MUKADDIMAH
Sungguh Syekh Akbar Abu Bakar Ibnu Arabi - Pakar Theologi, Muhyiddin -
ridhwanullahi alaihi, memiliki banyak karya yang menurut persepsi nalar, seakan
tidak mungkin ditulis oleh seorang saja, khususnya bila mengingat perjalanan
hidupnya yang semenjak usia belia, lebih banyak dicurahkan untuk dunia sastra
dan berburu. Apa yang dialami oleh Ibnu Arabi tidak berbeda dengan yang
dilakukan para ulama sufi1 lainnya, yang melakukan semua itu sebagai
ibadah, mujahadah (bersungguh-sungguh), muraqabah (mendekatkan diri pada Ilahi)
dan Muhasabah (selalu mengoreksi diri).
Seorang orientalis, Kari Brockelmann mengatakan: "Sesungguhnya Ibnu
Arabi adalah seorang theolog yang berkemampuan tinggi, sufi yang cerdas,
seorang pengarang yang rasional dan sangat luas cakrawala pemikirannya."
Dengan demikian, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa, Syaikh Akbar
Muhyiddin bin Arabi sebagai seorang muslim tidak teragukan lagi kapasitas
kecendekiawanannya, sangat besar pengaruhnya di dalam pembentukan aqidah
sufiyah yang berbaju filsafat Smith. Baik pada masanya atau masa-masa
selanjutnya.
Jika kita mau membandingkan hasil yang telah dicapai oleh Muhyiddin bin
Arabi, dengan para pemikir muslim lainnya, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Thufail,
Al-Ghazali, Ibnu Sina dan pakar yang lainnya, apa yang telah dicapai oleh
masing-masing mereka tidak seperti yang telah dicapai oleh Ibnu Arabi, baik
dari sisi kwalitas maupun kwantitasnya.
Muhyiddin Ibnu Arabi dinilai sebagai sufi pertama yang memisahkan antara
analisa dan pengamalan tasawuf. Ia berupaya memulai dengan memasuki alam
kondisi ( j^[>B ) dan medan situasi ( ^jp"vi«(r* ) Langkah selanjutnya,
ia masuk ke alam Ilmu ( 1$jjtfjJ&), yang didasari atas hasil
kesaksiannya ( \\ ). Disamping ia dinilai pula sebagai seorang yang memiliki
keistimewaan dalam pemakaian kalimat yang serba tinggi, sebagaimana yang
terdapat di dalam ungkapan-ungkapan dan pemikirannya.
Demikianlah yang dapat kami kemukakan tentang figur dan kepribadian Ibnu
Arabi, sebagai sosok penulis yang produktif di kalangan kaum muslimin,
khususnya di kalangan kaum sufi. Ibnu Arabi juga dinilai sebagai pemikir sufi
yang paling jenius dan paling luas cakrawala pemikirannya serta disiplin ilmu
pengetahuannya, apabila dibandingkan dengan para pemikir muslim sebelum dan sesudahnya.
Itulah dia, Muhyiddin Ibnu Arabi sang filosof yang capable dan Jenius, dan
seorang Syaikhul Akbar.
MUHYIDDIN IBNU ARABI
Dia adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali, berasal dari kabilah Hatim at-Tha'i2,
dan terkenal dengan sebutan Ibnu Arabi, dengan julukan Muhyiddin (penghidup
agama), Syaikh Akbar... putera Plato3. Dia adalah Barzakhul Arifin al-Arif Billah
seorang pakar theologi.
Ibnu Arabi dilahirkan di kota Murcia4, pada tanggal 17
bulan Ramadhan tahun 560 H. Satu periode dengan dinasti Khalifah al-Mustanjid
Billah5. Ibnu Arabi meninggal pada tahun 638 H. (1165-1240M.) di
rumah Ibnu az-Zanki di kota Damaskus. Az-Zanki bersama dengan dua orang
muridnya; yakni Ibnu Abd al-Bar dan Ibnu An-Nahhas, menyucikan dan mengebumikan
mayat Ibnu Arabi di pemakaman keluarga Az-Zanki. Sejak itu daerah pemakaman
tersebut dijuluki dengan nama "Daerah Syaikh Muhyiddin". Ibnu Arabi
mempunyai dua orang anak, setelah meninggal, keduanya juga dikuburkan di tempat
yang sama, hingga kini makam Muhyiddin Ibnu Arabi masih banyak dikunjungi
orang.
Mengenai kezuhudannya, Ibnu Arabi menempuhnya melalui beberapa fase, yaitu
sebelum masuk ke dalam alam sufi, yaitu;
1. Ibnu Arabi kawin dengan seorang wanita yang taqwa lagi wara' (selalu
menjaga martabat dengan menjauhi amalan yang diharamkan dan dimakruhkan, ed.),
yakni Maryam binti Abd bin Abdurrahman al-Baji. Segala prilaku dan saran dari
isterinya sangat mempengaruhi perjalanan kezuhudannya.
2. Kekeramatan ayahnya, yang selama hidupnya menyertainya juga telah banyak
mempengaruhi kehidupan dan pola pemikiran diri Ibnu Arabi.
3. Jiwa tasawuf dan kezuhudan paman-pamannya, yang mana Ibnu Arabi selalu
kontak dengan mereka, dan tidak jarang terjadi dialog serius antara dia dan
mereka, khususnya pada masa-masa mudanya.
4. Serangan sakit yang mendadak pada dirinya, yang pada ujungnya dapat
disembuhkan melalui barakah surat Yasin', dengan dibacakan di atas kepalanya,
dengan izin Allah dia sembuh dari penyakitnya.
5. Pertemuan Ibnu Arabi dengan beberapa tokoh sufi dan beberapa filosuf
muslim.
6. Disamping itu, Ibnu Arabi sangat gemar membaca dan diskusi.
Kesemuanya itu, telah banyak membantu dan mempengaruhi pola kehidupan juga
pemikiran diri Ibnu Arabi, disamping memang kondisi sosial saat itu sangat
diwarnai oleh kehidupan sufistik. Kehidupannya yang banyak diisi dengan
petualangan, juga banyak andilnya dalam merubah pemikiran dan kepribadiannya,
sehingga ia menjadi seorang yang zahid, sufi sekaligus filosuf.
Al-Haulu Wal
Quwwatu
Segala puji milik Allah SWT, yang tidak dapat diketahui oleh segala bentuk
rahasia, tidak dikenal oleh segala macam ruh, dan juga tidak akan diketemukan
oleh seluruh upaya rasio (akal) manusia. Tidak juga mampu digambarkan oleh
hati, dan tidak akan dapat diungkapkan oleh lisan yang mengumpulkan segala macam pujian yang
azali. Semoga salawat dan salam selalu disampaikan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw, yang dikaruniai "lawani' al kalam" (pengumpul seluruh
kalam, bahasa), yang diutus untuk menerangi wajah-wajah kaumnya, dan membawa
kesejahteraan kepada seluruh orang yang telah dipilih oleh Allah SWT, yaitu
orang yang memiliki kesabaran dan keyakinan (Awwah)[1]
Rahasia Di
Balik Lafadz Allah
Sesungguhnya yang saya bahas dalam buku ini adalah sebagian dari rahasia
dan isyarat-isyarat yang terkandung di dalam lafadz al-Jalalah (Allah). Kalimat
"Allah" memiliki posisi Zat, yang mempunyai beberapa sifat9 Setiap
nama itu fana di dalam Zat-Nya, keluar masuk, naik dan turun di dalamnya, dan
itu bagi ahli hakikat merupakan ketergantungan (ta'alluq) bukan ciptaan
(takhalluq), yang pada dasarnya menunjukkan bukti hanya pada Zat-Nya saja,
bukan untuk lainnya. Disamping itu, lafadz "Allah", tampak di
berbagai tempat dan tingkatan, yang tidak dibenarkan untuk mempersepsikan
hakikat Zat-Nya ditempat dan di tingkatkan tersebut. Lafadz yang berada di
tempat dan tingkatan itu, adalah pemberi makna, seperti yang terkandung di
dalam tiap-tiap nama dari asmaul husna, sehingga setiap nama mempunyai makna
yang khusus, sekalipun pada akhirnya lafzul-Jalalah atau "Allah" itu,
berperan sebagai peliput dari semua asmaul husna, seperti orang yang berdosa,
ketika berdo'a akan mengatakan يَااَللهُ اِغْفِرْلِي, maka lafadz al-Jalalah disini mewakili atau berperan sebagai
al-Ghaffar Zat Yang Maha Pengampun. Lafadz al-Jalalah suci dari keterbatasan dan gaib. Sementara
sesuatu di alam nyata (Alam
As-Syahadah) ini lemah. Pada
waktu harakah dhammah dibaca di atas lafadz. Dengan harakah dhammah itu, tampak
kata al-Huwa di dalam lafadz, dan itu disebut dengan Gaib Mujarrad, maksudnya
gaib di dalam lafadz (bunyi). Sedangkan gaib dalam tulisan dan bilangan disebut
dengan Gaib Mutlak. Ketahuilah oleh kalian semua bahwa, lafadz al-Jalalah itu
mengandung enam huruf, yaitu. ا,ل,ل,ا,ه,و Empat huruf darinya, sudah jelas di dalam
nomor, yaitu: ا,ل,ل,ا,ه
1. Alif pertama
2. Lam permulaan, gaib di idghamkan
3. Lam permulaan, alam as-Syahadah dan diucapkan dengan tasydid
4. Huruf ha'al-Huwiyyah
Sedangkan empat huruf sebagai "Tanda" di dalam lafadz adalah: ا,ل,ا,ه
1. Alif Kekuasaan
2. Lam awal as-Syahadah
3. Alif Zat
4. Ha' dari al-Huwiyah
Ada satu huruf, dari huruf-huruf di atas, yang tidak tampak, baik dari
lafadz ataupun pada nomor, akan tetapi terdapat indikasinya, yaitu huruf wau
dari huruf ha', dan wau ini sama seperti huruf wau di dalam kata “اَلْهُوِيَّةْ” Adapun huruf wau dari al-Huwa jelas
terdapat di dalam lafadz, dan huruf wau al-Huwiyyah terdapat di dalam nomor
saja. Secara singkat, makna huruf lam di dalam kata اَلْهُوَ adalah اَلْعَالَمُ الْاَوْسَطْ (yaitu alam antara), yakni Alam Barzakh (alam
antara alam dunia dan alam akhirat) dan itu dapat dikenal dengan
akal. Adapun makna huruf ha' adalah alam gaib, dan huruf wau adalah untuk alam
as-Syahadah (Tersaksikan). Apabila "Allah", merupakan Gaib Mutlak, sebenarnya di dalam
lafadz Allah terdapat huruf wau alam Syahadah, dan itu terbaca, sekalipun tidak
tampak baik di dalam lafadz maupun urutan, dan huruf wau ini disebut dengan غَيْبُ الْغَيْبِ (yaitu gaib di dalam gaib). Atas dasar pengetahuan ini, dapat dibenarkan bahwa
perasaan lebih utama dari pada akal. Karena apa yang dirasakan hari ini, masih
bersifat gaib dimata akal, dari yang masuk di akal hari ini, adalah hal-hal
yang tampak. Lebih-lebih dengan keadaan di alam akhirat nanti, dimana kekuasaan
saat itu berada di tangan Allah, dan kondisi yang ada, nantinya lebih dapat
dirukyat (diketahui) lewat perasaan. Penglihatan-penglihatan waktu itu mampu
melihat kepada-Nya, akan tetapi rukyat perasaan merupakan puncak dari pada
pandangan (bashirah) tersebut, sedangkan yang menjadi milik akal hanyalah awal
dari penglihatan. Seandainya tanpa adanya puncak yang menjadi tujuan orang, dia
tidak akan melihat awalnya. Dengan demikian, perhatikanlah rahasia ini bahwa,
akhirat lebih baik daripada dunia, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT:
تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنْيَا وَٱللَّهُ
يُرِيدُ ٱلْءَاخِرَةَ
"Kamu menghendaki harta benda
duniawiyah, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat" (QS. al-Anfal:67)
وَٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
"Sedang kehidupan akhirat adalah
lebih baik dan lebih kekal" (QS. al-A'la:17)
Sifat akhirat, adalah kekekalan, sebal knya sifat dunia adalah fana, tentu
saja yang bersifat kekal itu lebih baik dari yang fana. Ketahuilah bahwa mengenal
Allah SWT (Ma'rifat Billah) merupakan awal dari ilmu pengetahuan, yang akan berpuncak
kepada hakikat dan Ain al-yakin.
Tentu saja pengetahuan Ain al-yakin lebih utama dari pada Ilmu al-yakin,.
Ilmu adalah untuk akal sementara hakikat adalah untuk "اَلْبَصَرُ" (mata hati). Maka dari itu dalam upaya mencapai
al-Hakikat, menurut Ibnu Arabi "perasaan" adalah lebih utama dari
pada "akal".
Dalam proses pencarian hakikat, pertama kali akan berakibat perubahan alam
Syahadah menjadi alam Gaib, yang karenanya, akan menimbulkan sebuah lingkaran,
di dunia, dimana titik awalnya terkait dengan titik akhirnya. Akibat kedua alam
as-Syahadah ini menjadi terikat dengan sesuatu yang wajib mutlaknya (menurut
lahiriyah). Seseorang tidak mampu melihat kecuali hanya satu arah, dan tidak mendengar
kecuali suara yang dekat. Berbeda dengan seseorang yang lepas dari ikatan alam
as-Syahadah ini, dan yang berada di alam hakikat, seperti yang terjadi pada
peristiwa Umar bin Khattab, ketika beliau berkhutbah di masjid Madinah
sementara suaranya didengar oleh panglima Sariyah dari kejauhan. Akibat ketiga
adalah, alam Gaib berubah menjadi al-Wasath, yakni alam media, dan itu adalah
alam akal. Akal mengambil bukti-bukti dari perasaan ketika hendak memerlukan
ilmu. Akibat yang keempat yaitu bahwa alam Syahadah Mutlak berubah menjadi gaib
di dalam gaib. Dengan keterangan di atas, sirkulasinya dapat diperhatikan
seperti yang terdapat pada lingkaran dibawah ini.
Bayangan
Ilahi
Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah al-Arasy;. Tidak semua
bayangan itu memanjang, dan arasy bagi Uluhiyah adalah bayangan yang tidak
memanjang, ia bersifat gaib. Tidakkah engkau melihat benda-benda yang mempunyai
bayangan yang nyata?, jika benda-benda itu dikelilingi oleh cahaya, maka
bayangannya tentu berada di dalamnya. Cahaya, bayangannya terdapat di dalam
cahaya itu sendiri, dan dalam kegelapan, cahayanya juga terdapat di dalamnya.
Pada waktu Allah SWT bersemayam di hati seorang mukmin, maka Allah berfirman : “Bumi dan
Langit tidak mampu menerima-Ku, kecuali hati seorang mukmin, hamba-Ku, dialah
yang mampu.”
Pada waktu nama Ar-Rahman bersemayam di dalam arasy yang ma’ruf (terlihat),
yang dhahir, maka arasy-arasy dhahir itu adalah bayangan ar-Rahman itu sendiri,
dan arasy insani adalah bayangan Allah. Sedangkan jarak antara bayangan
ar-Rahman dan bayangan Allah sama seperti jarak antara nama "Allah"
dan "ar-Rahman"
Allah SWT berfirman:
قُلِ ٱدْعُوا ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا
ٱلرَّحْمَٰنَ أَيًّا مَّا تَدْعُوا فَلَهُ
ٱلْأَسْمَاءُ ٱلْحُسْنَىٰ
"Katakanlah, "Serulah Allah
atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai
al-Asma al-Husna". (QS. al-Isra': 110)
Bagi orang yang berakal, akan tampak perbedaan antara dua kalimat yakni
"Allah" dan "ar-Rahman". Maka dari itu orang yang mukallaf akan
bertanya "apa itu ar-Rahman?",
begitu diserukan nama "ar-Rahman" kepada mereka. Seperti dalam sebuah
ayat Allah SWT:
ٱسْجُدُوا لِلرَّحْمَٰنِ قَالُوا وَمَا
ٱلرَّحْمَٰنُ
"Sujudlah kamu kepada Yang Maha
Penyayang".. Mereka menjawab, "Siapakah Yang Maha Penyayang
itu?" (QS.
al-Furqan: 60)
Dan mereka tidak bertanya "Siapakah Allah itu?" pada waktu
diserukan kepada mereka: اُعْبُدُوااَلله (Sembahlah Allah oleh kalian semua)"
Gaibnya Sifat
Ilahi Dalam Diri Manusia
Apabila arasy sebagai singgasana, maka ia gaib di dalam sifat
ar-Rahamniyyah. Begitupun jika bersemayamnya Allah di dalam hati seorang
mukmin, dan itu dinilai sebagai kemampuan menerima kehadiran-Nya, maka sifat
Uluhiyah menjadi gaib di dalam diri manusia. Dengan demikian, penampakanNya
berwujud manusia5 dan kegaibanNya adalah Tuhan. Dan begitu
rahasianya kegaiban Uluhiyah di dalam diri pribadi manusia, sampai-sampai sifat
Uluhiyah diakui sebagai Tuhan (Ilaah), seperti yang dikatakan oleh Fir'aun:
يَٰأَيُّهَا ٱلْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم
مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِى
"Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui Tuhan bagimu selain aku..." (QS. al-Qashash: 38)
Ucapan Fir'aun di atas, dikatakan atas dasar kesadaran dan kehendaknya,
bukan dalam keadaan al-hal atau paksaan orang lain untuk mengatakan
"akulah tuhan". Fir'aun tidak hanya mengucapkan kata ilaah, akan
tetapi mengucapkan dengan kalimat ghairy (selain aku)? Coba perhatikan
baik-baik... pada kenyataannya dia hanya mengatakan sifat ar-Rububiyah: أَنَارَبَّكُمُ الْاَعْلَى (Akulah Tuhanmu Yang paling tinggi) karena dirinya tidak mampu untuk
menerima martabat Uluhiyah.
Berbeda dengan orang yang mengatakannya dalam kondisi al-hal, yang
dikendalikan dan didorong oleh satu kehendak, seperti perkataan Abu Yazid,
waktu mengatakan "Aku Allah" atau إِنَّنِيْ أَنَااللهُ لَآإِلَهَ إِلَّا اَنَا فَاعْبُدُونِيْ (Sesungguhnya aku Allah, tiada
Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku).
Dengan kondisi "al-hal" yang demikian, sifat Uluhiyah sangat
mempengaruhi jiwa manusia, dengan cepatnya arus Uluhiyah yang melintasi jiwa manusia itu. Akibatnya, tidak satu
kekuatan yang dapat merintanginya pada setiap tingkatan "al-hal"
tersebut, yaitu kondisi yang disaksikan oleh para sufi pada tiap-tiap
tingkatan.
Isyarat
Keabadian Ilahi Dalam Kalimat Sahadat
Lafadz "Allah" adalah kata nafi (meniadakan yang lain) yang
sangat kuat di alam yang tinggi. Dengan lafadz itu hati manusia menjadi tinggi.
Barangsiapa yang kembali meniadakan setelah mengakui atau
menetapkan, maka ia tidak memiliki hakikat walau dalam ucapannya dia
melafalkan. Sebagaimana sikap dalam kalimat "Laa Syarika lahu" (tiada
sekutu bagi-Nya), yang meniadakan sekutu. Sekalipun kata sekutu ada di dalam
kalimat.
Setelah huruf nafi yang ada hanya dua alif. Makna dari kedua alif itu
adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Jika kedua huruf tersebut dihilangkan, maka tinggal
huruf ha' yang ada, dan itu adalah al-Huwa. Sesungguhnya sifat Awal bagi Allah
SWT, hanyalah sifat tambahan yang tidak memiliki hakikat bagi-Nya, karena
dengan wujud kita dan "barunya" hakikat kita, sudah cukup untuk mengatakan
bahwa Allah itu mempunyai hukum sebagai yang Maha Awal (al-Awwaliyyah),
begitupun dengan fana' (rusaknya) kita, jelas sekali bahwa Allah SWT mempunyai
sifat' al-Akhir. Adapun hakikat kita, seperti yang difirmankan oleh-Nya:
وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِن قَبْلُ
وَلَمْ تَكُ شَيْـًٔا
"dan sesungguhnya telah Aku
ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama sekali." (QS. Maryam: 9)
Maksudnya tidak ada hakikat sesuatu yang bisa disebutkan atau dia itu tidak
ada pada sebelumnya, sehingga hakikat kita seperti tidak ada, maka tidak
memiliki sifat awal dan tidak juga memiliki sifat akhir. Jika demikian, pada
dasarnya kami ini tidak memiliki hakikat, dan yang ada hanyalah Dia dan Dialah
yang dicari.
Keesaan Ilahi
Dalam Lafadz Allah
Huruf lam pertama di dalam lafadz Allah (أللهُ), adalah
huruf al-muarraf (yang dikenal) dan huruf at-ta'nf (pengkhususan). Sedangkan
huruf alif yang pertama adalah bermakna Allah, dan tidak sesuatu bersama-Nya.
Setelah itu, tinggal huruf "lam" kedua dan huruf "ha"'.
Bila pembahasan kita dilihat dari urutan nomor, maka huruf lam kedua adalah
berarti al-Malik (Raja). Maka dengan hilangnya huruf "alif dan huruf
"lam pertama", yang tinggal adalah "gambaran Din-Nya",
dan berupa lam al-Malik (Raja) sebagai lam kedua. Sedangkan huruf "ha"'adalah
kinayah dari غَيْبُ
الذَّاتِ الْمُطْلَقِ (yaitu Zat
Gaib Mutlak). Bila huruf ria' dilihat dari artikulasi (makhraj) huruf,
merupakan huruf yang dalam dan gaib di dalam diri manusia, dan ke-gaib-an huruf
itu adalah yang paling jauh. Isyarat ini mengandung makna bahwa, Allah SWT
tidak memiliki sekutu bersama-Nya. Ke-Esaan Allah merupakan wujud akan isyarat
huruf alif, dan huruf "lam pertama" sebagai simbul ma'rifat. Maka lam
kedua memberikan isyarat Maqam Malik (tinggalnya Raja).
Dengan adanya ide ma'rifat ini, lahir dan keluarlah wujud-wujud selain-Nya.
Huruf ha' mengandung isyarat alam dan huruf itu gaib, dan gaib itu adalah hanya
bagi seluruh alam selainNya, sehingga mereka kemudian mengatakan bahwa Allah
itu sebagai Zat yang gaib, dan itu adalah Huwa (هُوَ ) Maka dengan huruf alif, Dia menyebut Zat-Nya.
Adapun makna huruf ha' adalah bahwa, semua mahluk Allah menyebutNya, dan
dengan huruf lam pertama (lam al-makrifat) Allah SWT memperkenalkan Zat-Nya
sebagai Zat yang Azali.
Untuk huruf "lam kedua" bermakna sebagai lam Raja yang memberikan
isyarat, semua mahluk-Nya mengenal Zat-Nya yang Azali melalui pengetahuan yang
diperolehnya, dan lam kedua ini disebut dengan lam Ma'rifah, yakni pengetahuan
untuk mengenalNya. Sesungguhnya pada setiap wujud baik yang bersifat qidam
(lama) maupun yang al-muhdast (baru), sama-sama memiliki hakikat dan sifat.
Maka lihatlah betapa sempurnanya nama-nama tersebut.
Sedangkan huruf alif yang tampak setelah huruf lam al-Malik dan dalam
tulisan terkait dengan huruf ha', dan huruf wau gaib yang terdapat di dalam
huruf ha', jika ia diucapkan dengan ha' maka keduanya bermakna ruh.
Namun bila huruf wau yang gaib itu diucapkan kembali menjadi ya', maka wau
gaib itu bermakna "Jisim". Lain lagi jika huruf wau gaib itu
diucapkan menjadi alif, maka ia berubah makna menjadi "nafs (jiwa) al-Mitsliyyah"
(misal).
Huruf wau bisa berubah-ubah di dalam pengucapannya sesuai dengan hukum
pengucapannya. Hal tersebut, karena posisi huruf ha', yang bila diperhatikan dari
posisi huruf alif pertama, kedua huruf alif itu terpisah. Setelah itu muncul
huruf alif yang bersambung dengan huruf lam di dalam ucapan. Sementara
tinggallah huruf ha' sendirian tidak bersama yang lain. Bila huruf ha' itu
tidak dibaca, berarti as-Sakinah, yaitu "diam" atau
"tenang" sebagaimana tenang dan diamnya kehidupan bukan diam dan tenangnya dari
kematian. Bila huruf ha' dibaca dengan harakah, hal itu memerlukan orang yang
akan menyebutnya, (az-Zakir) dan yang demikian mengakibatkan tumbuhnya studi
huruf seperti yang pernah kami bicarakan.
Hubungan
Al-Huwa Dengan Alam
Anda bisa membuktikan, tentang apa yang telah kami telaah mengenai اَلَهِيْ, اَلْهَاءُ dan اَلْهُوَ. Dari beberapa huruf di atas, dapat dibaca dengan
bermacam-macam harakat, seperti:
أَللهَ -
dengan fathah
أَللهُ - dengan dhammah
أَللهِ - dengan kasrah. Sehingga huruf ha' di dalam kata اَلْهُوَ anda baca dengan harakah dhammah, huruf ha' pada kata اَلْهَاءُ anda baca dengan harakah fathah, dan huruf ha' pada kata اَلَهِيْ anda baca dengan harakat kasrah. Sekarang, hanya
tinggal huruf ha' yang dibaca dengan harakah sukun (mati), dimana huruf ha'
yang sukun itu, bermakna tsubut (menetapkan).
Al-Muhaimin
Dan Asma-Asma Allah Yang Lain
Apabila Allah SWT memiliki sifat al-Muhaimin yaitu yang menguasai atas
segala nama-nama-Nya. Dalam sifat al-Muhaimin itu tentu timbul semua
asma-asma-Nya. Dan jika asma-asma-Nya itu timbul ke permukaan, lapun ikut
muncul, bagaikan mengalirnya air di dalam air.
Semua asma-asma Allah itu menunjukkan tentang Yang Esa. Penentuan itu dalam
bentuk hukum dan bukti dan berada di segala penjuru dimana saja anda menghadap. Segala kisah
menampilkan asma-asma-Nya dan sifat ke-Ilahi-an sebagai Zat yang memiliki ilmu.
Disisi lain sifat ke-Ilahi-an itu pula yang menciptakan kisah-kisah.
Sepertinya permasalahan melingkar membentuk lingkaran siklus.
Kesaksian
Atas Zat-Nya
Hukum dan setiap nama, sesuai dengan kekhususannya di alam ini,
yang kekhususan itu sendiri hanya merupakan tambahan bagi alam, atas dasar
bahwa Allah sudah menjadi pusat dan penguasa. Hukum dimaksud adalah
sebuah kebingungan (al-Hirah), yang berada dan terjadi di atas segala sesuatu,
pada waktu sesuatu itu ingin diketahui dan disaksikan.
Kehadiran Uluhiyah adalah satu perbuatan dan itu adalah satu kesaksian yang hanya
disaksikan oleh selainNya. Maka dan itu, setiap orang yang membicarakan alam
kesaksian, sungguh tidak akan mengetahuinya (dengan sempurna), dia hanya akan
menghayal, dan itu berarti dia berada pada posisi salah. Dengan kesaksian yang
demikian - yaitu kesaksian "Hadhrah Al-Ilahiyyah al-fi'liyyah", mereka
umumnya mengesahkan hal ini, sampai-sampai di kalangan para rasionalis dan
kelompok ahli qiyas, termasuk Abu Hamid dan yang lain. Mereka pada
berkhayal bahwa ma'nfah tentang Dia itu lebih dahulu dari pada ma'rifah tentang
diri kita. Sebenarnya semua itu salah, sebab mereka mengenal Zat Allah
(Uluhiyah) dari sisi pembagian akal dimana mereka mengatakan segala yang wujud
ini terbagi dua bagian, yaitu, bagian yang memiliki awal dan bagian yang tidak
memiliki awal. Pendekatan mereka ini memang tidak salah, tetapi mereka tidak
membedakan antara Zat Tuhan sebagai Tuhan sebelum didahului pengenalan mereka
tentang hakikat diri mereka, dan Tuhan sebagai Zat yang dikenal dengan benar di
samping sebagai Tuhan. Pembicaraan kami di sini adalah masalah Uluhiyah, bukan
mengenai Zat yang bersifat qadim saja yang mustahil bagi-Nya sifat "Tidak
ada". Maka bagi mereka yang berpendapat salah seperti pernyataan di atas,
tentu tidak akan menetapkan Uluhiyah, yang biasa disebut "Allah”, kecuali
setelah mereka mengetahui Zat-Nya. Padahal syara' mengatakan dan mengajarkan
terlebih dahulu untuk mengetahui tentang ar-Rububiyah, seperti yang disebutkan
oleh Rasulullah saw.; "man 'arafa nafsahu faqadarafa rabbahu", (barang
siapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya) dimana beliau tidak
bersabda dengan ungkapan sebaliknya, "man 'arafa rabbahu faqad arafa
nafsahu". Jika sifat ar-Rububiyah dilihat sebagai zat yang dekat
dengan kita, maka ilmu kita tidak akari mengenalNya, kecuali dengan mengenal
diri kita lebih dahulu, lantas dimanakah letak anda dan dimanakah letak
Uluhiyah?.
Sebenarnya maqam Ilahi telah dijelaskan oleh syara', yaitu hadirat-Nya
merupakan "kebingungan", seperti yang disabdakan oleh Rasulullah
saw., pada waktu beliau ditanya: "Dimanakah Tuhan berada sebelum diciptakannya
langit dan bumi?". Rasulullah saw. menjawab:
"Dia berada di al-Ama', baik itu
dekat (qashr) atau jauh (mudd), di atasnya adalah udara dan dibawahnya juga
udara” (HR At-Tirmidzi
dalam Kitab At-Tafsir Nomor 3108, Al-Ama’ menurut Al-Azhari : Kami Tidak Mampu
mensifati, akan tetapi percaya dengannya)
Sungguh hadis di atas merupakan pernyataan yang meniadakan, di mana kata
qashr mengandung makna kebingungan, yang setelah itu dipergunakan untuk sebuah
nama, yaitu Allah. Oleh sebab itu, bashirah-bashirah dan mata hati menjadi
kebingungan untuk mengenal-Nya, sekalipun melewati berbagai penjuru wawasan.
Karena Dia tidak dibatasi oleh kata-kata "di mana"
Sedangkan kata al-Mudd, biasanya dipergunakan untuk arti "awan",
yakni udara yang mengandung zat air, yang mengandung muatan kehidupan, dari air
itujuga asal segala kehidupan. Dia dengan Zat-Nya tidak disebutkan dengan kata
"dimana", melainkan hanya disebutkan kepada-Nya "Wujud
al-Barzakh", yang ada diantara langit dan bumi. Di dalam barzakh-barzakh
itu, sungguh manusia mengalami kebingungan.
Bagaimana dengan orang yang dalam kondisi kebingungan?. Mereka akan seperti
melihat garis diantara bayangan dengan matahari. Dengan demikian, pada dasarnya kata
al-barzakh merupakan posisi kebingungan, dan yang ada di dalamnya hanyalah
kebingungan itu sendiri. Atas dasar ini, bagi setiap orang yang mendapatkan
sesuatu di dalam al-Barzakh, dituntut adanya kemampuan untuk beradaptasi, dan tidak
merasa asing di dalamnya. Pada ketika itu, jika engkau mengatakan bahwa Dia
(yang ada) itu adalah Allah, maka Dia memang Allah, dan sebaliknya jika engkau
mengatakan bahwa Dia itu bukan Allah, memang Dia bukan Allah. Itulah sebuah
kebingungan yang sungguh-sungguh membingungkan.
Penampakan
Sifat Ar-Rububiyah
Pada saat Allah SWT hendak menjadikan sebagian mahluk-mahlukNya kebingungan
dan sisi atau sudut pandang yangjauh, maka Allah SWT menciptakan qudrah
(ketentuan) baru sehingga ia memiliki kekuatan baru yang nantinya dapat
memberikan pengaruh. Setelah ia memiliki kekuatan baru dan pengaruh, Allah SWT
membuat tujuan agar kekuatan baru itu dapat direalisir dalam bentuk aksi. Maka
dari itu timbullah nanti apa yang sebelumnya belum pernah terjadi (ada).
Kekuatan yang baru (al-huduts) itu berkata: "Itu adalah
perbuatanku..." Kekuatan yang baru yang lain berkata: "Itu adalah
usahaku..." dan kekuatan baru yang ketiga berkata pula: "Itu bukanlah
perbuatanku dan juga bukan usahaku..."
Setelah itu kekuatan al-Qadim berkata: "Itu adalah perbuatanKu."
Al-Haq lalu berkata: "Tidaklah mustahil bagi orang yang memiliki akal yang
sehat untuk memiliki satu kekuatan diantara dua kekuatan itu. Adapun yang
mustahil adalah memiliki pengaruh diantara dua pengaruh itu." Sebab pengaruh
menjadi pendorong menuju tercipta-nya yang baru. Fahamilah pemisahan ini, insya
Allah engkau akan mendapatkan petunjuk.
Allah SWT adalah Zat yang tidak belajar dan tidak juga diajari, tidak bodoh
dan tidak dapat dibodohi, tidak diketahui dan tidak akan dapat tersaksikan...
dan tidak satu mahlukpun akan dapat menyaksikan-Nya walau melalui segala macam
cara, tidak dapat diakali dan tidak akan dapat diketahui. Hal-hal yang dapat
diketahui hanyalah yang terkait dengan nama-nama Uluhiyah dan nama-nama ZatNya
seperti ar-Rabbu, al-Malik dan al-Mukmin. Atas dasar ini al-Kitab dan as-Sunnah
mengatakan bahwa rukyat (melihat Allah) di akhirat nanti, adalah rukyat
ar-Rububiyah. Itulah sebabnya Nabi Musa as. di alam dunia ini berkata,
رَبِّ أَرِنِى أَنظُرْ إِلَيْكَ
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau" (QS. al-A'raf: 143)
dan Alqur'an pun menyebutkan keterangan selanjutnya.
فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ
"Tatkala Tuhannya menampakkan diri
kepada gunung itu" (QS. al-A'raf: 143)
Ayat di atas sama sekali tidak menyebutkan sifat al-Uluhiyah, bahkan hal
itu ditiadakan oleh-Nya, seperti yang difirmankan dalam sebuah ayat:
لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَٰرَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ
"Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dia-lah
yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. " (QS. al-An'am: 103)
Ini berarti untuk melihat Allah SWT ditutup oleh sifat ar-Rububiyah,
seperti yang difirmankan:
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ
نَّاضِرَةٌ
"Wajah-wajah (orang-orang mukmin)
pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannya mereka melihat." (QS. al-Qiyamah:22:23)
dan dipakai kalimat hijab dalam ayat:
كَلَّا إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ
"Sekali-kali tidak, sesungguhnya
mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari Tuhannya." (QS. al-Muthaffifin: 15)
Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda: "Kalian semua akan melihat
Tuhan kalian seperti Bulan Purnama," dan pada hadis lain: "Seperti
melihat matahari." Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, di dalam
Shahihnya:
"Sesungguhnya Tuhan akan
menampakkan kepada sekelompok orang di alam makhsyar, dan berfirman: "Aku
ini adalah Tuhan kalian semua". Mereka mengatakan: "Kami berlindung
kepada Allah dari-Mu, inilah tempat kami sampai datang
kepada kami Tuhan kami. Setelah Tuhan kami datang, kami mengetahuiNya".
Maka datanglah Allah SWT kepada mereka dalam bentuk yang mereka kenal, seraya
berfirman: "Aku ini adalah Tuhan kalian", mereka pun lantas menjawab:
"Engkau adalah Tuhan kami...
Yang tampak kepada mereka adalah ar-Rabb, dan mereka tidak mengenal kecuali
ar-Rabb. Begitu juga Dia tidak berhadapan dengan mereka, kecuali Dia sebagai
ar-Rabb. Allah SWT berfirman:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَٱلْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
"dan datanglah Tuhanmu; sedang
malaikat berbaris-baris" (QS. al-Fajr:22)
Seandainya di dalam rukyat itu terdapat lafadz ar-Rabb, maka yang
dikehendaki oleh lafadz itu adalah seperti yang telah kami jelaskan.
Sesungguhnya Allah SWT Maha Peliput107 dan Maha Pemersatu.
Ke-Esaan
Sifat Uluhiyah
Alangkah indahnya peringatan Allah SWT kepada NabiNya, dimana kami meniti
dan bersamanya, Dia berfirman:
فَٱعْلَمْ أَنَّهُۥ لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
"Maka ketahuilah sesungguhnya Tidak
ada Tuhan patut disembah melainkan Allah". (QS. Muhammad: 19)
Ayat di atas menunjukkan bahwa an-Nafyu (peniadaan), merupakan Ain
al-Itsbat (hakikat penetapan), dan itu sekaligus hakikat peniadaan. Semua sifat
ditiadakan kecuali sifat al-Uluhiyah. Sebab, jika al-Uluhiyah tidak ditetapkan,
tentu tidak sah bagi-Nya untuk menetapkan yang lain, dan sebaliknya, jika suatu
Zat tidak menetapkan untuk ZatNya, lalu menetapkan yang lain, itu merupakan
suatu kepalsuan.
Dengan demikian, al-Uluhiyah merupakan sebuah hakikat yang ditetapkan untuk
ZatNya, dan itu memang merupakan hakikat. Pembicaraan kami sekarang adalah
mengenai tingkatan hakikat, yang di dalamnya terdapat enam tingkatan, diantara
keenam hakikat terdapat hakikat al-Uluhiyah. Sebenarnya keenam hukum (keenam
tingkatan hakikat) adalah satu hakikat, dan tidak ada sesuatu bersama
denganNya. Alangkah halusnya isyarat syara' ketika mengatakan :
إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلْبٌ أَوْ
أَلْقَى ٱلسَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
"Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau
yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikan." (QS. Qaaf: 37)
Kata asy-Syahid adalah al-Huwa, al-Qalbu juga as-Sam'u.
Sehingga Rasulullah saw. bersabda:
"Allah, tidak ada sesuatupim
bersamaNya"
yang kemudian dilanjutkan oleh ulama Arif billah dengan ucapannya:
"Dia, pada sekarang ini tetap
Dia".
Dulu memang Dia, dan sekarangpun tetap Dia (al-Huwa) dan dimanapun akan
tetap Dia (al-Huwa).
Sementara kami ini, adalah mahluk yang diadakan olehNya. Sungguh suatu
keniscayaan kalau keadaan tetap keadaan, dan hakikat adalah tetap hakikat.
Sehingga tidak ada suatu keadaan, kecuali tampak lalu gaib, atau gaib lalu
tampak dan begitu seterusnya. Seandainya anda mengikuti apa yang terdapat di
dalam al-Kitab dan as-Sunnah, tentu anda tidak akan mendapatkan sesuatu,
kecuali "Satu yang Abadi" dan Dia adalah al-Huwa dan sampai sekarang
ini al-Huwa tetap gaib.
Yang Ada
Hanya Dia
Para ulama al-muhaqqiqun sepakat, Allah SWT tidak akan menampakkan diri111
pada seseorang dalam satu bentuk gambaran dengan dua kali kesaksian, dan tidak
satu gambaran bagi dua orang, hal ini merupakan fleksibilitas112.
Abu Thalib berkata: "Sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu",
tidak akan dapat dilihat, kecuali oleh "sesuatu yang tidak sama dengan
sesuatu" itu sendiri. Sebab, yang melihat adalah hakikat yang dilihat.
Allah SWT berfirman "
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
Laisa kamitslihi Syaiun" (QS.
42:11)
Seandainya ada seseorang yang mengatakan "Laisa kamitslihi
Syai-un" (Tidak ada sesuatu seperti Dia), maka sesuatu itu adalah Dia.
Jika huruf kaf (ك) Yang berarti penyerupaan
merupakan sifat atau hanya sekedar tambahan, maka bagaimana dengan sifat? Tentu
tidak akan diketahui. Namun jika kata itu berupa sifat, maka Abu Thalib tidak
akan mengatakan ungkapannya itu. Atau seandainya sesuatu itu bukan merupakan sifat,
maka Dia bukanlah al-Huwa (Allah). Padahal "sesuatu" itu adalah
al-Huwa dan al-Huwa adalah al-Huwa, maka tidak ada Huwa (yang lain) kecuali
Huwa.
Untuk menguatkan apa yang kami sebutkan mengenai Allah, maka akan kami
kemukakan sebuah sabda Rasulullah saw.
"Sesungguhnya Allah mempunyai
tujupuluh ribu hijab dari nur dan kegelapan, kalau saja Dia membukanya,
kesucian wajahNya akan membakar semua yang DilihatNya, dari mahluk-mahluk-Nya.
"
Itulah Allah, Dia adalah al-Huwa seperti yang telah kami kemukakan di
depan. Betapa Allah SWT telah banyak mengajarkan kepada Rasulullah SAW tentang alMaqamat
(tingkatan-tingkatan), lalu berapa banyak Allah SWT telah membuka tabir
rahasia kepadanya? Dalam pertanyaan tersebut, yang dimaksud bukanlah nilai
kwantitatif kejadian dimaksud, akan tetapi yang dimaksud adalah ungkapan bahwa
Zat Allah SWT tidak mungkin tampak (jadi ia hanya sekedar pertanyaan yang tiada
butuh jawaban, dan ia hanyalah penafian belaka, ed ). Pendapat di atas
diperkuat dengan pandangan "al-Bashar" (penglihatan), dimana
pandangan tersebut menunjukkan arti ungkapan yang paling mulia, karena
merupakan salah satu sifat Allah SWT.
Berbeda halnya dengan akal, yang fungsinya terkait dengan alam gaib (cepat
menyatakan sesuatu yang tidak dilihatnya sebagai yang gaib, ed.) Sedangkan bagi
al-Barri (Allah) tidak ada sesuatu yang gaib bagi-Nya. Semua yang ada bagi-Nya
merupakan alam as-Syahadah, maka tepat sekali penggunaan kata al-Bashar bukan
al-Aqlu.
Yang Sempurna
Tanpa Disempurnakan
Pada bab ini, akan kami bahas mengenai Hadrah al-Hirah (hadrah
kebingungan), yang dijumpai oleh orang-orang yang memasuki hadrah ini dan
melihatnya, baik oleh para pemikir atau ahli "al-Istibshar" mengenai
sifat-sifat-Nya. Maksud mereka masuk kedalamnya adalah untuk meneliti ada tidaknya
sifat-sifat tersebut.
Adapun mengenai hukumnya, di antara mereka tidak ada perbedaan pendapat.
Kebingungan yang dimaksud adalah yang dimiliki oleh mereka yang berupaya
menetapkan sifat hakikat, yang melebihi dari yang disifati. Jika demikian,
berarti dari beberapa segi ia telah menetapkan bilangan "banyak" dan
"kurang" kepada Allah. Padahal Allah SWT Esa, Zat-Nya Maha Sempurna
dan Tidak memerlukan yang lain. Lalu bagaimana dengan masalah di atas?
Jika kami mengatakan "tidak lazim" untuk penambahan tersebut,
berarti menetapkan bilangan sebuah wajah. Yang demikian memberikan pengertian
bahwa kami mengakui sesuatu yang lebih bahaya dari pada sekedar menetapkan
bilangan lebih, yaitu Zat itu sempurna dengan tanpa yang lain-Nya, artinya
sesuatu itu "kurang" (karena menetapkan zat itu dipengaruhi oleh
posisi selainNya).
Bagi orang yang meniadakan hakikat-hakikat sifat-Nya itu, dan lari dari dua
posisi, yaitu posisi "lebih" dan "kurang", pasti ia
mendatangkan masalah baru, yaitu "hukum" tidak bisa dijadikan dalil
atau tidak memiliki kekuatan di hadapan orang-orang yang mengenal Allah,
khususnya di dalam memberikan hukum Tentang "ZatNya Yang
Transendental".
Sesungguhnya jika Zat itu ditetapkan sebagai Zat yang Kuasa dengan
sendirinya bagi hakikatNya, maka akan terjadi pemahaman, "sebuah perbuatan
itu" adalah bersifat Azali, dan ini tentu mustahil..., sehingga penetapan
"ZatNya kuasa atas DinNya" adalah juga omong kosong.
Keterbatasan
Akal Untuk Mengenali Kegaiban
Sesungguhnya hati tidak akan mendapatkan "kejelasan" dengan hanya
mengadakan Qiyas (analogi) akan sesuatu yang tampak kepada yang gaib, khususnya
setelah sifat lemahnya kekuatan akal bukan lagi rahasia. Dari manakah akal itu?
Dan manakah rangkaian keterangan yang menunjukkan kepada akal itu? Di sini,
kelemahan akal semakin nampak. Karenanya, mendahulukan akal adalah sikap yang tidak
terpuji. Banyak hal yang tidak dapat diketahui melalui akal kecuali dengan
al-Musyahadah,
Rukyat atau lewat Ta'rif (pengenalan). Apabila ia mampu dicapai dengan
cara-cara selain tersebut tentu suatu kebohongan dan kepalsuan. Sebab itu,
sudah seyogyanya bagi para penganut aliran yang mengandalkan akal (rasionalis)
mengakui tentang "wujud" dan "hukum-hukum sifat", dan tidak
perlu dimasalahkan apakah untuk menetapkan rukyat atau meniadakannya. Sebab
sudah pasti, akal sangat lemah dihadapan masalah-masalah di atas, bahkan ia
juga lemah untuk masalah yang lebih ringan dari rukyat. Lihatlah keajaiban
isim-isim (nama-nama) dan kalimat-kalimat yang mengagumkan di alam ini! Sungguh
akal akan mengalami kebingungan dan buta.
Sungguh aku melihat kalangan rasionalis dalam kebingungan, mereka tidak
sepakat di dalam menentukan rukyat, selain tidak mampu menetapkan atau
meniadakannya. Sebaliknya bagi penganut al-musyahadah, ketika sudah tampak
bagi mereka, mereka ada yang mengingkarinya sendiri, karena dianggap tidak
sesuai dengan ilmu mereka. Dalam hal ini, kami hanya mengatakan kepada mereka
Naudzubillah min dzalik (Aku berlindung kepada Allah dari sikap seperti itu).
Dalam pandangan umum, rukyat Zat (Allah), merupakan indikasi yang jelas dan
tetap.
Akan tetapi cobalah sekali lagi, bandingkan dengan keadaanmu waktu kamu
berkaca didepan cermin, dimana engkau melihat bayangan posturmu tidak sesuai
dengan postur aslimu, yang disebabkan posisimu saat berkaca berada disamping
cermin. Saat itulah, jangan lantas engkau salahkan cermin yang kamu pakai, akan
tetapi salahkan dirimu dan perbaiki posisi berkacamu. Engkau akan melihat
gambarmu secara benar dan itulah yang benar!.
Bersikap
Optimis Mengenali "Al-Huwa"
Bila engkau batasi pencaharianmu dengan hanya mencukupkan diri pada intuisi
yang hanya bersifat rasional, engkau akan kehilangan kebaikan yang banyak. Jika
pembatasan tersebut terjadi dalam diri ahli al-musyahadah, kerugian akan lebih
besar lagi, dibanding kerugian yang ditanggung mereka (rasional), khususnya
ketika terjadi al-musyahadah.
Sebenarnya di kalangan ahli rukyat sendiri juga tumbuh kebingungan,
manakala terjadi perbedaan kesaksian setiap kali rukyat, dan kebingungan yang
sama juga dialami oleh para ahli al musyahadah. Seandainya al Huwa itu
merupakan Zat yang zahir, tentu antara ahli rukyat dan ahli al-musyahadah tidak
akan berbeda pendapat. Akan tetapi, jika al-Huwa itu sebagai Zat yang zahir, tentu itu
bukan al-Huwa. Maka dari itu, perbedaan dan kebingungan akan tetap terjadi.
Dalam hal ini kami coba tuangkan sebuah syair:
"Jika aku menginginkan
keberadaan kesenangan maka harus aku bagikan apa yang aku miliki kepada
orang-orang yang memiliki hutang. Dan jika tempat keberadaannya itu aku
lenyapkan dari mataku niscaya dia akan hadir dihadapanku secara
diam-diam."
Dengan demikian, Dia (Allah) akan hadir, bila "aku" telah tiada,
sebab selama aku masih ada, dan mengharap kehadiran-Nya, maka aku dan Dia
menjadi suatu keharusan, dan mesti terjadi. Ketahuilah bahwa, yang mesti
terjadi itu adalah "Dia", sebab Dialah yang kekal, dan aku tidak
mungkin kekal bersama "Dia".
Sesungguhnya al-Huwa tidaklah berasal dari diri-Nya, bukan pula di
dalam-Nya dan juga tidak berada pada selainNya... Disinilah letak al-Hirah
al-Ilahiyyah (kebingungan Ilahi). Allah SWT berfirman:
وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ
وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ رَمَىٰ
"dan bukanlah kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar." (QS. al-Anfal: 17)"
Lakukanlah wahai hamba-Ku, sebab sebenarnya bukanlah engkau yang melakuan,
akan tetapi Aku-lah pelakunya. Dan Aku tidak melakukannya kecuali dengan
mengikutsertakan engkau. Sebab, Aku tidak akan mungkin melakukan sesuatu
bersama-Ku. Maka dari itu sesuatu itu harus berasal dari dirimu, sedang Aku
hanya melakukan seperlunya, dan itu suatu keharusan bagi-Ku, dan permasalahan
ada di tangan-Ku juga pada tanganmu..." Sungguh ini ungkapan kebingungan,
kebingungan yang sangat membingungkan...
Seringkah aku katakan:
"Tuhan adalah Haq, dan hamba adalah
juga Haq... Seandainya aku dapat menjadi seorang penentu...
"Tetapi jika aku katakan penentu
itu seorang hamba, maka kehambaan itu yang meniadakan, atau aku katakan Tuhan,
maka tidaklah mungkin bagi Tuhan dikenakan ketentuan..."
Juga:
"Kebingungan dari kebingungan
keluar, seandainya disana aku tergolong orang yang tidak dibingungkan. Sebab
aku hanya sebagai sosok yang terpaksa, aku tidak memiliki kekuatan... dan yang
aku lakukan hanyalah karena keterpaksaan...
Sementara Zat yang aku jadikan sebagai
sandaran perbuatanku, memiliki perbuatan yang tidak dapat aku pilih.
Jika aku mengatakan "ya"Dia
mengatakan "jangan", dan jika Dia mengatakan "ya", tidak
akan ada satu mahlukpun yang akan iri..."
Maka dari itu antara aku dan Dia berada pada
titik yang jelas-jelas tidak memiliki kepastian untuk bertemu...
"Aku heran akan suatu beban dari
Dia, yang Dia ciptakan. Sementara setahuku, aku tidak ada kemampuan
bertindak...
Seujung rambut dariku, siapa yang
membebankan... Di sana tiada lain selain Allah, bukan lainNya. "
Memang ungkapanku (penulis) tersebut sering memancing orang untuk
bertanya. Sebab yang aku ungkapkan tersebut adalah awal dari pintu kebingungan
Ilahiyah, seperti yang difirmankan oleh-Nya.
مَا يُبَدَّلُ ٱلْقَوْلُ لَدَىَّ وَمَا أَنَا بِظَلَّٰمٍ لِّلْعَبِيدِ
"Keputusan di sisi Ku tidak dapat
diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku." (QS. Qaaf: 29)
Bagi mereka yang berakal, sudah pasti akan melaksanakan dan mengambil
firman di atas, tanpa surut dan banyak pertimbangan... Namun bagi yang
menyelami ilmu batin, dia akan menjadikannya sebagai pintu kebingungan, dan
mereka dipaksa berada pada kondisi kebingungan..., sebab begitulah kemampuan
mereka. Coba bandingkan, sebagaimana halnya salat yang pertama kali diwajibkan lima puluh kali,
kemudian diringankan menjadi lima kali (karena ketidakmampuan). Dan tidak dapat
dikurangi menjadi lebih sedikit lagi. Demikianlah, ia tidak tetap pada
ketentuan lima puluh kali seperti awal perintahnya...
Demikianlah yang dapat kami ketengahkan dari sekian rahasia dari lafadz
"al-Jalalah (Allah)", dan itu belumlah seluruhnya, karena
keterbatasan kemampuan dan waktu yang kami miliki, segala puji hanyalah milik
Allah SWT semata. .
Dengan segala pujiNya, selesai sudah kitab al-Jalalah, dan dengan
pertolongan-Nya pula kami haturkan puji syukur kepada-Nya, dengan harapan,
semoga Allah SWT memberikan kesejahteraan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW., serta kepada seluruh sanak kerabatnya... amin ya rabbal
alamin...
[1] Al
Awwahu atau al-Muqinu adalah orang yang yakin atau yang selalu berdoa, atau
juga yang memiliki sifat pengasih, lembut hati dan cepat mengerti
0 comments:
Posting Komentar
Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun