LOKASI

Banyuwangi Jawa Timur

Senin, 15 Juni 2020

IBNU ARABI_KITAB JALALAH

MUKADDIMAH

Sungguh Syekh Akbar Abu Bakar Ibnu Arabi - Pakar Theologi, Muhyiddin - ridhwanullahi alaihi, memiliki banyak karya yang menurut persepsi nalar, seakan tidak mungkin ditulis oleh seorang saja, khususnya bila mengingat perjalanan hidupnya yang semenjak usia belia, lebih banyak dicurahkan untuk dunia sastra dan berburu. Apa yang dialami oleh Ibnu Arabi tidak berbeda dengan yang dilakukan para ulama sufi1 lainnya, yang melakukan semua itu sebagai ibadah, mujahadah (bersungguh-sungguh), muraqabah (mendekatkan diri pada Ilahi) dan Muhasabah (selalu mengoreksi diri).

Seorang orientalis, Kari Brockelmann mengatakan: "Sesungguhnya Ibnu Arabi adalah seorang theolog yang berkemampuan tinggi, sufi yang cerdas, seorang pengarang yang rasional dan sangat luas cakrawala pemikirannya." Dengan demikian, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa, Syaikh Akbar Muhyiddin bin Arabi sebagai seorang muslim tidak teragukan lagi kapasitas kecendekiawanan­nya, sangat besar pengaruhnya di dalam pembentukan aqidah sufiyah yang berbaju filsafat Smith. Baik pada masanya atau masa-masa selanjutnya.

Jika kita mau membandingkan hasil yang telah dicapai oleh Muhyiddin bin Arabi, dengan para pemikir muslim lainnya, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Thufail, Al-Ghazali, Ibnu Sina dan pakar yang lainnya, apa yang telah dicapai oleh masing-masing mereka tidak seperti yang telah dicapai oleh Ibnu Arabi, baik dari sisi kwalitas maupun kwantitasnya.

Muhyiddin Ibnu Arabi dinilai sebagai sufi pertama yang memisahkan antara analisa dan pengamalan tasawuf. Ia berupaya memulai dengan memasuki alam kondisi ( j^[>B ) dan medan situasi ( ^jp"vi«(r* ) Langkah se­lanjutnya, ia masuk ke alam Ilmu ( 1$jjtfjJ&), yang di­dasari atas hasil kesaksiannya ( \\ ). Disamping ia dinilai pula sebagai seorang yang memiliki keistimewaan dalam pemakaian kalimat yang serba tinggi, sebagaimana yang terdapat di dalam ungkapan-ungkapan dan pemikiran­nya.

Demikianlah yang dapat kami kemukakan tentang figur dan kepribadian Ibnu Arabi, sebagai sosok penulis yang produktif di kalangan kaum muslimin, khususnya di kalangan kaum sufi. Ibnu Arabi juga dinilai sebagai pemikir sufi yang paling jenius dan paling luas cakrawala pemikirannya serta disiplin ilmu pengetahuannya, apabila dibandingkan dengan para pemikir muslim sebelum dan sesudahnya. Itulah dia, Muhyiddin Ibnu Arabi sang filosof yang capable dan Jenius, dan seorang Syaikhul Akbar.

MUHYIDDIN IBNU ARABI

Dia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali, berasal dari kabilah Hatim at-Tha'i2, dan terkenal dengan sebutan Ibnu Arabi, dengan julukan Muhyiddin (penghidup agama), Syaikh Akbar... putera Plato3. Dia adalah Barzakhul Arifin al-Arif Billah seorang pakar theologi.

Ibnu Arabi dilahirkan di kota Murcia4, pada tanggal 17

bulan Ramadhan tahun 560 H. Satu periode dengan dinasti Khalifah al-Mustanjid Billah5. Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H. (1165-1240M.) di rumah Ibnu az-Zanki di kota Damaskus. Az-Zanki bersama dengan dua orang muridnya; yakni Ibnu Abd al-Bar dan Ibnu An-Nahhas, menyucikan dan mengebumikan mayat Ibnu Arabi di pemakaman keluarga Az-Zanki. Sejak itu daerah pemakaman tersebut dijuluki dengan nama "Daerah Syaikh Muhyiddin". Ibnu Arabi mempunyai dua orang anak, setelah meninggal, keduanya juga dikuburkan di tempat yang sama, hingga kini makam Muhyiddin Ibnu Arabi masih banyak dikunjungi orang.

Mengenai kezuhudannya, Ibnu Arabi menempuhnya melalui beberapa fase, yaitu sebelum masuk ke dalam alam sufi, yaitu;

1. Ibnu Arabi kawin dengan seorang wanita yang taqwa lagi wara' (selalu menjaga martabat dengan menjauhi amalan yang diharamkan dan dimakruhkan, ed.), yakni Maryam binti Abd bin Abdurrahman al-Baji. Segala prilaku dan saran dari isterinya sangat mempengaruhi perjalanan kezuhudannya.

2. Kekeramatan ayahnya, yang selama hidupnya menyertainya juga telah banyak mempengaruhi kehidupan dan pola pemikiran diri Ibnu Arabi.

3. Jiwa tasawuf dan kezuhudan paman-pamannya, yang mana Ibnu Arabi selalu kontak dengan mereka, dan tidak jarang terjadi dialog serius antara dia dan mereka, khusus­nya pada masa-masa mudanya.

4. Serangan sakit yang mendadak pada dirinya, yang pada ujungnya dapat disembuhkan melalui barakah surat Yasin', dengan dibacakan di atas kepalanya, dengan izin Allah dia sembuh dari penyakitnya.

5. Pertemuan Ibnu Arabi dengan beberapa tokoh sufi dan beberapa filosuf muslim.

6. Disamping itu, Ibnu Arabi sangat gemar membaca dan diskusi.

Kesemuanya itu, telah banyak membantu dan mem­pengaruhi pola kehidupan juga pemikiran diri Ibnu Arabi, disamping memang kondisi sosial saat itu sangat diwarnai oleh kehidupan sufistik. Kehidupannya yang banyak diisi dengan petualangan, juga banyak andilnya dalam merubah pemikiran dan kepribadiannya, sehingga ia menjadi seorang yang zahid, sufi sekaligus filosuf.

Al-Haulu Wal Quwwatu

Segala puji milik Allah SWT, yang tidak dapat diketahui oleh segala bentuk rahasia, tidak dikenal oleh segala macam ruh, dan juga tidak akan diketemukan oleh seluruh upaya rasio (akal) manusia. Tidak juga mampu digambarkan oleh hati, dan tidak akan dapat diungkapkan oleh lisan yang mengumpulkan segala macam pujian yang azali. Semoga salawat dan salam selalu disampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, yang dikaruniai "lawani' al kalam" (pengumpul seluruh kalam, bahasa), yang diutus untuk menerangi wajah-wajah kaumnya, dan membawa kesejahteraan kepada seluruh orang yang telah dipilih oleh Allah SWT, yaitu orang yang memiliki kesabaran dan keyakinan (Awwah)[1]

Rahasia Di Balik Lafadz Allah

Sesungguhnya yang saya bahas dalam buku ini adalah sebagian dari rahasia dan isyarat-isyarat yang terkandung di dalam lafadz al-Jalalah (Allah). Kalimat "Allah" me­miliki posisi Zat, yang mempunyai beberapa sifat9 Setiap nama itu fana di dalam Zat-Nya, keluar masuk, naik dan turun di dalamnya, dan itu bagi ahli hakikat merupakan ketergantungan (ta'alluq) bukan ciptaan (takhalluq), yang pada dasarnya menunjukkan bukti hanya pada Zat-Nya saja, bukan untuk lainnya. Disamping itu, lafadz "Allah", tampak di berbagai tempat dan tingkatan, yang tidak dibenarkan untuk mempersepsikan hakikat Zat-Nya ditempat dan di tingkatkan tersebut. Lafadz yang berada di tempat dan tingkatan itu, adalah pemberi makna, seperti yang terkandung di dalam tiap-tiap nama dari asmaul husna, sehingga setiap nama mempunyai makna yang khusus, sekalipun pada akhirnya lafzul-Jalalah atau "Allah" itu, berperan sebagai peliput dari semua asmaul husna, seperti orang yang berdosa, ketika berdo'a akan mengatakan يَااَللهُ اِغْفِرْلِي, maka lafadz al-Jalalah disini mewakili atau berperan sebagai al-Ghaffar Zat Yang Maha Pengampun. Lafadz al-Jalalah suci dari keterbatasan dan gaib. Sementara sesuatu di alam nyata (Alam As-Syahadah) ini lemah. Pada waktu harakah dhammah dibaca di atas lafadz. Dengan harakah dhammah itu, tampak kata al-Huwa di dalam lafadz, dan itu disebut dengan Gaib Mujarrad, maksudnya gaib di dalam lafadz (bunyi). Sedangkan gaib dalam tulisan dan bilangan disebut dengan Gaib Mutlak. Ketahuilah oleh kalian semua bahwa, lafadz al-Jalalah itu mengandung enam huruf, yaitu.  ا,ل,ل,ا,ه,و Empat huruf dari­nya, sudah jelas di dalam nomor, yaitu: ا,ل,ل,ا,ه

1. Alif pertama

2. Lam permulaan, gaib di idghamkan

3. Lam permulaan, alam as-Syahadah dan diucapkan dengan tasydid

4. Huruf ha'al-Huwiyyah

Sedangkan empat huruf sebagai "Tanda" di dalam lafadz adalah: ا,ل,ا,ه

1. Alif Kekuasaan

2. Lam awal as-Syahadah

3. Alif Zat

4. Ha' dari al-Huwiyah

Ada satu huruf, dari huruf-huruf di atas, yang tidak tam­pak, baik dari lafadz ataupun pada nomor, akan tetapi ter­dapat indikasinya, yaitu huruf wau dari huruf ha', dan wau ini sama seperti huruf wau di dalam kata اَلْهُوِيَّةْ Ada­pun huruf wau dari al-Huwa jelas terdapat di dalam lafadz, dan huruf wau al-Huwiyyah terdapat di dalam nomor saja. Secara singkat, makna huruf lam di dalam kata اَلْهُوَ adalah اَلْعَالَمُ الْاَوْسَطْ (yaitu alam antara), yakni Alam Barzakh (alam antara alam dunia dan alam akhirat) dan itu dapat dikenal dengan akal. Adapun makna huruf ha' adalah alam gaib, dan huruf wau adalah untuk alam as-Syahadah (Tersaksikan). Apabila "Allah", merupakan Gaib Mutlak, sebenarnya di dalam lafadz Allah terdapat huruf wau alam Syahadah, dan itu terbaca, sekalipun tidak tampak baik di dalam lafadz maupun urutan, dan huruf wau ini disebut dengan غَيْبُ الْغَيْبِ (yaitu gaib di dalam gaib). Atas dasar pengetahuan ini, dapat dibenarkan bahwa perasaan lebih utama dari pada akal. Karena apa yang dirasakan hari ini, masih bersifat gaib dimata akal, dari yang masuk di akal hari ini, adalah hal-hal yang tampak. Lebih-lebih dengan keadaan di alam akhirat nanti, dimana kekuasaan saat itu berada di tangan Allah, dan kondisi yang ada, nantinya lebih dapat dirukyat (diketahui) lewat perasaan. Penglihatan-penglihatan waktu itu mampu melihat kepada-Nya, akan tetapi rukyat perasaan merupakan puncak dari pada pandangan (bashirah) tersebut, sedangkan yang men­jadi milik akal hanyalah awal dari penglihatan. Seandainya tanpa adanya puncak yang menjadi tujuan orang, dia tidak akan melihat awalnya. Dengan demikian, perhatikanlah rahasia ini bahwa, akhirat lebih baik daripada dunia, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT:

 تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ

"Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedang­kan Allah menghendaki (pahala) akhirat" (QS. al-Anfal:67)

وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

"Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal" (QS. al-A'la:17)

Sifat akhirat, adalah kekekalan, sebal knya sifat dunia adalah fana, tentu saja yang bersifat kekal itu lebih baik dari yang fana. Ketahuilah bahwa mengenal Allah SWT (Ma'rifat Billah) merupakan awal dari ilmu pengetahuan, yang akan berpuncak kepada hakikat dan Ain al-yakin.

Tentu saja pengetahuan Ain al-yakin lebih utama dari pada Ilmu al-yakin,. Ilmu adalah untuk akal sementara hakikat adalah untuk "اَلْبَصَرُ" (mata hati). Maka dari itu dalam upaya mencapai al-Hakikat, menurut Ibnu Arabi "perasaan" adalah lebih utama dari pada "akal".

Dalam proses pencarian hakikat, pertama kali akan berakibat perubahan alam Syahadah menjadi alam Gaib, yang karenanya, akan menimbulkan sebuah lingkaran, di dunia, dimana titik awalnya terkait dengan titik akhirnya. Akibat kedua alam as-Syahadah ini menjadi terikat dengan sesuatu yang wajib mutlaknya (menurut lahiriyah). Seseorang tidak mampu melihat kecuali hanya satu arah, dan tidak mendengar kecuali suara yang dekat. Berbeda dengan seseorang yang lepas dari ikatan alam as-Syahadah ini, dan yang berada di alam hakikat, seperti yang terjadi pada peristiwa Umar bin Khattab, ketika beliau berkhutbah di masjid Madinah sementara suaranya didengar oleh panglima Sariyah dari kejauhan. Akibat ketiga adalah, alam Gaib berubah menjadi al-Wasath, yakni alam media, dan itu adalah alam akal. Akal mengambil bukti-bukti dari perasaan ketika hendak memerlukan ilmu. Akibat yang keempat yaitu bahwa alam Syahadah Mutlak berubah menjadi gaib di dalam gaib. Dengan keterangan di atas, sirkulasinya dapat diperhatikan seperti yang terdapat pada lingkaran dibawah ini.

Bayangan Ilahi

Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah al-Arasy;. Tidak semua bayangan itu memanjang, dan arasy bagi Uluhiyah adalah bayangan yang tidak memanjang, ia bersifat gaib. Tidakkah engkau melihat benda-benda yang mempunyai bayangan yang nyata?, jika benda-benda itu dikelilingi oleh cahaya, maka bayangannya tentu berada di dalamnya. Cahaya, bayangannya terdapat di dalam cahaya itu sendiri, dan dalam kegelapan, cahayanya juga terdapat di dalamnya.

Pada waktu Allah SWT bersemayam di hati seorang  mukmin, maka Allah berfirman : “Bumi dan Langit tidak mampu menerima-Ku, kecuali hati seorang mukmin, hamba-Ku, dialah yang mampu.”

Pada waktu nama Ar-Rahman bersemayam di dalam arasy yang ma’ruf (terlihat), yang dhahir, maka arasy-arasy dhahir itu adalah bayangan ar-Rahman itu sendiri, dan arasy insani adalah bayangan Allah. Sedangkan jarak antara bayangan ar-Rahman dan bayangan Allah sama seperti jarak antara nama "Allah" dan "ar-Rahman"

Allah SWT berfirman:

قُلِ ٱدْعُوا ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا ٱلرَّحْمَٰنَ  أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ ٱلْأَسْمَاءُ ٱلْحُسْنَىٰ

"Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mem­punyai al-Asma al-Husna". (QS. al-Isra': 110)

Bagi orang yang berakal, akan tampak perbedaan antara dua kalimat yakni "Allah" dan "ar-Rahman". Maka dari itu orang yang mukallaf akan bertanya "apa itu ar-Rahman?", begitu diserukan nama "ar-Rahman" kepada mereka. Seperti dalam sebuah ayat Allah SWT:

 ٱسْجُدُوا لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا وَمَا ٱلرَّحْمَٰنُ

"Sujudlah kamu kepada Yang Maha Penyayang".. Mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang itu?" (QS. al-Furqan: 60)

Dan mereka tidak bertanya "Siapakah Allah itu?" pada waktu diserukan kepada mereka: اُعْبُدُوااَلله  (Sembah­lah Allah oleh kalian semua)"

Gaibnya Sifat Ilahi Dalam Diri Manusia

Apabila arasy sebagai singgasana, maka ia gaib di dalam sifat ar-Rahamniyyah. Begitupun jika bersemayamnya Allah di dalam hati seorang mukmin, dan itu dinilai sebagai kemampuan menerima kehadiran-Nya, maka sifat Uluhiyah menjadi gaib di dalam diri manusia. Dengan demikian, penampakanNya berwujud manusia5 dan kegaibanNya adalah Tuhan. Dan begitu rahasianya kegaiban Uluhiyah di dalam diri pribadi manusia, sampai-sampai sifat Uluhiyah diakui sebagai Tuhan (Ilaah), seperti yang dikatakan oleh Fir'aun:

يَٰأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِى

"Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku..." (QS. al-Qashash: 38)

Ucapan Fir'aun di atas, dikatakan atas dasar kesadaran dan kehendaknya, bukan dalam keadaan al-hal atau paksaan orang lain untuk mengatakan "akulah tuhan". Fir'aun tidak hanya mengucapkan kata ilaah, akan tetapi mengucapkan dengan kalimat ghairy (selain aku)? Coba perhatikan baik-baik... pada kenyataannya dia hanya mengatakan sifat ar-Rububiyah: أَنَارَبَّكُمُ الْاَعْلَى (Akulah Tuhanmu Yang paling tinggi) karena dirinya tidak mampu untuk menerima martabat Uluhiyah.

Berbeda dengan orang yang mengatakannya dalam kondisi al-hal, yang dikendalikan dan didorong oleh satu kehendak, seperti perkataan Abu Yazid, waktu mengatakan "Aku Allah" atau إِنَّنِيْ أَنَااللهُ لَآإِلَهَ إِلَّا اَنَا فَاعْبُدُونِيْ (Sesung­guhnya aku Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku).

Dengan kondisi "al-hal" yang demikian, sifat Uluhiyah sangat mempengaruhi jiwa manusia, dengan cepatnya arus Uluhiyah yang melintasi jiwa manusia itu. Akibatnya, tidak satu kekuatan yang dapat merintanginya pada setiap tingkatan "al-hal" tersebut, yaitu kondisi yang disaksikan oleh para sufi pada tiap-tiap tingkatan.

Isyarat Keabadian Ilahi Dalam Kalimat Sahadat

Lafadz "Allah" adalah kata nafi (meniadakan yang lain) yang sangat kuat di alam yang tinggi. Dengan lafadz itu hati manusia menjadi tinggi. Barangsiapa yang kembali meniadakan setelah mengakui atau menetapkan, maka ia tidak memiliki hakikat walau dalam ucapannya dia melafalkan. Sebagaimana sikap dalam kalimat "Laa Syarika lahu" (tiada sekutu bagi-Nya), yang meniadakan sekutu. Sekalipun kata sekutu ada di dalam kalimat.

Setelah huruf nafi yang ada hanya dua alif. Makna dari kedua alif itu adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Jika kedua huruf tersebut dihilangkan, maka tinggal huruf ha' yang ada, dan itu adalah al-Huwa. Sesungguhnya sifat Awal bagi Allah SWT, hanyalah sifat tambahan yang tidak memiliki hakikat bagi-Nya, karena dengan wujud kita dan "barunya" hakikat kita, sudah cukup untuk mengatakan bahwa Allah itu mempunyai hukum sebagai yang Maha Awal (al-Awwaliyyah), begitupun dengan fana' (rusaknya) kita, jelas sekali bahwa Allah SWT mempunyai sifat' al-Akhir. Adapun hakikat kita, seperti yang difirmankan oleh-Nya:

 وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِن قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْـًٔا

"dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama sekali." (QS. Maryam: 9)

Maksudnya tidak ada hakikat sesuatu yang bisa disebutkan atau dia itu tidak ada pada sebelumnya, sehingga hakikat kita seperti tidak ada, maka tidak memiliki sifat awal dan tidak juga memiliki sifat akhir. Jika demikian, pada dasarnya kami ini tidak memiliki hakikat, dan yang ada hanyalah Dia dan Dialah yang dicari.

Keesaan Ilahi Dalam Lafadz Allah

Huruf lam pertama di dalam lafadz Allah (أللهُ), ada­lah huruf al-muarraf (yang dikenal) dan huruf at-ta'nf (pengkhususan). Sedangkan huruf alif yang pertama adalah bermakna Allah, dan tidak sesuatu bersama-Nya. Setelah itu, tinggal huruf "lam" kedua dan huruf "ha"'.

Bila pembahasan kita dilihat dari urutan nomor, maka huruf lam kedua adalah berarti al-Malik (Raja). Maka dengan hilangnya huruf "alif dan huruf "lam pertama", yang tinggal adalah "gambaran Din-Nya", dan berupa lam al-Malik (Raja) sebagai lam kedua. Sedangkan huruf "ha"'adalah kinayah dari غَيْبُ الذَّاتِ الْمُطْلَقِ (yaitu Zat Gaib Mutlak). Bila huruf ria' dilihat dari artikulasi (makhraj) huruf, merupakan huruf yang dalam dan gaib di dalam diri manusia, dan ke-gaib-an huruf itu adalah yang paling jauh. Isyarat ini mengandung makna bahwa, Allah SWT tidak memiliki sekutu bersama-Nya. Ke-Esaan Allah merupakan wujud akan isyarat huruf alif, dan huruf "lam pertama" sebagai simbul ma'rifat. Maka lam kedua memberikan isyarat Maqam Malik (tinggalnya Raja).

Dengan adanya ide ma'rifat ini, lahir dan keluarlah wujud-wujud selain-Nya. Huruf ha' mengandung isyarat alam dan huruf itu gaib, dan gaib itu adalah hanya bagi seluruh alam selainNya, sehingga mereka kemudian mengatakan bahwa Allah itu sebagai Zat yang gaib, dan itu adalah Huwa (هُوَ ) Maka dengan huruf alif, Dia menyebut Zat-Nya.

Adapun makna huruf ha' adalah bahwa, semua mahluk Allah menyebutNya, dan dengan huruf lam pertama (lam al-makrifat) Allah SWT memperkenalkan Zat-Nya sebagai Zat yang Azali.

Untuk huruf "lam kedua" bermakna sebagai lam Raja yang memberikan isyarat, semua mahluk-Nya mengenal Zat-Nya yang Azali melalui pengetahuan yang di­perolehnya, dan lam kedua ini disebut dengan lam Ma'rifah, yakni pengetahuan untuk mengenalNya. Sesungguhnya pada setiap wujud baik yang bersifat qidam (lama) maupun yang al-muhdast (baru), sama-sama memiliki hakikat dan sifat. Maka lihatlah betapa sempurnanya nama-nama tersebut.

Sedangkan huruf alif yang tampak setelah huruf lam al-Malik dan dalam tulisan terkait dengan huruf ha', dan huruf wau gaib yang terdapat di dalam huruf ha', jika ia diucap­kan dengan ha' maka keduanya bermakna ruh.

Namun bila huruf wau yang gaib itu diucapkan kembali menjadi ya', maka wau gaib itu bermakna "Jisim". Lain lagi jika huruf wau gaib itu diucapkan menjadi alif, maka ia berubah makna menjadi "nafs (jiwa) al-Mitsliyyah" (misal).

Huruf wau bisa berubah-ubah di dalam pengucapannya sesuai dengan hukum pengucapannya. Hal tersebut, karena posisi huruf ha', yang bila diperhatikan dari posisi huruf alif pertama, kedua huruf alif itu terpisah. Setelah itu muncul huruf alif yang bersambung dengan huruf lam di dalam ucapan. Sementara tinggallah huruf ha' sendirian tidak bersama yang lain. Bila huruf ha' itu tidak dibaca, berarti as-Sakinah, yaitu "diam" atau "tenang" sebagaima­na tenang dan diamnya kehidupan bukan diam dan tenangnya dari kematian. Bila huruf ha' dibaca dengan harakah, hal itu memerlukan orang yang akan menyebut­nya, (az-Zakir) dan yang demikian mengakibatkan tumbuhnya studi huruf seperti yang pernah kami bicarakan.

Hubungan Al-Huwa Dengan Alam

Anda bisa membuktikan, tentang apa yang telah kami telaah mengenai اَلَهِيْ, اَلْهَاءُ  dan  اَلْهُوَ. Dari beberapa huruf di atas, dapat dibaca dengan bermacam-macam harakat, seperti:

أَللهَ - dengan fathah

أَللهُ - dengan dhammah

أَللهِ - dengan kasrah. Sehingga huruf ha' di dalam kata اَلْهُوَ  anda baca dengan harakah dhammah, huruf ha' pada kata اَلْهَاءُ anda baca dengan harakah fathah, dan huruf ha' pada kata اَلَهِيْ  anda baca dengan harakat kasrah. Sekarang, hanya tinggal huruf ha' yang dibaca dengan harakah sukun (mati), dimana huruf ha' yang sukun itu, bermakna tsubut (menetapkan).

Al-Muhaimin Dan Asma-Asma Allah Yang Lain

Apabila Allah SWT memiliki sifat al-Muhaimin yaitu yang menguasai atas segala nama-nama-Nya. Dalam sifat al-Muhaimin itu tentu timbul semua asma-asma-Nya. Dan jika asma-asma-Nya itu timbul ke permukaan, lapun ikut muncul, bagaikan mengalirnya air di dalam air.

Semua asma-asma Allah itu menunjukkan tentang Yang Esa. Penentuan itu dalam bentuk hukum dan bukti dan berada di segala penjuru dimana saja anda menghadap. Segala kisah menampilkan asma-asma-Nya dan sifat ke-Ilahi-an sebagai Zat yang memiliki ilmu.

Disisi lain sifat ke-Ilahi-an itu pula yang menciptakan kisah-kisah. Sepertinya permasalahan melingkar mem­bentuk lingkaran siklus.

Kesaksian Atas Zat-Nya

Hukum dan setiap nama, sesuai dengan kekhususannya di alam ini, yang kekhususan itu sendiri hanya merupakan tambahan bagi alam, atas dasar bahwa Allah sudah menjadi pusat dan penguasa. Hukum dimaksud adalah sebuah kebingungan (al-Hirah), yang berada dan terjadi di atas segala sesuatu, pada waktu sesuatu itu ingin diketahui dan disaksikan.

Kehadiran Uluhiyah adalah satu perbuatan dan itu adalah satu kesaksian yang hanya disaksikan oleh selainNya. Maka dan itu, setiap orang yang membicarakan alam kesaksian, sungguh tidak akan mengetahuinya (dengan sempurna), dia hanya akan menghayal, dan itu berarti dia berada pada posisi salah. Dengan kesaksian yang demikian - yaitu kesaksian "Hadhrah Al-Ilahiyyah al-fi'liyyah", mereka umumnya mengesahkan hal ini, sampai-sampai di kalangan para rasionalis dan kelompok ahli qiyas, termasuk Abu Hamid dan yang lain. Mereka pada berkhayal bahwa ma'nfah tentang Dia itu lebih dahulu dari pada ma'rifah tentang diri kita. Sebenarnya semua itu salah, sebab mereka mengenal Zat Allah (Uluhiyah) dari sisi pembagian akal dimana mereka mengatakan segala yang wujud ini terbagi dua bagian, yaitu, bagian yang memiliki awal dan bagian yang tidak memiliki awal. Pendekatan mereka ini memang tidak salah, tetapi mereka tidak mem­bedakan antara Zat Tuhan sebagai Tuhan sebelum didahului pengenalan mereka tentang hakikat diri mereka, dan Tuhan sebagai Zat yang dikenal dengan benar di samping sebagai Tuhan. Pembicaraan kami di sini adalah masalah Uluhiyah, bukan mengenai Zat yang bersifat qadim saja yang musta­hil bagi-Nya sifat "Tidak ada". Maka bagi mereka yang berpendapat salah seperti pernyataan di atas, tentu tidak akan menetapkan Uluhiyah, yang biasa disebut "Allah”, kecuali setelah mereka mengetahui Zat-Nya. Padahal syara' mengatakan dan mengajarkan terlebih dahulu untuk mengetahui tentang ar-Rububiyah, seperti yang disebutkan oleh Rasulullah saw.; "man 'arafa nafsahu faqadarafa rabbahu", (barang siapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya) dimana beliau tidak bersabda dengan ungkapan sebaliknya, "man 'arafa rabbahu faqad arafa nafsahu". Jika sifat ar-Rububiyah dilihat sebagai zat yang dekat dengan kita, maka ilmu kita tidak akari mengenalNya, kecuali dengan mengenal diri kita lebih dahulu, lantas dimanakah letak anda dan dimanakah letak Uluhiyah?.

Sebenarnya maqam Ilahi telah dijelaskan oleh syara', yaitu hadirat-Nya merupakan "kebingungan", seperti yang disabdakan oleh Rasulullah saw., pada waktu beliau ditanya: "Dimanakah Tuhan berada sebelum diciptakannya langit dan bumi?". Rasulullah saw. menjawab:

"Dia berada di al-Ama', baik itu dekat (qashr) atau jauh (mudd), di atas­nya adalah udara dan dibawahnya juga udara” (HR At-Tirmidzi dalam Kitab At-Tafsir Nomor 3108, Al-Ama’ menurut Al-Azhari : Kami Tidak Mampu mensifati, akan tetapi percaya dengannya)

Sungguh hadis di atas merupakan pernyataan yang meniadakan, di mana kata qashr mengandung makna kebingungan, yang setelah itu dipergunakan untuk sebuah nama, yaitu Allah. Oleh sebab itu, bashirah-bashirah dan mata hati menjadi kebingungan untuk mengenal-Nya, sekalipun melewati berbagai penjuru wawasan. Karena Dia tidak dibatasi oleh kata-kata "di mana"

Sedangkan kata al-Mudd, biasanya dipergunakan untuk arti "awan", yakni udara yang mengandung zat air, yang mengandung muatan kehidupan, dari air itujuga asal segala kehidupan. Dia dengan Zat-Nya tidak disebutkan dengan kata "dimana", melainkan hanya disebutkan kepada-Nya "Wujud al-Barzakh", yang ada diantara langit dan bumi. Di dalam barzakh-barzakh itu, sungguh manusia meng­alami kebingungan.

Bagaimana dengan orang yang dalam kondisi kebingungan?. Mereka akan seperti melihat garis diantara bayangan dengan matahari. Dengan demikian, pada dasarnya kata al-barzakh merupakan posisi kebingungan, dan yang ada di dalamnya hanyalah kebingungan itu sendiri. Atas dasar ini, bagi setiap orang yang mendapatkan sesuatu di dalam al-Barzakh, dituntut adanya kemampuan untuk beradaptasi, dan tidak merasa asing di dalamnya. Pada ketika itu, jika engkau mengatakan bahwa Dia (yang ada) itu adalah Allah, maka Dia memang Allah, dan sebalik­nya jika engkau mengatakan bahwa Dia itu bukan Allah, memang Dia bukan Allah. Itulah sebuah kebingungan yang sungguh-sungguh membingungkan.

Penampakan Sifat Ar-Rububiyah

Pada saat Allah SWT hendak menjadikan sebagian mahluk-mahlukNya kebingungan dan sisi atau sudut pandang yangjauh, maka Allah SWT menciptakan qudrah (ketentuan) baru sehingga ia memiliki kekuatan baru yang nantinya dapat memberikan pengaruh. Setelah ia memiliki kekuatan baru dan pengaruh, Allah SWT membuat tujuan agar kekuatan baru itu dapat direalisir dalam bentuk aksi. Maka dari itu timbullah nanti apa yang sebelumnya belum pernah terjadi (ada).

Kekuatan yang baru (al-huduts) itu berkata: "Itu adalah perbuatanku..." Kekuatan yang baru yang lain berkata: "Itu adalah usahaku..." dan kekuatan baru yang ketiga berkata pula: "Itu bukanlah perbuatanku dan juga bukan usahaku..."

Setelah itu kekuatan al-Qadim berkata: "Itu adalah perbuatanKu." Al-Haq lalu berkata: "Tidaklah mustahil bagi orang yang memiliki akal yang sehat untuk memiliki satu kekuatan diantara dua kekuatan itu. Adapun yang mustahil adalah memiliki pengaruh diantara dua pengaruh itu." Sebab pengaruh menjadi pendorong menuju tercipta-nya yang baru. Fahamilah pemisahan ini, insya Allah engkau akan mendapatkan petunjuk.

Allah SWT adalah Zat yang tidak belajar dan tidak juga diajari, tidak bodoh dan tidak dapat dibodohi, tidak diketahui dan tidak akan dapat tersaksikan... dan tidak satu mahlukpun akan dapat menyaksikan-Nya walau melalui segala macam cara, tidak dapat diakali dan tidak akan dapat diketahui. Hal-hal yang dapat diketahui hanyalah yang terkait dengan nama-nama Uluhiyah dan nama-nama ZatNya seperti ar-Rabbu, al-Malik dan al-Mukmin. Atas dasar ini al-Kitab dan as-Sunnah mengatakan bahwa rukyat (melihat Allah) di akhirat nanti, adalah rukyat ar-Rububiyah. Itulah sebabnya Nabi Musa as. di alam dunia ini berkata,

 رَبِّ أَرِنِى أَنظُرْ إِلَيْكَ

"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau" (QS. al-A'raf: 143)

dan Alqur'an pun menyebutkan keterangan selanjut­nya.

فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ

"Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu" (QS. al-A'raf: 143)

Ayat di atas sama sekali tidak menyebutkan sifat al-Uluhiyah, bahkan hal itu ditiadakan oleh-Nya, seperti yang difirmankan dalam sebuah ayat:

لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَٰرَ  وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ

"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. " (QS. al-An'am: 103)

Ini berarti untuk melihat Allah SWT ditutup oleh sifat ar-Rububiyah, seperti yang difirmankan:

إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat." (QS. al-Qiyamah:22:23)

dan dipakai kalimat hijab dalam ayat:

كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ

"Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhannya." (QS. al-Muthaffifin: 15)

Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: "Kalian semua akan melihat Tuhan kalian seperti Bulan Purnama," dan pada hadis lain: "Seperti melihat matahari." Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, di dalam Shahihnya:

"Sesungguhnya Tuhan akan menampakkan kepada sekelompok orang di alam makhsyar, dan berfirman: "Aku ini adalah Tuhan kalian semua". Mereka mengatakan: "Kami berlindung kepada Allah dari-Mu, inilah tempat kami sampai datang kepada kami Tuhan kami. Setelah Tuhan kami datang, kami mengetahui­Nya". Maka datanglah Allah SWT kepada mereka dalam bentuk yang mereka kenal, seraya berfirman: "Aku ini adalah Tuhan kalian", mereka pun lantas menjawab: "Engkau adalah Tuhan kami...

Yang tampak kepada mereka adalah ar-Rabb, dan mereka tidak mengenal kecuali ar-Rabb. Begitu juga Dia tidak berhadapan dengan mereka, kecuali Dia sebagai ar-Rabb. Allah SWT berfirman:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا

"dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris" (QS. al-Fajr:22)

Seandainya di dalam rukyat itu terdapat lafadz ar-Rabb, maka yang dikehendaki oleh lafadz itu adalah seperti yang telah kami jelaskan. Sesungguhnya Allah SWT Maha Peliput107 dan Maha Pemersatu.

Ke-Esaan Sifat Uluhiyah

Alangkah indahnya peringatan Allah SWT kepada Nabi­Nya, dimana kami meniti dan bersamanya, Dia berfirman:

فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ

"Maka ketahuilah sesungguhnya Tidak ada Tuhan patut disembah melainkan Allah". (QS. Muhammad: 19)

Ayat di atas menunjukkan bahwa an-Nafyu (peniadaan), merupakan Ain al-Itsbat (hakikat penetapan), dan itu sekaligus hakikat peniadaan. Semua sifat ditiadakan kecuali sifat al-Uluhiyah. Sebab, jika al-Uluhiyah tidak ditetapkan, tentu tidak sah bagi-Nya untuk menetapkan yang lain, dan sebaliknya, jika suatu Zat tidak menetapkan untuk ZatNya, lalu menetapkan yang lain, itu merupakan suatu kepalsuan.

Dengan demikian, al-Uluhiyah merupakan sebuah hakikat yang ditetapkan untuk ZatNya, dan itu memang merupakan hakikat. Pembicaraan kami sekarang adalah mengenai tingkatan hakikat, yang di dalamnya terdapat enam tingkatan, diantara keenam hakikat terdapat hakikat al-Uluhiyah. Sebenarnya keenam hukum (keenam tingkatan hakikat) adalah satu hakikat, dan tidak ada sesuatu bersama denganNya. Alangkah halusnya isyarat syara' ketika mengatakan :

إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikan." (QS. Qaaf: 37)

Kata asy-Syahid adalah al-Huwa, al-Qalbu juga as-Sam'u.

Sehingga Rasulullah saw. bersabda:

"Allah, tidak ada sesuatupim bersamaNya"

yang kemudian dilanjutkan oleh ulama Arif billah dengan ucapannya:

"Dia, pada sekarang ini tetap Dia".

Dulu memang Dia, dan sekarangpun tetap Dia (al-Huwa) dan dimanapun akan tetap Dia (al-Huwa).

Sementara kami ini, adalah mahluk yang diadakan oleh­Nya. Sungguh suatu keniscayaan kalau keadaan tetap keadaan, dan hakikat adalah tetap hakikat. Sehingga tidak ada suatu keadaan, kecuali tampak lalu gaib, atau gaib lalu tampak dan begitu seterusnya. Seandainya anda mengikuti apa yang terdapat di dalam al-Kitab dan as-Sunnah, tentu anda tidak akan mendapatkan sesuatu, kecuali "Satu yang Abadi" dan Dia adalah al-Huwa dan sampai sekarang ini al-Huwa tetap gaib.

Yang Ada Hanya Dia

Para ulama al-muhaqqiqun sepakat, Allah SWT tidak akan menampakkan diri111 pada seseorang dalam satu bentuk gambaran dengan dua kali kesaksian, dan tidak satu gambaran bagi dua orang, hal ini merupakan fleksibilitas112.

Abu Thalib berkata: "Sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu", tidak akan dapat dilihat, kecuali oleh "sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu" itu sendiri. Sebab, yang melihat adalah hakikat yang dilihat. Allah SWT berfirman "

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ

Laisa kamitslihi Syaiun" (QS. 42:11)

Seandainya ada seseorang yang mengatakan "Laisa kamitslihi Syai-un" (Tidak ada sesuatu seperti Dia), maka sesuatu itu adalah Dia. Jika huruf kaf (ك) Yang berarti penyerupaan merupakan sifat atau hanya sekedar tambahan, maka bagaimana dengan sifat? Tentu tidak akan diketahui. Namun jika kata itu berupa sifat, maka Abu Thalib tidak akan mengatakan ungkapannya itu. Atau seandainya sesuatu itu bukan merupakan sifat, maka Dia bukanlah al-Huwa (Allah). Padahal "sesuatu" itu adalah al-Huwa dan al-Huwa adalah al-Huwa, maka tidak ada Huwa (yang lain) kecuali Huwa.

Untuk menguatkan apa yang kami sebutkan mengenai Allah, maka akan kami kemukakan sebuah sabda Rasulullah saw.

"Sesungguhnya Allah mempunyai tujupuluh ribu hijab dari nur dan kegelapan, kalau saja Dia membukanya, kesucian wajahNya akan membakar semua yang DilihatNya, dari mahluk-mahluk-Nya. "

Itulah Allah, Dia adalah al-Huwa seperti yang telah kami kemukakan di depan. Betapa Allah SWT telah banyak mengajarkan kepada Rasulullah SAW tentang alMaqamat (tingkatan-tingkatan), lalu berapa banyak Allah SWT telah membuka tabir rahasia kepadanya? Dalam pertanyaan tersebut, yang dimaksud bukanlah nilai kwantitatif kejadian dimaksud, akan tetapi yang dimaksud adalah ungkapan bahwa Zat Allah SWT tidak mungkin tampak (jadi ia hanya sekedar pertanyaan yang tiada butuh jawaban, dan ia hanyalah penafian belaka, ed ). Pendapat di atas diperkuat dengan pandangan "al-Bashar" (penglihatan), dimana pandangan tersebut menunjukkan arti ungkapan yang pa­ling mulia, karena merupakan salah satu sifat Allah SWT.

Berbeda halnya dengan akal, yang fungsinya terkait dengan alam gaib (cepat menyatakan sesuatu yang tidak dilihatnya sebagai yang gaib, ed.) Sedangkan bagi al-Barri (Allah) tidak ada sesuatu yang gaib bagi-Nya. Semua yang ada bagi-Nya merupakan alam as-Syahadah, maka tepat sekali penggunaan kata al-Bashar bukan al-Aqlu.

Yang Sempurna Tanpa Disempurnakan

Pada bab ini, akan kami bahas mengenai Hadrah al-Hirah (hadrah kebingungan), yang dijumpai oleh orang-orang yang memasuki hadrah ini dan melihatnya, baik oleh para pemikir atau ahli "al-Istibshar" mengenai sifat-sifat-Nya. Maksud mereka masuk kedalamnya adalah untuk meneliti ada tidaknya sifat-sifat tersebut.

Adapun mengenai hukumnya, di antara mereka tidak ada perbedaan pendapat. Kebingungan yang dimaksud adalah yang dimiliki oleh mereka yang berupaya menetap­kan sifat hakikat, yang melebihi dari yang disifati. Jika demikian, berarti dari beberapa segi ia telah menetapkan bilangan "banyak" dan "kurang" kepada Allah. Padahal Allah SWT Esa, Zat-Nya Maha Sempurna dan Tidak memerlukan yang lain. Lalu bagaimana dengan masalah di atas?

Jika kami mengatakan "tidak lazim" untuk penambahan tersebut, berarti menetapkan bilangan sebuah wajah. Yang demikian memberikan pengertian bahwa kami mengakui sesuatu yang lebih bahaya dari pada sekedar menetapkan bilangan lebih, yaitu Zat itu sempurna dengan tanpa yang lain-Nya, artinya sesuatu itu "kurang" (karena menetapkan zat itu dipengaruhi oleh posisi selainNya).

Bagi orang yang meniadakan hakikat-hakikat sifat-Nya itu, dan lari dari dua posisi, yaitu posisi "lebih" dan "kurang", pasti ia mendatangkan masalah baru, yaitu "hukum" tidak bisa dijadikan dalil atau tidak memiliki kekuatan di hadapan orang-orang yang mengenal Allah, khususnya di dalam memberikan hukum Tentang "ZatNya Yang Transendental".

Sesungguhnya jika Zat itu ditetapkan sebagai Zat yang Kuasa dengan sendirinya bagi hakikatNya, maka akan terjadi pemahaman, "sebuah perbuatan itu" adalah bersifat Azali, dan ini tentu mustahil..., sehingga penetapan "ZatNya kuasa atas DinNya" adalah juga omong kosong.

Keterbatasan Akal Untuk Mengenali Kegaiban

Sesungguhnya hati tidak akan mendapatkan "kejelasan" dengan hanya mengadakan Qiyas (analogi) akan sesuatu yang tampak kepada yang gaib, khususnya setelah sifat lemahnya kekuatan akal bukan lagi rahasia. Dari manakah akal itu? Dan manakah rangkaian keterangan yang menunjukkan kepada akal itu? Di sini, kelemahan akal semakin nampak. Karenanya, mendahulukan akal adalah sikap yang tidak terpuji. Banyak hal yang tidak dapat diketahui melalui akal kecuali dengan al-Musyahadah,

Rukyat atau lewat Ta'rif (pengenalan). Apabila ia mampu dicapai dengan cara-cara selain tersebut tentu suatu kebohongan dan kepalsuan. Sebab itu, sudah seyogyanya bagi para penganut aliran yang mengandalkan akal (rasionalis) mengakui tentang "wujud" dan "hukum-hukum sifat", dan tidak perlu dimasalahkan apakah untuk menetapkan rukyat atau meniadakannya. Sebab sudah pasti, akal sangat lemah dihadapan masalah-masalah di atas, bahkan ia juga lemah untuk masalah yang lebih ringan dari rukyat. Lihatlah keajaiban isim-isim (nama-nama) dan kalimat-kalimat yang mengagumkan di alam ini! Sungguh akal akan mengalami kebingungan dan buta.

Sungguh aku melihat kalangan rasionalis dalam kebingungan, mereka tidak sepakat di dalam menentukan rukyat, selain tidak mampu menetapkan atau meniadakan­nya. Sebaliknya bagi penganut al-musyahadah, ketika sudah tampak bagi mereka, mereka ada yang mengingkarinya sendiri, karena dianggap tidak sesuai dengan ilmu mereka. Dalam hal ini, kami hanya mengatakan kepada mereka Naudzubillah min dzalik (Aku berlindung kepada Allah dari sikap seperti itu). Dalam pandangan umum, rukyat Zat (Allah), merupakan indikasi yang jelas dan tetap.

Akan tetapi cobalah sekali lagi, bandingkan dengan keadaanmu waktu kamu berkaca didepan cermin, dimana engkau melihat bayangan posturmu tidak sesuai dengan postur aslimu, yang disebabkan posisimu saat berkaca berada disamping cermin. Saat itulah, jangan lantas engkau salahkan cermin yang kamu pakai, akan tetapi salahkan dirimu dan perbaiki posisi berkacamu. Engkau akan me­lihat gambarmu secara benar dan itulah yang benar!.

Bersikap Optimis Mengenali "Al-Huwa"

Bila engkau batasi pencaharianmu dengan hanya mencukupkan diri pada intuisi yang hanya bersifat rasional, engkau akan kehilangan kebaikan yang banyak. Jika pembatasan tersebut terjadi dalam diri ahli al-musyahadah, kerugian akan lebih besar lagi, dibanding kerugian yang ditanggung mereka (rasional), khususnya ketika terjadi al-musyahadah.

Sebenarnya di kalangan ahli rukyat sendiri juga tumbuh kebingungan, manakala terjadi perbedaan kesaksian setiap kali rukyat, dan kebingungan yang sama juga dialami oleh para ahli al musyahadah. Seandainya al Huwa itu merupakan Zat yang zahir, tentu antara ahli rukyat dan ahli al-musyahadah tidak akan berbeda pendapat. Akan tetapi, jika al-Huwa itu sebagai Zat yang zahir, tentu itu bukan al-Huwa. Maka dari itu, perbedaan dan kebingungan akan tetap terjadi.

Dalam hal ini kami coba tuangkan sebuah syair:

"Jika aku menginginkan keberadaan kesenangan maka harus aku bagikan apa yang aku miliki kepada orang-orang yang memiliki hutang. Dan jika tempat ke­beradaannya itu aku lenyapkan dari mataku niscaya dia akan hadir dihadapanku secara diam-diam."

Dengan demikian, Dia (Allah) akan hadir, bila "aku" telah tiada, sebab selama aku masih ada, dan mengharap kehadiran-Nya, maka aku dan Dia menjadi suatu keharusan, dan mesti terjadi. Ketahuilah bahwa, yang mesti terjadi itu adalah "Dia", sebab Dialah yang kekal, dan aku tidak mungkin kekal bersama "Dia".

Sesungguhnya al-Huwa tidaklah berasal dari diri-Nya, bukan pula di dalam-Nya dan juga tidak berada pada selain­Nya... Disinilah letak al-Hirah al-Ilahiyyah (kebingungan Ilahi). Allah SWT berfirman:

 وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ

"dan bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar." (QS. al-Anfal: 17)"

Lakukanlah wahai hamba-Ku, sebab sebenarnya bukanlah engkau yang melakuan, akan tetapi Aku-lah pelakunya. Dan Aku tidak melakukannya kecuali dengan mengikutsertakan engkau. Sebab, Aku tidak akan mungkin melakukan sesuatu bersama-Ku. Maka dari itu sesuatu itu harus berasal dari dirimu, sedang Aku hanya melakukan seperlunya, dan itu suatu keharusan bagi-Ku, dan per­masalahan ada di tangan-Ku juga pada tanganmu..." Sungguh ini ungkapan kebingungan, kebingungan yang sangat membingungkan...

Seringkah aku katakan:

"Tuhan adalah Haq, dan hamba adalah juga Haq... Seandainya aku dapat menjadi seorang penentu...

"Tetapi jika aku katakan penentu itu seorang hamba, maka kehambaan itu yang meniadakan, atau aku katakan Tuhan, maka tidaklah mungkin bagi Tuhan dikenakan ketentuan..."

Juga:

"Kebingungan dari kebingungan keluar, seandainya disana aku tergolong orang yang tidak dibingungkan. Sebab aku hanya sebagai sosok yang terpaksa, aku tidak memiliki kekuatan... dan yang aku lakukan hanyalah karena keterpaksaan...

Sementara Zat yang aku jadikan sebagai sandaran perbuatanku, memiliki perbuatan yang tidak dapat aku pilih.

Jika aku mengatakan "ya"Dia mengatakan "jangan", dan jika Dia mengatakan "ya", tidak akan ada satu mahlukpun yang akan iri..."

Maka dari itu antara aku dan Dia berada pada titik yang jelas-jelas tidak memiliki kepastian untuk bertemu...

"Aku heran akan suatu beban dari Dia, yang Dia ciptakan. Sementara setahuku, aku tidak ada kemampuan bertindak...

Seujung rambut dariku, siapa yang membebankan... Di sana tiada lain selain Allah, bukan lainNya. "

Memang ungkapanku (penulis) tersebut sering me­mancing orang untuk bertanya. Sebab yang aku ungkapkan tersebut adalah awal dari pintu kebingungan Ilahiyah, seperti yang difirmankan oleh-Nya.

مَا يُبَدَّلُ ٱلْقَوْلُ لَدَىَّ وَمَا أَنَا بِظَلَّٰمٍ لِّلْعَبِيدِ

"Keputusan di sisi Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku." (QS. Qaaf: 29)

Bagi mereka yang berakal, sudah pasti akan melaksana­kan dan mengambil firman di atas, tanpa surut dan banyak pertimbangan... Namun bagi yang menyelami ilmu batin, dia akan menjadikannya sebagai pintu kebingungan, dan mereka dipaksa berada pada kondisi kebingungan..., sebab begitulah kemampuan mereka. Coba bandingkan, sebagaimana halnya salat yang pertama kali diwajibkan lima puluh kali, kemudian diringankan menjadi lima kali (karena ketidakmampuan). Dan tidak dapat dikurangi menjadi lebih sedikit lagi. Demikianlah, ia tidak tetap pada ketentuan lima puluh kali seperti awal perintahnya...

Demikianlah yang dapat kami ketengahkan dari sekian rahasia dari lafadz "al-Jalalah (Allah)", dan itu belumlah seluruhnya, karena keterbatasan kemampuan dan waktu yang kami miliki, segala puji hanyalah milik Allah SWT semata. .

Dengan segala pujiNya, selesai sudah kitab al-Jalalah, dan dengan pertolongan-Nya pula kami haturkan puji syukur kepada-Nya, dengan harapan, semoga Allah SWT memberikan kesejahteraan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW., serta kepada seluruh sanak kerabatnya... amin ya rabbal alamin...



[1] Al Awwahu atau al-Muqinu adalah orang yang yakin atau yang selalu berdoa, atau juga yang memiliki sifat pengasih, lembut hati dan cepat mengerti


0 comments:

Posting Komentar

Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun