LOKASI

Banyuwangi Jawa Timur

Senin, 15 Juni 2020

SYEKH ABDUL QADIR AL JIILANI_SIRRUL ASRAR

Pendahuluan

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

                                                                           Bismillahirrahmanirrahim.            

Segala puji bagi Allah Yang Maha-kuasa lagi Maha Mengetahui, Maha Melihat lagi Mahalembut, Maha Pemurah lagi Mahamulia, Tuhan Yang Maha Pengasih, Penurun adz-Dzikr al-Hakim dan Al-Qur`an al-`Azhim kepada utusan-Nya dengan din yang benar dan jalan yang lurus. Shalawat dan salam serta puji-pujian yang tak terhingga banyaknya semoga selalu dilimpahkan kepada seorang penutup risalah Tuhan, pelita dalam kegelapan dan kesesatan, yang mendapatkan kemuliaan dan amanah untuk menyampaikan Kitabullah kepada seluruh umat manusia, yaitu Nabi Besar Muhammad saw, nabi yang ummi dan orang Arab yang amiin (paling terpercaya). Demikian juga shalawat dan salam untuk keluarganya yang menjadi penunjuk bagi para pen-cari hidayah, dan untuk sahabat-sahabatnya yang baik dan mulia.

Ilmu pengetahuan adalah keutamaan yang paling mulia, martabat yang paling luhur, kehormatan yang paling indah, dan perdagangan yang paling menguntungkan, karena ia mengantar-kan kepada pengesaan Tuhan alam semesta dan pembenaran nabi-nabi utusan-Nya—semoga Allah memberikan shalawat kepada mereka semua.

Para ulama merupakan hamba-hamba utama Allah yang dipilih dan diberi-Nya hidayah untuk mengetahui ajaran-ajaran agama, semata-mata karena karunia-Nya yang istimewa. Mereka itu adalah laksana para nabi dan rasul yang merupakan orang-orang yang terkemuka dan sempurna di antara kaum Muslim. Allah Ta`ala berfirman,

ثُمَّ أَوْرَثْنَا ٱلْكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا  فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِٱلْخَيْرَٰتِ

"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dulu berbuat kebaikan."(QS. Fathir: 32)

Nabi Muhammad saw bersabda,

العلماء ورثةالانبيا ءبالعلم ويحبحم اهل السماء ويستغفر لهم الحيتا ان فى البحا ر الى يو م القيا مة

"Ulama itu adalah pewaris para nabi lantaran ilmu, mereka dicintai oieh sekalian penduduk langit dan senantiasa didoakan oleh ikan-ikan paus yang berada di samudera, hingga hari Kiamat." [1]

Nabi saw juga bersabda,

يبعثالله الخلق يوم القيامة ثم يميز العلماء فيقول الله تعالى يامعشر العلماء إنى لم أ ضع علمى فيكم إلا لعلمى بكم ولم أضعه فيكم لأ عذ بكم انطلقوا إلى الجنة فقد غفرت لكم

"Kelak Allah Ta`ala akan membangkitkan sekalian hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat, kemudian memisahkan para ulama di antara mereka seraya berkata, `Wahai sekalian ulama, aku titipkan ilmu-Ku kepada kalian karena Aku mengetahui betul siapa kalian. Aku menitipkannya bukanlah untuk mengazab kalian. Sekarang, masuklah kalian ke dalam surga, karena Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian.`"[2]

 

Amma Ba`du. Allah Ta`ala menciptakan roh Nabi Muhammad saw pertama kali dari cahaya keindahan-Nya sebagaimana disebut-kan dalam sebuah hadits Qudsi,

خلقت روح محمد صلى الله عليه و سلم من نوروجهى

"Aku menciptakan Muhammad pertama kali dari Cahaya Wajah-Ku," [3]

dan sabda Nabi saw yang berbunyi,

أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ رُوْحُ

"Yang pertama diciptakan oleh Allah adalah rohku,

أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ نُوْرَى

yang pertama diciptakan oleh Allah adalah cahayaku”

أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمُ

“yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Qalam (Pena)

وَأَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْعَقَل

dan yang pertama diciptakan oleh Allah adalah akal."

Yang dimaksud dengan semua itu adalah satu, yaitu Hakikat Muhammad. Beliau disebut sebagai "cahaya" karena ia bersih dari sesuatu yang kegelapan. Allah Ta`ala ber­firman,

قَدْ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٌ وَكِتَٰبٌ مُّبِينٌ

"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan." (QS. al-Ma`idah [5]: 15)

Beliau di­sebut sebagai "akal" karena ia mengetahui segala universalitas, disebut sebagai "pena" lantaran ia sebagai sebab sekunder untuk menyampaikan ilmu seperti pena yang menjadi sebab sekunder untuk menyampaikan ilmu dalam bentuk huruf-huruf. Dengan demikian, roh Muhammad adalah intisari alam semesta, ciptaan yang pertama, dan asal semua ciptaan. Rasulullah saw bersabda,

أَنَا مِنَ اللَّهِ ، وَالْمُؤْمِنُونَ مِنِّي

"Aku berasal dari Allah, dan kaum Mukmin berasal dari diriku."

Dari Roh Muhammad itu terciptalah seluruh arwah di Alam Ketuhanan dalam bentuk hakiki yang paling baik. Itulah dia hajalah al-uns (negeri asal) bagi mereka di Alam tersebut.

Setelah berlalu selama empat ribu tahun, Allah Ta`ala mencipta-kan `Arasy Ilahi dari cahaya mata Muhammad saw, begitu juga dengan semua universalitas lain. Kemudian, barulah seluruh arwah dikembalikan kepada tempat ciptaan yang serendah-rendahnya, yaitu jasad. Allah Ta`ala berfirman,

ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ

"Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya." (QS. at-Tin [95]: 5)

Maksudnya, Allah Ta`ala menurunkan mereka pertama kali dari Alam Ketuhanan ke alam jabarutالجبروت (kemahakuasaan), kemudian dengan cahaya kekuasaan-Nya, la pakaikan kepada mereka sebuah jubah di antara dua kesucian yang disebut dengan ruh sulthani (الروح السلطانى). Setelah itu, Dia turunkan mereka dengan jubah itu ke alam Kerajaan Bathiniah, lalu membungkus mereka dengan cahaya kekuasaan, yang dinamakan dengan ruh rawwani (الروح الروحانى), lalu menurunkan mereka ke alam Kerajaan Lahiriah, yaitu ruh jasmani (الروح الجسما نى). Terakhir, barulah Allah menciptakan jasad-jasad sebagai tempat mereka. Allah Ta`ala berfirman,

مِنْهَا خَلَقْنَٰكُمْ

"Dari bumi itulah Kami menciptakan kalian (QS. Thaha [20]: 55)

Kemudian, Allah Ta`ala memerintahkan roh-roh untuk masuk ke dalam jasad-jasad sehingga mereka pun memasukinya dengan perintah tersebut. Dia berfirman,

وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِى

"Dan Aku telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku." (QS. al-Hijr [15]: 29)

Setelah arwah masuk ke dalam jasad-jasad, mereka melupakan janji mereka terhadap Allah bahwa mereka mengaku ber-Tuhan kepada Allah Ta`ala

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" (QS. al-A`raf [7]: 172)

Sehingga mereka tidak kembali kenegeri asal". Allah Ta`ala Yang Maha Penyayang dan Maha Penolong merasa kasihan kepada mereka, sehingga Dia turunkan sebuah Kitab yang akan mengingatkan kembali kepada mereka akan negeri asal tersebut. Allah Ta`ala berfirman,

وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ

"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah," (QS. Ibrahim [14]: 5)

yaitu hari-hari bersatunya Allah dengan arwah. Karena itu, semua nabi—semoga Allah memberi shalawat untuk mereka semua—hadir di dunia ini untuk menyam-paikan peringatan tersebut. Akan tetapi, amat sedikit orang yang menghiraukan peringatan itu, sehingga banyak yang melupakan-nya dan tidak merasa rindu sedikit pun untuk kembali ke negeri asalnya itu.

Demikianlah, halnya keadaan mereka sepanjang sejarah nabi-nabi, sampai pada akhirnya datang Nabi Muhammad saw, seorang nabi penutup dan yang paling mulia di antara para nabi. Allah Ta`ala mengutusnya kepada manusia yang lalai untuk membuka mata sanubari mereka dari kelelapan dan kelalaian serta mengajak mereka untuk kembali bersatu dengan Allah Ta`ala dan berjumpa dengan keindahan-Nya. Allah Ta`ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ

"Katakanlah, `Inilah jalan [agama]-Ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan bashirah." (QS. Yusuf [12]: 108)

Bashirah adalah mata ruh yang terbuka pada kedudukan spiritual hati para wali yang tidak dapat diraih dengan ilmu zahir, melainkan dengan ilmu batin laduni. Allah Ta`ala berfirman,

وَعَلَّمْنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلْمًا

"Dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (QS. al-Kahfi [18]: 65)

Oleh sebab itu, manusia wajib mencari ilmu tersebut kepada orang-orang yang memiliki sanubari dengan cara mengikuti petunjuk dari wali pembimbing spiritual yang memberi kabar dari Alam Ketuhanan.

Karena itu, wahai saudara-saudara, waspadalah dan bersegeralah mencari ampunan dari Tuhanmu dengan cara bertobat, bergabunglah ke dalam jalan spiritual, dan pulanglah kepada Tuhanmu bersama kafilah rohani ini, sebab sebentar lagi jalan itu akan terputus dan tidak akan ada lagi teman menuju Alam ter­sebut. Ingatlah bahwa kita hadir bukanlah untuk membersihkan dunia yang rendah dan porak-poranda ini, dan merasa puas dengan perkara-perkara psikologis yang kotor. Ketahuilah bahwa Nabi Muhammad saw sedang menunggu kalian dengan perasaan gundah. Beliau saw bersabda,

غمى لأجل أمتى الذ ين في آخر الزمان

"Aku merasa gundah karena umatku yang hidup di akhir zaman." [4]

Ketahuilah bahwa ilmu pengetahuan yang diturunkan kepada kita ada dua macam: zahir dan batin, yaitu syari`at dan ma`rifat. Allah Ta`ala memerintahkan syari`at untuk zahir kita, dan ma`rifat untuk batin kita, agar penggabungan di antara keduanya dapat menghasilkan ilmu hakikat. Allah Ta`ala berfirman,

مَرَجَ ٱلْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيَانِ بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيَانِ

"Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing" (QS. ar-Rahman [55]: 19-20)

Jika tidak, maka ilmu penge­tahuan zahir saja tidak menghasilkan hakikat dan tidak meng-antarkan kepada tujuan, sedangkan ibadah yang sempurna adalah berkat kedua ilmu itu, bukan dengan salah satunya saja. Allah Ta`ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Artinya, supaya mereka mengenalku—sebab orang yang tidak mengenal-Nya tidak mungkin menyembah-Nya.

Ma`rifat diperoleh berkat tersingkapnya tirai jiwa dari cermin hati dengan cara menjernihkannya, sehingga terlihat di dalamnya keindahan kekayaan yang tersimpan di dalam misteri relung kesadaran hati. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

كنت كنزاًمخفياً فأهببت أن أعرفخلقت الخلق فى عرفونى

"Aku adalah kekayaan yang tersimpan, lalu Aku ingin dikenal, maka Aku menciptakan makhluk agar Aku dikenal."  [5]

Oleh sebab Allah Ta`ala telah menjelaskan bahwa penciptaan manusia adalah supaya mereka mengenal-Nya, maka pastilah mereka berkewajiban untuk mengenal-Nya.

Ma`rifat ada dua macam: ma`rifat Sifat Allah dan ma `rifat Eksistensi Allah. Ma`rifat Sifat Allah merupakan bagian jasad di dunia dan akhirat, sedangkan ma`rifat Eksistensi merupakan bagian roh (kesucian) di akhirat. Allah Ta`ala berfirman,

وَأَيَّدْنَٰهُ بِرُوحِ ٱلْقُدُسِ

"Dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus," (QS. al-Baqarah [2]: 87)

dan mereka diperkuat oleh Ruhul Qudus.

Kedua ma`rifat itu tidak dapat diperoleh kecuali dengan dua ilmu, yaitu ilmu zahir dan ilmu batin. Rasulullah saw bersabda,

العلم علما ن علم باللسان وذلك حجة الله على عباده وعلم با لجنان فذ لك العلم النافع لحصول المقصود والانسان يحتاج

“Ilmu pengetahuan ada dua macam: Pertama, ilmu dengan lisan, inilah dia hujjah Allah terhadap manusia. Kedua, ilmu dengan hati, dan inilah dia ilmu yang berguna." [6]

Pertama-tama, manusia membutuhkan ilmu syari`at supaya roh mengajarkan badan agar berusaha dengannya, dan ilmu syari`at itu bertingkat-tingkat. Kemudian, manusia membutuhkan ilmu batin supaya roh mengajarkan dirinya sendiri untuk berusaha mengetahui ilmu ma`rifat. Semua itu hanya dapat diperoleh dengan meninggalkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari`at dan jalan spiritual, juga dengan melakukan berbagai kesukaran nafsani dan rohani demi meraih keridhaan Allah Ta`ala tanpa sok pamer dan mengharapkan penghormatan. Allah Ta`ala berfirman,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Maka, orang yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia memper-sekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya.7` (QS. al-Kahfi [18]: 110)

Alam Ma`rifat adalah Alam Ketuhanan yang merupakan negeri asal tempat terciptanya roh suci (roh qudus) dalam bentuk yang paling baik. Roh Qudus disini maksudnya adalah Manusia Hakiki yang diletakkan di dalam relung kesadaran hati. Wujudnya menjadi nyata dengan adanya tobat dan talqin, serta melanggengkan kalimat la ilaha ilia Allah dengan lidahnya pertama kali, lalu terpatri ke dalam hatinya, setelah itu barulah dengan lidah jiwa. Para sufi menyebutnya sebagai "anak makna-makna", sebab ia adalah di antara makna-makna kesucian. Disebut sebagai "anak" karena beberapa segi:

Pertama, "anak makna-makna" itu terlahir dari hati sanubari seperti lahirnya anak dari seorang ibu, lalu hati merawatnya sampai besar dan menjadi dewasa seperti ibu merawat anaknya.

Kedua, ilmu biasanya diajarkan kepada anak-anak, maka ilmu ma`rifat juga biasanya diajarkan kepada anak makna-makna ter-sebut.

Ketiga, seorang anak suci dari kotoran-kotoran dosa, dan anak makna-makna itu pun suci dari kotoran syirik, lalai, dan fisiologis.

Keempat, kebanyakan kandungan roh terlihat dalam bentuk yang jernih seperti yang dimiliki oleh seorang anak, sehingga ia terlihat di dalam mimpi-mimpi dalam bentuk pemuda yang amat tampan seperti malaikat.

Kelima, Allah Ta`ala menggambarkan anak-anak yang berada di dalam surga-Nya bersifat kekanak-kanakan. Dia berfirman,

يَطُوفُ عَلَيْهِمْ وِلْدَٰنٌ مُّخَلَّدُونَ

"Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda," (QS. al-Waqi`ah [56]: 17)

dan

غِلْمَانٌ لَّهُمْ كَأَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ مَّكْنُونٌ

"Anak-anak muda untuk melayani mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan." (QS. ath-Thur [52]: 24)

Keenam, sebutan anak makna-makna itu diberikan kepadanya dengan pertimbangan kelembutan dan kebersihannya.

Ketujuh, penamaannya dengan anak makna-makna adalah penamaan secara metaforis dengan pertimbangan keterikatannya dengan badan, dan merepresentasikannya ke dalam bentuk manu­sia berdasarkan penamaan tersebut adalah karena keindahannya, bukan karena menganggapnya kecil, juga berdasarkan pandangan kepada awal keadaan sang manusia hakiki, karena ia memiliki keakraban dengan Allah Ta`ala.

Fisik dan fisiologis bukanlah penghalang baginya. Nabi saw bersabda,

مَعَ اللَّهِ وَقْتٌ لا يَسَعُ فِيهِ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ ، وَلا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ

"Aku memiliki waktu bersama Allah yang tidak disertai baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun nabi utusan-Nya." [7]

Yang dimaksud dengan nabi utusan Allah adalah kemanusiaan Nabi saw, sedangkan malaikat yang dekat dengan-Nya adalah kerohaniannya yang tercipta dari Cahaya Tuhan Yang Mahakuasa yang tidak dapat memasuki Cahaya Ketuhanan. Nabi saw bersabda,

إن الله جنة لا فيهاحور ولا قصور ولا عسل ولا لبن بل أن ينظر إلى وجه الله تعالى

"Allah memiliki surga yang di dalamnya tidak terdapat bidadari, istana, taman, madu, ataupun susu, melainkan hanya berisi pandangan kepada wajah Allah, seperti disebut dalam firman-Nya,

إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

"Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.`" (QS. al-Qiyamah [75]: 22-23)

Nabi saw bersabda,

سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَر ليلة البدرو

"Kalian akan melihat Tuhan kalian seperti melihat bulan pada malam purnama." [8]

Jika malaikat dan sifat-sifat fisiologis masuk ke Alam Ketuhanan tersebut, keduanya pasti terbakar. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

لوكشفت سبحات وجه جلا لى لأ حر قت كل ما انتهى إليه بصرى

"Jika kesucian wajah-Ku tersingkap, pasti terbakar semua yang tersentuh pandangan-Ku." [9]

Jibril as bersabda,

لَوْ دَنَوْتُ أَنْمُلَةً لَاحْتَرَقْتُ

"Jika aku mendekati alam itu sedikit saja, aku pasti terbakar." [10]

Kitab ini terdiri dari 24 bagian, sesuai dengan jumlah huruf Hijaiyyah yang terdapat dalam kalimat la Ilaha illa Allah Muhammadur Rasulullah dan sesuai dengan jumlah jam sehari semalam.

1. Kembalinya Manusia ke Negeri Asal

الفصل الاول فى بيان رجوع الانسان إلى وطنه الاصلى

Manusia terdiri dari dua unsur: jasmani dan rohani. Jasmani ada­lah `manusia umum`, sedangkan rohani adalah `manusia khusus` yang mengabdikan diri dan jiwanya menuju al-qurbah (dekat dengan Allah Ta`ala) yang merupakan negeri asalnya.

Kembalinya `manusia umum` ke negeri asalnya adalah pulangnya ia menuju surga yang bertingkat-tingkat, sebagai imbalan dari pengamalannya terhadap ilmu syari`at, tarekat, dan ma`rifat, dengan syarat pengamalannya tersebut bersih dari segala yang berbentuk riya`(sok pamer) dan sum`ah (mencari pujian). Tingkatan-tingkatan surga tersebut itu ada tiga:

Pertama, pulang ke surga yang terletak di `alam al-mulk (Alam Kerajaan Lahiriah), yaitu surga Ma`wa.

Kedua, pulang ke surga yang terletak di `alam al-malakut (Alam Kerajaan Batiniah), yaitu surga Na`im.

Ketiga, pulang ke surga yang terletak di alam al-jabarut (Alam Tuhan Yang Mahakuasa), yaitu surga Firdaus.

Semua itu adalah nikmat yang bersifat jasmani yang tidak akan bisa diperoleh melainkan dengan adanya tiga macam ilmu, yaitu ilmu syari`at, ilmu tarekat, dan ilmu ma`rifat, sebagaimana Rasulullah saw bersabda,

الحكمة الجا معة معرفت الحق والعمل بحاومعرفة الباطن

"Hikmah yang sempurna adalah pengetahuan tentang al-Haq (Allah, Sang Mahabenar), sedangkan mengamalkannya adalah pengetahuan tentang batin." [11]

Rasulullah saw juga ber­sabda,

اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتبا عه وارنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه

"Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran, kemudian anugerahilah kami kemampuan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan, kemudian anugerahilah kami kemampuan menghindari-nya." [12]

Dalam hadits yang lain beliau saw bersabda,

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ  فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

"Barangsiapa yang benar-benar mengenal dirinya, dia pasti akan mengenal Tuhannya, lalu ia pun mengikuti-Nya." [13]

Adapun `manusia khusus`, maka kembalinya ia ke negeri asal­nya yang disebut dengan `alam lahut (Alam Ketuhanan) adalah disebabkan lantaran ibadahnya yang luar biasa dalam setiap keadaan. Bahkan, walaupun raganya tidur, namun hatinya masih sempat untuk pergi ke `alam lahut-nya itu, baik secara universal maupun particular, sebagaimana firman Allah Ta`ala yang ber-bunyi,

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى

"Allah memegang jiwa seseorang ketika orang itu mati dan memegang jiwa orang yang belum mati ketika orang itu tidur, Maka, Dia menahan jiwa orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan." (QS. az-Zumar [39]: 42)

Oleh sebab itulah Rasulullah saw bersabda,

نوم العالم خير من عبادة الجاهل

"Tidurnya orang alim lebih baik daripada ibadahnya orang jahil". [14]

Hal ini baru bisa terwujud jika hatinya telah hidup, disinari cahaya tauhid, dan lidah hatinya yang tanpa huruf-huruf dan tanpa suara amat akrab dengan asma-asma tauhid, sebagaimana firman Allah Ta`ala dalam sebuah hadits Qudsi mengatakan,

الا نسان سرى واناسره

"Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah Rahasianya." [15]

Allah berfirman dalam hadits Qudsi juga,

إن علم الباطن سرمن سرى أجعله في قلب عبادى ولا يقف عليه أحد غيرى

"Ilmu batin adalah salah satu rahasia-Ku, Aku jadikan ilmu itu di hati hamba-Ku yang tidak seorang pun selain diri-Ku mengetahuinya."[16]

Dalam hadis qudsi lainnya Dia berfirman:

أنا عند ظن عبدى نى وانا معه حين يذكر نى وإذاذ كرنى فى نفسه ذكرته فى نفسى وإذاذ كرنى في ملأ ذ كرته فى ملأ أحسن منه

Aku seperti sangkaan hamba-Ku. Jika ia mencari dan mengingat-Ku, Aku bersamanya. Jika ia mengingat-Ku dalam hati, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku dan menyebut nama-Ku dalam kelompok, Aku akan mengingatnya dan menyebutnya sebagai hamba-Ku yang saleh dalam kelompok yang lebih baik.

Yang dimaksud dengan wujud manusia adalah `Ilm at-tafakkur (ilmu perenungan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan asma-asma Allah, bukan dzat-Nya), seperti sabda Rasulullah saw,

تَفَكُّرَ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَنَةٍ

"Tafakur sesaat lebih utama daripada ibadah setahun."

Hadist lainnya,

تَفَكُّرَ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَبْعِينَ سَنَةٍ

"Merenung sesaat lebih baik daripada beribadah tujuh puluh tahun."[17]

Hadist Lainnya

تفكر سا عة خير من عبادة ألف عام

"Sesaat tafakur lebih utama daripada semuanya."

 

Itulah dia `Ilm al-furqan (ilmu pembeda atau pemisah), yaitu tauhid. Melalui ilmu itu, orang yang kenal akan Tuhannya akan sampai kepada Tuhan Yang dikenal dan Yang dicintainya itu. Pada akhirnya, rohani orang tersebut akan mampu terbang ke alam al-Qurbah (dekat dengan Allah). Kalau orang yang ahli ibadah akan pergi menuju negeri asalnya (surga) dengan cara berjalan, maka orang yang mengenal Allah ini akan pergi menuju negeri asalnya (al-Qurbah) dengan cara terbang. Sedangkan sejumlah sufi mengatakan:

قلوب العا شقين لها عيون ترى مالايراه الناظرينا

بأجنحة تطير بغير ريش إلى ملكوت رب العالمينا

Hati orang-orang yang mengenal Allah itu memiliki mata yang mampu melihat apa-apa yang tak terlihat oleh mata biasa

 Ia juga memiliki sayap yang bisa terbang walau tanpa bulu-bulu-nya

Menuju Alam Ketuhanan Tuhan alam semesta

Para pecinta itu terbang di alam batin. Merekalah orang yang berilmu. Orang semacam inilah yang merupakan insan hakiki yang akan menjadi kekasih, abdi, dan pengantin Allah Azza Wa Jalla. Yazid al-Busthami ra mengatakan,

أهل الله هم عرا ئس الله وفى رواية أولياء الله هم عرا ئس الله فلا يعر ف العرا ئس إلا محر مهم وهم مخد رون بحجاب الأنس لايراهم أحد غير الله تعالى

“Wali-wali Allah adalah kekasih-kekasih-Nya yang tidak seorang pun bisa memandangnya selain Dia, baik di dunia maupun di akhirat. Mereka diberi hijab keakraban dan kenyamanan oleh Allah."  [18]

Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

أَوْلِياَئِيْ تَحْتَ قَبائِيْ لاَ يَعْرِفُهُمْ غَيْرِيْ

"Wali-wali-Ku berada di bawah kubah-kubah-Ku. Tidak ada yang mengenal mereka selain diri-Ku."[19]

Jubah itu adalah penampilan mereka yang sederhana dan bersahaja. Mereka tersembunyi bagaikan pengantin wanita yang ditabiri tirai pelaminan; dapatkah kau melihat kecantikannya?

Yahya ibn Mu`adz ar-Razi ra mengatakan,

الولى ر يحان  الله فى أرضه يشنه الصد يقون فتصل رائحته إلى قلوبهم فيشتاقون به إلى مولا هم فنز داد عباد تهم على تفاوت أخلا قهم

"Wali adalah tumbuhan yang wangi kepunyaan Allah Ta`ala di bumi, dicium oleh orang-orang yang benar dan berhati tulus, sehingga wanginya merasuk ke dalam hati sanubari mereka yang menjadikan mereka merasa rindu kepada Allah Sang MawIa. Ibadah mereka kian hari kian bertambah walau tingkatan mereka berlainan-lainan,”[20]

 sesuai dengan fana` (peniadaan diri) masing-masing di dalam kesatuan dengan Allah, sebab, bertambahnya kedekatan dengan Allah hanya bisa diperoleh dengan bertambahnya peniadaan diri di dalam-Nya.

Wali adalah orang yang meniadakan diri di dalam Allah di dalam keadaan spiritualnya, dan orang yang mengabadikan diri di dalam penyaksian Sang Mahabenar. Dia tidak memiliki pilihan bagi diri sendiri dan tidak merasakan kemantapan kecuali bersama Allah.

Wali adalah orang yang dianugerahi Allah dengan keistimewa-an (karamah), tapi aksi-aksi itu disembunyikan darinya lantaran bukan untuk disampaikan kepada orang lain, sebab membocorkan rahasia ketuhanan adalah sebuah kekufuran, seperti dikatakan oleh pengarang buku al-Mirshad, "Para wali yang memiliki keistimewaan dan Allah semuanya tertutup oleh tirai. Keistimewaan tersebut adalah haidnya laki-laki. Seorang wali memiliki seribu kedudukan spiritual yang diawali dengan keistimewaan. Begitu kedudukan itu sudah didapatkan, maka kedudukan-kedudukan lainnya akan segera menyusul dengan sendirinya."

2. Ujian Untuk Menaikkan Derajat Manusia

الفصل الثانى فى بيان ردا لانسان إلى أسفل السافلين

Tatkala Allah Ta`ala menciptakan roh yang suci dalam bentuk yang terbaik di Alam Ketuhanan, Dia berkeinginan untuk menempatkannya setelah itu ke tempat yang lebih rendah guna menambah keakraban dan kedekatan dengan-Nya, sebagaimana yang termaktub di dalam firman-Nya,

فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

"Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa." (QS. al-Qamar (54): 55)

Maka pertama kali Dia kembalikan roh itu ke `alam al-jabarut (Alam Tuhan Yang Mahakuasa) dengan terlebih dahulu melengkapinya dengan benih-benih tauhid dan menanamkannya di alam itu dengan pancaran wur-Nya. Kemudian Ia pakaikan kepadanya kiswah (bungkusan pelindung) dari alam tersebut. Hal serupa juga dilakukan di alam al-malakut (Alam Kerajaan Batiniah), kemudian alam al-mulk (Alam Kerajaan Lahiriah). Pada masing-masing alam tersebut, diciptakan-Nya kiswah yang bersifat keunsuran (yakni segala sesuatu yang tersusun dari empat unsur: tanah, api, udara, dan air) untuk roh itu agar tidak terbakar di sana. Roh ini, di Alam Tuhan Yang Mahakuasa bernama ruh sulthani, di Alam Kerajaan Batiniah bernama ruh sirani rawwani, dan di Alam Kerajaan Lahiriah dia disebut ruh jasmani.

Adapun tujuan utama dari didatangkannya roh ke tempat yang rendah ini adalah untuk mempertinggi derajat dan menambah kedekatannya dengan Allah Ta`ala melalui lubuk hatinya. Oleh karena itu, ditanamkanlah benih-benih tauhid di lubuk hatinya itu agar di sana tumbuh pohon tauhid yang amat kokoh akarnya sehingga dapat membuahkan ketauhidan, semata-mata mencari ridha Allah Ta`ala. Kemudian ditanamkan juga benih syari`at agar tumbuh pohon syari`at yang bakal menghasilkan derajat yang tinggi di sisi Allah.

Justru itu, Allah Ta`ala memerintahkan semua roh untuk me-masuki raga, dan kepada masing-masing roh itu Ia sediakan tempat tersendiri di dalamnya. Ruh jasmani bertempat di sela-sela daging dan darah, ruh rawwani adalah di dalam hati, ruh sulthani adalah di dalam lubuk hati, sedangkan ruh qudusi adalah di as-Sirr (relung kesadaran yang paling dalam).

Kepada masing-masing roh tersebut disediakan kedai yang dilengkapi dengan segala atributnya seperti barang dagangan, laba (imbalan), dan perniagaan yang amat menguntungkan yang kesemuanya wajib diketahui betul oleh setiap insan agar ia mampu bersikap menyikapinya dengan benar, sebab sikapnya ini akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Ta`ala kelak. Allah Ta`ala berfirman,

أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ

"Maka, apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada." (QS. al-`Adiyat [100]: 9-10)

Allah Ta`ala juga berfirman,

وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ

"Dan tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya pada lehernya." (QS. al-Isra` [17]: 13)

3. Kedai-kedai Arwah di dalam Raga

الفصل الثالث فىبيان هوا نيت الأرواح فى الجسد

Kedai ruh jasmani adalah sekujur badan, barang dagangannya adalah syari`at, dan cara menyikapinya adalah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Ta`ala berupa hukum-hukum syari`at yang zahir, dengan penuh keikhlas-an. Allah Ta`ala berfirman,

وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. al-Kahfi [18]: 110)

Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً

"Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik."[21]

Beliau saw juga bersabda,

إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ

"Sungguh Allah itu ganjil lagi menyukai yang ganjil."[22]

Maksudnya adalah betul-betul ikhlas dalam beramal, suci dari segala sesuatu yang bersifat riya`.

Adapun laba atau imbalan buat roh jasmani adalah: di dunia ia akan mendapatkan kewalian, penyingkapan tabir, dan penyaksian di Alam Kerajaan Lahiriah, baik di bumi maupun di langit. Di samping itu, ia akan memiliki karamah (keistimewaan) berupa tingkatan-tingkatan kerahiban, seperti berjalan di atas air, terbang di udara, mampu memperkecil ruang, mendengar dari jauh, melihat yang tersirat, dan lain sebagainya. Sedangkan di akhirat kelak, ia akan mendapatkan surga, bidadari, istana-istana, pelayan-pelayan, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Tempat tinggalnya adalah di surga pertama, yaitu surga Ma`wa.

Kedai ruh rawwani adalah hati, barang dagangannya adalah ilmu tarekat, dan cara menyikapinya adalah dengan menyibukkan-nya dengan empat asma (nama) pertama dari 12 asma Allah Yang Utama.  Allah Ta`ala berfirman,

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

"Allah mempunyai Nama-nama Yang Paling Baik, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Nama-nama itu." (QS. al-A`raf [7]: 180)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa nama-nama tersebut merupakan lokus atau tempat manifestasi Aktivitas Tuhan, ia adalah ilmu pengetahuan batiniah, sedangkan ma`rifat adalah hasil dari nama-nama tauhid. Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

"Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, siapa yang menghitung-Nya pasti masuk surga."[23]

Maksud dari menghitung nama-nama Allah adalah menyifati dan berakhlak dengan-nya. Nama-nama yang 12 itu adalah nama-nama Allah Yang Utama, sesuai dengan huruf Hijaiyyah yang terdapat di dalam kalimat tauhid Id ilaha illallah yang berjumlah 12 huruf. Lalu Allah Ta`ala menetapkan di dalam kondisi-kondisi hati satu nama untuk satu huruf, dan tiga nama bagi setiap alam; dengan itulah Allah Ta`ala meneguhkan hati orang-orang yang melakukan kebaikan. Allah Ta`ala berfirman,

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ

"Allah meneguhkan iman kaum Mukminin dengan ucapan yang teguh itu dalam ke-hidupan di dunia dan di akhirat." (QS. Ibrahim [14]: 27)

Selain itu, Allah Ta`ala juga menurunkan perasaan tentram di dalam hati mereka dan menumbuhkan pohon tauhid di sana, yang akarnya tertanam ke tanah ke tujuh, bahkan menghunjam ke dasar bumi, dan cabangnya menjulang ke langit ke tujuh, bahkan sampai ke atas `Arsy Ilahi. Allah Ta`ala berfirman,

أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ

"Seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit." (QS. Ibrahim [14]: 24)

Adapun laba atau imbalan buat ruh rawwani adalah hati yang hidup dan penyaksian di Alam Kerajaan Batiniah, seperti penyaksian surga dan para ahlinya, cahaya-cahayanya, dan malaikat-malaikat yang berada di sana. Ia juga memperoleh lisan batin yang mampu mengungkapkan nama-nama yang tersirat tanpa ucapan dan tanpa huruf. Tempat tinggal ruh rawwani ini di akhirat adalah surga kedua, yaitu Surga Na`im.

Adapun kedai ruh sulthani adalah fu`ad (relung kesadaran atau lubuk hati), barang dagangannya adalah ma`rifat, dan cara menyikapinya adalah dengan menyibukkannya dengan Empat Nama Pertengahan dengan lisan hati. Rasulullah saw bersabda,

العلم علمان علم بالسان فذ لك حهة الله على خلقه، وعلم بالجنان وذ لك العل النافع لأن أثرالمنا فع العلم فى هذه الدا ئرة

"Ilmu ada dua macam: Pertama, ilmu lisan; ilmu ini adalah hujjah Allah terhadap anak cucu Adam. Kedua, ilmu hati; itulah ilmu yang berguna," [24]

hal ini disebabkan karena kebanyakan buah ilmu terdapat di wilayah tersebut. Rasulullah saw juga bersabda,

إن للقرآن طهرا وبطنا

"Al-Qur`an memiliki makna zahir dan batin yang makna batinnya bercabang sebanyak tujuh buah," [25]

dan,

إن الله أنزل القرآن على عشرة أبطن

"Allah menurunkan Al-Qur`an dalam sepuluh makna batin." [26]

Semakin dalam makna batin itu, semakin besar manfaat dan keuntungannya, karena ia sangat mempesona.

Nama-nama itu ibarat 12 mata air yang memancar akibat terkena pukulan tongkat Nabi Musa as. Allah Ta`ala berfirman,

وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ

"Dan ingatlah ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, `Pukullah batu itu dengan tongkatmu. `Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah menge­tahui tempat minumnya masing-masing." (QS. al-Baqarah [2]: 60)

Ilmu pengetahuan zahir adalah bagaikan air suci aksidental, sedangkan ilmu pengetahuan batin adalah bagaikan air esensial yang murni. Air yang kedua ini jauh lebih berguna daripada yang pertama, disamping air ini tidak pernah kering, sebagaimana Allah Ta`ala berfirman,

وَآيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

"Dan suatu tanda kekuasaan Allah yang besar bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan." (QS. Yasin [36]: 33)

Sebagaimana Allah Ta`ala menumbuhkan biji-bijian dari bumi sebagai makanan bagi sekalian binatang melata, Ia juga menum­buhkan biji-bijian dari bumi spiritual sebagai makanan bagi arwah rohani. Rasulullah saw bersabda,

من أخلص الله تعالى أربعين صبا حا ظهرت ينا بيع الحكمة من قلبه على لسانه

"Barangsiapa yang berbuat ikhlas karena Allah selama empat puluh hari, niscaya akan bermunculanlah mata air mata air hikmah dari hatinya melalui lisannya." [27]

Laba atau imbalan buat ruh sulthani adalah mampu melihat pantulan keindahan Allah Ta`ala. Allah Ta`ala berfirman,

مَا كَذَبَ ٱلْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ

"Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya." (QS. an-Najm [53]: 11)

Rasulullah saw bersabda,

المؤمن مرآة المؤمن

"Orang Mukmin itu adalah cermin bagi Mukmin yang lain."  [28]

Yang dimaksud dengan orang Mukmin yang pertama adalah hati seorang hamba yang beriman, dan orang Mukmin yang kedua adalah Allah Ta`ala.

ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ

"Yang Maha Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan." (QS. al-Hasyr [59]: 23)

Pengarang al-Mirshad ra mengatakan, "Tempat tinggal kelompok ini adalah surga ketiga, yaitu Surga Firdaus.

Sedangkan kedai ruh qudusi adalah as-sirr (relung kesadaran atau lubuk hati yang paling dalam). Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

 

الانسان سرى وأنا سره

"Manusia adalah relung kesadaran-Ku yang paling dalam dan Aku adalah Relung kesadarannya yang paling dalam." [29]

Barang dagangan ruh qudusi adalah ilmu hakikat, yaitu ilmu tauhid. Cara menyikapinya adalah dengan menyibukkannya dengan nama-nama tauhid, yaitu Empat Nama Terakhir, yaitu dengan menggunakan lisan rahasia di dalam relung kesadaran yang paling dalam, tanpa ucapan. Allah Ta`ala berfirman,

وَإِن تَجْهَرْ بِٱلْقَوْلِ فَإِنَّهُۥ يَعْلَمُ ٱلسِّرَّ وَأَخْفَى

"Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi." (QS. Thaha [20]: 7)

Tidak ada yang mengetahui rahasia ini kecuali Allah Ta`ala.

Laba atau imbalan buat ruh qudusi ini adalah munculnya thifl al-ma`ani (anak makna-makna) serta berkemampuan untuk menyaksikan, melihat, dan memandang dengan mata hatinya akan wajah Allah Ta`ala dalam bentuk-Nya Yang Mahaagung dan Maha-indah. Allah Ta`ala berfirman,

إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

"Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat." (QS. al-Qiyamah [75]: 22-23)

Ia mampu melihat-Nya tanpa syarat. Allah Ta`ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ  وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat " (QS asy-Syura [42]: 11)

Ketika manusia telah mencapai tujuannya, maka akal menjadi surut, hati menjadi luntuh, lisan menjadi kelu dan tidak dapat men-centakannya. Sebab, Allah Ta`ala suci dari analogi. Jika analogi cerita-cerita sampai kepada para ulama, maka mereka wajib mema-hami kedudukan-kedudukan spiritual hati, menyenangi hakikat-hakikatnya, menuju ke tempat yang paling tinggi, dan bersungguh-sungguh mencapai ilmu laduni Allah, yaitu mengetahui adz-Dzat al-Ahadi (Eksistensi Yang Esa) tanpa menghindari dan menolak kedudukan spiritual yang telah kami sebutkan itu.

4. Tentang Pembagian Ilmu

الفصل الرابع فى بيان عدد العلوم

Ilmu pengetahuan zahir dan ilmu pengetahuan batin mempunyai cabang sebanyak 12 cabang. Lalu, masing-masing cabang ini terbagi-bagi lagi sesuai kadar kesiapan ahlinya dari kalangan orang-orang awam, orang-orang khusus, dan orang-orang yang istimewa.

Secara umum, ilmu pengetahuan terbagi kepada empat jenis, yaitu: Pertama, ilmu zahir syari`at, yaitu berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan sekalian hukum-hukum syari`at. Kedua, ilmu batin syari`at yang disebut dengan ilmu tarekat. Ketiga, ilmu batin tarekat yang disebut dengan ilmu ma`rifat. Dan keempat, induk ilmu batin yang disebut dengan ilmu hakikat.

Semua ilmu tersebut harus dikuasai sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Syari`at adalah pohon, tarekat adalah cabang-cabangnya, ma`rifat adalah daun-daunnya, dan hakikat adalah buah-buahnya. Kesemuanya dihimpun di dalam Al-Qur`an, baik secara jelas maupun dengan isyarat, baik berupa tafsiran maupun takwil.”

Pengarang al-Majma` ra mengatakan, "Tafsir adalah untuk kalangan orang-orang awam, sedangkan takwil adalah untuk kalangan orang-orang khusus, karena mereka adalah para ulama yang mendalam ilmunya. Mendalam ilmunya di sini berarti teguh, kukuh, dan kuat dalam ilmu pengetahuan, seperti pohon palm yang akarnya kukuh di dalam tanah dan cabangnya menjulang tinggi ke langit. Sifat mendalam itu dihasilkan oleh kalimat yang baik yang ditanam di dalam relung hati setelah mengalami proses penyucian jiwa. Sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat "... dan orang-orang yang mendalam ilmunya ..." yang terdapat di dalam surah Ali `Imran ayat ke-7 adalah sambungan dari kalimat sebelumnya dari ayat yang sama yang berbunyi, "Melainkan Allah" sehingga pembacaan ayat tersebut adalah,

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُ

Padahal tidak ada yang memahami takwilnya, melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya ..." (QS. Ali `Imran [3]: 7)

Pengarang al-Kabir mengatakan,

"Kalaulah dibuka bab ini, maka terbukalah bab-bab ilmu pengetahuan batin."[30]

Di samping menguasai keempat wilayah ilmu itu, manusia juga dituntut untuk mematuhi perintah dan larangan dalam setiap wilayah ilmu di tersebut. Sebab, di dalam wilayah syari`at, jiwa akan tergoda untuk melakukan penyimpangan, dan di wilayah tarekat, jiwa tergoda oleh kepatuhan semu, atau penampakan sesuatu yang berlawanan dengan realitas yang sebenarnya, seperti mengklaim kenabian atau kewalian, dan di wilayah ma`rifat, jiwa tergoda oleh syirik yang samar-samar, seperti mengklaim ketuhanan. Allah Ta`ala berfirman,

أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ

"Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?" (QS. al-Jatsiyah [45]: 23)

Lain halnya dengan wilayah hakikat, dimana wilayah ini tidak dapat dimasuki sama sekali oleh setan, hawa nafsu, atau malaikat sekalipun, sebab segala sesuatu selain Allah Ta`ala akan terbakar jika memasukinya. Jibril as mengatakan, "Jika aku mendekat sedikit saja, aku pasti terbakar." [31]

Jika seseorang telah sampai ke wilayah ini, ia akan terlepas dari cengkraman kedua musuhnya, yaitu hawa nafsu (ego) dan setan, sehingga dia menjadi orang yang selamat." Allah Ta`ala berfirman,

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ ٱلْمُخْلَصِينَ  قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

"Iblis menjawab, `Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang diselamatkan di antara mereka." (QS. Shad [38]: 82-83)

Bila tidak, maka orang itu belum bisa dikatakan selamat, karena sifat-sifat kemanusiaan dan kebodohannya masih ada pada dirinya dan tidak akan hilang kecuali dengan penyingkapan dan pengetahuan tentang Eksistensi Ilahi. Jika hal itu sudah ia dapatkan, barulah Allah Ta`ala mengajarkan ilmu laduni (gaib) kepadanya, yang dengan ilmu tersebut ia mampu mengenal Allah dengan sebaik-baiknya dan benar-benar menyembah kepada-Nya, seperti yang terjadi pada Nabi Khidhir as.

Di wilayah hakikat ini, ia akan melihat arwah yang suci, me­ngenal nabinya, nabi Muhammad saw, sehingga akhir dari perjalanan hidupnya selaras dengan permulaannya, dan para nabi pun menyampaikan berita baik kepadanya, yaitu bersatu dengan Allah Ta`ala dan tidak akan berpisah dari-Nya. Allah Ta`ala ber­firman,

وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا

"Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS. an-Nisa` [4]: 69)

Orang yang tidak mencapai ilmu itu tidak akan me­ngetahui hakikat, meskipun ia telah membaca sejuta buku, karena ia tidak mencapai sesuatu yang bersifat spiritual.

Imbalan bagi amal perbuatan jasmani yang dilandasi oleh ilmu pengetahuan zahir hanyalah berupa surga dan penyingkapan pantulan Sifat-sifat Allah. Seorang alim tidak bisa masuk ke wilayah suci dan kedekatan dengan Allah hanya dengan mengandalkan ilmu pengetahuan zahir, sebab wilayah itu adalah wilayah terbang, sedangkan burung baru bisa terbang dengan adanya dua sayap. Jadi, hanya manusia yang mengetahui kedua ilmu penge­tahuan: ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat mencapai alam tersebut, sebagaimana disinyalir oleh Allah Ta`ala dalam hadits Qudsi,

 

يا عبدىإذا أردت أن تد خل حرمىى فللا تلتفت إلى الملك و الملكوت والجبروت لا ن الملك شيطان العالم و الملكوت شيطا ن العارف الجبروت شيطا نالوا قف من رمق بأحد منها فهو مطرود عند الله تعالى

"Wahai hamba-Ku, jika engkau ingin memasuki wilayah suci-Ku, janganlah engkau menoleh ke Alam Kerajaan Lahiriah, Alam Kerajaan Batiniah, dan Alam Tuhan Yang Mahakuasa, karena Alam Kerajaan Lahiriah adalah setan bagi orang alim, Alam Keraja­an Batiniah adalah setan bagi orang `arif (orang yang mengenal Allah), dan Alam Tuhan Yang Mahakuasa adalah setan bagi orang waqif (orang yang berhenti). Orang yang merasa puas dengan salah satu setan tersebut, niscaya akan terusir dari sisi-Ku." [32]

Maksudnya, terusir dari posisi dekat dengan Allah, bukan terusir dari surga yang bertingkat-tingkat, karena mereka telah mengusahakan kedekatan dengan Allah, namun tidak mencapainya lantaran hal itu adalah mustahil, disebabkan mereka hanya memiliki satu sayap.

Orang-orang yang telah meraih posisi dekat dengan Allah itu akan mendapatkan

ملا عين رأت ولا أذن سمعت ولا خطر على قلب بشر

"sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terlintas di hati manusia", [33]

yaitu surga kedekatan dengan Allah, yang tidak berisi bidadari, istana-istana, madu, ataupun susu.

Manusia harus mengetahui kadarnya dan tidak mengklaim sesuatu yang bukan haknya.

Amirul Mukminin `Ali ibn Abi Thalib mengatakan, "Allah menyayangi orang yang mengetahui kadarnya, tidak melampaui kondisinya, menjaga lisannya, dan tidak menyia-nyiakan umurnya."

Seorang alim haruslah mendapatkan makna hakikat manusia yang disebut dengan thifl al-ma`ani (anak makna-makna). Ia harus merawatnya dengan menyibukkan lisan hatinya dengan nama-nama tauhid, dan keluar dari alam jasmani menuju alam rohani yang disebut alam as-Sirr (relung kesadaran yang paling dalam). Tiada penghuni alam yang laksana gurun cahaya yang tak bertepi itu melainkan Allah Ta`ala. Anak makna-makna terbang di alam tersebut, melihat segala sesuatu yang mempesona dan langka, namun tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Itulah kedudukan spiritual bagi orang-orang bertauhid yang larut dalam kedekatan dengan Allah Ta`ala. Di dalam relung ke­sadaran yang paling dalam itu mereka hanya melihat cahaya ke-indahan Allah Ta`ala dan tidak dapat melihat diri mereka sendiri, ibarat melihat matahari saat sinarnya telah memenuhi mata. Mereka tidak kuasa melihat diri sendiri lantaran terlarut dalam ketakjuban dan ketidak-berdayaan. Nabi Isa as mengatakan, "Manusia tidak akan masuk ke dalam Alam Kerajaan Batiniah Langit sebelum dia dilahirkan dua kali sebagaimana burung di-lahirkan dua kali." Maksudnya, anak makna-makna spiritual lahir dari hakikat kecenderungan manusia. Ia adalah relung kesadaran manusia yang paling dalam yang wujud serta ilmu-ilmunya me­rupakan kombinasi cahaya ilmu syari`at dengan hakikat, sebagai­mana seorang anak terlahir dari bersatunya dua nutfah, nutfah laki-laki dan perempuan. Allah Ta`ala berfirman,

إِنَّا خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ

"Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang ber-campur." (QS. al-Insan [76]: 2)

Setelah makna itu muncul, terjadilah penyeberangan dari samudera makhluk menuju palung-palung perintah Ilahi, bahkan di dalam naungan alam roh ini, alam semesta hanya seperti setetes air di samudera. Setelah itu, terpancarlah ilmu-ilmu rohani dan laduni tanpa huruf dan tanpa suara (ucapan).

5. Tobat dan Talqin

الفصل الخامس فى بيان التو بة والتلقين

Ketahuilah bahwa kedudukan-kedudukan tersebut di atas hanya-lah dapat diraih dengan tobat yang sungguh-sungguh dan meng­ikuti talqin (tuntunan) dari pembimbing spiritual. Allah Ta`ala ber­firman,

وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ ٱلتَّقْوَىٰ

"Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa," (QS. al-Fath [48]: 26)

yaitu kalimat la ilaha illallah, dengan syarat ucapan itu diiringi oleh hati yang taqwa kepada Allah Ta`ala dan suci dari segala sesuatu selain-Nya, bukan sekadar ucapan yang keluar dari mulut-mulut orang awam. Sebab, meskipun lafalnya sama namun maknanya berbeda, karena hati itu baru bisa hidup bilamana ia mengambil benih tauhid dari hati yang hidup lainnya, sehingga benih itu benar-benar sempurna.

Oleh karena itu, kalimat tauhid di dalam Al-Qur`an terdapat di dua tempat. Pertama, diiringi oleh ucapan lahiriah (ilmu zahir). Allah Ta`ala berfirman,

إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ

"Apabila dikatakan kepada mereka tidak ada Tuhan selain Allah, mereka menyombongkan diri." (QS. ash-Shaffat [37]: 35)

Itulah yang terjadi pada orang-orang awam. Ke­dua, diiringi oleh ilmu hakiki. Allah Ta`ala berfirman,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

"Maka keta­huilah, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, dan mohon-lah ampunan bagi dosamu dan dosa kaum Mukmin, laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad [47]: 19)

Talqin yang terdapat di dalam ayat ini, sebagaimana ditunjukkan oleh sebab turunnya ayat, adalah ditujukan kepada orang-orang khusus. Pengarang Bustan asy-Syariah mengatakan, "Orang pertama yang meng-harapkan jalan spiritual yang paling dekat, paling baik, dan paling mudah dari Nabi saw adalah `Ali ibn Abi Thalib ra, lalu Nabi saw menunggu wahyu. Maka turunlah Jibril as kepada Nabi saw dan men-talqin-kan kalimat tersebut la ilaha illallah tiga kali. Setelah itu, Rasul pun mentalqinkan kalimat itu kepada `Ali ibn Abi Thalib ra dan sekalian sahabat yang beliau hampiri. Kemudian Nabi saw bersabda,

قد رجعنا من الجهاد الاصغر نعود إلى الجهاد الاكبر

`Kita baru pulang dari jihad yang pahng kecil menuju jihad yang paling besar.  [34]

Maksud jihad yang paling besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw,

أصحا به عد وأعدا ئك نفسك

"Musuhmu yang paling kuat adalah hawa nafsu.[35]

Cinta kepada Allah Ta`ala tidak akan dapat engkau raih kecuali dengan mengalahkan musuh-musuh yang terdapat di dalam wujudmu yang berupa nafs ammarah, lawwamah, dan mulhimah. Engkau harus menyucikan diri dari akhlak-akhlak yang tercela dan hewani, seperti senang banyak makan, minum, tidur, dan berhura-hura; akhlak-akhlak binatang buas, seperti cepat marah, mencaci, memukul, dan memaksa; akhlak-akhlak setan, seperti sombong, ujub, iri, dendam, serta penyakit-penyakit badan dan hati lainnya. Jika engkau sudah menyucikan diri dari semua itu, engkau sudah suci dari dosa-dosa utama, sehingga engkau bisa termasuk orang-orang yang menyucikan diri dan bertobat. Allah Ta`ala ber­firman,

وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri." (QS. al-Baqarah [2]: 222)

Tobatnya seorang orang awam yang hanya bertobat dari dosa-dosa lahiriah tidak termasuk ke dalam ayat ini, sebab ia barulah

sekadar seorang yang ta`ib (bertobat), belum sampai ke taraf se­orang tawwab (benar-benar bertobat), sedangkan lafal tawwab mengandung makna mubalaghah (penegasan) sehingga yang di-maksud di dalam ayat ini adalah tobatnya orang-orang khusus.

Orang yang bertobat dari dosa-dosa lahiriah saja seperti orang yang memotong cabang rumput, dan tidak berusaha mencabutnya sampai ke akarnya, sehingga rumput itu pasti akan tumbuh terus, bahkan lebih lebat dari sebelumnya. Sedangkan orang yang benar-benar bertobat dari akhlak yang tercela seperti orang yang mencabut rumput itu sampai ke akar-akarnya, sehingga jarang sekali yang bisa tumbuh kembali.

Talqin berfungsi sebagai alat untuk memotong noda-noda syirik dan segala sesuatu selain Allah Ta`ala dari hati si penerima talqin, sebab selama noda-noda tersebut masih bercokol di dalam hatinya, mustahil hati itu akan bersih dan hidup sebagaimana diharapkan. Pelajarilah dan pahamilah hal ini. Allah Ta`ala berfirman,

وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ

"Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaaf-kan kesalahan-kesalahan," (QS. asy-Syura [42]: 25)

dan,

مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

"Orang yang bertobat dan beramal shaleh, kejahatannya diganti oleh Allah dengan kebaikan." (QS. al-Furqan [25]: 70)

Tobat ada dua macam: tobat orang awam dan tobat orang khusus.

Tobat orang awam adalah beranjak dari kemaksiatan menuju kepatuhan, dari yang tercela menuju yang terpuji, dari neraka menuju surga, dari kenyamanan badan menuju kesulitan menahan hawa nafsu dengan dzikir, kesungguhan, dan usaha yang keras.

Sedangkan tobatnya orang khusus, disamping mangamalkan tobat di atas, adalah beranjak dari kebaikan menuju pengetahuan, dari pengetahuan menuju surga yang bertingkat-tingkat, dan dari surga yang bertingkat-tingkat menuju kedekatan dengan Allah, serta beranjak dari kedekatan dengan Allah dan kelezatan psikologis menuju kelezatan spiritual, yaitu meninggalkan segala se­suatu selain Allah Ta`ala, merasa nyaman dengan-Nya, serta memandang-Nya dengan mata keyakinan.

Hal-hal ini semuanya merupakan hasil usaha menegaskan wujud, sedangkan menegaskan wujud itu adalah termasuk perbuatan dosa. Seorang sufi mengatakan, "Wujudmu adalah dosa yang tidak dapat dibandingkan dengan dosa lain." Para sufi me­ngatakan,  "Perbuatan baik orang-orang yang abrar (shaleh dan bertakwa) terhitung perbuatan buruk bagi orang-orang yang muqarrabin (dekat dengan Allah), sebaliknya, perbuatan buruk orang-orang yang muqarrabin (dekat dengan Allah) terhitung per­buatan baik bagi orang-orang yang abrar (shaleh dan bertakwa)."[36]

Oleh sebab itulah, Nabi Muhammad saw memohon ampun setiap hari kepada Allah sebanyak 70 kali. Allah Ta`ala berfirman,

وَٱسْتَغْفِرْ

"Dan mohonlah ampun bagi dosamu," (QS. Muhammad [47]: 19)

maksud dari perkataan "dosamu" di dalam ayat ini adalah dosa wujudmu.

Inilah yang dinamakan dengan al-inabah, yaitu kembali ke­pada Allah dengan meninggalkan apa pun selain-Nya, dan naik ke tangga al-qurbah (dekat dengan Allah) di akhirat, serta memandang wajah Allah Ta`ala, sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw,

ين الله تعلى عبادا أبدا نهم فى الد نيا و قلو بهم تحت العرش

"Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang tubuhnya berada di dunia sedangkan hatinya berada di bawah `Arasy Ilahi." [37]

Maksud dari memandang Allah di sini bukanlah memandangnya wajah-Nya di dunia dengan indera penglihatan—sebab hal itu hanyalah terjadi di akhirat kelak dan mustahil di dunia ini—me­lainkan melihat sifat-sifat Allah dengan kaca mata hati, sebagai­mana `Umar ibn al-Khaththab ra mengatakan, "Hatiku melihat Tuhanku," artinya, melihat dengan cahaya Tuhanku, karena hati adalah cerminan keindahan Allah Ta`ala.

Keistimewaan ini (memandang wajah Allah) hanyalah dapat diraih dengan jalan talqin dari seorang syaikh yang telah menyatu dengan Allah dan diakui kapasitasnya oleh syaikh-syaikh terdahulu, lalu merehabilitasi orang-orang yang tidak sempurna dengan mengacu kepada perintah Allah Ta`ala dan Nabi saw.

Para wali diutus hanya untuk orang-orang khusus, bukan untuk orang-orang awam. Itulah perbedaan antara wali dengan nabi, dimana nabi diutus untuk kedua kalangan sekaligus dan beliau berdiri sendiri, sedangkan wali hanyalah untuk orang-orang khusus dan dia tidak berdiri sendiri, melainkan harus mengikuti nabi. Jika seorang wali mengklaim bahwa ia berdiri sendiri, kafirlah ia. Hanya saja Nabi saw menyerupakan para ulama umatnya dengan nabi-nabi Bani Israil adalah karena nabi-nabi Bani Israil itu merupakan pengikut syari`at seorang rasul, yaitu Nabi Musa as, dan benar-benar menjalankan syari`at tersebut dengan sebaik-baiknya. Namun, ulama-ulama mereka memperbarui syari`at itu tanpa mendatangkan syari`at baru. Begitu juga dengan ulama-ulama (wali-wali) umat Nabi Muhammad yang diutus untuk kalangan orang-orang khusus untuk memperbarui perintah dan larangan, mengokohkan amal perbuatan dengan penegasan yang paling kuat, dan menyucikan para pengikut syaria`at agar syari`at itu merasuk ke dalam hati tempat ma`rifat. Mereka menyampaikan ilmu pengetahuan Nabi saw seperti ahl ash-shuffah (orang-orang penghuni serambi, yaitu kaum Muslim awal yang meninggalkan segala sesuatu karena cinta kepada Allah dan Nabi-Nya) yang mengucapkan rahasia-rahasia mikraj sebelum mikrajnya Nabi saw.

Wali adalah orang yang sempurna kewalian muhammadi-nya yang merupakan bagian dari kenabian. Batinnya adalah amanah baginya, disamping lahirnya yang melaksanakan aturan berdasar­kan ilmu pengetahuan zahir. Dia termasuk pewaris kenabian, bahkan sama dengan orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan Nabi saw. Hubungan Wants (wali yang mengabdikan diri melalui hukum syari`at) yang sempurna dengan nabi adalah ibarat anak dengan ayahnya, dimana anak adalah anggota keluarga ter-dekat yang merupakan rahasia ayahnya secara zahir dan batin. Karena itu, Rasulullah saw bersabda,

إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا العلماء بالله تعالى فاذا نطقوا به لم ينكره أهل العزة وهذا

"Ada ilmu yang amat tersem-bunyi yang hanya diketahui oleh orang-orang yang mengetahui Allah Ta`ala. Jika mereka mengucapkannya, niscaya orang-orang yang lalai akan menentangnya." [38]

Itulah rahasia atau relung ke­sadaran yang paling dalam yang disimpan di dalam hati Nabi saw pada malam Mikraj di dalam ruang batin terdalam di tingkat ketiga puluh ribu, yang tidak terselami oleh seorang orang awam pun, selain sahabat-sahabatnya yang paling dekat dan ahl ash-shuffah ra. Berkat rahasia itulah syari`at Islam yang suci ini bisa tegak hingga hari Kiamat.

Ilmu pengetahuan batin akan dapat mengantarkan kepada rahasia-rahasia Tuhan, sedangkan ilmu-ilmu lainnya hanyalah ibarat kulit baginya. Di kalangan ulama-ulama ilmu pengetahuan zahir, ada sebagian mereka yang tergolong pewaris dari ilmu batin ini; ada yang benar-benar pewaris hakiki, ada yang sebagai pewaris sisa, dan ada yang merupakan pewaris jauh yang bertanggung jawab menyampaikan kulit-kulit ilmu dengan cara berdakwah ke jalan Allah Ta`ala dengan nasihat yang baik. Sedangkan para guru spiritual pengikut Sunnah yang rangkaiannya bersambung hingga `Ali ibn Abi Thalib ra, maka mereka bertanggung jawab menyam­paikan makna-makna ilmu yang paling halus melalui berdakwah kepada Allah Ta`ala dengan penuh hikmah. Allah Ta`ala berfirman,

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ  وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ

"Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka cara yang baik." (QS. an-Nahl [16]: 125)

Ketiga makna yang terdapat di dalam ayat di atas terhimpun semuanya di dalam diri Nabi Muhammad saw yang tidak ada se­orang pun setelahnya yang mendapatkan hal demikian. Oleh karena itu, makna-makna itu terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama, inti makna, yaitu pengetahuan tentang keadaan spiri­tual yang diberikan kepada para wali Allah yang agung. Tekad yang kuat yang dimiliki oleh para wali agung itu adalah inti makna tersebut. Rasulullah saw bersabda,

هِمَّةُ الرِّجَالِ تَقْلَعُ الْجِبَال

"Tekad para wali Allah yang agung menghempaskan gunung-gunung." [39]

Yang dimaksud dengan gunung-gunung adalah hati yang keras yang menjadi lunak karena doa dan permohonan mereka. Allah Ta`ala berfirman,

وَمَن يُؤْتَ ٱلْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِىَ خَيْرًا كَثِيرً

"Orang yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak." (QS. al-Baqarah [2] 269)

Kedua, kulit inti makna; diberikan kepada para ulama penge­tahuan zahir, yaitu pelajaran yang baik dan amar ma`ruf nahi munkar. Rasulullah saw bersabda,

العالم يعظ بالعلم والأدب والجاهل يعظ بالضرب و الغضب

"Orang alim memberi nasehat dengan ilmu dan adab, sedangkan orang bodoh memberi nasehat dengan pukulan dan kemarahan."[40]

Ketiga, kulitnya kulit inti makna; diberikan kepada para penguasa, yaitu keadilan lahiriah dan siasat yang tepat yang diisyaratkan oleh firman Allah,

جَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

"Dan bantahlah mereka cara yang baik." (QS. an-Nahl [16]: 125).

Mereka memiliki tempat-tempat manifestasi keperkasaan, kekerasan, atau kemurkaan, dan merupakan sebab sekunder terjaganya aturan agama.

Posisi spiritual para ulama zahir spiritual mereka seperti kulit yang berwarna merah lagi keras, sedangkan posisi spiritual para ulama tasawauf yang `arif adalah sebagai inti sari. Karena itu, Rasulullah saw bersabda,

عليكم بمجا لسة العلماء واستماع كلام الحكماء فان الله تعالى يحى القلب بنور الحكمة يحيى الأرض الميتة بما ء المطر

"Kalian harus duduk bersama para ulama dan mendengarkan kata-kata para hukama` (ahli hikmah), karena Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah seperti menghidupkan tanah yang mati dengan air hujan."  [41]

Beliau saw juga bersabda,

كلمة الحكمة ضالة الحكيم أخذها حيث و جد ها والكلمة التى بأفواه

"Hikmah itu adalah barang hilang milik orang yang bijaksana; Dia dapat mengambilnya di mana saja dia mendapat-kannya."[42]

Kata-kata yang terucap dari mulut orang-orang awam turun dari Luh Mahfuzd (Lembaran Terjaga yang bertuliskan nasib serta takdir semua mahluk), yaitu Alam Tuhan Yang Mahakuasa, berupa surga yang bertingkat-tingkat, sedangkan kata-kata yang terucap dari mulut para wali agung yang telah bersatu dengan-Nya turun dari Luh Akbar (Lembaran Terbesar) dengan lisan suci yang dekat dengan Allah tanpa perantara.

Segala sesuatu akan kembali kepada asalnya. Karena itu, men-cari wali yang dapat memberikan talqin adalah wajib demi hidup-nya hati. Rasulullah saw bersabda,

طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة

"Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan." [43]

Maksudnya adalah ilmu ma`rifat dan kedekatan dengan Allah, sedangkan ilmu-ilmu lain tidak dibutuhkan kecuali yang digunakan dalam melaksana-kan kewajiban-kewajiban agama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali ra:

Hidupnya hati adalah sebuah pengetahuan, maka tabunglah Matinya hati adalah sebuah kebodohan, maka jauhilah Tujuan terbaik adalah takwa, maka tambahilah Cukuplah nasihatku untukmu, maka laksanakanlah

Allah Ta`ala berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

"Berbekallah kalian, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa." (QS. al-Baqarah [2]: 197)

Jadi, keridhaan seorang hamba terhadap Allah Ta`ala akan menjadikannya itu akan membawa adalah dengan dibawanya hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya, tidak peduli dengan surga-Nya yang bertingkat-tingkat. Allah Ta`ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh .... (QS. al-Kahfi [18]: 30),

dan

قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا ٱلْمَوَدَّةَ فِى ٱلْقُرْبَىٰ

"Katakanlah, `Aku tidak meminta kepada kalian upah atas seruanku, kecuali kasih sayang dalam kekeluarga-an.  (QS. asy-Syura [42]: 23).

Maksudnya, alam kedekatan dengan Allah—menurut salah satu penafsiran.

6. Orang-orang Sufi

الفصل الساد س فى بيان أهل التصوف

Sebab dari dinamakannya orang-orang sufi dengan nama "ahli tasawuf tidak lain adalah karena terjadinya proses penjernihan terhadap hati mereka berkat cahaya ma`rifat dan tauhid, atau karena mereka dinisbahkan kepada ashhab ash-shuffah (orang-orang penghuni serambi), yaitu para sahabat yang meninggalkan segala sesuatu karena cinta kepada Allah dan Nabi-Nya, atau pun karena mereka memakai shuf (pakaian dari bulu), dimana untuk orang sufi tingkat pemula dari bulu biri-biri, untuk tingkat pertengahan dari bulu kambing, sedangkan untuk tingkat puncak dari bulu Mir`izza (bulu halus kambing), yaitu wol persegi. Sebagai­mana pakaian lahir berlain-lainan, pakaian batin mereka juga demikian, sebanding dengan kadar kualitas keadaan spiritual mereka; makanan-makanan mereka pun demikian halnya.

Pengarang Tafsir al-Majma` mengatakan, "Orang-orang yang zuhud hanya pantas dengan pakaian, makanan, dan minuman yang kasar, sedangkan orang-orang yang memiliki ma`rifat hanya pantas dengan segala yang lembut, karena memposisikan manusia pada tempatnya merupakan Sunnah, supaya tidak ada orang yang melewati kondisinya sendiri, ataupun karena orang-orang yang memiliki ma`rifat itu berada di barisan pertama di dalam al-hadhrah al-ahadiyyah (Tataran Keesaan Transenden).

Kata tashawwuf sendiri terdiri dari empat huruf Hijaiyyah, yaitu Ta`, Shad, Waw, dan Fa` yang bagi para ahli tasawuf masing-masing huruf tersebut memiliki makna tersendiri.

Huruf Ta` berasal dari kata tawbah (tobat) yang terbagi kepada dua bagian, yaitu: tobat zahir dan tobat batin.

Tobat zahir adalah beranjaknya seseorang—dengan seluruh organ lahiriahnya—dari perbuatan-perbuatan dosa menuju perbuatan­perbuatan ta`at; dari segala kemungkaran menuju kepatuhan, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Adapun tobat batin adalah beranjaknya seseorang—dengan seluruh organ batiniahnya—dari segala kemungkaran menuju kepatuhan, guna untuk menjernih-kan hatinya. Jika hal ini telah terlaksana dengan baik, maka sem-purnalah posisi huruf td` pada diri yang bersangkutan, dan para sufi menyebut orang itu dengan `orang yang bertobat`.

Huruf Shad berasal dari kata shafa `(kejernihan) yang juga ter­bagi dari dua bagian, yaitu: kejernihan hati dan kejernihan nurani.

Kejernihan hati maksudnya adalah jernihnya hati seseorang dari kotoran-kotoran yang bersarang di dalamnya akibat dari adanya keberlebihan dalam hal mengkonsumsi makanan dan minuman, banyak bicara, banyak tidur, dan banyak memperhatikan masalah-masalah duniawi seperti berlebihan dalam hal mencari penghidupan, berjima` dengan istri, cinta terhadap anak dan keluarga, serta larangan-larangan psikologis lainnya.

Kejernihan hati ini hanyalah bisa diperoleh dengan jalan melanggengkan dzikir terhadap Allah melalui talqin yang pada awal-nya diucapkan dengan bersuara sampai mendapatkan posisi al-haqiqah (kedudukan spiritual yang menegaskan berbagai efek dari sifat-sifat hamba dengan sifat-sifat Allah, sehingga sifat-sifat itu mewarnai kehidupannya). Allah Ta`ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang gemetar hati­nya apabila disebut nama Allah." (QS. al-Anfal [8]: 2),

atau takut-lah hatinya. Rasa takut itu muncul setelah hati terjaga dari tidur kelalaian, digosok, dan diukir padanya gambar-gambar kegaiban berupa kebaikan dan kejahatan. Para sufi mengatakan, "Orang alim mengukir, sedangkan orang `arif menggosok."

Sedangkan kejernihan nurani adalah dengan jalan menghindari perhatian dan rasa cinta terhadap segala selain Allah Ta`ala dengan cara melanggengkan Nama-nama Tauhid dengan lisan nurani. Jika penjernihan itu telah sempurna pada diri seseorang, maka sempurnalah posisi huruf ash-shad dalam dirinya.

Huruf Waw berasal dari wilayah (kewalian). Ia muncul setelah penjernihan hati dan nurani. Allah Ta`ala berfirman,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran pada din mereka dan tidak pula mereka bersedih hati" (QS. Yunus [10]: 62).

Kewalian ini pada akhirnya akan menjadikan seseorang menjadi berakhlak dengan akhlak Allah Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,

تَخَلَّقُوا بِأَخْلاَقِ اللهِ تعالى

"Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah."[44]

 Maksudnya, bersifat-lah dengan sifat-sifat Allah Ta`ala dan tinggalkanlah sifat-sifat kemanusiaan, sebab jubah kehormatan sifat-sifat Allah itu baru bisa didapatkan setelah dibuangnya sifat-sifat kemanusiaan. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

إذا أحبت عبدا كنت له سمعا و بصرا ولسانا ويداو رجلا فى يسمع وبى يبصروبى ينطق وبى يبطش وبى يمشى

"Jika Aku telah mencintai seorang hamba, maka Aku menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan lidah baginya. Dengan-Ku dia mendengar, melihat, memukul, berbicara, dan berjalan." [45]

Maka, bersihkanlah diri kalian dari segala selain Allah Ta`ala. Dia berfirman,

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ

"Dan katakanlah, `Kebenaran telah datang dan kebatilan telah hilang`." (QS. al-Isra` [17]: 81).

Dengan demikian, sempurnalah posisi huruf waw.

Huruf Fa` berasal dari funa` fillah (peniadaan diri dalam Allah) dari segala selain Allah. Jika sifat-sifat manusiawi telah tiada, maka yang ada adalah sifat-sifat Keesaan Transenden yang tidak meniada, tidak melenyap, dan tidak menghilang. Hamba yang telah mengalami fana` ini akan tetap bersama Tuhan Yang Mahaabadi dan keridhaan-Nya, dan hati hamba yang telah mengalaminya akan abadi bersama Rahasia Yang Mahaabadi dan Perhatian-Nya. Allah Ta`ala berfirman,

كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ

"Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah." (QS. al-Qashash [28]: 80)

Kata wajah di sini bisa juga diarti-kan dengan keridhaan Allah terhadap amal shaleh hamba-hamba-Nya, sehingga orang yang diridhai itu akan abadi bersama-Nya.

Amal-amal shaleh akan menjadikan hidupnya hakikat manusia yang disebut thifl al-ma`ani. Allah Ta`ala berfirman,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرْفَعُهُۥ

"Kepada-Nyalah naik kalimat-kalimat yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya." (QS. Fathir [35]: 10)

Dengan demikian, seluruh perbuatan yang dilakukan untuk selain Allah Ta`ala adalah kemusyrikan dan akan membinasakan pelakunya. Jika ketiadaan di dalam Allah tersebut telah sempurna, maka diraihlah keabadian di alam ke­dekatan dengan Allah. Allah Ta`ala berfirman,

فِى مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ

"Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa." (QS. al-Qamar [54]: 55)

Itulah kedudukan spiritual para nabi dan wali di Alam Ketuhanan. Allah Ta`ala berfirman,

وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

"Dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar." (QS. at-Taubah [9]: 119)

Sebab, jika makhluk telah dikaitkan dengan Yang Mahaabadi, maka tanggallah wujud kemakhlukannya, sebagaimana diungkapkan oleh sebuah sya`ir: Semua sifat Eksistensi dan Aktivitas Ilahi Adalah abadi dan terjaga dari kemusnahan

Jika kefana`an ini telah sempurna, maka seorang sufi menjadi abadi bersama Yang Mahabenar untuk selama-lamanya. Allah Ta`ala berfirman,

أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ

"Para penghuni surga, mereka kekal di dalam-nya." (QS. al-Baqarah [2]: 82)

7. Dzikir

الفصل السابع فى بيان الأذ كار

Terhadap orang-orang yang berdzikir ini Allah telah memberikan petunjuk-Nya melalui firman-Nya yang berbunyi,

وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ

"Dan berdzikirlah kepada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian: (QS. al-Baqarah [2]: 198)

maksud kalimat kepada kalian: kepada tingkatan-tingkatan dzikir kalian. Nabi saw bersabda,

أفضل ماقلت أناو النبيون من قبلى لاإله إلا الله

"Dzikirku dan dzikir para nabi sebelumku yang paling utama adalah la ilaha illallah."[46]

Dzikir-dzikir itu bertingkat-tingkat sesuai kedudukan spiritual, baik secara jelas ataupun samar, mulai dari dzikir lisan, dzikir jiwa, dzikir hati, dzikir roh, dzikir nurani, dzikir samar, hingga dzikir yang paling samar.

Dzikir lisan akan mengingatkan hati seseorang kepada meng-ingat Allah tatkala melupakannya. Dzikir jiwa adalah dzikir yang tak terdengar dengan huruf dan suara, melainkan terdengar dengan indra dan gerakan batiniah. Dzikir hati adalah perhatian hati ter­hadap Keagungan dan Keindahan Allah di dalam sanubari. Dzikir roh adalah penyaksian cahaya-cahaya penyingkapan Sifat-sifat Allah. Dzikir nurani adalah pengawasan yang penuh konsentrasi terhadap penyingkapan Rahasia-rahasia Ilahi. Dzikir samar adalah beriringannya Cahaya-cahaya Keindahan Eksistensi Keesaan Transenden di tempat yang disenangi. Sedangkan dzikir yang paling samar adalah memandang Hakikat Yang Mahabenar lagi Maha-yakin, yang tidak diketahui oleh selain Allah Ta`ala. Dia berfirman,

وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى

"Sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi." (QS. Thaha [20]: 7)

Itulah tujuan yang tertinggi dan yang terakhir.

Ketahuilah bahwa ada roh lain selain itu, yang lebih halus dari semua arwah, yaitu thifl al-ma`ani (anak makna-makna). Roh yang amat halus ini selalu menyeru kepada dzikrullah. Para sufi mengatakan bahwa roh ini tidak diberikan kepada semua orang, tapi hanya untuk orang-orang khusus. Allah Ta`ala berfirman,

يُلْقِي الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِ

"Dia mengutus Ruh dengan membawa perintah-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya: (QS. Ghafir [40]: 15).

Roh itu adalah pelengkap `alam al-qudrah, penyaksian `alam al-haqiqah, dan sama sekali tidak berpaling kepada selain Allah Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,

الد نيا حرام على أهل الآخرة والآخرة حرام على أهل الد نيا وهما حرامان على أهل الله

"Dunia ini haram bagi orang-orang yang mencari akhirat, dan akhirat haram bagi orang-orang yang mencari dunia, dan keduanya haram bagi kaum Allah (orang-orang yang mengenal Allah)."[47]

Jalan menuju Allah Ta`ala adalah sentiasanya jasad berada di Jalan yang Lurus dengan cara melaksanakan syari`at siang dan malam, sedangkan kesenantiasaan roh (hati) mengingat Allah hanyalah kewajiban agama bagi orang-orang yang menempuh jalan spiritual. Allah Ta`ala berfirman,

يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ

"Orang-orang yang meng­ingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan terbaring, dan mereka selalu berpikir." (QS. Ali Imran [3] 191)

Yang dimaksud dengan berdiri adalah siang hari, duduk adalah malam hari, dan berbaring adalah kesempitan dan kelapangan, sehat dan sakit, kaya dan miskin, terhormat dan tidak, dan yang serupa itu. □

8. Syarat-syarat Dzikir

الفصل الثامن فى بيان شرا ئط الذ كر

Adalah merupakan syarat bagi orang yang sedang berdzikir, bahwa ia harus melakukannya dalam keadaan suci dari hadats, dan dengan gerakan yang kuat serta suara yang keras, sampai batin mereka diterangi oleh cahaya-cahaya dzikir dan hati mereka hidup dalam kehidupan ukhrawi yang abadi. Allah Ta`ala ber­firman,

لَا يَذُوقُونَ فِيهَا ٱلْمَوْتَ إِلَّا ٱلْمَوْتَةَ ٱلْأُولَىٰ

"Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia." (QS. ad-Dukhan [44]: 56).

Rasulullah saw bersabda,

الأولياء يُصَلُّونَ في قبورهم كما يُصَلُّونَ في بُيُوتِهِمْ الأنبياءو

"Para nabi dan wali shalat di dalam kubur mereka seperti shalat di rumah mereka." [48]

Maksudnya, mereka bermunajat dengan Tuhan buat selama-lamanya, bukan shalat lahiriah berupa berdiri, ruku, dan duduk.

Hal ini merupakan ibadah roh dari orang-orang yang mengenal Allah, dan karunia dari Allah Ta`ala terhadap mereka, sehingga mereka selalu berhubungan dengan Allah walau sudah berada di dalam kubur. Rasulullah saw bersabda, "Orang yang shalat adalah orang yang sedang bercakap-cakap dengan Tuhannya." [49]

Maka, sebagaimana hati yang hidup tidak akan tidur, ia juga tidak akan mati. Nabi saw bersabda,

تَنَامُ عَيْنِي وَلا يَنَامُ قَلْبِي

"Mataku tidur, tapi hatiku tidak." [50]

Selain itu beliau bersabda,

من ات فى طلب العلم بعث الله فى قبره ملكين يعلمانه علم المعرفة إلى يوم القيامة وقام من قبره عالما و عارفا

"Orang yang mati dalam menuntut ilmu, akan dikirimkan dua orang malaikat ke kuburnya yang akan mengajar­kan ilmu ma`rifat kepadanya, sehingga ia bangkit dan kubur se­bagai orang alim dan `arif." [51]

Yang dimaksud dengan dua orang malaikat adalah spiritualitas nabi dan wali, karena malaikat tidak dapat memasuki ke alam ma`rifat dan tidak dapat mengajarkannya. Beliau bersabda juga,

كم من شخص ماتخ جاهلا وقام من قبره عالما وعارفا وكم من شخص مات عالما وقام يوم القيامة جاهلا أوفاسقا و مفلسا

"Betapa banyak orang yang mati dalam ke­adaan bodoh, tapi dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan alim dan arif. Dan betapa banyak orang yang mati dalam keadaan alim tapi dibangkitkan pada hari Kiamat dalam keadaan bodoh dan bangkrut."[52]

Allah Ta`ala berfirman,

أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَٰتِكُمْ فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنْيَا وَٱسْتَمْتَعْتُم بِهَا فَٱلْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ ٱلْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ

"Kalian telah menghabiskan rezeki kalian yang baik-baik dalam kehidupan dunia dan ber-senang-senang dengannya. Maka, pada hari ini kalian dibalas dengan azab yang menghinakan karena kalian telah menyombong-kan diri." (QS. al-Ahqaf [46]: 20)

Rasulullah saw bersabda,

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya amal-amal perbuat­an tergantung kepada niatnya,"[53]

dan

فنية المرء خير من عمله و نية الفاسق شر من عمله لأن النية بناألعمال

"Niat seorang Mukmin lebih baik daripada perbuatannya, sedangkan niat orang yang fasik lebih jelek daripada perbuatannya." [54]

Sebab, niat adalah pondasi amal-amal perbuatan. Seorang ulama mengatakan, "Bangunan yang baik bila berada di atas pondasi yang baik akan menjadi baik, sebaliknya, bangunan yang rusak bila berada di atas pondasi yang rusak akan menjadi rusak." Allah Ta`ala berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلْءَاخِرَةِ نَزِدْ لَهُۥ فِى حَرْثِهِۦ  وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ ٱلدُّنْيَا نُؤْتِهِۦ مِنْهَا وَمَا لَهُۥ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ

"Orang yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya, sedangkan orang yang menghendaki keuntungan di dunia akan Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan dunia dan tidak ada baginya satu bagian pun di akhirat " (QS asy-Syura [42]: 20)

Maka seorang hamba, di dunia ini, wajib mencari dan men­dapatkan kehidupan hati dan akhiratnya dari wali yang memang mampu memberikan talqin, selagi ada kesempatan. Rasulullah saw bersabda, "Orang yang mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat tidak akan mendapatkan bagian apa-apa di akhirat." [55]

Dunia adalah ladang pertanian untuk akhirat. Orang yang tidak menanaminya tidak akan memanen apa-apa di akhirat. Yang dimaksud dengan ladang pertanian adalah tanah wujud, bukan dunia luar lahiriah.  

9. Melihat Allah Ta`ala

الفصل التاسع فى بيان رؤية الله تعالى

Melihat Allah Ta`ala ada dua macam: melihat Keindahan-Nya di akhirat kelak secara langsung tanpa perantaraan cermin hati, dan melihat Sifat-sifat-Nya di dunia ini dengan perantaraan cermin hati dan melalui pandangan nurani terhadap pantulan Cahaya-cahaya Keindahan-Nya, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala,

مَا كَذَبَ ٱلْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ

"Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya," (QS. an-Najm [53]: 11)

dan sabda Nabi saw,

الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ

"Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya." [56]

Yang dimaksud dengan Mukmin yang per­tama adalah hati hamba yang beriman, sedangkan Mukmin yang kedua adalah Allah Ta`ala, sebagaimana disebut dalam firman-Nya,

ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ

"Yang Maha Mengaruniakan keamanan dan Maha Meme-lihara." (QS. al-Hasyar [59]: 23)

Orang yang melihat Sifat-sifat Allah Ta`ala di dunia ini akan melihat Eksistensi-Nya kelak di akhirat tanpa kayfa (bagaimana). Adapun pernyatan-pernyataan yang muncul perihal melihat Allah Ta`ala di dunia ini oleh wali-wali Allah, seperti ucapan `Umar ibn al-Khaththab ra, "Hatiku melihat Tuhanku (artinya, dengan Cahaya Tuhanku)," dan ungkapan `Ali ibn Abi Thalib ra, "Aku tidak mau menyembah Tuhan yang tidak kulihat," semua itu me­rupakan penyaksian mereka terhadap Sifat-sifat Allah, sama hal-nya dengan orang yang melihat pancaran sinar matahari dari sebuah Misykah (lubang yang tak tembus) atau lainnya, dimana tidak salah kalau ia mengatakan bahwa ia telah melihat matahari. Allah Ta`ala menganalogikan Cahaya-Nya dari segi Sifat-sifat-Nya dengan mengatakan,

ٱلْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ

"...seperti lubang yang tak tembus yang berisi pelita yang besar ...." (QS. an-Nur [24]: 35)

Para sufi mengatakan bahwa misykah itu adalah hati seorang Mukmin, mishbah (pelita yang besar) adalah rahasia nurani, yaitu ruh sulthani; sedangkan az-Zujajah (kaca) adalah nurani yang digambarkan sebagai mutiara karena kuatnya pancaran cahaya-nya. Kemudian Allah Ta`ala menjelaskan tentang bahan bakarnya dengan mengatakan,

يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ

"Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya (QS. an-Nur [24]: 35)

yaitu pohon talqin. Sedangkan tauhid orang-orang khusus berasal dari lisan suci tanpa perantara, sebagaimana Al-Qur`an pun pada dasarnya telah melekat kuat pada diri Nabi saw melalui lisan suci tersebut, kemudian barulah diturunkan Jibril as untuk kemaslahatan ma­nusia pada umumnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta`ala,

وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى ٱلْقُرْءَانَ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ عَلِيمٍ

"Benar-benar diberi Al-Qur`an dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui: (QS. an-Naml [27]: 6)

Karena itu, Nabi saw meminta mendahului Jibril as dalam menerima wahyu, sampai turun ayat,

وَلَا تَعْجَلْ بِٱلْقُرْءَانِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُۥ

"... dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Qur`an sebelum disempurnakan mewahyuannya kepadamu." (QS. Thaha [20]: 114)

Karena itu, Jibril as tidak ikut serta pada malam mi`raj dan tidak mampu masuk ke Sidratul Muntaha.

Kemudian pohon itu digambarkan oleh Allah Ta`ala di dalam firman-Nya,

لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ

"Tumbuh tidak di sebelah Timur dan tidak juga di sebelah Barat," (QS. an-Nur [24]: 35)

yakni tidak akan terkena pembaruan maupun kepunahan, dan tidak akan hilang-hilang timbul, melainkan tetap azali dan abadi, sebagaimana Allah sendiri pun bersifat wajibul wujud (Ada tanpa awal dan akhir), Maha­abadi, Mahaazali, serta Selalu dan Senantiasa Abadi; begitu juga dengan sifat-sifat-Nya karena ia adalah cahaya dan manifestasi-Nya dan tidak akan terlepas daripada-Nya. Maka tirai jiwa mungkin saja terbuka dari wajah hati, lalu hati menjadi hidup berkat cahaya-cahaya ini, sehingga roh mampu menyingkap sifat-sifat Allah me­lalui misykah tersebut, sebab tujuan penciptaan alam adalah me­nyingkap Kekayaan Yang Tersembunyi, sebagaimana dijelaskan dalam syair yang telah kami sebutkan sebelum ini.

Melihat Eksistensi Allah Ta`ala tanpa perantara hanya terjadi di akhirat—Insya Allah, yaitu melalui pandangan hati nurani yang disebut sebagai anak makna-makna, sebagaimana disebut dalam firman-Nya,

إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ  وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

"Wajah-wajah orang Mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka meliliat." (QS. al-Qiyamah [75]: 22-23)

Barangkali, `anak makna-makna` inilah yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw dalam sabda beliau yang berbunyi, "Aku melihat Tuhanku dalam bentuk seorang pemuda yang amat tampan." Dan Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk tersebut di dalam cermin roh tanpa perantara sama sekali. Bentuk Tuhan disini maksudnya hanyalah berupa pantulan cahaya-Nya, bukan berupa bentuk jati diri-Nya Yang asli. Sebab, Allah Ta`ala Mahasuci dari menyerupai makhluk-Nya dalam hal berbentuk, bermateri, dan berkarakteristik jasmani. Dan hal ini hanyalah ber-laku pada Alam Sifat, bukan pada Alam Eksistensi yang semua perantara akan hangus terbakar dan menjadi lenyap jika memandang-Nya. Rasulullah saw bersabda,

عَرَفْتُ رَبِّى بِرَبِّى

"Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku." [57]

Maksudnya, dengan Cahaya Tuhanku.

Hakikat manusia selalu menuju cahaya tersebut, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala di dalam hadits Qudsi,

الا نسان سرى وأنا سره

"Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku adalah Rahasianya," [58]

dan disebut dalam sabda Nabi saw,

أَنَا مِنَ اللَّهِ ، وَالْمُؤْمِنُونَ مِنِّي

"Aku dari Allah Ta`ala, dan orang-orang Mukmin adalah dariku." [59]

Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

خلقت مهمدأ من نور وجهى

"Aku menciptakan Muhammad dari cahaya wajah-Ku." [60]

Yang dimaksud dengan wajah disini adalah Eksistensi Yang Suci Yang Tersingkap dalam Sifat Kasih Sayang-Nya, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala dalam hadits Qudsi,

إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي

"Rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku." [61]

Allah Ta`ala berfirman kepada Nabi-Nya,

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَٰلَمِينَ

"Kami mengutusmu hanyalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam."1` (QS. al-Anbiya` [21]: 107)

قَدْ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٌ وَكِتَٰبٌ مُّبِينٌ

"Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan," (QS. al-Ma`idah [5]: 15)

dan berfirman dalam hadits Qudsi,

لولا ك لما خلقت الأ فلا ك

"Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena engkau, Aku tidak men­ciptakan orbit-orbit."[62]

10. Tirai Kegelapan dan Tirai Cahaya

الفصل العاشر فى بيان حجب الظلمانية والنورانية

Allah Ta`ala berfirman,

وَمَن كَانَ فِى هَٰذِهِۦٓ أَعْمَىٰ فَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ أَعْمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِيلًا

 

"Orang yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar." (QS. al-Isra` [17]: 72)

Maksudnya adalah orang yang buta mata hatinya, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى ٱلْأَبْصَٰرُ وَلَٰكِن تَعْمَى ٱلْقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ

"Sesung­guhnya bukanlah mata yang buta, tetapi hati yang ada di dalam dada: (QS. al-Hajj [22]: 46)

Kebutaan mata hati seseorang disebabkan oleh gelapnya tirai, lalai, dan alpa, yang disebabkan oleh jauhnya dia dari perjanjian suci antara dia dengan Tuhannya. Kelalaian disebabkan oleh ketidaktahuan akan hakikat perintah Ilahi, sedangkan ketidaktahuan itu bersumber dari berkuasanya sifat-sifat kegelapan pada diri seseorang, seperti kesombongan, dendam, iri, pelit, ujub, ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), mengadu domba, dusta, dan sifat-sifat tercela lainnya yang menyebabkan diri orang yang memilikinya menjadi turun ke derajat yang paling rendah.

Sifat-sifat tercela itu dapat dihilangkan melalui pembersihan cermin hati dengan tauhid, ilmu pengetahuan, amal perbuatan, dan kesungguhan yang maksimal, baik secara batiniah maupun lahiriah, demi didapatkannya kehidupan hati berkat cahaya Nama­nama dan Sifat-sifat Allah, sehingga ia selalu ingat dan rindu ke­pada negeri asalnya, lalu pulang dan tiba ke sana berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Penyayang.

Jika tirai-tirai kegelapan itu sudah hilang dari seseorang se­hingga yang tersisa hanyalah tirai-tirai yang terang, maka orang tersebut akan mampu melihat dengan mata roh dan hatinya men­jadi bersinar oleh cahaya Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, yang pada akhirnya tirai-tirai yang terang itu sendiri secara perlahan-lahan akan hilang juga, digantikan oleh cahaya Eksistensi Allah.

Ketahuilah bahwa hati itu memiliki dua mata: mata kecil dan mata besar; mata kecil mampu menyaksikan pengungkapan sifat-sifat Allah dengan cahaya Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya sampai batas alam surga yang bertingkat-tingkat, sedangkan mata besar mampu menyaksikan pengungkapan cahaya-cahaya Eksistensi Allah di Alam Ketuhanan, yaitu kedekatan dengan Allah berkat cahaya tauhid Keesaan Transenden. Sampainya seseorang ke Alam Ketuhanan ini sangat ditentukan oleh kadar keterputusan-nya dari sifat-sifat kemanusiaan.

Pengertian persatuan seorang hamba dengan Allah bukanlah seperti bersatunya raga dengan raga yang lain, atau bersatunya ilmu pengetahuan dengan pengetahuan, atau bersatunya akal pikiran dengan pikiran, atau pun bersatunya ilusi dengan bayang-an, melainkan keterputusan hamba tersebut dari selain-Nya lalu bersatu dengan-Nya. Mahasuci Allah Pemilik hikmah yang amat agung.

Maka beruntunglah orang yang telah meraih makna persatuan tersebut di dunia ini dan selalu mengoreksi dirinya sebelum di-koreksi orang lain. Sedangkan orang yang tidak demikian akan menghadapi berbagai siksaan kelak di hari akhirat, mulai dari dalam kubur, saat berbangkit, saat perhitungan, saat penimbangan, saat melewati jembatan Shiratal Mustaqim, dan saat-saat lainnya.

11. Kebahagiaan dan Kesengsaraan

الفصل الحادى عشر فى بيان السعادة والشقاوة

Ketahuilah bahwa manusia tidak akan terlepas dari kedua fenomena ini (kebahagiaan dan kesengsaraan); begitu juga, keduanya akan didapati pada diri seseorang.

Jika kebaikan dan keikhlasan seseorang lebih dominan pada dirinya, maka kesengsaraan yang dideritanya akan berubah men­jadi kebahagiaan—artinya, sisi psikologisnya akan berubah menjadi sisi spiritualitas—, adapun jika dia memperturutkan hawa nafsu, justru kebalikannyalah yang bakal terjadi.

Jika kedua sisi itu seimbang pada diri seseorang, maka dia me­miliki harapan dan kebaikan, sebab Allah Ta`ala berfirman,

 

مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Orang yang melakukan perbuatan baik, baginya pahala sepuluh kali lipat perbuatannya," (QS. al-An`am [6]: 160)

sehingga timbangan kebahagiaannya menjadi bertambah berat. Orang ini di akhirat kelak akan langsung dimasukkan ke dalam surga tanpa melewati proses perhitungan terlebih dahulu. Sebab, perubahan sisi psikologis men­jadi sisi spiritualitas itu terjadi secara total, tidak perlu timbangan. Begitu juga sebaliknya, akan langsung masuk neraka tanpa me­lalui perhitungan.

Orang yang kebaikannya lebih banyak dari pada kejahatannya akan langsung masuk surga tanpa merasakan azab sama sekali. Allah Ta`ala berfirman,

فَهُوَ فِى عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ  فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَٰزِينُهُۥ

"Dan orang yang berat timbangan kebaik­annya, dia berada dalam kehidupan yang memuaskan." (QS. al-Qari`ah [101]: 6-7)

Sedangkan orang yang lebih banyak kejelekannya ketimbang kebaikannya akan disiksa di dalam neraka sekadar kesalahannya, lalu dikeluarkan dari neraka jika dia memiliki iman, dan dimasukkan ke dalam surga.

Kebahagiaan dan kesengsaraan yang kami maksudkan adalah eksistensi kebaikan dan kejelekan yang senantiasa datang dan pergi silih berganti pada diri seseorang, sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah saw,

الشقى قد يسعد والسعيد قد يشقى

"Orang yang bahagia terkadang sengsara; sebaliknya, orang yang sengsara terkadang bahagia."[63]

Jika kebaikan-kebaikannya lebih dominan, jadilah ia orang yang bahagia. Sebaliknya, jika yang lebih dominan itu adalah kejelekan-kejelekannya, maka ia adalah orang yang sengsara. Namun jika ia bertobat dan beramal shaleh, niscaya Allah Ta`ala akan mengubah kesengsaraannya menjadi kebahagiaan. Adapun orang yang telah ditakdirkan bahagia atau pun sengsara oleh Allah Ta`ala pada zaman Azali, maka orang itu akan menjalani hidupnya sesuai dengan takdir tersebut, sebagaimana Rasulullah saw bersabda,  "Orang yang bahagia itu adalah orang yang ditakdirkan bahagia ketika masih berada di dalam perut ibunya, dan orang yang orang yang ditakdirkan sengsara ketika masih berada di dalam perut ibunya." [64]

Cuma saja takdir ini tidak boleh dibahas karena ia ter­masuk kepada rahasia takdir yang tidak seorang pun boleh berdalih dengannya.

Pengarang Tafsir al-Bukhari mengatakan, "Sungguh banyak rahasia yang bisa diketahui namun tidak boleh dijadikan alasan untuk berdalih, misalnya rahasia takdir. Sungguh Iblis telah men­jadikan takdir ini sebagai dalih dari kesalahannya, sehingga ia dikutuk karenanya, sedangkan Adam as mengaitkan maksiatnya kepada diri sendiri, sehingga ia pun beruntung dan disayang.

Diriwayatkan bahwa seorang arif bermunajat kepada Allah Ta`ala dengan mengatakan, "Wahai Tuhanku, Engkaulah Yang Menetapkan takdir, Engkaulah Yang Berkehendak, dan Engkau­lah Yang Menciptakan maksiat pada diriku." Tiba-tiba, terdengar bisikan yang berbunyi, "Wahai hamba-Ku, semua itu adalah urusan-Ku, lalu bagaimanakah dengan urusanmu?" Orang arif itu menjawab, "Urusanku adalah mengatakan bahwa aku telah bersalah, aku telah berdosa, dan aku telah menzalimi diriku sendiri." Bisikan itu terdengar lagi, "Aku ampuni kesalahan-kesalahanmu, Aku maafkan dosa-dosamu, dan Aku sayangi kamu."

Orang-orang Sufi mentakwilkan kata `ibu` yang terdapat di dalam hadits di atas dengan gabungan unsur-unsur yang kekuatan-kekuatan manusiawi berasal dari situ. Menurut mereka, tanah dan air adalah manifestasi kebahagiaan, karena keduanya adalah tempat hidup dan tumbuhnya ilmu, iman, dan perasaan tawadhu` yang ada di dalam hati. Sebaliknya, api dan udara adalah mani­festasi kesengsaraan, karena keduanya membakar dan mematikan. Mahasuci Allah Yang telah menyatukan unsur-unsur yang saling kontradiksi ini pada satu tubuh, seperti Dia menyatukan air dengan api, dan cahaya dengan kegelapaan di awan. Allah Ta`ala ber­firman,

هُوَ ٱلَّذِى يُرِيكُمُ ٱلْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ ٱلسَّحَابَ ٱلثِّقَالَ

"Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung." (QS. ar-Ra`d [13]: 12)

Ketika Yahya ibn Mu`adz ar-Razi ditanya orang, "Dengan apa kita mengenal Allah?" Dia menjawab, "Dengan melihat bahwa Dia telah menyatukan hal-hal yang bertentangan."

Karena itu, manusia adalah cetakan dari Ummul Kitab, cermin Tuhan dalam hal keindahan dan keagungan, dan himpunan alam semesta. Manusia disebut sebagai kaun jami` (alam semesta yang komprehensif) dan `alam kubra (alam yang paling besar), karena Allah menciptakannya dengan kedua Tangan-Nya, yaitu dengan sifat ke-Mahaperkasaan dan ke-Mahalembutan-Nya. Sebab, se­bagai cermin ia harus memiliki dua sisi, yaitu sisi padat atau tebal dan sisi halus atau lembut. Dengan demikian, manusia berbeda dengan ciptaan-ciptaan lain yang diciptakan dengan satu Tangan (satu Sifat).

Makhluk yang diciptakan dengan Sifat Kelembutan saja adalah malaikat. Mereka adalah manifestasi dari istilah as-Subbuh (Ke­sucian) dan al-Quddus (Kekudusan) saja.

Makhluk yang diciptakan dengan Sifat Keperkasaan saja ada­lah Iblis dan keturunannya; mereka adalah manifestasi dari istilah Keperkasaan. Oleh sebab itu, mereka merasa enggan dan sombong untuk bersujud kepada Adam as.

Karena manusia menghimpun karakteristik semua ciptaan, baik yang luhur maupun yang rendah, maka para nabi pun tidak terlepas dari kesalahan. Para nabi, setelah menerima kenabian dan risalah, memang ma`shum (terpelihara) dari dosa-dosa besar, namun tidak terpelihara dari dosa-dosa kecil. Sedangkan para wali bukan­lah orang-orang yang ma`shum seperti nabi-nabi. Ada yang berpen-dapat bahwa para wali mahfuzh (terjaga) dari dosa-dosa besar se­telah kewalian mereka sempurna.

Asy-Syaqiq al-Balkhi r.a mengatakan, "Tanda kebahagiaan ada lima: lembutnya hati, banyaknya tangisan, zuhud terhadap dunia, pendeknya angan-angan, dan tingginya rasa malu. Tanda kesengsaraan ada lima juga: kerasnya hati, keringnya mata, cinta kepada dunia, panjangnya angan-angan, dan rendahnya rasa malu."

Rasulullah saw bersabda,

علا مة السعيد أربعة إذا ائتمن عد ل وإذا عاهد و فى و إذا تكلم صدق و إذا خاصم لم يشتم و علا مة الشقى أربعة إذا ائتمن خان وإذا عاهد أخلف و إذا تكلم كذ ب وإذا خاصم شتم ولا يعفو عن زلة إخوا نه

"Tanda orang yang bahagia ada empat: jika dipercaya dia amanah, jika berjanji dia menepati, jika berbicara dia jujur, dan jika merasa kesal dia tidak mencaci. Tanda orang yang sengsara ada empat: jika dipercaya dia khianat, jika berjanji dia mungkir, jika berbicara dia berdusta, dan jika dia me­rasa kesal dia mencaci dan tidak mau memaafkan."[65]

 Allah Ta`ala berfirman,

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ

"Orang yang memaafkan dan berbuat baik, maka pa-halanya atas tanggungan Allah" (QS. asy-Syura [42]: 40)

Ketahuilah, perubahan kesengsaraan menjadi kebahagiaan atau sebaliknya hanyalah terjadi berkat pendidikan. Rasulullah saw bersabda,

وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

"Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci/ Islam). Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi."[66]

Hadits ini menunjukkan bahwa setiap orang berpotensi untuk menerima kebahagiaan dan kesengsaraan. Dengan demikian, kita tidak boleh mengatakan bahwa si anu benar-benar bahagia dari sananya atau benar-benar sengsara dari sananya, tetapi kita harus mengatakan bahwa si anu itu bahagia lantaran kebaikan-kebaikannya mengalahkan kejelekan-kejelekannya, begitu juga sebalik­nya. Barangsiapa yang mengubah rumusan ini telah sesat karena dengan demikian berarti ia meyakini bahwa ada orang yang masuk surga tanpa beramal shaleh dan bertobat, atau ada yang masuk neraka tanpa melakukan maksiat, yang jelas-jelas bertentangan dengan nash-nash agama. Allah Ta`ala telah menjanjikan surga bagi orang-orang yang melakukan kebaikan, dan neraka bagi or­ang-orang yang melakukan kemaksiatan, kemusyrikan, dan kekufuran. Allah Ta`ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

"Orang yang mengerjakan amal shaleh maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan orang yang berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya sendiri," (QS. Al jatsiyah [45]- 15)

ٱلْيَوْمَ تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ  لَا ظُلْمَ ٱلْيَوْمَ

Tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya tidak ada yang dirugikan pada hari ini," (QS. Ghafir [40]: 17)

وَأَنَّ سَعْيَهُۥ سَوْفَ يُرَىٰ  وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya," (QS. an-Najm [53]: 39-40)

dan

وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ

"Dan kebaikan yang kalian usahakan untuk diri kalian sendiri pasti akan kalian dapatkan pahalanya di sisi Allah." (QS. al-Baqarah [2]:110)

12. Orang-orang Faqir

الفصل الثانى عشر فى الفقراء ولماذا سموا صوفية

 

Sejumlah sufi mengatakan, "Mereka disebut sufi karena memakai shuf (pakaian dari bulu binatang)." Yang lain mengatakan, " karena mereka melakukan tashfiyah (penjernihan) terhadap hati mereka dari segala sesuatu selain Allah Ta`ala." Yang lain mengata­kan”…karena mereka berdiri pada hari Kiamat pada shaff (barisan) pertama yaitu di alam al-qurbah (kedekatan) dengan Allah Ta`ala. Sebab alam itu ada empat macam: Alam Kerajaan Lahmah, Lam Kethanan Batiniah, Alam Tuhan Yang Mahakuasa, dan Alam Ketuhanan, yaitu Alam Hakikat.

Ilmu ada empat macam: ilmu syari`at, ilmu tarekat, ilmu ma nfet, dan ilmu hakikat.

Arwah ada empat macam: ruh jasmani, ruh rawwani sairani, ruh sulthani, dan ruh qudusi.

Penyingkapan diri Tuhan ada empat macam: penyingkapan akibat-akibat Perbuatan Allah, penyingkapan Perbuatan-perbuatan Allah, penyingkapan Sifat-sifat Allah, dan penyingkapan Eksistensi Allah.

Dan akal pun ada empat macam: akal tempat mencari nafkah, akal tempat kembali, akal zamani, dan akal universal.

Manusia terikat dengan hal-hal yang menjadi ganti bagi ke­empat poin tersebut, yaitu ilmu-ilmu yang empat, arwah-arwah, penyingkapan-penyingkapan diri Tuhan, dan akal yang empat macam. Sebagian mereka terikat dengan semua bagian yang per­tama: yaitu dengan ilmu yang pertama (ilmu syari`at), roh yang pertama (ruh jasmani), dan akal yang pertama (akal tempat men­cari nafkah), di surga yang pertama, yaitu Surga Ma`wa. Sebagian yang lain terikat dengan semua bagian yang kedua di surga yang kedua yaitu Surga Na`im, dan sebagian yang lain terikat dengan semua bagian yang ketiga di surga yang ketiga yaitu Surga Firdaus. Ada juga yang lalai dari hakikat masalah ini.

Orang-orang yang merupakan ahlul Haq (kaum Allah) dari kalangan orang-orang faqir (yang melakukan peniadaan diri dalam Allah) lagi arif melaksanakan semua bagian itu untuk menuju ke arah kedekatan dengan Allah Ta`ala dan tidak terikat dengan apa pun selain-Nya. Mereka mengikuti firman Allah Ta`ala yang berbunyi,

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ

"Maka segeralah kembali kepada Allah." (QS. adz-Dzariyat [51]: 50).

Rasulullah saw bersabda,

الد نياوالآخرة حراما على أهل الله

"Keduanya (dunia dan akhirat) adalah haram bagi kaum Allah." [67]

Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi, "

محبتى محبة الفقراء

Cinta-Ku adalah Cinta kepada orang-orang faqir." [68]

Rasulullah saw bersabda,

الْفَقْرُ فَخْرِي

"Kefaqiran adalah kebanggaanku."[69]

Yang dimaksud dengan kefaqiran adalah peniadaan diri dalam Allah, tidak tersisa sesuatu pun pada dirinya untuk dirinya, dan tidak ada di hatinya selain Allah dan cinta kepada-Nya. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

يسعنى أرضى ولا سمأ ئىبل يسعنى قلب عبد ى المؤ من

"Bumi dan langit-Ku tidak cukup luas untuk-Ku. Yang cukup luas untuk-Ku adalah hati hamba-Ku yang beriman." [70]

Maksudnya, Mukmin yang jernih hati­nya dari sifat-sifat kemanusiaan, kosong dari segala selain Allah, sehingga hatinya cukup luas untuk Allah Sang Mahabenar.

Abu Yazid al-Busthami ra mengatakan, "Jika `Arasy Ilahi beserta isinya dilemparkan ke salah satu pojok hati orang yang me­ngenal Allah, sungguh ia tidak akan merasakannya. Barangsiapa yang mencintai para pecinta Allah itu akan bersama mereka nanti di akhirat, dan bukti cinta kepada mereka itu adalah dengan me­rasa senang menemani mereka, serta merasa rindu kepada Allah dan perjumpaan dengan-Nya. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

طال شوق الا برار إلى لقا ئى و إنى لأ شد شو قا إليهم و أما لبا سهم

`Sungguh sangat dalam kerinduan orang-orang yang shaleh dan bertakwa kepada perjumpaan dengan-Ku, tapi kerinduan-Ku kepada mereka jauh lebih dalam.`[71]

Pakaian mereka ada tiga macam: bulu biri-biri bagi para pemula, bulu kambing bagi tingkat pertengahan, dan bulu halus kambing, yaitu wol persegi, bagi tingkat atas tinggi.

Pengarang Tafsir al-Majma` mengatakan, "Orang-orang yang zuhud pantas dengan pakaian, makanan, dan minuman yang keras, karena mereka berada pada tingkat pemula. Sedangkan orang-orang yang mengenal dan bersatu dengan Allah pantas dengan yang lembut dari semua itu."

Amal perbuatan wali pemula masih diwarnai oleh perbuatan yang tercela (disamping perbuatan-perbuatan baik, tentunya), sedangkan amal perbuatan wali pada tingkat pertengahan hanya diwarnai oleh warna-warna yang terpuji seperti cahaya syari`at, tarekat, dan ma`rifat, sehingga pakaian mereka pun berwarna, seperti putih, biru, dan hijau. Adapun amal perbuatan wali pada tingkat tinggi bersih dari warna apapun laksana cahaya matahari yang tidak menerima warna, sehingga pakaian mereka pun me­miliki warna yang tidak menerima warna, seperti warna hitam yang merupakan tanda kefana`an dalam Allah dan kerudung cahaya ma`rifat mereka, sebagaimana malam adalah kerudung bagi cahaya matahari. Allah Ta`ala berfirman,

يُغْشِى ٱلَّيْلَ ٱلنَّهَارَ

"Dia menutupkan malam kepada siang." (QS. al-A`raf [7]: 54),

dan

وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ لِبَاسًا

"Dan kami jadikan malam sebagai pakaian." (QS. An-Naba` [78]: 10).

Dalam ayat-ayat itu terkandung isyarat yang sangat halus bagi orang yang memiliki relung hati (nurani).

Selain itu, orang-orang yang dekat dengan Allah, di dunia ini mereka seperti di dalam penjara, terasing, gelisah, murung, sukar, dan gelap. Rasulullah saw bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ

"Dunia ini adalah ibarat pen­jara bagi orang yang beriman." [72]

Pakaian yang cocok dikenakan dalam kondisi gelap adalah pakaian yang berwarna gelap. Disebutkan dalam hadits Shahih bahwa Nabi saw memakai pakaian dan sorban berwarna hitam.

Inilah pakaian belasungkawa bagi orang-orang yang terkena musibah oleh cahaya kapabilitas untuk menerima penyaksian, pe­nyingkapan, dan pengalaman dengan Allah, juga oleh matinya kehidupan yang abadi, seperti rindu dan cinta yang bergelora kepada Allah, didatangi Roh Yang suci, serta mencapai tingkatan dekat dan bersatu dengan Allah. Semua itu merupakan musibah yang paling besar, sehingga wali yang tertimpanya harus memakai pakaian belasungkawa seumur hidupnya, karena dia kehilangan kesenangan ukhrawi. Perempuan yang ditinggal mati suaminya diperintah oleh Allah Ta`ala untuk memakai pakaian belasungkawa selama empat bulan sepuluh hari, karena dia kehilangan ke­senangan duniawi dengan kematiannya. Karena itu, masa bela­sungkawa atas hilangnya kesenangan ukhrawi tidak ada akhirnya. Rasulullah saw bersabda,  "Manusia yang paling besar kesusahan-nya adalah para nabi, lalu orang-orang yang serupa dengan mereka, lalu orang-orang yang paling serupa dengan orang-orang itu."[73]

Rasulullah saw bersabda juga,

الْمُخْلِصُونَ عَلَى خَطَرٍ عَظِيمٍ

"Orang-orang yang ikhlas berada dalam bahaya yang sangat besar."[74]

Hadits-hadits di atas adalah deskripsi tentang kefaqiran dan ketiadaan diri di dalam Allah. Seorang sahabat mengatakan,

الْفَقْرُ سَوَادُ الْوَجْهِ فِي الدَّارَيْنِ

"Ke­faqiran adalah hitamnya wajah di dua Tempat Tinggal." [75]

Artinya, dia tidak menerima warna selain cahaya Wajah Allah Ta`ala. Warna hitam itu adalah ibarat sesuatu yang kosong ditempelkan ke wajah yang amat tampan dan cantik sehingga ketampanan dan kecantikannya bertambah. Jika orang yang dekat dengan Allah memandang Wajah-Nya, maka cahaya mata mereka tidak akan mampu me­nerima segala selain Allah Ta`ala; tidak akan memandang SWT dengan perasaan cinta kepada segala selain Allah; Kekasih dan Tujuan mereka di kedua Tempat Tinggal tersebut hanyalah Allah Ta`ala; dan mereka tidak akan menuju kepada selain Allah Ta`ala, karena Dia menciptakan manusia untuk mengenal-Nya dan ber­satu dengan-Nya.

Dengan demikian, manusia wajib mengusahakan "tujuan" penciptaan dirinya di dua Tempat Tinggal tersebut, supaya dia tidak menyia-nyiakan umurnya atas hal yang tidak penting, dan tidak akan menyesal karena telah menyia-nyiakan umurnya.

13. Kesucian

الفصل الثالث عشر فى بيان الطهارة

Kesucian ada dua macam: kesucian zahir dan kesucian batin. Kesucian zahir diperoleh dengan air syari`at, sedangkan kesucian batin didapatkan dengan air tobat, talqin, penjernihan hati, dan menempuh jalan spiritual.

Jika wudhu` syari`at batal oleh sebab keluarnya najis, maka ia wajib diulang kembali. Rasulullah saw bersabda,

من جدد الو ضوء جدد الله

"Barangsiapa yang memperbarui wudhu`nya akan diperbarui imannya oleh Allah Ta`ala."  [76]

jika wudhu` batin yang batal oleh sebab perbuatan-perbuatan yang tercela dan akhlak-akhlak yang rendah, seperti sombong, dendam, iri, ujub, membicarakan kejelekan orang lain, dusta, dan khianat, yaitu seperti khianatnya mata, kedua tangan, kaki, dan telinga, sebagaimana disebut dalam sabda oleh Rasulullah saw,

الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ

"Kedua mata dan telinga dapat berzina," [77]

maka memperbarui-nya adalah dengan mengikhlaskan taubah (beranjak dari dosa-dosa besar kepada kepatuhan) dari perbuatan-perbuatan yang merusak itu dan memperbarui al-inabah (kembali kepada Allah dengan meninggalkan apa pun selain-Nya) dengan cara menyesal, memohon pengampunan, dan menyibukkan diri dalam upaya mengeluarkan perbuatan-perbuatan dosa itu dari dalam batin.

Orang yang mengenal Allah harus menjaga tobatnya dari penyakit-penyakit tersebut demi kesempurnaan pertaliannya dengan Allah Ta`ala. Allah Ta`ala berfirman,

هَٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ

"Inilah yang dijanji­kan kepada setiap hamba yang selalu kembali kepada Allah dan memelihara semua peraturan-Nya." (QS. Qaf [50]: 32)

Wudhu` dan shalat zahir seseorang bersifat temporal, sedang­kan wudhu` dan shalat batinnya bersifat kontinu sepanjang hari, siang maupun malam.

14. Shalat Syari`at dan Shalat Tarekat

الفصل الرابع عشر فى بيان صلاة الشر يعة والطريقة

Shalat syari `at adalah shalat yang dilakukan dengan menggunakan seluruh anggota tubuh lahir dengan melakukan gerakan-gerakan tubuh seperti berdiri, ruku", sujud, duduk, dan lain-lain.

Allah Ta`ala berfirman,

حَٰفِظُوا عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ

"Peliharalah oleh kalian semua shalat." (QS. al-Baqarah [2]: 238)

Adapun yang dimaksud dengan shalat tarekat adalah shalat hati yang kontinu. Allah Ta`ala berfirman,

وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ

"Dan peliharalah shalat Wustha" (QS. al-Baqarah [2]: 238).

Yang dimaksud dengan "shalat Wustha" di sini adalah shalat hati, karena hati diciptakan di tengah-tengah raga, di antara sisi kiri dan sisi kanan, di antara sisi atas dan sisi bawah, dan di antara kebahagiaan dan kesengsaraan, sebagai­mana disabdakan oleh Rasulullah saw,

إن قلوب بنى آدم بين إصبعين من أصابع الرحمن يقلبها كيف يشاء

"Hati Bani Adam itu berada di antara dua jari dari jari-jari Tuhan Yang Maha Rahman; Dia membalik-balikkannya sekehendak-Nya." [78]

`Dua jari Tuhan` di sini maksudnya adalah dua sifat-Nya, yaitu Sifat Keperkasaan dan Sifat Kelembutan, karena Allah Ta`ala suci dari memiliki jari-jari.

Berdasarkan kepada ayat dan hadits tersebut, dapat disimpulkan bahwa shalat hati memegang peranan terpenting yang jika seseorang lalai dalam shalat ini, maka rusaklah kedua shalatnya, yaitu shalat hati dan shalat anggota tubuh. Rasulullah saw ber­sabda

لا صلاة إلا بجضور القلب

"Tidak sah shalat kecuali dengan hadirnya hati."[79]

Sebab, shalat merupakan percakapan seseorang dengan Tuhannya, sedangkan tempat percakapan itu adalah hati. Jika hatinya lalai, batallah shalatnya, dan terhapuslah shalat anggota tubuhnya. Hati adalah asal, sedang anggota tubuh lain adalah pengikutnya. Nabi saw bersabda,

إن فى جسد ابن آدم لمضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسد ت فسد الجسد كله ألاو هى القلب

"Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging yang jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati." [80]

Shalat syari`at bersifat temporal, yaitu lima kali sehari semalam, sunnah dilaksanakan di mesjid secara berjamaah, menghadap ke Ka`bah, mengikuti imam, dan dilakukan dengan penuh keikhlasan, tanpa sok pamer ataupun mencari kehormatan. Sedangkan shalat tarekat abadi sepanjang umur, masjidnya adalah hati, jemaahnya adalah himpunan semua daya batin, menyibukkan diri dalam mengucapkan nama-nama tauhid dengan lidah batin, imamnya adalah kerinduan relung hati, kiblatnya adalah al-hadhrah al-ahadiyyah (Kehadiran Keesaan Transenden) dan jamal ash-shamadiyyah (Keindahan Ke-Mahamandiri-an Abadi), dan itulah Kiblat Hakikat. Shalat ini senantiasa dilaksanakan oleh hati dan roh, sebab ia tidak mati dan tidak tidur. Dia sibuk dengan kehidup­an hatinya, baik pada saat tertidur maupun terjaga, tanpa suara, tanpa berdiri, dan tanpa duduk. Dia diperintah untuk mengikuti Nabi Muhammad saw oleh firman Allah Ta`ala yang berbunyi,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkau­lah kami mohon pertolongan." (QS. al-Fatihah [1]: 5)

Pengarang tafsir Al-Qadhi mengatakan, "Di dalam ayat ter­sebut terdapat isyarat tentang keadaan spiritual orang yang me­ngenal Allah dan perpindahannya dari keadaan spiritual ketidak-hadiran menuju keadaan spiritual kehadiran, sehingga ia berhak mendapatkan perintah seperti itu. Rasulullah saw bersabda, `Para nabi dan wali melaksanakan shalat di dalam kubur mereka seperti di dalam rumah.`" Artinya, mereka sibuk dengan Allah dan ber-cakap-cakap dengan-Nya demi hidupnya hati mereka. Jika shalat syari`at seseorang berhimpun dengan shalat tarekat, baik secara zahir maupun batin, maka sempurnalah shalat orang itu. Artinya, shalatnya menjadi sempurna dan imbalannya pun amat besar` yaitu kedekatan dengan Allah bagi spiritualitasnya, dan surga yang bertingkat-tingkat bagi tubuhnya, sehingga ia akan menjadi seorang hamba Tuhan secara zahir dan seorang `arif (orang yang mengenal Allah) secara batin. Adapun bila shalat tarekat ini tidak diperoleh dengan hidupnya hati, maka shalat orang itu tidak sem­purna dan balasannya hanyalah sekadar surga yang bertingkat-tingkat, bukan kedekatan dengan Allah."

15. Kesucian Ma`rifat di Alam Abstrak

الفصل الخامس عشر فى بيان طهارة المعرفة فى عالم التجريد

Kesucian ma`rifat ada dua macam: kesucian ma`rifat Sifat dan ke-sucian ma`rifat Eksistensi Kesucian ma`rifat Sifat hanya diperoleh melalui. talqin dan penfernihan cermin hati dengan Nama-nama Allah dan ego-ego manusiawi dan hewani, sehingga hati tersebut menjadi suci dan mampu memandang cahaya Allah melalui mata hatinya dan mampu memandang pantulan keindahan Allah di cermin hatinya melalui Cahaya Sifat-sifat-Nya. Rasulullah saw bersabda,

المؤ من ينظرؤبنور الله تعالى

“Seorang Mukmin memandang dengan Cahaya Allah," [81]

dan,

القلب مرآة المؤمن

"Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya." [82]

Seorang sufi mengatakan, "Seorang alim mengukir, sedangkan seorang arif menggosok."

Jika penjernihan hati itu telah sempurna dengan cara menyi-bukkan lidah hati dengan mengucapkan Nama-nama Allah, maka diperolehlah ma`rifat Sifat-sifat Allah melalui penyaksian di dalam cermin hati.

Sedangkan kesucian ma`rifat Eksistensi di dalam relung kesa­daran yang paling dalam hanya dapat diraih dengan menyibukkan lidah hati dengan mengucapkan Tiga Nama Tauhid Terakhir dari Dua Belas Nama Allah melalui Cahaya Tauhid. Jika Cahaya-cahaya Eksistensi mengungkapkan diri, maka cahaya-cahaya yang lain melarut dan meniada secara total. Itulah maqam al-istihlak (kedudukan spiritual kehancuran) dan maqam fana`al-fana (kedudukan spiritual meniadanya ketiadaan dalam Allah). Pengungkapan diri itu menghapus semua cahaya. Allah Ta`ala berfirman,

كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ

"Segala se­suatu pasti binasa, kecuali Allah." (QS. al-Qashash [28]: 88).

Maka, abadilah Roh Qudusi dengan cahaya kesucian dalam keadaan memandang-Nya, memandang dengan-Nya, dari-Nya, bersama-Nya, dan menunjukkan-Nya tanpa kuaktas dan keserupaan, karena Allah Ta`ala,

لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya." (QS. asy-Syura [42]: 11).

Maka, abadilah Cahaya Absolut Murni, dan tidak dapat dikatakan lebih daripada itu, karena ia adalah alam keterhapusan, sehingga tidak ada akal apa pun yang dapat menceritakannya, dan tidak terdapat di dalamnya selain Allah Ta`ala. Rasulullah saw bersabda,

لِي مَعَ اللَّهِ وَقْتٌ لَا يَسَعُ فِيهِ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ

"Aku memiliki waktu bersama Al­lah yang tidak disertai oelh orang lain, baik oleh malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun nabi utusan-Nya."[83]

Itulah Alam at-tajrid (penarikan diri sepenuhnya) dari selain Allah Ta`ala. Dia berfirman dalam hadits Qudsi,

تجرد تصل إلى و المراد

"Tariklah dirimu, pasti engkau bersatu."

Yang dimaksud dengan penarikan diri ada­lah peniadaan total semua sifat kemanusiaan, sehingga dia abadi di alamnya tersifati oleh Sifat Allah Ta`ala. Rasulullah saw ber­sabda,

تخلقو ابأ خلاق الله

"Berakhlaklah kalian dengan Akhlak Allah." [84]

Maksudnya, ambillah Sifat-sifat Allah.

16. Zakat Syari`at dan Zakat Tarekat

الفصل الساد س عشر فى بيان زكاة الشريعة والطريقة

Zakat syari`at adalah memberikan sebagian hasil usaha dunia kepada orang-orang yang berhak menerimanya pada waktu-waktu tertentu setahun sekali dengan takaran tertentu. Sedangkan zakat tarekat adalah memberikan seluruh hasil usaha akhirat di jalan Allah kepada orang-orang miskin agama dan akhirat.

Zakat syari`at di dalam Al-Qur`an disebut shadaqah. Allah Ta`ala berfirman,

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ

"Sesungguhnya shadaqat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin." (QS. at-Taubah [9]: 60)

la disebut shadaqah karena shadaqah itu akan sampai ke tangan Allah Ta`ala (maksudnya, diterima oleh Allah) sebelum sampai ke tangan orang-orang miskin.

Zakat tarekat itu abadi, yaitu seseorang memberikan pahala usaha akhiratnya, seperti pahala salat, zakat, puasa, haji, tasbih, tahlil, membaca Al-Qur`an, kedermawanan, dan kebaikan-kebaikan lain, kepada para pelaku maksiat demi keridhaan Allah Ta`ala, agar dengannya Dia mengampuni dosa-dosa mereka, sehingga pahala kebaikan-kebaikannya itu tidak tersisa sedikit pun untuk dirinya sendiri dan dia menjadi bangkrut, karena Allah mencintai kederma­wanan dan kebangkrutan. Rasulullah saw bersabda,

المفلس فى امان الله تعالى فى الدارين

"Orang yang bangkrut berada dalam naungan keamanan Allah di dua Tempat Tinggal."[85]

Seorang hamba sahaya beserta apapun yang ada padanya adalah milik Tuannya. Oleh sebab itu, pada hari Kiamat kelak, Allah Ta`ala akan melipatgandakan baginya sepuluh kali lipat untuk tiap-tiap kebaikan yang dilakukannya. Allah Ta`ala berfirman,

مَن جَآءَ بِٱلْحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Orang yang melakukan kebaikan, baginya balasan sepuluh kali lipat kebaikannya." (QS. al-An`am [6]: 160)

Dari sisi lain, zakat berarti membersikan hati dari sifat ego. Allah Ta`ala berfirman,

مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَٰعِفَهۥ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

"Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik kepada Allah, maka Allah akan menggandakan pembayaran kepadanya berlipat-lipat kali." (QS. al-Baqarah [2]: 245)

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

Sesungguhnya telah beruntung orang yang menyucikan (jiwa)nya. (al-Syams [91]: 9).

 

 Yang dimaksud dengan memberi pinjaman adalah memberikan semua kebaikan yang dimilikinya di jalan Allah sebagai kebaikan kepada ciptaan-Nya demi Wajah-Nya Yang Mahamulia dan Belas Kasih-Nya, tanpa menyebut-nyebut pemberian itu, sebagaimana diterang-kan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya,

لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي

"Janganlah kalian menghilangkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerimanya." (QS. al-Baqarah [2]: 264),

dan tanpa mengharapkan gantinya di dunia. Itulah yang termasuk dalam bagian nafkah di jalan Allah Ta`ala,

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

"Kalian tidak akan sampai kepada kebaktian yang sempurna sebelum kalian menaf-kahkan sebagian harta yang kalian cintai." (QS. Ali `Imran [3]: 92)

di jalan Allah Ta`ala.

17. Puasa Syari`at dan Puasa Tarekat

الفصل السابع عشر فى بيان صوم الشر يعة والطريقة

Puasa syari`at adalah menahan diri dari berbagai makanan dan minuman, serta bersanggama dengan istri pada siang hari. Sedang­kan puasa tarekat adalah menahan semua anggota tubuh dari berbagai pantangan, larangan, dan perbuatan tercela, seperti ujub, sombong, kikir, dan lain-lain, baik zahir maupun batin, karena semuanya membatalkan puasa tarekat.

Puasa syari`at seseorang bersifat temporal, sedangkan puasa tarekat bersifat abadi sepanjang umurnya. Rasulullah saw ber­sabda,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

"Betapa banyak orang berpuasa namun tidak mendapatkan balasan apa-apa dari puasanya selain dari rasa lapar." [86]

Seorang ulama mengatakan, "Banyak sekali orang yang berpuasa namun sebenarnya ia tidak berpuasa, dan banyak juga orang yang tidak berpuasa namun sebenarnya ia berpuasa." Maksudnya, orang itu menahan semua anggota tubuh dari dosa-dosa dan menyakiti orang lain. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

الصِّيَامَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

"Puasa itu untuk-ku dan Aku yang akan membalasnya," [87]

dan berkata SAW,

للصائم فر حتان فرحة عند الافطا روفرحة عند رؤ يته رزقنا  الله تعالى بفضله و كرمه

"Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan. Kegembiraan pada saat berbuka dan kegembiraan pada saat melihat keindahan-Ku."[88]

Kalau ulama-ulama syari`at mengatakan, "Yang dimaksud dengan berbuka puasa itu adalah makan pada saat matahari tenggelam, dan yang dimaksud dengan ru`yah (melihat) adalah melihat bulan pada malam `Id (hari raya)," maka ulama-ulama tarekat berkata, yang dimaksud dengan berbuka puasa itu adalah makan makanan-makanan surga tatkala memasukinya dan gembira pada saat pada saat berjumpa dengan Allah pada hari Kiamat, me-mandang wajah-Nya secara nyata dengan pandangan relung ke-sadaran yang paling dalam.

Adapun pengertian puasa hakikat adalah menahan relung hati dari mencintai selain Allah Ta`ala dan menahan relung kesadaran yang paling dalam dari mencintai penyaksian selain Allah. Allah Ta`ala berfirman dalam hadits Qudsi,

الانسان سرى وأنا سره

"Manusia adalah Rahasia-Ku yang paling dalam dan Aku adalah relung kesadaran-nya yang paling dalam." [89]

Relung kesadaran yang paling dalam itu berasal dari Cahaya Allah, sehingga ia tidak tertarik kepada selain Allah Ta`ala, tidak mempunyai kekasih, kesukaan, dan tujuan di dunia dan akhirat selain-Nya. Jika di relung kesadaran yang pal­ing dalam seseorang tumbuh cinta kepada selain Allah, rusaklah puasa hakikatnya dan dia harus mengganti puasanya, yaitu dengan kembali kepada Allah dan perjumpaan dengan-Nya. Balasan bagi puasa hakikat ini adalah perjumpaan dengan Allah di akhirat.

18. Haji Syari`at dan Haji Tarekat

الفصل الثامن عشر فى بيان حج الشر يعة و الطريقة

Haji ada dua macam: haji syari`at dan haji tarekat.

Haji syari`at adalah mengunjungi Baituilah dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya, sampai pahala haji itu didapatkan.

Jika syarat-syaratnya tidak sempurna, maka pahalanya pun menjadi demikian, sebab Allah Ta`ala memerintahkan kita untuk menyempurnakan haji tersebut melalui firman-Nya,

وَأَتِمُّوأٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ

"Dan sempurna-kanlah oleh kalian haji dan umrah karena Allah." (QS. al-Baqarah [2]: 196)

Diantara syarat-syarat haji adalah berihram terlebih dulu, lalu masuk ke kota Makkah, melaksanakan thawaf Qudum (kedatangan), wuquf di Arafah, wuquf di Muzdalifah, menyembelih hewan korban di Mina, masuk ke Masjidil Haram, thawaf di Ka`bah sebanyak tujuh putaran, meminum air Zamzam, shalat sunat dua rakaat di Maqam Ibrahim as, kemudian bertahallul. Imbalan haji ini adalah terbebas dari Neraka Jahim dan selamat dari kekerasan. Allah Ta`ala berfirman,

وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنًا

"Orang yang memasukinya (Baitullah), la menjadi aman." (QS. Ali `Imran [3]: 97).

Setelah itu, thawaf Shudur (kepulangan), lalu pulang ke tanah airnya.

Sedangkan haji tarekat, bekal pertama kalinya adalah pergi kepada wali yang dapat memberikan talqin untuk mendapatkan talqin tersebut darinya, lalu melanggengkan lisan dengan dzikir La ilaha Ilallah, memperhatikan makna dzikir itu sendiri agar hati menjadi hidup untuknya, lalu menyibukkan diri dengan dzikir batin supaya batin-nya menjadi jernih, sehingga nurani muncul dengan Cahaya-cahaya Sifat, sebagaimana Allah Ta`ala telah memerintahkan nabi Ibrahim as dan Ismail as untuk menyucikan Ka`bah. Allah Ta`ala berfirman,

طَهِّرَا بَيْتِىَ لِلطَّآ ئِفِينَ

"...`Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf." (QS. al-Baqarah [2]: 125)

Jikalau penyucian Ka`bah zahir adalah untuk makhluk-makhluk yang akan berthawaf di sekelilingnya, maka penyucian Ka`bah batin adalah untuk memandang Sang Pencipta melalui asketisme penyucian hati dari segala selain-Nya, lalu berihram dengan cahaya Roh Qudus, masuk ke dalam Ka`bah hati , thawaf Qudum dengan melanggengkan Nama Kedua di dalam lisan hati, lalu pergi ke Arafat hati, yaitu tempat ber-munajat (percakapan intim antara Allah dan manusia), wuquf di sana dengan melanggengkan Nama Nama Ketiga dan Keempat di sana, lalu pergi ke Muzdalifah relung kesadaran, menghimpun Nama Kelima dan Keenam, lalu pergi ke Mina relung kesadaran yang paling dalam, yang terletak di antara dua tempat suci, lalu wuquf di tengah-tengahnya.

Kemudian menyembelih an-nafs al-muthma`innah (jiwa yang tenang) dengan melanggengkan Nama Ketujuh, karena ia adalah nama peniadaan diri dalam Allah dan penghapus tirai kekafiran, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw,

الكفروالا يمان مقامان من وراء العرش وهما حجابانبين العبد وربه عز شأنه احد هما أ سود والآ خرأ بيض

"Kekafiran dan keimanan adalah dua kedudukan spiritual di belakang `Arasy Ilahi; Keduanya adalah tirai antara hamba dengan Allah. Yang pertama berwarna hitam, yang kedua berwarna putih." [90]

Setelah itu, mencukur rambut roh dari sifat-sifat kemanusiaan dengan melang­gengkan Nama Kedelapan, lalu masuk ke Masjidilharam-nya relung kesadaran yang paling dalam dengan melanggengkan Nama Kesembilan, lalu beri`tikaf di permadani kedekatan dan kenyamanan bersama Allah dengan melekatkan Nama Kesepuluh, lalu melihat keindahan Ke-Mahamandirian Abadi tanpa kayfa (bagaimana) dan penyerupaan, lalu thawaf tujuh putaran dengan melanggeng­kan Nama Kesebelas berserta Enam Nama Cabang, lalu minum dari Tangan Kekuasaan Ilahi, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala,

وَسَقَىٰهُمْ رَبُّهُمْ شَرَابًا طَهُورًا

"Dan Tuhan memberikan mereka minuman yang bersih." (QS. al-Insan [76]: 21)

dengan mangkuk Nama Kedua Belas, dan mengangkat wajah yang abadi dan suci, sehingga ia melihat-Nya melalui Cahaya-Nya.

Itulah makna firman Allah Ta`ala dalam hadits Qudsi,

مالا عين رأت

"Sesuatu yang tak terlihat mata,"

yaitu perjumpaan dengan Allah Ta`ala,

ولا أذن سمعت

"Dan tak terdengar telinga,"

yaitu kata-kata Allah Ta`ala tanpa perantaraan huruf-huruf dan suara,

وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

"Dan tak terlintas dalam hati manusia,"

yaitu cita rasa atau pengalaman spiritual langsung me-lihat dan berbicara dengan Allah.

Lalu, bertahallul dari hal-hal yang diharamkan Allah dengan mengganti berbagai kejelekan dengan kebaikan-kebaikan dan mengulang-ulang Nama Tauhid. Allah Ta`ala berfirman,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal shaleh. Maka, kejelekan mereka akan diganti oleh Allah dengan kebaikan." (QS. al-Furqan [25]: 70)

Kemudian, membebaskan diri dari tindakan-tindakan psikologis, merasa aman dari ketakutan dan kecemasan. Allah Ta`ala berfirman,

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak merasakan kecemasan dan tidak pula bersedih hati." (QS. Yunus [10]: 62)

semoga Allah menganugerahi kita semua hal tersebut—dengan keutamaan dan kemurahan-Nya. Kemudian, thawaf Wada` dengan mengulang-ulang semua Nama Allah, dan pulang ke negeri asal di alam yang suci dalam bentuk yang paling baik dengan melanggengkan Nama Kedua Belas yang berkaitan dengan Alam Keyakinan.

Penakwilan ini semuanya masih termasuk di dalam wilayah bahasa lisan dan masih dapat diterima oleh akal. Sedangkan pe­nakwilan yang lebih jauh tidak mungkin diceritakan, karena tidak dapat ditangkap oleh pemahaman dan pikiran, dan tidak tertampung oleh khawathir (pikiran-pikiran yang masuk). Rasulullah saw bersabda,

إن من العلوم كهيئة المكنون لايعلمهاإلا العلماء بالله فاذانطقوا بها أنكره أهل العزة فالعارف يقول ماد ونه والعالم

"Ada ilmu yang bentuknya tersembunyi, hanya diketahui oleh orang-orang yang mengetahui Allah Ta`ala. Jika mereka mengucapkannya, orang-orang yang lalai saja yang akan menentangnya."

Orang arif menyampaikan penakwilan yang lebih rendah, sedangkan orang alim menyampaikan yang lebih tinggi, sebab ilmu pengetahuan orang arif adalah relung kesadaran Allah yang paling dalam yang tidak diketahui oleh selain Allah Ta`ala. Dia berfirman,

وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ

"Mereka tidak meliputi apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya." (QS. al-Baqarah [2]: 255)

yaitu para nabi dan para wali—sebagaimana dijelaskan oleh-Nya,

وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى

"Dia mengetahui relung kesadaran yang paling dalam dan yang lebih rahasia. Dialah Allah, tiada Tuhan melainkan Dia. Dia memiliki Asma` al-Husna." (QS. Thaha [20]: 7-8)

19. Ekstase dan Kejernihan

الفصل التاسع عشر فى بيان الو جد والصفاء

Ekstase adalah kekhusyu`an roh pada saat melihat rahasia Tuhan, ataupun ketidakmampuan roh untuk menanggung tekanan kerinduan ketika dia mendapati manisnya iman. Allah Ta`ala berfirman

جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ

"Kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan gemetar karenanya (Al-Qur`an), kemudian kulit dan hati mereka menjadi tenang karena mengingat Allah." (QS. az-Zumar [39]: 23).

Allah Ta`ala berfirman juga,

أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدْرَهُۥ لِلْإِسْلَٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِۦ  فَوَيْلٌ لِّلْقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ ٱللَّهِ

"Apakah orang yang hatinya dilapangkan oleh Allah untuk menerima agama Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Tuhan, sama dengan orang yang keras hatinya? Kecelakaan yang sangat besarlah bagi orang yang keras hatinya untuk mengingat Allah " (QS. az-Zumar [39]: 22).

Rasulullah saw bersabda,

جذ بة من جذ بات الحق توا زن عمل الثقلين

"Satu tarikan saja dari tarikan-tarikan Tuhan sebanding dengan dua buah angkutan berat."` [91]

`Ali ibn Abi Thalib, karramallahu wajhah, mengatakan, "Orang yang tidak merasakan ekstase tidak memiliki agama."

Al-Junaid al-Baghdadi ra. Mengatakan Ekstase di dalam pertemuan batin dengan Allah adalah limpahan pengetahuan yang mewariskan perasaan gembira dan sedih."

Ekstase terdiri dari dua macam: ekstase jasmani-nafsani (ragawi-psikologis) dan ekstase ruhani-rahmani  (spintual-penuh berkah).

Ekstase jasmani-nafsanl (ragawi-psikologis) dialami melalui daya jasmaniah tanpa didukung oleh daya tarik spiritual yang dominan, seperti perasaan riya` dan ingin penghormatan dan populer. Ekstase seperti ini adalah batil, karena ikhtiar jasmaniah orang yang bersangkutan masih dominan dan tidak hilang, se­hingga ekstase ini tidak bisa diterima.

Sedangkan ekstase ruhani-rahmani (spiritual-penuh berkah) didapatkan melalui kekuatan tarikan Ilahi, yaitu melalui seperti pembacaan Al-Qur`an dengan suara yang bagus, pembacaan sya`ir-sya`ir yang indah dan dzikir-dzikir yang berkesan, sehingga kekuatan dan ikhtiar jasmaniah sudah tidak ada lagi. Oleh sebab ekstase ini adalah bersifat spiritual dan penuh berkah, maka ekstase seperti itu layak untuk diterima. Inilah yang dimaksud oleh firman Allah Ta`ala yang berbunyi,

ٱلَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ ٱلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُۥٓ   فَبَشِّرْ عِبَادِ

"Sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan-perkataan, lalu mengikuti yang paling baik." (QS. az-Zumar [39]: 17-18).

Begitu juga dzikir-dzikir para pecinta Allah, kicauan-kicauan burung-burung, serta melodi tembang-tembang; semua itu merupakan kekuatan bagi roh, sebab tidak ada tempat bagi nafsu dan setan untuk merasukinya. Setan hanya mampu berkuasa di dalam kegelapan psikologis, tidak di dalam ke terang-benderangan spiritualitas, karena ia larut di sana seperti larutnya garam di dalam air. Ini juga lah yang dimaksud oleh Nabi saw di dalam sabdanya yang me-ngatakan bahwa pembacaan ayat-ayat, sya`ir-sya`ir hikmah, sya`ir-sya`ir cinta, dan ungkapan-ungkapan keharuan merupakan ke­kuatan yang penuh cahaya bagi roh. Adalah mesti mempertautkan cahaya dengan cahaya, yaitu roh, seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta`ala,

ٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ

"Laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik." (QS. an-Nur [24]: 26)

Adapun jika ekstase itu bersifat kesetanan dan kenafsuan, maka ia tidak bercahaya, malahan gelap dan penuh kekufuran. Kegelapan adalah untuk sesuatu yang gelap juga, yaitu perasaan riya`, se­perti disebut dalam firman Allah Ta`ala,

ٱلْخَبِيثَٰتُ لِلْخَبِيثِينَ

"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji," (QS. an-Nur [24]: 26)

sedang­kan roh tidak memiliki kekuatan sama sekali dalam ekstase seperti ini.

Gerakan-gerakan ekstase ada dua macam: ikhtiariyyah (bebas) dan idhthirariyyah (terpaksa).

Gerakan-gerakan ekstase bebas adalah seperti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh orang yang berbadan sehat. Gerakan-gerakan ini tidak disyari`atkan oleh agama, sebagaimana telah dijelaskan. Adapun gerakan-gerakan ekstasi terpaksa, adalah gerakan-gerakan yang terjadi karena sebab yang lain, seperti kekuatan roh yang tidak dapat ditolak oleh jiwa. Sebab, gerakan-gerakan ini mengalahkan gerakan jasmani, seperti orang yang menderita demam panas, dimana jika demamnya itu terlalu tinggi, jiwanya menjadi tidak sanggup menanggungnya, sehingga hilanglah ikhtiar jiwa­nya ketika itu.

Dengan demikian, jika ekstase didominasi oleh gerakan-gerak­an spiritualitas, maka ia akan menjadi ekstase hakiki yang penuh kasih.

Ekstase dan mendengar adalah alat yang menggerakkan apa yang ada di dalam hati para pecinta Allah dan orang-orang yang mengenal-Nya. Dan ekstase itu adalah makanan bagi para pecinta Allah dan penguat lahir batin bagi para pencari-Nya.

Dikatakan bahwa mendengar itu adalah wajib bagi sebagian orang, sunnah bagi yang lain, dan bid`ah bagi yang lain lagi. Ia adalah wajib bagi orang-orang khusus, sunnah bagi para pecinta Allah, dan bid`ah bagi orang-orang yang lalai. Karena itulah burung-burung hinggap di atas kepala Dawud as untuk mendengarkan suaranya saat beliau membaca Kitab Zabur.

Gerakan ekstase ada sepuluh dimensi-. sebagian sangat jelas dan kelihatan pengaruhnya pada gerakan-gerakan, sedangkan sebagian yang lain samar-samar dan kelihatan pengaruhnya pada tubuh, seperti tertariknya hati untuk mengingat Allah dan membaca Al-Qur`an dengan suara yang baik.7 Diantara dimensi itu adalah me-nangis, berduka, takut, sedih, menyesal, terkesima saat mengingat Allah, menarik diri sepenuhnya dari selain Allah, dan terjadinya perubahan lahir dan batin. Diantaranya lagi adalah mencari Allah, merindukan-Nya, dan merasa akrab dengan-Nya.

20. Persemedian Spiritual

الفصل العشرون فى بيان الخلو ة والعزلة

Persemedian spiritual ada dua macam yaitu persemedian zahir dan persemedian bathin. Persemedian zahir adalah pengasingan diri seseorang dari orang lam agar orang lain tersebut tidak tersakiti oleh akhlak tercelanya, memaksa jiwanya sendiri untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya, dan mengurung panca indra lahirnya serta membuka panca indra batinnya seluas-luasnya. Persemedian zahir ini harus dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah Ta`ala dan menolak kejahatan-kejahatan dirinya terhadap orang-orang lain.  Rasulullah saw bersabda,

المسلم من سلم المسلمون من يده ولسانه و كف لسانه عمالا يعنيه

"Orang Muslim adalah orang yang tidak menyaikiti kaum Muslim dengan lidah maupun tangannya. [92]

Persemedian zahir dilakukan juga dengan cara menahan lidah dan ucapan-ucapan yang tidak berarti. Rasulullah saw bersabda,

سلامة الانسان من قبل اللسان وملا مة الا نسان من قبل اللسان و كف عينيه عن الخيانة والنظر إلى الحرام و كذا كف ر جليه وأذنيه

"Keselamatan seseorang disebabkan oleh lidahnya." [93]

Juga dengan menahan kedua mata dari berkhianat dan memandang yang di-haramkan, menahan kedua telinga, tangan, dan kakinya dari apa saja yang diharamkan.

Rasulullah saw bersabda,

الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ

"Kedua mata bisa berzina."[94]

Dari setiap zina anggota-anggota tubuh seseorang, akan lahir anak yang bentuknya sangat jelek yang akan menemaninya pada hari Kiamat, memberi kesaksian di sisi Allah Ta`ala atas kelakuannya, dan menuntunnya ke dalam azab neraka. Jika ia bertobat dari zina tersebut, lalu menahan dirinya—sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta`ala,

فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ   وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ

"Dan orang-orang yang menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya." (QS. an-Nazi`at [79]: 40-41 )

maka anak yang bentuknya sangat jelek itu akan berubah menjadi pemuda tampan yang akan menuntun­nya ke dalam surga, sehingga dia pun selamat dari kejahatannya. Dengan demikian, seolah-olah persemedian itu membentengi diri seseorang dari melakukan perbuatan-perbuatan maksiat, sehingga ia hanya melakukan amal-amal shaleh, dan menjadi orang yang berbuat baik. Allah Ta`ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ

"Sesungguhnya Allah tidak menyia-myiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. at-Taubah [9]: 120),

إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

"Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik." (QS. al-A`raf [7]: 56),

dan,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا

"Orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, hendaknya dia mengerjakan amal yang shaleh." (QS. al-Kahfi [18}: 110)

Sedangkan persemedian batin adalah pengawasan terhadap hati agar tidak dimasuki oleh pikiran-pikiran kenafsuan yang dikuasai oleh setan, seperti berlebihan dalam menyukai makanan, minuman, istri dan anak. Termasuk juga cinta berlebihan kepada binatang, riya`, dan mencari kehormatan dan kepopuleran. Rasulullah saw bersabda,

الشهرة آفة وكل يتمنا ها. و الخمول راحة وكل يتوقا ها

"Kepopuleran adalah penyakit, tapi mengapa semua orang menginginkannya, sedangkan ketidakpopuleran adalah nyaman, tapi mengapa semua orang menghindari darinya." [95]

Dan juga menjaga hati agar tidak dimasuki kesombongan, ujub, kekikiran, dan sifat-sifat tercela lainnya, atas dasar keinginan sendiri.

Jika sifat-sifat tercela tersebut masuk ke dalam hati orang yang sedang melakukan persemedian spiritual, maka rusaklah perseme­dian dan hatinya, sehingga rusaklah kebaikan-kebaikan dan amal-amal shaleh yang ada di dalamnya dan hatinya menjadi sia-sia, sebagaimana Allah Ta`ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ سَيُبْطِلُهُۥٓ  إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُصْلِحُ عَمَلَ ٱلْمُفْسِدِينَ

"Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Yunus [10]: 81).

Maka, siapa pun yang memiliki sifat-sifat yang merusak ter­sebut, akan termasuk kepada orang-orang yang berbuat kerusak­an, meskipun pada zahirnya ia terlihat seorang orang yang shaleh. Rasulullah saw bersabda,

السكبر والعجب يفسد ان الايمان

"Marah (yang tak karuan) itu akan merusak iman bagaikan cuka merusak madu,"[96]

الحسدَ يأكلُ الحسناتِ كما تأكلُ النَّارُ الحطبَ

"Dengki itu akan memakan perbuatan-perbuatan baik seperti api memakan kayu bakar," [97]

الْغَيْبَةُ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا

"Ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) itu lebih berbahaya daripada zina,[98]

الفتنة نا ئمة لعن الله أيقظها

"Fitnah itu adalah ibarat seseorang yang sedang tidur;  Allah mengutuk orang yang membangunkan-nya,"[99]

البخيل لا يد خل الجنة ولو كان عابدا

"Orang yang kikir tidak akan masuk surga, meskipun ia seorang yang banyak beribadah dan zuhud," [100]

الر ياء شرك خفى وشركه كفر

"Riya` adalah syirik yang samar,"[101]

sedangkan meninggalkannya adalah adalah kaffarah, dan Rasulullah saw bersabda juga,

لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نمام

"Pengadu domba tidak akan masuk surga," [102]

serta hadits-hadits lain yang sangat banyak tentang akhlak yang tercela. Itulah tempat untuk berhati-hati.

Tujuan awal dari tasawuf adalah penjernihan hati dari akhlak yang tercela tersebut dan mencabut hawa nafsu dari akarnya me­lalui persemedian, pelatihan spiritual, renungan, melanggengkan dzikir dengan penuh ikhlas, cinta, tobat, dilandasi aqidah yang benar, mentauladani Rasulullah, para sahabat, serta para tabi`in dan ulama-ulama salaf yang shaleh. Nah, jika seorang Mukmin telah melakukan persemedian yang memenuhi kriteria di atas, maka Allah Ta`ala akan menjernihkan amal perbuatannya, menyinari hatinya, melembutkan kulitnya, menyucikan lidahnya, menghimpunkan indra-indra zahir dan batinnya, mengangkat amal per­buatannya ke hadapan-Nya, dan mendengarkan doa-doanya.

Nabi saw bersabda,

سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَه

"Pendengaran Allah adalah bagi orang yang memuji-Nya." [103]

Yakni, Dia akan menerima doa, pujian, dan peng-aduan orang tersebut, serta memberikan ganti kepadanya berupa kedekatan dengan-Nya dan surga yang bertingkat-tingkat. Allah Ta`ala berfirman,

إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّٰلِحُ يَرْفَعُهُۥ

"Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan-Nya." (QS. Fathir [35]: 10)

Yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang baik itu adalah bahwa ia menjaga lidahnya dari perkataan yang sia-sia, setelah menjadikannya sebagai alat untuk mengingat Allah dan bertauhid kepada-Nya, sebagaimana disebut dalam firman-Nya,

وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ   ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَٰشِعُونَ   قَدْ أَفْلَحَ ٱلْمُؤْمِنُونَ

"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu` dalam shalat dan menjauhkan diri dari senda gurau," (QS. al-Mu`minun [23]: 1-3)

sehingga Allah mengangkat ilmu, amal, dan orang yang memilikinya kepada kedekatan dengan-Nya, dan kepada rahmat serta surga-Nya yang bertingkat-tingkat berkat ampunan dan keridhaan-Nya.

Jika kedudukan-kedudukan spiritual telah dicapai oleh orang yang melakukan persemedian, maka hatinya menjadi bagaikan lautan yang tidak tercemari oleh perbuatan menyakiti orang lain. Rasulullah saw bersabda,  "Jadilah Anda lautan yang tidak akan tercemar; ia tidak akan tercemar oleh bangkai-bangkai yang masuk ke dalamnya."

Dengan demikian, perahu syari`at dapat berlayar dengan aman di atasnya, roh yang suci mampu menyelam hingga ke palungnya, sampai menemukan permata hakikat, mengeluarkan mutiara pengetahuan dan marjan esensi-esensi lembut yang terpendam, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala

يَخْرُجُ مِنْهُمَا ٱللُّؤْلُؤُ وَٱلْمَرْجَانُ

"Dari keduanya keluarlah mutiara dan marjan." (QS. ar-Rahman [55]:22)

Lautan yang dimaksud tidaklah akan bisa diraih melainkan dengan jalan menyatukan lautan zahir dan batin, sehingga ke-rusakan-kerusakan hati akan terkikis habis darinya, tobat akan ditenma, amal-amal shaleh akan bermanfaat, dan tidak ada lagi unsure kesengajaan untuk melakukan perbuatan-perbuatan ter-larang. Kalau sudah begitu, kealpaan dan kelupaan akan terampuni dengan meminta ampun kepada-Nya dan menyesalinya, Insya Allah.

21. Wirid-wirid Persemedian Spiritual

الفصل الحادى والعشرون فى بيان آوراد الخلو تى

Orang yang sedang melakukan persemedian spiritual harus ber­puasa jika mampu, shalat lima waktu tepat pada waktunya secara berjemaah di masjid tanpa mengabaikan segala sunah, syarat, dan rukunnya,  dan shalat Tahajud 12 raka`at pada akhir malam. Allah Ta`ala berfirman,

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِۦ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ

"Dan pada sebagian malam shalat Tahajudlah sebagai ibadah tambahanmu," (QS. al-Isra` [17]: 79)

dan,

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ

"Lambung mereka jauh dari tempat tidur." (QS. as-Sajdah [32]: 16)

Dia juga harus shalat Isyraq dua raka`at setelah matahari terbit, lalu shalat Isti`adzah dua raka`at dengan membaca al-Mu`awwidzatain (Surah al-Falaq dan an-Nas), lalu shalat Istikharah dua raka`at dengan membaca surah al-Fatihah dan ayat Kursi, masing-masing satu kali, dan surah al-Ikhlash sebanyak tujuh kali pada setiap raka`at. Lalu shalat Dhuha enam raka`at, dan shalat Kafarat al-Bawl (penebus dosa buang air kecil) dengan membaca,

إِنَّآ أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ

"Inna a`thainaka al-kautsar: Sesungguhnya Kami telah memberikanmu nikmat yang sangat banyak." (QS. al-Kautsar [108]: 1)

sebayak tujuh kali setelah Al-Fatihah pada setiap raka`at. Dengan melaku­kan shalat tersebut, berarti dia telah menebus dosa-dosa buang air kecilnya dan selamat dari azab kubur. Rasulullah saw bersabda

استنز هوا من البول فان علا مة عذاب القبر منه

"Bersucilah kalian setelah buang air kecil, sebab kebanyakan azab kubur disebabkan olehnya."[104]

Lalu, shalat Tasbih empat raka`at, pada setiap raka`at membaca al-Fatihah, satu surah, dan membaca subhanallah walhamdulillah wa la ilaha illallah wallahu akbar sebanyak lima belas kali, lalu bertakbir untuk ruku dan membaca subhanallah 10 kali dalam ruku tersebut. Kemudian bertakbir untuk i`tidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, dan sujud kedua, yang pada masing-masingnya membaca subhanallah 10 kali. Hal yang sama dilakukan pada raka`at kedua, ketiga, dan keempat. Shalat ini harus dikerjakan sekali dalam sehari semalam jika mampu, kalau tidak, sekali seminggu, atau sekali sebulan, atau sekali setahun, atau sekurang-kurangnya sekali seumur hidup. Rasulullah saw ber­sabda kepada pamannya, Abbas ra,

من صلى هذه الصلا ة غفر الله له ذنو به كلها و إن كانت اكثر من عد د الر مل و عد د النجوم التى فى السماء و عد د كل ما كن على وجه الأرض

"Barangsiapa yang melakukan shalat (Tasbih) ini, akan diampuni seluruh dosanya meskipun lebih banyak jumlahnya dari butir-butir pasir di pantai, bintang-bintang di langit, dan seluruh makhluk sekalipun."[105]

Orang yang mencari Allah harus membaca Doa Saifi sekali atau dua kali setiap hari, membaca Al-Qur`an setiap hari sekitar dua ratus ayat, banyak mengingat Allah, baik dengan suara keras jika dia termasuk (ahli al-jahr) atau pun dengan suara pelan (jika dia termasuk ahli al-khufyah). Kedudukan khufyah ini baru bisa diperoleh setelah hati hidup dan berbicara dengan lidah nurani, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala,

وَٱذْكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمْ

"Dan ingatlah Al­lah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepada kalian." (QS. al-Baqarah [2]: 198)

Kemudian, setiap harinya ia harus membaca salah satu Nama Tuhan, membaca

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ

"Qul huwallahu ahad: Katakanlah, `Dialah Allah Yang Maha Esa,`" (QS. al-Ikhlash [112]: 1)

 mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw, beristighfar dengan membaca Astaghfirulldh wa atubu ilaih (aku memohon ampun dan bertobat kepada Allah), yang masing-masingnya adalah sebanyak seratus kali. Jika mampu, ia tambahikan dengan melakukan ibadah-ibadah dan dzikir-dzikir sunat yang sudah pasti akan mendapatkan imbal­an dari Allah Ta`ala, sebagaimana difirmankan-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ ٱلْمُحْسِنِينَ

"Sesungguh­nya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." (QS. at-Taubah [9]: 120)

22. Mimpi Dan Ilham

الفصل الثانى والعشرون فى بيان الوا قعا ت فى النوم والسنة

Mimpi dan ilham yang kami maksudkan disini adalah mimpi dan ilham yang baik yang datang secara tiba-tiba kepada seorang wali, baik saat dia tertidur atau tidak, sebagaimana disebut dalam firman Allah Ta`ala,

لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ

"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya" (QS. al-Fath [48]: 27),

dan sebagaimana disebut dalam sabda Nabi saw,

لم يبق من بعد ى نبوى نبوة إلا المبشراتش يراهآلمؤمن أوترى له

"Tiada yang tersisa dari kenabian kecuali al-mubasysyirat (para pembawa berita gembira)," [106]

yang dapat dilihat oleh orang-orang yang beriman atau pun diperlihatkan Allah Ta`ala kepada mereka. Allah SWT berfirman,

لَهُمُ ٱلْبُشْرَىٰ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَفِى ٱلْءَاخِرَةِ

"Bagi mereka al-busyra (berita gembira) di dalam kehidupan di dunia dan akhirat." (QS. Yunus [10]: 64)

Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan berita gem­bira di sini adalah mimpi yang baik, sebagaimana sabda Nabi saw,

رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةٍ وَأَرْبَعِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ

"Mimpi yang baik adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian." [107]

Beliau saw juga bersabda,

من رآنى فقد رآنى حقا فان الشطان لا يتمثل بى

"Orang yang melihatku di dalam mimpinya, benar-benar akan melihatku dalam terjaga, sebab setan tidak dapat menjelmakan dirinya menjadi diriku dan menjadi pengikut-pengikutku," [108]

yakni orang-orang yang mengikutiku dengan cahaya perbuatan syari`at, tarekat, dan ma`rifat, serta dengan cahaya hakikat dan hujjah yang nyata. Allah SWT berfirman,

أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

"... aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata" (QS. Yusuf [12]: 108)

Jadi, setan tidak akan dapat menjelma dengan semua cahaya yang lembut tersebut.

Pengarang al-Mazhhar mengatakan, "Ini tidak termasuk ke­pada kekhususan Nabi Muhammad saw. Jadi, bukan hanya diri Nabi yang tidak dapat diserupakan oleh setan, melainkan juga diri orang-orang ataupun apa saja yang menjadi manifestasi dari kasih sayang, kelembutan, dan petunjuk Allah, seperti para nabi as, para wali, Ka`bah, matahari, bulan, awan putih, Al-Qur`an, dan lain-lain yang seumpamanya. Sebab, setan adalah manifestasi dari keper­kasaan yang tidak akan bisa muncul melainkan dalam bentuk yang merupakan manifestasi dari Nama Yang Maha Menyesatkan; ia tidak akan dapat muncul dalam bentuk yang menjadi manifestasi dari Nama Yang Maha Menunjuki. Ibaratnya, seorang musuh tidak akan dapat tampil persis sama dengan musuhnya karena keduanya saling bertentangan dan berjauhan. Di samping itu, Allah Ta`ala ingin memisahkan antara yang haq dengan yang batil. Allah SWT berfirman,

كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَالَ

`Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.`" (QS. ar-Ra`d [13]: 17)

Adapun penjelmaan setan kepada bentuk dan dakwaan ke­tuhanan—artinya ia menjelmakan sifat keagungan Tuhan kepada dirinya—maka hal itu bisa dilakukannya, karena, sebagaimana telah kami jelaskan di atas, setan itu adalah manifestasi dari ke­perkasaan yang bisa muncul dalam bentuk yang merupakan mani­festasi dari Nama Yang Maha Menyesatkan. Sungguh banyak penjelasan para ulama dalam masalah ini.

Firman Allah Ta`ala di atas

أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

("aku dan orang-orang yang meng­ikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata" (QS. Yusuf [12]: 108))

merupakan isyarat kepada orang-orang yang benar-benar mampu menjadi pewaris sempurna dalam menjalankan tugas suci ini, sehingga maksud sebenarnya dari ayat itu ada­lah: Bimbingan sepeninggalku akan dilakukan oleh orang-orang yang juga memiliki hujjah yang nyata seperti diriku, yaitu orang-orang yang memiliki kewalian yang sempurna, sebagaimana di-isyaratkan dalam firman-Nya,

وَلِيًّا مُّرْشِدًا

"... wali pembimbing." (QS. al-Kahfi [18]: 17)

Kemudian, ketahuilah bahwa mimpi ada dua macam: afaqi (dunia luar atau lahiriah) dan anfusi (segenap diri atau jiwa), yang masing-masing dari keduanya terbagi kepada dua bagian.

Mimpi anfusi ada dua bagian, yaitu mimpi yang mencerminkan akhlak-akhlak yang terpuji, dan mimpi yang mencerminkan akhlak-akhlak yang tercela.

Mimpi anfusi yang mencerminkan akhlak-akhlak yang terpuji adalah seperti mimpi melihat taman-taman surga dan segala ke­indahan yang ada di dalamnya, mimpi melihat bidadari-bidadari, istana-istana, anak-anak muda, dan gurun bercahaya putih, dan mimpi melihat matahari, bulan, dan bintang, dan yang lain-lain yang berkaitan dengan hati. Adapun mimpi yang mencerminkan ketenagan jiwa adalah seperti mimpi melihat hidangan makanan daging baker (daging kambing dan daging burung), sebab, di surga, orang-orang memiliki jiwa yang tenang akan disuguhi makanan ini. Begitu juga mimpi melihat hidangan makanan daging bakar dari daging sapi, unta, dan kuda. Sebab, ketiga-tiga binatang itu berasal dari surga dan diturunkan ke bumi untuk Nabi Adam as. Sapi diturunkan ke bumi adalah agar Nabi Adam bisa bercocok tanam (tanaman dunia maupun akhirat) di sana, unta adalah untuk membantu perjalanannya menuju Ka`bah (Ka`bah zahir maupun batin), sedangkan kuda adalah sebagai alat untuk berjihad, baik jihad kecil maupun besar. Semua binatang itu adalah untuk kepentingan akhirat. Di dalam hadits,

إن الغنم خلق من عسل الجنة والبقر من زعفرانها والابل من نورها والخيل من ريحانها

"Sesungguhnya kambing diciptakan dari madu surga, sapi dari kunyitnya, unta dari cahayanya, dan kuda dari wanginya."[109]

Sedangkan bighal (binatang sejenis kuda kecil) adalah salah satu binatang yang mencerminkan sifat jiwa tenang yang terendah. Oleh karena itu, orang yang bermimpi melihat binatang ini bisa dita`birkan bahwa orang itu pemalas dalam beribadah, enggan berdiri dan duduk (maksudnya enggan mengerjakan shalat), dan usahanya tidak akan menghasilkan faedah apa-apa, kecuali jika ia bertobat. Allah Ta`ala berfirman,

وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُۥ جَزَآءً ٱلْحُسْنَى وَسَنَقُولُ لَهُۥ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا

"... dan beramal shaleh, maka bagi­nya pahala yang terbaik." (QS. al-Kahfi [18]: 88)

Adapun keledai, maka binatang ini adalah berasal dari batu surga dan diturunkan ke bumi demi kepentingan Adam as beserta keturunannya di sana untuk mencari kehidupan akhirat di dunia.

Mimpi-mimpi yang mencerminkan roh yang suci adalah seperti mimpi melihat pemuda yang amat tampan yang memancarkan cahaya-cahaya Ilahi, sebab semua penduduk surga berwajah tampan seperti itu sebagaimana disebutkan oleh Nabi saw,

أهل الجنة جرد مرد مكحو لون

"Pen­duduk surga itu tidak berambut panjang, tidak berjenggot, dan bercelak mata."[110]

 Rasulullah saw juga bersabda,

رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُورَةِ شَابٍّ أَمْرَدَ

"Aku melihat Tuhan­ku dalam bentuk pemuda yang amat tampan." [111]

Sejumlah sufi me­ngatakan, "Dalam hal ini Allah Ta`ala menampakkan diri-Nya di atas cermin roh dalam bentuk sifat ketuhanan, dan itulah yang mereka sebut sebagai `anak makna-makna` yang menjadi peme­lihara raga dan perantaranya dengan Tuhan." Amirul Mukminin, `Ali ibn Abi Thalib mengatakan, "Kalau bukan karena Allah, Tuhan Yang Maha Pemelihara, aku tidak akan mengenal Tuhanku." Pemelihara di sini maksudnya adalah pemelihara batin. Pemeliharaan batin ini baru bisa didapat dengan jalan talqin melalui pendidikan yang diberikan seorang wali pendidik yang benar-benar matang kewaliannya.

Imam al-Ghazali ra mengatakan, "Tuhan dapat dilihat dalam mimpi dalam bentuk yang indah yang bersifat ukhrawiah, bukan dalam bentuk Hakikat Eksistensial, karena Allah Ta`ala Mahasuci dari bentuk, atau pun Mahasuci Eksistensi-Nya dari terlihat oleh selain-Nya.”[112]

 Hal ini adalah karena melihat-Nya dalam bentuk demikian adalah ibarat melihat makhluk-makhluk ciptaan-Nya, tinggal lagi kadar kesiapan mental dan spiritual orang yang melihatnya serta tingkat kedekatannya dengan Allah Ta`ala saat melihatnya. Begitu juga halnya dengan melihat Nabi Muhammad saw dalam mimpi, dimana, berdasarkan analogi ini, beliau dapat terlihat dalam berbagai bentuk, sesuai juga dengan kadar kesiapan mental dan spiritual serta tingkat kedekatan orang yang melihat­nya dengan Allah Ta`ala. Sedangkan melihat hakikat diri Nabi itu sendiri, maka tidak seorang pun yang bisa kecuali orang-orang yang sempurna ilmu, amal, jiwa, dan hujjahnya, baik zahir maupun batin.

Di dalam Syarah al-Muslim diterangkan, "Berdasarkan penak-wilan tersebut, Allah Ta`ala dapat dilihat dalam bentuk manusia (dalam bentuk yang bisa ditangkap oleh panca indra manusia). Kaidah ini adalah berdasarkan penganalogian terhadap tersing-kapnya Tuhan kepada Musa as dalam bentuk api dari pohon anggur, seperti disebut dalam firman-Nya yang berbunyi,

فَقَالَ لِأَهْلِهِ ٱمْكُثُوا إِنِّى ءَانَسْتُ نَارًا لَّعَلِّى ءَاتِيكُم مِّنْهَا بِقَبَسٍ

"la berkata kepada keluarganya, `Tinggallah kalian di sini, sesungguh­nya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit darinya," (QS. Thaha [20]: 10)

juga terhadap penyingkapan sifat Kalam-Nya kepadanya, seperti disebut dalam firman-Nya,

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَٰمُوسَىٰ

"Apakah itu yang di tangan kanan-Mu, hai Musa?" (QS. Thaha [20]: 17)

Tersingkapnya salah satu sifat dari sifat-sifat Allah Ta`ala dalam bentuk manusia ini baru bisa terwujud pada diri seseorang bila-mana ia telah menjernihkan dirinya dari sifat-sifat hewani menuju sifat-sifat insani. Ini bisa dipahami dari ungkapan sejumlah wali seperti  Abu Yazid al-Busthami yang mengatakan, "Mahasuci Aku, betapa Mahaagungnya Diri-Ku," atau Al-Junaid Al-Baghdadi yang mengatakan, "Di dalam jubahku hanya ada Allah," dan lain-lain.[113]

Dalam kedudukan spiritual ini banyak esensi-esensi yang mengagumkan yang amat panjang untuk dijelaskan.

Dalam pendidikan kewalian, tidak dapat tidak, harus ada se­orang penghubung antara orang yang sedang belajar dengan Allah Ta`ala. Oleh karena itu, seorang pemula haruslah mendapatkan bimbingan yang intensif dari seorang penghubung antara dirinya dengan Allah Ta`ala, yaitu seorang wali yang pada saat itu berfungsi sebagai Nabi Muhammad saw dalam hal menghubungkan orang dengan Allah Ta`ala. Sekiranya Nabi masih hidup, tidak se­orang pun selainnya yang dibutuhkan dalam hal ini.

Allah SWT berfirman,

وَلِلَّهِ ٱلْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ

"Kekuatan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman." (QS. al-Munafiqun [63]: 8)

Adapun mengenai pendidikan roh-roh di dalam batin, maka pertama kali ruh jasmani mendidik jasad, lalu ruh rawwani men-didik hati, lalu ruh sulthani mendidik hati nurani, dan ruh suci mendidik rahasia hati nurani. Ruh sucilah merupakan perantara antara batin dengan Allah dan penerjemah-Nya kepada makhluk, karena ia adalah kaum Allah dan tanah suci-Nya.

Itulah dia mimpi anfusi yang mencerminkan akhlak-akhlak yang terpuji, sementara mimpi anfusi yang mencerminkan akhlak-akhlak tercela, baik berupa sifat ammarah (pendorong manusia pada kejahatan), lawwamah (pencela), dan mulhimah (penginspi-rasi), adalah seperti mimpi melihat binatang-binatang buas, misal-nya harimau, singa, beruang, serigala, anjing, dan babi. Begitu juga kelinci, macan, musang, kucing, ular, kalajengking, langau kerbau, dan binatang-binatang lain yang berbahaya. Semua itu mencerminkan sifat-sifat tercela yang wajib diwaspadai dan dihilangkan dari jalan spiritual roh.

Harimau mencerminkan sifat ujub, yaitu sombong kepada Allah SWT.

Singa mencerminkan sifat sombong dan angkuh kepada makhluk. Beruang mencerminkan sifat marah dan diktator terhadap orang lain yang lebih lemah. Serigala mencerminkan sifat memakan yang haram, cinta dunia, serta memaksa dan marah karena urusan dunia. Babi mencerminkan sifat dendam, dengki, dan rakus kepada syahwat.

Kelinci mencerminkan sifat khianat dan tipu daya dalam per-gaulan dunia yang rendah. Musang begitu juga, cuma dalam hal kelalaian kelinci lebih unggul.

Macan mencerminkan sifat keagungan jahiliah dan cinta ke-pemimpinan.

Kucing mencerminkan sifat kikir dan munafik.

Ular mencerminkan sifat menyakiti dengan lidah seperti men­caci, membicarakan kejelekan orang lain, dan dusta. Bisa juga mencerminkan makna permusuhan dengan manusia. Pada binatang-binatang buas ini terdapat makna-makna hakiki seperti di atas yang hanya diketahui oleh orang yang memiliki sanubari yang dalam.

Kalajengking mencerminkan sifat pengumpat, pencela, dan pengadu domba.

Langau kerbau (hornet) mencerminkan sifat menyakiti makhluk dengan lidah secara sembunyi-sembunyi.

Jika orang yang menempuh jalan spiritual bermimpi berperang melawan binatang-binatang buas, tapi tidak dapat mengalahkan-nya, maka hendaknya dia bersungguh-sungguh dalam ibadah dan zdikir, supaya dia dapat mengalahkan dan membunuhnya, atau mengubahnya ke dalam bentuk manusia. Jika dia sudah menga­lahkan dan membunuh binatang-binatang itu seluruhnya, maka itulah makna penebusan kesalahan-kesalahan sebagaimana Allah SWT mengatakan di dalam firman-Nya tentang imbalan bagi orang-orang yang bertobat,

كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّـَٔاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ

"Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka " (QS. Muhammad [47]: 2)

Jika dalam mimpinya itu dia melihat bahwa binatang-binatang itu telah berubah menjadi bentuk manusia, maka itulah makna pengubahan kesalahan-kesalahan menjadi kebaikan-kebaikan, seperti yang disebut dalam firman Allah SWT tentang orang yang benar-benar bertobat,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ

"Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan beramal shaleh. Maka kesalahan mereka diganti Allah dengan kebaikan." (QS. al-Furqan [25]: 70)

Dengan demikian, dia terbebas dan binatang-binatang itu, namun ia tetap tidak boleh lalai dari­nya. Sebab, jika jiwanya telah kuat dalam meninggalkan kekejian, maksiat, dan kelupaan, maka jiwa itu akan bisa menjadi jiwa yang tenang. Karena itu, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menghindari semua jenis larangan selama hidupnya di dunia.

Mimpi yang mencerminkan jiwa ammarah (pendorong pada kejahatan) adalah mimpi melihat orang kafir, mimpi yang men­cerminkan jiwa lawwamah (pencela) adalah mimpi melihat orang Yahudi, dan mimpi yang mencerminkan jiwa mulhimah (peng-mspirasi) adalah mimpi melihat orang Kristen dan pelaku bid`ah.

23. Kelompok-kelompok Tasawuf

الفصل الثالث والعشرون فى بيان أهل التصوف

Orang-orang Sufi (ahli tasawuf) bukanlah terdiri dari satu kelompok saja, melainkan terbagi kepada ada 12 kelompok. Kelompok pertama bernama kelompok as-Sunniyyun, yaitu kelompok orang-orang yang perbuatan serta perkataan mereka sesuai dengan syari`at dan tarekat; mereka terkenal dengan nama Ahlus Sunnah wa al-Jama`ah. Kelompok ini—Insya Allah— akan masuk semua-nya ke dalam surga, baik langsung (tanpa hisab) maupun tidak (melalui proses pengazaban terlebih dahulu). Kelompok lainnya adalah kelompok al-Hulwiyyah, al-Haliyyah, al-Awliyaiyyah, ats-Tsamrakhiyyah, al-Hubbiyyah, al-Huriyyah, al-Ibahiyyah, al-Mutakdsilah, al-Haddiyyah wa al-Mutajahilah, al-Waqifiyyah, dan kelompok al-Hdmiyyah, yang kesemuanya tergolong kepada kelom­pok orang-orang bid`ah.

Kelompok al-Hulwiyyah; mereka menyatakan bahwa menatap wajah perempuan yang cantik dan wajah pemuda yang tampan adalah halal, sebab di sana terkandung salah satu sifat Allah— yaitu sifat Jamal (indah). Mereka membolehkan menari bersama-sama, laki-laki dan perempuan, bahkan membolehkan berciuman dan berpelukan antar lain jenis. Hal ini jelas-jelas merupakan se­buah kekufuran.

Kelompok al-Haliyyah; mereka menghalalkan menari dan me-mainkan alat musik yang terlarang menurut syari`at, juga meng­klaim bahwa syaikh mereka memiliki kemampuan luar biasa yang secara syari`at tidak dapat diterima. Ini adalah bid`ah yang tidak pernah ada dalam sunnah Rasulullah saw.

Kelompok al-Awliya`iyyah; mereka berkeyakinan bahwa jika seorang hamba telah mencapai tingkatan kewalian, maka gugurlah kewajiban-kewajiban syari`at dari dirinya, bahkan seorang wali jauh lebih mulia daripada nabi. Sebab, nabi mendapatkan ilmu melalui perantaraan Jibril, sedangkan wali tidak. Keyakinan ke­lompok ini nyata-nyata sesat dan jauh dari kebenaran, dan mereka telah hancur dibinasakan oleh Allah Ta`ala oleh sebab aqidah mereka yang menyimpang tersebut.

Kelompok ats-Tsamrakhiyyah; mereka mengatakan bahwa per-sahabatan spiritual antara wali dengan muridnya bersifat azali, karenanya gugurlah perintah dan larangan syari`at. Mereka menghalalkan tamborin dan drum, serta benda-benda lain yang terlarang menurut syari`at. Anak perempuan, bagi mereka, adalah halal diperlakukan seperti layaknya seorang istri. Mereka adalah orang-orang kafir dan darah mereka halal untuk dibunuh.

Kelompok al-Hubbiyyah; mereka berpendapat bahwa jika se­orang hamba telah sampai ke derajat cinta kepada Allah Ta`ala, maka terlepaslah dia dari kewajiban-kewajiban syari`at. Mereka tidak menutup aurat sesama mereka.

Kelompok al-Huriyyah; paham mereka nyaris sama dengan kelompok al-Haliyyah, cuma saja mereka mengaku mampu bersetubuh dengan bidadari dalam keadaan-keadaan spiritual mereka. Jika mereka telah sadar, mereka segera mandi janabah. Sungguh mereka telah berdusta dan telah binasa karenanya.

Kelompok al-Ibahiyyah; kelompok ini memutar-balikkan hukum syari`at, yaitu dengan meninggalkan amar ma`ruf dan menghalal­kan apa-apa yang telah diharamkan serta menghalakan semua perempuan untuk digauli.

Kelompok al-Mutakasilah; orang-orang ini tidak mau berusaha mencari rezeki, melainkan hanya mengandalkan meminta-minta kepada orang lain. Mereka mengaku telah meninggalkan dunia, dan binasa karenanya.

Kelompok al-Mutajahilah; mereka berperilaku seperti orang-orang fasik, menyebarkan kefasikan di dalam batin mereka, dan mereka juga binasa karenanya. Allah Ta`ala berfirman,

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ

"Janganlah kalian, cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka" (QS. Hud [11]: 113).

Kelompok al-Waqifiyyah; menurut mereka, tidak ada yang me­ngetahui Allah Ta`ala melainkan diri-Nya sendiri. Oleh karenanya, mereka tidak mau berusaha untuk mendapatkan ilmu pengeta­huan, dan mereka pun binasa karenanya.

Kelompok al-Hamiyyah; mereka meninggalkan ilmu penge­tahuan, melarang pengajaran, dan hanya mengikuti para hukama` (ahli hikmah). Mereka mengklaim dan meyakini bahwa Al-Qur`an itu hanyalah sebagai tirai, sedangkan syair-syair adalah qur`an-nya ilmu tarekat, sehingga mereka meninggalkan Al-Qur`an dan mengajarkan syair-syair kepada anak-anak mereka; mereka juga meninggalkan wirid-wirid, dan binasa karena keyakinan itu. Ironisnya, mereka mengaku sebagai orang-orang Ahlus Sunnah wa al-jama`ah, padahal jauh sama sekali.

Sesungguhnya sahabat-sahabat nabi adalah orang-orang di-anugerahi tarikan-tarikan llahi oleh Allah Ta`ala akibat pertalian mereka yang amat kuat dengan Rasulullah saw. Sepeninggal mereka, tarikan-tarikan llahi ini berpindah kepada wali-wali/ulama-ulama tarekat, lalu menyebar kepada rangkaian yang sangat banyak. Namun tarikan-tarikan itu tidak lagi utuh seperti semula, melain­kan lambat laun menjadi lemah bahkan hilang sama sekali dari sebagian besar mereka, sehingga yang tersisa hanyalah formalitas-nya saja berupa sosok wali-wali yang tanpa makna. Kemudian, melalui wali-wali ini, tarikan-tarikan palsu itu berpindah ke tangan para ahli bid`ah; sebagian mereka menisbahkan diri mereka kepada Qalandar, sebagian ke Haydar, sebagian ke Idham, dan banyak lagi yang lain yang terlalu panjang untuk diuraikan.

Pada zaman sekarang ini, amat sedikit orang yang betul-betul bisa dikatakan seorang wali. Wali yang sebenarnya itu dapat dikenali melalui dua ciri, yaitu ciri-ciri zahir dan ciri-ciri batin. Ciri-ciri zahir seorang wali adalah bahwa ia benar-benar mengamalkan hukum syari`at secara keseluruhan, baik yang berupa perintah maupun larangan. Adapun ciri-ciri batinnya adalah bahwa ia berperilaku lurus seperti perilaku Nabi Muhammad saw, dan batinnya berada di antara tuntunan Allah dan tuntunan Nabi Muhammad saw. Sungguh sedikit orang yang mampu membedakan antara wali yang benar-benar wali dengan yang tidak.

24. Penutup

الفصل الرابع والعشرون فى بيان الخاتمة

Orang yang menempuh jalan spiritual haruslah berpikiran cerdas, bernurani tajam, berpandangan luas terhadap kesudahan perjalanannya, senantiasa merenung tatkala menjalaninya, dan tidak mudah tertipu oleh keadaan-keadaan spiritual yang bersifat lahiriah. Para ahli tasawuf telah sepakat bahwa orang yang sedang menempuh jalan spiritual seringkali lupa terhadap Yang Punya jalan itu sendiri. Allah Ta`ala berfirman,

فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ

"Tidak merasa aman dari tipu daya Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. al-A`raf [7]: 99)

Allah Ta`ala juga berfirman dalam hadits Qudsi,

 

يَا مُحَمَّد بشِّر المذنبين بأَنى غفور، وأَنذر الصّدّيقين بأَنى غَيُور

"Wahai Muhammad, berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa, bahwa Aku Maha Pengampun, dan peringatkanlah orang-orang yang benar bahwa Aku adalah Maha Pencemburu."[114]

Ke-karamah-an-ke-karamah-an para wali serta keadaan-keadaan spiritual mereka tidaklah aman dari tipu muslihat dan ujian, ber-beda dengan mukjizat para Nabi yang benar-benar terjamin keamanannya dari semua itu. Dikatakan bahwa orang yang berangkat dari rasa khawatir terhadap kesudahan yang buruk saat menjalani perjalanan itu, biasanya, akan terhindar dari kesudahan yang buruk tersebut karena tidak mudah terperdaya oleh tipu muslihat yang berasal dari sifat-sifat kemanusiaannya sendiri yang tanpa ia sadari bisa mengancam kegagalan perjalanannya.

Para sufi mengatakan, "Sudah biasa, dalam keadaan sehat ada rasa takut, dan dalam keadaan sakit ada pengharapan." Rasulullah saw bersabda,

لَوْ وُزِنَ خَوْفُ الْمُؤْمِنِ وَرَجَاؤُهُ

"Kalaulah ditimbang rasa takut dan harap orang beriman, niscaya keduanya pasti berimbang."[115]

Lain halnya kalau dalam keadaan sakarat, dimana pengharapan seorang Mukmin kepada Allah haruslah lebih besar daripada rasa takutnya kepada-Nya. Rasulullah saw bersabda,

لَا يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ تعالى

"Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal melainkan dalam keadaan berbaik sangka ke­pada Allah Ta`ala." (Shahih Muslim Hadist No. 2880, Musnad Ahmad bin Hanbal Hadist No. 14170, Shahih Ibnu Hibban Hadist No. 638, Musnad Abu Daud Ath Thayalisi Hadist No. 1888, Musnad Ibnu Za`id Hadist No. 2987, Hilyatul Awliya Abu Naim Isfahani No. 7235 dan Lainnya)

Maksudnya, menyadari bahwa rahmat Allah lebih didahulukan-Nya daripada murka-Nya, dan menginsafi betapa luasnya kasih sayang serta pertolongan-Nya. Dengan demikian, harapannya kepada rahmat dan kasih sayang Allah Ta`ala akan lebih besar ketimbang rasa takutnya akan keperkasaan dan ke-ganasan-Nya, sehingga ia akan mendekat kepada Allah dan dengan penuh harap memohon belas kasihan-Nya dengan hati yang tawadhu` serta manginsafi akan segala kesalahan dan dosa, agar pengharapannya itu dikabulkan oleh Allah Ta`ala Yang Mahabaik dan Penyayang, Maha Pemurah dan Mulia.

Ya Allah, wahai Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang sesat, wahai Pemberi maaf bagi orang-orang yang berdosa, ilmu-Mu penyempuna semua ucapan dan kemuliaan-Mu penyempurna semua permintaan. Ya Allah, wahai Tuhan alam semesta, berilah shalawat kepada penghulu para rasul, Nabi Muhammad saw serta keluarganya, dan semua sahabat dan pengikut setianya sampai akhir zaman.

Alhamdulillah, selesailah penulisan risalah ini berkat izin dan pertolongan Allah Ta`ala.

 

 



[1] Ad-Dailami meriwayatkannya dalam al-Firdaus, h. 4209, dan al-Barra ibn Azib ra bahwa al-Munawi dalam Faidh al-Qadir, j. 4, h. 384, mengatakan, "Para ulama itu adalah pewaris para nabi adalah karena harta warisan diterima oleh pihak yang pahng dekat dan umat yang pahng dekat dalam nasab agama adalah para ulama yang me-ninggalkan dunia dan mengusahakan akhirat. Mereka adalah pengganti para nabi bag! seluruh umat dan mereka mendapatkan dua kebaikan: yaitu ilmu pengetahuan dan amal perbuatan, serta memperoleh dua kemuhaan, yaitu kesempurnaan dan penyem-purnaan Tenduduk langit' yaitu para malaikat. Ikan-ikan paus memohon ampunan untuk mereka' karena begitu mereka memperoleh warisan dan para nabi-untuk mengajarkan manusia kebaikan dan tatacaranya, serta memerintahkan untuk me-lakukannya kepada segala sesuatu-maka Allah Ta'ala mengilham, segala sesuatu untuk memohonkan ampunan bagi mereka sebagai ganjarannya. Az-Zamkhasyri mengatakan "Hadits ini menunjukkan keutamaan ilmu dan ketinggian keduduk-annya serta kemuhaan orang-orang yang memilikinya. Dan bahwa orang yang ber-ilmu itu berarti telah mendapatkan keutamaan yang sangatbesar

 

[2] Al-Mundziri dalam at-Targhib wa at-Tarhib, J. 1, h. 101-102 mengatakan bahwa Abu Umamah ra berkata, "Rasulullah saw bersabda, 'Orang yang berilmu dan orang yang rajin beribadah dipanggil oleh Allah pada hari Kiamat. Lalu, kepada orang yang rajm beribadah dikatakan, "Masuklah ke dalam surga!' Sedangkan kepada orang yang berilmu dikatakan, 'Berdirilah dan berikan syafaat untuk orang lain."' Al-Mundziri mengatakan, "Hadits ini diriwayatkan oleh al-Ashbahani dan lain-lain." Makna hadits itu, cinta kepada para ulama dan mengikuti jejak langkah mereka merupakan salah satu sebab keberuntungan di akhirat, dimana dengan izin Allah, para ulama itu dapat memben syafaat kepada orang-orang yang mereka cintai. Wallahu Alam

 

[3] Kami tidak menemukannya dengan lafaz demikian. Al-Kattani dalam Tanzih asy-Syari'ah, j. 1, h. 337 mengatakan, "Abu Hurairah ra meriwayatkan hadits 'Allah menciptakanku dari cahaya-Nya.

[4] Pentahqiq tidak menemukan hadist ini

[5] Al Qari dalam Asrar al Marfu’ah halaman 35 mengatakan bahwa makna hadist ini adalah benar dan diambil dari Firman Allah QS Dzariyat : 56, selain itu diriwayatkan oleh Al Alusi dalam Ruh al –Ma’ani juz 27 halaman 26 yaitu Ad Dailami meriwayatkan hadist marfu dalam Al Musnad dari Anas Ra yaitu “Kekayaan orang yang beriman adalah Tuhannya

 

[6] HR. Ad Darimi dalam Sunan, At-Tibrizi dalam Misykah al Mashabih dari Hasan Al Bashri

[7] HR As Sakhawi dalam Maqashid tercantum dalam Risalah Qusyairiyah, At Tarmidzi dalam Asy-Syamail, Ibn Rawaih dalam Musnad

 

[8] HR Bukhari dari Jarir RA

 

[9] HR Muslim dari Abu Musa Al Asyari

[10] Al Israr ila Maqam al Isra karya Muhyiddin Ibn ‘Arabi

 

[11] disebutkan oleh Al Qasyani dalam Ishthilahat namun dia tidak mengisyaratkan bahwa ini adalah Sabda Nabi SAW

[12] Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan ini adalah termasuk Doa Matsur (dari Nabi)

 

[13] As Sakhawi dalam Al Maqashid, Abu Al Muzzhaffar as Sam’ani mengatakan hadist ini bukanlah hadist Nabi melainkan sekedar riwayat dari Yahya bin Muadz Ar Razi, Imam Nawawi menisbatkannya kepada Sa’id Al Kharraz

 

[14] Kami tidak menemukan hadits ini.

 

[15] Ibid

[16] Kami tidak menemukan hadits ini dengan lafaz demikian, tapi hadits ini me-miliki syahid yang diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, h. 4104, bahwa 'Ali ibn Abi Thalib berkata, "Ilmu pengetahuan batin itu adalah salah satu rahasia Allah 'Azza wa Jalla, dan salah satu hukumnya yang dilemparkan-Nya ke dalam hati para wali yang dikehendaki-Nya."

 

[17] Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya’ Ulum ad-Din, j. 4, h. 423, tanpa lafaz "tujuh puluh". Al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughni, j. 4, h. 423, "Hadits ini di-riwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam al-Uzhmah, dari hadits Abu Hurairah ra dengan lafal 'Enam puluh tahun.'" Ad-Dailami meriwayatkannya di dalam al-Firdaus, h. 70, dari Anas ra, "Berpikir sesaat tentang perubahan malum dan siang lebih baik daripada ibadah delapan puluh tahun."

 

[18] Ar Risalah Qusyairiyah,  al-Qusyairi, h. 202.

 

[19] Al Manufi menyebutnya di dalam Jamharah al Awliya, j. 1 halaman 104, al Qasyani di dalam Ishtilahat, h.73

[20] Ar Risalah Qusyairiyyah, AL Qusyairi Halaman 203

[21] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahth-nya, pasal "Zakat", bab "Diterima dan Dikembangkannya Sedekah Dari Usaha yang Baik", h. 1-15, dari Abu Hurairah. Sambungan hadits tersebut adalah sebagai berikut: Dan sesungguhnya menyuruh orang-orang beriman apa-apa yang di-suruhnya terhadap para rasul-Nya. Lalu Rasulullah saw membacakan ayat yang ber-bunyi, 'Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik-baik dan beramal shalehlah. Sesungguhnya Aku Malm Mengetahui hal-halyang kalian kerjakan.' (QS. al-Mu'minun [23]: 51) Kemudian beliau bercerita tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, berambut terurai, berdebu, menadahkan tangannya ke langit sambil berdoa: Ya Tuhan, Ya Tuhan, sementara makanan, minuman, dan pakaiannya berasal dari yang haram serta hidup dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan." lihat  Jami' al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 10, h. 565-566.

 

[22] Kalimat bagian dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam al-Jami 'ash-Shahih, pasal "Shalat", bab "Shalat Witir Tidak Wajib", hadits no. 453, dan al-Imam an-Nasal di dalam Sunan-nya, pasal "Shalat Malam", bab "Permtah Shalat Witir", j. 3, h. 228-229, dari 'Ali ibn Abi Thalib ra. Sambungan hadits tersebut adalah sebagai berikut,".... Maka, laksanakanlah shalat Witir, wahai pengikut Al-Qur'an" Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal "Doa-Doa", bab "Allah Memiliki 99 Nama", hadits no. 6047, dari Abu Hurairah ra, "Allah menhliki 99 nama, dimana orang yang menghafahiya pasti masuk surga. Allah itu ganjil dan menyukai yang ganjil." Jami’ al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 6, h. 43-44.

[23] Riwayat Bukhari no. 6410, Muslim no. 2677, At Tirmidzi dalam Al Jami Ash Shahih no. 3508

[24] Telah di Takhrij

 

[25] Kami tidak menemukan hadits ini dengan lafal demikian, namun ia dikuatkan oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir, j. 10, h. 130, dari 'Abdullah ibn Mas'ud ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Kalaulah aku mencari saha-bat, sungguh akan aku pihh Abu Bakar sebagai sahabatku. Namun, sahabat kalian adalah Khalilullah (Teman Allah, yaitu Nabi Ibrahim as), Dia turukan Al-Qur'an dalam tujuh huruf yang masing-masing ayatnya memiliki makna zahir dan batin." Ibn Hibban meriwayatkan di dalam Shahih-nya hadits Marfu' dari Ibn Mas'ud ra, "Al-Qur'an memiliki makna zahir dan batin, serta akhir dan awal."

 

[26] Kami tidak menemukan hadist ini

[27] Diriwayatkan sebagai hadits Marfu’ oleh Abu Nairn di dalam al-Hilyah,j. 5, h. 189, dari Makhul, dari Abu Ayyub al-Anshari. Al-Qari mengatakan di dalam al-Asrar al-Marfu'ah, h. 454, "Menurut Ahmad dalam az-Zuhd, hadits ini Mursal dari Makhul, dengan tambahan lafaz, yang memancar'." As-Suyuthi menyebut hadits ini di dalam al-Jami' ash-Shaghir, h. 8361. Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 11, h. 557. Al-Ghazali mengatakan di dalam Ihya' Ulum ad-Din, j. 4, h. 382, "Penjelasan yang paling memuaskan tentang keikhlasan adalah penjelasan Pemuka para rasul saw saat beliau ditanya tentang hal itu, lalu menjawab, Engkau mengatakan Tuhanku adalah Allah, lalu engkau konsekuen sebagaimana diperintahkan.' Maksudnya, tidak menyembah hawa nafsu dan dirimu, tapi hanya menyembah Tuhanmu dan konsekuen dalam me-nyembahnya sebagaimana diperintahkan. Itu adalah isyarat untuk menghilangkan segala selain Allah dari jalur pandangan, dan itulah keiklilasan."

 

[28] Hadits ini adalah potongan dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya, pasal "Budi Pekerti", bab "Nasihat dan Kehati-hatian", h. 4918, dari Abu Hurairah ra. Kelanjutan hadits tersebut adalah,Mukmin itu adalah saudara Mukmin yang lain, ia wajib menghentikan kesalahan dan menjaga nama baik saudaranya." Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 6, h. 563. As-Sahamafuri mengata­kan di dalam Badzl al-Majhul j. 19, h. 159, "Melalui cermin, manusia dapat menyak-sikan bentuknya yang ash agar dia memperbaiki apa-apa yang perlu diperbaikinya. Begitu juga dengan seorang Mukmin, dimana dia bagaikan cermin bagi Mukmin yang lain yang akan menghilangkan aib-aib orang itu dengan memberitahu dan meng-ingatkan hal itu kepadanya."

[29] Kami tidak menemukan hadits ini.

[30] Lihat at-Tafslr al-Kabir, ar-Razi, j. 7, h. 166-179. Penjelasannya sangat memuaskan.

[31] Telah di Takhrij

[32] Kami Tidak Menemukan Hadist ini

 

[33] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, pasal "Awal Pentiptaan", bab "Karakteristik Surga dan Ia Adalah Makhluk", liadits no. 3072, dan diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, pasal "Surga, Karak­teristik Kenikmatannya, dan Asalnya", hadits no. 2824, dari Abu Hurairah ra. Lafal hadits itu adalah, "Allah Ta'ala berfirman, 'Aku telah menyiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shaleh sesuatu yang tak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak terlintas di hati manusia.' Maka, jika Anda mau, bacalah, 'Seorang pun tidak mengetahui bermacam-macam nikmat yang disembunyikan untuk mereka' (QS. as-Sajdah [32]: 17)." Lhat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 10, h. 494.

[34] Ungkapan ini adalah bagian dari sebuah hadits yang nash lengkapnya adalah: Para sahabat bertanya, "Apakah jihad yang paling besar, ya Rasulullah?" Beliau saw menjawab, "Jihad yang paling besar adalah Jihad hati." Al-Ghazali menyebutkan hadits ini di dalam Ihya' Ulum ad-Din, j. 3, h. 4. Al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughni, "Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam az-Zuhd, bahwa hadits ini diriwayatkan dari hadits Jabir ra, namun seorang di antara sanadnya lemah." Al-Baihaqi juga menyebutkannya di dalam az-Zuhd al-Kabir, h. 373. As-Suyuthi menga­takan di dalam al-Jami'ash-Shaghir, h. 6107," Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan di dalam at-Tarikh, j. 13, h. 493, dari hadits Jabir ra, " Rasulullah saw datang, lalu berkata, 'Kalian pulang dengan sebaik-baiknya; Kalian pulang dari jihad yang paling kecil menuju jihad yang paling besar.' Para sahabat bertanya, 'Apakah jihad yang paling besar itu?' Rasulullah saw menjawab, 'yaitu jihad seseorang hamba melawan nafsu­nya.'" Al-Munawi mengatakan di dalam Faidh al-Qadir, j. 4, h. 511, "Kalian pulang dari jihad melawan musuh yang berada di luar diri kahan menuju jihad melawan musuh yang berada di dalam diri kahan, [yaitu jihad seorang hamba melawan nafsunya] dan ia adalah jihad yang paling besar, karena berperang melawan orang-orang kafir adalah fardhu kifayah, sedangkan jihad melawan nafsu adalah fardhu 'ain yang wajib di-lakukan seorang hamba setiap saat. Jihad yang paling besar itulah yang ditunjukkan oleh hadits ini. Ibnu Idham mengatakan, 'Jihad yang paling berat adalah melawan hawa nafsu. Orang yang berhasil menahan hawa nafsunya berarti telah terlepas dari dunia dan malapetakanya.'"

[35] Al-Ghazah menyebutkannya di dalam Ihya' Ulum ad-Din, j. 3, h. 4. Al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughni,j. 3, h. 4, "Al-Baihaqi meriwayatkannya di dalam az-Zuhd. al-Kabir, h. 343 dari hadits Ibnu 'Abbas. Di dalam sanadnya terdapat Muhammad ibn 'Abdur Rahman ibn Ghazwan, salah seorang pembuat hadits palsu." Ad-Dailami meriwayatkannya di dalam al-Firdaus, dan al-Muttaqi al-Hindi di dalam Kanz al-'Ummal, j. 4, h. 431.

[36] Ini adalah ucapan Abu Said al-Kharraz yang diriwayatkan oleh Abu 'Asakir di dalam at-Tarikh, j. 2, h. 65, tapi menurut az-Zarkasyi di dalam Luqthah al-'Ajlan, h. 155, bahwa ini adalah ucapan al-Junaid al-Baghdadi. Al-Ajluni di dalam al-Kasyf, j. 1, h. 428, mengatakan, "Perbedaan antara orang-orang abrar (shaleh dan bertakwa) dengan orang-orang muqarrabin (dekat dengan Allah): Orang-orang muqarrabin adalah orang-orang yang membuang bagian-bagian dan keinginan-keinginan dirinya, kemu-dian memfungsikannya untuk melaksanakan hak-hak Tuhan mereka guna mencari keridhaan-Nya, sedangkan orang-orang abrar adalah orang yang tetap bersama bagian-bagian dan keinginan-keinginannya yang ia pergunakan untuk melaksanakan amal-amal shaleh serta kedudukan-kedudukan spiritual yaqin agar mereka diberikan pahala atas usaha tersebut, yaitu berupa terangkatnya derajat mereka- Wallahu Alam." Lihat al-Mashna', h. 94.

 

[37] Kami tidak menemukan Hadist ini

[38] Ad-Dailami meriwayatkannya di dalam al-Firdaus h. 802, dari Abu Hurairah ra. Al-Mundziri menyebutnya di dalam at-Targhib wa at-Tarhib). 1, h. 103 dan mengata­kan, "Diriwayakan oleh 'Abdurrahman as-Salami dalam al-Arba'in fi at-Tashawwuf As-Suyuthi memaparkannya di dalam al-La'ali.j. 1, h. 211 dan menambahkannya, "Allah mengumpulkan para ulama pada hari Kiamat di satu lapangan, lalu berfirman kepada mereka, 'Aku menyimpan ilmu pada diri kalian, dan aku ingin mengazab kalian." Perkataan Nabi saw "Orang yang lalai" maksudnya adalah orang yang tunduk kepada dunia dan tertipu oleh kemegahannya, maksiat kepada Allah dan menuruti syahwat mereka, meninggalkan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya serta me-ninggalkan agama. Imam Asy-Syafi 'i mengatakan, "Aku mengeluhkan jeleknya hafalanku kepada guruku, Waqi', maka behau membimbingku supaya aku mening­galkan maksiat. Behau berkata, Hmu itu adalah cahaya sedangkan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang ahli berbuat maksiat.'"

[39] Al-'Ajluni mengatakan di dalam al-Kasyfy 2, h. 444, "Ini bukanlah hadits Nabi, melainkan kutipan sejumlah orang dari Imam al-Ghazali (saudara kandung Abu Hamid pengarang Ihya. Jadi, hendaknya Anda memeriksanya kembah." Al-Azhari menyetujui pendapat itu di dalam Tahdzir al-Muslimin h. 183.

 

[40] Kami Tidak menemukan Hadist ini

[41] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yangdisebutkan oleh al-Haitsami di dalam al-Majma' J 1, h. 125, dari Abu Umamah ra," Rasulullah saw bersabda bahwa Lukman berkata kepada anaknya, "Wahai anakku, engkau harus duduk-duduk bersama para ulama dan mendengar ucapan-ucapan para hukama, karena Allah menghidupkan hati yang mati dengan cahaya hikmah seperti menghidupkan tanah yang mati dengan hujan yang lebat.'" Lalu ia mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam al-Kabir dan Abu Nu'aim di dalam al-Hilyah'y 8, h. 72. Abu nu'aim menyebutkan bahwa diriwayatkan sebuah Hadits Mauquf-Marfu' dari Jabir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Janganlah kahan duduk di hadapan semua orang alim, kecuali bila orang alim itu menganjurkan kahan untuk beranjak dari yang lima dan menuju kepada yang lima: beranjak dari keragu-raguan menuju keyakinan, dari sok pamer kepada ikhlas, dari kecintaan kepada dunia kepada zuhud, dari kesombongan kepada tawadhu', dan dari permusuhan kepada nasihat." Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya 'Ulum Al-Din, J.1, h. 263.

 

[42] Al-Qudhal meriwayatkan di dalam al-Musnad j. 1, h. 65 dari Abu Hurairah ra, "Rasulullah saw bersabda," Kata-kata hikmah adalah barang hilang milik setiap orang bijak, jika menemukannya, dialah yang paling berhak memilikinya." At-Tirmidzi me­riwayatkan di dalam al-Jami'ash-Shahih, pasal Ilmu, bab Keutamaan Fiqih Daripada Ibadah" h. 2687 dari Abu Hurairah ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Kata-kata hikmah adalah barang hilang milik orang yang beriman, ketika dia menemukannya, dia paling berhak terhadapnya.'"

[43] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunan Ibnu Majah, pasal Miikadimah, bab Kemuhaan Para Ulama dan Anjuran Men-cari Ihnu, h. 224, dari Anas ibn Malik ra. Kelanjutannya, "... Orang yang meletakkan ilmu pada orang yang tidak pantas, seperti orang yang meletakkan permata, berlian, dan emas pada babi." Al-Munawi mengatakan dalam Faidh al-Qadiry 4, h. 267, " As-Suhrawardi mengatakan di dalam 'Awarifal-Ma'arif h.17, "Para ulama berbeda pen-dapat tentang ilmu yang diwajibkan; ada yang mengatakan bahwa ilmu yang diwajib-kan itu adalah ilmu tentang ikhlas, penyakit-penyakit hati, dan hal-hal yangmerusak amal, sebab kita diperintah untuk berbuat ikhlas dan beramal shaleh, sedangkan ke-lengahan, ketertipuan, dan syahwat jiwa akan menghancurkan bangunan-bangunan keikhlasan, sehingga mengetahui semua itu adalah wajib (fardhu). Ada yang me­ngatakan, yang wajib itu adalah ilmu tata cara jual beli, ada yang mengatakan ilmu tauhid berdasarkan kajian, inferensi, dan wahyu, dan ada yang mengatakan ilmu pengetahuan batin, yaitu ilmu yang menambahkan keyakinan seorang hamba kepada Allah dan diperoleh dengan cara menemani para wah pewaris Nabi Muhammad saw." Al-Ghazali dalam Minhaj al-'Abidin h. 7-8, "KetahuUah bahwa ihnu yang wajib dicari ada tiga macam: ilmu tauhid, ihnu yang berhubungan dengan hati dan aktivitasnya, dan ilmu syari'at. Batas yang wajib dicari oleh setiap orang dari masing-masing ilmu itu sebagai berikut: yang wajib dicari dari ihnu tauhid adalah sekadar mengenalkan dasar-dasar agama, yaitu mengetahui bahwa engkau memiliki Tuhan Yang Maha Tahu, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Mahahidup, Maha Berbicara, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Esa Tanpa Sekutu, Maha Memiliki Sifat-sifat Sempurna, Maha-suci dari kekurangan, kesalahan, dan tanda-tanda kebaruan, Maha Menyendiri secara azah dari segala yang baru, bahwa Muhammad saw adalah hamba dan rasul-Nya, yang jujur menyampaikan ajaran yang diterimanya dari Allah Yang Mahatinggi dan Maha-suci. Yang wajib dicari dari ihnu hati adalah mengetahui hal-hal yang wajib dan ter-larang bagi hati, sehingga engkau meraih pengagungan Allah Ta'ala dan keikhlasan kepada-Nya, serta niat dan amal yang baik Dan yang wajib dipelajari dari ilmu syari'at adalah mengetahui segala yang wajib engkau kerjakan agar engkau dapat mengerja-kannya dengan baik dan benar. Adapun ilmu-ilmu yang lain selain yang tiga ini adalah fardu kifayah mempelajarinya.

[44] Kami tidak menemukannya dengan lafaz demikian. Al-Haitsami mengatakan di dalam al-Majma, j. 8, h. 20, "Dari 'Ammar ibn Yasir ra, Rasulullah saw bersabda, Akhlak vang paling baik adalah akhlak Allah Yang Mahaagung.'"

[45] Al-Ahadits al-Qudsiyyah h. 81-84. Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-Nya, pasal Budak-budak, bab Tawadhu', hadits no. 1137, dari Abu Hurairah ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Sungguh Allah Ta'ala mengatakan, Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku izinkan orang lain untuk memeranginya, dan tiadalah se­suatu yang lebih Ku-sukai dari seorang hamba yang berusaha mendekati-Ku dengan-nya selain dari apa-apa yang Ku-wajibkan kepadanya, dan jika dia terus berusaha mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunnat, maka Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang dipakainya ketika mendengar, penghhatan yang dipakainya ketika melihat, tangan yang dipakainya ketika me-mukul, dan kaki yang dipakainya ketika berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti Aku beri, dan jika dia minta perlindungan kepada-Ku, pasti Aku lindungi.'"

[46] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam al-Jami'ash-Shahih, pasal Doa-Doa, bab Ajaran Tentang Doa Pada Hari Arafah, h. 3585, dari hadits 'Amr ibn Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya ra, dengan lafaz yang hampir serupa. Ia diriwayatkan juga oleh Malik di dalam al-Muwaththa' pasal Al-Qur'an, bab Ajaran Tentang Doa, h 32, dari hadits Thalhah ibn Ubaidillah ibn Kariz ra, lafaznya, "Doa yang paling mulia adalah doa pada hari Arafah, dan perkataan paling mulia yang diucapkan olehku dan nabi-nabi sebelumku adalah La ilaha illallah wahdah la syarika lah (Tidak ada Tuhan selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya " Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 4, h. 324.

[47] Diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, hadits no. 3110, dan oleh as-Suyuthi di dalam al-Jami' ash-Shaghlr, h. 4269, dan dia menganggapnya sebagai hadits Hasan. Al-Munawi mengatakan di dalam Faidh al-Qadtr, j. 3, h. 544, "Di dalam sanadnya terdapat Jibillah ibn Sulaiman—[adz-Dzahabi mengatakan di dalam Mizan al-I'tidal, j. 1, h. 388]—Tbnu Muln mengatakan, Dia bukan orang yang tepercaya. Dunia ckjauhkan dari kaum Akhirat, dan akhirat dijauhkan dari kaum Dunia, karena orang yang sekadar mengambil kegunaan dunia dapat melakukan pekerjaan akhirat, sedangkan orang yang mengambil kesenangan dunia secara berlebih-lebihan tidak mungkin melakukan pekerjaan akhirat karena keduanya bertentangan. Asy-Suyuti mengatakan, 'Orang yang mengaku mampu menyatukan antara cinta kepada dunia dengan cinta kepada Penciptanya, berarti ia telah berdusta. Dunia dan akhirat dijauh­kan dari kaum Allah dikarenakan surga kebanyakan kaum Mukmin adalah surga karena usaha, sedangkan surga kaum Allah (orang-orang arif yang sempurna) adalah surga karunia. 'Kaum karunia' ini benar-benar takut kepada Allah, bukan takut ke­pada neraka-Nya, sehingga surga mereka adalah memandang wajah-Nya Yang Maha-suci, dan terhalangnya mereka dari memandang Allah merupakan azab yang amat pedih bagi mereka, Abu Yazid al- Bust ham i mengatakan, 'Di dalam surga terdapat orang-orang yang jika dihalangi sekejap mata saja dengan tirai dari memandang Allah, mereka akan minta dikeluarkan dari surga seperti penghuni neraka meminta di-keluarkan dari neraka. Itulah maksud dari diharamkannya dunia dan akhirat bagi mereka.'" Wallahu Alam.

[48] Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini, tapi ia dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Yala dalam Musnad-nya, j. 6, h. 147, dari Anas ibn Malik ra, "Rasulullah saw bersabda, Para nabi hidup hidup dan melakukan shalat di dalam kubur mereka."" Al-Haitsami menyebutnya di dalam al-Majma', j. 8, h. 211, dan mengatakan, "Ia diriwayatkan oleh Abu Yala dan al-Bazzar. Orang-orang dalam sanad Abu Yala tepercaya." Ia disebut juga di dalam Kasyf al-Astar, j. 3, h. 100, dan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, h. 403. Lihat al-Qaul al-Badi’ as-Sakhawi, h. 225-247, yang di-sunting oleh saudara kami, Syaikh Basyir Muhammad Uyun.

 

[49] Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan di dalam ad-Dirayah, J.l, Halaman 182-183

 

[50] Al Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal' Keutamaan-keutamaan bab Nabi, Tidur Matanya, Tapi Tidak Tidur Hatinya , hadite no. 3376, dan 'Aisyahra. Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 6,h.93.

 

[51] Kami tidak menemukan hadits ini.

 

[52] Kami tidak menemukan hadits ini.

[53] Al-Bukhari menwayatkannya di dalam Shahlh al-Bukhari, pasal Awal Wahyu bab Awal Wahyu Kepada Rasulullah Saw", h. 1 dari TJmar ibn al-Khaththab ra. Al-' Ilafeh IbnuHajar mengatakan di dalam Fath al-Barij. 1, h. 18, "Hadite ini menjadi dalil tidak bolehnya melakukan suatu amal sebelum mengetahui hukumnya karena hadits ini menyatakan bahwa amal tidak dihitung jika tidak diiringi niat, sedangkan mat melakukan sesuatu tidak sah, kecuah setelah mengetahui hukumnya " Imam an-Nawaw, mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j. 13, h. 53, "Kaum Muslim me-nyepakati bahwa pengaruh hadits ini sangat besar, serta faedah dan kebenarannya sangat banyak Asy-Syafi'i dan para ulama lain mengatakan, 'Hadits ini adalah sepertiga Islam . Abdur Rahman al-Mahdi dan selainnya mengatakan 'Orang yang mengarang sebuah buku haruslah memulainya dengan hadits ini, sebagai peringatan bagi pembaca supaya membetulkan niatnya. Walldhu Alam. Lihat Mmi'al-Ushul Ibnu al-Atsir, j. 11, h. 555.

 

[54] Az-Zarkasy. mengatakan di dalam Al-Laali, h 65, "Bagian pertama dari hadits ini dinwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman dengan sanad Yusuf ibn 'Athiyyah dari Tsabit dari Anas ra'. Al-Askari meriwayatkan dengan sanad tersebut sebagai hadits Marfu. Ad-Dailami dalam al-Firdaus h. 6842, dari Sahal ibn Sa'ad ra "Niat orang yang benman lebih baik daripada perbuatannya, sedangkan amal orang munafik Iebih baik daripada matnya. Semua orang beramal sesuai dengan niatnya, sehingga jika orang yang benman melakukan suatu amal, maka terbersitlah cahaya di hatinya " Al-Munam mengatakan di dalam Faidh al-Qadirj. 6, h. 292, "Al-Hakim mengatakan Niat adalah bangkitnya jiwa menuju Allah; awalnya adalah pikiran, lalu keinginan, lalu bangkit, lalu beqalan menuju Allah Ta'ala, pergi dengan akal, pikiran, tekad dan cita-cita Dengan demikian, sempurnalah niat tersebut yang darinya terlahir amal-amal shaleh oleh anggota badan. Jika tekad seseorang sudah bulat, maka keluarlah riya' kebanggaan, dan kesombongan dari semua amalnya dan sampailah ia kepada ke-dudukan spiritual orang-orang yang kuat.

[55] Al-'Ajluni mengatakan dalam al-Kasyfy 2, h. 342, "Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Anas ra." At-Thabrani meriwayatkan di dalam al-Kabiry 2, h. 268 dari al-Jarud ibn 'Ami, "Rasulullah saw bersabda, 'Barangsiapa yang mencari dunia dengan akhirat, maka dihilangkanlah sinar wajahnya dan dihapuslah kebaikan-kebaikannya, lalu namanya akan dicatat di neraka.'" Al-Haitsami mengatakan di dalam al-Majma'j. 10, h. 220, "Di dalam sanadnya terdapat orang yang ku kenal."

 

[56] Muslim meriwayatkan di dalam Shahlh-nya, pasal Iman, bab Penegasan Ter-hadap Penglihatan Kaum Mukmin Kepada Tuhan Mereka Pada Hari Kiamat, h. 297, dari Skuhaib ar-Rumi dari Nabi saw, "Jika para penghuni surga telah masuk ke dalam surga, maka Allah berkata, 'Apakah kalian menginginkan tambahan?' Mereka me­ngatakan, 'Bukankah Engkau sudah memutihkan wajah kami? Bukankah Engkau sudah memasukkan kami ke surga? Bukankah Engkau sudah menyelamatkan kami dari neraka?' Lalu, disingkapkanlah tirai dari mereka, sehingga mereka merasa tidak diberikan sesuatu yang lebih mereka sukai daripada melihat Tuhan mereka 'Azza wa Jalla." Lihat Jdmi'al-Ushwl, Ibnu al-Atsir, j. 10, h. 560

[57] Kami tidak menemukan hadits ini. Di dalam buku ini disebut sebagai ucapan Ulnar ibn al-Khaththab ra.

 

[58] Kami tidak menemukan Hadist ini

 

[59] Telah di Takhrij

 

[60] Telah di Takhrij

 

[61] Kalimat ini adalali bagian dan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhan dalam Shahih-nya, pasal Tauhid, bab Firman Allah Ta'ala, "Yang didustakan oleh mereka adalah Al-Qur''anyang mulia yang tersimpan di Lauh al-Mahfuzh." (QS. al-Buruj [85]: 21-22), h. 7114-7115, dari Abu Hurairah ra. Lafaznya, "Ketika Allah menetapkan putusan azali bagi makhluk, Dia menulis sebuah kitab yang di dalamnya tertulis 'Rahmal-Ku mengalahkan—atau mendahului—kemurkaan-Ku. 'Kitab itu selalu berada di sisi-Nya di atas 'Arasy Ilahi." Banyak hadits yang menguatkannya, di dalam Shahih Muslim, pasal Tobat, bab Rahmat Allah Ta'ala Sangat Luas Dan Mendahului Kemurkaan-Nya, hadits no. 2751. Lihat Jdrni' al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 4, h. 518-519. An-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j. 17, h. 68, "Sebagian ulama mengatakan, *Kemurkaan dan keridhaan Allah Ta'ala bersumber dari makna sifat Kehendak-Nya. Kehendak-Nya adalah memberikan pahala bagi orang yang ta'at; imbalan/pahala bagi orang-orang yang patuh disebut dengan ridha dan rahmat, sedangkan hukuman bagi orang yang ingkar disebut dengan murka. Kehendak Allah Ta'ala adalah salah satu sifat-Nya yang azah, dimana dengan sifat itu Dia menghendaki segala yang dikehendaki-Nya.' Mereka juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mengalahkan dan mendahului dalam hadits itu adalah Rahmat Allah sangat banyak."

[62] Al-Qari menyebutnya di dalam al-Asrar al-Marfu'ah h. 385, dan ash-Shaghani di dalam al Maudhu'at h. 78. Hadits ini dikuatkan oleh oleh hadits Marfu' yang diriwa­yatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, dari Ibnu 'Abbas, "Jibril datang kepadaku, lalu berkata, "Wahai Muhammad, jika bukan karena engkau, tidaklah akan diciptakan surga; jika bukan karena engkau, tidaklah akan diciptakan neraka.'"

[63] Lihat takhrij hadits berikutnya. Al-Hafizh, Ibnu Hajar mengatakan di dalam Path al-Bari, j. 11, h. 488, "Hadits ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan baik atau buruk hanyalah sekadar tanda tentang kebahagiaan atau kesengsaraan sese-orang, bukan penentu; dan nasib segala sesuatu pada akhirnya tergantung kepada qadlia dan qadar Tuhan yang telah Ia tetapkan pada awalnya (sebagaimana dikatakan oleh al-Khithabi). Hadits inii juga menekankan bahwa penilaian tentang orang yang bahagia terkadang sengsara dan orang yang sengsara terkadang bahagia, hanyalah penilaian berdasarkan penampilan zahir saja. Sedangkan dalam pengetahuan Allah Ta'ala, hal itu tidak berubah. Hadits ini juga menunjukkan bahwa yang dijadikan patokan adalah akhir kehidupan seseorang."

[64] Di dalam catatan pinggir naskah zh. tertulis, Tanda kesengsaraau ada empat: melupakan dosa-dosa di masa lalu, padahal dosa-dosa itu tercatat di sisi Allah; meng ingat-ngingat kebaikan di masa lalu, padahal dia tidak tahu apakah kebaikan itu di-terima oleh Allah atau tidak; memandang kepada orang yang lebih tinggi daripadanya dalam masalah duniawi, dan memandang kepad orang yang lebih rendah daripadanya dalam masalah agama." Muslim meriwayatkan di dalam Shahi-nya, pasal Qadar, bab Cara Penciptaan Adam, hadits no. 2645, dari 'Amir ibn Watsilah ra bahwa dia men-dengar dari 'Abdullah ibn Mas'ud berkata, "Orang yang sengsara adalah orang yang ditetapkan sengsara sewaktu berada di dalam perut ibunya, sedangkan orang yang bahagia adalah orang yang dapat dinasihati oleh orang lain." Lalu, dia datang kepada seorang sahabat (Hudzaifah ibn Usaid al-Ghifari) dan menceritakannya ucapan Ibnu Mas'ud tersebut, dan berkata kepadanya, "Bagaimana mungkin seseorang sengsara tanpa melakukan apa-apa?" Sahabat itu berkata, "Apakah engkau heran karenanya? Sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda,' Jika nutfah sudah bersemayam selama 42 malam, maka Allah mengutus malaikat untuk membentuknya, mencipta-kan pendengarannya, penghliatannya, dagingnya, dan kulitnya. Lalu malaikat itu berkata, Wahai Tuhan, laki-laki atau perempuan? Maka, Allah memutuskan seke-hendak-Nya dan malaikat itu menulisnya. Lalu malaikat itu berkata, Wahai Tuhan, umurnya? Maka, Tuhan mengucapkan sekehendak-Nya, dan malaikat itu menulis­nya. Lalu malaikat itu berkata, Wahai Tuhan, rezekinya? Maka, Tuhan memutuskan sekehendak-Nya dan malaikat itu menulisnya. Kemudian, malaikat itu kembah mem-bawa catatan itu, tidak menambahnya atau menguranginya." Lihat JamVal-Ushul, Ibnu al-Atsir,j. 1, h. 115-116.

[65] Kami tidak menemukannya.

 

[66] Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shah'ih-nya, pasal Jenazah, bab Jika Se­orang Anak Masuk Islam Lalu Wafat, hadits no. 1292-1293, dari Abu Hurayrah ra, Nabi saw bersabda, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Orangtuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Kristen, atau Majusi." Lihat Jami'al-Ushul Ibnu al-Atsir.j. l,h. 268.

[67] Telah di Takhrij

[68] Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini. Ia dikuatkan oleh hadits Ibnu Majah di dalam Sunan-nya, pasal Zuhud, bab Kemuhaan Para Faqir, hadits no. 4121, dari 'Imran ibn Hushain ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Allah mencintai hamba-Nya yang beriman, faqir, menjaga harga diri, ayah dari sejumlah anak." al-Ghazali me-nyebutkan di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. 4, h. 199, dari 'Ah ra, "Rasulullah saw ber­sabda 'Hamba yang paling dicintai Allah adalah orang faqir yang qana'ah dengan rezeki'nya dan ridha kepada Allah Ta'ala." As-Samarqandi menyebutkan di dalam Tanbih al-Ghafilin, h- 184, dari 'Abdullah ibn Umar ra, "Nabi saw bersabda, "Makhluk yang paling dicintai Allah adalah orang faqir, karena makhluk yang paling dicintai-Nya adalah para nabi, dan Dia menguji mereka dengan kefaqiran.'" Dia juga mengatakan, h .181 "Orang Islam harus mencintai kefaqiran dan mencintai orang-orang faqir, meskipun ia kaya, karena cinta kepada orang-orang faqir mengandung makna cmta kepada Rasul saw. Allah Ta'ala telah memerintahkan Rasul-Nya untuk mencintai dan mendekati orang-orang faqir dalam firman-Nya, "Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan dipagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya." (QS. al-Kahfi [18]: 28). Maksudnya, kurung dirimu bersama orang-orang taqir vang mengurung diri mereka untuk ibadah.

 

[69] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yangdisebutkan oleh as-Sakhawi di dalam al-Maqashid, h. 745. Kelanjutannya, "Dan karenaku dia merasa bangga. Ad-Dailami meriwayatkan di dalam al-Firdaus, hadits no. 2399, dari Mu'adz ibn Jabal ra, Hiasan orang yang beriman di dunia adalah kefaqiran."

 

[70] Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. A, a. 15. Al-Hafizh al-Iraqi di dalam al-Mughni, j. 2, h. 15, "Aku tidak mengetahui sumbernya. Az-Zarkasyi mengatakan di dalam al-La'all, h. 135, dan al-'Ajluni di dalam al-Kasyf,j. 2, h. 255. As-Suyuthi mengatakan di dalam ad-Durar, h. 362, "Ahmad merivrayatkan di dalam az-Zuhd h. 103, "Dari Wahab ibn Munabbih, 'Allah 'Azza wa Jalla membuka langit kepada Hazqil hingga dia mehhat 'Arasy Ilahi. Lalu Hazqil berkata, 'Mahasuci Engkau, wahai Tuhanku; Mahaagung Engkau, waliai Tuhanku.' Allah berkata, 'Sesungguhnya langit dan bumi tidak sanggup membawa-Ku, terlalu sempii untuk-Ku, dan yang cukup luas untuk-Ku adalah hati hamba yang beriman yangpenuh kedamaian dan kelembutan.'"

[71] Al-Fatanni menyebutkannya di dalam Tadzkirah al-Maudhu'at, h. 196.

[72] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih-nya, pasal Zuhud Dan Hamba Sahaya, hadits no. 2956, dari Abu Hurairah ra. At-Tirmidzi meriwayatkannya di dalam al-Jami ash-Shahih, pasal Zuhud, bab Dunia Adalah Penjara Bagi Orang Beriman dan Surga Bagi Orang Kafir, hadits no. 2324, juga dari Abu Hurairah ra. Kelanjutannya,"... dan surga bagi orang kafir." Imam an-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j. 18, h. 93, "Artinya, setiap orang ber­iman terpenjara serta terhalang dari dunia yang diharamkan dan dimakruhkan untuknya. Dia harus menunaikan kepatuhan yang sangat berat. Jika dia mati, barulah dia istirahat dari semua itu, pindah kepada kenikmatan abadi yang dijanjikan Allah Ta'ala serta kenyamanan yang sempurnaan dari-Nya. Sedangkan orang kafir hanya mendapatkan apa yang diraihnya di dunia yang selain sangat sedikit juga tercemar berbagai kekurangan. Jika dia mati, dia pindah kepada siksa dan kesengsaraan yang abadi." Wallahu alam.

[73] 12 Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan lafaz yang sangat serupa di dalam al-Jami.' ash-Shahth, pasal Zuhud, bab Sabar Menanggung Bencana, h. 2398, dari Sa'ad ibn Abi Waqash ra, dan Ibnu Majah di dalam Sunan Ibnu Majah, pasal Fitnah-Fitnah, bab Sabar Menanggung Bencana, hadits no. 4023, dari Sa'd ibn Abi Waqash ra., dengan tambahan, "... Seorang hamba diuji dengan suatu bencana sesuai dengan kadar agamanya; jika agamanya kukuh, bencananya pun hebat, jika agamanya lemah, ia diuji sesuai kadar agamanya. Setelah bencana itu berlalu, ia pun berjalan di atas bumi terbebas dari kesalahan."

 

[74] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yangdiscbutkan oleh al-Hut di dalam al-Ahadits al-Musykilah h. 276. Lafaznya, "Manusia pasti binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu pasti binasa, kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmunya. Orang-orang yang mengamalkan ilmunya pasti binasa, kecuali orang-orang yang ikhlas. Ikhlas selalu terancam bahaya yang sangat besar hingga ia disempurnakan."

 

[75] Ash-Shaghani menyebutnya di dalam al-Maudhu’at, h 80, al-'Ajluni di dalam al-Kasyf, j. 2, h. 131. Ia dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dailami di dalam al-Firdaus, hadits no. 4422, dari Ibnu 'Abbas ra, "Kefaqiran ada dua macam: faqir dunia dan faqir akhirat; faqir dunia adalah kaya akhirat, sedangkan kaya dunia adalah faqir akhirat. Kebinasaan (cinta kepada harta dan hiasan dunia) itu adalah faqir akhirat dan siksa dunia " Di dalam catatan pinggir naskah zh. tertulis, "Dikatakan bahwa sakit dan lapar memiliki empat faedah: menyucikan diri dari dosa, mengingatkan akhirat, men-cegah maksiat, dan mengikhlaskan dalam berdoa."

[76] Di dalam catatan pinggir naskah zh. tertulis, "Ada yang mengatakan bahwa jika seorang Mukmin berwudhu', maka setan-setan akan menjauh darinya menuju pen-juru-penjuru bumi lantaran takut kepadanya, namun kami tidak menemukan hadits -nya. Al-Ghazali menyebutkandi dalam Ihya'Ulum ad-Din., j. 1 h. 135, "Rasulullah saw bersabda, Wudhu' yang dilakukan sebelum batalnya wudhu' adalah laksana caliaya di atas cahaya'" Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunan-nya, pasal Bersuci dan sunnah-sunnahnya, bab Ajaran Tentang Wudhu' yang Berulang-ulang, hadits no. 420, dari Ubay ibn Ka'ab ra, Rasulullah saw meminta air, lalu berwudhu' dengan cara mem-basuh anggota wudhu'nya, masing-masing sebanyak satu kah, lalu behau bersabda, "Beginilah cara wudhu' yang benar," atau "Orang yang tidak benar cara berwudhu'-nya, tidak akan diterima shalatnya." Kemudian, behau berwudhu' lagi dua kali-dua kah, lalu bersabda, "Inilah wudhu' yang benar, Allah memberikannya balasan berupa dua jaminan." Kemudian, beliau berwudhu' lagi tiga kali-tiga kali, dan bersabda, Inilah wudhu'ku dan wudhu' para rasul sebelumku." Semua itu adalah anjuran untuk mem-perbarui dan menyempurnakan wudhu'. Wallahu alam.

 

[77] Ahmad meriwayatkannya di dalam Musnad-nya, j. 1, hadits no. 412, dengan lafaz yang amat mirip, dari Ibnu Mas'ud ra. Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Qadar, bab Zina dan Selainnya, j. 2, hadits no. 2657, dari Abu Hurairah ra, "Nabi saw bersabda, 'Zina anak cucu Adam akan dicatat oleh Allah Ta'ala dan mereka pasti akan merasakan pembalasannya; zina mata adalah memandang (yang haram), zina tehnga adalah mendengar, zina lidah adalah berbicara, zina tangan adalah memegang, zina kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah menginginkan dan berangan-angan. Tinggal lagi kemaluan, apakah akan diteruskannya (betul-betul berzina) atau tidak.'" An-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, '}. 16, h 206, "Zina anak cucu Adam akan dicatat oleh Allah Ta'ala dan mereka pasti akan merasakan pembalas­annya; baik zina hakiki, yaitu memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan lain yang tidak halal, maupun zina metaphor, yaitu memandang kepada yang haram. Termasuk juga ke dalam zina metaphor ini adalah mendengarkan cerita zina, bersentuhan tangan atau mencium perempuan yang bukan muhram, melangkah untuk berzina, berpandangan atau bersentuhan, atau berbincang-bincang yang haram dengan perempuan yang bukan muhram. Tinggal lagi kemaluan, apakah akan diteruskannya (betul-betul berzina) atau tidak." Wallahu Alam.

[78] Al-Ghazali menyebutkannya di dalam lhya Vlum ad-Din, j. 1, h. 102. Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Qadar, bab Perlakuan Allah Sekehendak-Nya Terhadap Hati Manusia, hadits no. 2654, dari 'Abdullah ibn 'Amr ibn al-'Ash ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Sungguh hati semua manusia terletak seperti satu hati di antara dua jari dari jari-jari Tuhan Yang Maha Rahman; Dia menggerakannya seke­hendak-Nya.' Kemudian, Rasulullah saw berdoa, Ya musharrif al-qulub, sharrif qulubana 'ala tha'atika: Wahai Penggerak Hati, gerakanlah hati kami untuk mematuhi-Mu.'"

 

[79] Kami tidak mendapatinya dengan lafaz demikian. Ia dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, pasal Shalat, bab Sifat Shalat, hadits no. 1889, dari 'Ammar ibn Yasir ra, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sese-orang melaksanakan shalat, mungkin hanya sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya,' beliau menyebut semua bilangan, lalu bersabda! 'shalat seorang hamba yang ditulis oleh Allah hanyalah sebatas yang diingatnya.'" Al-Ghazali mengatakan di dalam Ihyd Ulum ad-Din, j. 1, h. 160, "Bisyr ibn al-Harits me­ngatakan, 'Orang yang tidak khusyu', shalatnya rusak.'" Diriwayatkan bahwa al-Hasan berkata, "Orang yang tidak menghadirkan hatinya dalam shalat, ia lebih cepat sampai kepada hukuman." Al-Ghazali mengatakan, "Kehadiran hati merupakan roh bagi shalat. Yang paling menguatkan konsentrasi roh adalah hadirnya hati pada saat takbir, kurang konsentrasi pada saat itu mengakibatkan kehancuran, karena se-makin tidak konsentrasi pada saat takbir, semakin tidak konsentrasi juga pada bagian shalat yang lain."

 

[80]  Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahth-nya, pasal Iman, bab Kemuhaan Orang yang Membersihkan Agamanya, hadits no. 52, dari Nu'man ibn Basyir ra, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda' Tang halal jelas, yang haram jelas, dan di antara keduanya ada yang samar-samar, dan tidak diketahui kebanyakan orang. Orang yang takut kepada yang samar-samar ber-arti telah membersihkan agama dan kehormatannya, sedangkan orang yang meng­ambil yang samar-samar, ia seperti penggembala yang berada di dekat daerah ter-larang dan hampir masuk ke dalamnya. Ketahuilah, daerah terlarang Allah di bumi adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging yang jika ia baik, baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati."" Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Ateir, j. 10, h. 567. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan di dalam Fath al-Bari, j. 1, h. 129, "Para ulama meng-agungkan hadits ini dan menganggapnya sebagai bagian keempat dari empat poros hukum." Al-Qurthubi mengatakan, "Hal itu adalah karena hadits ini mencakup semua perkara yang halal dan yang tidak secara terperinci, dan mencakup tentang keter-gantungan semua amal dengan hati. Karena itu, semua hukum terpulang kepadanya" Wallahu Alam.     

[81] HR Dailami dalam Al Firdaus, 6554 dari Ibnu Abbas ra

 

[82] Telah di Takhrij

[83] Telah di Takhrij

 

[84] Kami tidak menemukan hadist ini

 

[85] Kami tidak menemukan hadist ini

[86] Sunan Ibnu Majah No 1690, Al Kabir Thabrani

 

[87] 4 Ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, pasal Puasa, bab Kemuhaan Puasa, hadits no. 1151-1165, dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id ra. Kelanjutannya, "Orang yang berpuasa itu punya dua kegembiraan; kegem-biraan tatkala berbuka dan kegembiraan tatkala berjumpa dengan Allah. Demi Zat Yang Menggenggam jiwa Muhammad, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari minyak miski." An-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim,}. 8, h. 31-32, "Para ulama mengatakan bahwa gembiranya orang yang berpuasa itu pada saat berjumpa dengan Allah adalah karena dia menyaksikan anu-gerah yang diterimanya dari-Nya dan teringat kepada nikmat Allah yang memberinya taufiq kepada anugerah itu, sedangkan gembiranya pada saat berbuka adalah karena ibadahnya telah sempurna dan tidak rusak, serta karena pahala yang bakal didapat-kannya." Wallahu Alam.

 

[88] Sudah di Takhrij

[89] Kami Tidak menemukan Hadist ini

[90] Kami tidak menemukan Hadist ini

[91] 'Al-'Ajluni mengatakan di dalam Al Kasyf J. 1 h. 397 hadist ini masyur dengan lafaz seperti itu. Silakan periksa."

[92] Ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahihnya, nya, Hadist nomor 10

 

[93] Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini. Ibnu Abi ad-Dunya meriwayatkan di dalam ash-Shumt wa Adah al-Lisan, h. 11, dari Anas ra, "Rasulullah saw bersabda, Harangsiapa yang ingin selamat, maka hendaklah ia selalu diam.'" Al-Haitsami me-nyebutnya di dalam al-Majma', j. 10, h. 297-298 dan merujukkannya kepada Abu Yala di dalam Musnad-nya, sedangkan at-Thabrani menyebutkannya di dalam al-Awsath. Dia juga meriwayatkan dari Ibnu TJmar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, "Orang yang mengendalikan lidahnya, pasti ditutupi Allah auratnya Orang yang menguasai kemarahannya, pasti dilindungi Allah dari azab-Nya. Dan orang yang meminta maaf kepada Allah 'Azza wa Jalla, pasti diterima-Nya."

 

[94] Telah di Takhrij

[95] Ungkapan ini bukanlah hadits Rasulullah saw, melainkan perkataan ulama Salaf. Al-Qari mengatakan di dalam al-Asrar al-Marfu’ah h. 188, "Itu adalah kata-kata sejumlah guru spiritual." Al-'Ajluni mengatakan di dalam al-Kasyf, j. 1, h. 460, bahwa Ibnu al-Fars mengatakan, "Aku telah melihat sambungan ungkapan itu, yaitu 'Ke-masyhuran adalah bencana, tapi semua orang menunggu-nunggunya."' As-Sakhawi mengatakan di dalam al-Maqashid, h. 458, "Menyembunyikan perbuatan baik dan menjadi orang yang tidak populer adalah lebih baik daripada kebalikannya serta lebih sclamat untuk dunia dan agama seseorang. Sedikit harta tapi tidak menyebabkan lah dari akhirat lebih baik daripada banyak harta tapi melalaikan darinya." Umar ibn Sa'ad ibn Abi Waqqash berkata, "Aku dengar Rasulullah saw bersabda, 'Allah cinta kepada hamba yang takut kepada-Nya, kaya, dan tidak populer.'"

[96] Al-Ghazali menyebutnya di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. 3, h. 165. Al-Hafizh, al-'Iraqi mengatakan di dalam al-Mughnt, j. 3, h. 165, "Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Kabir, al-Baihaqi di dalam asy-Syu'ab dari riwayat Bahaz ibn Hakim dari ayahnya, dari kakeknya, dengan sanad yang lemah, dari Dzulqarnain, bahwa ia bertemu malaikat, lalu berkata, 'Ajari aku ilmu yang menambahkan keiman-an dan keyakinanku.' Malaikat itu menjawab, 'Janganlah marah, sebab setan lebih mampu menguasai manusia saat dia marah. Balaslah marah dengan meredamnya, tenangkanlah dengan kelembutan. Selain itu, jangan tergesa-gesa, sebab itu akan membuatmu menyia-nyiakan bagianmu. Lalu, jadilah orang yang mudah dan lembut terhadap orang dekat maupun jauh, jangan menjadi orang yang diktator lagi keras kepala.'"

[97] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya, pasal Budi Pekerti, bab Dengki, hadits no. 4903, dari Abu Hurairah ra, "Sedekah akan memadamkan ke-salahan seperti air memadamkan api, shalat adalah cahaya bagi orang beriman, dan puasa adalah pelindungnya dari api neraka." Lihat Jami al-Ushid, Ibnu al-Atsir, j. 3, h. 620. Al-Munawi mengatakan di dalam Faidh al-Qadlr, j. 3, h. 414, "Al-Ghazali me­ngatakan bahwa kedengkian adalah perusak amal baik, pendorong kepada kejahatan, penyakit parah yang menimpa banyak ulama, apalagi orang awam, sehingga ia mem-binasakan mereka semua dan menggiring mereka ke neraka." Cukuplah bagi Anda bahwa Allah Ta'ala telah memerintahkan kita meminta perlindungan-Nya dan ke­jahatan orang yang dengki dalam Firman-Nya, 'Dan dari kejahatan orang yang dengki pada saat ia dengki Q.S. al-Falaq [113]: 5), sebagaimana Ia telah memerintahkan kita meminta perlindungan-Nya dari kejahatan setan. Perhatikan, betapa jahat dan ber-bahayanya kedengkian sehingga ia disamakan dengan setan. Sifat dengki lm akan menyebabkan sia-sianya amal kebajikan, terciptanya kejahatan dan kemaksiatan, timbul kelelahan dan kegelisahan yang tidak berguna, dan hati pun menjadi buta karenanya sehingga hampir tidak dapat lagi memahami hukum Allah sama sekah, di samping terhalang dari rahmat Allah dan mendapatkan kehinaan yang pada akhirnya hampir tidak mendapatkan jiwa yang kukuh dan akal yang tajam."

 

[98] Ini adalah bagian dari hadits Rasulullah saw. Al-Haitsami mengatakan di dalam al-Majma, j. 8, h. 91, dari Jabir ibn 'Abdullah dan Abu Said al-Khudri ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Membicarakan kejelekan orang lain lebih jahat daripada zina.' Behau ditanya TVlengapa?' Beliau menjawab, 'Orang yang berzina, lalu bertobat, akan di-ampuni oleh AUah. Tapi orang yang membicarakan kejelekan orang lain, lalu bertobat, tidak akan diampuni-Nya sebelum orang yang dibicarakannya memaafkannya Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani di dalam al-Ausath, ad-Dailami di dalam al-Firdaus h 4320. Al-Ghazali mengatakan di dalam Ihya Ulum ad-Din, j. 3, h. 143, 'Ke­tahuilah bahwa pengertian ghibah itu adalah bahwa engkau menyebutkan sesuatu tentang seseorang kepada orang lain yang orang bersangkutan tidak menyukai jika sesuatu itu disampaikan kepada orang lain itu, baik itu berupa kekurangan jasad, nasab akhlak, perbuatan, perkataan, agama, dan dunianya, bahkan pakaian, rumah, dan kendaraannya." Az-Zabidi mengatakan di dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin,} 7, h 533 "Diceritakan bahwa seseorang telah membicarakan kejelekan Ibnu al-Jala', lalu ia mengirim utusan untuk meminta maaf, tapi Ibnu al-Jala' tidak mau memaafkan­nya malah mengatakan, TJalam catatan amalku, tidak ada yang lebih baik daripada hal itu (pahala terkena ghibah), bagaimana mungkin aku akan menghapusnya?

 

[99] Diriwayatkan oleh as-Suyuthi di dalam al-Jami dan mengatakan, Diriwayatkan oleh ar-Rafi'i dari Anas ra bahwa al-Munawi mengatakan di dalam Faidh al-Qadlr, j. 4, h. 461, "Ibnu al-Qayyim mengatakan, 'Fitnah ada dua macam, fitnah syubhat, inilah yang terbesar, dan fitnah syahwat. Keduanya boleh jadi ada pada diri seseorang, dan boleh jadi hanya salah satunya."

 

[100] Al-Qari mengatakan di dalam al-Asrdral-Marfu'ah, h. 117, "Tidak ada sumber-nya dengan lafaz seperti ini, tapi dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam al-Jami' ash-Shahih, pasal Kebaikan dan Silaturahmi, bab Kedermawanan, hadits no. 1961, dari Abu Hurairah ra, "Nabi saw bersabda, 'Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dan jauh dengan neraka Sedangkan orang yang pelit jauh dari Allah, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka Orang bodoh yang dermawan lebih disukai Allah daripada 'abid (ahli ibadah) yang peht. Dalam nwayat lain dengan no. 1963, dari Abu Bakar ash-Shiddiq ra mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Orang culas (sering menipu) tidak akan masuk surga, begitu juga orang yang sering menyebut pemberiannya, dan orang pelit.'"

 

[101] Kami tidak menemukannya dengan lafaz ini. Al-Haitsami meriwayatkan di dalam Kasyfal-Asrar, j. 4, h. 217, dari Abu Ya la ibn Syaddad, dari ayahnya, "Pada masa Rasulullah saw kami menganggap riya' itu sebagai syirik yang terkecil." Ibnu Majah menwayatkan di dalam Sunan-nya, pasal Zuhud, bab Riya' dan Mencari Kehormatan hadits no. 4204, dari Abu Sa'id al-Khudri ra, "Ketika kami sedang membicarakan tentang al-Masih ad-Dajjal, RasuluUah saw datang, lalu bersabda, 'Maukah kalian kubentahu sesuatu yang menurutku lebih menakutkan bagi kahan daripada al-Masih ad-Dajjal?' Kami jawab, Tentu, ya Rasulullah.' Behau bersabda, Itulah dia syirik yang samar, dimana seseorang mengerjakan shalat dengan membaik-baikkannya karena ia mehhat ada orang yang memperhatikannya.'"

 

[102] Muslim meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Iman, bab Penjelasan Tentang Kerasnya Pengharaman Mengadu Domba, hadits no. 105, dari Hudzaiiah ra bahwa ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Pengadu domba tidak akan masuk surga.'" Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 8, h. 450-451.

[103] 16 Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-nya, pasal Sifat Shalat, bab Kemuhaan Doa Allahumma rabbana wa laka al-hamd, hadits no. 763, dari Abu Hurairah ra, "Rasulullah saw bersabda, 'Jika imam berkata 'sami'a Allah li man hamidah,' katakanlah oleh kalian, Allahumma rabbana wa laka al-hamd, karena orang yang beriringan ucapannya dengan ucapan malaikat, diampuni dosanya oleh Allah

[104] Ad-Daruquthni meriwayatkannya dari Abu Hurairah ra di dalam Sunan-nya, j. 1, hadits no. 128. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, j. 1, hadits no. 183-184 mengatakan, "Hadits ini sahih." Pendapatnya disetujui oleh Adz-Dzahabi.

 

[105] Abu Dawud meriwayatkan di dalam Sunan-nya bab Shalat Tasbih, hadits no. 1297, bahwa Ibnu 'Abbas berkata, "Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda kepada ayahku, Abbas ibn 'Abdul Muthallib, Wahai wahai Pamanku, 'Abbas, maukah engkau aku anugerahkan sepuluh perkara yang jika engkau laksanakan semua itu, pasti Allah mengampuni dosamu, baik yang dulu-dulu maupun yang akan datang, baik yang sengaja maupun tidak, baik yang kecil maupun besar, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan?'" Lalu, beliau menyebutkan hadits itu secara lengkap. Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 6, h. 252-253.

[106] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shafuh-nya, pasal Tabir Mimpi, bab Mimpi-Mimpi yang Baik, hadits no. 6589, dari Abu Hurairah ra. Kelanjutannya, "Mereka bertanya, 'Apakah al-mubasysyirat itu?' Rasulullah saw menjawab, Mimpi yang baik.'" Lihat Jami'al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 2, h. 526.

 

[107] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, pasal Mimpi, hadits no. 2263, dari Ibnu Musliir. Dalam riwayat lain, hadits no. 2265, dari Umar ra, "Mimpi yang baik itu adalah salah satu bagian dari tujuh puluh bagian kenabian." Imam an-Nawawi me­ngatakan di dalam Syarh Shahih Muslim, j. 15 h. 21, "Al-Khithabi mengatakan, Hadits ini menegaskan masalah mimpi dan posisinya, yang merupakan bagian kenabian. Para nabi menerima waliyu dalam mimpi seperti menerimanya saat terjaga.' Sejumlah ulama mengatakan, TVIakna hadits itu adalah bahwa kedatangan mimpi itu laksana kedatangan kenabian, karena hanya mimpi saja bagian kenabian yang masih tersisa.'" Wallahu A'lam.

 

[108] Al-Bukhari meriwayatkan di dalam Shahih-aya, pasal Tabir Mimpi, bab Orang yang Melihat Nabi saw Dalam Mimpi, hadits no. 6592, dari Abu Hurairah ra, "Aku mendengar Nabi saw bersabda, 'Barangsiapa yang bermimpi melihatku ketika tidur, sungguh ia telah benar-benar mehhatku bagaikan mehhatku sewaktu bangun. Sebab, setan tidak akan dapat rnenyerupakan dirinya seperti diriku.'" Lihat Jami' al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 2, h. 528. Imam an-Nawawi mengatakan di dalam Syarh Shahih Muslim j. 15, h. 26, "Ada beberapa pendapat tentang hadits ini; Pertama, kata man (barangsiapa) yang terdapat di dalam hadits ini maksudnya adalah orang-orang yang hidup pada zaman Nabi saw, sehingga makna hadits itu adalah: Barangsiapa yang melihat Nabi saw dalam mimpinya, tapi dia belum hijrah, maka Allah akan memudah-kannya untuk pergi hijrah guna bertemu langsung dengan Nabi saw dan melihatnya. Kedua, maksudnya adalah bahwa ia benar-benar akan melihat nabi saw kelak di Akhirat dalam keadaan bangun (bukan tidur/mimpi), karena semua umat Nabi saw di dunia akan melihatnya di akhirat, baik orang yang sudah melihatnya di dunia atau belum. Ketiga, ia akan melihat Nabi saw di akhirat secara khusus dari dekat, mem­peroleh syafa'atnya, dan lain-lain." Wallahu Alam.

[109] Kami tidak menemukannya.

[110] Kalimat ini adalah bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam al Jami’ ash-Shahih, pasal Sifat Surga, bab Sifat Pakaian Penghuni Surga, hadits no. 2539 dari Abu Hurairah ra. Kelanjutannya, "... Mereka akan selalu muda dan pakai­an mereka tidak akan kusut." Lihat Jami al-Ushul, Ibnu al-Atsir, j. 10, h. o28.

 

[111] Telah di-takhrij.

 

[112] Al-Qusya'iri mengatakan di dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 307, "Di-riwayatkan dari Abu Yazid bahwa ia berkata, 'Aku melihat Tuhanku 'Azza wa Jalla dalam mimpi, maka aku bertanya, 'Bagaimanakah jalan menuju diri-Mu?' Dia ber-firman, 'Tinggalkan dirimu, lalu ke sinilah.' Dikatakan bahwa Ahmad ibn Khash-rawaih melihat Tuhannya di dalam mimpi, lalu Tuhannya berfirman, 'Wahai Ahmad, semua orang meminta sesuatu dariku, kecuali Aba Yazid; Dia meminta diri-Ku.' Yahya ibn Said al-Qaththan mengatakan, 'Aku melihat Tuhanku dalam mimpi, maka aku berkata: Wahai Tuhan, betapa sering aku meminta kepada-Mu, tapi engkau tidak pernah mengabulkan permintaanku. Dia berfirman, wahai Yahya, Aku senangmen-dengar suaramu."'

[113] Imam al-Ghazali telah menerangkan masalah ini socara gamblang di dalam Ihya "Ulum ad-Din dengan mengatakan, "Orang yang rae!ontarkan ucapan-ucapan itu dianggap dalam keadaan spiritual mabuk, bukan dalam keadaan spiritual terjaga. Meskipun demikian, ada aspek yang sangat luas untuk penakwilan dan penjelasan pondasi yang digunakan oleh sufi yang mengalami gejolak kemabukan spiritual saat dia melontarkan ucapan itu. Di dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shuhih-nya, pasal Hamba Sahaya, bab Tawadhu', hadits no. 6137, dari Abu Hurairah, "Orang yang memusuhi wali-Ku, maka Aku izhikan memeranginya. Tidaklah seorang hamba berusaha mendekati-Ku dengan sesuatu y ang lebih Ku-sukai selain dengan hal-hal yang Ku-wajibkan kepadanya, dan jika dia terus berusaha mendekati-Ku dengan ibadali-ibadah tambahan, maka Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengaran yang dipakai-nya mendengar, penglihatan yang dipakainya melihat, tangan yang dipakainya me-mukul, dan kaki yang dipakainya berjalan. Jika dia meminta-Ku, Aku pasti mem-berinya. Jika dia minta perlindungan-Ku, Aku pasti nielindunginya. Aku tidak pernah ragu-ragu dalam melakukan sesuatu seperti keraguan-Ku terhadap nyawa orang yang beriman yang tidak ingin mati sementara Aku tidak ingin menyakitmya." Melalui hadits ini, jelaslah kedudukan orang-orang yang telah samapi ke derajat kewalian tersebut, yaitu menyingkapnya keliendak Allah di dalam kehendaknya dan muncul-nya amal perbuatannya dari kehendak Allah itu. Nah, jika makhluk saja kita hargai, baik itu tumbuhan, binatang, maupun benda padat, oleh sebab itu semua adalah makhluk Allah, mengapakah manusia, khalifah Allah SWT di bumi, yang telah mencapai derajat yang sangat tinggi dalam kewalian berupa ketakwaan, ketiadaan diri dalam Allah, dan kesungguhan beribadah, tidak kita hargai? Mengapakah kita tidak memahami sifat kekhalifahannya di bumi, dimana ia tidak berjalan melainkan karena kehendak Allah. Jika seorang sufi telah mendapatkan kilatan Ilahi di dalam jiwanya, jiwanya akan bersinar, mabuk kepayang, danjatuh cinta kepada Allah; semua aktifitasnya adalah dengan Allah SWT. Ibnu 'Arabi telah mengatakan:

Penaku adalah pena Allah; lauh mahfuzh adalah kertasku Tanganku berada di atas tangan-Nya; kugerakkan sekehendakku Ntuk menulis jalan hidup dan nasibku

Dengan landasan tersebut, manusia adalah alat untuk mengadakan perubahan di alam semesta dan dokumen tempat menetapkan dan membatalkan suatu keputus-an. Semua amal baiknya, pada akhirnya akan kembah kepada-Nya, begitu juga dengan pujian dan sanjungan mereka kepada-Nya. Al-Ghazali mengatakan di dalam Misykah al-Anwar, h. 40, 'Kata-kata yang keluar dari para wali yang tengah dilanda mabuk spiritual harus dirahasiakan dan tidak boleh diceritakan. Jika mereka sudah sadar dan kembali waras seperti semula serta kembali menggunakan akal mereka yang me-rupakan neraca Allah di bumi, niscaya mereka tahu bahwa apa yang diucapkannya itu bukanlah penyatuan hakiki, melainkan penyatuan semu, seperti dikatakan oleh se­orang penya'ir yang sedang dimabuk cinta tentang keadaannya:

Aku adalah orang yang kucintai, dan orang yang kucintai adalah aku Kami adalah dua buah roh, yang dipisahkan oleh tubuhku

Kami akhiri keterangan yang ringkas ini dengan mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan dan lontaran-lontaran tersebut tidak boleh diucapkan kembali. Sengaja kami sebutkan di sini, hanyalah sekadar menunjukkan kepada kita tentang keagungan manusia yang sempurna yang berasal dari keagungan Pencipta Yang Mahaagung dan Mahatinggi.

[114] Kami tidak menemukan hadits ini

 

[115] As-Suyuthi dalam Ad-Durar, h. 349 meriwayatkannya dari 'Abdullah ibn Ahmad dalam Zawa 'id az-Zuhd, dari Tsabit al-Bannani, dan mengatakan, "Hadits ini tidak termasuk dalam kelompok hadits Marfu'." Ahmad dalam az-Zuhd h. 293 meriwayat­kannya dari Mutharrif. Makna hadits ini baik. Al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyayriyyah h. 106 mengatakan, "Abu 'Ali ai-udzabari mengatakan, Terasaan takut dan harap itu adalah ibarat dua sayap burung; jika keduanya seimbang, seimbanglah burung itu dan sempurnalah terbangnya, namun jika salah satunya rusak, maka jatuhlah ia ke dalam sangkar. Dan jika keduanya hilang, beradalah di ambang kematian." Hadits ini disaksikan juga oleh hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Mutharrif yang berkata, "Jika saja rasa takut dan harap orang yang beriman di-timbang, maka tidak lebih berat salah satunya kecuali seukuran selembar rambut." Lihat Syarh Ain al-'llm wa Zain al-Hilm, j. 2, h. 247-273.

 


0 comments:

Posting Komentar

Sialhkan komen dengan bijak, cerdas, mencerahkan dan santun