah amanat
(kepercayaan) yang beredar di lisan-lisan hayawan (makhluk yang bernyawa), saya
katakan kepada nabiyullah Yusuf as, bukankah hal tersebut terlihat jelas
metafornya bahkan merupakan realita yang sangat jelas dan gamblang? Ia menjawab
: Ketahuilah, bahwasanya al Haq mempunyai amanat kepada para hamba-Nya yang
mengantarkan mereka menjadi ahli al Rasyaad (petunjuk), saya tanyakan kepada
Yusuf as, bagaimana mungkin al Haq memiliki amanat kepada para hamba-Nya, sebab
Dia adalah asal wujud, dan awal pencipta? Ia menjawab : Demikianlah sifat,
realita, hukum dan metafor al Haq, akan tetapi jamaknya manusia menjadikan
amanat al Haq hanya ritual lisan simbolistik, sedang hakekat amanat-Nya
dibiarkan berserak di alam kemistenan sehingga ritus ibadah mereka lebih
bermaknakan simbol, nihil dari makna hakikinya, mereka bahkan terjerembab ke
dalam keragu-raguan tak bertepi dalam memahami urgensi ibadah dan ubudiyah
kepada al Haq. Saya tanyakan kepadanya, bagaimana hal tersebut bisa terjadi
wahai nabi Allah.? ia menjawab : Ketahuilah, semoga al Haq senantiasa
mengeksiskan dan memelihara dirimu, bahwasanya al Haq menjadikan kadar
rahasia-rahasia-Nya pararel dengan isyarat-isyarat (metafor)-Nya yang Dia
taburkan dimisteri ibarat (ta'bir), rahasia-rahasia itu Dia lemparkan di garis
edar lisan-lisan komunitas hamba-Nya, mayoritas dari mereka buta (pongah)
menangkap isyarat-isyarat yang dihamparkan-Nya, hanya manusia-manusia Khash
(istimewa) yang mampu menangkap metafor (isyarat) ibarat-ibarat tersebut,
berikut menta'birkannya (menginterpretasikannya) sejalan realita yang ada.
Adakah ta'bir (interpretasi) mimpi bagian integral dari samudera ibarat yang
terhamparkan bagi sampan-sampan para faqir (insan-insan yang merasa butuh
kepada al Haq,) dari keterangan Yusuf as Shiddiq itu, kebodohan saya akan
nilai-nilai hakekat menjadi sirna, kemudian saya pamit kepadanya guna
melanjutkan pengembaraan saya ke jenjang langit yang lebih tinggi dan mega
kenikmatan yang lebih agung.
Langit Keempat : ia merupakan permata kebanggaan wujud yang
memiliki warna putih bersih, yaitu langit asy Syams (matahari) cahaya-cahaya,
ia merupakan qutub (poros) gugusan bintang-bintang, al Haq menciptakan langit
ini dari cahaya Qalbiyah (hati) dan Dia menjadikan eksistensi matahari sama
dengan kedudukan hati pada diri tiap hamba-Nya, yang dengan hati itu al Haq
menegakkan dan melihat tiap insan, demikian halnya dengan matahari, benda-benda
langit menjadi bersinar karena pantulan cahayanya, dengan cahayanya pula
tanda-tanda kekuasaan-Nya di cakrawala (alam raya), tertampakkan secara kasat
mata al Haq menciptakan matahari di falak Qalbiyah (hati) untuk manifestasi
ketuhanan-Nya serta media penampakkan ragam sifat ke-Qudus-an, ke-Suci-an
diri-Nya. Matahari merupakan asal bagi segenap makhluk yang berdimensikan
materi (kebendaan), seperti halnya nama (Allah) merupakan asal daripada degri
ketinggian serta asal strata nama Uluhiyah (ketuhanan)-Nya. al Haq mendudukkan
nabi-Nya yang bernama Idris as, di maqom par excelent ini, karena
ke-kampium-annya dalam hakekat Qalbiyah (hati), ia memiliki tempat khusus dalam
strata ketuhanan karena kelebihan yang dimilikinya tersebut, al Haq memberi
apresiasi khusus kepada Idris as karena kelebihan yang dimilikinya, al Haq
menjadikan langit ini tempat leanding (turun)nya cahaya-cahaya dan pundi-pundi
rahasia-Nya, Dia mengkuasakan kepada malaikat-Nya yang berinisial Israfil untuk
menjadi penguasa langit ini, ia merupakan rohani planet matahari, ia bertugas
mengatur peredaran nasib segenap ciptaan-Nya, tidak ada yang mampu mengangkat
(mengentas) kesempitan dan melenyapkan kelapangan kecuali dirinya, ia merupakan
asal penciptaan kesedihan dan kegembiraan, kesempitan dan kelapangan. Israfil
merupakan malaikat yang memiliki kewibawaan yang paling besar dan kekuatan par
excelent, berikut memiliki hikmah yang paling diqdaya, wilayah kekuasaannya
membentang dari Sidratul Muntaha, hingga tempat yang paling bawah di dasar
bumi, kesemuanya dibawah previsi dirinya dari hal yang paling terkecil hingga
yang mega besar, singgasananya diatas Kursiy yang merupakan asal penciptaan
bintang matahari, alamnya mencakup semua langit dan bumi dan apa-apa yang ada
diantara keduanya baik ang berdimensikan aql (akal) maupun khiss (inderawi).
Ketahuilah, al Haq menjadikan rotasi planet matahari ini jarak tempuhnya
46.000 tahun lebih 60 hari, ia berevolusi mengelilingi bumi satu putaran
sempurna 24 jam, sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet besar lainnya
dalam durasi waktu 65 hari, plus seperempat hari lebih tiga menit. Ketahuilah,
bahwa maqom yang ditempati Idris as ini, adalah merupakan citra maqom Muhammad
saw, tidakkah anda ingat, manakalah, rasul Muhammad saw sampai di langit
keempat dalam mi'raj beliau, rasul saw bersua Idris as dan beliau tidak
berhenti di langit tersebut, namun melanjutkan ke jenjang langit yang lebih
tinggi, realita tersebut -sampainya rasul di maqom Idris as dan naiknya beliau
ke jenjang langit yang lebih tinggi- merupakan bukti otentik, akan keutamaan
Muhammad saw dalam martabat ketuhanan, adapun realita hakiki keutamaan rasul
Muhammad saw itu adalah kelanjutan perjalanan beliau ke jenjang langit yang
lebih tinggi,
Maha Suci Allah, yang memperjalankan
hambaNya di malam hari. (Q.s. 17 : 01),
maqom Ubudiyah adalah maqom Mahmud (terpuji) dan Rafii' (tinggi), ia juga
merupakan panji Hamad (puji), kesemua itu diapresiasikan al Haq kepada nabi
terkasih-Nya Muhammad saw. Ketahuilah, bahwasanya al Haq, menjadikan segenap
wujud dengan segala misterinya, terlambangkan dalam bulatan matahari, yang
dengan itu tertampakkan kekuatan tabiat (alam) wujud segala sesuatu, atas izin
dan kehendak (perintah) al Haq matahari merupakan titik rahasia-rahasia
ketuhanan, dan sentra citra oahaya-cahaya-Nya, mayoritas para nabi dan punggawa
makrifat berada pada garis edar falak ini, seperti Isa as, Sulaiman as, Daud
as, Idris as, Jirjis as dan nabi-nabi-Nya yang lain yang tidak berbilang
jumlahnya, kesemuanya berada di naungan maqom al Jaliy (yang terang benderang)
dan berdomisili di maqom ketinggian tersebut,
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.
Langit kelima: ia merupakan langit (planet) yang bernama
Bahraam, ia merupakan manifestasi ke-Agung-an Ketuhanan, Keperkasaan,
Kediqdayaan, Intiqom (Menuntut Balas)-Nya, di langit mi nabiyullah Yahya as
diturunkan untuk menyaksikan ke-Agung-an dan ke-Perkasa-an al Haq berikut
penampakkan ke-Mulia-an Diri Nya serta para malaikat-Nya, langit mi tersucikan
dari citra kerendahan dan keputus asaan, langit mi merupakan embrio cita-cita
dan hasrat kokoh. Langit mi diciptakan dan cahaya estimasi-Nya, adapun warnanya
merah seperti warna darah, malaikat langit ini dicipta al Haq sebagai cerminan
al Kamaal (kesempurnaan) dan keperkasaan-Nya dengan para malaikat langit mi
para hamba Allah bisa menjadi hamba-Nya yang hakiki, dengan mereka pula segala
wujud tunduk simpuh dan ahli taqlid (pengikutan tak berdasar) dihadapan al Haq,
bersama malaikat langit ini para hamba yang terjauhkan dari al Haqbisa menjadi
dekat, barang (kepemilikan) para hamba yang hilang bisa ditemukan kembali,
dengan para malaikat langit ini para hamba yang beribadah kepada al Haq bisa
menemukan sendi-sendi (tiang pancang) keimanan dalam kalbu mereka, dengan
malaikat langit ini pula para hamba yang eksis beribadah bisa mengusir setan
dan para kafir dari diri mereka, begitu pula para ahli ibadah itu bisa
menyembuhkan orang-orang yang sakit, mengentas belitan hidup serta mengusir
marabahaya yang menjangkiti diri mereka. Para malaikat langit ini juga
dikuasakan menyempitkan ruh dan mencabut ruh atas izin al Hakiim (Tuhan Yang
Maha Bijaksana), punggawa langit ini bernama malaikat 'Izrail, ia juga
merupakan rohani falak al Murikh (Mars), al Haq mengkuasakan kepadanya sebagai
malaikat al Muntaqhm (Penuntut Balas) dan Pemsta. al Haq menciptakan langit ini
dari asal penciptaan yang tersimpan di Qolam (pena) tertinggi, tidak ada
satupun malaikat yang turun ke bumi untuk menuntut balas, mencabut nyawa, serta
menyebarkan sistim kehidupan (peraturan) kecuali atas izin dan perintah
punggawa malaikat langit mi yang berinisial ('Izrail), ia merupakan rohani
falak Bahraam. Ketahuilah, al Haq menjadikan rotasi planet ini, jarak tempuhnya
851.000 tahun lebih 120 hari, ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran
sempurna 24 jam, ia berotasi pada porosnya dalam durasi waktu 826.000 tahun
plus 140 hari, sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet-plnet besar
lainnya per jamnya dalam durasi waktu
540 hari, sedang rohani planet ini dikuasakan untuk menghunuskan
pedang-pendang dendam (penuntut balas), ia juga dikuasakan untuk memberi
kemenangan dan kesuksesan bagi siapa saja yang dikehendaki al Haq untuk
dimenangkan dan disukseskan.
Langit Keenam : asal pencitaannya berasal dari cahaya Himmah
(cita-cita), ia merupakan permata halus nan lembut, warnanya biru cerah,
gugusan bintangnya merupakan media penampakkan kiamat dan tajalli ke-Eksis-an
keber-Ada-an Diri Nya, bintang bercahaya ini bernama al Musytariy (Yupiter).
Dalam kembara ritual di langit ini, saya melihat Musa as berdomisili di planet
mi, ia berdiri tegak di permukaan langit ini, tangan kanannya menggenggam
Sidratul Muntaha, ia dalam kondisi Sakr (ekstase ritual) yang disebabkan oleh
Tajalli (penampakkan) Rububiyah (ketuhanan), ia hanyut dalam dekapan kemuliaan
ketuhanan, ia tenggelam didasar citra ilmu-Nya pada semesta alam, dalam
ke-aku-an dirinya tertajallikan ke-Dia-an al Haq, sukmanya selalu bergetar
dengan dzauq (intusi) wujdan-Nya, ia benar-benar syahdu dalam keintiman
bersama-Nya. Saya mendekati Musa as dan beruluk salam kepadanya, ia mengangkat
kepalanya, masih terlihat jelas gurat-gurat ekstase ketuhanan dalam dirinya' ia
membalas salam saya dengan penuh kehangatan dan sikap yang penuh santun
persahabatannya, saya katakan kepada Musa as: Wahai junjunganku yang mulia,
dzat Yang Maha Bicara telah mewartakan realita kebenaran yang lebih gamblang
dibandingkan ungkapan kata-kata, tirai-tirai penghalang itu telah dibersihkan
dan diri anda, dan engkau kini menjadi insan yang tidak ada tirai antara dirimu
dengan al Haq, saya berharap untuk sudi kiranya engkau menerangkan kepada saya
realita yang sangat mentakjubkan yang ada pada dirimu itu?
Musa as berkata : Ketahuilah, bahwasanya tatkala aku keluar dari bumi
Mesir, saat itu aku juga berusaha menghijrahkan Nasut (sifat kemanusiaanku,
menuju Lahutiyah (sifat ketuhanan) diri-Nya, aku lalu bermunajat di bukit
kalbuku dengan lisan rabbku, disamping pohon ke-Tunggal-an Nya, di lembah yang
suci yang bersinarkan cahaya azaliyah, Sesungguhnya Aku ini adalah Allah,
tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku. (Q.s. Thaaha. 20 : 14). Ketika
aku menyembah-Nya seperti yang Dia perintahkan kepada segala yang wujud, aku
sanjungkan pujiku kepada-Nya yang Dia berhak atas puja sanjung dari sifat-sifat
dan asma-asma Nya, lalu tampak cahaya-cahaya ketuhanan-Nya yang menyilaukan
mataku, aku memohon Baqa' (kekal) dalam maqom (capaian spiritual) Liqo'
(pertemuan), namun hal itu jelas mustahil diriku yang Muhdist (baru, adanya
karena diciptakan) ini, akan eksis dengan hadirnya al Qodiim (dzat yang adanya
tidak didahului oleh sesuatu apapun), lisan rahasiaku memanggil realita
keagungan tersebut, aku berucap : Ya Tuhanku, tampakkanlah diri Mu kepadaku,
agar aku dapat melihat kepada Mu. (Q.s. al A'raaf 7 : 143), masukkan
ke-aku-an diriku ke dalam hadirat kequdusan Mu, aku lalu mendengar jawaban, Kamu
sekali-kali tidak sanggup melihat Ku. Tetapi melihatlah ke bukit itu. (Q.s.
al A'raaf 7 : 143). Ia (bukit) itu tidak lain adalah citra dzat dirimu (Musa)
yang tercipta dan cahaya Ku pada hakekat azali. Maka jika ia tetap
ditempatnya (seperti sedia kala), paska al Qodhm menampakkan kekuasaan-Nya,
Niscaya kamu dapat melihat Ku. Tatkala Tuhannya tampak atas gunung itu, aku
sangat terkesima dengan hakekat azali tersebut dan tampak al Qodiim atas al
Muhdits, Kejadian itu menjadikan gunung tersebut hancur luluh. (Q.s. al
A'raaf 7 : 143). Dan Musa pun jatuh pingsan. Musa as lantas bertutur : Ketika
itu tidak ada yang eksis dalam al Qodiim kecuali al Qodiim, Dia tidak
bertajalli dalam keagungan kecuali pada sesuatu yang agung, atas dasar itu pula
pensifatan al Haq dengan an Naqs (kekurangan) dan membatasi-Nya dengan batas,
merupakan sesuatu yang mustahil, karena Dia Maha Sempurna, yang kesejatian
dzat-Nya tidak bisa di nalar secara akal dan tidak bisa diprediksi dengan
narasi logika, tidak bisa diandaikan dengan imajinasi, semua yang terlintas
dibenak, terpikir dilogika, terangan di imajinasi, terbayang di hayal tentang
al Haq, Dia adalah kebalikannya. Jalan paling selamat (valid) untuk mengetahui
warta-warta ketuhanan adalah dengan Umm al Kitab (induk kitab) setelah
mendengar siraman rohani itu, saya lalu pamit diri kepada Musa, setidaknya
paska pertemuan dengan Musa as itu aku tenggelam dalam samudera Uluhiyah-Nya
yang tak bertepi.
Ketahuilah, al Haq menjadikan rotasi planet ini, jarak tempuhnya 88.000
tahun, lebih 8 bulan, ia berevolusi mengelilingi bumi, satu putaran sempurna 24
jam, bintang Mars ini berotasi pada porosnya, perjamnya berdurasi 919.000 ribu,
plus lima bulan lebih dua puluh hari, sementara itu ia berevolusi mengelilingi
planet-plnet besar lainnya dalam durasi waktu 12 tahun, al Haq menjadikan
langit ini dari cahaya Himmah (cita-cita) serta menjadikan Mikail penguasa para
malaikat yang menjadi penghuninya, mereka adalah para malaikat ar Rahmah,
mereka adalah pengiring mi'raj para nabi, tangga yang ditapaki para kekasih-Nya
menuju hadirat-Nya. al Haq menciptakan para malaikat itu sebagai media
penyambung para hamba-Nya ke jenjang nilai-nilai hakiki, Dia mengkuasakan
kepada mereka, untuk mengentas belitan hidup para hamba dan membawa mereka
kepada kebahagiaan hakiki, membahagiakan orang yang susah, memudahkan urusan
yang sulit, mensukseskan sesuatu yang gagal, para malaikat itu senantiasa
berkelana diatas muka bumi, melenyapkan kebatilan, menegakkan kebenaran,
menyelamatkan penghuni dunia dari cengkraman setan, para malaikat itu juga
dikuasakan membagi dan menyampaikan kepada insan-insan yang dikehendaki al Haq
rizki, para malaikat itu juga merupakan penyampai doa-doa para hamba-Nya, tidak
ada seorangpun yang akan sampai doanya, melainkan disampaikan malaikat penghuni
langit ini kehadirat al Haq, tidak ada seorangpun yang akan terentaskan dari
belitan hidup, melainkan atas bantuan malaikat penduduk langit ini,'
sebagaimana yang diisyaratkan rasulullah saw :
Barang siapa yang beroleh agunan
malaikat penyampai doa, niscaya doanya akan dikabulkan dan teragapaiapa yang
menjadi keinginannya,
karenanya dalam bermunajat kita
disarankan bertawasul (mendistribusikan) doa kepada malaikat, agar
keterkabulan doa yang dipanjatkan beroleh agunan diterima oleh-Nya.
Kemudian dalam pengalaman Mukasyafah, saya melihat para malaikat di langit
ini diciptakan untuk menjaga semua makhluk yang bernyawa dan dicitrakan dalam
berbagai habitat hewani, diantara mereka ada yang diciptakan dalam citra
burung-burung yang memiliki sayap tak bertepi, wujud peribadatan mereka kepada
al Haq berupa pengetasan para hamba-Nya dari lumpur kegelapan dan dibawah
terbang ke alam cahaya, diantara mereka ada dicitrakan dalam bentuk kuda
jantan, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan hati para
hamba-Nya dari penjara Syahadah (realitas) dan realitas wujud, menuju cakrawala
kegaiban, diantara malaikat itu ada yang dicitrakan dalam bentuk burung garuda,
wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan jiwa para hamba-Nya
dan alam makna menuju alam inderawi, diantara mereka ada dicitrakan dalam
bentuk keledai (himar) wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa pengetasan
para hamba-Nya dari lumpur kehinaan, belitan hidup yang mengkondisikan diri
para hamba serta mereka dikuasakan untuk melimpahkan harta dari yang sedikit
menjadi berlimpah ruah. Diantara mereka ada yang dicitrakan dalam bentuk
manusia, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa menjaga aqidah agama,
diantara mereka ada yang dicitrakan dalam bentuk sifat Jauhar (entitasl) dan
'Arad (aksiden), wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa penabur, penawar
kesembuhan bagi para hamba-Nya yang tertimpa sakit, diantara mereka ada yang
diciptakan dalam citra, aneka ragam biji-bijian, air, aneka macam makanan dan
minuman, wujud peribadatan mereka kepada al Haq berupa menyampaikan rizki
kepada ciptaan dikaruniakan rizki, dari segenap makhluk-Nya. Saya juga melihat
dalam pengembaraan ini, malaikat yang tercipta dalam bentuk ganda, separuh dan
api yang berkobar, separuh lagi dari air yang membeku, api itu tidak bisa
memadamkan api yang ada, pun api tersebut tidak bisa merubah air seperti yang
telah diputuskan al Haq dalam penciptaan tersebut. Ketahuilah, bahwasanya
malaikat Mikail as adalah rohani bintang-bintang di langit ini, dikuasakan
kepadanya memunggawai segenap malaikat penghuni langit tersebut, al Haq
menciptakan asal penciptaan langit ini dari bagian sebelah kanan Sidratul
Muntaha, saya bertanya kepada Mikail as, perihal Buraq Muhammad, adakah asal
penciptaan Buraq itu berasal dari materi ketinggian ini? ia menjawab, tidak!
Karena kesejatian dzat Muhammad saw tidak akan tertampakkan dalam wujud Katsib
(kasar) dengan pengetahuan tertulis, terlebih rahasia-Nya tidak akan turun dari
langit cahaya, karena ia merupakan asal penciptaan Aql Awwal (akal pertama) dan
tempat hunian ruh al Afdhal (ruh utama), maka Buraq Muhammad berasal dan falak
ini, sedangkan manifestasinya berupa Jibril yang tidak lain adalah ruh al amin,
adapun para nabi yang lain serta para kekasih dan insan-insan yang dikasihi-Nya
kendaraan mereka dalam kembara ketinggian hingga langit ketujuh, adalah dengan
habitat hewan yang ada di langit ini, kemudian mereka tiada lagi memiliki
kendaraan melainkan sifat-sifat (al Haq,) pun tiada lagi terjemah makna-makna
melainkan inti (dzat) al Haq, demikian halnya mereka turun ke bumi juga dengan
hewan-hewan langit ini, hingga sampai ke bumi tabiat. Langit Ketujuh: Adalah
langit Zuhal (Saturnus), permatanya lembut nan halus, berwarnah hitam pekat
laksana gelap gulita malam, al Haq menciptakannya dan cahaya Aql Awwal (akal
pertama), serta menjadikannya sebagai tempat utama, adapun warnanya yang hitam,
hal itu memataforkan jauhnya jarak langit ini, karenanya akal pertama tidak
mengetahui melainkan alam kesempurnaan. Inilah langit yang menaungi segenap
langit serta merupakan langit ter-afdhal (terbaik) berikut alam tertinggi,
semua bintang tetap beredar di langit ini, gugusan bintang-bintangnya
berevolusi di jagad langit ini. Rotasi planet ini jarak tempuhnya 24.500 tahun,
bintang Saturnus ini berotasi pada porosnya, perjamnya berdurasi 1.020 tahun
plus sepuluh sementara itu ia berevolusi mengelilingi planet-plnet besar
lainnya dalam durasi waktu 30 tahun. Planet-planet tetapnya selalu beredar pada
garis edar yang eksis tidak ada satupun dari planet-planet tersebut yang
berevolusi melebihi durasi waktu tiga puluh tahun. Planet-planet langit sungguh
sangat banyak yang tak terbilang jumlahnya, para pakar astronomi tiada akan
pernah mampu menghitung jumlah. Berbeda dengan ahli Kasyf (pengetahuan intuisi)
mereka mengetahui jumlahnya, nama-nama perplanetnya, mereka bahkan bisa
baraudiensi dengan planet tersebut dan menanyakan peredarannya, planet-planet
itupun menjawab pertanyaan ahli kasyf, berikut mewartakan realita yang ada di
falak-nya. Langit ini merupakan langit yang meliputi alam raya termasuk
diantaranya adalah dunia ( alam yang kita hidup di dalamnya ini), langit ini
juga melahirkan langit dilapis bawahnya yaitu Nur Aql Awwal, (cahaya akal
pertama) yang sejatinya adalah awal makhluk (ciptaan) di alam al Muhdatsaat
(kabaruan, yang adanya karena diciptakan). Saya melihat Ibrahim as menetap di
langit ini, ia memiliki singgasana yang terletak disebelah kanan Arsy yang
leta'knya diatas Kursiy, ia melantunkan ayat-Nya :
Segala puji bagi Allah yang telah
menganugerahkan kepadaku dihari tuaku, Ismail dan Ishaa (O s Ibrahiim 14 : 39) '
Ketahuilah, bahwasanya para malaikat penghuni langit ini, mereka semua
adalah malaikat Muqorrobuun (sangat dekat dengan al Haq), kedekatan mereka
bervariasi sejalan dengan Wadhifah (misi yang dikerjakan) yang dikuasakan al
Haq kepada mereka, tidak ada langit diatas langit ini, melainkan langit Atlas
(bumi). Ia merupakan falak (bintang) besar, permukaannya berupa al Kursiy al
A'lah (kursi tertinggi) diantara keduanya (Atlas dan Kursi tertinggi) ada tiga
falak (bintang) yang misteri dan sarat hikmah, eksistensinya tidak bisa
dikatahui dengan realita kasat mata, namun hanya bisa diprediksi secara hukum.
Falak pertama dari falak misteri itu adalah, falak al A'lah (tertinggi) ialah
falak Huyuliy (benda pertama). Falak kedua, adalah falak Haba' (debu). Falak
ketiga adalah falak Anasir (unsur), selanjutnya falak benda, sebagian ahli
hikmah mengatakan setelah ketiga falak tersebut ada falak keempat yang bernama
falak Thabi'a (tabiat).
Ketahuilah bahwasanya falak Atlas (bumi) sejatinya adalah hamparan halaman
Sidratul Muntaha, ia berada dibawah alam Kursiy, (lihat bab Kursiy terdahulu),
penghuni Sidratul Muntaha adalah' para malaikat Karwabiyuun, saya melihat
mereka dengan ragam bentuk dengan jumlah yang tidak terhingga, hanya al Haq
yang mengetahui persis jumlahnya. Cayaha-cahaya tajalli (penampakkan)
dipancarkan kepada mereka, cahaya tajalli itu ada yang dijatuhkan pada
wajahnya, ada di turun kakinya, ada pula hinggap disebelah kanannya, ada yang
lekat dengan pergerakan tubuhnya, ada
yang disematkan pada ketakjuban dan keterpesonaannya, ada yang dilabelkan di
ke-aku-annya. Saya melihat seratus malaikat, berpawai sementara tangan mereka
membawa tongkat dari cahaya, masing-masing tongkat bertuliskan Asmaa'ul Khusnah
menyemangati para malaikat yang bukan dan golongan Karwabiyyuun dan para ahli
Allah (Ahl Allah) yang belum Wushul (sampai) ke maqom kedekatan bersama-Nya,
kemudian saya melihat tujuh malaikat dari yang seratus tersebut, digelari
punggawa Karwabiyyun, kemudian aku lihat tiga malaikat dan yang tujuh itu
digelari ahli martabat dan keteguhan, saya melihat satu dari tiga'malaikat itu
digelari Abdullah (hamba Allah), kesemua malaikat Karwabiyuun tersebut adalah
malaikat 'Aaluun (bermartabat ketinggian), yang tidak termasuk para malaikat
yang diperintahkan bersujud kepada Adam as, ada juga malaikat dalam tingkatan
mi yang bernama Nun juga Qolam dan para malaikat Aaluun lain-lain, dibawah
tingkatan malaikat—'Aaluun ini, ada malaikat semisal Jibril, Mikail, Israfil,
'Izrail dan lain sebagainya, di falak ini saya melihat keajaiban-keajaiban yang
tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata dan terlalu luas untuk
diperbincangkan.
Ketahuilah, bahwa jumlah falak yang diciptakan al Haq di alam ini berjumlah
18 falak, yaitu :
1. Falak : Arsy al Muhith. (Singgasana Peliputan)
2. Falak : al Kursiy (Kursi)
3. Falak : Atlas (bumi), ia merupakan falak Sidratul Muntaha.
4. Falak : al Huyuli (benda pertama).
5. Falak : al Haba' (debu).
6. Falak : al Anashir (unsur-unsur).
7. Falak : al Thaba'iu (tabiat-tabiat).
8. Falak Gugusan bintang-bintang, ia merupakan falak Zuhal (Saturnus) dan
dinamakan poros bintang-bintang.
9. Falak : al Mustariy (Yupiter).
10. Falak : al Murikh (Mars)
11. Falak : asy Syams (matahari).
12. Falak : az Zuhra (venus).
13. Falak : Atarad (Merkurius).
14. al Oomar (Bulan).
15. Falak : al Atsiir (zat yang sangat halus), ia merupakan falak an Naar
(api).
16. Falak : al Hawaa' (udara).
17. Falak : al Maa' (air).
18. Falak : at Thurab (tanah).
Falak Bahr al Muhith (samudera luas), di dalamnya ada al Bahamut, ia adalah
paus yang memanggul bumi diatas punggungnya diatasnya ada falak udara, falak
api, kemudian falak bulan Masing-masing alam dan benda-benda isinya alam,
melakukan ritus ibadah kepada al Haq dengan caranya sendiri-sendiri, semua
benda yang maujud (ada karena diadakan) bertasbih (melakukan sembah puji)
kepada al Haq, jumlah aflak (bintang-bintang) di semesta alam ini tiada
terhitung jumlah-nya, al Haq berfirman :
Masing-masing beredar di dalam garis
edarnya. (Q.s.
al Anbiyaa' 21 : 33)
Ketahuilah bahwasanya masing-masing dari falak api, air, udara, memiliki
empat tingkatan (lapis), falak tanah memiliki tujuh lapis (tingkatan) kita
fokuskan pada tingkatan-tingkatan (lapis) bumi, karena al haq selalu
mengkaitkan al Ardh (bumi) dengan as Samaa' (langit) keduanya merupakan dua hal
yang tak terpisahkan.
Tingkatan (lapis) Bumi pertama : al Haq menciptakat lapis bumi pertama
mi, pada awalnya sangat putih, lebih putih daripada susu, baunya sangat wangi,
lebih wangi ketimbang misik kemilau putih itu mulai memudar dengan turunnya
Adam as dan surga paska melakukan tindak kemaksiatan kepada al Haq, bumi mi
dinamakan bumi an nufus (nafsu), karenanya bumi mi didiami hewan-hewan, bumi
ini beredar (rotasi) pada porosnya dalam durasi waktu 1166 tahun plus 240 hari.
Tiga perempat ( ¾) luasnya diliputi air yang berwujud samudera luas sedang
sepertiganya berupa daratan yang berada bagian tengah dan utaranya, hanya seperempat
bagian kutub selatan (belahan utara) yang belum bisa dijangkau ekspedisi
manusia, lain halnya dengan apa yang telah dilakukan Alexander Agung, diraja
Romawi, telah sampai ke poros bumi bagian selatan tersebut, halmana dia
membutuhkan waktu 24 tahun, adapun bagian utara semuanya tertutup air, yang
sedemikian itu ia lakukan paska sukes berekspedisi ke tempat Masynq asy Syams
(tempat terbit matahari), ia melanjutkan ekspedisinya ke poros bumi sebelah
selatan, hingga sampai ke pusat gravitasi bumi selatan yang sejatinya adalah
centra kegelapan, hingga datangnya Ya'juj dan Ma'juj, keduanya berada di bumi
selatan yang paling selatan, nisbat keduanya dengan bumi adalah seumpama
bersitan-bersitan (bisikan-bisikan) nafsu yang jumlahnya sebanyak debu tanah
yang tak terbilang nominalnya, matahari tiada pernah menampakkan sinarnya di
bumi tersebut selama-lamanya, karenanya mereka yang tenggelam dalam gelap
gulita bisikan nafsu hingga era ini, mereka (pengikut Ya juj dan Ma'juj)
sulit menjernihkan diri mereka dan tidak mampu merobohkan tembok nafsu
tersebut.
Kemudian Alexander melakukan ekspedisi ke bumi belahan utara hal mana di
poros bumi sebelah utara tersebut, matahari tiada pernah terbenam, bagian bumi
ini sangat putih warnanya. Ia merupakan kediaman Rijaal al Ghaib
(manusia-manusia gaib) punggawanya bernama Khidzir as, penghuni bumi mi
beraudiensi langsung dengan para malaikat, yang Adam as tiada pernah sampai ke
tempatnya, terlebih manusia-manusia pendosa (pelaku tindak kemaksiatan) tidak
akan pernah bisa sampai ke bumi tersebut, bumi itu akan tetap eksis sejalan
dengan fitrah penciptaannya, ia dekat dengan bumi Balghar, seperti yang
diketahui Balghar adalah sebuah negeri yang tidak diwajibkan di dalamnya shalat
Isya' di musim dingin, tepatnya di malam yang super pendek, hal itu terjadi di
awal musim panas (lihat karya at Thahthawi) karena pada waktu itu, awan merah
fajar terbit sebelum awan merah maghnb, atas dasar itulah tidak ada kewajiban
shalat isya' di negeri tersebut, kita tidak perlu memperanjang keajaiban bumi
ini, karena akan membutuhkan beribu-ribu lembar untuk memaparkannya, jika anda
ingin memperdalam baca karya at Thahthawi. Yang paling esensial adalah,
hendaknya anda menelisik metafor-metafor yang kami isyaratkan, yang jelas
bagian bumi ini merupakan bumi yang paling mulia dan merupakan citra kekuasaan
al Haq yang paling tinggi, karena ia tempat hunian para nabi, para rasul, para
wali dan insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya, para shaleh dan ahli makrifat,
andai saja anda bisa Wushul (sambung) dengan Rijaal al Ghaib tersebut, anda
bisa melihat mereka begitu leluasa beraudisi dengan para malaikat, berbicara
dengan bahasa ghaib dan semua perilaku mereka berdimensi gaib, ia bebas
melakukan apa saja atas kehendak dan izin al Haq, sekali lagi pahami secara
jeli metafor yang kami pakai, jangan sampai terjebak pada kalimat dan pemaknaan
lahir, terlebih jangan hanya sekedar memaknai sesuatu dengan pemaknaan lahir
karena setiap lahir memiliki batin, setiap yang haq memiliki hakekat.!
Tingkatan (lapis) bumi kedua: warnanya laksana zamrud hijau, bumi ini
dinamakan bumi Ubudiyah (ritus peribadatan), penghuninya dan komunitas Jin yang
mukmin, malam mereka adalah (waktu) siang bumi, demikian pula siang mereka
adalah (waktu) malam bumi, penghuninya tetap mendiami bumi ini hingga matahari
terbenam dari bumi dunia, mereka keluar ke permukaan bumi dan selalu ingin
dekat dengan anak turun Adam as, seperti halnya besi yang selalu ingin dekat
dengan magnit, penghuni bumi ini sangat takut kepada anak turun Adam as, melebihi
rasa takutnya binatang kecil kepada terkaman harimau yang super buas, rotasi
(peredaran) bumi ini berdurasi 1200 tahun plus 4 bulan. Tidak ada satupun
penghuni bumi yang Kharbanah (rusak), semuanya sangat patuh dan hidup dalam
kedamaian, mayoritas Jin mukmin itu sangat benci kepada pelaku hura-hura dan
pemuas nafsu serta para pelanggar ajaran al Haq. Diantara sebab daripada
banyaknya ketergelinciran (rusaknya) para Saalik (penitijalan) Allah, adalah
terjebak pada bentuk penyembahan kepada makhluk (jin mukmin) penghuni bumi ini.
Saya banyak melihat banyak punggawa pegiat sufie di era ini, yang bertingkah over
confident (melebih-lebihkan) sikap kedigdayaan terlebih menampakkan
kekhususannya, hati dan jiwa mereka telah terbutakan oleh ritus penyembahan
kepada jin mukmin penghuni bumi mi, yang mereka kira al Haq, mereka mengira
(percikan ilham) yang mereka tangkap itu dan al Haq, padahal berasal danjin
penghuni bumi ini, sesungguhnya mereka telah terhijabkan dan al Haq, namun
mereka tiada pernah merasakan hal tersebut, jika mencoba memahamankan masalah
ini, niscaya mereka menolaknya, karena terlalu bebal rasa benar mereka,
sehingga tidak mau mendengar saran dan peringatan orang lam. Maka pahami betul
metafor yang ada, selainlah memohon kasih pertolongan al Haq, dalam setiap
titian langkah anda menujuNya agar anda terpelihara dan memperoleh Ma'unah
(kasih pertolongan)-Nya, dari perangkap
tipu daya yang menyebabkan anda
tersesat dan jalan-Nya.
Tingkatan (lapis) bumi ketiga : warnanya kuning laksana Zakfaran -jenis
salah satu minyak wangi- bumi ini dinamakan dengan bumi tabiat, penghuninya
adalah para Jin musyrik, tidak ada satupun penghuni bumi ini yang beriman
kepada al Haq, mereka dicipta sebagai citra kesyirikan dan kekufuran, yang
tertampakkan pada karakter dan sifat anak curu Adam as, tidak ada yang mampu
mengetahui realita tersebut, selain para wah (kekasih) al Haq, para jin
musyirik ini tidak akan berani memasuki negeri yang di dalamnya ada ahli
hakekat, sebab cahaya ketuhanan yang disematkan kepada ahli hakekat tersebut,
mampu merontokkan jin-jin musyrik tersebut, adapun negen yang tidak ada satupun
ahli hakekat, maka dengan leluasa para jin musyrik itu memperdaya dan mereka
berpesta pora menjerumuskan anak cucu Adam kepada tindak kesyirikan dan kekufuran,
realita tersebut terus berlanjut hingga al Haq menolong penduduk negeri
tersebut dengan menjadikan salah satu penduduknya ahli hakikat, dengan
pemilihan orang yang Dia kehendaki menjadi kekasih-Nya itu, sinar ketuhanan-Nya
senantiasa terpancar dan kekasihNya tersebut, yang dengan itu para jin musyrik
akan terbakar jika ingin mendekat dan mengganggu penghuni negeri tersebut. Para
jin musyrik tidak memiliki aktifitas di bumi tersebut selain memperdaya manusia
dan menjerumuskan manusia ke tindak kesesatan dan kelalaian beribadah kepada al
Haq, mereka berusaha dengan segala daya dan upaya untuk memalingkan para hamba
al Haq, dan Dzikr dan ibadah kepada-Nya, rotasi bumi ini berdurasi 442 tahun plus
8 bulan, mereka tetap eksis tinggal di bumi ini dan tiada mengalami kehancuran,
mereka tiada pernah berdzikir kepada al Haq sejak kali pertama penciptaan diri
mereka, kecuali satu kali, itupun dengan bahasa yang bukan bahasa induk mereka.
Pahami betul isyarat yang kami paparkan ini, pahami betul metafor yang kami pakai,
agar anda bisa menelisik makna tersirat dibalik pengibaratan yang ada!
Tingkatan (lapis) bumi keempat : warnanya merah, laksana darah, bumi ini
dinamakan bumi syahwat, rotasi bumi ini 73 tahun plus 120 hari, penghuninya
adalah para setan, mereka sangat eksis mendiami bumi ini dan tidak pernah
hancur, para setan itu beraneka ragam bentuknya, para setan itu melahirkan para
Iblis, ketika mereka terusir dari sisi-Nya, mereka mengajari orang-orang yang
telah diperdaya dengan berbagai 'model' sesuai misi yang mereka kehendaki,
diantara manusia ada yang mereka ajari seni membunuh (Qotl), guna dijadikan
'pisau' pengganggu para hamba-Nya, ada pula manusia yang mereka ajari seni
kesyirikan (penyekutuan), guna dijadikan misiu untuk menggalang opini pemahaman
kesyirikan, terlebih untuk membangun sendi-sendi (tiang pancang) kekufuran
dihati para hamba-Nya, ada juga manusia yang mereka ajari multi ilmu
pengetahuan, untuk dijadikan 'kaki tangan' dalam berdebat dan mematahkan
argumen para alim ulama, diantara manusia ada yang mereka ajari, makar (tipu
daya) penipuan, berzina, pencurian dan perampokkan, serta seni-seni
kemungkaran,' kedzaliman, kekufuran dan kesyirikan lainnya, sehingga tidak ada
maksiat sekecilpun yang tertinggal, semua tindak kemaksiatan yang terjadi pada
diri ummat manusia, adalah berkat pembelajaran Iblis, lebih dari itu Iblis juga
mencitrakan dirinya dengan multi bentuk pada diri tiap manusia, Iblis bahkan
menyerupakan dirinya seperti manusia yang duduk diatas singgasana kekuasaan,
lalu membelajari manusia seni tipu menipu dan makar dan perbuatan sejenisnya,
ia juga berdiam diri di istana ketamakan, lalu mengajari manusia seni-seni
perilaku tamak, Iblis juga memotivasi para pembunuh dan penikam untuk mengapai
tangga kekuasaan, mengajari ahli syirik untuk membangun imperium kesyirikan,
mengajari ahli ibadah untuk meminta dirinya bukan kepada al Haq, mengajari ahli
zina dan pencuri untuk selalu memuaskan keinginan nafsunya, memotivasi keduanya
untuk meluapkan nafsu, kemudian Iblis membuat rantai dan memerintahkan anak
cucunya, mengalungkan rantai tersebut di leher para manusia yang berhasil
diperdaya, hingga tidak ada sedikitpun dalam syakilah hati orang-orang yang
terperdaya itu, matan untuk bertaubat, Iblis lalu menyerahkahkan orang-orang
itu kepada setan Ifrit dan komunitas sejenisnya, guna dibawah turun ke lapis
bumi yang ada dibawahnya, orang-orang itu akan tetap loyal kepada Iblis, meski
kalung rantai tersebut telah dilepas dari leher mereka.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Tingkatan (lapis) bumi kelima : warnanya biru seperti nila, bumi mi dinamakan
bumi pembangkangan, rotasinya 627 tahun plus 8 bulan, bumi ini ramai dengan
penghuninya, lapisan bumi mi dihuni para Ifrit, Jin serta para setan, mereka
tidak beraktivitas, selain memotivasi dan mempimpin para pelaku kemaksiatan,
kepada tindak kemaksiatan dosa besar, titah para setan penghuni bumi sangatlah
diqdaya, jika mereka memanggil semuanya datang, pun sebaliknya, tipu daya setan
penghuni bumi ini sangatlah kuat, meskipun demikian bagi para arif billah
(mereka yang telah memahami al Haq secara hakiki), tipu daya para setan itu
sangatlah lemah, hal itu ditegaskan al Haq dalam firman Qur'ani :
Sesungguhnya tipu daya setan itu
adalah lemah. (Q.s. an Nisaa' 4 : 76),
adapun para loyalis Iblis penghuni lapis bumi ini (para pembangkang), tipu
daya mereka terhadap anak cucu Adam sangatlah kuat yang disertai tindak
kekerasan dan kediktatoran, yang tidak ada satupun kaum Mustad'afm (lemah dan
terlemahkan) mampu melawan tindak ketiranian para thaqut tersebut. Dan Allah
mengatakan yang sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s
al-Ahzab 33 : 4). Tingkatan (lapis) bumi keenam : adalah bumi Mulhid
(tidak mengakui adanya Tuhan), warnanya hitam, laksana malam yang gelap gulita,
rotasi (peredarannya) 256 tahun plus 120 hari, bumi ini di marak dihuni para
murtad (manusia yang keluar dari ajaran agama), tidak ada satupun penduduk bumi
ini yang mau tunduk kepada ahli ibadah kepada al Haq. Ketahuilah, bahwasanya
segenap Jin dengan ragam jenisnya, semuanya terbagi atas empat macam :
1. Unshuriyuun (unsur penciptaan).
2. Jenis Naariyuun (api).
3. Hawaiyuun (nafsu).
4. Turabiyuun (tanah).
Jin dari jenis Unshuriyuun tidak pernah keluar dari alam ruh, jangkauannya
sangat luas, Jin jenis ini adalah yang paling keras kekejamannya, dimanakan
Unshuriyuun karena kuatnya kedekatan Jin jenis ini dengan malaikat, yaitu
dominasi unsur ruhiyah atas tabiat kerendahan, Jin jenis ini tidak tampak
kecuali pada bisikan-bisikan jahat di relung kalbu manusia, al Haq berfirman : Para
setan dari jenis manusia dan jin. Pahami makna hakiki ayat tersebut! Tidak
ada yang mengetahui keberadaan Jin jenis ini melainkan para wali Allah, adapun
Jin Naariyuun (api) mayoritas mereka keluar dari alam ruh, mereka mencitrakan
diri dengan berbagai bentuk penampakkan, mereka jamak menampakkan diri pada
manusia di alam ideal, mereka dapat mempola manusia dengan berbagai tipu daya,
di alam manusia, Jin jenis ini tipu dayanya sangat dahsat, mereka bahkan bisa
menyerupakan dirinya dengan bentuk manusia alim, tokoh masyarakat dan
manusia-manusia penting lainnya, serta menggiring para manusia ke jalan
kesesatan dengan tokoh yang dianut tersebut, Jin jenis ini terus menempel orang
yang menjadi targetnya sampai ia tunduk kepadanya, sedangkan Jin Hawaiyuun
(nafsu) wilayah garapan mereka berkisar pada alam inderawi, (kasat mata) mereka
berusaha mengkikis nilai-nilai ruhiyah yang ada dalam diri manusia, berikut
menggiring manusia untuk mentuhankan materi, serta menjadikan matan muara
tujuan hidup dan kehidupan insani. Adapun Jin Thurabiyuun (tanah), mereka
berusaha'memotivasi dan menjerumuskan manusia ke alam rendah dengan sifat-sifat
ketanahannya, Jin jenis ini paling lemah kekuatannya demikian pula makar (tipu
dayanya) sangat dhaif.
Tingkatan (lapis) bumi ketujuh : bumi ini dinamakan bumi kesedihan
(kesusahan), ia merupakan permukaan Jahannam, bumi ini diciptakan dari
kerendahan tabiat, penghuninya ular-ular berbisa, kalajengking, serta sebagian
penghuni Jahannam, rotasi (peredaran) bumi ini 512 tahun plus 4 bulan,
ular-ular dan kalajengking besarnya laksana gunung-gunung yang tinggi
menjulang, membentang hingga ke Jahannam. Binatang-binatang buas (ular dan
kalajengking) tersebut, dihidupkan al Haq diatas muka bumi kita ini, sebagai
metafor ketuhanan, agar segenap manusia senantiasa ingat akan Jahannam dengan
ragam siksanya, seperti halnya al Haq menghidupkan komunitas penghuni surga di
falak yang berada di gugusan bintang-bintang agar segenap penduduk bumi bisa
termotivasi untuk menggapai kenikmatan surgawi, sebelah kiri bumi (lapis tujuh)
ini merupakan duplikat bumi ini dengan ular berbisa dan kalajengking dan
binatang-binatang buas lainnya, sedang sebelah kanannya merupakan duplikat
falak Atlas dengan bidadari dan lain-lainnya, semua itu ditampakkan al Haq
untuk dijadikan bukti otentik akan adanya surga dan neraka di alam akhirat,
sebab jika dalam kehidupan dunia ini tidak dihadirkan bukti-bukti otentik
adanya surga dan neraka, niscaya akal manusia tidak akan mampu beroleh petunjuk
untuk memahaminya, bukti-bukti otentik tersebut melapangkan jalan logika
manusia untuk menalar dan mengotimalkan akal pikirnya, terlebih ketajaman mata
hatinya dalam memahami warta-warta ketuhanan yang berkaitan dengan ragam
kenikmatan surgawi dan pelik siksa neraka. Pahami betul isyarat-isyarat yang
kami paparkan, jangan sampai melupakan makna batinya, bahkan anda harus
memahami kesejatian makna batin dari apa yang tertampakkan secara lahir, sebab
setiap lahir memiliki batin, setiap yang hak memiliki hakekat, orang yang arif
bijaksana akan selalu mendengar (menyimak) perkataan dan mengikuti ungkapan
yang terbaik, semoga al Haq menjadikan kita semua termasuk insan-insan yang apa
bila diberi penjelasan, bisa menangkap kesejatian maknanya.
Ketahuilah, semua tingkatan (lapis) bumi tersebut, jika rotasi peredarannya
telah berakhir, ia akan kembali ke asal penciptaannya semula, seperti halnya
para penghuni neraka jika masa hukumannya telah berakhir, ia akan dikeluarkan
dari neraka dan menjadi penghuni surga-Nya yang dengan itu ia bisa menyaksikan
keagungan al Haq serta bisa menikmati mega kenikmatan surga. Begitu pula dengan
air yang merupakan awal falak sebelum falak debu, ia juga awal falak paska
falak debu, lalu setelahnya ada falak udara, kemudian falak api, benkutnya
falak bulan, demikian seterusnya seperti tertib falak yang telah kita sebutkan
diatas, hingga berujung pada Arsy al Muhith.
Ketahuilah, bahwasanya'tujuh samudera itu asalnya hanya dua lautan saja,
yang sedemikian itu ketika al Haq melihat kabut putih, kabut itu menjadi air,
sejalan dengan ilmu-Nya yang terlanskapkan dalam Haibah (kewibawaan) 'Adhamah
(keagungan) Kibriyaa' (keperkasaan) karena kedahsatan Haibah al Haq itulah air
laut itu menjadi asm, sedangkan air yang sejalan dengan ilmu-Nya yang
terlanskapkan dalam al Luthfu (kelembutan) ar Rahmah (kepemurahan) air laut itu
menjadi tawar, al Haq lebih dahulu menyebut kata tawar perihal air laut
tersebut, sebagaimana yang ditandaskan firman Qur’ani : Yang ini tawar lagi
segar dan yang lain asin lagi pahit. (Q.s. al Furqaan 25 : 53). Ini pula
makna hakiki ungkapan al Haq dalam hadits Qudsi : Rahmat Ku, mengalahkan
kemarahan Ku. Dengan demikian jelas sekali bahwasanya asal samudera itu dua,
yaitu tawar dan asin. Laut tawar itu melahirkan anak sungai yang menjorok ke
arah timur, lalu membentuk lautan tersendiri, ia bisa mengairi daratan yang
menumbuhkan tetumbuhan dus menaburkan aroma mewangian, kemudian laut tawar itu
juga melahirkan anak sungai yang menjorok ke arah barat dimana airnya bertemu
dengan air asin, dan keduanya bercampur menjadi lautan tersendiri. Adapun
lautan asin melahirkan anak sungai. Pertama anak sungai yang berada ditengah
bumi, airnya tetap pada rasa pertamanya yaitu asin, tidak berubah sedikitpun,
lalu membentuk lautan tersendiri, anak sungai yang menjorok ke sebelah kanan,
ia merupakan bagian (arah) selatan, rasa air bumi belahan itu, didominasi oleh
rasa air laut ini (asin dan pahit), lalu membentuk lautan tersendiri, anak
sungai yang lain menjorok ke arah Syam (Syiria dalam peta modern), ia merupakan
bagian ' .rah) utara, rasa air laut yang asin dan pahit juga mendominasi bumi
belahan mi, lalu membentuk lautan tersendiri. Air laut itu lalu membentang ke
gunung Qof, dan semua daratan rendah lainnya, tidak diketaui secara pasti rasa
air lautnya, namun yang pasti baunya tidak buruk, aroma bumi yang diliputi air
laut ini menebarkan wewangian, namun tebaran aroma itu tidak selamanya eksis,
ia berubah-rubah'bahkan aroma wewangian itu bisa lenyap, itulah realita yang
ada pada samudera luas, yang tidak ada satupun para realis dan para Aqlani
(pemuja akal) mampu menyibak dimensi kemisteriannya, adapun para ahli hakekat
mereka bisa mengeja rahasia dibalik kemestenan samudera tersebut. Pahami
metafor-metafor yang ada, agar anda bisa menyelami samudera hakekat isyarat
yang ada.
Kini saya (al Jaily) akan memaparkan Madzlulivah (makna tersirat), dan
rahasia-rahasia al Haq yang ada di jagad ini, pun dari firman-firman-Nya dengan
paparan global. Adapun sejatinya laut tawar itu adalah minuman yang Thayyib
(baik) dan segar, muda dilayari, ia mengusung segala sesuatu baik yang bersifat
khusus maupun umum, membentangkan jalan logika dan pemahaman, meyambungkan yang
jauh menjadi dekat, memberi energi sesuatu yang lemah menjadi kuat dengannya
neraca tubuh menjadi tegak dan eksis, ia merupakan tiang pancang hukum
keagamaan, warnanya putih wajah dari kelembutan alam, muda dikonsumsi oleh
siapapun bahkan ia merupakan menu pertama yang dilahap bayi saat kali pertama
lahir ke dunia ini, ia menjadi hidangan utama bagi pekerja keras, ia menjadi
sumber energi tubuh, ia tercipta dari cahaya Ta'dz'im al Ihtiraam (kebesaran
yang dimuliakan), ke-halal-an nya sangat jelas dan segala yang haram,
dengan-nya tersambung hukum lahiriyah, dengan air ini perintah pertama tetap
valid hingga masa ahirnya, banyak mengalir, nihil marabaya, bahtera yang
berlayar akan sampai ke tempat tujuan dengan selamat, tiada satupun yang
menghalangi laju bahtera yang berlayar diatasnya, ia merupakan jalan
insan-insan yang sedang berlari menuju kesukesan, berikut Thariq (jalan) untuk
menggapai harapan yang didambakan setiap insan, muncul darinya metafor-metafor
kehidupan yang sangat jelas paradoks dan isyaratnya, tampak dari air ini
permata (jauhar) hukum di jendela-jendela ungkapan, para penumpangnya akan
terangkut hingga sampai ke tujuannya, arah perjalanannya sangat jelas dan sama
sekali tidak berbalut kemestrian, dasarnya sangat mudah digapai, sumbernya sangat
muda didapatkan, penduduknya pemeluk agama yang beraneka ragam, yang
bersumberkan ajaran langit, penguasanya kaum muslimin, hakimnya para pakar
fiqih, yang benar-benar kampium dibidangnya, al Haq mengkuasakan kepada para
malaikat pemberi nikmat untuk menjaga penduduknya, Dia menjadikan mereka ahli
kelapangan dan kemudahan, Dia memudahkan segala urusan penduduknya.
Air laut ini memiliki empat cabang utama yang sangat populer, berikut empat
ribu cabang yang menyebar ke segala penjuru, adapun cabang yang populer itu
adalah Everat. Nil. Sihun. Jihun. Sedang cabang-cabang lam yang bertebaran
banyak ditemui di bumi India dan Turki serta di Habasyah (Ethopia) terdapat dua
cabang, rotasi peredaran samudera mi 24 tahun, ia mengalir ke seluruh daratan
rendah bumi, dengan panjang dan lebar cabang yang berbeda-beda. Sungai itu
membentang dengan dua cabang. Pertama, di daerah Iram yang mempunyai
bangunan-bangunan yang tinggi. Kedua, di daerah Na'man, adapun sungai yang
alirannya melebar di daratan rendah bumi, sejatinya adalah metafor aktifitas
nel (tindakan nyata), dan para pekerja, yang terwajahkan dalam aktifita
membangun kontruksi bangunan (gedung-gedung mewah dan perumahan), sedangkan
sungai yang alirannya memanjang di daratan rendah bumi, sejatinya adalah
paradoks, penafian akan eksistensi al Haq sebagai wujud sesembahan, mereka
hanya menuhankan materi, terlebih merasa tenang dan nyaman hidup dibalik
gedung-gedung mewah. Esensinya mereka menuhankan materi dan menafikan Dzat
Pencipta materi itu sendiri. Cabang sungai kedua ini sejatinya adalah lautan
yang airnya mengalir bercampur aduk (antara air tawar dan asin). Pahami dengan
betul metafor dan paradoks yang ada, hakekat sesuatu bukanlah pada penampakkan
lahirnya akan tetapi pada makna tersiratnya, al Haq meliputi segala sesuatu
dari permulaan sesuatu hingga akhirannya.
Laut yang berair keruh (karena campur aduk antara tawar dan asin) ini sulit
dilalui, mudah hancur, ia merupakan 'titian' jalan para Saalik (penuju jalan al
Haq) setiap mukmin sejati berharap bisa melintas jalan ini dan tiada satupun
yang sampai ke muara perjalanan melainkan dengan kesungguhan ibadah dan
ubudiyah kepada-Nya. Warnanya putih kemilau, keadaannya sangat Ajiib (unik) dan
gharib, gelombangnya berupa laku kebaktian, kepatuhan, keta'atan, udara dan
hembusan angin serta topannya berupa keutamaan-keutamaan perilaku, karimah
ahlak, kesucian hati dan jiwa, kebersihan anggota tubuh (bersih lahir batin),
ikan yang hidup di dalamnya laksana keledai dan onta yang memanggul setiap
beban dan belitan hidup menuju negen kekerdilan jiwa, orang seorang akan sulit
mengentas dirinya dan kekerdilan jiwa, kecupetan hati, melainkan dengan usaha
yang super keras dengan energi kesabaran yang tiada tara, keeksisan yang
membaja. Orang-seorang tiada akan pernah bisa bangkit dari keterpurukan
jiwanya, kecuali dengan bersungguh-sungguh bekerja keras. Kesungguhan yang
jernih dan tulus, berikut disertai optimalisasi diri dalam bekerja dan berbuat,
adalah merupakan tiang pancang kebangkitan menuju keadaan diri yang lebih konstruktif,
guna mengarungi bahtera kehidupan demi tergapainya pulau harapan. Tidak ada
yang mampu melayari lautan ini, hingga sampai ke pulau ketuhanan, kecuali
manusia-manusia yang memiliki azimah (hasrat kuat) yang diqdaya, hembusan udara
laut ini menghempaskan jiwa-jiwa yang ragu, gamang, putus asa, hanya manusia
yang berjiwa kokoh, berhati baja, berjiwa diqdaya sajalah yang bisa sampai ke
tepian kesuksesan dalam mengarungi samudera ini, penduduk laut ini terdiri atas
insan-insan yang shiddiq (jujur dan benar) dalam bekerja dan berbuat, perkataan
dan Haal mereka dapat dipercaya (Aammim), tidak ada penghuninya yang malas
bertindak (bekerja) dan hipokrit,' penghuni laut ini adalah para ahli ibadah
yang tulus, para shaleh yang arif dan pegiat zuhud nomer wahid. Laut ini
menghasilkan ke-baqa'-an hidup dan permata (hati dan jiwa) yang suci nan
jernih, yang dengan itu mereka bersih tampilan lahinyahnya, suci batiniyahnya,
mampu menangkap tajalli al Haq dan memakrifahi ekstensi ke-maujud-an Nya. al
Haq mengkuasakan kepada malaikat Adzab (penyiksa), untuk menjaga laut yang rasa
pahit ini, rotasi samudera ini kisarannya selama 5000 tahun, laut ini putaran
arusnya hanya ada di sebagian belahan bumi tertentu saja.
Sedangkan lautan yang mengalir di dalamnya air tawar dan asm, warnanya
kekuning-kuningan, gelombangnya sangat dahsat, terlihat laksana padang pasir
merah, tidak ada seorangpun yang mau mereguk airnya, serta tidak ada satupun
yang kuat mengarungi samuderahnya, ia adalah paradoks gedung-gedung tinggi
menjulang yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu dinegeri-negeri
lain, laut ini sulit sekali diarungi, banyak insan yang menuai kegetiran dan
kehancuran di dalamnya, tidak ada yang bisa selamat di dalamnya, melainkan
orang-orang mukmin yang memiliki keyakinan tauhid yang utuh, tidak menyerahkan
pelik urusan duniawinya kepada orang-orang yang berkeyakinan aqidah lain,
mereka yang menaiki bahtera para kuffar (manusia-manusia yang ingkar kepada al
Haq) dalam mengarungi samudera ini, niscaya mereka akan tenggelam dan hancur,
pengembaraan yang paling aman di lautan ini adalah dengan mengendarai
kapal-kapal Islam (ajaran Ourani dan sunnah rasul-Nya yang shahih), para
nahkoda kapal Islam itu adalah manusia-manusia yang memfungsikan akalnya secara
jernih dan jujur, mereka senantiasa mengoptimalkan akal pikir mereka untuk
mentafakkun ajaran Ilahiyah, baik tekstual maupun kontekstual, sedang nahkoda
kapal lam, mayoritas dari mereka suka mank ongkos yang terlalu mahal, mempungli
para penumpang kapal, serta menyandarkan nasib diri dan penumpang kapalnya
kepada ikan-ikan paus (hiu) yang ada di dalam lautan ini, kapal non Islam ini
penuh dengan trik-trik penipuan, saling menjatuhkan satu sama lain, demi
mengkais kepentingan pragmatisme duniawi, mereka yang menumpangi kapal ini
syakilah hati mereka tiada pernah menemukan ketenangan din, mereka selalu
diliputi keragu-ragguan, kegamangan serta kegelisahan tak bertepi, yang
sedemikian itu karena mereka tidak menyandarkan nasib din mereka kepada al Haq
namun kepada makhluk-Nya yang fana'. Sedang para penumpang kapal Islam, al Haq
menjadi agunan nasib mereka, syakilah hati mereka senantiasa dalam kedamaian, hanya
insan-insan beriman yang bisa mengarungi samudera ini dengan selamat, dengan
bahtera Islam tersebut, mereka bisa mengkais permata Lahuti (sifat-sifat
ketuhanan) yang orisinil, berikut mereka dapat mengkais Marjaan (mutiara)
Nasuut (sifat-sifat kemanusiaan) yang terpuji dan mulia, kegunaan lautan ini
tiada terhmgga banyaknya dan keluasaan fungsinya tak bertepi. Orang seorang
yang tidak mampu mengkais hikmah di dalamnya, ia sunggguh sangat merugi, baik
secara fisik maupun secara agama, penghuni laut ini adalah ahl Siddiqiyah (ahli
kebenaran), baik kebenaran yang berskala mikro, maupun bersakala makro.
Dalam pengalaman Mukasyafah saya di lautan ini, saya melihat penghuninya
adalah orang-orang yang beraqidah benar, keyakinan mereka lurus, senantiasa
Khusnudzan (berprasangka baik) terhadap berbagai bentuk fitnahan yang mendera
diri mereka selalu ikhlas dan rela dengan apa yang ditentukan al Haq untuk diri
mereka, tidak pernah putus asa menghadapi musibah yang memayungi langit
kehidupan mereka, hati dan jiwa mereka selalu dibangkitkan untuk bertawajjuh
kepada al Haq, Dia mengkuasakan kepada malaikat penakluk untuk memelihara lautan
yang ombaknya selalu mengalir dengan deras ini, mereka adalah
Penduduk Iram yang mempunyai
bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun suatu kota seperti
itu, di negeri-negeri lain. (Q.s. al Fajr 89 : 7 - 8).
Samudera ini ombaknya menggelinding ke Iram (ibu kota kaum 'Aad) itu,
penduduk tepi pantai kota tersebut juga dapat memfaatkan ikan-ikan pausnya yang
sangat mentakjubkan, rotasi (peredaran) samudera ini, berdurasi jarak 7000
tahun, seorang pengembara akan butuh waktu satu tahun untuk mengarunginya.
Lautan' ini penuh dengan duri-duri cobaan dan bencana, jika tidak memiliki
kesungguhan yang optimal terlebih keyakinan aqidah (tauhid) yang benar akan
tenggelam ke dasar kehancuran dan kerusakan diri.
Adapun lautan tawar, sejatinya adalah samudera umum (lautan lepas) yang
jamak dijumpai banyak orang, warnanya kebiru-biruan, semakin biru menunjukkan
kedalamnnya, orang seorang yang meminum air laut ini akan mati kehausan,
kefa'an dirinya akan sirna bersama segala sesuatu yang bersifat Huduts (adanya
karena diciptakan), angin azali menghembus dengan kencang, melahirkan
gelombang-gelombang besar yang membahana hingga ke bibir (tepian) pantai, tidak
ada seorang perenangpun yang selamat mengarunginya, angin azali tidak bisa
menyelamatkan siapapun yang berenang di dalamnya, kecuali jika tangan Kasih
Dzat yang Maha
Pemurah, mengulurkan kasih Inayah (pertolongan)Nya kepada perenang
tersebut, mereka yang menaiki bahtera Syariat dalam mengarungi samudera ini,
akan beroleh keselamatan serta akan terpelihara dari keterjatuhan ke lautan
(kehidupan) yang dalamnya tak terukur, bahtera itu tiada pernah bisa berjalan
kecuali dengan pelaksanaan ajaran syariat-Nya, angin azali itu tidak pernah
berhembus kecuali ke arah kiri dan kanan, bahtera itu terbuat dan simbol-simbol
yang tertorehkan dalam luh-luh bebatuan, mereka yang mengandalkan logika untuk
memecahkan rumus-rumus (simbol) tersebut akan tersesatkan, para cerdik cendikia
akan terjerembab kedalam keragu-raguan menafsiri simbol-simbol yang ada,
bahterah ini penuh dengan duri-duri kehidupan, gampang hancur serta mudah
diluluh lantakkan, tidak ada seorangpun dari penumpangnya yang bisa selamat,
melainkan orang-orang yang bertauhid utuh dan benar serta memiliki keyakinan
yang lurus, hanya beberapa orang saja dari penumpangnya yang selamat, gelombang
lautan ini senantiasa menghantui para penghuninya, baik yang menetap maupun
yang bepergian, para pengkelana di samudera ini akan mendapati beribu-ribu
rintangan dalam setiap jengkal langkahnya, mereka dihadapkan realita yang
sangat tipis antara yang halal dan haram, mereka disuguhi sesuatu yang haram
namun dalam pandangan mereka seperti sesuatu yang halal, mereka sulit
membedakan antara sumber penghasilan (uang) yang halal dengan uang haram,
mereka tidak meyakini bahwa kenikmatan dunia ini pasti berakhir, mereka juga
belum menyiapkan diri untuk kehidupan abadi di kampung akhirat, tidak ada yang
mampu mengentas diri dari gelombang lautan ini, melainkan insan-insan yang
memiliki azimah (keinginan kuat) yang tulus dan utuh, tidak ada yang mampu
memalingkan dirinya dari euforia kenikmatan duniawi, selain mereka-mereka yang
memiliki Himmah (cita-cita) al Ulwiyah (ketinggian), gelombang lautan ini
dibangun berdasarkan ritus peribadatan tauhid secara murni (Ushuliyah,) tidak
direcoki dengan pelik-pelik cabang (Furu'iyah,) lautan ini menghamparkan
dasar-sasar peribadatan, bukan cabang-cabang peribadatan, hembusan anginnya
akan menerjang keyakinan-keyakinan yang tidak berdasarkan Ushul, topan laut ini
akan menggilas Furu' (cabang) ibadah yang sarat dengan bid'ah-bid'ah serta
taklid (pengikutan tak berdasar).
Penghuni lautan ini tidak memiliki bintang sebagai dalil (petunjuk) selain
falak Zuhrah (venus), tidak ada pemandu (nahkoda) bahtera kapal di lautan ini
selain niat yang tulus dan jernih guna menyeberangi Dzulumaat (kegelapan) laut,
ikan-ikan paus yang hidup di dalamnya mampu mencitrakan dirinya dengan bentuk
segala makhluk, tubuhnya mengandung minyak-minyak penawar racun yang multi
guna, al Haq menciptakan binatang-binatang yang hidup di lautan ini dari cahaya
nama-Nya al Qodiir, Dia menjadikan binatang-binatang laut tersebut, hakekat
hikmah lahiriyah dan tajalli-Nya. hanya manusia-manusia yang khusus yang bisa
mengentas diri mereka dan ketenggelaman samudera yang dalam, berikut mereguk
hikmah-Nya yang berserak di dalamnya, al Haq menjadikan penghuni laut ini
terdiri atas malaikat ketinggian yang memiliki tangan-tangan kekuasaan yang
panjang, Dia mengkuasakan kepada malaikat penghidup memelihara penghuni
samudera tersebut.
Ketahuilah, bahwasanya Dzat yang Qidam (adanya tidak didahului oleh
sesuatu), Dia melihat kepada permata Yaqut yang berada di 'Adam (ketiadaan)
samudera ini memilik cahaya dari permata Yaqut tersebut dengan segala
kewibawaan-Nya, rasa tawar airnya adalah lahir dari citra kewibawaan dan rahmat
serta keagunganNya, ketika Yaqut itu berubah menjadi air maka jadilah Yaqut
itu dua lautan yang satu gelap gulita, sedang satunya lagi terang benderang,
tatkalah kedua lautan itu mengalir, maka bertemulah air tawar dan asin, (terang
dan gelap), al Haq membiarkan dua lautan itu mengalir yang keduanya kemudian
bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. (Q.s.
ar Rahmaan 55 : 19 -20). Air yang mengalir dan berkumpul di pertemuan dua laut
tersebut merupakan metafor pertemuan dua hukum dan perintah (syariat lahir dan
hakekat batin), secara lahiriyah ia mempakan inti mata air yang mengalir dari
sebuah daerah yang bernama Azyil pada bumi belahan barat. Kekhususan laut yang
terdiri atas pertemuan dua (air) laut ini barang siapa yang meminum airnya
tidak akan mati, barang siapa yang menyelam di dalamnya akan bisa melahap hati
Bahamut, adapun sejatinya Bahamut adalah paus yang hidup di air laut tawar,
laut dan pausnya dijadikan al Haq, penyangga dunia dan isinya dunia, ketika al
Haq membentangkan bumi ini, Dia menjadikannya diatas dua tanduk lembu jantan
yang dinamakan Baharmut, serta menjadikan lembu jantan itu diatas ikan paus
yang ada di lautan ini dan dinamakan Bahamut, yang sedemikian itu seperti yang diisyaratkan
al Haq dalam firman Qur’ani :
Dan semua yang ada dibawah tanah. (Q.s. Thaahaa 20 : 6).
Telisik dengan benar metafor (isyarat) yang kami gunakan dalam keterangan
ini agar anda tidak terjebak pada makna simbolnya.
Di pertemuan dua laut itulah, Musa as berjumpa Khidhir as di tepi
pantainya, karena al Haq telah menjanjikan kepada Musa as bahwasanya ia akan
bersua dengan hamba kinasih-Nya di pertemuan dua laut, Musa as dengan disertai
anak muda yang bertugas membawa bekal makanan memulai pengembaraan mencari
tempat pertemuan dua lautan tersebut, tatkala keduanya sampai pada seuatu
tempat yang sejatinya adalah pertemuan dua laut itu, keduanya lupa akan bekal
makanannya (ikan yang dibawahnya) keduanya lalu kembali ke tempat penyimpanan
makanan, ketika sampai, air laut sudah pasang dan bekal makanan yang berupa
ikan tersebut menjadi hidup karena tergenang air pasang, ikan itu lalu melompat
mengambil jalannya ke laut ditempat tersebut, Musa as sangat takjub dengan
kejadian itu, bagaimana mungkin ikan yang telah dipanggang bisa hidup kembali
seperti sediakala, mata hatinya terbuka dan ia menjadi yakin bahwasanya al Haq
telah memberi isyarat, bahwa laut yang dituju ikan itulah sejatinya pertemuan
dua lautan yang salama ini ia cari, adapun pemuda yang mendampingi pengembaraan
Musa as itu bernama Yusa' bin Nun, ia lebih tua usianya dibandingkan umur Musa
as, kisah kembara agung ini banyak direntah dalam pesan Qur'ani, kami telah
membahas khusus masalah tersebut dalam karya kami yang berjudul Masamirah al
Habiib wa Musayarah as Shahiib, untuk lebih jelasnya silahkan anda membaca
karya tersebut.
Alexander Agung sengaja pergi ke tempat ini untuk mereguk air lautnya, yang
sedemikian itu Alexander Agung mempercayai petuah Plato yang memaklumatkan,
bahwasanya : barang siapa yang mereguk air kehidupan (air pertemuan dua lautan)
ini, ia tidak akan pernah mati. Plato sendiri telah sampai ke tempat tersebut
dan meminum air lautnya, ia hingga kini tetap eksis (hidup) di sebuah gunung
yang bernama Dravenda, setidaknya itulah keyakinan para Platonis. Aristoteles
yang merupakan punggawa murid Plato adalah guru Alexander Agung, Aristoteles
juga menyertai Alexander Agung dalam pengembaraannya menuju pertemuan dua laut
tersebut, dalam pengembaraan itu, ketika mereka melintasi bumi kegelapan.
Aristoteles memilih sikap terus berjalan, ia hanya diikuti segelintir pasukan,
sedang mayoritas pasukan lebih memilih memasang tenda besar di sebuah tempat
yang bernama Tsabat, ditempat mi dapat dilihat matahari menampakkan sinarnya
tatkala terbit, Khidhir as juga ada diantara pengikut kembara Alexander Agung
itu, mereka tidak tahu sudah berapa jarak yang telah mereka tempuh, berapa hari
yang telah mereka lewati dalam pengembaraan tersebut, tiba-tiba mereka merasa
telah berada di tepi laut, dengan sigap sebagian dan mereka turun ke tepi laut
untuk mereguk airnya, tidak sedikit dari anggota rombongan yang putus asa dan
memilih tidak ikut melanjutkan pengembaraan, mereka memutuskan untuk tetap di
markas persinggahan, sejatinya mereka telah sampai pada tempat yang mereka tuju
(pertemuan dua laut) akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa tempat itu
adalah pertemuan dua laut, mereka-pun tidak turun ke pantainya dan meminum air
lautnya padahal Khidir as, telah mengisayaratkan kepada mereka dengan menyembelih
seekor burung dan mengikatnya di pergelangan tangannya, ia lalu pergi ke tepian
laut tersebut ketika burung itu dibenamkan ke air laut tiba-tiba hidup kembali
seperti sedia kala, Khidir as lalu melepaskan burung tersebut, ia sendiri lalu
mandi dan berenang serta mereguk air laut tersebut, semua orang melihat apa
yang diperagakan Khidhir itu namun tidak ada satupun yang menangkap isyarat
yang ia berikan kepada mereka, Khidhir as juga tidak memberitahukan hal
tersebut kepada Alexander Agung namun Plato sangat jeli menangkap pesan
tersirat yang dipragakan Khidhir as tersebut, Plato dari lubuk hatinya yang
paling dalam mengakui Khidhirlah yang beruntung dalam pengembaraan itu, karena
ia telah mereguk air kehidupan, ia patut diberi apresiasi yang tinggi dan wajib
diikuti, Plato berguru kepada Khidhir hingga ajal menjemputnya, sedang
Alexandena hanya bisa belajar ilmu Khidhir dari apa yang diajarkan Plato kepada
dirinya. Ketahuilah, sejatinya Ain al Hayah (air kehidupan) itu adalah hakekat
inti (dzat) dari segala yang wujud. Pahami isyarat ini agar anda bisa
memecahkan rumus ibarat, jangan hanya memaknai hakekat sesuatu dengan pandangan
kasat mata anda, pahami sesuatu dengan lanskap pandangan kesejatian diri anda,
atau jangan memahami hakekat sesuatu sebelum anda bisa memahami kesejatian diri
anda agar anda bisa menggapai maqom (capaian spiritual) sebagaimana digambarkan
pesan Qur’ani,
Mereka itu tetap hidup disisi
Tuhannya dengan perolehan rizki. (Q.s. ali Imraan 3 : 169),
yang dengan itu sejalan dengan perjalanan waktu, anda akan diperkenankan
berjalan dan bergabung dengan kelompok yang telah lebih dahulu bersua dengan
Khidhir as dan Musa as serta anda akan terjauhkan dari Alexander dan kegelapan
siang bolongnya.
Kita telah membincang perihal Khidzir ini pada pasal terdahulu, ia dicipta
al Haq dan hakekat,
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadian dan telah meniupkan kedalamnya ruh Ku. (Q.s. al-Hijr 15 : 29),
sejatinya adalah Ruh Allah, karenanya Khidhir as tetap hidup hingga hari
kiamat. Dalam kasyf, saya bertemu dengan Khidhir as, saya bertanya banyak hal
kepada kinasih al Haq tersebut, paska pertemuan itu saya bisa mereguk semua air
yang terhampar di samudera kehidupan luas mi, ketahuilah bahwasanya samudera
luas yang tersebut diatas berikut apa yang terpisahkan dari gunung Qoof dan
alirannya melebar ke segenap dataran rendah bumi yang barairkan asin dan
rasanya pahit, adalah merupakan lautan kasat mata yang jamak kita temukan di
berbagai penjuru dunia, sedang laut yang tersambungkan dengan gunung itu,
adalah laut merah yang bau airnya tidak amis, adapun laut yang berada di balik
gunung Qoof dan tersambung dengan gunung hitam, ia adalah laut hijau rasa
airnya sangat pahit seperti racun yang mematikan, barang siapa yang
menenggaknya akan hancur dan sirna seketika, sedangkan laut yang berada dibalik
gunung itu dan tidak tersambung dengan segala yang wujud dibaliknya disebut
laut hitam yang tidak diketahui kesejatian rasa dan baunya, tidak ada
seorangpun yang bisa menjangkaunya, bahkan kabar tentang kesejatian laut ini
telah sirna dan terkubur sejarah peradaban kehidupan insaniyah, adapun laut
merah airnya tidak amis, ia bahkan menebarkan aroma misik dan kasturi, ia jamak
disebut dengan laut harapan, yang menebarkan kesejatian segala wujud, dalam
mukasyafah saya melihat ditepian laut ini marak dihuni para insan beriman, yang
tekun beribadah mendekatkan diri kepada al Haq, mereka telah Wushul (sambung)
dengan al Haq, barang siapa yang berinterkasi (bergaul) dengan mereka akan bisa
memakrifahi hakekat ketuhanan-Nya, hingga sampai kesejatian inti (dzat)-Nya.
Wajah mereka, laksana sinar mentari yang menampakkan senyumnya dengan
terang benderang, menerangi insan-insan yang berada dipersimpangan jalan yang
terjerembab ke dalam keragu-raguan sikap dalam mengeksiskan diri meniti jalan
al Haq, sinar mentan itu akan menyinari insan-insan yang memaklumatkan
ketaubatan dirinya, ditengah arus gelombang dashat kehidupan yang sarat
misteri, jika mereka hendak bepergian mengarungi samudera mi, mereka
berkalobrasi dengan paus-paus penghuninya, mereka menaiki paus-paus itu untuk
membelah samudera raya, karena paus-paus itulah satu-satunya kendaraan yang ada
di belantara samudera mi, sumber penghasilan mereka adalah al Lu'Lu' (permata)
dan Marjan yang ada di dalamnya, tatkalah mereka bersandar diatas punggung paus
mi, tiba-tiba mereka pingsan karena aroma wewangian laut ini, ketika mereka mengarungi
bahtera ini, mereka kubur ke-aku-an diri mereka pun mereka tenggelamkan
perasaan inderawi yang ada dalam diri mereka, mereka ceburkan diri mereka ke
dalam lautan sepenuh hati, paus itu memudahkan langkah mereka menuju bibir
pantai pulau idaman, ditempat itu mereka hanyut dalam euforia ritual yang tak
bisa direntali dengan kata-kata, manakala mereka kembali ke daratan tempat
mereka semula tinggal dan mereka benar-benar telah keluar dari lautan tersebut,
maka kembali pula akal mereka, yang dengan itu mereka bisa mentafakkuri
perjalanan ritual yang telah dilaluinya, lalu keajaiban-keajaiban tersebut
mereka simpan dalam-dalam di sirr (rahasia batin) mereka, yang tidak bisa
mereka tuturkan kepada kita, jamak kita dengar sesuatu yang tiada pernah
terlihat oleh pandangan kasat mata, tiada pernah tersimak oleh pendengaran
telinga, dan sama sekali tidak pernah terbersit di hati tiap manusia.!
Ketahuilah, gelombang air samudera ini, setiap deburan ombaknya membanjiri
apa yang ada diantara langit dan bumi, deburan ombak itu terjadi berjuta-juta
kali, andai Dzat Yang Maha Mengetahui akan Kekuasaan-Nya tidak meluaskan
samudera ini, niscaya tidak ada satupun yang wujud ini yang tersisah disapuh
golombangnya, al Haq mengkuasakan kepada para malaikat Karwabuun, menjaga
samudera ini, mereka berdiri di tepian samudera, tidak ada penghuni samudera
ini melainkan binatang-binatang laut dan paus-paus. Adapun laut Hijau rasa
airnya terasa pahit, sumber kesirnaan dan ketenggelaman, para alim (ulama)
pegiat hakekat mensifatinya dengan sebaik-baik sifat, para insan yang telah
mengarifi kesejatian laut ini, memberi 'simbol' dengan simbol terbaik, tidak
ada paus penghuninya yang apabila dinaiki tidak menyebabkan kematian si
penunggangnya. Saya pernah melihat pesisirnya terdapat kota yang tenang dan
aman, itulah sejatinya kota yang disinggahi Khidhir as dan Musa as, seperti
yang diwartakan pesan Qur’ani,
Tatkala keduanya sampai kepada
penduduk suatu negeri, meeka berdua minta dijamu, kepada penduduk negeri
tersebut, akan tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka berdua. (Q,s, al Kahfi 18 : 77),
yang sedemikian itu karena keduanya (Khidhir dan Musa) mengenakan pakaian
gembel yang jamak dikenakan para faqir, sehingga membuat penghuni kota enggan
menjamu keduanya, lebih dari itu penduduk kota itu adalah kaum elit yang menu
dan porsi makan mereka sekelas menu para raja dan penguasa negeri.
Dalam muksyafah, saya melihat penghuni kota itu sangat hobi menyelam di
samudera ini, mereka memiliki kecintaan yang dalam untuk menenggelamkan diri
mereka ke dasar samudera, mereka berkumpul tiap awal tahun, yang tidak lain
hari raya mereka, pada hari itu mereka menghiasai kapal-kapal mereka dengan
dekorasi terbaik, kapal mereka penuh aneka warna, keceriaan lahiriyah tersebut
menggambarkan keceriaan batin mereka, kemudian mereka beramai-ramai mendorong
kapal-kapal itu ketepian pantai, lalu bergerak bersama-sama mengarungi samudera
luas dengan kapal masing-masing, diantara mereka ada yang tenggelam bersama
kapalnya ke dasar lautan, diantara mereka ada yang kembali ke daratan dengan
selamat, mereka yang tenggelam dianggap telah menuai kesuksesan, sedang mereka
yang kembali kedaratan, dianggap sebagai manusia yang gagal dan hidupnya
menjadi marginal dimata anak zamannya, namun demikian orang itu masih diberi
kesempatan untuk melaut pada tahun berikutnya, hingga bisa terwujud
keinginannya tenggelam dan tewas dilautan lepas untuk memuaskan dahaga
kerinduannya kepada sang laut. Seperti halnya kerinduan si penakut kepada sinar
lentera untuk menina bobokkan dirinya, ia selalu ingin berada dibawah temaran
cahaya hingga ia benar-benar terbenam dalam tidurnya.
Adapun laut ketujuh, warnanya hitam pekat, penghuninya tidak bisa
diidentifikasi, pausnya juga tidak bisa dideteksi, ia adalah laut yang mustahil
bisa dijangkau, karena tidak mungkin dijangkau, ia berada dibalik at Tathawwur
(pertumbuhan) dan diujung putaran keajaibannya tak berujung dan keuniqannya tak
bertepi, ia sejatinya adalah Bahr al Dzat (Samudera Dzat), yang hanya bisa
dilihat eksistensi-Nya melalui tajalli sifat-sifat dan asma-asma-Nya, ia adalah
samudera Ma'dum (ketiadaan) dan Maujud (ada), ia merupakan samudera Marsum
(yang diformat) dan Mafqud (yang dihilangkan) yang Ma'luum (diketahui) dan yang
Majhuul (misteri), ada-Nya adalah ketidak adaan-Nya, ketidak adaan-Nya adalah
kemaujudan (ada)-Nya, awal-Nya meliputi akhir-Nya, batin-Nya tercerminkan dalam
lahir-Nya, tidak bisa dijangkau hakekat dzat-Nya, tidak ada satupun yang bisa
mengetahui inti Dzat-Nya di alam ini. Pahami betul isyarat-isyarat yang kami
pakai dalam paparan pasal ini, agar anda bisa menangkap makna yang tersirat
dibalik yang tersurat.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Sudah Edit 63. Akidah Semua Agama dan Ritual ibadah Serta Nuqta (Titik) segala Haal dan Maqomat
Ketahuilah, bahwa al Haq tidak menciptakan segala yang wujud, melainkan untuk
beribadah kepada-Nya, semuanya terkodratkan untuk menyembah kepada al Haq,
karena fitrah penciptaan mereka adalah untuk beribadah, ketersambungan segala
sesuatu dengan al Haq adalah dengan mentradisikan ritus ibadah kepada-Nya
dengan Haal (keadaan)Nya dan Maqol ujaran dan rasionalitas wujudnya serta fi'il
(perbuatan)nya, bahkan dengan dzat dan sifat-nya, segala yang wujud adalah
muthi' (patuh) dan mentradisikan keta'atan kepada al Haq, sebagaimana
firman-Nya kepada langit dan bumi:
Datanglah kamu keduanya menurut
perintah Ku, dengan suka hati atau terpaksa, keduanya menjawab : Kami datang
dengan suka hati. (Q.s. Fushsshilat 41 : 11),
tidaklah yang dimaksud dengan langit itu, melainkan penghuninya, pun
tidaklah yang dimaksud dengan bumi tersebut, melainkan penduduknya, dalam ayat
lain al Haq berfirman :
Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Ku. (Q.s. ad Dzaariyaat. 51 : 56).
Rasul saw juga bersaksi bahwanya segala yang wujud tersebut, menyembah
(beribadah) kepada al Haq, sebagaimana sabda beliau :
Masing-masing berjalan sesuai dengan
kodrat penciptaannya,
para jin dan manusia adalah makhluk yang diciptakan untuk beribadah dan
mereka berjalan sesuai kodrat (fitrah) penciptaan masing-masing. Mereka
(masing-masing makhluk) menyembah al Haq secara primer, namun demikian ritus
peribadatan mereka satu sama lam berbeda-beda tergantung daripada tingkat
pemahaman mereka akan urgensi nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang sedemikian
itu al Haq bertajalli dengan nama-Nya al Mudzzil (yang menjadikan
tersesat), seperti halnya Dia bertajalli dengan nama-Nya al Haadi (yang
memberi petunjuk), demikian halnya nama-Nya al Mun'im (yang memberi
nikmat), meninggalkan bekas-bekas yang nyata, seperti halnya nama-Nya al Muntaqim
(yang menuntut bela), juga meninggalkan bekas yang riel. Demikian pula
dengan Haal (kondisi spiritual) orang seorang satu sama lain berbeda, sejalan
dengan tingkat pemahaman mereka dalam memaknai nama-nama dan sifat-sifat al
Haq, meskipun mereka tercipta dalam fitrah yang satu, seperti yang ditegaskan
firman Qur’ani :
Manusia itu adalah ummat yang satu. (Q.s. al Baqarah 2:213)
yakni para hamba al Haq yang tercipta dalam keta'atan dan kepatuhan
kepada-Nya, itulah fitrah dasar penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada al
Haq.
Karenanya al Haq mengutus para nabi dan rasul kepada mereka untuk
mewartakan kabar gembira dan memberi peringatan, agar mereka bisa menyembah al
Haq dengan mengikuti petunjuk risalah yang dibawah para rasul dan nabi-Nya,
melalui pancaran nama-Nya al Haadi (yang memberi petunjuk), serta bisa
memahami esensi pancaran nama-Nya al Mudzzil (yang menyesatkan), dalam
menjalankan ritus ibadahnya. Terkait dengan ritual ibadah ini, banyak ragam
ritual, lahir bermacam-macam keyakinan serta tampak berbagai macam agama,
masing-masing yakin dengan kebenaran agama yang dipeluknya, meski dalam
teropong ilmu pengetahuan, agama tersebut adalah salah, namun demikian al Haq
masih memberi apresiasi kepada para pemeluk agama-agama itu sejalan dengan
sifat-sifat-Nya yang perpengaruh pada diri si-penyembah melalui jalan keyakinan
masing-masing (agama), sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya,
Tidak ada suatu binatang melatapun,
melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. (Q.s. Huud 11 : 56).
Dialah subjek atas apa yang mereka kerjakan, sejalan dengan apa yang
dikehendaki-Nya, Dia memberi balasan pahala kepada mereka sesuai dengan kadar
keimanan dan pemahaman mereka akan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, Dia senantiasa
berbuat adil atas apa yang mereka lakukan, Dia memberi pahala sesuai ritus
ibadah yang mereka tunaikan, Dia bahkan memperlakukan segala sesuatu, sejalan
dengan ragam ibadah masing-masing karena Dia adalah dzat Yang maha Sempurna,
segala yang wujud menyembah kepada al Haq, tunduk simpuh dalam keta'atan dan
kebaktian ibadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya :
Dan tidak ada suatupun melainkan
bertasbih, dengan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih
mereka. (Q.s.
al Israa' 17 : 44)
karena bentuk tasbih (sanjung puji) mereka ada yang terwajahkan dalam
bentuk pelanggaran, kemaksiatan, kekerasan kepala dan lain-lain, tidak ada
satupun yang mengerti tasbihnya, penafian yang ada dalam redaksi Qur'ani
tersebut, tidak menunjukkan keseluruhan tasbih. Semantis logikanya sebagian
tasbih mereka bisa dimengerti. Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih
mereka bukan berarti semua tasbih (mereka) tidak bisa dimengerti, sebagian
tasbih (sanjung puji) mereka bisa difahami.
Ketahuilah, ketika al Haq men-ada-kan segala yang wujud dan menurunkan Adam
dari surga, Adam adalah kinasih-Nya sebelum penurunannya ke alam dunia ini,
ketika ia menginjakkan kakinya di atas muka bumi ini, al Haq mentahbiskannya
menjadi nabi, karena tugas kenabian adalah seruan kepada ajaran syariat dan
penugasan. Dunia adalah kampung penugasan, berbeda dengan surga yang merupakan
kampung pemuliaan dan penyaksian serta kampung pewalian. Adam sendiri sebelum
beranak pinak, ia adalah kinasih al Haq, namun paska kelahiran anak dan
cucunya, ia mengemban tugas kenabian, ia mengajari mereka nilai-nilai ajaran al
Haq, menerangkan kepada mereka amar perjntah ketuhanan, al Haq menurunkan
kepadanya Shahifah (lembaran) yang berisi ajaran-ajaran-Nya, anak cucunya yang
membaca Shahifah tersebut, mengimaninya dan menjadikannya 'tuntunan' hidup dan
kehidupan mereka, sedang anak cucunya yang memperturutkan hawa nafsunya dan
menafikan keberadaan Shahifah tersebut, hidup dan kehidupan mereka, terjauhkan
dari petunjuk Tuhan, serta hanyut dalam kelalaian (kepongahan) berikut
terjerembab ke dalam kenikmatan dunia yang semu dan menipu, keterperdayaan itu
menjadikan mereka manusia-manusia yang ingkar dan nihil keimanan kepada
Shahifah yang diturunkan kepada Adam as, mereka itulah pelaku utama kekafiran
yang melahirkan benih-benih kekufuran sepanjang masa. Tatkala Adam as kembali
keharibaan-Nya anak cucunya bercerai berai, tidak saja dalam kehidupan praktis
namun juga dalam masalah aqidah (keyakinan), mereka yang mempercayai kedekatan
Adam as dengan al Haq berusaha mewajahkan bentuk ketakdziman (pengagungan)
mereka dengan membuat patung Adam as, guna mengeksiskan penghormatan dan
pengabdian mereka kepada Adam as, mereka bahkan berusaha menghidupkan simbol
kecintaan mereka kepada Adam as, dengan memakzulkan kepribadian dan karakter
Adam as sepanjang waktu, karena dengan cara seperti itu mereka berkeyakinan
bisa taqarrub (mendekatkan diri) kepada al Haq, seperti halnya keyakinan mereka
semasa Adam as hidup, bahwa dengan berhidmat (mengabdi) kepada Adam as adalah
merupakan cara yang paling valid untuk menggapai kedekatan kepada al Haq.
Orang-orang itu beranggapan dengan melakukan penghidmatan kepada Adam as
melalui pembuatan patung Adam berikut menghidupkan karakteristik Adam dalam
diri mereka, itulah kedekatan dengan al Haq bisa terwujud, perilaku mereka itu
diikuti generasi sesudahnya bahkan bentuk pengkhidmatan itu telah tereduksi
hingga menjadi bentuk penyembahan kepada patung tersebut secara dzat
(subtansial). Mereka kini tidak saja menjadikan patung itu simbol kecintaan
atau media pengagungan Adam as, untuk usaha mendekatkan diri kepada Tuhan,
namun menjadikan patung itu sendiri Tuhan wujud sesembahan. Mereka itulah cikal
bakal paganisme (penyembah patung) yang menelorkan giant penyembahan patung
(paganisme) hingga kontek kekinian. Sementara itu ada kelompok lain yang
mencoba memakai kerangka logika mereka dengan mengkritisi perilaku paganisme
yang ada dan menciptakan wujud sesembahan baru, kelompok ini berujar : Yang
paling utama kita lakukan adalah menyembah empat unsur tabiat (alam) karena ia
merupakan asal segala wujud, sebab alam ini tersusun atas empat elan vital,
yaitu : Panas. Dingin. Kering. Lembab. Penyembahan kepada asal segala wujud
lebih utama dibandingkan penyembahan kepada furu' (pertikel) wujud,
berhala-berhala itu adalah partikel penyembahan sedangkan empat unsur alam itu
asal wujud yang melahirkan penyembahan, maka menyembahan tabiat lebih utama
ketimbang menyembahan berhala. Mereka itulah sejatinya Tabi'iyuun (penyembah
alam).
Kemudian ada kolompok lain yang menyembah tujuh bintang, mereka berujar :
Sesungguhnya Panas. Dingin. Kering. Lembab, kesemuanya tidak bergerak sendiri,
sifat-sifat tersebut tidak berdiri sendiri, terlebih keempat sifat itu tidak
memiliki indepedensi gerak, serta punya pilihan gerak, maka menyembahnya tidak
akan menghasilkan faedah, yang utama bukanlah menyembah alam akan tetapi
menyembah tujuh bintang, yaitu :
1. Zuhal (Saturnus).
2. Musytari (Yupiter).
3. Murih (Mars).
4. Syams (Matahari).
5. Zuhra (Venus).
6. Atarad (Merkurius).
7. Qomar (Bulan).
Karena masing-masing bintang tersebut beredar sendiri-sendiri dan
masing-masing memiliki planit yang beredar mengelilinginya keberadaan
bintang-bintang tersebut di jagad raya melahirkan dampak yang cukup signifikan
bagi kehidupan manusia diatas muka bumi ini,
karenanya penyembahan kepada bintang-bintang
tersebut adalah sebuah keharusan. Para penyembah tujuh bintang ini kebanyakan
dan para filosof. Ada kelompok lam yang menyembah cahaya (terang) dan gelap
dalam keyakinan kelompok mi ada dua kekuatan dijagad raya ini. pertama adalah
cahaya (terang) perlambang dan kebaikan yang dinamakan Ahuramazda, kedua adalah
gelap perlambang dan kejahatan (keburukan) yan, dinamakan Ahnman, setiap
manusia harus menyembah cahayf (terang) jika ingin mendapatkan kebahagiaan dan
kemenangan karena hakekat wujud di jagad ini dalam keyakinan mereka hanya ada
dua, yaitu cahaya mutlak dan kegelapan mutlak, cahaya dapat menyingkirkan
kegelapan, sedang kegelapan tidak mampu mengusir cahaya karenanya mereka
memurnikan penyembahan kepada cahaya (terang) atau gelap, dengan meninggalkan
penyembahan bintang-bintang kelompok ini
juga disebut al Watsamyah (Paganisme). Lalu ada kolompok penyembah api, mereka
menandaskan .Sesungguhnya tiang pancang kehidupan ini berdasarkan api Ghanziyah
(mstingtif), yang ada dalam diri tiap manusia, sedangkan wujud lahiriyahnya
adalah berupa api maka api itu sejatinya adalah asal segala wujud, para
penyembah api ini kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang Majusi, kemudian ada kelompok lain, mereka meninggalkan
penyembahan api lalu menyembah ad Dahr (Masa) kelompok ini berkeyakinan, bahwa
mti kehidupan itu tidak lam adalah kehidupan dunia in, saja, mereka berkeyakinan
tidak ada yang bisa membinasakan diri mereka, selain ad Dahr (masa) mereka
adalah al Mulhidiin (para atheis).
Para ahl Kitab (pengikut agama-agama Samawi), juga beraneka ragam keyakinan
mereka, diantara mereka ada yang mengklaim sebagai Barahimah yang mengaku
sebagai penerus ajaran Ibrahim as, bahkan mereka mengklaim sebagai anak cucu
Ibrahim as, mereka memiliki ritual ibadah yang khusus, kemudian ada Yahudi,
mereka adalah pengikut dan penerus ajaran Musa as, ada pula Nasrani mereka
adalah pengikut dan penerus ajaran Isa as, lalu Muslimun, mereka adalah
pengikut ajaran Muhammad saw. Ada banyak agama yang dipeluk bangsa-bangsa
terdahulu, keyakinan mereka berdasarkan Ushul (dasar) kepercayaan yang beraneka
ragam, namun demikian meski terdapat beragam keyakinan dalam banyak agama,
ushul (dasar) keyakinan satu sama lain, tidak saling bertentangan, agama-agama
itu pada dasarnya bertolak dari noqta (titik) yang sama, meski dalam praktenya
melahirkan banyak titik-titik, seperti noqta kekafiran (Kuffaar), penyembahan
alam (tabiat), noqta filosof, paganisme, Majusi, Dahriyah (penyembah masa),
Barahima (Abraham-isme), Yahudi, Nasrani dan Muslimuun. al Haq menyediakan bagi
para penyembah pada masing-masing noqtah (titik-titik) keyakinan itu surga dan
neraka, diantara mereka ada yang dimasukkan ke surga-Nya, ada pula yang
dijebloskan ke dalam neraka-Nya. Tidakkah anda tahu, bahwasanya para Kuffar di
zaman pra kenabian atau paska kenabian yang tidak sampai kepada mereka seruan
risalah kenabian mereka (para kafir) terbagi dua golongan, pertama golongan
pelaku kebaikan, al Haq membalasnya dengan pahala surga, kedua golongan pelaku
kejahatan (keburukan) al Haq mengganjarnya dengan siksa neraka. Demikian pula
dengan ahl Kitab (para pemeluk agama Samawi). Sejatinya kebaikan sebelum
turunnya syariat adalah apa yang menyejukkan hati dan menyenangkan jiwa serta
membahagiakan ruh, sedangkan kebaikan paska turunnya syariat, adalah laku
ibadah yang ditunaikan para hamba kepada al Haq. Begitu pula dengan hakekat
keburukan sebelum turunnya syariat adalah, apa yang mengeruhkan hati dan
dibenci jiwa serta menyakiti jiwa, adapun keburukan paska turunnya syariat,
adalah apa-apa yang dilarang al Haq atas segenap hambaNya. Masing-masing
kelompok keyakinan (beragama) tersebut diatas, menyembah kepada al Haq dengan
bentuk penyembahan yang selazimnya, karena ritus ibadah itu sejatinya adalah
untuk maslahat hamba-Nya, bukan maslahat diri-Nya. Masing-masing pegiat ibadah
beroleh manfaat sesuai dengan tingkat ibadah yang ditunaikannya, lebih dari itu
al Haq menamapakkan pada masing-masing agama, hakekat asma-asma dan sifat-sifat
Nya, ia bertajalli kepada semuanya dengan inti (dzat)-Nya dan masing-masing
pemeluk agama-agama tersebut menyembah-Nya sesuai kemampuan mereka dalam
menangkap tajalli-Nya yang terlanskapkan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
al Kuffar (para kafir) mereka menyembah al Haq dengan inti (dzat)-Nya
karena Dia adalah hakekat segala wujud dengan segala rahasia-Nya, sedang al
Kuffar bagian dari wujud dan al Haq adalah hakekat diri mereka, atas dasar
itulah mereka kufur (mengingkari) adanya Rabb bagi diri mereka, sebab al Haq
adalah sejatian diri mereka dan tidak ada Rabb untuk-Nya, bahkan Dia adalah
Rabb Mutlaq. Maka para kuffar itu menyembah-Nya sesuai kehendak diri mereka
karena diri mereka adalah inti (dzat)-Nya. Diantara para kafir itu ada yang
menjadi paganis (penyembah berhala) berdasarkan rahasia wujud al Haq dengan
segala kesempurnaan-Nya, tanpa ada Hului (bertempat Diri dalam jisim mereka)
atau Ittihad al Wujud (Manunggaling Kawula Gusti) serta Tasybih
(antropomorfisme) wujud secara dzat, pada masing-masing individu atau
benda-benda tertentu, dimata para paganis, al Haq adalah hakekat
berhala-berhala yang mereka sembah, sejatinya yang mereka sembah bukanlah
berhala-berhala tersebut, akan tetapi kesejatian al Haq, mereka tidak merasa
butuh (faqr) kepada berhala tersebut, mereka juga tidak memuarakan niat mereka
kepada patung-patung itu, mereka menjadikan
berhala-berhala itu sebagai
media (wasila) ketersambungan dengan al Haq, karena esensi sebuah
hakekat meski lama dipendam, niscaya akan tertampakkan kesejatiannya, itulah
rahasia pengikutan mereka kepada al Haq melalui diri mereka, karena hati mereka
memperlihatkan kepada diri mereka bahwasanya al Haq tampak pada ritus paganis
yang mereka kerjakan. Maka kisaran aqidah mereka beredar pada hakekat wujud
sesembahan yang ada dan al Haq bersama Dzan (persangkaan) hamba-Nya. Rasul saw
bersabda :
Berpijaklah pada fatwa hatimu, meski
banyak para mufti memfatwai dirimu.
Demikianlah interpretasi (tafsir) hati secara umum, sedangkan dalam
pemaknaan khusus, tidaklah semua hati mampu berfatwa, terlebih tidak semua fatwa
hati itu mesti benar.
Demikianlah futuwah hati yang lahir dari kelembutan aqidah hakiki, karena
kemurnian aqidah akan melapangkan jalan bagi penampakkan hakekat segala sesuatu
dan insan yang mampu memakrifahi hakekat segala sesuatu akan lapang jalan kebahagiaannya
di kampung akhirat, seperti yang diisyaratkan pesan Qur’ani :
Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada sisi mereka masing-masing. (Q.s. al Mu'minuun 23 : 53)
yakni di dunia dan akhirat. Karena isim (nama) tidak akan terpisahkan dari
apa yang dinamakan, al Haq menamai mereka dengan golongan yang bangga dengan
apa yang ada disisi mereka dan Dia mensifati mereka dengan kebanggaan dan
pensifatan-Nya tidak merubah apa yang disifati, apa yang diwartakan al Haq itu
menunjukkan keeksisan dan keabadian rasa bangga dengan apa yang ada pada sisi
mereka. Makna tersirat dari firman Qur'ani tersebut adalah mereka bangga dengan
apa yang ada disisi mereka dalam kehidupan dunia ini, dengan laku amahyah
(perbuatan) mereka dan mereka akan bangga di kampung akhirat dengan keadaan
mereka. Mereka senantiasa bangga dengan apa yang ada disi mereka, baik dalam
kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat kelak. Bahkan sampai-pun, mereka
dijebloskan ke dalam siksa-Nya, jika kelembutan kasih nikmat-Nya menyertai
mereka tentu mereka menikmati siksa itu dan menjadi sebab bagi kekekalan mereka
di dalam siksa tersebut. Sesungguhnya al Haq dengan kasih rahmat-Nya, jika
hendak menyiksa seorang hamba dengan siksa di kampung akhirat, lantas Dia
menghadirkan rasa nikmat dalam siksa yang ditimpakan tersebut, niscaya si
pesakitan tidak memohon perlindungan kepada-Nya dari siksa yang menerpa
dirinya, ia juga tidak meraung-raung memohon pertolongan kepada al Haq karena
dia merasakan nikmat dengan siksaan yang ada, ia selalu mengharapkan adzab itu
selama kenikmatan menyelimuti dirinya, jika al Haq menghendaki meringankan
siksa hamba tersebut, Dia menghilangkan kenikmatan itu dari hamba yang
disiksanya yang dengan itu si hamba akan memohon rahmat dari-Nya, al Haq ingin menunjukkan
bahwa diri-Nya adalah Mujiib (pengabul) doa insan-insan yang dalam kondisi
terpaksa dan tidak berdaya, jika mereka memohon kepada-Nya, kala itu—hamba yang
disiksa tersebut, memohon ampunan dan pertolongan kepada al Haq karena rasa
nikmat telah tercerabut dan dirinya dan berlindung kepada-Nya. Pahami betul
masalah ini. Para kafir itu etos peribadatan mereka kepada al Haq adalah secara
entitas, modus peribadatan seperti ini, meski tampak melapangkan jalan
kebahagiaan, namun sejatinya ia adalah jalan Dzalal (kesesatan), karena jauhnya
tempuhan gapaian kebahagiaan yang sedemikian itu para kuffar tidak akan
menggapai hakekat kebahagiaan, kecuali paska mengarungi siksaan neraka akhirati
sebagai balasan atas laku kekufuran yang mereka lakukan dalam kehidupan dunia,
baik kekafiran dalam dimensi perbuatan, perkataan dan Haal, jika semua siksaan
itu telah habis masa hukuman siksanya, maka jalan menuju al Haq terbuka dan Dia
akan memanggil eks penghuni neraka tersebut dari tempat yang jauh, merekapun
berjalan menuju kebahagiaan Ilahiyah, merekapun beroleh kebahagiaan seperti
halnya para Muqorrobiin (hamba-hamba yang dekat) karena mereka di panggil al
Haq dari tempat yang dekat. Pahami betul matafor yang kami pakai dalam paparan
ini!
at Thabi'iyyuun (para penyembah alam) mereka menyembah al Haq dengan empat
sifat-Nya, yaitu :
1. al Hayah (Hidup)
2. al Ilm (Berpengetahuan)
3. al Qudrah (Kuasa).
4. al Iradah (Berkemauan).
Keempat sifat tersebut merupakan kerangka bangun asal segala wujud, maka
Panas. Dingin. Kering. Lembab, adalah wujud nyata keempat sifat itu di alam
dunia ini, Lembab merupakan pencitraan al Hayah (Hidup). Dingin mencitrakan al
Ilm (berpengetahuan). Panas penampakkan al Iradah (berkemauan). Kering
merupakan pencitraan al Qudrah (kuasa). Hakekat yang disifati dalam segala
pencitraan itu adalah inti (dzat)-Nya. Ketika hakekat tersebut tampak pada ruh
para penyembah alam, yaitu kelembutan kasih ketuhanan yang ada pada segala
wujud, mereka merujuk kepada sifat al Haq yang empat, kemudian mereka mempercayai
wujud penampakkan empat sifat-sifat itu dalam bentuk : Panas. Kering. Dingin.
Lembab. Fitrah penciptaan yang ada pada diri mereka itulah yang mengajarkan
kepada mereka sehingga mereka mempunyai kesiapan ketuhanan, bahwa empat sifat
tersebut memiliki makna lahir, atas dasar itu pula mereka menyembah alam
(tabiat) ini karena segala yang tampak di alam realitas ini ada rahasia
dibaliknya. Manusia-manusia zaman bahula (pra sejarah) itu ada yang memahami
masalah ini, ada pula yang tidak faham. Orang alim (berpengetahuan) terus
bergerak maju, sedang orang jahil (bodoh) selalu tertinggal, baik dalam
kehidupan riel maupun kehidupan beragama. Para penyembah alam itu, mereka
sejatinya menyembah al Haq dan dimensi sifat, dengan sifat-sifat ketuhanan itu
mereka ingin menggapai kebahagiaa abadi, seperti halnya para kafir yang
menyembah-Nya dan dimensi inti (dzat)-Nya.
al Falasifah (para filosof) mereka menyembah al Haq dengan nama-nama-Nya.
Dalam keyakinan mereka, bintang-bintang di alam raya merupakan manifestasi daripada
nama-nama al Haq, hakekat benda-benda langit itu adalah al Haq, Syams
(matahari) adalah manifestasi nama-Nya (Allah), karena matahari merupakan pusat
tata surya, sinarnya memancar ke segenap bintang diangkasa raya, seperti halnya
nama Allah yang merupakan sentra nama-nama-Nya yang mewadahi hakekat
asma-asma-Nya yang Khusnah. al Qomar merupakan manifestasi nama-Nya (ar Rahman
), karena ia merupakan bintang (benda langit) yang paling sempurna, menangkap
(memantulkan) sinar matahari, seperti halnya nama ar Rahman, merupakan
tingkatan nama-Nya tertinggi paska nama Allah seperti yang telah kita bahas
pada pasal terdahulu. Musytan (Yupiter) merupakan manifestasi nama-Nya (ar
Rabb), ia merupakan benda langit yang paling ketara dalam menampakkan kebahagiaan.
Seperti halnya nama ar Rabb, yang memiliki martabat super khusus dalam tertib
nama-nama-Nya, sebab terkandung di dalamnya nama-Nya (al Kibnyaa') karena
kehendak pengaturanNya. Zuhal (Saturnus) merupakan manifestasi nama-Nya al
Wahidiyah (ke-Tunggal-an), karena semua benda-benda langit dibawah
peliputannya, seperti halnya nama al Wahiid meliputi semua sifat-sifat dan
nama-nama Nya. Murih (Mars) merupakan manifestasi nama-Nya (al Qudrah), karena
benda angkasa ini, merupakan cerminan kekhususan pekerjaan al Qohariyah (Kuasa
Memaksa). Zuhra (Venus), merupakan manifestasi nama-Nya (al Iradah), karena ia
cepat berubah dengan sendirinya, seperti halnya al Haq' yang berkehendak atas
segala sesuatu, kapanpun dan dimanapun. Atarad (Merkurius) merupakan manifestasi
nama-Nya (al Ilm), karena Dia penulis segala apa yang ada di langit. Adapun
benda-benda angkasa (gugusan bintang-bintang) lainnya yang terhitung adalah
manifestasi nama-nama Nya yang Khusnaah (Asma'ul Khusnah), sedang
bintang-bintang yang tidak terdeteksi adalah manisfestasi nama-nama-Nya yang
tak terhingga jumlahnya.
Ketika ruh, para filosof itu mengalami Dzauq (intusi) keberadaan Tuhan
sejalan dengan fitrah penciptaan diri mereka, para filosof itu lantas menyembah
bintang-bintang untuk mengkais kelembutan ketuhanan yang ada pada masing-masing
benda angkasa tersebut, dimata para filosof al Haq adalah hakekat
bintang-bintang maka menyembah bintang-bintang tersebut adalah sama dengan
menyembah inti (dzat)-Nya. Inilah esensi kenapa anak cucu Adam menjadikan segala
wujud sebagai Tuhan sesembahan bahkan ritus peribadatan itu tidak saja
dilakukan manusia namun juga dilakukan habitat hewani. Yang perlu anda ingat
dalam ritus ibadah mi, insan yang beribadah kepada al Haq secara mutlaq, ia
disebut pegiat tauhid sejati sedang insan yang menyembah al Haq dengan media
lain ia disebut sebagai Musyrik (penyekutu Tuhan), kesemuanya pada hakekatnya
adalah penyembah al Haq, dasar penyembahan mereka adalah adanya keyakinan dalam
diri mereka bahwa al Haq itu Maujud (Ada), mereka juga meyakini hakekat al Haq
ada pada segala yang wujud, atas dasar itu pula mereka menyembah sesuatu
tersebut karena al Haq adalah hakekat sesuatu yang disembahnya Karenanya dalam
kehidupan nel ada sebagian manusia yang menyembah Tabiat yang merupakan asal
alam, ada yang menyembah bintang-bintang, ada yang menyembah batu, tambang ada
pula yang menyembah api, sehingga tidak ada sesuatu yang wujud melainkan
dijadikan wujud sesembahan anak manusia kecuali Muhammadiyuun (pengikut
Muhammad saw) mereka menyembah kepada al Haq secara mutlak dan kaffah (utuh),
tanpa ada batasan-batasan atau penyekutuan dengan sesuatu selain al Haq Ummat
Muhammad saw tidak mencampur adukkan ritus penbadatan mereka dengan partikel
Muhdatsaat (sesuatu yang baru adanya karena diadakan) mereka menjernihkan
(mensucikan) ritus ibadah (ubudiyah) mereka dan keterkaitan dengan wajah-wajah
selain wajah-Nya, lahir dan batin. Tempuhan jalan mereka adalah Shiratul
Mustaqim (jalan benar) yaitu jalan al Haq, sebuah 'jalan' yang mengantar mereka
kepada maqom (capaian spirtual) kedekatan tertinggi disisi-Nya. Mereka itulah
yang diisyaratkan firman Qur'ani :
Mereka itu adalah orang-orang yang
dipanggil dari tempat yang dekat
lain halnya dengan
mereka-mereka yang menyembah-Nya dengan media tabiat, bintang-bintang, berhala
dan benda-benda lainnya mereka itu disebut firman Qur’ani :
Mereka itu adalah orang-orang yang
dipanggil dari tempat yang jauh. (Q.s. Fushshilat 41 - 44)
karena mereka tidak akan kembali kepada al Haq melainkan setelah urusan'
mereka dengan wujud sesembahan selain Diri Nya telah dituntaskan vonisnya.
Itulah esensi makna jauh, dan panggilan al Haq kepada hamba-Nya, maka tafakkuri
betul subtansi panggilan jauh dan dekat yang diserukan al Haq tersebut.
al Watsaniyah (Paganisme): mereka menyembah al Haq dengan Diri-Nya, karena
al Haq mengumpulkan segala yang berlawanan (kontradiktif) dalam Din Nya, begitu
pula Dia mencakup dimensi al Haq dan dimensi al Khalq (makhluk), Dia juga
tajalli dengan dua sifat dan dua hukum, Dia tampak di dua kampung (dunia -
akhirat) dengan dua sifat, mereka yang menisbatkan ritus ibadahnya kepada
hakekat al Haq, Dia akan tampak dengan cahaya-cahaya-Nya, mereka yang
menisbatkan ritus ibadahnya kepada hakekat Khalqiyah (kemahlukan), Dia tampak
dengan kegelapan, karenanya mereka menyembah cahaya (terang) dan gelap
berdasarkan rahasia ketuhanan yang mengumpulkan dua sifat yang kontradiktif dua
ibarat dan hukum yang berbeda sejalan dengan kehendak-Nya. al Haq mengumpulkan
dua hal yang berlawanan tersebut dalam diri-Nya, para penyembah paganisme
menyembah al Haq berdasarkan kelembutan ketuhanan yang berkumpul dalam diri al
Haq, dalam pandangan penyembah paganisme wujud sesembahan mereka bisa dinamakan
al Haq, bisa dinamakan al Khalq (makhluk) yang berwujud cahaya (terang) dan
gelap.
al Majusi (kaum Majusi) mereka menyembah al Haq dengan al Ahadiyah
(ke-Esa-an), seperti halnya ke-Esa-an yang terstrenlkan dan tertib nama-nama
dan sifat-sifat, demikian pula dengan api, ia merupakan sumber energi utama
yang bisa melelehkan segala sesuatu yang disatukan dengan-nya, karena isinya
alam mi tidak akan bisa eksis jika disatukan dengan api, karena kekuatan api
akan menghancurkan isinya alam tersebut, demikian pula dengan al Ahadiyah ia
tidak menyatu dengan isim (nama) maupun sifat, melainkan isim dan sifat itu
lebur dalam ke-Tunggal-an, karena kelembutan ketuhanan inilah kaum Majusi itu
menyembah api, yang sejatinya adalah inti (dzat)-Nya. Ketahuilah, bahwasanya
Huyuli (benda pertama) sebelum penampakkannya dalam struktur tabiat (alam) yang
tidak lam adalah: Api. Air. Udara. Tanah. Citranya terdapat pada
struktur tabiat, ketika Huyuli itu tertampakkan pada struktur tabiat (alam)
maka Citranya tidak akan terpisahkan dan struktur tabiat tersebut,
demikian halnya dengan asma-asma dan sifat-sifat dalam inti (dzat)
ke-Tunggal-an Nya, masing-masing mencitrakan makna ketuhanan yang melahirkan
makna kedua semisal nama-Nya al Mun'in (pemberi nikmat), maka Dia adalah al
Muntaqim (yang menuntut bela), jika tampak nama-nama dalam martabat Ilahiyah
(ketuhanan) semua isim (nama) yang tidak mencitrakan hakekat nilai-nilai
ketuhanan adalah tidak berguna, maka al Mun'im (Pemberi nikmat) adalah lawan
dan al Muntaqim (yang menuntut bela). Api di alam tabiat laksana penampakkan al
Wahidiyah (ke-Esa-an) dalam nama-namaNya, ketika ruh kaum Majusi itu tertebari
aroma wewangian misik kelembutan ketuhanan dalam dimensi ini, maka lenyaplah
bau-bau yang lain, mereka lantas menjadikan api wujud sesembahan dan mereka
tidak menyembah melainkan Tuhan Yang Esa Yang Maha Perkasa.
ad Dahr (penyembah masa), mereka menyembah al Haq dengan Hawiyah
(ke-Dia-an) Nya, rasul Muhammad saw bersabda :
Janganlah kalian mencaci (menista)
masa (zaman), sesungguhnya Allah itu adalah ad Dahr (masa).
al Barahimah (pengikut Ibrahim as) mereka menyembah al Haq dengan
kemutlakan (absolut), tidak melalui nabi dan rasul bahkan mereka memakzulkan
segala yang wujud adalah tercipta untuk al Haq, wujud mereka ter-agun-kan dalam
ketunggalan bersama al Haq, karenanya mereka menafikan para nabi dan rasul
secara mutlak. Etos peribadatan mereka kepada al Haq adalah setara dengan
ibadah para rasul sebelum tugas penyampaian risalah, mereka mengklaim sebagai
anak turun Ibrahim as, mereka juga memaklumatkan memiliki kitab yang khusus
ditulis Ibrahim as untuk diri mereka, dari diri pribadi Ibrahim as dan bukan
dari al Haq, dalam kitab tersebut termaktub lima pasal hakekat, empat pasal
hakekat pertama boleh dibaca dan disebarkan, sedang pasal hakekat kelima tidak
boleh dibaca dan disebarkan, kecuali kepada orang-orang yang super khusus,
karena kedalaman makna dan iterpretasinya, ada opini yang mewacana dalam
kominitas mereka, bahwa orang seorang yang membaca pasal hakekat kelima akan
tertuntun kepada keyakinan Islam dan paska membacanya, niscaya akan memaklumatkan
masuk agama Muhammad saw, kelompok pembaca ini kini banyak terdapat di bumi
India, ada pula kelompok yang mengklaim sebagai giant Barahimah, namun setelah
ditelisik lebih dalam mereka bukanlah pengikut Barahimah, mereka terkenal
sebagai Watsaniy (paganis), sebab batas pilah antara pengikut Barahima dan
tidak adalah pada laku penyembahan berhala, mereka yang menyembah berhala
(paganisme), jelas bukan pengikut Barahimah, perilaku paganisme itulah yang
menyebabkan meieka terjerembab dalam kesusahan hidup, langit kehidupan mereka
marak dengan belitan hidup, jika mereka ingin meraih kebahagiaan hidup, maka
mereka harus meninggalkan ritus penyembahan berhala, sebab belitan hidup mereka
semata-mata karena keterjauhan mereka dar al Haq, akibat daripada ritus sesembahan
berhala (laku paganisme). Pahami betul masalah hakekat (Jauh). Adapun mereka
yang menyembah al Haq sebagaimana yang diajarkan para nabi dan rasul-Nya,
mereka tidak akan diterpa kesusahan (bencana) bahkan kebahagiaan mereka akan
akan tetap eksis, selama mereka berpegang teguh pada tali ajaran al Haq. Apa
yang'terjadi pada ahl Kitab (pengikut agama Samawi) adalah karena mereka berani
mereduksi ajaran al Haq, mengganti ayat-ayat kitab-Nya, dengan pikiran-pikiran
mereka, berikut mereka membuat ungkapan-ungkapan baru yang mereka klaim sebagai
firman Tuhan, ulah (perbuatan busuk) mereka itulah yang menyebabkan
kesengsaraan dan bencana yang menimpa diri mereka, semakin mereka mereduksi
kitab al Haq, semakin berat bencana yang memayungi langit kehidupan mereka,
semakin mereka mengingkari risalah kenabian dan perintah-perintah al Haq,
semakin jauh kebahagiaan memayungi langit kehidupan mereka, sebab al Haq tidak
mengutus seorang rasul atau nabi kepada suatu ummat, melainkan menjadikan
risalah-Nya untuk kebahagiaan dan keselamatan para hamba yang mengikuti-Nya.
al Yahud (Yahudi) mereka menyembah al Haq dengan mentauhidkan
(meng-Esa-kan) al Haq, kemudian dengan
mentradisikan shalat dua kali per-hari, kita akan membahas secara khusus
perihal rahasia shalat, mereka juga menyembah al Haq dengan melaksanakan puasa
pada hari kesepuluh setiap awal tahun yang jamak disebut dengan hari Asyurah
mereka juga beribadah dengan I'tikaf, pada hari sabtu, syarat I'tikaf kamunitas
Yahudi, adalah tidak memasukkan sesuatu ke dalam rumah mereka, baik yang berupa
aktifitas kerja atau makanan dan minuman dan tidak keluar sedikitpun dan dalam
rumah, tidak berbicara, bercanda, tidak melakukan aktifitas bisnis (jual beli)
pada hari sabtu itu, semua aktifitas harus dihentikan kecuali beribadah kepada
al Haq, sebagaimana yang difirmankan al Haq dalam kitab Taurat :
Engkau, dan hambamu serta ummatmu
adalah untuk al Haq pada hari sabtu.
Atas dasar itulah kaum Yahudi dilarang berbicara pada hari sabtu, utamanya pembicaraan yang terkait
dengan kepentingan (pelik) duniawi, mereka juga menyiapkan persiapan makanan
mereka pada hari jum'at, awal waktu puasa mereka adalah sejak terbenamnya
matahan pada hari jum'at hingga terbenamnya matahari pada hari sabtu.
Demikianlah hikmah ketuhanan, sesungguhnya al Haq menciptakan langit dan
bumi ini dalam tempo enam hari, dimulai dari hari ahad (minggu) kemudian al Haq
bersemanyam diatas Arsy pada hari ketujuh, yaitu hari sabtu, ia adalah hari
'kosong' (istirahat), atas dasar inilah komunitas Yahudi menyembah kepada al
Haq pada hari sabtu, sebagai isyarat akan kebersayaman ar Rahmani (ke-Maha
Pemurah-an), berikut keberhasilan mereka dalam mendekatkan diri kepada-Nya pada
hari sabtu tersebut. Pahami betul masalah ini! Kita sengaja tidak menyoal rasia
makanan dan minuman yang dianjurkan Musa as, kepada anak zamannya (kaum
Yahudi), karena hal itu memerlukan paparan yang sangat panjang berikut
hikmah-hikmah berserak dari apa yang diserukan nabi Musa kepada mereka, karena
kami khawatir rahasia yang berserak dari hikmah-hikmah tersebut akan melahirkan
kontradiksi tak berujung, terlebih akan membuat mereka yang tidak kuat
menangkapnya terperosok ke jurang kesesatan dan keluar dari agama, kita batasi
kajian kita pada rahasia yang tertampakkan pada ritus ibadah ahl kitab saja.
Kita ambil yang terbaik dari rahasia-rahasia yang ada, yaitu rahasia ibadah
pemeluk Islam. Karena rahasia ibadah pemuluk Islam sangat universal dan utuh,
tidak ada rahasia yang terpendam melainkan al Haq telah mewartakannya kepada
Muhammad saw, karenanya agama Muhammad saw adalah agama yang paling sempurna
dan ummatnya adalah sebaik-baik ummat dalam kesejarah keagamaan dan
kemanusiaan.
An Nashara (kaum Kristani), mereka adalah ummat terdahulu yang paling dekat
dengan al Haq sebelum kehadiran ummat Muhammad saw, kaum Kristani adalah kaum
yang sangat eksis dalam menjalankan ritus peribadatan kepada al Haq, yang
sedemikian itu karena mereka sangat konsisten menyembah Tuhan dan mereka
menyembah-Nya, melalui Isa dan Maryam serta Ruh Oudus, mereka mengklaim
ketiganya sebagai satu kesatuan yang tunggal (Trinitas). Ketiga unsur itulah
yang mereka anggap disejajarkan dengan Tuhan, sedang unsur-unsur lain tidak
pantas sejajar dengan al Haq, karena keyakinan tersebut mereka terlempar dan
komunitas Muwahiddin (penyembahan berdasarkan Tauhid), jika kita jeli sejatinya
kaum Kristani itu lebih dekat kepada pengikut Muhammad saw, sebab orang seorang
yang bersaksi bahwasanya al Haq mencitrakan diri pada manusia adalah sebuah
kesaksian yang utuh dan syahadatnya lebih sempurna dibanding syahadat insan
muslim kebanyakan, hanya saja mereka membatasi tajalli al Haq itu hanya berlaku
pada Isa as saja tidak untuk yang lain, andai mereka bercermin kepada
penciptaan Adam as niscaya mereka akan memahami bahwa masing-masing anak cucu
Adam as adalah cermin bagi yang lain, mereka bisa menyaksikan citra al Haq pada
diri tiap makhluk-Nya (masing-masing manusia), karena penyempitan tajalli
dan pembatasan tajalli yang diklaim kaum Kristani tersebut, mereka
terjauhkan dan 'label' pegiat Tauhid dan mereka termasuk kelompok hamba-Nya
yang dipanggil dan tempat yang jauh! Etos peribadatan kaum Kristani itu sendiri
dengan mentradisikan puasa 49 hari, dimulai hari ahad dan berakhir di hari ahad
pula, jika tidak mampu diperbolehkan melakukan puasa tiap hari ahad selama
delapan mmggu, demikianlah durasi waktu puasa kaum Kristani, adapun cara puasa
mereka adalah dengan menahan diri dan makan selama 23 jam, dimulai sejak waktu
ashar atau beberapa jam sebelumnya, tepatnya pada waktu santap siang, dalam
puasa itu mereka diperbolehkan minum Khamer (arak) atau air, diperbolehkan juga
melahap buah-buahan berair yang penting bukan makanan pokok (gandum, nasi, roti
dan lain-lain) etos ibadah kaum Kristani yang lain adalah mentradisikan I'tikaf
pada hari ahad dan pada hari raya, dalam keyakinan Kristen ada sembilan hari
raya yang tidak perlu kita bahas dalam kitab ini. Namun diantara ritus ibadah
yang dilakukan ummat terdahulu tersebut, ritus peribadatan Muhammadiyuun
(pengikut Muhammad saw) yang paling penting untuk kami ketengahkan dalam karya
ini utamanya etos penyembahan kaum muslimin kepada al Haq.
Al Muslimuun (ummat Islam pengikut Muhammad saw) ketahuilah, al Haq
mewartakan eksistensi mereka dalam firman Qur'ani :
Kalian adalah ummat terbaik, yang
dilahirkan untuk manusia. (Q.s. ali Imran 3 : 110).
Karena nabi mereka adalah Muhammad saw, nabi-Nya yang terbaik, agama yang
dibawah adalah agama terbaik, setiap kaum (bangsa, etnis, suku) yang
mengingkari kenabian dan berpaling dari ajaran Muhammad saw dimanapun dan
kapanpun, niscaya akan tersesat dan sengsara serta akan disiksa dalam
neraka-Nya, seperti yang diwartakan al Haq mereka yang berpaling dari ajaran
Muhammad tidak akan pernah beroleh rahmat-Nya, kecuali setelah vonis siksa yang
ditimpakan kepada mereka di neraka masa waktunya telah berakhir, yang sedemikian
itu berdasarkan rahasia firman-Nya :
Rahmat Ku, mengalahkan kemarahan Ku,
jika tidak, niscaya mereka akan kekal abadi dalam kemarahan dan kenistaan-Nya.
Tafakkurilah, bahwasanya titian jalan menuju al Haq itu sendiri adalah
'jalan' penuh duri-duri ujian dan cobaan, kesengsaraan dan kemarahan, kepedihan
dan kepayahan tak bertepi, semua tempuhan jalan menuju al Haq, selain jalan
yang diserukan Muhammad saw adalah rusak dan tiada akan pernah dikabulkan, al
Haq berfirman :
Barang siapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), daripadanya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. (Q.s. ali Imran 3 : 83).
Kerugian apalagi yang lebih besar, dibandingkan kerugian hilangnya
kebahagiaan yang diberoleh seorang hamba dan kedekatan dengan al Haq?
Keterputusan dan terkikisnya kedekatan dengan al Haq adalah sebuah kerugian
teragung yang menimpa seorang hamba.!
Sejatinya ummat Islam itu adalah ummat yang dipanggil oleh al Haq dari
tempat yang dekat Makaanun Qoriib, karena keterputusan dan hilangnya
kedekatan dengan al Haq, membuat mereka dipanggil dari tempat yang jauh Makaanun
Ba'iid, kerugian agung itulah esensi kesengsaraan (duniawi) dan citra siksa
yang keras dikampung akhirat kelak. Pahamilah bahwa sejatinya adzab itu adalah
terputusnya seorang hamba dari rahmat al Haq dan jika mereka ingin
terselamatkan dari kesengsaraan hidup dunia dan terbebaskan dari siksa neraka,
maka wajib bagi mereka mengikuti ajaran yang diserukan Muhammad saw. Cobalah telisik
dengan baik dan lihatlah dengan kejernihan hati dan pikir kepada orang yang
ditimpa adzab dunia dalam satu hari, dengan adzab yang paling keras ahirati,
adzab dunia itu tidak lebih besar dari biji sawi jika dibandingkan dengan adzab
akhirat, bagaimana mungkin si-pesakitan itu merasa sengsara dengan adzab yang
tidak lebih besar dari biji sawi? Lantas apa yang ada dibenak anda, jika
mentafakkuri orang-orang yang dijebloskan ke api neraka yang kekal abadi,? al
Haq mewartakan mereka akan kekal di neraka Jahannam, selama bumi dan langit ini
masih tegak, mereka tidak akan dientas dari neraka menuju rahmat-Nya kecuali
setelah lengsernya matahari dan bumi, pada saat itu mereka akan dikembalikan
kepada sesuatu yang merupakan awal penciptaan mereka, yaitu al Haq Jallah
Jalalah. Pahami betul metafor ini, agar anda tidak terjebak pada makna
simbolistik.
Kaum muslimin, mereka adalah insan-insan yang bahagia karena mengikuti
ajaran Muhammad saw, dalam hadits riwayatkan suatu hari, ada seorang Arab badui
yang bertanya kepada rasul saw : wahai utusan al Haq seperti yang anda lihat
dari ihwal (keadaan) diriku, aku menghalalkan bagi diriku apa yang
dihalalkan-Nya, aku mengharamkan bagi diriku apa yang diharamkan-Nya, aku
tunaikan shalat wajibku, aku tidak mengurangi ibadahku dan tidak melebihkan
ritual ibadahku, adakah aku akan dimasukkan surga al Haq? Rasul saw menjawab :
Ya, kau akan dimasukkan surga al Haq, tanpa syarat bahkan tidak ada sesuatupun
yang menghalangi kau memasuki surga-Nya. Lebih lanjut rasul saw, menambahkan :
Barang siapa dimasukkan surga al Haq, ia telah beruntung dengan keuntungan
utama, yaitu derajat kedekatan, al Haq berfirman dalam pesan Qur’ani : Barang
siapa dijauhkan dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia
telah beruntung. (Q.s. ali Imran 3 : 185). Seorang muslim sejati, akan
selalu berjalan pada Shirat al Mustaqiim Galan yang benar) yang merupakan jalan
kebahagiaan hakiki, tanpa ada duri-duri kesengsaraan, sebuah jalan yang
ditempuh para pegiat tauhid murni, pegiat hakekat, mereka semua senantiasa
eksis berjalan pada Shiratillah Galan Allah). Jalan Allah ini lebih khusus
dibandingankan jalan pertama—Shirat al Mustaqiim, karena jalan Allah merupakan
tempuhan para ahli tauhid dan ahli hakekat, sedang Shirat al Mustaqim, merupakan
tempuhan jalan yang dilalui ummat Islam kebanyakan. Selain penempuh jalan umum
dan khusus itu mereka adalah para Musyrikuun (penyekutu al Haq), termasuk
golongan ini adalah para pemeluk agama-agama yang telah kami sebutkan diatas.
Dengan demikian jelas sekali, bahwa seorang muslim sejati adalah, pegiat Tauhid
yang hanya meng-Esa-kan al Haq.
Ada banyak jalan untuk mewajahkan ritus ubudiyah kepada al Haq, diantara
ummat Islam ada yang menyembah al Haq melalui dimensi nama-Nya (ar Rabb),
mereka sangat teguh melaksanakan segenap amar perintah-Nya dan menjauhi segala
apa yang dilarang al Haq, dimensi ibadah ini selaras dengan ayat pertama yang
diturunkan al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw, adalah Bacalah
dengan menyebut nama Rabb-mu. (Q.s. al Alaq 96 : 01). Kata Amr (perintah)
diruntutkan ke Maha Pengatur (Rabb) dari situlah kewajiban beribadah bermula,
sebab al Marbuub (insan yang diatur) harus mendedikasikan ubudiyahnya kepada
Rabb (maha pengatur), kebanyakan ummat Islam (para awam) menyembah al Haq melalui
dimensi nama-Nya (( ar Rabb)), wajah beribadatan mereka tidak akan keluar dari
aura Rabb tersebut, berbeda dengan para Arif (ahli hakekat) mereka menyembah al
Haq melalui dimensi nama-Nya ar Rahman (Maha Pemurah), karena Tajalli
wujud-Nya yang terdapat pada segala wujud yang mereka sibak, karenanya martabat
ibadah dan ubudiyah para arif jamak disebut dengan martabat Rahmaniyah. Sedang
para Muhaqqiqiin (ahli hakekat) mereka menyembah al Haq dengan nama-Nya
(Allah), segala puja dan sanjung puji mereka muarakan kepada al Haq yang Dia
memang berhak atas segenap nama-nama dan sifat- sifat-Nya yang tercitrakan
dalam diri mereka. Sebab esensi puji sanjung adalah, menghiasi diri dengan
sifat-sifat ketuhanan yang terpancarkan dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya, apa
yang mereka sanjung pujikan dalam ritus ubudiyahnya dari sifat-sifat ketuhanan
itu betul-betul menghiasi diri mereka yang lahir dari citra asma-asma Nya yang
Khusnah, mereka itulah ahli ibadah yang hakiki. Para arif adalah Ibadurrahman
(hamba Sang Maha Pemurah), orang muslim kebanyakan (para awam) mereka adalah
Ibaduraab (hama Sang Maha Pengatur).
Maqom (capaian spiritual) para ahli hakekat adalah : al Hamd Lillah (Segala
puji hanyalah bagi Allah), maqom para arif adalah : Tuhan Yang Maha Pemurah,
yang bersemayam diatas Arsy. Kepunyaanlah semua yang ada di langit, semua yang
ada di bumi, semua ada diantara keduanya dan semua yang dibawah tanah. (Q.s.
Thaahaa 20 : 5 -6). Adapun maqom orang Islam kebanyakan (kaum awam ) adalah : Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan yang menyeru kepada iman, yaitu
: berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman, Ya tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami berserta orang-orang yang banyak
berbuat bakti. (Q.s. ah Imraan 3 : 195). Yang dimaksud dengan kaum (muslim)
awam, adalah mereka-mereka selain para arif dari para Syuhada', para Shaleh dan
para alim yang mengamalkan ilmu mereka. Disebut kaum awam, karena mereka
benar-banar awam pengetahuan mereka tentang ahl Qurb (ahli kedekatan) Ilahi,
para ahl Qurb, itulah sejatinya ahl ' Haqiqoh (ahli hakekat) yang dijadikan al
Haq tiang pancang segala wujud. Dia menggerakkan semesta alam dengan jiwa-jiwa
mereka " (ahli hakekat), mereka adalah centra penglihatan al Haq dalam
semesta ini bahkan mereka tempat tajalli al Haq dalam segala yang maujud (ada),
sebagai media penampakkan bias-bias nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, Dia
menjadikan din mereka cerminan daripada tajalli-Nya. Kami tidak sependapat
dengan fikrah Hului (panteisme), juga Tasybih (antropomorfisme) dengan
makhluk-Nya. al Haq beraudiensi dengan para ahli hakekat dengan aneka rahasia,
mereka adalah insan-insan yang terpilih dibalik tirai, mereka adalah
insan-insan terkasih dan dikasihi-Nya. al Haq menjadikan pokok-pokok ajaran
agama ini (Islam) bahkan agama-agama lain berlandaskan bumi makrifah mereka
(ahli hakekat), hakekat kemakrifahan mereka merupakan radar kasih
kelembutan-Nya yang tercitrakan dalam diri mereka, tiada yang mengetahui
kesejatian kasih kelembutan tersebut, melainkan diri mereka Kalamullah
(Perkataan al Haq) dalam diri mereka merupakan oase isyarat dan metafor serta
paradok ketuhanan yang sarat makna, kaya hikmah segenap amar perintah-Nya dan
etos ubudiyah-Nya dimata pegiat ibadah sarat dengan rumus-rumus. Isyarat dan
rumus-rumus itu bagi para ahli hakekat adalah merupakan Kunuz (pundi-pundi
simpanan) makrifah Ilahiyah, al Haq mengeluarkan Kunuz tersebut sejalan dengan
tingkatan makrifah mereka berikut sepadan dengan maqom (capaian spiritual) yang
telah mereka raih, yang sedemikian itu dari Makanah (kedudukan) ke kedudukan
yang lain, dari Khadrah (presensi) ke presensi yang lain, dari al Ilm
(pengetahuan) ke a'yaan (etentitas,) dan etentitas ke hakekat, hingga La Aina
(tidak dimana) La Kaif (tidak bagaimana).
Semua makhluk sejatinya laksana penyanggah (pelaksana) segenap amanat yang
dikuasakan al Haq kepada Thaifah (komunitas) ahli hakekat tersebut, amanat
disini hanyalah sebuah kata Majaz (perumpamaan), sebab penyanggah hakiki amanat
tersebut adalah para ahli hakekat, karena mereka adalah centra audensi daripada
Kalam (ujaran-ujaran) al Haq, sumber metafor-metafor (isyarat) ketuhanan serta
tempat tajalli keterangan-keterangan nyata, sedang Thaifah lainnya hanyalah pengikut
(Muqollid) belaka, mereka itulah hamba-hamba al Haq yang diberi minuman dari
air Kafur, sebuah mata air dalam surga-Nya. Sedang yang lain diberi minum yang
bukan dan gelas dan mata air Kafur, yang sedemikian itu sejalan dengan
capaian-capaian spiritual yang mereka gapai, al Haq berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang
berbuat kebajikan, minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah air
kafur, yaitu mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum,
yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. (Q.s. al Insaan 76 : 5 -6).
Maka hakekat seorang hambaNya, adalah mereka yang menyembah-Nya secara
hakiki, jika orang seorang ingin memahami kesejatian al Haq, maka hendaknya ia
menyembahnya secara hakiki, al Abraar (pegiat kebaikan) adalah bersama al Haq,
seperti diwartakan pesan Qur’ani diatas adalah merupakan Majaz (pengandaian),
sedangkan muslim kebanyakan (awam) mereka bersama al Haq berdasarkan pengikutan
dan dibawah naungan konsesus hakekat, masing-masing (insan muslim) berusaha
dekat dalam kebersamaan dengan al Haq, yang pada realitanya tingkat kedekatan
dan kebersamaan itu beraneka ragam, ada yang terlanskapkan dalam : Ibadulallah
(hamba Allah) Ibadurrahman (hamba Sang maha pemurah), Ibadurrab (hamba Sang
maha pengatur).
Ketahuilah, bahwasanya eksistensi ummat Muhammad saw itu terbagi atas tujuh
martabat (kedudukan), yaitu :
1. Islam
2. Iman
3. as Shalah (keshalehan)
4. al Ihsan, (kebaikan)
5. asy Syahadah
6. as Shiddiqqiyah (kejujuran kepada al Haq)
7. al Qurbah (kedekatan).
Paska ketujuh martabat tersebut, tidak ada martabat lagi, selain Nubuwah
(kenabian), dan pintu kenabian itu telah disegel dengan penutup kenabian yang
bernama Muhammad saw. Kemudian Islam dibangun dengan lima Ushul (pokok-pokok
agama), yaitu :
1. Syahadat (pengakuan) bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah. Bahwa
Muhammad adalah utusan (rasul) Allah.
2. Mendirikan shalat
3. Menunaikan Zakat
4. Puasa di bulan suci Ramadhan
5. Melaksanakan ritual haji di Bait al Haram, bagi mereka yang mampu melaksanakannya.
Adapun Iman dibangun dengan dua 'tiang pancang' keimanan. Pertama :
Pengakuan dengan penuh ketulusan dan keyakinan yang utuh, akan ke-Esa-an Allah,
adanya para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan adanya hari
akhir, percaya Qodar-Nya, baik yang berdimensikan kebaikan dan keburukan
semata-mata berasal dari Allah. Pembenaran yang beralaskan keyakinan yang utuh
dan jernih ini, termetaforkan dalam kedamaian hati, kesejukan jiwa dalam
mengimani nilai-nilai hakiki atas apa-apa yang diwartakan al Haq dalam dimensi
ghaib, seperti halnya kedamaian hati dan kesejukan jiwa, tatkalah mata kasat
memandang segala wujud, tanpa ada keraguan sedikitpun dalam kalbu. Kedua :
Menunaikan dasar-dasar agama (Ushul) yang ada dalam rukun Islam yang lima (Syahadat.
Shalat. Zakat. Puasa. Haji).
Sedangkan Shalah (keshalehan) dibangun atas tiga dasar keyakinan, yaitu :
1. Islam
2. Iman
3. Konsistensi ibadah kepada al Haq yang disertai rasa Khouf (takut), ar
Rajaa' (harapan), kepada al Haq.
Adapun al Insaan (kebaikan), dibangun atas empat dasar keyakinan,
yaitu :
1. Islam
2. Iman
3. Shalah
4 Istiqomah (konsistensi) dalam tujuh maqomaat (capaian spiritual), yaitu :
Taubat. Inabah (kembali kepada al Haq) Zuhud. Tawakkal. Ridha. Tafwid
(penyerahan), Ikhlas dalam segala hal. Sedangkan Syahadat dibangun atas
lima dasar keyakinan, yaitu :
1. Islam
2. Iman
3. Shalah
4. Ihsan
5 Iradah yang mencakup tiga syarat. Pertama : Menumbuh kembangkan Mahabbah
(kecintaan) kepada al Haq tanpa syarat. Kedua : Dzikr yang kontinu tanpa jeda.
Ketiga : Menegakkan diri dengan melawan nafsu tanpa ada dispensasi.
Adapun as Shiddiqiyah (kejujuran kepada al Haq) dibangun dengan enam
dasar keyakinan :
1. Islam
2. Iman
3. Shalah 4.Ihsan 5. Syahadat
6 Makrifah, yang terkandung di dalamnya tiga khadrah (presensi). Presensi
pertama : Ilm Yaqm. Presensi kedua : Ainul Yaqm. Presensi ketiga ; Haqqul
Yaqin.
Masing-masing Khadrah (presensi) mengandung tujuh syarat yaitu :
1. Fana'
2. Baqa'
3. Makrifah al Dzat dari dimensi tajajalli (penampakkan) asma-asma-Nya
4. Makrifah al Dzat dan dimensi tajalli sifat-sifat-Nya
5. Makrifah al Dzat dari dimensi inti (dzat)-Nya
6. Makrifah asma-asma dan sifat-sifat-Nya dengan Dzat-Nya
7. Pensifatan dengan sifat-sifat dan asma-asma al Haq.
Sedangkan al Qurb (kedekatan) dibangun dengan tujuh dasar keyakinan, yaitu
:
1. Islam
2. Iman
3. Shalah
4. Ihsan
5. Syahadah
6. Shiddiqiyah
7. Wilayah al Kubrah.
Kewalian agung terkandung di dalamnya empat khadrah (presensi) Presensi
pertama ; al H illah (kinasih), sejatinya adalah maqom Ibrahim, barang siapa yang memasukinya akan beroleh kedamaian dan
kenyamanan. Presensi kedua : al Hub (cinta), dalam presensi mi
ditampakkan kepada Muhammad saw, cincin yang diberi nama Habibullah (kekasih
Allah). Presensi ketiga : al Khitam (penutup) sejatinya adalah maqom
Muhammad, dalam presensi ini panji Muhammad ditegakkan. Presensi keempat : Ubudiyah
(ritus peribadatan) dalam prensensi ini al Haq menunjukkan tanda-tanda
kekuasaan-Nya kepada hamba terkasih-Nya, seperti yang diwartakan pesan Qur’ani
:
Maha Suci Allah yang telah
memperjalankan hambaNya pada suatu malam. (Q.s. al Israa 17 : 1).
Dalam Hadrah (presensi) ini, terkandung di dalamnya seorang nabi dan rasul
yang diutus kepada segenap makhluk, untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Para ahli hakekat dalam hadrah (presensi) mi capaian spiritual mereka hanya
sampai pada maqom Subhaanahu (Maha Suci Dia), para hamba terkasih-Nya
(wali-Nya) tersebut juga disebut sebagai hamba {Subhaanahu). Mereka
(para ahli hakekat) merupakan khalifah (pengganti) rasul Muhammad saw dalam
setiap hadrah (presensi), mereka adalah hamba-hamba yang dikhususkan al Haq,
untuk tugas kekhalifahan ini, mereka yang tidak konsist dengan nilai-nilai
hakiki hanya akan sampai pada maqom kenabian, mereka yang eksis dengan nilai-nilai
hakiki akan mampu menggapai maqom risalah (kerasulan), agama ini (Islam) akan
tetap eksis diatas muka bumi ini selama masih ada salah satu dari komunitas
ahli hakikat ini, karena mereka adalah Khulafa' (para pengganti) rasulullah
Muhammad saw yang senantiasa mengembala agama (Islam) ini, seperti halnya para
pengembala kambing yang selalu fokus kepada gembalanya. Para ahli hakekat
tersebut adalah ihwan (karib) sejati rasul saw, seperti yang beliau isyaratkan
dalam sabda haditsnya :
Aku sangat rindu kepada karibku,
yang akan datang jauh setelah zamanku,
para ahli hakekat itu sejatinya adalah pengemban amanah kenabian, mereka
bukanlah auliya' (para kekasih)-Nya. Adapun esensi amanah kenabian yang
dimaksud disini adalah kenabian dalam makna al Qurb (kedekatan), pewartaan
risalah, menerapan hukum-hukum Ilahiyah (ketuhanan), bukan kenabian dalam makna
Tasyri' (penyebaran syariat), karena kenabian dalam dimensi ini (Tasyri') telah
berakhir pada diri Muhammad saw, karena beliau adalah-nabi pamungkas, para ahli
hakekat tersebut sumber pengetahuan mereka sama dengan ilmu-ilmu para nabi,
yang beroleh pengajaran langsung dari al Haq tanpa Wasitha (perantara).
Ketahuilah, bahwasanya al Wilayah (etos kewalian), adalah ibarat
pendelegasian kekuasaan oleh al Haq kepada hamba-Nya dengan penampakkan
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, baik dalam dimensi ilm (keilmuan), Haal
(keadaan), Arad (aksiden), bias, atsar (bekas), kenikmatan dan tindakan, adapun
esensi kenabian dan kewalian : Pendelegasian (pendistribusian) hak al Haq
kepada makhluk-Nya untuk perealisasian urusan mereka, demi kemaslahatan urusan
segenap hamba-Nya. Para nabi dan wali dikuasakan al Haq untuk mengatur urusan
mereka, agar tercipta kemaslahatan bagi segenap hamba-Nya, yang dengan itu
mereka bisa mengantar anak zaman mereka kepada maslahat yang terbaik. Diantara
mereka yang menyeru para hamba kepada al Haq sebelum kedatangan Muhammad saw
sejatinya adalah seorang rasul, adapun komunitas ini (para ahli hakekat) yang
menyeru para hamba kepada al Haq, paska kedatangan Muhammad saw sejatinya
adalah Khalifah (pengganti) Muhammad saw, mereka tidak menyeru dengan wahyu
diri mereka sendiri, akan tetapi mereka menyeru dengan wahyu ajaran Muhammad
saw, seperti yang telah dilaksanakan para punggawa sufi agung, semisal Abu
Yazid al Bustami, al Juned, syeikh Abd Qodir al Jailani, Mahyuddm ibnu Arabi
dan para punggawa sufie lainnya. Diantara para sufie agung itu, ada yang tidak
melaksanakan (misi) penyeruan kepada al Haq meskipun demikian mereka menjadi
rujukan permasalahan yang memayungi langit kehidupan anak zamannya, punggawa
sufie dalam capaian spiritual ini, maqom mereka ibarat Nubuwah Wilayah (nabi
wali), adapun jika terkait dengan runtut ajaran nabi sebelumnya dan bukan
pengikut nabi-nabi terdahulu, ia adalah ibarat Nubuwah at Tasyri' (nabi
syariat) nabi dalam dimensi ini telah dipungkasi oleh Muhammad saw, dan pintu
kenabian telah tersegel dengan 'segel' Muhammad saw, dengan demikian esensi al
Wilayah (wali) adalah isim (nama) untuk ta'bir ke-khusus-an, antara seorang
hamba dengan Rabb-nya. Sedang Nubuwah Wilayah (nabi wali), adalah isim yang
menta'birkan ambiguitas (Musytarak) antara seorang makhluk dengan Sang Kholiq
dalam bingkai perwalian.
Nubuwah at Tasyri' (nabi syariat) adalah isim untuk ta'bir indepedensi
dalam ritus peribadatan dan etos ubudiyah dengan diri pribadi tanpa membutuhkan
pihak lain, sedangkan Risalah adalah isim untuk menta'birkan Haal (keadaan) antara
seorang hamba dengan segenap makhluk-Nya dengan demikian dapat diketahui,
bahwasanya nabi wali lebih utama dibandingkan nabi mutlak. Pengganti kenabian
(Muhammad saw) lebih afdhal daripada penyebar syariat kenabian sebelum
datangnya Muhammad saw, karena etos kenabian sebelum Muhammad saw adalah
diperuntukkan bagi komunitas tertentu dan bersifat temporal, sedang risalah
Muhammad saw adalah untuk semesta alam dan bersifat universal, valid dalam
setiap masa dan tempat. Mayoritas para nabi, etos kenabian mereka adalah Nubuwa
Tasyri' (nabi syariat). Hanya sedikit yang mengemban etos kenabian. Etos
kenabian Nubuwah Wilayah (nabi wali), semisal Khidhir yang tertampakkan
dalam ungkapan-ungkapan hikmahnya, Isa as jika turun ke dunia kelak, maka
misinya tidak lagi sebagai Nubuwah at Tasyri' (nabi syariat), seperti jamaknya
nabi-nabi komunitas Israel, mayoritas nabi yang lahir dari komunitas Israel,
mereka bukanlah seorang rasul, melainkan seorang nabi yang mengemban syariat
untuk diri pribadi mereka, diantara mereka (nabi-nabi dari komunitas Israel)
hanya satu yang menjadi rasul, ada pula yang menjadi rasul yang diutus kepada
komunitas tertentu, ada pula yang dijadikan rasul kepada ummat manusia, namun
tidak diutus kepada komunitas Jin. al Haq tidak mengutus seorang rasul untuk
menyeru kepada komunitas, etnis ras kuning, hitam, putih, coklak,
manusia-manusia dibelahan bumi yang dekat, maupun jauh, kecuali Muhammad saw,
nabi terkasih-Nya itu diutus kepada segenap makhluk, karenanya kehadiran
Muhammad saw di semesta ini merupakan rahmat bagi semesta alam. Jika anda
memahami realita mi, maka anda mengetahui bahwa al Wilayah (kewalian), lebih
utama dibandingkan dengan an Nubuwah (kenabian) Nubuwah al Wilayah (nabi
wah) lebih utama dibandingkan Nubuwah at Tasyri', (nabi syariat) Nubuwah
Tasyri' lebih utama dibandingkan Nubuwah Risalah (nabi risalah),
ketahuilah bahwasanya setiap rasul (utusan) adalah nabi Tasyri' (syariat),
setiap nabi penyebar syariat adalah nabi al Wilayah (wah), setiap nabi wali
lebih utama dibandingkan wali mutlaq, atas dasar itu pula ada pameo yang
mengatakan : Awal kenabian adalah akhir kewalian. Pahami betul masalah ini dan
telisik makna tersiratnya!
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4).
Sudah Edit 64. Rahasia Ibadah berdasarkan Keterangan Rasul Muhammad saw
Pasal. Kita akan mengkaji rahasia-rahasia yang berserak dari ritus ibadah
dan ubudiyah kita kepada al Haq, berdasarkan keterangan nabi terkasih-Nya
Muhammad saw, yaitu lima Ushul (pokok-pokok agama) yang merupakan 'tiang
pancang' agama Islam. Kemudian kita juga akan mengkaji rahasia-rahasia iman,
berikut kita akan membahas rahasia makna yang ditaburkan al Haq pada maqom (capaian
spiritual) as Shalah (keshalehan) yang lahir dari kontinuitas ibadah
berlandaskan al Khauf (rasa takut) dan ar Raja' (harapan),
kemudian kita juga menelisik rahasia-rahasia yang berserak dari Maqoomaat as
Sab'ah (tujuh capaian spiritual), yang disebutkan dalam al Ihsaan (kebaikan),
yaitu : Taubat, Inabah (kembali kepada al Haq), Zuhud, Tawakkal, Ridha, Tafwid
(penyerahan din), dan Ikhlas. Kita juga akan membincang sisi Maqoomaat asy
Syahadah, berikut tanda-tanda peniti jalan al Haq yang telah menggapai Ilm
Yaqin, Amul Yaqm dan Haqqul Yaqin. Kita juga akan menelisik keajaiban-keajaiban
maqom al Khillah (kinasih) al Hub (cinta) dan al Khitam (penutup) dan al Ubudiyah
(Ibadah,) kesemua itu akan kita bahas secara global dan ringkas, sebab jika
kita rinci keterangan pasal-pasal kajian diatas, niscaya akan membutuhkan
kertas yang berjilid-jilid untuk pemaparannya, kita akan mulai kajian ini
dengan membahas rahasia kalimat Syahadat. Ketahuilah, bahwasanya wujud itu
terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Wujud Mahluk yang berlandaskan hukum as Salab (negasi), tidak adanya
konsistensi dan fana' (tidak kekal).
2. Wujud al Haq, pengkarya (al Khaaliq) segala sesuatu, inti (dzat)-Nya ada
dan kekal abadi.
Kalimat Syahadat; terbangun atas susunan kata as Salab (negasi) yang
bermakna tidak, dan alljaab (a-negasi) yang bermakna kecuali, maka
esensi makna La Ilaha Illa Allah sejatinya adalah tidak ada wujud
sesuatu kecuali Allah, kata Ilah dalam kalimat La Ilaha, maksudnya adalah
berhala-berhala yang menjadi wujud sesembahan para paganis. al Haq dinamakan
Ilah (tuhan), seperti halnya mereka menamakan berhala-berhala itu Tuhan, karena
rahasia wujud-Nya ada pada inti (zat) berhala-berhala tersebut, pada realitanya
wujud sesembahan mereka dengan keberadaan tajalli al Haq merupakan Tuhan
hakiki, setiap al Ma'bud (sesuatu yang disembah) dengan adanya penampakkan al
Haq pada inti sesuatu tersebut, sejatinya adalah disebut Tuhan, karena al Haq
adalah inti sesembahan dan al Haq jika bertajalli kepada sesuatu, maka
bekas-bekas Uluhiyah (ketuhanan) akan tertampakkan. Cermati redaksi kalimat
syahadat La Ilaaha Illa Allah (Tidak Ada Tuhan Kecuali Allah) yakni
tuhan-tuhan sesembahan itu tidak ada yang patut disebut Tuhan hakiki (kecuali
Allah) tidak ada yang patut disembah dari tuhan-tuhan itu secara mutlak
(kecuali Allah). Tuhan Allah adalah Tuhan yang patut disembah secara mutlak,
tanpa ada batasan arah, Dia disembah dari segala arah, maka segala yang wujud
adalah al Haq, Dia merupakan inti (dzat) segala yang wujud, namun kesejatian
wujud tersebut tidak akan bisa disibak melainkan dengan Syuhud (penyaksian) dan
Kasfy (pengetahuan intuisi), karenanya kesaksian ini dilembagakan dengan
kalimat Syahadat. Sebagian para alim berpendapat, kalimat Asyhadu (aku
bersaksi) maknanya aku melihat dengan mata kasatku dengan kesaksian, bahwasanya
tidak ada wujud sesuatu, melainkan Allah, ada banyak wacana tafsir dan ragam
pendapat tentang esensi (pengecualian) adakah kata Illa (kecuali), itu
tersambungkan atau terputus? Adakah tuhan-tuhan selain al Haq itu tuhan hakiki
atau tuhan batil? Bagaimana sejatinya pengecualian itu menjadi pemahaman yang
utuh? Masing-masing memiliki argumentasi, untuk melandasi pendapat mereka.
Pahami betul masalah ini, agar anda tidak terjebak pada tafsir sempit dalam
memaknai kalimat Syahadat.
Shalat sejatinya adalah ibarat ke-Esa-an al Haq,
mendirikan shalat merupakan isyarat pendirian simbol-simbol ke-Esa-an al Haq
melalui segenap sifat-sifat dan asma-asma Nya.
Thaharah (bersuci) ibarat pensterilan diri dari
kekurangan-kekurangan yang melanskapi diri, adapun penyucian dengan air, mengisyaratkan
bahwasanya kekurangan-kekurangan diri tersebut, tidak akan lenyap dalam diri,
kecuali dengan hadirnya atsar (bekas dan pengaruh) daripada sifat-sifat
ketuhanan yang dengannya segala wujud menjadi hidup, karena air merupakan
rahasia kehidupan, sedangkan Tayammum (bersuci dengan debu) bagian dari
penyucian darurat, merupakan isyarat pensucian dengan memerangi hawa nafsu,
menjauhi segala Tahrim (pelanggaran) dengan Mujahadah dan Riyadlah. Makna
hakiki daripada Thaharah itu adalah, usaha untuk mensucikan diri dari
kotoran-kotoran jiwa dan hati dengan al Maa' al Azali (air keabadian) yang
sejatinya adalah mengadirkan sifat-sifat ketuhanan dalam diri serta menghiasi
laku diri dengan asma-asma-Nya dalam menapaki hidup dan kehidupan, sehingga
terjernihkan dari Naqois (kekurangan-kekurangan) diri dihadapan al Haq, rasul
Muhammad saw mengisyaratkan realita tersebut dalam hadist beliau :
Datangkan ketaqwaan kepada nafsuku,
sucikan nafsuku, sejatinya Engkau adalah sebaik-sebaik pembersih nafsu.
Datangkan ketaqwaan kepada nafsuku, mengisyaratkan purna harapan kepada al
Haq, karena rasul saw hanya memiliki satu keyakinan bahwasanya yang bisa
membersihkan nafsu hanyalah al Haq semata, yang sedemikian itu paska melakukan
totalitas Mujahadah.
Menghadap kiblat, mengisyaratkan, tawajjuh universal (menghadapkan
hati dan jiwa secara utuh) dalam mencari al Haq.
Niat mengisyaratkan usaha memotivasi dan membangkitkan hati dalam bertawajjuh.
Takbiratul Ihram, mengisyaratkan sisi Ilahiyah (ketuhanan) yang
maha Agung dan maha Luas dari sedekar apa yang tertajallikan dalam segala yang
wujud, eksistensi al Haq tidak terbatas dengan penyaksian kasat mata, melainkan
maha agung dari apa yang bisa ditangkap panca indera dan lanskap pandang
tajalli (manifestasi) al Haq kepada para hamba-Nya, adalah tidak terbatas dan
tidak berujung.
Membaca surat Fatihah, mengisyaratkan kesempurnaan wujud-Nya yang
tercitrakan pada diri segenap manusia dan kemanusiaan universal, karena manusia
adalah kunci pembuka segala wujud, keberadaan manusia merupakan kunci pembuka
segala gembok-gembok yang mengunci rahasia segala wujud, membacanya (surat al
Fatihah) adalah isyarat penampakkan rahasia-rahasia Rabbaniyah (ketuhanan) yang
terlanskapkan pada rahasia-rahasia
manusia dan kemanusiaan
universal.
Ruku' mengisyaratkan pudar (leburnya) eksistensi segala yang wujud bersama
hadirnya tajalli (penampakkan) ketuhanan.
Berdiri (paska ruku') mengisyaratkan maqom Baqa' (kekal), karenanya
tatkala bangkit dari ruku' para pegiat shalat berucap : Sami'allahu Liman Hamidah (Allah mendengar siapa saja yang memuji), tidak ada seorangpun dari para
hamba-Nya yang berhak atas kalimat ini, karena kalimat ini merupakan pewartaan
akan Haal Ilahiyah (ihwal ketuhanan), hamba yang sedang berdiri dalam
menunaikan shalat, mengisyaratkan ke-kekal-an pengganti (khalifah) al Haq,
karenanya dalam ritual shalat tidak memakai redaksi bahasa ' Amila
(mengerjakan) akan tetapi Qooma (mendirikan), karena sejatinya shalat bukan
ritual simbolistik (gerak tubuh) namun menegakkan nilai-nilai yang terkandung
dalam bacaan shalat dalam praktek kehidupan riil.
Sujud ibarat, penghapusan sifat-sifat kemanusiaan berikut menghadirkan
sifat-sifat ketuhanan yang suci dalam diri secara kontinu.
Duduk diantara
dua sujud
mengisyaratkan pendalaman nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam sifat-sifat
dan asma-asma-Nya. karena duduk merupakan isyarat kebersemayaman diatas Aqd (perjanjian), seperti yang
diisyaratkan firman Qur’ani :
Tuhan Yang Maha Pemurah yang
bersemayam diatas Arsy. (Q.s. Thaahaa 20 : 5).
Sujud kedua mengisyaratkan maqom ibadah, yaitu kembali dari
al Haq kepada makhluk
Tahiyyat mengisyaratkan kesempurnaan al Haq dan makhluk, karena ia mengibaratkan
puji sanjung kepada al Haq dan puja sanjung kepada nabi terkasih-Nya serta
kepada para hamba-Nya yang shaleh, itulah sejatinya maqom al Kamaal
(kesempurnaan), seorang wali
tidak akan sempurna kewaliaannya
melainkan dengan pemahaman hakikinya akan hakekat ketuhanan, berikut
pengikutannya kepada Muhammad saw, serta keteladanan dan pengajarannya kepada
para hambaNya yang shaleh dan banyak lagi rahasia-rahasia yang berserak dari
ritual shalat tersebut, namun kami hanya memaparkannya secara ringkas.
Zakat : adalah ibarat penyucian diri dengan bias-bias (pengaruh) keberadaan al
Haq pada segenap makhluk-Nya. Yaitu bias pengaruh kesaksian al Haq kepada
makhluk-Nya pun kesaksian makhluk kepada-Nya, orang seorang yang mampu
memakrifahi eksistensi dirinya, ia akan melihat bias-bias pengaruh al Haq
terhadap dirinya dengan penyaksian yang sangat jelas. Jika orang seorang
konsisten mensifati dirinya dengan sifat-sifat al Haq, maka pengaruh
sifat-sifat-Nya akan melanskapi hidup dan kehidupan orang tersebut, jika
seorang hamba mampu memahami inti (dzat)-Nya dan ia bisa memakrifahi ke-aku-an
diri-Nya, maka pengaruh ke-Dia-an al Haq akan melanskapi diri orang tersebut,
demikianlah isyarat yang berserak dalam ritus zakat, ibadah ini memiliki empat
puluh degri (tingkatan) yang sedemikian itu segala yang wujud memiliki empat
puluh tingkatan (degri), muara dari tingkatan zakat adalah martabat Ilahiyah
(ketuhanan) capaian spiritual ini merupakan saru dari empat puluh martabat
ketinggian, kami telah paparkan secara detil masalah empat puluh martabat
ketinggian ini dalam karya kami ((al Kahfi wa al
Raqiim fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim
)) silakan anda memperdalam masalah ini dalam karya tersebut.
Puasa adalah isyarat untuk mencegah diri dari kepentingan-kepentingan Basyariyah (kemanusiaan), berikut mensosialisasikan
sifat-sifat Shamdaniyah (al Haq tumpuhan segala-segalanya) dalam diri. Sejauh
orang mampu menahan diri dari kepentingan-kepentingan kemanusiaan dirinya, akan
tampak jelas bias pengaruh al Haq terhadap dirinya, semakin eksis mengekang
keliaran nafsu dirinya, semakin tampak tajalli al Haq pada dirinya. Puasa
dilakukan selama sebulan penuh, merupakan isyarat al Faqr (rasa butuh) akan
hajat hidup selama hayat dikandung badan kepada al Haq, yakni durasi waktu
puasa (satu bulan penuh), merupakan metafor bahwa selama manusia hidup di alam
dunia ini, selama itu pula merasa butuh akan hajat hidup dan kehidupannya
kepada-Nya, esensinya durasi waktu puasa menunjukkan masa butuh kepada al Haq,
karenanya adalah tidak logis jika ada seseorang yang berkata : aku telah Wushul
(sambung), aku tidak perlu meninggalkan kepentingan-kepentingan kemanusiaan
diriku, terlebih tidak butuh kepada al Haq, sebab nilai-nilai kemanusiaan yang
nihil dari nilai-nilai ketuhanan adalah kosong, dan si pengklaimnya adalah
hipokrit dan penipu! Ia tidak saja menipu dirinya namun juga menipu Tuhannya,
maka adalah wajib bagi setiap hamba mentradisikan puasa, dalam pemaknaan,
meninggalkan kepentingan dan ketergantungan kepada kemanusiaan selama menapaki
hidup dan kehidupan dunia ini, berikut menggantungkan dan menyandarkan segala sesuatunya
kepada al Haq semata, agar bisa meraih al Fauz (kemenangan), dalam menggapai
keeksisan hakekat inti (dzat) ketuhanan. Dalam kaitan ini ada banyak bahasan
yang menyoal masalah niat puasa, buka puasa, sahur, shalat tarawih dan segala
amaliyah (amalan-amalan) di bulan suci Ramadhan, kami sudahi sampai disini
perihal puasa ini.
Haji : mengisyaratkan kontinuitas Qoshd (tujuan), dalam mencari al Haq. Ihram
merupakan isyarat, meninggalkan penyaksian dan keterfokusan kepada segenap
makhluk-Nya, menanggalkan pakaian berjahit mengisyaratkan pencerabutan
sifat-sifat rendah dan tercela dalam diri, berikut menghiasi diri dengan
sifat-sifat Mahmudah (terpuji), Tahallul (memotong sehelai
rambut) dan meninggalkan mencukur rambut secara keseluruhan, merupakan isyarat
meninggalkan Riyasah (kepemimpinan) umat manusia. Meninggalkan memotong
kuku (tangan dan kaki), mengisyaratkan penyaksian akan perbuatan al Haq dari
segala amaliyah (perbuatan) yang lahir dari-Nya. Meninggalkan pemakaian
wewangian, mengisyaratkan pengosongan sifat-sifat dan asma-asma Nya, untuk
menggapai inti (dzat)-Nya. Meninggalkan persenggamaan (pada waktu haji)
mengisyaratkan penahanan diri dalam bersikap dus menyikapi segala wujud,
meninggalkan pemakaian celak, mengisyaratkan kepada pelarangan ketergesahan
meminta Kasyaf (intuisi), untuk sampai kepada Hawiyah (ke-Dia-an) Ahadiyah
(ke-Esa-an) Nya. Miqat ibarat hati, Makkah ibarat martabat ketuhanan, Ka'bah
ibarat inti (dzat)-Nya, Hajar Aswad (batu hitam) ibarat pola hidup Insaniyah
(kemanusiaan). Warna hitamnya isyarat ragam tabiat manusia, yang sedemikian itu
seperti yang diisyaratkan rasul saw dalam sebuah hadist,
Hajar aswad ini diturunkan dengan
warna putih kemilau, lebih putih daripada warna susu, batu ini dihitamkan oleh
kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) anak cucu Adam,
hadist ini memaklumatkan
bahwa pola hidup manusia yang tercipta dalam fitrah kesucian, kodrat penciptaan
manusia memiliki ketersambungan dengan hakekat Ilahiyah (ketuhanan), itulah
esensi makna firman Qur’ani :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Q.s. at Tiin 95 : 4).
Keterpalingan manusia kepada pelik kehidupan duniawi, meninggalkan fitrah
penciptaannya, kemasyghulan manusia dengan tabiat dirinya, adat istiadat
(tradisi) yang mengungkung dirinya, keterputusannya dengan nilai-nilai
ketuhanan dan ketersambungannya dengan nafsu-nafsu dirinya itulah yang
menghitamkan dirinya. Dosa-dosa yang dilakukan manusia tersebut membawanya
kepada noqta (titik) hitam hidup dan kehidupannya, serta terjauhkan dari
pancaran sinar Uluhiyah-Nya. Maka hakekat kehitaman itu adalah dosa-dosa anak
cucu Adam, realita tersebut pararel dengan firman Qur’ani :
Kemudian Kami kembalikan ke tempat
yang serendah-rendahnya. (Q.s. at Tiin 95 : 6).
Ketahuilah bahwasanya esensi Thawaf itu adalah, ibarat daya presepsi (al
Mudrika) yang dioptimalkan seorang hamba untuk memahami ke-Dia-an al Haq,
berikut memahami asal penciptaan dirinya, pertumbuhan serta muara hidup dan
kehidupannya. Tujuh kali putaran mengisyaratkan tujuh sifat utama yang
merupakan 'tiang pancang' inti (dzat)-Nya, yaitu:
1. al Hayah (hidup)
2. al Ilm (berpengetahuan)
3. al Iradah (berkemauan)
4. al Qudrah (kuasa)
5. as Sam'u (mendengar)
6. al Bashar (melihat)
7. al Kalam (berbicara).
Dengan ketujuh sifat itu diharapkan sang pelaku thawaf bisa memakrifahi
dirinya dengan ketujuh sifat yang merupakan sendi hidup dan kehidupannya, lalu
mengembalikan ketujuh sifat itu kepada al Haq berikut menyandarkan dan
memasrahkan hidup dan kehidupannya kepada al Haq, merujuk ilmunya kepada-Nya,
memuarakan kehendaknya kepada al Haq, menyandarkan kekuasaannya kepada-Nya,
pendengarannya kepadaNya, penglihatannya kepada al Haq, pembicaraannya
kepada-Nya. Dengan demikian sang pegiat thawaf itu bisa memakrifahi sabda rasul
saw, al Haq berfirman dalam hadist Qudsi :
Aku menjadi pendengaran apa yang
didengarnya, penglihatan apa yang dilihatnya.
Kemudian Shalat paska thawaf mengisyaratkan penampakkan ke-Esa-an Diri Nya,
tegaknya simbol-simbol ketuhanan, adapun diutamakan pelaksaan shalat tersebut
dibelakang maqom Ibrahim, mengisyaratkan maqom (capaian spiritual) al Khillah
(kinasih), yaitu sebagai metafor penampakkan bekas-bekas ketuhanan dalam diri
pelaku thawaf, yang dengan itu apabila tangannya mengusap mata insan yang buta
menjadi sembuh (bisa melihat), jika melangkahkan kakinya diatas bumi, bumi
menyempit dan ia bisa melintas jarak dan waktu, demikian pula dengan anggota
tubuh lainnya, cahaya ketuhanan akan tercitrakan dalam dirinya, tanpa Khulul
(panteisme) dan Tasybih (antropomorfisme).
Air zam-zam isyarat ilmu-ilmu hakekat, meminum air zamzam isyarat rasa
haus akan ilmu-ilmu tersebut. Shafah isyarat Tashaffi (penjernihan) diri dari
sifat-sifat kemahlukkan. Berlari-lari dari bukit Shafah isyarat, usaha untuk
mendahagakan diri dengan mereguk minuman dari piala asma-asma dan sifat-sifat
Ilahiyah (ketuhanan), sedang puji sanjung kepada al Haq pada ritual
berlari-lari kecil dari bukit Shafah, mengisyaratkan pemakzulan akan kesejatian
kekuasaan Ilahi pada maqom tersebut, kemudian Taqshir (berleha-leha) dalam
penunaiannya mengisyaratkan penurunan degn (tingkatan), dari derajat hakekat
yang juga merupakan martabat al Qurb (kedekatan) kepada degri al Ayyaan itulah
nasib yang digapai para Shiddiqqiin. Kemudian melepas pakaian Ihram, ibarat
pelebaran diri dalam berkalobrasi dengan para mahlukNya dan memperluas
intentias kebersamaan dengan mereka, dengan tetap menyandarkan dan memfokuskan
hati dan jiwa kepada singgasana ketuhanan. Arafah ibarat maqom Makrifatullah.
Muzdalifah ibarat tebaran maqom (capaian spiritual) dan ketinggiannya, Mas'aril
Haram ibarat keagungan pelarangan-pelarangan yang lahir dari konsesus
ketuhanan, sedang penyikapannya adalah dengan pelaksanaan syariat-syariat-Nya.
Mina ibarat tergapainya al Muna (harapan), bagi mereka yang telah sampai pada
maqom (capaian spirtual) al Qurb (kedekatan). Melempar Jumrah tiga kali, ibarat
nafsu, tabiat dan adat istiadat, ketiganya dilempar sebanyak tujuh kali, yakni
membuang, mengkikis dan melenyapkan serta menindasnya dengan bekas-bekas tujuh
sifat utama ketuhanan :
1. al Hayah (hidup),
2. al Ilm (berpengetahuan),
3. al Iradah (berkemauan),
4. al Qudrah (kuasa),
5. as Sam'u (mendengar),
6. al Bashar (melihat), dan
7. al Kalam (berbicara)
Kemudian Thawaf Ifadah ibarat konsistensi dan kontinuitas pertumbuhan
ruhiyah, sejalan dengan kontiunitas al Faydz (penjelmaan) ketuhanan, Dia tidak
akan terputus dari manusia sempurna, insan yang telah menggapai maqom (Insaan
Kaamil) ketersambungannya dengan al Haq tidak akan berakhir. Thawaf wada'
isyarat memohon Hidayah (petunjuk) kepada al Haq, melalui jalan Haal, (kondisi
spiritual) karena rahasia-Nya berserakan pada Haal tersebut, karenanya rahasia
al Haq ditaruh pada diri para wali (kekasih)-Nya pun para hamba-Nya yang pantas
dititipi-Nya sejalan dengan firman Qur’ani :
Kemudian jika menurut pendapatmu
mereka telah cerdas, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (Q.s. an Nisaa' 4 : 6).
Dalam ritual ibadah haji ini, ada banyak rahasia yang berserak pada doa-doa
yang dibaca dalam pelaksanaan manasik haji, masing-masing doa yang dipanjatkan
memiliki rahasia, yang tidak mungkin kita kupas dalam kajian ini. Allah Maha
Mengetahui!
Iman : Merupakan awal tangga capaian Kasyf (pengetahuan intuitif) tentang
alam gaib, iman juga merupakan media transportasi yang ditumpangi pengendaranya
ke maqom (capaian spiritual) tertinggi di alam ketinggian, serta media Khadrah
(presensi) kesucian dan kemuliaan bersama al Haq, iman ibarat jejak-jejak hati
paska Idrak (persepsi) akal, semua yang difahami akal jika tidak
menggerakkan jejak-jejak hati kepada al Haq, tidak bisa disebut iman hakiki dan
pemahaman semacam itu hanya disebut ilmu teoritis, karena berdasarkan
bukti-bukti riel kasat mata, karenanya pengetahuan yang tidak menggerakkan hati
kepada al Haq tidak disebut sebagai pengetahuan hakiki, akan tetapi disebut
pengetahuan teoritis dan pengetahuan semacam itu tidaklah bisa disebut sebagai
etos keimanan. Karena syarat keimanan adalah penerimaan hati terhadap sesuatu
yang dipercayai tanpa syarat, bahkan merupakan kepercayaan utuh (mutlak) yang
lahir dari hati, karenanya bias cahaya akal tempuhannya sangat terbatas, sedang
bias cahaya iman tempuhan cahayanya tidak terbatas, kekuatan akal sangat
terbatas sedang kekuatan iman tidak terbatas. Merpati akal terbang dengan
sayap-sayap hikmah dan dalil-dalil otentik serta valid (shahih), dalil-dalil
tersebut tidak bisa ditemukan melainkan pada sesuatu yang kasat mata, sedang
sesuatu yang bersifat batiniyah tidak memiliki dalil otentik kasat mata
satupun, merpati iman terbang dengan sayap-sayap Qudrah, tidak hinggap pada
satu ketinggian yang satu ke ketinggian yang lain, akan tetapi terbang lepas ke
penjuru semesta alam, karena QudrahNya meliputi segala sesuatu, tanda keutamaan
iman yang pertama-tama bisa disaksikan adalah, menuntun pelakunya mampu melihat
dengan Bashirah (mata hati)-nya, hakekat keimanan seperti yang diwartakan al
Haq hanya bisa disaksikan dengan Kasyf (pengetahuan intuitif) melalui cahaya
keimanan, Nur al Iman tersebut perlahan-lahan menuntun pegiatnya kepada maqom
hakikat sejati melalui apa-apa yang diimaninya, al Haq berfirman :
Alif Laam Miim. Kitab ini tidak ada
keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertagwa. Yaitu mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang
Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab yang telah
diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta
mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat
petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.s. al Baqarah : 1 - 5)
Para mukmin sejati, tiada sedikitpun dalam syakilah hati mereka, rasa ragu
dan gamang dengan apa yang diwartakan kitab-Nya, etos keimanan mereka tidak
membuat diri mereka berhenti melihat dan merujuk dalil-dalil baik tekstual
maupun kontekstual, etos keimanan mereka tidak terpasung oleh nalar logika
mereka, jika ada dalil yang tidak mampu ditangkap akal, mereka mengembalikan
permasalahan tersebut kepada al Haq, yang sedemikian ini mereka sangat memahami
bahwa akal mereka sangat terbatas dan mereka tidak menjadikan akal mereka tolak
ukur keimanan diri mereka, jika ada sesuatu yang diluar narasi logika akal,
mereka mengimaninya tanpa ada rasa ragu dan gamang, sebab insan yang mengaku
beriman sementara etos keimanannya terpasung oleh akal dan dalil-dalil sempit,
maka sejatinya ia telah mencidrai validitas kandungan kitab-Nya. Seperti yang
jamak kita lihat pada diri para pakar ilmu kalam, ilmu logika mereka justru
terbelenggu oleh logika dan pikir dalam menggapai keimanan hakiki, berikut
melapangkan jalan kepada taqlid (pengikutan tak berdalil) dan bid'ah
(pengadakan sesuatu yang baru dalam agama yang tidak memiliki dasar pijakan)
serta menjadi Mulhid (anti Tuhan). Ketahuilah sejatinya landasan iman itu ada
di hati, iman adalah cahaya dari cahaya-cahaya al Haq, dengannya al Haq melihat
segenap hamba-Nya dari permulaan hingga ahiran, terkait dengan ini rasul saw
bersabda :
Takutlah kalian dengan firasat insan
beriman, karena ia melihat dengan cahaya alHaq,
rasul tidak menyebut takutlah dengan firasat orang muslim, atau orang
berakal, akan tetapi beliau menghususkannya dengan kata mukmin. Pahami betul
masalah ini!
Ketahuilah ayat Q.s. al Baqarah 1:1-5 ini, memiliki banyak interpretasi
tafsir yang tidak mungkin kita paparkan satu persatu secara detil. Saya berharap
suatu hari bisa membuat karya khusus, tentang Madzluliyah (makna tersirat) dari
huruf Alif, Laam, Miim, Kaaf, al Kitab dan lain-lain, semoga Allah memberi
kesempatan dan karunia kekuatan untuk menulis tafsir tentang huruf-huruf
rahasia tersebut. Saya juga selalu berdoa agar bisa membuat karya Tafsir Qur’ani,
untuk menyibak rahasia-rahasia yang berserak dalam kandungan Qur'ani, agar
kelemahan akal bisa menangkap lebih luas lagi nilai-nilai Qur'ani, sejalan
dengan janji al Haq kepada nabi terkasih-Nya Muhammad saw dalam firman-Nya,
Kemudian, sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah penjelasannya. (Q.s. al Qiyamah 75 : 19).
Saya berharap bisa berhidmah untuk membumikan nilai-nilai Qur'ani kepada
ummat Muhammad saw, agar mereka bisa memakrifahi al Qur'ani secara hakiki.
Kembali kepada kajian (pasal) ini, adapun firman-Nya,
Kitab ini tidak ada keraguan padanya
petunjuk bagimereka yang bertagwa. (Q.s. al Baqarah 1 : 2),
mengisyaratkan hakekat Alif, Laam,
Miim. Secara global ayat tersebut mengisyaratkan kepada inti (dzat),
sifat-sifat dan asma-asma al Haq. (Kitab ini) makna kitab dalam ayat tersebut,
sejatinya adalah al Insaan al Kaamil (Manusia Sempurna). Maka Alif,
Laam, Miim, adalah isyarat hakekat manusia.
Tidak ada keraguan padanya, petunjuk
bagi mereka yang bertagwa,
yakni insan-insan yang menjaga (memelihara) dan mentradisikan ajaran agama
al Haq Dia menjaga dan memelihara mereka, jika disebut nama Allah hati mereka
bergetar, takut tiada tara, jika mereka menyebut dan memohon kepada al Haq, Dia
mengabulkan semua doa-doa mereka.
Yaitu mereka yang beriman kepada
yang ghaib,
sejatinya Ghaib dalam ayat ini adalah Allah, dalam kegaiban itu mereka
beriman secara utuh, ke-dia-an mereka adalah ke-Aku-an Dia. Ke-aku-an mereka
adalah ke-Dia-an Dia. Yang mendirikan shalat yaitu insan-insan yang
menegakkan simbol, idiom, ikon, martabat ketuhanan dalam eksistensi wujud
mereka, yang terwajahkan pada hakekat nama-nama dan sifat-sifat al Haq dalam
din mereka.
Dan menafkahkan sebagian rizki yang
Kami anugerahkan kepada mereka,
yakni mereka mengaktualisasikan diri mereka dengan nilai-nilai ke-Esa-an
ketuhanan dalam setiap wacana kehidupan yang ditapakinya, berikut
mendistribusikan segala Faydz (kelimpahan) yang lahir dari buah
ke-Esa-an Ilahiyah kepada sanak keluarga, kerabat, handai tolan dan anak
bangsanya, yang sedemikian itu hakekat rizki, bukanlah bermakna materi semata,
rizki yang berupa pemahaman akan hakekat ke-Esa-an ketuhanan, merupakan nzki
yang tak ternilai harganya.
Dan hakekat rizki itu adalah rizki yang mengantar penerimanya kepada
nilai-nilai Uluhiyah dari menjadikan si penerimanya paham akan nilai-nilai
ke-Esa-an Nya. Sejalan dengan sabda rasul saw :
Tegakkan langkahmu seiring dengan
insan-insan yang meng-Esa-kan terdahulu, dengan demikian mereka yang meng-Esa-kan
al Hag adalah para pendahulu yang utama,
adapun insan-insan yang mengikuti langkah-langkah para peng-Esa
(pendahulu utama) itu adalah mereka yang beriman yakni beriman kepada yang
ghaib, sedangkan kesejatian iman gaib adalah percaya kepada Kitab yang telah
diturunkan kepadamu secara mutlak. Dan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang
tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung. (Q.s. al Baqarah : 4 - 5).
Keberuntungan itu melanskapi hidup dan kehidupan mereka, karena mereka
percaya kepada isi kitab secara mutlak, percaya dengan adanya para malaikat,
kitab-kitab al Haq, para rasul dan hari akhir. Menerima segala bentuk Qadha'
dan Qadar al Haq baik yang buruk maupun yang baik dengan penuh kerelaan dan
keyakinan utuh bahwa al Haq Maha Mengetahui apa yang terbaik buat diri mereka.
Lebih dari itu mereka tidak sekedar beriman, namun juga memahami hakekat
keimanan yang mereka yakini dengan kesaksian yang utuh, hal mana kesaksian yang
utuh tersebut mengantarkan mereka kepada pemahaman hakiki (makrifah) allmaan
bi Allah (iman kepada Allah) dengan itu mereka bisa menangkap metafor
ketuhanan serta nilai-nilai hakiki dan penciptaan para malaikat, penurunan
kitab serta pendelegasian para rasul-Nya. dengan demikian hakekat keimanan itu
adalah yang berdimensikan asy Syuhud (penyaksian dimensi gaib), sebab diantara
syarat iman adalah penyaksian dan pengetahuan secara intuitif (Dzauq al
Wujdaan) dan bukan pengakuan syahadat simbolistik. Orang seorang yang mengaku
telah beriman, sementara ia tidak memakrifahi esensi kegaiban dan hakekat
kesejatian Diri Nya, etos keimanannya belumlah sempurna dan orang itu belum disebut
sebagai as Saabiquun (para pendahulu) insan beriman, ketahuilah esensi
pendahulu dan pengikut dalam etos keimanan bukanlah pada rentang jarak waktu,
akan tetapi pada pemahaman paripurna etos keimanan itu sendiri, yaitu,
mempercayai adanya Allah (al Haq), para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya
dan hari akhir, serta Oadha' dan Qadhar, baik buruk maupun baik yang datang
dari Allah. Orang seorang yang bisa memahami etos keimanan itu dengan makrifah
(pemahaman) hakiki, ia berhak disebut sebagai as Saabiqun (para pendahulu),
sedang yang insan yang tidak mampu disebut sebagai al Laahiquun (para
pengikut).
as Shalaah (keshalehan) : Ibarat kontinuitas ibadah
dan keeksisan ubudiyah. Ibadah dalam pemaknaan umum, adalah amal kebaikan yang
dimaksudkan untuk mencari pahala Allah dan manifestasi dan ketakutan akan siksa
(adzab) Allah, pegiat ibadah awam (orang kebanyakan) memahami bahwa segala
sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, pegiat ibadah itu
berharap tambahan, baik dalam kehidupan dunia ini, maupun kehidupan akhirat kelak,
ia menyembah al Haq karena takut kepada kobaran api neraka-Nya, serta hasrat
ingin dimasukkan surga-Nya. Etos peribadatan seperti itu, ia patrikan dalam
kalbunya, ia kristalkan ke-Agung-an al Haq di benak pikirnya, lalu ia
aktualisasikan dalam dirinya dengan cara menjauhi sejauh-jauhnya segala bentuk
kemaksiatan kepada al Haq, ia jernihkan dan sucikan hatinya dari segala bentuk
larangan al Haq. Sedangkan faedah kontinuitas ibadah adalah, melahirkan
keteguhan (keeksisan) diri dalam bertawajjuh kepada al Haq dan fokus kepada
nilai-nilai ketuhanan yang lahir dari hati nurani yang paling dalam,
keistiqomahan yang tulus itu akan memutihkan hati dari noqta hitam, serta akan
merobohkan tembok-tembok Hijab (tirai, penghalang), yang menghalangi
ketersambungan (Wushul) seorang hamba dengan al Haq dan jika Hijab telah sirna
dan diri seseorang, maka orang tersebut dapat menggapai maqom (capaian
spiritual) hakekat dalam bingkai syariat-Nya. Maka esensi Dawaamul Ibadah (kontiunitas
ibadah) adalah ibadah yang berlandaskan hakekat yang berbingkai ajaran syariat,
dengan tetap menghiasi ritus ibadah dengan ar Rajaa' (harapan), sebab ritus
ibadah para shaleh syarat dengan Rajaa' bahkan harapan itu merupakan kemestian
yang harus diusung dalam ritus ibadah para shaleh, lam halnya dengan Muhsinuun
(para pegiat Insaan), mereka melandasi ibadah mereka dengan ar Rahbah (harapan
besar) kepada al Haq, benang merah (perbedaan) ibadah antara para shaleh dan
para muhsin, ialah para shaleh diri mereka takut kepada adzab (siksa) neraka dan
berharap memperoleh pahala agar bisa memasuki surga-Nya untuk diri mereka, maka
rasa takut dan harapan itu bersumberkan diri mereka, esensinya mereka melakukan
ritus peribadatan untuk diri mereka. Lain halnya dengan para Muhsin etos
beribadatan mereka berlandaskan ar Rahbah (harapan besar) akan Jalalah
(keagungan) al Haq dan harapan besar akan lamalah (Keindahan) al
Haq. Etos ibadah dan ubudiyah mereka murni bersumberkan al Jalalah dan al
Jamalah. Maka muara ibadah para Muhsinun itu bermuara pada maqom al Muhlis (manusia
yang Ikhlas) kepada al Haq. Sedang muara maqom para shaleh adalah as Shaaddiq
(manusia yang benar) kepada-Nya. Ibadah para muhsin tidak menjadikan pahala
besar sebagai agunan, sedang para shaleh selalu menjadikan pahala besar agunan
ibadah mereka. Pahami betul, metafor dan rumus-rumus keterangan ini!
al Ihsan (kebaikan) : Isim (nama) Maqom (capaian
spiritual), dimana dalam fase ini, seorang hamba mampu menelisik hakekat
nama-nama dan sifat-sifat al Haq serta menangkap atsar (bekas) daripada ayat
(tanda) ketuhanan. Nama-nama dan sifat-sifat tersebut, ia citrakan dalam ritus
ibadahnya, seakan-akan ia berada dihadapan al Haq. Hati dan jiwanya selalu
fokus kepada al Haq, tidak ada ruang sedikitpun dalam syakilah hatinya sesuatu
selain al Haq. Diantara tingkatan paling elementer dalam maqom ini, adalah
seorang hamba merasa bahwa al Haq melihat dirinya kapanpun dan dimanapun dan ia
pun merasa dilihat al Haq dimanapun dan kapanpun, namun penglihatan itu harus
memenuhi tujuh syarat berikut ini :
1. Taubat
2. Inabah (kembali kepada al Haq)
3. Zuhud
4. Tawakkal
5. Tafwid (penyerahan)
6. Ridha
7. Ikhlas.
Taubat : dijadikan syarat Ihsaan, karena seorang hamba jika kembali kepada
tindak dosa dan kemaksiatan, itu pertanda ia tidak memperdulikan lagi penglihatan
al Haq atas dirinya, lebih dan itu ia tidak lagi melihat kepada-Nya, terlebih
menafikan penglihatan al Haq atas dirinya, sebab sejatinya insan yang merasa
melihat dan dilihat al Haq, tidak ada sedikitpun bersitan dihatinya untuk
berbuat maksiat. Taubatnya orang yang muhsin (berbuat kebaikan) pun
taubat orang yang berada dibawah maqom al Ihasan, semisal, para shaleh, para
mu'min dan para muslim adalah taubat dari dosa-dosa. Sedang taubatnya insan
yang telah menggapai maqom Syahadah, dari bersitan hati terhadap keinginan
melakukan tindak kemaksiatan, taubat orang yang telah menggapai maqom as
Shidiqiyah dari bersitan hati terhadap keterpalingan selain al Haq. Taubat para
Muqorrrobin dari haal (kondisi spiritual) yang mengkondisikan diri mereka, yang
sedemikian itu para Muqorrobin adalah insan-insan yang eksis dan kontinu berada
dalam jalur ketuhanan yang hakiki, semua wajah hidup dan kehidupannya berada
dalam orbit makritullah.
al Inabah (kembali kepada al Haq) : Diklasifikasikan dalam
maqom al Ihsan, karena syarat utama keterkabulan taubat, adalah tidak kembali
kepada perilaku dosa dan tindak kemaksiatan, tidak kembali berbuat dosa itu
murni berdasarkan rasa takut yang sangat kepada al Haq, rasa takut itu
melahirkan semangat kembali kepada al Haq secara utuh, Inabah para Muhsin dan
insan-insan yang berada dibawah maqom Ihsan semisal para shaleh, para mu'min,
para muslim adalah kembali kepada al Haq dengan cara memelihara diri dari
segala larangan-larangan-Nya, berikut mentradisikan konsistensi dan kontiunitas
diri dalam melaksanakan segenap amar perintah-Nya. Inabah para syuhada' adalah
kembalinya mereka dari kehendak kepada diri pribadi mereka, kepada kehendak al
Haq, Inabah para Shiddiqin, adalah kembalinya diri mereka dari al Haq kepada al
Haq. Inabah para Muqorrobin, kembalinya mereka dari nama-nama dan sifat-sifat
al Haq kepada inti (dzat)-Nya. Terkait dengan maqom (capaian spiritual) ini,
ada banyak wacana yang melanskapi para Shiddiqiin dalam memaknai dunia hakekat
mereka, masing-masing mangklaim telah kembali kepada inti (dzat)-Nya dan
berkumpul bersama inti (dzat)-Nya, pada
kenyataannya (mereka) tidaklah demikian, mereka bersama nama-nama dan
sifat-sifat-Nya karena sakr (esktase mistis) mereka lahir dan Khamer (arak)
ke-Esa-an, hanya saja ke-Esa-an al Haq yang tak terbatas tersebut, mereka
sempitkan dengan narasi logika mereka, padahal kekuatan logika mereka sangatlah
terbatas. Jika anda mengklaim mereka bersama inti (dzat)-Nya, jelas anda
memberi batasan permasalan ini, sebaiknya anda katakan mereka bersama al Haq
melalui media asma-asma dan sifat-sifat Nya. Lain halnya dengan para Muhaqqiqin
(para ahli hakekat) mereka bersama inti (dzat)-Nya tanpa ada batasan bahkan
dengan dzat, dalam dzat dan bersama inti (dzat)-Nya, yang sedemikian itu para ahli
hakekat adalah ahli maqom al Qurb (kedekatan). Kita akan bahas pada pasal
berikutnya.
Zuhud menjaga jarak hati dari kekemarukkan duniawi : Merupakan syarat maqom
Ihsaan, karena syarat muraqabah (bentuk perhatian) kepada al Haq adalah, tidak
memalingkan hati kepada dunia, berikut tidak menjerembabkan hati ke dalam pelik
kepentingan pragmatisme dunia. Cobalah anda telisik dengan jeli, manakalah anda
melihat seorang budak yang sedang berada dihadapan tuannya dan si budak itu
benar-benar memahami bahwa tuannya sedang membutuhkan khidmahnya, nicaya budak
ini akan meninggalkan semua kepentingan (keperluan) dirinya untuk fokus
berhidmat kepada tuannya, demikian halnya dengan etos zuhud, si zahid (pelaku
zuhud) akan fokus kepada kepentingan al Haq, ketimbang kepentingan diri
pribadinya, adapun zuhud para muhsin dan insan-insan yang berada dibawah maqom
al Ihsan, semisal para shaleh, para mu'min, para muslim, adalah menjaga jarak
hati mereka dari gelimang nikmat dunia dan keglamourannya, zuhud para syuhada'
adalah menjaga jarak hati dari pelik kehidupan dunia dan akhirat secara
keseluruhan, zuhud para Shiddiqqiq, menjaga j arak hati dari segala
makhluk-Nya, mereka tidak zuhud melainkan kepada al Haq, nama-nama dan
sifat-sifatNya, zuhud para Muqorrobin, menjaga jarak hati dari baqa' dengan
asma-asma dan sifat-sifat, mereka bersama inti (dzat)-Nya. Pahami betul masalah
ini!
Tawakkal (berserah diri): dijadikan bagian dari syarat al Ihsan, karena
syarat orang seorang yang merasa diperhatikan dan dilihat al Haq, ia harus
memfakuskan segala urusannya sejalan dengan ajaran syariat-Nya, serta tidak
menyibukkan dirinya dengan pelik-pelik selain al Haq, adapun syarat tawakkal
adalah memasrahkan diri kepada al Haq dengan memperlakukan diri sejalan dengan
kehendak-Nya, apapun yang dikehendaki al Haq terhadap dirinya, ia pasrah,
itulah esensi makna firman Qur’ani :
Dan hanya kepada Allah, hendaknya
kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (Q.s. al Maa'idah 5 : 23)
yakni pasrahkan dirimu kepada al Haq, terserah Dia, diapakan dirimu
oleh-Nya, jika memang kamu benar-benar beriman kepada-Nya, patrikan dalam
dirimu bahwasanya al Haq tidak berbuat kepadamu melainkan sesuai dengan
kehendak-Nya, patukan pula dalam dirimu bahwasanya Dia Maha Mengetahui apa yang
terbaik buat dirimu, pasrahkan urusanmu kepada al Haq, jangan protes dan marah
serta kecewa dengan keputusan-Nya, karena sikap semacam itu merupakan cerminan
daripada ketidak shalehanmu, maka jika anda jeli, kebanyakan para pelaku
kebaikan, memasrahkan urusan kepada al Haq, agar Dia berbuat untuk kepentingan
diri pribadi mereka pun mereka berharap ketawakkalan itu bisa menghasilkan
multi guna bagi diri mereka, itulah esensi firman Qur’ani :
Barang siapa yang bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki
dari arah yang tidak disangka-sangkanya. (Q.s. ath Thalaq 63 : 2 - 3)
yakni barang siapa yang bertawakkal dan menyerahkan nasib dirinya untuk
dipungkasi al Haq, itulah sejatinya insan yang berpasrah diri, etos
ketawakkalannya tidak untuk kepentingan pragmatisme dirinya, melainkan untuk al
Haq semata, etos tawakkal seperti akhirannya seperti diwartakan pesan Qur'am :
Dan barang siapa yang bertawakkal
kepada Allah, nicaya Allah akan mencukupkan keperluannya, sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang dikehendakiNya.
Ia pasrahkan dirinya terserah al Haq mau diapakan dirinya, berikut ia
pasrahkan nasibnya untuk dipungkasi al Haq,
Sesungguhnya Allah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Qs. ath Thalaq 65 : 3)
tawakkal para muhsin, ibarat memfokuskan segala sesuatu hanya kepada al
Haq, berikut memasrahkan kepada-Nya untuk memungkasi nasib diri mereka.
Tawakkal para syuhada' ibaratnya adalah melepaskan jerat-jerat hukum sebab
akibat (hukum kausalitas) dan Wasitha (media-media) dengan memasrahkan secara
utuh segala nasib yang mengkondisikan dirinya kepada al Haq untuk
dipungkasi-Nya. Dengan demikian para pentawakkal itu menjadikan al Haq inti
kehendak-Nya, menjadi kan kehendak diri mereka maksud dan tujuan-Nya, mereka
tidak memiliki pilihan, karena pilihan mereka telah dimuarakan kepada al Haq,
pilihan al Haq adalah pilihan mereka, seorang Mutawakkil (pegiat
tawakal) sejati akan senantiasa Khusnudzan (berprasangka baik) kepada al
Haq, bahwa apa yang mengkondisikan dirinya adalah yang terbaik menurut al Haq.
Karenanya apa yang menjadi kehendak dan kemauan al Haq, adalah merupakan
kehendak dan keinginan dirinya. Tawakkal para Shiddiqqin adalah mengembalikan
eksistensi diri mereka dan segala pelik nasib mereka kepada al Haq, mereka
tidak memiliki, pilihan, kehendak dan bentuk ketawakkalan yang mereka mnaikan,
karena telah dipasrahkan kepada al Haq. Etos ketawakkalan para
Shiddiqqin itu adalah dengan menenggelamkan diri mereka dalam Syuhud (penyaksian)
Diri Nya, berikut melenyapkan eksistensi diri, dalam wujud-Nya. sedang tawakkal
para ahli hakekat, adalah tidak melihat diri mereka karena tenggelam dalam
fana' (kesirnaan) bersama-Nya.
Tajwid (penyerahan) : Sejatinya sama dengan Taslim (berserah diri) hanya
saja pada realitanya ada sedikit perbedaan, yaitu orang yang mentradisikan
berserah diri (muslim), tidak selamanya ridha dengan ketentuan yang lahir dari
keberserah dirian-nya, ia terkadang kecewa bahkan marah dengan apa dan siapa
yang diserahinya, karena tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya, berbeda
dengan Mufawwid (manusia yang mentradisikan penyerahan), ia senantiasa ridha
dengan ketentuan yang lahir dari tafwidnya, ia pasrah sepenuh hati kepada apa
dan siapa yang diserahinya tanpa syarat, ia dengan kerelaan yang tulus menerima
segala yang lahir dari penyerahannya. Keduanya (taslim dan tafwid) lebih
mendekati pada pemaknaan al wakalah (penitipan) sedang perbedaan diantara
keduanya (taslim dan tafwid) dengan wakalah adalah, al wakalah (penitipan) ada
syarat yang terkait dengan etos kepemilikan, antara si pemilik yang mengalih
tangankan kepada orang yang dititipi, alih tangan semacam (klaim kepemilikan)
itu tidak berlaku pada taslim dan tafwid. Maka penyerahan para Muhsin (pelaku
kabaikan) kepada al Haq dalam segala urusan dan permasalahan mereka, sejatinya
adalah pengembalian segenap urusan
dan permasalahan yang
mengkondisikan diri mereka kepada al Haq. Mereka membebaskan diri mereka dari
klaim kepemilikan atas apa yang telah al Haq ciptakan untuk diri mereka, para
muhsin menganggap apa yang mereka miliki hanyalah merupakan 'titipan'
(pinjaman) al Haq yang Dia titipkan untuk diri mereka, karenanya mereka
kembalikan segala sesuatunya kepada Sang Maha Pemberi rizki, karenanya disebut
dengan tafwid (penyerahan).
Tafwid para syuhada' adalah, Sukuun (rasa damai) mereka dengan dan bersama
al Haq, mereka senantiasa mentafakkuri afal (aktualitas) al Haq pada diri
mereka, pun pada segala sesuatu selain diri mereka, lebih dan itu mereka
serahkan segala urusan mereka kepada al Haq semata, mereka dengan keyakinan
yang utuh percaya apa yang menjadi suratan taqdir din mereka adalah yang
terbaik menurut al Haq atas diri mereka, apa yang dilakukan al Haq atas diri
mereka diterima dengan penuh ketulusan, tanpa ada sedikitpun dalam syakilah
hati mereka rasa Su'udzan (buruk sangka) kepada al Haq, penyikapan
mereka kepada al Haq tidaklah sama dengan insan muslim kebanyakan (para awam),
mereka tidak berpikir tentang imbalan dari ritus ibadah dan ubudiyah mereka,
pun pula mereka tidak mengemis-ngemis pahala atas ritus ubudiyah yang mereka
kerjakan, karena para Muhsin tersebut merasa bahwa diri mereka sama sekali
tidak berhak atas pahala dari ritus ibadah yang mereka kerjakan. Sedangkan
tafwid para Shiddiq adalah, mentafakkuri al Jamaal al Ilahiyah (keindahan
ketuhanan) dalam berbagai tajalli (manifestasi) segala wujud, mereka tidak
menyempitkan dimensi tajalli al Haq pada sesuatu tertentu, dus pada
batasan-batasan tertentu, mereka serahkan etos tajalli itu kepada al Haq
sejalan dengan kehendak-Nya, apapun tajalli-Nya mereka menyaksikannya, sejalan
dengan maqom isim (nama), sifat, kemutlakan, tafwid (penyerahan), seperti
halnya para Muqorrobin yang tidak ada rentang jarak yang memisah antara diri
mereka dengan al Haq, sejalan dengan apa yang telah termaktub (tertulis) pada
Qolam tertinggi segenap makhluk-Nya. Mereka tidak memasghulkan dengan wacana
segala yang wujud, mereka serahkan diri mereka kepada al Haq, terserah Dia
memperlakukan diri mereka sesuai kehendak-Nya, mereka itulah insan-insan yang
terpecaya, tidak akan pernah membuka rahasia-rahasia al Haq yang disematkan
pada diri mereka, tidak sombong dan congkak dengan karunia yang mereka miliki,
tidak pula membuat kerusakan dimuka bumi ini, terlebih tidak mengganggu orang
lain dalam menapaki hidup dan kehidupan ini, bahkan mereka sangat santun,
peduli dan penuh empati kepada sesamanya. Mereka sama sekali tidak pernah
menaburkan kebencian, kemarahan, kedengkian di dada orang lain, mereka selalu
menebar rasa kasih, damai, dan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan
orang lain, mereka bahkan berusaha menyatukan jiwa mereka kepada sesama insan,
seperti halnya mereka berusaha menyatukan hati dan jiwa mereka kepada al Haq,
ruh mereka senantiasa eksis dalam hadirat kedekatan bersama al Haq dalam
singgasana Ilahiyah (ketuhanan).
Ridha (rela) : syaratnya adalah paska Qadha', sedang sebf lum Qadha' maka
ia disebut 'Azam (hasrat kuat) akan ridha, konsesus semacam itu telah banyak
dikeluarkan oleh para alun, punggawa thanqat. Ketahuilah ridha para muhsin
(pelaku kebaikan) kepada al Haq adalah kerelaan mereka dengan Qadha' Nya,
mereka sama sekali tidak menyoal al Muqdhi (penentu Qadha'), apapun ketentuan
al Haq mereka terima dengan penuh ketulusan dan kerelaan al Haq terkadang
menurunkan Qadha' berupa kepedihan dan kesusahan hidup dan mereka menerima
(menghadapi kepedihan serta kesusahan hidup) itu dengan penuh kerelaan.
Keridhaan mereka dengan Qadha' al Haq sejatinya adalah kerelaan mereka terhadap
hukum-Nya dan keridhaan harus beralaskan hukum al Haq, dengan demikian jelas
sejali dasar keridhaan mereka adalah hukum al Haq, bukan kepedihan dan
kesusahan hidup yang memayungi langit kehidupan mereka, dalam menyikap Qadha'
mereka melihat hukum al Haq bukan melihat bentuk (rupa) daripada Oadha' itu sendiri.
Adapun ridha para syuhada' adalah kecintaan mereka kepada, demi dan untuk al
Haq, yang tidak disertai permintaan Wushul (tersambungan) atau hengkang dari
pelarian atau keterjauhan, bahkan mereka senantiasa eksis dalam kedekatan dan
pertemuan. Kemarahan dan kerelaan mereka sama sekali tidak mengurangi esensi
kecintaan mereka kepada al Haq, wacana hidup yang mengkondisikan diri mereka,
tidak membuat diri mereka terpalingkan dari al Haq, terlebih melunturkan kadar
cinta mereka kepada-Nya. Sedangkan ridha para as Shiddiqqin adalah, senantiasa
merindukan kehadiran (presensi) ridha al Haq dalam lanskap pandangan
ketinggian, yang sedemikian itu mereka senantiasa dalam proses pertumbuhan,
semakin dekat seorang hamba kehadirat al Haq, semakin sempit penglihatan mereka
kepada makhluk-Nya, dus semakin fokus kepada hadirat Ilahi, sebab kali pertama
kebersamaan seorang hamba dengan al Haq, adalah melalui manifestasi
perbuatan-perbuatan al Haq yang tertajallikan pada segenap makhluk-Nya, jika
cerapan manifestasi itu kian dalam pada diri seorang hamba, semakin sempit pula
fokus perhatiannya kepada makhluk-Nya, maka esensi ridha para shiddiq adalah,
ke-berdiam-an diri mereka kepada al Haq dalam bingkai ke-acu-an (keterpalingan)
mereka dari segala sesuatu selain Diri Nya, capaian spiritual semacam itu tidak
bisa dianalogikan dengan kekuatan akal, karena hal itu merupakan wilayah Dzauq
(intuisi) dan Kasfy (pengetahuan intuitif), sedangkan ridha para Muqorrobm
adalah kembalinya mereka dan al Haq kepada makhluk.
al Ikhlas (keihlasan) : adalah wajah dari perilaku para
shaleh yaitu, tidak berpaling kepada segenap makhluk-Nya dalam menjalankan
ritus ibadah dan ubudiyah kepada al Haq. Ihlasnya para Muhsin (pelaku kebaikan)
adalah, ibadah kepada al Haq tanpa berharap dan meminta imbalan dalam kehidupan
dunia dan pahala kehidupan akhirat, etos peribadatan mereka kepada al Haq,
semata mata karena amar perintah-Nya kepada segenap hamba untuk menyembah-Nya,
sedang nisbat (perumpaan) ibadah para shaleh dan sebagian para muhsin dalam
ritus ibadah, adalah laksana seorang hamba sahaya yang tidak berharap upah dari
laku pekerjaan yang ditunaikannya, sedangkan ikhlas para syuhada' adalah,
penunggalan al Haq dalam segala wujud, adapun ihlasnya al Muhaqqiqin (para ahli
hakekat,) dan para Shiddiqin adalah, tidak adanya hasrat kepentingan untuk
memakrifahi inti (dzat)-Nya pada sesuatu daripada nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Adapun ihlasnya para Muqorrobin adalah, pensucian diri dari
segala sekat-sekat keterkaitan dengan segala pelik selain al Haq, sehingga
tidak ada Hijab (tirai penghalang) antara diri mereka dengan al Haq.
Dan Allah mengatakan yang
sebenar-benarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. (Q.s al-Ahzab 33 : 4)
Adapun Syahadah terbagi atas dua golongan. 1.) Syahadah agung. 2.) Syahadah
kecil. Kesyahidan kecil itu sendiri terbagi atas beberapa macam, sebagaimana
yang diwartakan sebuah hadist semisal, insan mati dalam pengasingan, tenggelam,
atau mati karena sakit muntaber dan lain sebagainya, adapun tingkatan tertinggi
dalam kesayahidan kecil ini adalah, terbunuh dalam memperjuangkan agama Allah
di medan laga. Syahadah agung terbagi atas dua macam, tinggi dan rendah,
kesyahidan tinggi adalah Syuhud (penyaksian) kepada al Haq dengan 'ain
(inti) keyakinan yang termanifestasikan dalam segenap makhluk-Nya, semisal jika
si penyaksi melihat sesuatu dari ciptaan-Nya, sejatinya ia melihat eksistensi
Sang Khaliq tanpa Hului (panteisme) dan Infishal (keterpisahan) sebagaimana
yang diwartakan al Haq dalam firman-Nya :
Maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah. (Q.s. al Baqarah 2 : 115)
al Haq telah memberi isyarat akan muara hakiki kesaksian yang kita
maklumatkan, yaitu keterfokusan yang eksis dan kontinu tanpa ada keterputusan
untuk Hadrah (presensi) al Haq dalam diri kita, kapanpun dan dimanapun kita
berada, jika etos syahadah seperti itu benar-benar telah terpatri dalam diri
seorang hamba, sejatinya ia adalah seorang Musyahid (penyaksi) al Haq dalam
arti yang sesungguhnya, itulah tingkatan tertinggi daripada syahadat, tidak ada
tingkatan sesudahnya melainkan as Shiddiqiyah yang terlanskapkan dalam wujud.
Sang penyaksi akan fana' bersama wujud al Haq, dalam kesirnaan bersama-Nya
itulah sang penyaksi berada pada capaian spiritual as Shiddiqiyah, adapun
tingkatan terendah dan syahadah agung ini adalah, kebangkitan cinta kasih
kepada al Haq, hakekat kecintaan dalam capaian spiritual ini adalah kecintaan
yang beralaskan sifat-sifat Nya, lebih dari itu karena al Haq memang patut
di-Mahabbah-i (dicintai).
Ketahuilah, bahwasanya al Mahabbah (kecintaan) itu terbagi atas tiga
macam, yaitu :
1. Kecintaan berdimensikan perbuatan-perbuatan-Nya
2. Kecintaan berdimensikan sifat-sifat-Nya
3. Kecintaan berdimensikan inti (dzat)-Nya. Mahabbah perbuatan adalah
kecintaan orang kebanyakan (para awam), yaitu mereka yang mencintai al Haq
karena kebaikan-Nya kepada diri mereka, berkat kebaikan itu mereka bersemangat
melakukan laku kebaikan dan al Haq merespon positif amal shaleh (perbuatan
baik) mereka. Mahabbah sifat, adalah kecintaan para khawwash (orang-orang
istimewa) mereka mencintai al Haq Li Jamaalihi (karena keindahan) dan Li
Jalaalihi (keperkasaan)-Nya tanpa meminta kepada-Nya untuk menyingkap hijab (tirai
penghalang) dan tidak pula memohon ditanggalkan niqob (tutup kepala)
etos kecintaan mereka benar-benar murni dan jernih, tanpa ada tendensi apapun
untuk kepentingan diri mereka, sebab etos kecintaan yang dilumuri kepentingan,
sejatinya bukanlah kecintaan kepada al Haq, namun kecintaan kepada nafs (jiwa)
mereka. Cinta yang utuh dan jernih adalah cinta yang tidak dibalut dengan
kepentingan pragmatisme dus kepentingan selain al Haq, adapun esensi kecintaan
para Khawwash (orang-orang istimewa) adalah kerinduan tak bertepi kepada inti
(dzat)-Nya yang melahirkan kekuatan adidaya pada diri sang perindu, berikut
membiaskan cahaya-cahaya kerinduan. Dalam fase ritual seperti sang perindu
adalah manifestasi dari sifat-sifat Dzat yang dirindunya, seperti halnya ruh
yang menggerakkan jasad untuk bersua dengan sosok yang dirindukannya, dengan
demikian jelas sekali kecintaan para awam (insan kebanyakan) adalah
berdimensikan perbuatan, kecintaan para Syuhada' berdimensikan sifat-sifat-Nya.
Kecintaan para Muqorrobin berdimensikan inti (dzat)-Nya.
Diantara syarat syahadah agung adalah, mendiqdayakan diri dalam memerangi
nafsu tanpa ada kompromi, semangat perang melawan nafsu tersebut murni
berdasarkan azam (hasrat kuat) bukan berdasarkan Rukhsah (keringanan). Dalam
wacana dunia thariqat, banyak terjadi kesalah pahaman dalam memaknai urgensi
memerangi hawa nafsu, semisal ada orang yang ingin memungkasi nafsunya dengan
banyak melakukan puasa, ia jauhkan dirinya dari makan dan minum sehingga
membahayakan kesehatan tubuhnya, ia banyak melakukan shalat, hingga
meninggalkan kewajiban hidupnya, nafsu tidak bisa dimatikan akan tetapi bisa
di-didik, keinginan nafsu lebih bersifat pragmatis (kepentingan sesa'at). Orang
seorang perlu memberi ruang bagi nafsunya selama tidak berlebih-lebihan dan
merusak, shalat dan puasa adalah merupakan laku kebaikan yang banyak dianjurkan
ajaran agama, dan media yang paling baik untuk pembelajaran (pendidikan) nafsu,
selama hal itu dilakukan tidak berlebih-lebihan, semisal orang yang tekun Qiyam
al Lail (bangun untuk shalat malam) namun shalat subuhnya terabaikan atau insan
yang istiqomah puasa akan tetapi meninggalkan kewajibannya bekerja untuk
kelangsungan hidup diri dan keluarganya, ketahuilah hakekat laku kebaikan
adalah yang melahirkan kesejukan dan kedamaian jiwa serta berdampak positif
bagi ruh, karena ruh adalah mitra malaikat dan malaikat adalah mitra al Haq,
berbeda dengan nafs (jiwa) yang merupakan mitra hawa (nafsu) dan hawa nafsu
mitra setan, karenanya jika diri seseorang didominasi ruhnya, kedamaian dan
kesejukan akan memayungi orang tersebut, berikut menjadikan orang tersebut
dekat bersama al Haq, rasul saw menyebut memerangi hawa nafsu itu sebagai
sebuah jihad teragung, seperti sabda beliau :
Kita baru saja kembali dari jihad
terkecil, dan akan menuju jihad teragung,
atas dasar itu pula etos syahadah (kesyahidan) dengan hunusan pedang
disebut sebagai jihad terkecil, sedang syahadah dengan al Mahabbah (kecintaan)
disebut dengan syahadah al Kubrah (agung).
as Shiddiqiyah, ibarat hakekat maqom (capaian spiritual)
Barang siapa yang memakrifahi
dirinya, ia telah memahami Tuhannya,
makrifah dalam dimensi ini memiliki tiga hadrah (presensi), yaitu :
1. Presensi Ilm al Yaqin (keyakinan ilmu)
2. Presensi 'Ain al Yaqin (keyakinan inti)
3. Presensi Haq al Yaqin (keyakinan absolut).
Tanda kejujuran dalam melintas presensi (hadrah) tersebut adalah, segala
wujud yang ghaib masyhud (tersaksikan) dan bisa dilihat dengan cahaya Nur al
Yaqm (cahaya keyakinan), esensinya segala rahasia ketuhanan yang gaib dalam
lanskap pandangan kasat mata manusia, dapat dilihat (disaksikan). Pada fase
capaian spiritual ini, hakekat ketuhanan tertampakkan dengan jelas, sehingga
sang penyaksi fana' (sirna) dibawah kekuasaan cahaya-cahaya al Jamaal (keindahan) dan prosesi kefana'an tersebut
merupakan pintu gerbang menuju gapaian ke-baqa'-an bersama-Nya. Saya (al Jaily)
sengaja memakai redaksi 'gapaian' karena kebaqa'an bersama-Nya merupakan buah
daripada presensi (hadrah) yang dilakukan sang penyaksi. Jika orang seorang
eksis dalam kebaqa'an bersama al Haq, maka akan tampak kepadanya nama-nama-Nya
yang menjadi 'inisial' orang tersebut. Dan orang itu teridentifikasi dengan
nama al Haq yang melabeli dirinya, orang itupun akan memakrifahi (memahami)
inti (dzat)-Nya, melalui nama-nama al Haq. Pada fase inilah batas ilm al yaqin
(keyakinan ilmu) tersebut bermuara setelahnya tidak lagi ilm, selain inti
(dzat)-Nya, kemudian berkembang menjadi tajalli (penampakkan) sifat-sifat-Nya,
orang itupun bisa memakrifahi inti (dzat)-Nya melalui sifat-sifat al Haq,
capaian spiritual itu terus berkembang hingga, (orang tersebut) tidak butuh
lagi kepada nama-nama dan sifat-sifat dalam berkorelasi dengan inti (dzat)-Nya,
kemudian berkembang lagi hingga orang itu bisa memakrifahi inti (dzat)-Nya
dengan hakekat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sebelum ahirnya ia memahami
hakekat inti (dzat)-Nya. Pada fase spiritual ini orang itu bisa memahami al Haq
dengan al Haq, ia lalu berada dalam presensi (hadrah) al Haq dengan nama-nama
dan sifat-sifat Nya, berikut menyaksikan hakekat asma dan sifat-sifat-Nya,
mengetahui universalitas asma dan sifat-sifatNya secara rinci pun perinciannya
secara global, ia senantiasa dalam naungan Rububiyah (Ketuhanan) dimanapun dan
kapanpun hingga ajal menjemput dirinya, jika al Haq memanggil keharibaan-Nya ia
akan diberi suguhan minuman dan piala yang disimpan ditempat yang tersembunyi,
saat itulah orang itu bisa memahami esensi haqqul yaqin (keyakinan absolut),
ini pula sejatinya awal daripada maqomat (capaian spiritual) al Muqorrobin.
al Qurbah (kedekatan), ibarat keketeguhan dan keeksisan
seorang kekasih dalam mendekatkan diri kepada al Haq dan Dia juga senantiasa
dekat dengan kekasih-Nya tersebut, wajah kasih itu terlanskapkan dalam
manifestasi sifat-sifat-Nya dalam diri sang kekasih, maka hakekat al Qurbah
adalah, manifestasi seorang hamba dalam mengaplikasikan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, sehingga kehadiran al Haq dalam aplikasi nama-nama dan
sifat-sifatNya itu, benar-benar Qorhb (sangat dekat) sebab adalah mustahil
seorang hamba bisa mengaplikasikan hakekat sifat dan dari sifat-sifat-Nya,
secara utuh dan sempurna tanpa-Nya namun demikian, jika orang seorang teguh
(eksis) memanifestasi nama-nama dan sifat-sifatNya dalam dirinya, berikut tidak
menodai kesempurnaan nama dan sifat-Nya pun memaknai asma dan sifat-sifat-Nya
dengan bingkai keilmuan yang utuh, maka orang tersebut dikuasakan untuk
melakukan sesuatu yang benar-benar Qorrib (sangat dekat) dengan perbuatan al
Haq, semisal ia bisa menyembuhkan penyakit kebutaan sejak lahir, menyembuhkan
penyakit sopak, serta menghidupkan orang yang telah mati dan lain sebagainya,
yang kesemua itu merupakan perbuatan al Haq, hanya insan yang Qoriib (sangat
dekat) dengan al Haq sajalah yang dikuasakan Qudrah-Nya dan bisa berlaku sama
dengan laku al Haq. al Qurbu (kedekatan) juga bermakna al Jiwar
(bersanding disisi) al Haq, dalam sebuah hadist diwartakan bahwasanya penghuni
surga mereka berada (bersanding) disisi al Haq, yang dengan kesandingan itu
mereka bebas melakukan apapun sesuai kehendak hati mereka di surga-Nya, itulah
esensi kedekatan bi Jiwarillah (disisi al Haq).
Presensi (hadrah) pertama pada maqom al Qurb ini adalah al Khillah
(kinasih), yakni penampakkan kasih al Haq kepada seorang hamba yang
terlanskapkan dalam segenap perilaku organ tubuhnya, semua dimensi hidup dan
kehidupannya membiaskan bekas-bekas Khillah (kinasih) berikut semua tindakannya
berdimensikan KUN (jadilah) karenanya ia bisa menyembuhkan orang yang buta,
insan yang berpenyakit sopak, berikut mampu melakukan pengobatan alternatif
lainnya, dus dapat melakukan pekerjaan spektakuler lainnya, kakinya bisa
dipakai untuk berjalan di udara, ia mampu membentuk dirinya dengan berbagai
bentuk, ia bisa menyerupai sesuatu dengan bentuk paling sempurna, itulah esensi
daripada firman al Haq dalam hadist Oudsi :
Hamba Ku yang eksis berusaha
mendekatkan dirinya kepada Ku, dengan amalan Nawafil (ibadah-ibadah sunnah),
niscaya akan Aku cintai, dan jika telah Aku cintai, Aku adalah pendengaran yang
ia dengarkan, Aku penglihatan yang ia pakai melihat, lisan (mulut) yang ia
pakai beraudiensi, tangan yang ia bentangkan, kaki yang ia pakai jalan.
Jikalau al Haq, hakekat pendengaran, penglihatan, kaki, tangan dan anggota
tubuh lainnya, maka orang tersebut adalah Khalilullah (kekasih al Haq), yakni
pancaran kasihNya memancar dari diri orang tersebut, ia beroleh maqom yang
sepadan dengan maqom Ibrahim as, dalam capaian spiritual seperti itu seluruh
organ tubuhnya dan tindak tanduknya menyimpan kekuatan par excelent,
(adikodrati) tangan dan kakinya bisa melakukan perbuatan spektakuler,
pendengaran dan penglihatannya melahirkan kekuatan par excelent, ia memiliki
kekuatan adikodrati lahir batin diluar kemampuan manusia kebanyakan,
masing-masing anggota tubuhnya, yakni tangan, kaki, lisan, pendengaran,
penglihatan wajah manifestasi-Nya. Dengan KUN ia mampu mempola dunia dengan
kekuatan adikodratinya, karena sejatinya semua perbuatan hamba tersebut adalah
manifestasi perbuatan al Haq meski secara lahiriyah tampak perbuatan itu lahir
dan lisan, tangan kaki, pendengaran, penglihatan seorang hamba, namun sejatinya
al Haq-lah pelaku semua perbuatan tersebut. Cobalah telesik kembali apa yang
telah terjadi pada diri nabiyullah Ibrahim as yang telah menggapai maqom
Khillah (kinasih) mi, bagaimana dia melepas burung pada empat arah yang berjauhan,
lalu memanggil burung-burung tersebut, dengan serta merta burung-burung itu
terbang menuju Ibrahim as yang memanggilnya. Dalam alam realitas dan
rasionalitas wujud, kenyataan itu menunjukkan Ibrahim as memiliki kekuatan
adikodrati namun hakekatnya al Haqlah si empunya adikodrati itu, Ibrahim
dikuasakan memiliki kekuatan yang sangat dekat dengan kekuatan-Nya, itu pula
esensi daripada maqom al Khillah (kinasih).
Ketahuilah, maqom al Ourb juga merupakan al Wasilah (mediasi) karena insan
yang Wushul (sambung) kepada maqom kedekatan akan menjadi perantara hati menuju
ketenangan dan kedamaian, untuk memahami hakekat ketuhanan, dengan demikian
hati manusia pada awalnya adalah kering dan nilai-nilai ketuhanan dengan
wasilah (mediasi) kedekatan itulah hati menemukan nilai-nilai hakiki ketuhanan,
hati yang nihil dan wasilah kedekatan, niscaya akan didominasi pelik-pelik
duniawi dan kering dan nilai-nilai Uluhiyah, ia laksana cermin atau tabiat yang
akan melanskapi semua yang tercermin pada hati tersebut, semua bersitan hati
akan kosong dari nilai-nilai ketuhanan dan tetap pada asal penciptaannya yaitu
kering dari nilai-nilai ketuhanan, maka isim (nama) al Haq adalah wasilah
pertama untuk as Sukuun (kedamaian) ruh-ruh dalam memaknai hakekat sifat-sifat
ketuhanan. Hati para wah yang telah Wishal (sampai) kepada maqom al Ourb
merupakan wasilah kedamaian jisim (tubuh) untuk memakrifahi hakekat ketuhanan
yang terlanskapkan dalam atsar (bekas-bekas) ketuhanan yang ada di alam makro
dan mikro. Dan adalah tidak mungkin seorang wah (kekasih al Haq) bisa
memahamkan jisimnya, dengan hakekat ketuhanan melainkan setelah Musyahadah dan
Wushul (sampaf ke maqom al Qurb. Kedekatan itulah yang menjadi Wasilah
(perantara) untuk menggapai derajat hakekat. Masing-masing
daripada para nabi dan para
auliya (kekasih Allah) Wasilah mereka adalah Muhammad saw. Maka wasilah adalah
ain (inti) maqom (capaian
spiritual) al Qurb (kedekatan)
Wasilah merupakan awal martabat maqom al Khillah (kinasih), sedang
penghujung maqom al Khillah adalah maqom al Habib (tercinta) sebab etos
kecintaan yang berdimensikan dzat adalah ibarat kerinduan yang terlembagakan
dalam ketunggalan, sehingga sang pencinta dan kekasih sejatinya satu sama lain
menjadi belahan jiwa, terlebih menyatu dalam satu ketunggalan. Telisiklah
antara jasad dan ruh keduanya saling merindu dalam ketunggalan dzat. Ruh akan
merasakan sakit yang diderita jasad dalam kehidupan dunia ini dan jasad
merasakan sakit ruh dalam kehidupan akhirat, satu sama lain saling menampakkan
(memanifestasikan) keberadaan kinasihnya serta mencitrakan kekasih yang
dirindukannya, realita tersebut diisyaratkan al Haq dalam firman-Nya kepada
Muhammad saw,
Bahwasanya orang-orang yang berjanji
setia kepada kamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. (Q.s. al Fath 48 : 10).
al Haq mendudukkan Muhammad saw sepadan dengan kedudukan Diri Nya. Demikian
pula dengan firman-Nya yang lain,
Barang siapa yang mentaati rasul,
sejatinya ia telah mentaati Allah. (Q.s. an Nisaa 4 : 80).
Rasul Muhammad saw bahkan menegaskan realita tersebut kepada Abi Said al
Khudri, tatkala ia melihat beliau dalam mimpinya, Said al Khudri berkata kepada
rasulullah saw : wahai rasulullah, maafkan diriku, sesungguhnya kecintaanku
kepada al Haq, membuatku mengabaikan kecintaanku kepada diri anda, rasul saw
berkata : Wahai insan yang diberkahi, sesungguhnya kecintaan kepada al Haq
sejatinya adalah kecintaan kepadaku juga. Jika muhammad saw adalah khalifah
(pengganti) al Haq, maka tentunya ada Naib (wakil) Muhammad saw dalam
kehidupan ini, Naib (wakil) itulah sejatinya khalifah (pengganti) pun
sebaliknya Khalifah itu sejatinya juga Naib (wakil). Karenanya Muhammad saw
adalah Insaan Kaamil (manusia sempurna) tiada seorangpun di jagad raya
ini yang mengungguli kesempurnaannya. Muhammad saw juga merupakan Khootim (pamungkas)
Kamaalat (kesempurnaan-kesempurnaan). Magoomat (capaian-capaian
spiritual), Ilahiyah (ketuhanan) secara batiniyah, sedang bentuk
lahiriyah daripada Khootimiyah (kepamungkasan) Muhammad saw adalah
risalah yang dibawahnya, akhir daripada maqom maqom Mahabbah adalah awal maqom
al Khitam (pamungkas), sedangkan esensi daripada maqom al Khitam adalah, etos
memakrifahi (memahami) secara hakiki subtansi (entitas) Dzat Yang Maha Perkasa,
Maha Mulia, dan sedikit sekali manusia yang mampu menggapai capaian spiritual
ini, hanya manusia terkasih dan dikasihi-Nya sajalah yang bisa sampai ke maqom
ini. Kesempurnaan hanyalah milik al Haq, setiap manusia akan melalui
proses-proses kesempurnaan untuk menggapai hakekat kesempurnaan-Nya, karenanya kesempurnaan
manusia selalu berproses untuk bisa Wushul (sambung) kepada al Kamaal al
Haqiqiy (kesempurnaan hakiki). Sebab kesempurnaan al Haq adalah tiada batas,
sedang kesempurnaan manusia sangatlah terbatas, seorang wali (kekasih) Allah
akan terus berproses untuk menggapai kesempuraan hakiki inti (dzat)-Nya.
Ketahuilah, bahwasanya maqom Ubudiyah tidak akan bermartabat khusus, tanpa
maqom-maqom lainnya, seperti halnya wali pada maqom al Khillah, maqom ubudiyah
selalu beredar menuju kesempurnaan hakiki, maqom ubudiyah ini tidak berbeda
dengan maqom al Hub yang bermuara pada maqom al Khitam. Esensi dari paparan
tersebut adalah, sejatinya maqom ubudiyah itu, kembalinya seorang hamba dari
martabat ketuhanan bersama al Haq kepada presensi (hadrah) kemahlukan. Maqom
ubudiyah memiliki previsi tersendiri diantara maqoomat (capaian-capaian
spiritual) yang ada, adapun perbedaan antara Ibadah, Ubudiyah dan Abudah.
Ibadah adalah keluarnya amal shaleh (laku kebaikan) dari seorang hamba kepada
al Haq dengan harapan beroleh imbalan (pahala) dari-Nya, sedangkan Ubudiyah
adalah keluarnya amal shaleh (laku kebaikan) dari seorang hamba kepada al Haq,
tanpa disertai harapan ingin beroleh imbalan (pahala) dari-Nya, ritus
sesembahan yang dilakukan murni berdasarkan keikhlasan tanpa pamrih apapun,
semua dilakukan semata-mata karena, demi dan untuk al Haq semata, adapun
Abudah, ibarat amal (perbuatan) bersama al Haq karenanya ritus Ubudiyah
memiliki previsi tersendiri dibandingkan maqoomat lainnya, demikian pula dengan
maqom al Khitam, ia terlepas dari segenap capaian-capaian spiritual yang ada
pada maqom al Ourb, karena ia ibarat pamungkas capaian-capaian spiritual para
kekasih al Haq. Seorang wali (kekasih Allah) yang telah menggapai maqom al Qurb
(kedekatan), secara otomatis ia dapat menggapai semua Maqoomat yang telah
digapai segenap makhluk-Nya dihadapan hadirat-Nya, karena maqom al Qurb adalah
muara segenap Maqoomat disisi al Haq dan puncak daripada maqom al Qurb itu
adalah maqom al Khitam (pamungkas). Pada fase inilah orang tersebut disebut
Insaan Kaamil (manusia sempurna) hanya Muhammad saw-lah yang berhak atas gelar
tersebut, adalah sebuah keniscayaan seorang kekasih Allah, sebelum menggapai
maqom Insaan Kaamil, harus melalui capaian-capaian spiritual dan menjadi ahli
maqom al Hub serta maqom al Khillah yang ada pada maqom al Ourb, nama al
Khillah dijadikan titik tolak maqom al Qurb karena insan yang Qoriib, merupakan
manifestasi kinasih al Haq dalam segala wujud, lebih dari itu sang kinasih itu
merupakan manifestasi wujud-Nya. Dalam fase spiritual inilah wajah al Hub
benar-benar terlanskapkan pada kekasih (wali)-Nya tersebut, maqom al Hub ibarat
maqom Muhammad dalam lanskap pandangan ketuhanan, sedang maqom al Khitam
merupakan pamungkas maqom al Qurb, yang tiada berujung karena al Haq adalah
dzat La Nihayah (tiada berahiran), namun demikian nama al Khitam terlepas dari
capaian-capaian spiritual al Qurb, dengan demikian orang seorang yang telah
menggapai maqom al Qurb, sejatinya ia adalah Khotim (pamungkas) para kekasih al
Haq, pewaris nabi dalam maqom al Khitam. Karena maqom al Qurb sejatinya adalah
maqom Mahmud (terpuji) dan Wasilah (mediasi) untuk pergi menuju kedekatan tanpa
batas bersama-Nya, sehingga kedekatannya bersama al Haq tiada tertandingkan,
lebih dari itu ia benar-benar menjadi manusia utama disisi maqoomat ketuhanan,
dan itu hanya terjadi pada diri Muhammad saw, seperti yang diisyaratkan rasul
saw : Sesungguhnya maqom Mahmud (terpuji) itu merupakan kedudukan tertinggi
di surga-Nya, dan tiada seorangpun yang mampu menggapainya kecuali satu orang,
aku berharap, mudahan-mudahan satu-satunya orang itu adalah aku. Muhammad
saw adalah awal segala wujud, adalah Muhammad saw yang menjadi al Khitam (pamungkas)
segala wujud, kepada Muhammad saw kami haturkan salam dan shalawat terbaik
kami. Wa Shallahu 'ala Muhammad.
Otobiografi Syekh
Abdul Karim Ibnu Ibrahim Al Jaili
SYEKH ABDUL KARIM AL JAILI, nama lengkapnya : Abdul Karim Qutub ad Din ibnu
Ibrahim al Jaili. Ia terlahir dari klan keluarga sufi agung Syeikh
Abdul Qodir al Jailani, pada tahun 767 H (1366 M) di pemukiman yang bernama al
Jailan, salah satu distrik di kota Baghdad. Abdul Karim al Jaili meninggal pada
tahun 832 H (1430 M), sebagian pakar sejarah menandaskan al Jaili meninggal
pada tahun 805 H. Ada pula sejarawan yang mengatakan ia meninggal pada tahun
826 H (1424 M) di kota Zabidah negeri Yaman.
Abdul Karim al Jaili adalah seorang pengembara sejati, ia telah berkelana
ke berbagai negara. Ia telah berkeliling ke penjuru negeri Irak. Al Jaili juga
telah mengembara ke negeri India, Persia (Iran), negara-negara Arab semisal;
Cairo (Mesir), Axanderia (Mesir), Gaza (Palestina), Zabidah (Yaman), Makkah dan
Madinah (Saudi Arabia). Di setiap negara yang dikunjunginya al Jaili menetap
beberapa waktu guna melakukan aktifitas belajar mengajar atau melakukan prosesi
ritual. Seperti lazimnya seorang pengembara, ia banyak mempelajari budaya dan
peradaban negeri-negeri yang disinggahinya. Dalam keyakinan al Jaili. 'Allah
tidak mengajar manusia dari al Qur'an dan Hadits saja, dari perilaku manusia,
realita alam dan latar kesejajaran masing-masing penghuni bumi ini, sejatinya
ajaran Allah sangatlah banyak".
Al Jaili adalah 'Penggila' ilmu pengetahuan. Ia merupakan sosok penuntut
ilmu yang giat. Al Jaili dikenal anak zamannya sebagai pakar ilmu Geografi,
Pedagogi, Ilmu Filsafat (Yunani), Ilmu Logika, Grametika dan Rahasia Huruf,
Perbandingan Agama dan Ilmu-ilmu lain yang sedang mewacana di anak zamannya,
dan masyhur sebagai intelektual nomer wahid. Ia telah mengkaji semua
kitab-kitab suci dan aqidah-aqidah agama, ia sangat mahir bersemantis logika,
pembicaraannya sangat tertata, tutur katanya lembut, logikanya sangat teratur,
sikapnya sangat santun, ia bersedia belajar kepada siapa saja, selama
melahirkan kontribusi positif bagi pengetahuan dirinya dan mendekatkan dirinya
kepada Allah. Al Jaili juga populer sebagai pakar studi ilmu perbandingan
agama. Di hadapan pemeluk agama lain ia mampu menunjukkan kesejatian Islam,
hingga tidak sedikit orang yang memaklumatkan keislamannya dihadapan al Jaili.
Disamping giat mempelajari ilmu 'produk' logika, al Jaili juga sangat eksis
mencerdaskan hati dan jiwanya. Ia merupakan seorang Saalik (peniti jalan Allah)
yang istiqomah mentradisikan olah rohani. Al Jaili hidup sezaman dengan peletak
dasar ajaran thariqat Naqsabandiyah yang bernama Syeikh Baha'uddin Muhammad
Naqsabandi tersebut dan banyak menimba ilmu darinya. Al Jaili berguru dan
ber-taslim kepada Syeikh Syarifuddin Ismail ibnu Ibrahim al Jabaruti. Melalui
pembimbing spiritualnya itu al Jaili banyak belajar dan mendalami 'Ta'lim'
(ajaran) Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang sufi agung dan pakar ilmu ketuhanan yang
masyhur di kalangan ummat Islam.
Al Jaili telah menulis hampir tiga puluh kitab dan berbagai risalah
(makalah) dengan berbagai topik kajian. Diantara karya-karya utamanya semisal :
"al Kahfi wa al Raqim fi Syarhi Bismillahirrahmanirrahim" kitab ini
merupakan karya pertama Abd Karim al Jaili, juga kitab "al Kamalaah al
Ilahiyyah" serta "Oashidah an Naadirah al Ainiyah" dan "Qutub
al Ajaib". Diantara semua karya yang lahir dari rahim pemikiran al Jaili,
yang paling monumental adalah "Insan Kaamil fi Ma'rifah al Awahir wa al
Awail". Dari kitab Insan Kamil itu bisa dibaca kesejatian sosok Abdul
Karim al Jaili secara utuh, utamanya pemikirannya tentang Fikrah Tasaufi-nya
dan Pandangan Tauhid Uluhiyaat (ketuhanan)nya.
Dalam menulis karya-karyanya, Abdul Karim al Jaili banyak memakai
simbol-simbol, isyarat-isyarat dan metafora-metafora dalam meluangkan
fikrahnya. Rumus-rumus itu kadang terasa Gharib (aneh) bahkan Nyeleneh,
utamanya bagi kalangan non sufi atau mereka-mereka yang belum pernah tersentuh
capaian-capaian spiritual. Abdul Karim al Jaili selalu mewanti-wanti para
pembaca kawanya, seraya berkata: Kesungguhanku dalam mengkarya tulisan mempunyai
makna dan arti. Karenanya singkirkanlah segenap pikiran,prediksi, asumsi dan
estimasi dan maknah-maknah lahiriyah. pan agar kalian benar-benar memakrifahi
(memahami) karya-karyaku. Maka carilah makna-makna batinnya. Al Jaili
memaklumatkan bahwasanya al Haq telah memberiknya 'Ijazah' (izra) mewartakan
ilmu-Nya dan menyebarkannya kepada setiap insan.
MADZHAB TASAUF AL JAILI
AbduIKarim al Jaili berpandangan bahwa : Tasauf mencakup rahasia-rahasia
batin yang tidak mungkin ditakbirkan dengan kaflirnat-kalimat tegas dan lugas.
Kalimat-kalimat tasaufi sarat dengan paradoks dan Madluliyah (maknah tersirat).
Ujaran-ujaran tasaufi sangat pekat dengan simbol, metafora, isyarat dan
rumus-rumus yamg terkesan absurd bahkan terasa menyimpang. Ke-Ganji-an ungkapan
para pegiat sufi itu merupakan ekspresi pengalaman batiniyah (insight) mereka
dengan Allah, berikut wajah al Uns (kfiJUtimaii) mereka dengan-Nya. Menurut al
Jaili sumber utama pengetahuan kaum sufi adalah Dzauq (intuisi) dan Ilham.
Dengan pengetahuan intuitif dan Ilham Illahiyah (ketuhanan) itulah
seaeorangbisa memakrifahi segala sesuatu secara hakiki. Jika firasat berjalan
pada lajur kebenaran, dzauq sang peniti jalan Allah (Saalik) akan mampu
memakrifahi inti (dzat) al Haq. Dimata al Jaili: Peran dan fungsi akal
sangatlah terbatas, logika tidak laik untuk dijadikan 'afiat' menggapai
makrifah hakiki. Logika hanya bisa menjangkau pengetahuan kasat mata dan tidak
akan keluar dan cerapan inderawi.Makrifah Sejati hanya bisa digapai
melaluijalan hati bukan jalktn akal Pengetahuan intuitif hanya bisa diraih
dengan mediasi jalan sofis bukan dengan jalan logika. Al Jaili berani berkata
tegas bahwa : Manusia yang menuhankan akal, selamanya tidak akan bisa memahami
kesejatian segala sesuatu.
Adapun muara pengetahuan intuitif (Dzauq al Wujdaan) adalah hakekat wujud,
utamanya al Wujud al A'dzam (wujud teragung) yang prosesi Wushul-Nya melalui
degri-degri Makrifah. Dzauq al Wujdan akan mengantar sang Saalik memahami
kesejatian wujud teragung. Dia hanya bisa diketahui dzat-Nya dengan dzat-Nya.
Yang Kekal (Maha Tetap). Demikian pula dengan jiwa, manakala jiwa telah sampai
pada puncak singgasana rohani, pada maqom ini jiwa lebur dalam kerohanian dan
jiwa tidak menjadi jiwa seperti pemahaman kita tentang jiwa dalam kehidupan
individu kasat mata. Jiwa tidak lagi merupakan partikulasi rohani seperti yang
jamak dipahami para filosof. Dimata kaum sufi ketika jiwa seseorang telah
sampai pada puncak kesempurnaan, ia akan fana' (sirna) dihadapan al Haq. Sebab
dzat yang tersirat Huduts (baru) jika dihadapkan dengan dzat yang Qodim
(eternitas) niscaya akan sirna. Lain halnya dengan para filosof yang
mengharuskan adanya Infishal (keterpisahan) antara jiwa dan pencipta jiwa. Al
Jaili menafikan adanya Infishal tersebut, meskipun demikian ia menentang keras
faham Hului dan Tanasukh serta Wahdat al Wujud.
Al Jaili menuturkan: Fana'nya jiwa bersama al Haq, haram dimaknai dengan
Hului (panteisme). Wahdat al Wujud (Manunggaling Kawula Gusti) berikut adanya
Tanasukh (Reinkarnasi). Karena Allah adalah dzat Yang Maha Suci dan Maha
Sempurna haram disifati dengan sifat-sifat an Naqs (kurang). Wujud teragung itu
inti (dzat)-Nya hanya bisa disibak dengan pengetahuan intuitif. Adapun
keberadaan al Haq bisa ditelisik dengan mengoptimalkan ketajaman mata hati dan
pikir guna memahami Tajalli (manifestasi)-Nya di alam realitas ini, utamanya
dalam mikro-kosmos dan makro-kosmos. Al Jaili mencoba merumuskan degri-degri
Makrifah, dimulai dari pemahaman tentang kesejatian wujud tingkat paling dasar
hingga wujud teragung. Ketika seseorang telah menggapai Maqom (capaian
spiritual) Haqiqah al Haqaiq (hakekat segala hakekat) .yakni hakekat wujud
universal, ia akan paham bahwasanya al Haq adalah Ahadiyah al Jam'ah (kesatuan
dari yang banyak) juga al Wahdah al Mutlaq (Ketunggalan Mutlak) yang
termanifestasikan dalam diri "Insan Kamil". Menurut al Jaili,
"Insan Kamil" adalah citra Diri-Nya. Manusia Sempurna itu merupakan
cerminan daripada wujud teragung di alam realitas ini.
Dalam karya "Insan Kamil fi Ma'rifah al Awahir wa al Awahir",
tepatnya sub kajian tertib (tingkatan) wujud, al Jaili menandaskan: Tidak ada
sesuatu yang hakiki selain al Dzat al Ilahiyah (Inti Ketuhanan) yang mencakup
inti al Haq dan inti al Makhluk. Menurut al Jaili, inti (dzat) al Haq dan
Makhluk adalah dua hal yang berbeda, namun termanifestasikan dalam satu wujud.
Demikianlah, tajalli Wujud Mutlak dalam realitas wujud ini bisa disibak melalui
tahapan-tahapan manifestasi atau penurunan-penurunan. Adapun tahapan utamanya
adalah 'Kabut': Ibarat dzat murni yang terselimuti sebelum tajalli. Kemudian al
Ahadiyah (ke-Esa-an) yang merupakan awal penurunan dari kegelapan kabut menuju
cahaya Tajalli. Lalu al Wahidiyah (ke-Tunggal-an), ia merupakan Ahadiyah dan
manifestasi dzat dengan sifat-sifat dalam pen-citra-an global, tidak ada
keutamaan diantara sifat-sifat yang ada dalam dimensi tajalli ini. Semua
manifestasi adalah wujud inti makhluk dan inti al Haq.
Al Jaili mengistilahkan pencitraan global itu dengan Alam Kabir
(makro-kosmos) sedang manusia disebut 'Alam Shagir (mikrokosmos). Dengan
demikian sejatinya 'Manusia Sempurna' adalah cerminan manifestasi al Haq pada
Maujudaat (segala wujud). Insan Kamil itulah sejatinya citra lahir al Haq di
alam realitas ini. Ia laksana cerminan wajah al Haq di segala ciptaan-Nya. Maqom
pemahaman etos Insan Kamil seperti ini berlandaskan logika dan realita kasat
mata. Manakala seorang mampu memakrifahi Insan Kamil melalui pengetahuan
intuitif, pada saat yang sama ia akan menemukan Dzauq al Wujdaan (menemukan
rasa batin) bersama al Haq. Ia akan mengetahui bahwa al Haq adalah inti segala
wujud. Dan Dia adalah Ahadiyah al Jam'ah (kesatuan dari yang banyak) tanpa
Hului dan Wahdat al Wujud. Menurut al Jaili, ketika jiwa bersatu dengan Insan
Kamil dan al Haq, kebersamaannya bersama segenap makhluk hanya bersifat
artifisial sedang ruhnya menyatu dengan Insan Kamil dan menemukan 'rasa batin'
bersama al Haq. Kebersamaan itu terus berkembang menelusuri tangga-tangga
rohani hingga sampai ke inti Hakekat Ketuhanan. Pada fase ini pasung-pasung inderawi
terlepas, makrifah ruhiyah bersatu dengan sifat Isyraqiyah (ilmuniasi), semua
hijab tersingkirkan, jadilah hamba itu fana' (sirna) bersama al Haq.
Menurut al Jaili: Seorang sufi mengetahui hakekat segala sesuatu -yang pada
hakekatnya- ia hanya mengetahui dasar (asal) sesuatu tersebut melalui an Nur al
Illahiyah (Cahaya Ketuhanan) yang dimukasyafahinya. Disimlah sejatinya batas
pilah antara ilmu pengetahuan produk Dzauq (intuisi) vis avis produk Aql
(logika) bisa diketahui titik pilahnya. Pengetahuan produk intuisi bersandarkan
pada subtansi dan asal (sesuatu) bukan berdasarkan cerapan inderawi dan aksiden-aksiden. Sang
sufi pada capaian spiritual ini hanya bisa dilihat 'gambar' fisiknya saja,
sedang rohaninya lebur dalam keintiman bersama al Haq. Tampilan lahiriyah sufi
di maqom ini terlihat tenang bahkan terkesan Nyentrik, sedang batinnya marak
dengan cahaya ketuhanan. Keindahan batin sang Saalik (peniti jalan Allah) dalam
fase ini penuh dengan luapan cahaya ketuhanan, sikap dan ujarannya tidak sepenuhnya
bisa dipahami dari makna lahirnya, maksud sesungguhnya justru sering tersimpan
dalam makna batinnya.
Dalam euforia al Uns (keintiman) bersama al Haq seperti itu, perilaku lahir
sang Saalik sangat kontradiktif dengan laku batinnya. Karenanya dalam dunia
sufi ada istilah Jadzzab. Adapun insan yang mampu menyeimbangkan
(menyelaraskan) keindahan batinnya dengan keindahan wujud lahirnya sangatlah
jarang, jikalau ada hal itu semata-mata karena Fadhal (kasih keutamaan) al Haq,
dan itu hanya bisa ditemukan pada diri Insan Kamil. Tawazunitas keindahan batin
dan keindahan lahir, melahirkan citra hakiki manusia dan kemanusiaan universal,
dalam istilah tasaufi disebut "Manusia Sempurna" atau "Manusia
Universal". Orang seorang tidak akan bisa memahami kesejatian alam
universal ini, sebelum bisa memahami universalitas kemanusiaan dirinya. Dengan
memakrifahi kesejatian diri seseorang akan bisa memahami kesejatian al Haq.
Dengan demikian jelas sekali menurut al Jalili: Untuk memahami Wujud ter-Agung
dan hakekat jagad universal ini, orang harus memahami universalitas kesejatian
wujud teragung. Melalui kerangka teoritis "Insan Kamil" inilah al
Jaili berusaha menuntun para peniti jalan Allah ke maqom (capaian spiritual)
hakikat makrifat. Terlebih Wushul (ketersambungan) dengan kesejatian al Haq.
0 comments:
Posting Komentar
Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun