Pendahuluan
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi
Allah Yang Maha-kuasa lagi Maha Mengetahui, Maha Melihat lagi Mahalembut, Maha
Pemurah lagi Mahamulia, Tuhan Yang Maha Pengasih, Penurun adz-Dzikr al-Hakim
dan Al-Qur`an al-`Azhim kepada utusan-Nya dengan din yang
benar dan jalan yang lurus. Shalawat dan salam serta puji-pujian yang tak
terhingga banyaknya semoga selalu dilimpahkan kepada seorang penutup risalah
Tuhan, pelita dalam kegelapan dan kesesatan, yang mendapatkan kemuliaan dan
amanah untuk menyampaikan Kitabullah kepada seluruh umat manusia, yaitu
Nabi Besar Muhammad saw, nabi yang ummi dan orang Arab yang amiin (paling
terpercaya). Demikian juga shalawat dan salam untuk keluarganya yang menjadi
penunjuk bagi para pen-cari hidayah, dan untuk sahabat-sahabatnya yang baik dan
mulia.
Ilmu pengetahuan
adalah keutamaan yang paling mulia, martabat yang paling luhur, kehormatan yang
paling indah, dan perdagangan yang paling menguntungkan, karena ia mengantar-kan
kepada pengesaan Tuhan alam semesta dan pembenaran nabi-nabi utusan-Nya—semoga
Allah memberikan shalawat kepada mereka semua.
Para ulama
merupakan hamba-hamba utama Allah yang dipilih dan diberi-Nya hidayah untuk
mengetahui ajaran-ajaran agama, semata-mata karena karunia-Nya yang istimewa.
Mereka itu adalah laksana para nabi dan rasul yang merupakan orang-orang yang
terkemuka dan sempurna di antara kaum Muslim. Allah Ta`ala berfirman,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا ٱلْكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ
لِّنَفْسِهِۦ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِٱلْخَيْرَٰتِ
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang
yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih
dulu berbuat kebaikan."(QS. Fathir:
32)
Nabi Muhammad
saw bersabda,
العلماء ورثةالانبيا ءبالعلم ويحبحم اهل السماء ويستغفر لهم الحيتا
ان فى البحا ر الى يو م القيا مة
"Ulama itu adalah pewaris para nabi lantaran ilmu,
mereka dicintai oieh sekalian penduduk langit dan senantiasa didoakan oleh
ikan-ikan paus yang berada di samudera, hingga hari Kiamat." [1]
Nabi saw juga
bersabda,
يبعثالله الخلق يوم القيامة ثم يميز العلماء فيقول الله تعالى يامعشر
العلماء إنى لم أ ضع علمى فيكم إلا لعلمى بكم ولم أضعه فيكم لأ عذ بكم انطلقوا
إلى الجنة فقد غفرت لكم
"Kelak Allah Ta`ala akan membangkitkan sekalian
hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat, kemudian memisahkan para ulama di antara
mereka seraya berkata, `Wahai sekalian ulama, aku titipkan ilmu-Ku kepada
kalian karena Aku mengetahui betul siapa kalian. Aku menitipkannya bukanlah
untuk mengazab kalian. Sekarang, masuklah kalian ke dalam surga, karena Aku
telah mengampuni dosa-dosa kalian.`"[2]
Amma Ba`du. Allah
Ta`ala menciptakan roh Nabi Muhammad saw pertama kali dari cahaya keindahan-Nya
sebagaimana disebut-kan dalam sebuah hadits Qudsi,
خلقت روح محمد صلى الله عليه و سلم من نوروجهى
"Aku menciptakan Muhammad pertama kali dari Cahaya
Wajah-Ku," [3]
dan sabda Nabi
saw yang berbunyi,
أَوَّلَ
مَا خَلَقَ اللَّهُ رُوْحُ
"Yang pertama diciptakan oleh Allah adalah rohku,
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ نُوْرَى
yang pertama diciptakan oleh Allah adalah cahayaku”
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ
“yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Qalam (Pena)
وَأَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْعَقَل
dan yang pertama diciptakan oleh Allah adalah akal."
Yang dimaksud
dengan semua itu adalah satu, yaitu Hakikat Muhammad. Beliau disebut sebagai
"cahaya" karena ia bersih dari sesuatu yang kegelapan. Allah Ta`ala
berfirman,
قَدْ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٌ وَكِتَٰبٌ مُّبِينٌ
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari
Allah dan Kitab yang menerangkan." (QS. al-Ma`idah [5]: 15)
Beliau disebut
sebagai "akal" karena ia mengetahui segala universalitas, disebut
sebagai "pena" lantaran ia sebagai sebab sekunder untuk menyampaikan
ilmu seperti pena yang menjadi sebab sekunder untuk menyampaikan ilmu dalam
bentuk huruf-huruf. Dengan demikian, roh Muhammad adalah intisari alam semesta,
ciptaan yang pertama, dan asal semua ciptaan. Rasulullah saw bersabda,
أَنَا مِنَ اللَّهِ ، وَالْمُؤْمِنُونَ مِنِّي
"Aku
berasal dari Allah, dan kaum Mukmin berasal dari diriku."
Dari Roh
Muhammad itu terciptalah seluruh arwah di Alam Ketuhanan dalam bentuk hakiki
yang paling baik. Itulah dia hajalah al-uns (negeri asal) bagi mereka di
Alam tersebut.
Setelah berlalu
selama empat ribu tahun, Allah Ta`ala mencipta-kan `Arasy Ilahi dari cahaya
mata Muhammad saw, begitu juga dengan semua universalitas lain. Kemudian,
barulah seluruh arwah dikembalikan kepada tempat ciptaan yang
serendah-rendahnya, yaitu jasad. Allah Ta`ala berfirman,
ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ
"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya."
(QS. at-Tin [95]: 5)
Maksudnya, Allah
Ta`ala menurunkan mereka pertama kali dari Alam Ketuhanan ke alam jabarutالجبروت (kemahakuasaan),
kemudian dengan cahaya kekuasaan-Nya, la pakaikan kepada mereka sebuah jubah di
antara dua kesucian yang disebut dengan ruh sulthani (الروح السلطانى). Setelah itu,
Dia turunkan mereka dengan jubah itu ke alam Kerajaan Bathiniah, lalu
membungkus mereka dengan cahaya kekuasaan, yang dinamakan dengan ruh rawwani
(الروح الروحانى), lalu menurunkan
mereka ke alam Kerajaan Lahiriah, yaitu ruh jasmani (الروح الجسما نى). Terakhir,
barulah Allah menciptakan jasad-jasad sebagai tempat mereka. Allah Ta`ala
berfirman,
مِنْهَا خَلَقْنَٰكُمْ
"Dari bumi itulah Kami menciptakan kalian (QS. Thaha [20]: 55)
Kemudian, Allah Ta`ala
memerintahkan roh-roh untuk masuk ke dalam jasad-jasad sehingga mereka pun memasukinya
dengan perintah tersebut. Dia berfirman,
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى
"Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Ku." (QS. al-Hijr [15]:
29)
Setelah arwah
masuk ke dalam jasad-jasad, mereka melupakan janji mereka terhadap Allah bahwa
mereka mengaku ber-Tuhan kepada Allah Ta`ala
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" (QS. al-A`raf [7]: 172)
Sehingga mereka
tidak kembali kenegeri asal". Allah Ta`ala Yang Maha Penyayang dan Maha
Penolong merasa kasihan kepada mereka, sehingga Dia turunkan sebuah Kitab yang
akan mengingatkan kembali kepada mereka akan negeri asal tersebut. Allah Ta`ala
berfirman,
وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ
"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari
Allah," (QS. Ibrahim [14]: 5)
yaitu hari-hari
bersatunya Allah dengan arwah. Karena itu, semua nabi—semoga Allah memberi
shalawat untuk mereka semua—hadir di dunia ini untuk menyam-paikan peringatan
tersebut. Akan tetapi, amat sedikit orang yang menghiraukan peringatan itu,
sehingga banyak yang melupakan-nya dan tidak merasa rindu sedikit pun untuk
kembali ke negeri asalnya itu.
Demikianlah,
halnya keadaan mereka sepanjang sejarah nabi-nabi, sampai pada akhirnya datang
Nabi Muhammad saw, seorang nabi penutup dan yang paling mulia di antara para
nabi. Allah Ta`ala mengutusnya kepada manusia yang lalai untuk membuka mata
sanubari mereka dari kelelapan dan kelalaian serta mengajak mereka untuk
kembali bersatu dengan Allah Ta`ala dan berjumpa dengan keindahan-Nya. Allah Ta`ala
berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
"Katakanlah, `Inilah jalan [agama]-Ku. Aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah." (QS. Yusuf [12]: 108)
Bashirah adalah
mata ruh yang terbuka pada kedudukan spiritual hati para wali yang tidak
dapat diraih dengan ilmu zahir, melainkan dengan ilmu batin laduni. Allah Ta`ala
berfirman,
وَعَلَّمْنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا
"Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami." (QS. al-Kahfi [18]: 65)
Oleh sebab itu,
manusia wajib mencari ilmu tersebut kepada orang-orang yang memiliki sanubari
dengan cara mengikuti petunjuk dari wali pembimbing spiritual yang memberi
kabar dari Alam Ketuhanan.
Karena itu, wahai
saudara-saudara, waspadalah dan bersegeralah mencari ampunan dari Tuhanmu
dengan cara bertobat, bergabunglah ke dalam jalan spiritual, dan pulanglah
kepada Tuhanmu bersama kafilah rohani ini, sebab sebentar lagi jalan itu akan
terputus dan tidak akan ada lagi teman menuju Alam tersebut. Ingatlah bahwa
kita hadir bukanlah untuk membersihkan dunia yang rendah dan porak-poranda ini,
dan merasa puas dengan perkara-perkara psikologis yang kotor. Ketahuilah bahwa
Nabi Muhammad saw sedang menunggu kalian dengan perasaan gundah. Beliau saw
bersabda,
غمى لأجل أمتى الذ ين في آخر الزمان
"Aku merasa gundah karena umatku yang hidup di akhir
zaman." [4]
Ketahuilah bahwa
ilmu pengetahuan yang diturunkan kepada kita ada dua macam: zahir dan batin,
yaitu syari`at dan ma`rifat. Allah Ta`ala memerintahkan syari`at untuk zahir
kita, dan ma`rifat untuk batin kita, agar penggabungan di antara keduanya dapat
menghasilkan ilmu hakikat. Allah Ta`ala berfirman,
مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا
يَبْغِيَانِ
"Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing"
(QS. ar-Rahman [55]: 19-20)
Jika tidak, maka
ilmu pengetahuan zahir saja tidak menghasilkan hakikat dan tidak meng-antarkan
kepada tujuan, sedangkan ibadah yang sempurna adalah berkat kedua ilmu itu,
bukan dengan salah satunya saja. Allah Ta`ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku." (QS.
adz-Dzariyat [51]: 56)
Artinya, supaya
mereka mengenalku—sebab orang yang tidak mengenal-Nya tidak mungkin
menyembah-Nya.
Ma`rifat
diperoleh berkat tersingkapnya tirai jiwa dari cermin hati dengan cara
menjernihkannya, sehingga terlihat di dalamnya keindahan kekayaan yang
tersimpan di dalam misteri relung kesadaran hati. Allah Ta`ala berfirman dalam
hadits Qudsi,
كنت كنزاًمخفياً فأهببت أن أعرفخلقت الخلق فى عرفونى
"Aku adalah kekayaan yang tersimpan, lalu Aku ingin
dikenal, maka Aku menciptakan makhluk agar Aku dikenal." [5]
Oleh sebab Allah
Ta`ala telah menjelaskan bahwa penciptaan manusia adalah supaya mereka
mengenal-Nya, maka pastilah mereka berkewajiban untuk mengenal-Nya.
Ma`rifat ada dua
macam: ma`rifat Sifat Allah dan ma `rifat Eksistensi Allah. Ma`rifat Sifat
Allah merupakan bagian jasad di dunia dan akhirat, sedangkan ma`rifat
Eksistensi merupakan bagian roh (kesucian) di akhirat. Allah Ta`ala berfirman,
وَأَيَّدْنَٰهُ بِرُوحِ ٱلْقُدُسِ
"Dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus," (QS. al-Baqarah [2]: 87)
dan mereka
diperkuat oleh Ruhul Qudus.
Kedua ma`rifat
itu tidak dapat diperoleh kecuali dengan dua ilmu, yaitu ilmu zahir dan ilmu
batin. Rasulullah saw bersabda,
العلم علما ن علم باللسان وذلك حجة الله على عباده وعلم با لجنان
فذ لك العلم النافع لحصول المقصود والانسان يحتاج
“Ilmu pengetahuan ada dua macam: Pertama, ilmu dengan
lisan, inilah dia hujjah Allah terhadap manusia. Kedua, ilmu dengan hati, dan inilah
dia ilmu yang berguna." [6]
Pertama-tama,
manusia membutuhkan ilmu syari`at supaya roh mengajarkan badan agar berusaha
dengannya, dan ilmu syari`at itu bertingkat-tingkat. Kemudian, manusia
membutuhkan ilmu batin supaya roh mengajarkan dirinya sendiri untuk berusaha
mengetahui ilmu ma`rifat. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan meninggalkan
aturan-aturan yang bertentangan dengan syari`at dan jalan spiritual, juga
dengan melakukan berbagai kesukaran nafsani dan rohani demi meraih keridhaan
Allah Ta`ala tanpa sok pamer dan mengharapkan penghormatan. Allah Ta`ala
berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا
صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Maka, orang yang mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia
memper-sekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.7` (QS. al-Kahfi [18]: 110)
Alam Ma`rifat
adalah Alam Ketuhanan yang merupakan negeri asal tempat terciptanya roh suci
(roh qudus) dalam bentuk yang paling baik. Roh Qudus disini maksudnya adalah
Manusia Hakiki yang diletakkan di dalam relung kesadaran hati. Wujudnya menjadi
nyata dengan adanya tobat dan talqin, serta melanggengkan kalimat la ilaha
ilia Allah dengan lidahnya pertama kali, lalu terpatri ke dalam hatinya,
setelah itu barulah dengan lidah jiwa. Para sufi menyebutnya sebagai "anak
makna-makna", sebab ia adalah di antara makna-makna kesucian. Disebut
sebagai "anak" karena beberapa segi:
Pertama, "anak
makna-makna" itu terlahir dari hati sanubari seperti lahirnya anak dari
seorang ibu, lalu hati merawatnya sampai besar dan menjadi dewasa seperti ibu
merawat anaknya.
Kedua, ilmu
biasanya diajarkan kepada anak-anak, maka ilmu ma`rifat juga biasanya diajarkan
kepada anak makna-makna ter-sebut.
Ketiga, seorang
anak suci dari kotoran-kotoran dosa, dan anak makna-makna itu pun suci dari
kotoran syirik, lalai, dan fisiologis.
Keempat, kebanyakan
kandungan roh terlihat dalam bentuk yang jernih seperti yang dimiliki oleh
seorang anak, sehingga ia terlihat di dalam mimpi-mimpi dalam bentuk pemuda
yang amat tampan seperti malaikat.
Kelima, Allah
Ta`ala menggambarkan anak-anak yang berada di dalam surga-Nya bersifat
kekanak-kanakan. Dia berfirman,
يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَٰنٌ مُّخَلَّدُونَ
"Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap
muda," (QS. al-Waqi`ah [56]: 17)
dan
غِلْمَانٌ لَّهُمْ كَأَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ مَّكْنُونٌ
"Anak-anak muda untuk melayani mereka, seakan-akan
mereka itu mutiara yang tersimpan." (QS.
ath-Thur [52]: 24)
Keenam, sebutan
anak makna-makna itu diberikan kepadanya dengan pertimbangan kelembutan dan
kebersihannya.
Ketujuh, penamaannya
dengan anak makna-makna adalah penamaan secara metaforis dengan pertimbangan
keterikatannya dengan badan, dan merepresentasikannya ke dalam bentuk manusia
berdasarkan penamaan tersebut adalah karena keindahannya, bukan karena
menganggapnya kecil, juga berdasarkan pandangan kepada awal keadaan sang
manusia hakiki, karena ia memiliki keakraban dengan Allah Ta`ala.
Fisik dan
fisiologis bukanlah penghalang baginya. Nabi saw bersabda,
مَعَ اللَّهِ وَقْتٌ لا يَسَعُ فِيهِ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ ، وَلا
نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
"Aku memiliki waktu bersama Allah yang tidak
disertai baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun nabi
utusan-Nya." [7]
Yang dimaksud
dengan nabi utusan Allah adalah kemanusiaan Nabi saw, sedangkan malaikat yang
dekat dengan-Nya adalah kerohaniannya yang tercipta dari Cahaya Tuhan Yang
Mahakuasa yang tidak dapat memasuki Cahaya Ketuhanan. Nabi saw bersabda,
إن الله جنة لا فيهاحور ولا قصور ولا عسل ولا لبن بل أن ينظر إلى وجه
الله تعالى
"Allah memiliki surga yang di dalamnya tidak
terdapat bidadari, istana, taman, madu, ataupun susu, melainkan hanya berisi
pandangan kepada wajah Allah, seperti disebut dalam firman-Nya,
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ
"Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.`" (QS. al-Qiyamah [75]: 22-23)
Nabi saw
bersabda,
سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَر ليلة البدرو
"Kalian akan melihat Tuhan kalian seperti melihat
bulan pada malam purnama." [8]
Jika malaikat
dan sifat-sifat fisiologis masuk ke Alam Ketuhanan tersebut, keduanya pasti
terbakar. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
لوكشفت سبحات وجه جلا لى لأ حر قت كل ما انتهى إليه بصرى
"Jika kesucian wajah-Ku tersingkap, pasti terbakar
semua yang tersentuh pandangan-Ku."
[9]
Jibril as
bersabda,
لَوْ دَنَوْتُ أَنْمُلَةً لَاحْتَرَقْتُ
"Jika aku mendekati alam itu sedikit saja, aku pasti
terbakar." [10]
Kitab ini
terdiri dari 24 bagian, sesuai dengan jumlah huruf Hijaiyyah yang terdapat
dalam kalimat la Ilaha illa Allah Muhammadur Rasulullah dan sesuai dengan
jumlah jam sehari semalam.
1. Kembalinya Manusia ke Negeri Asal
الفصل الاول فى بيان رجوع الانسان إلى وطنه الاصلى
Manusia terdiri
dari dua unsur: jasmani dan rohani. Jasmani adalah `manusia umum`, sedangkan
rohani adalah `manusia khusus` yang mengabdikan diri dan jiwanya menuju
al-qurbah (dekat dengan Allah Ta`ala) yang merupakan negeri asalnya.
Kembalinya `manusia
umum` ke negeri asalnya adalah pulangnya ia menuju surga yang
bertingkat-tingkat, sebagai imbalan dari pengamalannya terhadap ilmu syari`at,
tarekat, dan ma`rifat, dengan syarat pengamalannya tersebut bersih dari segala
yang berbentuk riya`(sok pamer) dan sum`ah (mencari pujian).
Tingkatan-tingkatan surga tersebut itu ada tiga:
Pertama, pulang
ke surga yang terletak di `alam al-mulk (Alam Kerajaan Lahiriah), yaitu
surga Ma`wa.
Kedua, pulang
ke surga yang terletak di `alam al-malakut (Alam Kerajaan Batiniah),
yaitu surga Na`im.
Ketiga, pulang
ke surga yang terletak di alam al-jabarut (Alam Tuhan Yang Mahakuasa),
yaitu surga Firdaus.
Semua itu adalah
nikmat yang bersifat jasmani yang tidak akan bisa diperoleh melainkan dengan
adanya tiga macam ilmu, yaitu ilmu syari`at, ilmu tarekat, dan ilmu ma`rifat,
sebagaimana Rasulullah saw bersabda,
الحكمة الجا معة معرفت الحق والعمل بحاومعرفة الباطن
"Hikmah yang sempurna adalah pengetahuan tentang
al-Haq (Allah, Sang Mahabenar), sedangkan mengamalkannya adalah pengetahuan
tentang batin." [11]
Rasulullah saw
juga bersabda,
اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتبا عه وارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
"Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu
sebagai kebenaran, kemudian anugerahilah kami kemampuan untuk mengikutinya, dan
tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan, kemudian anugerahilah
kami kemampuan menghindari-nya." [12]
Dalam hadits
yang lain beliau saw bersabda,
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ
فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
"Barangsiapa yang benar-benar mengenal dirinya, dia
pasti akan mengenal Tuhannya, lalu ia pun mengikuti-Nya." [13]
Adapun `manusia
khusus`, maka kembalinya ia ke negeri asalnya yang disebut dengan `alam
lahut (Alam Ketuhanan) adalah disebabkan lantaran ibadahnya yang luar biasa
dalam setiap keadaan. Bahkan, walaupun raganya tidur, namun hatinya masih
sempat untuk pergi ke `alam lahut-nya itu, baik secara universal maupun
particular, sebagaimana firman Allah Ta`ala yang ber-bunyi,
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ
تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى
عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
"Allah memegang jiwa seseorang ketika orang itu mati
dan memegang jiwa orang yang belum mati ketika orang itu tidur, Maka, Dia
menahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan jiwa yang
lain sampai waktu yang ditentukan." (QS.
az-Zumar [39]: 42)
Oleh sebab
itulah Rasulullah saw bersabda,
نوم العالم خير من عبادة الجاهل
"Tidurnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya
orang jahil". [14]
Hal ini baru
bisa terwujud jika hatinya telah hidup, disinari cahaya tauhid, dan lidah
hatinya yang tanpa huruf-huruf dan tanpa suara amat akrab dengan asma-asma
tauhid, sebagaimana firman Allah Ta`ala dalam sebuah hadits Qudsi mengatakan,
الا نسان سرى واناسره
"Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah
Rahasianya." [15]
Allah berfirman
dalam hadits Qudsi juga,
إن علم الباطن سرمن سرى أجعله في قلب عبادى ولا يقف عليه أحد غيرى
"Ilmu batin adalah salah satu rahasia-Ku, Aku
jadikan ilmu itu di hati hamba-Ku yang tidak seorang pun selain diri-Ku
mengetahuinya."[16]
Dalam hadis qudsi lainnya Dia berfirman:
أنا عند ظن عبدى نى وانا معه حين يذكر نى وإذاذ كرنى فى نفسه ذكرته فى نفسى
وإذاذ كرنى في ملأ ذ كرته فى ملأ أحسن منه
Aku seperti sangkaan
hamba-Ku. Jika ia mencari dan mengingat-Ku, Aku bersamanya. Jika ia
mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku
dan menyebut nama-Ku dalam kelompok, Aku akan mengingatnya dan menyebutnya
sebagai hamba-Ku yang saleh dalam kelompok yang lebih baik.
Yang dimaksud
dengan wujud manusia adalah `Ilm at-tafakkur (ilmu perenungan terhadap
sesuatu yang berkaitan dengan asma-asma Allah, bukan dzat-Nya), seperti
sabda Rasulullah saw,
تَفَكُّرَ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ
"Tafakur sesaat lebih
utama daripada ibadah setahun."
Hadist lainnya,
تَفَكُّرَ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَبْعِينَ سَنَةٍ
"Merenung sesaat lebih baik daripada beribadah tujuh
puluh tahun."[17]
Hadist Lainnya
تفكر سا عة خير من عبادة ألف عام
"Sesaat tafakur lebih
utama daripada semuanya."
Itulah dia `Ilm
al-furqan (ilmu pembeda atau pemisah), yaitu tauhid. Melalui ilmu itu,
orang yang kenal akan Tuhannya akan sampai kepada Tuhan Yang dikenal dan Yang
dicintainya itu. Pada akhirnya, rohani orang tersebut akan mampu terbang ke
alam al-Qurbah (dekat dengan Allah). Kalau orang yang ahli ibadah akan
pergi menuju negeri asalnya (surga) dengan cara berjalan, maka orang yang
mengenal Allah ini akan pergi menuju negeri asalnya (al-Qurbah) dengan
cara terbang. Sedangkan sejumlah sufi mengatakan:
قلوب العا شقين لها عيون ترى مالايراه الناظرينا
بأجنحة تطير بغير ريش إلى ملكوت رب العالمينا
Hati orang-orang yang mengenal Allah itu memiliki mata yang
mampu melihat apa-apa yang tak terlihat oleh mata biasa
Ia juga memiliki
sayap yang bisa terbang walau tanpa bulu-bulu-nya
Menuju Alam Ketuhanan Tuhan alam semesta
Para pecinta itu terbang di alam batin. Merekalah
orang yang berilmu. Orang semacam inilah yang merupakan insan hakiki
yang akan menjadi kekasih, abdi, dan pengantin Allah Azza Wa Jalla. Yazid
al-Busthami ra mengatakan,
أهل الله هم عرا ئس الله وفى رواية أولياء الله هم عرا ئس الله فلا
يعر ف العرا ئس إلا محر مهم وهم مخد رون بحجاب الأنس لايراهم أحد غير الله تعالى
“Wali-wali Allah adalah kekasih-kekasih-Nya yang tidak
seorang pun bisa memandangnya selain Dia, baik di dunia maupun di
akhirat. Mereka diberi hijab keakraban dan kenyamanan oleh Allah." [18]
Allah Ta`ala berfirman
dalam hadits Qudsi,
أَوْلِياَئِيْ تَحْتَ قَبائِيْ لاَ يَعْرِفُهُمْ غَيْرِيْ
"Wali-wali-Ku berada di bawah kubah-kubah-Ku. Tidak
ada yang mengenal mereka selain diri-Ku."[19]
Jubah itu adalah penampilan mereka yang sederhana
dan bersahaja. Mereka tersembunyi bagaikan pengantin wanita yang ditabiri tirai
pelaminan; dapatkah kau melihat kecantikannya?
Yahya ibn Mu`adz
ar-Razi ra mengatakan,
الولى ر يحان الله فى أرضه
يشنه الصد يقون فتصل رائحته إلى قلوبهم فيشتاقون به إلى مولا هم فنز داد عباد تهم
على تفاوت أخلا قهم
"Wali adalah tumbuhan yang wangi kepunyaan Allah Ta`ala
di bumi, dicium oleh orang-orang yang benar dan berhati tulus, sehingga
wanginya merasuk ke dalam hati sanubari mereka yang menjadikan mereka merasa rindu
kepada Allah Sang MawIa. Ibadah mereka kian hari kian bertambah walau tingkatan
mereka berlainan-lainan,”[20]
sesuai dengan fana` (peniadaan diri)
masing-masing di dalam kesatuan dengan Allah, sebab, bertambahnya kedekatan
dengan Allah hanya bisa diperoleh dengan bertambahnya peniadaan diri di
dalam-Nya.
Wali adalah
orang yang meniadakan diri di dalam Allah di dalam keadaan spiritualnya, dan
orang yang mengabadikan diri di dalam penyaksian Sang Mahabenar. Dia tidak
memiliki pilihan bagi diri sendiri dan tidak merasakan kemantapan kecuali
bersama Allah.
Wali adalah
orang yang dianugerahi Allah dengan keistimewa-an (karamah), tapi
aksi-aksi itu disembunyikan darinya lantaran bukan untuk disampaikan kepada
orang lain, sebab membocorkan rahasia ketuhanan adalah sebuah kekufuran,
seperti dikatakan oleh pengarang buku al-Mirshad, "Para wali yang
memiliki keistimewaan dan Allah semuanya tertutup oleh tirai. Keistimewaan tersebut
adalah haidnya laki-laki. Seorang wali memiliki seribu kedudukan spiritual yang
diawali dengan keistimewaan. Begitu kedudukan itu sudah didapatkan, maka
kedudukan-kedudukan lainnya akan segera menyusul dengan sendirinya."
2. Ujian Untuk Menaikkan
Derajat Manusia
الفصل الثانى فى بيان ردا لانسان إلى أسفل السافلين
Tatkala Allah Ta`ala
menciptakan roh yang suci dalam bentuk yang terbaik di Alam Ketuhanan, Dia
berkeinginan untuk menempatkannya setelah itu ke tempat yang lebih rendah guna
menambah keakraban dan kedekatan dengan-Nya, sebagaimana yang termaktub di
dalam firman-Nya,
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ
"Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang
Berkuasa." (QS. al-Qamar (54): 55)
Maka pertama
kali Dia kembalikan roh itu ke `alam al-jabarut (Alam Tuhan Yang
Mahakuasa) dengan terlebih dahulu melengkapinya dengan benih-benih tauhid dan
menanamkannya di alam itu dengan pancaran wur-Nya. Kemudian Ia pakaikan
kepadanya kiswah (bungkusan pelindung) dari alam tersebut. Hal serupa
juga dilakukan di alam al-malakut (Alam Kerajaan Batiniah), kemudian alam
al-mulk (Alam Kerajaan Lahiriah). Pada masing-masing alam tersebut,
diciptakan-Nya kiswah yang bersifat keunsuran (yakni segala sesuatu yang
tersusun dari empat unsur: tanah, api, udara, dan air) untuk roh itu agar tidak
terbakar di sana. Roh ini, di Alam Tuhan Yang Mahakuasa bernama ruh
sulthani, di Alam Kerajaan Batiniah bernama ruh sirani rawwani, dan
di Alam Kerajaan Lahiriah dia disebut ruh jasmani.
Adapun tujuan
utama dari didatangkannya roh ke tempat yang rendah ini adalah untuk
mempertinggi derajat dan menambah kedekatannya dengan Allah Ta`ala melalui
lubuk hatinya. Oleh karena itu, ditanamkanlah benih-benih tauhid di lubuk
hatinya itu agar di sana tumbuh pohon tauhid yang amat kokoh akarnya sehingga
dapat membuahkan ketauhidan, semata-mata mencari ridha Allah Ta`ala. Kemudian
ditanamkan juga benih syari`at agar tumbuh pohon syari`at yang bakal menghasilkan
derajat yang tinggi di sisi Allah.
Justru itu,
Allah Ta`ala memerintahkan semua roh untuk me-masuki raga, dan kepada
masing-masing roh itu Ia sediakan tempat tersendiri di dalamnya. Ruh jasmani
bertempat di sela-sela daging dan darah, ruh rawwani adalah di dalam
hati, ruh sulthani adalah di dalam lubuk hati, sedangkan ruh qudusi adalah
di as-Sirr (relung kesadaran yang paling dalam).
Kepada
masing-masing roh tersebut disediakan kedai yang dilengkapi dengan segala
atributnya seperti barang dagangan, laba (imbalan), dan perniagaan yang amat
menguntungkan yang kesemuanya wajib diketahui betul oleh setiap insan agar ia
mampu bersikap menyikapinya dengan benar, sebab sikapnya ini akan
dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Ta`ala kelak. Allah Ta`ala
berfirman,
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ وَحُصِّلَ مَا
فِي الصُّدُورِ
"Maka, apakah dia tidak mengetahui apabila
dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam
dada." (QS. al-`Adiyat [100]: 9-10)
Allah Ta`ala
juga berfirman,
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ
"Dan tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal
perbuatannya pada lehernya." (QS.
al-Isra` [17]: 13)
3. Kedai-kedai Arwah di
dalam Raga
الفصل الثالث فىبيان هوا نيت الأرواح فى الجسد
Kedai ruh
jasmani adalah sekujur badan, barang dagangannya adalah syari`at, dan cara
menyikapinya adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan
oleh Allah Ta`ala berupa hukum-hukum syari`at yang zahir, dengan penuh keikhlas-an.
Allah Ta`ala berfirman,
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam
beribadah kepada Tuhannya." (QS.
al-Kahfi [18]: 110)
Rasulullah saw
bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً
"Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang
baik."[21]
Beliau saw juga
bersabda,
إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
"Sungguh Allah itu ganjil lagi menyukai yang
ganjil."[22]
Maksudnya adalah
betul-betul ikhlas dalam beramal, suci dari segala sesuatu yang bersifat riya`.
Adapun laba atau
imbalan buat roh jasmani adalah: di dunia ia akan mendapatkan kewalian,
penyingkapan tabir, dan penyaksian di Alam Kerajaan Lahiriah, baik di bumi
maupun di langit. Di samping itu, ia akan memiliki karamah (keistimewaan)
berupa tingkatan-tingkatan kerahiban, seperti berjalan di atas air, terbang di
udara, mampu memperkecil ruang, mendengar dari jauh, melihat yang tersirat, dan
lain sebagainya. Sedangkan di akhirat kelak, ia akan mendapatkan surga, bidadari,
istana-istana, pelayan-pelayan, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Tempat
tinggalnya adalah di surga pertama, yaitu surga Ma`wa.
Kedai ruh
rawwani adalah hati, barang dagangannya adalah ilmu tarekat, dan cara
menyikapinya adalah dengan menyibukkan-nya dengan empat asma (nama)
pertama dari 12 asma Allah Yang Utama. Allah Ta`ala berfirman,
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
"Allah mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Nama-nama itu." (QS. al-A`raf [7]: 180)
Ayat ini
mengisyaratkan bahwa nama-nama tersebut merupakan lokus atau tempat manifestasi
Aktivitas Tuhan, ia adalah ilmu pengetahuan batiniah, sedangkan ma`rifat adalah
hasil dari nama-nama tauhid. Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ
وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
"Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, siapa
yang menghitung-Nya pasti masuk surga."[23]
Maksud dari
menghitung nama-nama Allah adalah menyifati dan berakhlak dengan-nya. Nama-nama
yang 12 itu adalah nama-nama Allah Yang Utama, sesuai dengan huruf Hijaiyyah
yang terdapat di dalam kalimat tauhid Id ilaha illallah yang berjumlah
12 huruf. Lalu Allah Ta`ala menetapkan di dalam kondisi-kondisi hati satu nama
untuk satu huruf, dan tiga nama bagi setiap alam; dengan itulah Allah Ta`ala
meneguhkan hati orang-orang yang melakukan kebaikan. Allah Ta`ala berfirman,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
"Allah meneguhkan iman kaum Mukminin dengan ucapan
yang teguh itu dalam ke-hidupan di dunia dan di akhirat." (QS. Ibrahim [14]: 27)
Selain itu,
Allah Ta`ala juga menurunkan perasaan tentram di dalam hati mereka dan
menumbuhkan pohon tauhid di sana, yang akarnya tertanam ke tanah ke tujuh,
bahkan menghunjam ke dasar bumi, dan cabangnya menjulang ke langit ke tujuh,
bahkan sampai ke atas `Arsy Ilahi. Allah Ta`ala berfirman,
أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
"Seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya menjulang ke langit." (QS.
Ibrahim [14]: 24)
Adapun laba atau
imbalan buat ruh rawwani adalah hati yang hidup dan penyaksian di Alam
Kerajaan Batiniah, seperti penyaksian surga dan para ahlinya, cahaya-cahayanya,
dan malaikat-malaikat yang berada di sana. Ia juga memperoleh lisan batin yang
mampu mengungkapkan nama-nama yang tersirat tanpa ucapan dan tanpa huruf.
Tempat tinggal ruh rawwani ini di akhirat adalah surga kedua, yaitu
Surga Na`im.
Adapun kedai ruh
sulthani adalah fu`ad (relung kesadaran atau lubuk hati), barang
dagangannya adalah ma`rifat, dan cara menyikapinya adalah dengan menyibukkannya
dengan Empat Nama Pertengahan dengan lisan hati. Rasulullah saw bersabda,
العلم علمان علم بالسان فذ لك حهة الله على خلقه، وعلم بالجنان وذ
لك العل النافع لأن أثرالمنا فع العلم فى هذه الدا ئرة
"Ilmu ada dua macam: Pertama, ilmu lisan; ilmu ini
adalah hujjah Allah terhadap anak cucu Adam. Kedua, ilmu hati; itulah ilmu yang
berguna," [24]
hal ini
disebabkan karena kebanyakan buah ilmu terdapat di wilayah tersebut. Rasulullah
saw juga bersabda,
إن للقرآن طهرا وبطنا
"Al-Qur`an memiliki makna zahir dan batin yang makna
batinnya bercabang sebanyak tujuh buah," [25]
dan,
إن الله أنزل القرآن على عشرة أبطن
"Allah menurunkan Al-Qur`an dalam sepuluh makna
batin." [26]
Semakin dalam
makna batin itu, semakin besar manfaat dan keuntungannya, karena ia sangat
mempesona.
Nama-nama itu
ibarat 12 mata air yang memancar akibat terkena pukulan tongkat Nabi Musa as.
Allah Ta`ala berfirman,
وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ
الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ
أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ
"Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya,
lalu Kami berfirman, `Pukullah batu itu dengan tongkatmu. `Lalu memancarlah
darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat
minumnya masing-masing." (QS.
al-Baqarah [2]: 60)
Ilmu pengetahuan
zahir adalah bagaikan air suci aksidental, sedangkan ilmu pengetahuan batin
adalah bagaikan air esensial yang murni. Air yang kedua ini jauh lebih berguna
daripada yang pertama, disamping air ini tidak pernah kering, sebagaimana
Allah Ta`ala berfirman,
وَآيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا
وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ
"Dan suatu tanda kekuasaan Allah yang besar bagi
mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya
biji-bijian, maka darinya mereka makan." (QS. Yasin [36]: 33)
Sebagaimana
Allah Ta`ala menumbuhkan biji-bijian dari bumi sebagai makanan bagi sekalian
binatang melata, Ia juga menumbuhkan biji-bijian dari bumi spiritual sebagai
makanan bagi arwah rohani. Rasulullah saw bersabda,
من أخلص الله تعالى أربعين صبا حا ظهرت ينا بيع الحكمة من قلبه على
لسانه
"Barangsiapa yang berbuat ikhlas karena Allah selama
empat puluh hari, niscaya akan bermunculanlah mata air mata air hikmah dari
hatinya melalui lisannya." [27]
Laba atau
imbalan buat ruh sulthani adalah mampu melihat pantulan keindahan Allah
Ta`ala. Allah Ta`ala berfirman,
مَا كَذَبَ ٱلْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ
"Hatinya tidak mendustakan apa yang telah
dilihatnya." (QS. an-Najm [53]: 11)
Rasulullah saw
bersabda,
المؤمن مرآة المؤمن
"Orang Mukmin itu adalah cermin bagi Mukmin yang
lain." [28]
Yang dimaksud
dengan orang Mukmin yang pertama adalah hati seorang hamba yang beriman, dan
orang Mukmin yang kedua adalah Allah Ta`ala.
ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ
"Yang Maha Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha
Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala
Keagungan." (QS. al-Hasyr [59]: 23)
Pengarang al-Mirshad
ra mengatakan, "Tempat tinggal kelompok ini adalah surga ketiga, yaitu
Surga Firdaus.
Sedangkan kedai ruh
qudusi adalah as-sirr (relung kesadaran atau lubuk hati yang paling
dalam). Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
الانسان سرى وأنا سره
"Manusia adalah relung kesadaran-Ku yang paling
dalam dan Aku adalah Relung kesadarannya yang paling dalam." [29]
Barang dagangan ruh
qudusi adalah ilmu hakikat, yaitu ilmu tauhid. Cara menyikapinya adalah
dengan menyibukkannya dengan nama-nama tauhid, yaitu Empat Nama Terakhir, yaitu
dengan menggunakan lisan rahasia di dalam relung kesadaran yang paling dalam,
tanpa ucapan. Allah Ta`ala berfirman,
وَإِن تَجْهَرْ بِٱلْقَوْلِ فَإِنَّهُۥ يَعْلَمُ
ٱلسِّرَّ وَأَخْفَى
"Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka
sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi." (QS. Thaha [20]: 7)
Tidak ada yang
mengetahui rahasia ini kecuali Allah Ta`ala.
Laba atau
imbalan buat ruh qudusi ini adalah munculnya thifl al-ma`ani (anak
makna-makna) serta berkemampuan untuk menyaksikan, melihat, dan memandang
dengan mata hatinya akan wajah Allah Ta`ala dalam bentuk-Nya Yang Mahaagung dan
Maha-indah. Allah Ta`ala berfirman,
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ
نَّاضِرَةٌ
"Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat." (QS. al-Qiyamah [75]: 22-23)
Ia mampu
melihat-Nya tanpa syarat. Allah Ta`ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan
Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat " (QS asy-Syura [42]: 11)
Ketika manusia
telah mencapai tujuannya, maka akal menjadi surut, hati menjadi luntuh, lisan
menjadi kelu dan tidak dapat men-centakannya. Sebab, Allah Ta`ala suci dari
analogi. Jika analogi cerita-cerita sampai kepada para ulama, maka mereka wajib
mema-hami kedudukan-kedudukan spiritual hati, menyenangi hakikat-hakikatnya,
menuju ke tempat yang paling tinggi, dan bersungguh-sungguh mencapai ilmu
laduni Allah, yaitu mengetahui adz-Dzat al-Ahadi (Eksistensi Yang Esa)
tanpa menghindari dan menolak kedudukan spiritual yang telah kami sebutkan itu.
4. Tentang Pembagian Ilmu
الفصل الرابع فى بيان عدد العلوم
Ilmu pengetahuan
zahir dan ilmu pengetahuan batin mempunyai cabang sebanyak 12 cabang. Lalu,
masing-masing cabang ini terbagi-bagi lagi sesuai kadar kesiapan ahlinya dari
kalangan orang-orang awam, orang-orang khusus, dan orang-orang yang istimewa.
Secara umum,
ilmu pengetahuan terbagi kepada empat jenis, yaitu: Pertama, ilmu zahir
syari`at, yaitu berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan sekalian
hukum-hukum syari`at. Kedua, ilmu batin syari`at yang disebut dengan
ilmu tarekat. Ketiga, ilmu batin tarekat yang disebut dengan ilmu ma`rifat.
Dan keempat, induk ilmu batin yang disebut dengan ilmu
hakikat.
Semua ilmu
tersebut harus dikuasai sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Syari`at
adalah pohon, tarekat adalah cabang-cabangnya, ma`rifat adalah daun-daunnya,
dan hakikat adalah buah-buahnya. Kesemuanya dihimpun di dalam Al-Qur`an, baik
secara jelas maupun dengan isyarat, baik berupa tafsiran maupun takwil.”
Pengarang al-Majma`
ra mengatakan, "Tafsir adalah untuk kalangan orang-orang awam,
sedangkan takwil adalah untuk kalangan orang-orang khusus, karena mereka adalah
para ulama yang mendalam ilmunya. Mendalam ilmunya di sini berarti teguh,
kukuh, dan kuat dalam ilmu pengetahuan, seperti pohon palm yang akarnya kukuh
di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Sifat mendalam itu
dihasilkan oleh kalimat yang baik yang ditanam di dalam relung hati setelah
mengalami proses penyucian jiwa. Sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat
"... dan orang-orang yang mendalam ilmunya ..." yang terdapat di
dalam surah Ali `Imran ayat ke-7 adalah sambungan dari kalimat sebelumnya dari
ayat yang sama yang berbunyi, "Melainkan Allah" sehingga pembacaan
ayat tersebut adalah,
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ
إِلَّا ٱللَّهُ
Padahal tidak ada yang memahami takwilnya, melainkan
Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya ..." (QS. Ali `Imran [3]: 7)
Pengarang al-Kabir
mengatakan,
"Kalaulah dibuka bab ini, maka terbukalah bab-bab
ilmu pengetahuan batin."[30]
Di samping
menguasai keempat wilayah ilmu itu, manusia juga dituntut untuk mematuhi
perintah dan larangan dalam setiap wilayah ilmu di tersebut. Sebab, di dalam
wilayah syari`at, jiwa akan tergoda untuk melakukan penyimpangan, dan di
wilayah tarekat, jiwa tergoda oleh kepatuhan semu, atau penampakan sesuatu yang
berlawanan dengan realitas yang sebenarnya, seperti mengklaim kenabian atau
kewalian, dan di wilayah ma`rifat, jiwa tergoda oleh syirik yang samar-samar,
seperti mengklaim ketuhanan. Allah Ta`ala berfirman,
أَفَرَءَيْتَ مَنِ
ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ
"Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya sebagai tuhannya?" (QS.
al-Jatsiyah [45]: 23)
Lain halnya dengan
wilayah hakikat, dimana wilayah ini tidak dapat dimasuki sama sekali oleh
setan, hawa nafsu, atau malaikat sekalipun, sebab segala sesuatu selain Allah
Ta`ala akan terbakar jika memasukinya. Jibril as mengatakan, "Jika aku
mendekat sedikit saja, aku pasti terbakar."
[31]
Jika seseorang
telah sampai ke wilayah ini, ia akan terlepas dari cengkraman kedua musuhnya,
yaitu hawa nafsu (ego) dan setan, sehingga dia menjadi orang yang
selamat." Allah Ta`ala berfirman,
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ٱلْمُخْلَصِينَ قَالَ فَبِعِزَّتِكَ
لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
"Iblis menjawab, `Demi kekuasaan-Mu, aku akan
menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang diselamatkan di antara
mereka." (QS. Shad [38]: 82-83)
Bila tidak, maka
orang itu belum bisa dikatakan selamat, karena sifat-sifat kemanusiaan dan
kebodohannya masih ada pada dirinya dan tidak akan hilang kecuali dengan
penyingkapan dan pengetahuan tentang Eksistensi Ilahi. Jika hal itu sudah ia
dapatkan, barulah Allah Ta`ala mengajarkan ilmu laduni (gaib) kepadanya,
yang dengan ilmu tersebut ia mampu mengenal Allah dengan sebaik-baiknya dan
benar-benar menyembah kepada-Nya, seperti yang terjadi pada Nabi Khidhir as.
Di wilayah
hakikat ini, ia akan melihat arwah yang suci, mengenal nabinya, nabi Muhammad
saw, sehingga akhir dari perjalanan hidupnya selaras dengan permulaannya, dan
para nabi pun menyampaikan berita baik kepadanya, yaitu bersatu dengan Allah Ta`ala
dan tidak akan berpisah dari-Nya. Allah Ta`ala berfirman,
وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا
"Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. an-Nisa` [4]: 69)
Orang yang tidak
mencapai ilmu itu tidak akan mengetahui hakikat, meskipun ia telah membaca
sejuta buku, karena ia tidak mencapai sesuatu yang bersifat spiritual.
Imbalan bagi
amal perbuatan jasmani yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan zahir hanyalah
berupa surga dan penyingkapan pantulan Sifat-sifat Allah. Seorang alim tidak
bisa masuk ke wilayah suci dan kedekatan dengan Allah hanya dengan mengandalkan
ilmu pengetahuan zahir, sebab wilayah itu adalah wilayah terbang, sedangkan
burung baru bisa terbang dengan adanya dua sayap. Jadi, hanya manusia yang
mengetahui kedua ilmu pengetahuan: ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat
mencapai alam tersebut, sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta`ala dalam hadits
Qudsi,
يا عبدىإذا أردت أن تد خل حرمىى فللا تلتفت إلى الملك و الملكوت
والجبروت لا ن الملك شيطان العالم و الملكوت شيطا ن العارف الجبروت شيطا نالوا قف
من رمق بأحد منها فهو مطرود عند الله تعالى
"Wahai hamba-Ku, jika engkau ingin memasuki wilayah
suci-Ku, janganlah engkau menoleh ke Alam Kerajaan Lahiriah, Alam Kerajaan
Batiniah, dan Alam Tuhan Yang Mahakuasa, karena Alam Kerajaan Lahiriah adalah
setan bagi orang alim, Alam Kerajaan Batiniah adalah setan bagi orang `arif
(orang yang mengenal Allah), dan Alam Tuhan Yang Mahakuasa adalah setan bagi
orang waqif (orang yang berhenti). Orang yang merasa puas dengan salah satu
setan tersebut, niscaya akan terusir dari sisi-Ku." [32]
Maksudnya,
terusir dari posisi dekat dengan Allah, bukan terusir dari surga yang
bertingkat-tingkat, karena mereka telah mengusahakan kedekatan dengan Allah,
namun tidak mencapainya lantaran hal itu adalah mustahil, disebabkan mereka
hanya memiliki satu sayap.
Orang-orang yang
telah meraih posisi dekat dengan Allah itu akan mendapatkan
ملا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر
"sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, tidak
terdengar oleh telinga, dan tidak terlintas di hati manusia", [33]
yaitu surga
kedekatan dengan Allah, yang tidak berisi bidadari, istana-istana, madu,
ataupun susu.
Manusia harus
mengetahui kadarnya dan tidak mengklaim sesuatu yang bukan haknya.
Amirul
Mukminin `Ali ibn Abi Thalib mengatakan, "Allah menyayangi
orang yang mengetahui kadarnya, tidak melampaui kondisinya, menjaga lisannya,
dan tidak menyia-nyiakan umurnya."
Seorang alim
haruslah mendapatkan makna hakikat manusia yang disebut dengan thifl al-ma`ani
(anak makna-makna). Ia harus merawatnya dengan menyibukkan lisan hatinya
dengan nama-nama tauhid, dan keluar dari alam jasmani menuju alam rohani yang
disebut alam as-Sirr (relung kesadaran yang paling dalam). Tiada
penghuni alam yang laksana gurun cahaya yang tak bertepi itu melainkan Allah Ta`ala.
Anak makna-makna terbang di alam tersebut, melihat segala sesuatu yang
mempesona dan langka, namun tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Itulah kedudukan
spiritual bagi orang-orang bertauhid yang larut dalam kedekatan dengan Allah Ta`ala.
Di dalam relung kesadaran yang paling dalam itu mereka hanya melihat cahaya
ke-indahan Allah Ta`ala dan tidak dapat melihat diri mereka sendiri, ibarat
melihat matahari saat sinarnya telah memenuhi mata. Mereka tidak kuasa melihat
diri sendiri lantaran terlarut dalam ketakjuban dan ketidak-berdayaan. Nabi
Isa as mengatakan, "Manusia tidak akan masuk ke dalam Alam Kerajaan Batiniah
Langit sebelum dia dilahirkan dua kali sebagaimana burung di-lahirkan dua
kali." Maksudnya, anak makna-makna spiritual lahir dari hakikat
kecenderungan manusia. Ia adalah relung kesadaran manusia yang paling dalam
yang wujud serta ilmu-ilmunya merupakan kombinasi cahaya ilmu syari`at dengan
hakikat, sebagaimana seorang anak terlahir dari bersatunya dua nutfah, nutfah
laki-laki dan perempuan. Allah Ta`ala berfirman,
إِنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ
"Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari
setetes air mani yang ber-campur." (QS.
al-Insan [76]: 2)
Setelah makna
itu muncul, terjadilah penyeberangan dari samudera makhluk menuju palung-palung
perintah Ilahi, bahkan di dalam naungan alam roh ini, alam semesta hanya
seperti setetes air di samudera. Setelah itu, terpancarlah ilmu-ilmu rohani dan
laduni tanpa huruf dan tanpa suara (ucapan).
5. Tobat dan Talqin
الفصل الخامس فى بيان التو بة والتلقين
Ketahuilah bahwa
kedudukan-kedudukan tersebut di atas hanya-lah dapat diraih dengan tobat yang
sungguh-sungguh dan mengikuti talqin (tuntunan) dari pembimbing
spiritual. Allah Ta`ala berfirman,
وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ
"Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat
takwa," (QS. al-Fath [48]: 26)
yaitu kalimat la
ilaha illallah, dengan syarat ucapan itu diiringi oleh hati yang taqwa
kepada Allah Ta`ala dan suci dari segala sesuatu selain-Nya, bukan sekadar
ucapan yang keluar dari mulut-mulut orang awam. Sebab, meskipun
lafalnya sama namun maknanya berbeda, karena hati itu baru bisa hidup bilamana
ia mengambil benih tauhid dari hati yang hidup lainnya, sehingga benih itu
benar-benar sempurna.
Oleh karena itu,
kalimat tauhid di dalam Al-Qur`an terdapat di dua tempat. Pertama, diiringi
oleh ucapan lahiriah (ilmu zahir). Allah Ta`ala berfirman,
إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
"Apabila dikatakan kepada mereka tidak ada Tuhan
selain Allah, mereka menyombongkan diri." (QS. ash-Shaffat [37]: 35)
Itulah yang
terjadi pada orang-orang awam. Kedua, diiringi oleh ilmu hakiki. Allah
Ta`ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ
لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
"Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan
selain Allah, dan mohon-lah ampunan bagi dosamu dan dosa kaum Mukmin, laki-laki
dan perempuan." (QS. Muhammad [47]:
19)
Talqin yang
terdapat di dalam ayat ini, sebagaimana ditunjukkan oleh sebab turunnya ayat,
adalah ditujukan kepada orang-orang khusus. Pengarang Bustan asy-Syariah
mengatakan, "Orang pertama yang meng-harapkan jalan spiritual yang paling
dekat, paling baik, dan paling mudah dari Nabi saw adalah `Ali ibn Abi Thalib
ra, lalu Nabi saw menunggu wahyu. Maka turunlah Jibril as kepada Nabi saw dan
men-talqin-kan kalimat tersebut la ilaha illallah tiga kali. Setelah
itu, Rasul pun mentalqinkan kalimat itu kepada `Ali ibn Abi Thalib ra dan
sekalian sahabat yang beliau hampiri. Kemudian Nabi saw bersabda,
قد رجعنا من الجهاد الاصغر نعود إلى الجهاد الاكبر
`Kita baru pulang dari jihad yang pahng kecil menuju jihad
yang paling besar. [34]
Maksud jihad
yang paling besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana dijelaskan
oleh Rasulullah saw,
أصحا به عد وأعدا ئك نفسك
"Musuhmu yang paling kuat adalah hawa nafsu.[35]
Cinta kepada
Allah Ta`ala tidak akan dapat engkau raih kecuali dengan mengalahkan
musuh-musuh yang terdapat di dalam wujudmu yang berupa nafs ammarah,
lawwamah, dan mulhimah. Engkau harus menyucikan diri dari
akhlak-akhlak yang tercela dan hewani, seperti senang banyak makan, minum,
tidur, dan berhura-hura; akhlak-akhlak binatang buas, seperti cepat marah,
mencaci, memukul, dan memaksa; akhlak-akhlak setan, seperti sombong, ujub, iri,
dendam, serta penyakit-penyakit badan dan hati lainnya. Jika engkau sudah
menyucikan diri dari semua itu, engkau sudah suci dari dosa-dosa utama,
sehingga engkau bisa termasuk orang-orang yang menyucikan diri dan bertobat.
Allah Ta`ala berfirman,
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertobat dan menyucikan diri." (QS.
al-Baqarah [2]: 222)
Tobatnya seorang
orang awam yang hanya bertobat dari dosa-dosa lahiriah tidak termasuk ke dalam
ayat ini, sebab ia barulah
sekadar seorang
yang ta`ib (bertobat), belum sampai ke taraf seorang tawwab (benar-benar
bertobat), sedangkan lafal tawwab mengandung makna mubalaghah (penegasan)
sehingga yang di-maksud di dalam ayat ini adalah tobatnya orang-orang khusus.
Orang yang
bertobat dari dosa-dosa lahiriah saja seperti orang yang memotong cabang
rumput, dan tidak berusaha mencabutnya sampai ke akarnya, sehingga rumput itu
pasti akan tumbuh terus, bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Sedangkan orang
yang benar-benar bertobat dari akhlak yang tercela seperti orang yang mencabut
rumput itu sampai ke akar-akarnya, sehingga jarang sekali yang bisa tumbuh kembali.
Talqin berfungsi
sebagai alat untuk memotong noda-noda syirik dan segala sesuatu selain Allah Ta`ala
dari hati si penerima talqin, sebab selama noda-noda tersebut masih bercokol di
dalam hatinya, mustahil hati itu akan bersih dan hidup sebagaimana diharapkan.
Pelajarilah dan pahamilah hal ini. Allah Ta`ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو
عَنِ السَّيِّئَاتِ
"Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya
dan memaaf-kan kesalahan-kesalahan," (QS.
asy-Syura [42]: 25)
dan,
مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
"Orang yang bertobat dan beramal shaleh,
kejahatannya diganti oleh Allah dengan kebaikan." (QS. al-Furqan [25]: 70)
Tobat ada dua
macam: tobat orang awam dan tobat orang khusus.
Tobat orang awam
adalah beranjak dari kemaksiatan menuju kepatuhan, dari yang tercela menuju
yang terpuji, dari neraka menuju surga, dari kenyamanan badan menuju kesulitan
menahan hawa nafsu dengan dzikir, kesungguhan, dan usaha yang keras.
Sedangkan
tobatnya orang khusus, disamping mangamalkan tobat di atas, adalah
beranjak dari kebaikan menuju pengetahuan, dari pengetahuan menuju surga yang
bertingkat-tingkat, dan dari surga yang bertingkat-tingkat menuju kedekatan
dengan Allah, serta beranjak dari kedekatan dengan Allah dan kelezatan psikologis
menuju kelezatan spiritual, yaitu meninggalkan segala sesuatu selain Allah Ta`ala,
merasa nyaman dengan-Nya, serta memandang-Nya dengan mata keyakinan.
Hal-hal ini
semuanya merupakan hasil usaha menegaskan wujud, sedangkan menegaskan wujud itu
adalah termasuk perbuatan dosa. Seorang sufi mengatakan, "Wujudmu adalah
dosa yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa lain." Para sufi
mengatakan, "Perbuatan baik
orang-orang yang abrar (shaleh dan bertakwa) terhitung perbuatan buruk bagi
orang-orang yang muqarrabin (dekat dengan Allah), sebaliknya, perbuatan buruk
orang-orang yang muqarrabin (dekat dengan Allah) terhitung perbuatan baik bagi
orang-orang yang abrar (shaleh dan bertakwa)."[36]
Oleh sebab
itulah, Nabi Muhammad saw memohon ampun setiap hari kepada Allah sebanyak 70
kali. Allah Ta`ala berfirman,
وَٱسْتَغْفِرْ
"Dan mohonlah ampun bagi dosamu," (QS. Muhammad [47]: 19)
maksud dari
perkataan "dosamu" di dalam ayat ini adalah dosa wujudmu.
Inilah yang
dinamakan dengan al-inabah, yaitu kembali kepada Allah dengan
meninggalkan apa pun selain-Nya, dan naik ke tangga al-qurbah (dekat
dengan Allah) di akhirat, serta memandang wajah Allah Ta`ala, sebagaimana
dikatakan oleh Nabi saw,
ين الله تعلى عبادا أبدا نهم فى الد نيا و قلو بهم تحت العرش
"Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang
tubuhnya berada di dunia sedangkan hatinya berada di bawah `Arasy Ilahi."
[37]
Maksud dari
memandang Allah di sini bukanlah memandangnya wajah-Nya di dunia dengan indera
penglihatan—sebab hal itu hanyalah terjadi di akhirat kelak dan mustahil di
dunia ini—melainkan melihat sifat-sifat Allah dengan kaca mata hati, sebagaimana
`Umar ibn al-Khaththab ra mengatakan, "Hatiku melihat
Tuhanku," artinya, melihat dengan cahaya Tuhanku, karena hati adalah
cerminan keindahan Allah Ta`ala.
Keistimewaan ini
(memandang wajah Allah) hanyalah dapat diraih dengan jalan talqin dari seorang
syaikh yang telah menyatu dengan Allah dan diakui kapasitasnya oleh syaikh-syaikh
terdahulu, lalu merehabilitasi orang-orang yang tidak sempurna dengan mengacu
kepada perintah Allah Ta`ala dan Nabi saw.
Para wali diutus
hanya untuk orang-orang khusus, bukan untuk orang-orang awam. Itulah perbedaan
antara wali dengan nabi, dimana nabi diutus untuk kedua kalangan sekaligus dan
beliau berdiri sendiri, sedangkan wali hanyalah untuk orang-orang khusus dan
dia tidak berdiri sendiri, melainkan harus mengikuti nabi. Jika seorang wali
mengklaim bahwa ia berdiri sendiri, kafirlah ia. Hanya saja Nabi saw
menyerupakan para ulama umatnya dengan nabi-nabi Bani Israil adalah karena
nabi-nabi Bani Israil itu merupakan pengikut syari`at seorang rasul, yaitu Nabi
Musa as, dan benar-benar menjalankan syari`at tersebut dengan sebaik-baiknya.
Namun, ulama-ulama mereka memperbarui syari`at itu tanpa mendatangkan syari`at
baru. Begitu juga dengan ulama-ulama (wali-wali) umat Nabi Muhammad yang diutus
untuk kalangan orang-orang khusus untuk memperbarui perintah dan larangan,
mengokohkan amal perbuatan dengan penegasan yang paling kuat, dan menyucikan
para pengikut syaria`at agar syari`at itu merasuk ke dalam hati tempat ma`rifat.
Mereka menyampaikan ilmu pengetahuan Nabi saw seperti ahl ash-shuffah (orang-orang
penghuni serambi, yaitu kaum Muslim awal yang meninggalkan segala sesuatu
karena cinta kepada Allah dan Nabi-Nya) yang mengucapkan rahasia-rahasia mikraj
sebelum mikrajnya Nabi saw.
Wali adalah
orang yang sempurna kewalian muhammadi-nya yang merupakan bagian dari
kenabian. Batinnya adalah amanah baginya, disamping lahirnya yang melaksanakan
aturan berdasarkan ilmu pengetahuan zahir. Dia termasuk pewaris kenabian,
bahkan sama dengan orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan Nabi saw.
Hubungan Wants (wali yang mengabdikan diri melalui hukum syari`at) yang
sempurna dengan nabi adalah ibarat anak dengan ayahnya, dimana anak adalah
anggota keluarga ter-dekat yang merupakan rahasia ayahnya secara zahir dan
batin. Karena itu, Rasulullah saw bersabda,
إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العلماء بالله تعالى فاذا
نطقوا به لم ينكره أهل العزة وهذا
"Ada ilmu yang amat tersem-bunyi yang hanya
diketahui oleh orang-orang yang mengetahui Allah Ta`ala. Jika mereka
mengucapkannya, niscaya orang-orang yang lalai akan menentangnya." [38]
Itulah rahasia atau
relung kesadaran yang paling dalam yang disimpan di dalam hati Nabi saw pada
malam Mikraj di dalam ruang batin terdalam di tingkat ketiga puluh ribu, yang
tidak terselami oleh seorang orang awam pun, selain sahabat-sahabatnya yang
paling dekat dan ahl ash-shuffah ra. Berkat rahasia itulah syari`at
Islam yang suci ini bisa tegak hingga hari Kiamat.
Ilmu pengetahuan
batin akan dapat mengantarkan kepada rahasia-rahasia Tuhan, sedangkan ilmu-ilmu
lainnya hanyalah ibarat kulit baginya. Di kalangan ulama-ulama ilmu pengetahuan
zahir, ada sebagian mereka yang tergolong pewaris dari ilmu batin ini; ada yang
benar-benar pewaris hakiki, ada yang sebagai pewaris sisa, dan ada yang
merupakan pewaris jauh yang bertanggung jawab menyampaikan kulit-kulit ilmu
dengan cara berdakwah ke jalan Allah Ta`ala dengan nasihat yang baik. Sedangkan
para guru spiritual pengikut Sunnah yang rangkaiannya bersambung hingga `Ali
ibn Abi Thalib ra, maka mereka bertanggung jawab menyampaikan makna-makna ilmu
yang paling halus melalui berdakwah kepada Allah Ta`ala dengan penuh hikmah.
Allah Ta`ala berfirman,
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ
ٱلْحَسَنَةِ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ
أَحْسَنُ
"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka cara yang baik." (QS. an-Nahl [16]: 125)
Ketiga makna
yang terdapat di dalam ayat di atas terhimpun semuanya di dalam diri Nabi
Muhammad saw yang tidak ada seorang pun setelahnya yang mendapatkan hal
demikian. Oleh karena itu, makna-makna itu terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, inti
makna, yaitu pengetahuan tentang keadaan spiritual yang diberikan kepada para
wali Allah yang agung. Tekad yang kuat yang dimiliki oleh para wali agung itu
adalah inti makna tersebut. Rasulullah saw bersabda,
هِمَّةُ الرِّجَالِ تَقْلَعُ الْجِبَال
"Tekad para wali Allah yang agung menghempaskan
gunung-gunung." [39]
Yang dimaksud
dengan gunung-gunung adalah hati yang keras yang menjadi lunak karena doa dan
permohonan mereka. Allah Ta`ala berfirman,
وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرً
"Orang yang diberi hikmah, sungguh telah diberi
kebaikan yang sangat banyak." (QS. al-Baqarah [2] 269)
Kedua, kulit
inti makna; diberikan kepada para ulama pengetahuan zahir, yaitu pelajaran
yang baik dan amar ma`ruf nahi munkar. Rasulullah saw bersabda,
العالم يعظ بالعلم والأدب والجاهل يعظ بالضرب و الغضب
"Orang alim memberi nasehat dengan ilmu dan adab,
sedangkan orang bodoh memberi nasehat dengan pukulan dan kemarahan."[40]
Ketiga, kulitnya
kulit inti makna; diberikan kepada para penguasa, yaitu keadilan lahiriah dan
siasat yang tepat yang diisyaratkan oleh firman Allah,
جَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Dan bantahlah mereka cara yang baik." (QS. an-Nahl [16]: 125).
Mereka memiliki tempat-tempat
manifestasi keperkasaan, kekerasan, atau kemurkaan, dan merupakan sebab
sekunder terjaganya aturan agama.
Posisi spiritual
para ulama zahir spiritual mereka seperti kulit yang berwarna merah lagi keras,
sedangkan posisi spiritual para ulama tasawauf yang `arif adalah sebagai
inti sari. Karena itu, Rasulullah saw bersabda,
عليكم بمجا لسة العلماء واستماع كلام الحكماء فان الله تعالى يحى
القلب بنور الحكمة يحيى الأرض الميتة بما ء المطر
"Kalian harus duduk bersama para ulama dan
mendengarkan kata-kata para hukama` (ahli hikmah), karena Allah menghidupkan
hati yang mati dengan cahaya hikmah seperti menghidupkan tanah yang mati dengan
air hujan." [41]
Beliau saw juga
bersabda,
كلمة الحكمة ضالة الحكيم أخذها حيث و جد ها والكلمة التى بأفواه
"Hikmah itu adalah barang hilang milik orang yang
bijaksana; Dia dapat mengambilnya di mana saja dia mendapat-kannya."[42]
Kata-kata yang
terucap dari mulut orang-orang awam turun dari Luh Mahfuzd (Lembaran
Terjaga yang bertuliskan nasib serta takdir semua mahluk), yaitu Alam Tuhan
Yang Mahakuasa, berupa surga yang bertingkat-tingkat, sedangkan kata-kata yang
terucap dari mulut para wali agung yang telah bersatu dengan-Nya turun dari Luh
Akbar (Lembaran Terbesar) dengan lisan suci yang dekat dengan Allah tanpa
perantara.
Segala sesuatu
akan kembali kepada asalnya. Karena itu, men-cari wali yang dapat memberikan
talqin adalah wajib demi hidup-nya hati. Rasulullah saw bersabda,
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
"Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,
laki-laki maupun perempuan." [43]
Maksudnya adalah
ilmu ma`rifat dan kedekatan dengan Allah, sedangkan ilmu-ilmu lain tidak
dibutuhkan kecuali yang digunakan dalam melaksana-kan kewajiban-kewajiban
agama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali ra:
Hidupnya hati
adalah sebuah pengetahuan, maka tabunglah Matinya hati adalah sebuah kebodohan,
maka jauhilah Tujuan terbaik adalah takwa, maka tambahilah Cukuplah nasihatku
untukmu, maka laksanakanlah
Allah Ta`ala
berfirman,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
"Berbekallah kalian, dan sesungguhnya sebaik-baik
bekal adalah takwa." (QS.
al-Baqarah [2]: 197)
Jadi, keridhaan
seorang hamba terhadap Allah Ta`ala akan menjadikannya itu akan membawa adalah
dengan dibawanya hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tidak peduli
dengan surga-Nya yang bertingkat-tingkat. Allah Ta`ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
shaleh .... (QS. al-Kahfi [18]: 30),
dan
قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى
ٱلْقُرْبَىٰ
"Katakanlah, `Aku tidak meminta kepada kalian upah
atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluarga-an. (QS. asy-Syura [42]: 23).
Maksudnya, alam
kedekatan dengan Allah—menurut salah satu penafsiran.
6. Orang-orang Sufi
الفصل الساد س فى بيان أهل التصوف
Sebab dari
dinamakannya orang-orang sufi dengan nama "ahli tasawuf tidak lain adalah
karena terjadinya proses penjernihan terhadap hati mereka berkat cahaya ma`rifat
dan tauhid, atau karena mereka dinisbahkan kepada ashhab ash-shuffah (orang-orang
penghuni serambi), yaitu para sahabat yang meninggalkan segala sesuatu karena
cinta kepada Allah dan Nabi-Nya, atau pun karena mereka memakai shuf (pakaian
dari bulu), dimana untuk orang sufi tingkat pemula dari bulu biri-biri, untuk
tingkat pertengahan dari bulu kambing, sedangkan untuk tingkat puncak dari bulu
Mir`izza (bulu halus kambing), yaitu wol persegi. Sebagaimana pakaian
lahir berlain-lainan, pakaian batin mereka juga demikian, sebanding dengan
kadar kualitas keadaan spiritual mereka; makanan-makanan mereka pun demikian
halnya.
Pengarang Tafsir
al-Majma` mengatakan, "Orang-orang yang zuhud hanya pantas dengan
pakaian, makanan, dan minuman yang kasar, sedangkan orang-orang yang memiliki
ma`rifat hanya pantas dengan segala yang lembut, karena memposisikan manusia
pada tempatnya merupakan Sunnah, supaya tidak ada orang yang melewati
kondisinya sendiri, ataupun karena orang-orang yang memiliki ma`rifat itu
berada di barisan pertama di dalam al-hadhrah al-ahadiyyah (Tataran
Keesaan Transenden).
Kata tashawwuf
sendiri terdiri dari empat huruf Hijaiyyah, yaitu Ta`, Shad, Waw, dan
Fa` yang bagi para ahli tasawuf masing-masing huruf tersebut memiliki makna
tersendiri.
Huruf Ta` berasal
dari kata tawbah (tobat) yang terbagi kepada dua bagian, yaitu: tobat
zahir dan tobat batin.
Tobat zahir
adalah beranjaknya seseorang—dengan seluruh organ lahiriahnya—dari perbuatan-perbuatan
dosa menuju perbuatanperbuatan ta`at; dari segala kemungkaran menuju
kepatuhan, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Adapun tobat batin adalah
beranjaknya seseorang—dengan seluruh organ batiniahnya—dari segala kemungkaran
menuju kepatuhan, guna untuk menjernih-kan hatinya. Jika hal ini telah
terlaksana dengan baik, maka sem-purnalah posisi huruf td` pada diri
yang bersangkutan, dan para sufi menyebut orang itu dengan `orang yang bertobat`.
Huruf Shad berasal
dari kata shafa `(kejernihan) yang juga terbagi dari dua bagian, yaitu:
kejernihan hati dan kejernihan nurani.
Kejernihan hati
maksudnya adalah jernihnya hati seseorang dari kotoran-kotoran yang bersarang
di dalamnya akibat dari adanya keberlebihan dalam hal mengkonsumsi makanan
dan minuman, banyak bicara, banyak tidur, dan banyak memperhatikan
masalah-masalah duniawi seperti berlebihan dalam hal mencari penghidupan,
berjima` dengan istri, cinta terhadap anak dan keluarga, serta
larangan-larangan psikologis lainnya.
Kejernihan hati
ini hanyalah bisa diperoleh dengan jalan melanggengkan dzikir terhadap Allah
melalui talqin yang pada awal-nya diucapkan dengan bersuara sampai mendapatkan
posisi al-haqiqah (kedudukan spiritual yang menegaskan berbagai efek
dari sifat-sifat hamba dengan sifat-sifat Allah, sehingga sifat-sifat itu
mewarnai kehidupannya). Allah Ta`ala berfirman,
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah
orang-orang yang gemetar hatinya apabila disebut nama Allah." (QS.
al-Anfal [8]: 2),
atau takut-lah
hatinya. Rasa takut itu muncul setelah hati terjaga dari tidur
kelalaian, digosok, dan diukir padanya gambar-gambar kegaiban berupa kebaikan
dan kejahatan. Para sufi mengatakan, "Orang alim mengukir, sedangkan orang
`arif menggosok."
Sedangkan
kejernihan nurani adalah dengan jalan menghindari perhatian dan rasa cinta
terhadap segala selain Allah Ta`ala dengan cara melanggengkan Nama-nama Tauhid
dengan lisan nurani. Jika penjernihan itu telah sempurna pada diri seseorang,
maka sempurnalah posisi huruf ash-shad dalam dirinya.
Huruf Waw berasal
dari wilayah (kewalian). Ia muncul setelah penjernihan hati dan nurani.
Allah Ta`ala berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada
kekhawatiran pada din mereka dan tidak pula mereka bersedih hati" (QS. Yunus [10]: 62).
Kewalian ini
pada akhirnya akan menjadikan seseorang menjadi berakhlak dengan akhlak Allah
Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,
تَخَلَّقُوا بِأَخْلاَقِ اللهِ تعالى
"Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah."[44]
Maksudnya, bersifat-lah dengan sifat-sifat
Allah Ta`ala dan tinggalkanlah sifat-sifat kemanusiaan, sebab jubah kehormatan
sifat-sifat Allah itu baru bisa didapatkan setelah dibuangnya sifat-sifat
kemanusiaan. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
إذا أحبت عبدا كنت له سمعا و بصرا ولسانا ويداو رجلا فى يسمع وبى يبصروبى
ينطق وبى يبطش وبى يمشى
"Jika Aku telah mencintai seorang hamba, maka Aku
menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan lidah baginya. Dengan-Ku dia
mendengar, melihat, memukul, berbicara, dan berjalan." [45]
Maka,
bersihkanlah diri kalian dari segala selain Allah Ta`ala. Dia berfirman,
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ
"Dan katakanlah, `Kebenaran telah datang dan
kebatilan telah hilang`." (QS.
al-Isra` [17]: 81).
Dengan demikian,
sempurnalah posisi huruf waw.
Huruf Fa` berasal
dari funa` fillah (peniadaan diri dalam Allah) dari segala selain Allah.
Jika sifat-sifat manusiawi telah tiada, maka yang ada adalah sifat-sifat
Keesaan Transenden yang tidak meniada, tidak melenyap, dan tidak menghilang.
Hamba yang telah mengalami fana` ini akan tetap bersama Tuhan Yang
Mahaabadi dan keridhaan-Nya, dan hati hamba yang telah mengalaminya akan abadi
bersama Rahasia Yang Mahaabadi dan Perhatian-Nya. Allah Ta`ala berfirman,
كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ
"Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah
Allah." (QS. al-Qashash [28]: 80)
Kata wajah di
sini bisa juga diarti-kan dengan keridhaan Allah terhadap amal shaleh
hamba-hamba-Nya, sehingga orang yang diridhai itu akan abadi bersama-Nya.
Amal-amal shaleh
akan menjadikan hidupnya hakikat manusia yang disebut thifl al-ma`ani. Allah
Ta`ala berfirman,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ
يَرْفَعُهُۥ
"Kepada-Nyalah naik kalimat-kalimat yang baik dan
amal yang shaleh dinaikkan-Nya." (QS.
Fathir [35]: 10)
Dengan demikian,
seluruh perbuatan yang dilakukan untuk selain Allah Ta`ala adalah kemusyrikan
dan akan membinasakan pelakunya. Jika ketiadaan di dalam Allah tersebut telah
sempurna, maka diraihlah keabadian di alam kedekatan dengan Allah. Allah Ta`ala
berfirman,
فِى مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
"Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang
Berkuasa." (QS. al-Qamar [54]: 55)
Itulah kedudukan
spiritual para nabi dan wali di Alam Ketuhanan. Allah Ta`ala berfirman,
وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang
benar." (QS. at-Taubah [9]: 119)
Sebab, jika
makhluk telah dikaitkan dengan Yang Mahaabadi, maka tanggallah wujud
kemakhlukannya, sebagaimana diungkapkan oleh sebuah sya`ir: Semua sifat Eksistensi
dan Aktivitas Ilahi Adalah abadi dan terjaga dari kemusnahan
Jika kefana`an
ini telah sempurna, maka seorang sufi menjadi abadi bersama Yang Mahabenar
untuk selama-lamanya. Allah Ta`ala berfirman,
أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
"Para penghuni surga, mereka kekal di
dalam-nya." (QS. al-Baqarah [2]:
82)
7. Dzikir
الفصل السابع فى بيان الأذ كار
Terhadap
orang-orang yang berdzikir ini Allah telah memberikan petunjuk-Nya melalui
firman-Nya yang berbunyi,
وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ
"Dan berdzikirlah kepada Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepada kalian: (QS. al-Baqarah [2]: 198)
maksud kalimat kepada
kalian: kepada tingkatan-tingkatan dzikir kalian. Nabi saw bersabda,
أفضل ماقلت أناو النبيون من قبلى لاإله إلا الله
"Dzikirku dan dzikir para nabi sebelumku yang paling
utama adalah la ilaha illallah."[46]
Dzikir-dzikir
itu bertingkat-tingkat sesuai kedudukan spiritual, baik secara jelas ataupun
samar, mulai dari dzikir lisan, dzikir jiwa, dzikir hati, dzikir roh, dzikir
nurani, dzikir samar, hingga dzikir yang paling samar.
Dzikir lisan
akan mengingatkan hati seseorang kepada meng-ingat Allah tatkala melupakannya.
Dzikir jiwa adalah dzikir yang tak terdengar dengan huruf dan suara, melainkan
terdengar dengan indra dan gerakan batiniah. Dzikir hati adalah perhatian hati
terhadap Keagungan dan Keindahan Allah di dalam sanubari. Dzikir roh adalah
penyaksian cahaya-cahaya penyingkapan Sifat-sifat Allah. Dzikir nurani adalah
pengawasan yang penuh konsentrasi terhadap penyingkapan Rahasia-rahasia Ilahi.
Dzikir samar adalah beriringannya Cahaya-cahaya Keindahan Eksistensi Keesaan
Transenden di tempat yang disenangi. Sedangkan dzikir yang paling samar adalah
memandang Hakikat Yang Mahabenar lagi Maha-yakin, yang tidak diketahui oleh
selain Allah Ta`ala. Dia berfirman,
وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ
وَأَخْفَى
"Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih
tersembunyi." (QS. Thaha [20]: 7)
Itulah tujuan
yang tertinggi dan yang terakhir.
Ketahuilah bahwa
ada roh lain selain itu, yang lebih halus dari semua arwah, yaitu thifl
al-ma`ani (anak makna-makna). Roh yang amat halus ini selalu menyeru kepada
dzikrullah. Para sufi mengatakan bahwa roh ini tidak diberikan kepada
semua orang, tapi hanya untuk orang-orang khusus. Allah Ta`ala berfirman,
يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ
لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ
"Dia mengutus Ruh dengan membawa perintah-Nya kepada
orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya: (QS. Ghafir [40]: 15).
Roh itu adalah
pelengkap `alam al-qudrah, penyaksian `alam al-haqiqah, dan sama
sekali tidak berpaling kepada selain Allah Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,
الد نيا حرام على أهل الآخرة والآخرة حرام على أهل الد نيا وهما
حرامان على أهل الله
"Dunia ini haram bagi orang-orang yang mencari
akhirat, dan akhirat haram bagi orang-orang yang mencari dunia, dan keduanya
haram bagi kaum Allah (orang-orang yang mengenal Allah)."[47]
Jalan menuju
Allah Ta`ala adalah sentiasanya jasad berada di Jalan yang Lurus dengan cara melaksanakan
syari`at siang dan malam, sedangkan kesenantiasaan roh (hati) mengingat Allah
hanyalah kewajiban agama bagi orang-orang yang menempuh jalan spiritual. Allah
Ta`ala berfirman,
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ
"Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, atau dalam keadaan terbaring, dan mereka selalu berpikir." (QS. Ali Imran [3] 191)
Yang dimaksud
dengan berdiri adalah siang hari, duduk adalah malam hari, dan berbaring adalah
kesempitan dan kelapangan, sehat dan sakit, kaya dan miskin, terhormat dan
tidak, dan yang serupa itu. □
8. Syarat-syarat
Dzikir
الفصل الثامن فى بيان شرا ئط الذ كر
Adalah merupakan
syarat bagi orang yang sedang berdzikir, bahwa ia harus melakukannya dalam
keadaan suci dari hadats, dan dengan gerakan yang kuat serta suara yang keras,
sampai batin mereka diterangi oleh cahaya-cahaya dzikir dan hati mereka hidup
dalam kehidupan ukhrawi yang abadi. Allah Ta`ala berfirman,
لَا يَذُوقُونَ فِيهَا ٱلْمَوْتَ إِلَّا ٱلْمَوْتَةَ ٱلْأُولَىٰ
"Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya
kecuali mati di dunia." (QS.
ad-Dukhan [44]: 56).
Rasulullah saw
bersabda,
الأولياء يُصَلُّونَ في قبورهم كما يُصَلُّونَ في بُيُوتِهِمْ الأنبياءو
"Para nabi dan wali shalat di dalam kubur mereka
seperti shalat di rumah mereka." [48]
Maksudnya,
mereka bermunajat dengan Tuhan buat selama-lamanya, bukan shalat lahiriah
berupa berdiri, ruku, dan duduk.
Hal ini
merupakan ibadah roh dari orang-orang yang mengenal Allah, dan karunia dari
Allah Ta`ala terhadap mereka, sehingga mereka selalu berhubungan dengan Allah
walau sudah berada di dalam kubur. Rasulullah saw bersabda, "Orang yang
shalat adalah orang yang sedang bercakap-cakap dengan Tuhannya." [49]
Maka, sebagaimana
hati yang hidup tidak akan tidur, ia juga tidak akan mati. Nabi saw bersabda,
تَنَامُ عَيْنِي وَلا يَنَامُ قَلْبِي
"Mataku tidur, tapi hatiku tidak." [50]
Selain itu
beliau bersabda,
من ات فى طلب العلم بعث الله فى قبره ملكين يعلمانه علم المعرفة
إلى يوم القيامة وقام من قبره عالما و عارفا
"Orang yang mati dalam menuntut ilmu, akan
dikirimkan dua orang malaikat ke kuburnya yang akan mengajarkan ilmu ma`rifat
kepadanya, sehingga ia bangkit dan kubur sebagai orang alim dan `arif." [51]
Yang dimaksud dengan
dua orang malaikat adalah spiritualitas nabi dan wali, karena malaikat tidak
dapat memasuki ke alam ma`rifat dan tidak dapat mengajarkannya. Beliau bersabda
juga,
كم من شخص ماتخ جاهلا وقام من قبره عالما وعارفا وكم من شخص مات
عالما وقام يوم القيامة جاهلا أوفاسقا و مفلسا
"Betapa banyak orang yang mati dalam keadaan bodoh,
tapi dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan alim dan arif. Dan betapa
banyak orang yang mati dalam keadaan alim tapi dibangkitkan pada hari Kiamat
dalam keadaan bodoh dan bangkrut."[52]
Allah Ta`ala
berfirman,
أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَٰتِكُمْ فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنْيَا
وَٱسْتَمْتَعْتُم بِهَا فَٱلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ ٱلْهُونِ بِمَا كُنتُمْ
تَسْتَكْبِرُونَ
"Kalian telah menghabiskan rezeki kalian yang
baik-baik dalam kehidupan dunia dan ber-senang-senang dengannya. Maka, pada
hari ini kalian dibalas dengan azab yang menghinakan karena kalian telah
menyombong-kan diri." (QS. al-Ahqaf
[46]: 20)
Rasulullah saw
bersabda,
إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
"Sesungguhnya amal-amal perbuatan tergantung kepada
niatnya,"[53]
dan
فنية المرء خير من عمله و نية الفاسق شر من عمله لأن النية
بناألعمال
"Niat seorang Mukmin lebih baik daripada
perbuatannya, sedangkan niat orang yang fasik lebih jelek daripada
perbuatannya." [54]
Sebab, niat
adalah pondasi amal-amal perbuatan. Seorang ulama mengatakan, "Bangunan
yang baik bila berada di atas pondasi yang baik akan menjadi baik, sebaliknya,
bangunan yang rusak bila berada di atas pondasi yang rusak akan menjadi
rusak." Allah Ta`ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلْءَاخِرَةِ نَزِدْ لَهُۥ فِى حَرْثِهِۦ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلدُّنْيَا نُؤْتِهِۦ مِنْهَا
وَمَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
"Orang yang menghendaki keuntungan di akhirat akan
Kami tambah keuntungan itu baginya, sedangkan orang yang menghendaki keuntungan
di dunia akan Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan dunia dan tidak ada
baginya satu bagian pun di akhirat "
(QS asy-Syura [42]: 20)
Maka seorang
hamba, di dunia ini, wajib mencari dan mendapatkan kehidupan hati dan
akhiratnya dari wali yang memang mampu memberikan talqin, selagi ada
kesempatan. Rasulullah saw bersabda, "Orang yang mencari dunia dengan amal
perbuatan akhirat tidak akan mendapatkan bagian apa-apa di akhirat." [55]
Dunia adalah ladang
pertanian untuk akhirat. Orang yang tidak menanaminya tidak akan memanen
apa-apa di akhirat. Yang dimaksud dengan ladang pertanian adalah tanah wujud,
bukan dunia luar lahiriah.
9. Melihat Allah Ta`ala
الفصل التاسع فى بيان رؤية الله تعالى
Melihat Allah Ta`ala
ada dua macam: melihat Keindahan-Nya di akhirat kelak secara
langsung tanpa perantaraan cermin hati, dan melihat Sifat-sifat-Nya di dunia
ini dengan perantaraan cermin hati dan melalui pandangan nurani terhadap
pantulan Cahaya-cahaya Keindahan-Nya, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala,
مَا كَذَبَ ٱلْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ
"Hatinya tidak mendustakan apa yang telah
dilihatnya," (QS. an-Najm [53]: 11)
dan sabda Nabi
saw,
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
"Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin
lainnya." [56]
Yang dimaksud
dengan Mukmin yang pertama adalah hati hamba yang beriman, sedangkan Mukmin
yang kedua adalah Allah Ta`ala, sebagaimana disebut dalam firman-Nya,
ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ
"Yang Maha Mengaruniakan keamanan dan Maha
Meme-lihara." (QS. al-Hasyar [59]:
23)
Orang yang
melihat Sifat-sifat Allah Ta`ala di dunia ini akan melihat Eksistensi-Nya kelak
di akhirat tanpa kayfa (bagaimana). Adapun pernyatan-pernyataan yang
muncul perihal melihat Allah Ta`ala di dunia ini oleh wali-wali Allah, seperti
ucapan `Umar ibn al-Khaththab ra, "Hatiku melihat Tuhanku (artinya, dengan
Cahaya Tuhanku)," dan ungkapan `Ali ibn Abi Thalib ra, "Aku tidak mau
menyembah Tuhan yang tidak kulihat," semua itu merupakan penyaksian
mereka terhadap Sifat-sifat Allah, sama hal-nya dengan orang yang melihat
pancaran sinar matahari dari sebuah Misykah (lubang yang tak tembus)
atau lainnya, dimana tidak salah kalau ia mengatakan bahwa ia telah melihat
matahari. Allah Ta`ala menganalogikan Cahaya-Nya dari segi Sifat-sifat-Nya
dengan mengatakan,
ٱلْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ
"...seperti lubang yang tak tembus yang berisi
pelita yang besar ...." (QS. an-Nur
[24]: 35)
Para sufi
mengatakan bahwa misykah itu adalah hati seorang Mukmin, mishbah (pelita
yang besar) adalah rahasia nurani, yaitu ruh sulthani; sedangkan az-Zujajah
(kaca) adalah nurani yang digambarkan sebagai mutiara karena kuatnya
pancaran cahaya-nya. Kemudian Allah Ta`ala menjelaskan tentang bahan bakarnya
dengan mengatakan,
يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ
"Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya (QS. an-Nur [24]: 35)
yaitu pohon
talqin. Sedangkan tauhid orang-orang khusus berasal dari lisan suci tanpa
perantara, sebagaimana Al-Qur`an pun pada dasarnya telah melekat kuat pada diri
Nabi saw melalui lisan suci tersebut, kemudian barulah diturunkan Jibril as
untuk kemaslahatan manusia pada umumnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta`ala,
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى ٱلْقُرْءَانَ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ
"Benar-benar diberi Al-Qur`an dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha
Mengetahui: (QS. an-Naml [27]: 6)
Karena itu, Nabi
saw meminta mendahului Jibril as dalam menerima wahyu, sampai turun ayat,
وَلَا تَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰ إِلَيْكَ
وَحْيُهُۥ
"... dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca
Al-Qur`an sebelum disempurnakan mewahyuannya kepadamu." (QS. Thaha
[20]: 114)
Karena itu,
Jibril as tidak ikut serta pada malam mi`raj dan tidak mampu masuk ke Sidratul
Muntaha.
Kemudian pohon
itu digambarkan oleh Allah Ta`ala di dalam firman-Nya,
لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ
"Tumbuh tidak di sebelah Timur dan tidak juga di
sebelah Barat," (QS. an-Nur [24]:
35)
yakni tidak akan
terkena pembaruan maupun kepunahan, dan tidak akan hilang-hilang timbul,
melainkan tetap azali dan abadi, sebagaimana Allah sendiri pun bersifat wajibul
wujud (Ada tanpa awal dan akhir), Mahaabadi, Mahaazali, serta Selalu dan
Senantiasa Abadi; begitu juga dengan sifat-sifat-Nya karena ia adalah cahaya
dan manifestasi-Nya dan tidak akan terlepas daripada-Nya. Maka tirai jiwa
mungkin saja terbuka dari wajah hati, lalu hati menjadi hidup berkat
cahaya-cahaya ini, sehingga roh mampu menyingkap sifat-sifat Allah melalui misykah
tersebut, sebab tujuan penciptaan alam adalah menyingkap Kekayaan Yang
Tersembunyi, sebagaimana dijelaskan dalam syair yang telah kami sebutkan
sebelum ini.
Melihat
Eksistensi Allah Ta`ala tanpa perantara hanya terjadi di akhirat—Insya Allah,
yaitu melalui pandangan hati nurani yang disebut sebagai anak makna-makna,
sebagaimana disebut dalam firman-Nya,
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ
نَّاضِرَةٌ
"Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka meliliat." (QS. al-Qiyamah [75]: 22-23)
Barangkali, `anak
makna-makna` inilah yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabda beliau
yang berbunyi, "Aku melihat Tuhanku dalam bentuk seorang pemuda yang amat
tampan." Dan Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk
tersebut di dalam cermin roh tanpa perantara sama sekali. Bentuk Tuhan
disini maksudnya hanyalah berupa pantulan cahaya-Nya, bukan berupa bentuk jati
diri-Nya Yang asli. Sebab, Allah Ta`ala Mahasuci dari menyerupai makhluk-Nya
dalam hal berbentuk, bermateri, dan berkarakteristik jasmani. Dan hal ini
hanyalah ber-laku pada Alam Sifat, bukan pada Alam Eksistensi yang semua
perantara akan hangus terbakar dan menjadi lenyap jika memandang-Nya.
Rasulullah saw bersabda,
عَرَفْتُ رَبِّى بِرَبِّى
"Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku." [57]
Maksudnya,
dengan Cahaya Tuhanku.
Hakikat manusia
selalu menuju cahaya tersebut, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala
di dalam hadits Qudsi,
الا نسان سرى وأنا سره
"Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah
Rahasianya," [58]
dan disebut
dalam sabda Nabi saw,
أَنَا مِنَ اللَّهِ ، وَالْمُؤْمِنُونَ مِنِّي
"Aku dari Allah Ta`ala, dan orang-orang Mukmin
adalah dariku." [59]
Allah Ta`ala
berfirman dalam hadits Qudsi,
خلقت مهمدأ من نور وجهى
"Aku menciptakan Muhammad dari cahaya
wajah-Ku." [60]
Yang dimaksud
dengan wajah disini adalah Eksistensi Yang Suci Yang Tersingkap dalam
Sifat Kasih Sayang-Nya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala dalam hadits
Qudsi,
إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
"Rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku." [61]
Allah Ta`ala
berfirman kepada Nabi-Nya,
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ
"Kami mengutusmu hanyalah untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam."1` (QS.
al-Anbiya` [21]: 107)
قَدْ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٌ وَكِتَٰبٌ مُّبِينٌ
"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari
Allah dan kitab yang menerangkan," (QS.
al-Ma`idah [5]: 15)
dan berfirman
dalam hadits Qudsi,
لولا ك لما خلقت الأ فلا ك
"Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena
engkau, Aku tidak menciptakan orbit-orbit."[62]
10. Tirai Kegelapan
dan Tirai Cahaya
الفصل العاشر فى بيان حجب الظلمانية والنورانية
Allah Ta`ala
berfirman,
وَمَن كَانَ فِى هَٰذِهِۦٓ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِى
ٱلْءَاخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا
"Orang yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat
nanti akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar." (QS. al-Isra` [17]: 72)
Maksudnya adalah
orang yang buta mata hatinya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن
تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ
"Sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi hati
yang ada di dalam dada: (QS. al-Hajj
[22]: 46)
Kebutaan mata
hati seseorang disebabkan oleh gelapnya tirai, lalai, dan alpa, yang disebabkan
oleh jauhnya dia dari perjanjian suci antara dia dengan Tuhannya. Kelalaian
disebabkan oleh ketidaktahuan akan hakikat perintah Ilahi, sedangkan
ketidaktahuan itu bersumber dari berkuasanya sifat-sifat kegelapan pada diri
seseorang, seperti kesombongan, dendam, iri, pelit, ujub, ghibah (membicarakan
kejelekan orang lain), mengadu domba, dusta, dan sifat-sifat tercela lainnya
yang menyebabkan diri orang yang memilikinya menjadi turun ke derajat yang
paling rendah.
Sifat-sifat
tercela itu dapat dihilangkan melalui pembersihan cermin hati dengan tauhid,
ilmu pengetahuan, amal perbuatan, dan kesungguhan yang maksimal, baik secara
batiniah maupun lahiriah, demi didapatkannya kehidupan hati berkat cahaya Namanama
dan Sifat-sifat Allah, sehingga ia selalu ingat dan rindu kepada negeri
asalnya, lalu pulang dan tiba ke sana berkat pertolongan Tuhan Yang Maha
Penyayang.
Jika tirai-tirai
kegelapan itu sudah hilang dari seseorang sehingga yang tersisa hanyalah
tirai-tirai yang terang, maka orang tersebut akan mampu melihat dengan mata roh
dan hatinya menjadi bersinar oleh cahaya Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, yang
pada akhirnya tirai-tirai yang terang itu sendiri secara perlahan-lahan akan
hilang juga, digantikan oleh cahaya Eksistensi Allah.
Ketahuilah bahwa
hati itu memiliki dua mata: mata kecil dan mata besar; mata kecil mampu
menyaksikan pengungkapan sifat-sifat Allah dengan cahaya Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya sampai batas alam surga yang bertingkat-tingkat, sedangkan mata
besar mampu menyaksikan pengungkapan cahaya-cahaya Eksistensi Allah di Alam
Ketuhanan, yaitu kedekatan dengan Allah berkat cahaya tauhid Keesaan
Transenden. Sampainya seseorang ke Alam Ketuhanan ini sangat ditentukan oleh
kadar keterputusan-nya dari sifat-sifat kemanusiaan.
Pengertian
persatuan seorang hamba dengan Allah bukanlah seperti bersatunya raga dengan
raga yang lain, atau bersatunya ilmu pengetahuan dengan pengetahuan, atau
bersatunya akal pikiran dengan pikiran, atau pun bersatunya ilusi dengan
bayang-an, melainkan keterputusan hamba tersebut dari selain-Nya lalu bersatu
dengan-Nya. Mahasuci Allah Pemilik hikmah yang amat agung.
Maka
beruntunglah orang yang telah meraih makna persatuan tersebut di dunia ini dan
selalu mengoreksi dirinya sebelum di-koreksi orang lain. Sedangkan orang yang tidak
demikian akan menghadapi berbagai siksaan kelak di hari akhirat, mulai dari
dalam kubur, saat berbangkit, saat perhitungan, saat penimbangan, saat melewati
jembatan Shiratal Mustaqim, dan saat-saat lainnya.
11. Kebahagiaan dan
Kesengsaraan
الفصل الحادى عشر فى بيان السعادة والشقاوة
Ketahuilah bahwa
manusia tidak akan terlepas dari kedua fenomena ini (kebahagiaan dan
kesengsaraan); begitu juga, keduanya akan didapati pada diri seseorang.
Jika kebaikan
dan keikhlasan seseorang lebih dominan pada dirinya, maka kesengsaraan yang
dideritanya akan berubah menjadi kebahagiaan—artinya, sisi psikologisnya akan
berubah menjadi sisi spiritualitas—, adapun jika dia memperturutkan hawa nafsu,
justru kebalikannyalah yang bakal terjadi.
Jika kedua sisi
itu seimbang pada diri seseorang, maka dia memiliki harapan dan kebaikan,
sebab Allah Ta`ala berfirman,
مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا
"Orang yang melakukan perbuatan baik, baginya pahala
sepuluh kali lipat perbuatannya," (QS.
al-An`am [6]: 160)
sehingga
timbangan kebahagiaannya menjadi bertambah berat. Orang ini di akhirat kelak
akan langsung dimasukkan ke dalam surga tanpa melewati proses perhitungan
terlebih dahulu. Sebab, perubahan sisi psikologis menjadi sisi spiritualitas
itu terjadi secara total, tidak perlu timbangan. Begitu juga sebaliknya, akan
langsung masuk neraka tanpa melalui perhitungan.
Orang yang
kebaikannya lebih banyak dari pada kejahatannya akan langsung masuk surga tanpa
merasakan azab sama sekali. Allah Ta`ala berfirman,
فَهُوَ فِى عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ فَأَمَّا مَن
ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ
"Dan orang yang berat timbangan kebaikannya, dia
berada dalam kehidupan yang memuaskan." (QS. al-Qari`ah [101]: 6-7)
Sedangkan orang
yang lebih banyak kejelekannya ketimbang kebaikannya akan disiksa di dalam
neraka sekadar kesalahannya, lalu dikeluarkan dari neraka jika dia memiliki
iman, dan dimasukkan ke dalam surga.
Kebahagiaan dan
kesengsaraan yang kami maksudkan adalah eksistensi kebaikan dan kejelekan yang
senantiasa datang dan pergi silih berganti pada diri seseorang, sebagaimana
dikatakan oleh Rasulullah saw,
الشقى قد يسعد والسعيد قد يشقى
"Orang yang bahagia terkadang sengsara; sebaliknya,
orang yang sengsara terkadang bahagia."[63]
Jika
kebaikan-kebaikannya lebih dominan, jadilah ia orang yang bahagia. Sebaliknya,
jika yang lebih dominan itu adalah kejelekan-kejelekannya, maka ia adalah orang
yang sengsara. Namun jika ia bertobat dan beramal shaleh, niscaya Allah Ta`ala
akan mengubah kesengsaraannya menjadi kebahagiaan. Adapun orang yang telah
ditakdirkan bahagia atau pun sengsara oleh Allah Ta`ala pada zaman Azali, maka
orang itu akan menjalani hidupnya sesuai dengan takdir tersebut, sebagaimana
Rasulullah saw bersabda, "Orang
yang bahagia itu adalah orang yang ditakdirkan bahagia ketika masih berada di
dalam perut ibunya, dan orang yang orang yang ditakdirkan sengsara ketika masih
berada di dalam perut ibunya." [64]
Cuma saja takdir
ini tidak boleh dibahas karena ia termasuk kepada rahasia takdir yang
tidak seorang pun boleh berdalih dengannya.
Pengarang Tafsir
al-Bukhari mengatakan, "Sungguh banyak rahasia yang bisa diketahui
namun tidak boleh dijadikan alasan untuk berdalih, misalnya rahasia takdir.
Sungguh Iblis telah menjadikan takdir ini sebagai dalih dari kesalahannya,
sehingga ia dikutuk karenanya, sedangkan Adam as mengaitkan maksiatnya kepada
diri sendiri, sehingga ia pun beruntung dan disayang.
Diriwayatkan
bahwa seorang arif bermunajat kepada Allah Ta`ala dengan mengatakan,
"Wahai Tuhanku, Engkaulah Yang Menetapkan takdir, Engkaulah Yang
Berkehendak, dan Engkaulah Yang Menciptakan maksiat pada diriku."
Tiba-tiba, terdengar bisikan yang berbunyi, "Wahai hamba-Ku, semua itu
adalah urusan-Ku, lalu bagaimanakah dengan urusanmu?" Orang arif itu
menjawab, "Urusanku adalah mengatakan bahwa aku telah bersalah, aku telah
berdosa, dan aku telah menzalimi diriku sendiri." Bisikan itu terdengar
lagi, "Aku ampuni kesalahan-kesalahanmu, Aku maafkan dosa-dosamu, dan Aku
sayangi kamu."
Orang-orang Sufi
mentakwilkan kata `ibu` yang terdapat di dalam hadits di atas dengan gabungan
unsur-unsur yang kekuatan-kekuatan manusiawi berasal dari situ. Menurut mereka,
tanah dan air adalah manifestasi kebahagiaan, karena keduanya adalah tempat
hidup dan tumbuhnya ilmu, iman, dan perasaan tawadhu` yang ada di dalam hati.
Sebaliknya, api dan udara adalah manifestasi kesengsaraan, karena keduanya
membakar dan mematikan. Mahasuci Allah Yang telah menyatukan unsur-unsur yang
saling kontradiksi ini pada satu tubuh, seperti Dia menyatukan air dengan api,
dan cahaya dengan kegelapaan di awan. Allah Ta`ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِى يُرِيكُمُ ٱلْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ
ٱلسَّحَابَ ٱلثِّقَالَ
"Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu
untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung."
(QS. ar-Ra`d [13]: 12)
Ketika Yahya ibn
Mu`adz ar-Razi ditanya orang, "Dengan apa kita mengenal Allah?" Dia
menjawab, "Dengan melihat bahwa Dia telah menyatukan hal-hal yang
bertentangan."
Karena itu,
manusia adalah cetakan dari Ummul Kitab, cermin Tuhan dalam hal
keindahan dan keagungan, dan himpunan alam semesta. Manusia disebut sebagai kaun
jami` (alam semesta yang komprehensif) dan `alam kubra (alam yang
paling besar), karena Allah menciptakannya dengan kedua Tangan-Nya, yaitu
dengan sifat ke-Mahaperkasaan dan ke-Mahalembutan-Nya. Sebab, sebagai cermin
ia harus memiliki dua sisi, yaitu sisi padat atau tebal dan sisi halus atau
lembut. Dengan demikian, manusia berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain yang
diciptakan dengan satu Tangan (satu Sifat).
Makhluk yang
diciptakan dengan Sifat Kelembutan saja adalah malaikat. Mereka adalah
manifestasi dari istilah as-Subbuh (Kesucian) dan al-Quddus (Kekudusan)
saja.
Makhluk yang
diciptakan dengan Sifat Keperkasaan saja adalah Iblis dan keturunannya; mereka
adalah manifestasi dari istilah Keperkasaan. Oleh sebab itu, mereka merasa
enggan dan sombong untuk bersujud kepada Adam as.
Karena manusia
menghimpun karakteristik semua ciptaan, baik yang luhur maupun yang rendah,
maka para nabi pun tidak terlepas dari kesalahan. Para nabi, setelah menerima
kenabian dan risalah, memang ma`shum (terpelihara) dari dosa-dosa besar,
namun tidak terpelihara dari dosa-dosa kecil. Sedangkan para wali bukanlah
orang-orang yang ma`shum seperti nabi-nabi. Ada yang berpen-dapat bahwa para
wali mahfuzh (terjaga) dari dosa-dosa besar setelah kewalian mereka
sempurna.
Asy-Syaqiq
al-Balkhi r.a mengatakan, "Tanda kebahagiaan ada lima:
lembutnya hati, banyaknya tangisan, zuhud terhadap dunia, pendeknya
angan-angan, dan tingginya rasa malu. Tanda kesengsaraan ada lima juga:
kerasnya hati, keringnya mata, cinta kepada dunia, panjangnya angan-angan, dan
rendahnya rasa malu."
Rasulullah saw
bersabda,
علا مة السعيد أربعة إذا ائتمن عد ل وإذا عاهد و فى و إذا تكلم صدق و إذا
خاصم لم يشتم و علا مة الشقى أربعة إذا ائتمن خان وإذا عاهد أخلف و
إذا تكلم كذ ب وإذا خاصم شتم ولا يعفو عن زلة إخوا نه
"Tanda orang yang bahagia ada empat: jika dipercaya
dia amanah, jika berjanji dia menepati, jika berbicara dia jujur, dan jika
merasa kesal dia tidak mencaci. Tanda orang yang sengsara ada empat: jika
dipercaya dia khianat, jika berjanji dia mungkir, jika berbicara dia berdusta,
dan jika dia merasa kesal dia mencaci dan tidak mau memaafkan."[65]
Allah Ta`ala berfirman,
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى
ٱللَّهِ
"Orang yang memaafkan dan berbuat baik, maka
pa-halanya atas tanggungan Allah" (QS.
asy-Syura [42]: 40)
Ketahuilah,
perubahan kesengsaraan menjadi kebahagiaan atau sebaliknya hanyalah terjadi
berkat pendidikan. Rasulullah saw bersabda,
وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci/
Islam). Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."[66]
Hadits ini
menunjukkan bahwa setiap orang berpotensi untuk menerima kebahagiaan dan
kesengsaraan. Dengan demikian, kita tidak boleh mengatakan bahwa si anu
benar-benar bahagia dari sananya atau benar-benar sengsara dari sananya, tetapi
kita harus mengatakan bahwa si anu itu bahagia lantaran kebaikan-kebaikannya
mengalahkan kejelekan-kejelekannya, begitu juga sebaliknya. Barangsiapa yang
mengubah rumusan ini telah sesat karena dengan demikian berarti ia meyakini
bahwa ada orang yang masuk surga tanpa beramal shaleh dan bertobat, atau ada
yang masuk neraka tanpa melakukan maksiat, yang jelas-jelas bertentangan dengan
nash-nash agama. Allah Ta`ala telah menjanjikan surga bagi orang-orang yang
melakukan kebaikan, dan neraka bagi orang-orang yang melakukan kemaksiatan,
kemusyrikan, dan kekufuran. Allah Ta`ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ
إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
"Orang yang mengerjakan amal shaleh maka pahalanya
untuk dirinya sendiri, dan orang yang berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya
sendiri," (QS. Al jatsiyah [45]- 15)
ٱلْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لَا ظُلْمَ ٱلْيَوْمَ
Tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang
diusahakannya tidak ada yang dirugikan pada hari ini," (QS. Ghafir [40]: 17)
وَأَنَّ سَعْيَهُۥ
سَوْفَ يُرَىٰ وَأَن لَّيْسَ
لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan
diperlihatkan kepadanya," (QS.
an-Najm [53]: 39-40)
dan
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ
اللَّهِ
"Dan kebaikan yang kalian usahakan untuk diri kalian
sendiri pasti akan kalian dapatkan pahalanya di sisi Allah." (QS. al-Baqarah [2]:110)
12. Orang-orang Faqir
الفصل الثانى عشر فى الفقراء ولماذا سموا صوفية
Sejumlah sufi
mengatakan, "Mereka disebut sufi karena memakai shuf (pakaian dari
bulu binatang)." Yang lain mengatakan, " karena mereka melakukan tashfiyah
(penjernihan) terhadap hati mereka dari segala sesuatu selain Allah Ta`ala."
Yang lain mengatakan”…karena mereka berdiri pada hari Kiamat pada shaff (barisan)
pertama yaitu di alam al-qurbah (kedekatan) dengan Allah Ta`ala. Sebab
alam itu ada empat macam: Alam Kerajaan Lahmah, Lam Kethanan Batiniah, Alam
Tuhan Yang Mahakuasa, dan Alam Ketuhanan, yaitu Alam Hakikat.
Ilmu ada empat
macam: ilmu syari`at, ilmu tarekat, ilmu ma nfet, dan ilmu hakikat.
Arwah ada empat
macam: ruh jasmani, ruh rawwani sairani, ruh sulthani, dan ruh
qudusi.
Penyingkapan
diri Tuhan ada empat macam: penyingkapan akibat-akibat Perbuatan Allah,
penyingkapan Perbuatan-perbuatan Allah, penyingkapan Sifat-sifat Allah, dan
penyingkapan Eksistensi Allah.
Dan akal pun ada
empat macam: akal tempat mencari nafkah, akal tempat kembali, akal zamani, dan
akal universal.
Manusia terikat
dengan hal-hal yang menjadi ganti bagi keempat poin tersebut, yaitu ilmu-ilmu
yang empat, arwah-arwah, penyingkapan-penyingkapan diri Tuhan, dan akal yang
empat macam. Sebagian mereka terikat dengan semua bagian yang pertama: yaitu
dengan ilmu yang pertama (ilmu syari`at), roh yang pertama (ruh jasmani), dan
akal yang pertama (akal tempat mencari nafkah), di surga yang pertama, yaitu
Surga Ma`wa. Sebagian yang lain terikat dengan semua bagian yang kedua di surga
yang kedua yaitu Surga Na`im, dan sebagian yang lain terikat dengan semua
bagian yang ketiga di surga yang ketiga yaitu Surga Firdaus. Ada juga yang
lalai dari hakikat masalah ini.
Orang-orang yang
merupakan ahlul Haq (kaum Allah) dari kalangan orang-orang faqir (yang
melakukan peniadaan diri dalam Allah) lagi arif melaksanakan semua bagian itu
untuk menuju ke arah kedekatan dengan Allah Ta`ala dan tidak terikat dengan apa
pun selain-Nya. Mereka mengikuti firman Allah Ta`ala yang berbunyi,
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ
"Maka segeralah kembali kepada Allah." (QS. adz-Dzariyat [51]: 50).
Rasulullah saw
bersabda,
الد نياوالآخرة حراما على أهل الله
"Keduanya (dunia dan akhirat) adalah haram bagi kaum
Allah." [67]
Allah Ta`ala
berfirman dalam hadits Qudsi, "
محبتى محبة الفقراء
Cinta-Ku adalah Cinta kepada orang-orang faqir." [68]
Rasulullah saw
bersabda,
الْفَقْرُ فَخْرِي
"Kefaqiran adalah kebanggaanku."[69]
Yang dimaksud
dengan kefaqiran adalah peniadaan diri dalam Allah, tidak tersisa sesuatu pun
pada dirinya untuk dirinya, dan tidak ada di hatinya selain Allah dan cinta
kepada-Nya. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
يسعنى أرضى ولا سمأ ئىبل يسعنى قلب عبد ى المؤ من
"Bumi dan langit-Ku tidak cukup luas untuk-Ku. Yang
cukup luas untuk-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman." [70]
Maksudnya,
Mukmin yang jernih hatinya dari sifat-sifat kemanusiaan, kosong dari segala
selain Allah, sehingga hatinya cukup luas untuk Allah Sang Mahabenar.
Abu Yazid
al-Busthami ra mengatakan, "Jika `Arasy Ilahi beserta isinya dilemparkan
ke salah satu pojok hati orang yang mengenal Allah, sungguh ia tidak akan
merasakannya. Barangsiapa yang mencintai para pecinta Allah itu akan bersama
mereka nanti di akhirat, dan bukti cinta kepada mereka itu adalah dengan merasa
senang menemani mereka, serta merasa rindu kepada Allah dan perjumpaan
dengan-Nya. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
طال شوق الا برار إلى لقا ئى و إنى لأ شد شو قا إليهم و أما لبا
سهم
`Sungguh sangat dalam kerinduan orang-orang yang shaleh
dan bertakwa kepada perjumpaan dengan-Ku, tapi kerinduan-Ku kepada mereka jauh
lebih dalam.`[71]
Pakaian mereka
ada tiga macam: bulu biri-biri bagi para pemula, bulu kambing bagi tingkat
pertengahan, dan bulu halus kambing, yaitu wol persegi, bagi tingkat atas
tinggi.
Pengarang Tafsir
al-Majma` mengatakan, "Orang-orang yang zuhud pantas dengan pakaian,
makanan, dan minuman yang keras, karena mereka berada pada tingkat pemula.
Sedangkan orang-orang yang mengenal dan bersatu dengan Allah pantas dengan yang
lembut dari semua itu."
Amal perbuatan
wali pemula masih diwarnai oleh perbuatan yang tercela (disamping
perbuatan-perbuatan baik, tentunya), sedangkan amal perbuatan wali pada tingkat
pertengahan hanya diwarnai oleh warna-warna yang terpuji seperti cahaya syari`at,
tarekat, dan ma`rifat, sehingga pakaian mereka pun berwarna, seperti putih,
biru, dan hijau. Adapun amal perbuatan wali pada tingkat tinggi
bersih dari warna apapun laksana cahaya matahari yang tidak menerima warna,
sehingga pakaian mereka pun memiliki warna yang tidak menerima warna, seperti
warna hitam yang merupakan tanda kefana`an dalam Allah dan kerudung cahaya ma`rifat
mereka, sebagaimana malam adalah kerudung bagi cahaya matahari. Allah Ta`ala
berfirman,
يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ
"Dia menutupkan malam kepada siang." (QS. al-A`raf [7]: 54),
dan
وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا
"Dan kami jadikan malam sebagai pakaian." (QS. An-Naba` [78]: 10).
Dalam ayat-ayat
itu terkandung isyarat yang sangat halus bagi orang yang memiliki relung hati
(nurani).
Selain itu,
orang-orang yang dekat dengan Allah, di dunia ini mereka seperti di dalam
penjara, terasing, gelisah, murung, sukar, dan gelap. Rasulullah saw bersabda,
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ
"Dunia ini adalah ibarat penjara bagi orang yang
beriman." [72]
Pakaian yang
cocok dikenakan dalam kondisi gelap adalah pakaian yang berwarna gelap. Disebutkan
dalam hadits Shahih bahwa Nabi saw memakai pakaian dan sorban berwarna hitam.
Inilah pakaian
belasungkawa bagi orang-orang yang terkena musibah oleh cahaya kapabilitas
untuk menerima penyaksian, penyingkapan, dan pengalaman dengan Allah, juga
oleh matinya kehidupan yang abadi, seperti rindu dan cinta yang bergelora
kepada Allah, didatangi Roh Yang suci, serta mencapai tingkatan dekat dan
bersatu dengan Allah. Semua itu merupakan musibah yang paling besar, sehingga
wali yang tertimpanya harus memakai pakaian belasungkawa seumur hidupnya,
karena dia kehilangan kesenangan ukhrawi. Perempuan yang ditinggal mati
suaminya diperintah oleh Allah Ta`ala untuk memakai pakaian belasungkawa selama
empat bulan sepuluh hari, karena dia kehilangan kesenangan duniawi
dengan kematiannya. Karena itu, masa belasungkawa atas hilangnya kesenangan
ukhrawi tidak ada akhirnya. Rasulullah saw bersabda, "Manusia yang paling besar kesusahan-nya
adalah para nabi, lalu orang-orang yang serupa dengan mereka, lalu orang-orang
yang paling serupa dengan orang-orang itu."[73]
Rasulullah saw
bersabda juga,
الْمُخْلِصُونَ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ
"Orang-orang yang ikhlas berada dalam bahaya yang
sangat besar."[74]
Hadits-hadits di
atas adalah deskripsi tentang kefaqiran dan ketiadaan diri di dalam Allah.
Seorang sahabat mengatakan,
الْفَقْرُ سَوَادُ الْوَجْهِ فِي الدَّارَيْنِ
"Kefaqiran adalah hitamnya wajah di dua Tempat
Tinggal." [75]
Artinya, dia
tidak menerima warna selain cahaya Wajah Allah Ta`ala. Warna hitam itu adalah
ibarat sesuatu yang kosong ditempelkan ke wajah yang amat tampan dan cantik sehingga
ketampanan dan kecantikannya bertambah. Jika orang yang dekat dengan Allah
memandang Wajah-Nya, maka cahaya mata mereka tidak akan mampu menerima segala
selain Allah Ta`ala; tidak akan memandang SWT dengan perasaan cinta kepada
segala selain Allah; Kekasih dan Tujuan mereka di kedua Tempat Tinggal tersebut
hanyalah Allah Ta`ala; dan mereka tidak akan menuju kepada selain Allah Ta`ala,
karena Dia menciptakan manusia untuk mengenal-Nya dan bersatu dengan-Nya.
Dengan demikian,
manusia wajib mengusahakan "tujuan" penciptaan dirinya di dua Tempat
Tinggal tersebut, supaya dia tidak menyia-nyiakan umurnya atas hal yang tidak
penting, dan tidak akan menyesal karena telah menyia-nyiakan umurnya.
13. Kesucian
الفصل الثالث عشر فى بيان الطهارة
Kesucian ada dua
macam: kesucian zahir dan kesucian batin. Kesucian zahir diperoleh dengan air
syari`at, sedangkan kesucian batin didapatkan dengan air tobat, talqin,
penjernihan hati, dan menempuh jalan spiritual.
Jika wudhu`
syari`at batal oleh sebab keluarnya najis, maka ia wajib diulang
kembali. Rasulullah saw bersabda,
من جدد الو ضوء جدد الله
"Barangsiapa yang memperbarui wudhu`nya akan
diperbarui imannya oleh Allah Ta`ala." [76]
jika wudhu`
batin yang batal oleh sebab perbuatan-perbuatan yang tercela dan akhlak-akhlak
yang rendah, seperti sombong, dendam, iri, ujub, membicarakan kejelekan orang
lain, dusta, dan khianat, yaitu seperti khianatnya mata, kedua tangan, kaki,
dan telinga, sebagaimana disebut dalam sabda oleh Rasulullah saw,
الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ
"Kedua mata dan telinga dapat berzina," [77]
maka
memperbarui-nya adalah dengan mengikhlaskan taubah (beranjak dari
dosa-dosa besar kepada kepatuhan) dari perbuatan-perbuatan yang merusak itu dan
memperbarui al-inabah (kembali kepada Allah dengan meninggalkan apa pun
selain-Nya) dengan cara menyesal, memohon pengampunan, dan menyibukkan diri
dalam upaya mengeluarkan perbuatan-perbuatan dosa itu dari dalam batin.
Orang yang
mengenal Allah harus menjaga tobatnya dari penyakit-penyakit tersebut demi
kesempurnaan pertaliannya dengan Allah Ta`ala. Allah Ta`ala berfirman,
هَٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ
"Inilah yang dijanjikan kepada setiap hamba yang
selalu kembali kepada Allah dan memelihara semua peraturan-Nya." (QS. Qaf [50]: 32)
Wudhu` dan
shalat zahir seseorang bersifat temporal, sedangkan wudhu` dan shalat batinnya
bersifat kontinu sepanjang hari, siang maupun malam.
14. Shalat Syari`at
dan Shalat Tarekat
الفصل الرابع عشر فى بيان صلاة الشر يعة والطريقة
Shalat syari `at
adalah shalat yang dilakukan dengan menggunakan seluruh anggota tubuh lahir
dengan melakukan gerakan-gerakan tubuh seperti berdiri, ruku",
sujud, duduk, dan lain-lain.
Allah Ta`ala
berfirman,
حَٰفِظُوا عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ
"Peliharalah oleh kalian semua shalat." (QS. al-Baqarah [2]: 238)
Adapun yang
dimaksud dengan shalat tarekat adalah shalat hati yang kontinu. Allah Ta`ala
berfirman,
وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ
"Dan peliharalah shalat
Wustha" (QS. al-Baqarah [2]: 238).
Yang dimaksud
dengan "shalat Wustha" di sini adalah shalat hati, karena hati
diciptakan di tengah-tengah raga, di antara sisi kiri dan sisi kanan, di antara
sisi atas dan sisi bawah, dan di antara kebahagiaan dan kesengsaraan, sebagaimana
disabdakan oleh Rasulullah saw,
إن قلوب بنى آدم بين إصبعين من أصابع الرحمن يقلبها كيف يشاء
"Hati Bani Adam itu berada di antara dua jari dari
jari-jari Tuhan Yang Maha Rahman; Dia membalik-balikkannya
sekehendak-Nya." [78]
`Dua jari Tuhan`
di sini maksudnya adalah dua sifat-Nya, yaitu Sifat Keperkasaan dan Sifat Kelembutan,
karena Allah Ta`ala suci dari memiliki jari-jari.
Berdasarkan
kepada ayat dan hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa shalat hati memegang
peranan terpenting yang jika seseorang lalai dalam shalat ini, maka rusaklah
kedua shalatnya, yaitu shalat hati dan shalat anggota tubuh. Rasulullah saw bersabda
لا صلاة إلا بجضور القلب
"Tidak sah shalat kecuali dengan hadirnya
hati."[79]
Sebab, shalat
merupakan percakapan seseorang dengan Tuhannya, sedangkan tempat percakapan itu
adalah hati. Jika hatinya lalai, batallah shalatnya, dan terhapuslah shalat
anggota tubuhnya. Hati adalah asal, sedang anggota tubuh lain adalah
pengikutnya. Nabi saw bersabda,
إن فى جسد ابن آدم لمضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسد ت فسد
الجسد كله ألاو هى القلب
"Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging
yang jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh
tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati." [80]
Shalat syari`at
bersifat temporal, yaitu lima kali sehari semalam, sunnah dilaksanakan di
mesjid secara berjamaah, menghadap ke Ka`bah, mengikuti imam, dan dilakukan
dengan penuh keikhlasan, tanpa sok pamer ataupun mencari kehormatan. Sedangkan
shalat tarekat abadi sepanjang umur, masjidnya adalah hati, jemaahnya adalah
himpunan semua daya batin, menyibukkan diri dalam mengucapkan nama-nama tauhid
dengan lidah batin, imamnya adalah kerinduan relung hati, kiblatnya adalah al-hadhrah
al-ahadiyyah (Kehadiran Keesaan Transenden) dan jamal ash-shamadiyyah (Keindahan
Ke-Mahamandiri-an Abadi), dan itulah Kiblat Hakikat. Shalat ini senantiasa
dilaksanakan oleh hati dan roh, sebab ia tidak mati dan tidak tidur. Dia sibuk dengan
kehidupan hatinya, baik pada saat tertidur maupun terjaga, tanpa suara, tanpa
berdiri, dan tanpa duduk. Dia diperintah untuk mengikuti Nabi Muhammad saw oleh
firman Allah Ta`ala yang berbunyi,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada
Engkaulah kami mohon pertolongan." (QS.
al-Fatihah [1]: 5)
Pengarang tafsir
Al-Qadhi mengatakan, "Di dalam ayat tersebut terdapat
isyarat tentang keadaan spiritual orang yang mengenal Allah dan perpindahannya
dari keadaan spiritual ketidak-hadiran menuju keadaan spiritual kehadiran,
sehingga ia berhak mendapatkan perintah seperti itu. Rasulullah saw bersabda, `Para
nabi dan wali melaksanakan shalat di dalam kubur mereka seperti di dalam rumah.`"
Artinya, mereka sibuk dengan Allah dan ber-cakap-cakap dengan-Nya demi hidupnya
hati mereka. Jika shalat syari`at seseorang berhimpun dengan shalat tarekat,
baik secara zahir maupun batin, maka sempurnalah shalat orang itu. Artinya,
shalatnya menjadi sempurna dan imbalannya pun amat besar` yaitu kedekatan
dengan Allah bagi spiritualitasnya, dan surga yang bertingkat-tingkat bagi
tubuhnya, sehingga ia akan menjadi seorang hamba Tuhan secara zahir dan seorang
`arif (orang yang mengenal Allah) secara batin. Adapun bila shalat tarekat ini
tidak diperoleh dengan hidupnya hati, maka shalat orang itu tidak sempurna dan
balasannya hanyalah sekadar surga yang bertingkat-tingkat, bukan kedekatan
dengan Allah."
15. Kesucian Ma`rifat
di Alam Abstrak
الفصل الخامس عشر فى بيان طهارة المعرفة فى عالم التجريد
Kesucian ma`rifat
ada dua macam: kesucian ma`rifat Sifat dan ke-sucian ma`rifat Eksistensi Kesucian
ma`rifat Sifat hanya diperoleh melalui. talqin dan penfernihan cermin
hati dengan Nama-nama Allah dan ego-ego manusiawi dan hewani, sehingga hati
tersebut menjadi suci dan mampu memandang cahaya Allah melalui mata hatinya dan
mampu memandang pantulan keindahan Allah di cermin hatinya melalui Cahaya Sifat-sifat-Nya.
Rasulullah saw bersabda,
المؤ من ينظرؤبنور الله تعالى
“Seorang Mukmin memandang dengan Cahaya Allah," [81]
dan,
القلب مرآة المؤمن
"Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin
lainnya." [82]
Seorang sufi
mengatakan, "Seorang alim mengukir, sedangkan seorang arif
menggosok."
Jika penjernihan
hati itu telah sempurna dengan cara menyi-bukkan lidah hati dengan mengucapkan
Nama-nama Allah, maka diperolehlah ma`rifat Sifat-sifat Allah melalui
penyaksian di dalam cermin hati.
Sedangkan
kesucian ma`rifat Eksistensi di dalam relung kesadaran yang paling dalam hanya
dapat diraih dengan menyibukkan lidah hati dengan mengucapkan Tiga Nama Tauhid
Terakhir dari Dua Belas Nama Allah melalui Cahaya Tauhid. Jika Cahaya-cahaya
Eksistensi mengungkapkan diri, maka cahaya-cahaya yang lain melarut dan meniada
secara total. Itulah maqam al-istihlak (kedudukan spiritual kehancuran)
dan maqam fana`al-fana (kedudukan spiritual meniadanya ketiadaan dalam
Allah). Pengungkapan diri itu menghapus semua cahaya. Allah Ta`ala berfirman,
كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
"Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah." (QS. al-Qashash [28]: 88).
Maka, abadilah
Roh Qudusi dengan cahaya kesucian dalam keadaan memandang-Nya, memandang
dengan-Nya, dari-Nya, bersama-Nya, dan menunjukkan-Nya tanpa kuaktas dan
keserupaan, karena Allah Ta`ala,
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya."
(QS. asy-Syura [42]: 11).
Maka, abadilah
Cahaya Absolut Murni, dan tidak dapat dikatakan lebih daripada itu, karena ia adalah
alam keterhapusan, sehingga tidak ada akal apa pun yang dapat menceritakannya,
dan tidak terdapat di dalamnya selain Allah Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,
لِي مَعَ اللَّهِ وَقْتٌ لَا يَسَعُ فِيهِ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا
نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
"Aku memiliki waktu bersama Allah yang tidak
disertai oelh orang lain, baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun nabi
utusan-Nya."[83]
Itulah Alam at-tajrid
(penarikan diri sepenuhnya) dari selain Allah Ta`ala. Dia berfirman dalam
hadits Qudsi,
تجرد تصل إلى و المراد
"Tariklah dirimu, pasti engkau bersatu."
Yang dimaksud
dengan penarikan diri adalah peniadaan total semua sifat kemanusiaan, sehingga
dia abadi di alamnya tersifati oleh Sifat Allah Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,
تخلقو ابأ خلاق الله
"Berakhlaklah kalian dengan Akhlak Allah."
[84]
Maksudnya,
ambillah Sifat-sifat Allah.
16. Zakat Syari`at
dan Zakat Tarekat
الفصل الساد س عشر فى بيان زكاة الشريعة والطريقة
Zakat syari`at
adalah memberikan sebagian hasil usaha dunia kepada orang-orang yang berhak
menerimanya pada waktu-waktu tertentu setahun sekali dengan takaran tertentu.
Sedangkan zakat tarekat adalah memberikan seluruh hasil usaha akhirat di
jalan Allah kepada orang-orang miskin agama dan akhirat.
Zakat syari`at
di dalam Al-Qur`an disebut shadaqah. Allah Ta`ala berfirman,
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ
"Sesungguhnya shadaqat
itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin." (QS.
at-Taubah [9]: 60)
la disebut shadaqah
karena shadaqah itu akan sampai ke tangan Allah Ta`ala (maksudnya,
diterima oleh Allah) sebelum sampai ke tangan orang-orang miskin.
Zakat tarekat
itu abadi, yaitu seseorang memberikan pahala usaha akhiratnya, seperti pahala
salat, zakat, puasa, haji, tasbih, tahlil, membaca Al-Qur`an, kedermawanan, dan
kebaikan-kebaikan lain, kepada para pelaku maksiat demi keridhaan Allah Ta`ala,
agar dengannya Dia mengampuni dosa-dosa mereka, sehingga pahala
kebaikan-kebaikannya itu tidak tersisa sedikit pun untuk dirinya sendiri dan
dia menjadi bangkrut, karena Allah mencintai kedermawanan dan kebangkrutan.
Rasulullah saw bersabda,
المفلس فى امان الله تعالى فى الدارين
"Orang yang bangkrut berada dalam naungan keamanan
Allah di dua Tempat Tinggal."[85]
Seorang hamba
sahaya beserta apapun yang ada padanya adalah milik Tuannya. Oleh sebab itu,
pada hari Kiamat kelak, Allah Ta`ala akan melipatgandakan baginya sepuluh kali
lipat untuk tiap-tiap kebaikan yang dilakukannya. Allah Ta`ala berfirman,
مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ
عَشْرُ أَمْثَالِهَا
"Orang yang melakukan kebaikan, baginya balasan
sepuluh kali lipat kebaikannya." (QS.
al-An`am [6]: 160)
Dari sisi lain,
zakat berarti membersikan hati dari sifat ego. Allah Ta`ala berfirman,
مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهۥ لَهُ
أَضْعَافًا كَثِيرَةً
"Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada
Allah, maka Allah akan menggandakan pembayaran kepadanya berlipat-lipat
kali." (QS. al-Baqarah [2]: 245)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
Sesungguhnya telah beruntung
orang yang menyucikan (jiwa)nya. (al-Syams [91]: 9).
Yang dimaksud dengan memberi pinjaman adalah
memberikan semua kebaikan yang dimilikinya di jalan Allah sebagai kebaikan
kepada ciptaan-Nya demi Wajah-Nya Yang Mahamulia dan Belas Kasih-Nya, tanpa
menyebut-nyebut pemberian itu, sebagaimana diterang-kan oleh Allah Ta`ala dalam
firman-Nya,
لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي
"Janganlah kalian menghilangkan pahala sedekah
kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerimanya." (QS. al-Baqarah [2]: 264),
dan tanpa mengharapkan
gantinya di dunia. Itulah yang termasuk dalam bagian nafkah di jalan Allah Ta`ala,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
"Kalian tidak akan sampai kepada kebaktian yang
sempurna sebelum kalian menaf-kahkan sebagian harta yang kalian cintai." (QS. Ali `Imran [3]: 92)
di jalan Allah
Ta`ala.
17. Puasa Syari`at dan Puasa Tarekat
الفصل السابع عشر فى بيان صوم الشر يعة والطريقة
Puasa syari`at
adalah menahan diri dari berbagai makanan dan minuman, serta bersanggama dengan
istri pada siang hari. Sedangkan puasa tarekat adalah menahan semua
anggota tubuh dari berbagai pantangan, larangan, dan perbuatan tercela, seperti
ujub, sombong, kikir, dan lain-lain, baik zahir maupun batin, karena semuanya
membatalkan puasa tarekat.
Puasa syari`at
seseorang bersifat temporal, sedangkan puasa tarekat bersifat abadi sepanjang
umurnya. Rasulullah saw bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
"Betapa banyak orang berpuasa namun tidak
mendapatkan balasan apa-apa dari puasanya selain dari rasa lapar." [86]
Seorang ulama
mengatakan, "Banyak sekali orang yang berpuasa namun sebenarnya ia tidak
berpuasa, dan banyak juga orang yang tidak berpuasa namun sebenarnya ia
berpuasa." Maksudnya, orang itu menahan semua anggota tubuh dari dosa-dosa
dan menyakiti orang lain. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
الصِّيَامَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
"Puasa itu untuk-ku dan Aku yang akan
membalasnya," [87]
dan berkata SAW,
للصائم فر حتان فرحة عند الافطا روفرحة عند رؤ يته رزقنا الله تعالى بفضله و كرمه
"Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan.
Kegembiraan pada saat berbuka dan kegembiraan pada saat melihat
keindahan-Ku."[88]
Kalau
ulama-ulama syari`at mengatakan, "Yang dimaksud dengan berbuka puasa itu
adalah makan pada saat matahari tenggelam, dan yang dimaksud dengan ru`yah (melihat)
adalah melihat bulan pada malam `Id (hari raya)," maka ulama-ulama tarekat
berkata, yang dimaksud dengan berbuka puasa itu adalah makan makanan-makanan
surga tatkala memasukinya dan gembira pada saat pada saat berjumpa dengan Allah
pada hari Kiamat, me-mandang wajah-Nya secara nyata dengan pandangan relung
ke-sadaran yang paling dalam.
Adapun
pengertian puasa hakikat adalah menahan relung hati dari mencintai selain Allah
Ta`ala dan menahan relung kesadaran yang paling dalam dari mencintai penyaksian
selain Allah. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,
الانسان سرى وأنا سره
"Manusia adalah Rahasia-Ku yang paling dalam dan Aku
adalah relung kesadaran-nya yang paling dalam." [89]
Relung kesadaran
yang paling dalam itu berasal dari Cahaya Allah, sehingga ia tidak tertarik
kepada selain Allah Ta`ala, tidak mempunyai kekasih, kesukaan, dan tujuan di
dunia dan akhirat selain-Nya. Jika di relung kesadaran yang paling dalam
seseorang tumbuh cinta kepada selain Allah, rusaklah puasa hakikatnya dan dia
harus mengganti puasanya, yaitu dengan kembali kepada Allah dan perjumpaan
dengan-Nya. Balasan bagi puasa hakikat ini adalah perjumpaan dengan Allah di
akhirat.
18. Haji Syari`at dan Haji Tarekat
الفصل الثامن عشر فى بيان حج الشر يعة و الطريقة
Haji ada dua
macam: haji syari`at dan haji tarekat.
Haji syari`at
adalah mengunjungi Baituilah dengan memenuhi seluruh syarat dan
rukunnya, sampai pahala haji itu didapatkan.
Jika
syarat-syaratnya tidak sempurna, maka pahalanya pun menjadi demikian, sebab
Allah Ta`ala memerintahkan kita untuk menyempurnakan haji tersebut melalui
firman-Nya,
وَأَتِمُّوأٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ
"Dan sempurna-kanlah oleh kalian haji dan umrah
karena Allah." (QS. al-Baqarah [2]:
196)
Diantara
syarat-syarat haji adalah berihram terlebih dulu, lalu masuk ke kota Makkah,
melaksanakan thawaf Qudum (kedatangan), wuquf di Arafah, wuquf di
Muzdalifah, menyembelih hewan korban di Mina, masuk ke Masjidil Haram, thawaf
di Ka`bah sebanyak tujuh putaran, meminum air Zamzam, shalat sunat dua rakaat
di Maqam Ibrahim as, kemudian bertahallul. Imbalan haji ini adalah terbebas
dari Neraka Jahim dan selamat dari kekerasan. Allah Ta`ala berfirman,
وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا
"Orang yang memasukinya (Baitullah), la menjadi
aman." (QS. Ali `Imran [3]: 97).
Setelah itu,
thawaf Shudur (kepulangan), lalu pulang ke tanah airnya.
Sedangkan haji
tarekat, bekal pertama kalinya adalah pergi kepada wali yang dapat memberikan
talqin untuk mendapatkan talqin tersebut darinya, lalu melanggengkan lisan
dengan dzikir La ilaha Ilallah,
memperhatikan makna dzikir itu sendiri agar hati menjadi hidup untuknya, lalu
menyibukkan diri dengan dzikir batin supaya batin-nya menjadi jernih, sehingga
nurani muncul dengan Cahaya-cahaya Sifat, sebagaimana Allah Ta`ala telah
memerintahkan nabi Ibrahim as dan Ismail as untuk menyucikan Ka`bah. Allah Ta`ala
berfirman,
طَهِّرَا بَيْتِىَ لِلطَّآ ئِفِينَ
"...`Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang
thawaf." (QS. al-Baqarah [2]: 125)
Jikalau
penyucian Ka`bah zahir adalah untuk makhluk-makhluk yang akan berthawaf di
sekelilingnya, maka penyucian Ka`bah batin adalah untuk memandang Sang Pencipta
melalui asketisme penyucian hati dari segala selain-Nya, lalu berihram dengan
cahaya Roh Qudus, masuk ke dalam Ka`bah hati , thawaf Qudum dengan
melanggengkan Nama Kedua di dalam lisan hati, lalu pergi ke Arafat hati, yaitu
tempat ber-munajat (percakapan intim antara Allah dan manusia), wuquf di
sana dengan melanggengkan Nama Nama Ketiga dan Keempat di sana, lalu pergi ke
Muzdalifah relung kesadaran, menghimpun Nama Kelima dan Keenam, lalu pergi ke
Mina relung kesadaran yang paling dalam, yang terletak di antara dua tempat
suci, lalu wuquf di tengah-tengahnya.
Kemudian
menyembelih an-nafs al-muthma`innah (jiwa yang tenang) dengan
melanggengkan Nama Ketujuh, karena ia adalah nama peniadaan diri dalam Allah
dan penghapus tirai kekafiran, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw,
الكفروالا يمان مقامان من وراء العرش وهما حجابانبين العبد وربه عز
شأنه احد هما أ سود والآ خرأ بيض
"Kekafiran dan keimanan adalah dua kedudukan
spiritual di belakang `Arasy Ilahi; Keduanya adalah tirai antara hamba dengan
Allah. Yang pertama berwarna hitam, yang kedua berwarna putih." [90]
Setelah itu,
mencukur rambut roh dari sifat-sifat kemanusiaan dengan melanggengkan Nama
Kedelapan, lalu masuk ke Masjidilharam-nya relung kesadaran yang paling dalam
dengan melanggengkan Nama Kesembilan, lalu beri`tikaf di permadani kedekatan
dan kenyamanan bersama Allah dengan melekatkan Nama Kesepuluh, lalu melihat
keindahan Ke-Mahamandirian Abadi tanpa kayfa (bagaimana) dan
penyerupaan, lalu thawaf tujuh putaran dengan melanggengkan Nama Kesebelas
berserta Enam Nama Cabang, lalu minum dari Tangan Kekuasaan Ilahi, sebagaimana
dijelaskan oleh Allah Ta`ala,
وَسَقَىٰهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُورًا
"Dan Tuhan memberikan mereka minuman yang
bersih." (QS. al-Insan [76]: 21)
dengan mangkuk
Nama Kedua Belas, dan mengangkat wajah yang abadi dan suci, sehingga ia
melihat-Nya melalui Cahaya-Nya.
Itulah makna
firman Allah Ta`ala dalam hadits Qudsi,
مالا عين رأت
"Sesuatu yang tak terlihat mata,"
yaitu perjumpaan
dengan Allah Ta`ala,
ولا أذن سمعت
"Dan tak terdengar telinga,"
yaitu kata-kata
Allah Ta`ala tanpa perantaraan huruf-huruf dan suara,
وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
"Dan tak terlintas dalam hati manusia,"
yaitu cita rasa
atau pengalaman spiritual langsung me-lihat dan berbicara dengan Allah.
Lalu,
bertahallul dari hal-hal yang diharamkan Allah dengan mengganti berbagai
kejelekan dengan kebaikan-kebaikan dan mengulang-ulang Nama Tauhid. Allah Ta`ala
berfirman,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan
beramal shaleh. Maka, kejelekan mereka akan diganti oleh Allah dengan
kebaikan." (QS. al-Furqan [25]: 70)
Kemudian,
membebaskan diri dari tindakan-tindakan psikologis, merasa aman dari ketakutan
dan kecemasan. Allah Ta`ala berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak
merasakan kecemasan dan tidak pula bersedih hati." (QS. Yunus [10]: 62)
semoga Allah
menganugerahi kita semua hal tersebut—dengan keutamaan dan kemurahan-Nya.
Kemudian, thawaf Wada` dengan mengulang-ulang semua Nama Allah, dan
pulang ke negeri asal di alam yang suci dalam bentuk yang paling baik dengan
melanggengkan Nama Kedua Belas yang berkaitan dengan Alam Keyakinan.
Penakwilan ini
semuanya masih termasuk di dalam wilayah bahasa lisan dan masih dapat diterima
oleh akal. Sedangkan penakwilan yang lebih jauh tidak mungkin diceritakan,
karena tidak dapat ditangkap oleh pemahaman dan pikiran, dan tidak tertampung
oleh khawathir (pikiran-pikiran yang masuk). Rasulullah saw bersabda,
إن من العلوم كهيئة المكنون لايعلمهاإلا العلماء بالله فاذانطقوا بها
أنكره أهل العزة فالعارف يقول ماد ونه والعالم
"Ada ilmu yang bentuknya tersembunyi, hanya
diketahui oleh orang-orang yang mengetahui Allah Ta`ala. Jika mereka mengucapkannya,
orang-orang yang lalai saja yang akan menentangnya."
Orang arif
menyampaikan penakwilan yang lebih rendah, sedangkan orang alim menyampaikan
yang lebih tinggi, sebab ilmu pengetahuan orang arif adalah relung kesadaran
Allah yang paling dalam yang tidak diketahui oleh selain Allah Ta`ala. Dia
berfirman,
وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ
"Mereka tidak meliputi apa-apa dari ilmu Allah,
melainkan apa yang dikehendaki-Nya." (QS.
al-Baqarah [2]: 255)
yaitu para nabi
dan para wali—sebagaimana dijelaskan oleh-Nya,
وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ
وَأَخْفَى اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
"Dia mengetahui relung kesadaran yang paling dalam
dan yang lebih rahasia. Dialah Allah, tiada Tuhan melainkan Dia. Dia memiliki Asma` al-Husna." (QS. Thaha [20]: 7-8)
19. Ekstase dan
Kejernihan
الفصل التاسع عشر فى بيان الو جد والصفاء
Ekstase adalah
kekhusyu`an roh pada saat melihat rahasia Tuhan, ataupun ketidakmampuan roh
untuk menanggung tekanan kerinduan ketika dia mendapati manisnya iman. Allah Ta`ala
berfirman
جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ
وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ
"Kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan gemetar
karenanya (Al-Qur`an), kemudian kulit dan hati mereka menjadi tenang karena
mengingat Allah." (QS. az-Zumar
[39]: 23).
Allah Ta`ala
berfirman juga,
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ
نُورٍ مِّن رَّبِّهِۦ فَوَيْلٌ
لِّلْقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ ٱللَّهِ
"Apakah orang yang hatinya dilapangkan oleh Allah
untuk menerima agama Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Tuhan, sama dengan
orang yang keras hatinya? Kecelakaan yang sangat besarlah bagi orang yang keras
hatinya untuk mengingat Allah " (QS.
az-Zumar [39]: 22).
Rasulullah saw
bersabda,
جذ بة من جذ بات الحق توا زن عمل الثقلين
"Satu tarikan saja dari tarikan-tarikan Tuhan
sebanding dengan dua buah angkutan berat."` [91]
`Ali ibn Abi
Thalib, karramallahu wajhah, mengatakan, "Orang yang tidak
merasakan ekstase tidak memiliki agama."
Al-Junaid
al-Baghdadi ra. Mengatakan Ekstase di dalam pertemuan batin dengan Allah adalah
limpahan pengetahuan yang mewariskan perasaan gembira dan sedih."
Ekstase terdiri
dari dua macam: ekstase jasmani-nafsani (ragawi-psikologis) dan ekstase ruhani-rahmani
(spintual-penuh berkah).
Ekstase jasmani-nafsanl
(ragawi-psikologis) dialami melalui daya jasmaniah tanpa didukung oleh daya
tarik spiritual yang dominan, seperti perasaan riya` dan ingin penghormatan dan
populer. Ekstase seperti ini adalah batil, karena ikhtiar jasmaniah orang yang
bersangkutan masih dominan dan tidak hilang, sehingga ekstase ini tidak bisa
diterima.
Sedangkan
ekstase ruhani-rahmani (spiritual-penuh berkah) didapatkan melalui
kekuatan tarikan Ilahi, yaitu melalui seperti pembacaan Al-Qur`an dengan
suara yang bagus, pembacaan sya`ir-sya`ir yang indah dan dzikir-dzikir yang berkesan,
sehingga kekuatan dan ikhtiar jasmaniah sudah tidak ada lagi. Oleh sebab
ekstase ini adalah bersifat spiritual dan penuh berkah, maka ekstase seperti
itu layak untuk diterima. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah Ta`ala yang
berbunyi,
ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ فَبَشِّرْ عِبَادِ
"Sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku
yang mendengarkan perkataan-perkataan, lalu mengikuti yang paling baik." (QS. az-Zumar [39]: 17-18).
Begitu juga
dzikir-dzikir para pecinta Allah, kicauan-kicauan burung-burung, serta melodi
tembang-tembang; semua itu merupakan kekuatan bagi roh, sebab tidak ada tempat
bagi nafsu dan setan untuk merasukinya. Setan hanya mampu berkuasa di dalam kegelapan
psikologis, tidak di dalam ke terang-benderangan spiritualitas, karena ia larut
di sana seperti larutnya garam di dalam air. Ini juga lah yang dimaksud oleh
Nabi saw di dalam sabdanya yang me-ngatakan bahwa pembacaan ayat-ayat, sya`ir-sya`ir
hikmah, sya`ir-sya`ir cinta, dan ungkapan-ungkapan keharuan merupakan kekuatan
yang penuh cahaya bagi roh. Adalah mesti mempertautkan cahaya dengan cahaya,
yaitu roh, seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta`ala,
ٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ
"Laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang
baik." (QS. an-Nur [24]: 26)
Adapun jika
ekstase itu bersifat kesetanan dan kenafsuan, maka ia tidak bercahaya, malahan
gelap dan penuh kekufuran. Kegelapan adalah untuk sesuatu yang gelap juga,
yaitu perasaan riya`, seperti disebut dalam firman Allah Ta`ala,
ٱلْخَبِيثَٰتُ لِلْخَبِيثِينَ
"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang
keji," (QS. an-Nur [24]: 26)
sedangkan roh
tidak memiliki kekuatan sama sekali dalam ekstase seperti ini.
Gerakan-gerakan
ekstase ada dua macam: ikhtiariyyah (bebas) dan idhthirariyyah (terpaksa).
Gerakan-gerakan
ekstase bebas adalah seperti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh orang yang
berbadan sehat. Gerakan-gerakan ini tidak disyari`atkan oleh agama, sebagaimana
telah dijelaskan. Adapun gerakan-gerakan ekstasi terpaksa, adalah
gerakan-gerakan yang terjadi karena sebab yang lain, seperti kekuatan roh yang
tidak dapat ditolak oleh jiwa. Sebab, gerakan-gerakan ini mengalahkan gerakan
jasmani, seperti orang yang menderita demam panas, dimana jika demamnya itu terlalu
tinggi, jiwanya menjadi tidak sanggup menanggungnya, sehingga hilanglah ikhtiar
jiwanya ketika itu.
Dengan demikian,
jika ekstase didominasi oleh gerakan-gerakan spiritualitas, maka ia akan
menjadi ekstase hakiki yang penuh kasih.
Ekstase dan
mendengar adalah alat yang menggerakkan apa yang ada di dalam hati para pecinta
Allah dan orang-orang yang mengenal-Nya. Dan ekstase itu adalah makanan bagi
para pecinta Allah dan penguat lahir batin bagi para pencari-Nya.
Dikatakan bahwa
mendengar itu adalah wajib bagi sebagian orang, sunnah bagi yang lain, dan bid`ah
bagi yang lain lagi. Ia adalah wajib bagi orang-orang khusus, sunnah bagi para
pecinta Allah, dan bid`ah bagi orang-orang yang lalai. Karena itulah
burung-burung hinggap di atas kepala Dawud as untuk mendengarkan suaranya saat
beliau membaca Kitab Zabur.
Gerakan ekstase
ada sepuluh dimensi-. sebagian sangat jelas dan kelihatan pengaruhnya pada
gerakan-gerakan, sedangkan sebagian yang lain samar-samar dan kelihatan
pengaruhnya pada tubuh, seperti tertariknya hati untuk mengingat Allah dan
membaca Al-Qur`an dengan suara yang baik.7 Diantara dimensi itu
adalah me-nangis, berduka, takut, sedih, menyesal, terkesima saat mengingat
Allah, menarik diri sepenuhnya dari selain Allah, dan terjadinya perubahan lahir
dan batin. Diantaranya lagi adalah mencari Allah, merindukan-Nya, dan merasa
akrab dengan-Nya.
20. Persemedian Spiritual
الفصل العشرون فى بيان الخلو ة والعزلة
Persemedian spiritual
ada dua macam yaitu persemedian zahir dan persemedian bathin. Persemedian zahir
adalah pengasingan diri seseorang dari orang lam agar orang lain tersebut tidak
tersakiti oleh akhlak tercelanya, memaksa jiwanya sendiri untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
buruknya, dan mengurung panca indra lahirnya serta membuka panca indra batinnya
seluas-luasnya. Persemedian zahir ini harus dilakukan dengan niat mencari keridhaan
Allah Ta`ala dan menolak kejahatan-kejahatan dirinya terhadap orang-orang lain.
Rasulullah saw bersabda,
المسلم من سلم المسلمون من يده ولسانه و كف لسانه عمالا يعنيه
"Orang Muslim adalah orang yang tidak menyaikiti kaum
Muslim dengan lidah maupun tangannya. [92]
Persemedian
zahir dilakukan juga dengan cara menahan lidah dan ucapan-ucapan yang tidak
berarti. Rasulullah saw bersabda,
سلامة الانسان من قبل اللسان وملا مة الا نسان من قبل اللسان و كف عينيه
عن الخيانة والنظر إلى الحرام و كذا كف ر جليه وأذنيه
"Keselamatan seseorang disebabkan oleh
lidahnya." [93]
Juga dengan
menahan kedua mata dari berkhianat dan memandang yang di-haramkan, menahan
kedua telinga, tangan, dan kakinya dari apa saja yang diharamkan.
Rasulullah saw
bersabda,
الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ
"Kedua mata bisa berzina."[94]
Dari setiap zina
anggota-anggota tubuh seseorang, akan lahir anak yang bentuknya sangat jelek
yang akan menemaninya pada hari Kiamat, memberi kesaksian di sisi Allah Ta`ala
atas kelakuannya, dan menuntunnya ke dalam azab neraka. Jika ia bertobat dari
zina tersebut, lalu menahan dirinya—sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala,
فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ
عَنِ ٱلْهَوَىٰ
"Dan orang-orang yang menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (QS. an-Nazi`at [79]: 40-41 )
maka anak yang
bentuknya sangat jelek itu akan berubah menjadi pemuda tampan yang akan
menuntunnya ke dalam surga, sehingga dia pun selamat dari kejahatannya. Dengan
demikian, seolah-olah persemedian itu membentengi diri seseorang dari melakukan
perbuatan-perbuatan maksiat, sehingga ia hanya melakukan amal-amal shaleh, dan
menjadi orang yang berbuat baik. Allah Ta`ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak menyia-myiakan pahala
orang-orang yang berbuat baik." (QS.
at-Taubah [9]: 120),
إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ
"Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan
orang-orang yang berbuat baik." (QS.
al-A`raf [7]: 56),
dan,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا
صَالِحًا
"Orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah,
hendaknya dia mengerjakan amal yang shaleh." (QS. al-Kahfi [18}: 110)
Sedangkan
persemedian batin adalah pengawasan terhadap hati agar tidak dimasuki oleh pikiran-pikiran
kenafsuan yang dikuasai oleh setan, seperti berlebihan dalam menyukai makanan,
minuman, istri dan anak. Termasuk juga cinta berlebihan kepada binatang, riya`,
dan mencari kehormatan dan kepopuleran. Rasulullah saw bersabda,
الشهرة آفة وكل يتمنا ها. و الخمول راحة وكل يتوقا ها
"Kepopuleran adalah penyakit, tapi mengapa semua
orang menginginkannya, sedangkan ketidakpopuleran adalah nyaman, tapi mengapa
semua orang menghindari darinya." [95]
Dan juga menjaga
hati agar tidak dimasuki kesombongan, ujub, kekikiran, dan sifat-sifat tercela
lainnya, atas dasar keinginan sendiri.
Jika sifat-sifat
tercela tersebut masuk ke dalam hati orang yang sedang melakukan persemedian
spiritual, maka rusaklah persemedian dan hatinya, sehingga rusaklah
kebaikan-kebaikan dan amal-amal shaleh yang ada di dalamnya dan hatinya menjadi
sia-sia, sebagaimana Allah Ta`ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ سَيُبْطِلُهُۥٓ
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ ٱلْمُفْسِدِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus
berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Yunus [10]: 81).
Maka, siapa pun
yang memiliki sifat-sifat yang merusak tersebut, akan termasuk kepada
orang-orang yang berbuat kerusakan, meskipun pada zahirnya ia terlihat seorang
orang yang shaleh. Rasulullah saw bersabda,
السكبر والعجب يفسد ان الايمان
"Marah (yang tak karuan) itu akan merusak iman
bagaikan cuka merusak madu,"[96]
الحسدَ يأكلُ الحسناتِ كما تأكلُ النَّارُ الحطبَ
"Dengki itu akan memakan perbuatan-perbuatan baik
seperti api memakan kayu bakar," [97]
الْغَيْبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا
"Ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) itu
lebih berbahaya daripada zina,[98]
الفتنة نا ئمة لعن الله أيقظها
"Fitnah itu adalah ibarat seseorang yang sedang
tidur; Allah mengutuk orang yang
membangunkan-nya,"[99]
البخيل لا يد خل الجنة ولو كان عابدا
"Orang yang kikir tidak akan masuk surga, meskipun
ia seorang yang banyak beribadah dan zuhud," [100]
الر ياء شرك خفى وشركه كفر
"Riya` adalah syirik yang samar,"[101]
sedangkan
meninggalkannya adalah adalah kaffarah, dan Rasulullah saw bersabda
juga,
لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نمام
"Pengadu domba tidak akan masuk surga," [102]
serta
hadits-hadits lain yang sangat banyak tentang akhlak yang tercela. Itulah
tempat untuk berhati-hati.
Tujuan awal dari
tasawuf adalah penjernihan hati dari akhlak yang tercela tersebut dan mencabut
hawa nafsu dari akarnya melalui persemedian, pelatihan spiritual, renungan,
melanggengkan dzikir dengan penuh ikhlas, cinta, tobat, dilandasi aqidah yang
benar, mentauladani Rasulullah, para sahabat, serta para tabi`in dan
ulama-ulama salaf yang shaleh. Nah, jika seorang Mukmin telah melakukan
persemedian yang memenuhi kriteria di atas, maka Allah Ta`ala akan menjernihkan
amal perbuatannya, menyinari hatinya, melembutkan kulitnya, menyucikan
lidahnya, menghimpunkan indra-indra zahir dan batinnya, mengangkat amal perbuatannya
ke hadapan-Nya, dan mendengarkan doa-doanya.
Nabi saw
bersabda,
سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَه
"Pendengaran Allah adalah bagi orang yang
memuji-Nya." [103]
Yakni, Dia akan
menerima doa, pujian, dan peng-aduan orang tersebut, serta memberikan ganti
kepadanya berupa kedekatan dengan-Nya dan surga yang bertingkat-tingkat. Allah
Ta`ala berfirman,
إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ
يَرْفَعُهُۥ
"Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik
dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya." (QS.
Fathir [35]: 10)
Yang dimaksud
dengan perkataan-perkataan yang baik itu adalah bahwa ia menjaga
lidahnya dari perkataan yang sia-sia, setelah menjadikannya sebagai alat untuk
mengingat Allah dan bertauhid kepada-Nya, sebagaimana disebut dalam firman-Nya,
وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ ٱلَّذِينَ هُمْ فِى
صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu
orang-orang yang khusyu` dalam shalat dan
menjauhkan diri dari senda gurau," (QS. al-Mu`minun [23]: 1-3)
sehingga Allah
mengangkat ilmu, amal, dan orang yang memilikinya kepada kedekatan dengan-Nya,
dan kepada rahmat serta surga-Nya yang bertingkat-tingkat berkat ampunan dan
keridhaan-Nya.
Jika
kedudukan-kedudukan spiritual telah dicapai oleh orang yang melakukan
persemedian, maka hatinya menjadi bagaikan lautan yang tidak tercemari oleh
perbuatan menyakiti orang lain. Rasulullah saw bersabda, "Jadilah Anda lautan yang tidak akan
tercemar; ia tidak akan tercemar oleh bangkai-bangkai yang masuk ke
dalamnya."
Dengan demikian,
perahu syari`at dapat berlayar dengan aman di atasnya, roh yang suci mampu
menyelam hingga ke palungnya, sampai menemukan permata hakikat, mengeluarkan
mutiara pengetahuan dan marjan esensi-esensi lembut yang terpendam, sebagaimana
disebut dalam firman Allah Ta`ala
يَخْرُجُ مِنْهُمَا ٱللُّؤْلُؤُ وَٱلْمَرْجَانُ
"Dari keduanya keluarlah mutiara dan marjan." (QS. ar-Rahman [55]:22)
Lautan yang
dimaksud tidaklah akan bisa diraih melainkan dengan jalan menyatukan lautan
zahir dan batin, sehingga ke-rusakan-kerusakan hati akan terkikis habis
darinya, tobat akan ditenma, amal-amal shaleh akan bermanfaat, dan tidak ada
lagi unsure kesengajaan untuk melakukan perbuatan-perbuatan ter-larang. Kalau
sudah begitu, kealpaan dan kelupaan akan terampuni dengan meminta ampun
kepada-Nya dan menyesalinya, Insya Allah.
21. Wirid-wirid
Persemedian Spiritual
الفصل الحادى والعشرون فى بيان آوراد الخلو تى
Orang yang
sedang melakukan persemedian spiritual harus berpuasa jika mampu, shalat lima
waktu tepat pada waktunya secara berjemaah di masjid tanpa mengabaikan segala
sunah, syarat, dan rukunnya, dan shalat
Tahajud 12 raka`at pada akhir malam. Allah Ta`ala berfirman,
وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ
"Dan pada sebagian malam shalat Tahajudlah sebagai
ibadah tambahanmu," (QS. al-Isra`
[17]: 79)
dan,
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ
"Lambung mereka jauh dari tempat tidur." (QS. as-Sajdah [32]: 16)
Dia juga harus
shalat Isyraq dua raka`at setelah matahari terbit, lalu shalat Isti`adzah dua
raka`at dengan membaca al-Mu`awwidzatain (Surah al-Falaq dan an-Nas),
lalu shalat Istikharah dua raka`at dengan membaca surah al-Fatihah dan ayat
Kursi, masing-masing satu kali, dan surah al-Ikhlash sebanyak tujuh kali pada
setiap raka`at. Lalu shalat Dhuha enam raka`at, dan shalat Kafarat al-Bawl (penebus
dosa buang air kecil) dengan membaca,
إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ
"Inna a`thainaka al-kautsar: Sesungguhnya Kami telah
memberikanmu nikmat yang sangat banyak." (QS. al-Kautsar [108]: 1)
sebayak tujuh
kali setelah Al-Fatihah pada setiap raka`at. Dengan melakukan shalat tersebut,
berarti dia telah menebus dosa-dosa buang air kecilnya dan selamat dari azab
kubur. Rasulullah saw bersabda
استنز هوا من البول فان علا مة عذاب القبر منه
"Bersucilah kalian setelah buang air kecil, sebab
kebanyakan azab kubur disebabkan olehnya."[104]
Lalu, shalat
Tasbih empat raka`at, pada setiap raka`at membaca al-Fatihah, satu surah, dan
membaca subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar sebanyak
lima belas kali, lalu bertakbir untuk ruku dan membaca subhanallah 10
kali dalam ruku tersebut. Kemudian bertakbir untuk i`tidal, sujud pertama,
duduk di antara dua sujud, dan sujud kedua, yang pada masing-masingnya membaca subhanallah
10 kali. Hal yang sama dilakukan pada raka`at kedua, ketiga, dan keempat.
Shalat ini harus dikerjakan sekali dalam sehari semalam jika mampu, kalau
tidak, sekali seminggu, atau sekali sebulan, atau sekali setahun, atau
sekurang-kurangnya sekali seumur hidup. Rasulullah saw bersabda kepada
pamannya, Abbas ra,
من صلى هذه الصلا ة غفر الله له ذنو به كلها و إن كانت اكثر من عد د
الر مل و عد د النجوم التى فى السماء و عد د كل ما كن على وجه الأرض
"Barangsiapa yang melakukan shalat (Tasbih) ini,
akan diampuni seluruh dosanya meskipun lebih banyak jumlahnya dari butir-butir
pasir di pantai, bintang-bintang di langit, dan seluruh makhluk
sekalipun."[105]
Orang yang
mencari Allah harus membaca Doa Saifi sekali atau dua kali setiap
hari, membaca Al-Qur`an setiap hari sekitar dua ratus ayat, banyak mengingat
Allah, baik dengan suara keras jika dia termasuk (ahli al-jahr) atau pun
dengan suara pelan (jika dia termasuk ahli al-khufyah). Kedudukan khufyah
ini baru bisa diperoleh setelah hati hidup dan berbicara dengan lidah
nurani, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala,
وَٱذْكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمْ
"Dan ingatlah Allah sebagaimana yang
ditunjukkan-Nya kepada kalian." (QS.
al-Baqarah [2]: 198)
Kemudian, setiap
harinya ia harus membaca salah satu Nama Tuhan, membaca
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ
"Qul huwallahu ahad: Katakanlah, `Dialah Allah Yang
Maha Esa,`" (QS. al-Ikhlash [112]:
1)
mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw,
beristighfar dengan membaca Astaghfirulldh wa atubu ilaih (aku memohon
ampun dan bertobat kepada Allah), yang masing-masingnya adalah sebanyak seratus
kali. Jika mampu, ia tambahikan dengan melakukan ibadah-ibadah dan
dzikir-dzikir sunat yang sudah pasti akan mendapatkan imbalan dari Allah Ta`ala,
sebagaimana difirmankan-Nya,
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ
"Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan
pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. at-Taubah [9]: 120)
22. Mimpi Dan
Ilham
الفصل الثانى والعشرون فى بيان الوا قعا ت فى النوم والسنة
Mimpi dan ilham
yang kami maksudkan disini adalah mimpi dan ilham yang baik yang datang secara
tiba-tiba kepada seorang wali, baik saat dia tertidur atau tidak, sebagaimana
disebut dalam firman Allah Ta`ala,
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ
"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada
Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya" (QS. al-Fath [48]: 27),
dan sebagaimana
disebut dalam sabda Nabi saw,
لم يبق من بعد ى نبوى نبوة إلا المبشراتش يراهآلمؤمن أوترى له
"Tiada yang tersisa dari kenabian kecuali
al-mubasysyirat (para pembawa berita gembira)," [106]
yang dapat
dilihat oleh orang-orang yang beriman atau pun diperlihatkan Allah Ta`ala
kepada mereka. Allah SWT berfirman,
لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ
"Bagi mereka al-busyra (berita gembira) di dalam
kehidupan di dunia dan akhirat." (QS.
Yunus [10]: 64)
Menurut sebagian
ulama, yang dimaksud dengan berita gembira di sini adalah mimpi yang baik,
sebagaimana sabda Nabi saw,
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ
النُّبُوَّةِ
"Mimpi yang baik adalah satu bagian dari 46 bagian
kenabian." [107]
Beliau saw juga
bersabda,
من رآنى فقد رآنى حقا فان الشطان لا يتمثل بى
"Orang yang melihatku di dalam mimpinya, benar-benar
akan melihatku dalam terjaga, sebab setan tidak dapat menjelmakan dirinya
menjadi diriku dan menjadi pengikut-pengikutku," [108]
yakni orang-orang
yang mengikutiku dengan cahaya perbuatan syari`at, tarekat, dan ma`rifat, serta
dengan cahaya hakikat dan hujjah yang nyata. Allah SWT berfirman,
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
"... aku dan orang-orang yang mengikutiku
mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata" (QS. Yusuf [12]: 108)
Jadi, setan
tidak akan dapat menjelma dengan semua cahaya yang lembut tersebut.
Pengarang al-Mazhhar
mengatakan, "Ini tidak termasuk kepada kekhususan Nabi Muhammad saw.
Jadi, bukan hanya diri Nabi yang tidak dapat diserupakan oleh setan, melainkan
juga diri orang-orang ataupun apa saja yang menjadi manifestasi dari kasih
sayang, kelembutan, dan petunjuk Allah, seperti para nabi as, para wali, Ka`bah,
matahari, bulan, awan putih, Al-Qur`an, dan lain-lain yang seumpamanya. Sebab,
setan adalah manifestasi dari keperkasaan yang tidak akan bisa muncul
melainkan dalam bentuk yang merupakan manifestasi dari Nama Yang Maha
Menyesatkan; ia tidak akan dapat muncul dalam bentuk yang menjadi manifestasi
dari Nama Yang Maha Menunjuki. Ibaratnya, seorang musuh tidak akan dapat tampil
persis sama dengan musuhnya karena keduanya saling bertentangan dan berjauhan.
Di samping itu, Allah Ta`ala ingin memisahkan antara yang haq dengan yang
batil. Allah SWT berfirman,
كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ
`Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.`"
(QS. ar-Ra`d [13]: 17)
Adapun
penjelmaan setan kepada bentuk dan dakwaan ketuhanan—artinya ia menjelmakan
sifat keagungan Tuhan kepada dirinya—maka hal itu bisa dilakukannya, karena,
sebagaimana telah kami jelaskan di atas, setan itu adalah manifestasi dari keperkasaan
yang bisa muncul dalam bentuk yang merupakan manifestasi dari Nama Yang Maha
Menyesatkan. Sungguh banyak penjelasan para ulama dalam masalah ini.
Firman Allah Ta`ala
di atas
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
("aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
kepada Allah dengan hujjah yang nyata" (QS.
Yusuf [12]: 108))
merupakan
isyarat kepada orang-orang yang benar-benar mampu menjadi pewaris sempurna
dalam menjalankan tugas suci ini, sehingga maksud sebenarnya dari ayat itu adalah:
Bimbingan sepeninggalku akan dilakukan oleh orang-orang yang juga memiliki
hujjah yang nyata seperti diriku, yaitu orang-orang yang memiliki kewalian yang
sempurna, sebagaimana di-isyaratkan dalam firman-Nya,
وَلِيًّا مُّرْشِدًا
"... wali pembimbing." (QS. al-Kahfi
[18]: 17)
Kemudian,
ketahuilah bahwa mimpi ada dua macam: afaqi (dunia luar atau lahiriah)
dan anfusi (segenap diri atau jiwa), yang masing-masing dari keduanya
terbagi kepada dua bagian.
Mimpi anfusi ada
dua bagian, yaitu mimpi yang mencerminkan akhlak-akhlak yang terpuji, dan mimpi
yang mencerminkan akhlak-akhlak yang tercela.
Mimpi anfusi
yang mencerminkan akhlak-akhlak yang terpuji adalah seperti mimpi melihat
taman-taman surga dan segala keindahan yang ada di dalamnya, mimpi melihat
bidadari-bidadari, istana-istana, anak-anak muda, dan gurun bercahaya putih,
dan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang, dan yang lain-lain yang
berkaitan dengan hati. Adapun mimpi yang mencerminkan ketenagan jiwa adalah
seperti mimpi melihat hidangan makanan daging baker (daging kambing dan daging
burung), sebab, di surga, orang-orang memiliki jiwa yang tenang akan disuguhi
makanan ini. Begitu juga mimpi melihat hidangan makanan daging bakar dari
daging sapi, unta, dan kuda. Sebab, ketiga-tiga binatang itu berasal dari surga
dan diturunkan ke bumi untuk Nabi Adam as. Sapi diturunkan ke bumi adalah agar
Nabi Adam bisa bercocok tanam (tanaman dunia maupun akhirat) di sana, unta
adalah untuk membantu perjalanannya menuju Ka`bah (Ka`bah zahir maupun batin),
sedangkan kuda adalah sebagai alat untuk berjihad, baik jihad kecil maupun
besar. Semua binatang itu adalah untuk kepentingan akhirat. Di dalam hadits,
إن الغنم خلق من عسل الجنة والبقر من زعفرانها والابل من نورها والخيل
من ريحانها
"Sesungguhnya kambing diciptakan dari madu surga,
sapi dari kunyitnya, unta dari cahayanya, dan kuda dari wanginya."[109]
Sedangkan bighal
(binatang sejenis kuda kecil) adalah salah satu binatang yang mencerminkan
sifat jiwa tenang yang terendah. Oleh karena itu, orang yang bermimpi melihat
binatang ini bisa dita`birkan bahwa orang itu pemalas dalam beribadah, enggan
berdiri dan duduk (maksudnya enggan mengerjakan shalat), dan usahanya tidak
akan menghasilkan faedah apa-apa, kecuali jika ia bertobat. Allah Ta`ala
berfirman,
وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُۥ جَزَآءً ٱلْحُسْنَى وَسَنَقُولُ لَهُۥ مِنْ
أَمْرِنَا يُسْرًا
"... dan beramal shaleh, maka baginya pahala
yang terbaik." (QS. al-Kahfi [18]: 88)
Adapun keledai,
maka binatang ini adalah berasal dari batu surga dan diturunkan ke bumi demi
kepentingan Adam as beserta keturunannya di sana untuk mencari kehidupan
akhirat di dunia.
Mimpi-mimpi yang
mencerminkan roh yang suci adalah seperti mimpi melihat pemuda yang amat tampan
yang memancarkan cahaya-cahaya Ilahi, sebab semua penduduk surga berwajah
tampan seperti itu sebagaimana disebutkan oleh Nabi saw,
أهل الجنة جرد مرد مكحو لون
"Penduduk surga itu tidak berambut panjang, tidak
berjenggot, dan bercelak mata."[110]
Rasulullah saw juga bersabda,
رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُورَةِ شَابٍّ أَمْرَدَ
"Aku melihat Tuhanku dalam bentuk pemuda yang amat
tampan." [111]
Sejumlah sufi mengatakan,
"Dalam hal ini Allah Ta`ala menampakkan diri-Nya di atas cermin roh dalam
bentuk sifat ketuhanan, dan itulah yang mereka sebut sebagai `anak
makna-makna` yang menjadi pemelihara raga dan perantaranya dengan Tuhan."
Amirul Mukminin, `Ali ibn Abi Thalib mengatakan, "Kalau bukan
karena Allah, Tuhan Yang Maha Pemelihara, aku tidak akan mengenal
Tuhanku." Pemelihara di sini maksudnya adalah pemelihara batin.
Pemeliharaan batin ini baru bisa didapat dengan jalan talqin melalui pendidikan
yang diberikan seorang wali pendidik yang benar-benar matang kewaliannya.
Imam
al-Ghazali ra mengatakan, "Tuhan dapat dilihat dalam mimpi dalam
bentuk yang indah yang bersifat ukhrawiah, bukan dalam bentuk Hakikat
Eksistensial, karena Allah Ta`ala Mahasuci dari bentuk, atau pun Mahasuci
Eksistensi-Nya dari terlihat oleh selain-Nya.”[112]
Hal ini adalah karena melihat-Nya dalam bentuk
demikian adalah ibarat melihat makhluk-makhluk ciptaan-Nya, tinggal lagi kadar
kesiapan mental dan spiritual orang yang melihatnya serta tingkat kedekatannya
dengan Allah Ta`ala saat melihatnya. Begitu juga halnya dengan melihat Nabi
Muhammad saw dalam mimpi, dimana, berdasarkan analogi ini, beliau dapat
terlihat dalam berbagai bentuk, sesuai juga dengan kadar kesiapan mental dan
spiritual serta tingkat kedekatan orang yang melihatnya dengan Allah Ta`ala.
Sedangkan melihat hakikat diri Nabi itu sendiri, maka tidak seorang pun yang
bisa kecuali orang-orang yang sempurna ilmu, amal, jiwa, dan hujjahnya, baik
zahir maupun batin.
Di dalam Syarah
al-Muslim diterangkan, "Berdasarkan penak-wilan tersebut, Allah Ta`ala
dapat dilihat dalam bentuk manusia (dalam bentuk yang bisa ditangkap oleh panca
indra manusia). Kaidah ini adalah berdasarkan penganalogian terhadap
tersing-kapnya Tuhan kepada Musa as dalam bentuk api dari pohon anggur, seperti
disebut dalam firman-Nya yang berbunyi,
فَقَالَ لِأَهْلِهِ ٱمْكُثُوا إِنِّى ءَانَسْتُ نَارًا لَّعَلِّى ءَاتِيكُم
مِّنْهَا بِقَبَسٍ
"la berkata kepada keluarganya, `Tinggallah kalian
di sini, sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit
darinya," (QS. Thaha [20]: 10)
juga terhadap
penyingkapan sifat Kalam-Nya kepadanya, seperti disebut dalam firman-Nya,
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَٰمُوسَىٰ
"Apakah itu yang di tangan kanan-Mu, hai Musa?"
(QS. Thaha [20]: 17)
Tersingkapnya
salah satu sifat dari sifat-sifat Allah Ta`ala dalam bentuk manusia ini baru
bisa terwujud pada diri seseorang bila-mana ia telah menjernihkan dirinya dari
sifat-sifat hewani menuju sifat-sifat insani. Ini bisa dipahami dari ungkapan
sejumlah wali seperti Abu Yazid
al-Busthami yang mengatakan, "Mahasuci Aku, betapa Mahaagungnya
Diri-Ku," atau Al-Junaid Al-Baghdadi yang mengatakan, "Di dalam
jubahku hanya ada Allah," dan lain-lain.[113]
Dalam kedudukan
spiritual ini banyak esensi-esensi yang mengagumkan yang amat panjang untuk
dijelaskan.
Dalam pendidikan
kewalian, tidak dapat tidak, harus ada seorang penghubung antara orang yang
sedang belajar dengan Allah Ta`ala. Oleh karena itu, seorang pemula haruslah
mendapatkan bimbingan yang intensif dari seorang penghubung antara dirinya
dengan Allah Ta`ala, yaitu seorang wali yang pada saat itu berfungsi sebagai
Nabi Muhammad saw dalam hal menghubungkan orang dengan Allah Ta`ala. Sekiranya
Nabi masih hidup, tidak seorang pun selainnya yang dibutuhkan dalam hal ini.
Allah SWT
berfirman,
وَلِلَّهِ ٱلْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
"Kekuatan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman." (QS.
al-Munafiqun [63]: 8)
Adapun mengenai
pendidikan roh-roh di dalam batin, maka pertama kali ruh jasmani mendidik
jasad, lalu ruh rawwani men-didik hati, lalu ruh sulthani mendidik
hati nurani, dan ruh suci mendidik rahasia hati nurani. Ruh sucilah
merupakan perantara antara batin dengan Allah dan penerjemah-Nya kepada
makhluk, karena ia adalah kaum Allah dan tanah suci-Nya.
Itulah dia mimpi
anfusi yang mencerminkan akhlak-akhlak yang terpuji, sementara mimpi anfusi
yang mencerminkan akhlak-akhlak tercela, baik berupa sifat ammarah (pendorong
manusia pada kejahatan), lawwamah (pencela), dan mulhimah (penginspi-rasi),
adalah seperti mimpi melihat binatang-binatang buas, misal-nya harimau, singa,
beruang, serigala, anjing, dan babi. Begitu juga kelinci, macan, musang,
kucing, ular, kalajengking, langau kerbau, dan binatang-binatang lain yang
berbahaya. Semua itu mencerminkan sifat-sifat tercela yang wajib diwaspadai dan
dihilangkan dari jalan spiritual roh.
Harimau
mencerminkan sifat ujub, yaitu sombong kepada Allah SWT.
Singa
mencerminkan sifat sombong dan angkuh kepada makhluk. Beruang mencerminkan
sifat marah dan diktator terhadap orang lain yang lebih lemah. Serigala
mencerminkan sifat memakan yang haram, cinta dunia, serta memaksa dan marah
karena urusan dunia. Babi mencerminkan sifat dendam, dengki, dan rakus kepada syahwat.
Kelinci
mencerminkan sifat khianat dan tipu daya dalam per-gaulan dunia yang rendah.
Musang begitu juga, cuma dalam hal kelalaian kelinci lebih unggul.
Macan
mencerminkan sifat keagungan jahiliah dan cinta ke-pemimpinan.
Kucing
mencerminkan sifat kikir dan munafik.
Ular
mencerminkan sifat menyakiti dengan lidah seperti mencaci, membicarakan
kejelekan orang lain, dan dusta. Bisa juga mencerminkan makna permusuhan dengan
manusia. Pada binatang-binatang buas ini terdapat makna-makna hakiki seperti di
atas yang hanya diketahui oleh orang yang memiliki sanubari yang dalam.
Kalajengking
mencerminkan sifat pengumpat, pencela, dan pengadu domba.
Langau kerbau (hornet)
mencerminkan sifat menyakiti makhluk dengan lidah secara sembunyi-sembunyi.
Jika orang yang
menempuh jalan spiritual bermimpi berperang melawan binatang-binatang buas,
tapi tidak dapat mengalahkan-nya, maka hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam
ibadah dan zdikir, supaya dia dapat mengalahkan dan membunuhnya, atau
mengubahnya ke dalam bentuk manusia. Jika dia sudah mengalahkan dan membunuh
binatang-binatang itu seluruhnya, maka itulah makna penebusan
kesalahan-kesalahan sebagaimana Allah SWT mengatakan di dalam firman-Nya
tentang imbalan bagi orang-orang yang bertobat,
كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّـَٔاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ
"Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
memperbaiki keadaan mereka " (QS.
Muhammad [47]: 2)
Jika dalam
mimpinya itu dia melihat bahwa binatang-binatang itu telah berubah menjadi
bentuk manusia, maka itulah makna pengubahan kesalahan-kesalahan menjadi
kebaikan-kebaikan, seperti yang disebut dalam firman Allah SWT tentang
orang yang benar-benar bertobat,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ
"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan
beramal shaleh. Maka kesalahan mereka diganti Allah dengan kebaikan." (QS. al-Furqan [25]: 70)
Dengan demikian,
dia terbebas dan binatang-binatang itu, namun ia tetap tidak boleh lalai darinya.
Sebab, jika jiwanya telah kuat dalam meninggalkan kekejian, maksiat, dan
kelupaan, maka jiwa itu akan bisa menjadi jiwa yang tenang. Karena itu, Allah
SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menghindari semua jenis larangan selama
hidupnya di dunia.
Mimpi yang
mencerminkan jiwa ammarah (pendorong pada kejahatan) adalah mimpi
melihat orang kafir, mimpi yang mencerminkan jiwa lawwamah (pencela)
adalah mimpi melihat orang Yahudi, dan mimpi yang mencerminkan jiwa mulhimah
(peng-mspirasi) adalah mimpi melihat orang Kristen dan pelaku bid`ah.
23. Kelompok-kelompok
Tasawuf
الفصل الثالث والعشرون فى بيان أهل التصوف
Orang-orang Sufi
(ahli tasawuf) bukanlah terdiri dari satu kelompok saja, melainkan terbagi
kepada ada 12 kelompok. Kelompok pertama bernama kelompok as-Sunniyyun, yaitu
kelompok orang-orang yang perbuatan serta perkataan mereka sesuai dengan syari`at
dan tarekat; mereka terkenal dengan nama Ahlus Sunnah wa al-Jama`ah. Kelompok
ini—Insya Allah— akan masuk semua-nya ke dalam surga, baik langsung
(tanpa hisab) maupun tidak (melalui proses pengazaban terlebih dahulu).
Kelompok lainnya adalah kelompok al-Hulwiyyah, al-Haliyyah, al-Awliyaiyyah,
ats-Tsamrakhiyyah, al-Hubbiyyah, al-Huriyyah, al-Ibahiyyah, al-Mutakdsilah,
al-Haddiyyah wa al-Mutajahilah, al-Waqifiyyah, dan kelompok al-Hdmiyyah,
yang kesemuanya tergolong kepada kelompok orang-orang bid`ah.
Kelompok al-Hulwiyyah;
mereka menyatakan bahwa menatap wajah perempuan yang cantik dan wajah
pemuda yang tampan adalah halal, sebab di sana terkandung salah satu sifat
Allah— yaitu sifat Jamal (indah). Mereka membolehkan menari
bersama-sama, laki-laki dan perempuan, bahkan membolehkan berciuman dan
berpelukan antar lain jenis. Hal ini jelas-jelas merupakan sebuah kekufuran.
Kelompok al-Haliyyah;
mereka menghalalkan menari dan me-mainkan alat musik yang terlarang menurut
syari`at, juga mengklaim bahwa syaikh mereka memiliki kemampuan luar biasa
yang secara syari`at tidak dapat diterima. Ini adalah bid`ah yang tidak pernah
ada dalam sunnah Rasulullah saw.
Kelompok al-Awliya`iyyah;
mereka berkeyakinan bahwa jika seorang hamba telah mencapai tingkatan
kewalian, maka gugurlah kewajiban-kewajiban syari`at dari dirinya, bahkan
seorang wali jauh lebih mulia daripada nabi. Sebab, nabi mendapatkan ilmu
melalui perantaraan Jibril, sedangkan wali tidak. Keyakinan kelompok ini
nyata-nyata sesat dan jauh dari kebenaran, dan mereka telah hancur dibinasakan
oleh Allah Ta`ala oleh sebab aqidah mereka yang menyimpang tersebut.
Kelompok ats-Tsamrakhiyyah;
mereka mengatakan bahwa per-sahabatan spiritual antara wali dengan muridnya
bersifat azali, karenanya gugurlah perintah dan larangan syari`at. Mereka
menghalalkan tamborin dan drum, serta benda-benda lain yang terlarang menurut
syari`at. Anak perempuan, bagi mereka, adalah halal diperlakukan seperti
layaknya seorang istri. Mereka adalah orang-orang kafir dan darah mereka halal
untuk dibunuh.
Kelompok al-Hubbiyyah;
mereka berpendapat bahwa jika seorang hamba telah sampai ke derajat cinta
kepada Allah Ta`ala, maka terlepaslah dia dari kewajiban-kewajiban syari`at.
Mereka tidak menutup aurat sesama mereka.
Kelompok al-Huriyyah;
paham mereka nyaris sama dengan kelompok al-Haliyyah, cuma saja
mereka mengaku mampu bersetubuh dengan bidadari dalam keadaan-keadaan spiritual
mereka. Jika mereka telah sadar, mereka segera mandi janabah. Sungguh mereka
telah berdusta dan telah binasa karenanya.
Kelompok al-Ibahiyyah;
kelompok ini memutar-balikkan hukum syari`at, yaitu dengan meninggalkan amar
ma`ruf dan menghalalkan apa-apa yang telah diharamkan serta menghalakan
semua perempuan untuk digauli.
Kelompok al-Mutakasilah;
orang-orang ini tidak mau berusaha mencari rezeki, melainkan hanya
mengandalkan meminta-minta kepada orang lain. Mereka mengaku telah meninggalkan
dunia, dan binasa karenanya.
Kelompok al-Mutajahilah;
mereka berperilaku seperti orang-orang fasik, menyebarkan kefasikan di
dalam batin mereka, dan mereka juga binasa karenanya. Allah Ta`ala berfirman,
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
"Janganlah kalian, cenderung kepada orang-orang yang
zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka" (QS. Hud [11]: 113).
Kelompok al-Waqifiyyah;
menurut mereka, tidak ada yang mengetahui Allah Ta`ala melainkan diri-Nya
sendiri. Oleh karenanya, mereka tidak mau berusaha untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan, dan mereka pun binasa karenanya.
Kelompok al-Hamiyyah;
mereka meninggalkan ilmu pengetahuan, melarang pengajaran, dan hanya
mengikuti para hukama` (ahli hikmah). Mereka mengklaim dan meyakini
bahwa Al-Qur`an itu hanyalah sebagai tirai, sedangkan syair-syair adalah qur`an-nya
ilmu tarekat, sehingga mereka meninggalkan Al-Qur`an dan mengajarkan
syair-syair kepada anak-anak mereka; mereka juga meninggalkan wirid-wirid, dan
binasa karena keyakinan itu. Ironisnya, mereka mengaku sebagai orang-orang Ahlus
Sunnah wa al-jama`ah, padahal jauh sama sekali.
Sesungguhnya
sahabat-sahabat nabi adalah orang-orang di-anugerahi tarikan-tarikan llahi oleh
Allah Ta`ala akibat pertalian mereka yang amat kuat dengan Rasulullah saw.
Sepeninggal mereka, tarikan-tarikan llahi ini berpindah kepada
wali-wali/ulama-ulama tarekat, lalu menyebar kepada rangkaian yang sangat
banyak. Namun tarikan-tarikan itu tidak lagi utuh seperti semula, melainkan
lambat laun menjadi lemah bahkan hilang sama sekali dari sebagian besar mereka,
sehingga yang tersisa hanyalah formalitas-nya saja berupa sosok wali-wali yang
tanpa makna. Kemudian, melalui wali-wali ini, tarikan-tarikan palsu itu
berpindah ke tangan para ahli bid`ah; sebagian mereka menisbahkan diri mereka
kepada Qalandar, sebagian ke Haydar, sebagian ke Idham, dan
banyak lagi yang lain yang terlalu panjang untuk diuraikan.
Pada zaman
sekarang ini, amat sedikit orang yang betul-betul bisa dikatakan seorang wali.
Wali yang sebenarnya itu dapat dikenali melalui dua ciri, yaitu ciri-ciri zahir
dan ciri-ciri batin. Ciri-ciri zahir seorang wali adalah bahwa ia benar-benar mengamalkan
hukum syari`at secara keseluruhan, baik yang berupa perintah maupun larangan.
Adapun ciri-ciri batinnya adalah bahwa ia berperilaku lurus seperti perilaku
Nabi Muhammad saw, dan batinnya berada di antara tuntunan Allah dan tuntunan
Nabi Muhammad saw. Sungguh sedikit orang yang mampu membedakan antara wali yang
benar-benar wali dengan yang tidak.
24. Penutup
الفصل الرابع والعشرون فى بيان الخاتمة
Orang yang
menempuh jalan spiritual haruslah berpikiran cerdas, bernurani tajam,
berpandangan luas terhadap kesudahan perjalanannya, senantiasa merenung tatkala
menjalaninya, dan tidak mudah tertipu oleh keadaan-keadaan spiritual yang
bersifat lahiriah. Para ahli tasawuf telah sepakat bahwa orang yang sedang
menempuh jalan spiritual seringkali lupa terhadap Yang Punya jalan itu sendiri.
Allah Ta`ala berfirman,
فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
"Tidak merasa aman dari tipu daya Allah kecuali
orang-orang yang merugi." (QS. al-A`raf
[7]: 99)
Allah Ta`ala
juga berfirman dalam hadits Qudsi,
يَا مُحَمَّد بشِّر المذنبين بأَنى غفور، وأَنذر الصّدّيقين بأَنى غَيُور
"Wahai Muhammad, berilah kabar gembira bagi
orang-orang yang berdosa, bahwa Aku Maha Pengampun, dan peringatkanlah
orang-orang yang benar bahwa Aku adalah Maha Pencemburu."[114]
Ke-karamah-an-ke-karamah-an
para wali serta keadaan-keadaan spiritual mereka tidaklah aman dari tipu
muslihat dan ujian, ber-beda dengan mukjizat para Nabi yang benar-benar
terjamin keamanannya dari semua itu. Dikatakan bahwa orang yang berangkat dari
rasa khawatir terhadap kesudahan yang buruk saat menjalani perjalanan itu,
biasanya, akan terhindar dari kesudahan yang buruk tersebut karena tidak mudah
terperdaya oleh tipu muslihat yang berasal dari sifat-sifat kemanusiaannya
sendiri yang tanpa ia sadari bisa mengancam kegagalan perjalanannya.
Para sufi
mengatakan, "Sudah biasa, dalam keadaan sehat ada rasa takut, dan dalam keadaan
sakit ada pengharapan." Rasulullah saw bersabda,
لَوْ وُزِنَ خَوْفُ الْمُؤْمِنِ وَرَجَاؤُهُ
"Kalaulah ditimbang rasa takut dan harap orang
beriman, niscaya keduanya pasti berimbang."[115]
Lain halnya
kalau dalam keadaan sakarat, dimana pengharapan seorang Mukmin kepada Allah
haruslah lebih besar daripada rasa takutnya kepada-Nya. Rasulullah saw
bersabda,
لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ
بِاللَّهِ تعالى
"Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal
melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah Ta`ala." (Shahih Muslim Hadist No. 2880, Musnad Ahmad bin Hanbal
Hadist No. 14170, Shahih Ibnu Hibban Hadist No. 638, Musnad Abu Daud Ath
Thayalisi Hadist No. 1888, Musnad Ibnu Za`id Hadist No. 2987, Hilyatul Awliya
Abu Naim Isfahani No. 7235 dan Lainnya)
Maksudnya,
menyadari bahwa rahmat Allah lebih didahulukan-Nya daripada murka-Nya, dan
menginsafi betapa luasnya kasih sayang serta pertolongan-Nya. Dengan demikian,
harapannya kepada rahmat dan kasih sayang Allah Ta`ala akan lebih besar
ketimbang rasa takutnya akan keperkasaan dan ke-ganasan-Nya, sehingga ia akan
mendekat kepada Allah dan dengan penuh harap memohon belas kasihan-Nya dengan
hati yang tawadhu` serta manginsafi akan segala kesalahan dan dosa, agar
pengharapannya itu dikabulkan oleh Allah Ta`ala Yang Mahabaik dan Penyayang,
Maha Pemurah dan Mulia.
Ya Allah, wahai
Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang sesat, wahai Pemberi maaf bagi
orang-orang yang berdosa, ilmu-Mu penyempuna semua ucapan dan kemuliaan-Mu
penyempurna semua permintaan. Ya Allah, wahai Tuhan alam semesta, berilah
shalawat kepada penghulu para rasul, Nabi Muhammad saw serta keluarganya, dan
semua sahabat dan pengikut setianya sampai akhir zaman.
Alhamdulillah,
selesailah penulisan risalah ini berkat izin dan pertolongan Allah Ta`ala.
[1]
Ad-Dailami meriwayatkannya dalam al-Firdaus, h. 4209, dan al-Barra ibn Azib ra
bahwa al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, j. 4, h. 384, mengatakan, "Para
ulama itu adalah pewaris para nabi adalah karena harta warisan diterima oleh
pihak yang pahng dekat dan umat yang pahng dekat dalam nasab agama adalah para
ulama yang me-ninggalkan dunia dan mengusahakan akhirat. Mereka adalah
pengganti para nabi bag! seluruh umat dan mereka mendapatkan dua kebaikan:
yaitu ilmu pengetahuan dan amal perbuatan, serta memperoleh dua kemuhaan, yaitu
kesempurnaan dan penyem-purnaan Tenduduk langit' yaitu para malaikat. Ikan-ikan
paus memohon ampunan untuk mereka' karena begitu mereka memperoleh warisan dan
para nabi-untuk mengajarkan manusia kebaikan dan tatacaranya, serta
memerintahkan untuk me-lakukannya kepada segala sesuatu-maka Allah Ta'ala
mengilham, segala sesuatu untuk memohonkan ampunan bagi mereka sebagai
ganjarannya. Az-Zamkhasyri mengatakan "Hadits ini menunjukkan keutamaan
ilmu dan ketinggian keduduk-annya serta kemuhaan orang-orang yang memilikinya.
Dan bahwa orang yang ber-ilmu itu berarti telah mendapatkan keutamaan yang
sangatbesar
[2]
Al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib, J. 1, h. 101-102 mengatakan bahwa
Abu Umamah ra berkata, "Rasulullah saw bersabda, 'Orang yang berilmu dan
orang yang rajin beribadah dipanggil oleh Allah pada hari Kiamat. Lalu, kepada
orang yang rajm beribadah dikatakan, "Masuklah ke dalam surga!' Sedangkan
kepada orang yang berilmu dikatakan, 'Berdirilah dan berikan syafaat untuk
orang lain."' Al-Mundziri mengatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh
al-Ashbahani dan lain-lain." Makna hadits itu, cinta kepada para ulama dan
mengikuti jejak langkah mereka merupakan salah satu sebab keberuntungan di
akhirat, dimana dengan izin Allah, para ulama itu dapat memben syafaat kepada
orang-orang yang mereka cintai. Wallahu Alam
[3] Kami
tidak menemukannya dengan lafaz demikian. Al-Kattani dalam Tanzih asy-Syari'ah,
j. 1, h. 337 mengatakan, "Abu Hurairah ra meriwayatkan hadits 'Allah
menciptakanku dari cahaya-Nya.
[4] Pentahqiq
tidak menemukan hadist ini
[5] Al
Qari dalam Asrar al Marfu’ah halaman 35 mengatakan bahwa makna hadist ini
adalah benar dan diambil dari Firman Allah QS Dzariyat : 56, selain itu
diriwayatkan oleh Al Alusi dalam Ruh al –Ma’ani juz 27 halaman 26 yaitu Ad
Dailami meriwayatkan hadist marfu dalam Al Musnad dari Anas Ra yaitu “Kekayaan
orang yang beriman adalah Tuhannya
[6] HR.
Ad Darimi dalam Sunan, At-Tibrizi dalam Misykah al Mashabih dari Hasan Al
Bashri
[7] HR
As Sakhawi dalam Maqashid tercantum dalam Risalah Qusyairiyah, At Tarmidzi
dalam Asy-Syamail, Ibn Rawaih dalam Musnad
[8] HR
Bukhari dari Jarir RA
[9] HR
Muslim dari Abu Musa Al Asyari
[10] Al
Israr ila Maqam al Isra karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi
[11] disebutkan
oleh Al Qasyani dalam Ishthilahat namun dia tidak mengisyaratkan bahwa ini
adalah Sabda Nabi SAW
[12] Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya mengatakan ini adalah termasuk Doa Matsur (dari Nabi)
[13] As
Sakhawi dalam Al Maqashid, Abu Al Muzzhaffar as Sam’ani mengatakan hadist ini
bukanlah hadist Nabi melainkan sekedar riwayat dari Yahya bin Muadz Ar Razi,
Imam Nawawi menisbatkannya kepada Sa’id Al Kharraz
[14] Kami
tidak menemukan hadits ini.
[15]
Ibid
[16]
Kami tidak menemukan hadits ini dengan lafaz demikian, tapi hadits ini
me-miliki syahid yang diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, h.
4104, bahwa 'Ali ibn Abi Thalib berkata, "Ilmu pengetahuan batin itu
adalah salah satu rahasia Allah 'Azza wa Jalla, dan salah satu hukumnya
yang dilemparkan-Nya ke dalam hati para wali yang dikehendaki-Nya."
[17]
Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya’ Ulum ad-Din, j. 4, h. 423, tanpa
lafaz "tujuh puluh". Al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughni, j.
4, h. 423, "Hadits ini di-riwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam al-Uzhmah,
dari hadits Abu Hurairah ra dengan lafal 'Enam puluh tahun.'"
Ad-Dailami meriwayatkannya di dalam al-Firdaus, h. 70, dari Anas ra,
"Berpikir sesaat tentang perubahan malum dan siang lebih baik daripada
ibadah delapan puluh tahun."
[18] Ar
Risalah Qusyairiyah, al-Qusyairi, h.
202.
[19]
Al Manufi menyebutnya di dalam Jamharah al Awliya, j. 1 halaman 104, al Qasyani
di dalam Ishtilahat, h.73
[20]
Ar Risalah Qusyairiyyah, AL Qusyairi Halaman 203
[21]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahth-nya,
pasal "Zakat", bab "Diterima dan Dikembangkannya Sedekah
Dari Usaha yang Baik", h. 1-15, dari Abu Hurairah. Sambungan hadits
tersebut adalah sebagai berikut: Dan sesungguhnya menyuruh orang-orang beriman
apa-apa yang di-suruhnya terhadap para rasul-Nya. Lalu Rasulullah saw
membacakan ayat yang ber-bunyi, 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah
makanan yang baik-baik dan beramal shalehlah. Sesungguhnya Aku Malm Mengetahui
hal-halyang kalian kerjakan.' (QS. al-Mu'minun [23]: 51) Kemudian beliau
bercerita tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, berambut
terurai, berdebu, menadahkan tangannya ke langit sambil berdoa: Ya Tuhan, Ya
Tuhan, sementara makanan, minuman, dan pakaiannya berasal dari yang haram serta
hidup dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan." lihat Jami' al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 10, h.
565-566.
[22]
Kalimat bagian dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam al-Jami
'ash-Shahih, pasal "Shalat", bab "Shalat Witir Tidak
Wajib", hadits no. 453, dan al-Imam an-Nasal di dalam Sunan-nya,
pasal "Shalat Malam", bab "Permtah Shalat Witir", j. 3, h.
228-229, dari 'Ali ibn Abi Thalib ra. Sambungan hadits tersebut adalah sebagai
berikut,".... Maka, laksanakanlah shalat Witir, wahai pengikut Al-Qur'an"
Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal "Doa-Doa",
bab "Allah Memiliki 99 Nama", hadits no. 6047, dari Abu Hurairah ra,
"Allah menhliki 99 nama, dimana orang yang menghafahiya pasti masuk surga.
Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil." Jami’ al-Ushul, Ibnu
al-Atsir, j. 6, h. 43-44.
[23]
Riwayat Bukhari no. 6410, Muslim no. 2677, At Tirmidzi dalam Al Jami Ash Shahih
no. 3508
[24]
Telah di Takhrij
[25]
Kami tidak menemukan hadits ini dengan lafal demikian, namun ia dikuatkan oleh
hadits lain yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir, j.
10, h. 130, dari 'Abdullah ibn Mas'ud ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
"Kalaulah aku mencari saha-bat, sungguh akan aku pihh Abu Bakar sebagai
sahabatku. Namun, sahabat kalian adalah Khalilullah (Teman Allah, yaitu
Nabi Ibrahim as), Dia turukan Al-Qur'an dalam tujuh huruf yang masing-masing
ayatnya memiliki makna zahir dan batin." Ibn Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya
hadits Marfu' dari Ibn Mas'ud ra, "Al-Qur'an memiliki makna zahir dan
batin, serta akhir dan awal."
[26]
Kami tidak menemukan hadist ini
[27]
Diriwayatkan sebagai hadits Marfu’ oleh Abu Nairn di dalam al-Hilyah,j. 5,
h. 189, dari Makhul, dari Abu Ayyub al-Anshari. Al-Qari mengatakan di dalam al-Asrar
al-Marfu'ah, h. 454, "Menurut Ahmad dalam az-Zuhd, hadits ini
Mursal dari Makhul, dengan tambahan lafaz, yang memancar'." As-Suyuthi
menyebut hadits ini di dalam al-Jami' ash-Shaghir, h. 8361. Lihat Jami'al-Ushul,
Ibnu al-Atsir, j. 11, h. 557. Al-Ghazali mengatakan di dalam Ihya' Ulum
ad-Din, j. 4, h. 382, "Penjelasan yang paling memuaskan tentang
keikhlasan adalah penjelasan Pemuka para rasul saw saat beliau ditanya tentang
hal itu, lalu menjawab, Engkau mengatakan Tuhanku adalah Allah, lalu engkau
konsekuen sebagaimana diperintahkan.' Maksudnya, tidak menyembah hawa nafsu dan
dirimu, tapi hanya menyembah Tuhanmu dan konsekuen dalam me-nyembahnya
sebagaimana diperintahkan. Itu adalah isyarat untuk menghilangkan segala selain
Allah dari jalur pandangan, dan itulah keiklilasan."
[28]
Hadits ini adalah potongan dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
di dalam Sunan-nya, pasal "Budi Pekerti", bab "Nasihat
dan Kehati-hatian", h. 4918, dari Abu Hurairah ra. Kelanjutan hadits
tersebut adalah,Mukmin itu adalah saudara Mukmin yang lain, ia wajib
menghentikan kesalahan dan menjaga nama baik saudaranya." Lihat Jami'al-Ushul,
Ibnu al-Atsir, j. 6, h. 563. As-Sahamafuri mengatakan di dalam Badzl
al-Majhul j. 19, h. 159, "Melalui cermin, manusia dapat menyak-sikan
bentuknya yang ash agar dia memperbaiki apa-apa yang perlu diperbaikinya.
Begitu juga dengan seorang Mukmin, dimana dia bagaikan cermin bagi Mukmin yang
lain yang akan menghilangkan aib-aib orang itu dengan memberitahu dan
meng-ingatkan hal itu kepadanya."
[29] Kami
tidak menemukan hadits ini.
[30] Lihat
at-Tafslr al-Kabir, ar-Razi, j. 7, h. 166-179. Penjelasannya sangat
memuaskan.
[31]
Telah di Takhrij
[32]
Kami Tidak Menemukan Hadist ini
[33]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya,
pasal "Awal Pentiptaan", bab "Karakteristik Surga dan Ia
Adalah Makhluk", liadits no. 3072, dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya,
pasal "Surga, Karakteristik Kenikmatannya, dan Asalnya", hadits
no. 2824, dari Abu Hurairah ra. Lafal hadits itu adalah, "Allah Ta'ala
berfirman, 'Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh sesuatu
yang tak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terlintas
di hati manusia.' Maka, jika Anda mau, bacalah, 'Seorang pun tidak
mengetahui bermacam-macam nikmat yang disembunyikan untuk mereka' (QS.
as-Sajdah [32]: 17)." Lhat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 10, h.
494.
[34]
Ungkapan ini adalah bagian dari sebuah hadits yang nash lengkapnya adalah: Para
sahabat bertanya, "Apakah jihad yang paling besar, ya Rasulullah?"
Beliau saw menjawab, "Jihad yang paling besar adalah Jihad hati."
Al-Ghazali menyebutkan hadits ini di dalam Ihya' Ulum ad-Din, j. 3, h.
4. Al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughni, "Hadits ini
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam az-Zuhd, bahwa hadits ini
diriwayatkan dari hadits Jabir ra, namun seorang di antara sanadnya
lemah." Al-Baihaqi juga menyebutkannya di dalam az-Zuhd al-Kabir, h.
373. As-Suyuthi mengatakan di dalam al-Jami'ash-Shaghir, h. 6107,"
Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan di dalam at-Tarikh, j. 13, h. 493,
dari hadits Jabir ra, " Rasulullah saw datang, lalu berkata, 'Kalian
pulang dengan sebaik-baiknya; Kalian pulang dari jihad yang paling kecil menuju
jihad yang paling besar.' Para sahabat bertanya, 'Apakah jihad yang paling
besar itu?' Rasulullah saw menjawab, 'yaitu jihad seseorang hamba melawan nafsunya.'"
Al-Munawi mengatakan di dalam Faidh al-Qadir, j. 4, h. 511, "Kalian
pulang dari jihad melawan musuh yang berada di luar diri kahan menuju jihad
melawan musuh yang berada di dalam diri kahan, [yaitu jihad seorang hamba
melawan nafsunya] dan ia adalah jihad yang paling besar, karena berperang
melawan orang-orang kafir adalah fardhu kifayah, sedangkan jihad melawan nafsu
adalah fardhu 'ain yang wajib di-lakukan seorang hamba setiap saat. Jihad yang
paling besar itulah yang ditunjukkan oleh hadits ini. Ibnu Idham mengatakan,
'Jihad yang paling berat adalah melawan hawa nafsu. Orang yang berhasil menahan
hawa nafsunya berarti telah terlepas dari dunia dan malapetakanya.'"
[35]
Al-Ghazah menyebutkannya di dalam Ihya' Ulum ad-Din, j. 3, h. 4.
Al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughni,j. 3, h. 4, "Al-Baihaqi
meriwayatkannya di dalam az-Zuhd. al-Kabir, h. 343 dari hadits Ibnu
'Abbas. Di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn 'Abdur Rahman ibn Ghazwan, salah
seorang pembuat hadits palsu." Ad-Dailami meriwayatkannya di dalam al-Firdaus,
dan al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-'Ummal, j. 4, h. 431.
[36]
Ini adalah ucapan Abu Said al-Kharraz yang diriwayatkan oleh Abu 'Asakir di
dalam at-Tarikh, j. 2, h. 65, tapi menurut az-Zarkasyi di dalam Luqthah
al-'Ajlan, h. 155, bahwa ini adalah ucapan al-Junaid al-Baghdadi. Al-Ajluni
di dalam al-Kasyf, j. 1, h. 428, mengatakan, "Perbedaan antara
orang-orang abrar (shaleh dan bertakwa) dengan orang-orang muqarrabin
(dekat dengan Allah): Orang-orang muqarrabin adalah orang-orang yang
membuang bagian-bagian dan keinginan-keinginan dirinya, kemu-dian
memfungsikannya untuk melaksanakan hak-hak Tuhan mereka guna mencari
keridhaan-Nya, sedangkan orang-orang abrar adalah orang yang tetap
bersama bagian-bagian dan keinginan-keinginannya yang ia pergunakan untuk
melaksanakan amal-amal shaleh serta kedudukan-kedudukan spiritual yaqin agar
mereka diberikan pahala atas usaha tersebut, yaitu berupa terangkatnya derajat
mereka- Wallahu Alam." Lihat al-Mashna', h. 94.
[37]
Kami tidak menemukan Hadist ini
[38]
Ad-Dailami meriwayatkannya di dalam al-Firdaus h. 802, dari Abu Hurairah
ra. Al-Mundziri menyebutnya di dalam at-Targhib wa at-Tarhib). 1, h. 103
dan mengatakan, "Diriwayakan oleh 'Abdurrahman as-Salami dalam al-Arba'in
fi at-Tashawwuf As-Suyuthi memaparkannya di dalam al-La'ali.j. 1, h.
211 dan menambahkannya, "Allah mengumpulkan para ulama pada hari Kiamat di
satu lapangan, lalu berfirman kepada mereka, 'Aku menyimpan ilmu pada diri
kalian, dan aku ingin mengazab kalian." Perkataan Nabi saw "Orang
yang lalai" maksudnya adalah orang yang tunduk kepada dunia dan tertipu
oleh kemegahannya, maksiat kepada Allah dan menuruti syahwat mereka,
meninggalkan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta me-ninggalkan agama.
Imam Asy-Syafi 'i mengatakan, "Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada
guruku, Waqi', maka behau membimbingku supaya aku meninggalkan maksiat. Behau
berkata, Hmu itu adalah cahaya sedangkan cahaya Allah tidak akan diberikan
kepada orang yang ahli berbuat maksiat.'"
[39] Al-'Ajluni
mengatakan di dalam al-Kasyfy 2, h. 444, "Ini bukanlah hadits Nabi,
melainkan kutipan sejumlah orang dari Imam al-Ghazali (saudara kandung Abu
Hamid pengarang Ihya. Jadi, hendaknya Anda memeriksanya kembah."
Al-Azhari menyetujui pendapat itu di dalam Tahdzir al-Muslimin h. 183.
[41]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yangdisebutkan oleh al-Haitsami di dalam al-Majma'
J 1, h. 125, dari Abu Umamah ra," Rasulullah saw bersabda bahwa Lukman
berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, engkau harus duduk-duduk bersama
para ulama dan mendengar ucapan-ucapan para hukama, karena Allah menghidupkan
hati yang mati dengan cahaya hikmah seperti menghidupkan tanah yang mati dengan
hujan yang lebat.'" Lalu ia mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan
oleh At-Thabrani di dalam al-Kabir dan Abu Nu'aim di dalam al-Hilyah'y
8, h. 72. Abu nu'aim menyebutkan bahwa diriwayatkan sebuah Hadits
Mauquf-Marfu' dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Janganlah
kahan duduk di hadapan semua orang alim, kecuali bila orang alim itu
menganjurkan kahan untuk beranjak dari yang lima dan menuju kepada yang lima:
beranjak dari keragu-raguan menuju keyakinan, dari sok pamer kepada ikhlas,
dari kecintaan kepada dunia kepada zuhud, dari kesombongan kepada tawadhu', dan
dari permusuhan kepada nasihat." Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya
'Ulum Al-Din, J.1, h. 263.
[42]
Al-Qudhal meriwayatkan di dalam al-Musnad j. 1, h. 65 dari Abu Hurairah
ra, "Rasulullah saw bersabda," Kata-kata hikmah adalah barang hilang
milik setiap orang bijak, jika menemukannya, dialah yang paling berhak
memilikinya." At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam al-Jami'ash-Shahih, pasal
Ilmu, bab Keutamaan Fiqih Daripada Ibadah" h. 2687 dari Abu Hurairah ra,
"Rasulullah saw bersabda, 'Kata-kata hikmah adalah barang hilang milik
orang yang beriman, ketika dia menemukannya, dia paling berhak
terhadapnya.'"
[43]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunan
Ibnu Majah, pasal Miikadimah, bab Kemuhaan Para Ulama dan Anjuran Men-cari
Ihnu, h. 224, dari Anas ibn Malik ra. Kelanjutannya, "... Orang yang
meletakkan ilmu pada orang yang tidak pantas, seperti orang yang meletakkan
permata, berlian, dan emas pada babi." Al-Munawi mengatakan dalam Faidh
al-Qadiry 4, h. 267, " As-Suhrawardi mengatakan di dalam 'Awarifal-Ma'arif
h.17, "Para ulama berbeda pen-dapat tentang ilmu yang diwajibkan; ada
yang mengatakan bahwa ilmu yang diwajib-kan itu adalah ilmu tentang ikhlas,
penyakit-penyakit hati, dan hal-hal yangmerusak amal, sebab kita diperintah
untuk berbuat ikhlas dan beramal shaleh, sedangkan ke-lengahan, ketertipuan,
dan syahwat jiwa akan menghancurkan bangunan-bangunan keikhlasan, sehingga mengetahui
semua itu adalah wajib (fardhu). Ada yang mengatakan, yang wajib itu adalah
ilmu tata cara jual beli, ada yang mengatakan ilmu tauhid berdasarkan kajian,
inferensi, dan wahyu, dan ada yang mengatakan ilmu pengetahuan batin, yaitu
ilmu yang menambahkan keyakinan seorang hamba kepada Allah dan diperoleh dengan
cara menemani para wah pewaris Nabi Muhammad saw." Al-Ghazali dalam Minhaj
al-'Abidin h. 7-8, "KetahuUah bahwa ihnu yang wajib dicari ada tiga
macam: ilmu tauhid, ihnu yang berhubungan dengan hati dan aktivitasnya, dan
ilmu syari'at. Batas yang wajib dicari oleh setiap orang dari masing-masing
ilmu itu sebagai berikut: yang wajib dicari dari ihnu tauhid adalah sekadar
mengenalkan dasar-dasar agama, yaitu mengetahui bahwa engkau memiliki Tuhan
Yang Maha Tahu, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Mahahidup, Maha Berbicara, Maha
Mendengar, Maha Melihat, Maha Esa Tanpa Sekutu, Maha Memiliki Sifat-sifat
Sempurna, Maha-suci dari kekurangan, kesalahan, dan tanda-tanda kebaruan, Maha
Menyendiri secara azah dari segala yang baru, bahwa Muhammad saw adalah hamba
dan rasul-Nya, yang jujur menyampaikan ajaran yang diterimanya dari Allah Yang
Mahatinggi dan Maha-suci. Yang wajib dicari dari ihnu hati adalah mengetahui
hal-hal yang wajib dan ter-larang bagi hati, sehingga engkau meraih pengagungan
Allah Ta'ala dan keikhlasan kepada-Nya, serta niat dan amal yang baik Dan yang
wajib dipelajari dari ilmu syari'at adalah mengetahui segala yang wajib engkau
kerjakan agar engkau dapat mengerja-kannya dengan baik dan benar. Adapun
ilmu-ilmu yang lain selain yang tiga ini adalah fardu kifayah mempelajarinya.
[44]
Kami tidak menemukannya dengan lafaz demikian. Al-Haitsami mengatakan di dalam al-Majma,
j. 8, h. 20, "Dari 'Ammar ibn Yasir ra, Rasulullah saw bersabda,
Akhlak vang paling baik adalah akhlak Allah Yang Mahaagung.'"
[45]
Al-Ahadits al-Qudsiyyah h. 81-84. Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-Nya,
pasal Budak-budak, bab Tawadhu', hadits no. 1137, dari Abu Hurairah ra,
"Rasulullah saw bersabda, 'Sungguh Allah Ta'ala mengatakan, Barangsiapa
yang memusuhi wali-Ku, Aku izinkan orang lain untuk memeranginya, dan tiadalah
sesuatu yang lebih Ku-sukai dari seorang hamba yang berusaha mendekati-Ku
dengan-nya selain dari apa-apa yang Ku-wajibkan kepadanya, dan jika dia terus
berusaha mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunnat, maka Aku mencintainya. Jika
Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang dipakainya ketika mendengar,
penghhatan yang dipakainya ketika melihat, tangan yang dipakainya ketika
me-mukul, dan kaki yang dipakainya ketika berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku,
pasti Aku beri, dan jika dia minta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi.'"
[46]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di
dalam al-Jami'ash-Shahih, pasal Doa-Doa, bab Ajaran Tentang Doa Pada
Hari Arafah, h. 3585, dari hadits 'Amr ibn Syu'aib, dari ayahnya, dari
kakeknya ra, dengan lafaz yang hampir serupa. Ia diriwayatkan juga oleh Malik
di dalam al-Muwaththa' pasal Al-Qur'an, bab Ajaran Tentang Doa, h 32,
dari hadits Thalhah ibn Ubaidillah ibn Kariz ra, lafaznya, "Doa yang
paling mulia adalah doa pada hari Arafah, dan perkataan paling mulia yang
diucapkan olehku dan nabi-nabi sebelumku adalah La ilaha illallah wahdah la
syarika lah (Tidak ada Tuhan selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya
" Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 4, h. 324.
[47]
Diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, hadits no. 3110, dan
oleh as-Suyuthi di dalam al-Jami' ash-Shaghlr, h. 4269, dan dia
menganggapnya sebagai hadits Hasan. Al-Munawi mengatakan di dalam Faidh
al-Qadtr, j. 3, h. 544, "Di dalam sanadnya terdapat Jibillah ibn
Sulaiman—[adz-Dzahabi mengatakan di dalam Mizan al-I'tidal, j. 1, h.
388]—Tbnu Muln mengatakan, Dia bukan orang yang tepercaya. Dunia ckjauhkan dari
kaum Akhirat, dan akhirat dijauhkan dari kaum Dunia, karena orang yang sekadar
mengambil kegunaan dunia dapat melakukan pekerjaan akhirat, sedangkan orang
yang mengambil kesenangan dunia secara berlebih-lebihan tidak mungkin melakukan
pekerjaan akhirat karena keduanya bertentangan. Asy-Suyuti mengatakan, 'Orang
yang mengaku mampu menyatukan antara cinta kepada dunia dengan cinta kepada
Penciptanya, berarti ia telah berdusta. Dunia dan akhirat dijauhkan dari kaum
Allah dikarenakan surga kebanyakan kaum Mukmin adalah surga karena usaha,
sedangkan surga kaum Allah (orang-orang arif yang sempurna) adalah surga
karunia. 'Kaum karunia' ini benar-benar takut kepada Allah, bukan takut kepada
neraka-Nya, sehingga surga mereka adalah memandang wajah-Nya Yang Maha-suci,
dan terhalangnya mereka dari memandang Allah merupakan azab yang amat pedih
bagi mereka, Abu Yazid al- Bust ham i mengatakan, 'Di dalam surga terdapat
orang-orang yang jika dihalangi sekejap mata saja dengan tirai dari memandang
Allah, mereka akan minta dikeluarkan dari surga seperti penghuni neraka meminta
di-keluarkan dari neraka. Itulah maksud dari diharamkannya dunia dan akhirat
bagi mereka.'" Wallahu Alam.
[48]
Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini, tapi ia dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Yala dalam Musnad-nya, j. 6, h. 147, dari Anas ibn
Malik ra, "Rasulullah saw bersabda, Para nabi hidup hidup dan melakukan
shalat di dalam kubur mereka."" Al-Haitsami menyebutnya di dalam al-Majma',
j. 8, h. 211, dan mengatakan, "Ia diriwayatkan oleh Abu Yala dan
al-Bazzar. Orang-orang dalam sanad Abu Yala tepercaya." Ia disebut juga di
dalam Kasyf al-Astar, j. 3, h. 100, dan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus,
h. 403. Lihat al-Qaul al-Badi’ as-Sakhawi, h. 225-247, yang
di-sunting oleh saudara kami, Syaikh Basyir Muhammad Uyun.
[49]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan di dalam ad-Dirayah, J.l, Halaman
182-183
[50]
Al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal' Keutamaan-keutamaan bab
Nabi, Tidur Matanya, Tapi Tidak Tidur Hatinya , hadite no. 3376, dan 'Aisyahra.
Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 6,h.93.
[51] Kami
tidak menemukan hadits ini.
[52] Kami
tidak menemukan hadits ini.
[53]
Al-Bukhari menwayatkannya di dalam Shahlh al-Bukhari, pasal Awal Wahyu
bab Awal Wahyu Kepada Rasulullah Saw", h. 1 dari TJmar ibn al-Khaththab
ra. Al-' Ilafeh IbnuHajar mengatakan di dalam Fath al-Barij. 1, h. 18,
"Hadite ini menjadi dalil tidak bolehnya melakukan suatu amal sebelum
mengetahui hukumnya karena hadits ini menyatakan bahwa amal tidak dihitung jika
tidak diiringi niat, sedangkan mat melakukan sesuatu tidak sah, kecuah setelah
mengetahui hukumnya " Imam an-Nawaw, mengatakan di dalam Syarh Shahih
Muslim, j. 13, h. 53, "Kaum Muslim me-nyepakati bahwa pengaruh hadits
ini sangat besar, serta faedah dan kebenarannya sangat banyak Asy-Syafi'i dan
para ulama lain mengatakan, 'Hadits ini adalah sepertiga Islam . Abdur Rahman
al-Mahdi dan selainnya mengatakan 'Orang yang mengarang sebuah buku haruslah
memulainya dengan hadits ini, sebagai peringatan bagi pembaca supaya
membetulkan niatnya. Walldhu Alam. Lihat Mmi'al-Ushul Ibnu
al-Atsir, j. 11, h. 555.
[54]
Az-Zarkasy. mengatakan di dalam Al-Laali, h 65, "Bagian pertama
dari hadits ini dinwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman dengan
sanad Yusuf ibn 'Athiyyah dari Tsabit dari Anas ra'. Al-Askari meriwayatkan
dengan sanad tersebut sebagai hadits Marfu. Ad-Dailami dalam al-Firdaus h.
6842, dari Sahal ibn Sa'ad ra "Niat orang yang benman lebih baik daripada
perbuatannya, sedangkan amal orang munafik Iebih baik daripada matnya. Semua
orang beramal sesuai dengan niatnya, sehingga jika orang yang benman melakukan
suatu amal, maka terbersitlah cahaya di hatinya " Al-Munam mengatakan di
dalam Faidh al-Qadirj. 6, h. 292, "Al-Hakim mengatakan Niat adalah
bangkitnya jiwa menuju Allah; awalnya adalah pikiran, lalu keinginan, lalu
bangkit, lalu beqalan menuju Allah Ta'ala, pergi dengan akal, pikiran, tekad
dan cita-cita Dengan demikian, sempurnalah niat tersebut yang darinya terlahir
amal-amal shaleh oleh anggota badan. Jika tekad seseorang sudah bulat, maka
keluarlah riya' kebanggaan, dan kesombongan dari semua amalnya dan sampailah ia
kepada ke-dudukan spiritual orang-orang yang kuat.
[55]
Al-'Ajluni mengatakan dalam al-Kasyfy 2, h. 342, "Hadits ini
diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Anas ra." At-Thabrani meriwayatkan di
dalam al-Kabiry 2, h. 268 dari al-Jarud ibn 'Ami, "Rasulullah saw
bersabda, 'Barangsiapa yang mencari dunia dengan akhirat, maka dihilangkanlah
sinar wajahnya dan dihapuslah kebaikan-kebaikannya, lalu namanya akan dicatat
di neraka.'" Al-Haitsami mengatakan di dalam al-Majma'j. 10, h.
220, "Di dalam sanadnya terdapat orang yang ku kenal."
[56]
Muslim meriwayatkan di dalam Shahlh-nya, pasal Iman, bab Penegasan
Ter-hadap Penglihatan Kaum Mukmin Kepada Tuhan Mereka Pada Hari Kiamat, h. 297,
dari Skuhaib ar-Rumi dari Nabi saw, "Jika para penghuni surga telah masuk
ke dalam surga, maka Allah berkata, 'Apakah kalian menginginkan tambahan?'
Mereka mengatakan, 'Bukankah Engkau sudah memutihkan wajah kami? Bukankah
Engkau sudah memasukkan kami ke surga? Bukankah Engkau sudah menyelamatkan kami
dari neraka?' Lalu, disingkapkanlah tirai dari mereka, sehingga mereka merasa
tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka sukai daripada melihat Tuhan mereka 'Azza
wa Jalla." Lihat Jdmi'al-Ushwl, Ibnu al-Atsir, j. 10, h. 560
[57] Kami
tidak menemukan hadits ini. Di dalam buku ini disebut sebagai ucapan Ulnar ibn
al-Khaththab ra.
[58]
Kami tidak menemukan Hadist ini
[60]
Telah di Takhrij
[61]
Kalimat ini adalali bagian dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhan dalam Shahih-nya,
pasal Tauhid, bab Firman Allah Ta'ala, "Yang didustakan oleh mereka
adalah Al-Qur''anyang mulia yang tersimpan di Lauh al-Mahfuzh."
(QS. al-Buruj [85]: 21-22), h. 7114-7115, dari Abu Hurairah ra. Lafaznya,
"Ketika Allah menetapkan putusan azali bagi makhluk, Dia menulis sebuah
kitab yang di dalamnya tertulis 'Rahmal-Ku mengalahkan—atau mendahului—kemurkaan-Ku.
'Kitab itu selalu berada di sisi-Nya di atas 'Arasy Ilahi." Banyak
hadits yang menguatkannya, di dalam Shahih Muslim, pasal Tobat, bab
Rahmat Allah Ta'ala Sangat Luas Dan Mendahului Kemurkaan-Nya, hadits no. 2751.
Lihat Jdrni' al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 4, h. 518-519. An-Nawawi
mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j. 17, h. 68, "Sebagian
ulama mengatakan, *Kemurkaan dan keridhaan Allah Ta'ala bersumber dari makna
sifat Kehendak-Nya. Kehendak-Nya adalah memberikan pahala bagi orang yang
ta'at; imbalan/pahala bagi orang-orang yang patuh disebut dengan ridha dan
rahmat, sedangkan hukuman bagi orang yang ingkar disebut dengan murka. Kehendak
Allah Ta'ala adalah salah satu sifat-Nya yang azah, dimana dengan sifat itu Dia
menghendaki segala yang dikehendaki-Nya.' Mereka juga mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan mengalahkan dan mendahului dalam hadits itu adalah Rahmat Allah
sangat banyak."
[62]
Al-Qari menyebutnya di dalam al-Asrar al-Marfu'ah h. 385, dan ash-Shaghani
di dalam al Maudhu'at h. 78. Hadits ini dikuatkan oleh oleh hadits
Marfu' yang diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, dari Ibnu
'Abbas, "Jibril datang kepadaku, lalu berkata, "Wahai Muhammad, jika
bukan karena engkau, tidaklah akan diciptakan surga; jika bukan karena engkau,
tidaklah akan diciptakan neraka.'"
[63]
Lihat takhrij hadits berikutnya. Al-Hafizh, Ibnu Hajar mengatakan
di dalam Path al-Bari, j. 11, h. 488, "Hadits ini menunjukkan bahwa
perbuatan-perbuatan baik atau buruk hanyalah sekadar tanda tentang kebahagiaan
atau kesengsaraan sese-orang, bukan penentu; dan nasib segala sesuatu pada
akhirnya tergantung kepada qadlia dan qadar Tuhan yang telah Ia tetapkan pada
awalnya (sebagaimana dikatakan oleh al-Khithabi). Hadits inii juga menekankan
bahwa penilaian tentang orang yang bahagia terkadang sengsara dan orang yang
sengsara terkadang bahagia, hanyalah penilaian berdasarkan penampilan zahir
saja. Sedangkan dalam pengetahuan Allah Ta'ala, hal itu tidak berubah. Hadits
ini juga menunjukkan bahwa yang dijadikan patokan adalah akhir kehidupan
seseorang."
[64]
Di dalam catatan pinggir naskah zh. tertulis, Tanda kesengsaraau ada empat:
melupakan dosa-dosa di masa lalu, padahal dosa-dosa itu tercatat di sisi Allah;
meng ingat-ngingat
kebaikan di masa lalu, padahal dia tidak tahu apakah kebaikan itu di-terima
oleh Allah atau tidak; memandang kepada orang yang lebih tinggi daripadanya
dalam masalah duniawi, dan memandang kepad orang yang lebih rendah daripadanya
dalam masalah agama." Muslim meriwayatkan di dalam Shahi-nya, pasal
Qadar, bab Cara Penciptaan Adam, hadits no. 2645, dari 'Amir ibn Watsilah ra
bahwa dia men-dengar dari 'Abdullah ibn Mas'ud berkata, "Orang yang
sengsara adalah orang yang ditetapkan sengsara sewaktu berada di dalam perut
ibunya, sedangkan orang yang bahagia adalah orang yang dapat dinasihati oleh
orang lain." Lalu, dia datang kepada seorang sahabat (Hudzaifah ibn Usaid
al-Ghifari) dan menceritakannya ucapan Ibnu Mas'ud tersebut, dan berkata
kepadanya, "Bagaimana mungkin seseorang sengsara tanpa melakukan
apa-apa?" Sahabat itu berkata, "Apakah engkau heran karenanya?
Sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda,' Jika nutfah sudah bersemayam
selama 42 malam, maka Allah mengutus malaikat untuk membentuknya, mencipta-kan
pendengarannya, penghliatannya, dagingnya, dan kulitnya. Lalu malaikat itu
berkata, Wahai Tuhan, laki-laki atau perempuan? Maka, Allah memutuskan
seke-hendak-Nya dan malaikat itu menulisnya. Lalu malaikat itu berkata, Wahai
Tuhan, umurnya? Maka, Tuhan mengucapkan sekehendak-Nya, dan malaikat itu
menulisnya. Lalu malaikat itu berkata, Wahai Tuhan, rezekinya? Maka, Tuhan
memutuskan sekehendak-Nya dan malaikat itu menulisnya. Kemudian, malaikat itu
kembah mem-bawa catatan itu, tidak menambahnya atau menguranginya." Lihat JamVal-Ushul,
Ibnu al-Atsir,j. 1, h. 115-116.
[65] Kami
tidak menemukannya.
[66]
Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shah'ih-nya, pasal Jenazah, bab Jika Seorang
Anak Masuk Islam Lalu Wafat, hadits no. 1292-1293, dari Abu Hurayrah ra, Nabi
saw bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah.
Orangtuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi." Lihat Jami'al-Ushul
Ibnu al-Atsir.j. l,h. 268.
[67]
Telah di Takhrij
[68]
Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini. Ia dikuatkan oleh hadits Ibnu Majah
di dalam Sunan-nya, pasal Zuhud, bab Kemuhaan Para Faqir, hadits no.
4121, dari 'Imran ibn Hushain ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Allah
mencintai hamba-Nya yang beriman, faqir, menjaga harga diri, ayah dari sejumlah
anak." al-Ghazali me-nyebutkan di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. 4, h.
199, dari 'Ah ra, "Rasulullah saw bersabda 'Hamba yang paling dicintai
Allah adalah orang faqir yang qana'ah dengan rezeki'nya dan ridha kepada Allah
Ta'ala." As-Samarqandi menyebutkan di dalam Tanbih al-Ghafilin, h-
184, dari 'Abdullah ibn Umar ra, "Nabi saw bersabda, "Makhluk yang
paling dicintai Allah adalah orang faqir, karena makhluk yang paling dicintai-Nya
adalah para nabi, dan Dia menguji mereka dengan kefaqiran.'" Dia juga
mengatakan, h .181 "Orang Islam harus mencintai kefaqiran dan mencintai
orang-orang faqir, meskipun ia kaya, karena cinta kepada orang-orang faqir
mengandung makna cmta kepada Rasul saw. Allah Ta'ala telah memerintahkan
Rasul-Nya untuk mencintai dan mendekati orang-orang faqir dalam firman-Nya, "Dan
bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan dipagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya." (QS. al-Kahfi [18]: 28). Maksudnya,
kurung dirimu bersama orang-orang taqir vang mengurung diri mereka untuk
ibadah.
[69]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yangdisebutkan oleh as-Sakhawi di dalam al-Maqashid,
h. 745. Kelanjutannya, "Dan karenaku dia merasa bangga. Ad-Dailami
meriwayatkan di dalam al-Firdaus, hadits no. 2399, dari Mu'adz ibn Jabal
ra, Hiasan orang yang beriman di dunia adalah kefaqiran."
[70]
Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. A, a. 15.
Al-Hafizh al-Iraqi di dalam al-Mughni, j. 2, h. 15, "Aku tidak
mengetahui sumbernya. Az-Zarkasyi mengatakan di dalam al-La'all, h. 135,
dan al-'Ajluni di dalam al-Kasyf,j. 2, h. 255. As-Suyuthi mengatakan di
dalam ad-Durar, h. 362, "Ahmad merivrayatkan di dalam az-Zuhd h.
103, "Dari Wahab ibn Munabbih, 'Allah 'Azza wa Jalla membuka langit
kepada Hazqil hingga dia mehhat 'Arasy Ilahi. Lalu Hazqil berkata, 'Mahasuci
Engkau, wahai Tuhanku; Mahaagung Engkau, waliai Tuhanku.' Allah berkata, 'Sesungguhnya
langit dan bumi tidak sanggup membawa-Ku, terlalu sempii untuk-Ku, dan yang
cukup luas untuk-Ku adalah hati hamba yang beriman yangpenuh kedamaian dan
kelembutan.'"
[71] Al-Fatanni
menyebutkannya di dalam Tadzkirah al-Maudhu'at, h. 196.
[72]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya,
pasal Zuhud Dan Hamba Sahaya, hadits no. 2956, dari Abu Hurairah ra.
At-Tirmidzi meriwayatkannya di dalam al-Jami ash-Shahih, pasal Zuhud,
bab Dunia Adalah Penjara Bagi Orang Beriman dan Surga Bagi Orang Kafir, hadits
no. 2324, juga dari Abu Hurairah ra. Kelanjutannya,"... dan surga bagi
orang kafir." Imam an-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j.
18, h. 93, "Artinya, setiap orang beriman terpenjara serta terhalang dari
dunia yang diharamkan dan dimakruhkan untuknya. Dia harus menunaikan kepatuhan
yang sangat berat. Jika dia mati, barulah dia istirahat dari semua itu, pindah
kepada kenikmatan abadi yang dijanjikan Allah Ta'ala serta kenyamanan yang
sempurnaan dari-Nya. Sedangkan orang kafir hanya mendapatkan apa yang diraihnya
di dunia yang selain sangat sedikit juga tercemar berbagai kekurangan. Jika dia
mati, dia pindah kepada siksa dan kesengsaraan yang abadi." Wallahu
alam.
[73]
12 Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan lafaz yang sangat serupa di
dalam al-Jami.' ash-Shahth, pasal Zuhud, bab Sabar Menanggung Bencana,
h. 2398, dari Sa'ad ibn Abi Waqash ra, dan Ibnu Majah di dalam Sunan Ibnu
Majah, pasal Fitnah-Fitnah, bab Sabar Menanggung Bencana, hadits no. 4023,
dari Sa'd ibn Abi Waqash ra., dengan tambahan, "... Seorang hamba diuji
dengan suatu bencana sesuai dengan kadar agamanya; jika agamanya kukuh,
bencananya pun hebat, jika agamanya lemah, ia diuji sesuai kadar agamanya.
Setelah bencana itu berlalu, ia pun berjalan di atas bumi terbebas dari
kesalahan."
[74]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yangdiscbutkan oleh al-Hut di dalam al-Ahadits
al-Musykilah h. 276. Lafaznya, "Manusia pasti binasa, kecuali
orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu pasti binasa, kecuali
orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang mengamalkan ilmunya
pasti binasa, kecuali orang-orang yang ikhlas. Ikhlas selalu terancam bahaya
yang sangat besar hingga ia disempurnakan."
[75]
Ash-Shaghani menyebutnya di dalam al-Maudhu’at, h 80, al-'Ajluni di
dalam al-Kasyf, j. 2, h. 131. Ia dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan
oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, hadits no. 4422, dari Ibnu 'Abbas
ra, "Kefaqiran ada dua macam: faqir dunia dan faqir akhirat; faqir dunia
adalah kaya akhirat, sedangkan kaya dunia adalah faqir akhirat. Kebinasaan
(cinta kepada harta dan hiasan dunia) itu adalah faqir akhirat dan siksa dunia
" Di dalam catatan pinggir naskah zh. tertulis, "Dikatakan bahwa
sakit dan lapar memiliki empat faedah: menyucikan diri dari dosa, mengingatkan
akhirat, men-cegah maksiat, dan mengikhlaskan dalam berdoa."
[76]
Di dalam catatan pinggir naskah zh. tertulis, "Ada yang mengatakan bahwa
jika seorang Mukmin berwudhu', maka setan-setan akan menjauh darinya menuju
pen-juru-penjuru bumi lantaran takut kepadanya, namun kami tidak menemukan
hadits -nya. Al-Ghazali menyebutkandi dalam Ihya'Ulum ad-Din., j. 1 h.
135, "Rasulullah saw bersabda, Wudhu' yang dilakukan sebelum batalnya
wudhu' adalah laksana caliaya di atas cahaya'" Ibnu Majah meriwayatkan di
dalam Sunan-nya, pasal Bersuci dan sunnah-sunnahnya, bab Ajaran Tentang
Wudhu' yang Berulang-ulang, hadits no. 420, dari Ubay ibn Ka'ab ra, Rasulullah
saw meminta air, lalu berwudhu' dengan cara mem-basuh anggota wudhu'nya,
masing-masing sebanyak satu kah, lalu behau bersabda, "Beginilah cara
wudhu' yang benar," atau "Orang yang tidak benar cara berwudhu'-nya,
tidak akan diterima shalatnya." Kemudian, behau berwudhu' lagi dua
kali-dua kah, lalu bersabda, "Inilah wudhu' yang benar, Allah
memberikannya balasan berupa dua jaminan." Kemudian, beliau berwudhu' lagi
tiga kali-tiga kali, dan bersabda, Inilah wudhu'ku dan wudhu' para rasul
sebelumku." Semua itu adalah anjuran untuk mem-perbarui dan menyempurnakan
wudhu'. Wallahu alam.
[77]
Ahmad meriwayatkannya di dalam Musnad-nya, j. 1, hadits no. 412, dengan
lafaz yang amat mirip, dari Ibnu Mas'ud ra. Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya,
pasal Qadar, bab Zina dan Selainnya, j. 2, hadits no. 2657, dari Abu
Hurairah ra, "Nabi saw bersabda, 'Zina anak cucu Adam akan dicatat oleh
Allah Ta'ala dan mereka pasti akan merasakan pembalasannya; zina mata adalah
memandang (yang haram), zina tehnga adalah mendengar, zina lidah adalah
berbicara, zina tangan adalah memegang, zina kaki adalah melangkah, dan zina
hati adalah menginginkan dan berangan-angan. Tinggal lagi kemaluan, apakah akan
diteruskannya (betul-betul berzina) atau tidak.'" An-Nawawi mengatakan di
dalam Syarh Shahih Muslim, '}. 16, h 206, "Zina anak cucu Adam akan
dicatat oleh Allah Ta'ala dan mereka pasti akan merasakan pembalasannya; baik
zina hakiki, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan lain yang tidak halal,
maupun zina metaphor, yaitu memandang kepada yang haram. Termasuk juga ke dalam
zina metaphor ini adalah mendengarkan cerita zina, bersentuhan tangan atau
mencium perempuan yang bukan muhram, melangkah untuk berzina, berpandangan atau
bersentuhan, atau berbincang-bincang yang haram dengan perempuan yang bukan
muhram. Tinggal lagi kemaluan, apakah akan diteruskannya (betul-betul berzina)
atau tidak." Wallahu Alam.
[78]
Al-Ghazali menyebutkannya di dalam lhya Vlum ad-Din, j. 1, h. 102.
Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Qadar, bab Perlakuan Allah
Sekehendak-Nya Terhadap Hati Manusia, hadits no. 2654, dari 'Abdullah ibn 'Amr
ibn al-'Ash ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Sungguh hati semua manusia
terletak seperti satu hati di antara dua jari dari jari-jari Tuhan Yang Maha
Rahman; Dia menggerakannya sekehendak-Nya.' Kemudian, Rasulullah saw berdoa, Ya
musharrif al-qulub, sharrif qulubana 'ala tha'atika: Wahai Penggerak Hati,
gerakanlah hati kami untuk mematuhi-Mu.'"
[79]
Kami tidak mendapatinya dengan lafaz demikian. Ia dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, pasal Shalat, bab Sifat
Shalat, hadits no. 1889, dari 'Ammar ibn Yasir ra, "Aku mendengar
Rasulullah saw bersabda, 'Sese-orang melaksanakan shalat, mungkin hanya
sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya,' beliau
menyebut semua bilangan, lalu bersabda! 'shalat seorang hamba yang ditulis oleh
Allah hanyalah sebatas yang diingatnya.'" Al-Ghazali mengatakan di dalam Ihyd
Ulum ad-Din, j. 1, h. 160, "Bisyr ibn al-Harits mengatakan, 'Orang
yang tidak khusyu', shalatnya rusak.'" Diriwayatkan bahwa al-Hasan
berkata, "Orang yang tidak menghadirkan hatinya dalam shalat, ia lebih
cepat sampai kepada hukuman." Al-Ghazali mengatakan, "Kehadiran hati
merupakan roh bagi shalat. Yang paling menguatkan konsentrasi roh adalah
hadirnya hati pada saat takbir, kurang konsentrasi pada saat itu mengakibatkan
kehancuran, karena se-makin tidak konsentrasi pada saat takbir, semakin tidak
konsentrasi juga pada bagian shalat yang lain."
[80] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahth-nya, pasal Iman, bab Kemuhaan
Orang yang Membersihkan Agamanya, hadits no. 52, dari Nu'man ibn Basyir ra,
"Aku mendengar Rasulullah saw bersabda' Tang halal jelas, yang haram
jelas, dan di antara keduanya ada yang samar-samar, dan tidak diketahui
kebanyakan orang. Orang yang takut kepada yang samar-samar ber-arti telah
membersihkan agama dan kehormatannya, sedangkan orang yang mengambil yang
samar-samar, ia seperti penggembala yang berada di dekat daerah ter-larang dan
hampir masuk ke dalamnya. Ketahuilah, daerah terlarang Allah di bumi adalah
hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal
daging yang jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka
rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati."" Lihat Jami'al-Ushul,
Ibnu al-Ateir, j. 10, h. 567. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan di
dalam Fath al-Bari, j. 1, h. 129, "Para ulama meng-agungkan hadits
ini dan menganggapnya sebagai bagian keempat dari empat poros hukum."
Al-Qurthubi mengatakan, "Hal itu adalah karena hadits ini mencakup semua
perkara yang halal dan yang tidak secara terperinci, dan mencakup tentang
keter-gantungan semua amal dengan hati. Karena itu, semua hukum terpulang
kepadanya" Wallahu Alam.
[81]
HR Dailami dalam Al Firdaus, 6554 dari Ibnu Abbas ra
[83]
Telah di Takhrij
[85]
Kami tidak menemukan hadist ini
[86]
Sunan Ibnu Majah No 1690, Al Kabir Thabrani
[87]
4 Ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya,
pasal Puasa, bab Kemuhaan Puasa, hadits no. 1151-1165, dari Abu Hurairah
dan Abu Sa'id ra. Kelanjutannya, "Orang yang berpuasa itu punya dua
kegembiraan; kegem-biraan tatkala berbuka dan kegembiraan tatkala berjumpa
dengan Allah. Demi Zat Yang Menggenggam jiwa Muhammad, bau mulut orang yang
berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari minyak miski." An-Nawawi
mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim,}. 8, h. 31-32, "Para ulama
mengatakan bahwa gembiranya orang yang berpuasa itu pada saat berjumpa dengan
Allah adalah karena dia menyaksikan anu-gerah yang diterimanya dari-Nya dan
teringat kepada nikmat Allah yang memberinya taufiq kepada anugerah itu,
sedangkan gembiranya pada saat berbuka adalah karena ibadahnya telah sempurna
dan tidak rusak, serta karena pahala yang bakal didapat-kannya." Wallahu
Alam.
[88]
Sudah di Takhrij
[89]
Kami Tidak menemukan Hadist ini
[90]
Kami tidak menemukan Hadist ini
[91] 'Al-'Ajluni
mengatakan di dalam Al Kasyf J. 1 h. 397 hadist ini masyur dengan lafaz seperti
itu. Silakan periksa."
[92] Ini
adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya,
nya, Hadist nomor 10
[93]
Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini. Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan di
dalam ash-Shumt wa Adah al-Lisan, h. 11, dari Anas ra, "Rasulullah
saw bersabda, Harangsiapa yang ingin selamat, maka hendaklah ia selalu
diam.'" Al-Haitsami me-nyebutnya di dalam al-Majma', j. 10, h.
297-298 dan merujukkannya kepada Abu Yala di dalam Musnad-nya, sedangkan
at-Thabrani menyebutkannya di dalam al-Awsath. Dia juga meriwayatkan
dari Ibnu TJmar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Orang yang
mengendalikan lidahnya, pasti ditutupi Allah auratnya Orang yang menguasai
kemarahannya, pasti dilindungi Allah dari azab-Nya. Dan orang yang meminta maaf
kepada Allah 'Azza wa Jalla, pasti diterima-Nya."
[94]
Telah di Takhrij
[95]
Ungkapan ini bukanlah hadits Rasulullah saw, melainkan perkataan ulama Salaf.
Al-Qari mengatakan di dalam al-Asrar al-Marfu’ah h. 188, "Itu
adalah kata-kata sejumlah guru spiritual." Al-'Ajluni mengatakan di dalam al-Kasyf,
j. 1, h. 460, bahwa Ibnu al-Fars mengatakan, "Aku telah melihat
sambungan ungkapan itu, yaitu 'Ke-masyhuran adalah bencana, tapi semua orang
menunggu-nunggunya."' As-Sakhawi mengatakan di dalam al-Maqashid, h.
458, "Menyembunyikan perbuatan baik dan menjadi orang yang tidak populer
adalah lebih baik daripada kebalikannya serta lebih sclamat untuk dunia dan
agama seseorang. Sedikit harta tapi tidak menyebabkan lah dari akhirat lebih
baik daripada banyak harta tapi melalaikan darinya." Umar ibn Sa'ad ibn
Abi Waqqash berkata, "Aku dengar Rasulullah saw bersabda, 'Allah cinta
kepada hamba yang takut kepada-Nya, kaya, dan tidak populer.'"
[96]
Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. 3, h. 165. Al-Hafizh,
al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughnt, j. 3, h. 165, "Hadits
ini diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Kabir, al-Baihaqi di dalam
asy-Syu'ab dari riwayat Bahaz ibn Hakim dari ayahnya, dari kakeknya,
dengan sanad yang lemah, dari Dzulqarnain, bahwa ia bertemu malaikat, lalu
berkata, 'Ajari aku ilmu yang menambahkan keiman-an dan keyakinanku.' Malaikat
itu menjawab, 'Janganlah marah, sebab setan lebih mampu menguasai manusia saat
dia marah. Balaslah marah dengan meredamnya, tenangkanlah dengan kelembutan.
Selain itu, jangan tergesa-gesa, sebab itu akan membuatmu menyia-nyiakan
bagianmu. Lalu, jadilah orang yang mudah dan lembut terhadap orang dekat maupun
jauh, jangan menjadi orang yang diktator lagi keras kepala.'"
[97]
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, pasal Budi Pekerti, bab Dengki,
hadits no. 4903, dari Abu Hurairah ra, "Sedekah akan memadamkan ke-salahan
seperti air memadamkan api, shalat adalah cahaya bagi orang beriman, dan puasa
adalah pelindungnya dari api neraka." Lihat Jami al-Ushid, Ibnu
al-Atsir, j. 3, h. 620. Al-Munawi mengatakan di dalam Faidh al-Qadlr, j.
3, h. 414, "Al-Ghazali mengatakan bahwa kedengkian adalah perusak amal
baik, pendorong kepada kejahatan, penyakit parah yang menimpa banyak ulama,
apalagi orang awam, sehingga ia mem-binasakan mereka semua dan menggiring
mereka ke neraka." Cukuplah bagi Anda bahwa Allah Ta'ala telah
memerintahkan kita meminta perlindungan-Nya dan kejahatan orang yang dengki
dalam Firman-Nya, 'Dan dari kejahatan orang yang dengki pada saat ia dengki Q.S.
al-Falaq [113]: 5), sebagaimana Ia telah memerintahkan kita meminta
perlindungan-Nya dari kejahatan setan. Perhatikan, betapa jahat dan
ber-bahayanya kedengkian sehingga ia disamakan dengan setan. Sifat dengki lm
akan menyebabkan sia-sianya amal kebajikan, terciptanya kejahatan dan kemaksiatan,
timbul kelelahan dan kegelisahan yang tidak berguna, dan hati pun menjadi buta
karenanya sehingga hampir tidak dapat lagi memahami hukum Allah sama sekah, di
samping terhalang dari rahmat Allah dan mendapatkan kehinaan yang pada akhirnya
hampir tidak mendapatkan jiwa yang kukuh dan akal yang tajam."
[98]
Ini adalah bagian dari hadits Rasulullah saw. Al-Haitsami mengatakan di dalam al-Majma,
j. 8, h. 91, dari Jabir ibn 'Abdullah dan Abu Said al-Khudri ra,
"Rasulullah saw bersabda, 'Membicarakan kejelekan orang lain lebih jahat
daripada zina.' Behau ditanya TVlengapa?' Beliau menjawab, 'Orang yang berzina,
lalu bertobat, akan di-ampuni oleh AUah. Tapi orang yang membicarakan kejelekan
orang lain, lalu bertobat, tidak akan diampuni-Nya sebelum orang yang dibicarakannya
memaafkannya Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath, ad-Dailami
di dalam al-Firdaus h 4320. Al-Ghazali mengatakan di dalam Ihya Ulum
ad-Din, j. 3, h. 143, 'Ketahuilah bahwa pengertian ghibah itu adalah bahwa
engkau menyebutkan sesuatu tentang seseorang kepada orang lain yang orang
bersangkutan tidak menyukai jika sesuatu itu disampaikan kepada orang lain itu,
baik itu berupa kekurangan jasad, nasab akhlak, perbuatan, perkataan, agama,
dan dunianya, bahkan pakaian, rumah, dan kendaraannya." Az-Zabidi
mengatakan di dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin,} 7, h 533
"Diceritakan bahwa seseorang telah membicarakan kejelekan Ibnu al-Jala',
lalu ia mengirim utusan untuk meminta maaf, tapi Ibnu al-Jala' tidak mau
memaafkannya malah mengatakan, TJalam catatan amalku, tidak ada yang lebih
baik daripada hal itu (pahala terkena ghibah), bagaimana mungkin aku akan
menghapusnya?
[99]
Diriwayatkan oleh as-Suyuthi di dalam al-Jami dan mengatakan, Diriwayatkan
oleh ar-Rafi'i dari Anas ra bahwa al-Munawi mengatakan di dalam Faidh
al-Qadlr, j. 4, h. 461, "Ibnu al-Qayyim mengatakan, 'Fitnah ada
dua macam, fitnah syubhat, inilah yang terbesar, dan fitnah syahwat. Keduanya
boleh jadi ada pada diri seseorang, dan boleh jadi hanya salah satunya."
[100]
Al-Qari mengatakan di dalam al-Asrdral-Marfu'ah, h. 117, "Tidak ada
sumber-nya dengan lafaz seperti ini, tapi dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam al-Jami' ash-Shahih, pasal
Kebaikan dan Silaturahmi, bab Kedermawanan, hadits no. 1961, dari Abu Hurairah
ra, "Nabi saw bersabda, 'Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat
dengan surga, dan jauh dengan neraka Sedangkan orang yang pelit jauh dari
Allah, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka Orang bodoh yang dermawan lebih
disukai Allah daripada 'abid (ahli ibadah) yang peht. Dalam nwayat lain dengan
no. 1963, dari Abu Bakar ash-Shiddiq ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda,
"Orang culas (sering menipu) tidak akan masuk surga, begitu juga orang
yang sering menyebut pemberiannya, dan orang pelit.'"
[101]
Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini. Al-Haitsami meriwayatkan di dalam Kasyfal-Asrar,
j. 4, h. 217, dari Abu Ya la ibn Syaddad, dari ayahnya, "Pada masa
Rasulullah saw kami menganggap riya' itu sebagai syirik yang terkecil."
Ibnu Majah menwayatkan di dalam Sunan-nya, pasal Zuhud, bab Riya' dan Mencari
Kehormatan hadits no. 4204, dari Abu Sa'id al-Khudri ra, "Ketika kami
sedang membicarakan tentang al-Masih ad-Dajjal, RasuluUah saw datang, lalu
bersabda, 'Maukah kalian kubentahu sesuatu yang menurutku lebih menakutkan bagi
kahan daripada al-Masih ad-Dajjal?' Kami jawab, Tentu, ya Rasulullah.' Behau
bersabda, Itulah dia syirik yang samar, dimana seseorang mengerjakan shalat
dengan membaik-baikkannya karena ia mehhat ada orang yang
memperhatikannya.'"
[102]
Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Iman, bab Penjelasan
Tentang Kerasnya Pengharaman Mengadu Domba, hadits no. 105, dari Hudzaiiah ra
bahwa ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Pengadu domba
tidak akan masuk surga.'" Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 8,
h. 450-451.
[103]
16 Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Sifat
Shalat, bab Kemuhaan Doa Allahumma rabbana wa laka al-hamd, hadits no.
763, dari Abu Hurairah ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Jika imam berkata 'sami'a
Allah li man hamidah,' katakanlah oleh kalian, Allahumma rabbana wa laka
al-hamd, karena orang yang beriringan ucapannya dengan ucapan malaikat,
diampuni dosanya oleh Allah
[104]
Ad-Daruquthni meriwayatkannya dari Abu Hurairah ra di dalam Sunan-nya, j. 1,
hadits no. 128. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, j. 1, hadits no. 183-184
mengatakan, "Hadits ini sahih." Pendapatnya disetujui oleh
Adz-Dzahabi.
[105]
Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya bab Shalat Tasbih, hadits no.
1297, bahwa Ibnu 'Abbas berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda
kepada ayahku, Abbas ibn 'Abdul Muthallib, Wahai wahai Pamanku, 'Abbas, maukah
engkau aku anugerahkan sepuluh perkara yang jika engkau laksanakan semua itu,
pasti Allah mengampuni dosamu, baik yang dulu-dulu maupun yang akan datang,
baik yang sengaja maupun tidak, baik yang kecil maupun besar, baik yang
tersembunyi maupun yang terang-terangan?'" Lalu, beliau menyebutkan hadits
itu secara lengkap. Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 6, h.
252-253.
[106]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di
dalam Shafuh-nya, pasal Tabir Mimpi, bab Mimpi-Mimpi yang Baik, hadits
no. 6589, dari Abu Hurairah ra. Kelanjutannya, "Mereka bertanya, 'Apakah al-mubasysyirat
itu?' Rasulullah saw menjawab, Mimpi yang baik.'" Lihat Jami'al-Ushul,
Ibnu al-Atsir, j. 2, h. 526.
[107]
Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, pasal Mimpi, hadits no. 2263,
dari Ibnu Musliir. Dalam riwayat lain, hadits no. 2265, dari Umar ra,
"Mimpi yang baik itu adalah salah satu bagian dari tujuh puluh bagian
kenabian." Imam an-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j.
15 h. 21, "Al-Khithabi mengatakan, Hadits ini menegaskan masalah mimpi dan
posisinya, yang merupakan bagian kenabian. Para nabi menerima waliyu dalam
mimpi seperti menerimanya saat terjaga.' Sejumlah ulama mengatakan, TVIakna
hadits itu adalah bahwa kedatangan mimpi itu laksana kedatangan kenabian,
karena hanya mimpi saja bagian kenabian yang masih tersisa.'" Wallahu
A'lam.
[108]
Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-aya, pasal Tabir Mimpi, bab
Orang yang Melihat Nabi saw Dalam Mimpi, hadits no. 6592, dari Abu Hurairah ra,
"Aku mendengar Nabi saw bersabda, 'Barangsiapa yang bermimpi melihatku
ketika tidur, sungguh ia telah benar-benar mehhatku bagaikan mehhatku sewaktu
bangun. Sebab, setan tidak akan dapat rnenyerupakan dirinya seperti diriku.'"
Lihat Jami' al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 2, h. 528. Imam an-Nawawi
mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim j. 15, h. 26, "Ada beberapa
pendapat tentang hadits ini; Pertama, kata man (barangsiapa) yang
terdapat di dalam hadits ini maksudnya adalah orang-orang yang hidup pada zaman
Nabi saw, sehingga makna hadits itu adalah: Barangsiapa yang melihat Nabi saw
dalam mimpinya, tapi dia belum hijrah, maka Allah akan memudah-kannya untuk
pergi hijrah guna bertemu langsung dengan Nabi saw dan melihatnya. Kedua,
maksudnya adalah bahwa ia benar-benar akan melihat nabi saw kelak di Akhirat
dalam keadaan bangun (bukan tidur/mimpi), karena semua umat Nabi saw di dunia
akan melihatnya di akhirat, baik orang yang sudah melihatnya di dunia atau
belum. Ketiga, ia akan melihat Nabi saw di akhirat secara khusus dari dekat,
memperoleh syafa'atnya, dan lain-lain." Wallahu Alam.
[109]
Kami tidak menemukannya.
[110]
Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di
dalam al Jami’ ash-Shahih, pasal Sifat Surga, bab Sifat Pakaian Penghuni
Surga, hadits no. 2539 dari Abu Hurairah ra. Kelanjutannya, "... Mereka
akan selalu muda dan pakaian mereka tidak akan kusut." Lihat Jami’
al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 10, h. o28.
[111]
Telah di-takhrij.
[112]
Al-Qusya'iri mengatakan di dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 307,
"Di-riwayatkan dari Abu Yazid bahwa ia berkata, 'Aku melihat Tuhanku 'Azza
wa Jalla dalam mimpi, maka aku bertanya, 'Bagaimanakah jalan menuju
diri-Mu?' Dia ber-firman, 'Tinggalkan dirimu, lalu ke sinilah.' Dikatakan
bahwa Ahmad ibn Khash-rawaih melihat Tuhannya di dalam mimpi, lalu Tuhannya
berfirman, 'Wahai Ahmad, semua orang meminta sesuatu dariku, kecuali Aba
Yazid; Dia meminta diri-Ku.' Yahya ibn Said al-Qaththan mengatakan, 'Aku
melihat Tuhanku dalam mimpi, maka aku berkata: Wahai Tuhan, betapa sering aku
meminta kepada-Mu, tapi engkau tidak pernah mengabulkan permintaanku. Dia
berfirman, wahai Yahya, Aku senangmen-dengar suaramu."'
[113]
Imam al-Ghazali telah menerangkan masalah ini socara gamblang di dalam Ihya
"Ulum ad-Din dengan mengatakan, "Orang yang rae!ontarkan
ucapan-ucapan itu dianggap dalam keadaan spiritual mabuk, bukan dalam keadaan
spiritual terjaga. Meskipun demikian, ada aspek yang sangat luas untuk
penakwilan dan penjelasan pondasi yang digunakan oleh sufi yang mengalami
gejolak kemabukan spiritual saat dia melontarkan ucapan itu. Di dalam hadits
Qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shuhih-nya, pasal Hamba
Sahaya, bab Tawadhu', hadits no. 6137, dari Abu Hurairah, "Orang yang
memusuhi wali-Ku, maka Aku izhikan memeranginya. Tidaklah seorang hamba
berusaha mendekati-Ku dengan sesuatu y ang lebih Ku-sukai selain dengan hal-hal
yang Ku-wajibkan kepadanya, dan jika dia terus berusaha mendekati-Ku dengan
ibadali-ibadah tambahan, maka Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku
adalah pendengaran yang dipakai-nya mendengar, penglihatan yang dipakainya
melihat, tangan yang dipakainya me-mukul, dan kaki yang dipakainya berjalan.
Jika dia meminta-Ku, Aku pasti mem-berinya. Jika dia minta perlindungan-Ku, Aku
pasti nielindunginya. Aku tidak pernah ragu-ragu dalam melakukan sesuatu
seperti keraguan-Ku terhadap nyawa orang yang beriman yang tidak ingin mati
sementara Aku tidak ingin menyakitmya." Melalui hadits ini, jelaslah
kedudukan orang-orang yang telah samapi ke derajat kewalian tersebut, yaitu
menyingkapnya keliendak Allah di dalam kehendaknya dan muncul-nya amal
perbuatannya dari kehendak Allah itu. Nah, jika makhluk saja kita
hargai, baik itu tumbuhan, binatang, maupun benda padat, oleh sebab itu semua
adalah makhluk Allah, mengapakah manusia, khalifah Allah SWT di bumi, yang
telah mencapai derajat yang sangat tinggi dalam kewalian berupa ketakwaan,
ketiadaan diri dalam Allah, dan kesungguhan beribadah, tidak kita hargai?
Mengapakah kita tidak memahami sifat kekhalifahannya di bumi, dimana ia tidak
berjalan melainkan karena kehendak Allah. Jika seorang sufi telah
mendapatkan kilatan Ilahi di dalam jiwanya, jiwanya akan bersinar, mabuk
kepayang, danjatuh cinta kepada Allah; semua aktifitasnya adalah dengan Allah
SWT. Ibnu 'Arabi telah mengatakan:
Penaku adalah pena
Allah; lauh mahfuzh adalah kertasku Tanganku berada di atas tangan-Nya;
kugerakkan sekehendakku Ntuk menulis jalan hidup dan nasibku
Dengan landasan tersebut,
manusia adalah alat untuk mengadakan perubahan di alam semesta dan dokumen
tempat menetapkan dan membatalkan suatu keputus-an. Semua amal baiknya, pada
akhirnya akan kembah kepada-Nya, begitu juga dengan pujian dan sanjungan mereka
kepada-Nya. Al-Ghazali mengatakan di dalam Misykah al-Anwar, h. 40,
'Kata-kata yang keluar dari para wali yang tengah dilanda mabuk spiritual harus
dirahasiakan dan tidak boleh diceritakan. Jika mereka sudah sadar dan kembali
waras seperti semula serta kembali menggunakan akal mereka yang me-rupakan
neraca Allah di bumi, niscaya mereka tahu bahwa apa yang diucapkannya itu
bukanlah penyatuan hakiki, melainkan penyatuan semu, seperti dikatakan oleh seorang
penya'ir yang sedang dimabuk cinta tentang keadaannya:
Aku adalah orang yang
kucintai, dan orang yang kucintai adalah aku Kami adalah dua buah roh, yang
dipisahkan oleh tubuhku
Kami akhiri keterangan yang
ringkas ini dengan mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan dan lontaran-lontaran
tersebut tidak boleh diucapkan kembali. Sengaja kami sebutkan di sini, hanyalah
sekadar menunjukkan kepada kita tentang keagungan manusia yang sempurna yang
berasal dari keagungan Pencipta Yang Mahaagung dan Mahatinggi.
[114]
Kami tidak menemukan hadits ini
[115]
As-Suyuthi dalam Ad-Durar, h. 349 meriwayatkannya dari 'Abdullah ibn Ahmad
dalam Zawa 'id az-Zuhd, dari Tsabit al-Bannani, dan mengatakan,
"Hadits ini tidak termasuk dalam kelompok hadits Marfu'." Ahmad dalam
az-Zuhd h. 293 meriwayatkannya dari Mutharrif. Makna hadits ini baik.
Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyayriyyah h. 106 mengatakan, "Abu
'Ali ai-udzabari mengatakan, Terasaan takut dan harap itu adalah ibarat dua
sayap burung; jika keduanya seimbang, seimbanglah burung itu dan sempurnalah
terbangnya, namun jika salah satunya rusak, maka jatuhlah ia ke dalam sangkar.
Dan jika keduanya hilang, beradalah di ambang kematian." Hadits ini
disaksikan juga oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Mutharrif
yang berkata, "Jika saja rasa takut dan harap orang yang beriman
di-timbang, maka tidak lebih berat salah satunya kecuali seukuran selembar
rambut." Lihat Syarh Ain al-'llm wa Zain al-Hilm, j. 2, h. 247-273.
0 comments:
Posting Komentar
Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun